Rabu, 25 Mei 2011

PENERAPAN PERATURAN KEBIJAKAN DALAM HUKUM TATA PEMERINTAHAN

PENERAPAN PERATURAN KEBIJAKAN DALAM HUKUM TATA PEMERINTAHAN

Oleh: Turiman Fachturahman Nur

A. Penerapan Peraturan dan Faktor Penegakan Hukum

Berbicara penerapan peraturan kebijakan dalam tataran hukum pemerintahan sebenarnya tidak terlepas berbicara tentang proses penegakan hukum, dan ketika berbicara tentang proses penegakan banyak pandangan secara akademis maupun pragmatis, sebagaimana pandangan berikut ini proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto,[1] dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundangundangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyara-kat, yakni lingkungan social di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Sementara itu Satjipto Rahardjo [2] membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-undang cq. lembaga legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial. Pada sisi lain, Jerome Frank,[3] juga berbicara tentang berbagai faktor yang turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini selain faktor kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi, moral serta simpati dan antipati pribadi.

Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hokum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma aktual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem.

Sinzheimer mengatakan bahwa hukum tidak bergerak dalam ruang yang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak. Melainkan, ia selalu berada dalam suatu tatanan sosial tertentu dan manusia-manusia yang hidup. Jadi bukan hanya bagaimana mengatur sesuai dengan prosedur hukum, melainkan juga bagaimana mengatur sehingga dalam masyarakat timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh hukum. Dengan demikian masalah efiesiensi suatu peraturan hukum menjadi sangat penting. Oleh karena menyangkut pula kaitan-kaitan lain dalam berpikirnya, yaitu meninjau hubungan hukum dengan faktor-faktor serta kekuatan-kekuatan sosial diluarnya. Hal ini jelas dikatakan pula oleh Robert B. Seidman, bahwa setiap undang-undang, sekali dikelurkan akan berubah, baik melalui perubahan normal maupun melalui cara-cara yang ditempuh birokrasi ketika bertindak dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan sebagainya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa perkembangan masyarakat yang susunannya sudah semakin kompleks serta berkembang, mengkehendaki peraturan hukum juga harus mengikuti perkembangan yang demikian itu. Hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini kita jumpai dalam peraturan hukum. Hukum menelurusi hampir semua bidang kehidupan manusia. Hukum semakin memegang peranan yang sangat penting sebagai kerangka kehidupan sosial masyarakat modern. Namun, harus disadari sungguh-sungguh bahwa masalah peraturan oleh hukum itu bukan saja dilihat dari segi legimitasinya, dan bukan juga semata-mata dilihat sebagai ekspresi dari nilai-nilai keadilan. Itulah sebabnya muncul suatu cara berpikir lain (aliran pemikiran non-analistis) yang tidak lagi melihat hukum sebagai lembaga yang otonom di dalam masyarakat, melainkan sebagai suatu lembaga yang bekerja untuk dan di dalam masyarakat.[4]

Menyadari akan pergeseran peran hukum (hukum negara-pemerintah) yang demikian itu, maka Prof.Dr Esmi Warassih, SH, MS menyarankan agar "paradigma kekuasaan" yang dipakai dalam penegakkan hukum di Indonesia ini perlu diubah atau diganti dengan penegakkan yang berbasis "paradigma moral". Paradigma moral yang diidealkan itu memiliki seperangkat nilai yang egalitarian, demokratis, pluralitis, dan profesional untuk membangun "masyarakat madani" (civil society). Perubahan paradigma ini penting dilakukan untuk memulihkan dan mengembalikan otentisitas hukum "sebagai sarana untuk memberikan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang". Dalam nada yang sama, Prof.Dr.Satjipto Rahardjo, SH salah seorang "begawan sosiologi hukum" dari Universitas Diponegoro akhir-akhir ini mulai menaruh keprihatinan yang sama tentang orientasi hukum menuju kebahagiaan. Satjipto Rahardjo menegaskan, bahwa hukum hendaknya bisa memberi kebahagiaan, bukan sebaliknya membuat ketidaknyamanan atau ketidak tentraman hidup.

Lon L. Fuller melihat hukum itu sebagai usaha untuk mencapai tujuan tertentu. Pembangunan yang menempati kedudukan yang utama di Indonesia memang menghendaki agar hukum dapat dijadikan sandaran dan kerangka acuan. Itu berarti, hukum harus bisa mendukung usaha-usaha yang sedang dilakukan untuk membangun masyarakat, baik secara phisik maupun spiritual. Hukum menjadi sarana bagi mereka yang mempunyai kekuasaan dalam pemerintahan untuk menetapkan dan menyalurkan berbagai kebijaksanaan pembangunan.

Persoalannya adalah bagaimana hukum itu dibuat agar dapat mewujudkan tujuan yang telah diputuskan itu? Persoalan semacam inilah yang mengisyaratkan agar para pembuat hukum perlu bersungguh-sungguh untuk mengikuti persyaratan-persyaratan tertentu dalam penerapan peraturan sebagaimana dikemukakan oleh Lon Fuller yang menyatakan "delapan prinsip legalitas" yang harus diikuti dalam membuat hukum, yaitu :

  1. Harus ada peraturannya terlebih dahulu
  2. Peraturan itu harus diumumkan secara layak
  3. Peraturan itu tidak boleh berlaku surut
  4. perumusan perundang-undangan itu harus jelas dan terperinci, ia harus dapat dimengerti oleh rakyat
  5. Hukum itu tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin
  6. Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain
  7. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah.
  8. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat.

B. Prinsip-Prinsip Penerapan Peraturan Dalam Hukum Tata Pemerintahan.

Berdasarkan paparan diatas, maka untuk menjelaskan tentang penerapan hukum (peraturan kebijakan) dalam tataran hukum pemerintahan ada berapa prinsip yang patut diperhatikan, yaitu :

Pertama, dilihat dari tujuan hukum itu sendiri, yaitu ada tiga tujuan (1) kepastian hukum, (2) keadilan dan (3) kemanfaatan. Pada tataran praktek ketiga tujuan ini sering benturan, jika penerapan hukum dibidang pemerintahan hanya menerapakan teks norma yang ada pada peraturan perundang-udangan, maka tujuan hukum yang akan dicapai hanya sebatas kepastian hukum, seharusnya tidak hanya sekedar mencapai kepastian hukum tetapi juga mewujudkan keadilan, hanya dalam tataran praktek apabila antara kepastian hukum dan keadilan terjadi benturan, maka yang harus dikedepankan adalah tujuan kemanfaatan, karena ketiga tujuan tersebut dalam praktek dapat saling berbenturan.

Kedua, dalam penerapan hukum dalam tataran pemerintahan saat ini ada dua prinsip yaitu prinsip –prinsip Good Governance dengan tanpa mengenyampingkan prinsip-prinsip Clean Goverment. Pada prinsip Good Governance kata kuncinya adalah tranparansi dan akuntabilitas publik yang mengacu pada pelayanan publik saat ini dibidang pemerintahan sudah ada peraturan perundang-undangan (UU No 14 Tahun 2008) yang menyatakan bahwa : Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda­-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik. Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang­Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Kedepan informasi seperti ini tidak lagi dapat ditutup-tutupi tetapi harus ada keterbukaan oleh lembaga pemerintahan dan merupakan bagian dari penerapan hukum.

Ketiga, perlunya pemahaman terhadap hirarki jenis peraturan perundang-undangan, UU No 10 Tahun 2004 khususnya pasal 7 yang mengatur hirarki jenis pertaruan perundang-undangan adalah:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
  3. Peraturan Pemerintah.
  4. Peraturan Presiden.
  5. Peraturan Daerah. (Pasal 7 Ayat (1) UU No 10 Tahun 2004)

Kemudian Pasal 7 ayat (4) menyatakan Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui KEBERADAAN dan MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT SEPANJANG DIPERINTAHKAN PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN YANG LEBIH TINGGI. Sedangka yang dimaksud dengan hirarki jenis peraturan perundang-undangan adalah Hirarki adalah perjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. (Penjelasan Pasal 7 Ayat 5 UU No 10 Tahun 2004)

Jadi jika membaca Pasal 7 ayat (4) diatas pemahaman umum yang berkembang saat ini bahwa diluar dari lima jenis tersebut sepertinya bukan dikatagorikan sebagai peraturan perundang-undangan tetapi jika membaca secara cermat ketentuan pasal 7 ayat (4), jika ditafsirkan secara gramatikal berdasarkan interprstasi dan logika hukum, serta memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan tidak bersifat LIMITATIF, tetapi jika membaca penjesalan Pasal 7 ayat (4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain (dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) ) antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, MENTERI, Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh UNDANG-UNDANG atau Pemerintah atas perintah UNDANG-UNDANG, Dewan, Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau setingkat.

Berdasarkan penjelasan pasal 7 ayat (4) UU No 10 Tahun 2004 maka secara jelas peraturan Menteri misalnya adalah termasuk jenis peratuaran perundang-undangan walaupun tidak ada pada hirarki peraturan perundang-undangan (Pasal 7 ayat (1) UU No 10 Tahun 2004)

Keempat, penerapan hukum dalam pemerintahan disamping tunduk hal-hal yang disebutkan diatas, maka perlu dipahami apa yang dimaksud dengan peraturan kebijakan yang berdimensi tata usaha negara, Untuk memberikan terang terhadap hal tersebut diatas, maka menggunakan metode KONSTRUKSI HUKUM dan salah satu asas utama dalam HTUN adalah asas legalitas atau asas wetmatigheid van het bestuur, yaitu merupakan salah satu asas yang selalu dijunjung tinggi oleh setiap negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum dan dalam UU PTUN Pasal 1 angka 2 UU No 5 Tahun 1986 juga menentukan asas tersebut, bahwa setiap wewenang pemerintahan yang harus diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan kepada siapapun yang melaksanakan urusan pemerintahan dalam negara hukum, oleh karena itu perbuatan Badan atau Jabatan TUN dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan mengeluarkan Penetapan tertulis, juga harus tunduk kepada peraturan perundang-undangan dan diawasi oleh hukum. Jika kita membaca konstruksi hukum Pasal 1 angka 2 UU No 5 Tahun 1986 menyatakan: “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan”.Pertanyaan apa yang dimaksud Peraturan Perundang-Undangan? Konstruksi Hukum Pasal 1 angka 2 UU No 5 Tahun 1986 yaitu :

Pertama BADAN atau Pejabat TUN

Kedua, Melaksanakan Urusan Pemerintahan

Ketiga, Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan

Adapun penjelasannya sebagai berikut:

Ad Badan atau Pejabat TUN

Badan atau TUN menurut Indroharto,SH dalam bukunya Peradilan Tata Usaha Negara, halaman 64 menyatakan :

Menurut rumusan pasal 1 angka 2 dapat disimpulkan secara singkat, bahwa yang dimaksud dengan Badan dan Pejabat TUN adalah keseluruhan aparat pemerintahan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat melaksanakan urusan pemerintahan

Jadi UU No 5 Tahun 1986 kemudian membakukan dengan sebutan atau nomenklatur ,yaitu Badan atau Pejabat TUN, jadi apa saja dan siapa saja yang berdasarkan peraturan perundang-unsangan yang berlaku pada saat melaksanakan suatu urusan pemerintahan, maka menurut UU PTUN dapat dianggap berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat TUN atau dengan kata lain yang menjadi patokan bukanlah kedudukan struktural “orang atau pejabat” yang bersangkutan dalam jajaran pemerintah, bukan pula nama resminya, melainkan fungsi pemerintahan yang dilaksanakan pada suatu saat, Apabila fungsi yang melaksanakan itu berdasarkan peraturan perundang-undangan merupakan suatu tugas urusan pemerintahan (public services), maka menurut para ahli Hukum Tata Usaha Negara, maka yang berbut demikian itu menurut UU PTUN dapat dianggap sebagai Badan atau Pejabat TUN.

Jadi selama Badan atau Jabatan TUN itu dibentuk menurut hukum publik (Hukum Tata Negara) Ia terdiri dari berbagai hukum public, kemudian kita jumpai seperti nama-nama Badan, aparat, intansi, jawatan, jabatan daerah, jika Pejabat TUN, mulai dari Presidem, Menteri,Dirjen, Kepala Badan Non Departemen, Kepala Dinas, Kepala Kantor, dst.

Jadi secara konstruksi hukum untuk memahami secara asas wetmatigheid van bestur, terhadap apa yang dimaksud Badan atau Pejabat TUN, yaitu :

Pertama sebagai organ-organ dari suatu lembaga hukum publik yang menjadi induknya.

Kedua, sebagai jabatan-jabatan TUN yang memiliki wewenang-wewenang pemerintahan.

Ad Melaksanakan Urusan Pemerintahan

Apakah yang dimaksud urusan pemerintahan, penjelasan Pasal 1 angka 1 UU No 5 Tahun 1986 menyatakan “ Yang dimaksud dengan urusan Pemerintahan ialah kegiatan yang bersifat eksekutif”

Berdasarkan konstruksi hukum tersebut, bahwa apa saja atau siapa saja yang dapat disebut Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan nama apapun dalam garis besarnya menurut Indoharto, dalam Usaha Memahami Peradilan Tata Usaha Negara, halaman 39 Tahun 2007 adalah:[5]

1. Instansi-instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai kepala eksekutif;

2. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan kekuasaan eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan suatu urusan pemerintahan;

3. Badan-badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan;

4. Instansi-instansi yang merupakan kerjasama antara pihak pemerintah dengan pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan; serta

5. Lembaga-lembaga hukum swasta yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan sistem perizinan melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.

Ad. Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan

Penjelasan Pasal 1 angka 2 , yang dimaksud dengan “peraturan Perundang-Undangan ini ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat, bersama Pemerintah baik ditingkat pusat maupun Daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik ditingkat pusat dan daerah, yang bersifat mengikat secara umum.

Bahkan jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 disebutkan “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”. Lembaga/pejabat negara yang berwenang dalam hal ini adalah lembaga/pejabat negara baik di Pusat dan Daerah.

Pertanyaannya apakah Pengumuman Lelang termasuk Penetapan Tata Usaha Negara ? Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindankan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang besifat kongkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3)

Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No 5 Tahun 1986: "Istilah "penetapan tertulis" terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang diisyaratkan tertulis bukanlah bentuk formatnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut Undang-undang ini apabila sudah jelas : a.Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya; b. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; c. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.

Dalam Penjelasan UU No 5 Tahun 1986 dinyataan Badan atau pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat di pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.

Jadi ketika Badan TUN atau Pejabat TUN melakukan tindakan atau kegiatan yang bukan bersifat eksekutif , maka penetapan tertulis tersebut menjadi ranah TUN, karena dianggap Badan TUN atau Pejabat mengeluarkan atas asas wetmatigheid van bestuur artinya tindakan mengeluarkan penetapan tertulis misalnya Pengumuman Tertulis yang atas dasar Nomenklatur Kelembagaannya, maka termasuk Putusan Tata Usaha Negara, hal sesuai dengan penjelasan Pasal 1 angka 3 yang menyatakan : ".... Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut Undang-undang ini apabila sudah jelas :

a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya.

b. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu;

c. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.

Berdasarkan parameter penjelasana Pasal 1 angka 3 konstruksi Hukum adalah ada tiga: Pertama, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya.Kedua, Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; Ketiga, Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya. (Penulis adalah expert Psikologi Hukum Dan Tata Pemerintahan Daerah UNTAN saat sedang menyelesaikan S 3 di UNDIP, email : qitriaincenter@yahoo.co.id . HP 08125695414)



[1] Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, hal. 15; Soerjono Soekanto, 1983,Faktor-Faktor yang Mem-pengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, hal.: 4,5.

[2] Satjipto Rahardjo,1983, Masalah Penegakan Hukum,Bandung: Sinar Baru, hal. 23,24

[3] Satjipto Rahardjo,1983, Masalah Penegakan Hukum,Bandung: Sinar Baru, hal. 23,24

[4] Untuk memahami paradigma ini, lihat Prof Dr Esmi Warassih,SH,MS dalam Buku Pranata Hukum sebuah telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama, Maret 2005. Atau Prof .Dr Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat, Perkembangan dan Masalah, Bayu Media, April, 2008.

[5] Indoharto, ha Memahami Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta, Gramedia,2007 halaman 39.

1 komentar:

Rini Musdalifah mengatakan...

NAMA : RENDY PARTONO
NIM : F1221151014
PRODI :PPKN
MATA KULIAH : HUKUM TATA PEMERINTAHAN
SEMESTER : 4

Penerapan Kepemerintahan yang Baik (good governance) dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia secara umum dapat berpedoman pada Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1999, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioanal, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah dirubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. .
Penerapan Kepemerintahan yang baik (good governance) dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia secara umum belum sepenuhnya memenuhi harapan, masalah ini disebabkan :

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioanal, tidak mengatur secara jelas dan pasti tentang bagaimana mekanisme akuntabilitas, transparansi dan partisipasi dalam penyelenggaraan Pendidikan Indonesia.
Belum optimalnya tugas dan fungsi Lembaga khusus menangani pengembangan, kebijakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan pendidikan, terutama pada Kementerian Agama.
Kualitas dan kuantitas Sumber Daya Pendidik belum memenuhi kapasitas yang memadai untuk dapat terselenggaranya Kepemerintahan yang Baik (good governance) dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia terutama pada Kementerian Agama.
Sarana dan prasarana dan tenaga pendidik yang dimiliki dalam penyelenggara pendidikan masih belum optimal, baru sebatas pada Sekolah Negeri, itupun pada Lembaga Pendidikan pada Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Agama masih jauh untuk menstarakan terutama pada sekolah yang dikelola oleh Lembaga Penyelenggara Pendidikan Swasta.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengambil kebijakan strategis untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam penerapan Kepemerintahan yang Baik (good governance) dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia sebagai berikut :

Dalam rangka mendukung terlaksananya penerapan Kepemerintahan yang Baik (good governance) dalam pengelolaan pendidikan di Kementerian Agama, pada Tahun 2014 Jumlah Anggaran yang tertuang dalam Rencana Kerja Anggran Satuan Kerja Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon Unit Organisasi Ditjen Pendidikan Islam, Program Pendidikan Islam sebesar Rp.54.184.634.000,-.
Pemerintah melakukan kegiatan monitoring dan Evaluasi pada terhadap semua Penyelenggaran Pendidikan dari sejak Pendirian Lembaga penyelenggaraan Pendidikan, Proses implementasi delapan Standar yaitu Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pendidik dan Tenaga Kepndidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan, Standar Penilaian Pendidikan.
Pada Tahun Anggaran 2007 Pemerintah telah menerapkan anggaran berbasis kinerja, Penerapan Indikator Kinerja diharapkan dapat mendongkrak Akuntabilitas penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia.
Pemerintah mendirikan dan mengoptimalkan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan disetiap Propinsi bagi Dinas Pendidikan di Propinsi, Madrasah Developen Center, Balai Diklat Teknis Keagamaan, Pusdiklat Keagaman untuk Kementerian Agama, hal tersebut belum tersebar pada Propinsi-propinsi di Indonesia hanya pada wilayah-wilayah tertentu.

Dalam penerapan Tata Kepemerintahan yang baik pada penyelenggaran Pendidikan di Kementerian/ Lemabag Pemerintah Daerah, harus menetapkan dan melaksanakan beberapa kebijakan strategis yaitu Penerapan program pencegahan Korupsi, dengan melakukan upaya mewujudkan Pelaksanaan Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) yang tertuang dalam Menteri PAN dan RB mengeluarkan Permenpan dan RB Nomor 60 Tahun 2012 dan Instruksi Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2012.

Posting Komentar