MEMAHAMI
KONSTRUKSI HUKUM TENTANG MAKAR & SEJARAH HUKUM MENGENAI KEAMANAN NEGARA
Oleh:
Turiman Fachturahman Nur
A.Pengertian Makar
Sebuah pertanyaan
mendasar apa sebenarnya makar? Secara konstruksi hukum makar secara hukum
ternyata terdiri dari beberapa macam bentuk tindak pidana seperti tindak pidana
makar dengan maksud untuk menghilangkan nyawa Presiden atau wakil Presiden,
tindak pidana makar dengan maksud untuk membawa seluruh atau sebagian wilayah
negara kebawah kekuasaan asing atau untuk memisahkan sebagian wilayah negara,
dan tindak pidana makar dengan maksud merobohkan/menggulingkan pemerintah.
Untuk memahami secara konsepsional perlu
ditelusuri definisi makar, dalam khasanah Islam makar ialah suatu tipudaya yang
dilakukan oleh orang-orang kafir atau kelompok tertentu untuk menghancurkan
kebenaran. Tipu daya ini bisa dilakukan dengan cara menyebarkan isu-isu, fitnah,
dan dengan melakukan kekacauan. Ada juga yang mengartikan dengan memalingkan
orang lain dari apa yang dikehendakinya dengan tipuan akal busuk. Sedangkan di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia makar mempunyai arti tipu muslihat, akal
busuk, perbuatan (usaha) untuk menjatuhkan pemerintah yang sah. Atau dengan
kata lain makar juga bisa dikatakan sebagai pemberontakan terhadap pemerintah
yang sah, dalam hal ini pemerintah yang dimaksud adalah Kepala Negara.
Menurut Quraish Shihab makar berarti
mengalihkan pihak lain dari apa yang dia kehendaki dengan cara tersembunyi/tipu
daya. Secara Umum Pengertian
Makar adalah suatu rencana tersembunyi yang teguh untuk melakukan apa yang
dikehendaki oleh pembuat makar kepada sasarannya dengan cara yang tidak
disangka - sangka.
Bagaimana dalam khasanah hukum pidana, pengertian
tindak pidana makar adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan masalah
keamanan negara. Mengapa seseorang melakukan tindak pidana makar banyak faktor
yang mempengaruhi, tetapi umumnya adalah rasa ketidak puasan terhadap
pemerintahan/kekuasaan yang sedang berlangsung. Perbuatan tersebut pada umumnya
dilakukan oleh sekelompok orang yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama,
meskipun tidak tertutup, kemungkinan juga dilakukan oleh satu atau dua orang
saja.
Mengacu pada pemaparan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa makar adalah:
- Melakukan
tipu daya secara sembunyi-sembunyi
- Memalingkan
orang lain lain dari tujuannya dengan suatu bentuk tipu daya
- Menimpakan
hal yang dibenci kepada orang lain dengan sembunyi-sembunyi
- Rencana
yang tersembunyi untuk menyampaikan orang yang ditipunya kepada sesuatu
yang tidak disangka-sangka.
Jika memetakan pasal tentang tidak pidana makar dalam KUHP ada dua pasal yang memberikan konsep tentang perbuatan makar, yaitu :
Pasal 107 KUHP
- Makar
dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
- Para
Pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh
tahun.
Pasal 104 KUHP
Makar yang dilakukan dengan tujuan akan menghilangkan nyawa atau kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden Republik Indonesia, atau dengan tujuan akan menjadikan mereka tidak dapat menjalankan pemerintahan sebagai mana mestinya (tot regeren ongeschiktmaken). Hukumannya adalah hukuman penjara selama-lamanya dua puluh tahun, hukuman mana oleh Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1959 dinaikkan menjadi hukuman mati atau penjara seumur hidup atau selama dua puluh tahun.
Berdasarkan
rumusan Pasal 104 KUHP terdapat tiga macam
tindak pidana, antara lain :
1.
Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk membunuh
Presiden atau Wakil Presiden;
2.
Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk merampas
kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden;
3.
Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk menjadikan
Presiden atau Wakil Presiden tidak dapat menjalankan pemerintahan.
Kembali mengacu pada kamus besar Bahasa Indonesia, kudeta adalah kata kerja yang
berarti perebutan kekuasaan (pemerintahan) dengan paksa. Sementara dalam Wikipedia dijelaskan
bahwa kudeta adalah sebuah tindakan pembalikan kekuasaan terhadap seseorang
yang berwenang dengan cara illegal dan sering kali bersifat brutal,
inkonstitusional berupa "penggambilalihan kekuasaan",
"penggulingan kekuasaan" sebuah pemerintahan negara dengan
menyerang (strategis, taktis, politis) legitimasi pemerintahan kemudian
bermaksud untuk menerima penyerahan kekuasaan dari pemerintahan yang
digulingkan. Pada dasarnya kudeta adalah sebuah perbuatan pidana namun
perbuatan pidana akan lenyap apabila kudeta sukses karena adanya legitimasi
politik dari rakyat dan militer.
Pada sisi lain, dalam hukum pidana istilah
yang dikenal adalah makar. Tindak pidana makar masuk ke dalam rumpun kejahatan
terhadap keamanan Negara. Secara teoritis, makar yang dikenal oleh umum adalah
makar yang ditujukan ke dalam negeri yang dapat dibagi menjadi tiga bagian
yaitu makar terhadap keselamatan Presiden dan Wakil Presiden, terhadap wilayah
Negara, dan terhadap pemerintahan. Ketiga perbuatan ini diatur dalam Pasal
104, Pasal 106, dan Pasal 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Bentuk tindak pidana yang tepat dalam
konteks kudeta adalah makar untuk menggulingkan pemerintahan seperti yang
diatur dalam Pasal 107 KUHP yang berbunyi : “(1) Makar dengan maksud untuk
menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun. (2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1,
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling
lama dua puluh tahun.”
Makar dalam rumusan delik ini adalah
penggantian pemerintahan dengan cara yang tidak sah yang tidak berdasarkan
saluran yang ditetapkan dalam Undang-undang. Oleh Karena itu, tindak pidana
makar baru dapat dikenakan apabila memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 87
KUHP. Pasal 87 KUHPmenegaskan bahwa tindak pidana makar baru
dianggap terjadi apabila telah dimulainya perbuatan-perbuatan pelaksanaan dari
si pembuat makar.
Jika merujuk pada berita-berita media
beberapa waktu lalu, tindakan orang yang “dianggap makar” barulah sebatas
rencana untuk mengadakan demonstrasi-demonstrasi. Untuk itu, rumusan dan syarat
delik ini tidak dapat terpenuhi.
Makar atau bughat adalah bentuk
kejahatan atau tindak pidana yang ditujukan terhadap kekuasaan negara dan
digolongkan sebagai kejahatan politik, serta menurut hukum pidana positif dan
hukum pidana Islam percobaan dan permufakatan untuk melakukan kejahatan makar
tetap dapat dipidana.
Adapun perbedaannya adalah bahwa dalam
hukum pidana positif seseorang yang tidak memenuhi program pemerintah tidak
dianggap makar. Sementara itu, menurut hukum pidana Islam, yang disebut makar
ialah umat muslim yang hendak mencopot pemimpin negara dan yang tidak
melaksanakan kewajiban yang berhubungan dengan hak Tuhan atau manusia, seperti
membayar zakat, atau tidak mau menyatakan kesetiaan dan tunduk kepada penguasa
tertinggi. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila
sebelumnya sudah ada nash atau ketentuan yang melarang perbuatan tersebut dan
diancam dengan hukuman.
Dengan kata lain, tidak ada tindak pidana
dan tidak ada hukuman kecuali dengan adanya suatu nash yang melarang perbuatan
tersebut.[1] Ketentuan ini dalam hukum positif disebut
dengan Asas Legalitas, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP.
Sedangkan untuk hakim, agar dapat menyelesaikan perkara yang sedang
diperiksanya, maka wajib baginya untuk mengetahui hakikat dakwaan dan
mengetahui hukum tentang kasus tersebut. Pengetahuan hakim tentang hakikat
dakwaan itu ada kalanya ia menyaksikan sendiri peristiwanya, atau menerima
keterangan dari pihak lain. Dan jika tidak demikian, maka tidak disebut sebagai
pengetahuan hakim melainkan dapat disebut sebagai persangkaan (dhan).[2]
Penyelenggaraan peradilan pidana
didukung oleh berbagai komponen seperti pengadilan, kejaksaan dan kepolisian.
Komponen peradilan ini mempunyai otonomisasi dan independensi yang sangat kuat
sehingga mekanisme kerjanya terlepas dari komponen lainnya. Namun dengan
dikeluarkannya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menunjukan adanya
keterpaduan di antara komponen tersebut. Dengan demikian masing-masing komponen
tidak lagi berdiri sendiri melainkan merupakan bagian dari satu kesatuan sistem
yang disebut sebagai Sistem Peradilan Pidana.[3]
Penanganan kejahatan yang terjadi di
dalam masyarakat, pertama kali yang menangani adalah pihak kepolisian dalam hal
ini dilakukan oleh berdasarkan laporan
atau aduan maupun tertangkap tangan.[4] Setelah penyidik menyelesaikan tugas
pemeriksaannya langkah berikutnya adalah menyerahkan hasil pemeriksaannya
kepada kejaksaan guna melakukan penuntutan (vervolging) di pengadilan.[5]
Dan selanjutnya pengadilan memeriksa dan mengadili (rechtspraak) dengan menjatuhkan
putusan berupa pembebasan dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan dan pemberian
hukuman berupa pidana. Bagi terdakwa yang mendapat hukuman, yang bersangkutan
kemudian ditempatkan di lembaga pemasyarakatan guna menjalani proses pembinaan
lebih lanjut.[6]
Proses
penegakan hukum yang dilakukan di tingkat pengadilan diawali dengan hakim
membuka sidang dengan menyatakan “sidang terbuka untuk umum”.70 Dilanjutkan
dengan pembacaan surat dakwaan oleh penuntut.
Penyidik adalah pejabat polisi negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.. Tidak semua
sidang dinyatakan terbuka untuk umum. Adapun sidang yang tertutup untuk umum
yaitu menyangkut perkara kesusilaan dan perkara yang terdakwanya anak di bawah
umur. Namun ketika hakim membacakan putusan terhadap perkara-perkara tersebut
harus dinyatakan terbuka untuk umum.[7]
Terkadang setelah pembacaan surat
dakwaan, terdakwa atau penasehat hukumnya mengajukan eksepsi atau tangkisan.
Dan selanjutnya hakim harus menjatuhkan putusan sela. Proses terpenting dari
penegakan hukum di pengadilan ini adalah pada tahap pembuktian dan penjatuhan
putusan, karena dari jawaban soal inilah terdakwa akan dinyatakan bersalah atau
tidak.
B.Analisis
Kasus Makar Dalam Putusan Pengadilan
Sebagai analisis kasus, kita dapat
petakan dalam Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Semarang Nomor: 188/Pid.B/2011/PN.Ung,
Majelis Hakim telah membuktikan berdasarkan
fakta-fakta di persidangan dari alat bukti, keterangan para saksi, keterangan ahli
dan keterangan Terdakwa, maka unsur-unsur permufakatan jahat dan makar dengan
maksud menggulingkan pemerintahan negara telah terpenuhi, yaitu adanya
usaha-usaha untuk meniadakan atau merubah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) menjadi Negara Islam Indonesia (NII), meskipun Pemerintah Republik
Indonesia tidak harus terguling tetapi cukup dengan niat dan permulaan
pelaksanaan itu.
Dan menyatakan terdakwa secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan permufakatan jahat untuk
melakukan perbuatan makar dengan maksud menggulingkan pemerintahan”,
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 110 ayat (1). (5) KUHP Jo
Pasal 107 ayat (2) KUHP. Bahwa, di dalam Pasal 183 Jo Pasal 184 KUHAP mengatur
pembuktian yang Negatif Wettelijk Stelsel[8],
artinya hakim di dalam Teori Sistem
Pembuktian ada 4, yaitu: 1. Conviction in time adalah pembuktian yang
menyandarkan pada keyakinan hakim semata;[9] memutus suatu perkara berdasarkan alat bukti yang
sah dan keyakinannya atas alat bukti tersebut.
Bahwa, keyakinan hakim terhadap 2 (dua)
alat bukti tersebut mengandung 3 (tiga) syarat: 1. Benar bahwa perbuatan
terdakwa telah memenuhi unsur delik; 2. Benar bahwa terdakwa adalah pelakunya,
baik secara individu, penyertaan maupun pembantuan; 3. Tidak ada alasan yang
dapat menghapus pidana terhadap diri terdakwa.
Adapun mengenai macam-macam alat bukti
sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 KUHAP adalah: 1. Keterangan saksi; 2.
Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa. Majelis Hakim
berpendapat bahwa BAP Tersangka yang dibuat Penyidik tertanggal 24 Mei 2011 dan
26 Mei 2011 adalah termasuk dalam pengertian alat bukti surat, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 187 huruf a 2.[10]
Conviction in raisone adalah pembuktian
yang menyandarkan pada keyakinan hakim semata, namun putusan hakim tersebut
harus berdasarkan lasan yang jelas (reasoning); Positif wettelijk adalah pembuktian yang hanya
menyandarkan pada alat bukti semata; Negatif wettelijk adalah pembuktian
berdasarkan alat bukti dan keyakinan atas alat bukti tersebut.
Surat sebagaimana tersebut pada pasal
184 ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah adalah: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang 79 KUHAP dan menjadi salah satu
alat bukti yang sah sesuai pasal 184 ayat (1) KUHAP. Meskipun dihadapan
pengadilan Terdakwa mencabut BAP tersebut, namun Majelis Hakim berpendapat
bahwa pencabutan keterangan terdakwa tersebut tidak berdasar merupakan petunjuk
tentang kesalahan terdakwa.
Menimbang, bahwa dari keterangan para
saksi, ahli dan keterangan Terdakwa maka jelas adanya usaha-usaha untuk
meniadakan atau merubah NKRI menjadi NII, meskipun Pemerintah Republik
Indonesia tidak harus terguling tetapi cukup dengan adanya niat dan permulaan
pelaksanaan itu
Menimbang, bahwa dengan demikian maka
unsur “makar dengan maksud menggulingkan pemerintah” telah terbukti. Sedangkan
di dalam hukum islam, para ulama’ fiqh tidak membahas secara terperinci tentang
alat bukti yang dapat digunakan untuk pembuktian tindak pidana makar atau
jarimah bughat, dikarenakan tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana
secara nyata melakukan gerakan dengan menggunakan kekuatan.
Adapun untuk
pembuktiannya diperlukan tatkala melihat berbagai tindakan yang mereka lakukan.
Dalam hal ini imam syafi’i berpendapat, bahwa seluruh tindakan yang berkaitan
dengan kerugian terhadap nyawa dan harta diperhitungkan sebagai tindak jinayah
tersendiri, misalnya jika pelaku makar itu melakukan pembunuhan maka dalam hal
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tentang keterangannya itu.;
Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
Surat keterangan
dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu
hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya; d. Surat lain
yang hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang
lain. (vide: pasal 187 KUHAP). KUHP dan KUHAP, pembuktian yang dibutuhkan
adalah alat bukti yang sesuai dengan alat bukti dalam jinayah pembunuhan.
Di dalam hukum
islam, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai jarimah bughat ketika memenuhi
tiga unsur, yaitu :
1. Pembangkangan
terhadap kepala negara (imam)
2. Pembangkangan
dilakukan dengan menggunakan kekuatan
3. Adanya niat melawan hukum.[11]Ketiga
unsur tersebut merupakan syarat suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai jarimah
bughat.[12]
Sedangkan tindak pidana makar menurut hukum positif diatur dalam Buku II Bab I
KUHP tentang kejahatan melanggar keamanan negara, yang pada intinya adalah
suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menggulingkan pemerintahan
yang sah dan disertai dengan kekerasan atau bahkan pembunuhan terhadap
presiden. Adapun mengenai permufakatan jahat dalam Pasal 110 ayat 1 KUHP
merupakan perbuatan yang dilarang.
Perbuatan
tersebut diatas adalah sesuai dengan Pasal 88 KUHP yakni dikatakan ada
permufakatan jahat , apabila dua orang atau lebih sepakat akan melakukan
kejahatan. Jadi mufakat jahat terjadi apabila telah mendapat kata sepakat
setelah ada perundingan atau perjanjian antara dua orang atau lebih untuk
melakukan kejahatan.[13]
Dan makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 107 KUHP menjelaskan bahwa makar dengan maksud menggulingkan
pemerintahan (meniadakan atau mengganti bentuk pemerintahan) tidaklah harus
dilakukan dengan kekerasan (bersenjata), namun cukup dengan segala perbuatan
yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Sedang pada ayat 2
pasal 107 KUHP menentukan pidana yang lebih berat bagi pimpinan atau orang yang
mengatur makar tersebut.
Adapun
mengenai istilah penggulingan pemerintahan dalam KUHP memberikan penafsiran
seperti apa yang tercantum pada pasal 88 bis KUHP yang berbunyi “Dengan
Menggulingkan Pemerintahan (omwenteling) dimaksudkan meniadakan atau mengubah
secara tidak sah bentuk pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.[14]
Berdasarkan
penafsiran pasal 88 bis KUHP, maka penggulingan pemerintahan itu dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1. Meniadakan bentuk pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar. 2. Mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan menurut
UndangUndang Dasar. Di dalam proses penelusuran fakta hukum pada putusan ini
ada beberapa kejanggalan yang harus penulis uraikan, yaitu:
1.
Bahwa,
pencabutan BAP oleh terdakwa di hadapan Majelis Hakim khususnya mengenai NII
dengan alasan penyidik telah merekayasa BAP dan kondisi Terdakwa pada waktu
diperiksa oleh Penyidik dalam keadaan letih serta mendapatkan tekanan baik
secara fisik maupun psikis sehingga terdakwa mengakui terlibat secara langsung
dengan NII dan menandatangani BAP tersebut. Menurut penulis, Seharusnya dalam
hal ini Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa fakta hukum yang digunakan adalah
fakta hukum yang terungkap di persidangan, meskipun BAP juga bisa dijadikan
sebagai alat bukti surat namun hakim dalam hal ini terlalu gegabah untuk
menyimpulkan bahwa pencabutan BAP Terdakwa di depan pengadilan adalah tidak
berdasar dan menjadikannya sebagai petunjuk bahwa terdakwa terlibat langsung
dengan organisasi NII. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk
dalam setiap keadaan tertentu seharusnya dilakukan oleh hakim dengan arif dan
bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan
keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Dan harus disesuaikan baik anatara satu
dengan yang lainnya maupun dengan tindak pidana itu sendiri.
2.
Bahwa,
menurut pertimbangan Majelis Hakim bahwa disamping adanya niat atau maksud yang
dikehendaki maka ternyata Terdakwa sudah melakukan permulaan pelaksanaan dengan
adanya perekrutan anggota NII 83 dan penggalangan dana sebagaimana keterangan
saksi Nusa Galendra Maulana dan saksi Denok Setyowati. Dalam hal ini penulis
tidak sepakat dengan pertimbangan majelis hakim tersebut, bahwa menurut
keterangan saksi Nusa Galendra Maulana menyatakan bahwa saksi memang pernah
ikut NII dan saksi tahu dari Fahmi dan Elma (perekrut) bahwa yang menjadi
Presiden NII adalah Panji Gumilang yang berkedudukan di Indramayu namun saksi
belum pernah melihat dan belum kenal sama Panji Gumilang tetapi saksi pernah
melihat gambarnya. Sedangkan untuk gubernur jawa tengah saksi tidak tahu siapa
yang menjadi gubernurnya. Begitu juga dengan keterangan yang diuraikan oleh
saksi Denok Setyowati yang memberikan keterangan bahwa putrinya pernah menjadi
korban penipuan yang dilakukan oleh Nofi Vriantina, dan saksi tidak tahu
hubungan anak saksi dengan terdakwa serta hubungan nofi Vriantina dengan
terdakwa. Berdasarkan keterangan tersebut penulis berpendapat bahwa saudara
Nusa Galendra Maulana dan Denok Setyowati tidak bisa dijadikan sebagai saksi,
karena secara umum definisi saksi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) pada pasal 1 angka 26 adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.[15]
3.
Bahwa,
menurut pertimbangan Majelis Hakim Terdakwa telah menunjukan niatnya untuk
menggulingkan pemerintahan dengan membentuk ormas Masyarakat Indonesia
Membangun (MIM) di Jawa Tengah yang pengurusnya adalah teman-teman terdakwa
sesama anggota NII, yang telah berhasil mendapatkan surat keterangan terdaftar
dari instansi Kesbanglinmas Provinsi Jawa Tengah sebagaimana keterangan saksi
Rr. Siti Fatimah Murniati dan barang bukti SKT. Dalam hal ini penulis berpendapat
bahwa sebagaimana keterangan saksi Rr. Siti Fatimah, ormas Masyarakat Indonesia
Membangun (MIM) yang dipimpin oleh Terdakwa sedangkan pusatnya ada di Indramayu
Jawa Barat yang dipimpin oleh Abdussalam Panji Gumilang yang bergerak di bidang
ekonomi, sosial, budaya, HAM, ketahanan pangan, pertanian dan peternakan telah
terdaftar di Kesbangpol Linmas Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 4 Mei 2011.
Dengan terdaftarnya MIM maka jelas bahwa secara administratif ormas tersebut
tidak bertentangan dengan aturanaturan yang berlaku. Selanjutnya, dengan adanya
pencabutan status terdaftar organisasi Masyarakat Indonesia Membangun (MIM) di
Kesbangpol dan Linmas Provinsi Jawa Tengah dengan dasar adanya surat edaran
dari Mendagri 85 tanggal 11 Juli 2011 yang besifat sangat rahasia sangatlah
tidak mendasar, apalagi belum ada putusan dari pengadilan yang menyatakan bahwa
ormas Masyarakat Indonesia Membangun (MIM) adalah organisasi yang bertentangan
dengan aturan dan dijadikan sebagai upaya untuk menggulingkan pemerintahan.
Selain itu menurut penulis keputusan pencabutan status terdaftar ormas tersebut
menyalahi hak ormas dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan
organisasi berdasarkan pasal 6 huruf a UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan dan melanggar hak berserikat yang tercantum dalam pasal 28E ayat
3 UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat
(freedom of association), berkumpul (freedom of assembly) dan mengeluarkan
pendapat (freedom of expression).
4.
Dihadirkannya
Agus Endro Wibowo, SH Bin Supriyarto sebagai saksi Verbalisant oleh Penuntut
Umum atas kesaksian Terdakwa yang menyangkal keterangannya sebagaimana dalam
BAP Penyidik sangatlah tidak tepat, karena saksi Agus Endro Wibowo sebagai
penyidik bukan yang memeriksa Terdakwa secara langsung. Namun yang memeriksa
adalah penyidik lain yang bukan saksi saudara Agus Endro Wibowo, SH dan saksi
hanya bertugas menungguinya. Hal ini tentunya bertentangan dengan hukum yaitu
sebagaimana definisi saksi menurut Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) pada pasal 1 angka 26 adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
5.
Mengenai
Buku yang berisikan proklamasi NII, terdakwa tidak merasa memiliki buku
tersebut. Sedangkan tujuh anggota POLRI yang melakukan penangkapan atas
Terdakwa dan teman-temannya dihadirkan oleh penuntut umum sebagai saksi di
persidangan, dari keterangan ketujuh saksi tersebut tidak ada yang memberikan
kesaksian secara rinci, khususnya mengenai asal usul buku tersebut, apakah
ditemukan di lokasi penangkapan atau bagaimana, akan tetapi mereka hanya memberikan
keterangan secara umum saja, seperti hanya bertugas untuk mengikat beberapa
dokumen, membawa barang bukti, mengumpulkan dan menulis barang bukti yang
disita dan sebagainya. Dan lebih jelasnya didalam surat dakwaan Penuntut Umum
tidak mencantumkan barang bukti berupa buku berisikan proklamasi NII. Kecuali
kalau ada bukti keterlibatan Terdakwa secara langsung dalam NII, baik berupa
tulisan (struktur organisasi) maupun Visual (foto atau video). Sebenarnya
Penuntut Umum mencantumkan barang bukti berupa 2 (dua) keping CD, dan
berdasarkan kesaksian Joko Sugiyanto Bin Suhadi ia sudah membuka isi dari 2
(dua) keping CD yang berisikan rekrutmen kontituan dan taqdim ikhsan. Dalam hal
ini penulis tidak tahu menahu mengenai isi CD yang sebenarnya, akan tetapi
Majelis Hakim tidak menjadikannya sebagai pertimbangan untuk menentukan
kesalahan Terdakwa. 6. Mengenai jabatan Terdakwa sebagai Koordinator Wali
Santri Jateng dan DIY yang bertugas untuk mengumpulkan uang wali santri
Pesantren Al Zaitun telah dibenarkan oleh kesaksian Zulistiyono (wali santri),
Mustamah (alumni Pesantren Al Zaitun), Iskandar Saefullah (bendahara Pesantren
Al Zaitun), Rasdi Suntara (Ketua Komite Sumber Daya Manusia Pondok Pesantren Al
zaitun). Terdakwa sebagai koordinator bertugas menarik biaya pesantren setiap
bulan kepada seluruh wali santri di Jateng dan DIY yang berkisar sejumlah 2.000
santri.
6.
Seharusnya
dalam hal ini dijadikan pertimbangan oleh Majelis Hakim untuk menentukan salah
atau tidaknya terdakwa yang didakwa sebagai Gubernur NII Jawa Tengah. Dari
beberapa kejanggalan yang penulis temukan dalam proses peradilan pidana pada
perkara Nomor: 188/Pid.B/2011/PN.Ung tentang tindak pidana makar, maka penulis
berpendapat bahwa berdasarkan rumusan tindak pidana makar (bughat) dalam perspektif
hukum islam maupun hukum positif tindakan terdakwa belum memenuhi unsur-unsur
tindak pidana makar sebagaimana kejanggalan-kejanggalan yang penulis temukan
dipersidangan dan ketidaktepatan dalam penerapan pasal sebagaimana pertimbangan
Majelis Hakim dalam menentukan salah atau tidaknya Terdakwa.
7.
Dalam
hal ini penulis menyatakan bahwa saudara terdakwa tidak terbukti secara syah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan permufakatan jahat untuk melakukan perbuatan makar dengan
maksud menggulingkan pemerintahan”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
pasal 110 ayat (1). (5) KUHP Jo Pasal 107 ayat (2) KUHP. Adapun menurut penulis
dalam perspektif hukum islam, perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa beserta
teman-temannya bukan merupakan suatu perbuatan jarimah bughat, dikarenakan
tidak terpenuhinya unsur pembangkangan terhadap kepala negara atau pemerintah,
tidak menggunakan kekuatan serta tidak adanya niat melawan hukum. Hal ini
dibuktikan dengan patuhnya terdakwa dalam melaksanakan ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku, misalnya terdakwa mematuhi aturan yang ditetapkan
oleh Kementerian Dalam Negeri dalam hal memenuhi syarat pendaftaran organisasi
atau LSM MIM, dan terdakwa belum pernah tersangkut masalah hukum sebelumnya.
Sedangkan dalam perspektif hukum positif, dakwaan yang ditujukan kepada
terdakwa, yaitu pasal 110 ayat (1). (5) KUHP Jo Pasal 107 ayat (2) KUHP. Dalam
hal ini penulis berpendapat bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam pasal-pasal
tersebut belum terpenuhi, yaitu:
1)
Unsur
mengenai permufakatan jahat, dengan terhimpunnya terdakwa dan teman-temannya
dalam satu wadah organisasi MIM belum bisa dikatan sebagai suatu permufakatan
bersama untuk melakukan makar, karena MIM secara administratif bukan termasuk
ormas yang menyimpang dari ketentuan perundangan.
2)
Tidak
terbukinya terdakwa secara nyata melakukan permulaan tindak pidana makar,
sebagaimana ketentuan dalam pasal 87 KUHP. Alat bukti tidak cukup. a. Meskipun
Majelis Hakim menjadikan BAP sebagai alat bukti surat sesuai dengan pasal 187
KUHAP, akan tetapi BAP bukanlah yang dimaksud sebagai alat bukti secara
absolut, karena BAP masih harus dibuktikan di persidangan. Dan ketika hal
tersebut tidak sinkron dengan keterangan Terdakwa, jadi secara hukum tidak bisa
dikatakan sebagai alat bukti surat. Hal ini sesuai dengan BAP yang disangkal
oleh Terdakwa. Dan fakta hukum yang sbenarnya adalah fakta hukum yang muncul
dalam persidangan. b. Majelis Hakim menjadikan kesaksian Nusa Galendra Maulana
dan Denok Setyowati sebagai satu alat bukti mengenai adanya permulaan tindak
pidana makar yang dilakukan oleh terdakwa. Dalam hal ini keduanya tidak bisa
dikatakan sebagai saksi dan kesaksiannya tidak bisa diterima, karena keduanya
tidak ada hubungan atau tidak ada kaitannya dengan terdakwa. c. Dengan adanya
buku mengenai proklamasi NII bukan berarti secara otomatis Terdakwa terlibat
dalam NII, apalagi tidak ada ketentuan perundangangan maupun
ketetapan-ketetapan dari pejabat negara yang melarang beredarnya buku tersebut
dan menjadikan organisasi NII sebagai organisasi terlarang di NKRI.
3)
Ahli
yang dimintai keterangan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di
sidang pengadilan, baik yang memberatkan maupun yang meringankan Terdakwa,
perlu diminta untuk melakukan penelitian ulang oleh Majelis Hakim, dengan
mempertimbangkan rumusan tindak pidana makar di era demokrasi sekarang ini. B.
Analisis Terhadap Sanksi Tindak Pidana Makar pada Putusan Pengadilan Negeri
Kabupaten Semarang Nomor : 188/Pid.B/2011/Ung Menurut pertimbangan Majelis
Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Semarang Nomor:
188/Pid.B/2011/Ung, berdasarkan fakta-fakta di persidangan bahwa dengan
terbuktinya Terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
permufakatan jahat untuk melakukan makar dengan maksud untuk menggulingkan
pemerintah sesuai dakwaan Penuntut Umum seperti diatur dan diancam dalam Pasal
110 ayat (1), (5) KUHP Jo Pasal 107 ayat (1) KUHP.
4)
Menimbang,
bahwa sebelum menentukan lamanya pidana yang akan dijatuhkan, terlebih dahulu
Majelis mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan
yang ada pada diri Terdakwa sebagai berikut: Hal-hal yang memberatkan: -
Perbuatan Terdakwa dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa serta dapat
mengganggu stabilitas keamanan Negara; - Terdakwa tidak mengakui perbuatannya;
5)
Hal-hal
yang meringankan: - Terdakwa belum pernah dihukum; - Terdakwa mempunyai
tanggungan keluarga; - Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan; Mengingat
ketentuan Pasal 110 ayat (1), (5) KUHP Jo Pasal 107 ayat (1) KUHP, KUHAP dan
Ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan, Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Kabupaten Semarang Mengadili:
I.
Menyatakan
Terdakwa TOTOK DWI HANANTO alias MIZAN SHIDIQ bin SARDHONO telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana
“Permufakatan jahat untuk melakukan perbuatan makar dengan maksud untuk
menggulingkan pemerintah”;
II.
Menjatuhkan
pidana terhadap Terdakwa TOTOK DWI HANANTO alias MIZAN SHIDIQ bin SARDHONO
dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun;
III.
Menetapkan
masa penahanan sewaktu Terdakwa berada dalam tahanan sebelum putusan ini
mempunyai kekuatan hukum tetap, dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan;
IV.
Menetapkan Terdakwa tetap ditahan;
V.
Dan
menetapkan beberapa barang bukti.
C.Sejarah
Hukum Makar terhadap Keamanan Negara[16]
Untuk mengetahui dengan lebih
lengkap tentang pengaturan keamanan negara di Indonesia, maka akan
dilihat pengaturannya secara umum dan secara khusus dalam peraturan
perundang-undangan yang ada. Secara umum, dimaksudkan untuk menampilkan
nama-nama peraturan di bidang keamanan negara. Sedangkan secara khusus,
dimaksudkan akan menyoroti beberapa peraturan yang dijadikan contoh, yang
pernah coba dipergunakan untuk menjerat kasus keamanan negara tertentu.
Pengaturan
masalah yang berkaitan dengan keamanan negara secara umum di Indonesia, antara
lain terdapat dalam:
1.
UU No. 26 Tahun 1999 Tentang
Pencabutan UU Pemberantasan Kegiatan Subversi
2.
UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3.
UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
4.
UU No, 19 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
5.
UU No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP)
6.
UU No. 1 tahun 2001 tentang Pengesahan Persetujuan
Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Hong Kong Untuk Penyerahan
Pelanggar Hukum Yang Melarikan Diri.
7.
UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang.
8.
UU No. 15 tahun 2003 tentang PERPU No.
1 Tahum 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Menjadi UU.
9.
UU No. 16 tahun 2003 PERPU No. 2 Tahum 2002
tentang Pemberlakuan PERPU No.1/2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002
Menjadi UU.
10. UU
No. 2 tahun tentang 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
11. UU
No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
12. UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
13. UU
No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan KUHP Yang Berkaitan Dengan Kejahatan
Terhadap Keamanan Negara.
14. UU
No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih
Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme
15. UU
No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
16. UU
No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
17. UU
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
18. UU
No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
19. UU
No. 5 Thn 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.
20. UU
No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP
21. UU
No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian
22. UU
No.1 tahun 1999 tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia
dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana
23. UU
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
24. UU
No12/ DRT/ 1951 tentang senjata api dan bahan peledak
25. UU
No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh
Dalam Bentuk Nanggroe Aceh Darussalam
26. UU
No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua
27. UU
No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
28. UU
No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
29. PP
No. 74 tahun 2001 tentang pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
30. PP
No 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap
Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat.
31. PP
No 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi
Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat
32. KepPres
No. 103 Tahun 2003 tentang Bebas Visa Kunjungan Singkat
33. Instruksi
Presiden No. 4 Th. 2002 kepada Menteri negara Koordinator Bidang Politik dan
Keamanan bagi pemberantasan tindak pidana terorisme;
34. Instruksi
Presiden No. 5 Th. 2002 kepada Kepala Badan Intelijen Negara sebagai
koordinator bagi operasi intelijen, dsb.
Pengaturan keamanan negara secara
khusus, disajikannya dalam periodesasi pengaturan, sebagai berikut:
1. Periode
1945 - 1963.
2. Periode
1963 - 1999.
5. Periode
1999 - 2002.
6. Periode
2002.- sekarang.
Pembagian beberapa periode
tersebut, baik seperti yang diatur dalam KUHP maupun di luar KUHP, engan asumsi
adanya perbedaan penerapannya, yang mungkin dipengaruhi oleh politik pemerintahan
pada masa-masa tersebut.
ad.1.
Periode 1945 - 1963:
Sejak
kemerdekaan Republik Indonesia sampai masa dikeluarkannya Penpres
No. 11/PNPS/1963, yakni masa pengaturan kejahatan keamanan Negara hanya
bersumber KUHP belaka. Kebijakan pengaturan berkaitan dengan
KUHP tersebut, antara lain:
a. Berdasarkan
ketentuan dalam UUD 1945.
Pada Aturan Peralihan UUD
1945 dikatakan,bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Maka
pada masa itu berlakulah Wetboek van Strafrecht voor nederlandsch Indie,
yang telah dilakukan perubahan oleh pemerintah Tentara pendudukan Jepang,
yang dianggap perlu bagi kekuasaan mereka. Setelah itu pada tahun-tahun
berikutnya berlaku dualisme KUHP yaitu wetboek van Strafrecht voor Indonesie
dan KUHP hasil Undang-Undang. No.1 tahun 1946, yang sama-sama bersumber
dari Staatblaad 732 tahun 1915 tentang Wetboek van Strafrecht voor Nederladsch
Indie yang mulai berlaku sejak tanggal 1 januari 1918 di Hindia Belanda,
dan masing-masing melakukan perubahan sendiri-sendiri.
b. Berdasarkan
staatblaad no.135 tahun 1945.
Pemerintah Pelarian Hindia
Belanda di Ausrtralia (di kota Brisbane) mengatur tentang perubahan
Wetboek van Strafrecht voor Nederladsch Indie menjadi wetboek van Strafrecht
voor Indonesie, untuk daerah-daerah selain jawa dan madura berlaku KUHP
ini, yang lebih dikenal dengan “Brisbane Ordonantie”. Wetboek van
Strafrecht voor Nederladsch Indieini, teks aslinya masih dalam bahasa
Belanda, dimana dasar yuridis, filosofis maupun sosiologisnya
merupakan pandangan Belanda pada masa tersebut
a)
Perubahan yang dilakukan oleh “Brisbane Ordonantie”,
antara lain: diaturnya kejahatan mata-mata,
b)
penambahan pasal 159 a dan pasal 159 b
yaitu mengancam perbuatan yang dianggap mengganggu ketertiban umum
dengan kekerasan dan merobohkan pemerintah syah.
c)
pasal 335 tambah ayat (3), mengatur perbuatan
menyangkut kepentingan perekonomian.
d)
penambahan satu pasal baru yaitu pasal 570 tentang
pelanggaran terhadap keamanan Negara, sehingga Wetboek van Strafrecht voor
Indonesie menjadi berjumlah 570 pasal.
e)
penambahan ancaman pidana pasal 110, semula
diancam dengan pidana penjara, diubah menjadi pidana mati, penjara seumur hidup
atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun
Perubahan ancaman pidana yang semula
telah ada, misalnya yang semula diancam dengan pidana penjara, diubah menjadi
pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh
tahun. Padahal pidana mati di negara Belanda telah dihapus.
Dapat disimpulkan, perubahan yang dilakukan tersebut mempunyai tujuan politik.
Untuk menunjang kembalinya mereka ke negara bekas jajahannya yaitu Indonesia.
Perubahan itu mempunyai dampak
pada tahun-tahun berikutnya, antara lain terhadap timbulnya UU Anti Subversi.
Ini terjadi karena ada perbuatan yang tidak diatur dan diancam
pidana oleh KUHP, umpamanya perbuatan mata-mata. Sehingga
Pemerintah Indonesia perlu mengadakan peraturan tentang beberapa perbuatan yang
belum diatur oleh KUHP.
c. Berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun
1946,
Dengan UU ini, Pemerintah
Indonesia menetapkan bahwa untuk hukum pidana diberlakukan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah berlaku sejak tanggal 8 Maret
1942, yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederladch Indie yang belum dirubah
oleh pemerintah tentara pendudukan Jepang, disebut “KUHP hasil
Undang-Undang. No.1 tahun 1946”. UU ini memberikan kekuatan untuk
menyesuaikan materi KUHP dengan kondisi negara Indonesia, terlihat
pada ketentuan dalam pasal V, yang menyebutkan: “Peraturan hukum
pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dijalankan, atau
bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka
atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian tidak
berlaku”. Menurut pasal XVII, UU ini berlaku bagi Jawa dan madura, kemudian
menyusul Jakarta dan sebagian dari pulau sumatra.
Materi pengaturan Kejahatan Terhadap
Keamanan Negara dalam Bab I Buku Ke dua KUHP dirumuskan mulai pasal 104 sampai
dengan pasal 129, ringkasnya sebagai berikut:
a)
Pasal
104, makar dengan maksud membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau
meniadakan kemampuan Presiden dan Wakilnya memerintah.
b)
Pasal
106, makar dengan maksud seluruh atau sebagian wilayah Negara jatuh ke
tangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah Negara.
c)
Pasal
107, makar dengan maksud menggulingkan pemerintah yang sah.
d)
Pasal
108, pemberontakan.
e)
Pasal
110, permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan pasal 104, 106, 107,
108.
f)
Pasal
111, mengadakan hubungan dengan Negara asing dengan maksud
menggerakkannya untuk melakukan perbuatan memusuhi atau perang dengan Negara RI
dsb.
g)
Pasal
111 bis, mengadakan hubungan dengan orang atau badan di luar negeri
dengan maksud menggerakkannya supaya membantu mempersiapkan, memperlancar, atau
menggerakkan untuk menggulingkan pemerintah yang sah dsb.
h)
Pasal
112, sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita yang diketahuinya
harus dirahasikan untuk kepentingan Negara.
i)
Pasal
113, sengaja mengumumkan , atau memberitahukanmaupun menyerahkan kepada orang
yang tidak wenang mengetahui, surat-surat, peta-peta dan lain sebagainya yang
bersifat rahasia yang bersangkutan dengan pertahan dan keamanan Negara.
j)
Pasal
114, karena kealpaannya menyebabkan surat-surat atau benda-benda dalam
pasal 113 yang menjadi tugasnya untuk menyimpannya, diketahui umum atau yang
tidak berhak dsb.
k)
Pasal
115, melihat atau membaca surat-surat atau benda-benda rahasia dalam
pasal 113, yang diketahuinya bahwa benda-benda itu dimaksudkan untuk diketahui
olehnya dsb.
l)
Pasal
116, permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan pasal 113 dan 115.
m)
Pasal
117, sengaja memasuki bangunan AD atau AL atau daerah terlarang dsb.
n)
Pasal
118, tanpa wenang, sengaja membuat, mengumpulkan dsb, yang bersangkutan
dengan kepentingan militer.
o)
Pasal
119, memberi tumpangan kepada orang yang diketahuinya mempunyai
niat untuk mengetahui benda-benda rahasia seperti tersebut dalam pasal 113.
p)
Pasal
120, kejahatan pasal 113, 115, 117, 118, 119 yang dilakukan dengan aqal
curang.
q)
Pasal
121, orang yang ditugasi untuk berunding dengan Negara asing, dengan sengaja
merugikan Negara Indonesia.
r)
Pasal
122, dalam masa perang yang tidak menyangkut Indonesia, dengan sengaja
melakukan perbuatan yang membahayakan kenetralan Negara.
s)
Pasal
123, WNI yang masuk menjadi tentara asing yang sedang menghadapi perang
atau perang dengan Indonesia.
t)
Pasal
124, dalam masa perang sengaja memberi bantuan pada musuh dsb.
u)
Pasal
125, permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan dalam pasal 124.
v)
Pasal
126, dalam masa perang tidak dengan maksud membantu musuh, memberi
pondokan kepada mata-mata musuh, menyembunyikan dsb.
w)
Pasal
127, dalam masa perang melakukan perbuatan tipu muslihat atau aqal curang
dalam penyerahan barang-barang keperluan Angkatan Laut dan Angkatan Darat.
x)
Pasal
129, diterapkannya pidana-pidana yang ditentukan terhadap
perbuatan-perbuatan dalam pasal 124–127, kepada si pembuat yang melakukan
salah satu perbuatan itu terhadap atau bersangkutan dengan Negara sekutu
dalam perang bersama.
Pada periode berlakunya KUHP berdasar
UU No.1 tahun 1946 ini, ada beberapa peraturan perundangan yang mengatur
tentang keamanan negara, antara lain:
1)
Undang-undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang
Keadaan Bahaya sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan
Undang-undang Nomor 52 Prp Tahun 1960 . UU keadaan bahaya yang lazim
dinamakan UU darurat, dalam rangka menindaklanjuti pasal 12 UUD 1945,
yang menyatakan "Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditentukan
dengan Undang-undang". Keadaan bahaya adalah “suatu keadaan terganggunya
keamanan atau ketertiban umum oleh adanya kerusuhan yang disertai dengan
kekerasan, pemberontakan bersenjata, atau keinginan memisahkan diri dari
wilayah negara dengan kekerasan atau timbul ancaman perang atau terjadi perang
yang tidak dapat diatasi oleh aparatur negara secara biasa”.UU 23/ 1959 ini,
dalam proses penegakan hukum kejahatan terhadap keamanan Negara, mempunyai
beberapa ketentuan untuk itu, antara lain: Pasal 1 Presiden dapat menyatakan
seluruh atau sebagian wilayah RI dalam keadaan bahaya dengan tiga tingkatan:
darurat sipil, darurat militer, keadaan perang.
(1) Keadaan darurat dapat diumumkan
Presiden jika keamanan atau ketertiban hukum di seluruh atau sebagian RI
terancam pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga
dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat negara secara biasa.
(2) Keadaan darurat itu dapat pula
diumumkan jika timbul perang, atau bahaya perang, atau dikhawatirkan terjadi
perkosaan wilayah RI dengan cara apa pun juga. Dengan kata lain, hidup negara
dalam bahaya. Sehingga Indonesia sebagai negara berdasar atas hukum
dalam penyelenggaraan pemerintahan negara untuk tetap tegaknya kedaulatan
negara, terpeliharanya persatuan kesatuan bangsa, serta keutuhan wilayahnya,
bisa jadi suatu ketika menghadapi berbagai ancaman dari dalam
dan luar negeri dengan intensitas tinggi, memerlukan penanggulangan
keadaan bahaya itu. Dalam situasi seperti di atas, tanggung jawab utama
ada pada Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi,
oleh karena itu berwenang mengambil tindakan untuk menyelamatkan dan
mengamankan negara, dengan menetapkan negara dalam keadaan bahaya dengan status
darurat sipil atau status darurat militer atau dalam keadaan perang. Dan berhak
mengumumkan dan mencabut keadaan bahaya kapan pun dia suka, karena UU Darurat
tidak mengatur ketentuan pertanggungjawabannya. Presiden dapat menentukan waktu
darurat ini sesuka hati seminggu, sebulan, setahun, atau bahkan 10 tahun, tanpa
perlu persetujuan DPR. Mengenai kekuasaan presiden untuk menyatakan negara
dalam keadaan bahaya, berikut diketengahkan beberapa peraturan perundangan yang
pernah ada, antara lain:
a). Keppres RI
no. 88 Tahun 2000 tentang Keadaan Darurat Sipil di Provinsi Maluku dan Maluku
Utara sebagaimana telah diubah dengan KeppresNo.40 Tahun 2002
b). Keppres RI no. 97 tahun 2003 Tentang
Pernyataan Perpanjangan Keadaan bahaya Dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer
Di Propinsi Nanggroe Acah Darussalam.
2). UU No. 73 tahun 1958 Tentang pemberlakuan
UU No. 1 tahun 1946 untuk seluruh wilayah Indonesia
Dualisme sistem
hukum pidana tersebut berlangsung terus meskipun kedaulatan sepenuhnya
ada pada pemerintah Indonesia baik secara de jure maupun secara de
facto, Hal ini disebabkan karena baik konstitusi RIS maupun UUDS 1950
tetap memberlakukan semua peraturan yang ada sebelum adanya peraturan yang
baru, sehingga baik KUHP maupun Wetboek van Strafrecht voor Idonesia
masih tetap berlaku secara berdampingan dalam daerah masing-masing di wilayah
Indonesia.
Keadaan demikian
baru disadari setelah timbulnya beberapa kasus, umpamanya “kasus Cikini”, yaitu
kasus percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno yang terjadi di jalan
Cikini Raya Cakarta tahun 1957, dengan cara melemparkan granat yang menimbulkan
korban tewas 9 orang dan luka-luka sebanyak 55 orang. Peristiwa tersebut
merupakan suatu peristiwa yang dilatar belakangi politik atau bertujuan
politik, yakni ingin merobohkan pemerintahan dengan jalan membunuh kepala
negara agar tidak dapat berfungsi sebagai kepala negara. Tetapi di depan
pengadilan para pembela terdakwa mengemukakan bahwa di Jakarta sebenarnya yang
berlaku adalah Wetboek van Strafrecht voor Indonesie, dalam dalam undang-ungdang
pidana tersebut yang dilarang adalah seseorang yang ingin
mencoba atau membunuh “koning/ koningen” yang diterjemahkan raja atau
ratu. Sedangkan dalam peristiwa Cikini yang akan dibunuh adalah Presiden.
Presiden bukan raja, sehingga pasal-pasal dalam KUHP tidak dapat dipergunakan
untuk menuntut terdakwa.
Dualisme sistem
perundang-undangan hukum pidana tersebut baru diakhiri dengan
dikeluarkannya UU No. 73 tahun 1958 yang menyebutkan bahwa UU No. 1 tahun 1946
berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, artinya di seluruh wilayah Indonesia
berlaku KUHP hasil perubahan UU No. 1 tahun 1946 dari Wetboek van Strafrecht
voor Nederladsch Indie, yang diberlakukan di Hindia Belanda secara
efektif sejak 1 Januari 1918., yang tentunya teks aslinya masih dalam bahasa Belanda.
Dan Wetboek van Strafrecht voor
Nederladsch Indie itu merupakan saduran atau dapat dikatakan sama seperti
yang berlaku di negeri Belanda tahun 1886. Sehingga dapat diperkirakan
bahwa baik dasar yuridis, filosofis maupun sosiologis yang mendasari
adalah merupakan pandangan pada masa tersebut, yang jelas pasti berbeda
dengan bangsa Indonesia.
Aslinya di negeri Belanda Wetboek van
Strafrecht telah banyak dilakukan perubahan, antara lain dengan
menambahkan ketentuan tentang perbuatan mata-mata serta perbuatan
sabotase. Sehingga dengan keluarnya UU No. 73 tahun 1958 maka perbuatan
mata-mata serta perbuatan sabotase itu tidak terlarang lagi di
Indonesia dan belum didapati pengaturannya dalam KHUP.
Peristiwa Cikini tersebut
diikuti dengan dikeluarkannya Penpres No. 5 tahun 1959 yang memperberat ancaman
pidana terhadap delik yang tersebut dalam titel I dan II Buku Ke
dua KUHP, dengan tambahan kualifikasi menghalang-halangi program
pemerintah. Memang ketentuan-ketentuan tsb merupakan tindak pidana
politik juga , tetapi belum mencakup kejahatan-kejahatan seperti kegiatan
mata-mata, sabotase, penjualan rahasia negara kepada pihak asing , subversi
dalamarti merencanakan dan mempersiapkan intervensi atau invasi tentara asing
ke dalam negeri dan sebagainya. Hal seperti itu baru diatur dalam UU Anti
subversi.
ad.2. Periode
1963 – 1999
Masa berlakunya hukum
pidana dibidang subversi, yakni sejak berlakunya Penpres No. 11 tahun
1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi hingga dikeluarkannya
UU No. 26 tahun 1999 tentang pencabutan UU No. 5 tahun 1969 tentang
pengesahan Penpres No. 11 tahun 1963 menjadi Undang-Undang. Pada periode
ini sekedar untuk memberikan gambaran mengenai perbedaan dalam
pelaksanaannya, maka disajikan sebagai berikut:
a.
Masa berlakunya Penpres No. 11 tahun 1963 pada Orde lama.
Sejak
berlakunya Penpres No. 11 tahun 1963 sampai dengan mulanya Orde Baru yaitu 11
Maret 1966. Yakni masa setelah ada peraturan tentang pemberantasan
kegiatan subversi, akan tetapi dalam masa pemerintah Orde Lama. Dalam periode
ini KUHP sebagai undang-undang pidana umum dan Penpres No. 11 tahun 1963
yang saat itu berlaku sebagai penetapan presiden, merupakan undang-undang
pidana khusus.
Dalam
membicarakan keabsahan Penetapan Presiden ini, tidak dapat dilepaskan
dari adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1969, karena dekrit ini yang mendorong
timbulnya Penpres No. 11 tahun 1963. Dekrit Presiden 5 Juli 1969 lahir karena
keadaan pada saat itu dianggap membahayakan kesatuan bangsa, jadi pada waktu itu
negara dalam keadaan darurat, sehingga ada sebagian orang yang membenarkan
presiden membuat peraturan yang bersifat darurat dan tidak dalam rangka
struktur dan hirarki perundang-undangan menurut UUD 1945. Jadi sebagai hukum
revolusi. Ia merupakan alat Orde Lama . Bersama Partai Komunis yang tergabung
di dalamnya, yang ditujukan kepada lawan politiknya.
Sebagai
hukum pidana khusus, Penpres No 11 tahun 1963 memuat beberapa
penyimpangan terhadap KUHP. Secara ringkas penyimpangan tersebut antara lain:
- Perumusan
delik bersifat meluas dan serba meliputi.
- Kemungkinan
dijatuhkannya putusan in absentia.
- Dimungkinkannya
pemidanaan terhadap badan hokum perseroan, perserkatan orang, yayasan atau
organisasi lainnya, disamping orang sebagai subyek hukum.
- Penerobosan
rahasia bank.
- Dapat
ditempuhnya upaya banding atas putusan hakim yang berupa pembebasan.
- pelaksanaan
sidang perkara mutlak harus terdiri 3 hakim.
- Putusan
pengadilan yang bukan pidana mati, tidak tertunda karena permohonan grasi.
- Jaksa
Agung/ Oditur Jendral berwenang mengadakan penahanan terhadap seseorang
yang didakwa melakukan kegiatan subversi untuk paling lama satu
tahun.
- Perkara
subversi diperiksa dalam batas waktu tertentu.
- Mengecualikan
berlakunya pasal 63 ayat 2 KUHP, yang berbunyi:”Jika untuk seseuatu
perbuatan termasuk dalam suatu aturan pidana umum ditentukan aturan
pidakhusus, maka hanyalah aturan pidana khusus itu saja yang dikenakan”.
- Kemungkinan
dijatuhkannya pidana (penjara) dan denda, dengan variasi berupa pidana
badan saja, dapat pula pidana badan dan denda, juga mungkin pidana
denda saja.
- Dapat
dirampasnya benda yang menjadi milik atau bukan milik
terpidana yang diperoleh dari atau digunakan alat melakukan tindak
pidana subversi.
b. Masa
berlakunya Penpres No. 11 tahun 1963 pada Orde Baru.
Yakni
tenggang waktu antara sejak 11 Maret 1966 (Surat Perintah Sebelas
maret) sampai dengan ditetapkannya UU No. 5 tahun 1969. Saat
digunakannya peraturan tentang kegiatan subversi dalam masa Orde Baru,
untuk menjerat berbagai kejahatan terhadap keamanan Negara.
Dalam periode ini Penpres No. 11 tahun
1963 dipakai sebagai undang-undang dalam mengadili pera pelaku
gerakan 30 September 1966/ PKI, yaitu tokoh-tokoh Orde Lama dan PKI. Hal ini
dapat dibenarkan secara filosofis, bahwa barang siapa membuat suatu
aturan yang dipandang adil dan sah untuk diterapkan kepada orang lain, tentulah
adil dan sah jika diterapkan pula kepadanya, jika ia melakukan perbuatan
yang memnuhi unsur-unsur dalam peraturan tersebut. Dalam sejarah pernah terjadi,
yaitu peraturan “darurat” yang dibuat oleh regim Nazi Hitler, diberlakukan pula
terhadap mereka sebagai penjahat perang.
c. Masa berlakunya Penpres No. 11 tahun
1963 sebagai UU No. 11/PNPS/1963 dengan UU No. 5 tahun 1969.
Periode
ini terjadi antara tahun 1969 sampai dengan tahun 1999. Yakni masa sejak
ditetapkannya UU No. 5 tahun 1969 tentang pernyataan Berbagai Penpres dan dan
Keppres sebagai undang-undang, sebagai tindak lanjut atas peninjauan kembali
terhadap semua produk perundang-undangan dari tahun 1959 sampai
tahun 1966 sampai dengan ditetapkannya UU No.26 tahun 1999
tentang Pencabutan UU No. 11 tahun 1963 dan UU No. 27 tahun 1999 tentang
Perubahan KUHP yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara.
Dengan UU No. 5 tahun 1969 tersebut ,
maka Penpres No. 11 tahun 1963 menjadi UU No. 11/PNPS/1963. Sehingga pada
periode ini kejahatan terhadap keamanan negara dijerat dengan UU
Anti Subversi. Dengan dilegalisasikan dan ditempatkan dalam jajaran perundang-undangan
yang konstitusional, maka menjadi hukum formal bagi hukum pidana politik.
Walaupun disadari saat itu belum ada putusan Mahkamah Agung yang konstan
mengenai harus ada atau tidaknya latar belakang serta tujuan politik pelaku
tindak pidana politik, ada kalanya berlatar belakang politik ada kalanya
tidak. Beberapa kasus yang bisa dijadikan contoh, misalnya: Kasus Gerakan Aceh
Merdeka. Kasus Jayus dan Slamet dalam kasus Wei Jepara Lampung, yang ditahan
sejak1989 dan baru diketahui LBH pada 1993. Kasus HR Darsono, Kasus
Tengku Bantaqia, Kasus Sri Bintang Pamungkas dan Kasus Budiman Sujatmiko.
Tetapi setidaknya UU No. 5 tahun 1969
telah memberikan ruang gerak kepada hakim yang cukup memadai untuk
menerapkan penafsiran penghalusan hukum, bahwa undang-undang tersebut
bersifat darurat yang akan ditinjau dan diselaraskan dengan UUD 1945 dan
hati nurani rakyat.
Pada
periode ini ada beberapa peraturan yang dikeluarkan berkaitan dengan keamanan
Negara, antara lain:
1). UU No. 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradiksi.
Ekstradisi adalah penyerahan oleh
suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau
dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang
menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan,
karena berwenang untuk mengadili dan memidananya. Di dalam Pasal 4, ekstradisi
dilakukan berdasarkan suatu perjanjian yang di dalamnya memuat daftar kejahatan
yang dapat di ekstradisi13. Dalam hal belum ada perjanjian,
ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik dan jika kepentingan
Negara menghendakinya.
Ekstradisi dapat dilakukan terhadap
orang yang oleh pejabat yang berwenang dari negara asing diminta karena
disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan.
Ekstradisi dapat juga dilakukan terhadap orang yang disangka melakukan atau
telah dipidana karena melakukan pembantuan, percobaan dan permufakatan jahat
untuk melakukan kejahatan. Sepanjang pembantuan, percobaan, dan permufakatan
jahat itu dapat dipidana menurut hukum Negara Indonesia dan menurut hukum
negara yang meminta ekstradisi.
Di dalam pasal 2 dari UU ini,
disebutkan pelanggaran hukum yang dapat diserahkan oleh suatu Negara
Diminta kepada Negara Peminta penyerahan, antara lain:
- pelanggaran yang dapat
dihukum menurut hukum Indonesia dan hukum Negara yang terikat
perjanjian ekstradisi dengan Indonesia yakni berdasarkan asas tindak pidana
ganda (double criminality),
- pelanggaran hukum tersebut
diancam dengan pidana penjara lebih dari 1 (satu) tahun atau dengan pidana
lebih berat.
Secara garis besar
di dalam penjelasan pasal 4 UU ini, Negara Diminta boleh menolak untuk
menyerahkan dalam hal yang berkaitan dengan proses peradilan pidana yang
berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan tindak pidana, antara lain.
1- tindak pidana yang berlatar
belakang politik,
2- tindak pidana militer,
3- penuntutan yang telah kadaluarsa,
4- ne bis in idem.
5- tindak pidana yang dilakukan di
luar wilayah Negara Peminta (extraterritorial crime) dan tidak diatur
menurut hukum Negara Diminta
6- tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati.
Dalam UU ini ketentuan
ekstradisi tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia, sehingga amat
mempengaruhi pelaksanaan ekstradisi atas diri seorang penjahat. Hak asasi
manusia itu telah mendorong lahirnya beberapa azas-azas ekstradisi yang berlaku
dalam perjanjian antar Negara. Hal yang perlu di garis bawahi, bahwa terhadap
delik politik tidak dapat diekstadisi, ini sehubungan dengan hak negara
untuk memberi suaka politik kepada pelarian kejahatan politik. Pengecualian
terhadap tidak dapat diserahkannya seorang penjahat politik dari Negara yang
Diminta kepada Negara Peminta adalah apabila terjadi pembunuhan atau percobaan
pembunuhan terhadap Kepala Negara atau anggota keluarganya. Karena
perbuatan tersebut dianggap bukan kejahatan politik, meskipun mungkin
terjadi dengan latar belakang atau tujuan-tujuan politik. Kasus yang menarik
untuk disimak misalnya kasus ekstradisi Umar al. Faruq yang dituduh
bersama-sama dengan ustad Abu Bakar ba”asyir terlibat dalam upaya pembunuhan
terhadap presiden Megawati Soekarno Putri
Beberapa peraturan
perundang-undangan yang menindaklanjuti Undang-undang No.1 tahun 1979
tentang ekstradisi antara lain:
a)
Undang-undang No. 9 Tahun 1974 tentang Pengesahan
Perjanjian Ekstradisi antara Pemerintah indonesia dengan Pemerintah Malaysia,
b)
Undang-undang No. 2 Tahun 1978 tentang Pengesahan
Perjanjian Ekstradisi antara Pemeritah Republik Indonesia dengan pemerintah
Kerajaan Thailand.
2). Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1982
UU no. 20 Tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia
(LNRI Tahun 1982 No. 51, TLN No. 3234), sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas UU No. 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (LNRI
Tahun 1988 No. 3, TLN No. 3368), dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan RI dan perubahan kelembagaan TNI, yang didorong perkembangan kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga
UU tersebut perlu diganti.Dalam era reformasi diupayakan untuk diganti dengan
munculnya RUU Penanggulangan keadaan bahaya (RUU PKB) dan RUU
Keamanan dan Keselaman Negara (RUU KKN), yang dalam masa pembahasan dan
persetujuannya kedua RUU ini telah memicu pro kontrak masyarakat yang
mengkhawatirkan akan kembali dan menguatnya peran TNI seperti semasa Orde Baru,
sehingga pemerintah terpaksa penunda pemberlakuannya.
ad.3.
Periode 1999 – 2002
Masa sejak ditetapkannya UU No. 26
tahun 1999 tentang Pencabutan UU No. 11 tahun 1963 tentang Pemberantasan
Kegiatan Subversi dan ditetapkannya UU No. 27 tahun 1999 tentang Perubahan KUHP
yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara sampai dengan
dikeluarkannya Perpu No. 1 dan No. 2 tahun 2002. Pada masa ini seiring dengan
tidak berlakunya lagi UU Anti Subversi, maka kejahatan terhadap keamanan
negara penanganannya dikembalikan kepada KUHP.
Beberapa
peristiwa menarik di Indonesia pada saat itu antara lain:
1.
Tahun ketiga setelah penghancuran (bumi hangus saat
jajag pendapat ) oleh militer Indonesia dan milisi pro-integrasi, belum
diketahui secara pasti berapa jumlah korban tewas, hilang, korban perkosaan,
dan kejahatan lainnya di Timor Timur. Semua masih menjadi misteri. Sedangkan
para pelaku kejahatan itu masih bebas, sementara para korban dan keluarga
korban terus menuntut keadilan kepadaUnited Nations Transitional Administration
for East Timor (UNTAET) untuk membentuk Special Panel (Regulasi 2000/15) yang
memiliki kewenangan mengusut kejahatan-kejahatan serius.
2.
Penanganan atas Peristiwa idul fitri berdarah di
Ambon pada 19 Januari 1999, antara muslim (yang belakangan dibantu Laskar
Jihad) dengan Kristen yang di dukung oleh Forum Kedaulatan Maluku (FKM) yang
diketuai oleh Alex Manuputy, yang sampai masa pemerintahan Presiden Abdurrahman
Wahid dan Megawati Soekarno Putri belum juga tuntas.
3.
Adanya pemahaman lain tentang makar, yang dilontarkan
pada ceramah anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR, KH Nur Muhammad Iskandar SQ
di Kebumen, Jawa Tengah. yang menyebut Amien Rais dan Akbar Tandjung telah
berbuat makar dan halal darahnya karena bermaksud untuk menurunkan Gus Dur dari
jabatan Presiden “14
ad.4.
Periode 2002 – sekarang
Pada periode ini ada beberapa ada beberapa
peraturan perundangan yang berkaitan dengan keamanan negara, antara lain:
1). UU
no. 3 tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara.
Dalam UU no.
3 tahun 2002, diatur tentang pertahanan Negara, Sistem pertahanan Negara,
tujuan dan usaha pertahanan Negara.. Pertahanan negara,
diselenggarakan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini dengan sistem
pertahanan Negara. Pengelolaan sistem pertahanan negara sebagai salah satu
fungsi pemerintahan negara ditujukan untuk melindungi kepentingan nasional dan
mendukung kebijakan nasional di bidang pertahanan. Dalam menghadapi ancaman
militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan
didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung, dalam menghadapi
ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan
sebagai unsur utama, didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa,
misalnya komponan cadangan dan pendukung.
Komponen cadangan, terdiri atas
warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana
nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna
memperbesar dan memperkuat komponen utama. Dan Komponen pendukung, yang terdiri
atas warga negara, sumber daya alam, sumberdaya buatan, serta sarana dan prasarana
nasional yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kekuatan
dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.
Ancaman pertahanan negara, sebenarnya
merupakan Ancaman terhadap
kedaulatan Negara, semula bersifat konvensional (fisik) dan saat ini berkembang
menjadi multi dimensional (fisik dan nonfisik), baik yang berasal dari luar
negeri maupun dari dalam negeri. Ancaman bisa berupa
ancaman militer dan ancaman non militer.
UU Pertahanan Negara ini, isinya
mengesankan hanya mengatur tentang pemberian wewenang yang lebih besar pada
pihak militer untuk berkuasa, tidak mengatur syarat-syarat keadaan bahaya
dan prosedur keselamatan negara dari ancaman krisis ekonomi, politik, sosial
budaya, dan iptek. Sehingga menimbulkan penafsiran bahwa UU ini memiliki
tujuan tendensius untuk memberikan kekuasaan dan wewenang berlebihan terhadap
militer. Terlihat dari dimungkinkannya TNI untuk melakukan operasi
militer.
UU ini memberi peluang pada militer
untuk berkuasa total dengan menggantikan fungsi keamanan domestik yang
merupakan tugas Polri, dan fungsi administratif pemerintahan sipil, baik
pusat maupun daerah. Bahkan UU ini bisa memberikan peluang pada militer untuk
memberlakukan hukumnya sendiri di atas hukum yang berlaku, dan mengambil alih
pengadilan tindak pidana sipil oleh peradilan militer. diberlakukan, maka
kekuasaan militer akan beresiko jatuhnya banyak korban tak bersalah, tidak ada
penegakan hukum dan demokrasi, dan akhirnya menimbulkan perlawanan rakyat
karena merasa kebebasannya direnggut penguasa militer. Dengan demikian sistem
pertahanan negara "Militerisme" bukannya menjamin keselamatan dan
keamanan negara, namun justru berpotensi menimbulkan perang saudara yang
mengancam keutuhan wilayah negara dan persatuan bangsa. tentuan seperti itu
beresiko tinggi melahirkan rejim militer di Indonesia, karena tujuannya adalah
memberi kekuasaan yang sangat besar pada militer untuk berkuasa di atas hukum
apapun, setelah perseorangan Presiden dengan pengaruh Pejabat Militer dengan
mudahnya dapat mengesahkan keadaan darurat.
Dalam UU ini, memang Presiden
berwenang dan bertanggung jawab mengelola sistem pertahanan negara sebagai
salah satu fungsi pemerintahan Negara, dengan menetapkan kebijakan umum
pertahanan negara yang menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan
pengawasan sistem pertahanan negara, berdasarkan prinsip demokrasi, HAM,
kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan hukum nasional, hukum dan kebiasaan
internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara damai.
Warna militerisme di masa lalu,
tampil dalam sosok kekuasaan Presiden Indonesia. Terungkap dalam laporan:
Al-Qaeda in South-east Asia: the Case of the "Ngruki Network" in
Indonesia (2002), oleh Direktur International Crisis Group, Sidney Jones,
peneliti dari Amerika Serikat. Dalam laporan itu, tergambar suatu operasi
intelijen yang merekayasa kasus Darul Islam (DI) dan Jama’ah Islamiyah (JI)
oleh Ali Murtopo masa Presiden Soeharto, dalam rangka mempertahankan kekekuasan
rezim tersebut. .
2). UU no.
15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 merupakan penetapan atas Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme Menjadi Undang-Undang, yang mana Perpu no 1 tahun 2002 itu sempat
diberlakukan terhadap kasus peledakan bom tanggal 12 oltober 2002 di Bali
berupa Perpu no. 2 tahun 2002 yang kemudian dijadikan UU no. 16 tahun 2003,
kemudian untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 pemerintah
telah membentuk Peraturan Pemerintah no. 24 tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara
Tindak Pidana Terorisme.
Pada masa ini, saat-saat isu terorisme
demikian menglobal dan sarat dengan muatan kepentingan pasca peledakan bom 11
September 2001, maka di Indonesia untuk menangani kasus-kasus kejahatan
terhadap keamanan negara dikeluarkanlan Perpu No. 1 dan 2 tahun 2002
tentang Pemberantasan Kegiatan Terorisme Namun seiring dengan meningkatnya
jumlah ledakan bom dan perbuatan teror maka Perpu tersebut ditingkatkan
menjadi UU No. 15 dan 16 tahun 2003. Sehingga pada masa ini kejahatan terhadap
keamanan negara dijerat dengan UU Anti Terorisme.
Sekedar gambaran tentang beberapa peristiwa
teror yang terjadi, dapat dikemukakan, antara lain:
1.
Ledakan bom yang terjadi di Bali pada Sabtu (12/10)
pukul 23.15 WITA disebut-sebut sebagai aksi teror terburuk semenjak peristiwa
11 September 2001 yang meruntuhkan menara kembar World Trade Center, New York,
dan menghancurkan markas militer AS, Pentagon.Sebagian orang menyebut dua
tragedi tersebut saling berkaitan karena ledakan bom di jalan Legian, Kuta,
Bali, terjadi tepat 1 tahun, 1 bulan dan 1 hari selang tragedi "Black
September". Setidaknya 182 orang tewas dan 300 orang mengalami luka-luka
dalam tragedi yang menimbulkan kengerian dan kepanikan luar biasa itu.
2.
Ledakan hebat terjadi di Hotel JW Marriott, Jakarta
Selatan, Selasa (5/8) pukul 12.45. Diperkirakan, ledakan dari bom yang
diletakkan di dalam mobil. Kuat dugaan bencana itu akibat bom bunuh diri.
Korban tewas ledakan bom di kawasan Hotel Marriott sedikitnya tercatat 12
orang. Sebanyak 52 orang lainnya saat ini telah dievakuasi ke RS Jakarta,
kawasan Benhil, Jaksel, Selasa (5/8/2003). Asap tebal hingga kini masih tergambar jelas di kawasan bisnis di
segitiga emas itu. Sekadar diketahui, Marriott adalah hotel bintang lima yang
sering digunakan untuk pertemuan-pertemuan perwakilan asing. Hotel ini terdiri
dari 33 lantai, 333 kamar dan beroperasi pada September 2001
3.
Sebuah bom berkekuatan besar (high explosive), meledak
di depan kantor Kedutaan Besar Australia, di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan,
Jakarta Selatan, Kamis (9/9) sekitar pukul 10.25. Hingga Kamis malam,
setidaknya enam orang tewas dalam kejadian ini, serta 161 lainnya luka-luka.
Ledakan itu dipastikan berasal dari bom mobil, modus yang mirip dengan bom Bali
dan bom JW Marriot.
Terorisme sebagai sebuah isu global
dalam dunia internasional, regional, maupun nasional sebenarnya sudah lama kita
kenal meskipun harus diakui tidaklah mudah untuk mendefinisikannya. Namun,
barangkali perlu diupayakan secara lebih spesifik agar mendapatkan suatu
karakteristik dari pengertian teror maupun terorisme, paling tidak untuk
membentuk sarana hukum yang tepat dalam penanggulangan kejahatan terorisme.
Dalam
UU No. 15 Tahun 2003 dan UU No. 16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme diupayakan untuk memberikan batasan dan karakteristik
pengertian teror, teroris, dan terorisme. Namun tidak memberikan definisi yang
memuaskan tentang perbuatan teror sebagai sebuah delik pidana, seperti halnya
dalam delik pencurian, pembunuhan, pemerkosaan sehingga unsur-unsur perbuatan
pidana menjadi kabur dan terlalu luas pengertiannya. Hal ini sulit untuk
dirumuskan dan membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan dalam proses
penegakan hukumnya.
Sejauh
ini masyarakat internasional telah mengategorikan terorisme sebagai extra
ordinary crime karena akibat dari kejahatannya menyebabkan rangkaian
kejahatan dan kerugian yang sangat luas mulai dari nyawa manusia, harta,
fasilitas umum, objek-objek vital negara, kepentingan umum, dan kemerdekaan
masyarakat diciderai secara serius. Hal ini juga memberikan peluang bagi
pihak-pihak yang ingin menjatuhkan pihak tertentu yang berseteru dengan
berusaha memasukkan lawan seterunya sebagai pelaku terorisme. Untuk itu harus
sangat berhati-hati terhadap
kategorisasi kejahatan terorisme tersebut, apalagi bila yang dominan memberi label
teroris tersebut adalah pihak yang berkuasa sosial politik maupun ekonomi
secara internasional.
Apa
yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme. Dalam ketentuan umum UU no.15
tahun 2003 terorisme didefinisikan sebagai: perbuatan yang merupakan kekerasan
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau atau
ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis
atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional
Dari
rumusan Pasal 6 dan Pasal 7, bisa ditafsirkan meliputi dua macam tindak
pidana bila dilihat dari akibatnya, yaitu:
1.
Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menim-bulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain.
2.
Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
Rumusan
tindak pidana teror selanjutnya, disebutkan dalam Pasal 8, yang mengharuskan
adanya kesengajaan dan memungkinkan menjerat kealpaan sebagai suatu
perbuatan terorisme ( pasal 8, d dan g ). Pasal 8 memasukan 18
macam perbuatan sebagai tindak pidana teror dalam bidang penerbangan (sama
dengan KUHP) dan dipidana sama dengan tindak pidana teror dalam Pasal 6.
Kata
“merencanakan” dan kata “menggerakkan” dalam pasal ini tidak memiliki ukuran
jelas sehingga bisa saja ditafsirkan yang “memotivasi” atau yang
“menginspirasi” dari suatu perbuatan yang masuk kategori tindak pidana teror.
Seorang guru, ulama, pastor, atau pengamat dapat dikenai pasal ini jika
kemudian ada seseorang yang melakukan tindak pidana teror berdasarkan ucapan
mereka.
Selain
longgarnya definisi dalam UU ini juga bertebar rumusan pasal yang bersifat
karet, yang banyak mengandung implikasi negatif dalam penerapkan. Rumusan karet
dalam UU Anti terorisme tersebut, antara lain:
a)
Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
b)
suasana terror/ rasa takut thd orang secara meluas
c)
objek-objek vital yang strategis (ps. 6)
d)
pengertian kata “bermaksud” (ps. 7)
e)
merencanakan dan/atau menggerakkan orang (ps. 14)
f)
tafsir : mengintimidasi, proses peradilan menjadi
terganggu, tidak langsung (ps.20, 22)
g)
dapat menggunakan
setiap laporan intelijen (ps.26)
Untuk dapat membedakan antara
tindak pidana teror dengan tindak pidana lainnya, maka perlu disampaikan
unsur-unsur tindak pidana teror yang berbeda dengan tindak pidana
biasa. Unsur pokok tindak pidana teror, adalah:
1.
tindak kekerasan itu terencana rapi, bukan bersifat
impulsif atau spontan. \
2.
perbuatan itu berlatar belakang politis, bukan kriminal
seperti tindak kejahatan yang dilakukan para mafia yang bermotifkan uang.
Politis dalam arti bertujuan untuk menjungkirbalikkan sistem pemerintahan atau
sistem politik yang ada
3.
sasaran terorisme selalu masyarakat sipil, bukan
instalasi militer atau pasukan bersenjata.
4.
dilancarkan oleh kelompok-kelompok sempalan dalam
negeri yang merasa tidak puas dan marah terhadap kebijakan pemerintah. 21
Apakah tindak pidana teror dapat
dikategorikan sebagai extra ordinary crime? Banyak
pihak menyatakan, tindak pidana teror adalah extra ordinary crime. karena
sifat perbuatannya yang luar biasa, dengan alasan sulitnya pengungkapan,
juga karena merupakan kejahatan transboundary dan melibatkan
jaringan internasional.
Tindakan
teror bisa dilakukan oleh individu atau sekelompok individu, organisasi
dan negara. Tindakan terror yang dilakukan individu, sering kali merupakan
bagian dari suatu organisasi dengan motivasi cita-cita politik atau
cita-cita religius tertentu. Namun dijumpai pula beberapa
kasus teror yang dilakukan seorang atau beberapa orang, bukan berasal
dari sebuah organisasi.Tindakan teror yang dilakukan oleh negara, bisa berupa
tindak pidana yang dikategorikan sebagai pelanggaran berat HAM (gross
violation against human rights). Terorisme negara berkembang seiring sejarah
perkembangan peradaban
manusia, contoh fenomena sosial yang pernah terjadi adalah, “perang
psikologis yang ditulis Xenophon (431-350), Kaisar Tiberius (14-37 SM)
dan Caligula (37-41 SM) dari Romawi Romawi mempraktekkan terorisme dalam
penyingkiran, perampasan harta benda, dan menghukum lawan-lawan politiknya.
Roberspierre (1758-1794) saat revolusi Perancis. Setelah perang sipil di AS
muncul kelompok teroris rasialis Ku Klux Klan. Demikian juga
Hitler di Jerman dan Joseph Stalin di Rusia.
Mengenai
hal di atas dan dalam rangka menindak lanjuti upaya penegakan hukum dari
resolusi PBB no 1267 tahun 1999, pemerintah Indonesia melakukan beberapa hal,
antara lain: Mengajukan permohonan kepada PBB agar memasukkan GAM, JI dan
beberapa WNI (Agus Dwikarna, Faturrahman Al Ghozy, dan Oskar Makawata), kedalam
daftar teroris yang disusun PBB dalam revolusi PBB tersebut.
Bila
tindakan teror itu dilakukan oleh negara terhadap warganegaranya sendiri, maka
akan diadili oleh Pengadilan HAM (di Indonesia bernama Pengadilan ad hoc HAM
berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM serta PP No 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat). Bila
tindak pidana teror itu dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lainnya
yang melanggar international criminal law, walaupun ini erat
bersinggungan dengan masalah kedaulatan negara maka idealnya diselesaikan
pada Pengadilan internasional. Perlu diingat untuk tindak pidana
teror oleh suatu negara terhadap negara lainnya, bila melibatkan
negara-negara kecil, pengadilan Internasional masih mungkin untuk dilakukan,
tetapi bila melibatkan negara besar terhadap negara kecil, akan sulit
dilakukan.
Sehingga
seharusnya alternatif Kebijakan Legislasi dalam pemberantasan tindak pidana
terorisme, yang seharusnya bisa dilakukan adalah:
1. Karena terorisme merupakan
rangkaian tindakan yang kompleks, maka pada dasarnya pengaturan
anti-terorisme tidak akan memadai jika hanya dilakukan dalam satu peraturan.
2. Mengefektifkan ketentuan hukum yang ada dan terpencar
dalam UU, dengan mengintegrasikannya ke dalam kerangka hukum yang
komprehensif.
3.
Melakukan aksesi dan atau ratifikasi berbagai ketentuan
internasional tentang terorisme
4. Kerangka hukum di atas harus mengatur aspek-aspek yang
berkaitan dengan: pengawasan perbatasan (darat, laut dan udara), keamanan transportasi,
bea-cukai, keimigrasian, money laundering, basis rekrutmen dan pelatihan
(milisi dan latihan-latihan militer ilegal), keuangan, bahan peledak, bahan
kimia, dan persenjataan, serta perlindungan terhadap keselamatan masyarakat.
5. Mewajibkan setiap prosedur dan tindakan hukum secara
non-diskriminatif, selalu menghormati dan melindungi HAM yang
non-derogable rights.
[1]
Ahmad Wardi Muslich,
Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 29
[2] Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam
Islam, Terj: Imron AM, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1990, hlm. 92
[3] Rusli Muhammad, Kemandirian
Pengadilan Indonesia, Yogyakarta: FH UII Press, 2010, hlm 142
[4]
Di dalam ketentuan Pasal 7
KUHAP menyatakan bahwa Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang: 1)
Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; 2)
Melakukan tindakan pertama saat di tempat kejadian; 3) Menyuruh berhenti
seorang tersangka dan memeriksa tandsa pengenal diri tersangka; 4) Melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; 5) Mengadakan penghentian
penyidikan; dll. Ibid, hlm. 173-174
[5]
Adapun Penuntut Umum
berdasarkan ketentuan Pasal 14 KUHAP mempunyai wewenang: 1) Menerima dan
memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; 2)
Mengadakan pra penuntutan; 3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan; 4) Membuat surat dakwaan; 5) Melakukan
penuntutan dan melimpahkan perkara ke pengadilan; dll. Ibid, hlm. 175-176. 69
Muhammad Salam Madkur, op.cit, hlm. 143. 70[6] Muhammad Salam Madkur, op.cit,
hlm. 143
[7] Lihat Bambang Waluyo, S.H., M.H.,
Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm.
53
[9]
Lebih jelasnya lihat di
Hari Sasangka, et al, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar
Maju, 2003, hlm. 14-17
[10]
Lebih jelasnya lihat di
Hari Sasangka, et al, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar
Maju, 2003, hlm. 14-17
[11]
Mohd. Said Ishak, Hudud
dalam Fiqh Islam, Malaysia: Universiti Teknologi Malaysia, 2003, hlm. 70-71
[13]
Pengertian
tersebut tertuang dalam pasal 104 dan 107 KUHP, meskipun tidak disebutkan
secara eksplisit dalam dua pasal tersebut. Lihat Muhammad Amin Suma, et al,
op.cit, hlm 73-74. 77 KUHP dan KUHAP, op.cit., hlm. 36. 81