URGENSI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN
PERAN STAKE HOLDER
DALAM MENYIAPKAN DESA (MENYAMBUT IMPLEMENTASI
UU DESA)
- Muda Mahendrawan –
(Seminar Daerah Fakultas Hukum UNTAN)
·
Sejarah pengaturan desa di Indonesia ada
beberapa UU yakni UU nomor 19/1965 disebut Desapraja, yang merupakan peralihan
untuk mempercepat terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Indonesia ketika
itu. Kemudian di era Orde Baru dengan UU nomor 5/1979, di masa inilah model
penyeragaman desa dilakukan sehingga eksistensi Desa jadi lemah dan
ketergantungan dengan pemerintah supra desa. Pasca orde baru (reformasi) pengaturan
Desa dalam UU nomor 22/1999 (pemerintah daerah) hanya diatur dalam 8 pasal dari
134 pasal, demikian pula di UU nomor 32/2004 dalam 16 pasal dari 240
pasal.
·
Lahirnya UU Desa Nomor 6/2014 telah
melegitimasi posisi dan eksistensi desa tak lagi hanya sekadar obyek
pembangunan seperti selama ini, melainkan sebagai subyek dari pembangunan
yang membuka peluang bagi desa untuk lebih berdaya dengan pengakuan kewenangan
dalam UU Desa. Bagaimanapun desa sebagai sumber kekuatan negara karena SDA yang
diambil dan diolah untuk memenuhi kebutuhan hidup hampir seluruhnya berada di
desa (sumber mata air, lahan cocok tanam, sungai, laut, bukit, gunung, hutan,
perut bumi). Demikian pula rakyat sebagian besarnya hidup di desa-desa (70%)
sebagai SDM yang perlu diberdayakan agar bisa produktif > tantangan
kualitas IPM masih rendah daya saing.
·
UU Desa Nomor 6/2014 menegaskan
eksistensi desa dengan pengakuan atas kewenangan berdasarkan asal usul (tradisionil)
merupakan landasan kuat untuk membentengi hak-hak masyarakat desa agar bisa berdaya
menggerakkan inisiatif-inisiatif untuk mengurangi kemiskinan > 63 persen kemiskinan berada di pedesaan.
Pengakuan
kewenangan asal usul dan kewenangan lokal berskala desa dalam UU Desa menjadi
pintu masuk yang membuka peluang bagi rakyat desa untuk melatih diri menjalankan
otonomi mengurus rumah tangga sendiri. Sebelumnya desa hanya mengusulkan
(melalui musrenbangdes) dan tidak berdaya dan berwenang memutuskan meskipun terhadap kebutuhan yang
sangat prioritas dan mendesak bagi warga desa. Ke depan setidaknya desa mulai belajar
menjalankan kewenangan lebih besar mulai dari perencanaan pembangunan sesuai
kebutuhan prioritas, pengalokasian anggaran, pelaksanaan teknis pembangunan,
dan pengawasan serta evaluasinya sampai pada pertanggungjawabannya.
·
Selama ini banyak pendapat pro kontra terkait
dengan kesiapan desa untuk mengelola kewenangan berdasarkan UU Desa
itu. Pendapat yang pesimis dan terkesan sinis menegaskan bahwa desa belum siap
menerima kewenangan itu. Pandangan ini wajar saja mengingat keterbatasan
kompetensi sumber daya manusia di desa (terlebih untuk desa di luar Jawa). Tentu
semua akan berproses seperti juga ketika awal memulai era otonomi
daerah.
·
Berkaca pada pengalaman era otonomi
daerah pasca reformasi sejak 1999 yang sudah 15 tahun ini, banyak pembelajaran yang
bisa diambil secara empiris bagaimana kondisi perjalanan otonomi daerah yang
juga banyak menemui kendala, tantangan dan problem. Sehingga secara berangsur
terlihat kewenangan otda perlahan mulai ditarik kembali ke arah re sentralisasi
kembali.
·
Membahas tentang desa tentu sangat
kompleks menyangkut seluruh aspek peri kehidupan masyarakat namun semua harus
tertuju pada sasaran bagaimana menggerakkan semua potensi yang ada di desa
baik SDM dan SDA dapat dikelola untuk perbaikan kualitas hidup rakyat
banyak > pemberdayaan untuk kurangi kemiskinan dan pengangguran yang
sebagian besar di desa.
·
Mengejar sasaran target itu memerlukan
langkah
dan strategi didasarkan kewenangan yang telah ada (asal usul) dan
kewenangan yang diakui yang bisa dikelola langsung oleh rakyat di desa
(kewenangan lokal berskala desa)
·
Kita perlu mengajak semua pihak untuk membicarakan
dan mencari jalan keluar dari berbagai problem dan tantangan klasik dalam
sebuah perspektif yang lebih luas dan sinegis untuk membangun kesadaran kolektif
terkait urgensi pemberdayaan masyarakat desa sebagai peta jalan (road map)
mengejar percepatan pengurangan kemiskinan dan pemiskinan serta ketimpangan
hidup yang semakin melebar antara pedesaan dan perkotaan.
·
Bagaimana rumusan strategi dan langkah
konkrit, fokus dan massif sebagai road map (peta jalan) menyiapkan desa dalam memperkuat
partisipasi rakyat oleh seluruh pemangku kepentingan desa (internal dan
eksternal desa), atau dengan kata lain isu-isu atau aspek apa
saja yang perlu menjadi strategi fokus untuk merangsang dan memantik inisiatif
untuk penguatan partisipasi dan demokratisasi dalam tata kelola
pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan rakyat desa sekaligus memastikan
berjalannya agenda pembaruan desa agar lebih optimal ? Maka sekarang fokus kita
mestinya langsung menukik pada upaya mendesain dan mencari formulasi dan strategi
yang efektif untuk memastikan agenda pembaruan desa dalam implementasi
UU Desa yang sudah di depan mata (tahun 2015) dapat berjalan optimal.
·
Menjawab ini setidaknya ada 5
isu / aspek strategis dan mendasar untuk dijalankan dengan fokus, sistematis
dan konsisten yang signifikan berpengaruh bagi percepatan perbaikan tatanan
pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan desa ke depan agar berjalan secara
terbuka, partisipatif,efisien efektif, akuntabel dan berkeadilan (mewujudkan
good village governance) dalam mengurangi kemiskinan karena ketidakberdayaan
dalam mengelola potensi SDM dan SDA di desa – merubah segala kendala dan
tantangan menjadi peluang bagi rakyat desa dengan memantik dan mendorong ruang inisiatif
dan partisipasi lebih luas oleh rakyat di desa-desa, antara lain :
Ø Isu / aspek Tata Kelola Keuangan dan
Aset/Kekayaan Desa
-
UU desa menegaskan Desa berhak
mendapatkan berbagai sumber keuangan baik dari APBN dan APBD serta PADesa
sendiri (5 sumber keuangan)
-
Isu selama ini terlanjur terfokus pada besaran 1 Milyar
1 Desa (tak langsung sebesar itu tapi bertahap) – padahal agenda pembaruan desa
tak cuma sebatas berapa jumlah uang masuk ke desa meski ini sebagai modal dasar
dan strategis, maka harus disiapkan
mengelolanya dengan tepat.
-
Pro kontra pendapat dan anggapan
ketidakmampuan aparat desa mengelola keuangan negara > rentan penyimpangan
terjadinya pengambilan hak-hak rakyat (NKK di level desa) > namun tak perlu juga
terlalu
berkelindan pada perdebatan ini > sekarang saatnya seluruh pihak
(terutama kaum terdidik) berupaya keras menggerakkan langkah nyata untuk menyiapkan
desa dengan fokus dan massif.
-
Kades sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
dan aset (pelimpahan
sebagian saja kewenangan kepada perangkat desa tak bisa seluruhnya seperti
dalam PP 72/2005)
-
Kades bersama BPD > Prinsip-prinsip
utama dijalankan sesuai alur proses kebijakan tata kelola uang > mulai dari
perencanaan pembangunan (sesuai pijakan RPJMDesa dan RKP Desa) harus melalui
Musyawarah Desa (perlibatan stakeholder desa secara luas) dijalankan terbuka
> dilanjutkan penyusunan draft APBDesa didasari RKP Desa dan program
prioritas pembangunan dari Pempus (Menteri Desa) > Mencapai kesepakatan
pengesahan APBDesa secara tepat waktu (akhir tahun) > titik rentan pada ketepatan
jadwal dan waktu penyusunan dan pengesahan untuk disampaikan ke Pemkab >
evaluasi APBDesa oleh Badan Pemdes > Camat juga berperan > Tataran
pelaksanaan dan realisasi APBDesa dalam tahun anggaran berjalan membutuhkan penatausahaan
dan administrasi yang tertib dan tepat > SPJ-SPJ belanja langsung
maupun tak langsung dari seluruh program dan kegiatan baik fisik dan non fisik harus ada verivikasi dengan baik melalui
sistem internal kontrol yang ketat (Kades dan perangkatnya) > mekanisme
teknis pelaksanaan pembangunan fisik dan non fisik (pengadaan barang dan jasa di
desa) menjadi penting diatur dan ditentukan melalui Perbup
ditindaklanjuti dengan Perdes, Perkades, dan penunjukan pihak pelaksana
berdasarkan SK Kades selalu menjadi perhatian dan mengundang kerentanan (NKK)
> dalam PP 43 ada ketentuan perangkat desa bisa menjadi pelaksana teknis
kegiatan (tidak dijelaskan jenis belanja dan program fisik atau non fisik) >
disini kades mesti mawas diri dan peka dengan situasi > memberi peluang
lebih besar ke rakyat melalui kelembagaan di desa (LPM, karang taruna, Dll)
> pelaksanaan dan realisasi APBDesa wajib dilaporkan ke Pemkab tiap semester
(harus tepat waktu agar tidak tertunda pencairan dana ke kas desa) karena
pencairan bertahap dana desa 40-40-20 (3 kali dalam setahun) dan ADD (2 kali
setahun) > laporan internal ke BPD > pada akhirnya seluruh
pengelolaan keuangan ke kas desa harus ada pertanggungjawaban baik ke pusat,
pemkab, BPD dan masyarakat desa (LKPJDesa) tiap akhir maret tahun berikutnya.
(lebih jelas tentang ini baca di Seri Menyiapkan Desa tulisan 7 “Problem Penyaluran Dana Desa ;
Tantangan dan Solusi , halaman Opini PontianakPost tanggal 26 November 2014)
-
Butuh tenaga pendampingan yang
profesional (berfungsi advisor) dari
seluruh alur proses tata kelola keuangan dan aset desa ini > minimal tiap
desa 1 tenaga pendamping profesional khusus tata kelola keuangan dan aset.
Ø Isu/ aspek Tata Kelola Sistem Informasi Desa
-
Problem klasik yang terus menerus terjadi
selama ini dan berdampak langsung menimbulkan ketidakberdayaan di desa karena sangat
lemahnya akses informasi yang bisa diperoleh warga akibat pengelolaan pemerintahan
desa dijalankan cenderung kurang terbuka dan kurang melibatkan partisipasi
rakyat (melalui keterwakilan stake holder desa) secara luas.
-
Desa harus membuat dan memperkuat
perencanaan pembangunan yang lebih partisipatif dan tepat sasaran sesuai
kebutuhan dan tingkat keterdesakannya.
-
Perlu inisiatif untuk mempercepat membangun
sistem informasi desa terkait pengelolaan keuangan dan aset yang
transparan dan akuntabel > inisiatif membuat sistem aplikasi tata kelola
uang dan aset berbasis IT > syaratnya mutlak input data pendapatan dan
belanja harus tertib dan tepat waktu selalu up date > dengan sistem ini sama
dengan kita membentengi diri meminimalisir celah penyimpangan dan kemudahan
kontrol internal dan eksternal terhadap proses pengelolaan keuangan itu sendiri
> sistem aplikasi IT hanya untuk membantu memudahkan/meringankan cara kerja.
-
Sistem informasi Desa mesti diupayakan
serius terbangun dengan langkah awal > penyusunan data base desa yang up date dan
faktual (misal data kemiskinan dll) untuk menjamin perencanaan dan proses
pembangunan tepat sasaran dan tidak banyak muncul celah penyimpangan yang
disengaja maupun karena kelalaian > data base dimasukkan ke dalam
sistem aplikasi untuk memudahkan kerja dan bisa diakses oleh semua stakeholder
dengan dimuat di website desa bila telah dibangun website desa.
-
Dibutuhkan Insiatif dan Gagasan baru untuk
merekayasa sosial menuju terbentuknya kelompok kerja informasi desa (KKID)
di tiap desa agar seluruh proses kegiatan pembangunan (dari
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi sampai
pertanggungjawaban) bisa diketahui perkembangan tiap waktu dan lebih transparan
dalam setiap agenda desa yang harus dijalankan, termasuk terkait dengan seluruh
informasi dalam kegiatan pihak lain misalnya investasi swasta dan kegiatan program dari
pemerintah supra desa (pemkab, pemprov dan pusat) di desa.
-
Memberikan akses informasi terhadap
langkah pemberdayaan masyarakat dan peluang akses pasar dan permodalan misalnya
dalam bidang pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan, kerajinan olahan dll
untuk membuka akses pasar yang lebih efektif dalam pengenalan produksi di desa.
-
Dibutuhkan pendampingan bagi kelompok kerja
informasi desa dalam mengawal sistem informasi desa ini agar
perjalanan pemerintahan desa lebih transparan dan akuntabel dalam semua aspek
kaitan dengan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masy.
-
Media informasi desa perlu dibangun
melalui penguatan pemahaman jurnalisme warga dan skema lainnya. (radio
komunitas, web site desa, sms gateway, tabloid warga dll) lebih yang
dikelola KKID.
(lebih jelas tentang ini baca Seri Menyiapkan Desa ke 3
“Merancang Bangun Pengembangan Sistem Informasi Desa” halaman opini
PontianakPost 21 oktober 2014)
Ø Isu / aspek Tata Kelola Ruang Desa
-
Penataan ruang memiliki urgensi yang
cukup mendasar dalam upaya mengawal agenda pembaruan desa, karena tata ruang
desa akan mengejar upaya mengambil peluang dan kesempatan yang sama bagi rakyat
desa untuk bisa memanfaatkan ruang hidup dari sumber daya alam untuk kegiatan
mata pencaharian sehari-hari bagi setiap rumah tangga di desa agar dapat hidup
lebih layak dan berkualitas
-
Selama ini penataan ruang dilakukan
dengan sistem top down (dari atas ke bawah) karena UU Penataan Ruang menerapkan sistem seperti itu, faktanya
sistem ini telah banyak menimbulkan ruang konflik sumber daya alam di berbagai
daerah dengan beragam jenis konflik antar masyarakat, mulai dari
perebutan SDA (lahan, sumber air, isi bumi) karena investasi secara besar-besaran
yang kurang terkendali dan tak seimbang.
-
Padahal lebih dari 60 % rakyat di desa-desa sehari-hari memenuhi penghidupannya
dari bercocok tanam sektor pertanian dalam arti luas (pangan, holti,kebun
rakyat, perikanan,peternakan dll)
-
Data sensus pertanian 2013 menunjukkan
terjadi
penurunan jumlah rumah tangga petani dalam kurun waktu 10 tahun terakhir
dari 2002 sampai 2012 setidaknya hampir 5 juta rumah tangga petani yang beralih
ke sektor lainnya. Bahkan terjadi peningkatan laju urbanisasi ke perkotaan termasuk menjadi TKI/TKW legal maupun illegal
ke negara lain. Ini terjadi karena kesempatan untuk bekerja mengharapkan sektor
pertanian di desa tak menjanjikan hasil yang layak dan cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, ditambah dengan semakin kencang nya arus alih fungsi lahan
akibat investasi yang sudah kebablasan. Menurut banyak penelitian 50 sampai 100
ribu hektar alih fungsi lahan terjadi dan menggerus lahan-lahan pertanian produktif
yang ada di desa-desa. Semakin menyempitnya lahan ini tentu akan semakin
mempersempit ruang hidup bagi rumah tangga di pedesaan.
-
Tata ruang desa disusun dengan
mengajak warga bermusyawarah menentukan ruang hidup yang ada di wilayah desa
itu untuk kepentingan kehidupan mereka secara berkelanjutan, dengan
menentukan struktur dan pola ruang sampai ke pemanfaatan detail ruang, termasuk
untuk pengembangan infrastruktur dasar yang ada di desa saat ini dan akan
datang.
-
Inisiatif untuk menyusun Tata ruang
desa oleh kades bersama BPD dan warga masyarakat desa sangat dibutuhkan dan
strategis dalam upaya membentengi dan melindungi kehidupan
seluruh warga desa agar sumber daya alam yang ada memberikan manfaat bagi
perbaikan hidup masyarakat dan tidak justru sebaliknya dikuasai oleh pihak lain
secara
berlebihan dan kebablasan, sementara rumah tangga desa terus bertambah
sehingga kebutuhan mereka untuk memiliki ruang hidup (lahan) tentu semakin
meningkat. Maka ancaman konflik-konflik tak dapat dibendung dan terus meningkat
tiap tahun akibat keterdesakan ruang hidup yang semakin menyempit di desa-desa.
-
PP 43 telah menyebutkan terminologi
Tata Ruang Desa dalam pasal 125, sebagai aset desa dalam menyusun
rencana kawasan pedesaan (lebih dari satu desa)
-
UU Desa sendiri telah memberi
pengakuan terhadap kewenangan berdasarkan asal usul desa, sehingga ini menjadi
fondasi dan dasar yang kuat bagi desa untuk mempertahankan ruang hidup bagi
kepentingan rakyat desa, agar tidak selalu terjadi hegemoni dan penguasaan
secara tak berkeadilan atas SDA yang ada di desa-desa.
-
Langkah menyusun Tata ruang desa oleh
masing-masing desa perlu dilakukan secara massif dan fokus agar menjadi sarana
dan alat untuk menjamin terjadinya keseimbangan dalam penguasaan dan
pengelolaan SDA di Indonesia dan menimimalisir ruang konflik di
masyarakat, termasuk konflik batas-batas wilayah desa
akibat perebutan lahan antar warga dalam satu desa, antar desa, antar kecamatan
bahkan antar kabupaten dan provinsi.
-
Setidaknya dengan memulai inisiatif
menyusun Tata Ruang Desa berarti desa telah berupaya untuk menghindari konflik dan
membentengi kepentingan masa depan warga desa untuk jangka panjang yang akan termuat
pula dalam RPJMDesa. Melalui Perdes Tata Ruang Desa setidaknya berupaya
mengendalikan sikap dan perilaku arogansi dari berbagai pihak melalui
pemerintah supra desa.
-
Mewujudkan Tata ruang desa-desa sama
artinya desa turut berperan menata ulang (perubahan) di Indonesia atas
penguasaan dan pengelolaan SDA yang lebih seimbang, berkeadilan dan
berkelanjutan.
-
(lebih
jelas tentang ini baca di Seri Menyiapkan Desa 4 “Merancang Tata Ruang Desa ;
Kejar Keadilan dan Keseimbangan, halaman Opini PontianakPost 12 November 2014)
Ø Isu
/ aspek Representasi Perempuan dalam Tata Kelola Desa
-
PARADIGMA DAN PEMAHAMAN AWAL TENTANG
SANGAT PENTINGNYA UNSUR REPRESENTASI PEREMPUAN UNTUK LEBIH DILIBATKAN DAN
MELIBATKAN DIRI DALAM AGENDA PEMBARUAN DESA – DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN
IKUT MENENTUKAN ARAH KEBIJAKAN DESA – TERMASUK DALAM OPERASIONALISASI TEKNIS
KERJA PEMBARUAN DESA (BAIK POSISI SEKRETARIAT, PERANGKAT DESA, BPD, PENGELOLA
BUMDESA DAN TENAGA PENDAMPING DESA)
-
STRATEGI UNTUK MEMUNCULKAN TOKOH
PEREMPUAN TERAMPIL DAN TERDIDIK DI DESA UNTUK MENJADI REPRESENTASI DI POSISI
BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) MINIMAL 30% DARI JUMLAH ANGGOTA BPD, AGAR
PERLIBATAN PEREMPUAN DALAM PENGAMBILAN KEBIJAKAN DAN KEPUTUSAN DI DESA MELALUI
MUSYAWARAH DESA LEBIH TERJAMIN DAN PROPORSIONAL.
-
UU DESA TELAH MENEGASKAN DALAM
BERBAGAI KETENTUAN BAIK MENYANGKUT PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN PEMBANGUNAN
HARUS MEMPERHATIKAN KEADILAN GENDER.
-
REPRESENTASI PEREMPUAN DIBUTUHKAN
UNTUK MENJAMIN PROGRAM-PROGRAM YANG MENYANGKUT KEPENTINGAN DASAR RUMAH TANGGA TERUTAMA
PENDIDIKAN DAN KESEHATAN DAPAT
TERAKOMODIR UNTUK MENJAMIN PERBAIKAN KUALITAS HIDUP RUMAH TANGGA DI DESA-DESA.
-
BILAMANA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DIJALANKAN
DENGAN KESUNGGUHAN KOMITMEN DAN KONSISTEN TELAH TERBUKTI SECARA EMPIRIS SANGAT
MEMPENGARUHI SECARA SIGNIFIKAN UPAYA PENGURANGAN KEMISKINAN DAN KETERPURUKAN RUMAH
TANGGA DI DESA-DESA.
-
Perlu inisiatif terobosan oleh
pemerintah desa-desa untuk melangkah menyusun perdes tentang porsi keanggotaan
BPD dari keterwakilan perempuan (minimal 30%) untuk berlaku ke depan saat
proses perekrutan dan penggantian anggota BPD untuk mempercepat perlibatan
perempuan lebih maksimal ke depan.
-
UU Desa memang tidak ada menegaskan
proporsi itu, namun sebetulnya telah membuka peluang itu yang diserahkan kepada
kebijakan pemerintah desa melalui musyawarah desa – sepanjang tidak dilarang
dan justru bermanfaat bagi perbaikan tata kelola desa yang partisipatif,
terbuka, akuntabel dan demokratis tentu menjadi legitimasi yang bisa diatur
sendiri sebagai wujud cerminan otonomi desa yang bertanggung jawab.
-
(lebih
jelas tentang ini baca di Seri Menyiapkan Desa – 5 “Perlibatan Perempuan dan
Masa Depan Desa” halaman Opini PontianakPost tanggal 4 November 2014)
Ø Isu / aspek Tata Kelola Kelembagaan
Ekonomi Desa (Menuju ke arah pembentukan BUMDesa)
·
PEMAHAMAN PERSEPSI PERAN DAN
PENTINGNYA KELEMBAGAAN BUMDES DIWUJUDKAN SEBAGAI PENGGERAK AKTIVITAS EKONOMI DI
DESA LEBIH BERKEMBANG DAN MEMPERLUAS AKSES USAHA EKONOMI MIKRO DAN KECIL (USAHA
RUMAH TANGGA) DI PEDESAAN.
·
CONTOH BEST PRACTICE PENGELOLAAN
LEMBAGA KEUANGAN DAN LEMBAGA USAHA MIKRO DI DESA – MENCARI MODEL BUMDES SESUAI
KEBUTUHAN DESA
·
MERANGSANG PARA SARJANA UNTUK MULAI
MEREKAYASA SOSIAL DENGAN MEMPERKUAT PEMAHAMAN ELIT DAN WARGA DESA UNTUK PEMBENTUKAN
DAN MENGELOLA BUMDES DI TEMPAT ASAL DESA NYA, SEKALIGUS MEMBERDAYAKAN GENERASI
MUDA TERDIDIK ASAL DESA – (SARJANA KEMBALI KE DESA)
·
STRATEGI MEMULAI IDENTIFIKASI DAN
VERIVIKASI TERHADAP USAHA-USAHA KELOMPOK YANG TELAH ADA (EXISTING) DI DESA DAN
BERPOTENSI BERKEMBANG SEBAGAI EMBRIO AWAL UNTUK DIJADIKAN BAGIAN UNIT USAHA
DARI BUMDESA YANG AKAN DIBENTUK > DARI MILIK KELOMPOK KECIL BERKEMBANG
MENJADI MILIK SEMUA WARGA DESA > TANTANGAN DAN PELUANG MEMAKSIMALKAN POTENSI
EKONOMI DI DESA .
(lebih jelas tentang ini
baca Seri Menyiapkan Desa – 8 “BUMDesa dan Kemandirian Ekonomi Pedesaan, opini
PontianakPost 6 Desember 2014)
SINERGISITAS
STAKE HOLDER
·
Untuk mengoptimalkan berjalannya
agenda perubahan atau pembaruan Desa maka kelima aspek isu ini harus
bersinergi dan tak bisa berjalan sendiri-sendiri melainkan harus simultan
(keroyokan), karena satu dan lain saling mempengaruhi signifikan hasil
out put nya, jadi saling ketergantungan dan justru memperkuat ke arah yang sama
untuk menyiapkan desa saat ini dan ke depan agar lebih berdaya , sekaligus
mengawal berjalannya agenda pembaruan desa secara optimal.
·
Tiap aspek isu ini membutuhkan
strategi pendekatan yang bisa menggerakkan kearah perubahan dan menghindari
stagnasi (jalan di tempat) dan juga
butuh inisiatif-inisiatif dan gagasan yang kreatif dan inovatif serta menjadi
solusi dari problem klasik yang selama ini menjadi hambatan dan kendala untuk
memunculkan inisiatif dan partisipasi warga.
·
Dengan inisiatif dan gagasan itu akan
memberikan percepatan menyiapkan desa dan fokusnya lagi hanya berputar-putar
pada perdebatan pro kontra apakah desa sudah siap atau tidak siap menerima
kewenangan berdasarkan UU Desa itu.
·
Banyak pandangan yang hanya
melihat dari sisi formalitas dan rutinitas klasik saja, bahwa dengan
adanya UU Desa berikut Peraturan-peraturan pelaksanaannya seolah-olah semua
sudah selesai, beres dan bisa berjalan karena daerah bersama desa tinggal
menjalankan dan mengikuti petunjuk saja sesuai ketentuan.
·
Kembali lagi belajar dari pengalaman empiris
perjalanan otda ternyata dan faktanya masih sangat banyak sekali
menemui kendala di tataran pengambilan kebijakan dan tataran teknis pelaksanaannya
sehingga masih dirasakan pelayanan publik yang belum maksimal.
·
Problem aturan yang masih banyak
menimbulkan penafsiran dengan cara pandang yang berbeda antar institusi dan
celah-celah aturan hukum yang seringkali dan jamak mengakibatkan keragu-raguan
bagi aparatur di daerah dalam menjalankan kebijakan anggaran sesuai kewenangan
yang telah diberikan pada akhirnya banyak pula memunculkan kegamangan daerah
untuk menyikapinya, sehingga bukan tidak ada kemajuan namun menjadi sangat
lambat untuk mengejar tujuan ideal dari otda itu sendiri. Maka jangan salahkan
ketika muncul berbagai opini dan tudingan seolah bahwa otda tidak
mensejahterakan rakyat di daerah, bahayanya justru menjadi justifikasi menarik
kembali kewenangan otda menjadi sentralistik seperti jaman orba dulu. Saat ini
sudah mulai kelihatan dan nampak dari berbagai ketentuan di berbagai bidang yang
kembali sentralistik.
·
Maka nasib era Otdes dalam perjalanannya
ke depan jangan sampai terulang seperti otda.
·
Strategi dan pendekatan secara fokus
dan komprehensif untuk menyiapkan desa dalam mengawal agenda pembaruan desa ini
harus menjadi perhatian dan tanggung jawab semua pihak, terutama
kalangan terdidik > mengapa ?
·
Desa tersebar luas dengan tantangan
kondisi geografis dan infrastruktur yang masih minim, apalagi untuk daerah
provinsi yang sangat luas seperti di Kalimantan. Jumlah desa yang sangat banyak
dan tersebar sampai ke pelosok pesisir dan pedalaman tentu disadari menjadi tantangan yang
sangat berat untuk mengawal implementasi agenda pembaruan desa.
·
Pro Kontra dan perdebatan terus
menerus seputar kemampuan dan kompetensi aparatur desa dan masyarakat desa tak perlu
menjadi penghalang dan membuat banyak pihak hanya berdiam diri dan terkesan
membiarkan semua berjalan apa adanya saja tanpa bergerak berupaya melakukan
langkah-langkah konkrit yang menerobos kebuntuan itu.
·
Internal birokrasi sendiri masih perlu
penguatan pemahaman dan kesamaan persepsi terhadap agenda pembaruan desa agar
tidak banyak terjadi stagnasi nantinya, sehingga akan bisa menimbulkan kondisi
yang tidak kondusif dalam demokrasi lokal di daerah dan desa-desa yang secara
langsung berdampak pada lambannya proses pembangunan di desa-desa. Terutama antara organisasi dalam pemkab
sendiri : misalnya SKPD Badan Pemdes, SKPD Keuangan / DPPKAD, SKPD Inspektorat,
Sekretariat Daerah (bagian hukum dan pemerintahan), Camat, dll.
·
Kinerja pemkab akan sangat berpengaruh
pada kelancaran proses implementasi agenda pembaruan desa itu sendiri,
maka yang perlu disiapkan sebenarnya tak hanya pemerintah desa saja, pemerintah
daerah pun perlu dipersiapkan agar tidak gamang dan menjadi kendala ketika implementasi
UU Desa mulai berjalan. Sebab selama ini seolah tudingan hanya tertuju kepada
pemerintah desa yang dikatakan aparaturnya tidak siap dan tidak mempunyai
kemampuan mengelola kewenangan yang diberikan. Jangan sampai kelak yang terjadi
pemerintah desa sudah berupaya keras menyiapkan diri (dengan meningkatkan
kapasitas melalui pelatihan dsb) sebaliknya justru pemerintah daerah nya yang
belum mempunyai kesamaan persepsi sehingga birokrasi pemkab yang justru turut menghambat
upaya percepatan mengejar kemandirian desa.
·
Untuk memastikan implementasi UU Desa
dapat berjalan optimal, mengingat hanya tinggal hitungan 2 minggu ke depan
memasuki tahun 2015, dan APBDesa sebenarnya secara ideal sudah harus masuk
akhir tahun ini, maka beberapa kesiapan yang mendesak harus segera disiapkan
oleh pemkab :
-
Penyusunan Peraturan Bupati tentang
identifikasi dan inventarisasi kewenangan desa berdasarkan asal usul
dan kewenangan berskala lokal desa. Tanpa perbup ini akan menjadi kendala dalam
menentukan perencanaan dalam RPJMDesa dan RKP Desa yang kemudian termuat dalam
APBDesa.
-
(lebih
lanjut tentang ini baca Seri Menyiapkan Desa – 1 “Agendakan Penyusunan Daftar
Kewenangan Desa”, opini PontianakPost. 14 Oktober 2014)
-
Peraturan Bupati tentang Musrenbang
Desa
-
Peraturan Bupati tentang Penetapan
ADD (mutlak sesuai UU Desa)
-
Peraturan Bupati tentang Penetapan
alokasi BHP/BHR Desa
-
Peraturan Bupati tentang Penetapan
alokasi Anggaran Dana Alokasi Desa (sesuai peraturan menteri)
-
Peraturan Bupati tentang Tata
Cara dan Mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa di Desa. Ini dibutuhkan
sebagai payung hukum pelaksanaan dan realisasi program kegiatan APBDesa.
-
Peraturan Bupati tentang Tata
Cara dan Mekanisme Penyaluran Dana Alokasi Desa (APBN), Alokasi Dana Desa
(APBD), Dana BHP/BHR Desa
Semua peraturan bupati di atas kelak
harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah Desa dengan menyusun ke dalam Peraturan
Desa oleh BPD bersama Kades.
·
Sangat dibutuhkan adanya proses
menyiapkan tenaga pendamping desa yang professional dan memiliki kompetensi
ketrampilan teknis pemberdayaan masyarakat dan tata kelola pemerintahan desa
secara komprehensif (terkait konteks dengan 5 isu/aspek diatas) yang berfungsi
setidaknya sebagai advisor.
·
Tenaga pendamping desa telah diatur
dan diakomodir dalam ketentuan PP 43 dan PP 60, sehingga ke depan akan ada
pelembagaan dan pengaturan baik menyangkut fasilitas, standar kompetensi,
kualifikasi dan sertifikasi tenaga pendamping agar professional melakukan
pendampingan secara maksimal, efektif dan berkelanjutan.
·
Kalangan terdidik setidaknya sarjana
baik D-3 dan S-1 lulusan dari perguruan tinggi tentunya akan lebih baik untuk
disiapkan menjadi tenaga pendamping desa ini.
·
Mengingat jumlah desa dan sebaran nya yang
sangat banyak dan luas, seluruh ada 73 ribu desa seluruh Indonesia, sementara
kita melihat yang telah fokus menjalankan pendampingan desa selama ini dari
fasilitator pendamping PNPM namun jumlahnya se Indonesia hanya sekitar 12 ribu
maka baru 15 % nya tenaga pendamping desa yang lebih siap karena pengalaman menjalankan program PNPM selama ini.
·
Tantangan kita sekarang ini bagaimana
segera mempercepat menyiapkan tenaga-tenaga SDM pendamping desa profesional,
apalagi di kalbar ini.
(lebih jelas tentang ini
baca Seri Menyiapkan Desa – 4 “Proaktif Desain Program Pendampingan Desa” opini
PontianakPost, 28 Oktober 2014)
·
justru diberdayakan dan diperankan
lebih maksimal ke depan dengan menjadi tenaga pendamping desa sekaligus melatih
diri belajar mengorganisasikan masyarakat. Lulusan perguruan tinggi berperan mengabdi
di desa-desa, sehingga memberi nilai tambah bagi percepatan perbaikan desa,
terutama pergeseran mindset (pola pikir) elit-elit dan warga desa > apalagi
dihadapkan tantangan degradasi moral yang semakin parah merebak luas merengsek
sampai ke desa-desa pelosok dan mengancam tercerabutnya jati diri dan peradaban
komunal menjadi individualis.
·
Perguruan Tinggi dalam hal ini tentu
merasa tertantang dan bertanggung jawab secara moril dan intelektual dengan
kondisi ini, tentu selain memproduksi
sarjana namun bagaimana keluaran sarjana itu memang sudah siap memiliki
kompetensi cukup melakukan pendampingan di desa-desa ke depan, dengan
ketrampilan dan fokus pemahaman tata kelola desa, karena ini telah menjadi
tuntutan di era otonomi desa.
·
Perguruan Tinggi perlu menyikapi dan
merespon secara cepat tuntutan ini, sebagai pusat unggulan perlu menyiapkan
segera rancang bangun yang tepat dan efektif untuk membuat para lulusan sarjana
nya memiliki kompetensi cukup untuk itu.
·
Sudah mendesak dibutuhkan terbentuknya
Pusat
Kajian dan Studi Pedesaan di tiap perguruan tinggi negeri maupun
swasta. Agar menjadi arah dan pemahaman fokus yang akan membekali para
mahasiswa nya ketika lulus menjadi sarjana kelak. Terjadi sinergisitas semua
unsur civitas antar disiplin ilmu di perguruan tinggi dan menjadi sentra
(magnet) diskusi dan kajian terkait isu-isu dengan segala dinamika dalam peran
mengawal perjalanan otonomi desa ke depan.
·
Peran perguruan tinggi sangat
signifikan dibutuhkan dalam implementasi UU Desa karena telah ditegaskan dalam
berbagai ketentuan UU maupun PP banyak agenda pembaruan desa baik dalam
penataan desa maupun dalam tata kelola pemerintahan desa menyangkut
perencanaan, pelaksanaan pembangunan, penatausahaan, pengawasan dan
pertanggungjawaban dari berbagai kebijakan yang mutlak dibutuhkan kajian-kajian
akademis sebagai persyaratannya agar tepat sasaran sesuai kebutuhan dan
kondisi faktual.
·
Apalagi pemerintah daerah sangat butuh
peran perguruan tinggi dalam melakukan kajian akademis untuk penyusunan
kebijakan yang dibuat baik sebagai pelaksanaan dari UU dan PP maupun sebagai
langkah inisiatif dan gagasan terobosan untuk mengejar percepatan kemandirian
desa-desa di daerahnya. Contoh dalam menyiapkan produk hukum peraturan daerah
dan peraturan bupati terkait implementasi UU Desa saat ini dan akan datang
sesuai dinamika kebutuhan.
Ø PENUTUP
·
Langkah dan strategi awal dari agenda
pembaruan desa secara taktis dan implementatif dimulai dengan segera menyiapkan
perubahan atau revisi dari RPJMDesa sebagai dokumen pijakan selama tiap
periode pemerintahan desa > disesuaikan dengan semangat dan prinsip-prinsip
dalam UU Desa > dilakukan benar-benar melalui Musyawarah Desa yang melibatkan
representasi masyarakat secara berkeadilan dan terbuka > sekaligus
upaya memberikan pemahaman awal dan menanamkan kesamaaan persepsi cara pandang
dari warga desa secara lebih luas > demokrasi lokal agar berjalan sehat dan
kondusif.
(lebih jelas tentang ini
baca Seri Menyiapkan Desa – 2 “Revisi RPJM Desa-Desa” Pontianak Post 15 Oktober
2014)
·
Implementasi UU Desa ini sebetulnya
tidak hanya menuntut kesiapan dari pemerintah desa (aparatur desa), namun juga
sangat penting justru kesiapan aparat pemerintah supra desa terutama
pemkab-pemkab agar memiliki kesamaan persepsi dan kinerja lebih maksimal agar proses
berjalannya agenda pembaruan desa itu sendiri menghasilkan ketepatan dan tidak
lambat bahkan muncul stagnasi nantinya. Kebiasaan ego sektoral sebagai penyakit
klasik birokrasi di daerah harus bisa dikurangi untuk meminimalisir kendala
bagi desa untuk mengejar percepatan pelayanan publik dan perbaikan kualitas
hidup warganya.
·
Pendapat, anggapan, opini dan stigma
yang terus menerus berkelindan mempertanyakan dan menyangsikan kemampuan desa
mengelola kewenangan (bahkan terkesan terlalu menteror dan menakut-nakuti)
bukanlah jalan langkah yang bijak, pertanyaan sebenarnya bukan ‘apakah aparatur
dan rakyat desa sudah benar-benar siap dan mampu mengelola kewenangan
berdasarkan UU Desa itu? > hanya memunculkan peluang banyak yang akan
menjadi aktor ‘pemain’ tanpa nilai tambah produktif bagi desa dan
masyarakatnya, sejatinya mestinya pertanyaan itu dibalik ke semua pihak sebagai
stakeholder baik pemerintah supra desa (tanggung jawab supervisi dan pembinaan)
maupun semua kelompok masyarakat sipil kaum terdidik (terutama perguruan
tinggi) : ‘apakah semua pihak sudah
bergerak dan berbuat untuk menyiapkan desa-desa atau apakah desa-desa (aparatur
dan masyarakatnya) sudah sungguh-sungguh kita persiapkan untuk mengelola
kewenangan dalam otdes ini ?
·
Pendampingan desa menjadi kebutuhan
mutlak yang tak bisa ditawar, sehingga pemerintah dan masyarakat desa bisa
menjalankan sambil terus melatih dan memperkuat kompetensi nya dalam mengelola
pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat (learning by doing).
·
Peran generasi muda terdidik (sarjana)
sangat dibutuhkan untuk memiliki
kemampuan kompetensi dan ketrampilan menjadi tenaga pendamping desa
secara profesional ke depan, sekaligus menjadi peluang untuk memperkecil
pengangguran terdidik dan memanfaatkan/memberdayakan potensi SDM desa yang
terdidik untuk peluang mengabdikan diri ke asal desa nya. Maka perguruan tinggi
dituntut untuk segara merespon agenda pembaruan desa ini dengan mulai
merekayasa pelembagaan Pusat Studi Pedesaan karena sebagai
pusat kajian unggulan dan pihak yang memproduksi sarjana bisa lebih fokus
memberi peran dan eksistensinya > Tri Dharma Perguruan Tinggi . Program KKN
juga perlu dilakukan review dalam reorientasi pendekatan agar langsung dirasakan membawa dampak
lebih besar dan konkrit bagi penguatan kapasitas dan kecakapan mahasiswa/i
terhadap problem tata kelola desa minimal punya pemahaman awal terhadap
prinsip-prinsip dasarnya sekaligus injeksi motivasi, perlu orientasi pembekalan
dan pelatihan singkat namun efektif terkait tata kelola desa sebelum
diterjunkan ke desa-desa, agar eksistensi peserta KKN juga turut dirasakan berkontribusi
langsung bagi percepatan perbaikan pengelolaan desa oleh aparatur dan seluruh
stake holder di desa-desa.
·
Indonesia dihadapkan dengan tantangan
menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada akhir 2015 nanti, tentu
memburuhkan kerja keras semua pihak (terutama pemerintah dan kalangan terdidik)
agar kualitas SDM yang ada di pedesaan lebih produktif dan berdaya
saing sehingga Indonesia tak hanya jadi pasar bagi produk negara tetangga yang
leluasa bebas masuk sampai ke pelosok desa, maka dibutuhkan kerja-kerja dengan
kesiapan peta jalan (road map) pemberdayaan desa secara sistematis, fokus dan
massif untuk mengantisipasinya.
·
Peluang Indonesia yang sedang dan akan
menghadapi kondisi Bonus Demografi dimana penduduk usia produktif angkatan kerja
(15-64) mendominasi hingga 60 – 70 % harus segera disikapi/direspon dengan
upaya menyiapkan sumber daya manusia lebih berkualitas dan produktif
(kompetensi, ketrampilan, kecakapan, berintegritas) dari sejak sekarang agar
kondisi evolusi penduduk ini mampu dikelola menjadi berkah dan lompatan besar
bagi perbaikan kualitas hidup rakyat luas mengejar kemandirian desa-desa,
daerah dan bangsa, jangan sampai
sebaliknya justru menjadi beban bahkan bencana bagi bangsa karena
pelemahan (ketidakberdayaan) akibat tak dipersiapkan dan dikelola dengan
sungguh-sungguh dan konsisten.
·
Mengawal agenda pembaruan desa tak
bisa dan tak cukup sepotong-sepotong hanya bersifat parsial, harus terbangun
kesamaan persepsi dan kesadaran kolektif
semua stakeholder untuk bergerak secara fokus, massif (keroyokan) dan
komprehensif dengan mensinergikan berbagai aspek dan isu mendasar (minimal 5
aspek diatas) yang menjadi sumber persoalan dan mencarikan formulasi dan
strategi yang tepat dan efektif >
Terutama kaum terdidik sebagai tanggung jawab moril dan intelektual
meskipun secara konstitusional itu menjadi tanggung jawab pemerintah supra desa
(pusat dan daerah)
·
Mengawal berjalannya agenda pembaruan
desa sebuah keniscayaan karena sama artinya dengan mengambil kesempatan dan
peluang untuk melakukan gerakan perubahan mendasar dalam mengejar keseimbangan
dan rasa keadilan bagi rakyat luas untuk bisa hidup lebih layak dan berkualitas
> bahasa lainnya peluang untuk Menata (ulang) Indonesia dari Desa-desa >
menata kabupaten > provinsi > Indonesia.
TERIMA KASIH,
SELAMAT BERJUANG
“Menjadi baik saja tak lah cukup,
butuh kemauan dan kepedulian lebih besar
ntuk bergerak dan terus menggerakkan..”
“Ayo..Saatnya Berlari lebih Kencang,
Berproses lebih Cepat, Bertindak lebih
Nyata.!
Mandiri desa-desa mandiri pula Indonesia,
sukses desa-desa sukseslah Indonesia..
By
: 169
10 komentar:
Nama : Astiningtyas Indiraputri
Kelas : B
NIM : A1011131050
Mata Kuilah : PPKN
Dosen : Turiman SH, M.Hum
UU desa sangat tepat untuk di dukung, banyak desa yang tertinggal akibat tidak meratanya pembangunan di setiap desa. Alih-alih otonomi daerah yang bertanggung jawab atas perkembangan desa, tetapi pada dasarnya merupakan tanggung jawab bersama. Khususnya pemerintah, walaupun kewenangan masing-masing instansi berbeda. tidak ada salahnya memajukan desa, hingga tidak ada desa tertinggal lagi di indonesia.
UU Desa merupakan jalan keluar untuk meningkatkan pembangunan di masing-masing desa, hal itudapat meningkatkan kemandirian desa. yang berdampak munuju mobilisasi yang positif. berkembangnya pola pikir, intelektual, inspirasi dan kreatifitas masyarakat pedesaan.
Tentunya hal ini diperlukan kerjasama antara pemerintah pusat dan pemeringtah daerah untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat pedesaan terhadap UU ini, memberikan perhatian, pengarahan dan pelatihan untuk dapat memaksimalkan kualitas dalam pemberdayaan masyarakat desa
Inpiratif
Nama : Rosiyanti
Nim : A1011131140
Kelas/reg : E/A
Mata kuliah : Hukum Administrasi Negara
Lahirnya UU Desa Nomor 6/2014 telah melegitimasi posisi dan eksistensi desa,masyarakat merupakan bagian dari manejemen pembangunan desa,yang tidak hanya berperan sebagai obyek tetapi sebagai tokoh kunci dari pembangunan desa.Partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan manajemen desa sangat diperlukan karena tentunya rencana pembanguan dibuat demi kepentingan masyarakat itu sendiri. Partisipasi masyarakat juga dapat meningkatkan efisiensi sumber daya dan pengembangan sumber daya manusia.Serta dengan adanya peran Stake holder disini memiliki andil yang sangat besar, saya setuju dengan bapak bahwa “Sinergisitas Stake Holder untuk mengoptimalkan berjalannya agenda perubahan atau pembaruan Desa maka kelima aspek isu diatas harus bersinergi dan tak bisa berjalan sendiri-sendiri melainkan harus simultan, karena satu dan lain saling mempengaruhi signifikan hasil out put nya, jadi saling ketergantungan dan justru memperkuat ke arah yang sama untuk menyiapkan desa saat ini dan ke depan agar lebih berdaya , sekaligus mengawal berjalannya agenda pembaruan desa secara optimal”. Karena stake holder adalah pihak-pihak yang terkait dengan isu dan permasalahan yang sedang di angkat sesuai dengan bidang-bidangnya masing-masing, maka harapan dari sebuah kesadaran peran dalam pemberdayaan adalah konsistensi individu untuk menjalankan sistem sosial yang saling melindungi satu sama lain dan memberikan kenyamanan untuk berekspresi dan membangun,mengelola pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Nama :Asian maiki green
Nim :A10131149
Mata kuliah:hukum adminitrasi negara
Reg/sem: A/3
Dosen :Turiman Sh.mhum.
Dengan adanya uu desa, kita patut memberikan apresiasi yang setinggi tingginya, dalam hal pembuatan pasti lah mempunyai tujuan positive guna peningkatan kualitas suatu desa, pembuatan uu desa harus memperhatikan berbqgai aspek kehidupan masyarakat desa, dan perlu adanya perubahan terhadap pasal uu yang tidak berguna untuk kemajuan dan eksistensi desa, pembuatan uu desa harus berorientasi pada kesejahteraan masyarakat desa.
Nama :Asian Maiki Green
Nim :A1011131149
Kelas :E
Sem/reg :3/A
Mata kuliah :hukum adminitrasi negara
Dosen :Turiman , Sh.mhum
Dengan adanya uu desa, kita patut memberikan apresiasi yang setinggi tingginya, dalam hal pembuatan uu pasti memiliki tujuan yang positive, guna peningkatan suatu kualitas desa, pembuatan uu desa harus memperhatikan berbagai aspek kehidupan masyarakat desa yang beragam, perlu adanya revisi terhadap pasal yang tidak efektif dalam kemajuan desa,pembuatannya harus berguna untuk kemajuan masyarakat berbagai kalangan dan harus berorientasi pada kesejahteran masyarakat desa supaya eksistensinya menjadi tolak ukur.
nama : maria gilda aberty
nim : A1011131045
Kelas : B Reguler A
semester : 3
mata kuliah : pendidikan pancasila dan kewarganegaraan
saya setuju dengan adanya UU desa, di mana desa dapat secara mandiri berkembang untuk menjadi desa yang mensejahterakan rakyat, dan untuk memajukan perkembangan dan pembangunan desa. tntu saja hal ini harus didukung oleh pemerintah daerah dan masyarakat itu sendiri agar UU desa dapat secara efektif memajukan desa, memajukan mobilitas desa, berkembangnya intelektual, sarana prasarana dalam pendidikan kesehatan dsb.
Nama : Marieta Elsa
NIM :A1011141153
Kelas : C Reguler A
Dosen : Turiman SH,M.Hum
Sudah saatnya Desa diberi kewenangan lebih dalam mengurus rumah tangganya sendiri, tentunya dengan memperhatikan segala potensi yang belum dimaksmalkan oleh masing - masing daerah tersebut.
Kewenangan yang diberikan kepada Desa dalam mengurus rumah tangganya sendiri, merupakan langkah awal dalam pembentukan karakter,kepribadian dan menggali kreatifitas yang masih terpendam karena selama ini yang kita amati, banyaknya potensi - potensi yang dimiliki belum tergali sepenuhnya, hal ini dikarenakan kurangnya dukungan dan anggaran yang dimiliki oleh setiap desa.
Kewenangan yang diberikan kepada desa tentunya harus disertai dengan pengawasan yang cukup ketat, jangan sampai kewenangan yang diberikan malah disalah gunakan oleh pemangku kepentingan. Sebagai contoh banyaknya kewenangan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang kita kenal dengan Otonomi Daerah, sehingga bermunculan raja - raja kecil disetiap daerah kabupaten / kota, yang mana kewenangan yang diberikan untuk mengelola semua potensi yang ada ddaerahnya masing - masih hanya dipergunakan untuk memperkaya diri dan kolega - koleganya.
Hal ini merupakan tantangan besar bagi kita semua dalam mengawal dan mengawasi semua kebijakan - kebijakan dalam pembangunan daerah, karena kita tidak bisa menutup mata seandainya potensi yang ada dapat dimaksimalkan berapa banyak keanekaragaman dan kekayaan daerah untuk kemakmuran masyarakat.
Posting Komentar