Membaca Cerdas dibalik Kewajiban
Melakukan Pengolahan dan Pemurnian Hasil Penambangan Di Dalam negeri
(SIAPA YANG DIUNTUNGKAN?)
Oleh;Turiman Fachturahman Nur
Aturan mengenai kewajiban agar perusahaan-perusahaan tambang wajib mengolah dan memurnikan biji mineral di dalam negeri sudah sangat jelas dalam UU No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
Pasal 103 UU yang diteken Presiden
Susolo Bambang Yudhoyono pada 12 Januari 2009 itu menegaskan : "Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan
Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) operasi produksi wajib melakukan
pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri."
Di bagian penjelasannya disebutkan :
"Kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam mengeri
dimaksudkan, antara lain, untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang
dari produk, tersedianya bahan baku
industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara."
Jika kita membaca penjelasan Pasal 103
UU No 4 Tahun 2009 memberikan harapan, namun apakah harapan perancang
undang-undang dan pelaksanan undang-undang dalam hal ini pemerintah memenuhi
harapan tersebut, dan kapan Pasal 103 UU No
4 Tahun 2009 dieksekusi.
UU ini memberikan tenggat waktu sampai
12 Januari 2014 kepada para penambang untuk menjalankan kewajiban ini. Pertanyaannya
sudah siapkah perusahaan-perusahaan tambang di Indonesia mengimplementasikan
amanat mulia ini? Sejauh ini mayoritas perusahaan-perusahaan tambang baru
merencanakan pembangunan smelter. Ada juga yang sudah dalam tahap konstruksi.
Tapi yang pasti, smelter mereka belum bisa beroperasi penuh pada tahun 2014.
Pemerintah untuk melaksanakan Pasal
103 UU Nomor 4 Tahun 2009 dikeluarkan Peraturan Menteri ESDM No 7 tahun 2012
tentang peningkatan nilai tambah mineral. Ada beberapa alasan dikeluarkan
permen ini, yakni:
Pertama, UU
No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara mengamanatkan agar ada komoditas
pertambangan wajib diolah di dalam negeri sebelum diekspor. UU ini memberikan
pengecualian kepada perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) untuk menjalankan kewajiban tersebut
paling labat tahun 2014 nanti.
Sedangkan
untuk perusahaan pemegang IUP operasi produksi dan Izin Pertambangan Rakyat
wajib menjalankan kewajiban tersebut sejak diterbitkan UU ini. Namun, meski
sudah sekitar empat tahun (tahun 2013 lalu) UU Minerba berlaku, tetapi kegiatan
pengolahan dan permuniran di dalam negeri belum menunjukan peningkatan
signifikan, malah sebaliknya kegiatan ekspor bahan mentah (raw material)
pertambangan mineral terus menunjukan peningkatan.
Data Direktorat Jenderal Mineral dan
Batubara mengungkapkan ada sejumlah komoditas mineral yang saat ini sama sekali
belum memiliki smleter di dalam negeri sehingga sebagian besar produksinya
diekspor. Misalnya, biji nikel. Tahun 2011 lalu total produksinya mencapai 32,9
juta ton. Dari jumlah tersebut yang diekspor mencapai 32,6 juta ton.
Demikian juga bauksit. Produksi
tahun 2011 mencapai 40,7 juta ton. Dari jumlah tersebut total ekspor mencapai
39,7 juta ton sedang yang diolah di dalam negeri hanya 0,03 juta ton.
Alasanya kedua, karena sejak tahun
2009, ada tren produksi mineral dilakukan secara masif. Mangan misalnya,
produksinya meningkat delapan kali lipat sejak 2008, tembaga bahkan 11 kali
lipat dari 2008 ke tahun 2011.
Tetapi terbitnya Permen No 7 Tahun
2012 ini memicu penolakan dari sejumlah perusahaan tambang yang tergabung dalam
asosiasi perusahaan tambang mineral. Pemerintah pun ciut nyalinya. Maka belum
sempat diterapkan, Permen No 7 tahun 2012 itu pun direvisi lagi dengan Permen
No 11 tahun 2012. Isinya, pemegang IUP operasi produksi masih boleh melalukan
ekspor mineral dengan sejumlah catatan yaitu:
Pertama
menandatangai pakta integritas untuk mengembangkan hilirisasi melaui
pembangunan smelter dalam rangka peningkatan nilai tambah.
Kedua,
ada kewajiban-kewajiban untuk menjaga lingkungan dan hal-hal yang berkaitan dengan
tata niaga.
Ketiga, IUP
dari perusahaan-perusahaan tambang harus sudah dinyatakan clear and clean
(CNC).
Apabila
semua persyaratan terpenuhi, perusahaan tambang mineral tetap boleh melakukan
ekspor sampai tahun 2014 asal membayar bea keluar.
Tahun 2013, karena alasan kinerja ekspor
Indonesia melemah, pemerintah lantas merelaksasi ekspor mineral yang sudah
diketatkan sejak 2012 lalu.
. Mulai
tanggal, 12 Januari 2014, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara
diberlakukan. Ini artinya, mulai hari ini, perusahaan tambang berkewajiban
melakukan hilirisasi minerba dan dilarang mengekspor bahan mineral mentah (ore). Selain itu, perusahaan
tambang juga wajib membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri. Namun jangan senang dulu. Sebab, di
balik pengesahan itu, pemerintah juga menerbitkan dua aturan baru, yakni
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1/2014 tentang Perubahan Kedua PP Nomor 23/2010
tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Permen Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1/2014 tentang Perubahan Ketiga Permen
ESDM Nomor 7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan
Pengolahan dan Pemurnian Mineral.
PP Nomor 1 Tahun 2014 dan Permen
ESDM Nomor 1 Tahun 2014 ini akan menjadi payung hukum pelaksanaan kewajiban
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Sayangnya, Menteri ESDM Jero Wacik
belum mau mengungkapkan berapa persen kadar minimum pengolahan dan pemurnian
bahan mineral mentah yang boleh diekspor.
Sejumlah kalangan menduga, rincian persentase
kadar minimum sengaja disembunyikan pemerintah. Tujuannya, agar tidak
menimbulkan perlawanan keras dari para penggiat pencinta tambang nasional.
Betul, masalah inilah yang kerap mengundang pro dan kontra tajam. Namun, dari
berbagai pemberitaan sebelumnya, konsentrat tembaga yang boleh diekspor harus
memiliki kadar Cu minimal 15%. Padahal, sebelum Permen ESDM No 20 Tahun 2013
direvisi, konsentrat tembaga yang boleh diekspor harus memiliki kadar minimal
Cu 99,9%.
Dengan penurunan ini, PT Freeport
Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, dan pemegang IUP lolos dari larangan
ekspor. Sebab, Freeport dan Newmont hingga kini baru dapat memproduksi
konsentrat tembaga dengan kadar 20% sampai 30%.
Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 yang intinya melarang
ekspor mineral mentah mulai 12 Januari 2014. Imbas dari pelarangan ini
tampaknya perlu diantisipasi sejak dini.
Bahkan, Direktur Eksekutif Indonesia Mining and Energy Studies
(IMES) Erwin Usman menilai kebijakan pelarangan ekspor bijih mineral merupakan
bom waktu bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Berdasarkan
PP tersebut, kata dia, terdapat enam bijih mineral yang akan dilarang ekspor,
yaitu emas, tembaga, bauksit, nikel, bijih besi, dan batu bara. Penambang yang
bisa ekspor harus terlebih dahulu membangun pabrik pengolahan dan pemurnian
(smelter) dalam negeri.Berapa kadar pengolahan dan pemurnian yang diwajibkan
untuk masing-masing bijih mineral, Pemerintah menyatakan akan diatur dalam
Peraturan Menteri ESDM. Demikian pula, terkait bea ekspor dan kuota akan diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan.
Lembaga Kajian
Strategis Pertambangan dan Energi (Indonesia Mining and Energy Studies/IMES)
memandang pemberlakuan kebijakan pelarangan ekspor bijih mineral itu akan
membawa dampak pada tiga hal, yakni pertama, ribuan perusahaan pertambangan
tutup akibat tidak ada produksi/ekspor.
Sebagai catatan,
berdasarkan data ESDM, hingga 2013 terdapat 10.600 izin usaha pertambangan
(IUP). Tutupnya penambang ini membawa dampak pemutusan hubungan kerja (PHK)
massal terhadap pekerjanya.
Dampak ikutan
lainnya adalah usaha kecil menengah penyokong sektor pertambangan ini, seperti
warung-warung, indekos, transportasi darat dan laut pendukung, koperasi rakyat
penyuplai bahan makanan dan logistik tentu akan ikut terkena dampak. Rakyat di wilayah pertambangan---yang umumnya berada di
wilayah terpencil dan sulit akses infrastruktur--menjadi yang paling terpukul
secara ekonomi dan sosial atas kebijakan tersebut.
Kehidupan satu juta buruh tambang
(termasuk keluarganya) dan ribuan sektor ikutan yang kehilangan mata
pencaharian utama, dan belum tentu segera dapat pekerjaan pengganti, tampaknya
luput dari perhatian Pemerintah.
Pemerintah yang selama ini, menurut
IMES, telah gagal menyiapkan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, bisa dengan
mudah berkata-kata. Akan tetapi, warga yang susah payah menopang kehidupan
keluarganya di akar rumput, yang paling merasakan kondisi riil. Pengganguran
(layoff) akibat PHK massal bukan masalah sosial yang sepele.
Keadaan ini
juga rentan dengan meningkatnya tindakan kriminalitas akibat frustasi warga di
lapangan. Ancaman buruh tambang untuk aksi ke Jakarta menduduki istana dan
lakukan pemogokan nasional di wilayah pertambangan patut diperhatikan serius.
Imbas kedua
terkait dengan pelarangan ekspor bijih mineral, yakni negara kehilangan
pendapatan sebesar Rp12 triliun--Rp13 triliun yang terdiri atas pendapatan
pajak sebesar Rp5 triliun--Rp6 triliun dan bea keluar sebesar Rp6 triliun--Rp7
triliun per tahun.
Walaupun
Dirjen Pajak Fuad Rahmany menyatakan jumlah itu tidak siginifikan memengaruhi
ekonomi nasional, menurut Erwin Usman, di tengah kondisi ekonomi Indonesia saat
ini yang belum stabil, potensi "lost income" tersebut cukup
berpengaruh pada neraca perdagangan. "Di
tengah seruan Pemerintah untuk menggalakkan ekspor, untuk meningkatkan neraca
perdagangan, kebijakan pelarangan ekspor ini terasa ganjil,"
Sebagai
catatan, kata Erwin Usman, rata-rata sumbangan pertambangan umum bagi devisa
negara pada periode (2005--2012) Rp70 triliun per tahun. Angka ini menjadi
kecil dibanding sektor migas (Rp225,71 triliun). Salah satu penyebabnya karena
tidak efektifnya pengawasan sektor pertambangan ini, di samping terjadinya
praktik korupsi.
"Ingat,
KPK pernah menyatakan, pada tahun 2013, bahwa dari sektor pertambangan umum,
negara (seharusnya) bisa mendapatkan pendapatan Rp7.000 tiliun per tahun,"
kata Erwin Usman.
Ketidakadilan
Imbas ketiga, situasi akan menjadi tidak adil jika
kebijakan pelarangan ekspor ini hanya berlaku bagi perusahaan nasional
(pemegang IUP), sementara pertambangan raksasa pemegang kontrak karya (KK),
seperti Freeport, Newmont, dan Vale-INCO, tetap dapat melakukan ekspor dengan
sejumlah kebijakan, di antaranya kadar pengolahan dan pemurnian bijih mineral,
dapat ditoleransi tidak 100 persen di dalam negeri. Ini yang nantinya akan
diatur lebih lanjut dalam Permen ESDM (revisi Permen Nomor 20 Tahun 2013).
Pengusaha
tambang yang tergabung dalam Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) mendukung
keputusan pemerintah yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Peningkatan Nilai Tambah Mineral. "ATEI menilai keputusan pemerintah
dengan menerbitkan PP No. 1/2014 dan Peraturan Menteri ESDM No. 1/2014 tentang
peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian sudah
tepat," kata Ketua ATEI Natsir Mansyur di Jakarta, Senin (13/1).Menurut
Natsir, kebijakan itu dinilai sudah tepat karena telah mengakomodasi semua
kepentingan, baik pemerintah pusat maupun daerah.Selain itu, lanjut dia,
kepentingan lainnya yang telah diakomodasi adalah pengusaha pemegang izin usaha
pertambangan (IUP) serta kontrak karya (KK) untuk mineral
tembaga."Keputusan pemerintah ini tepat, ekspor hasil olahan konsentrat
tembaga 15 persen tetap berjalan," katanya. Ia juga berpendapat bahwa
kebijakan pemerintah tersebut juga bakal menghindarkan terjadinya PHK
besar-besaran sehingga ekonomi daerah tetap bergerak dan tujuan program
hilirisasi minerba juga tetap berjalan. Natsir mengatakan bahwa, khusus
penetapan bea keluar (BK), pihaknya meminta Kementerian Keuangan untuk
membahasnya bersama-sama dengan Kadin, ATEI, dan Asosiasi Mining Indonesia
(AMI) karena ada pertimbangan teknis dalam penetapannya. "Kami berharap
Kemenkeu tidak sepihak menetapkan BK. Semangat PP No. 1/2014 dan Permen ESDM
No. 1/2014 sudah tepat mengajak pelaku dunia usaha dalam penetapannya,"
ujarnya. Sebelumnya, ATEI menyatakan bahwa kebijakan hilirisasi mineral yang
akan dilaksanakan awal 2014 merupakan hal bagus, tetapi pengusaha tambang
membutuhkan waktu lama untuk membangun "smelter". "Pengusaha
tambang tembaga mendukung kebijakan program hilirisasi mineral. Namun,
membutuhkan waktu empat tahun untuk pembangunan smelter," kata Natsir
Mansyur.
Pertanyaannya siapa yang diuntungkan
dengan kebijakan ini ? Patut diketahui, bahwa “Peraturan Pemerintah No.1 tahun
2014 tentang Perubahan Kedua AtasPeraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara”yang memuat
substansi klausul intensifikasi UU No. 4 tahun 2009 tentang PertambanganMineral
dan Batubara untuk mencegah dampak pengimplementasi negatif sekaligus
mendukungpenerapan secara holistik UU Minerba. Peraturan Pemerintah ini
terlihat kurangbermakna. Pasalnya produk turunan sebagai payung hukum dalam
komitmenhilirisasi usaha eksplorasi Tambang Mineral dan Batu Bara harus
kembaliberpihak pada Asing, sebab tidak semua perusahan harus menerima
konsekuensiyang sama sebagai implementasi PP ini.
Beberapa detail dalam PP tersebut
menyatakan memperbolehkan ekspor bentuk konsentrat,seperti komoditas tembaga,
selama telah diolah hingga kadar Cu 15%, walhasil PT Newmont Nusa Tenggara dan
PT Freeport Indonesia yang mayoritas produknya berupakonsentrat dalam kadar 30%
aman dari larangan ekspor tersebut. Semestinya jika ingin lebih ketat dalam aturan ini harus juga
membedakan pengolahan berdasarkankategori dan pemurnian setiap komoditas
tambang. Sungguh menjadi sebuah tandatanya besar, syarat yang dijadikan
landasan penetapan keputusan yakni besarankadar konsentrat pengolahan baru akan
direncanakan penetapannya dalam PermenESDM mendatang setelah diketuk dahulu
Peraturan Pemerintah ini. Hal inimemungkinkan berdampak terjadinya kompromitas
policy dalam substansi Permen ESDM yang notabene seharusnyamemperjelas pada
kemaslahatan rakyat, namun hal ini justru terhadang oleh tingkattata
perundangan yang lebih tinggi karena criteria mandul yang telah
disepakatisebelumnya.
Pemerintah seharusnya adil dan tidak
memberi perlakuan khusus terhadap perusahaanpertambangan skala besar pemegang
kontrak karya! Jika mau dipakai prinsipegaliter dan moderat, seharusnya
peraturan khusus ini juga mengatur soal IzinUsaha Pertambangan (IUP/IUPR) bagi
pengusaha Nasional yang baru-baru ini tumbuhsekitar 3-6 tahun belakangan, untuk
melakukan ekspor dengan beberapa syaratyang disepakati dan sebanding (termasuk
komitmen hilirisasi dengan membangun Smelter). Hal ini dimaksudkan agar usaha
kecil hingga menengah di sektorpertambangan yang modalnya tidak sebesar
perusahaan pemegang Kontrak Karya danPKP2B dapat tumbuh dan bersaing dari segi ekonomi.
Selainitu, dengan berbagai tekanan
dan kepentingan asing di dalamnya, baikdikarenakan kekhawatiran akan melemahnya
perekonomian sektor tambang Indonesia danjuga karena ancaman PHK yang
didengungkan oleh perusahaan asing, pemerintahmulai untuk mencarikan jalan dan
kemudian memanipulasi tafsir/substansi dari UUMinerba tersebut, beberapa PP dan
Permen yang telah ditindak revisi (manipulatif),yakni Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2012 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral (Permen ESDM)Nomor 20 Tahun 2013 tentang Peningkatan Nilai Tambah
Pertambangan Mineral.
Jika dianalogikan, kita ini buntung!
Kita lari pada kompetisi dan jenis pertandingan yang sama, namun kaki tangan
kita diikat sedemikian hingga potensi yang seharunya maksimal, seolah
sia-sia.Semenjak Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 diketuk, telah digadangkan
bahwa setiap perusahaan harus merancang Smelter (alat pemurnian) sebagai salah
satu kompensasi manfaat ekonomi bagi daerah atau masyarakat sekitar perusahaan.
Namun ternyata niat baik tersebut bersambutpepesan kosong hingga saat ini,
bukannya dirancang mulai ditetapkan pertama kali saat ditetapkan UU Minerba,
ternyata baru dimulai pasca Penetapan PP dan tidak semua perusahaan akan
membangun. Kekhawatiran pada PP ini juga tentu beralasan seiring komparasi pada
UU Minerba yang merupakan tata perundanganyang lebih tinggi, yang juga telah
beberapa kali menelurkan Permen-permen dalam menjelaskan substansinya.
Untuk membaca secara cerdas kebijakan
Pelaksanaan Pasal 103 jo pasal 170 simak siaran Pers berikut ini:
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
REPUBLIK INDONESIA SIARAN PERS NOMOR: 03/PUSKOM KESDM/2014 Tanggal: 13 Januari 2014 PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN MINERAL DI DALAM NEGERI |
|
3 komentar:
Saya sependapat dengan pernyataan di atas. Menurut saya, PP yang dikeluarkan tersebut sudah benar karena jika dilihat dengan baik, maksud dari PP tersebut adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan kemakmuran bangsa Indonesia, pertama yaitu untuk menambah value dari mineral yang kita miliki, kedua ialeah untuk penyerapan tenaga kerja sehingga akan mengurangi angka pengangguran dan menambah kesejahteraan rakyat, sehingga secara global hal tersebut akan mengangkat martabat bangsa Indonesia di mata dunia.
Secara logika apabila PP tersebut benar-benar diterapkan, waktu yang diberikan untuk perealisasian PP tersebut adalah relatif cukup, hanya saja dapat kita lihat bahwa selama ini Indonesia masih diselubungi oleh istilah "lepas kepala tarik ekor" dan "tebang pilih", sehingga terkesan seolah-olah segalanya belum siap.
Seharusnya pemerintah harus sudah berani untuk mengambil sikap dan memberi sanksi tegas kepada seluruh perusahaan yang tidak menaati PP tersebut tanpa pandang bulu agar PP tersebut dapat terealisasi dengan baik dan benar untuk mencapai kesejahteraan yang dimaksudkan.
Nama : Bayu Mulfindera
NIM : A1012131128
Mata Kuliah: Ilmu Negara
Semester: 1/Kelas C. (Reg. B)
Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia.
Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, walaupun telah banyak hasil pertambangan yang telah keluar dari daerah Kalimantan barat, satu hari saja bisa belasan tongkang(puluhan bahkan ratusan ton bauksit per tongkang) yang bermuatan bauksit dari daerah tayan untuk dimuat ke kapal berbendera RRC yang labuh di muara sungai kapuas, bobot muatan kapal tersebut bisa mencapai 16 tongkang, sesuai artikel diatas siapa yang diuntungkan??? Dan yang jelas kita yang dirugikan khususnya masyarakat didaerah pertambangan, daerah tempat mereka rusak, tetapi pabrik pengolahan yang pernah dijanjikan tak kunjung dibangun hingga PP terbaru keluar..wassalam
Nama : Danella Zulkarnain
NIM : A1011131190
Kelas : C (Reguler A)
Mata Kuliah : Ilmu Negara
Semester : 1
Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura
Menurut saya, sebenarnya pengeluaran UU yang mengatur mengenai kewajiban agar perusahaan-perusahaan tambang melakukan pengolahan dan pemurnian biji mineral di dalam negeri wajib ditinjau ulang. Mengingat dengan banyaknya hal yang belum dapat menjadi penunjang terhadap UU itu sendiri. Bisa kita ketahui sendiri, tidak semua perusahaan tambang yang ada di Indonesia merupakan perusahaan besar, yang memiliki nilai pemasukan yang cukup besar untuk dapat membangun pabrik smelter sendiri.
Sebenarnya, larangan untuk mengekspor mineral mentah itu sangat tepat namun negara ini masih balum siap untuk menerapkan seutuhnya larangan tersebut. Seharusnya, sebelum penerapan larangan ekspor mineral mentah, Pemerintah RI terlebih dahulu menyiapkan fasilitas smelting di dalam negeri .
Dari yang terlihat diberbagai media bahwa sebenarnya untuk melakukan smelter di negeri sendiri kita haruslah didukung dengan keberadaan smelter dengan kapasita yang memadai , apabila tidak maka dapat dipastikan akan terjadi pengurangan produksi. Bahkan masih banyak dampak lain yang bias membuntuti masalah ini.
Serta satu hal mendasar lainnya yang patut menjadi pertimbangan terhadap UU tersebut yaitu mengenai SDM kita sendiri, memang banyak putra putri bangsa ini yang dapat menguasai berbagai disiplin ilmu mengenai pertambangan, namun perlu ditinjau kembali dari segi skill dan profesionalisme yang sangat membutuhkan pengalaman dalam hal tersebut.
Posting Komentar