Senin, 07 Maret 2011

Rancang Bangun Hukum Tata Negara Terimbas Politik

Rancang Bangun Hukum Tata Negara Terimbas Politik
(Analisis Pembaharuan Hukum Indonesia Dari Sisi Hukum Tata Negara)

Oleh Turiman Fachturahman Nur
Dosen Hukum Tata Negara Fak Hukum UNTAN Pontianak
email: qitriaincenter@yahoo.co.id HP 08125695414

A. Pergeseran Penegakan hukum tata negara
Lahirnya berbagai kebijakan yang menimbulkan penolakan keras dari banyak komunitas lokal di tanah air, tentu menuju ke suatu pertanyaan, dimana letak penghargaan atas kebhinnekaan dalam agenda pembaharuan hukum di Indonesia? Jawabannya bisa diperoleh dari keberadaan aturan-aturan baik di tingkat daerah maupun di level nasional yang justru menolak kemajemukan bangsa Indonesia. Artinya, ide pembaharuan hukum masyarakat Indonesia baru justru menuju ke pemaksaan kaidah sosial masyarakat tertentu kepada masyarakat lain yang memiliki nilai dan kebutuhan hukum yang berbeda. Apa yang terjadi disini adalah sebuah pengulangan terhadap pola-pola kebijakan lama di era regim hukum Orde Baru yang menerima begitu saja keutamaan kekuasaan politik dan mendepak desakan pembaharuan hukum yang dituntut oleh komunitas marginal seperti masyarakat adat, perempuan dan anak-anak.
Dengan berkaca pada situasi ini maka masyarakat baru Indonesia memiliki dua pilihan: Pertama, mereview kebijakan lama untuk mengakomodasi pluralitas sosial menjadi pluralisme hukum. Hal ini bertujuan untuk mencegah resistensi dan korban yang lebih banyak bagi komunitas. Kedua, tetap bergerak dalam alur perubahan sebagaimana telah dijalani saat ini tetapi dengan konsekuensi Indonesia sebagai sebuah negara tidak pernah bisa memutus mata rantai pelanggaran HAM di masa lalunya, dimana kebijakannya yang mengorbankan banyak kaum marginal terus berlanjut, wacana di atas adalah sekelumit yang ditengarai oleh Prof. Soetandyo Wignjosoebroto Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga dan Ketua Badan Pengurus HuMa[1]
Ketika kebijakan itu diformulasikan kedalam sebuah peraturan perundang-undangan, misalnya dalam bentuk produk yang nama Undang-Undang ada anggapan yang berkembang dikalangan pakar ilmu politik, bahwa materi muatan undang-undang itu sebenarnya proses dari sebuah proses politik dalam hal ini kalangan DPR bersama Pemerintah dan kadangkala konstruksi materi muatan rancangan undang-undang yang sudah disusun berdasarkan asas-asas hukum menjadi berantakan strukturnya, karena pasal-pasal ”diprereli satu persatu” dan atau formulasi norma dirubah berdasarkan sebuah kepentingan atau ”pesanan” kekuatan di infra struktrur politik.
Selaras dengan ini Prof. Dr Komaruddin Hidayat menyatakan: ”sebuah demokrasi akan memperkuat negara, kalau parpolnya sehat, Parpol sehat kalau diisi oleh para politisi yang pintar dan berkualitas. Tetapi kalau DPR politisinya tidak berkualitas, maka UU yang dijahit ibarat baju, setelah jadi dipakai terasa sesak. Mungkin anda berpendapat apakah UU Produk DPR selama ini ibarat baju yang pas dipakai”[2]
Paparan diatas memberikan pemahaman yang keliru, bahwa hukum itu sama dengan undang-undang, sedangkan hukum itu tidak dapat dipungkiri bahwa hukum itu pada dasarnya tidak begitu saja jatuh dari langit, tetapi dibuat oleh manusia dan selalu berada dalam lingkup sosial tertentu, itu artinya hukum tidak hadir dan bergerak diruang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak, melainkan selalu berada pada tatanan sosial tertentu dalam lingkup-lingkup manusia yang hidup, pemahaman yang demikian itu menggugah sebagian besar pemikir dan penstudi hukum untuk melihat hukum tidak dalam sebuah norma an sich. Para penganut perspektif ini berpendirian bahwa hanya dengan cara itulah kita dapat melihat ”wajah hukum” secara sempurna.[3]
Memaknai hukum pada tataran seperti itu tentunya kita mengharapkan bahwa penyusunan peraturan perundang-undangan yang bersifat demokratis seharusnya adalah mempresentasikan terhadap peran hukum sebagai alat untuk mendinamisasikan masyarakat, sehingga fungsi cita hukum dalam negara berubah dalam arti dapat mengakomodasi semua dinamika masyarakat yang kompleks seperti Indonesia.
Dengan demikian hukum sebagai suatu proses tidak dapat dilihat sebagai suatu perjalanan penetapan peraturan –peraturan hukum saja. Melainkan, hukum sebagai proses perwujudan tujuan sosial hukum, dengan kata lain yang tengah berlangsung dalam perjalanan penetapan peraturan itu adalah proses penetrasi dari sektor-sektor kehidupan masyarakat.
Berkaitan dengan hal yang demikian itu, Bredermeier berpendapat bahwa didalam sistem sosial dijumpai bekerja 4 (empat) proses-proses fungsional utama, yaitu: (1) adaptasi (2) perwujudan tujuan (3) mempertahankan pola dan (4) integrasi. Keempat proses itu saling kait mengkait dan secara timbal balik saling memberikan input. Setiap sub proses memperoleh input dari ketiga lainnya. Sementara sub Proses memperoleh input dari ketiga lainnya. Sementara itu output dari salah satu proses itu juga akan menjadi input bagi sub proses yang lain.
Semua itu menunjukkan bahwa pemanfaatan hasil studi ilmu-ilmu sosial di dalam studi hukum nampaknya sangat diperlukan. Barang tentu ini tidak dapat terjadi bila paradigma berpikir yang kita ikuti masih tetap bertumpu pada aliran analisis –positivitis. Pada tataran inilah kita menyadari, bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari realitas sosial yang ada. Sehingga dalam beberapa hal tugas-tugas yang menyangkut pelaksanaan keadilan memerlukan keahlian-keahlian yang bersifat non hukum, yang seringkali belum dikuasai benar para petugas hukum yang ada pada saat ini, Untuk itu, para penstudi hukum perlu menguasai ilmu-ilmu sosial agar dapat menambah pemahaman mengenai hubungan hukum dan realitas sosial didalam masyarakat modern dan demokratis ini, tentu ada benarnya apa dinyatakan Prof Dr Satjipto Raharjo, dalam bukunya ” pemanfaatan ilmu-ilmu sosial bagi pengembangan ilmu hukum, jika pendapat ini diaplikasikan dalam analisis Hukum Tata Negara, seharusnya hukum tata negara tidak hanya menggunakan pendekatan normatif saja, tetapi pendekatan sosio-politik, ini artinya adanya pergeseran analisis hukum tata negara bagi para penstudi ilmu hukum tata negara.
Adalah menarik ketika ada anggapan para pemerhati ilmu politik menyatakan sebuah pendapat, bahwa sesungguhnya hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang adalah hasil dari proses politik, pertanyaannya bagaimana menjelaskan pendapat ini dari sisi hukum tata negara dan bagaimana pula penegakan hukumnya ?
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “Law enforcement” ke dalam bahasa indonesia dalam menggunakan perkataan “Penegakan Hukum” dalam arti luas dapat pula digunakan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “the rule of law” atau dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “ the rule by law” yang berarti “the rule of man by law” Dalam istilah “ the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “ the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subyeknya maupun obyeknya atau kita batasi haya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya hanya menelaah aspek-aspek subyektif saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.
Seperti disebut di muka, secara obyektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup Pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dengan penegakan keadilan.
Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian pengertian “law enfocement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi “court of law” dalam arti pengadilan hukum dan “court of justice” atau pengadilan keadilan. Bahkan dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika serikat disebut dengan istilah “Supreme Court of Justice”.
Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan bukti formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materil yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materil untuk mewujudkan keadilan materiil. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisikan penegakan keadilan itu sendiri, sehingga penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.

B Indentifikasi Permasalahan
Berdasarkan paparan diatas pertanyaan ilmiahnya adalah bagaimana analisis pergeseran Pembaharuan dari sisi Hukum Tata Negara ? Adapun identifikasi permasalahannya adalah berikut ini.
Bangsa Indonesia menghadapi suatu masalah serius yang harus dilalui dalam menjalankan agenda reformasi ini. Sudah terlampau banyak konsep dan gagasan para pakar untuk mengatasinya, tetapi ternyata belum sepenuhnya membawa hasil optimal ke arah penyelesaian yang kongkrit. Karena pada umumnya, mereka melihat berbagai peristiwa dan permasalahan bangsa dari sudut pandangnya sendiri-sendiri, jarang yang berpikir secara sistemik, melalui pendekatan yang lebih menyeluruh dan komprehensif. Hal ini membuktikan bahwa penyelesaian krisis yang menimpa bangsa Indonesia, diperlukan alternatif pendekatan yang lebih relevan yang mampu mengakomodasikan berbagai kepentingan yang ada. Dengan bertitik tolak dari kerangka pemikiran filsafat hukum yang bercirikan mendasar, rasional, reflektif dan komprehensif, diharapkan dapat membantu semua pihak dapat bersikap lebih arif dan tidak terkotak-kotak keilmuannya yang memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat dalam mengatasi krisis yang menerpa bangsa Indonesia.
Sudah hampir satu dasa warsa lamanya proses reformasi dijalankan bangsa Indonesia, sejak orde baru runtuh dari panggung kekuasaan politik pada penghujung Mei 1998. Seperti yang diprediksikan oleh banyak pihak, reformasi ini memerlukan proses yang cukup panjang dan tidak mungkin mengubah segala sesuatunya secara cepat sesuai dengan tuntutan dan keinginan yang diharapkan rakyat. Bahkan untuk mereformasi berbagai tatanan kehidupan bangsa yang sudah lama tertanam lebih dari tiga dasawarsa merupakan pekerjaan yang tidak mudah serta membutuhkan pengorbanan yang amat besar dari rakyat dan bangsa Indonesia. Tidak sekedar berupa harta benda, pikiran maupun tenaga, tetapi nyawa-nyawa anak bangsapun banyak berguguran di bumi pertiwi tercinta ini.
Bangsa Indonesia menghadapi suatu masalah serius yang harus dilalui dalam proses reformasi ini, mulai dari krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi, meletusnya berbagai kerusuhan, mencuatnya kembali pertentangan etnis dan agama, munculnya kelompok-kelompok kepentingan yang saling berebut pengaruh dan sebagainya. Langsung maupun tidak langsung tentu amat berpengaruh terhadap stabilitas negara dan ketentraman masyarakat. Masyarakat menjadi resah, trauma dan merasa tidak nyaman dalam menjalani kehidupan sehari-harinya, terutama yang terjadi di kota-kota besar yang potensial memunculkan aksi kerusuhan massa.
Ekses-ekses reformasi yang merugikan tersebut tentunya tidak diharapkan oleh masyarakat dan sedapat mungkin harus dicarikan jalan keluarnya. Sudah banyak lontaran gagasan dikemukakan oleh banyak kalangan, mulai dari para pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, ilmuwan dan lain-lain untuk memberikan jalan keluar (solution) terhadap krisis yang tengah dihadapi masyarakat. Bermacam-macam teori dan retorikapun dikemukakan untuk meyakinkan masyarakat. Akan tetapi pada umumnya, mereka melihat berbagai peristiwa dan permasalahan bangsa dari kacamatanya atau sudut pandangnya sendiri-sendiri, jarang yang berpikir secara sistemik, melalui pendekatan yang lebih menyeluruh dan komprehensif. Tidak mengherankan kalau banyak pakar politik, pakar hukum, pakar ekonomi dan sebagainya berlomba-lomba mengemukan pendapatnya sesuai dengan versinya masing-masing.
Banyaknya konsep dan gagasan di atas, ternyata belum sepenuhnya membawa hasil optimal ke arah penyelesaian yang kongkrit. Justru masyarakat awam yang hidup serba miskin fasilitas, menjadi semakin bingung harus mengikuti pendapat yang mana, karena semua pendapat selalu mengaku yang terbaik, meskipun dalam praktik ternyata sulit pula untuk diaplikasikan (non aplicable). Hal ini membuktikan bahwa penyelesaian krisis yang menimpa bangsa Indonesia, diperlukan alternatif pendekatan yang lebih relevan yang mampu mengakomodasikan berbagai kepentingan yang ada. Betapapun memang harus diakui bahwa untuk memberikan jalan keluar dari krisis ini tidak mudah, karena begitu kompleks permasalahan yang melatarbelakanginya.

C. Bagaimana Multi Player Efek-nya dalam Pendidikan Hukum ?
Melihat kenyataan tersebut, sudah selayaknya kalangan dunia pendidikan tinggi harus mencoba mencari alternatif yang tepat untuk diterapkan mengatasi krisis yang menimpa bangsa Indonesia ini. Dalam kaitan inilah, para pakar, kaum akademisi maupun para praktisi terutama yang berbasis pendidikan tinggi hukum, sebenarnya dapat ikut berpartisipasi memberikan peran dan sumbangan pemikirannya terhadap situasi dan kondisi krisis yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Dalam hal ini, para sarjana hukum tentunya tidak sekedar melihat persoalan dari pedekatan hukum dalam arti normatif semata, tetapi dapat ditempuh dengan pendekatan yang lebih mendasar, rasional, reflektif dan komprehensif melalui pengkajian dan analisis filsafati, terutama bertitik tolak dari kerangka tinjauan filsafat hukum.
Permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimanakah peran dan sumbangan yang dapat diberikan filsafat hukum dalam era reformasi. Dalam wujud apakah filsafat hukum memberikan kontribusinya. Kemudian apakah mungkin filsafat hukum dijadikan salah satu terapi untuk membantu memecahkan berbagai krisis yang terjadi dalam masyarakat kita pasca reformasi. Untuk membahas dan mencermati permasalahan tersebut, dalam tulisan ini akan diuraikan tentang tinjauan ontologis, epistemologis dan aksiogis ilmu hukum, ruang lingkup objek pengkajian filsafat hukum, serta urgensi dan relevansinya filsafat hukum dalam membantu menyelesaikan krisis yang multidimensional ini.
Tinjauan ontologis, epistemologis dan aksiologis ilmu hukum Apabila dilihat kecenderungan dalam ilmu hukum, ternyata ada dua kecenderungan yang sedang terjadi, yakni : (1) ilmu hukum terbagi-bagi ke dalam berbagai bidang yang seolah-olah masing-masing berdiri sendiri, (2) ilmu hukum menumpang pada bidang ilmu lain sehingga seolah-olah bukan merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Kecenderungan pertama terlihat dengan terbentuknya ilmu hukum ke dalam ilmu yang bersifat normatif, ilmu yang bersifat empiris dan ilmu yang bersifat filosofis. Terkadang para penganut ketiga bidang ilmu hukum itu masing-masing saling menafikan. Kecenderungan kedua tampak dengan semakin kentalnya sikap yang menganologikan ilmu hukum dengan sosiologi hukum dan antropologi hukum.
Kecenderungan ilmu hukum tersebut sudah tentu mengurangi kemampuan ilmu hukum dalam perkembangannya dan dalam menghadapi masalah-masalahnya. Adanya ilmu hukum yang bersifat integratif merupakan suatu kebutuhan. Hal ini karena adanya kelemahan yang dijumpai dalam ilmu hukum yang murni secara teoritis semata-mata (normative) maupun ilmu hukum yang terapan semata-mata (empiris). Integralitas ilmu adalah kebalikan dari spesialisasi dalam ilmu. Spesialisasi ilmu dalam perkembangan ilmu merupakan bukti dari kemajuan karena ilmu menjadi berkembang semakin kaya. Tetapi spesialisasi ilmu dalam ilmu hukum menjadi steril dan dangkal. Mungkin ilmu hukum dapat berkembang tetapi tidak dapat menangkap hakekat yang lebih menyeluruh dari kenyataan yang dihadapi.
Seolah-olah seperti orang buta yang menangkap ekor disangka itulah gambaran gajah atau seperti halnya melihat bagian sisi saja dari mata uang dan melupakan sisi lainnya. Ilmu hukum mempunyai objek kajian hukum. Sebab itu kebenaran hukum yang hendak diungkapkan oleh ilmuwan hukum berdasarkan pada sifat-sifat yang melekat pada hakekat hukum. Untuk membicarakan hakekat hukum secara tuntas, maka perlu diketahui tiga tinjauan yang mendasarinya, yaitu tinjauan ontologis, tinjauan epistemologis dan tinjauan aksiologis.
Tinjauan ontologis membicarakan tentang keberadaan sesuatu (being) atau eksistensi (existence) sebagai objek yang hendak dikaji. Dalam hal ini ada aliran yang mengatakan bahwa segala sesuatu bersifat materi (alls being is material) , sementara pendapat lain menyebutkan bahwa semua yang ada bersifat sebagai roh atau spirit (alls being is spirit) . Pandangan ini menentukan bagaimana atau dengan kacamata apa seseorang (subjek) melihat suatu objek tertentu. Tinjauan epistemologis menyoroti tentang syarat-syarat dan kaidah-kaidah apa yang harus dipenuhi oleh suatu objek tertentu. Hal ini berkaitan dengan cara, metode atau pendekatan apa yang akan digunakan untuk melihat objek itu. Selanjutnya tinjauan aksiologis adalah melihat bagaimana aksi atau pelaksanaan dari sesuatu. Dengan kata lain bagaimana pengaruh dan kemanfaatan (utility) suatu objek bagi kepentingan hidup manusia. Tinjauan aksiologis tak dapat dilepaskan dari persoalan nilai (value) yang dianut dan mendasari suatu objek tertentu.

a. Tinjauan Ontologis
Secara umum ada tiga hal yang dapat dipelajari dari hukum, yaitu : (1) nilai-nilai hukum, seperti keadilan, ketertiban, kepastian hukum dan lain-lain, (2) kaidah-kaidah hukum berupa kaidah yang tertulis maupun tidak tertulis, kaidah yang bersifat abstrak maupun nyata, (3) perilaku hukum atau dapat juga disebut kenyataan hukum atau peristiwa hukum. Secara umum filsafat hukum mengkaji nilai-nilai hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, dan lain-lain serta mengkaji perilaku hukum. Sedang kaidah hukum dikaji oleh bidang yang disebut normwissenschaf atau ilmu tentang kaidah.
Titik sentral pengkajian dan penelitian ilmu hukum adalah kaidah-kaidah hukum. Ilmu hukum tidak dapat dipisahkan dari kaidah hukum. Tetapi persoalannya adalah dalam posisi dan situasi kaidah hukum yang bagaimana yang menjadi perhatian dari ilmu hukum. Sosiologi hukum dan antropologi hukum mempelajari perilaku hukum sebagai kenyataan hukum. Kedua bidang ilmu hukum ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kriteria bahwa perilaku atau kenyataan itu sudah bersifat normatif. Jadi harus ada ukuran bahwa bidang penelitian itu bersifat normatif. Dalam filsafat hukum, nilai-nilai yang dikajipun harus bersifat normatif. Ciri yang umum dari kaidah hukum ialah adanya legitimasi dan sanksi.
Tanpa terbagi-bagi ke dalam bidang-bidang kajian, ilmu hukum dengan sendirinya sudah mengkaji nilai, kaidah dan perilaku. Yang berbeda antara satu kajian dengan kajian lain ialah kadar, intensitas atau derajat di anatara ketiga hal tersebut.

b. Tinjauan Epistemologis
Ilmu hukum sebagai ilmu bertujuan untuk mencari kebenaran atau tepatnya keadilan yang benar. Untuk mencari keadilan yang benar itu maka ditentukanlah cara untuk mencarinya yang disebut metode. Metode ilmu hukum ditentukan oleh aspek ontologis dan aksiologis dari hukum. Konsep mengenai metode dan ilmu bersifat universal. Artinya, untuk bidang apa saja atau untuk jenis ilmu manapun adalah sama, tetapi pengaruh dari obyek suatu ilmu tentu tak dapat dihindarkan. Sebab itu hakekat hukum dan fungsinya dalam praktek tak dapat dihindari berpengaruh dalam menentukan metode yang digunakan dalam ilmu hukum.
Apabila melihat hakekat hukum, ilmu hukum tidak didasarkan pada empirisme atau rasionalisme saja, karena gejala hukum tidak hanya berupa hal yang dapat diserap oleh indra atau pengalaman manusia berupa perilaku hukum saja tetapi juga berisi hal-hal yang tak terserap oleh indra manusia, yakni nilai-nilai hukum.
Kebenaran yang dapat dicapai oleh ilmu hukum ialah apabila disadari adanya penampakan dari obyek dan seraya menyadari pula arti dibelakang obyek tersebut. Secara hakekat, ilmu hukum berusaha untuk menampilkan hukum secara integral. Oleh karenanya metode ilmu hukum harus bersifat integral pula. Dalam ilmu hukum pada waktu sekarang sering dibedakan antara metode normatif, metode sosiologis dan metode filosofis. Metode penemuan hukum (rechtsvinding) bukan metode ilmu hukum karena metode penemuan hukum hanya dapat dipergunakan dalam praktek hukum. Penentuan penggunaan metode sosiologis dan metode filosofis tergantung pada kadar atau intensitas kaidah yang diteliti, sebab tidak semua kaidah memerlukan analisa baik filosofis maupun sosiologis.
Dalam perkembangannya, karena para ilmuwan hukum tidak puas dengan metode yang ada, maka muncullah metode multi disipliner atau disipliner, yang merupakan perwujudan dari logika hipotiko-deduktif-verifikatif. Dalam metode ini suatu masalah berusaha dipecahkan atau didekati dari berbagai disiplin baik yang termasuk deduktif maupun induktif. Istilah hipotiko deduktif menempatkan kaidah hukum sebagai hal yang mentah yang perlu untuk dimasukkan kedalam proses “verifikasi” untuk dibuktikan kebenarannya. Dengan mengadakan verifikasi maka suatu hipotesa atau teori seakan-akan dicocokkan dengan fakta-fakta. Menurut Popper, bukan verifikasi yang menjadi kriterium demarkasi antara yang ilmu dan bukan ilmu tetapi ialah falsifikasi, yakni kemampuan menyangkal kesalahan. Dengan demikian Popper telah mengganti verifikasi yang bersifat induktif dengan falsifikasi yang deduktif.
Secara epistemologis, metode hipotiko-deduktyif-verifikatif dinggap ideal, tetapi dalam praktek penerapannya menjadi pragmatis. Metode tersebut tidak mutlak dipergunakan secara padu. Yang menjadi ukuran dalam penggunaan metode ialah situasi, kepentingan, kebutuhan dan biaya.
Ilmu hukum akan mempunyai kewibawaan dan kekuatannya apabila bersifat integral dalam aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis. Sebab itu yang diperlukan dalam ilmu hukum ialah sintesis dari metode-metode, sehingga ilmu hukum memiliki suatu metode yang mempunyai ciri khas. Ilmu hukum adalah suatu sistem. Sebagai suatu sistem, ilmu hukum harus merupakan suatu kebulatan dari seluruh komponen atau subsistem yang satu sama lainnya saling berhubungan.

c. Tinjauan Aksiologis
Ilmu hukum bersifat dinamis. Ilmu hukum mempunyai peran dan fungsi yang khas dibanding dengan bidang-bidang hukum yang lain. Secara aksiologis, peran dan fungsi dari ilmu hukum antara lain seperti diuraikan dibawah ini:
Pertama, ilmu hukum berpengaruh dalam pembentukan hukum melalui penyusunan perundang-undangan. Hasil-hasil penelitian ilmu hukum menjadi masukan untuk menyusun rancangan peundang-undangan.
Kedua, ilmu hukum berpengaruh dalam praktek hukum atau pelaksanaan hukum. dalam rangka peradilan, seorang hakim atau lebih sering memutuskan perkara dengan mengambil pendapat ahli hukum yang berwibawa sebagai salah satu dasar pertimbangannya. Begitupun juga jaksa dan pengacara sering mengambil pendapat ahli hukum sebagai penguat argumentasinya dalam mengajukan tuntutan dan pembelaannya.
Ketiga, ilmu hukum berpengaruh dalam pendidikan hukum. Pendidikan hukum yang formal yakni di bangku sekolah dan yang informal di tengah masyarakat lewat media massa dan penyuluhan-penyuluhan sangat dipengaruhi oleh ilmu hukum. Seorang mahasiswa di didik oleh seorang pengajar yang mempunyai status sebagai ahli hukum. Seorang ahli hukum mempunyai wawasan yang khas dan pernah sekurang-kurangnya meneliti hukum. Kualitas pengajar akan menentukan kualitas dari mereka yang diajar.
Keempat, ilmu hukum akan berpengaruh atas perkembangan dari bidang-bidang yang lainnya. Dalam suatu sistem hukum yang berusaha untuk mengatur segala hal atau segala bidang, maka sistem seperti itu bersifat progressif dan interventif. Sebab itulah bidang-bidang yang diatur itu memerlukan suatu kejelasan atas pengaturan tersebut.Kelima, ilmu hukum berusaha untuk mengadakan sistematisasi. Bahan-bahan yang tercerai berai disatukan dalam suatu susunan yang bersifat komprehensif. Hasil sistematisasi menyajikan informasi yang memudahkan. Ilmu hukum juga menyajikan pertimbangan-pertimbangan. Adanya sejumlah data dan sejumlah peraturan tidak cukup bermakna. Semua itu harus dianalisa. Analisa atas suatu peraturan akan memudahkan pemahaman atas peraturan itu.
Dan selanjutnya, ilmu hukum mempunyai fungsi sebagai pencerah terhadap kebekuan yang melanda dunia hukum. Hukum adakalanya diabaikan bukan semata-mata demi hukum tetapi untuk sesuatu yang lebih mulia yakni terwujudnya keadilan yang diridhloi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sebab itu dalam situasi hukum yang legalistis dan beku, maka ilmu hukum berfungsi memberikan pencerahan dengan mengajukan pemikiran-pemikiran dan kemungkinan-kemungkinan baru.
Ahli hukum Belanda J. van Kan, mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam mayarakat. Pendapat tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf von Ihering, yang menyatakan bahwa hukum bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat ini di dukung oleh ahli hukum Indonesia, Wiryono Prodjodikoro, yang menyatakan hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat itu. Selanjutnya Notohamidjoyo berpendapat bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antar negara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan kedamaian dalam masyarakat.
Definisi-definisi tersebut menunjukkan betapa luas sesungguhnya hukum itu. Keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dengan menyebutkan sembilan arti hukum. Menurut mereka, hukum dapat diartikan sebagai : (1) ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran; (2) disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi ; (3) norma, yakni pedoman atau patokan siakap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan; (4) tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis; (5) petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer) ; (6) keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi ; (7) proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan; (8) sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yakni perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk untuk mencapai kedamaian; (9) jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Dalam konstelasi negara modern, hukum dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering).[4] Roscoe Pound menekan-kan arti pentingnya hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini, terutama melalui mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-badan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi. Konteks sosial teori ini adalah masyarakat dan badan peradilan di Amerika Serikat.
Dalam konteks keIndonesiaan, fungsi hukum demikian itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja diartikan sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat.[5] Sebagai sarana untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan peraturan perundangundangan itu.
Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto Rahardjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.[6] Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri.
Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat.[7]
Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto,[8] dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyara-kat, yakni lingkungan social di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Sementara itu Satjipto Rahardjo [9] membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan criteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-undang cq. lembaga legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial. Pada sisi lain, Jerome Frank,[10] juga berbicara tentang berbagai faktor yang turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini selain faktor kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi, moral serta simpati dan antipati pribadi.
Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hokum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem.
Adapun kultur atau budaya hu-kum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keya-kinan, harapanharapan dan pendapat tentang hukum.[11] Dalam perkembangan-nya, Friedman menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang menjadi objek kajian peneliti.[12] Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell, konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga Negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda.[13]
Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundangundangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool of social engineering dari Roscoe Pound, atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja disebutkan sebagai hukum yang berfungsi seba-gai sarana untuk membantu perubahan masyarakat.[14] Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai hukum yang emansipatif. Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat demokratis dan egaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi semangat demokrasi. Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk membuat pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam masyarakat.[15] Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, Sunaryati Hartono melihat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini.[16]
Karakter hukum positif dalam wujudnya sebagai peraturan peraturan perundang-undangan, di samping ditentukan oleh suasana atau konfigurasi politik momentum pembuatannya, juga berkaitan erat dengan komitmen moral serta profesional dari para anggota legislatif itu sendiri. Oleh karena semangat hokum (spirit of law) yang dibangun berkaitan erat dengan visi pembentuk undang-undang, maka dalam konteks membangun hukum yang demokratis, tinjauan tentang peran pembentuk undang-undang penting dilakukan. Dikemukakan oleh Gardiner bahwa pemben-tuk undang-undang tidak semata-mata berkekewajiban to adapt the law to this changed society, melainkan juga memiliki kesempatan untuk memberikan sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu sendiri. Pembentuk undang-undang, dengan demikian, tidak lagi semata-mata mengikuti perubahan masyarakat, akan tetapi justru mendahului perubahan masyarakat itu. Dalam kaitan ini Roeslan Saleh menegaskan bahwa masyarakat yang adil dan makmur serta modern yang merupakan tujuan pembangunan bangsa, justru sesungguhnya merupakan kreasi tidak langsung dari pemben-tuk undang-undang.[17]
Kalau kita membicarakan keadilan hukum maka sebenarnya letaknya bukan pada seperangkat aturan hukum. Pembiaraan keadilan hukum lebih tepat ditujukan pada putusan pengadilan. Pengujian keadilan hukum tidak terletak pada substansi aturan hukum namun lebih pada penilaian putusan pengadilan pada tiap-tiap kasus. Oleh karena itu pemaknaan keadilan hukum juga harus berhubungan dengan kasus yang menjadi obyek penerapan aturan hukum tersebut. Upaya untuk menemukan keadilan hukum hanya mungkin jika seseorang diberi seperangkat aturan untuk menerapkannya pada serangkaian fakta. Hakim akhirnya membuat tiga pertanyaan terhadap penyelesaian atas kasus yaitu : pertama aturan hukum apa yang diadopsi, kedua Penilaian /versi dari fakta-fakta untuk menerapkan aturan hukum, ketiga Apakah aturan hukum tersebut sungguh dapat diterapkan. Akhirnya hakim akan memberikan pilihan mereka dengan mempertimbangkan ketiga hal terebut.
Dalam konteks ini keadilan menjadi bagian tedekat dari tiap kasus. Argumen bahwa keadilan merupakan bagian dari hukum – dan bukan menyederhanakan uraian atas hukum adalah akibat yang tidak dimaksud dari kaum positivis. Kaum positivis telah mengatur bahwa aturan hukum tidak perlu berisi moral. Aturan aturan hukum tersebut semata-mata tingkah dari pembuat aturan dan hakim yang dikeluarkan dalam bentuk perintah. Pada kontks ini, aturan hukum adalah fakta. Bukan nilai. Ini bukan berarti bahwa aturan hukum dapat diabaikan. Aturan hukum tersebut harus dan merupakan bagian dari perhitungan kasus karena aturan hukum merupakan bagian topografi dari kasus. Aturan Hukum merupakan bebas nilai, mereka tidak memunculkan yang seharusnya. Keharusan itu harus dijatuhkan oleh hakim terhadap aturan hukum dan fakta dari kasus. Semua penulis setuju bahwa keadilan merupakan tujuan dari hukum. Cuma pertanyaannya adalah, pada abad 19 kaum positivis ragu apakah keadilan menjadi perhatian dari praktisi hukum (lawyer). Namun, Keadilan pada hakekatnya merupakan ketepatan dalam penerapan aturan hukum pada fakta dari sebuah kasus.

D. Upaya Mendekati Unsur Obyektif Keadilan
Memperbincangkan keadilan juga sangat bergantung pada sejauh mana pengalaman kita dalam merasakan keadilan. Antara orang satu dengan orang yang lain tentu berbeda pendapat apabila dimintai pendapat tentang keadilan. Ini hal yang logis karena penilaian keadilan juga menyangkut apek perasaan dari orang yang memberi penalaian atas keadilan itu. Sementara itu, perasaan seseorang aas sesuatu hal tidaklah sama. Penilaian rasa sesesorang atas sebuah persitiwa dipengaruhi oleh sejarah hidup dan pengalaman pribadi dari orang tersebut. Sebuah contoh seorang hakim yang mempunyai latar belakang dari kaum berada, fasilitas tercukupi, tidak pernah bekerja keras dalam memperoleh sesuatu hal tentu akan berbeda dengan perasaan keadilan seorang hakim yang dilahirkan dari orang tidak punya, tidak mempunyai fasilitas yang tercukupi, mendapatkan sesuatu harus dengan kerja keras. Orang lain yang ingin menyelami perasaan keadilan kita maka orang lain lain tersebut harus terlebih dahulu mempelajari ribuan pengalaman dan sejarah hidup yang kita lalui yang telah membentuk kita dalam memahami tentang perasaan keadilan. Tanpa pendalaman tentang pengalaman dan sejarah hidup kita dalam membentuk pengertian tentang keadilan maka orang lain tersebut tentu tidak akan bisa paham mengapa kita menilai sesuatu itu adil.
Tentu saja cara demikian bukanlah hal mudah. Bagimana mungkin orang lain dapat mengetahui pengalaman dan sejarah hidup kita dalam memberikan definisi tentang hakekat keadilan?. Pertanyaan selanjutnya, dalam bentuk media apa kita memberitahukan kepada orang lain tersebut agar tahu sejarah dan pengalaman hidup kita?. Apakah kita pernah mendokumentasikan sejarah dan pengalaman hidup kita ?. Ataukah kita menggunakan cara bercerita kepada orang lain tersebut tentang beribu pengalaman dan sejarah hidup kita yang membentuk pandangan kita tentang keadilan?. Seumpama kita menempuh cara bercerita, bukankah bahasa akan menjadi penghalang dalam kita memahamkan orang lain atas sejarah dan pengalaman kita?. Memang sulit untuk menjawab hal-hal tadi. Sebab, bukan hal mudah memberitahukan kepada orang lain tentang beribu pengalaman dan sejarah hidup kita dalam memandang keadilan. Mungkin karena hal-hal demikian hans kelsen berpendapat bahwa menurut Hans kelsen, tidak ada kriteria yang obyektif tentang keadilan karena peneryataan benar atau tidak benar merupakan judgement atas nilai berdasarkan tujuan akhir dan syarat akan subyektifitas dari kepribadian. Subyektifitas keadilan disebabkan oleh penilaian keadilan berdasarkan unsur emosi dari pikiran kita, perasaan kita dan kebijaksanaan kita.
Terlepas dari kesulitan-kesulitan itu, juga tidak tepat kalau kita tidak menyinggung aspek-aspek pengalaman dan sejarah hidup dari pihak-pihak penilai keadilan. Karena cara ini berusaha untuk mendekati obyektifitas keadilan. Anthony D’amato juga berpendapat bahwa lebih mudah menemukan ketidakadilan dari pada mengatakan apa itu keadilan. Anthony D’ amato menyampaikan bahwa pengalaman hidup hidup, sejarah hidup, pelajaran yang diambil oleh seseorang terhadap segala perisitiwa dan sesuatu hal disekitarnya merupakan hal yang sangat penting dan mempengaruhi tingkat penilaian seseorang terhadap keadilan. Sebegitu pentingnya hal ini, antony mengemukakan bahwa “ kalau kamu bertanya kepadaku tetang makna keadilan, maka hanya ada satu cara , saya akan menyarankan kepada kamu untuk menghidupkan/ menjalankan video recorder pikiran saya, saya tidak dapat menjelaskan keadilan dengan kata-kata karena saya tidak mempelajarinya dengan kata-kata-kata. Dari ungkapan ini, bisa dimpulkan bahwa mempelajari keadilan tidak dapat dengan kata-kata maupun sebuah definisi. Keadilan hanya bisa dipelajari dari pengalaman yang kita peroleh selama kita berproses dalam hidup. Proses hidup kita membentuk perasaan kita dalam memberikan makna keadilan. Dengan proses hidup yang kita jalanin tersebut kita bisa merasakan. Ini berbeda jika kita mempelajari keadilan hanya sebatas pada definisi dan kata saja.
Persoalan kemudian timbul, apakah proses hidup antara orang yang satu dengan yang lain bisa disamakan. Bukankah tiap-tiap orang mempunyai proses hidup sendiri-sendiri dan berbeda-beda ?. Pengalaman, sejarah hidup antara orang yang satu dengan yang lainnya tentu berbeda-beda sehingga memaknai keadilan juga berbeda. Namun memahami keadilan yang didefinisikan oleh orang lain memang menuntut kita untuk tahu terlebih dahulu pengalaman hidup dan sejarah hidup orang yang mendefinisikan keadilan. Hal ini untuk menemukan obyektifitas dari subyektifitas memaknai keadilan. Obyektifitas dalam memaknai keadilan tetap menjadi hal yang penting. Obyektifitas ini untuk mengurangi kontoversi seputar makna keadilan.
Pola kerja untuk mencari keadilan hukum di Indonesia juga dapat menggunakan metode sebagaimana diuraikan di atas. Pencarian keadilan hukum tidak dapat hanya menggunakan pendekatan legal positivistik secara kaku. Sebab pendekatan legal positivistik haya akan membeikan makna keadilan prosedural. Lebih dari itu, pencarian makna keadilan hukum di negeri ini harus juga enyelami perasaan hukum itu sendiri. Sebab keadilan hukum lebih berorientasi pada pemenuhan aspek perasaan obyektif masyrakat memaknai keadilan. Hakim dituntut tidak sebatas pada corong undang-undang namun hakim harus juga menjadi corong keadilan yang hidup di masyarakat. Ini bukan berarti bahwa kita menghadap-hadapkan keadilan prosedural dengan keadilan yang hidup di masyrakat. Sebab keadilan Hukum tidak mungkin akan mengandung unsur double standard yang mengkotradiksikan antara unsur yang terkandung dalam hukum positif dengan unsur yang terkandung dalam masyarakat. Hukum pada hakekatnya juga mengandung unsur moral dan moral merupakan hal yang universal. Universalitas moral akan mendekatkan kita pada kesamaan merasakan keadilan.
Keadilan hukum menjadi perhatian utama bagi mereka yang berkecimpung di dunia hukum. Keadilan hukum pada hakekatnya seperti sebuah kepingan uang logam dimana pada satu sisi ada gambar keadilan, pada sisi lain ada gambar hukum. Penghilangan salah satu gambar saja akan menghilangkan nilai uang itu. Akhirnya uang itu tidak akan bernilai dan tidak dapat digunakan sebagai alat pembayaran. Itulah analogi yang dapat penulis berikan untuk menggambarkan hukum dan keadilan. Mngukur keadilan menjadi hal yang sulit sebab keadilan itu hanya dapat dirasakan. Berbicara keadilan juga berbicara perasaan hukum. Ini berbeda jikalau kita mendeteksi tentang hukum. Kita dapat dengan mudah dan menunjuk “itu hukumya”. Tapi pada saat hukum ditegakkan maka isu krusial adalah adakah keadilan dalam penegakan hukum tersebut?. Untuk menjawab apa keadilan maka bukan hal gampang karena keadilan itu merupakan sesuatu yang filsafati. Keadilan tidak cukup didefinisikan tetapi lebih penting dari pada itu keadilan harus dapat dirasakan. Sebuah pendefinisian tentang keadilan merupakan hal yang tidak penting sebab dengan didefinisikan terebut maka tentu saja bahasa akan membatasi makna dan perasaan dari keadilan itu sendiri.
Musuh utama serta kendala dalam pengembangan sistem hukum otonom adalah tradisi dan politik. Menurut Mattei, yang mengklasifikasikan tiga kelompok sistem hukum nasional:
1. Sistem hukum yang didominasi oleh tradisi yang bersifat religius atau adat istiadat ataupun lainnya;
2. Sistem hukum yang didominasi oleh intervensi (campur tangan) politik;
3, Sistem hukum otonom yang dikuasai dan dijalankan oleh yuris-yuris profesional
Dengan melihat klasifikasi tersebut, sistem hukum di Indonesia dapat dikualifikasikan ke dalam kelompok 1 dan 2. Diperlukan usaha dan dobrakan untuk lepas dari kungkungan politik dan tradisi, agar sistem hukum kita dapat berjalan ke arah kelompok 3.
Kendala yang sangat berat saat para yuris-yuris ataupun calon yuris untuk melepaskan diri dari mata rantai politik dan tradisi. Sering kali, dijumpai bahwa para yuris justru terlanjur ataupun telah masuk ke dalam lingkaran tradisi ataupun politik. Inilah yang penulis maksudkan bahwa rancang bangun Hukum Tata Negara terimbas politik, mengapa terjadi hal yang demikian ?
Pertama, suatu tradisi yang ada di Negara Indonesia selalu memberikan suatu reaksi terhadap pembaharuan yang hendak dicapai oleh suatu sistem hukum. atau dengan kata lain selalu menghantui akan terciptanya suatu terobosan-terobosan baru dalam suatu sistem hukum. Seharusnya suatu sistem hukum yang di dalamnya harus tercipta suatu kepastian sering kali terkendala dengan keberadaan suatu tradisi dalam suatu bangsa. Contoh yang sangat sederhana adalah begitu sulitnya Sistem Hukum Nasional untuk melakukan unifikasi hukum terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pewarisan, sehingga berdampak pada ketidakpastian dalam Hukum Waris Nasional yang sampai sekarang masih bersifat pluralistik. kendala yang berakar dari tradisi ini dapat ditemukan pada agama/kepercayaan maupun kebiasaan.
Kedua, Dalam perhelatan politik di Indonesia sering kali dijumpai hal-hal yang sangat mempengaruhi dan/atau menodai sistem hukum nasional. bila kita melihat bahwa politik dan hukum merupakan dua hal yang salaing bertautan, sehingga diperlukan suatu perpolitikan yang sehat agar produk-produk hukum, yang merupakan bagian dari sistem hukum itu sendiri, nantinya juga akan baik. Pembuat undang-undang, yang dalam hal ini orang-orang yang dilahirkan dari ranah politik sering kali hanya menjadi suatu mesin stempel persetujuan parlementer pada setiap rancangan undang-undang yang telah dibuat oleh pansus RUU tersebut. sehingga, hal ini sangat mempengaruhi produk undang-undang yang dihasilkan. maka tidak heran apabila kita selalu menghasilkan menjumpai keadaan-keadaan yang pro dan kontra dari setiap undang-undang yang dihasilkan, kita lihat baru-baru ini sebagian undang-undang yang dihasilkan selalu terlekat kata “Kontroversial”, sebagai contoh UU ITE, UU Pornografi, UU BHP, dan lain-lain.

E. Bagaimana dengan Penegakan Hukum Tata Negara Indonesia ?
Penegakan Hukum Tata Negara Indonesia sebenarnya berbanding lurus dengan beberapa hal yang terjadi dalam peristiwa hukum tata negara, yaitu :
a. Perubahan UUD 1945
Pembahasan tentang latar belakang perubahan UUD 1945 dan argumentasi perubahannya telah banyak dibahas diberbagai literatur, seperti buku Prof. Dr. Mahfud MD., Prof. Dr. Harun Alrasid, dan Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani. Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan. Bahkan hasil perubahan tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah konstitusi baru sama sekali dengan nama resmi “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Perubahan UUD 1945 yang dilakukan dalam empat kali perubahan tersebut telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam Hukum Tata Negara Indonesia. Perubahan tersebut diantaranya meliputi (i) Perubahan norma-norma dasar dalam kehidupan bernegara, seperti penegasan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar; (ii) Perubahan kelembagaan negara dengan adanya lembaga-lembaga baru dan hilangnya beberapa lembaga yang pernah ada; (iii) Perubahan hubungan antar lembaga negara; dan (iv) Masalah Hak Asasi Manusia. Perubahan-perubahan hasil constitutional reform tersebut belum sepenuhnya dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan maupun praktek ketatanegaraan sehingga berbagai kerangka teoritis masih sangat diperlukan untuk mengembangkan dasar-dasar konstitusional tersebut.

b. Keberadaan Mahkamah Konstitusi
Pembentukan MK merupakan penegasan prinsip negara hukum dan jaminan terhadap hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945. Pembentukan MK juga merupakan perwujudan dari konsep checks and balances dalam sistem ketatanegaraan. Selain itu, pembentukan MK dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa masalah ketatanegaraan yang sebelumnya tidak diatur sehingga menimbulkan ketidakpastian.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kewenangan MK diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang meliputi memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Pasal 24C ayat (3) menyatakan bahwa MK wajib memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan atau Wakil Presiden. Selanjutnya keberadaan MK diatur berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan kewenangan yang dimiliki tersebut, maka MK berfungsi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) agar dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang maupun dalam pelaksanaannya yang terkait dengan kewenangan dan kewajiban MK. Sebagai penjaga konstitusi, MK sekaligus berperan sebagai penafsir konstitusi (the interpreter of the constitution). Fungsi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut dilaksanakan melalui putusan-putusan MK sesuai dengan empat kewenangan dan satu kewajiban yang dimiliki. Dalam putusan-putusan MK selalu mengandung pertimbangan hukum dan argumentasi hukum bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan dan harus dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang, maupun dalam bentuk lain sesuai dengan kewenangan dan kewajiban yang dimiliki oleh MK.
Keberadaan MK sebagai penafsir dan penjaga konstitusi yang dilaksanakan melalui keempat kewenangan dan satu kewajibannya tersebut menempatkan UUD 1945 di satu sisi sebagai hukum tertinggi yang harus dilaksanakan secara konsisten, dan di sisi lain menjadikannya sebagai domain publik dan operasional. Persidangan di Mahkamah Konstitusi yang bersifat terbuka dan menghadirkan berbagai pihak untuk didengar keterangannya dengan sendirinya mendorong masyarakat untuk terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui perkembangan pemikiran bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan. Bahkan pihak-pihak dalam persidangan juga dapat memberikan pemikirannya tentang penafsiran tersebut meskipun pada akhirnya tergantung pada penilaian dan pendapat para Hakim Konstitusi yang akan dituangkan dalam putusan-putusannya.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dengan fungsinya sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut telah menggairahkan perkembangan teori Hukum Tata Negara. Jika pada masa lalu masalah Hukum Tata Negara hanya berpusat pada aktivitas politik di lembaga perwakilan dan kepresidenan, serta pokok bahasannya hanya masalah lembaga negara, hubungan antar lembaga negara dan hak asasi manusia, maka saat ini isu-isu konstitusi mulai merambah pada berbagai aspek kehidupan yang lebih luas dan melibatkan banyak pihak, bahkan tidak saja ahli hukum.

F. Pergeseran Analisis terhadap Teori Hukum Tata Negara
Mengingat UUD 1945 tidak hanya merupakan konstitusi politik, tetapi juga konstitusi ekonomi dan sosial budaya, maka perdebatan teoritis konstitusional juga banyak terjadi di bidang ekonomi dan sosial budaya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari beberapa putusan MK terkait dengan bidang ekonomi seperti dalam pengujian UU Ketenagalistrikan, UU SDA, dan UU Kepailitan. Di bidang sosial budaya misalnya dapat dilihat dari putusan-putusan pengujian UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan pengujian UU Sisdiknas.
Perkembangan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut telah mendorong berkembangnya studi-studi teori Hukum Tata Negara. Beberapa teori yang saat ini mulai berkembang dan dibutuhkan misalnya adalah teori-teori norma hukum, teori-teori penafsiran, teori-teori kelembagaan negara, teori-teori demokrasi, teori-teori politik ekonomi, dan teori-teori hak asasi manusia.
Teori-teori norma hukum diperlukan misalnya untuk membedakan antara norma yang bersifat abstrak umum dengan norma yang bersifat konkret individual yang menentukan bagaimana mekanisme pengujiannya. Pembahasan teori-teori norma hukum juga diperlukan untuk menyusun hierarki peraturan perundang-undangan sehingga pembangunan sistem hukum nasional dapat dilakukan sesuai dengan kerangka konstitusional.
Teori-teori selanjutnya yang mulai mendapat perhatian dan tumbuh berkembang adalah teori penafsiran. Dalam hukum sesungguhnya penafsiran menempati kedudukan yang sentral karena aktivitas hukum “berkutat” dengan norma-norma dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang akan diterapkan (imputation) ke dalam suatu peristiwa nyata. Penafsiran menjadi semakin penting pada saat suatu norma konstitusi harus dipahami untuk menentukan norma yang lain bertentangan atau tidak dengan norma yang pertama. Kedua norma tersebut harus benar-benar dipahami mulai dari latar belakang, maksud, hingga penafsiran ke depan pada saat akan dilaksanakan. Untuk itu saat ini telah banyak berkembang studi hukum dengan menggunakan alat bantu ilmu penafsiran bahasa (hermeunetik). Demikian pula teori-teori lain yang juga berkembang cukup pesat.

G. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum
Salah satu teori yang penting di bidang Hukum Tata Negara adalah teori hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Banyak yang berpendapat bahwa secara teoritis keberadaan Mahkamah Konstitusi diperkenalkan oleh Hans Kelsen. Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi hanya dapat dijamin secara efektif jika terdapat suatu organ selain badan legislatif yang diberikan tugas untuk menguji konstitusionalitas suatu produk hukum. Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut mahkamah konstitusi (constitutional court). Organ ini khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diberlakukan oleh organ lain.
Pemikiran Kelsen tersebut mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama “Verfassungsgerichtshoft” atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini sering disebut sebagai “The Kelsenian Model”. Hal dirumuskan ketika Kelsen menjadi anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada 1919 – 1920 dan diterima menjadi Konstitusi Tahun 1920. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament). Mahkamah konstitusi ini melakukan pengujian baik terhadap norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review) dan juga memungkinkan pengujian terhadap norma kongkrit (concrete review). Pengujian biasanya dilakukan secara “a posteriori”, meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan pengujian “a priori”.
Pemikiran Hans Kelsen meliputi tiga masalah utama, yaitu tentang teori hukum, negara, dan hukum internasional. Ketiga masalah tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan karena saling terkait dan dikembangkan secara konsisten berdasarkan logika hukum secara formal. Logika formal ini telah lama dikembangkan dan menjadi karakteristik utama filsafat Neo-Kantian yang kemudian berkembang menjadi aliran strukturalisme. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.
Friedmann mengungkapkan dasar-dasar esensial dari pemikiran Kelsen sebagai berikut:
1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.
3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.
4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.
5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.
Pendekatan tersebut yang kemudian disebut dengan “The Pure Theory of Law” telah mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan lain, yaitu antara mahzab hukum alam dengan positivisme empiris. Beberapa ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai “jalan tengah” dari dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya.
Empirisme hukum melihat hukum dapat direduksi sebagai fakta sosial. Sedangkan Kelsen berpendapat bahwa interpretasi hukum berhubungan dengan norma yang non-empiris. Norma tersebut memiliki struktur yang membatasi interpretasi hukum. Di sisi lain, berbeda dengan mahzab hukum alam, Kelsen berpendapat bahwa hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral. Tesis yang dikembangkan oleh kaum empiris disebut dengan the reductive thesis, dan antitesisnya yang dikembangkan oleh mahzab hukum alam disebut dengan normativity thesis. Stanley L. Paulson membuat skema berikut ini untuk menggambarkan posisi Kelsen diantara kedua tesis tersebut terkait dengan hubungan hukum dengan fakta dan moral:
Law and Fact
Law and Moraity
normativity thesis
(separability of law
and fact)
reductive thesis
(inseparability of law and fact)
Morality thesis
(inseparability of law and morality)
Natural law theory
-
Separability thesis
(separability of law and morality)
Kelsen’s Pure Theory of Law
Empirico-positivist theory of law
Kolom vertikal menunjukkan hubungan antara hukum dengan moralitas sedangkan baris horisontal menunjukkan hubungan antara hukum dan fakta. Tesis utama hukum alam adalah morality thesis dan normativity thesis, sedangkan empirico positivist adalah separability thesis dan reductive thesis. Teori Kelsen adalah pada tesis separability thesis dan normativity thesis, yang berarti pemisahan antara hukum dan moralitas dan juga pemisahan antara hukum dan fakta. Sedangkan kolom yang kosong tidak terisi karena jika diisi akan menghasilkan sesuatu yang kontradiktif, sebab tidak mungkin memegang reductive thesis bersama-sama dengan morality thesis.
Teori yang dikembangkan oleh Kelsen sesungguhnya dihasilkan dari analisis perbandingan sistem hukum positif yang berbeda-beda, membentuk konsep dasar yang dapat menggambarkan suatu komunitas hukum secara utuh. Masalah utama (subject matter) dalam teori umum adalah norma hukum (legal norm), elemen-elemennya, hubungannya, tata hukum sebagai suatu kesatuan, strukturnya, hubungan antara tata hukum tata hukum yang berbeda, dan akhirnya, kesatuan hukum di dalam tata hukum positif yang plural. The pure theory of law menekankan pada pembedaan yang jelas antara hukum empiris dan keadilan transendental dengan mengeluarkannya dari lingkup kajian hukum. Hukum bukan merupakan manifestasi dari otoritas super-human, tetapi merupakan suatu teknik sosial yang spesifik berdasarkan pengalaman manusia.
The pure theory of law menolak menjadi kajian metafisis tentang hukum. Teori ini mencari dasar-dasar hukum sebagai landasan validitas, tidak pada prinsip-prinsip meta-juridis, tetapi melalui suatu hipotesis juridis, yaitu suatu norma dasar, yang dibangun dengan analisis logis berdasarkan cara berpikir yuristik aktual. The pure theory of law berbeda dengan analytical jurisprudence dalam hal the pure theory of law lebih konsisten menggunakan metodenya terkait dengan masalah konsep-konsep dasar, norma hukum, hak hukum, kewajiban hukum, dan hubungan antara negara dan hukum.
Dengan melihat kondisi-kondisi yang demikian maka saatnyalah para calon-calon yuris dan/atau yuris mulai melakukan dobrakan yang tentunya tetap berada pada koridor hukum yang berlaku. Keberadaan suatu lembaga yang bernama Mahkamah Konstitusi telah memberikan ruang bagi kita untuk melakukan pengawasan hukum terhadap produk-produk hukum yang telah dihasilkan dari suatu ranah politik. Perlu diingat bahwa stigma yang ada sekarang, yaitu kebobrokan hukum Indonesia merupakan cambukan bagi kita semua, seiring berjalannya waktu stigma itu dapat kita rubah sepanjang kita orang-orang hukum dapat menggerakkan suatu sistem hukum nasional ke arah kelompok 3, hal ini sangat mungkin terjadi sepanjang para calon-calon yuris dan/atau yuris selalu berpegang pada suatu makna yang terkandung dalam hukum itu sendiri. (Penulis Expert Psikologi Hukum Dan Hukum Tata Negara UNTAN).

Daftar Kepustakaan

Esmi Warassih, SH.MS Pranata Hukum sebuah telaah Sosiologis, PT Suryadaru Utama, Semarang, 2005

C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991

Komarudin Hidayat, Makalah “Memantapkan Kehidupan Demokrasi Dalam Masyarakat Pluralisme, 2009 Dalam Soetandyo Wignjosoebroto, FORUM KEADILAN: N0. 09, 25 Juni 2006

Roscoe Pound, Filsafat Hukum, Jakarta: Bharata, 1978.

Roger Cotterrell, The Sociology of Law An Introduction, London: Butterworths. 1984
Roeslan Saleh, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-undangan, Jakarta: Bina Aksara, 1979 .

Max Weber dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial (Buku I), Jakarta: Sinar Harapan, 1998.

Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Bandung: Alumni, 1992

Lili Rasjidi, 1991, Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991

Lawrence M. Friedman, , American Law: An invalueable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily lives, New York: W.W. Norton & Company, 1984

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Hukum Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun, Jakarta: BPHN-Binacipta. 1978

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, 1983.

Theo Huijbers, 1991, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1991


[1] Prof Dr Soetandyo Wignjosoebroto, FORUM KEADILAN: N0. 09, 25 Juni 2006
[2] Prof Dr Komarudin Hidayat, Makalah “Memantapkan Kehidupan Demokrasi Dalam Masyarakat Pluralisme, 2009
[3] Prof Dr Esmi Warassih, SH.MS Pranata Hukum sebuah telaah Sosiologis, PT Suryadaru Utama, Semarang, 2005
[4] Roscoe Pound, 1978, Filsafat Hukum, Jakarta: Bhratara, hal, 7; Lili Rasjidi, 1992, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Bandung: Alumni, hal. 43.
[5] Mochtar Kusumaatmadja, 1978, Fungsi Hukum Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun, Jakarta: BPHN-Binacipta, hal. 11
[6] Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, hal. 24
[7] Ibid, hal. 25.
[8] Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, hal. 15; Soerjono Soekanto, 1983,Faktor-Faktor yang Mem-pengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, hal.: 4,5.
[9] Satjipto Rahardjo,1983, Masalah Penegakan Hukum,Bandung: Sinar Baru, hal. 23,24
[10] Satjipto Rahardjo,1983, Masalah Penegakan Hukum,Bandung: Sinar Baru, hal. 23,24
[11] Theo Huijbers, 1991, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, hal. 122; Lili Rasjidi, 1991, Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu?, Bandung: Remaja Rosdakarya, hal. 51
[12] Lawrence M. Friedman, 1984, American Law: An invalueable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily lives, New York: W.W. Norton & Company, hal 16.
[13] Roger Cotterrell, 1984, The Sociology of Law An Introduction, London: Butterworths, hal. 25
[14] Roscoe Pound, 1989, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta: Bhratara, hal. 51. Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Fungsi dan Perkem-bangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta, hal. 11.
[15] Max Weber dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, 1988, Hukum dan Perkembangan Sosial (Buku I), Jakarta: Sinar Harapan, hal. 483.
[16]C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, hal. 53.
[17] Roeslan Saleh, 1979, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-undangan, Jakarta: Bina Aksara, hal. 12.

0 komentar:

Posting Komentar