” Penyelesaian Kasus Tapal Batas Dusun Camar Bulan secara Elegan”
(Analisis Kasus Tapal Batas Perbatasan Kal-Bar)
Oleh: Turiman Fachturahman Nur
Selesaikah kasus Dusun Camar Bulan hanya dengan ”demo” dan ”beradu pendapat di DPR jika masyarakat perbatasan diabaikan kebutuhan dasarnya, mari belajar dari sedikit historis kawasan perbatasan secara yuridis normatif, bahwa di dalam UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dikatakan bahwa kawasan perbatasan merupakan kawasan strategis dan diprioritaskan pembangunannya secara nasional. Sebagai tindak lanjut UU di atas, diterbitkan Keppres No. 44 tahun 1994 tentang Badan Pengendali Pembangunan Kawasan Perbatasan, yang diketuai oleh Menhankam. Pada tahun 1997 diterbitkan PP No. 47 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang menetapkan kawasan andalan di Indonesia – termasuk 5 (lima) di Kalbar dan salah satunya kawasan perbatasan Kalbar. Tahun 1996 terbit Keppres No. 89 menetapkan KAPET secara nasional, yang untuk Kalbar adalah kabupaten Sanggau. Keppres ini diperbaharui tahun 1998 dengan Nomor 9, dimana KAPET Sanggau di Kalbar diperluas meliputi juga Kabupaten Sambas (termasuk Bengkayang sebagai hasil pemekaran kabupaten Sambas) dan satu kecamatan Kabupaten Pontianak (Menyuke). Diluar kebijakan di atas masih terdapat beberapa kebijakan nasional, yang menyangkut security belt / kawasan sabuk pengaman (Dephankam, 1986) melalui pemahaman lini 1 (9 kecamatan yang berbatasan langsung), dan lini 2 (tidak berbatasan langsung – tetapi mempunyai akses yang tinggi). Baik dalam UU 24/1992 maupun Keppres 44/1994 – secara implisit tersirat harapan upaya pembangunan kawasan perbatasan dilakukan dalam suatu konsep pembangunan yang jelas dan bersifat komprehensif serta integratif. Sayangnya, Keppres 44 di atas yang telah mengatur secara teknis upaya tersebut sampai saat ini belum menghasilkan apa-apa, Bahkan Keppres tersebut kemudian ditafsirkan oleh pihak Jamaker sebagai penegasan terhadap kewenangannya mengatur pembangunan di daerah perbatasan. Ini didasarkan pada surat Pangdam VI Tanjungpura No. B/575/VIII/1997, yang antara lain mengatakan bahwa untuk pembangunan areal selebar 20 Km sebagai pelaksana Keppres 44 / 1994 diserahkan kepada PT. Jamaker Kalbar Jaya, dan PT. Jamaker Kaltim.
Penetapan PT. Jamaker sebagai pelaksana pembangunan di kawasan perbatasan, awalnya mungkin sangat tepat (kondisi kawasan yang rawan konflik, pengamanan sumber daya hutan, pembangunan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, dst) – dengan penekanan pendekatan keamanan. Namun ironinya setelah 30 tahun mengelola kawasan tersebut, potensi virgin forest tinggal 10%, sedang kehidupan sosial ekonomi masyarakat tidak terangkat. Padahal dalam salah satu klausul MoU antara Jamaker dengan pemerintah (Dephut), ada kewajiban Jamaker untuk senantiasa menjaga kelestarian hutan kawasannya,dan pengembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat, termasuk pembangunan prasarana-prasarana dasar yang diperlukan.
Kemudian jika mengacu di dalam UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 19 menyatakan: Kawasan khusus adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional.?berdasarkan UU No 32 Tahun 2004, maka kawasan Perbatasan adalah kawasan khusus yang lebih lanjut harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan sampai saat ini Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan UU No 32 Tahun 2004 belum terbit, sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 19 ayat : (1) Untuk menyelengarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota. (2) Fungsi pemerintahan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas ditetapkan dengan undang-undang. (3) Fungsi pemerintahan tertentu selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (4) Untuk membentuk kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah mengikutsertakan daerah yang bersangkutan.(5) Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah. (6) Tata cara penetapan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan pemetaan peraturan perundang-undangan di atas memberikan pemahaman, bahwa kawasan perbatasan adalah sangat penting bagi kepentingan nasional dan daerah, tetapi apa sebenarnya yang dimaksud kawasan Perbatasan ? Pada pasal 1 angka 6 UU No 43 Tahun 2008 menyatakan : “Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan.
Berdasarkan definisi Pasal 1 angka 6 UU No 43 Tahun 2008 bahwa batas wilayah negara di darat, adalah berada di Kecamatan, jika kita kaitan dengan kasus Dusun Camar Bulan yang menjadi permasalahan saat ini, maka Dusun Camar Bulan adalah termasuk wilayah Kecamatan Paloh yang berada di Tangjung Datuk.
Saat ini menjadi problem dan mencuat kepermukaan berkaitan dengan Kasus Tapal Batas di Tanjung Datok yang sebenarnya sampai saat ini masih merupakan salah satu diantara yang dikategorikan Out Standing Boundery Problem (OPB) yang masih dalam perundingan RI-Malaysia, tetapi pihak Malaysia menganggap sudah selesai dan dari pemetaan masalah tapal batas sebenarnya ada lima yang dikatagorikan OPB yakni Batu Aum, Sungai Buan, Gunung Raya, D 400 dan Tanjung Datuk dan kelima hal tersebut ada disektor Barat, berkaitan dengan Tanjung Datuk, bahwa patut diketahui, bahwa penduduk yang berada di OPB Tanjung Datuk tersebut adalah penduduk Desa Temajuk sebanyak 493 KK dan luasnya lebih kurang 4.750 Km2 atau jumlah penduduknya kurang lebih 1.883 jiwa. Terdiri dari dua Dusun, yaitu Dusun Camar Bulan dan Dusun Maludin.
Persoalan OPB Tanjung Datuk sampai saat ini masih dalam proses perundingan di JIM (The Joint Indonesia- Malaysia Boundary Commite On Demaration and Survey Internaional Boundary) antara delegasi Indonesia yang dipimpin Sekjen Kementerian Dalam Negeri Malaysia.
Persoalan timbul saat ini, bahwa Malaysia mengklaim wilayah Camar Bulan adalah wilayah Malaysia dengan mendasarkan kepada MoU pada Tahun 1975 di Kinabalu (Malaysia) dan 1978 Di Semarang (Indonesia) tentang hasil pengukuran bersama tanah tersebut, namun MoU adalah bersifat sementara atau tidak tuntas atau bisa ditinjau lagi (modus vivendi), jika berdasarkan fakta dan juga dokumen peta, maka MoU yang sifatnya sementara tersebut tidak sesuai dengan Peta Negara Malaysia dan Federated Malay State Survey Tahun 1935, sehingga Indonesia dirugikan 1.449 Ha dan juga bertentangan dengan Pemetaan Kapal pemetaan Belanda van Doorn Tahun 1905 dan 1906 serta Peta Sambas Borneo (N 120-E1098/40 Greenwid, tetapi kemudian Malaysia buru-buru memasukan Outstanding Boundary Problems (OPB) Camar Bulan kedalam Peta Kampung Serabang, Serawak, Malaysia, ada apa dengan trik ini ?.
Di Kecamatan Paloh batas yang dianggap bermasalah oleh Indonesia mulai dari patok A. 86 hingga A 156, namun, hingga pertemuan tahun 2010, Malaysia belum mengakui wilayah tersebut masuk kategori OPB.
Jika kita mengacu hasil penelitian Tesis Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UNTAN yang diteliti selama dua tahun, yaitu Tahun 2005 s/d 2007 atas nama Umar Affandi yang merupakan penelitian sejarah hukum tentang perbatasan darat di Kal-Bar, mungkin satu-satunya penelitian yang bisa dijadikan acuan, maka dapat diungkapkan beberapa masalah pokok berkaitan dengan masalah perbatasan darat di Kal-Bar sebagaimana paparan berikut ini.
Penempatan patok pilar SRTP 01 secara sepihak oleh petugas ukur Malaysia di Tanjung Datok secara yuridis memberikan konsekwensi hukum yang merugikan Indonesia, karena pergeseran pada titik kordinat 1 detik garis lintang utara (30,866 meter x 12 Nautical Mile Laut x 1.852 meter = 685.980,799 m² = 68,598 ha di Zone Laut Teritorial), serta implikasinya terhadap border line dangkalan Niger Gosong, dengan demikian langkah pemerintah RI antara lain menyampaikan nota protes kepada Malaysia.
Penyelesaian sengketa atas zone Camar Bulan, Tim JIMBC Indonesia seharusnya dapat meyakinkan pada Tim Malaysia bahwa MoU 1976 di Kucing dan MoU 1978 di Semarang masih berbentuk sebuah kesepakatan dari petugas lapangan dan belum mewakili negara fihak, sebab yang berhak menandatangani perjanjian borderline antar negara adalah kepala negara atau kepala pemerintahan, dengan kata lain MoU 1976 dan 1978 bersifat prematur dalam hukum internasional atau diklasifikasikan sebagai modus vivendi (dapat ditinjau lagi) sehingga dengan demikian negara fihak sebenarnya secara hukum masih harus melakukan identification, rafication, and maintanance.
Kasus lain seperti penyelesaian atas sengketa di Gunung Raya wilayah Kabupaten Bengkayang, karena belum di MoU-kan, oleh karena itu Indonesia seyogyanya tetap berpedoman pada Convention Denhag 1928 Pasal 2 terkait dengan adanya masalah sosial pada waktu sebelumnya yang menyetujui zona Gunung Raya menjadi milik Hindia Belanda (saat itu).
Kemudian penyelesaian atas sengketa di zone Sei Buan wilayah Kabupaten Bengkayang, Indonesia seyogyanya mendasari secara yuridis sebagaimana ketentuan Convention the Hague 1928 Pasal 2 yang menyebutkan bahwa batas negara dari Gunung Jagoi Pokok Payung pada titik Trianggulasi, maka borderline harus mengikuti alur Sungai Buan dimana sumber mata airnya 50 meter di atas patok pilar dalam arah utara (N, W by N) atau arah barat laut, hal ini sesuai sesuai dengan penentuan garis perbatasan yang menggunakan watershead sesuai Traktat London 1824.
Penyelesaian sengketa zone Batu Aum wilayah Kab. Bengkayang, Indonesia seyogyanya berpedoman pada ketentuan hukum internasional dimana zone sengketa dibagi 2 dengan menarik garis mideline yang membelah menjadi 2. (dua).
Penyelesaian sengketa Borderline di Gunung Rasau pada Pilar Type D.400 wilayah Kab. Bengkayang, Indonesia seyogyanya berpedoman pada hasil pengukuran bersama Tim Pemetaan Indonesia-Malaysia tahun 1978 yang di dalam peta digambarkan garis berwarna merah.
Issu Kasus Area Formed di Desa Sei Tekam Kec. Sekayam Kab. Sanggau, muncul sebagai akibat dari pemahaman dalam pembacaan peta oleh anggota Satgaspur Yonif 621/Mtg, karena wilayah ini telah disepakati batas negara pada patok pilar type D kodifikasi nomor G.439 Coordinat 6029-9922 s.d G.443 Coordinat 6085-9972 sebagaimana tertuang dalam Peta Dittopad Helai 3326-IV Noyan 1995, dengan demikian permasalahan Sei Tekam telah dapat diselesaikan oleh instansi terkait pada tahun 2007.
Isu Exs Kasus Area Formed di Kec. Badau Kab. Kapuas Hulu seluas 60 ha yang ditanami sawit oleh petani Malaysia, sesuai penelitian Tim Gabungan Korem 121/Abw, Satgaspur Yonif 621/Mtg, Polda Kalbar dan Biro Hukum & HAM Prov. Kalbar dan instansi terkait lainnya awal Juni 2007 termasuk diantaranya adalah penulis hasil penelitian tesis sejarah hukum perbatasan darat (Umar Affandi) selaku mahasiswa magister ilmu hukum UNTAN Pontianak, dilapangan tidak ditemukan bukti syah menurut hukum bahwa fihak Malaysia melanggar batas teritorial RI, dengan demikian Issu Kasus Area Formed Nanga Badau harus segera dihapuskan dari agenda kita.
Demikian juga Eks Kasus Area Formed di Kec. Puringkencana Kab. Kapuas Hulu seluas 230 ha, sengketa pertanian lintas batas negara berawal dari perjanjian antara Suku Dayak Iban Serawak dengan Suku Dayak Kantuk Indonesia 1930 ketika Puringkencana masih menjadi wilayah administratif Contolleur van Boven Semitau berdasarkan Gouvernement Besluit Nederlandshe Indie Number 9 (Ind. Staastblad 1895 Number 75) yang disyahkan pejabat Belanda di Den Haag 11 April 1895, kasus ini telah diselesaikan RI – Malaysia, untuk RI diwakili Bupati Kapuas Hulu Jacobus Frans Layang, Malaysia oleh Residen Sriaman Mr. Patric Engkasan tahun 1999.
Pekerjaan rumah pemerintah yang harus diprioritaskan adalah menetapkan Undang-undang Batas Negara dan menyelesaikan peta wilayah laut dan darat (dengan memberdayakan peran Dittopad, Dishidros, Pusorta Dephan, Depdagri, Deplu RI dan Instansi terkait lainnya), dan sesegera mungkin mendepositkan data Base koordinat geografi titik-titik garis pangkal (base line and base point) ke lembaga internasional PBB, sesuai ketentuan Pasal 16 Ayat (2) UNCLOS III 1982. Adanya Undang-undang Batas Negara untuk kepastian hukum dan kejelasan pemanfaatan SDA (darat dan laut) dalam rangka kesejahteraan dan untuk keperluan TNI ketika menjaga kedaulatan NKRI.
Yang tetap harus menjadi perhatian semua fihak, jika lima titik out standing boundary problems di Kalbar belum dapat diselesaikan, tentu akan menjadi ganjalan dalam proses legalitas border line tingkat internasional pada lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa. Konsekwensinya bahwa Negara fihak secara yuridis belum dapat menerbitkan undang-undang perbatasan, karena undang-undang jika sudah disyahkan oleh pejabat yang berwenang mengesahkan, maka undang-undang negara berlaku universal karena terkait dengan kepastian hukum itu sendiri.
Tim JIMBC segera melaksanakan tahapan Penegasan Batas terkait dengan Outr Standing Boundary Problems di Camar Bulan, Batu Aum, Sei Buan, Gunung Raya, patok Pilar D.400 dan terkait dengan penerapan watershed maupun penempatan pilar SRTP 01 secara sepihak oleh petugas ukur Malaysia, dengan demikian kekawatiran masyarakat dan kepastian hukum border line segera terjawab, adapun salah satu tahapan proses ratifikasi : a.Rekon (recce): pencarian garis batas negara dilapangan mengikuti ketentuan watershed di lokasi yang akan di survei dan jika tidak ditemukan watershed, ditempuh dengan pola garis lurus (straigth line). b.Rintisan (clearing): pembersihan jalur pengukuran antara 2 (dua) tempat yang akan ditanam tugu patok pilar batas dengan cara rintisan ataupun penebangan pohon yang menghalang-halangi pekerjaan lapangan. c. Tanam tugu/ patok pilar batas (Boundary Makers Planted): penanaman tugu/ patok pilar batas negara sesuai tempat yang ditentukan bersama. d.Pengukuran situasi (tacheometric):yaitu kegiatan pengukuran untuk mendapatkan data ukur situasi watersheed dengan mengukur arah dan jarak dari patok batas ke arah depan (intersections) dan belakang (resections), juga arah samping kanan dan kiri maksimal sejauh 50 meter. e. Pengukuran poligon (demarcation):pengukuran untuk mendapatkan data arah dan jarak antara 2 tugu patok batas dengan alat elektronik GPS untuk mendapatkan koordinat dan tinggi tugu patok batas negara yang diukur dalam hitungan meter di atas permukaan air laut.
Setelah lima tahapan dapat diselesaikan oleh Tim JIMB yang perlu segera dilaksanakan oleh Indonesia adalah sosialisasi ”tapal batas”, hal ini menjadi penting jika sebuah kepentingan sudah sangat mendesak apalagi negara tetangga lebih dahulu siap dengan program strategis daerah perbatasan, salah satu kelemahan pembangunan daerah perbatasan adalah sosialisasi program yang berhadapan dengan kepentingan masyarakat perbatasan, oleh karena itu sosialisasi hukum boundary line menjadi sangat penting dilakukan.
Hal-hal yang sering muncul dalam wacana di pemerintahan dan masyarakat bahkan ketika era otonomi daerah ternyata masalahnya bukan persoalan “patok bergeser” tetapi menyangkut kemanfaatan yang terselesaikan secara hukum internasional, disinilah pemahaman tapal batas negara secara hukum menjadi penting untuk disosialisasikan kepada semua fihak termasuk masyarakat perbatasan dan seluruh komponen bangsa, sebab hukum borderline secara materiil (fisik) berwujud patok pilar batas suatu negara yang dijustivy kedalam international rechstaats dan terikat pula oleh 2 public rechtaats sebagai perbandingan 2 system hukum public negara fihak. Dengan demikian negara fihak terikat sebagai obyek materiil hukum internasional dan salah satu fihak tidak boleh mengundurkan diri dari out standing boundary problems.
Kemudian rekomendasi penyelesaiannya adalah, bahwa terkait degan persoalan hukum yang tidak di otonomkan, disarankan pemerintah pusat menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang border line sambil menunggu proses hukum internasional yang saat ini masih dalam tahap rangkaian proses ratifikasi, khususnya di 5 (lima) titik out standing boundary problems.
Terkait dengan penempatan patok pilar SRTP 01 oleh petugas ukur Malysia di Tanjung Dato dan akibat hukum merugikan Indonesia 1 detik garis lintang utara (30,866 meter x 12 nautical mile laut x 1.852 meter), serta implikasinya terhadap border line kawasan dangkalan Niger Gosong, dipandang perlu pemerintah Republik Indonesia segera melakukan nota protes kepada pemerintah kerajaan Malaysia.
Kasus Zone Camar Bulan seluas 1.499 hectoare, solusi penyelesaian menurut penulis dengan pola garis lurus (straigth line) mulai dari patok type A.89 s.d A.156 dengan alasan karena RI telah menguasai secara efektif (Efective Ocupation) sejak 11 Februari 1982 dengan kegiatan pencetakan lahan sawah baru dilokasi tersebut melalui program AMD Manunggal Sosial Sejahtera VII dibawah pimpinan Dansatgas Letkol Czi Suparyatmo Yonzipur 9/ Kostrad sebanyak 200 prajurit, upacara pelepasan oleh Kasad Jenderal TNI Poniman di Darmaga Tanjungpriok Jakarta. Adapun sasaran AMD yang dilaksanakan saat itu adalah: pembuatan jalan rintisan Liku-Sei Bening 36 km dan 74 jembatan, 20 unit Rumah pemukiman baru di Temajok Tanjung Dato, Surau, Gereja, Gedung SD, Puskesmas, penutupan AMD oleh Pangdam XII/Tpr Brijen TNI I.B Sujana.
Perlu diberikan kewenangan khusus kepada Badan Pengelola Kawasan Perbatasan Kal-Bar yang berkoordinasi dengan Kantor Wilayah Kementerian Pertahanan RI yang menunjuk perwakilannya yang berkedudukan di kota Pontianak dan secara khusus membidangi serta mengurus persoalan borderline, dan sebenarnya subtansi persoalannya adalah kurang perhatian pemerintah pusat terhadap kesejahetaraan masyarajat di Perbatasan dan seringnya perencanaan yang sudah direncanakan matang oleh birokrasi didaerah yang sebenarnya sangat paham persoalan kawasan perbatasan “selalu dirubah-rubah” oleh pejabat-pejabat di pemerintah pusat dan kurang dikoordinasikan dengan pemerintah daerah Kab di Perbatasan dan dengan Gubernur provinsi Kalimantan Barat sebagai wakil pemerintah pusat yang ada di daerah, inilah “ego sektoral” yang masih menjadi kendala di birokrasi pemerintahan, RI. Sedangkan pemerintah Malaysia karena negara berbentuk federal kebijakan ada diwilayahnya menjadi otonom pemerintah pederal dan sangat memperhatikan kawasan perbatasan dengan segala infra struktur, logikanya jika kawasan perbatasan darat entri pointnya adalah Kecamatan, apakah Pemerintah RI tak bisa membangun satu Kecamatan yang di wilayahnya ada masalah perbatasan, ini jelas tidak masuk akal, bagaimana mungkin menjadi kawasan berbatasan menjadi beranda depan, jika membangun “mercusuar” ditanjung Datok sebagai titik permulaan atau membetulkan patok batas A 1 yang telah rusakpun tak bisa, oleh karena hasil-hasil penelitian perbatasan di Universitas Tanjungpura jangan hanya menjadi “arsip sampah” dan diabaikan oleh pengambil kebijakan sebenarnya sudah setumpuk penelitian dan setumpuk rekomendasi tetapi diabaikan setelah meledak baru semua “kebakaran jenggot dan “panik” sedangkan pihak Malaysia sangat konsen dengan hasil-hasil penelitian akademis dan rencana stretegis pembangunan kawasan perbatasan, akhirnya seperti kata orang Kal-Bar dalam lagu kopi pancung “ka atilah kaulah pek-pek.......!” masihkah pemerintah pusat peduli dengan masyarakat kawasan perbatasan di Kal-Bar yang patoknya masih bermasalah dengan Malaysia atau kita masih berdebat terhadap keseluruhan proses pembangunan di kawasan perbatasan mulai dari perencanaannya – harus dikoordinasikan. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah – siapa atau lembaga apa yang paling pas bertanggung jawab mengkoordinasikan seluruh kegiatan di atas – apakah Pemerintah Pusat (Departemen Hankam ? Departemen Kehutanan, karena di Dusun Camar Bulan masih utuh hutannya ? Bappenas ? Departemen Dalam Negeri ? dst), atau Pemerintah Daerah, atau swasta ? BUMN – misalnya Perum Perhutani ? – atau ada alternatif lain ? Atau diperlukan pembagian kewenangan yang jelas antara seluruh pelaku pembangunan tersebut pada tingkat pemerintah pusat sehingga daerah tidak dibingungkan dengan berbagai program kawasan perbatasan yang sebenarnya bisa dipadukan antar sektor. Tetapi yang jelas itu semua seperti ”benang kusut”, yang bahkan untuk mencari ujungnya saja sulit – apalagi mencoba menguraikannya, karena begitu banyak konflik kepentingan–atau sebaliknya keengganan mengurus/bertanggung jawab. However, everything is change but change……
.
0 komentar:
Posting Komentar