Rabu, 08 Oktober 2014

PERJUMPAAN HUKUM ADAT DENGAN HUKUM NEGARA,SERTA PROBLEMA YANGTIMBUL DALAM PENEGAKAN HUKUM


PERJUMPAAN HUKUM ADAT DENGAN HUKUM NEGARA,SERTA PROBLEMA YANGTIMBUL DALAM PENEGAKAN HUKUM

OLEH.  Dr  FIRDAUS,SH,MSc
(Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UNTAN Pontianak)

Abstract

Enactment of legal pluralism perspective imagine more than one legal system in a country, but this does not mean the laws of non-state by itself can shift the position of state law and state sovereignty to menentapkan law. This can be explained by borrowing ideas Chiba Masaji a writer on legal pluralism famous, three-layer construction of the law. Chiba made ​​a hypothetical framework layers of law in a legal system that consists of a layer of law: the law. Officially, the law is not playing and legal postulates. Official law is a law that disyah and recognized by the state, including local law and religious law in force in accordance with state law. Unofficial law is law that is not approved and recognized by the state, but is recognized by the public as a public good in the country and who are outside the country. The law does not formally state law affected its effectiveness. Postulates of law is the principle or value system that specifically relate to the official justification for the law or the law does not resmi.Menurut Sulityowati, further developments in optical legal pluralism, legal pluralism studies that look at the side of the conflict has been abandoned, the study of legal pluralism began to see how legal pluralism / plurality of law can interact with each other. This paper gives an exposition of the encounter customary law with state law then how policy measures in customs enforcement when dealing with state law.

Keywords: Customary Law, State Law and Legal Pluralism / Plurality Law.

Abstrak
Persepektif pluralism hukum membayangkan berlakunya lebih dari satu sistem hukum dalam suatu negara, namun ini tidaklah berarti hukum-hukum non negara dengan sendirinya dapat menggeser posisi hukum negara dan kedaulatan negara untuk menentapkan hukum. Hal ini dapat pula dijelaskan dengan meminjam pemikiran Masaji Chiba seorang penulis tentang pluralisme hukum yang ternama, tentang tiga lapis konstruksi hukum. Chiba membuat kerangka hipotetis lapisan-lapisan hukum dalam suatu sistem hukum lapisan hukum tersebut terdiri dari : hukum. resmi, hukum tidak remi dan postulat hukum.  Hukum resmi adalah hukum yang disyah dan diakui oleh negara, termasuk   hukum lokal maupun hukum agama yang berlaku sesuai dengan hukum negara .
Hukum tidak resmi adalah hukum yang tidak disyahkan dan diakui negara, tetapi diakui oleh sebagai masyarakat baik masyarakat dalam negara maupun yang berada diluar negara. Hukum tidak resmi ini mengpengaruhi efektifitas hukum negara. Postulat hukum adalah prinsip atau sistem nilai yang khusus berhubungan dengan justifikasi terhadap hukum resmi atau hukum tidak resmi.Menurut Sulistyowati,  perkembangan selanjutnya dalam optik pluralisme hukum, studi yang melihat kemajemukan hukum pada sisi konflik sudah ditinggalkan, studi pluralisme hukum mulai melihat bagaimana kemajemukan hukum/pluralitas hukum dapat saling berinteraksi. Tulisan ini memberikan paparan tentang perjumpaan hukum adat dengan hukum negara kemudian bagaimana langkah kebijakannya dalam penegakan hukum adat ketika berhadapan dengan hukum negara.

Kata Kunci: Hukum Adat, Hukum Negara dan Kemajemukan Hukum/Pluralitas Hukum.

1.Negara  Dan Hukum
1.1. Orientasi teoretik
Konsepsi Negara-bangsa, telah diterima sebagai perkembangan lebih lanjut dari organisasi politik manusia dalam kehidupan moderen sekarang ini. Ketika evolusi konsep negara berkembang menjadi negara bangsa dan melahirkan negara-negara modern, peran negara dalam pembentukan hukum dalam suatu negara telah diterima dalam praktek penyelenggaraan negara modern. Negara mengambil alih seluruh kewenangan dan tanggung jawab untuk menjaga ketertiban masyarakat, dari persekutuan-persekutan hidup manusia sebelum terbentuknya negara. Hal ini berarti sejak terbentuknya negara tidak ada lagi kelompok atau persekutuaan masyarakat yang memiliki kekuasaan yang sama dengan kekuasaan yang dimiliki negara apalagi berada di atas negara. Dalam konteks ini, kedualatan negara berdasarkan legitimasi konstitusionil yang diterimannya  menjadi dasar bagi negara untuk meneyelanggarkan pemerintahan negara dengan membentuk, menerapkan dan menegakan hukum negara, dalam wilayahnya yurisdiksinya.
Filsafat politik Aristoteles. yang memandangan kedudukan negara berada di atas persekutuan hidup lainnya, berlanjut dan berkembang hingga abat pertengahan, melalui pemikiran-pemikiran Thomas Hobbes, Jean Bodin, John Locke, Rousseau, Hegel[1]. dan lainya. Hobbes sebagai pencentus awal teori perjanjian masyarakat, memandang negara dengan otoritas yang melekat padanya sebagai kekuatan yang menciptakan kedamaian dalam masyarakat. Dalam pandangan Hobbes, dalam negaralah manusia mendapatkan perlindungan dan dalam negara pula manusia memperoleh haknya. Atas dasar pandangan tersebut, negara kemudia mempunyai kekuasaan tertinggi diatas warganya.
Kekuasaan tertinggi ini dalam bahasa Bodin disebutnya souverainite, kedaulatan negara. Atas dasar asumsi tersebut, kemudian, Locke maupun Mountesque, mengakui dan memberikan hak kepada negara untuk, menetapkan hukum dan menegakan hukum dalam suatu negara melalui teori trias politika walaupun dengan variasi yang berbeda[2].
Di bidang hukum, pemikiran-pemikiran yang  menghubungkan negara dengan hukum, terus berkembang baik oleh pemikir yang dikelompokan sebagai alirian positivisme hukum dari John Austin hingga Hart, maupun aliran hukum murni yang dikembangkan oleh mazhab Wina  seperti Hans Kalsen. Pernyataan Austin yang menyatakan hukum sebagai perintah penguasa, menunjukan adanya otoritas negara dalam menentapkan hukum bagi warganya. Teori kedaulatan negara atau dalam bahasa Austin disebitkan sebagai doctrine of sovereignty, merupakan atribut yang melengkap suatu negara, karena negara membutuhkan ketaatan dari warganya.
Ketaatan kepada negara ini timbul di dasarkan atas adanya legitimasi yang dimiliki negara, sehingga menimbulkan  kewajiban moral untuk mentaatinya. Panganut Mazhab Wina, seperti Hans Kalsen[3], lebih melihat hukum  atau tata hukum mewujudkan dirinya dalam bentuk negara, bahkan menyamakan negara dengan tatat hukum nasional.Pemikiran filosofis tersebut menujukan, betapa kuatnya hubunganan antara negara dan hukum. Kekuasaan negara dalam membentuk hukum dan menegakan hukum merupakan sesuatu keniscahayaan dalam penyelengaraan negara[4].
Peran negara semakin luas dalam mengatur warganya, ketika konsep negara terus berkembang dengan lahirnya konsep negara hukum dan menjadi negara kesejahteraan. Negara tidak saja berkewajiban untuk melindungi rakyat, tetapi negara juga berkewajiban untuk memanusiakan warganya, mencerdasakan warganya dan mensejahetrakan warganya. Dalam konteks negara kesejahteraan, campur tangan negara dalam kehidupan masyarakat semakin luas, mengikuti dinamika perkembangan kehidupan masyarakat, baik dibidang ekonomi, politik maupun dalam bidang sosial dan budaya. Wujud dari campur tangan negara dalam kehidupan masyarakat, adalah dengan membentuk hukum negara untuk mengatur kehidupan warganya dalam suatu negara bangsa[5].
 Dalam konteks inilah hukum negara, sebagai hukum modern dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, karena memiliki beberapa sifat, sebagaimana digambarkan Brademier, sebagai berikut:
’hukum merupakan gambaran dari nilai-nilai yang diterima secara konsensus di dalam masyarakat;  hukum menterjemahkan nilai-nilai tersebut sebagai dasar dari aturan-aturan sosial;  hukum menterjemahkan nilai-nilai tersebut sebagai alat untuk melindungi kepentingan masyarakat;  negara di dalam sistem hukum merupakan value netral;  di dalam masyarakat yang jamak , hukum menggambarkan kepentingan-kepentingan dari masyarakat secara keseluruhan yang dapat  mewakili semua kepentingan yang berbeda-beda dari kelompok yang ada dalam masyarakat”[6].

Pandangan Bredemier  tersebut, setidak-tidaknya menunjukan beberapa hal yaitu  bahwa negara berada di atas semua golongan, karena itu negara menjembatani semua kepentingan warga masyarakat yang berbeda kepentingan. Otoritas untuk meemberikan keamanan, menegakan hukum serta perlindungan kepada rakyatnya menjadi bagian dari negara. Atas dasar itu lah negara mempunyai  dasar untuk memembentuk hukum negara.
Dalam konteks kehidupan modern, barangkali tidak ada lagi manusia atau masyarakat hidup di luar negara. Oleh karena itu Negara-bangsa mempunyai peran besar untuk memberikan kesejahteraan dan keamanan, serta perlindung HAM kepada rakyatnya. Atas dasar ini semua hukum negara dan kedaulatan Negara untuk memberlakukannya di semua wilayah  Negara merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konsep negara bangsa, yang mendapatkan justifikasi dari pemikiran filsafat politik filsuf-filsuf Yunani dan Eropa abat pertengahan, pada dekade 90-an mulai medapat kritisi teoritik.   Dalam wacana akademik, kritisi terhadap hegemoni negara dan hukum positif di dorong oleh  lahirnya suatu cabang aliran pemikiran dalam filsafat yang menamakan dirinya aliran pemikiran post-modernism, yang mulai muncul pada awal tahun 90-an. Aliran pemikiran post-modernism melakukan kritik filosofis terhadap bangun ilmu pengetahuan yang berkembang dalam logika paradigma positivistik.  Seperti dikatakan oleh Lyotrad tokoh penting dalam post-modern bahwa ilmu pengetahuan post-modern memperhalus kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk bertoleransi atas pendirian yang tak mau di bandingkan[7].
Aliran pemikiran post-modernism  memberikan refleksi filosofis terhadap perkembangan ilmu politik dan ilmu hukum yang memberikan dasar ilmiah atas keberadaan negara-bangsa dan hukum negara. Dalam konteks kritiksi post-modernism, eksistensi negara-bangsa, sebagai bentuk negara modern yang lahir di Eropa, dan dibawa ke wilayah-wilayah kolonial di Asia dan Afirika, seharusnya membawa kesejahteraan bagi warganya. Namun, banyak pemerintahan dari suatu Negara-bangsa yang gagal membawa rakyatnya dalam kemakmuran dan bahkan terdapat pemerintahan suatu negara bangsa yang justru menindas rakyatnya. Dalam konteks yang demikian, keberadaan negara bangsa menjadi dipertanyakan.
 Dalam ilmu hukum, aliran pemikiran post-modernism memberikan wacana baru  dalam kajian hukum. Sebagaimana di lansir oleh Santos,  bahwa wacana pluralisme hukum atau legal pluralism merupakan  istilah kunci dalam kajian hukum dalam lingkup post-modern[8]. Konsep plularisme hukum  membayangkan berlakunya lebih dari satu sistem hukum dalam suatu negara[9].
Isu pluralisme hukum dikembangkan sebagai counter terhadap sentralisme hukum (legal centralism), atau sistem monistik yang dijalankan pemerintah melalui hukum negara. Pada sisi yang ekstrim pluralisme hukum di jadikan sebagai ideologi untuk menolak berlakunya hukum negara dan memaksakan berlakuknya hukum non negara.
Meskipun dalam persepektif pluralism hukum membayangkan berlakunya lebih dari satu sistem hukum dalam suatu negara, namun ini tidaklah berarti hukum-hukum non negara dengan sendirinya dapat menggeser posisi hukum negara dan kedaulatan negara untuk menentapkan hukum. Hal ini dapat pula dijelaskan dengan meminjam pemikiran Masaji Chiba seorang penulis tentang pluralisme hukum yang ternama, tentang tiga lapis konstruksi hukum. Chiba membuat kerangka hipotetis lapisan-lapisan hukum dalam suatu sistem hukum lapisan hukum tersebut terdiri dari : hukum. resmi, hukum tidak remi dan postulat hukum.  Hukum resmi adalah hukum yang disyah dan diakui oleh negara, termasuk   hukum lokal maupun hukum agama yang berlaku sesuai dengan hukum negara .
Hukum tidak resmi adalah hukum yang tidak disyahkan dan diakui negara, tetapi diakui oleh sebagai masyarakat baik masyarakat dalam negara maupun yang berada diluar negara. Hukum tidak resmi ini mengpengaruhi efektifitas hukum negara. Postulat hukum adalah prinsip atau sistem nilai yang khusus berhubungan dengan justifikasi terhadap hukum resmi atau hukum tidak resmi[10].
Menurut Sulistyowati,  perkembangan selanjutnya dalam optik pluralisme hukum, studi yang melihat kemajemukan hukum pada sisi konflik sudah ditinggalkan, studi pluralisme hukum mulai melihat bagaimana kemajemukan hukum dapat saling berinteraksi[11].

1.2..Realitas Struktur Hukum Di Indonesia
Dilihat dari kaca mata sejarah hukum, maka norma hukum dalam sistem hukum nasional Indonesia terbentuk dari pertautan berbagai lingkaran tradisi  hukum, yakni hukum asli penduduk nusantara, hukum agama dan tradisi hukum barat yang masuk melalui proses kolonialisasi kepulauan nusantara. Pertautan ketiga  lingkaran  tradisi hukum ini kemudian membentuk hukum nasional bersamaan dengan munculnya negara –bangsa Indonesia.
            Lahirnya sistem hukum modern, sebagai bagian dari terbentuknya negara bangsa, tidak dengan sendirinya menghilangkan keseluruhan dari  hukum yang telah ada, baik hukum Islam maupun hukum adat dalam kehidupan masyarakat. Wal hasil masyarakat Indonesia dalam kehidupan sosialnya  di liputi oleh ketiga lingkaran hukum yakni hukum adat, hukum agama dan hukum negara. Dengan perkataan lain, dengan meminjam pemikiran Kalsen, bahwa hukum mengarahkan individu untuk bertindak, maka suatu tindakan atau prilaku hukum masyarakat Indonesia selalu dilakukan dalam pengaruh norma hukum ketiga lingkaran hukum tersebut.
Refleksi yang muncul dari ketiga lingkaran tradisi hukum terhadap sistem hukum nasional, adalah bahwa dalam tata hukum nasional Indonesia tidaklah bersifat monistik, namun terdapat beberapa sistem hukum lainnya selain hukum negara, yakni sistem hukum adat maupun sistem hukum agama atau pluralitas hukum. Ketiga sistem hukum tersebut berinteraksi dalam sistem hukum nasional, baik secara harmoni maupu berkonflik dan menghegemoni antara satu dengan yang lainnya sebagai akibat dari perjumpaan  ketiga hukum tersebut berada dalam medan sosial yang sama.
            Akan tetapi, realitas struktur hukum di Indonesia sebagai mana dikemukan di atas, haruslah ditempatkan dalam konteks negara-bangsa dimana tata hukum nasional menempatkan  negara pada posisi yang dominan untuk menentukan hukum yang berlaku di wilayah Indonesia.
             Ketiga lapis hukum ini berinteraksi dalam hukum nasional dengan berbagai kemungkinan konflik atau harmonis. Meminjam pandangan Moore,  ada beberapa kemungkinan yang terjadi dari perjumpaan antara hukum negara dengan hukum non negara  tersebut bertemu dalam lokal sosial yang sama yaitu; pertama, kemungkinan akan terjadiintegrasi antara hukum negara dengan hukum lainnya; kedua kemungkinan akan terjadi inkoorporasi, dimana masing-masing sistem hukum tersebut  saling mengodopsi bagian  norma-norma tertentu dari hukum lainnya; ketiga akan terjadi konflik, dimana masing-masing sistem hukum menolak berlakunya sistem hukum lain selain dirinya[12]. 
            Gambaran Moore tentang berbagai kemungkinan yang terjadi dari perjumpaan antara hukum adat dengan hukum negara dalam suatu lokal sosial yang sama sebagai mana tersebut di atas, menuntut suatu sistem hukum nasional yang dapat mencegah terjadinya konflik antara sistem hukum tersebut.

3. Konteks Kalimantan Barat
Pada bagian tinjauan teoretik telah dikemukan, kerangka hipotes Masaji Chiba tentang tiga lapis hukum  yang terdapat dalam struktur hukum di negara-negara Asia dan Afrika.  Ketiga lapis hukum tersebut adalah hukum resmi, hukum tidak resmi dan postulat hukum[13]. Berdasarkan kerangka hipotetis Masaji Chiba, Retno Lukito[14], kemudian  melihat struktur hukum di Indonesia terdiri dari tradisi hukum adat, hukum hukum Islam dan tradisi hukum Barat.
 Telah dikemukan pada bagian terdahulu bahwa dalam pandangan penulis bahwa realitas dunia kehidupan hukum orang Indonesia atau masyarakat Indonesia di Indonesia menunjukan terdapat tiga entitas hukum yang hidup dalam ruang hukum nasional Indonesia yakni hukum adat, hukum agama dan hukum negara. Ketiga entitas hukum ini bertemu dalam ruang hukum nasional  baik berkonflik maupun secara harmoni. Norma – norma hukum dari ketiga entitas hukum ini  menjadi cermin dan memberikan arahan kepada setiap orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu  baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam dunia kehidupan sosial. Oleh karena itu setiap individu kemudian menjadi objek dan subyek dari ketiga entitas hukum tersebut secara bersamaan. Akan tetapi, terdapat perbedaan  motivasi kepatuhan individu terhadap ketiga entitas hukum tersebut, karena hukum sangat berkaitan dengan sistem kepercayaan, kultur dan jiwa masyarakat, sebagai mana pandangan Savigny,  salah satu pemikir filsafat aliran atau mazhab sejarah.
          Di Kalimantan Barat perjumaan antara Hukum negara negara dengan hukum adat,sering kali terjadi  terutama dengan hukum adat Suku Dayak. Perjumpaan itu tejadi karena kedua entitas hukum itu mengatur norma hukum yang sama secara esensial walupun dengan konstruksi hukum yang berbeda. Dalam persepsi mereka, suatu pelanggaran hukum apakah itu dalam konteks hukum negara diklasifikasi sebagai sengketa keperdataan atau di klasifikasi sebagai  tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, jika korbannya orang Dayak atau menyangkut masyarakat Dayak maka perbuatan itu adalah pelangaraan terhadap hukum adat[15]Salah satu contoh  adalah terhadap kasus-kasus kecelakaan lalu lintas.
          Dalam kasus kecelakaan lalu-lintas jika korban yang cedera atau meninggal berasal dari masyarakat suku Dayak, mereka menuntut penyelesaian berdasarkan hukum adat terlebih dahulu dilakukan,  setelah proses hukum adat selesai, selanjutnya penyelesiaan berdasarkan hukum negara baru dapat diselesaikan.  Dasar mereka menggunakan hukum adat adalah karena dalam persepsi komunitas masyarakat Dayak perbuatan tersebut telah melanggar hukum adat, oleh karena itu harus dijatuhkan sanksi hukum adat. Pada sisi lainnya dalam pandangan hukum negara kecelakaan lalu-lintas yang menyebabkan korban jiwa adalah pelagaran hukum negara, oleh karena itu menjadi tugas negara untuk menegakan hukum melalui lembaga penegak hukum negara.
            Kondisi tersebut di atas, dengan sendirinya dapat menimbulkan konflik  dengan penegak hukum negara. Kedua entitas hukum  mengklaim memiliki yuridiksi untuk menyelesaikan kasus hukum, namun dengan dasar legitimasi yang berbeda. Fungsionaris adat merasa memiliki legitimasi sosiologis dari masyarakat suku Dayak untuk menegakan hukum adat Dayak. Dalam komunitas masyarakat Dayak hukum adat merupakan hukum yang hidup atau dalam istilah Ehrlich[16] disebutnya dengan living law  dan di diterima sebagai sarana penyelesaian konflik dalam komunitas masyarakat Dayak. Meminjam  konsep sistem hukum Friedman[17],  dapat di katakan bahwa  hukum adat telah membentuk dirinya sebagai suatu sistem hukum sendiri disamping hukum nasional. Hukum adat mempunyai kelembagaan hukum untuk menegakannya, mempunyai norma-noma hukum dan didukung oleh budaya hukum masyarakat suku Dayak yang memberikan kepercayaan dan menerima model penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh fungsionaris adat sebagai lembaga yang menjalankan fungsi peradilan adat mereka. Itu pula sebanya mereka menuntut penyelesaian sengketa dengan menggunakan mekanisme peradilan adat yang terdapat dalam hukum adat mereka, karena harapan akan memperoleh keadilan dan kapisitas mereka untuk mendapatnya hanya terdapat dalam peradilan adat yang terdapat dalam hukum adat mereka.
           Pada sisi lainnya,  institusi penegak hukum negara juga mempunyai dasar legitimasi konstitusionil untuk menegakan hukum negara yang berlaku secara nasional dan tidak boleh dihalang-halangi oleh kekuatan apapun dalam masyarakat.  
             Pada satu sisi menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa dengan  menggunakan hukum adat pada satu sisi mendekatkan masyarakat pada akses peradilan yang cepat dan tidak berbelit-belit, dengan demikian proses penyelesaian sengketa berlansung dengan singkat. Hal ini disebabkan lembaga peradilan masyarakat tersebut berada ditengah kehidupan masyarakat dan mereka menyatu dengan lembaga tersebut. Pemenuhan rasa keadilan dari pihak yang dirugikan akan terpenuhi ketika denda sebagai bentuk sanksi hukuman telah di tunaikan atau dibayar kepada pihak yang dirugikan.  Oleh karena itu harapan akan memperoleh keadilan dan kapasitas mereka untuk mendapatkan akses  dalam proses peradilan itu akan mereka peroleh dalam proses peradilan Adat. 
          Pada sisi lain,  penggunaan hukum adat  rawan akan penyimpangan   terhadap hukum adat itu sendiri, seperti penerapan hukum adat secara serampangan, penggelembungan denda adatproses penyelesaian sengketa dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai kapasitas untuk itu, dan perbuatan yang akan didenda dengan hukum adat tersebut telah ada pengaturannya dalam hukum negara. Hal ini terjadi karena tidak ada otoritas yang mengawasi peradilan Adat tersebut. Pada dimensi kehidupan bernegara , walaupun hukum adat dan peradilan adat  merupakan hukum yang hidup dalam komunitas masyarakat , bagaimanpun juga hukum adat adalah hukum dari masyarakat kesukuan  dan merupakan salah satu hukum adat dari berbagai macam suku yang ada di Indonesia. Peradilan yang berdasarkan hukum adat tersebut berada dalam ruang hukum nasional  suatu negara-bangsa Indonesia. Oleh karena itu adanya legitimasi yuridis dari negara merupakan suatu keniscahayaan
          Atas dasar realitas perjumpaan kedua entitas hukum tersebut perlulah kiranya di lakukan usaha untuk mengharmoniskan kedua entitas hukum tersebut sebagai upaya mendorong budaya tertif hukum di Kalimantan Barat.

5.Beberapa langkah Harmonisasi yang dapat dilakukan
5.1.Pengakuan terhadap Hukum adat/Peradilan Adat.
Dalam persefekti sejarah hukum menunjukan bahwa peradilan adat atau peradilan yang jalankan pemerintahan lokal telah di praktekan baik pada masa pra kolonialisme maupun pada masa Hindia Belanda. Dalam masa Hindia Belanda, pengakuan terhadap peradilan adat atau yang lebih dikenal sebagai peradilan desa baru mendapat pengakuan yuridis dari pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1935,melalui Statsblad 1935, No 102. Dengan statsblad 1935,No 102 terjadi penambahan terhada RO (Rechterlijjk Organisatie) pada pasal 3a ayat1,2 dan 3[18].
Menurut pasal 31a, Rechterlijjk Organisatie, seorang hakim desa (dorpsrechter)  menjatuhkan keputusan menurut hukum adat (spreken recht naar adatrech). artinya hakim menjatuhkn keputusan yang suatu perdamaian, oleh karena itu hakim desa tidak boleh menjatuhkan hukuman (zijmogen geen straffen opleggen )[19]. Soepomo memberikan diskripsi tentang apa yang menjadi urusan peradilan desa  sebagai berikut :
“ Hakim desa memeriksa semua perkara, yang menurut hakim adat termasuk yurisdiksinya. Pada Umumnya adalah perkara yang lazimnya dikatakan sebagai urusan desa. Pertama-tama itu mengenai perkara,semata-mata antar teman-teman sedes,tentang tanah,perkawinan,mas kawin, dan urusan keluarga lainnya,perbuatan-perbuatan pidana terhadap tatanan desa, dan sebagainya”  [20]
Dalam tahun 1951,  melalui Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, Tentang  Tindakan-tindakan Sementara Untuk Menyelengarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan Dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, Pasal 1 ayat (2 b) Pengadilan adat (Inheemse rechtspraak in rechtstreeks bestuurd gebied ) akan secara berangsur-angsur di hapuskan.  Namun pada ayat (3) menyatakan bahwa ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikitpun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3a Rechterlijk Organisatie.
Terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3), Soekanto menafsirkan bahwa yang dihapuskan adalah wadahnya dari peradilan desa tersebut, bukan kewenangan kepala desa sebagai hakim perdamaian desa.  Dalam perkembangan selanjutnya, kewenangan kepala desa sebagai hakim perdamaian desa tidak jelas pengaturannya. Apa lagi Undang- Undang nomor 14 tahun 1970, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tidak menyebut sama sekali adanya peradilan desa. Hal sama juga terjadi dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
 Pengakuan terhadap adanya kewenangan lembaga adat baru dilakukan pada tahun 1997 melalui  Peraturan Menteri Dalam Negereri (Permendagri) nomor 3 tahun 1997, dan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri nomor 5 tahun 1998. Dalam peraturan   tersebut tugas dan kewenangan lembaga adat diatur sebagai berikut:
a).menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada Pemerintah serta menyelesaikan perselisihan yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
b).memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah serta memberdayakan masyarakat dalam menunjang penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan.
c).menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif antara kepala adat/pemangku adat/tetua adat dan pimpinan atau pemuka adat dengan aparat pemerintah di daerah.
           Selanjutnya Lembaga Adat memiliki hak dan wewenang sebagai berikut :
a). mewakili masyarakat adat ke luar. yakni dalam hal menyangkut kepentingan dan mempengaruhi adat.
b) mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah hidup yang lebih layak dan lebih baik.
c).menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat dan kebiasaan- kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
         Pasca Orde baru pengakuan terhadap hukum adat termuat dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam  dan Ketetapan MPR Nomor IV tahun 2000 Tentang Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004. Kedua kebijakan negara ini dengan jelas mengakui eksitensi masyarakat hukum adat dan hukum adat.[21] Pada level konstitusional,  pada tahun  2000,  Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), melakukan  amandemen (disebut juga dengan istilah amandemen kedua) Bab VI Pasal 18 UUD’45[22] yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Hasil amandemen memberikan perubahan yang cukup mendasar terhadap arah politik hukum, baik yang  berkaitan  dengan arah kebijakan atau politik hukum desentralisasi, maupun  dengan  eksitensi hukum adat. Pengakuan terhadap eksitensi hukum adat tersebut tersirat dalam Pasal 18 B ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) 1945, yang merupakan hasil amandemen Pasal 18 UUD’45.
 Amandemen terhadap Bab VI Pasal 18 UUD 1945, dilakukan MPR hampir secara menyeluruh, baik dengan cara melakukan rekonstruksi terhadap konstruksi hukum Pasal 18 UUD’45 orginal, maupun menambah pasal-pasal dan ayat-ayat yang baru. Hasil amandmen pasal 18 di masukan dalam Bab VI UUDNRI dengan nomenklatur Pemerintahan Daerah terdiri dari tiga pasal yaitu Pasal 18, Pasal 18 A dan Pasal B. Pasal 18 B terdiri dari dua ayat yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 18B

(1)     Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2)     Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup serasi dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
 Konstruksi hukum Pasal 18 B  ayat 2, UUDNRI 1945, menunjukan beberapa hal penting yakni ; Pertama, negara mengakui adanya  eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak-hak mereka dalam  wilayah teritorial masyarakat hukum adat. Mengakui eksistensi masyarakat hukum adat, pada dasarnya juga mengakui hukum adat mereka. Masyarakat hukum adat dan hukum adat merupakan suatu entitas yang tidak dapat dipisahkan. Kedua entitas ini saling memberikan eksistensi antara satu dengan yang lainnya. Hukum adat melekat pada masyarakat hukum adat dan masing-masing saling memberikan eksitensinya. Hukum adat memberikan alas hukum atas  dan hak-hak tradisionil masyarakat hukum adat, dan  mengatur kehidupan sosial mereka. Kedua, negara memberikan suatu persyaratan yang bersisifat sosiologis dan politik-yuridis agar masyarakat hukum adat dapat diakui oleh negara yaitu hanya kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya yang masih hidup dan serasi dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Indonesia yang  dapat diakui negara . Ketiga, negara berada  pada posisi yang dominan dalam menilai dan mengakui keberadaan suatu masyarakat hukum adat. Negaralah yang menentukan penilaian apakah masyarakat hukum adat itu masih hidup dan serasi dengan perkembangan masyarakat dan sesuai dengan prinsip negara kesatuan Indonesia.  Ke-empat,  konstitusi negara memerintahkan kepada penyelengara negara baik DPR dan maupun pemerintah,  untuk mengatur masalah pengakuan negara ini  dalam undang-undang. Dengan perkataan lain harus di bentuk undang-undang yang mengatur tentang  bentuk pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat. Kelima pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat diletakan dalam pengaturan tentang pemerintahanan daerah. Dalam konteks yang demikian, jelas menunjukan bahwa kemungkinan untuk berlakuknya  hukum adat sebagai bagian dalam tata hukum nasional berhubungan erat dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah atau dalam kebijakan desentralisasi.
Semangat pengakuan terhadap hukum adat yang tersirat dalam Pasal 18 B UUDNRI dan menjadi dasar dari pembentukan atau pengakuan  peradilan adat di Provinsi Papua yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, tersebut di atas, justruk tidak terdapat dalam baik dalam UU No. 32 tahun 2004,tentang Pemerintahan Daerah, maupun dalam UU No. 48 Tahun 2009 Tentang  Kekuasaan Kehakiman.
  Dalam konteks kebijakan desentralisasi, pola pembagian urusan sebagaiman diatur dalam UU No. 32 tahun 2004, salah satu urusan yang tidak diserahkan adalah urusan di bidang  yustisi atau peradilan, atau dengan perkataan lain urusan justisi masih menjadi urusan pemerintah pusat. Dalam penjelasan umum angka 4, UU No. 32 tahun 2004, di jelaskan bahwa urusan yang tidak diserahkan itu berhubungan dengan terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Salah satu yang dianggap yang berhubungan dengan kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam bidang yustisi. Dalam bidang yustisi misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi.
Memasukan bidang yustisi sebagai bidang yang berhubungan dengan kelangsungan hidup bangsa dan negara, masih perlu diperdebatkan, karena beberapa item kebijakan seperti mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, belum terlihat nilai strategisnya  yang berkorelasi dengan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Justru  kempat elemen urusan yustisi tersebut yang dikelola oleh pemerintah pusat membawa mala petaka dalam penegakan hukum seperti yang terjadi sekarang ini.  
       Tidak terakomodasinya pengakuan eksitensi sistem peradilan adat dalam kebijakan desentralisasi  dalam konteks UU No. 32 tahun 2004, dan PP No. 38 tahun 2007, sungguh sangat mengherankan.  Mengingat kebijakan desentralisasi  dalam konteks UU No 32 tahun 2004, dan PP No 38 tahun 2007, merupakan induk atau payung dalam kebijakan desentralisasi dan lahir pasca amandemen UUD’45. Seharusnya pengaturan kebijakan desentralisasi  mengacu pada  Pasal 18 B UUDNRI”45 yang memberikan pengakuan terhadap  eksistensi masyarakat hukum adat.
Selain UU No. 32 tahun 2004, dan PP No. 38 tahun 2007, undang-undang yang mengatur kekuasaan kehakiman yakni Undang –Undang nomor 48 tahun 2009 tentang  Kekuasaan Kehakiman juga tidak mengakomodasi adanya peradilan adat dan bahkan tidak menyebut keberadaan peradilan adat di Provinsi Papua. Undang –Undang  nomor  48 tahun 2009 tentang  Kekuasaan Kehakiman jelas menunjukan bahwa  semua peradilan adalah peradilan negara,  hal tercermin dalam pada Pasal 2 yang dengan tegas menyatakan :
Pasal 2
 (1) Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA".
(2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila.
(3) Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik
Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan
undang-undang.
(4) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan.
Perubahan yang cukup besar terhadap eksitensi peradilan adat justru terdapat dalam kebijakan desentralisi, khususnya dalam pembentukan daerah otonomi khusus Papua yang di atur dalam  Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.  Pasal 50, UU. No 21 Tahun 2001 lengkapnya sebagai berikut :

Pasal 50
(1)   Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)   Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.
Pasal 51
(1)   Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(2)   Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(3)   Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(4)   Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak yang berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili ulang sengketa atau perkara yang bersangkutan.
(5)   Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan.
(6)   Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4), menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.
(7)   Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(8)   Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam memutuskan perkara yang bersangkutan.
Uraian tersebut di atas jelas menunjukan bahwa  terdapat ketidak selarasan antara perundangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah, maupun perundang-undangan di bidang kehakiman dengan jiwa Pasal 18 B UUDNRI. Selaian itu, uraian tersebut di atas juga menunjukan bahwa  peradilan adat yang di jalankan oleh fungsionaris adat Dayak tidak mempunyai dasar legitimasi dari hukum negara.

5.2.Harmonisasi Melalui Jalur Pembentukan Hukum
   Harmonisasi melalui jalur pembentukan hukum adalah sutau kebijakan untuk mengakui hukum adat dengan jalan mengaturnya dalam suatu peraturan daerah yang bersifat deklartif dan kompilasi. Deklaratif dimaksudkan bahwa peraturan daerah itu menyatakan pengakuannya terhadap hukum adat dan mengatur hukum adat tersebut dalam bentuk kompilasi. Peraturan daerah yang bersifat kompilasi inilah yang akan dipergunakan sebagai norma dalam proses peradilan yang berkaitan dengan penggunaan norma hukum adat dalam menyelesaikan kasus sengketa.
Pilihan pengaturan di lakukan dengan peraturan daerah didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut :
Pertama, persoalan yang muncul akibat terjadinya perjumpaan hukum negara dengan hukum adat pada area sosial yang sama tidak dialami oleh seluruh daerah, kondisi ini  lebih pada issu hukum lokal. Oleh karena itu mengharapkan kebijakan pemerintah  secara nasional atau pada tataran general policy level untuk dalam mengatasinya tentu sesuatu sangat mustahil dapat di lakukan.  Selain itu terbatasnya akses masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Kedua, tata hukum nasional sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, Tentang  Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan ruang muatan materi pada peraturan daerah untuk mengatur kekhasan daerah selain kewenangan yang telah diberikan kepada daerah, maupun atas delegasi dari perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Ketiga, walaupun diatur dalam peraturan daerah, pemerintah pusat masih memilik kewenangan untuk mengontrolnya, melalui mekanisme pengawasan persetujuan pemberlakuan peraturan daerah oleh pemerintah.
Dalam peroses pembentukan peraturan daerah ini proses harmonisasi hukum adat dengan hukum negara dilakukan baik harmonisasi asas, norma, maupun tujuan hukum. Norma-norma dan aturan-aturan hukum adat akan mengalam proses pengayaan, baik dalam bentuk penyusunan konstruksi  aturan hukum yang jelas dan didasarkan pada norma hukum adat , pengayaan dalam azas –azas hukum atau azas-azas perundangan maupun mengalami  penyesuai dengan aturan hukum negara yang lebih tinggi.
Pengayaan terhadap aturan hukum adat hukum adat tersebut harus selaras dengan nilai-nilai dari sila-sila dalam Pancasila sebagai cita hukum dalam tata hukum nasional.  Selain itu, seperti dinyatakan  IGN. Sugangga, asas-asas Hukum Adat yang dipakai sebagai landasan pembinaan Hukum Nasional haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : (a) Hukum Adat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa; (b) Hukum Adat tidak boleh bertentangan dengan Negara Indonesia yang berfalsafah Pancasila; (c) Hukum Adat tidak boleh bertentangan dengan Peraturan-Peraturan Tertulis (Undang-Undang); (d) Hukum Adat yang bersih dari sifat-sifat feodalisme, kapitalisme serta pengisapan manusia atas manusia; (e) Hukum Adat yang tidak bertentangan dengan Unsur-unsur Agama.[23] Dalam konteks ke-universalan hukum, maka hukum adat harus sejalan dengan prinsip hukum alam sebagai mana di kutip oleh Suteki[24] sebagai berikut: honeste vivere,alterum non leadere, sum cuique tribuer
Dalam konteks tersebut hukum adat  akan mengalami metamorfosis dari hukum kebiasaan menjadi hukum resmi yang diakui negara. Dalam proses ini hukum adat mengalami tranformasi cita hukum  yang terbentuk dari kosmologi terhadap alam, tertib sosial yang ideal yang dicitakan dan keadilan jubata, kearah cita hukum nasional .
Ragaan.19 Metamorfosis Hukum Adat Menjadi Hukum Negara
Dalam proses pembentukan peraturan daerah yang berisi kompilasi hukum adat, hukum adat harus selaras dan seiring dengan hukum negara, tertuma berkaitan degan perundangan di bidang pemerintahan desa, sumber daya agraria dan di bidang peradilan.
Atas dasar tersebut, dalam peraturan daerah yang bersifat deklatif tentang pengakuan hukum adat dan berisi kompilasi hukum adat. Ada beberapa hal yang pokok yang perlu dilakukan haromonisasi antara hukum adat dengan hukum negara,agar hukum adat  Dalam memberikan pengakuan terhadap kelembagaan adat yang menjalankan peradilan adat perlu diatur hal-hal sebagai berikut :
1.      Ruang lingkup peradilan adat, menyakut yurisdiksi peradilan baik menyangkut wilayah, maupun subyek yang termasuk dalam yurisdiksi peradilan adat. Atas dasar ini peradilan adat hanya berlaku dalam lingkungan masyarakat kesukuan dan  kepada anggota masyarakat kesukuaan.
2.      Putusan peradilaan adat, sebagai hukum tambahan dari putusan pengadilaan negara, atau putusan peradilan adat disampaikan kepada  peradilaan negara. Hakim peradilan negara lah yang memasukan putusan peradilanan adat kedalam amar putusannya, baik berupa pembayaran denda adat atau menjadikan putusan peradilan adat yang telah dilaksanakan sebagai hal-hal yang meringankan hukuman terdakwa. Dengan demikian perkara yang sudah diputuskan oleh peradilaan adat tidak lagi diadili dalam peradilaan negara.
3.      anggota kesukuan atau orang luar kesukuan jika melanggar hukum adat dalam wilayah masyarakat kesukuan, dapat memilih apakah akan diadili dengan hukum negara atau dengan hukum adat setempat.
4.      Dalam putusan peradilan adat yang menjatuhkan denda adat pati nyawa dalam kecelakaan lalu lintas, besarannya disesuaikan dengan asuransi jasa raharja atau pembayaran ansuransi jasa raharja harus dimasukan sebagai bagian dalam pembayaran denda adat.
5.      Memperkuat kedudukan fungsionaris adat yang dikenal dalam hukum adat, sehingga memberikan legitimasi yuridis bagi fungsionaris adat dalam mengdili sengketa dengan menggunkan hukum adat.
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan untuk melakukan harmonisasi adalah sebagai berikut:
1.      Pemerintah harus bekerjasama dengan dewan adat dan fungsionaris adat dari setiap suku untuk melakukan inventarisasi hukum ada mereka melalui masyawarah adat internal.
2.      Hasil inventarisasi norma-norma hukum adat kemudian dibawa dalam masyawarat adat dan pemerintah,  yang melibatkan, kalangang akademisi, para birokrasi pemerintah dan pejabat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, tokoh agama dan pemuka-pemuka adat suku lainnya terutama suku Melayu yang merupakan suadara historis mereka untuk menelaah norma-norma hukum adat baik yang bersifat kelembagaan hukum adat maupun substansi norma hukum adatnya, termasuk denda adat.
3.      Setelah dicapai kesepakatan, maka pemerintah daerah dan Dewan perwakilan daerah, menyusun peraturan daerah yang muatannya  kompilasi hukum adat setiap sub – suku. Menyusun perda kompilasi hukum adat sangat dimungkinkan baik dalam kerangka UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah maupun dalam kerangka UU. No 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan. Dalam UU No. 10 tahun 2004, materi muatan peraturan daerah  adalah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.     
4.      Dalam menyusun peraturan daerah yang materi muatannya berupa kompilasi hukum adat setiap sub – suku Dayak perlu diharmonisasikan dengan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa. Kedua perundang-undangan ini mengatur kewenangan kepala desa untuk mendamaikan perselisihan masyarakat di desa dengan di bantu oleh lembaga adat desa. UU No.48 tahun 2009  tentang Kekuasaan Kehakiman , UU/8/2004 tentang Peradilan Umum maupun dalam UU No.3. tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Kempat faktor pendukung tersebut di atas memungkinkan untuk dilakukannya harmonisai hukum adat Dayak dengan hukum negara dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Adanya kesadaran dan kertebukaan dari para elit masyarakat dan fungsionaris adat untuk memelihara hukum adat meraka agar tidak bertentangan dengan hukum negara dan adanya kesediaan untuk melakukan konstruksi ulang norma hukum adat mereka. Selain itu perlu kesadaran bahwa hukum adat Dayak berada dalam ruang hukum nasional negara yang berdaulat.
2.      Adanya kesadaran dari pemerintah daerah akan pentingnya   hukum adat Dayak di harmonisasikan dengan hukum negara.

5.3.Harmonisasi Melalui Jalur Penegakan Hukum
 Dalam konteks sistem peradilan nasional,  peradilan Adat Dayak tidak mempunyai hubungan formal atau tidak tersambung dengan sistem peradilan negara. Sehingga putusan-putusan fungsionaris adat secara yuridis tidak dapat diajadikan dasar yang mengikat bagi hakim dalam memutusakan perkara yang sama ketika perkara tersebut masuk dalam ranah hukum publik atau hukum negara.  Oleh karena perlu mengharmonisasikan fungsi peradilan dalam hukum adat Dayak dengan penegak hukum negara, terutama dalam proses peradilan. Ada dua langkah yang dapat dilakukan untuk melakukan harmonisasi kedua entitas hukum dalam proses penegakan hukum. Ada pun langkah tersebut adalah sebagai berikut:

4.Langkah Kebijakan Penegakan Hukum Dalam Proses Peradilan.
Harmonisasi dalam proses penegakan hukum dapat dilakukan melalui cara dalam putusan peradilan adat yang menjatuhkan denda adat pati nyawa dalam kecelakaan lalu lintas, besarannya disesuaikan dengan asuransi jasa raharja atau pembayaran ansuransi jasa raharja harus dimasukan sebagai bagian dalam pembayaran denda adat. sesuai UU No. 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.
Dalam konteks ini putusan peradilaan adat, yang dilakukan oleh fungsionaris adat, berupa sanksi adat disampaikan kepada majelis hakim yang memeriksa kasus tersebut dalam peradilan negara. Dalam konteks tindak pidana, sanksi adat yang telah diputuskan oleh fungsionaris adat berupa denda adat, dapat dijadikan pertimbangan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman. Hakim peradilan negara lah yang memasukan putusan peradilanan adat kedalam amar putusannya, baik berupa pembayaran denda adat atau menjadikan putusan peradilan adat yang telah dilaksanakan sebagai hal-hal yang meringankan hukuman terdakwa.
Pada sisi hukum, konstruksi ini dapat dilakukan dengan memberikan penafsiran yang luas terhadap Pasal 5 dan  Pasal 50 Undang –Undang  nomor  48 tahun 2009 tentang  Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 ayat (1) menyatakan  Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pasal 50 ayat (1) mennyatakan  Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Berdasarkan Pasal 50, hakim dapat memasukan putusan fungsionaris adat dalam menjatuhkan hukuman dalam kasus yang di periksanya. Dalam konteks masyarakat Dayak, hukum adat adalah hukum yang hidup dalam masyarakat.  
Dalam hal penjatuhan  sanksi denda adat, majelis hakim dapat mempertimbangkan besaran denda yang diajukan oleh fungsionaris adat dengan kemampuan riel terdakwa,atau menyesuaikan dengan perundangan yang berlaku. Dalam kasus-kasus kecelakaan lalu lintas misalnya,  Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pasal 235 dengan jelas menyatakan bahwa kecelakaan lalu yang mengakibatkan korban luka atau korban meninggal dunia, pengemudi, pemilik, dan/ atau perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan biaya pengobatan atau biaya lainnya tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana. Lengkapan sebagai berikut :
           Pasal 235 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 yang menentukan :
“Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/ atau Perusahaan Angkutan Umum wajib “memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana”;
Pasal 235 ayat (2) :
Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana”.
Dalam konteks kasus –kasus kecelakan lalu lintas tersebut baik fungsionaris adat maupun hakim dalam memutuskan besaran disesuikan dengan perundang-undangan dibidang  sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas jalan. Dana   wajib dana kecelakaan lalu lintas jalan harus dimasukan sebagai bagian pembayaran sanksi adat.

7..Langkah atau Kebijakan Untuk Tidak Menegakan Hukum Negara[25].
       Harmonisasi ini dilakukan dengan cara  penegakan hukum negara khususnya penyidik kepolisian memberikan kesempatan kepada pihak pelaku maupun korban menempuh penyelesaian secara hukum adat. Polisi menempatkan dirinya untuk mengawasi penyelesaian kasus sengketa tersebut jangan sampai terjadi pelanggaran hukum lainnya, seperti pengancaman, pemerasan dan teror. Kesepakatan kedua pihak dan putusan fungsionaris adat disampaikan kepada pihak kepolisian sebagai institusi penegak hukum dalam proses penyidikan.
Kepolisian negara tidak melakukan penegakan hukum negara karena kasus nya telah di selesaikan oleh dengan menggunakan mekanisme peradilan adat. Langkah kebijakan ini secara tidak langsung negara mengakui proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan makenisme yang dikenal dalam hukum adat. Harmonisasi dalam pengakan hukum ini dengan mengambil kebijakan untuk tidak menegakan  hukum dalam proses peradilan yang di kemukan di atas dapat diterapkan dalam kasus-kasus kecelakan lalulintas.
Memang diakui bahwa kebijakan untuk tidak menegakan hukum dalam tindak pidana akan bertentangan dengan aturan hukum positif. Ini berarti ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana baik pidan matril seperti yang diatur dalam KUHP maupun hukum pidana formil seperti yang tercantum dalam KUHAP, berlaku pula dalam penyelesaian tindak pidana lalu-lintas.  Konsekwensi yang timbul adalah bahwa putusan peradilan adat yang diputus oleh fungsionaris adat Dayak dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum untuk menghilangkan tuntut pidana yang dilakukan negara. Ini setidak-tidaknya disebabkan dua hal  sebabgai berikut:
·         peradilan adat Dayak tidak dikenal dalam sistim peradilan Nasional yang diatur dalam UU No 48 Tahun 2009  tentang Kekuasaan Kehakiman , UU No 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum maupun dalam UU No 3 tahun 2009  Mahkamah Agung. Dalam UU Pasal 235 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 yang menentukan memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan menggugurkan tuntutan perkara pidana”.
·         Dalam sistem peradilan pidana, kondisi-kondisi apa saja yang menyebakan atau dapat menyebabkan hampusnya tindak pidana dan hapusnya menjalankan pidana, seperti yang tercantum dalam Pasal 76 sampai Pasal 85 KUHP , karena alasan sebagai berikut :
1)      Nebis In Idem ; (Pasal 76 ):
2)      Tertuduh Meninggal Dunia (Pasal 77);
3)      Daluarsa (Pasal 78 s.d. Pasal 80);
4)      Penundaan penuntutan pidana berhubung dengan adanya perselisihan pra-yudisial, menunda daluwarsa”( Pasal 81);
5)      pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja dan dengan suka rela telah dibayar maksimum termasuk biaya-biaya yang telah dikeluarkan, dan/atau telah menyerahkan barang perampasan/membayar harganya(Pasal 82 ):  
6)      Terpidana Meninggal Dunia (Pasal 83)
7)      Karena Daluarsa (Pasal 84)

Kalau didasarkan pada perundang-undangan tersebut di atas maka kebijakan untuk tidak lagi menegakan hukum negara terhadap kasus yang telah diselesaikan dalam maknisme hukum adat akan sulit dilakukan. Namun demikian jikalau menggunakan ketentuan yang sirat dalam  Undang-Undang  Nomor  2  Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada  Pasal  18 ayat (1) dan ayat (2) peluang untuk tidak menegakan hukum pidana terhadap kasus yang telah di selesaikan dalam mekanisme hukum adat dapat dilakukan. Dengan memberikan penafsiran yang luas terhadap Pasal ayat (1) dan ayat (2) menyatakan  untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Tindakan  tersebut hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam menjalankan kebijakan ini kepolisian negara sebagai institusi penegakan hukum dalam proses penyidikan  harus berhati-hati dalam mengambil kebijakan.  Dalam pandangan Suteki ada beberapa alasan yang dapat dilakukan untuk mengambil kebijakan tidak menegakan hukum (non enforcement of law) sebagai berikut[26]:
1.      Kalau hukum tidak akrab dengan realitas sosial, tidak dekat dengan rasa keadilan rakyat, tidak dimengerti karena bahasa hukum yang sulit dimengerti. Bahasa hukum terbatas jumlahnya dan rata-rata berasal dari golongan penguasa dan orang-orang yang sulit dimengerti oleh rakyat ini kerap kali dianggap merupakan suatu kesombongan kekuasaan (the arrogance of power)
2.      Bilamana peraturan pelaksanaan merupakan sesuatu yang mutlak harus ada pada suatu produk hukum tertentu. Dalam keadaan demikian ini, tanpa peraturan pelaksanaan, maka produk hukum secara operasional akan berhenti fungsinya dan halnya dapat menjadi bahan diskusi
3.      Bila peraturan perundang-undangan bertentangan dengan pancasila sebagai kaidah penuntun.




[1]Filsafat politikThomas Hobbes, John Locke, Roussea, Hegel berkaitan dengan otoritas dalam suatu negara.Hobbes membangun teori perjanjian masyarakat atau kontrak sosial untuk memberikan dasar justifikasi atas kekuasaan seorang penguasa atas rakyatnya.  Lihat JD.MabbottThe State and The Citizen” London: Hutchinson U niversity Library, 1970.halaman.  11-33. Lihat juga Rowe & Schofield “Sejarah Pemikiran Politik Yunani & RomawiEdisi Indonesia, pen. Raja Grafindo Persada,Jakarta edisi 1, 2001.hlm. 34.
 [2] John Locke membagai kekuasaan dalam suatu negara terdiri dari tiga kekuasaan yakni kekuasaan Eksekutif, Legeslatif dan fedaratif, masih menempatkan keakuasaan yudikatif pada eksekutif. Mountesque, membagai kekuasaan dalam suatu negara, terdiri dari kekuasaan eksekutif, legeslatif dan yudikatif.
[3]  Han Kalsen General Teory of Laws and State  Op.cip halaman. 56.
[4] Mungkin akan terjadi perbedaan persepsi, dalam menilai  pemikiran-pemikiran  Thomas Hobbes, Jhon Austin,H.L.A Hart, Kalsen  sebagai basis teori untuk melihat  adanya otoritas negara dalam pembentuk hukum dengan pandangan yang  menggunakan pemikiran tersebut untuk menilai karakter produk hukum yang di hasilkan negara. Nonet & Selznick, mengangap pemikiran-pemikiran tersebut melahirkan produk hukum yang berkarakter refresif maupun yang otonom.Ia membedakan tiga hukum  dalam tiga klasifikasi dasar, yaitu ; hukum sebagi pelayan kekuasaan yang reprasif; hukum sebagai institusi tersendiri yang  mampu menjinakan represi dan mampu melindungi integritas dirinya; hukum sebagai fasilitator dari berbagai  respon kebutuhan dan asfirasi sosial.  Dari ketiga klasifikasi tersebut ia membagi hukum dalam tiga tipe yakni hukum  represif, hukum otonom, dan hukum yang responsif. Tiap-tiap tipe hukum ini, mempunya karekter tersendiri.Ketiga tipe hukum tersebut dipahami sebagai tiga respon terhadap dilema yang ada antara integritas dan keterbukaan hukum. Seperti di ukuinya bahwa pembagian tipe dasar hukum sangat abstrak tidak lah dapat ditemui pada tataran empiris.  Lihat Filippe Nonet & Philip Selznick ” Law & Scietty in Transition: Towward Responsive Law” telah dialih bahasakan oleh Rafael Edy Bosco dengan judul ” Hukum Responsif, Pilihan di masa Transisi” Jakarta: Huma, 2003, halaman. 14.
[5]. Krisis financial yang melanda perekonomian Amerika Serikat dan negar Eropa lainnya,  yang  disebabkanoleh prilaku para manger finasial mendorong terjadinya perubahan paradigma dalam rezim leberilasi, di mana negara mulai menyadari untuk mengatur  prilaku para manger keuangan , dengan membatasi besar penghasilan yang mereka terima. Kebijakan tersebut di pelopori oleh AS dan kemudian di ikuti oleh sekutu Eropanya. Fenomena ini menunjukan bagai mana campur tangan negara  dalam mengatur kehidupan warga negara.
[6] Brademier dalam Adam Podgorecki & Christoper Welan ” Pendekataan  Sosiologi Terhadap Hukum.”  Jakarta : Bina  Aksara, 1987 halaman 65.
[7] Lihat Ritzer dan Goodman dalam ‘Teori Sosial Modern ‘ Jakarta : Prenada Media Cet iii, 2005, halaman  631.
[8] Jaka Soehendra dalam  Realitas Kemajemukan Hukum  Dalam Masyarakat” Jentera, edisi November 2004, halaman. 3.
[9]Istilah pluralime hukum atau legal pluralisme dilebih dikenal dalam study Antropologi hukum. Dialog mendalam tentang legal pluralism dapat dilihat dalam Brian Z.Tamanaha , “An Non Essensialist Version of Legal Pluralism” Journal of Law and Society, Vol 27 Nomor 2 June 2000 .
[10] Masaji Chiba,ed, “Asian Indgennous Law in Intraction With Received Law”London & New York: Kegan Paul International, 1986
[11] Sulistyowati Irianto Perempuan Di Antara Pilihan Hukum” Yayasan Obor Jakarta 2003 hlm. 45.
[12] Stradford W. Moorse & Gordon .R. Woodman”Loc.cit
[13] Masaji Chiba,ed, “Asian Indgennous Law in Intraction With Received Law”London & Newyok; Kegan Paul International, 1986 , halaman. 4.
[14] Ratno Lukito Hukum Sakral dan Hukum SekulerPustaka Alvabet, 2008. halaman  20.
[15] Dalam hukum adat Dayak, orang yang menyebabkan orang mengeluarkan darah, atau meninggal akan dikenakan adat pemapol darah dan adat patinyawa.
[16] Eugene Ehrlich” Fundamental Principle of The Sociology of Law” New Yoek,1936 hlm. 21.
[17] Lawrece M. Friedman”The Legal System ; A Social Science Perspective” Alih bahasa oleh M Khozim dengan judul Sistem Hukum; Persepektif Ilmu Sosial” Bandung, Nusa Media,2009, hlm. 1-23.
[18] Soerjono Soekanto” Kedudukan Kepala Desa Sebagai Hakim Perdamaian Desa” Jakarta, Rajawali.1986.hlm.44.
[19] Ibid .halaman 41
[20] Ibid halaman.42.
[21] Garis-garis Besar Haluan negara tahun 1999-2004, bidang pembangunan hukum angka 2 menyatakan : Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbarui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.
[22] Sebutan UUD’1945 atau UUD’45 adalah sebutan sebelum dilakukan amandemen. Setelah amandemen  ke empat tahun 2004 MPRRI, menentapkan hasil amandmen UUD1945 sebagai Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 atau disingkat UUDNRI. Dalam tulisan ini dipakai sebutan UUD’45 untuk menunjukan naska original sebelum di amandemen.
 [23]IGN. Sugangga, Naskah Pidato, Penerimaan Jabatan Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum Perdata (Adat) pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 27 Nopember 1999, hlm. 10-14.
[24] Suteki “Kebijakan Tidak Menegakan Hukum Demi Pemuliaan Keadilan Substantif” Pidato Pengkuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Diponogoro Semarang Agustus 2010.
[25] Langkah untuk tidak menegakan hukum ini, penulis ambil dari wacana atau gagasan dari Suteki . Dalam mengemukan gagasanya tersebut ia mendasar berbagai teori. Lengkapnya lihat Suteki” Kebijakan Untuk Tidak menegakan Hukum (Non Enforcement Of Law) Demi Pemulian Keadilan Sunstantif” Pidato Pengukuhan Guru besar Ilmu Hukum pada Universitas Diponegoro Semarang 4 Agustus 2010.
[26] Suteki Loc.Cit hlm.47.

0 komentar:

Posting Komentar