Selasa, 16 Agustus 2011

MEMAKNAI ESENSI KEMERDEKAAN DITENGAH “CARUT MARUT” PENEGAKAN HUKUM

MEMAKNAI ESENSI KEMERDEKAAN  DITENGAH  “CARUT MARUT”  PENEGAKAN HUKUM

                                                              Oleh: Turiman Fachturahman Nur

              Presiden Soekarno pernah menyatakan tahun 1953, bahwa ensensi kemerdekaan adalah adanya perubahan  budi pekerti, tetapi di kemerdekaan saat ini yang ke 66 kita dipertontonkan “carut marut penegakan hukum di Indonesia,  renungkanlah "Dulu, penjara adalah tempatnya orang jahat. Maka, mengapa sekarang penjara justru menjadi tempat orang-orang hebat dan berpendidikan?. Dulu, penjara adalah tempat yang nista, saat ini mengapa penjara telah menjadi tempat yang terhormat.. tampaknya ada yang salah dari pemaknaan kemerdekaan dari anak bangsa yang bernurani"
           Ini menunjukan apa yang dilakukan masyarakat dalam rangka mengisi kemerdekaan melalui berbagai peristiwa hukum saat ini merupakan bentuk ekspresi dari kejenuhan yang selama ini dialami, sekaligus menjadi bentuk manifestasi keinginan masyarakat dalam rangka memenuhi makna kemerdekaan. Masyarakat semakin menyadari akan makna sesungguhnya kemerdekaan. Mereka mempunyai pemahaman baru mengenai kemerdekaan, bagi mereka merdeka bukan hanya berarti terhindar dari tekanan penjajahan, akan tetapi kemerdekaan sejati. Melalui spanduk dan tulisan tersebutlah menjadi media menyampaikan keinginanya mengenai kemerdekaan. Bagi mereka bukanlah kemerdekaan ketika penindasan terus berlangsung, kemiskinan semakin memprihatinkan, pendidikan mahal, kesehatan menjadi barang langka, korupsi menggurita, praktek ilegal marak dan kesejahteraan rakyat tergadaikan.
       Tentu masuk akal, ketika pemandangan yang kita saksikan sehari-hari adalah praktek menggelumbungnya lumbung kepentingan pribadi, kepentingan kekuasaan dan kepentingan kelompok yang sangat menonjol dalam berbagai macam bidang. Fenomena itu sangat mencolok terjadi dilingkungan bangsa ini, apa yang telah dirumuskan dalam sila kelima pancasila yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” tidak pernah terwujud. Yang terjadi bahkan sebaliknya, pengingkaran terhadap amanah kemerdekaan dan pancasila sebagaimana dicitakan para perancang kemerdekaan.
       Tampaknya momen kemerdekaan, bangsa ini mesti kembali meneguhkan dan mengusahakan sebagaimana yang disebutkan dalam pancasila sila kelima tersebut ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Paling tidak hal itu dapat dilakukan melalui tiga segi yaitu sosial politik, segi sosial budaya, dan segi sosial ekonomi. Pendekatan ketiga hal tersebut dapat digunakan untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat. Pengupayakan keadilan sosial itu harus didukung dengan sinerginya tiga komponen kunci bangsa ini yaitu negara atau pemerintah, masyarakat pasar (bisnis) dan ketiga adalah masyarakat sipil, tetapi semua bermuara dan berbanding lurus dengan penegakan hukum di negara ini, karena penegakan hukum salah satu indikator dari makna demokrasi sebagai pilihan ketika kita merdeka.
        

Laku yang baru
        Sistem-sistem kebaruan harus dicari, cara berpikir, cara merasa, cara bertindak, cara berperilaku yang baru, cerdas, dan baik yang merupakan cerminan keadaban publik harus diterapkan. Ini adalah salah satu terobosan yang harus dilakukan oleh seluruh komponen bangsa, meskipun bukanlah mudah untuk dilakukan, akan tetapi tetap harus didorong dan dilakukan sehingga menjadi kebiasaan yang baik. Sebagaimana dipopulerkan John Dewey mengenai experimental Countinum bahwa habitus yang baik melalui proses yang lama akan membentuk sebuah karakter yang baik.
         Selanjutnya perjuangan dan kerja keras harus dilakukan oleh semua pihak baik masyarakat sipil, tokoh agamawan dan lembaga pemerintahan. Masing-masing harus mempunyai komitmen untuk membangun kearah yang lebih baik,sehingga akan berpengaruh besar terhadap tercapainnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana amanah kemerdekaan yag diperjuangkan oleh pendahulunya
         Opini ini dimaksudkan mengapresiasi makna kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 66 tahun. Teringat secara jelas melalui lembaran-lembaran sejarah bagaimana keteguhan, kesungguhan dan pengorbanan para pendahulu kita yang disebut sebagai "pahlawan" dalam merebut kembali hak kemerdekaan Negara Indonesia. Kemerdekaan untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara yang berdaulat. Kemerdekaan dari penjajahan, penindasan dan ketergantungan dengan bangsa asing.
         Meski sudah banyak analisis tentang kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun, kemerdekaan tetaplah sebuah kemerdekaan yang harus dimaknai sebagai sebuah kesempatan untuk menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka dengan sebenar-benarnya. Kemerdekan yang diperoleh sebagai "hadiah", kemerdekaan yang diperoleh karena "kebetulan" dan kemerdekaan yang diperoleh lantaran konsistensi perjuangan rakyat Indonesia untuk memperoleh legalitas bangsa yang tidak terjajah, tidak terkungkung, dan bangsa yang tidak tergilas oleh peradaban bangsa lain. Apapun analisis tentang kemerdekaan bangsa ini, tetap saja harus konsisten untuk memaknai kemerdekaan dengan kemajuan dan kebangkitan bersama.
         Ada dua fase perjalanan bangsa ini hingga sampai pada makna hakiki dalam memaknai sebuah kemerdekaan. Merdeka dari penjajahan fisik, dan merdeka dari penjajahan mental dan moral. Saat ini bangsa Indonesia telah melewati satu fase penjajahan yang berbentuk fisik. Bangsa Indonesia telah mendapatkan eksistensinya sebagai sebuah bangsa yang merdeka, berdaulat dan memiliki legalitas dimata dunia. Perjalanan selanjutnya adalah mengalahkan penjajahan versi dua yang menggerogoti mental dan moral bangsa ini.

Berjiwa Revolusioner

            Sebelum tahun 1945, tepatnya kemerdekaan bangsa Indonesia, Negara ini membutuhkan masyarakat dan pemimpin yang berjiwa revolusioner. Untuk teguh mendapatkan kemerdekaan bangsa ini dari penjajahan fisik. Meskipun pada saat itu tidak sediki rakyat Indonesia yang turut serta menjadi pengikut penjajah dengan berbagai motivasi, baik motivasi penghidupan, motivasi keamanan dan kesejahteraan. Sederhana saja, ketika itu, siapa yang mengikut penjajah (baik Belanda dan Jepang) dianggsap sebagai penghianat bangsa. Namun, tetap saja konsistensi perjuangan rakyat Indonesia yang tidak mau mengikut para penjajah itu berhasil mengantarkan kita pada sebuah kemerdekaan dari penjajahan Negara asing. Dan itu sebuah perolehan yang luar biasa. Dalam hal ini Bung Karno dan Hatta adalah icon pemimpin revolusioner yang berhasil mengantarkan bangsa ini kembali ke "kewibawaannya".
             Namun, saat ini bangsa kita juga sedang mengalami penjajahan juga (menurut penulis). Penjajahan model baru dan strategi baru. Istilah musuh dalam selimut menjadi sebuah kalimat pengantar yang tepat untuk membicarakan masalah penjajahan versi baru ini. Titik tolaknya adalah dari krisis moral, krisis etika, krisis rasa syukur, dan krisis kesadaran akan makna penting dari sebuah kemerdekaan. Jika dahulu, salah satu program utama bung Karno pasca kemerdekaan adalah dalam bidang pendidikan demi upaya pengentasan kebodohan, maka, saat ini kepintaran masyarakat Indonesia sudah menjadi momok baru yang siap menggerogoti Negara ini.
           Beragam kasus yang seolah sudah " diaminkan" sebagai sebuah kelaziman menjadi salah satu pertanda bahwa bangsa ini bukan lagi butuh kepintaran, tapi bangsa ini butuh penyadaran moralitas, penyadaran etika berbangsa, penyadaran akan makna histories sebuah kemerdekaan bangsa ini, dan penyadaran akan rasa syukur terhadap kemajuan bangsa ini. Sampai pada metodologi dalam menjalankan bangsa ini juga sudah menjadi momok baru juga dalam perjalanan bangsa ini pasca kemerdekaan.
             Setelah merdeka, mau diapakan bangsa ini.?, setelah merdeka, mau dibawa kemana bangsa ini?, dan setelah merdeka mau dibuat apa bangsa ini. Ini adalah pertanyaan filosofis yang bisa jadi akan sangat dalam pembahasannya untuk sampai pada tujuan hakiki dalam memaknai sebuah kemerdekaan. Namun, penting juga mengkaji lebih jauh, apa sebenarnya yang diinginkan Bung Karno ketika membacakan teks Proklamasi itu?. Ataukah, teks proklamasi yang dibacakan itu hanya sebatas teks sebagai pijakan legalitas terhadap sebuah kemerdekaan sebuah bangsa. Sehingga rakyat Indonesia pasca kemerdekaan ini seolah-olah " kehilangang arah" dalam menjalankan roda kehidupan bangsa ini.

Makna Penting

            Menurut hemat penulis, ada makna penting dibalik tesk proklamasi itu, " Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan dengan sebenar-benarnya…" kalimat kami dalam teks tersebut menandakan bahwa perolehan kemerdekaan bangsa ini bukan hanya milik perseorangan, kelompok dan golongan tertentu. Tidak ada istilah kaum miskin, kaum kapitalis, kaum borjuis, kaum apa saja. Dalam hal ini, kemerdekaan diperoleh, dimiliki, disaksisakan dan harus dirasakan oleh semua kalangan di Negara ini. Oleh karenanya, dalam perjalanan bangsa ini pasca kemerdekaan bangsa Indonesia harus bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, tidak ada kapitalisme berbangsa, dan tidak ada diskriminasi dalam berbangsa. Sebab, kemerdekaan milik semua rakyat Indonesia.

           Oleh karenanya, kesewenang-wenangan gaya baru harus dihapuskan di Negara Indonesia ini. Kesewenangan dalam jabatan dan amanah, dalam kebijakan, dalam pemberdayaan masyarakat, dalam pembinaan hukum, dalam pembinaan moral, dalam memberikan kesempatan penghidupan dan berusah menghidupi diri dan keluarga, dan kesewenangan dalam memberi kewenangan tanpa melihat kemampuan dan keamanahannya. Inilah yang menurut hemat penulis sebagai penjajahan versi baru di Negara Indonesia. Ini.

            Hal ini tentunya terkait dengan system kenegaraan yang sudah " terlanjur" dipakai tanpa melihat konsep maslahat dan mudharat nya. Demokrasi versi reformasi menjadi titik awal lahirnya penjajahan versi baru ini (menurut hemat penulis). Meski disana-sini telah banyak kebaikan dan kemajuan, namun tetap harus difikirkan eksistensinya di mata masyarakat. System Negara yang seolah-olah bergantung pada legalitas perpolitikan semata.

            Lihat saja, berapa banyak " bayi partai" yang baru lahir yang menunjukkan hak dalam berdemokrasi, berapa banyak pula biaya APBN dan APBD yang harus dikeluarkan untuk partai-partai tersebut. Sementara, dalam penerapannya, ada kesenjangan yang luar biasa antara " kepentingan rakyat" dengan apa yang disuarakan partai yang juga atas nama rakyat.

             Tidak dapat dipungkiri juga, tingkat apatisme masyarakat Indonesi ini sudah semakin meningkat, terbukti di berbagai pemilihan kepala daerah di Indonesia ini tingkat golput sudah diatas 10%, bahkan ada yang mencapai 40%. Itu menandakan sebuah kesimpulan yang sederhana "siapapun pemimpinnya, tatap saja keadaan bangsa ini tidak berubah..". inilah yang menandakan bahwa bangsa kita sesungguhnya sudah kembali terjajah dan merasa dijajah. Menjajah kepercayaan bagi masyarakatnya, dan menjajah moral dan tanggung jawab kepada para pemimpinnya.

           Ibaratkan seorang pemuda tampan yang punya penyakit dalam. Orang lain memandangnya enak, asyik dan senang, tapi ternyata didalam tubuhnya telah menjalar ribuan penyakit dalam yang sewaktu-waktu akan mematikan dirinya. penjajahan inilah yang harus diantisipasi sedini mungkin dari bangsa ini. Kriris moral, krisis tanggung jawab, krisis kepercayaan, krisis rasa syukur menjadi suasana baru yang harus kita fikirkan sebagai masyarakat yang merdeka.

          Menurut hemat penulis, harus ada keseimbangan dalam memaknai kemerdekaan ini sebagai sebuah evaluasi dalam menjalani kehidupan berbangsa di masa mendatang. Diantaranya;

Pertama, Merdeka dari kebebasan yang kebablasan. Hal ini terkait dengan moralitas bangsa di mata bangsa ini dan bangsa luar nantinya. Kasus erotisme, kasus kebudayaan yang disalah artikan, dan sederatan kasus lainnya yang bisa saja menghapuskan nilai bangsa ini sebagai bangsa yang berbudaya. Kebebasan dalam artian yang lebih luas lagi bisa dimaknakan dalam berpendapat, berekspresi, berargumentasi. Nilai kesantunan sebenarnya menjadi salah satu alat ukur untuk melihat tingkat pendidikan sebuah bangsa. Oleh karenanya, teori sederhananya adalah, bangsa yang semakin pintar rakyatnya, maka, semakin santun prilakunya. Dan juga, merdeka dari rasa bebas yang tak beraturan.
Kedua, Merdeka dari krisis kepercayaan. Ini juga menjadi momok baru, sebab tak akan ada lagi gunanya sebuah negara jika didalamnya terdapat saling curiga dan tidak percaya. Rakyat tidak lagi percaya terhadap pemimpinnya pemimpin juga tidak percaya bahwa rakyat mendukungnya. Maka, perjalanan bangsa yang seperti ini tidak akan pernah stabil dan berjalan dengan lancar. Ini adalah peran rakyat. Rakyat Indonesia harus memberi kesempatan kepada siapapun yang memimpin daerah maupun negaranya. Beri kesempatan untuk berbuat, beri peringatan, bila melakukan kesalahan dan peringatan, dan beri hukuman jika memang tidak ada perubahan dan melakukan kesalahan dengan kesengajaan. Merdeka dari rasa tidak percaya dalam berbangsa akan mengantarkan bangsa ini lebih maju sebab diberi kesempatan untuk memajukan bangsa ini.
Ketiga, Merdeka dari menjelek-jelekkan bangsa sendiri. Inilah salah satu imbas negative jika sebuah negara memiliki multi partai. Jika Negara ini dijalankan dengan pemimpin yang lahir dari salah satu partai. Maka partai lain akan berusaha menjelek-jelekkan kepemimpinannya. Dan membanding-bandingkan dengan yang lain. Inilah yang juga menjadi momok baru mengapa bangsa ini sulit maju dan bangkit dari beragam permasalahan
Keempat, Merdeka dari ketergantungan. Sudah saatnya masyarakat Indonesia berfikir ulang terhadap keberlangsungan hidupnya. Berfikir untuk tidak lagi bergantung pada pemerintah saja. Berfikir untuk mencari jalan lain mencari penghidupan dan kehidupan. Moralitas bangsa kita yang sudah terpola terhadap makna Pegawai negeri sipil misalnya, menjadi salah satu momok yang lama-kelamaan menjadi momok baru dalam program mencerdaskan bangsa. Lama kelamaan, generasi muda Indonesia bersekolah dan berkuliah hanya berorientasi pada pekerjaan semata, pegawai semata tanpa melihat pada tingkat eksistensi keilmuan yang harus dimilikinya sebagai sarana pengembangan kreativitasnya kedepan. Kedepannya, memaknai kemerdekaan bangsa ini dengan tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada pemerintah saja.
Kelima, Merdeka untuk ikhlas dan menjalin semangat kebersamaan dalam membangun bangsa. Dicari pemimpin yang amanah, pemimpin yang berorientasi pada pengembangan, pemberdayaan, kesejahteraan dan tanggung jawab. Mendapat amanah sebagai pejabat pemerintah, pemimpin dan wakil rakyat. Berarti sudah mengikhlaskan diri untuk menyerahkan semangat dan tanggung jawab demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa ini. Bukan pula sebaliknya, yang berkembang hanyalah semangat menggerogoti bangsa ini yang memang sudah keropos.
          Akhirnya, dalam memaknai kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 66 ini harus melalui pembenahan internal diri dan moralitas bangsa ini secara keseluruhan. Baik niat dan motivasinya, tentunya akan baik pula hasilnya. Sebaliknya, buruk niatnya, maka itu pula yang nantinya akan menghancurkan bangsa ini perlahan-lahan. Semoga bangsa kita menjadi lebih baik kedepannya.













































»»  Baca Selengkapnya...