MEMAHAMI
HAKEKAT PLURALITAS HUKUM BERDASARKAN KONSEP WERNER MENSKI
Oleh: Turiman
Abstrak
Kita
masih sibuk untuk mencari paradigma hukum yang tepat untuk memahami
sinergisitas antara konsep kepastian hukum, konsep keadilan dan konsep
kemanfaatan hukum dalam berbagai mazhab hukum. Oleh karena itu, dalam beberapa
hal, keseluruhan teori hukum menghadapi keadaan sulit jika para penstudi hukum
tidak keluar dari kotak hitamnya atau out
of the box keilmuan hukum, tidak mau membuka diri untuk memahami
sinergisitas antar kajian yang multi disiplin dan multi metode serta
keanekaragaman pendekatan untuk melihat dimensi hukum dari dimensi manapun dari
disiplin keilmuan lain, bagaikan batu mutiara yang bersegi, terserah dari mana kita
akan melihatnya, mereka hanya yakin, bahwa hukum akhirnya hanya dipahami
subtansinya yang berisi hak dan kewajiban plus sanksi ketika melanggarnya dan
kajian hanya “terjebak” pada teks, tetapi maju satu langkah lagi pada konteks
dan kontektualisasi.Yang kemunculan barangkali menjelang abad 21 sebagian besar
dengan tajam dari ilmu hukum Islam, dimana konsep kunci dari ikhtilaf, adalah menoleransi
keanekaragaman dan mengakui kemungkinan kesalahan yang dihasilkan sifat
manusia, didalam tradisi Ilmu Hukum Islam, pengakuan tentang pluralitas sangat
tampak, karena tidak ada seorangpun yang mempunyai hak istimewa untuk menjadi
penafsir tunggal. Sebagai contoh dikenal mazhab dalam hukum Islam (Maliki,
Syafeii, Hambalii dan lainnya). Hal ini memberikan pemahaman bahwa pluralisme
hukum bukan hanya mengenai beraneka ragamnya hukum positif yang ada baik antar
bangsa maupun dalam satu negara tertentu, tetapi juga plurarlisme mengenai
prilaku hukum dari masing-masing individu atau kelompok yang ada di setiap
bangsa dan masyarakat di dunia ini. Dan tentu saja sangat tidak realitis,
ketika sistem hukum, sistem peradilan dan hukum positif yang sangat plural atau
beraneka ragam itu, hanya dikaji dengan menggunakan salah satu jenis pendekatan
hukum secara sempit saja, misalnya hanya menggunakan pendekatan
positivis-normatif belaka, atau hanya menggunakan pendekatan empiris saja, atau
pendekatan moral belaka. Tak ada metode yang lebih relevan untuk menghadapi
berbagai isu hukum di era globalisasi dunia dewasa ini, kecuali dengan
penggunaan secara proposional secara serentak ketiga pendekatan hukum,
normatif,empiris, dan filosofis, dan
itulah yang dikenal sebagai Triangular concept of legal pluralism dari
konsep hukum Werner Menski, 2006. Pertanyaan bagaimana dengan pluralitas hukum yang khas Keindonesian?, penulis mengajukan model dengan mengacu pada
pembacaan Pancasila dengan konsep pembacaan melingkar dengan gerak yang
berlawanan dengan arah jarum jam atau
gerakan “berthawaf” berdasarkan semiotika pada perisai Pancasila dalam lambang
negara Republik Indonesia adalah selaras dengan analisis sejarah hukum dan
analisis semiotika hukum yang kemudian oleh peneliti disebut sebagai konsep
semiotika hukum pembacaan Pancasila berdasarkan lambang negara Republik
Indonesia sebagai hasil rancangan yang dibuat oleh Sultan Hamid II. Atau kita bisa disebut Filosofis Pancasila
“berthawaf” Semiotika hukum Lambang
Negara Indonesia yang berbentuk Elang Rajawali-Garuda Pancasila dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika, adalah satu kajian Pancasila sebagai cita hukum. Kajian
Pancasila secara ilmiah ada dua dimensi yang perlu diperhatikan didalam mengembangkan
pendekatan ilmiah mengenai Pancasila: pertama,
mengembangkan suatu teori ilmiah untuk mempelajari Pancasila; kedua,mengembangkan teori-teori ilmiah
dengan Pancasila sebagai landasannya.
Kata
Kunci:
Pluralitas Hukum, Konsep Hukum Werner
Menski, Filosofis Pancasila “Berthawaf.
I.Menelusuri
Pemahaman Mazhab Hukum Dalam Teori Hukum
Untuk
memahami konsep hakekat hukum dalam judul di atas ada 10 pertanyaan yang perlu
dijawab oleh para penstudi hukum sebagai berikut:
1.Apakah
Ilmu Hukum ?
Secara umum , ilmu
hukum dapat dibedakan ke dalam tiga klasifikasi (Achmad Ali, 1999:3), yaitu:
1.
Beggriffenwissenschaft, ilmu tentang asas-asas yang
fundamental di bidang hukum. Termasuk didalamnya mata kuliah Pengantar Ilmu
Hukum,Filsafat Hukum, Logika Hukum, dan Teori Hukum.
2.
Normwissenschaft, ilmu tentang norma. Termasuk di
dalamnya sebagian besar mata kuliah yang diajarkan di fakultas-fakultas hukum
di Indonesia, termasuk Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Perdata, Hukum
Internasional, dan lain-lain.
3. Tatsachenwissenschaft, ilmu tentang kenyataan,
Termasuk di dalamnya Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum, Hukum
dan Politik, Semiotika Hukum, dan lain-lain.
2.Bagaimana
Pendekatan Filsafat moralitas dalam ilmu hukum ?
Mengenai filsafat moralitas dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Ius
constitutum, mengkaji secara normatif, aturan-aturan, dan asas-asas hukum yang
ada dalam berbagai perundang-undangan. Objek ada “law in books”
2.
Ius
constituendum, merupakan kajian tentang hal-hal yang ideal dalam hukum. Lazim
dinamakan filsafat hukum, Objeknya adalah “law in idea”.
3.
Ius
operatum, merupakan kajian empiris terhadap, yang berfokus pada bagaimana hukum
bekerja didalam kenyataannya. Objeknya adalah “law in action”
3.
Bagaimana pengunaan berbagai istilah/terminologi dalam literatur ilmu hukum ?
Banyak kalangan penstudi hukum menemukan
berbagai istilah dalam literatur hukum, seperti law, laws, a law, the law, dan
legal. Dalam berbagai kamus dan literatur kita dapat mengetahui perbedaan makna
dari istilah-istilah itu (lihat L.B
Curzon, 1979 : 23-24 dan Prof Achmad
Ali, Menguak tabir Hukum, 1996: 19-20).
1. Perkataan “ a law” pada umumnya digunakan untuk menunjukkan suatu peraturan
khusus atau undang-undang lainnya , sebagai contoh , The Theft Act 1978 adalah
undang-undang dalam arti a law yang berhubungan dengan perbuatan curang.
2. Perkataan “the law” pada umumnya digunakan untuk menunjukkan pada “the law of
land” (hukum tanah), yaitu tubuh dari undang-undang, peraturan-peraturan lain,
putusan-putusan pengadilan, dan lain-lain, plus asas-asas hukum, plus filsafat
umum tentang masyarakat di dalam hubungannya dengan persoalan-persoalan hukum,
sebagai contoih penggunaan: “dibawah penggunaan hukum dinegeri ini dia tak
dapat dihukum” (under the law of this land he ought not to be panished), atau
“semua orang sama dihadapan hukum (all man are equalbefore the law).
3. Perkataan “law” digunakan tanpa suatu “article” (kata depan) adalah juga
digunakan sebagai abstrak, istilah konseptual di dalam konteks yang menunjukkan
pada filsafat hukum. Contoh: “Hukum adalah ekspresi dari keinginan rakyat” (law
is the expression of people’s will).
4. Perkataan “laws” pada umumnya digunakan untuk menunjukkan undang-undang dan
peraturan-peratuaran sejenis serta aturan-aturan. Sebagai contoh: The Law relating to bankruptcy include the
Bankcruptcy Act, 1974 (Peraturan tentang Keadaan Pailit, 1974), The
insolvenny Act 1976 (Peraturan Tentang Keadaan Pailit, 1976).
5. Perkataan “droit” lebih menimbulkan keraguan daripada istilah Inggris “law”.
Dalam artinya yang luas dan obyektif, le droit berarti aturan-aturan hukum
secara total dan kita juga sering menjumpai istilah droit objektif (atau hukum
alam) sebagai lawan dari aturan-aturan hukum positif yang khusus.
6. Kata sifat “legal” merupakan akar yang langsung dari bahasa latin ,”legalis”,
yang didasarkan pada kata lex yang berarti hukum. Legal juga sering diartikan:
“menurut undang-undang”.
7. “Lex”, dari bahasa latin, berarti hukum, undang-undang, juga
menunjukkan perubahan dari suatu undang-undang. Dalam bentuk abstrak disebut
juga “lege”, hukum. Lex juga digunakan untuk istilah-istilah tertentu, seperti:
Lex commisioria: syarat batal suatu perjanjian jika salah satu pihak tidak
memenuhi prestasinya, maka dipandang batal demi hukum; Lex fori, hukum yang
berlaku, adalah hukum ditempat gugatan dimasukan dan diterima.
8. “Jure”, berarti menurut hukum.
Contohnya: jure humano, berarti menurut hukum manusia.
9. “Juris”, juga beratti hukum. Presumptio
Juria: Dugaan hukum.
10. “Jus” atau “Ius”, juga berati hukum, tetapi sedering juga berarti hak .
Contohnya: jus avocandi: hak untuk memanggil kembali.
4.Apa
pengertian hukum ?
Oxford English Dictionary:
Law is the body of rules, whether
formally enacted or customary, which a state or community recogniz as binding
on its members or subjects. (Hukum adalah kumpulan aturan,
perundang-undangan atau hukum kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat
mengakuinya sebagai suatu yang mempunyai kekuatan mengikat terhadap warganya).
Web New International Dictionary:
Hukum
adalah suatu aturan atau cara bertingkah laku atau bertindak yang ditentukan
atau diakui secara formal sebagai suatu yang mengikat melalui suatu
pengendalian oleh otoritas tertinggi atau yang diwajibkan oleh suatu sanksi,
diakui, atau dilaksanakan melalui pengawasan otoritas; keseluruhan kumpulan
kebiasaan-kebiasaan, praktik atau aturan-aturan yang merupakan aturan organik,
yang ditentukan sifat-sifat dan kondisinya oleh eksistensi suatu negara atau organisasi
masyarakat lainnya.
5.Bagaimana
pemahaman Mazhab Hukum alam ?
Pokok-Pokok Pikiran
hukum alam, ketika pemahaman hukum tentang apa yang dimaksud sebagai hukum
adalah:
1.Hukum itu tidak dibuat oleh
manusia atau negara, tetapi ditetapkan oleh alam.
2.Hukum itu bersifat universal
3.hukum berlaku abadi
4. Hukum tidak dapat dipisahkan
dari moral
Di era modern saat ini, kembali
pemikiran-pemikiran hukum alam diminati dan dijadikan acuan. Antara lain
pemikiran-pemikiran dari kaum “the critical legal studies movement”
Amerika Serikat, yang menentang keterpisahkan hukum dari akar-akar moralitas
dan religiusnya. Namun demikian, untuk penggunaan ajaran hukum alam di abad ke
21 ini, terlebih dahulu kita membedakan antara hukum alam sebagai subtansi dan
hukum alam sebagai metode.
a.
Hukum alam sebagai metode , yaitu usaha untuk menciptakan
aturan-aturan yang mampu untuk menghadapi keadaan yang berbeda-beda. Ia tidak
mengandung kaidah, tetapi ia hanya mengajarkan bagaimana membuat aturan yang
baik. Hukum alam sebagai metode merupakan ciri hukum alam sebelum abad ke 17.
b.
Hukum alam sebagai subtansi, yaitu hukum alam yang memuat
kaidah-kaidah. Ia menciptakan sejumlah besar aturan-aturan yang dilahirkan dan
beberapa asas yang absolut sifatnya, yang lazim dikenal sebagai “hak azazi
manusia”. Hukum alam sebagai subtansi merupakan ciri hukum alam abad ke 17 dan ke 18.
Rudolf Stamler, seorang filsuf Jerman yang
mengikuti ajaran Emanuel Kant, mencetus pikiran-pikirannya yang menurut saya
“bersifat menengahi” antara hukum alam dan positivistis. Menurut Stamler, harus
dibedakan antar “ the concept of law
dengan “the idea of law” .Bagi
Stamler, the comcept of law tidak
lebih dari suatu definisi formal belaka, sedangkan the idea of law merupakan
realisasi keadilan.
Selanjutnya pokok-pokok pikiran Stamler sebagai berikut:
a.
Semua
hukum positif merupakan usaha menuju hukum yang adil
b.
Hukum
alam berusaha membuat suatu metode rasional yang dapat digunakan untuk
menentukan kebenaran yang relatif dari hukum pada setiap situasi.
c.
Metode
itu diharapkan menjadi pemandu jika hukum itu gagal dalam ujian dan membawanya
lebih dekat pada tujuannya.
d.
Hukum
adalah suatu struktur yang demikian itu, kita harus mengabtrasikan
tujuan-tujuan tersebut dari kehidupan sosial yang nyata. Kita harus menemukan
asalnya dan bertanya diri kita sendiri, apakah merupakan hal pokok yang harus
kita lakukan untuk memahaminya sebagai suatu sistem tujuan yang harmonis dan
teratur.
e.
Dengan bantuan analisis yang logis, kita akan
menemukan asas-asas penyusunan hukum (juridical
organization) tertentu yang mutlak sah, yang akan membantu kita dengan
aman, dalam memberikan penilaian tentang tujuan manakah yang layak untuk
memperoleh pengakuan oleh hukum dan bagaimanakah tujuan itu berhubungan satu
sama lain secara hukum (jurally related).
6.
Bagaimana pemahaman Mazhab Legal Positivisme (Positivisme Hukum) ?
Positivisme hukum dikenal sebagai
teori hukum yang menganggap bahwa pemisahan antara hukum dan moral, merupakan
hal yang amat terpenting.
Roger
A Sinner, dalam Deniss Paterson, 1999, menyatakan,
bahwa positivisme membedakan secara tegas “apa yang membuat suatu norma menjadi
eksis sebagai standar hukum yang valid” dan apa yang membuat suatu norma
menjadi eksis sebagai suatu standar moral yang valid”
John
Austin
(1790-1859) ditempatkan sebagai “the founding father of legal positivis” yang
menyatakan, bahwa hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung maupun tidak
langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan
masyarakat politik yang independen dimana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan
otoritas tertinggi.
Hans
Kelsen
mengemukan: Hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap prilaku manusia. Hukum
adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.
Jadi bagi kaum positivisme hukum
dipahami sebagai berikut:
a.
Hukum
adalah seperangkat perintah.
b.
Yang
dibuat oleh penguasa tertinggi (negara)
c.
Ditujukan
kepada warga masayarakat
d.
Hukum
berlaku lokal (dalam yudiksi negara pembuatnya).
e.
Hukum
harus dipisahkan dari moralitas.
f.
Selalu
tersedia sanksi eksternal bagi pelanggar hukum.
Komentar Charles Sampord (1989),bahwa positivisme hukum menyiapkan suatu
titik tolak alami untuk membahas teori-teori sistem hukum. Orang-orang
menamakan diri sebagai kaum positivistis tidak hanya menggunakan istilah secara
lebih bebas (liberal) ketimbang teoretisi lain, tetapi sebagian besar kalangan
positivis, menganggap bahwa karakteristik sistimatika hukum juga merupakan ciri
paling sentral dari gambaran mereka tentang hukum. Jadi tidaklah mengejutkan
bahwa mereka mempunyai sebagian dari gambaran-gambaran yang dibayangkan secara
paling persis tentang sistem hukum dalam yurisprudensi (ilmu hukum).
Kepersisan serupa tidak dapat
ditemukan dalam mendefinisikan positivisme hukum itu sendiri. Positivisme
hukum lahir dari teori-teori hukum alam
dengan menekankan peran pranata-pranata manusia dalam menentukan hukum.
Ketika penekanan ini berkembang,
sejalan dengan peningkatan aktual dalam kekuasaan yang dimiliki oleh
pranata-pranata tersebut, kaum positivis mulai menganggap diri mereka sendiri
sebagai berbeda dari para lawyer hukum alam dalam hal bahwa mereka melihat
hukum sebagai suatu fenomena manusiawi dan sosial ketimbang sebagai fenomena
ilahiah, metafisik, atau alami. Karakteristik ini telah berlangsung sejak Betham menegaskan bahwa “law as the command of a political sovereign (rather than God, nature or
reason); hukum adalah perintah seorang penguasa politik (ketimbang Tuhan,
alam, atau akal), hingga Raz (1979
:37) yang “tesis sosial” –nya menganggap pengidentifikasian hukum sebagai “a matter of social fact (masalah fakta
sosial).
Fakta-fakta sosial yang ada
dibenak kaum positivis yang lebih awal, adalah kegiatan-kegiatan dari badan
legislatif tertentu, yang dianggap sebagai satu-satunya sumber hukum dan
outputnya merupakan “the law”
(undang-undang).
7. Bagaimana pemahaman Mazhab legal Utilitarisme
(Utiliarisme Hukum) ?
Aliran ini
ini dipelopori oleh Jeremy
Bentham (1748-1832) seorang filsuf, ekonom, juris, dan reformer hukum.
Betham mampu menenun dari “benang” prinsip kemanfaatan “menjadi” permandani
doktrin etika dan ilmu hukum yang luas dan dikenal sebagai utilitarisme.
Bagi Jeremy Betham, hukum barulah dapat diakui sebagai hukum, jika ia
memberikan kemamfaatan yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang.
Prinsip itu dikemukakan oleh Betham dalam
karyanya Introduction to principles of
Morals and legislation (1789), yang bunyinya bahwa hukum bertujuan untuk
“the greatest happines of the greatest number”
Bagi Betham, tujuan perundang-undangan adalah untuk menghasilkan
kebahagian bagi masyarakat. Untuk itu perundang-undangan harus berusaha untuk
empat tujuan :
a.
to
provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup)
b.
to
provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah)
c.
to
provide security (untuk memberikan perlindungan)
d.
to
attain equility (untuk mencapai persamaan)
Jadi suatu undang-undang barulah
dapat diterima sebagai hukum jika undang-undang itu bertujuan untuk mencapi
tujuan:kelimpahan,perlindungan terhadap status dan kepemilikan, serta untuk
meminimasi ketidak adilan.
8.
Bagaimana Pemahaman mazhab Legal Historisme (Mazhab Historis Hukum)?
Pelopor
aliran historis adalah Karl Von Savigny (1799-1861) dan Maine (1822-1888). Savigny adalah negarawan dan sejarahwan Prussia, yang mengupayakan
pemahaman tentang hukum melalui penyelidikan tentang volkgeist atau the soul of
people (jiwa rakyat).
Istilah volkgeist sendiri
diperkenalkan pertama kali oleh murid Savigny, yaitu G.Puchta. Savigny: “All law
is the manisfestation of this common consciousness” (semua hukum merupakan
manifestasi dari kesadaran umum ini)
G.
Puchta
menyatakan bahwa:
“Law grows with the growth, and strengthens with the strength of the
people, and finally dies away as the nation loses its nationalty” (Hukum
itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan rakyat, dan menjadi kuat
bersama-sama dengan kekuatan dari rakyat, dan pada akhirnya ia mati jika bangsa
itu kehilangan kebangsaannya).
Hukum tidak berlaku secara universal,
karena hukum itu lahir dari “volkgeist”
yang berbeda-beda antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Jadi, hukum
hanya berlaku pada suatu masyarakat tertentu.
Hukum tidak memancar dari seorang
peletak dasar hukum yang tunggal, melainkan dari kesadaran instintif
masyarakat: tentang apa yang dianggap “benar” dan apa yang dianggap “salah”.
Jadi bagi Savigny, ia melihat perbedaan hukum dari masing-masing terletak pada
karakteristik perkembangan yang dialami oleh masing-masing sistem hukum.
Bagi penganut historisme, oleh
karena hukum itu tumbuh dan berkembang, maka berarti ada hubungan yang terus
menerus antara sistem yang ada kini dengan ada yang ada di masa silam. Dan oleh
karena itu, hukum yang ada kini mengalir dari hukum yang ada sebelumnya atau
hukum yang ada di zaman lampau. Dan selanjutnya, hal itu mengandung makna bahwa
hukum yang ada kini, dibentuk oleh proses-proses yang berlangsung pada masa
lampau.
Dari sudut pandang penganut
historisme, hukum adalah fenomena historis, hukum mempunyai sejarah. Dan
sebagai “fenomena sejarah” berarti hukum tunduk pada perkembangan yang
berlangsung secara terus menerus.
Ada dua makna pengertian
perkembangan, yaitu:
a.
unsur
perubahan,
b.
unsur
stabilitas
Apa yang berkembang adalah stabil,
meskipun ia berubah.
“Hukum berkembang” terutama
bermakna bahwa terdapat hubungan erat, berkesinambungan antara hukum pada masa
kini dan hukum pada masa lampau. Hukum pada masa kini dan hukum pada masa
lampau satu kesinambungan. Sebagai konsekuensinya, kita hanya dapat memahami
hukum di masa kini, hanya dengan memanfaatkan metode penyelidikan sejarah.
Mempelajari hukum sebagai ilmu, berarti mempelajari sejarah.
Definisi hukum menurut Savigny:
“All law is originally formed by custom and popular feeling, that is, by
silently operating forces. Law is in a people’s history, the roots are fed by
consciousness, the faith, and the customs of the people” (Keseluruhan hukum
sungguh-sungguh terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu
melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah
manusia, di mana akarnya dihidupkan oleh kesadaran keyakinan, dan kebiasaan
masyarakat).
9.Bagaimana
Pemahaman aliran Realisme Hukum (Amerika Serikat)
Yang dinamakan sebagai aliran realisme
hukum adalah merupakan kumpulan pemikiran yang beragam, tetapi mempunyai satu
fokus pandangan yang sama tentang hukum.
Basis filsufis dari “realisme”
bersandar pada keyaknan bahwa ketika kita berpersepsi, kita menyadari hal-hal
yang ada secara terlepas dari kita, karenanya secara tersirat keyakinan ini
melibatkan suatu penolakan terhadap pandangan bahwa apa yang dipersepsi tidak
lebih dari pada sekedar data yang bersifat perasaan pribadi (“private sense”) saja. Doktrin yang diterapkan pada penyelidikan
terhadap suatu fenomena melibatkan aplikasi prosedur-prosedur obyektif yang
tidak dipengaruhi oleh suatu cara yang bersifat sentimen dan idealisme.
Aliran ini dibangun oleh pandangan James (1890-1922) dan Dewey (1859-1952), James menguraikan
teori pragmatisme sebagai filsafat positivisme yang menolak “ sistem tertutup
dan kemutlakan serta asal usul yang bersifat kepura-puraan belaka” dan
berpaling ke ‘Fakta-fakta, tindakan-tindakan, dan kekuasaan”.
Teori –teori Realisme mencakup
suatu spekulasi ilmu hukum yang sangat beragam dan terdapat penolakan-penolakan
terhadap pandangan aliran pemikiran yang menyatu.
Llewellyn menyebutkan pandangan-pandangan
berikut ini yang lazim bagi pendekatan-pendekatan realisme terhadap metode
antara lain:
a.
suatu
pandangan bahwa hukum sifat berubah-rubah.
b.
Sikap
hukum bukanlah tujuan itu sendiri, melainkan hukum hanya sebagai alat untuk
mencapai tujuan sosial.
c.
Keyakinan
bahwa masyarakat berada di dalam proses perubahan terus menerus dan sering
“mendahului” hukum, sehingga pengujian-pengujian kembali dan revisi terhadap
hukum merupakan sesuatu yang esensial.
d.
Suatu
ketidak percayaan terhadap konsep-konsep tradisional dan aturan-aturan hukum
sebagai penggambaran tentang apa yang dilakukan oleh pengadilan-pengadilan.
e.
Suatu
penekanan terhadap evaluasi hukum dari sudut pandang dampak serta efek-efek
terhadap masyarakat.
f.
Keyakinan
terhadap arti penting dari apa yang dapat dicapai oleh suatu serangan yang
terencana dan berkelanjutan terhadap persoalan-persoalan hukum.
Esensi dari aliran realisme dalam ilmu
hukum ada di dalam gagasan Holmes
tentang pengujian fakta-fakta. Menurut Holmes,
seorang hakim dapat memenuhi fungsi-fungsi hanya kalau ia secara memadai
mengenal banyak aspek hukum. “kalau subyek anda adalah hukum, maka
jalan-jalannya mudah dipahami melewati antropologi, ilmu tentang manusia, ke
ekonomi, politik, teori perundang-undangan, etika, dan dengan pemikiran berarti
melewati semua jalan pandangan hidup anda yang final..”
Corak
pemikiran kaum realis, diantaranya tampak dalam definisi hukum yang dikemukakan
oleh salah seorang eksponennya, Gray ,
yaitu:
“law as
a rule of conduct lain down bu the person acting as judicial organ of the
state. Law ia what the judges declare... that the personality and personal
views of a judge play an important role
in the decision making process.” (Hukum sebagai suatu aturan perilaku yang ditetapkan
tindakan personal aparat pengadilan. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh
hakim...Bahwa kepribadian dan pandangan pribadi hakim, memainkan peranan
penting dalam proses terwujudnya keputusan).
Menurut buku karya editor Christoper Berry Gray, Philosophy of law
: An Encyclopedia Volume II (1999: 722-723), meskipun secara umum penganut
realisme hukum berpandangan bahwa yang dimaknakan sebagai hukum adalah putusan
hakim, dan bukan undang-undang, karena undang-undang hanyalah sumber hukum, dan
baru menjadi hukum setelah dijelmakan dalam putusan hakim. Tetapi dikalangan
kaum realis sendiri terdapat dua sayap:
a.
“The
sociological wing of realism,” yang dianut Karl Llewelly, Oliphant, Moore, dan Cohen. Inti pendapat mereka adalah bahwa ada beraneka ragam
kekuatan sosial yang memaksa dan mempengaruhi penilaian hakim terhadap
fakta-fakta dari kasus yang dihadapinya, yang mana, kekuatan sosial itu yang
menentukan lahirnya putusan hakim, ketimbang aturan-aturan hukum. Kekuatan sosial itu termasuk : latar
belakang ekonomi para hakim, dan juga termasuk, pengalaman-pengalaman
sosialisasi profesional para hakim.
b.
“The idiosyncracy wing of realism” , yang menekankan pada pengaruh psikologis dan
kepribadian individu. Dianut oleh Jerome
Frank dan Hutcheson. Inti
pendapat mereka adalah bahwa faktor yang paling mendasar yang mempengaruhi
hakim dalam menilai fakta-fakta yang terkait kasus yang diadilinya adalah
faktor kepribadian dan psikologi dari individu. Jerome Frank dipengaruhi oleh ajaran psikoanalisis dari Sigmund Freud.
Dengan demikian, “sayap
sosiologis” dalam realisme itu merupakan embrio mazhab sosiologis, sedangkan
“sayap idiosyncracy” dalam realisme meruapakan imbrio mazhab legal psikologis.
10.Bagaimana
Pemahaman mazhab Sosiologis Hukum ?
Eugen Ehrlich dikenal sebagai the founding father of sociology law,
dan Roscoe Pound oleh banyak pakar
juga dianggap sebagai the founding father of sociologikal jurisprudence.
Pemikiran aliran sosiologis mencakup sejumlah
pendekatan yang lebih beragam ketimbang seragam. Namun pada dasarnya dapat
diklasifikasikan ke dalam:
a.pemikiran sociology of law yang merupakan cabang sosiologi
b.pemikiran the sociological of jurisprudence
yang merupakan cabang ilmu hukum.
ad.a Sosiologi Hukum, Pound
menunjuk studi ini sebagai studi sosiologi yang sebenarnya, yang didasarkan
pada suatu konsep yang memandang hukum sebagai satu alat pengendalian sosial. Lloyd menuliskannya sebagai suatu yang
pada pokoknya meruipakan ilmu deskriptip yang memanfaatkan teknik-teknik
empiris. Hal yang berkaitan dengan pertanyaan mengapa perangkat hukum dan
tugas-tugasnya dibuat, sosiologin hukum memandang hukum sebagai produk suatu
sistem sosial dan sebagai alat untuk mengendalikan dan mengubah sistem itu.
ad.b Ilmu hukum sosiologis. Pound
menunjuk kajian ini sebagai studi yang berkarakter khas tertib hukum, yaitu
merupakan suatu aspek ilmu hukum sebenarnya. Lloyd menuliskan bahwa ilmu hukum sosiologis ini adalah suatu
cabang dari ilmu-ilmu normatif, yang bertujuan untuk lebih mengefektifkan
perundang-undangan di dalam pelaksanannya, dan didasarkan pada nilai-nilai yang
subyektif. Beberapa penulis menggunakan istilah-istilah ini untuk menunjukkan
pada “aliran sosiologis dalam ilmu hukum , yaitu para yuris yang melihatnya
sebagai suatu studi tentang masyarakat untuk membuat ilmu hukum menjadi lebih
akurat.
II.Konsep
Pluralitas Hukum Werner Menski
Berdasarkan paparan mazhab–mazhab
di atas sebenarnya memberikan pemahaman, bahwa pandangan hukum di dalam
berbagai sistem hukum di dunia adalah pluralitas, dan untuk memahami hukum yang
pluralitas perlu teori yang relevan untuk menjelaskan dan selaras dengan
globalisasi, yaitu Teori “Triangular Concept of Legal Pluralism (konsep
segita pluralisme hukum). Teori ini
diperkenalkan sejak tahun 2000 kemudian dimodifikasi pada tahun 2006 oleh Werner Menski.
Werner Menski adalah seorang profesor hukum
dari Universitas of London, pakar hukum dibidang hukum bangsa-bangsa Asia dan
Afrika.
Proposisi yang dibangun dari teori ini adalah, bahwa pluralisme hukum
bukan hanya mengenai beraneka ragamnya hukum positif yang ada baik antar bangsa
maupun dalam satu negara tertentu, tetapi juga plurarlisme mengenai prilaku
hukum dari masing-masing individu atau kelompok yang ada di setiap bangsa dan
masyarakat di dunia ini. Dan tentu saja sangat tidak realitis, ketika sistem
hukum, sistem peradilan dan hukum positif yang sangat plural atau beraneka
ragam itu, hanya dikaji dengan menggunakan salah satu jenis pendekatan hukum
secara sempit saja, misalnya hanya menggunakan pendekatan positivis-normatif
belaka, atau hanya menggunakan pendekatan empiris saja, atau pendekatan moral
belaka.
Tak ada metode yang lebih relevan untuk menghadapi berbagai isu hukum di
era globalisasi dunia dewasa ini, kecuali dengan penggunaan secara proposional
secara serentak ketiga pendekatan hukum, normatif,empiris, dan filosofis, dan itulah yang dikenal sebagai triangular
concept of legal pluralism.
Bagaimana penjelasan teorinya secara ontologi,
epistemologi, aksiologi yaitu dapat dibuat ragaan sebagai berikut: (modifikasi
dari Achmad Ali,2009)
Untuk
menjelaskan model ragaan di atas, yaitu pada segitiga unsur masyarakat kita berikan nomor 1 adalah unsur
masyarakat adalah the triangle of society, nomor
2 adalah unsur negara the triangle of state, dan nomor 3 adalah nilai serta etika the realism
of values and ethics. Ketiga komponen tersebut adalah relatif tidak
lebibh unggul antara komponen yang satu dengan yang lain.
Menurut
Menski tiga komponen itu untuk
memperkenalkan representasi grafis (skema) dari level of intrinsic the scond pluralisme hukum yang disajikan di
atas, kita mulai dengan hukum yang ditemukan didalam kehidupan sosial, karena
kehidupan sosial itulah merupakan tempat
dimana hukum selalu berlokasi.
Studi
terkini dibidang hukum mengkonfirmasikan,
bahwa tidak ada masyarakat yang tanpa hukum, sementara sedikit sekali,
atau hampir tidak ada hukum produk negara didalam suatu konteks kultur dan
lokal khusus.
Dibidang
sosial, kita menemukan aturan-aturan, norma-norma atau input-input yang berasal
dari negosiasi hukum kurang lebih murni bersumber dari masyarakat sendiri.
Bukan dari produk hukum negara.
Jika
suatu kelompok manusia tertentu membedakannya sendiri dengan kelompok lain,
atau membedakan dirinya sendiri sebagai anggota kelompok lain, atau membedakan
dirinya sendiri sebagai anggota kelompok
dengan anggota lain dari kelompoknya, misalnya perbedaan secara etnis, maka
disitu kita mulai untuk melihat kemunculan tata hukum yang terpisah.
Ini
yang kita berikan nomor 11 dalam
penomoran, yang merefleksikan fakta bahwa seluruh atau sebagian besar elemen
dari tipe hukum ini, mula-mula berasal dari dalam segitiga ini.
Aturan-aturan
didalam kehidupan sosial, juga dipengaruhi oleh kehadiran dari co existing hukum produk negara, yang
kita berikan sebagai nomor 12 dalam
penomoran, yang mencerminkan sifatnya yang lebih hibrid dan mendapat pengaruh
parsial dari hukum produk negara.
Disisi
lain , poros pusat dalam the triangle of society, kita berikan nomor 13 dalam penomoran,terhadap
norma-norma sosial dan proses-proses yang menghasilkan beberapa validitas dan
kewenangan dari lingkungan etika dan nilai-nilai.
Secara
menyeluruh, citra intrinsik dari pluralisme hukum terdapat dalam the
triangle of society. Hal itu membuktikan bahwa ini merupakan kehidupan
kultur, tetapi kultur yang barangkali juga secara intrinsik bersifat plural dan
bersifat meluas ke dalam kehidupan kenegaraan dan alam nilai. Dengan demikian,
hal ini berarti bahwa analisis kuktural juga akan memperoleh manfaat dari
penerapan metode analisis kesadaran pluralitas (plurality –conscious analitycal
methods).
Berikutnya
kita pindah ke the triangle of the state. Di dalam suatu konteks hukum
tertentu, mungkin saja tidak tampak adanya hukum produk negara, dimana studi
ini menemukan bahwa selalu terdapat beberapa jenis hukum.
Dengan demikian,
jenis hukum yang secara langsung bersumber dari produk negara, mungkin saja
relatif kecil dan bahkan tak terlihat, atau mungkin juga dalam bentukjnya
sebagai legislasi formal dalam jumlah yang besar-besaran. Namun, apapun
bentuknya dan apa pun yang membentuknya, apa pun kemungkinan sifat tepat dari
negara (hal ini merupakan suatu problem yang ditinggalkan untuk para ilmuwan
politik, tetapi juga studi termuktahir menyakinkan, bahwa masalah tersebut
merupakan bidang mereka, yang juga, mereka akan memperolegh manfaat dari
analisis kesadaran pluralitas yang lebih mendalam), kita memberikan elemen
sentral dari hukum produk negara sebagai penomoran dengan nomor 22. Ini merefleksikan fakta bahwa seperti berbagai bentuk
produk negara, yang mana dapat mengambil bentuk aturan-aturan, norma-norma
ataupun input dalam negosiasi, yang tumbuh terutama dalam jenis segitiga hukum
produk negara ini.
Berikutnya,
kita memberikan nomor 21 untuk
berbagai jenis hukum produk negara yang mendapat pengaruh oleh dunia kehidupan
sosialnya. Kita segera dapat memikirkan berbagai contoh-contoh jenis hukum,
yang mana dalam istilah yang digunakan oleh Chiba dikenal sebagai the
scond type of official law (tipe kedua dari hukum resmi negara), yaitu
hukum negara yang tidak benar-benar dibuat oleh negara,melainkan dilegitimasi
berlakuknya oleh negara (state law that
was not really made by the state but accepted by it).
Penalaran
yang sama dapat diterapkan, pada sisi lain dari the stattist triangle, kenapa
tipe-tipe hukum produk negara (state made
law) dalam penomoran kita berikan nomor
23 yang merefleksikan input dari segi ketiga (third triangle).
Kita
kemudian dapat pindah ke pembahasan mengenai segi tiga hukum alam (the triangle of natural law) dan
pengembangan keadaannya yang plural. Kita berikan nomor 33 bagi tipe hukum yang bersumber dari segitiga jenis hukum
alam ini, yang sumbernya telah “berutang” pada input-input yang berhubungan
erat dengan jenis segitiga hukum alam ini.
Kita kemudian memberikan nomor 32 untuk unsur-unsur nilai dan
unsur-unsur etis, dari apa yang diistilahkan oleh Chiba (1986) sebagai
“postulat hukum” , yang secara sebagian besar telah “berutang”, baik mengenai
eksistensi mereka maupun mengenai bentuk mereka, akibat kehadiran negara, atau
karena adanya kesadaran tentang kehadiran “some
rule negotiation power” yang menggerakan awal dari segitiga jenis ini.
Selanjutnya kita melengkapi
putaran ini, dengan cara memberi nomor
31 bagi nilai dan etika, yang tampak untuk sebagian terbesar telah
“berutang” bentuk mereka pada input
sosial, dan kemudian kita kembali pada kehidupan kultur yang lebih luas.
Citranya secara keseluruhan kemudian tampak dalam skema yang telah digambarnya
sebelumnya.
Jadi jika kita singkat teori Menski di atas adalah bahwa kalau kita ibaratkan hukum itu sebagai
pohon, maka kita tidak dapat memandang bagian-bagian pohon itu secara parsial,
melainkan secara total. Kita boleh memandang sebagian kayunya hanya dalam
fungsinya sebagai “akar” (yang dalam hukum adalah masyarakat dan nilai
kulturnya) yang menyerap makanan dari tanah,
kita boleh memandang sebagian kayunya hanya dalam bentuk batang yang
memperkukuh pohon itu (dalam hukum adalah hukum positif), dan kita tidak boleh
memandang sebagian kayunya hanya sebagai ranting yang menjulur ke atas langit
dan ke berbagai arah untuk menghirup aroma surgawi (di dalam hukum adalah
nilai-nilai moral, agama, dan estika). Hukum jika diibaratkan pohon, maka
seluruh kayunya harus dipandang secara total, sebagai satu kesatuan yang utuh,
terdiri dari: hukum yang dilahirkan oleh masyarakat, hukum yang merupakan
produk negara dan nilai-nilai moral, keagamaan, dan etika. Ketiga pilar utama
itulah hukum yang utuh.
Kalau
kita bandingkan dengan teori tiga tipe
dari Nonet & Selznick,
maka mereka menempakan tipe hukum responsif sebagai tipe hukum ideal mereka,
yang dalam perkembangannya telah melewati hukum represif dan tipe hukum otonom.
Sedangkan Werner Menski, menjadikan tipe hukum idealnya, yaitu the
holy grail of all law, suatu tipe hukum yang berhasil secara optimal
menjalin interaksi di antara tiga komponen utama tadi , secara harmonis, yaitu
ethical values atau nilai-nilai etika, social norm atau norma-norma sosial, dan
posited state made legal rules
(state-made law), yaitu hukum buatan negara.
Jika konsep pluralisme hukum dari Menski ini kita hubungkan dengan konsep
ketiga unsur sistem hukum yang diperkenalkan oleh Lawrence M Friedman, maka dapat kita katakan bahwa pluralitas hukum
tidak hanya menyangkut subtansi atau strukturnya, tetapi juga, bahkan lebih
tinggi tingkatan pluralitasnya unsur “kultur hukum” yang mencakup pluralitas
kebiasaan-kebiasaan yang ada, pluralitas opini-opini yang ada, pluralitas
keyakinan-keyakinan yang ada, serta juga pluralitas dari cara berpikir dan cara
bertindak di bidang hukum.
Adalah yang terpenting dari tiga komponen
dikembangkan menjadi sembilan komponen menunjukkan jenis-jenis pilar yang ada
di dalam konsep segitiga Menski
sebagai berikut:
1.
Hukum
negara yang sesungguhnya, yang muncul langsung sebagai hukum, dan tidak dikenal
sebelumnya di dalam nilai-nilai etika, moral, dan agama, maupun norma sosial.
Contoh, UU Penggunaan Helm bagi Pengendara
Motor, peraturan ini absolut produk hukum negara.
2. Hukum produk negara yang hanya
meligitimasi norma sosial yang telah ada sebelumnya. Contoh: larangan membunuh,
mencuri, memerkosa. Perbuatan itu sebelum diancamkan pidana dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, memang telah dinyatakan sebagai kejahatan oleh
norma moral dan agama, maupun oleh norma-norma sosial.
3. Hukum produk negara yang
memperoleh pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan norma-norma etika, moral,
dan agama, atau norma-norma sosial dan kultur tertentu.
4. Hukum yang murni produk sosial.
5. Hukum produk sosial yang telah
mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan kekuasaan negara.
6. Hukum produk sosial yang telah
mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan nilai-nilai etika, moral dan
agama.
7. Nilai-Nilai etika, moral atau
agama yang masih murni.
8. Nilai-nilai etika, moral atau
agama yang telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan norma-norma
sosial, atau kultur tertentu.
9.
Nilai-nilai
etika, moral atau agama yang telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi
dengan kekuasaan pemerintah.
0 komentar:
Posting Komentar