Kamis, 19 Mei 2011

SOSIALISASI UNDANG-UNDANG KETERBUKAAN

BAGAIMANA MENYIKAPI PEMBERLAKUAN UU NO 14 TAHUN 2008 DALAM ERA PENERAPAN PRINSIP GOOD GOVERNANCE ?

Oleh: Turiman Fachturahman Nur

Mengapa Perlunya UU Keterbukaan Informasi Publik ?

1. Sebagai Negara Hukum tentunya Indonesia memiliki Paradigma yang membumi sebagai kerangka teori dasar yang membumi (Grounded Theory) dan telah dinormatifkan baik secara konstitusional maupun dalam Undang-Undang seperti pada Pasal 2 UU No 10 TAHUN 2004 Tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan: Pancasila merupakan sumber dari sumber hukum negara dan Penjelasan Pasal 2 menyatakan: Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah sesuai dengan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap MATERI MUATAN Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam PANCASILA. Paradigma Inilah yang menjadi tantangan ilmuwan hukum dan para Legal Draf serta para Yuris pada masa kini dan ke depan, khususnya ilmuwan Indonesia dan suka tidak suka pembentukan dan pengembangan serta penegakkan hukum harus berparadigma hukum Indonesia yang berbasis murni dari paradigma Ideologis Pancasila, oleh karena itu ketika memperoleh atas informasi dan pelayanan publik yang adil bagi rakyat atas dasar prinsip Good Governance dan Clean Goverment adalah perwujudan nyata dari sila kelima, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

2. Yang dimaksud Teori Membumi (Grounded Theory) adalah teori yang dibangun atas dasar proposisi Ilmiah yang bersumber pada proposisi Ilahiah, mengapa ? karena Patut disadari,bahwa “Hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik” (Pertimbangan UU KIP No 14 Tahun 2008)

Apakah hak memperoleh Informasi adalah Hak Konstitusional ?

3. Pasal 28F UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap Orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh Informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan Informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Untuk itu diperlukan jaminan bagi semua orang dalam memperoleh Informasi. Hal tersebut diperlukan, karena hak atas Informasi sangatlah penting mengingat penyelenggaraan negara memang perlu untuk diawasi publik, sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini berhubungan juga dengan partisipasi atau pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik.

4. Setelah melalui sekitar sembilan tahun proses pembahasan, akhirnya masyarakat mendapat jaminan hak atas informasi dengan disetujuinya keberadaan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dalam Rapat Paripurna DPR, 3 April 2008.

5. Keberadaan undang-undang ini sangat penting, karena merupakan landasan hukum yang berkaitan dengan (1) hak setiap Orang untuk memperoleh Informasi; (2) kewajiban Badan Publik menyediakan dan melayani permintaan Informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan cara sederhana; (3) pengecualian bersifat ketat dan terbatas; (4) kewajiban Badan Publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan Informasi (Penjelasan UU KIP).

Apa Tujuan UU No 14 Tahun 2008 ?

6. Tujuan undang-undang ini, sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 2 UU KIP adalah: a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik; d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan; e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak; f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.

7. Dengan membuka akses publik terhadap Informasi diharapkan Badan Publik semakin termotivasi untuk bertanggung jawab dan berorientasi pada pelayanan rakyat yang sebaik-baiknya. Dengan demikian, hal itu dapat mempercepat perwujudan pemerintahan yang terbuka yang merupakan upaya strategis mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan terciptanya kepemerintahan yang baik (good governance).

Siapa yang berhak membuka Informasi Publik ?

8. Setiap Badan Publik mempunyai kewajiban untuk membuka akses atas Informasi Publik yang berkaitan dengan Badan Publik tersebut untuk masyarakat luas. Lingkup Badan Publik dalam Undang-undang ini meliputi lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, serta penyelenggara negara lainnya yang mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan mencakup pula organisasi nonpemerintah, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, seperti lembaga swadaya masyarakat, perkumpulan, serta organisasi lainnya yang mengelola atau menggunakan dana yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Bagaimana Tanggapan terhadap UU No 14 Tahun 2008 ?

9. Keberadaan UU KIP memang merupakan angin segar bagi siapa saja, karena setiap Orang menjadi berhak memperoleh Informasi Publik; melihat dan mengetahui Informasi Publik; menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik; mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang ini; dan/atau menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, siapa saja berhak mengajukan permintaan Informasi Publik tentunya dengan menyertai alasan permintaan tersebut dan berhak mengajukan gugatan ke pengadilan apabila dalam memperoleh Informasi Publik mendapat hambatan atau kegagalan sesuai dengan ketentuan UU KIP.

10. Menteri Komunikasi dan Informatika yang lama, Mohammad Nuh, dalam wawancara khusus dengan Voice of Indonesia pada 21 Juli 2008 menyebutkan, UU KIP merupakan undang-undang yang sangat revolutif, dan apabila seluruh elemen bangsa ini menghayati undang-undang tersebut, maka terbentuknya good governance yang baik dapat tercapai. “Prinsip-prinsip good governance, antara lain transparansi dan akuntabilitas yang paling pokok, kalau elemen bangsa ini memegang teguh prinsip-prinsip good governance, prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas saya kira itu akan bisa menekan yang sifatnya preventif masalah-masalah penyimpangan termasuk didalamnya korupsi, korupsi itu ada khan sebagai simbol kurangnya good governance", jelasnya sebagaimana dilansir Voice of Indonesia.

Bagaimana dan Apa sanksi UU No 14 Tahun 2004 ?

11. Berkaitan dengan Sanksi Pidana.Walau begitu, ternyata banyak juga yang menyampaikan kritikan. Salah satunya terkait dengan keberadaan Pasal 51 UU KIP yang isinya ancaman bagi siapa saja yang dengan sengaja menggunakan Informasi Publik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000,- Terdapat pula, Pasal 52 UU KIP yang mengancam Badan Publik bila dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta-merta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000,-.

Apa tanggapan terhadap sanksi dalam UU No 14 Tahun 2008 ?

12. Menurut Adinda Tenriangke Muchtar, Pengamat dan Analis Politik pada The Indonesian Institute Center for Public Policy Research, dalam tulisan di Media Indonesia (23 April 2008), ketentuan dalam pasal-pasal tersebut bisa diinterpretasikan secara beragam. Pasal-pasal karet tersebut pun juga rentan penyimpangan wewenang oleh pemerintah. Dengan kata lain, bisa saja terjadi, aparat hukum dan badan publik menggunakan ketentuan ini untuk mengancam pengguna informasi publik, seperti media dalam mencari informasi publik dan menyebarkannya kepada masyarakat. Sementara itu, badan publik yang seharusnya menyediakan informasi publik dapat menggunakan alasan rahasia negara untuk menghindari pemberian informasi publik.

13. Hal senada disampaikan Agus Sudibyo, Deputi Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi. Agus yang tergabung dalam Koalisi untuk Kebebasan Informasi menilai ada yang janggal dalam aturan sanksi pidana. “Sanksi terhadap badan publik yang tak memberi informasi sih oke. Tapi kalau berlaku juga bagi masyarakat pengguna informasi, janggal,” kata Agus sebagaimana dilansir hukumonline.com. Ternyata, dari 75 negara yang punya Freedom of Information Act –undang-undang semacam ini, hanya Indonesia yang menerapkan sanksi bagi si pengguna. “Apalagi beratnya sanksi itu setara dengan sanksi bagi badan publik yang menutup informasinya”

14. Selain itu, menurut Agus, terdapat Pasal 56 yang menyebutkan, “Setiap pelanggaran yang dikenai sanksi pidana dalam Undang-Undang ini dan juga diancam dengan sanksi pidana dalam Undang-Undang lain yang bersifat khusus, yang berlaku adalah sanksi pidana dari Undang-Undang yang lebih khusus tersebut.” Pasal tersebut memungkinkan adanya pemidanaan berlapis.

Apa amanat lebih lanjut dari UU No 14 Tahun 2008 yang perlu distressing keberadaannya ?

15. UU KIP juga mengamanatkan pembentukan Komisi Informasi. Komisi tersebut merupakan lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya menetapkan petunjuk teknis standar layanan Informasi Publik dan menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi. Komisi Informasi terdiri atas Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi provinsi, dan jika dibutuhkan Komisi Informasi kabupaten/ kota. Komisi Informasi bertugas: a. menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian Sengketa Informasi.

16. Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi yang diajukan oleh setiap Pemohon Informasi Publik; b. menetapkan kebijakan umum pelayanan Informasi Publik; dan c. menetapkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.

17. Satu hal yang dianggap merupakan kekurangan adalah mengenai komposisi Anggota Komisi Informasi Pusat yang “berjumlah tujuh orang mencerminkan unsur pemerintah dan unsur masyarakat”. Demikian juga dengan Anggota Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota yang “berjumlah lima orang yang mencerminkan unsur pemerintah dan unsur masyarakat”. Tidak adanya disebutkan rinci komposisinya bisa menjadi kelemahan karena anggapan bahwa pemerintah dapat menaruh wakilnya lebih banyak.

Kapan berlakunya UU No 14 Tahun 2008 ?

18. Pemberlakuan 2010, Komisi Informasi Pusat harus sudah dibentuk paling lambat satu tahun sejak diundangkannya UU KIP, sedangkan Komisi Informasi provinsi harus sudah dibentuk paling lambat dua tahun sejak diundangkannya UU KIP. Dalam Pasal 64 UU KIP, ternyata ditentukan undang-undang mulai berlaku dua tahun sejak tanggal diundangkan. Selain itu, penyusunan dan penetapan Peraturan Pemerintah, petunjuk teknis, sosialisasi, sarana dan prasarana, serta hal-hal lainnya yang terkait dengan persiapan pelaksanaan undang-undang harus rampung paling lambat dua tahun sejak undang-Undang ini diundangkan. Hal ini berarti undang-undang akan efektif berjalan pada tahun 2010.

19. Dalam jangka waktu tersebut, pemerintah dan segenap badan publik yang diatur dalam UU KIP, termasuk partai politik dan juga lembaga swadaya masyarakat, harus dapat memanfaatkan periode dua tahun untuk persiapan implementasi UU KIP.

Hal-hal apa yang perlu diketahui dalam UU No 14 Tahun 2008 ?

20. Ada berapa hal pokok, yaitu Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik.

21. Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

22. Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

23. Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi.

24. Sengketa Informasi Publik adalah sengketa yang terjadi antara badan publik dan pengguna informasi publik yang berkaitan dengan hak memperoleh dan menggunakan informasi berdasarkan perundang-undangan.

25. Mediasi adalah penyelesaian sengketa informasi publik antara para pihak melalui bantuan mediator komisi informasi. Ajudikasi adalah proses penyelesaian sengketa informasi publik antara para pihak yang diputus oleh komisi informasi.Pejabat Publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik.Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi adalah pejabat yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi di badan publik.

26. Pengguna Informasi Publik adalah orang yang menggunakan informasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pemohon Informasi Publik adalah warga negara dan/atau badan hukum Indonesia yang mengajukan permintaan informasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Apakah semua informasi harus dibuka ke publik ?

27. Pasal 6 (1) Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Badan Publik berhak menolak memberikan Informasi Publik apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. informasi yang dapat membahayakan negara; b. informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat; c. informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi; d. informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau e. Informasi Publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan.

Informasi apa saja yang perlu disediakan kepada Publik ?

28. BAB IV INFORMASI YANG WAJIB DISEDIAKAN DAN DIUMUMKAN Informasi yang Wajib Disediakan dan Diumumkan Secara Berkala Pasal 9 (1) Setiap Badan Publik wajib mengumumkan Informasi Publik secara berkala. (2) Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. informasi yang berkaitan dengan Badan Publik; b. informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait; c. informasi mengenai laporan keuangan; dan/atau d. informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. (3) Kewajiban memberikan dan menyampaikan Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling singkat 6 (enam) bulan sekali. (4) Kewajiban menyebarluaskan Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami. (5) Cara-cara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditentukan lebih lanjut oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di Badan Publik terkait. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Badan Publik memberikan dan menyampaikan Informasi Publik secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Petunjuk Teknik Komisi Informasi.

Bagaimana menyikapi kedua Pemberlakuan UU No 14 Tahun 2008

29 Pertama, harus disadari bahwa saat ini kita hidup di abad 21 atau abad digital, maka perlu menyikapi dengan pemahaman yang bersifat digital thinking, dan patut menyadari pemberlakuan kedua Undang-Undang ini jangan hanya ditujukan kepada kepastian hukum semata, tetapi harus mampu menangkap rasa keadilan masyarakat serta kemanfaatan bersama.

30 Kedua, bahwa hukum yang bukan hidup diruang hampa, tetapi hidup dialam diantara manusia yang bersifat dinamis, oleh karena itu pemberlakuan kedua undang-undang ini perlu memperhatikan kebutuhan dinamika manusia yang memerlukan kecepatan informasi dan pelayanan publik, oleh karena itu hal yang harus disiapkan adalah infra struktur yang mendukung.

31 Ketiga, suka atau tidak suka dibutuhkan SDM yang profesional untuk memberlakukan kedua Undang-Undang ini, oleh karena itu perlu diserap SDM yang berbasis pada keahlian informatika dan manajemen administrasi yang bersifat digital, oleh karena itu perekrutan SDM dibidang ini perlu memperhatikan keahlian arsiparis dan ahli data base yang diseleksi dari penyedia SDM yang berbasis dari Pendidikan Yang berstandar Nasional dan Internasional, karena SDM yang dibutuhkan berbanding lurus dengan semangat serta latar belakang dan tujuan diberlakukan kedua undang-undang ini.

32 Keempat, Perlu pergeseran Paradigma penegakan hukum, sebagaimana Sinzheimer mengatakan bahwa hukum tidak bergerak dalam ruang yang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak. Melainkan, ia selalu berada dalam suatu tatanan sosial tertentu dan manusia-manusia yang hidup. Jadi bukan hanya bagaimana mengatur sesuai dengan prosedur hukum, melainkan juga bagaimana mengatur sehingga dalam masyarakat timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh hukum. Dengan demikian masalah efiesiensi suatu peraturan hukum menjadi sangat penting. Oleh karena menyangkut pula kaitan-kaitan lain dalam berpikirnya, yaitu meninjau hubungan hukum dengan faktor-faktor serta kekuatan-kekuatan sosial diluarnya. Hal ini jelas dikatakan pula oleh Robert B. Seidman, bahwa setiap undang-undang, sekali dikelurkan akan berubah, baik melalui perubahan normal maupun melalui cara-cara yang ditempuh birokrasi ketika bertindak dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan sebagainya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa perkembangan masyarakat yang susunannya sudah semakin kompleks serta berkembang, mengkehendaki peraturan hukum juga harus mengikuti perkembangan yang demikian itu. Hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini kita jumpai dalam peraturan hukum. Hukum menelurusi hampir semua bidang kehidupan manusia. Hukum semakin memegang peranan yang sangat penting sebagai kerangka kehidupan sosial masyarakat modern. Namun, harus disadari sungguh-sungguh bahwa masalah peraturan oleh hukum itu bukan saja dilihat dari segi legimitasinya, dan bukan juga semata-mata dilihat sebagai ekspresi dari nilai-nilai keadilan. Itulah sebabnya muncul suatu cara berpikir lain (aliran pemikiran non-analistis) yang tidak lagi melihat hukum sebagai lembaga yang otonom di dalam masyarakat, melainkan sebagai suatu lembaga yang bekerja untuk dan di dalam masyarakat.[1]

Kelima, Menyadari akan pergeseran peran hukum (hukum negara) yang demikian itu, maka Prof.Dr Esmi Warassih, SH, MS menyarankan agar "paradigma kekuasaan" yang dipakai dalam penegakkan hukum di Indonesia ini perlu diubah atau diganti dengan penegakkan yang berbasis "paradigma moral". Paradigma moral yang diidealkan itu memiliki seperangkat nilai yang egalitarian, demokratis, pluralitis, dan profesional untuk membangun "masyarakat madani" (civil society). Perubahan paradigma ini penting dilakukan untuk memulihkan dan mengembalikan otentisitas hukum "sebagai sarana untuk memberikan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang". Dalam nada yang sama, Prof.Dr.Satjipto Rahardjo, SH salah seorang "begawan sosiologi hukum" dari Universitas Diponegoro akhir-akhir ini mulai menaruh keprihatinan yang sama tentang orientasi hukum menuju kebahagiaan. Satjipto Rahardjo menegaskan, bahwa hukum hendaknya bisa memberi kebahagiaan, bukan sebaliknya membuat ketidaknyamanan atau ketidak tentraman hidup. Orientasi hukum yang demikian itu, dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, secara harafiah dirumuskan dengan kata-kata : ".....untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...."



[1] Untuk memahami paradigma ini, lihat Prof Dr Esmi Warassih,SH,MS dalam Buku Pranata Hukum sebuah telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama .Maret 2005. Atau Prof .Dr Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat, Perkembangan dan Masalah, Bayu Media, April, 2008.

0 komentar:

Posting Komentar