MENELUSURI PAHAM POSITIVISME HUKUM
DAN TEORI HUKUM MURNI
Oleh Turiman Fachturahman Nur
1. Latar Belakang
Patut
dicatat bahwa tumbuhnya berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukkan
pergulatan pemikiran yang tidak henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum.
Apabila pada masa lalu, filsafat merupakan produk sampingan dari para filsuf,
dewasa ini kedudukannya tidak lagi demikian karena masalah-masalah filsafat
hukum telah menjadi bahan kajian tersendiri dari para ahli hukum.
Pada hakekatnya teori ilmu hukum juga bertujuan
untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang hukum dan mencoba untuk
memberikan penilaian. Menurut Radburch tugas dari teori hukum adalah membikin
jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada dasar-dasar
filsafat yang paling dalam.
Pada
sisi yang demikian itu, maka sebenarnya teori hukum merupakan kelanjutan dari
usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum menggunakan hukum positif
sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan
untuk menjelaskan tentang hukum.
Secara
historis faktanya, bahwa teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para
ahli hukum Yunani maupun Romawi telah membuat pelbagai pemikiran tentang hukum
sampai kepada akar-akar filsafatnya. Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum
merupakan produk sampingan yang terpenting dari filsafat agama, etika atau
politik.
Patut
dipahami, bahwa para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah ahli-ahli
filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat
hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum dari para
ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah adanya
perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian hukum.
Jika
kita telusuri, bahwa teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori
filsafat dan politik umum. Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam
bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak
dalam metode dan penekanannya. Teori hukum para ahli hukum modern seperti teori
hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan tertinggi yang
ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.
Catatan munculnya gerakan positivisme mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai
bidang ilmu tentang kehidupan manusia. Positivisme sebagai suatu aliran
filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang
benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal
adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini
menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh
pengetahuan.
Dengan demikian, dapat dipahami, bahwa Positivisme adalah suatu aliran dalam
filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut
dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu
baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitas hukum dalam
masyarakat.
Sejarah
mencatat, bahwa pemikir positivisme hukum yang terkemuka adalah John Austin
(1790-1859) yang berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa.
Hakikat hukum sendiri menurut Austin terletak pada unsur “perintah” (command).
Pada
perkembanghan selanjutnya muncul teori hukum murni ini boleh dilihat sebagai
suatu pengembangan yang amat saksama dari aliran positivisme. Seperti dikatakan
di atas, ia menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum
sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada.
Ini artinya sebenarnya teori hukum murni adalah teori
yang berasal dari aliran hukum positif, dimana di dalam teori ini berusaha
untuk memberikan pengertian hukum dilihat sebagai sesuatu yang “murni“ terlepas
dari segala unsur lain yang berasal dari luar ilmu hukum itu sendiri.
Titik
kunci dari teori hukum murni berusaha untuk memisahkan pengertian antara ilmu
hukum dari pengaruh norma-norma moral dan menjadikan hukum sebagai suatu sistem
yang berjalan secara independent atau mandiri terlepas dari pengaruh hukum
moral. Salah satu peletak dasarnya adalah Hans Kelsen (1881-1973), adalah
pelopor aliran ini. Bukunya yang terkenal adalah Reine Rechslehre (ajaran hukum
murni).
2 . Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori Positivisme dalam aliran filsafat
hukum?
2. Bagaimana teori hukum murni dalam aliran filsafat
hukum?
3.
Bagaimana Pengaruh Paham Positivisme Terhadap Ilmu Hukum ?
3.Teori
Positivisme
3.1.Pelopor
Teori Positivisme
Sebagaimana kita ketahui oleh para
penstudi hukum, bahwa Pemikir positivisme hukum yang terkemuka adalah John
Austin (1790-1859) yang berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa.
Hakikat hukum sendiri menurut Austin terletak pada unsur “perintah” (command).
Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. liran
positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan oleh filosof
Perancis; August Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa terdapat kepastian
adanya hukum-hukum perkembangan mengatur roh manusia dan segala gejala hidup
bersama dan itulah secara mutlak.
August Comte hanya mengakui hukum
yang dibuat oleh negara. Untuk memahami positivisme hukum tidak dapat diabaikan
metodelogi positivis dalam sains yang mengahruskan dilakukannya validasi dengan
metode yang terbuka atas setiap kalin atau proposisi yang diajukan. Karena itu
bukti empirik adalah syarat universal untuk diterimanya kebenaran dan tidak
berdasarkan otoritas tradisi atau suatu kitab suci.
Positivisme hukum mempunyai
pandangan yang sama tentang diterimanya validasi. Seperti halnya positivisme
sains yang tidak dapat menerima pemikiran dari suatu proposisi yang tidak dapat
diverifikasi atau yang tidak dapat difalsifikasi., tetapi karena hukum itu ada
karena termuat dalam perundang-undangan apakah dipercaya atau tidak. Hukum
harus dicantumkan dalam undang-undang oleh lembaga legislatif dengan
memberlakukan, memperbaiki dan merubahnya.
Positivisme hukum berpandangan bahwa
hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan undang-undang, karena hanya
dengan itulah ketentuan hukum itu dapat diverifikasi. Adapan yang di luar
undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai hukum karena hal itu berada di
luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis
mengakui bahwa focus mengenai norma hukum sangat berkaitan dengan disiplin
moral, teologi, sosiolgi dan politik yang mempengaruhi perkembangan sistem
hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan
disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai hukum.
Lebih jauh, pandangan dan pendapat
dari mazhab positivisme ini dapat ditelusuri dari pendapat dan pandangan dari
para penganut terpenting dari mazhab ini antara lain John Austin, seorang ahli
hukum yang berkebangsaan Inggeris yang mewakili pandangan positivis dari
kelompok penganut sistem hukum Common Law dan Hans Kelsen, seorang ahli
hukum yang berkebangsaan Jerman yang mewakili pandangan positivis dari kelompok
penganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Aliran hukum positivistik banyak
dianut oleh beberapa sistem kum di beberapa Negara. Aliran hukum
postitifistik ketika diterapkan banyak disebut sebagai hukum positif atau ada
juga yang meyebutnya sebagai hukum murni, misalnya Kelsen.Kata positivism
sendiri kemungkinan pertama kali diunakan untuk menggambarkan suatu ide bahwa
hukum adalah positif atau berdasarkan pada fakta, sebagai lawan dari alamiah
yaitu diturunkan dari hukum alam atau moralitas.
Dapat dikatakan tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa hukum positif menolak penentuan hukum yang berdasarkan pada
perintah Tuhan. Namun juga perlu diketahui, Indonesia tidak sepenuhnya kaku menjadikan
aliran ini berlaku dalam sisitem hukum kita, sehingga tidak mengakomodir aliran
hukum lainnya. Ambil contoh Indonesia mengakomodasi hukum Islam untuk
kasus-kasus tertentu yang ditangani oleh Pengadilan Agama dan juga hukum adat.
Selain
itu, perkembangan politik di Indonesia menjadikan hukum negara sangatlah
dinamis dan plural seiring dengan keterbukaan dan demokrasi di negara kita.
Essai ini akan berupaya menggambarkan mengenai apa itu hukum positive dan
perkembangannya. Hal ini dimaksudkan guna–jika dirasa bermanfaat– mempermudah
dalam pembacaan fenomena hukum positif di Indonesia khususnya.
Hukum positivistik sebagai aliran
hukum yang berlaku mempercayai bahwa sumber-sumber hukum yang sah adalah
aturan-aturan tertulis, Ketetapan-ketetapan dan prinsip-prinsip yang telah
diperundangkan, diadopsi dan diakui oleh pemerintahan yang berlaku atau
institusi politik termasuk lembaga-lembaga admnistratif, legislative dan
yudikatif.
Pertanyaan mendasar mengenai
pembahasan terhadap aliran hukum ini adalah apakah itu hukum dan bagaimana
hukum ditetapkan sehingga memiliki kewenangan. Tulisan ini akan mencoba
menerangkan mengenai aliran hukum positivistik dimulai dari pengertian hukum
positivistik, dan perkembangannya.
3.2 Sejarah Kemunculan Teori Positivisme
Secara historis sebenarnya sebelum Abad Ke-18 Pikiran
Berkenaan Dengan Positivisme Hukum Sudah Ada, Tetapi pemikiran itu baru menguat
setelah lahirnya negara-negara modern.
Di sisi lain, pemikiran positivisme hukum juga tidak
terlepas dari pengaruh perkembangan positivisme (ilmu) dan sekaligus
menunjukkan perbedaannya dari pemikiran hukum kodrat, dimana hukum kodrat
disibukkan dengan permasalahan validasi hukum buatan manusia, sedangkan pada
positivisme hukum aktivitas justru diturunkan kepada permasalahan konkrit.
Melalui positivisme, hukum ditinjau dari sudut pandang positivisme yuridis
dalam arti yang mutlak dan positivisme hukum seringkali dilihat sebagai aliran
hukum yang memisahkan antara hukum dengan moral dan agama. Bahkan tidak sedikit
pembicaraan terhadap positivisme hukum sampai pada kesimpulan, bahwa dalam
kacamata positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is command from the lawgivers),
hukum hukum itu identik dengan undang-undang.
Munculnya gerakan positivisme mempengaruhi
banyak pemikiran di berbagai bidang ilmu tentang kehidupan manusia. Positivisme
sebagai suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan
metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana
untuk memperoleh pengetahuan.
3.4 Kajian Pandangan Teori Positivisme Terhadap
Positivisme Hukum
Positivisme Hukum (Aliran Hukum Positif) memandang
perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku
dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen). Dalam
pandangan positivis, tidak ada hukum lain, kecuali perintah penguasa. Bahkan,
bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan nama Legisme berpendapat
lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan Undang-Undang.
Positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat
hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum
positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau
buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitas hukum dalam masyarakat.
Termasuk dalam aliran ini ajaran Analytical Jurisprudence yang
dikemukakan oleh John Austin. Inti dari ajaran Analytical Jurisprudence adalah Law
is a command (hukum merupakan perintah dari penguasa).
John Austin mendefinisikan hukum sebagai berikut: ”Law
is a command set, either directly or circuitously, by a sovereign individual or
body, to a members of some independent political society in which his auhority
is supreme.” Jadi hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun
tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang
merupakan masyarakat politik yang independen, dimana otoritasnya (pihak yang
berkuasa) merupakan otoritas yang tertinggi.
Menurut Austin hukum adalah peraturan-peraturan yang
berisi perintah, yang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal dan dibuat oleh
makhluk yang berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap mereka itu. Jadi, landasan
dari hukum adalah “kekuasaan dari penguasa”. Austin menganggap hukum sebagai
suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system),
dimana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh
dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan
sebelumnya tanpa memperhatikan nilai-nilai yang baik atau buruk.
Karakteristik hukum yang terpenting menurut Austin
terletak pada karakter imperatifnya. Hukum dipahami sebagai suatu
perintah dari penguasa. Akan tetapi tidak semua perintah oleh Austin dianggap
sebagai sebagai hukum, menurut pandangannya hanya oleh perintah-perintah umum
yang mengharuskan seseorang atau orang-orang untuk bertindak untuk menaati
hukum tersebut.
Kata kunci dalam hukum menurut Austin adalah perintah
yang diartikan perintah umum dari entitas politik yang memiliki kedaulatan,
yakni otoritas politik yang paling tinggi (the supreme political authority),
yang berfungsi mengatur perilaku anggota masyarakat. Yang memiliki kedaulatan
ini mungkin individu atau juga sekelompok individu. Syaratnya : (1) individu
atau kelompok individu merupakan orang atau sekelompok orang yang dipatuhi oleh
segenap anggota masyarakat; dan (2) individu atau kelompok individu yang
berdaulat ini tidak patuh pada siapa pun juga di atasnya. Jadi sumber hukum
menurut Austin, adalah penguasa teringgi yang de facto dipatuhi
oleh segenap anggota masyarakat sementara ia sendiri tidak tunduk pada siapa
pun.
Hukum menurut Austin harus dipahami dalam arti perintah
karena hukum seharusnya tidak memberi ruang untuk memilih (apakah mematuhi atau
tidak mematuhi). Hukum bersifat non optional. Karena itu, Austin
menegaskan bahwa hukum bukan setumpuk peraturan atau nasihat moral. Ketika
hukum tidak lagi dapat dipaksakan, yakni pelanggarannya dikenai hukuman atau
sanksi hukum.
Dengan demikian, kepatuhan pada hukum adalah kewajiban
yang tidak dapat ditawar-tawar. Menyebut perintah sebagai hukum tetapi dalam
praktek tidak dapat ditegakkan melalui penerapan sanksi hukum adalah absurd,
karena hukum yang demikian tidak mampu memenuhi fungsi sosialnya sebagai alat
kontrol terhadap tingkah laku masyarakat. Padahal, demikian Austin, mengontrol
perilaku masyarakat adalah fungsi utama hukum. Dalam arti ini, sebetulnya
Austin sepakat dengan Aquinas yang juga melihat hukum sebagai alat kontrol
sosial. Akan tetapi, berbeda dengan Aquinas yang melihat hukum tertuma sebagai
hasil kerja rasio, Austin justru menekankan watak perintah hukum yang bersumber
pada kedaulatan penguasa. Dalam arti ini, pandangan hukum Aquinas lebih lunak
dibandingkan dengan pandangan Austin.
Hukum sebagai perintah, menurut Austin, memuat dua
elemen dasar yaitu sebagai berikut:
1. Hukum
sebagai perintah mengandung pentingnya keinginan, yakni keinginan dari seorang
penguasa bahwa seseorang harus melakukan atau menahan diri untuk tidak
melakukan sesuatu. Karena itu, keinginan dalam arti hukum memiliki kekhususan,
yakni bahwa “pihak yang terkena hukum harus menanggung akibat yang tidak
menyenangkan atau membahayakan dari yang lain apabila gagal memenuhi hukum yang
berlaku.” Dengan demikian, hukum dalam arti perintah yang mengungkapkan
keinginan penguasa pada dasarnya memuat ancaman hukuman bagi siapa pun yang
berada di bawah hukum yang berlaku.
2. Bahwa hukum
memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang tidak menyenangkan atau
bahkan membahayakan subjek yang melanggarnya. Individu yang terkena perintah
dengan sendirinya terikat, wajib berada dibawah keharusan untuk melakukan apa
yang diperintahkan. Kegagalan memenuhi tuntutan perintah akan berakibat bahwa
subjek yang terkena perintah mendapat sanksi hukum
Kemudian
Austin mengungkapkan dua pembedaan besar berkaitan dengan hukum yaitu sebagai
berikut:
1. Hukum Tuhan
Adalah hukum yang diciptakan Tuhan untuk makhluk ciptaan-Nya. Hukum ini
merupakan suatu moral hidup manusia dalam arti sejati.
2. Hukum manusia
Adalah hukum yang dibuat manusia untuk manusia. Hukum manusia ini
dibedakan menjadi 2 yaitu:
1) Hukum yang sebenarnya (properly so called). Hukum
ini sebagai superior politik atau dalam melaksanakan hak-hak yang diberikan
oleh otoritas politik.
2) Hukum yang sebenarnya bukan hukum (improperly so
called). Hukum ini dibuat oleh manusia tetapi tidak sebagai yang memiliki
otoritas politik atau dalam melaksanakan hak yang dimiliki. Hal ini mencakup
oleh Austin disebut sebagai hukum-hukum yang ada karena analogi, misalnya
aturan-aturan yang menyangkut keanggotaan seseorang dalam kelompok tertentu.
Jika
mengacu pada apa yang dikatakan oleh Austin maka menurut Huijbers ada dua hal
yang patut dicatat, yaitu sebagai berikut:
1. Bidang yuridis mendapat tempat yang terbatas, yaitu
menjadi unsur negara. Wilayah hukum bertepatan dengan wilayah suatu negara.
2. Hukum mengandung arti kemajemukan sebab terdapat
beberapa bidang hukum di samping negara, walaupun bidang-bidang itu tidak
mempunyai arti hukum dalam arti yang penuh. Hukum dalam arti yang sesungguhnya
adalah hukum yang berasal dari negara dan yang dikukuhkan oleh negara.
Hukum-hukum lain dapat disebut hukum, tetapi tidak memiliki arti yuridis yang
sesungguhnya.
3.5. Kritikan Terhadap Austin Tentang Teori Perintah (Teori Positivisme).
Catatan
kritis terhadap konsepsi Austin tentang teori perintah mendapat kritikan antara
lain oleh Hans Kelsen dan H.L.A. Hart. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah,
apabila hukum hanya dipahami sebagai perintah, sementara perintah selalu
dikaitkan dengan keinginan dan sanksi.
1. Kritikan dari Hans Kelsen
Sebagaimana
dikutip oleh Murphy dan Coleman sepakat bahwa sanksi memang penting dalam
hukum. Perintah sebagai hukum harus memiliki kemampuan memaksa. Meskipun
begitu, bagi Kelsen, konsep sanksi bukanlah suatu yang esensial untuk memberi
status bagi perintah. Menurutnya sanksi hukum hanya relevan dalam konteks hukum
pidana (criminal law) tetapi tidak pada jenis hukum lainnya. Apabila konsep
sanksi dipaksakan menjadi esensi hukum, aka hukum direduksi menjadi hukum
pidna. Padahal disamping hukum pidana masih terdapat hukum perdata (private
law).
2. Kritikan dari H.L.A Hart
Kritik
yang cukup penting diberikan oleh H.L.A Hart terhadap pemikiran Austin.
Hart mencatat tiga kelemahan pokok dari teori perintah Austin. Semua kesulitan
dalam teori Austin, menurut Hart, terletak pada pandangan Austin yang melihat
hukum sebagai emanasi atau jelmaan diri dari penguasa absolut. Kelemahan
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Hukum harus memiliki keberlangsungan hukum, tidak
boleh tergantung seluruhnya pada person tertentu. Hukum harus memiliki kemampuan
bertahan melampaui person-person yang menciptakannya (transpersonal
continuity). Mengasalkan hukum pada pribadi tertentu, dalam hal ini
penguasa absolut, akan menimbulkan problem kekosongan hukum ketika yang
bersangkutan meninggal dunia.
2) Hukum seharusnya berlaku bagi segenap anggota
masyarakat termasuk penguasa. Dengan menjadikan hukum sebagai jelmaan keinginan
penguasa, tidak jelas apakah penguasa sendiri tunduk pada hukum yang berlaku.
Teori kedaulatan Austin tidak tegas membuka kemungkinan bagi penguasa untuk
tunduk pada hukum buatannya sendiri. Dengan demikian, teori kedaulatan Austin
menciptakan problem of self-limitation karena tidak mudah seorang
penguasa memerintah dirinya sendiri. Tentu saja ini membuka peluang terjadinya
kesewenang-wenangan penguasa.
3) Austin gagal membedakan dengan tepat konsep “konsep
berada di bawah kewajiban” dan “berada di bawah paksaan”. Menurut Hart tunduk
pada kewajiban (under a duty) dan dipaksa (being obliged atau being
forced) mengikuti kemauan adalah dua hal yang berbeda. Bertolak dari kritik
ini Hart membangun teorinya dengan merujuk bahwa validitas hukum tidak pada
individu atau kelompok individu yang berdaulat, melainkan pada sistem. Hukum
tidak bergantung pada orang tetapi pada sistem (Lembaga peraturan).
4.
Teori Hukum
Murni
4.1 Pelopor Teori Hukum Murni
Hans
Kelsen (1881-1973), adalah pelopor aliran ini. Bukunya yang terkenal adalah
Reine Rechslehre (ajaran hukum murni).
4.2 Kajian Terhadap Pandangan Teori Hukum Murni
Teori
hukum murni ini lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina. Mazhab Wina mengetengahkan
dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling
tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan,
keinginan-keinginan dan sebagainya.
Teori
hukum murni adalah teori yang berasal dari aliran hukum positif, dimana di
dalam teori ini berusaha untuk memberikan pengertian hukum dilihat sebagai
sesuatu yang “murni“ terlepas dari segala unsur lain yang berasal dari luar
ilmu hukum itu sendiri.
Dapat
digambarkan bahwa antara abad 19 dan 20, kemurnian suatu ilmu pengetahuan
menjadi sesuatu hal yang sudah tidak ideal lagi, hal ini misalnya dapat dilihat
dari adanya yurisprudensi-yurisprudensi dimana di dalam
yurisprudensi-yurisprudensi tersebut banyak dipengaruhi oleh banyak hal-hal
lainnya seperti unsur psikologi dan biologi yang ada pada waktu itu, sehingga
di dalam keadaan seperti itu untuk menemukan suatu ilmu hukum yang murni
merupakan suatu hal yang sulit untuk didapatkan.
Teori
hukum murni berusaha untuk memisahkan pengertian antara ilmu hukum dari
pengaruh norma-norma moral dan menjadikan hukum sebagai suatu sistem yang
berjalan secara independent atau mandiri terlepas dari pengaruh hukum moral.
Suatu norma dapat menjadi suatu produk hukum yang valid hanya dikarenakan norma
tersebut sudah dituangkan di dalam suatu bentuk undang-undang yang dilahirkan
melalui suatu prosedur hukum dan hal ini berlakuk sebagai suatu hukum yang
positif.
Teori Kelsen
dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang
dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat etis
atau politis mengenai suatu nilai”. Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan
suatu ilmu pengetahuan hukum murni, menghilangkan dari semua unsur-unsur yang
tidak penting dan memisahkan jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial, sebagaimana
yang dilakukan oleh kaum analis denga tegas.
Kelsen
juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah. Oleh
karena definisi yang demikian itu mempergunakan pertimbangan-pertimbangan
subyektif dan politis, sedangkan yang dikehendaki ilmu pengetahuannya
benar-benar objektif. Perspektif Kelsen dalam memandang hukum tidak berusaha
menggambarkan apa yang terjadi, tetapi lebih menitik beratkan untuk menentukan
peraturan-peraturan tertentu, meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus
diikuti orang.
Teori
hukum murni ini boleh dilihat sebagai suatu pengembangan yang amat saksama dari
aliran positivisme. Seperti dikatakan di atas, ia menolak ajaran yang bersifat
ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk
peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kelsen, teori hukum murni adalah teori
tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan;
“Apakah hukumnya?” dan bukan “Bagaimanakah hukum yang seharusnya?” Oleh karena
titik tolak yang demikian itu, maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan
sebagaimana lazimnya dipersoalkan, hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum.
Dari
uraian di atas dapat diketahui, bahwa ia menghendaki suatu gambaran tentang
hukum yang bersih dalam abstraksinya dan ketat dalam logikanya. Oleh karena
itulah ia menyampingkan hal-hal yang bersifat ideologis, oleh karena
dianggapnya irasional. Teori hukum yang murni juga tidak boleh dicemari oleh
ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika.
Teori
hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi,
sejarah dan pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen
adalah sebagai berikut :
1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu,
adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity)
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia
adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya
ada
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam
4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum
tidak berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori
tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang
spesifik
6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum
positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Pada
dasarnya Inti ajaran Hans kelsen terkait dengan Hukum Murni ada tiga konsep,
yaitu:
1. Ajaran murni hukum Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu
hukum dari anasir-anasir non hukum seperti sejarah, moral, sosiologis, politik,
dan sebagainya.
2. Ajaran tentang Grundnorm merupakan induk yang
melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu.
Jadi antara Grundnorm yang ada pada tata hukum A tidak mesti sama
dengan Grundnorm pada tata hukum B. Grundnorm ibarat bahan bakar yang
menggerakkan seluruh sistem hukum. Grundnorm memiliki fungsi
sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan
hukum.
3. Ajaran tentang Stufenbautheorie, peraturan
hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada dipuncak piramida,
dan semakin kebawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah
abstrak dan makin kebawah makin konkrit. Dalam proses itu, apa yang semula
berupa sesuatu yang “seharusnya” berubah menjadi sesuatu yang “dapat”
dilakukan.
Salah
satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan.
Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan
hukum dinyatakan identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan
pengaturan terhadap tatanan sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan
tata hukum, dengan alasan bahwa didalam suatu masyarakat hanya satu dan bukan
dua kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama.
Bagian
lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai
Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang
menjadi tujuan dari semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu.
Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam
suatu tatanan sistem tertentu. Grundnorm ini tidak perlu sama untuk setiap tata
hukum; tetapi ia selalu akan ada, apakah dalam bentuk tertulis, atau sebagai
suatu pernyataan yang tidak tertulis.
Grundnorm
ini merupakan semacam bensin yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah
yang menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipetuhi dan dia pula yang
memberikan pertanggungjawaban, mengapa hukum di situ harus dilaksanakan. Oleh
karena itu ia lebih merupakan suatu dalil daripada peraturan biasa. Dalil itu
akan tetap menjadi dasar dari tata hukum manakala orang mempercayai, mengakui
dan mematuhinya. Tetapi apabila orang sudah mulai menggugat kebenaran dari
dalil akbar tersebut, maka keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh.
Inilah yang disebut revolusi.
5. Memahami Pengertian Hukum Positivistik
Hukum positivistik adalah suatu
aliran dalam filsafat hukum dan yurisprudensi. Hukum positivistik memberikan
penekanan pada hukum yang berasal dari konstruksi sosial. Artinya hukum
dipandang sebagai sesuatu yang berada diluar diri manusia yang berlaku obyektif
memaksa manusia untuk menyesuaikan perilakunya.
Menurut hukum positivistik, hukum
sama dengan norma-norma positif yaitu norma yang dibuat oleh badan legislasi
atau dianggap sebagai hukum umum yakni hukum yang dikembangkan oleh hakim
melalui ketentuan-ketentuan dalam pengadilan.
Hukum
positivistik adalah filsafat hukum yang berargumen bahwa setiap dan seluruh
hukum-hukum tidak lebih dan tidak kurang merupakan suatu ekspresi kehendak dari
lemabaga-lembaga yang memiliki kewenangan untuk membuatnya. Oleh sebab itu dari
perspektif positivistik, ini dapat dikatakan bahwa aturan-aturan atau
hukum-hukum yang sah dapat valid bukan karena mereka berasal dari hukum moral
atau hukum alam, melainkan karena aturan-aturan itu dibuat oleh kekuasaan yang
memiliki wewenang yang sah dan dapat diterima oleh masyarakat.
Menurut Ensiklopedia Stanford, hukum
positifistik memiliki pandangan bahwa eksistensi dari hukum tergantung pada
fakta sosial dan bukan atas dasar nilai-nilai hukumnya. Secara sederhana, hukum
memberi penekanan terhadap perbuatan/tindakan berdasarkan legal dan tidak legal
bukan pada baik dan buruknya. Meski begitu, pandangan ini tidak berbicara bahwa
nilai-nilai dalam hukum tidak penting, tidak dapat dipahami atau dikesampingkan
dalam pembahasan filsafat hukum. Melainkan bahwa nilai-nilai dalam hukum
tersebut tidak menentukan apakah hukum-hukum atau sistem hukum tersebut hadir.[1]
Aliran hukum positif tidaklah
memasukkan suatu justifikasi ethic (prinsip-prinsip moralitas), juga bukan
keputusan untuk atau terhadap kepatuhan hukum. Aliran positivistik tidak
menilai hukum dari pertanyaan pertanyaan tentang keadilan atau humanitas,
melainkan dari bagaimana cara hukum-hukum itu dibuat. Hal ini termasuk pada
pandangan bahwa hakim membuat hukum baru untuk memutuskan kasus yang tidak
jelas pada sebuah aturan hukum. Melakukan, memutuskan atau mempertahankan
praktek-praktek tertentu dari hukum dapat dianggap sebagai jalan atas pembuatan
hukum.
Pertanyaan “apa itu hukum” adalah
pertanyaan esensial dari aliran positivistik. Jawaban mengenai pertanyaan itu
merujuk pada hal-hal yang bersifat empiris yaitu pada fakta yang dapat diterima
secara obyektif. Hukum yang secara empiris jelas adalah hukum tertulis yang
sudah melalui proses pembahasan hingga pengundangan. Menurut aliran ini,
Hukum adalah norma-norma yang diciptakan atau bersumber dari kewenangan yang
formal atau informal berasal dari lembaga yang berwenang untuk itu, atau
lembaga pemerintahan yang tertinggi, dalam suatu komunitas politik yang
independen.[2]
Berangkat dari berbagai pengertian
diatas maka dapat dipahami bahwa aliran hukum positivistik memandang hukum dari
suatu fakta bahwa hukum itu jelas ada (tertulis) yang dibuat oleh
lembaga-lembaga yang memiliki wewenang untuk dapat menetapkannya, bukan hukum
yang berdasarkan pada perintah ketuhanan, akal dan pikiran atau bahkan hak
asasi manusia. Dengan begini sebetulnya aliran positivistik menutup kemungkinan
pembahasan hukum melalui pertanyaan-pertanyaan sosiologis maupun melalui
penafsiran terhadap hukum dengan metode hermeneutik.
Paparan ini selanjutnya akan
menguraikan mengenai perkembangan aliran ini dalam filsafat hukum, termasuk
tokoh-tokoh yang mempeloporinya. Pertanyaan selanjutnya yang akan dibahas pada
paparan kajian ini adalah mengapa hukum postif diperlukan.
5.1.
Perkembangan Teori dalam Aliran Hukum Positivistik: Dari Austin ke Hart
Hukum positivistik dalam
perkembangannya memiliki sejarah panjang dan pengaruh yang sangat luas. Aliran
ini merupakan turunan dari filsafat politik kuno yang sudah lama dibahas,
diperkenalkan dan diterapkan sampai abad pertengahan. Namun perkembangan
politik modern telah mengubah hampir keseluruhan, masih sedikit menyisakan
doktrin filsafat politik klasik. Perkembangan aliran hukum positivistik hingga
abad pertengahan berakar dari berbagai macam pemikiran, seperti filsafat
politik Hobbes dan Hume, berakar pada pemikiran Jeremy Bentham terhadap
gagasannya mengenai hukum dan kekuasaan yang diadopsi, dimodifikasi dan
dipopulerkan oleh Austin.
Namun hingga pertengahan abad ke 20,
ide-ide hukum klasik sudah mulai kehilangan pengaruhnya terhadap para filosof
hukum. Pemikiran pada abad modern mengganti kekuasaan hukum pada kekuasaan
legislative dengan lebih fokus terhadap institusi-institusi yang
mengaplikasikan hukum seperti pengadilan-pengadilan. Dan penekanan pemikiran
modern itu memberikan jalan terhadap perkembangan teori yang memberi tekanan
pada karakter hukum yang sistematik dan normative .
John Austin (1790-1858) berargumen bahwa ciri-ciri yang jelas
secara prinsip dari sebuah sistem hukum adalah hadirnya kekuasaan yang dipatuhi
oleh kebanyakan orang dalam masyarakat.[3]
Hukum baginya merupakan perintah (Command) dari pihak yang berkuasa (Sovereign)
dan memiliki terhadapnya memiliki wewenang untuk mengeluarkan sangsi. Austin
berpendirian bahwa orang atau lembaga yang menentukan sebagai sumber dari suatu
command, dianggap berpijak bahwa command merupakan pelaksanaan
dari kekuasaan. Oleh sebab itu menurutnya, setiap hukum yang dibuat oleh
kekuasaan berarti sifat hukum tersebut adalah tertinggi atau berdaulat penuh.[4]
Pendapat Austin tersebut menimbulkan
implikasi yakni bahwa apapun bentuknya sesuatu kekuasaan berhak untuk membuat,
menentukan dan menegakkan hukum. Kekuasaan bisa dalam artian Negara modern yang
terdiri dari eksekutif maupun yudikatif, bisa juga bentuk kekuasan teokrasi
yang pemimpinnya mendapatkan legitimasi ke-Tuhanan. Selain itu kekuasaan
(sovereign) bersifat paling tinggi, akibatnya rakyat atau anggota
masyarakat yang berada di bawah kekuasaan itu harus tunduk dan patuh terhadap
institusi tersebut.
Namun bagaimanapun juga pendapat
Austin tersebut mengandung berbagai kelemahan. Perdebatan yang mendasar pada
teori Austin diatas adalah cocok atau tidaknya teori tersebut diaplikasikan
pada suatu tatanan masyarakat yang plural dengan demokrasinya. Padahal pada
faktanya tidak ada identifikasi terhadap sovereignty (kekuasaan) pada
sebuah negara demokrasi. Di Indonesia contohnya, kekuasaan politik tertinggi
berada di tangan rakyat yang memilih para pembuat hukum baik legislative maupun
eksekutif untuk dapat mewakili kepentingan mereka.
Baik legislative maupun eksekutif
itu memiliki kekuasaan untuk memaksa perilaku masyarakatnya Namun legislative,
misalnya, harus tunduk dan berperan sebagai pelayan rakyat. Namun Eksekutif
yang dipilih oleh rakyat bukannya tunduk pada rakyat namun patuh dan berada
pada pengawasan Legislatif.
Problem kedua dari pandangan Austin
adalah kekuasaan dari otoritas para pembuat hukum tidak memiliki kemampuan
untuk membatasi hukum yang dibuatnya. Pada pandangan Austin, kekuasaan tidaklah
secara legal dibatasi karena tidak ada seorang pun atau lembaga apapun yang
dapat memaksa dirinya sendiri. Namun begitu di negara demokrasi, hukum yang
dibuat oleh Legislative ternyata dapat membatasi perilaku orang-orang yang
duduk di Legislative.
Pandangan John Austin mengenai hukum
yang bersifat imperative ini mengandaikan pada dua hal. Pertama, ini bersifat
monistik yaitu mengandaikan bahwa semua hukum-hukum sebagai satu bentuk,
membebankan kewajiban-kewajiban pada subyek hukum-hukum itu, meskipun bukan
pada kekuasaan itu sendri. Kedua, hal ini bersifat reduksionis yang hanya
menggunakan bahasa-bahasa perintah dari kekuasaan legislative tertinggi dan
sebaliknya mengesampingkan perintah-perintah yang secara normative di luar dari
kekuasaan legislative.[5]
Hans Kelsen (1881-1973) memberi
kontribusi yang penting dalam teori hukum positive. Pandangannya dimulai dengan
melihat pada perdebatan antara filsafat Kantian dan Postivisme sehingga
mendasari pemahamannya mengenai apa itu hukum. Satu phrase yang terkenal dari
filsafat Kantian adalah das ding an sich yaitu benda ada pada dirinya
sendiri. Persoalan akan dimulai ketika terjadi struktur a priori
terhadap suatu benda.
Konsep mengenai benda itu
sudah ada dalam diri pengamat ketika ia mengamati obyek benda tersebut. Dari
sini muncul dualisme terhadap benda tersebut, yakni numenal dan fenomena.
Numenal ada pada diri si pengamat, sedangkan fenomenal ada pada diri benda itu
sendiri. Jika demikian adanya, maka pemahaman terhadap suatu obyek itu
bisa jadi berbeda antara pengamat satu dengan lainnya, hal ini akan menimbulkan
berbagai kerancuan, dan sulit untuk menemukan obyektifitasnya. Oleh sebab itu
pemikir positivist menolak kerancuan ini dan menganggap hakikat itu ada dalam
fenomena itu sendiri.[6]
Kelsen mencoba memasukkan sejarah
perdebatan itu untuk melihat subyek hukum. Ia mulanya mengatakan bahwa hukum
tidak dapat muncul dari fenomena atau fakta. Hukum hadir secara imputative,
dimasukkan dari subyektifitas orang-orang yang berbeda yang kemudian disatukan.
Namun ketika itu sudah menjadi kodifikasi maka suatu hukum dapat menjadi subyek
di mana orang-orang yang membentuknya harus tunduk terhadap hukum yang
dibuatnya. Hal ini menegaskan bahwa hukum sudah ada pada dirinya sendiri.
Menurutnya, ketika sudah membicarakan suatu hukum maka tidak penting lagi
mempersoalkan hukum hukum itu dibuat, melainkan biarkan hukum itu sendiri berbicara
mengenai dirinya, inilah yang dikatakannya sebagai hukum murni. Ia mengatakan:
Teori Hukum Murni adalah teori hukum
positif. Sebagai sebuah teori, ia terutama dimaksudkan untuk mengetahui dan
menjelaskan tujuannya. Teori ini berpaya menjawab pertanyaan apa itu hukum,
bagaimana keberadaanya, bukan bagaimana ia semestinya ada….Ia disebut teori
hukum murni lantara ia hanya menjelaskan hukum dan berpaua membersihkan obyek
penjelasannya dari segala hal yang tidak bersangkutan dengan hukum. Yang menjadi
tujuannya adalah membersihkanilmu hukum dari unssur-unsur asing. Inilah
landasan metodologis dari teori ini.[7]
Hans Kelsen mempertahankan
pandangan imperativalist monism a-la Austin namun meninggalkan pandangan
reduksionismenya. Bentuk setiap hukum adalah dari ketentuan bersyarat,
diarahkan pada pengadilan, dan menjatuhkan sanksi pada perilaku tertentu dengan
menggunakan delik. Pada pandangan ini, hukum adalah sebuah sistem panduan
secara tidak langsung: ia tidak memberitahu subyek apa yang harus dilakukan; ia
memberitahu petugas hukum mengenai apa yang harus dilakukannya untuk subyek di
bawah kondisi tertentu.
Jadi, apa yang biasa kita anggap
sebagai kewajiban hukum untuk tidak mencuri adalah, bagi Kelsen hanyalah logis
ketika memiliki korelasi dengan norma primer yang menetapkan sanksi terhadap
pencuri. Meskipun sebagian menganggapnya sebagai fakta penting namun tidak
demikian dalam hukum murni, seperti gunanya punya larangan pencurian.
(Pengadilan memperdulikan antara, di satu sisi, orang tidak mencuri dan, di
sisi lain, mencuri dan menderita sanksi.)
Kontribusi Kelsen yang paling
penting terletak dalam serangannya terhadap reduksionisme. Dia berpendapat
hukum adalah normatif dan harus dipahami dengan cara demikian. Hal ini mungkin
tidak membuat kewenangan – bahkan hak hukum – sehingga filsafat hukum harus
menjelaskan fakta bahwa hukum diambil untuk memaksakan kewajiban pada subjeknya.
Selain itu, hukum adalah sistem
normatif: “Hukum tidak, seperti yang kadang-kadang dikatakan, sebuah aturan.
Ini adalah satu set aturan dimana memiliki semacam kesatuan yang dapat kita
sebut sistem“.[8] Pandangan
imperativalisnya Austin menilai kesatuan sistem hukum terdiri dari semua hukum
yang diperintahkan oleh satu badan yang berberdaulat. Namun bagi Kelsen,
seperangkat sistem hukum tersebut terdiri, pada kenyataan bahwa mereka semua
berhubungan dalam satu rantai otoritas, bahkan memiliki otoritas itu sendiri.
Dari dua pendapat baik itu
Bentham-Austin dan Kelsen nampak jelas perbedaannya. Kewenangan atau daulat
bagi Kelsen terletak pada diri hukum itu dan bagaimana seperangkat hukum
tersebut dapat melakukannya. Hal ini dimaksudkan agar kedaulatan pada hukum itu
sendiri tetap memiliki kekuatan hukumnya meski terjadi suatu perubahan sosial
yang berakibat pada pergeseran suatu pemerintahan. Jikapun terjadi perubahan
pada seperangkat hukum maka harus melalui mekanisme-mekanisme yang tetap
merujuk pada hukum yang secara sah berbicara mengenai perubahan itu. Pendapat
itu juga diperkuat oleh Hart yang akan dibahas kemudian. Sementara
kedaulatan hukum menurut Austin yang imperative itu ditentukan oleh kedaulatan
dari pemerintahan itu sendiri. Maka mungkin saja bisa jadi, ketika pemerintahan
itu mengalami perubahan, hukum itu sendiri dengan sesegera mungkin juga dapat
berubah.
Contoh yang paling dapat terlihat adalah pada
kasus di Indonesia. Manakala terjadi pergeseran pemerintahan dari Orde Baru ke
Reformasi, tidak serta merta membawa seluruh perubahan hukum yang dibuat di
masa Orde Baru. Jika-pun dirasa perlu ada perubahan hukum di Era Reformasi (seperti
amandemen UUD tentang pemilihan presiden) harus dilakukan sesuai dengan
mekanisme yang terdapat pada sepertangkat Undang-undang dasar itu sendiri.
Dalam perspektif Kelsenian misalnya, lembaga yang memiliki kewenangan untuk
mengubah undang-undang adalah sebenarnya lembaga yang diberikan kewenangan oleh
aturan tertinggi undang-undang dasar (first constitution)
Intinya bahwa kekuasaan hukum itu
ada pada hukum sendiri, pertanyaan selanjutnya ketika dalam sistem
ketatanegaraan misalnya, banyak hukum-hukum yang lainnya, maka siapakah yang
paling memiliki kewenangan? Padahal secara teoritis, sebenarnya mungkin saja
satu hukum bersumber dari sumber hukum yang lainnya. Untuk menghindari
kerancuan ini, Kelsen mengajukan suatu pemikiran terhadap apa yang ia
sebut sebagai norma dasar (grundnorm).
Maksud daripada norma dasar itu
sendiri adalah sandaran dari setiap hukum-hukum atau norma-norma yang banyak
itu. Norma dasar bersifat ekstra legal (ditetapkan sebagai hukum yang paling
tinggi secara fungsional) dan tidak bersandar pada norma-norma atau hukum-hukum
lainnya sebaliknya mereka bersandar terhadap grundnorm itu. Oleh sebab
itu, kita dapat melihat bahwa tatanan hukum itu bersifat hierarkhis dari atas
ke bawah. Hierarki yang berada di atas disebutnya sebagai konstitusi dan yang
lain menjadi sub-sistem.
Jika kita merefleksikan sejenak apa
yang dimaksudkan oleh Kelsen sebagai grundnorm itu di Indonesia, kita
akan mendapati itu sebagai Undang-Undang Dasar ’45. Hierarkhi hukum Kelsenian
masih bisa nampak dalam tata urutan perundangan di Indonesia, karena Indonesia
secara historis telah menetapkan UUD’45 sebagai dasar Negara atau dalam bahasa
Young sebagai “single canonical Constitution”.[9]
Namun bagaimana dengan negara yang
sementara tidak menetapkan atau bahkan tidak memiliki ‘single canonical Constitution” itu? Seperti Kanada misalnya,
konstitusi Kanada tahun 1982 sebenarya dibuat berdasarkan Akta Parlemen Inggris.
Padahal teori Kelsenian mengandaikan setiap hukum harus mendasarkan dirinya
pada satu norma dasar. Sedangkan di Inggris tidak ada penetapan sebagai “single
canonical Constitution”. Selain itu, Kanada juga tidak mengikatkan
dirinya ada hukum di Inggris. Dari kasus inilah teori Kelsenian mengalami
kesulitannya.
Solusi yang paling berpengaruh
sekarang adalah H.L.A. Hart (1907-1992). Solusinya menyerupai penekanan Kelsen
pada dasar-dasar normatif dari sistem hukum, tetapi Hart menolak
transendentalis Kelsen. Padangan Kant terhadap otoritas yang dilihat
secara empiris.
Pemikiran Hart mengacu pada Weberian
tentang sistem sosial. Bagi Hart kewenangan atau otoritas hukum adalah sosial.
Kriteria utama validitas dalam sistem hukum bukanlah norma hukum maupun sesuatu
yang dianggap sebagai norma, namun dalam aturan sosial yang hanya ada karena
dipraktekkan. Hukum akhirnya bertumpu pada kebiasaan: kebiasaan tentang siapa
yang berwenang memutus perselisihan hingga memutuskan hukum, apa yang mereka
harus perlakukan sebagai alasan untuk keputusan yang mengikat yaitu pada sumber
hukum, dan bagaimana kebiasaan dapat diubah.
Bagi Hart yang paling penting adalah
aturan dalam menentukan sumber-pengakuan dalam menentukan kriteria utama
validitas pada sistem hukum. Ia hanya ada karena dilakukan oleh badan-badan
hukum, dan bukan hanya dari adanya aturan pengakuan (atau aturan) yang terbaik
untuk menjelaskan praktek mereka, namun juga aturan yang mereka benar-benar
menarik tentang apa standar mereka yang terikat untuk diterapkan. Pemikiran
Hart banyak disebut sebagai konvensionalis.[10]
Bagi Hart aturan hukum utama adalah
norma-norma sosial, meskipun tidak melulu sebagai produk dari perjanjian atau
bahkan konvensi. Jadi bagi Hart sistem hukum adalah semua norma-norma yang
turun ke bawah, tetapi pada akarnya adalah norma sosial yang memiliki jenis
kekuatan normatif lainnya yaitu melalui kebiasaan. Ini adalah keteraturan perilaku
terhadap badan-badan hukum yang mengambil “sudut pandang internal”. Mereka
menggunakannya sebagai standar untuk menuntun dan mengevaluasi diri mereka
sendiri dan perilaku orang lain, dan penggunaan ini ditampilkan dalam perilaku
mereka termasuk jalan keluar dari berbagai bentuk tekanan sosial untuk
mendukung aturan dan siap untuk mengaplikasikan dari segi normatif seperti
“tugas” dan “kewajiban” saat menjalankannya.[11]
Lantas pertanyaan khas positivistic
adalah bagaimana cara agar norma sosial tersebut memiliki kekuatan normative,
atau dapat dikatakan dianggap legal. Ia mengajukan beberapa konsep untuk itu.
Pertama, ia menawarkan konsep yang ia sebut sebagai aturan primer dan aturan
sekunder. Aturan primer adalah aturan yang mengatur perilaku manusia.
Aturan-aturan primer adalah aturan yang memberi informasi pada orang-orang yang
memberi syarat-syarat tentang apa yang harus mereka lakukan, atau membebani
mereka mengenai bagaimana mereka melakukan perbuatan itu, meskipun harus
mengorbankan kepentingan mereka. Sementara aturan sekunder memberikan
orang-orang kebebasan dan hak-hak untuk mengubah atau bahkan membuat aturan
primer, mengkontrol fungsinya dan membatasi ruang lingkupnya. Aturan primer
menentukan kewajiban atau tugas-tugasnya sementara aturan sekunder memberikan
kekuasaan dan hak-hak bagi sektor public maupun privat.[12]
Jika dalam pandangan Austinian
mengandaikan masyarakatnya sebagai homogen, yang mana hanya memiliki aturan
primer saja, maka pandangan Hart sudah mempertimbangkan pluralitas
masyarakatnya yang memiliki hak untuk menentukan (impose) aturan-aturan bagi
mereka.
Dengan struktur yang ada dalam
masyarakat yang kompleks tersebut maka suatu hukum memerlukan syarat yang
ke-dua, yaitu apa yang disebutnya sebagai “the rule of recognition”.
Aturan pengakuan ini sendiri memiliki dua unsur baik aturan primer maupun
sekunder. Jadi seperti bahasa pelajaran hukum kita bahwa aturan pengakuan harus
memiliki syarat baik secara de facto maupun de jure. De facto
yang diakui secara fakta ada keberadaannya karena kebiasaan: keputusan hakim
pada suatu pengadilan, konvensi yang dapat menjadi suatu kebiasaan maka
konvensi yang menjadi tugas para legislative yang sebagai keterwakilan publik.
Dan de jure tidak lain adalah diakui secara hukum atau dengan standar
yang lain dalam sebuah sistem hukum.
5.2.
Pandangan Hukum Positivistik sebagai Sebuah Ilmu
Berdasarkan pemaparan di atas
mengenai perkembangan pemikiran aliran Positivistik dalam hukum, selanjutnya
akan dipaparkan aspek filosofis aliran ini sebagai sebuah ilmu dalam hukum.
Mengikuti alur filsafat Ilmu seperti dikemukakan oleh Jujun S Sumantri[13],
bahwa suatu ilmu harus memiliki tiga criteria yaiut ontology, epistemology dan
aksiologi. Dari pembahasan ini kita akan mencoba menelaah sekaligus sedikit
menyimpulkan persoalan filsafat dalam aliran Hukum positivistik.
Ontologi dalam filsafat adalah
pembahasan mengenai hakikat atau kebenaran dari suatu hal. Ada tiga mainstream
utama dalam pembahasan ontology yaitu bahwa hakikat itu berdasarkan apa yang
ada di dalam pikiran (idealism), berdasarkan apa yang ada pada sesuatu yang
dapat diamati (empirisme), dan berdasarkan pada keraguan (nihilism)
Ontologi dalam hukum positivistik
pada dasarnya mempercayai bahwa kebenaran bermula pada sesuatu yang dapat
diamati. Hukum positivistik memandang hukum berarti law as it is laid down
or posited [14]: Hukum adalah sesuatu yang diusulkan
sebagai fakta atau diformulasikan dan diundangkan.
Beberapa tokoh dalam positivisme berbeda
pendapat soal menentukan kewenangan dalam hukum. Bentham dan Austin berpendapat
bahwa kewenangan dalam hukum ditentukan oleh pemegang kekuasaan. Sementara
bagi Hart dan Kelsen bahwa bukan pemegang kekuasaan yang menjadi sah atau
tidaknya suatu hukum, melainkan pada hukum itu sendiri yang menjadi penentu,
Jadi bagaimanapun pandangan positivistic tentang hukum adalah bahwa hukum didasarkan
pada fakta hukum yakni sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Epistemologi adalah terkait dari
bagaimana cara ilmu tersebur diperoleh dan dapat menyusun suatu tubuh
pengetahuan. Epistimologi memberikan penjelasan mengenai bagaimana hakikat itu dapat
diketahui. Secara mendasar ada tiga cara menentukan kebenaran itu diperoleh
yakni deduktif, induktif dan berdasarkan pada fakta yang ada atau bisa jadi
bersifat doktrinal.
Deduktif yaitu bahwa kebenaran dapat
diperoleh melalui suatu pandangan umum yang tidak dapat disangkal lagi,
sehingga ketika prmis-premis selanjutnya ditentukan oleh fakta umum tersebut.
Sementara Induktif adalah cara memperoleh pengetahuan dari preposisi-preposisi
yang bersifat obsrvatoris yang kemudian ditarik pada suatu kesimpulan
dari yang bersifat umum. Sedangkan secara pernyataan secara doktrinal
menyandarkan kebenaran yang sudah diketahui melalui doktrin yang tidak dapat
disangkal lagi. Pendapat ini sangat dipengaruhi oleh epistemologi yang
dikembangkan oleh Comte.
Aspek epistemologis dalam hukum
positif meski berbeda yang dikembangkan oleh setiap tokohnya, namun
epistemologi hukum positivistik mengacu pada dua hal, yakni doctrinal-deduktif.
Aspek doctrinal-deduktif adalah mengandaikan bahwa fakta hukum adalah
konstruksi masyarakat yaitu apa yang dipercayai dan disetujui oleh masyarakat.
Pandangan deduktif para tokoh
positivistik berbeda pada persoalan ini, Austin dan Bentham memandang pada
peraturan yang berlaku adalah ditentukan dan atas kehendak dari penguasa,
Kelsen melihat peratturan yang berlaku adalah sesuai dengan grundnorm yaitu
kesesuaian dengan norma dasar dalam hal ini konstitusi kanonik. Sementara Hart
melihatnya secara fungsional bahwa konklusi dapat dilihat dari bahan-bahan
hukum yang lainnya.
Sementara aspek aksiologis adalah
mengenai nilai-nilai tentang hakikat dari sesuatu, yiutu mengenai baik dan
buruk. Aksiologi dalam aliran positivistik melihat bahwa apa yang baik dan
buruk adalah ditentukan dari kepastian hukum itu sendiri. Meskipun mereka
berpandangan untuk menyisihkan mengenai nilai etiknya (baik dan buruk) dalam
pandangan subyektif yang ada dalam masyarakat, namun mereka tidak menutup
kemungkinan untuk melakukan perubahan terhadap hukum.
Perubahan terhadap hukum dapat
dilakukan berdasarkan bahan-bahan hukum yang berlaku atau bahkan dapat
dilakukan berdasarkan perkembangan nilai-nilai yang dinamis dalam masyarakat
jika dan jika dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang telah vidisyahkan.
5.3.
Mengapa Pandangan Hukum Positive Bertahan ?
Hukum positive memiliki sumbangan
tersendiri dalam disiplin ilmu hukum. Hukum positif menyaratkan suatu perbedaan
yang jelas antara yang legal atau illegal, sementara menganggap kurang penting
antara mana yang bermoral dan tidak bermoral. Hukum positive mengandaikan bahwa
hakikat hukum itu ada pada fenomenanya, meskipun kelompok essensialist
menganggap hal ini sebagai second order urutan ke dua karena melihat
pada bentuknya bukan dan melupakan esensinya. Namun bagaimanapun standar hukum
dalam positivism sangat jelas. Hal ini dapat mempermudah orang awam sekalipun
untuk mengenali sistem hukum itu sendiri. Seperti yang dikatakan Raz melalui
Leiter: “Positivism reflects and explicates our conception of the law”.[15]
Hukum mampu merefleksikan dan
member kita penjelasan mengenai konsep hukum kita. Misalnya saja kita dapat
memberikan perbedaan yang mana kemampuan hakim dalam memutus perkara
berdasarkan aturan main hukum dan mana yang menjadi karakter moralnya. Di
samping itu, positivism memudahkan melakukan penyelidikan terhadap hukum,
karena memilki referensi sumber hukum yang telah secara eksplisit ada.
Penyelidikan secara scientific memerlukan batasan-batasan yang
dikhususkan pada bidang disiplin ilmu. Dan positivism telah berhasil membangun framework
pada pertanyaan-pertayaan hukum.
Selanjutnya
dan terakhir, menurut pendapat saya positivism memuat pertanyaan tentang
bagaimana hukum yang baik tersebut. Positivisme percaya bahwa hukum yang baik
itu (ought to be) adalah hukum yang memiliki sifat utilitarianistik yaitu
memberikan manfaat berupa kepuasan yang dapat diterima oleh beberapa pihak.
Memang untuk mencapai kepuasan itu adalah subyektif namun setidaknya
positivisme mampu mengkonstruksikan bagaimana kepuasan dapat dicapai. Kepuasan
dapat dicapai ketika itu mampu diobyektifikasikan yakni merujuk pada fakta yang
jelas. Dalam hal ini ketika hukum menjadi objektifikasi maka fakta empirik
adalah fakta yang terdapat dalam hukum itu sendiri. Dari sini paling tidak,
positivism sudah mampu untuk membuat standarisasi yang jelas sebagai sebuah
bangunan pengetahuan.
6.Penutup
6.1
Kesimpulan
Setelah kita membahas mengenai
perkembangan positivism, dapat kita melihat bahwa positivism sebagai sebuah
landasan ilmu hukum megalami perkembangan dengan menyesuaikan kondisi
masyarakat. Banyak yang mengatakan bahwa positivism membuat hukum yang ada
menjadi normative yang seolah-olah dianggap mempertahankan konservatisme. Namun
sebenarnya ketika positivisme dipahami sebagai sebagai ilmu maka hal tersebut
tidak berlaku. Di mulai dari Bentham hingga Hart, pandangan positivistik
mencoba melihat bagaimana agar supaya hukum tersebut mampu diaplikasikan sesuai
dengan perubahan pada masyarakat.
Dimulai dari Bentham misalnya, pandangan
hukum imperatifnya adalah mengikuti struktur masyarakat yang sedang dalam masa
transisi dari imperialis menuju masyarakat demokratis. Pendapat Bentham dan
Austin sendiri mengarahkan kekuasaan dipegang bukan pada orang namun pada
lembaga yang memiliki otoritas dan penegakan hukum. Sementara pandangan Hart
mengandaikan agar supaya hukum mampu diaplikasikan pada sebuah masyarakat yang
komplek dan plural. Meski begitu yang tetap menyisakan persoalan dari
positivisme hukum adalah keberterimaan terhadap perubahan hukum yang mengikuti
perkembangan masyarakat yang sangat cepat
Teori
hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori
hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis
sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum. Tumbuhnya
berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukkan pergulatan pemikiran yang
tidak henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum.Teori positivisme adalah suatu aliran dalam
filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan
hukum positif saja. Pemikir
positivime hukum yang terkemuka adalah John Austin (1790-1859) yang
berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa.Selanjutnya berkembang teori hukum
murni yang pelopor dari teori ini yaitu
Hans Kelsen (1881-1973). Teori murni berasal dari aliran hukum positif, dimana
di dalam teori ini berusaha untuk memberikan pengertian hukum dilihat sebagai
sesuatu yang “murni“ terlepas dari segala unsur lain yang berasal dari luar
ilmu hukum itu sendiri yang memisahkan ilmu hukum dari pengaruh norma-norma
moral dan menjadikan hukum sebagai suatu sistem yang berjalan secara
independent atau mandiri terlepas dari pengaruh hukum moral.
6.2. Kristalisasi
Paham Positivisme dan Teori Hukum Murni
a) Memandang
perlu memisah secara tegas antara hukum dan moral (das sein dan das
sollen).
b) Menurut
Hans Kelsen merupakan teori tentang hukum yang senyatanya ( das sein ).
c) Tidak
mempersoalkan hukum senyatanya ( das sein ) apakah hukum itu adil atau tidak
adil.
d) Hukum
adalah perintah penguasa ( law is command of the lawgivers ).
e) Hukum
positif merupakan kebalikan dari hukum alam.
f) Aliran
hukum positif mengidentikkan hukum dengan undang-undang.
g) Satu-satunya
sumber hukum adalah undang-undang.
h) Bagian
aliran hukum positif dikenal dengan nama legisme.
i)
Hukum Positif menurut L.A. Hart : Anggapan bahwa :
·
undang-undang adalah perintah manusia.
·
tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan
moral atau hukum yang ada dan yang
seharusnya ada.
·
analisis ( atau studi tentang arti ) dari konsepsi
tentang hukum :
a)
harus dibedakan dari penelitian historis mengenai
sebab atau asal usul undang undang dari penelitian sosiologis mengenai hubungan
hukum dengan gejala sosial lainnya dan kritik atau penghargaan hukum mengenai
arti moral, tuntut sosial,serta fungsi-fungsinya.
b)
sistem hukum adalah suatu sistem logis tertutup
yang menghasilkan putusan hukum yang tepat dengan cara-cara yang logis dari
peraturan hukum yang telah ada lebih dahulu tanpa mengingat tuntutan sosial, kebijaksanaan
norma-norma moral.
c)
penilaian-penilaian moral tidak dapat diartikan atau dipertahankan,seperti
halnya dengan pertanyaan tentang fakta, dengan alasan yang rasional, petunjuk
atau bukti (noncognitivisme dalam atika ).
10. Eksistensi
Hukum Positif
·
Menurut W. Fiedman : Pada prinsipnya pemisahan hukum
yang ada dan hukum yang seharusnya ada, adalah asumsi filosofis yang paling fondamental dalam
positivisme hukum.
·
Menurut
John Austin : Peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada dan
oleh makhluk yang berakal yang berkuasa
atasnya
·
John Austin
membedakan : antara hukum ciptaan Tuhan untuk manusia fungsinya
sebagai wadah-wadah kepercayaan dan
undang-undang yangdiadakan oleh
manusia.Hukum positif merupakan hukum yang diadakan oleh kekuatan politik.Hukum
positif mempunyai ciri empat unsur : perintah (command),
sanksi (sanction), kewajiban (duty), dan kedaulatan (sovereignity)
·
Pendapat John Austin dikembangkan oleh
Rudolf von Jhering dan George Jelliniek (Jerman ).Hukum sebagai alat untuk
mencapai tujuan dimaksudkan untuk menunjukkan
bahwa hukum tergantung dari paksaan, dan bahwa
hak untuk memaksa adalah monopoli mutlak negara. Tiga tanda pokok ketentuan
hukum:
1.norma untuk perilaku luar seseorang terhadap orang lain.
2.norma yang bergerak dari kekuasaan dari luar yang diketahui.
3. norma kekuatan mengikatnya dijamin oleh kekuasaan luar.
1.norma untuk perilaku luar seseorang terhadap orang lain.
2.norma yang bergerak dari kekuasaan dari luar yang diketahui.
3. norma kekuatan mengikatnya dijamin oleh kekuasaan luar.
11. Alat Teori
hukum murni Hans Kelsen
·
Teori hukum murni merupakan pengembangan dari
aliran positivisme yang menitikberatkan
pada inti ajarannya mengenai hukum dapat dibuat dari undang-undang.
·
Hukum adalah suatu sollenskatagorie ( katagori
keharusan ), bukan Seinskatagorie ( katagori faktual ).
·
Aliran ini dopelopori oleh tokoh agama ternama
yaitu Hans Kelsen.
·
Teori hukum murni
merupakan pemberontakan yang ditujukan kepada ilmu hukum yang
ideologis, yaitu yang hanya mengetengahkan hukum sebagai pemerintahan dalam
negara totaliter.
12.Ajaran hukum murni :
·
Tujuan teori hukum, seperti ilmu pengetahuan
yaitu mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
·
Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai
hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.
·
Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan
ilmu alam.
·
Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannyadengan dengan daya kerja norma-norma
hukum.
·
Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang
cara menata,mengubah isi dengan cara yang khusus.
·
Hubungan antara teori hukum dengan sistem yang
khas dari hukum positif adalah hubungan
apa yang mungkin dengan hukum
yang nyata.
13.
Filosofi ajaran
Hans Kelsen :
·
Hukum harus bersih dari anasir-anasir yang tidak
yuridis seperti etis, sosiologis, politis.
·
Unsur etis :konsep hukum yang tidak memberi
tempat bagi berlakunya hukum alam. Etika memberikan penilaian tentang baik dan
buruk.
·
Unsur sosiologis : ajaran hukum tidak memberi
tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Ajaran
hukum hanya memandang hukum sebagai
sollen yuridis semata-mata yang sama sekali terlepas dari das sein / realitas
sosial
·
Unsur politis : Unsur politis sangat sulit
dipisahkan dari hukum, sebab pembuat undang-undang adalah lembaga politis
anggotanya adalah partai politik.
14.
Inti ajaran Hans Kelsen :
·
Ajaran hukum murni ( pure theory of law ) : membersihkan hukum dari
anasir non hukum.
·
Ajaran tentang grundnorm : merupakan azas yang melahirkan peraturan hukum
dari dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu. Jadi antara grundnorm tatanan
hukum A berbeda dengan grundnorm pada tatanan hukum B.
·
Ajaran Stufenbautheory : Peraturan hukum secara keseluruhan diturunkan
dari norma dasar yang berada di puncak piramid, dan semakin kebawah semakin
beragam dan menyebar.
·
Kedudukan norma dasar adalah
tertinggi dan abstrak, makin kebawah makin konkret. Dalam proses tersebut, apa
yang semula berupa suatu yang seharusnya berubah menjadi suatu yang dapat
dilakukan
6.2 Saran
Tumbuhnya berbagai aliran dalam filsafat hukum
menunjukkan pergulatan pemikiran yang tidak hentinya dalam lapangan ilmu hukum.
Dewasa ini filsafat hukum telah menjadi bahan kajian tersendiri dara para ahli
hukum. Oleh karena itu para ahli hukum agar dalam memberikan pemikiran
filsafatnya selalu mengedepankan manfaatnya bagi dunia pendidikan, serta dari
masing-masing para ahli hukum tersebut dapat saling menghormati
pemikiran-pemikiran filsafat dari para ahli hukum yang lain. Sehingga tidak
saling menjelekkan/menjatuhkan kepada
para ahli hukum dari pemikiran filsafat yang kajinya tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyadi,
Antonius dan E Manulang. Pengantar ke Filsafat Hukum. Prenada Media
Grup. Jakarta:2007
Green,
Leslie. Legal Positivism. Stanford Encyclopedia of Philosophy. 2003
Groudine, J
Candace. Authority: H. L. A. Hart and the Problem with Legal Positivism.
The Journal of Libertarian Studies, Vol. IV. No. 3 summer 1980: 274
Hardiman,
Budi F. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietze. Gramedia Pustaka
Utama Jakarta:2007
Himma,
Kenneth Einar. Legal Positivism. http://www.iep.utm.edu/legalpos/
Kelsen,
Hans. Teori Hukum Murni: Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif. (Terj) Raisul
Mutaqin. Nusa Media. Bandung 2008
Leiter,
Brian. Why Positivism ?. University of Chicago. AALS panel on “Legal
Positivism: For and Against” with Leslie Green, Mark Greenberg, & Jeremy
Waldron, New Orleans, January 9, 2010
Sumantri,
Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Hara Pan,
Jakarta: 1990.
Wacks,
Raymond. Philosophy of Law: Very Short Introduction, Oxford University
Press, New York: 2006
Young,
Ernest. The Constitution outside Constitution. The Yale Law Jurnal.
Academic Research Library. Desember 2007
[1]
Leslie Green. Legal Positivism.
Stanford Encyclopedia of Philosophy. 2014. Diakses tanggal 26 Maret 2012
[2] Antonius Cahyadi dan E manulang. Pengantar
ke Filsafat Hukum. Prenada Media Grup. Jakarta 2007, halaman 58
[3] Kenneth Einar Himma. Legal
Positivism. http://www.iep.utm.edu/legalpos/ diakses tanggal
26 Maret 2014
[4] Ibid, halaman 67
[5] Op.Cit. Lesly Green
[6] F Budi Hardiman. Filsafat Modern:
Dari Machiavelli sampai Nietze: Gramedia Pustaka Utama .Jakarta ,2007
halaman 288
[7] Op. Cit, halaman 1
[8] Op. Cit. Lesly Green
[9] Untuk pembahasan mengenai penetapan
Konstitusi kanonik Tunggal dan persoalannya, lihat Ernest Young. The
Constitution Outside Constitution. The Yale Law Jurnal. Academic Research
Library. Desember, 2007 halaman 408
[10] Op.Cit. Green
[11] Op Cit lesly Green
[12] Candace J. Groudine. Authority:
H. L. A. Hart and the Problem with Legal Positivism. The Journal of
Libertarian Studies, Vol. IV. No. 3 summer, 1980 , halaman 274
[13]
Jujun S Sumantri. Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Hara Pan, Jakarta: 1990
[14] Raymond Wacks. Philosophy of Law:
Very Short Introduction, Oxford University Press, New York:, 2006, halaman 18
[15] Brian Leiter. Why Positivism ?.
University of Chicago. AALS panel on “Legal Positivism: For and Against”
with Leslie Green, Mark Greenberg, & Jeremy Waldron, New Orleans, January
9, 2010
Berikut ini makalah pembanding:
B. Asumsi Filosofis
Berikut ini makalah pembanding:
POSITIVISME HUKUM DALAM
KERANGKA KONSEPSI
Oleh: Refki
Saputra
kisapoetra.blogspot.com/2010
Ubi jus incertum, ibi jus nullum
(tiada kepastian hukum, disitu tidak ada hukum)
A.Titik Tolak
Positivisme hukum tidak begitu saja
muncul dalam hingar bingar perkembangan dan evolusi pemikiran zaman abad
pertengahan. Sejumlah keadaan pada masa itu menjadi poin penting untuk
dikemukakan diawal ini untuk meresapi semangat dari jiwa positivisme secara utuh.
Beberapa fakta akan diungkapkan terkait dengan kondisi sosial, politik,
kebudayaan masyarakat yang mengilhami timbulnya keinginan untuk “memositifkan”
hukum.
Pada perkiraan abad ke 18[1], ditandai
dengan era pencerahan (Aufklarung), dimana ilmu pengetahuan alam
(Newton, Lavoiser, Galileo, dll) berkembang pesat dengan menggunakan metoda
pengamatan percobaan (proefondervindelijk). Pandangan orang ketika itu
dengan sebuah observasi (pengamatan/penelitian ilmiah) dapat ditemuan
hukum-hukum alam.[2] Van Peursen
menambahkan pengalaman sendiri tidak berdiri sendiri dan lepas dari filsafat
dan menggambarkan dunia yang dianut oleh manusia modern sangat dipengaruhi oleh
cara pandang sains modern.[3] Kondisi ini
telah mengalihkan pandangan orang ketika itu dengan menggunakan metode-metode scientis
dalam bidang ilmu lainnya, tak terkecuali hukum.
Pandangan bahwa hukum berasal dari
Tuhan (mazhab hukum alam) dan melalui perantara gereja mulai dianggap tidak
rasional (irrasional). Melalui penjelasan ilmiah yang berkarakter serba
pasti, dianggap akan menjernihkan ilmu-ilmu sosial lainnya yang cenderung
meraba-raba memakai intuisi yang abstrak sehingga tidak member solusi yang
konkret atas suatu persoalan yang timbul di tengah masyarakat. Dengan adannya
alur pikir yang jelas dan terarah, memakai standar yang sama, akan memberikan
suatu kejelasan rumusan yang dapat “dicangkokkan” kepada kondisi-kondisi sosial
masyarakat yang mulai lemah dan secepatnya harus diselamatkan. Tak peduli
kesesuaian dengan perasaan jiwa masyarakat yang heterogen dengan variasi
persoalan tertentu.
Kemudian di dataran Eropa masyarakat yang sudah mulai
memikirkan kesamaan hak dimana kekuasaan raja semakin hari semakin hilang
karena dianggap menimbulkan kesengsaraan dibawah cengkraman kekuasaan raja yang
absolute. Salah satu bentuk otoritarianisme raja saat itu adalah seringnya
dilakukan penjatuhan hukuman terhadap seseorang hanya atas dasar perkataan raja
dan tanpa adanya dasar hukum yang jelas, sehingga begitu revolusi eropa pada
paruh akhir abad ke-18 berhasil dengan ditandai berhasilnya revolusi Perancis
melalui tokohnya Napoleon Bonaparte maka mulai dicanangkanlah pemikiran tentang
perlunya kepastian hukum melalui pengaturan pola perilaku masyarakat dengan
penetapan norma-norma ke dalam hukum tertulis yang dilakukan terlebih dahulu
sebelumnya, dan pemilihan bentuk hukum tertulis ini dilakukan karena didasarkan
pada keyakinan bahwa hanya dengan bentuk hukum tertulislah maka segala macam
norma yang mengatur masyarakat dapat dirujuk dan dilihat dengan jelas dan pasti
sehingga nantinya diharapkan dapat menjamin kepastian hukum.[4]
Maka sejak saat itu berkembanglah apa yang dinamakan
dengan aliran Legisme, yaitu paham yang mengaitkan hukum dengan
undang-undang, bahkan secara strict menyebutkan tidak ada sumber hukum
selain undang-undang. Paham ini dianut di Jerman oleh Paul Labland,
Jellinek, Rudolf van Jhering, Hans Nawiasky, Hans Kelsen dan lain-lain.[5]
Pemikiran tentang konsep negara ketika itu juga
memberikan efek yang luar biasa terhadap keinginan masyarakat akan keadilan
hukum. Dimana sebelumnya kedaulatan berada ditangan raja dengan segala
perintahnya yang merupakan hukum menjadikan mayarakat jenuh dan paling tidak
menjauhkan dari esensi hukum untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Diawali dengan perjanjian Westphalia (Treaty op
Westphalia) yang ditandatangani pada tahun 1648 yang merupakan tonggak
kelahiran negara modern. Kedaulatan beralih dari diri pribadi atau warga bangsa
(nationals), menjadi kedaulatan oleh segenap bangsa (nation).
Sejak saat itu negara menjadi organisasi kekuasaan yang berdaulat penuh dalam
suatu wilayah.[6] Perkembangan
teknologi pada abad ke 18 menunut Negara melakukan transformasi kedalam bentuk
hukum modern yang modern. Hal ini menurut E. Sumarsono positivisme hukum
hendak menjadikan hukum sepenuhnya otonom dan menyusun (dirinya – penulis)
sebagai sebuah ilmu pengetahuan hukum yang lengkap berdasarkan atas semua
sistem normatif yang berlaku dalam masyarakat pada umumnya.[7]
Kondisi ini memberikan kewenagan bagi Negara
(penguasa) untuk membentuk hukum yang dapat dipaksakan kepada seluruh warga
Negara. Hal ini menjadikan angin segar bagi pada kaum kapitalisme yang dalam
dunia insdustrialisasi karena Negara memberikan struktur yang tersentralisasi
dan didukung oleh hukum moderen.[8] Maka dengan
demikian Roberto M. Unger menyebutkan bahwa hukum kian hari mengalami
pergeseran dari bentuk hukum yang interaksional bergerak kepada fase hukum yang
positif dan publik atau disebut juga tipe hukum birokratis (bureucratik laws).[9]
Begitu pula dengan hukum dari Tuhan yang bersifat
irrasional menjadi tatanan hukum yang maju berwatak sekuler dimana didalamnya
memisahkan hal-hal yang irrasional tersebut, hukum telah mencapai tahap
kompleksitas, abstraksi, dan sistematisasi karena merupakan suatu objek ilmiah
yang dilaksanakan oleh para spesialis yang khusus dididik untuk itu.[10]
Bahwa kemudian hukum menjadi sakral dan tidak bisa dimasuki oleh
pemikiran-pemikiran awam yang tidak cakap hukum.
B. Konsepsi
Paham Positivisme hukum tidaklah suatu konstruksi yang
tunggal tentang karakter dari hukum itu sendiri, melainkan berpangkal pada
pengaruh-pengaruh pandangan positivisme dalam ilmu pengetahuan. Pandangan
positivisme itu sendiri dipengaruhi oleh iklim cultural pada saat itu ketika
pada abad ke-18 era refolusi indutri di Inggris yang menimbulkan gelombang
optimisme akan kemajuan umat manusia dengan keberhasilan teknologi industrinya.
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa
satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman
aktual-fisikal. Positivisme mengistirahatkan filsafat dari kerja spekulatifnya
mencari-cari kerja kodrat ontologis dan metafisis yang elah dijalaninya selama
ribuan tahun.[11]
Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori
melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis
dihindari.[12]
Tujuannya adalah untuk menggusur sebagian besar filsafat dan agama sebagai
sesuatu yang tidak bermakna dengan menetapkan criteria verifikasi, dan untuk
menegaskan kembali serta menyelesaikan persoalan-persoalan yang tersisa dengan
menggunakan bahasa formal yang ketat.[13]
Adapun ciri-ciri positivisme anatara lain sebagai beikut:[14]
- objektif/bebas nilai; hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin realitas (korespondensi);
- fenomenalisme, ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi;
- nominalisme, hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah yang nyata. Contoh logam dipanaskan memuai, konsep logam dalam pernyataan ini mengatasi semua bentuk particular logam seperti; besi, kuningan, timah, dan lain-lain;
- reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati;
- Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang menjelaskan supranatural;
- Mekanisme, gejala yang dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjeaskan mesin-mesin (sistem meakis). Alam semeta dijelaskan sebagai sebuah jam besar (a giant clock work).
Sementara itu, aliran positivisme dalam hukum
(positivisme hukum) mucul berdasarkan pandangan seorang Filusuf Prancis Aguste
Comte ang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, di
lahirkan di Montpellier Prancis selatan pada 17 Januari 1798. Setelah
menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas Montpellier, Comte
melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique di Paris. Masa pendidikannya
di École Polytechnique dijalani selama dua tahun, antara 1814-16. Masa dua
tahun ini berpengaruh banyak pada pemikiran Comte selanjutnya. Di lembaga pendidikan
ini, Comte mulai meyakini kemampuan dan kegunaan ilmu-ilmu alam.
Comte mengklaim bahwa dari hasil studi tentang
perkembangan intelektual manusia sepanjang sejarah kita bisa menemukan hukum
yang mendasarinya. Hukum ini, yang kemudian dikenal sebagai Law of Three
Stages, yang setiap konsepsi dan pengetahuan manusiawi pasti melewatinya.
Ketiga tahap hukum tersebut adalah:[15]
- Tahap teologis, dimana manusia percaya pada kekuatan-kekuatan Illahi di belakang gejala-gejala alam;
- Tahap metafisis, dimulainya kritik terhadap segala pikiran, termasuk pikiran teologis. Ide-ide teologis diganti dengan ide-ide abstrak dari metafisika;
- Tahap positif, diamana gejala-gejala tidak diterangkan lagi oleh suatu ide alam yang abstrak. Disitu satu gejala diterangkan melalui gejala-gejala lain dengan mendapati hukum-hukum anatara mereka. Hukum-hukum itu tidak lain suatu relasi yang konstan dari gejala-gejala.
Jadi pandangan filosofi positivisme dalam perjalanan
pemikiran manusia dalam mencari suatu kebenaran bertransformasi dari apa yang
dahulunya masih bersifat keTuhanan, ortodoks menerima semua keajaiban dari sang
pencipta menjadi konstruksi yang dapat dilogikakan (dipositifkan). Logika akan
dipandang sebagai penentu legitimasi pengetahuan, sehingga memberikan kepastian
yang dibutuhkan, karena orang harus mampu mencapai basis yang kuat, dan
landasan yang teguh, guna menjustifikasi segala sesuatu.[16]
Maka dari itu, yang dikatakan sebagai hukum oleh pandangan positivisme adalah
apa norma (aturan) yang dapat ditangkap oleh pancaindera (bukan bersifat
metafisis/kasat mata) karena dituliskan dengan jelas. Hal ini menandakan hukum
harus melalui proses birokratis yang sangat ketat oleh lembaga yang berwenang
atas suatu perintah penguasa. Kedudukan hukum berada dalam ketentuan formal
(diformalkan) karena validitasnya (legitimasinya) dapat dipertanggungjawabkan
dan dapat dijadikan patokan secara umum. Maka tak salah mengapa penganut aliran
positivisme hukum juga disebut sebagai aliran formalistis.
Menurut Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putera
prinsip-prinsip positivisme hukum adalah sebagai berikut;[17]
- Tata hukum Negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan social (menurut Comte dan spenser), bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa (menurut Savigny), dan bukan juga karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya dari instansi yang berwenang;
- Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya bentuk hukum formal dipisahkan dari bentuk hukum material.
Konstruksi hukum yang berasal dari
undang-undang dan diformalkan oleh negara akan memberikan sebuah kepastian
hukum, karena hal inilah yang minimal harus dipenuhi oleh hukum. Sebab, hukum tanpa kepastian akan kehilangan maknanya
sebagai hukum karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagisemua
orang.[18]
Ubi jus incertum, ibi jus nullum: dimana tiada kepastian hukum, disitu
tidak ada hukum.
Terdapat
tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:[19]
- Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer;
- Munculnya tahap kedua dalam positivisme (empirio-positivisme) berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subjektivisme.
- Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
B. Asumsi Filosofis
Positivisme hukum berpegang kepada hukum yang mapan,
mandiri, dan terbebas dari unsur non hukum lainnya. Setidaknya Antonio
Boggiano beranggapan, bahwa kaum positivisme hukum berusaha sedapat mungkin
menghindari pembahasan tentang hukum moral.[20]
Padangan bahwa hukum tidak identik dengan moral yang secara radikal kalaupun
hukum bertentangan dengan moral namun akan tetap dianggap sebagai hukum.
Kondisi ini tentulah ada penjelasan yang logis
dibelakangnaya. Misalnya hukum pada pandangan positivisme hukum sudah adil dan
pasti benar, karena dibuat oleh penguasa dalam suatu Negara berdaulat.
Sebagaimana yang disumbangkan oleh ilmu Negara dimana salah satu relasi antara
negara dan masyarakatnya seperti hubungan ayah yang baik bagi anaknya. Dimana
tidaklah mungkin sang ayah menenlantarkan (menyengsarakan anaknya). Begitupula
dengan hukum yang dibuat pemerintah, haruslah dipatuhi oleh rakyatnya karena
merupakan ketentuan yang sah dan valid yang pasti akan memberikan kebahagiaan
bagi masyarakatnya.
Kemudian asumsi dasar positivisme hukum juga
menganggap dunia peradilan sudah terjamin netalistas dan imparsialitasnya
seperti yang telah dijamin dalam undang-undang. Jadi masyarakat tidak perlu
cemas akan lembaga peradilan yang dapat memberikan keadilan bagi masyarakatnya.
Paradigma yang dibangun adalah sangat “deduktif mekanis” atau “logika formal”
dengan menyamaratakan antara keteraturan sosial (social order) dengan
keteraturan hukum (legal order).[21]
Positivisme Hukum berkeyakinan hukum harus dibangun dengan pendekatan rasional
dan seobjektif mungkin. Dalam penerapannya kepada kasus-kasus yang konkret
positivisme hukum memakai sistem logika tertutup dengan metode
deduktif sebagaimana sudah dijelaskan diawal. Apabila premis mayor tadi
berdialektika dengan suatu fakta sebagai premis minornya, maka akan diperoleh
sebuah konklusi yang tidak terbantahkan. Hal demikian dapat dilihat dari
preposisi sebagai berikut:
“Barang siapa menduduki lahan orang lain secara
melawan hak akan dipidana penjara karena penyerobotan setinggi-tingginya 5
tahun,
(Premis Mayor)
+
Masyarakat adat memasuki lahan hutan yang dikuasai
Negara
(Premis Minor)
=
Masyarakat adat akan dipidana penjara karena
penyerobotan setinggi tingginya 5 tahun.
Dari preposisi diatas dengan
menggunakan logika silogisme tertutup, maka akan tampak dengan jelas bagaimana
hukum mempunyai alur yang jelas dan pasti. Apapun yang dipandang sebagai
pertentangan dalam hukum, maka secara otomatis hukum akan bereaksi untuk
menentukan kesalahan yang dilakukan oleh sipembuat.
C. Karakteristik
Masing-masing mazhab atau aliran yang
mempengaruhi tentang pemikiran hukum memiliki karakteristik masing-masing yang
memiliki garis pembatas dengan aliran hukum lainnya. Dari karakteristik yang
tergambar, disitu masing-masing aliran saling menguatkan dan melemahkan
diantara aliran yang ada. Pertentangan antara satu mazhab hukum yang ada dengan
mazhab yang lainnya sesungguhnya merupakan pertentangan diantara karakteristik
yang ada.
Sebetulnya karakteristik atau cirri-ciri yang melekat
dari hukum yang bercorak positivistik sudah tergambar dari
penjelasan-penjelasan sebelumnya, namun belum menggambarkan jati diri yang
sebenarnya dari positivisme hukum tersebut. Beberapa ahli mengumulkan pandangan
mereke berkenaan dengan ciri-ciri dari positivisme secara utuh, seperti yang
diuraikan oleh Hart yang menguraikan cirri-ciri positivisme pada ilmu
hukum dewasa ini adalah sebagai berikut:[22]
- Hukum adalah perintah dari manusia (command of human being);
- Tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum (law) dan moral;3.
Sistem
hukum adalah sistem tertutup yang logis, tetap, dan bersifat tertutup dalam
mana keputusan-keputusan hukum yang benar atau tepat biasannya dapat diperoleh dengan
alat-alat logika tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan
ukuran-ukuran moral;
Pertimbangan moral tidak dapat
dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan
dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.
Hukum dalam karakteristik yang dibangun oleh Hart
memang harus dibersihkan dari unsure moral, karena pertimbangan moral tidak
dapat dilakukan tela’ah secara ilmiah. Proses ilmiah menurut Descartes
akan membuat penilaian yang benar dan memiliki landasan yang kokoh dan pasti
terhadap suatu fenomena.[23]
Jika pertimbangan moral dimasukkan dalam proses ilmiah, maka hasil yang akan
dicapai tentu tidak akan objektif rasional, melainkan subjektif emosional
belaka yang tidak diinginkan oleh pandangan positivisme dalam menjadikan hukum
sebagai norma umum yang universal dan dapat dijadikan acuan bagi semua orang.
Jika melihat beberapa prinsip dasar yang dikembangkan
oleh positivisme hukum, terdapat karakteristik sebagai berikut:[24]
- Dualistis, misalnya pemisahan antara moral dan hukum, pemisahan hukum dari bentuk (form) dan isinya (materiil), bahkan pemisahan hukum dari sudut pandang adannya norma sollen (keharusan) dan sein (kenyataan), terakhir konsep nilai yang ada dalam norma nersifat benar dan salah.
- Reduksionis, pandangan bahwa hukum dapat dipilah-pilah dan dipreteli mulai dari bagian yang paling besar sampai kepada bagian yang paling kecil.
- Mekanistis, umumnya positivisme hukum dalam menjelaskan relasi diantara bagian-bagian yang telah dipilah atau dipreteli selalu bersifat mekanistis. Hukum dilihat sebagai mesin yang terdiri dari komponen-komponen, dengan kata lain hukum merupakan sebuah mesin yang besar yang bergerak secara teratur dan serba pasti;
- Tertutup, maksudnya menolak pandangan di luar dari tatanan yang sudah ada dan sudah jadi;
- Aturan dan logika, didalam sistem hukum yang tertutup tersebut maka yag berlaku adalah aturan dan logika (rules and logic) dengan konsep subsumsi, derogasi, dan non kontradiksi.
D. Varian
1. Positivisme Sosiologis
Menurut pandangan ini, hukum akan selalu dikaitkan
dengan struktur sosial atau pranata sosial sebagai barang sesuatu yang
sungguh-sungguh ada dalam bentuk material utuh. Seperti yang diungkapkan oleh Donal
Black bahwa hukum sebagai variabel kuantitatif yang dapat diukur.[25]
Keterukuran dari positivisme sosiologis ini mengacu kepada stratifikasi sosial,
morfologi, kebudayaan, organisasi dan pengedali sosial.
Theo Huijbers menjelaskan bahwa dalam positivisme
sosiologis, hukum ditanggapi sebagai suatu yang terbuka bagi masyarakat, yang
harus diselidiki melalui metode ilmiah.[26]
Hal ini berarti, langkah-langkah dalam memahami hukum harus berdasarkan
pengamatan terhadap objek dengan membuat suatu hipotesis yang merupakan
anggapan yang bersifat tentative yang harus dibuktikan secara empiris.[27]
Maka dengan demikian, norma-norma kritis yang ada hubungannya dengan kesadaran
akan keadilan didalam tubuh manusia tidak memiliki tempat dalam positivisme
hukum ini. Penyelidikan terhadap hukum semata-mata sebagai suatu gejala sosial
karena positivisme sosiologis tidak mengakui adannya hukum lain selain dari
norma hukum yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh masyarakat.[28]
Dalam positivisme sosiologis ini pandagan Aguste
Comtelah yang menjadi landasan awal dengan pemikiran revolusionernya membagi
tiga tahap perkembangan pemikiran yang dilalui oleh setiap orang (Law of
Three Stages ). Adapun yang termasuk kedalam pemikiran positivisme
sosiologis selain Comte adalah Herbert Spencer, Emilie
Durkheim, dan Donald Black.
2. Positivisme Yuridis
Dalam positivisme yuridis tidak lagi mengaitkan hukum
dengan lingkungan sosialnya seperti positivisme sosiologis yang telah
diperbincangkan sebelumnya. Pandangan ini melulu berbicara kedayagunaan hukum
sebagai instrument secara mandiri, tidak terpenaruhi oleh unsure-unsur non
hukum, karena hukum itu harus dianggap sakral dan valid. Dari beberapa nama
dari ilmuan positivisme yuridis, namun yang paling mendapat perhatian dalam
positivisme yuridis ini adalah pemikiran dari John Austin dengan positivisme
analitis (analytical jurisprudence) dan Hans Kelsen dengan teori
hukum murninya (the pure theory of law).
a. Hukum
Positif John Austin (1790–1859)
Menurut Austin,
hukum adalah perintah dari penguasa (law is command of a lawgiver ),
yang berarti perintah dari pemegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang
kedaulatan. Selanjutnya menurutnya hukum dianggap sebagai suatu sistem yang
logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system), hukum secara
tegas dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai yang baik dan
buruk.[29]
Austin membagi hukum menjadi dua bentuk yakni:[30]
1. Hukum dari
Tuhan untuk manusia (the divine law);
2. Hukum yang
disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:
a.Hukum yang
sebenarnya (hukum positif), seperti:
- Hukum yang dibuat oleh penguasa seperti undang-undang, peraturan
pemerintah dan lain-lain;
-
Hukum yang dibuat oleh rakyat secara
individual, misalnya hak wali terhadap orang yang berada dibawah perwalian
b. Hukum yang
tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dianggap sebagai hukum karena tidak
ditetapkan oleh penguasa/badan yang berdaulat seperti ketentuan-ketentuan yang
dibuat oleh badan keolahragaan atau mahasiswa.
Konsep yang
mendasar terhadap hukum yang analitik adalah yang memuat ketentuan perintah,
sanksi dan kedaulatan. Pertama, perintah menghendaki orang lain untuk
melakukan kehendaknya. Kedua, pihak yang diperintah akan mengalami
penderitaan (sanksi) bagi yang tidak melaksanakannya. Ketiga, perintah
tersebut adalah pembedaan kewajiban anatara yang diperintah dengan yang
memerintah. Keempat, perintah tersebut hanya akan terlakasana jika pihak
yang memrintah itu adalah pihak yang berdaulat.[31]
Pada akhirnya, pokok-pokok pikiran dari analytical
jurisprudence dapat disimpulkan sebagai berikut:[32]
- Tidak mendasarkan pada penilaian baik dan buruk, karena penilaian tersebut berada diluar bidang hukum;
- Memisahkan antara moral dan hukum;
- Pandangannya bertolak belakang dari mazhab sejarah dan mazhab hukum alam;
- Hakikat dari hukum adalah perintah dari kekuasaan yang berdaulat;
- Kedaulatan berada diluar hukum, baik didalam politik dan sosiologis masyarakat yang tidak perlu dipersoalkan karena merupakan sebuah kenyataan;
- Ajaran Austin kurang/tidak memberikan ruang bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.
b. Ajaran Hukum
Murni Hans Kelsen (1881-1973)
Kelsen dianggap ilmuan yang paling mutakhir dari
ajaran posrivisme hukum. Ajaran Kelsen ini sesungguhnya terdiri dari dua
generasi. Pertama, ajaran hukum yang bersifat murni dan yang kedua bersasal
dari muridnya Adolf Merkl yakni ajaran stufenbau des recht yang
mengutamakan adannya hierarkis dari pertauran perundang-undangan.[33]
Inti ajaran hukum
murni ini adalah hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir non yuridis seperti
nilai etis, sosiologis, politis dan sebagainya.[34]
Menurut E. Sumaryono, kata “murni” digunakan tidak lain untuk spekulasi
filosofis, dan bertujuan membebaskan gagasan tentang norma hukum positif dari
penyelidikan dari norma hukum dengan perilaku actual manusia yang didasarkan
atas hukum sebab akibat sebagai wujud manifestasi hukum kodrat.[35]
Maka dari itu banyak pemikiran beranggapan bahwa positivisme hukum menghentikan
orang untuk berfilsafat dalam berhukum.[36]
Hukum menurut pandangan hukum murni berada pada sollen
kategori bukan sebaliknya berada pada sein kategori (kenyataan sosial).
Jadi orang mena’ati hukum karena memang seharusnya ia wajib untuk mena’atinya
sebagai suatu kehendak negara. Persoalan apakah orang pada kenyataannya menaati
atau tidak itu berada diluar hukum yang hanya merupakan kenyataan sosial.
Kemudian berbicara tentang konsep stufenbau theory
yang digunakan dalam ilmu perundang-undangan. Konsep positivisme ini
menghendaki hierarkis dalam penyusunan produk hukum, dimana peraturan yang ada
harus bersumber pada hukum yang lebih tinggi lainnya.[37]
Peraturan yang paling tinggi dalam suatu tingkatan peraturan hukum disebut
sebagai groundnorm yang bersifat hipotesis, sedangkan ketentuan yang
lebih rendah akan bersifat konkret seperti perda.
JELAJAH LITERATUR
John Gilissen dan Frits Gorle, 2007,
Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung.
Lili Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat Dan
Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Anthon F. Susanto, 2007, Hukum; Dari Consilience Menuju Paradigma
Hukum Konstruktif - Transgresif, Refika Aditama, Bandung.
Anthon F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi
Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonsia, Genta Publishing, Yogyakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitiam Hukum, Kencana, Jakarta.
http://joeniarianto.files.wordpress.com.jalan-mundur-_dalam_-positivisme-hukum
indonesia.
http://staff.blog.ui.ac.id, positivisme-dan-perkembangannya
[1] Satu abad
sebelumnya yakni Abad ke-17 M juga telah diakui oleh kesadaran Eropa, bahwa
Rene Descartes (penganutnya disebut Cartesian) sebagai orang yang pertama
memiliki kapasitas filosofi tinggi yang pemikirannya dipengaruhi oleh fisika
dan astronomi baru. Lihat dalam Anton F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Non
Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonsia, Genta
Publishing, Yogyakarta, h. 39. Descartes menganggap alam bekerja secara
mekanis, dan suatu kebenaran adalah apabila dapat dijelaskan secara matematis.
[2] John
Gilissen dan Frits Gorle, 2007, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, Refika
Aditama, Bandung, h. 116.
[4]Jalan Mundur
(dalam) Positivisme Hukum Indonesia http://joeniarianto.files,
diunduh 11 Oktober 2010.
[12] http://robbani.wordpress.com/2009/02/07/auguste-comte-dan-positivisme/,
diunduh pada tanggal 11 Oktober 2010.
[16] Anthon F.
Susanto, 2007, Hukum; Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum
Konstruktif-Transgresif, Refika Aditama, Bandung, h. 88.
[18]http://herlambangperdana.files.wordpress.com/2008/07/herlambang-positivisme
hukum diunduh pada 11 Oktober 2010.
[19]http://staff.blog.ui.ac.id,positivisme-dan-perkembangannya/, diunduh
pada tanggal 11 Oktober 2010.
[21]http://herlambangperdana.files.wordpress.com,herlambang-positivisme-hukum diunduh
pada tanggal 11 Oktober 2010
[22] Lili
Rasjidi, op. cit., h. 57.
[34] Secara
komprehensif lihat Hans Kelsen, 1960, Pure Theory of Law, University of
California Press, Los Angeles, terjemahan oleh Max Knight, 1960, atas judul
asli Reine Rechtlehre, Wina.
2 komentar:
Nama : Afganovic Mujadid Ashilah
NIM : A01111127
Kelas : B
Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan
Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum. Tumbuhnya berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukkan pergulatan pemikiran yang tidak henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum. Salah satunya berikut ini, yaitu: antara Teori positivisme hukum dan Teori hukum murni.
Teori positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Pemikir positivisme hukum yang terkemuka adalah John Austin (1790-1859) yang berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa. Tidak ada kebutuhan untuk menghubungkan hukum dengan moral, hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Positivisme hukum melihat sistem hukum adalah sistem tertutup yang logis, yang merupakan putusan-putusan yang tepat yang dapat dideduksikan secara logis dari aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya. Dan positivisme hukum memandang, bahwa penghukuman secara moral tidak lagi dapat ditegakkan, melainkan harus dengan jalan argumen yang rasional atau pun dengan pembuktian alat bukti. Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
Selanjutnya berkembang teori hukum murni yang pelopor dari teori ini yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Teori murni berasal dari aliran hukum positif, dimana di dalam teori ini berusaha untuk memberikan pengertian hukum dilihat sebagai sesuatu yang “murni“ terlepas dari segala unsur lain yang berasal dari luar ilmu hukum itu sendiri yang memisahkan ilmu hukum dari pengaruh norma-norma moral dan menjadikan hukum sebagai suatu sistem yang berjalan secara independent atau mandiri terlepas dari pengaruh hukum moral. Kelsen juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah. Oleh karena definisi yang demikian itu mempergunakan pertimbangan-pertimbangan subyektif dan politis, sedangkan yang dikehendaki ilmu pengetahuannya benar-benar objektif. lmu hukum adalah ilmu normatif, demikian menurut Kelsen dan hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen.
Teori Hukum Murni masih banyak dipakai di Indonesia, hal tersebut tercermin dengan masih diikutinya/diterapkannya beberapa pemikiran dari Hans Kelsen dalam sistem kehidupan secara yuridis. Dalam hubungan tugas hakim dan perundang-undangan masih terlihat pengaruh aliran Aliran Legis (pandangan Legalisme), yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas. Namun, teori-teori hukum yang berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi kehidupan hukum di Indonesia adalah teori hukum positivisme. Pengaruh teori ini dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum yang berlaku di Indonesia. Bahkan, nilai-nilai dan norma di luar undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang-undang dan hanya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undang yang tidak atau belum mengatur masalah tersebut.
Nama : Barry Alpine Sinurat
NIM : A01111213
Kelas : B
Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan
Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum. setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian hukum. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum. Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum para ahli hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.
Munculnya gerakan positivisme mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai bidang ilmu tentang kehidupan manusia. Positivisme juga sempat mempengaruhi dari sistem hukum dalam prosesnya waktu paham ini dicetuskan oleh para ahli-ahli filsuf. Positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitas hukum dalam masyarakat.
Hingga saat ini terkadang paham postivisme dapat dipergunakan sebagai tolak ukur memperdalam teori-teori hukum yang terus berkembang. Namun dalam konteksnya diperlukan suatu hukum yang sebenar-benarnya sebagai alat sebagaimana mestinya bukan sebagai alat politik kepentingan perseorangan/kelompok. Sehingga pada akhirnya produk-produk hukum yang akan dibuat dapat tepat guna sesuai dengan semestinya untuk mewujudkan cita-cita dari negara Indonesia sebagai Negara Hukum.
Posting Komentar