“HIPER REGULASI” BIDANG PENDIDIKAN
(Studi Pemetaan UU No 20 Tahun 2003)
Oleh : Turiman Fachturahman Nur
Jika kita membaca teks hukum negara dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 : Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab, maka sangat mulialah tujuan pendidikan nasional.
Kemudian menghubungkan
dengan definisi pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dan pengertian Pendidikan nasional adalah pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan
tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. (Pasal 1 angka 1,2 UU No 20 Tahun
2003)
Selaras dengan pengertian diatas jika kita hubungkan dengan pandangan
filsafat Pendidikan, sebagai
suatu pendekatan dalam memahami dan memecahkan persoalan-persoalan yang
mendasar dalam pendidikan, seperti dalam menentukan tujuan pendidikan,
kurikulum, metode pembelajaran, manusia, masyarakat, dan kebudayaan yang tidak
dapat dipisahkan dari dunia pendidikan itu sendiri.
Pendidikan
tidak dapat terlepas dari aliran filsafat yang melandasinya, sebagaimana
dilakukan oleh Amerika Serikat yang meletakkan filsafat pendidikan atas dasar
pengkajian beberapa aliran filsafat tertentu, seperti pragmatisme, realisme,
idealisme, dan eksistensialisme, lalu dikaji bagaimana konsekuensi dan
implikasinya dalam dunia pendidikan. Begitu juga dengan pendidikan
Indonesia yang tidak bisa terlepas dari filsafat Pancasila yang notabenenya
merupakan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Secara
pragmatis kita bisa membedakan pendidikan dalam dua macam, yaitu (1) praktek
pendidikan dan (2) ilmu pendidikan sebagai salah satu bentuk teori pendidikan.
Yang selanjutnya, juga membedakan filsafat pendidikan ke dalam dua macam, yaitu
(1) filsafat praktek pendidikan, dan (2) filsafat ilmu pendidikan.
Filsafat praktek pendidikan adalah analisis kritis dan
komprehensif tentang bagaimana seharusnya pendidikan diselenggarakan dan
dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Praktek pendidikan dapat dibedakan
menjadi: (1) filsafat proses pendidikan (biasanya disebut filsafat pendidikan)
dan (2) filsafat sosial pendidikan. Filsafat proses pendidikan adalah analisis
kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya kegiatan pendidikan
dilaksanakan dalam kehidupan manusia.
Filsafat proses pendidikan biasanya membahas tiga
masalah pokok, yaitu (1) apakah sebenarnya pendidikan itu; (2) apakah tujuan
pendidikan itu sebenarnya; dan (3) dengan cara bagaimana tujuan pendidikan
dapat dicapai. Sementara filsafat sosial pendidikan membahas hubungan antara
penataan masyarakat manusia dengan pendidikan. Atau dapat pula dikatakan bahwa
filsafat sosial pendidikan merupakan analisis kritis dan komprehensif tentang
bagaimana seharusnya pendidikan diselenggarakan dalam mewujudkan tatanan
masyarakat manusia idaman.
Jika kita menelisik masalah pendidikan
sebagaimana yang dipaparkan Elni
Handayani, dalam salah satu artikel yang berjudul “Masalah Pendidikan di Indonesia
dan Solusinya”, memaparkan beberapa hal berikut ini.
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan
kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan
yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan
yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya
seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan
tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem
pendidikan yang ada.
Masalah
pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya
di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah,
dengan kata lain tidak seimbang.
Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang
berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur
integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal
belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang
yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti
mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya.
Hal yang
sering disinyalir ialah pendidikan seringkali
dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan
istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan
“siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam
pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi.
Memperhatikan
secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang
sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi
sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut
pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak
lembaga pendidikan.
Masalah
kedua adalah sistem pendidikan yang top-down
(dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh
pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan
gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak
membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang
tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk
menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai
pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit
box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila
sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid
hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi
hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat
menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan
gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka
yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak
mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga,
dari model pendidikan yang demikian maka
manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya
siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap
zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan
fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan
manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia).
Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu
gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam
“strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu
kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan
politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis
kemukakan.
Melainkan
justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah
tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah
kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai
sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan
kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan
menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal
ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara
menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
Secara garis
besar ada dua solusi untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, yaitu:
1. Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang
berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti
diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan
dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan
di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme
(mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan
tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
2. Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait
langsung dengan pendidikan. Solusi ini
misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Solusi untuk
masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan.
Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan
kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan
berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa,
misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi
pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Maka dengan
adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan
di Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan
generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.
Banyak
sekali faktor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan
di Indonesia. Factor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya
kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan,
rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan
kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang
menjadi masalah mendasar dari pendidikan di
Indonesia adalah sistem pendidikan di
Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia
yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi
kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah
dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan
di Indonesia.
Pertanyaannya apa yang salah dari
pendidikan kita sekarang ini ? salah satunya adalah hiper regulasi dalam
berbagai kebijakan pendidikan, mari kita petakan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasiona UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memberikan
kewenangan kepada Pejabat yang berwenang untuk menjabarkan lebih lanjut dalam
materi muatan Peraturan Pemerintah. Ternyata ada 35 materi yang harus diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pmerintah dan satu Undang-Undang.
Tabel berikut ini memberikan
gambaran tentang “hiper regulasi” sebagaimana berikut ini:
No
|
Tentang Materi Muatan
|
Bidang Yang Diatur
|
Pasal Delegasi
|
1
|
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang
berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia
pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Pasal 12
(1) Setiap
peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak :
a.
mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh
pendidik yang seagama;
b.
mendapatkan
pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya;
c.
mendapatkan
beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai
pendidikannya;
d.
mendapatkan
biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai
pendidikannya;
e.
pindah ke
program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara;
f.
menyelesaikan
program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak
menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
(2) Setiap peserta didik berkewajiban :
a.
menjaga
norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan
pendidikan;
b.
ikut
menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang
dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Warga negara asing dapat menjadi peserta
didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
|
mengenai hak dan kewajiban peserta
didik
|
Pasal 12
(4) Ketentuan
mengenai hak
dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
|
2
|
Pasal 17
(1) Pendidikan dasar merupakan jenjang
pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
(2) Pendidikan
dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk
lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
|
mengenai
pendidikan dasar
|
Pasal 17
(3) Ketentuan
mengenai
pendidikan dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
3
|
Pasal 18
(1) Pendidikan
menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
(2) Pendidikan
menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.
(3) Pendidikan
menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain
yang sederajat.
|
mengenai
pendidikan menengah
|
Pasal 18
(4) Ketentuan
mengenai
pendidikan menengah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
4.
|
Pasal 20
(1) Perguruan
tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau
universitas.
(2) Perguruan
tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat.
(3) Perguruan
tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.
|
mengenai
perguruan tinggi
|
Pasal 20
(4) Ketentuan
mengenai perguruan
tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
5
|
Pasal 21
(1) Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan
pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu
dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program
pendidikan yang diselenggarakannya.
(2) Perseorangan,
organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi
dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(3) Gelar
akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan
tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau
vokasi.
(4) Penggunaan
gelar akademik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya
dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi
yang bersangkutan.
(5) Penyelenggara
pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi yang
melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi
administratif berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan.
(6) Gelar
akademik, profesi, atau vokasi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan
yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau
penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dinyatakan tidak sah.
|
mengenai
gelar akademik, profesi, atau vokasi
|
Pasal 21
(7) Ketentuan
mengenai gelar
akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
|
4
|
Pasal 24
(1) Dalam
penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan
tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi
keilmuan.
(2) Perguruan
tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat
penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada
masyarakat.
(3) Perguruan
tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya
dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.
|
penyelenggaraan
pendidikan tinggi
|
Pasal 24
(4) Ketentuan
mengenai
penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
5.
|
Pasal 25
(1) Perguruan tinggi menetapkan persyaratan
kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(2) Lulusan
perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar
akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.
|
persyaratan
kelulusan dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi
|
Pasal 25
(3) Ketentuan
mengenai
persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
|
6
|
Pasal 26
(1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi
warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai
pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka
mendukung pendidikan sepanjang hayat.
(2) Pendidikan
nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada
penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap
dan kepribadian profesional.
(3) Pendidikan
nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia
dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan,
pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
(4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas
lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar
masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
(5) Kursus
dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan
bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk
mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
(6) Hasil
pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan
formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang
ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar
nasional pendidikan.
|
mengenai
penyelenggaraan pendidikan nonformal
|
Pasal 26
(7) Ketentuan
mengenai
penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
7.
|
Pasal 27
(1) Kegiatan pendidikan informal yang
dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri.
(2) Hasil
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan
formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar
nasional pendidikan.
|
mengenai
pengakuan hasil pendidikan informal
|
Pasal 27
(3) Ketentuan
mengenai
pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
8
|
Pasal 28
(1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan
sebelum jenjang pendidikan dasar.
(2) Pendidikan
anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal,
nonformal, dan/atau informal.
(3) Pendidikan
anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK),
Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
(4) Pendidikan
anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain
(KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
(5) Pendidikan
anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga
atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
|
mengenai
pendidikan anak usia dini
|
Pasal
28
(6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
|
9
|
Pasal 29
(1) Pendidikan
kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggara-kan oleh departemen
atau lembaga pemerintah nondepartemen.
(2) Pendidikan
kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan
tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau
lembaga pemerintah non-departemen.
(3) Pendidikan
kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.
|
mengenai
pendidikan kedinasan
|
Pasal
29
(4) Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah
|
10
|
Pasal 30
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pendidikan
keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat
yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi
ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan
keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan
informal.
(4) Pendidikan
keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja
samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
|
mengenai
pendidikan keagamaan
|
Pasal 30
(5) Ketentuan
mengenai
pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
11
|
Pasal 31
(1) Pendidikan
jarak jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan.
(2) Pendidikan
jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat
yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.
(3) Pendidikan
jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang
didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin
mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.
|
mengenai
penyelenggaraan pendidikan jarak jauh
|
Pasal 31
(4) Ketentuan
mengenai
penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
|
12
|
Pasal 32
(1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan
bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
(2) Pendidikan
layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil
atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana
alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
|
mengenai
pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus
|
Pasal 32
(3) Ketentuan
mengenai
pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
|
13
|
Pasal 34
(1) Setiap warga negara yang berusia 6 (enam)
tahun dapat mengikuti program wajib belajar.
(2) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada
jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
(3) Wajib
belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
|
mengenai
wajib belajar
|
Pasal 34
(4) Ketentuan
mengenai wajib
belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
14
|
Pasal 35
(1) Standar nasional pendidikan terdiri atas
standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus
ditingkatkan secara berencana dan berkala.
(2) Standar
nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
(3) Pengembangan
standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya
secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan
pengendalian mutu pendidikan.
|
mengenai
standar nasional pendidikan
|
Pasal 35
(4) Ketentuan
mengenai
standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
15
|
Pasal 36
(1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional.
(2) Kurikulum
pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta
didik.
(3) Kurikulum
disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan memperhatikan :
a.
peningkatan
iman dan takwa;
b.
peningkatan
akhlak mulia;
c.
peningkatan
potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d.
keragaman
potensi daerah dan lingkungan;
e.
tuntutan
pembangunan daerah dan nasional;
f.
tuntutan
dunia kerja;
g.
perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h.
agama;
i.
dinamika
perkembangan global; dan
j.
persatuan
nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
|
mengenai
pengembangan kurikulum
|
Pasal 36
(4) Ketentuan
mengenai
pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
16
|
Pasal 37
(1) Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat :
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan;
c. bahasa;
d. matematika;
e. ilmu pengetahuan alam;
f. ilmu pengetahuan sosial;
g. seni dan budaya;
h. pendidikan jasmani dan olahraga;
i. keterampilan/kejuruan; dan
j. muatan lokal.
(2) Kurikulum
pendidikan tinggi wajib memuat :
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan; dan
c. bahasa.
|
mengenai
kurikulum
|
Pasal 37
(3) Ketentuan
mengenai
kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
17
|
Pasal 41
(1) Pendidik
dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah.
(2) Pengangkatan,
penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh
lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal.
(3) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik
dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu.
|
mengenai
pendidik dan tenaga kependidikan
|
Pasal 41
(4) Ketentuan
mengenai
pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
18
|
Pasal 42
(1) Pendidik
harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang
kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2) Pendidik
untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi
yang terakreditasi.
|
mengenai
kualifikasi pendidik
|
Pasal 42
(3) Ketentuan
mengenai
kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
19
|
Pasal 43
(1) Promosi
dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan
latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam
bidang pendidikan.
(2) Sertifikasi
pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program
pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.
|
mengenai
promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik
|
Pasal
43
(3) Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan
sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
|
20
|
Pasal 45
(1) Setiap
satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang
memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan
peserta didik.
|
mengenai
penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada semua satuan pendidikan
|
Pasal 45
2) Ketentuan
mengenai
penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
|
21
|
Pasal 46
(1) Pendanaan
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan masyarakat.
(2) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
|
mengenai
tanggung jawab pendanaan pendidikan
|
Pasal
46
(3) Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah
|
22
|
Pasal 47
(1) Sumber
pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan
keberlanjutan.
(2) Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
|
|
Pasal 47
(3) Ketentuan
mengenai
sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
23
|
Pasal 48
(1) Pengelolaan
dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi,
dan akuntabilitas publik.
|
mengenai
pengelolaan dana pendidikan
|
Pasal
48
(2) Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah
|
24
|
Pasal 49
(1) Dana
pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor
pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
(2) Gaji
guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
(3) Dana
pendidikan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk satuan pendidikan
diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(4) Dana
pendidikan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diberikan dalam bentuk
hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
|
mengenai
pengalokasian dana pendidikan
|
Psal 49
(5) Ketentuan
mengenai
pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
|
25
|
Pasal 50
(1) Pengelolaan
sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri.
(2) Pemerintah
menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin
mutu pendidikan nasional.
(3) Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan
pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan
yang bertaraf internasional.
(4) Pemerintah
Daerah Propinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan,
pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan
pendidikan lintas daerah Kabupaten/Kota untuk tingkat pendidikan dasar dan
menengah.
(5) Pemerintah
Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta
satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
(6) Perguruan
tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan
di lembaganya.
|
mengenai
pengelolaan pendidikan
|
Pasal
50
(7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5),
dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
|
26
|
Pasal 51
(1) Pengelolaan
satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah/madrasah.
(2) Pengelolaan
satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi,
akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.
|
mengenai
pengelolaan satuan pendidikan
|
Pasal 51
(3) Ketentuan
mengenai
pengelolaan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
27
|
Pasal 52
(1) Pengelolaan
satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau masyarakat.
|
mengenai
pengelolaan satuan pendidikan nonformal
|
Pasal 52
(2) Ketentuan
mengenai
pengelolaan satuan pendidikan nonformal sebagai-mana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
28
|
Pasal 53
(1) Penyelenggara
dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
(2) Badan
hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan
pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
(3) Badan
hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan
dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
|
tentang
badan hukum pendidikan
|
Pasal 53
(4) Ketentuan
tentang badan
hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.
|
29
|
Pasal 54
(1) Peran
serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan,
kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan.
(2) Masyarakat
dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil
pendidikan.
|
mengenai
peran serta masyarakat dalam pendidikan
|
Pasal 54
(3) Ketentuan
mengenai peran
serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
30
|
Pasal 56
(1) Masyarakat
berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi
perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan
pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
(2) Dewan
pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan
mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat
Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/ Kota yang tidak mempunyai hubungan
hirarkis.
(3) Komite
sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan
dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada
tingkat satuan pendidikan.
|
mengenai
pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah
|
Pasal 56
(4) Ketentuan
mengenai
pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
31
|
Pasal 58
(1) Evaluasi
hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses,
kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
(2) Evaluasi
peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga
mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai
pencapaian standar nasional pendidikan.
Pasal 59
(1) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan.
(2) Masyarakat
dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk
melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
|
Evaluasi
hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses,
kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan
|
Pasal 59
(3) Ketentuan
mengenai
evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
31
|
Pasal 60
(1) Akreditasi
dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur
pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
(2) Akreditasi
terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau
lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik.
(3) Akreditasi dilakukan atas dasar
kriteria yang bersifat
terbuka.
|
mengenai akreditasi
Pendidikan
|
Pasal 60
(4) Ketentuan
mengenai
akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
32
|
Pasal
61
(1) Sertifikat
berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.
(2) Ijazah
diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar
dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
(3) Sertifikat
kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan
kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap
kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi
yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga
sertifikasi.
|
mengenai
sertifikasi
|
Pasal 61
(4) Ketentuanmengenai sertifikasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
|
33
|
Pasal
62
(1) Setiap
satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin
Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(2) Syarat-syarat
untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi
pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan
pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.
(3) Pemerintah
atau Pemerintah Daerah memberi atau mencabut izin pendirian satuan pendidikan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
|
satuan
pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin
Pemerintah atau Pemerintah Daerah
|
Pasal 62
(4) Ketentuan
mengenai
pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
|
34
|
Pasal
65
(1) Lembaga
pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat
menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Lembaga
pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan
pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik Warga Negara
Indonesia.
(3) Penyelenggaraan
pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidik
dan pengelola Warga Negara Indonesia.
(4) Kegiatan
pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain yang
diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
|
mengenai
penyelenggaraan pendidikan asing
|
Pasal 65
(5) Ketentuan
mengenai
penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah
|
35
|
Pasal
66
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dewan
pendidikan, dan komite sekolah/ madrasah melakukan pengawasan atas
penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai
dengan kewenangan masing-masing.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
prinsip transparansi dan akuntabilitas publik
|
Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/ madrasah melakukan
pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis
pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing
|
Pasal 66
(3) Ketentuan
mengenai
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan
Pemerintah
|
1 komentar:
Nama: Priska Tilaar
Nim: A1011171024
Fakultas/Prodi: Hukum/Ilmu Hukum
Kelas: A
Reguler: A
Saya sangat berterima kasih kepada bapak Turiman yang sudah membuat artikel ini, karna dalam artikel ini kita dapat mengetahui kebenaran dan sejarah tentang Lambang negara Indonesia.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah mengatur berbagai hal yang menyangkut tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. Dalam Pasal 35 disebutkan bahwa Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih. Pasal 36 menyebutkan bahwa Bahasa Negara ialah bahasa Indonesia. Pasal 36A menyebutkan bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Selanjutnya Pasal 36B menyebutkan bahwa Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya.
Pasal-pasal tersebut merupakan pengakuan sekaligus penegasan secara resmi oleh Negara tentang penggunaan simbol-simbol tersebut sebagai jati diri bangsa dan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seluruh bentuk simbol kedaulatan negara dan identitas nasional harus diatur dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Simbol burung yang menyerupai elang Rajawali itu oleh teks hukum negara dinama Garuda Pancasila berwarna kuning emas, melambangkan kebesaran bangsa melambangkan keagungan bangsa atau keluhuran Negara, sedangkan makna lambang negara secara keseluruhan sebagai lambang tenaga pembangun (creatif vermogen) dan sebagai Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang kuat. Lambang negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi kekuatan yang sanggup menghimpun serpihan sejarah Nusantara yang beragam sebagai bangsa besar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sekian pendapat dari saya, jika ada kesalahan mohon maaf. Terimakasih
Posting Komentar