ANALISIS KEDUDUKAN
HUKUM KUASA PERTAMBANGAN (KP) PASCA DIBERLAKUKAN UU NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG
MINERAL DAN BATU BARA
Dipetakan dari
berbagai sumber oleh Turiman
Fachturahman Nur
Jika kita membaca web hukum on line dibawah
judul : Penyesuaian KP Menjadi IUP Dimulai; dan pernyataan Dirjen Minerbabum
menegaskan, surat kuasa pertambangan yang diterbitkan setelah tanggal 12
Januari 2009, dinyatakan batal dan tidak berlaku. Anehnya, Dirjen juga
menghimbau pemerintah daerah untuk tidak menerbitkan IUP baru sampai PP keluar.
Pernyataan tersebut menimbulkan keresahan
para pemegang Kuasa Penambangan (KP) mulai terjawab. Sejak UU No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) terbit, polemik di kalangan
pengusaha tambang pun khususnya pemegang KP menggeliat. Pasalnya, ketentuan KP tidak disentuh sama sekali dalam
Undang-Undang itu. Padahal, selama ini KP bisa dianggap sebagai roh dari
kegiatan pertambangan buat pengusaha tambang.
Dalam seminar UU Minerba yang diusung hukumonline,
Januari 2014, memang ada kisampangsiuran masalah KP di kalangan pengusaha dan kepala
daerah. Banyak yang berpikir, tidak diaturnya KP bisa menyebabkan KP batal demi
hukum. Para
pemegang KP pun khawatir, sebab bisa-bisa konsesi pertambangannya diserobot
lantaran keadaan hukum yang baru.
Pada 30 Januari 2009, Direktur Jenderal
Mineral, Batubara dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
(Dirjen Minerbabum DESDM) Bambang Setiawan, menerbitkan Surat Edaran Nomor:
03.E/31/DJB/2009. Surat itu berjudul Perizinan Pertambangan Mineral dan
Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksananaan Undang-Undang
No. 4 Tahun 2009.
Surat edaran itu menegaskan, KP tetap
berlaku sampai waktu berakhirnya. Namun, tetap harus disesuaikan menjadi Izin
Usaha Pertambangan (IUP) paling lambat 1 tahun sejak berlakunya UU Minerba.
"Memang seharusnya begitu, itu kan izin yang sudah keluar sebelum
Undang-Undang baru," tegas ahli hukum pertambangan Prof. Abrar Saleng
melalui sambungan telepon kepada hukumonline, Senin (04/5).
Ternyata, Surat Edaran itu belum menjawab
permasalahan. Buktinya, masih banyak pemerintah daerah yang justru
mempertanyakan maksud dari Surat Edaran itu ke Menteri ESDM. Bak gayung
bersambut, Dirjen Minerbabum pun menerbitkan surat Nomor. 1053/30/DJB/2009
perihal IUP tanggal 24 Maret 2009. Surat yang ditujukan kepada Gubernur dan
Bupati/Walikota di seluruh Indonesia itu merupakan turunan dari Surat Edaran
Nomor: 03.E/31/DJB/2009. Surat itu lagi-lagi menjelaskan seputar
kesimpangsiuran terhadap IUP.
Baik dalam SE No. 03.E maupun surat No.
1053 dinyatakan KP yang masih dapat berlaku hanyalah yang diterbitkan sebelum
12 Januari 2009. KP yang terlanjur diterbitkan pada tanggal itu dinyatakan
batal dan tidak berlaku. "Langkah ini sangat bagus untuk investasi dan
kepastian hukum," dukung Abrar.
Dalam suratnya, Dirjen Minerbabum meminta para
petinggi daerah untuk menyampaikan semua permohonan KP yang telah disetujui
pencadangan wilayahnya agar dievaluasi dan diverifikasi. Tujuan pemeriksaan ini
untuk mempersiapkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) sesuai peraturan
perundang-undangan di bidang tata ruang nasional. Berdasarkan SE No. 03.E,
penyampaian informasi ini harus sudah dipenuhi paling lama satu bulan sejak
surat edaran tersebut ditetapkan.
Para pemegang KP yang telah melakukan
tahapan kegiatan eksplorasi atau eksploitasi diharuskan untuk menyampaikan
rencana kegiatan pada seluruh wilayah KP sampai dengan jangka waktu berakhirnya
izin tersebut selambatnya 6 bulan sejak berlakunya UU Minerba. Dokumen-dokumen
tersebut harus disampaikan dengan tembusan kepada Dirjen Minerbabum.
Penyampaian rencana kegiatan ini menjadi persyaratan untuk mendapatkan
persetujuan pemberi izin KP yang sudah dimohonkan sebelumnya.
SE Nomor:
03.E/31/DJB/2009
Tanggal 30
Januari 2009
|
Surat Nomor: 1053/30/DJB/2009
Tanggal 24 Maret 2009
|
A.
Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia agar memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1.
KP yang telah ada sebelum
berlakuknya UU Minerba, termasuk peningkatan tahapan kegiatannya tetap
diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya KP dan wajib disesuaikan menjadi
IUP paling lambat 1 tahun sejak berlakunya UU Minerba
2.
Menghentikan sementara penerbitan
IUP baru sampai diterbitkannya PP
3.
Berkoordinasi dengan Dirjen
Minerbabum atas semua permohonan peningkatan tahap kegiatan KP termasuk
perpanjangannya untuk diproses sesuai UU Minerba
4.
Menyampaikan kepada Menteri ESDM
melalui Dirjen Minerbabum, semua permohonan KP yang telah diajukan, dan telah
mendapat persetujuan pencadagan wilayah sebelum berlakunya UU Minerba, untuk
dievaluasi dan diverifikasi dalam rangka mempersiapkan WIUP sesuai ketentuan
perundang-undangan di bidang tata ruang nasional, paling lambat 1 bulan sejak
Edaran ini diterbitkan
5.
Memberitahukan kepada para pemegang
KP yang telah melakukan tahapan eksplorasi atau eksploitasi paling lambat 6
bulan sejak berlakunya UU Minerba, harus menyampaikan rencana kegiatan pada
seluruh wilayah KP sampai jangka waktu berakhirnya KP untuk mendapatkan
persetujuan pemberi izin KP, dengan tembusan kepada Dirjen Minerbabum
6.
Surat Keputusan KP yang
diterbitkan Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota setelah tanggal 12 Januari
2009 dinyatakan batal dan tidak berlaku
7.
Dirjen Minerbabum akan
mengeluarkan format penerbitan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi
8.
Permohonan baru Surat Izin
Pertambangan Daerah bahan galian golongan C termasuk perpanjangannya yang
diajukan sebelum berlakunya UU Minerba, tetap diproses menjadi IUP sesuai UU
Minerba setelah berkoordinasi dengan gubernur.
B.
Permohonan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara (PKP2B) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 UU Minerba, paling
lambat 6 bulan sejak berlakunya UU Minerba ini harus membentuk Badan Hukum
Indonesia sebagai bahan pertimbangan dalam memproses IUP.
|
|
Selain
menghidupkan kembali KP yang terlajur dimohonkan, Dirjen Minerbabum menegaskan,
penerbitan IUP dihentikan sementara sampai disahkannya Peraturan Pemerintah
(PP) yang sebagai pelaksanaan UU Minerba. Meski demikian, untuk peningkatan
atau perpanjangan KP, formatnya sudah harus menggunakan format IUP yang
ditetapkan Dirjen Minerbabum. Artinya, kegiatan peralihan dari KP menjadi IUP
secara tidak langsung tengah dilakukan pemerintah.
Terlepas dari format itu, Abrar menilai kebijakan
Dirjen Minerbabum untuk menghentikan sementara penerbitan IUP bisa berdampak
buruk bagi investasi. Sedangkan jika ditinjau dari sisi hukum, Abrar
melihat posisi kedua surat edaran Dirjen Minerba itu lemah. "Dalam tata
perundang-undangan kita, surat edaran itu bukan sumber hukum. Bahkan bukan
petunjuk teknis," tegasnya.
Menurutnya, karena sudah diundangkan, maka ketentuan penerbitan IUP
seharusnya bisa dilaksanakan tanpa menunggu PP. Dari sisi hukumnya, lanjutnya,
tidak benar jika pemerintah harus menunda pelaksanaan Undang-Undang hanya
karena sebuah surat edaran. "Kalau menurut pribadi saya, seharusnya tidak
ada surat edaran itu," tukas Abrar.
Dari sisi kepraktisan, Abrar menilai tidak diterbitkannya sementara IUP
bukan langkah tepat. Dalam masa penantian disahkannya Rancangan PP, arus investasi yang tertahan
dinilai Abrar sangat luar biasa besarnya. "Hebat sekali surat edaran itu
bisa menunda Undang-Undang, kalau ditasfirkan menunda," ujarnya.
Abrar juga menegaskan, pemberi
izin selayaknya boleh menerbitkan IUP sepanjang tidak bertentangan dengan UU
Minerba dan dilatari oleh keadaan mendesak. Toh, kata dia, bentuk izin dan
luasan cakupan wilayah penambangannya sudah harga mati. Sehingga tidak dapat
dinegosiasikan dalam RPP.
Menurut pengamatan Abrar di lapangan, keadaan untuk penerbitan IUP sangat
mendesak. Nyatanya dia kebanjiran keluhan dari para bupati saat
mensosialisasikan UU Minerba di berbagai daerah. "Di daerah marah-marah
semua Bupati, kenapa kita harus dihalangi? Kenapa harus menunggu RPP?"
ungkap Abrar.
Setelah diberlakukannya
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU
No. 4/2009), maka sesuai dengan ketentuan penutupnya UU No.11 Tahun 1967
tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (UU No. 11/1967) dinyatakan
dicabut dan tidak berlaku lagi. Namun, tidak semua ketentuan yang ada pada UU
No. 11/1967 dicabut dan langsung dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam ketentuan
peralihan UU No. 4/2009 dinyatakan bahwa Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian
Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) masih berlaku sampai jangka
waktu berakhirnya kontrak/perjanjian (Pasal 169 huruf a). Hal ini dikarenakan
KK dan PKP2B merupakan suatu kontrak yang sah dan harus dihormati oleh
pihak-pihak yang membuat. Dlm kaitan dengan kontrak2 dimaksud biasa diterapkan
adanya prinsip the sanctity of contract atau kesucian kontrak yang ada
sebelumnya harus dihormati tetap sah dan berlaku, meskipun hukum yg menjadi
dasarnya sudah berubah. Yang menjadi permasalahan dalam UU No.4/2009 adalah
ketiadaan pengaturan mengenai Kuasa Pertambangan (KP) yang sebelumnya diatur
dalam UU No.11/1967, akan tetapi tidak diatur dalam UU No. 4/2009. Sehingga
ketiadaan pengaturan itu menimbulkan suatu permasalahan tersendiri mengenai
status hukum dari KP tersebut.
Pasal
173 ayat (1) UU No. 4/2009 menyatakan bahwa UU No. 11/1967 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku, kecuali hal-hal yang diatur dalam ketentuan peralihan
UU tersebut serta peraturan pelaksana dari UU No. 11/1967 sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam UU ini. Dimana menurut Dendi Adisuryo
secara garis besar sebuah ketentuan peralihan meliputi:
Pertama,Ketentuan-ketentuan
tentang penerapan peraturan perundang-undangan baru terhadap keadaan yang
terdapat pada waktu peraturan perundang-undangan yang baru itu diundangkan;
Kedua, Ketentuan-ketentuan
tentang pelaksanaan peraturan perundang-undangan baru itu secara
berangsur-angsur;
Ketiga,Ketentuan-ketentuan
tentang penyimpangan untuk sementara waktu dari peraturan perundang-undangan
baru itu; dan
Keempat, Ketentuan-ketentuan
tentang aturan khusus bagi keadaan atau hubungan yang sudah ada pada saat mulai
berlakunya peraturan perundang-undangan baru itu.
Untuk status KK dan PKP2B, tidak
terdapat permasalahan karena masih diatur dalam Ketentuan Peralihan. Akan
tetapi, jika dilihat dari keberadaan ketentuan peralihan tersebut, seharusnya
KP juga diatur dalam ketentuan peralihan, sehingga status hukumnya jelas bagi
para pemegang KP yang ada sebelum diundangkannya UU No.4/2009. Namun nyatanya
KP tidak dicantumkan sama sekali dalam ketentuan-ketentuan yang ada pada UU No.
4/2009.Untuk menjawab mengenai Status hukum KP ini maka perlu dilihat dari dua
sudut pandang yang berbeda, yaitu (1) KP adalah kontrak, (2) KP bukan merupakan
kontrak. Jika KP dipandang sebagai kontrak maka, sejalan dengan pendapat Prof .
Jimly Asshiddiqie, KP tersebut masih tetap sah dan berlaku, dimana menurut
beliau: “berdasarkan prinsip yg berlaku universal, meskipun tidak tercantum
dalam ketentuan peralihan, setiap perubahan hukum dengan sendirinya mengandung
aturan peralihan semacam itu dimana kontrak-kontrak dan segala tindakan dan
peristiwa hukum yg telah berlaku sah sejak sebelumnya tetap dianggap sah
meskipun dlm norma hukum yg baru tdk tercantum penegasan bahwa hal-hal tersebut
masih tetap sah. Dlm kaitan dg kontrak-kontrak dimaksud biasa diterapkan adanya
prinsip “the sanctity of contract” atau kesucian kontrak yg ada sebelumnya
harus dihormati tetap sah dan berlaku, meskipun hukum yg menjadi dasarnya sudah
berubah.” Namun, apabila KP dipandang bukan merupakan kontrak, maka status
hukum KP yang ada sekarang sudah tidak berlaku dan tidak valid lagi,
dikarenakan dasar hukum yang dipakai untuk mengeluarkan KP sudah dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Sebenarnya jika melihat bunyi pasal 173 ayat
(2) Ketentuan Penutup UU No. 4/2009 penulis menemukan titik terang mengenai
status hukum KP. Dimana dinyatakan bahwa segala peraturan pelaksanaan dari UU
No. 11/1967 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan UU No. 4/2009. Yang menjadi perhatian disini adalah kata-kata tidak
bertentangan yang disebutkan dalam ketentuan tersebut. Ada dua makna yang
timbul dari kata-kata tersebut. Pertama, jika yang dimaksudkan tidak
bertentangan tersebut adalah segala hal yang ada pada peraturan pelaksana tetap
berlaku kecuali hal-hal yang dilarang dalam UU, maka KP masih tetap berlaku,
karena keberadaan KP tidak dilarang dalam UU. Kedua, jika yang dimaksudkan
tidak bertentangan adalah segala sesuatu yang ada pada peraturan pelaksana
harus selaras dan sejalan dengan yang ada pada ketentuan-ketentuan UU, dimana
tidak boleh ada pengaturan yang mengatur hal-hal yang tidak ada dalam UU, maka
KP dinyatakan tidak berlaku.
Di bagian penjelasannya disebutkan
: "Kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam mengeri
dimaksudkan, antara lain, untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang
dari produk, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan
penerimaan negara." Sungguh tujuan yang mulia. Tetapi apakah tujuan ini
sudah diimplementasikan? UU ini memberikan tenggat waktu sampai 12 Januari 2014
kepada para penambang untuk menjalankan kewajiban ini. Itu artinya, dua bulan
lagi amanat ini harus sudah dijalankan.Sudah siapkah perusahaan-perusahaan
tambang di Indonesia mengimplementasikan amanat mulia ini? Sejauh ini mayoritas
perusahaan-perusahaan tambang baru merencanakan pembangunan smelter. Ada juga
yang sudah dalam tahap konstruksi. Tapi yang pasti, smelter mereka belum bisa
beroperasi penuh pada tahun 2014. Lantas pemerintah pun "berbaik
hati" kepada para perusahaan tambang. Saat ini, melalui kantor
Menteri Koordinator Perekonomian, pemerintah sedang mempersiakan sebuah
peraturan pemerintah yang intinya memberikan dispensasi kepada perusahaan
tambang untuk "melanggar" UU NO 4 Tahun 2009. Artinya, mereka masih
boleh mengekspor mineral mentah (biji mineral) pada tahun 2014. Informasinya,
dispensasi ini berlaku hingga 2017 mendatang.
Dispensasi diberikan kepada
perusahaan yang sudah melakukan studi kelayakan pembangunan smelter paling
lambat Desember 2013 ini. Untuk perusahaan yang tidak memiliki rencana
pembangunan smelter, ekspor masih bisa dilakukan bila sudah meneken nota
kesepahaman dengan jual beli biji mineral dengan perusahaan yang membangun
smelter.
Berapa pihak sangat tidak setuju
dengan dispensasi semacam ini. Apalagi masa jedah yang diberikan UU cukup lama
yaitu lima tahun. Ke mana saja perusahaan-perusahaan tambang itu selama lima
tahun ini? Jangan-jangan mereka mengisi masa jedah lima tahun ini dengan jor-joran
mengekspor mineral mentah?Lalu, apa pula kerja pemerintah dalam hal ini
Kementerian Energi dan SUmber Daya Mineral (ESDM) selama lima tahun ini?
Sepengamatan saya, pemerintah baru serius mensosialisasikan kewajiban
hilirisasi ini pada tahun 2012 lalu. Ini ditandai dengan terbitnya Peraturan
Menteri ESDM No 7 tahun 2012 tentang peningkatan nilai tambah mineral.
Keterangan pejabat Kementerian
ESDM, Peraturan yang diteken Menteri ESDM Jero Wacik pada 6 Februari 2012 ini
diterbitkan karena beberapa alasanya :Pertama, UU No 4 tahun 2009 tentang
Mineral dan Batubara mengamanatkan agar ada komoditas pertambangan wajib diolah
di dalam negeri sebelum diekspor.
UU ini memberikan pengecualian
kepada perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B) untuk menjalankan kewajiban tersebut paling labat
tahun 2014 nanti.Sedangkan untuk perusahaan pegemang IUP operasi produksi dan
Izin Pertambangan Rakyat wajib menjalankan kewajiban tersebut sejak diterbitkan
UU ini. Namun, meski sudah sekitar tiga tahun (tahun 2012 lalu) UU Minerba
berlaku, tetapi kegiatan pengolahan dan permuniran di dalam negeri belum
menunjukan peningkatan signifikan, malah sebaliknya kegiatan ekspor bahan
mentah (raw material) pertambangan mineral terus menunjukan peningkatan.
Data Direktoran Jenderal Mineral
dan Batubara mengungkapkan ada sejumlah komoditas mineral yang saat ini sama
sekali belum memiliki smleter di dalam negeri sehingga sebagian besar
produksinya diekspor. Misalnya, biji nikel. Tahun 2011 lalu total produksinya
mencapai 32,9 juta ton. Dari jumlah tersebut yang diekspor mencapai 32,6 juta
ton.
Demikian juga bauksit. Produksi
tahun 2011 mencapai 40,7 juta ton. Dari jumlah tersebut total ekspor mencapai
39,7 juta ton sedang yang diolah di dalam negeri hanya 0,03 juta ton. Alasanya
kedua, karena sejak tahun 2009, ada tren produksi mineral dilakukan secara
masif. Mangan misalnya, produksinya meningkat delapan kali lipat sejak 2008,
tembaga bahkan 11 kali lipat dari 2008 ke tahun 2011.
Tetapi terbitnya Permen No 7 Tahun
2012 ini memicu penolakan dari sejumlah perusahaan tambang yang tergabung dalam
asosiasi perusahaan tambang mineral. Pemerintah pun ciut nyalinya. Maka belum
sempat diterapakan, Permen No 7 tahun 2012 itu pun direvisi lagi dengan Permen
No 11 tahun 2012. Isinya, pemagang IUP operasi produksi masih boleh melalukan
ekspor mineral dengan sejumlah catatan yaitu:
Pertama
menandatangai pakta integritas untuk mengembangkan hilirisasi melaui
pembangunan smelter dalam rangka peningkatan nilai tambah.
Kedua,
ada kewajiban-kewajiban untuk menjaga lingkungan dan hal-hal yang berkaitan
dengan tata niaga.Ketiga, IUP dari perusahaan-perusahaan tambang harus sudah dinyatakan
clear and clean (CNC).Apabila semua persyaratan terpenuhi, perusahaan tambang
mineral tetap boleh melakukan ekspor sampai tahun 2014 asal membayar bea
keluar.
Tahun
2013, karena alasan kinerja ekspor Indonesia melemah, pemerintah lantas
merelaksasi ekspor mineral yang sudah diketatkan sejak 2012 lalu.
Berdasarkan keterangan Amir Sambodo,
staf ahli kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, seperti dilansi Harian
KONTAN, 18 November 2013, pemerintah sekarang sedang menyiapkan aturan baru terkait
larangan ekspor mineral.
Aturan ini nantinya tetap memberikan
izin ekspor kepada sejumlah perusahaan tambang mineral pada tahun 2014 nanti
hingga 2017 dengan sejumlah persyaratan.
Menurut Amir Sambodo pemerintah akan
meminta persetujuan DPR terkait penundaan larangan ekspor mineral ini. Apakah
DPR akan ikut "mempermainakan" UU minerba yang telah mereka godok
lima tahun lalu? Kita tunggu saja kelanjutan ceritanya.
Tujuan diterbitkannya Peraturan
Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Peningkatan Nilai
Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan Dan Pemurnian Mineral sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun
2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan
Pengolahan dan Pemurnian Mineral (“Permen ESDM tentang Kegiatan Pengolahan
dan Pemurnian Mineral”) adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 96 dan
Pasal 111 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara (“PP tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Minerba”).
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Permen ESDM tentang
Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral, golongan komoditas tambang mineral
yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya adalah:
- mineral logam;
- mineral bukan logam; atau
- batuan.
Selanjutnya,
di dalam Pasal 3 ayat (1) Permen ESDM tentang Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian
Mineral diatur bahwa peningkatan nilai tambah komoditas tambang dilaksanakan
melalui kegiatan:
- pengolahan dan/atau pemurnian untuk komoditas tambang mineral logam tertentu;
- pengolahan untuk komoditas tambang mineral bukan logam tertentu; dan
- pengolahan untuk komoditas tambang batuan tertentu.
Kegiatan
pengolahan dan/atau pemurnian sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan batasan
minimum pengolahan dan/atau pemurnian berdasarkan atas pertimbangan sebagai
berikut:
- memiliki sumber daya dan cadangan bijih dalam jumlah besar;
- untuk mendorong peningkatan kapasitas produksi logam di dalam negeri;
- teknologi pengolahan dan/atau pemurnian sudah pada tahap teruji;
- produk akhir pengolahan dan/atau pemurnian sebagai bahan baku industri kimia dan pupuk dalam negeri;
- produk akhir sampingan hasil pengolahan dan/atau pemurnian untuk bahan baku industri kimia dan pupuk dalam negeri;
- sebagai bahan baku industri strategis dalam negeri yang berbasis mineral;
- memberikan efek ganda baik secara ekonomi dan negara; dan/atau
- untuk meningkatkan penerimaan negara.
Setiap jenis komoditas tambang
mineral logam tertentu, mineral bukan logam dan batuan tertentu wajib diolah
dengan batasan minimum pengolahan yang telah ditetapkan di dalam lampiran I, II
dan III Permen ESDM tentang Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.
Pemegang Ijin Usaha Pertambangan (“IUP”)
Operasi Produksi mineral logam dan Ijin Usaha Pertambangan Khusus (“IUPK”)
Operasi Produksi mineral logam wajib melakukan pengolahan dan/atau pemurnian
hasil penambangan di dalam negeri untuk komoditas tambang mineral logam.
Pemegang IUP Operasi Produksi
mineral bukan logam dan batuan juga wajib melakukan pengolahan hasil
penambangan di dalam negeri untuk komoditas tambang mineral bukan logam dan
batuan.
Jika pemegang IUP Operasi Produksi
dan IUPK Operasi Produksi tidak ekonomis untuk melakukan sendiri pengolahan
dan/atau pemurnian mineral, maka dapat melakukan kerja sama pengolahan dan/atau
pemurnian dengan pihak lain yang memiliki IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi
Produksi, atau IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian.
Kerja sama pengolahan dan/atau pemurnian
ini dapat berupa jual beli bijih atau konsentrat, kegiatan untuk melakukan
proses pengolahan dan/atau pemurnian, atau pembangunan bersama sarana dan
prasarana pengolahan dan/atau pemurnian. Rencana kerja sama pengolahan dan/atau
pemurnian tersebut hanya dapat dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan
dari Direktur Jenderal atas nama Menteri pertambangan mineral sebagaimana
disebutkan pada Pasal 8 Permen ESDM tentang Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian
Mineral.
Namun bagi pemegang IUP Operasi
Produksi dan Ijin Perijinan Rakyat (“IPR”) yang diterbitkan sebelum
berlakunya Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012,
dapat menjual bijih (raw material atau ore) mineral ke luar
negeri apabila telah mendapatkan rekomendasi dari Menteri.
Rekomendasi
dari Menteri diberikan setelah pemegang IUP Operasi Produksi dan IPR memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
- status IUP Operasi Produksi dan IPR Clear and Clean;
- melunasi kewajiban pembayaran keuangan kepada Negara;
- menyampaikan rencana kerja dan/atau kerjasama dalam pengolahan dan/atau pemurnian mineral di dalam negeri; dan
- menandatangani pakta integritas.
Untuk
memperjelas perbedaan antara UU Pertambangan lama dan baru dapat dipetakan
sebagai berikut:
No
|
UNDANG-UNDANG NO. 11 TH 1967
|
UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 2009
|
1
|
Kekayaan Tambang
disebut bahan galian- Penguasaan bahan galian diselenggarakan
pemerintah (pasal 1)
|
Kekayaan
tambang disebut Mineral dan Batubara- Dikuasai negara, diselenggarakan oleh
pemerintah dan /atau pemerintah daerah (pasal 4)- Pemerintah dan DPR
menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan Batubara untuk kepentingan
nasional
-
Pemerintah berwenang menetapkan produksi setiap pro-vinsi untuk mengendalikan
produksi dan ekspor (pasal 5)
|
2
|
Penggolongan
Bahan Galian- Strategis (golongan A)- Vital (golongan B)
- Non
Strategis dan Non Vital (golongan C)
|
Penggolongan
Usaha Pertambangan:- Pertambangan Mineral- Pertambangan Batubara
Penggolongan
komoditas tambang terdiri dari
- Mineral
radio aktif
- Mineral
logam
- Mineral
bukan logam
–Batuan
- Batubara
|
3
|
Kewenangan
Pengelolaan- Bahan galian strategis dan vital oleh Menteri- Bahan galian non
strategis dan vital oleh Pemerintah Daerah Tingkat I
|
Kewenangan
Pengelolaan- Kebijakan dan pengelolaan skup nasional oleh Pemerintah, ada 21
kewenangan (pasal 6)- Kebijakan dan pengelolaan skup wilayah provinsi oleh
Pemerintah Provinsi, ada 14 kewenangan (pasal 7)
-
Kebijakan dan pengelolaan skup kabupaten/kota oleh Pemerintah Kabupaten/Kota,
ada 12 kewenangan (pasal 8)
|
4
|
Wilayah
Pertambangan :Tidak diatur terperinci yang penting tidak meliputi kuburan,
tempat suci, kepentingan umum, pertambangan lain, tempat tinggal atau pabrik,
|
Wilayah
Pertambangan :- Wilayah Pertambangan (WP) adalah bagian dari tata
ruang nasional, ditetapkan Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemda dan
DPR RI (pasal 10)- Wilayah Pertambangan terdiri atas
wilayah usaha pertambangan (WUP), wilayah pertambangan rakyat (WPR), dan
wilayah pencadangan nasional (WPN), pasal 13.
- WUP, WPR
dan WPN diatur terperinci (pasal 14-33)
|
5
|
Bentuk
Izin Usaha Pertambangan- Kontrak Karya (pasal 10)- Kuasa Pertambangan (pasal
15)
- Surat
Izin Pertambangan Daerah
- Surat
Izin Usaha Pertambangan Rakyat
|
Bentuk
Izin Usaha Pertambangan- Izin Usaha Pertambangan (IUP)- Izin Pertambangan
Rakyat (IPR)
- Izin
Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)
|
6
|
Tahapan
Usaha Pertambangan- Penyelidikan umum- Eksplorasi
-
Eksploitasi
-
Pengolahan dan pemurnian
-
Pengangkutan
-
Penjualan
|
Tahapan
Usaha Pertambangan1. Eksplorasi, meliputi :- penyelidikan umum
-
eksplorasi
- studi
kelayakan (pasal 36)
2. Operasi
Produksi
-
konstruksi
-
penambangan
-
pengolahan dan pemurnian
-
pengangkutan dan penjualan (pasal 36)
|
7
|
Pelaku
Usaha:- Investor domestik (KP, SIPD, PKP2B)- Investor asing (KK, PKP2B)
- Luas
usaha pertambangan tidak dirinci
|
Pelaku
Usaha:- IUP diberikan pada badan usaha, koperasi dan perseorangan (pasal
38)- IPR diberikan pada penduduk setempatm baik perseorangan maupun kelompok
masyarakat, dan atau koperasi (pasal 67), dengan luas yang
terperinci (pasal 68)
- IUPK
diberikan pada badan usaha berbadan hukum Indonesia, baik BUMN, BUMD, maupun
swasta. BUMN dan BUMD mendapat prioritas (pasal 75)
|
8
|
Prosedur
Pemberian Izin- Wilayah KP/KK/PKP2B/SIPD/SIUPR diberikan kepada penusaha
tambang dengan cara pengajuan permohonan kepada pemberi izin
|
Prosedur
Pemberian Izin- Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam
diberikan kepada pengusaha tambang dengan cara lelang (pasal 51)- Wilayah
Izin Usaha Pertambangan (WIUP) batubara diberikan kepada pengusaha
tambang dengan cara lelang (pasal 60)
- Wilayah
Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral non logam dan batuan diberikan kepada
pengusaha tambang dengan cara pengajuan permohonan kepada pemberi izin (pasal
54 dan 57)
|
9
|
Hak dan
Kewajiban Pelaku Usaha- Keuangan :- KP, sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
-KK/PKP2B,
tetap pada saat kontrak ditandatangani.
-
Lingkungan (sedikit diatur)
- Nilai tambah
(hanya diatur kontrak)
-
Pemanfaatan tenaga kerja setempat (tidak diatur)
- Program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (tidak diatur)
|
Hak dan
Kewajiban Pelaku Usaha- Keuangan :- Membayar pendapatan negara dan daerah :
Pajak, PNBP, iuran (pasal 128 – 133).
-
Lingkungan :
-
Good mining practices (pasal 95)
-
Reklamasi, pasca tambang dan konservasi yang telah direncanakan, beserta dana
yang disediakan (pasal 96 – 100)
- Nilai
tambah. Pemegang IUP Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian
hasil tambang di dalam negeri(pasal 103 – 104)
-
Mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat (pasal 106)
- Saat
tahap operasi produksi, wajib mengikutsertakan pengusaha lokal (pasal
107)
- Menyusun
program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (pasal 108)
- Wajib
menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional seperti
konsultasi dan perencanaan (pasal 124)
|
10
|
Divestasi
:Tidak diatur
|
Divestasi
:Setelah 5 tahun beroperasi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya
dimiliki asing, wajib melakukan divestasi pada Pemerintah, pemda, BUMN, BUMD,
atau badan usaha swasta nasional (pasal 112)
|
11
|
Pembinaan
dan Pengawasan- Terpusat (khususnya KP, KK dan PKP2B)
|
Pembinaan
dan Pengawasan- IUP (Menteri, Bupati/Walikota – sesuai kewenangan) – pasal
139-142. Bentuk pengawasan sangat terinci.- IPR (Bupati/Walikota)
- pasal 143
|
12
|
Perlindungan
MasyarakatPemegang KP wajib mengembalikan tanah sedemikian rupa. Sehingga
tidak menimbulkan penyakit atau bahaya lain bagi masyarakat(pasal 30)
|
Perlindungan
MasyarakatMasyarakat yang terkena dampak negatif langsung berhak mendapat
ganti rugi yang layak, atau mengajukan gugatan (pasal 145)
|
13
|
PenyidikanTidak
diatur
|
Penyidikan
(pasal 149)- Penyidik Polri- Penyidik PPNS
|
14
|
Ketentuan
Pidana- Diatur, tetapi sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi
saat ini. Misalnya : penjara selama-lamanya 6 tahun dan/atau denda
setinggi-tingginya Rp. 500.000,- bagi yang tidak mempunyai KP tetapi
melakukan usaha pertambangan (pasal 31)- Tidak ada sangsi pidana terhadap
pemberi/penerbit izin
- Tidak
ada sangsi pidana terhadap pemberi/penerbit izin
|
Ketentuan
Pidana- Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota – sesuai kewenangannya berhak
memberi sanksi administratif pada pemegang IUP, IPR dan IUPK. Sanksi mulai
dari peringatan hingga pencabutan ijin (pasal 151).- Sanksi cukup keras.
Misalnya, setiap orang yang melakukan usaha pertambangan tanpa IUP, IPR atau
IUPK dihukum maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp. 10 Miliar
- Setiap
orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan
Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana
paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah). (pasal 165)
|
0 komentar:
Posting Komentar