MEMAKNAI NILAI-NILAI PANCASILA BERDASARKAN SIMBOLISASI PANCASILA DALAM LAMBANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Oleh Turiman Fachturahman Nur
Bendera Negara Sang Merah Putih, Bahasa Indonesia, Lambang Negara Garuda Pancasila, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya merupakan jati diri bangsa dan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat simbol tersebut menjadi cerminan kedaulatan negara di dalam tata pergaulan dengan negara-negara lain dan menjadi cerminan kemandirian dan eksistensi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dengan demikian, bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia bukan hanya sekadar merupakan pengakuan atas Indonesia sebagai bangsa dan negara, melainkan menjadi simbol atau lambang negara yang dihormati dan dibanggakan warga negara Indonesia.
Bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia menjadi kekuatan yang sanggup menghimpun serpihan sejarah Nusantara yang beragam sebagai bangsa besar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahasa Indonesia bahkan cenderung berkembang menjadi bahasa perhubungan luas. Penggunaannya oleh bangsa lain yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah mengatur berbagai hal yang menyangkut tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. Dalam Pasal 35 disebutkan bahwa Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih. Pasal 36 menyebutkan bahwa Bahasa Negara ialah bahasa Indonesia. Pasal 36A menyebutkan bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Selanjutnya Pasal 36B menyebutkan bahwa Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya. Pasal-pasal tersebut merupakan pengakuan sekaligus penegasan secara resmi oleh Negara tentang penggunaan simbol-simbol tersebut sebagai jati diri bangsa dan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seluruh bentuk simbol kedaulatan negara dan identitas nasional harus diatur dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan sejak tahun 2000 belum diatur secara lengkap dalam sebuah peraturan perundang-undangan, tetapi setelah sembilan tahun tepatnya tahun 2009 keluarlah Undang-undang No 24 Tahun 2009 tentang tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Hal yang menarik dalam kaitannya dengan pemahaman nilai-nilai Pancasila adalah pernyataan Pasal 46 UU No 24 Tahun 2009 : Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Pasal 47 (1) Garuda dengan perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang mewujudkan lambang tenaga pembangunan. (2) Garuda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki sayap yang masing-masing berbulu 17, ekor berbulu 8, pangkal ekor berbulu 19, dan leher berbulu 45. Pasal 48 (1) Di tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan khatulistiwa. (2) Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut:
a. dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima;
b. dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai;
c. dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai;
d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai; dan
e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai.
Berdasarkan teks hukum pasal 48 ayat (2) UU No 29 Tahun 2004 di atas ada sebuah nilai-nilai filosofis Pancasila, yaitu ternyata, bahwa konsep pemaknaan Pancasila dalam lambang Negara menggunakan konsep berputar atau ber"thawaf" atau dalam bahasa Kalimantan "gilir balik', tetapi tahukah anda bahwa siapa pencetus konsep perwujudan Pancasila dalam Lambang Negara itu yang menggunakan konsep berputar atau arahnya berlawanan dengan arah jarum jam, atau dalam bahasa teologi "berthawaf" atau dalam bahasa kearifan lokal masyarakat Kalimantan "Gilir Balik" ?
Jika kita membaca secara cermat transkrip Sultan Hamid II tanggal 15 April 1967 sebagaimana diterangkan kepada wartawan Solichim Salam, terpaparkan siapakah pencetus konsep "gilir balik" simbolisasi Pancasila dalam Lambang Negara itu tidak lain adalah anak bangsa dari Kal-Bar (Sultan Hamid II) dan konsep Berputar atau "Gilir balik"/berthawaf itu dijelaskan sebagaimana pernyataan Sultan Hamid II dalam transkrip berikut ini :
"Perlu saja djelaskan, bahwa jang paling sulit ketika mencarikan simbol-simbol jang tepat untuk melambangkan idee Pantja Sila, saja awali dengan mentjoba untuk membuat rentjana tameng/perisai jang menempel pada figur burung garuda, karena lambang-lambang pada negara lain jang mempergunakan figur burung selalu ada tameng/perisai ditengahnja, pertama saja membuat sketsa awal perisai jang saja bagi mendjadi lima ruang dan sebagai tanda perisai jang membedakan dari Perisai jang dibuat Mr.M Yamin, kemudian saja buat dua buah perisai didalam dan diluar dengan garis agak tebal jang membelah perisai untuk melambangkan garis equator/khatulistiwa diperisai itu, walaupun demikian saja djuga meminta anggota dalam Panitia Lambang Negara untuk menjumbangkan pemikiran jang berhubungan dengan simbol-simbol idee Pantja-Sila, seperti pesan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ada jang menjarankan simbol keris, banteng, padi kapas, kemudian saja menambahkan Nur Cahaya berbentuk bintang bersegi lima atas masukan M Natsir sebagai simbol sila ke satu Pantja-Sila, djuga masukan dari R.M Ng Purbatjaraka, jakni pohon astana jang menurut keterangannja pohon besar sejenis pohon beringin jang hidup di depan istana sebagai lambang pengajoman dan perlindungan untuk melambangkan sila ketiga, karena menurut beliau pohon astana memaknai simbol menjatunja rakjat dengan istana itulah djuga hakekat negara RIS jang sebagian besar ketika itu didirikan di luar negara proklamasi RI 17-8-45 oleh keradjaan-keradjaan dan simbol selanjutnja tali rantai bermata bulatan melambangkan perempuan dan bermata persegi melambangkan laki-laki jang sambung menjambung berdjumlah 17 sebagai simbol regenerasi jang terus menerus, mengenai simbol ini inspirasinja saja ambil dari tanah Kalimantan, jakni kalung dari suku Dajak demikian djuga bentuk perisainja, setelah bertukar pikiran dengan para panglima suku Dajak di Hotel Des Indes Jakarta awal Februari 1950 yang saja ajak ke Jakarta ketika itu, salah satunya panglima Burung dan Ma Suka Djanting bersama J.C Oevaang Oeray sahabat saja di Dewan Daerah DIKB,lambang lain kepala banteng sebagai sila ke empat ini sumbangan dari Mr. M Yamin sebagai lambang dasar kerakjatan/tenaga rakjat dan padi-kapas lambang sila kelima sumbangan dari Ki Hajardewantara sebagai perlambang ketersedian sandang dan papan/simbol tudjuan kemakmuran, semua itu saja bitjarakan di hotel Des Indes jang merupakan tempat saja membuat gambar lambang negara sekaligus tempat saja tinggal sementara di Djakarta sebagai menteri negara RIS sampai dengan 5 April 1950 saja ditangkap atas perintah Jaksa Agung jang akhirnja saja "terseok" dalam perdjalanan sedjarah sebagai anak bangsa.Itu mungkin tjiptaan saja terpendam mudah-mudahan pendjelasan kepada saudara Salam mendjadi terang adanja.
Pada bagian lain Sultan Hamid II 15 April 1967 menyatakan :
Adanja dua lambang perisai besar diluar dan perisai jang ketjil ditengah, karena menurut pendjelasan Mr. Mohammad Hatta jang terlibat dalam panitia sembilan perumusan Pantja-Sila 1945 ketika pertukaran fikiran dalam Panitia Sembilan pada pertengahan Juni 1945, dari lima sila Pantja Sila jang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau adalah sila pertama Ketoehanan Yang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa bertahan madju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pedjuang bangsa jang bermartabat/ berprikemanusiaan jang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian jang adil dan beradab, setelah itu membangun persatuan Indonesia sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat, pada langkah berikutnja baru membangun parlemen negara RIS jang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan djalan itulah bisa bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia, jakni dari rakjat, untuk rakjat oleh rakjat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Jang Maha Esa. Atas pendjelasan Perdana Menteri RIS itu, kemudian perisai ketjil ditengah saja masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur Tjahaya bintang bersudut segilima, patut diketahui arah simbolisasi ide Pantja-Sila itu saja mengikuti gerak arah ketika orang "berthawaf"/berlawanan arah djarum djam/"gilirbalik" kata bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke simbol sila kedua dan seterusnja, karena seharusnja seperti itulah sebagai bangsa menelusuri/ menampak tilas kembali akar sedjarahnja dan mau kemana arah bangsa Indonesia ini dibawa kedepan agar tidak kehilangan makna semangat dan "djatidiri"-nja ketika mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanja, seperti berbagai pesan pidato Paduka Jang Mulia disetiap kesempatan. Itulah kemudian saja membuat gambar simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep berputar-gerak "thawaf"/gilir balik kata bahasa Kalimantan sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun kedepan perdjalanan bangsa Indonesia yang kita tjintai ini.
Perisai idee Pantja-Sila itu dibawa terbang tinggi oleh Sang Radjawali Garuda Pantja-Sila jang dikalungkan dengan rantai dilehernja dengan tetap mentjekram kuat prinsip jang dipegang teguh para pemimpin bangsa dalam Negara RIS, namanja "Bhinneka Tunggal Ika..."
Berdasarkan paparan diatas ada sekilas nilai-nilai Pancasila yang dapat dipaparkan, secara akademis dan tataran pragmatis, yaitu:
Pertama, Bahwa Manusia Indonesia harus mampu mensinergikan lima kecerdasan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa agar konsep Adil Katalino bacuramin kasaruga basengat ka ju Bata terwujud dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tetapi bagaimana caranya berikut ini konsepmya : Sinergisitas SQ.AQ.IQ,EQ dan CQ[1] itu secara konsepsional dapat digambarkan sebagai berikut:
Secara konsepsional dapat dipaparkan, bahwa manusia Pancasila menggunakan dua alur pemikiran dalam membentuk hukum progresif dan memaknai kehidupannya yang pertama adalah pola pikir induksi yaitu (perhatikan garis warna merah) dengan menggunakan kecerdasan spiritualnya (SQ 1) manusia melihat nomos atau fenomena yang ada di dalam masyarakat melalui kecerdasan panca inderanya (AQ 2) rumusnya 213 (melihat dahulu, berpikir baru berbicara) kemudian ia berpikir dan melakukan analisis kajian hukum dengan kecerdasan intelektualnya (IQ 3) selanjutnya melakukan kotemplasi/perenungan dengan kecerdasan emosionalnya terhadap penomena yang terjadi (EQ 4) memohon petunjuk kepada Tuhan Sang Pencipta Manusia dan sunatullah (hukum Alam Semesta), kemudian ia mendapatkan pencerahan, karena mampu mensinergikan kecerdasan spiritual, intelektual dan emosional (SQ,IQ,EQ) akhirnya melakukan mewujudkan tindakan dan kesadaran hukum serta memunculkan kreatifitasnya dengan kecerdasan kretifitasnya (CQ 5) sebagai amal ibadahnya sesama manusia dan menjaga alam semesta (lingkungannya), pada alur pola pikir yang kedua deduksi (perhatikan garis warna biru) dengan menggunakan kecerdasan spiritualnya (SQ A) melihat norma (sunatullah) yang ada di alam semesta dengan kecerdasan pancaindranya (AQ B), kemudian melakukan perenungan terhadap sunatullah yang bekerja (kerangka teoritis) dengan kecerdasaan emosionalnya (EQ C), kemudian berpikir dan melakukan analisis kajian hukum dengan kekuatan intelektualnya (IQ D) serta memohon petunjuk kepada Tuhan Sang Pencipta sunatullah pada Alam Semesta dan Manusia, kemudian ia mendapatkan pencerahan karena mampu mensinergikan kecerdasan spiritual, emosional dan intelektual (SQ, EQ.IQ) dan pada akhirnya mewujudkan tindakan dan kesadaran hukum serta memunculkan kreatifitasnya dengan kecerdasan kreatifitas (CQ E) sebagai amal ibadahnya sesama manusia dan alam semesta (lingkungannya), kedua alur pola pikir itu dalam itu pola pikir bangsa yang relegius adalah yang mampu mensinergikan hukum alam dan hukum Tuhan dengan hukum hasil produk manusia (peraturan perundang-undangan negara) itulah konsep hukum progresif sebuah aturan hukum yang tidak mengeliminasi kearifan lokal atau nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di daerah dan memberikan perlindngan HAM masyarakat adat di daerah terhadap nilai-nilai budaya yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila.
Kedua, Sultan Hamid II sebagai anak bangsa dari Kalimantan Barat telah mengangkat marwah salah satu suku di Kalimantan (Dayak) melalui benda peradaban kebudayaan daerahnya renungkan pernyataan Sultan Hamid II : "Perlu saja djelaskan, bahwa jang paling sulit ketika mencarikan simbol-simbol jang tepat untuk melambangkan idee Pantja Sila, saja awali dengan mentjoba untuk membuat rentjana tameng/perisai jang menempel pada figur burung garuda, karena lambang-lambang pada negara lain jang mempergunakan figur burung selalu ada tameng/perisai ditengahnja, pertama saja membuat sketsa awal perisai jang saja bagi mendjadi lima ruang dan sebagai tanda perisai jang membedakan dari Perisai jang dibuat Mr.M Yamin, kemudian saja buat dua buah perisai didalam dan diluar dengan garis agak tebal jang membelah perisai untuk melambangkan garis equator/khatulistiwa diperisai itu
Pertanyaan dari mana ide perisai itu diambil ? Sultan Hamid II menjelaskan pada transkripnya : "simbol selanjutnja tali rantai bermata bulatan melambangkan perempuan dan bermata persegi melambangkan laki-laki jang sambung menjambung berdjumlah 17 sebagai simbol regenerasi jang terus menerus, mengenai simbol ini inspirasinja saja ambil dari tanah Kalimantan, jakni kalung dari suku Dajak demikian djuga bentuk perisainja, setelah bertukar pikiran dengan para panglima suku Dajak di Hotel Des Indes Jakarta awal Februari 1950 yang saja ajak ke Jakarta ketika itu, salah satunya panglima Burung dan Ma Suka Djanting bersama J.C Oevaang Oeray sahabat saja di Dewan Daerah DIKB.
Pernyataan Sultan Hamid II di atas telah mengangkat nilai-nilai filosofis masyarakat Kalimantan, bahwa ternyata simbol sila kedua diambil dari kalung suku Dayak dan bentuk perisai Pancasila mengambil inspirasi dari perisai masyarakat Dayak, ini artinya filosofis masyarakat Kalimantan telah terangkat sejak lama dalam kehidupan kenegaraan, inilah sumbangan masyarakat Kalimantan kepada negara, jika nilai kebudayaan daerah saja bisa terangkat pada tataran kenegaraan, maka masyarakat Kalimantanpun harus mampuh mengangkat harkat martabat dirinya dirinya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, filosofis Kalung dan perisai adalah merupakan simbol budaya masyarakat Kalimantan, kalung adalah simbol regenerasi dan perisai adalah simbol perlindungan dan ketahanan mental dan spiritual sebuah masyarakat agar tidak tergerus dengan nilai-nilai dari luar yang menghancurkan kerukunan dan kedamaian bersama.
Ketiga, patut diketahui arah simbolisasi ide Pantja-Sila itu saja mengikuti gerak arah ketika orang "berthawaf"/ berlawanan arah djarum djam/"gilirbalik" kata bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke simbol sila kedua dan seterusnja, karena seharusnja seperti itulah sebagai bangsa menelusuri/ menampak tilas kembali akar sedjarahnja dan mau kemana arah bangsa Indonesia ini dibawa kedepan agar tidak kehilangan makna semangat dan "djatidiri"-nja ketika mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanja.."
Berdasarkan pernyatan Sultan Hamid II di atas, bahwa konsep pemaknaan Pancasila menggunakan konsep berputar atau berlawanan dengan arah jarum jam, bukankah konsep itu selaras dengan konsep kebudayaan masyarakat kalimantan, yaitu GILIR BALIK, seperti konsep berladang dalam masyarakat Dayak untuk menjaga kelestarian lingkungan hidupnya, bedakan dengan cap negara dengan istilah "ladang berpindah" (Penulis kurang setuju dengan cap negara itu) sangat merendahkan harkat martabat nilai budaya daerah.
Keempat, Nilai Bhinneka Tunggal Ika yang dipresentasikan oleh Sultan Hamid II : Perisai idee Pantja-Sila itu dibawa terbang tinggi oleh Sang Radjawali Garuda Pantja-Sila jang dikalungkan dengan rantai dilehernja dengan tetap mentjekram kuat prinsip jang dipegang teguh para pemimpin bangsa dalam Negara RIS, namanja "Bhinneka Tunggal Ika" sebagaimana dikehendaki bersama itulah simbol kedaulatan RIS seperti telah diperdjuangkan bersama di KMB 1949 dan telah dituangkan dalam Piagam Penjerahan Kedaulatan oleh Ratu Juliana pada 27 Desember 1949 dan diperintahkan dalam Konstitusi RIS itu, jakni Pemerintah untuk menetapkan Lambang Negara RIS.
Pada bagian lain Sultan Hamid II menyatakan:
"Falsafah "thawaf" mengandung pesan, bahwa idee Pantja-Sila itu bisa didjabarkan bersama dalam membangun negara, karena ber"thawaf" atau gilir balik menurut bahasa Kalimantannja, artinja membuat kembali-membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada sasaran jang djelas, jakni masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan rukun dan damai, begitulah menurut Paduka Jang Mulia Presiden Soerkarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja, jakni membangun negara jang bermoral tetapi tetap mendjunjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada sanubari rakjat bangsa di belahan wilajah negara RIS serta tetap memiliki karakter asli bangsanja sesuai dengan "djatidiri" bangsa/adanja pembangunan "nation character building" demikian pendjelasan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja.
Berdasarkan paparan Sultan Hamid II diatas, bahwa bangsa ini harus memegang sebuah prinsip berbangsa, yaitu konsep Bhinneka Tunggal Ika sebagai prinsip dan sesungguhnya prinsip itu tak dapat dipisahkan dengan lambang negara itu sendiri, makna terdalam pesan nilai-nilai bhinneka tunggal ika itu adalah, bahwa masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan rukun dan damai, begitulah menurut Paduka Jang Mulia Presiden Soerkarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja, jakni membangun negara jang bermoral tetapi tetap mendjunjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada sanubari rakjat bangsa di belahan wilajah negara RI
Kelima, konsep Berputar pada simbolisasi Pancasila dalam lambang negara, adalah mengandung sebuah nilai, bahwa manusia untuk mengevaluasi perjalanan hidupnya, jika kita sarikan Pancasila secara filosofis, maka akan membentuk kata kunci, yaitu : Berdasarkan konsep berputar simbolisasi Pancasila dalam Lambang negara, apabila kita menggunakan pendekatan ontologik artinya mencari realitas yang terdalam dari padanya dengan menggunakan esensi, subtansi dan realitas sebagai alat pendekatan. Esensi sila-sila Pancasila dimaksudkan disini adalah masing-masing sila dicari apa yang inti atau sarinya atau esensinya, adapun esensi tersebut, yaitu :[2]
Ketuhanan sebagai esensi sila pertama.
Kemanusian sebagai esensi sila kedua
Persatuan sebagai esensi sila ketiga
Kerakyatan sebagai esensi sila keempat
Keadilan sebagai esensi sila kelima
Pengertian masing-masing esensi, dimaksudkan adalah sebagai berikut:
Ketuhanan adalah kesesuaian dengan hakekat Tuhan.
Kemanusian adalah kesesuaian denan hakekat manusia
Persatuan adalah kesesuaian dengan hakekat satu
Kerakyatan adalah kesesuaian dengan hakekat rakyat
Keadilan adalah kesesuaian dengan hakekat adil
Inti esensi sila-sila Pancasila dimaksudkan inti pada esensi sila-sila Pancasila dapat dicari lagi, yaitu.
Ketuhanan esensinya adalah kata Tuhan
Kemanusian esensinya adalah kata manusia
Persatuan esensinya adalah kata satu
Kerakyatan esensinya adalah kata rakyat
Keadilan ensensinya adalah kata adil
Maknanya adalah bahwa Tuhan telah menjadikan manusia itu satu, dan satu itu jika dimaknai bersatunya manusia dalam kontek negara adalah rakyat, tentunya semua rakyat mendambakan sesuatu yang adil atau keadilan, itulah esensi tertinggi kearifan lokal masyarakat Dayak dengan filosofis ADIL KATALINO BACURAMIN KASARUGA BASENG'AT KA JUBATA, filosofis ini bermakna universal, karena keadilan adalah cita-cita semua manusia dimuka bumi ini, oleh karena itu filosofis itu harus terwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, ARTINYA ketika nilai-nilai Pancasila itu dipahami dengan konsep berputar berlawanan dengan arah jarum jam, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila dalam Lambang Negara sebagai perwujudan dasar Pancasila, telah mengajarkan, bahwa Sila Pertama adalah merupakan nilai yang menjadi dasar dalam kehidupan manusia, dan Bung Karno (1945) antara lain mengatakan :[3] "Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al-Masih, yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadahnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan yakni dengan tiada "egoisme agama". Dan hendaknya negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan!".
Hal itu selaras dengan pandangan Sultan Hamid II dalam transkripnya 13 April 1967: "..
"...lima sila Pantja Sila jang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau adalah sila pertama Ketoehanan Yang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa bertahan madju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pedjuang bangsa jang bermartabat/ berprikemanusiaan jang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian jang adil dan beradab, setelah itu membangun persatuan Indonesia sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS (baca saat sekarang RI) inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat, pada langkah berikutnja baru membangun parlemen negara RIS (baca saat sekarang RI) jang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan djalan itulah bisa bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia, jakni dari rakjat, untuk rakjat oleh rakjat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Jang Maha Esa. Atas pendjelasan Perdana Menteri RIS itu, kemudian perisai ketjil ditengah saja masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur Tjahaya bintang bersudut segilima"
Hal demikian selaras pandangan Jimly Asshiddiqie:
"Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila pertama dan utama yang menerangi keempat sila lainnya. Paham ke Tuhanan itu diwujudkan dalam paham kemanusian yang adil dan beradab. Dorongan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu menentukan kualitas dan derajad kemanusiaan seseorang diantara sesama manusia, sehingga peri kehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat tumbuh sehat dalam struktur kehidupan yang adil, dan dengan demikian kualitas peradaban bangsa dapat berkembang secara terhormat diantara bangsa –bangsa.
Semangat Ketuhanan Yang Maha Esa itu hendaklah pula meyakinkan segenap bangsa Indonesia untuk bersatu padu dibawah tali Tuhan Yang Maha Esa. Perbedaan-perbedaan diantara sesama warga negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dalam wadah negara, rakyatnya adalah warga negara. Karena itu, dalam rangka kewargaan (civility), tidak perlu dipersoalkan mengenai etnisitas, anutan agama,warna kulit, dan bahkan status sosial seseorang. Yang penting dilihat adalah status kewarga seorang dalam wadah negara. Setiap warga negara adalah rakyat, dan rakyat itulah yang berdaulat dalam negara Indonesia, dimana kedaulatannya itu diwujudkan melalui mekanisme permusyawaratan dan dilembagakan melalui sistem perwakilan. Keempat sila atau dasar negara tersebut, pada akhirnya ditujukan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[4]
Kiranya lima hal pemaknaan terhadap nilai-nilai Pancasila dalam paparan ini kiranya dapat menjadi bahan renungan bersama bagi kita semua, sesungguhnya Sultan Hamid II sangat brilian mengangkat konsep gilir balik atau berputar berlawanan dengan arah jarum jam atau "berthawaf" yang konsepnya selaras dengan akar budaya dan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Kalimantan yang mau mengevaluasi perjalanan kehidupannya.
Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa menyinari keempat sila lainnya (Sila II,III,IV,dan sila V) yang terpaparkan pada perisai Pancasila secara konsepsional yang demikian itu memberikan sebuah konsep kosmologik, bahwa Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara telah mengajarkan agar setiap manusia Indonesia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing, karena hubungan antara manusia dengan Tuhan telah diatur oleh agama dan kepercayaan tersebut, artinya Pancasila yang menempatkan Sila I adalah pertama dan utama mengatur hubungan antara manusia Indonesia dengan berbagai agama dan kepercayaannya itu hidup sejahtera aman dan damai dalam menjalankan tugas dan agama serta kepercayaannya masing-masing, tepatlah apa yang dilakukan oleh Pemerintah (SK Menteri Agama R.I No 70/1978) dalam hal mengatur hubungan antara Pemerintah dengan umat beragama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan hubungan antara lingkungannya masing-masing dan tentunya dalam kehidupan bernegara menjadikan alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 yang berisikan dasar negara Pancasila itu menjadi cita-cita bersama semua elemen masyarakat, oleh karena itu renungkan Pidato Presiden Soekarno berkaitan dengan Pancasila dan Lambang Negara: [5]
“Saudara-saudara, lihatlah Lambang Negara kita di belakang ini, alangkah megahnya, alangkah hebat dan cantiknya.
Burung Elang Rajawali, garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 buah, dengan ekor yang berelar 8 buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang berkalungkan perisai yang di atas perisai itu tergambar Pancasila. Yang di bawahnya tertulis seloka buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika", Bhina Ika Tunggal Ika, Berjenis-jenis tetapi tunggal.
Pancasila yang tergambar di pusat bintang cermelang atas dasar hitam, sinar cermerlang abadi dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, pohon beringin lambang kebangsaan. Rantai yang terdiri dari pada gelang-gelangan dan persegi dan bundar yang bersambung satu sama lain dalam sambungan yang tiada putusnya, peri kemanusiaan. Lihatlah sekali lagi, aku berkata indahnya Lambang Negara ini, yang menurut pendapat saya Lambang Negara Republik Indonesia ini adalah yang terindah dan terhebat dari pada seluruh lambang-lambang Negara di muka bumi ini. Saya telah melihat dan mempelajari lambang-lambang negara yang lain-lain. Tapi tidak ada satu yang sehebat, seharmonis seperti Lambang Negara Republik Indonesia. Lambang yang telah dicintai oleh rakyat kita sehingga jikalau kita masuk ke desa-desa sampai kepelosok-pelosok yang paling jauh dari dunian ramai, lambang ini sering dicoretkan orang di gardu-gardu, di tembok-tembok, di gerbang-gerbang, yang orang dirikan dikalau hendak menyatakan suatu ucapan selamat datang kepada seorang tamu.
Lambang yang demikian telah terpaku di dalamnya kalbu Rakyat Indonesia, sehingga lambang ini telah menjadi darah daging rakyat Indonesia dalam kecintaannya kepada Republik, sehingga bencana batin akan amat besarlah jikalau dasar negara kita itu dirobah, jikalau Dasar Negara itu tidak ditetapkan dan dilangengkan: Pancasila. Sebab lambang negara sekarang yang telah dicintai oleh Rakyat Indonesia sampai ke pelosok-pelosok desa itu adalah lambang yang bersendikan kepada Pancasila. Sesuatu perobahan dari Dasar Negara membawa perobahan dari pada lambang negara.
Saya mengetahui bahwa jikalau lambang negara ini dirobah, sebagian terbesar dari pada Rakyat Indonesia akan menolaknya. Cinta rakyat Indonesia kepada lambang ini telah terpaku sedalam-dalamnya di dalam jiwanya, berarti cinta sebagian terbesar dari pada Rakyat Indonesia kepada Pancasila. Lihatlah sekali lagi kepada Lambang Negara kita Pancasila, yang dilukiskan diatas burung garuda.”
Berdasarkan Pidato Presiden Soekarno di atas memberikan penegasan, bahwa ada korelasi antara lambang negara dengan Ideologi Pancasila, karena menurut Soekarno Lambang Negara tersebut adalah lambang yang bersendikan kepada Pancasila, dan beliau menyatakan, bahwa sesuatu perobahan dari dasar negara membawa perubahan dari Lambang Negara, secara teoretik, bahwa pemahaman Pancasila sebenarnya dapat juga dipahami melalui semiotika hukum Pancasila yang tersimbolisasikan pada lambang negara yang gambar resminya terlampir dalam peraturan perundang-undangan dalam hal ini Lampiran PP No 66 Tahun 1951 kemudian ditegaskan kembali dalam UU No 24 Tahun 2009, pasal 48 ayat (2) (Penulis adalah Mahasiswa S3 Program Doktor KPK UNDIP-UNTAN dan Pengamat Psikologi Hukum Tata Pemerintahan Daerah UNTAN dan Expert Forum Parlemen DPRD Prov Kal-Bar)
Daftar Pustakaaan
Jimly Asshiddigie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, MK dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila Pendekatan melalui Metafisika, Logika dan Etika, Edisi 3, Hanindita, Yogyakarta, 2000.
Turiman, Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia, Tesis, UI Tahun 2000.
Turiman, "Menelusuri "Jejak Tercecer" Semiotika Pancasila dan Kebhinekaan NKRI (Suatu Paparan Filosofis Pancasila dan Keutuhan NKRI), Makalah disampaikan dalam Rangka Memperingati hari Pahlawan 10 November 2009 di Pontianak.
Pidato Presiden Soekarno 22 Juli 1958 , Terbanglah Rajawaliku" Arsip Nasional, 1999
Transkrip (dokumen) keterangan Sultan Hamid II kepada wartawan Solichim Salam menjawab pertanyaan wawancara tertulis, sebagaimana disalin kembali oleh sekretaris Sultan Hamid II : Max Yusuf Al-Kadrie, Yayasan Sultan Hamid II, Jakarta, 13 April 1967.
[1] a.SQ adalah kemampuan manusia untuk memahami makna (meaning) dan nilai (value) tertinggi kehidupan serta tujuan (vision) terhadap hal-hal yang mendasar dalam hidup dan kehidupan manusia sebagai Khalifah Fil Ard atau wakil Tuhan di muka Bumi SQ menjawab pertanyaan paling mendasar :
“Siapa saya ?”
“Untuk apa saya dilahirkan ?” dan
“Mau kemana saya setelah dilahirkan kedunia ini ?”
SQ adalah kemampuan manusia untuk mengenal diri, menuju sadar diri dan menemukan fitrah dirinya (“jatidirinya”) sebagai manusia serta memberikan kemampuan bawaan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah dan atau antara yang benar dan yang tepat.
b. SQ adalah perekat yang menghubungkan semua manusia secara universal, melalui pengenalan sifat-sifat-Nya (ASMAUL HUSNA) melalui karakter dasar berdasarkan Fsikologi Ilahiah
c AQ adalah kecerdasan manusia setelah membaca dalil-dalil Tuhan di alam semesta dan di dalam diri manusia sendiri dengan rumus 213, artinya melihat dahulu, berpikir, baru berbicara. AQ adalah kemampuan panca indra manusia yang dimulai dengan kemampuan matanya kemudian terhubung ke otak, dan THT untuk membaca fenomena dirinya sendiri, situasi sosial dan alam semesta berdasarkan pengalamannya
d. IQ adalah kemampuan otak kiri manusia secara numerikal (berhitung), spasial (ruang) dan linguistik (bahasa) ketika manusia membaca dirinya sendiri, situasi sosial dan alam semesta secara verbal berdasarkan persepsinya yang telah dipelajari.
e. EQ adalah kemampuan otak kanan manusia
[2] Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila Pendekatan melalui Metafisika, Logika dan Etika , Edisi 3, Hanindita, Yogyakarta, 2000, halaman 61
[3] Soekarno dalam Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila Pendekatan melalui Metafisika, Logika dan Etika , Edisi 3,Hanindita, Yogyakarta, 2000, halaman 72.
[4] Jimly Asshiddigie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, MK dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, halaman 52-53.
[5] Pidato Presiden Soekarno 22 Juli 1958 , Arsip Nasional, 1999,
1 komentar:
Assalamu Alaikum pak.
sesuai tema diatas apakah pantas Lambang Negara RI yakni Garuda Pancasila di letakkan/digambar bukan pada tempat yang seharusnya misalnya pada Kaos olahraga PSSI, mohon pencerahannya.
terima kasih dan wassalam !
Nama: Fahruddin
NIM : A11108141
kelas :D Reguler B
angk. 2008/2009
UNTAN PONTIANAK
Posting Komentar