Antara Sistem dan Kelembagaan Yang Tepat
Penyelesaian
Sengketa PILKADA
Oleh: Turiman
Fachturahman Nur
Email: qitriaincenter@yahoo.co.id
Blog/Web:
Rajawali Garuda Pancasila
HP 081310651414
Jika kita analisis teks hukum negara secara yuridis normatif dalam Peraturan BPPU Nomor 8 Tahun 2015
dalam konsinderan Menimbang menyatakan :
a.
bahwa
dalam rangka menciptakan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota yang demokratis, maka diperlukan
upaya hukum penyelesaian sengketa yang dapat
melindungi hak konstitusional Peserta Pemilihan Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota;
b.
bahwa
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota menjadi UndangUndang sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang memberikan kewenangan
kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi
dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota;
Berdasarkan konsideran di atas
sengketa PILKADA kata kuncinya adalah melindungi hak konstitusional Peserta Pemilihan Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota. Jika
penyelesaian sengketa PIlKADA khususnya hasil perolehan suara PILKADA adalah
dalam rangka melindungi hak konstitusional, maka lembaga yang tepat adalah
Mahkamah Konstitusi, namun MK sendiri melalui Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, yang menyatakan MK tidak lagi berwenang menangani sengketa hasil pilkada.
MK menyatakan hanya berwenang menangani rezim pemilu, yakni pemilu legislatif dan
pemilu presiden. Pertanyaannya lembaga yang tepat secara sistem siapa ?
Untuk memberikan analisis secara komprehensi
berdasarkan Hukum Tata Negara yang tepat perlu diajukan pertanyaan hakekat sengketa PILKADA apa sih sebenarnya
?
Jika mengacu pada Pasal 2 (1) Peraturan
Bawaslu, menyatakan bahwa Sengketa Pemilihan yang diselesaikan meliputi: a. sengketa antar peserta Pemilihan; dan
b. sengketa antara peserta Pemilihan
dengan penyelenggara Pemilihan.
Konstruksi hukum Pasal 2 ayat 1 di
atas tidak secara khusus apa yang dimaksud
dengan sengketa PILKADA yang berkaitan hasil pemilihan oleh KPU, tetapi
jika kita membaca secara cermat Pasal 2 ayat (2) jelas tersirat, khsusus pada
huruf c. Yang menyatakan Pasal 2 ayat (2) Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) timbul karena adanya:
a.
perbedaan
penafsiran atau suatu ketidakjelasan tertentu mengenai suatu masalah
kegiatan dan/atau peristiwa yang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilihan
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b.
keadaaan dimana terdapat pengakuan yang
berbeda dan/atau penolakan penghindaran antar peserta Pemilihan atau antara peserta Pemilihan dengan penyelenggara
Pemilihan; dan
c.
Keputusan KPU Provinsi atau Keputusan KPU
Kabupaten/Kota
Pada point c ini adalah mengarahkan
pada peselisihan hasil suara yang dituangkan dalam bentuk Keputusan KPU,
pertanyaannya bagaimana kategorinya ?
Mengacu pada pasal 2 di atas kategori perselisihan PILKADA antara dua pihak atau lebih yang terjadi dalam
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) bisa ditimbulkan dari dua
hal.
Pertama, perbedaan
penafsiran antara para pihak atau ketidakjelasan berkaitan dengan masalah fakta
kegiatan, peristiwa, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
pemilihan gubernur, bupati dan wali kota.
Kedua, pengakuan atau
pendapat dari salah satu pihak mendapat penolakan, pengakuan yang berbeda,
dan/atau penghindaran dari pihak lain. Baik perbedaan penafsiran maupun penolakan,
dapat saja terjadi antar peserta pemilihan maupun antara peserta pemilihan dan
penyelenggara pemilihan sepanjang tahapan penyelenggaraan berlangsung. Sengketa
antara peserta pemilihan dan penyelenggara pemilihan sebagai akibat
dikeluarkannya KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.
Bagaimana sistem penyelesaian sengketa
PILKADA ? Pengawas pemilu memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa
pemilihan, prosesnya dilakukan dengan mempertemukan para pihak, agar diperoleh
kesepakatan melalui musyawarah. Hal ini disebutkan pada Pasal 143 Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2015.
Pengawas
Pemilu yang akan mempertemukan para pihak, pada prinsipnya telah melakukan
kajian baik laporan maupun temuan sengketa pemilihan. Dalam mempertemukan para
pihak, pengawas pemilu berperan sebagai
fasilitator musyawarah, memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak
menyampaikan permasalahan, tuntutan dan alasan. Jika diperlukan, pengawas
pemilu dapat memberikan saran dan masukan kepada para pihak mengenai
permasalahan yang disengketakan.
Musyawarah sengketa pemilihan para pihak selama berlangsung, dapat
mencapai sepakat maupun tidak mencapai sepakat. Hasil kesepakatan para pihak
diperoleh dari musyawarah mufakat dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. Apabila tercapai kesepakatan, maka pengawas pemilu
menuangkan hasil kesepakatan dalam berita acara musyawarah penyelesaian
sengketa pemilihan. Tetapi apabila tidak tercapai kesepakatan, maka pengawas
pemilu membuat keputusan melalui rapat pleno tertutup, dituangkan dalam
keputusan penyelesaian sengketa pemilihan bersifat final dan mengikat. Pada
dasarnya, sengketa pemilihan dinyatakan selesai apabila musyawarah telah
mencapai mufakat dan pengawas pemilu sudah membuat keputusan bersifat final dan
mengikat.
Selanjutnya, permohonan penyelesaian sengketa
dinyatakan gugur apabila, pemohon dan/atau termohon meninggal dunia, pemohon
atau kuasanya tidak datang dan hadir dalam pertemuan pertama setelah tiga kali
dilakukan pemanggilan secara patut dan sah oleh pengawas pemilu. Selanjutnya,
termohon telah memenuhi tuntutan pemohon sebelum dilaksanakannya proses penyelesaian
sengketa pemilihan, pemohon mencabut permohonannya.
Sengketa
dan Pelanggaran Pemilihan Sengketa pemilihan merupakan bagian dari pelanggaran pemilihan. Pasal
135 Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 8 Tahun 2015, menyebutkan laporan pelanggaran pemilihan
meliputi pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan diteruskan oleh Bawaslu
ke DKPP, adalah:
Pertama, pelanggaran
terhadap etika penyelenggara pemilihan yang berpedoman kepada sumpah dan/atau
janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilihan.
Kedua, pelanggaran administrasi pemilihan diteruskan kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota, adalah pelanggaran terhadap tata cara yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilihan dalam setiap tahapan pemilihan.
Kedua, pelanggaran administrasi pemilihan diteruskan kepada KPU, KPU provinsi, atau KPU kabupaten/kota, adalah pelanggaran terhadap tata cara yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilihan dalam setiap tahapan pemilihan.
Ketiga, sengketa pemilihan
diselesaikan oleh Bawaslu.
Keempat, tindak pidana
pemilihan ditindaklanjuti oleh Kepolisian Negara RI, adalah pelanggaran
atau kejahatan terhadap ketentuan pemilihan.
Pelanggaran
pemilihan yang telah disebutkan di atas, baik temuan pengawas pemilu maupun
laporan masyarakat, sama-sama melalui proses kajian. Perbedaan hanya tampak
pada mekanisme penyelesaian atau penanganan
pelanggaran. Jika sengketa ditempuh melalui musyawarah mufakat, maka pelanggaran
lainnya (kode etik, administrasi dan tindak pidana pemilihan) dilakukan
klarifikasi meminta keterangan dari pelapor dan terlapor. Selepas klarifikasi
meminta keterangan, pengawas pemilu melakukan kajian dugaan pelanggaran, kemudian mengeluarkan surat penerusan dan
status laporan.
Pertanyaannya Apakah lembaga yang tepat
dan berwenang penyelesaian Perkara
perselisihan hasil Pemilihan ?
Berdasarkan Pasal 157 (1) UU Nomor 8
Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
Pemilihan Gubernur,Bupati dan Walikota, menyatakan secara tegas, bahwa Perkara
perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.
(2) Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak
nasional.
Jelas dinyatakan menunggu Badan Peradilan Khusus, namun menunggu
masa transisi Pasal 157 ayat (3) menyatakan: bahwa Perkara perselisihan
penetapan perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah
Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus. (4) Peserta
Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan
perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi.
Bagaimana
rentang waktu Permohonan Ke MK ?
Pasal
157 ayat (5) menyatakan, bahwa Peserta Pemilihan mengajukan permohonan kepada
Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam
sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi dan
KPU Kabupaten/Kota.
Apa
saja kelengkapan permohonan ke MK ? Pasal 157 ayat (6) menyatakan, bahwa Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dilengkapi alat bukti dan
Keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tentang hasil rekapitulasi
penghitungan suara.
Bagaimana kelengkapan permohonan
kurang lengkap ? berdasarkan Pasal 157 ayat (7) Dalam hal
pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kurang lengkap, pemohon
dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diterimanya permohonan
oleh Mahkamah Konstitusi.
Berapa lama rentang waktu MK memutuskan perselisihan sengketa hasil
Pemilihan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara ? Berdasarkan
pasal 157 ayat (8) Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara
perselisihan sengketa hasil Pemilihan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan. Kemudian
sifat putusan Berdasarkan Pasal 157 ayat (9) Putusan Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) bersifat
final dan mengikat. Setelah itu KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota
wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah
Konstitusi. (pasal 157 ayat 10 UU Nomor
8 tahun 2015)”
Bagaimana historis yuridis
penyelesaian sengketa hasil hasil
pemilihan dikembalikan MK ?
Patut diketuai, bahwa pada 17
Februari 2015, Sidang Paripurna DPR akhirnya mengesahkan RUU tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Guburnur, Bupati, Wali Kota (UU Pilkada). Ironis, karena sehari
setelahnya, di Mahkamah Konstitusi (MK) langsung teregistrasi permohonan
perkara pengujian undang-undang yang baru saja disahkan DPR itu, meskipun
undang-undangnya belum diberi nomor.
UU yang lahir dari Perppu
No. 1 Tahun 2014 ini, sebenarnya telah mengalami sejumlah perubahan. Namun
sayang, kelahirannya oleh sebagian kelompok masih dilihat prematur dan seperti
“kejar tayang”. Justru awal kekecewaan datang dari sejumlah fraksi di DPR yang
merasa kepentingannya tidak 100 persen diakomodasi. Tersiar berita bahwa Fraksi
Demokrat, Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), PKB, PPP, dan Nasdem masih
memberi catatan alias belum sepenuhnya puas.
Fraksi
Demokrat misalnya, partai besutan SBY ini mempersoalkan dihapuskannya gagasan
tentang uji publik bagi calon kepala daerah. Fraksi Gerindra mempersoalkan
calon kepala daerah yang harus mengundurkan diri sebagai anggota TNI, Polri dan
PNS sejak mendaftarkan diri sebagai calon (Pasal 7 huruf t). Catatan yang lain
datang dari PKB terkait pelaksanaan pilkada serentak yang dinilai terlalu lama
Pasal 201 ayat (1-7) UU
No. 1/2015 junto UU No. 8/2015 merinci tahapan pilkada sebagai
berikut:
Tahap Pertama, Desember 2015,
untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2015 sampai pada bulan
Juni 2016.
Tahap Kedua, Februari 2017,
untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada Juli - Desember 2016 dan
2017.
Tahap Ketiga, Juni 2018, untuk
kepala daerah yang jabatannya berakhir pada 2018 dan 2019.
Tahap Keempat, tahun 2020,
untuk kepala daerah hasil pemilihan 2015.
Tahap Kelima, pada 2022, untuk
kepala daerah hasil pemilihan pada 2017.
Tahap Keenam, pada 2023, untuk
kepala daerah hasil pemilihan 2018. Baru pada
Tahap Ketujuh, tahun 2027 Pilkada
betul-betul serentak akan dapat dilaksanakan secara nasional.
Tahun 2027 adalah periode ketiga
setelah masa keanggotaan DPR saat ini (2014-2019, 2019-2024, 2024-2029),
padahal tidak ada jaminan kepastian
hukum jika tahapan itu tidak berubah.
Sebagaimana dinyatakan di atas,
bahwa berdasarkan Pasal 157 ayat (3) UU No. 1/2015 junto UU No. 8/2015
menyebutkan bahwa "perkara
perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan diperiksa dan diadili
oleh MK sampai dibentuknya badan peradilan khusus".
Kembali menyerahkan sengketa
pilkada kepada MK, jelas berlawanan dengan Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013,
tanggal 16 Januari 2014. Dalam putusannya, MK
menyatakan tidak (lagi) mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan
hasil pilkada. MK juga menyebut pilkada bukan bagian dari rezim pemilu.
Menurut penulis secara
yuridis mengembali penyelesaian perkara ke MK ada staadnoodrecht yang obyektif, tetapi ada anggapan, bahwa ini seperti menjadikan MK sebagai lembaga
penitipan perkara, suatu kebijakan yang dipaksakan, apalagi bukan sementara. Karena pada Pasal
157 ayat (2) dijelaskan, bahwa badan peradilan khusus baru akan terbentuk
sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional (yang baru akan dilaksanakan
pada tahun 2027).
Masalahnya sama dengan penetapan
pilkada yang panjang, apakah ada kepastian hukum bahwa badan/lembaga peradilan
khusus itu pasti akan dapat terbentuk pada waktunya. Apalagi jika dihadapkan
dengan kontroversi tentang pembentukan badan/lembaga baru. Belum lagi soal UU
Pilkada yang rawan gugatan (judicial review).
Pandangan Relfy Harun (Ahli Hukum Tata
Negara; Mengajar di Program Pascasarjana UGM) Menyatakan
“Saya
lebih sepakat bila penyelesaian sengketa hasil pilkada tersebut diserahkan
kepada Bawaslu. Saat ini Bawaslu
diberikan tiga kewenangan yaitu melakukan pengawasan, penanganan tindak pidana
pemilu, dan penyelesaian sengketa dalam konteks pemilu legislatif. Bisa
dikatakan, bisnis inti dari Bawaslu adalah pengawasan. Padahal, justru di
sinilah letak persoalannya. Pengawasan tidak jelas ukurannya.
Antara input dan ouptput tidak terukur. Tidak heran banyak pihak yang
menyatakan lebih baik peran pengawasan Bawaslu diserahkan kepada masyarakat,
pemantau, parpol, dan kandidat. Peran untuk terlibat dalam penanganan tindak
pidana pemilu juga tidak dibutuhkan mengingat kewenangan Bawaslu tidak
menentukan. Lebih baik Bawaslu berkonsentrasi pada kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa pemilu, yang jelas sangat bisa diukur tingkat
keberhasilan dan kegagalannya. Termasuk dalam hal ini kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa hasil pilkada. Untuk sengketa hasil pemilu legislatif
dan presiden, karena sudah ditentukan dalam UUD 1945, mau tidak mau harus
diserahkan kepada MK. Saya termasuk yakin bahwa penyelesaian
sengketa hasil pilkada oleh Bawaslu akan jauh lebih baik bila dibandingkan
menyerahkannya kembali ke MA sebagaimana disebut dalam UU Nomor 1/2015.
Terlebih MA menyerahkan penanganan sengketa hasil pemilihan bupati/wali kota ke
pengadilan tinggi. Di bawah rezim MA, bisa jadi pilkada akan bertambah mahal”.
Perkara “saling lempar” wewenang
di antara lembaga peradilan yang menangani sengketa hasil pilkada memiliki
sejarah yang cukup panjang, yakni:
Pertama, bermula dari
amanat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, DPR menyerahkan
penyelesaian sengketa pilkada kepada Mahkamah Agung (MA). MA langsung mengadili
sendiri sengketa hasil pemilihan gubernur, sementara untuk sengketa hasil
pemilihan bupati/wali kota diserahkan kepada pengadilan-pengadilan
tinggi. Dalam perkembangannya (sejak 2005 hingga 2008), putusan MA justru
menuai banyak kontroversi. Akibatnya, tingkat kepercayaan publik terhadap MA
saat itu sangat rendah, belum lagi dengan perkara di MA yang menumpuk. Itulah
alasan banyak pihak yang berkeinginan agar penyelesaian sengketa pilkada
dialihkan kepada MK.
Kedua, lahirlah UU No. 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, yang memasukkan pilkada ke dalam rezim
Pemilu. Pada Bab I Pasal 1 menyebutkan, Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah adalah pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah secara
langsung dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Berdasarkan hal
tersebut, sesuai Pasal 24C ayat (1) Perubahan UUD 1945 memungkinkan Mahkamah
Konstitusi untuk memutus Perselisihan Hasil Pilkada.
Ketiga, terbit UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan tentang pengalihan
sengketa hasil pilkada dari MA ke MK. Pasal 236C berbunyi “Penanganan
sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18
(delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”Sejak itulah,
maka sengketa hasil pilkada ditangani oleh MK. Dalam perkembangannya
(2008–2013), MK banyak mendapatkan apresiasi, kepercayaan masyarakat sangat
tinggi terhadap ratusan kasus sengketa pilkada yang ditangani oleh MK. Sampai
pada Oktober 2013, MK terlilit kasus M Akil Mochtar yang membuat kepercayaan
publik runtuh. Pakar HTN (alm) Fajrul Falaakh menyebutnya sebagai
"kegentingan MK".
Keempat, MK menguji
konstitusionalitasnya mengadili sengketa pilkada berdasaramanat Konstitusi Bab
VIIB tentang Pemilihan Umum, di mana Pasal 22E ayat (2) UUD 1945
mengatakan “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan
Dewan Perwakilan Daerah”. Bunyi pasal ini tidak menyebutkan untuk memilih
Kepala Daerah. Artinya konstitusi dinilai tidak memasukkan Pilkada ke dalam Bab
yang mengatur tentang Pemilu. Dengan begitu, maka Pilkada tidak dapat
digolongkan dalam rezim pemilu. Dan, atas dasar itu, konstitusionalitas MK
dalam penanganan sengketa pilkada dianggap tidak sah. MK akhirnya mengeluarkan
Putusan No. 97/PUU-XI/2013, yangmenyatakan MK tidak lagi berwenang menangani sengketa hasil pilkada.
MK menyatakan hanya berwenang menangani rezim pemilu, yakni pemilu legislatif dan
pemilu presiden.
Kelima, muncul Perppu
No. 1 Tahun 2014. Berdasar pada putusan MK, Presiden SBY memasukkan Pasal 157 ayat (1) berbunyi “Dalam
hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan, peserta
Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan
perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh
Mahkamah Agung”.
Sebenarnya, pelimpahan penyelesaian sengketa kepada MA telah mendapatkan
sokongan dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri.
Namun, hanya karena alasan penolakan, kekurangsiapan sebagian hakim agung di MA
(sebagian Hakim Agung yang lain menyatakan siap), DPR dengan sangat “tidak
hati-hati” menyerahkan kembali kewenangan sengketa hasil pilkada kepada MK.
Alasan yang sangat naif.
Sama naifnya, jika “saling lempar” wewenang dari MA ke MK, kemudian MK
ke MA, lalu MA ke MK lagi ini karena persoalan-persoalan di luar landasan
konstitusi. Tidak dapat dipungkiri, ketika pertama kali kewenangan MA
dipersoalkan, adalah karena sejumlah kasus sengketa pilkada yang ditangani MA,
namun berujung kontroversial, seperti; kasus Pilkada Depok tahun 2005,Pilkada
Maluku Utara tahun 2007, dan Pilkada Sulawesi Selatan tahun 2007.
Kemudian, ketika MK melepaskan kewenangannya, juga tidak dapat
disangkal, bahwa itu terkait dengan peristiwa menggemparkan, saat Ketua MK Akil
Mochtar tertangkap tangan KPK karena menerima suap dari Bupati Gunung Mas
Hambit Bintih. Akil pun dibui dan diganjar hukuman seumur hidup (2
Oktober 2013). Sesaat setelah kejadian itu, kepercayaan masyarakat terhadap MK
runtuh hingga titik nadir. Memang, umumnya masyarakat tidak menolak kewenangan
MK. Namun MK sendiri yang menghapuskan kewenangan tersebut dalam Putusan MK No.
97/PUU-XI/2013.
Terlepas dari kasus-kasus yang membelit kewenangan kedua lembaga
tersebut dan mengacu pada Putusan MK yang terahir, mestinya keputusan MK harus
dihargai, karena putusan MK telah melandaskan pada ketidaksesuain UU yang
mengatur Pemilihan Kepala daerah dengan UUD 1945. Namun, ketika DPR tetap
“mengembalikan” kewenangan kepada MK hanya karena ketidaksiapan sebagian Hakim
Agung Mahkamah Agung. Maka, keputusan untuk mengembalikan wewenang kepada MK
menjadi sewenang-wenang.
Perlukan Badan Peradilan Khusus Sengketa Pilkada ?
Jika merunut pada Pasal 157 ayat (2) UU No. 1/2015 junto UU No. 8/2015
tentang badan peradilan khusus sengketa hasil pilkada. Maka berarti badan
peradilan khusus itu baru akan berfungsi pada Pemilu 2027. Ini dengan asumsi jika penjadwalan pemilu serentak
nasional itu akan berjalan lancar.
Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Membentuk lembaga baru akan
muncul banyak konsekuensi, di antaranya; persiapan (waktu), pemimpin lembaga -
rekruitmen, birokrasi – pegawai, dan sudah barang tentu anggaran baru;
kepegawaian, kebutuhan operasional, infrastruktur dll. Selain butuh waktu yang
panjang, pembentukan pengadilan khusus pasti akan menambah pemborosan anggaran
negara. Ini juga tidak sejalan dengan semangat Presiden Jokowi tentang
perampingan lembaga Negara. Dalam 100 hari pemerintahannya, Jokowi telah
membubarkan 10 lembaga Negara non departemen, sumber media Jokowi juga sudah
merancang Perpres untuk melikuidasi 40 lagi lembaga yang tugas dan
kewenangannya dapat dialihkan kepada lembaga negara lainnya.
Refly Harun (rumahpemilu.org) menyatakan, dari sisi teori, peradilan
hanyalah salah satu pilihan bagi penyelesaian sengketa pemilu, termasuk
sengketa hasil pilkada. Selain pengadilan, kewenangan juga dapat diberikan
kepada parlemen, penyelenggara pemilu, dan instrumen internasional.Kepada
parlemen, saya berpendapat bahwa “parlemen sangat tidak mungkin karena level
kepercayaan terhadap parlemen sangat rendah”.Oleh karena itu, wacana untuk
menyerahkan penyelesaian sengketa hasil pilkada kepada lembaga penyelenggara
pemilu, justru menjadi pilihan yang lebih tepat.
Yang harus diperhatikan bahwa, lembaga penyelenggara pemilu, selain KPU
dan Bawaslu, juga ada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang
bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan merupakan
satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu.
Jika merunut pada UU No. 11 Tahun 2015, dalam menjalankan tugas,
wewenang dan kewajibannya, KPU, Bawaslu, masih harus tunduk dan melaksanakan
keputusan DKPP. Pasal 8 ayat (4) butir k, berbunyi “KPU dalam Pemilu Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan DewanPerwakilan Rakyat
Daerah, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan pemilihan gubernur, bupati, dan
wali kota berkewajiban “melaksanakan
keputusan DKPP”.
Pasal 73 ayat (2) Bawaslu bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu
dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran untuk terwujudnya Pemilu
yang demokratis. Ayat (3) butir b.12, Tugas Bawaslu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meliputi: mengawasi pelaksanaan tahapan penyelenggaraan Pemilu yang
terdiri atas: “Pelaksanaan putusan DKPP”.
DKPP adalah role model penegakan kode etik abad XXI yang
menganut asas fairness, impartiality dan transparency dalam
satu model peradilan yang dilaksanakan menurut prinsip “audi et
alteram partem”. Selain itu, putusan DKPP bersifat final dan mengikat(binding) -
sejalan dengan pengadilan sengketa hasil pilkada yang kewenangannya sudah
dijalani MA maupun MK.
DKPP sebagai lembaga peradilan etika, juga sudah sangat efektif
menjalankan tugas dan kewenangannya. Sejak dibentuk pada 12 Juni 2012 hingga
per 31 Desember 2014, DKPP telah menerima pengaduan sebanyak 1.561 kasus,
dengan rincian pada tahun 2012 menerima pengaduan sebanyak 99 kasus, tahun 2013
sebanyak 577 kasus, dan pada tahun 2014 sebanyak 885 pengaduan. Sebanyak 500
pengaduan dan/atau laporan yang memenuhi syarat untuk disidangkan dengan
putusan yang bervariasi seperti rehabilitasi, peringatan tertulis yang terdiri
dari; peringatan biasa dan peringatan keras serta pemberhentian dari jabatan sebagai
penyelenggara pemilu.
Pada tahun 2015, meski Pemilu sudah cukup lama berlalu, pengaduan demi
pengaduan masih terus mengalir, DKPP pun terus sibuk menangani berbagai
pegaduan, terakhir (Selasa, 17 Maret 2015), DKPP menjatuhkan sanksi
Pemberhentian Tetap kepada salah seorang penyelenggara pemilu karena kasus
narkoba (baca; berita dkpp.go.id).
Bukti kepercayaan publik terkait efektivitas kinerja DKPP diperoleh dari
hasil polling yang dibuat DKPP pada situs www.dkpp.go.id. Dari total
5110143 pengunjung halaman website DKPP: 54,4% menyatakan sangat efektif,
20.7% menyatakan efektif, dan 24,9% menyatakan biasa saja. (data diambil pada 12
Oktober 2015, pukul 10.00 WIB).
Ke depan, kita berharap DPR mampu mewujudkan cita-cita untuk terbentuknya badan/lembaga peradilan khusus
sengketa pilkada yang sesuai harapan publik; efektif, efisien dalam hal fungsi
kelembagaan dan transparan, accountable dalam hal tugas dan tanggungjawab
mengadili sengketa hasil pilkada.
Dengan demikian penyelesaian sengketa PILKADA bukan terletak di sistem,
tetapi dibutuhkan lembaga khusus atau peradilan khusus yang menangani sengketa
PILKADA dan komitmen SDM pada fungsi kelembagaan dan transparan,
accountable dalam hal tugas dan tanggungjawab mengadili sengketa hasil pilkada,
oleh karena ada perekrutan hakim yang idenpendent, jangan ada wakil dari partai
politik tetapi harus ada perekrutan terbuka melalui kepanitaan khsuus yang
diamanah oleh Undang-Undang Peradilan Khusus PILKADA, persoalan apakan dibawah
MA atau dibawah MK adalah kesepakatan hukum tata negara versi Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar