Mencari Design Hukum Yang Tepat Terhadap Hubungan Pusat Daerah Dalam NKRI
Oleh Turiman Fachturahman Nur
Ada pertanyaan yang perlu diajukan, apakah hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Kesatuan dan sistem pemerintahan berdasarkan UUD Negara RI 1945?
Mengapa pertanyaan tersebut diangkat, karena mengingat hingga saat ini masih nampak adanya berbagai permasalahan menyangkut hubungan antar pusat dan daerah, seperti munculnya gejala disintegrasi di sejumlah daerah, adanya ketidakjelasan dalam pelaksanaan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah, terjadinya tumpang tindih kewenangan antar tingkatan pemerintah dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, adanya tarik menarik urusan antara pusat dan daerah, adanya gejala keengganan dari Departemen/LPND tertentu untuk mendesentralisasikan urusan secara penuh, ketidakseimbangan pembagian keuangan antara pusat dan daerah yang telah menimbulkan kecemburuan di beberapa daerah, dan lain-lain.
Secara empiric nampaknya masalah hubungan antara Pusat dan Daerah yang berlangsung selama ini masih mencari bentuk, dan oleh karena itu, berbagai upaya untuk menemukan format yang ideal dan tepat terus dikaji Dari beberapa permasalahan yang nampak tersebut mengindikasikan perlunya upaya mencari tahu penyebab mendasar dari hal tersebut.
Dengan kata lain, perlu mencari konstruksi baru hubungan antara pusat dan daerah. Konstruksi hubungan tersebut paling tidak memuat pemikiran ulang mengenai tingkatan pemerintahan, status dan kedudukannya; pembagian wewenang (atau urusan) antar berbagai tingkatan pemerintahan; perimbangan keuangan antar tingkatan pemerintahan.
Hal ini dimaksudkan untuk menemukan titik keseimbangan antara pusat dan daerah. Pembahasan mengenai pola hubungan pusat dan daerah ini tidak dapat dilepaskan dalam kerangka teori bentuk negara dan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia. Bentuk Negara RI. Indonesia sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 1 (1) UUD 1945. ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
Perumusan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 dalam mendirikan negara, yang kemudian ditegaskan kembali dalam amandemen UUD 1945 dalam ketentuan Pasal 37 ayat (5) yang menyatakan: khusus mengenai bentuk negara kesatuan RI tidak dapat dilakukan perubahan. Sedangkan sistem pemerintahan RI dalam kaitan dengan hubungan pusat dan daerah adalah sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 18 dan 18A UUD 1945 antara lain: Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, iii kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang (Pasal 18 (1); Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (Pasal 18 (2); Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. (Pasal 18 ayat (5)
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat (1)) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang Pasal 18A ayat (2) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang Pasal 18B (1); Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang (Pasal 18B ayat (2).
Hubungan pusat di Bidang Pengeloaan Perbatasan
Kawasan perbatasan dengan negara tetangga merupakan wilayah yang secara khusus perlu diperhatikan. Pemerintah bermaksud mendorong perbaikan kawasan perbatasan sehingga menjadi beranda depan negara, termasuk kawasan perbatasan Kalimantan (Barat dan Timur) dengan Sarawak dan Sabah (KASABA).
Dengan spesifikasi dan nilai strategis kawasan perbatasan, Pemerintah Daerah memerlukan kewenangan yang besar untuk dapat mengembangkan kawasan perbatasan menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi baru di era otonomi daerah saat ini. Namun demikian, dalam pelaksanaannya walaupun sudah ada UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara, Pemerintah Daerah belum memiliki kewenangan yang jelas.
Berangkat dari beberapa persoalan yang terkait dengan aspek yuridis formal dan political will pemerintah untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah tersebut, Contoh kasus adalah masalah kewenangan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan di era otonomi daerah studi kasus di Kalimantan Barat menjadi sangat penting.
Ada empat hal yang ingin dicapai melalui penataan hubungan pusat dan daerah diarah ini, yaitu: (1) Untuk mengetahui situasi dan kondisi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat yang ada di wilayah perbatasan Kalimantan Barat, (2) Untuk mengetahui berbagai kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang terkait dengan pengelolaan kawasan perbatasan di era otonomi daerah saat ini, dan (3) Untuk mengetahui sejauh mana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat yang terkait dengan pengelolaan kawasan perbatasan telah mampu mengakomodasi harapan masyarakat di daerah, dan (4) Untuk mengetahui apa kewenangan, peran, dan fungsi yang dijalankan oleh Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK) yang ada di daerah.
Hubungan Pusat Dilihat Dari Kewenangan Daerah dalam Perumusan PERDA
Relasi kekuasaan antara pusat dan daerah dalam beberapa kurun waktu pasca reformasi 1998 dan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, senantiasa menghiasi perdebatan akademis dan menjadi wacana publik terkait Pola Hubungan kekuasaan Pusat dan daerah di Indonesia. Beberapa kalangan bahkan mengelompokkannya sebagai barometer pengukur denyut pegas tolak dan tarik kepentingan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kekuatan payung hukum yang menjadi sumber kewenangan suatu organisasi pemerintahan menjadi tematika pertukaran gagasan yang memiliki sensitifitas tinggi, karena selain terkait dengan ranah persoalan kuasa dan wenang, didalamnya juga terfragmentasi silang kepentingan yang seiring waktu menjadi semakin menarik untuk diperdebatkan.
Eksistensi Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang terdiri dari provinsi-provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan daerah otonom dan memiliki hak otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Sebagai daerah otonom yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, setiap daerah memiliki kewenangan menyusun Peraturan Daerah (Perda) sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Peraturan Daerah (Perda) sebagai peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama. Sehingga perda tersebut menjadi peraturan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat dan penyelenggara pemerintahan di daerah.
Lahirnya otonomi daerah diharapkan dapat mempercepat laju pertumbuhan masyarakat di daerah dalam berbagai bidang, terutama dengan adanya asas desentralisasi, dekonsentrasi dan pembantuan sehingga kesejahteraan masyarakat dan kerjasama pembangunan di daerah semakin meningkat.
Untuk itu perlu mencari format mengenai hal tersebut dalam rangka menata Ulang Hubungan Kekuasaan Pusat dan Daerah di Indonesia, karena perdebatan politik maupun pertarungan ide dan gagasan berbasis akademik terkait dengan model penataan hubungan pusat-daerah terus mengalami dialektika baik dalam perspektif praktikal maupun teoritik.
Metamorfosa design dan perkembangan tata penyelenggaraan negara, hampir diseluruh negara-negara di belahan dunia, akhirnya menjadi bahan kajian yang tak akan pernah dikategorikan sebagai kajian yang mudah lekang oleh perkembangan jaman.
Berbagai kajian terhadap gagasan penataan hubungan kekuasaan kerap dimulai melalui analisis berbasis perspektif historikal, khususnya untuk memberikan argumentasi terkait eksistensi dan perlintasan tumbuh dan kembang perjalanan suatu negara-bangsa.
Salah satu pedoman yang juga kerap dipergunakan adalah analisa dengan metode penelusuran sejarah berbasis dokumen hukum (legally document study). Dengan metode tersebut pula, akhirnya dapat ditelusuri bahwa upaya penataan hubungan kekuasaan dalam praktik penyelenggaraan hubungan kekuasaan antara pusat-daerah di Indonesia, telah dimulai sejak masa pemerintahan kolonial berkuasa. Dinamika penataan hubungan kekuasaan bergulir seiring dengan pergantian kekuasaan kolonial, dan berakhir ketika momentum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, negara baru yang berdaulat dan menamakan diri Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara historis ketika Indonesia sebagai negara yang baru lepas dari belenggu kekuasaan kolonialisme, ternyata Indonesia juga membekali diri dengan persiapan penyelenggaraan negara. Orientasi penataannya mempergunakan sistem pembagian kekuasaan, termasuk dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah. Permasalahan yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh adalah bagaimana perspektif historis hubungan kekuasaan pusat daerah di Indonesia, serta bagaimana hubungan wewenang, hubungan keuangan dan hubungan pengawasan dalam tata penyelenggaraan pemerintahan di daerah
Secara normative saat ini, bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang terdiri dari provinsi-provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan daerah otonom dan memiliki hak otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Hak otonomi bukan berarti untuk memecah daerah-daerah yang ada di Indonesia melainkan untuk lebih memajukan daerah dengan melibatkan peran aktif masyarakat daerah.
Peran aktif masyarakat di daerah dapat dilakukan dengan cara pemberian otonomi tersebut. Sebagai daerah otonom yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, setiap daerah memiliki kewenangan menyusun Peraturan Daerah (Perda) sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Perda sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dibahas bersama dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama
Dalam praktik perda itu bisa berasal dari eksekutif atau kepala daerah atau inisiatif dari anggota DPRD. Otonomi sendiri diharapkan dapat mempercepat laju pertumbuhan masyarakat di daerah dalam berbagai bidang, terutama dengan adanya asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan sehingga kesejahteraan masyarakat dan kerjasama pembangunan di daerah semakin meningkat.
Otonomi daerah akan mempunyai makna daerah diberikan wewenang membuat peraturan daerah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang ada diatasnya. Indonesia yang merupakan negara yang terdiri dari daerah-daerah baik provinsi, kabupaten/kota mempunyai hubungan yang erat dalam pelaksanaan otonomi. Otonomi yang melibatkan daerah-daerah diseluruh Indonesia diharapkan akan berdampak baik dalam menjalin hubungan kerjasama daerah di Indonesia, selain untuk memotivasi prestasi-prestasi daerah di bidang pembangunan daerahnya masing-masing.
Hubungan Pusat dan daerah Pengelolaan SDA
Banyak permasalahan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup khususnya pemanfaatan sumber daya alam yang berkaitan dengan otonomi daerah. Masalah tersebut dapat timbul akibat proses pembangunan daerah yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup. Di era otonomi ini tampak bahwa ada kecenderungan permasalahan lingkungan hidup semakin bertambah kompleks, yang seharusnya tidak demikian halnya.
Ada sementara dugaan bahwa kemerosotan lingkungan hidup terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, di mana daerah ingin meningkatkan PAD dengan melakukan eksploitasi sumberdaya alam yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup dengan semestinya. Dengan cara seperti ini maka terjadi kemerosotan kualitas lingkungan di mana-mana, yang diikuti dengan timbulnya bencana alam.
Terdapat banyak hal yang menyebabkan aspek lingkungan hidup menjadi kurang diperhatikan dalam proses pembangunan daerah, yang bervariasi dari daerah satu dengan daerah yang lain, dari hal-hal yang bersifat lokal seperti ketersediaan SDM sampai kepada hal-hal yang berskala lebih luas seperti penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan.
Permasalahannya adalah Apakah di era otonomi daerah saat ini, peraturan daerah (perda) di bidang pengelolaan sumber daya alam sudah memadai berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan? Bagaimanakah upaya penguatan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan sumber daya alam di daerah? Bagimanakah penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses perijinan? Bagaimanakah upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders di daerah?
Hal ini sangat terkait dengan niat baik pemerintah termasuk pemerintah daerah, masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya agar prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan dapat terselenggara dengan baik. Oleh karena pembangunan pada dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan program-program kegiatan pembangunan betul-betul yang menyentuh kepentingan masyarakat.
Hubungan Pusat dan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Sejak awal reformasi dalam pembahasan perubahan UUD 1945 telah disepakati bahwa bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan dan tidak perlu dirubah lagi. Prinsip utama bentuk negara kesatuan adalah semua kekuasaan ada pada pemerintah pusat sedangkan daerah-daerah mendapatkan kekuasaan melalui peraturan perundang-undangan.
Dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 karena berkonotasi federal memunculkan berbagai persoalan sebagaimana telah disebutkan diatas. Dalam hal kewenangan persoalan yang muncul adalah munculnya eforia kewenangan pemerintah daerah, tumpang tindih antara kewenangan yang diatur dalam UU pemerintahan daerah dan UU sektoral seperti pertanahan dan kehutanan serta munculnya berbagai peraturan daerah yang menghambat investasi.
Oleh karena itu UU tersebut digantikan dengan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mempertegas pengawasan pemerintah pusat kepada daerah seperti terhadap pengesahan peraturan daerah dan khususnya tentang APBD, yang dikesankan terjadi resentralisasi. Tetapi belum menyelesaikan persoalan kewenangan antar tingkatan dan hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah propinsi serta dengan pemerintah Kabupaten/Kota serta persoalan kewenangan pengelolaan sumber daya alam dan kepentingan masyarakat adat.
Selain itu, persoalan berikutnya berkaitan dengan fakta bahwa hubungan antara pusat dengan daerah bukanlah identik dengan hubungan antara kawasan dominan dengan kawasan satelit sebagaimana dikritik oleh Dos Santos (1973;1976) dalam struktur ketergantungannya yang menggambarkan hubungan yang tidak adil dan tidak seimbang (unfair and unbalanced relationship) pada tingkat internasional, antara negara Kapitalis Barat dengan negara Dunia Ketiga, dan pada tingkat nasional, antara Pusat dengan Daerah, yang menciptakan ketergantungan struktural.
Juga masalah lainnya dalam pelaksanaan otonomi daerah secara luas dan nyata adalah otonomi daerah bukan hanya otonomi bagi Pemerintah daerah tetapi juga otonomi bagi rakyat didaerah sehingga ada komitmen dari Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah untuk mensejahterakan rakyat di daerah dan pengakuan serta pengertian dari Pemerintah pusat tentang keberagaman kelompok etnis dan kelompok sosial lainnya serta keberagaman budaya. Sebagaimana yang ditulis dalam Business News, Senin, 29 Agustus 2005; Di depan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui kelemahan pelaksanaan otonomi daerah secara terus terang.
Untuk mencapai bentuk otonomi daerah yang ideal dikatakannya masih diperlukan jalan yang panjang. Pengakuan dari kepala pemerintah ini sangat penting karena sampai sekarang ini masalah mencapai bentuk otonomi daerah yang "ideal" masih mendominasi permasalahan pemerintah, sedangkan jalan keluar yang terbaik juga belum ada. Dalam tulisan itu Presiden mengakui bahwa proses desentralisasi dan otonomi daerah yang telah berjalan beberapa tahun itu, pada awalnya diliputi keraguan dan kekhawatiran akan berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa, karena desentralisasi dilakukan secara progresip, terlalu cepat, bahkan tanpa melalui masa transisi.
Penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme dari pusat merebak ke daerah-daerah. Unsur-unsur masyarakat madani (civic society) yang harus menjalankan checks-and balances pada proses demokrasi politik di daerah 2 belum berkembang secara efektif.
Mental aparat pemerintah belum sepenuhnya berubah. Sebagaimana contoh, sejak lama dua provinsi yang kaya SDA tidak merasa keuntungannya sebagai bagian dari NKRI sehingga memunculkan gerakan separatisme. Sentralisme dalam urusan pemerintahan juga menyebabkan bahwa kekayaan alam dari daerah tersedot ke pusat, dan Jawa mendapat bagian yang jauh lebih besar daripada hasil penerimaannya ketimbang daerah penghasil seperti Riau dan Kalimantan Timur. Riau adalah provinsi yang terkaya akan tetapi tingkat kemiskinan penduduk (asli) cukup besar, demikian juga di Papua dengan penghasilan dari pertambangan (Free Port). Beberapa karakteristik legal yang tampaknya perlu dipahami oleh masyarakat luas dengan adanya otonomi daerah antara lain adalah : (Desi Fernanda, 2002)
1. Meletakkan otonomi daerah sebagai wujud pengakuan kedaulatan rakyat sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas daerah tertentu dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan prakarsa sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat.
2. Daerah Otonom Kabupaten dan Kota tidak lagi merangkap sebagai wilayah administrasi pusat, sehingga tidak lagi ada perangkapan jabatan Kepala Daerah dan sekaligus Kepala Wilayah.
3. Menempatkan seluruh kewenangan pemerintahan pada Daerah Kabupaten dan Kota yang lebih dekat dengan masyarakat, kecuali kewenangan-kewenangan tertentu yang ditetapkan sebagai kewenangan Propinsi dan kewenangan Pusat. Kewenangan Propinsi terbatas pada bidang-bidang yang bersifat lintas Daerah Kabupatan/Kota, atau kewenangan yang belum dapat dilaksanakan oleh Daerah/Kota. Kewenangan Pusat antara lain meliputi lima bidang strategis, yaitu politik luar negeri, agama, ekonomi moneter, pertahanan dan keamanan, dan hukum/peradilan .
4. Tidak ada hubungan hirearki antara daerah otonom Kabupaten dan Kota dengan daerah otonom Propinsi. Jadi Daerah otonom Kabupaten/Kota bukanlah bawahan daerah otonom Propinsi.
5. Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD setempat. Artinya Kepala Daerah wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran, dan akhir masa jabatan.
6. Kedudukan keuangan daerah otonom menjadi lebih kuat dengan adanya desentralisasi fiskal, di mana daerah tidak lagi mendasarkan pengelolaan keuangannya kepada ketentuan alokasi dari Pusat, melainkan memilki otonomi penuh untuk mengelola keuangan daerah, dengan kewajiban melaporkannya kepada DPRD, sebagai bentuk akuntabilitas.
7. Struktur perangkat pemerintahan daerah tidak lagi seragam, melainkan boleh bervariasi sesuai dengan potensi dan keanekaragaman daerah. Sedangkan Kecamatan dan Kelurahan tidak lagi merupakan perangkat pemerintahan wilayah tetapi menjadi perangkat daerah otonom. 8. Pengawasan oleh Pusat lebih bersifat preventif daripada represif, sehingga terdapat keleluasaan bagi daerah untuk melaksanakan otonominya tanpa campur tangan Pusat, kecuali jika ternyata terdapat kebijakan daerah yang bertentangan dengan kebijakan nasional atau yang lebih tinggi.
Hubungan Pusat setelah Paskah Perubahan UUD Neg RI
Persoalan hubungan keuangan antara pusat daerah karena dalam konteks negara terdesentralisasi seperti Indonesia, persoalan tersebut selalu berkembang. Bagi kalangan juris perkembangan tersebut tampak misalnya dalam hal perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan daerah yang sangat dinamis. Bahkan dapat dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan di bidang ini merupakan peraturan perundang-undangan yang sangat berkembang pesat, dari mulai Indonesia merdeka hingga saat ini.
Perkembangan peraturan perundang-undang tersebut akan menggambarkan konsep dinamis antara desentralisasi dan sentralisasi yang seperti bandul. Misalnya, sebelum Perubahan UUD 1945 (khususnya Pasal 18), beberapa undang-undang bercorak desentralistis, seperti UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, dan beberapa lagi lebih mencerminkan sifat sentralistis, seperti UU No. 5 Tahun 1974. Hal tersebut sangat mungkin terjadi hingga saat ini di mana Pasal 18 UUD 1945 telah diubah menjadi 3 pasal pada masa Perubahan Kedua UUD 1945, misalnya antara UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004. UU No. 22 Tahun 1999 dibentuk sebelum Pasal 18 UUD 1945 berubah namun secara prinsip tidak bertentangan dengan perubahan Pasal 18 tersebut.
Sementara itu, UU No. 32 Tahun 2004 dibentuk setelah Perubahan Pasal 18 UUD 1945 dan mengubah ketentuan UU No. 22 Tahun 1999, begitu pula UU lainnya di bidang perimbangan keuangan pusat daerah. Perkembangan tersebut selalu menarik untuk diteliti, karena format desentralisasi selalu akan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat.
Namun demikian, memilih tema hubungan pusat daerah ini cukup beresiko, khususnya dalam hal kedalaman studi, karena terdapat beberapa dimensi hubungan pusat daerah. Kami mengambil resiko tersebut dengan tujuan bahwa penelitian ini menghasilkan gambaran persoalan hubungan pusat daerah ini secara umum (overview). Setidaknya dengan penelitian yang umum ini, diharapkan akan muncul penelitian penelitian lanjutan yang lebih spesifik lagi, seperti hubungan kewenangan pusat daerah atau dimensi dimensi lainnya.
Fenomena-fenomena dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sejak tercetusnya Undang-Undang tentang Otonomi Daerah yang selanjutnya diganti dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Fenomena yang ditemukan dalam kerangka awal peneltian ini bermula pada adanya prinsip otonomi daerah yang menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan opemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal tersebut telah jelas bahwa pemberian otonomi kepada daerah pada intinya adalah untuk memberikan keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah demi terciptanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pegembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta keserasian hubungan antara pusat dan daerah sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat di daerah.
Salah satu instrumen bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan rumah tangganya sendiri, sehingga otonominya benar-benar nyata dan bertanggung jawab, adalah Peraturan Daerah. Kenyataannya, sangat banyak Peraturan Daerah yang esensi dan urgensinya belum/tidak mencerminkan dirinya sebagai instrumen pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini berawal dari rendahnya pemahaman terhadap hakikat Peraturan Daerah dalam kaitannya dengan otonomi daerah.
Selain itu juga, pada umumnya materi muatan Peraturan Daerah belum mencerminkan materi muatan yang khas pada satu daerah otonom. Hal ini nampak pada kualitas materi muatan Peraturan Daerah. Selain kedua hal tersebut, masih banyak pula permasalahan Peraturan Daerah yang bersumber dari belum baiknya harmonisasi dan sinkronisasi dari Peraturan Daerah.
Fenomena ini dapat dilihat pada fakta rendahnya sinkronisasi dan harmonisasi, antara Peraturan Daerah dengan Peraturan Daerah, dan antara Peraturan Daerah dengan peraturan lainnya. Pertanyaan yang perlu dijaukan adalah : Sejaumana esensi dan urgensi Peraturan Daerah telah mencerminkan instrumen pelaksanaan otonomi daerah? Sejauhmana materi muatan Peraturan Daerah telah mencerminkan muatan yang khas pada suatu daerah otonom? Dan Bagaimanakah implikasi keberadaan Peraturan Daerah secara vertikal dan horizontal terhadap peraturan perundang-undangan lainnya?
Jawaban atas pertanyaan itu dimaksudkan untuk mengetahui esensi dan urgensi Peraturan Daerah yang mencerminkan instrumen pelaksanaan otonomi daerah, untuk mengetahui materi muatan Peraturan Daerah yang mencerminkan muatan yang khas pada suatu daerah otonom, serta untuk mengetahui implikasi keberadaan Peraturan Daerah secara vertikal dan horizontal terhadap peraturan perundang-undangan lainnya.
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang diperbaharui menjadi Undang-undang No. 32 tahun 2004 yang meletakkan otonomi daerah pada tingkat kabupaten/kota. Hal yang demikian menyebabkan tidak ada hubungan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/kota. Karena kabupaten/kota menganggap dirinya sebagai penerima otonomi, yang tidak ada hubungannya dengan provinsi, sehingga kabupaten/kota juga kurang responsif kepada provinsi dalam mengkoordinasikan pembangunan di daerah. Dalam keadaan yang demikian posisi gubernur sebagai perangkat pusat di daerah kurang efektif.
1 komentar:
Nama : ELVI FARIDA SIHOTANG
Nim : A11112004
Kelas : C ( Reg.B)
Mata Kuliah : HUKUM PEMERINTAH DAERAH
Setelah saya membaca , saya telah mengerti tentang pemeritah daerah dalam otonomi daerah yang telah dijelaskan disini karena Secara empiric nampaknya masalah hubungan antara Pusat dan Daerah yang berlangsung selama ini masih mencari bentuk, dan oleh karena itu, berbagai upaya untuk menemukan format yang ideal dan tepat terus dikaji Dari beberapa permasalahan yang nampak tersebut mengindikasikan perlunya upaya mencari tahu penyebab mendasar dari hal tersebut.
untuk menemukan titik keseimbangan antara pusat dan daerah. Pembahasan mengenai pola hubungan pusat dan daerah ini tidak dapat dilepaskan dalam kerangka teori bentuk negara dan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia. Bentuk Negara RI. Indonesia sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 1 (1) UUD 1945. ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
Secara historis ketika Indonesia sebagai negara yang baru lepas dari belenggu kekuasaan kolonialisme, ternyata Indonesia juga membekali diri dengan persiapan penyelenggaraan negara. Orientasi penataannya mempergunakan sistem pembagian kekuasaan, termasuk dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah. Permasalahan yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh adalah bagaimana perspektif historis hubungan kekuasaan pusat daerah di Indonesia, serta bagaimana hubungan wewenang, hubungan keuangan dan hubungan pengawasan dalam tata penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
pelaksanaan otonomi daerah secara luas dan nyata adalah otonomi daerah bukan hanya otonomi bagi Pemerintah daerah tetapi juga otonomi bagi rakyat didaerah sehingga ada komitmen dari Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah untuk mensejahterakan rakyat di daerah dan pengakuan serta pengertian dari Pemerintah pusat tentang keberagaman kelompok etnis dan kelompok sosial lainnya serta keberagaman budaya. Sebagaimana yang ditulis dalam Business News, Senin, 29 Agustus 2005; Di depan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui kelemahan pelaksanaan otonomi daerah secara terus terang.
Untuk mencapai bentuk otonomi daerah yang ideal dikatakannya masih diperlukan jalan yang panjang. Pengakuan dari kepala pemerintah ini sangat penting karena sampai sekarang ini masalah mencapai bentuk otonomi daerah yang "ideal" masih mendominasi permasalahan pemerintah, sedangkan jalan keluar yang terbaik juga belum ada. Dalam tulisan itu Presiden mengakui bahwa proses desentralisasi dan otonomi daerah yang telah berjalan beberapa tahun itu, pada awalnya diliputi keraguan dan kekhawatiran akan berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa, karena desentralisasi dilakukan secara progresip, terlalu cepat, bahkan tanpa melalui masa transisi.
Dari pengertiaan yang sudah saya baca, saya jadi mengerti banyak tentang otonomi daerah diindonesia ini khususnya
Posting Komentar