KONSTRUKSI HUKUM
KEDUDUKAN DAN BATAS KEWENANGAN PEJABAT ADMINISTRASI
NEGARA/PEMERINTAHAN
(Analisis UU Nomor 30 Tahun 2014
Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur,SH,MHum
HP 081310651414
Blog/Web: Rajawali Garuda Pancasila
Pertama, Tentang Kedudukan Hukum dan Sumpah
Pejabat Administrasi Negara
1.
Berkaitan
dengan topik di atas kita ambil salah satu contoh, adalah Kedudukan Status Hukum Pejabat Bupati, maka
harus dikaji lebih dahulu alas hukum
yang menjadi dasar pengangkatan pejabat
Bupati secara Hukum Administrasi Negara diberikan nomenklatur sebagai Pejabat Kepala Daerah, yaitu alas
hukumnya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah Dan/Atau Wakil Kepala Daerah,
menyatakan nomenklatur hukum Administrasi Negara tentang siapa yang dimaksud
Pejabat Bupati, Pasal 1 angka 5 yang
menyatakan: “Penjabat
Kepala Daerah adalah Pejabat yang ditetapkan oleh Presiden untuk Gubernur dan Pejabat yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Bupati dan Walikota untuk melaksanakan tugas, wewenang dan
kewajiban kepala daerah dalam kurun waktu tertentu”.
2.
Kata kuncinya pada konstruksi hukum Pasal
1 angka 5 diatas adalah klasul: “untuk
melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban kepala daerah dalam kurun waktu
tertentu”. Pertanyaannya
siapa yang menetapkannya ? jika dibaca secara cermat adalah Menteri Dalam
Negeri. Sedangkan siapa yang melantik? Berdasarkan
Pasal 26 Permendagri No 35 Tahun 2013 adalah Gubernur atas nama Presiden Republik Indonesia melakukan pelantikan penjabat bupati/walikota. Jadi
secara Hukum Administrasi Negara (HAN) penetapan pejabat bupati adalah wewenang
Mendagri, sedangkan Gubernur hanya melantik.
3.
Selanjutnya pada saat pelantikannya pejabat Bupati
menyatakan sumpah Pasal 25 Permendagri
No 35 Tahun 2013 yang menyatakan:
(1)
Penjabat
kepala daerah sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji.
(2)
Pengucapan
sumpah/janji dipandu oleh pejabat yang melantik.
Bagaimana bunyi sumpahnya berdasarkan Pasal
Pasal 29 Permendagri No 35 Tahun 2013
menyatakan:“Ketentuan mengenai naskah dan pengucapan sumpah/janji kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 dan
pasal 11 berlaku secara mutatis mutandis terhadap naskah dan
pengucapan sumpah/janji penjabat kepala
daerah”.
4. Jika kita lihat bunyi
sumpahnya, pada pasal 11 Permendagri No
35 Tahun 2013. Menyatakan: “Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji,
akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-undang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat,
nusa dan bangsa”.
5. Jika kita baca sumpah
pejabat Bupati/pejabat Kepala Daerah terdapat klasul hukum, yaitu memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-undang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya. Kalimat “memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia”,
berarti pejabat bupati menjalan hak dan kewajiban dan keabsahannya mengacu
kepada paham konstitusional, dan Dalam UUD Neg RI 1945 pada Pasal 28 J
ayat 2 tegas menyatakan: “Dalam hal menjalankan hak, dan keabsahannya,
setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata unuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbagan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”
6. Selanjutnya klasul sumpah pejabat bupati/pejabat Kepala Daerah pada pasal 10
pada klasul hukum: “menjalankan segala
Undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”. Hal ini
bermakna, bahwa pejabat bupati
diwajibkan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan
selurus-lurusnya.
7. Pertanyaannya adalah mengapa perlunya keberadaan Penjabat Kepala
Daerah?, Keberadaan Penjabat Kepala Daerah, karena terkait dengan beberapa
sebab:
Pada peraturan terkait lainnya, Pejabat
Bupati/ pejabat
Kepala Daerah dapat diangkat
berdasarkan sebab-sebab berikut ini:
1.
Bupati meninggal dunia (UU No.23 Tahun 2014 Pasal
87 ayat 2 dan Pasal 78 ayat 1)
2.
Bupati berhenti atas permintaan sendiri (UU
No.23 Tahun 2014 Pasal 87 ayat 2 dan 78 ayat 2)
3. Masa jabatan bupati berakhir dan penetapan
bupati berikutnya belum diselenggarakan (UU No 23 Tahun 2014 Pasal 88 ayat 2)
4.
Bupati diberhentikan karena melanggar hukum
(PP No 6 Tahun 2005 Pasal 130 ayat 3)
5.
Bupati mengundurkan diri karena ingin mengikuti pencalonan pemilihan kepala
daerah (PP No 49 Tahun 2008 Pasal 132A)
8.Berdasarkan
5 sebab pejabat bupati diangkat,
jika dieksplorasi konstruksi hukumnya, dalam hal apakah pejabat bupati ini
diangkat dari salah satu lima alasan
tersebut, harus jelas dahulu konstruksi
hukumnya, karena secara definitif berdasarkan
peraturan Hukum, seorang Penjabat Bupati memiliki tugas, wewenang dan kewajiban
sama dengan Bupati definitif selaku
kepala daerah walaupun dengan rentang waktu tertentu dan batasan tertentu
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, oleh karena itu menurut penulis perlu diinvestigasi dahulu dalam rangka
apa pejabat bupati ditetapkan dari lima alasan tersebut, karena setiap alasan
diatas ada konsekuensi hukumnya secara Hukum Administrasi Negara.
9. Dengan perkataan lain, walaupun
secara umum Penjabat Bupati memiliki tugas, wewenang dan kewajiban sebagaimana Bupati Definitif. Namun Penjabat Bupati
yang diangkat berdasarkan sebab sebagaimana Nomor 4 dan Nomor 5 di atas,
membutuhkan izin tertulis dari
Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan hal-hal berikut ini :
a)
melakukan
mutasi pegawai (Peraturan Pemerintah No.49 Tahun 2008 Pasal
132A ayat 1 dan 2)
b)
membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan
pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan
yang dikeluarkan pejabat sebelumnya (Peraturan Pemerintah No.49 Tahun 2008
Pasal 132A)
c)
membuat kebijakan tentang pemekaran daerah
yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya (Peraturan Pemerintah
No.49 Tahun 2008 Pasal 132A)
d)
membuat kebijakan yang bertentangan dengan
kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat
sebelumnya. (Peraturan Pemerintah No.49 Tahun 2008 Pasal 132A)
10.Kemudian ada mekanisme hukum yang harus dilalui oleh pejabat bupati/ pejabat Kepala Daerah dalam menduduki jabatan, adapun
ketentuan-ketentuan penting lainnya bagi Penjabat Bupati yang diangkat dengan
sebab sebagaimana No 4 dan No 5 adalah sebagai berikut:
a)
Pejabat Bupati disyaratkan Pejabat Pemerintah
menduduki jabatan struktural Eselon II pangkat golongan sekurang-kurangnya IV/b
dan selama tiga tahun terakhir dinilai berkinerja baik. (PP No.49 Tahun 2008
Pasal 132 Ayat 1)
b)
Pejabat Bupati ditetapkan Presiden atas usul
dari Gubernur dan pertimbangan DPRD (PP No 49 Tahun 2008 Pasal 132 Ayat 3)
c)
Pejabat Bupati Bertanggungjawab kepada
Menteri Dalam Negeri (PP No.49 tahun 2008 Pasal 132 ayat 3)
d)
Masa Jabatan maksimal adalah 1 Tahun. (PP
No.49 tahun 2008 Pasal 132 ayat 4)
Kedua, Tentang Kewenangan
dan Wewenang Pejabat Bupati/pejabat
Kepala Daerah
11. Untuk memahami kewenangan dan wewenang, maka harus dipahami
lebih dahulu, siapa yang dimaksud
pejabat yang berwenang dalam konstruksi HAN ?, mengapa, karena untuk
memperjelas, bahwa pejabat bupati adalah pejabat aparatur sipil negara, yang
tunduk dengan Undang-Undang Tentang ASN. oleh karena itu dalam UU ASN diberikan
batasan hukum siapa yang dimaksud pejabat
yang berwenang. Didalam UU Nomor 5 Tahun 2014 Pasal angka 13 menyatakan: “Pejabat
yang Berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan melaksanakan proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Dalam
pasal 1 angka 13 UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN terdapat klasul HAN, yaitu: “yang
mempunyai kewenangan melaksanakan
proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian
Pegawai ASN “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ada kata
kunci secara HAN, yaitu: sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
12.Pertanyaan
apa yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-Undangan?
Pasal
1 angka 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menyatakan secara tegas: Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan
tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur
yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 1
angka 2 ada klasul kunci secara HAN, yaitu: “pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan”. Artinya Pejabat dalam membuat Keputusan haruslah
ditetapkan melalui prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
13. Untuk itulah agar
sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, Pejabat
yang berwenang diwajibkan untuk memegang teguh asas–asas penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan, yaitu mengacu
kepada UU Nomor 30 Tahun 2014, yaitu: Pasal 5 Penyelenggaraan Administrasi
Pemerintahan berdasarkan: a. asas
legalitas; b. asas pelindungan terhadap hak asasi manusia; dan 4 c. AUPB.
Adapun yang dimaksud asas legalitas dan asas perlindungan
HAM didalam UU Nomor 30 Tahun 2014. dinyatakan dalam penjelasan Pasal 5 huruf a adalah “Yang dimaksud dengan “asas legalitas” adalah bahwa penyelenggaraan Administrasi
Pemerintahan mengedepankan dasar hukum
dari sebuah Keputusan dan/atau
Tindakan yang dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan”. Makna hukumnya adalah Pejabat dalam membuat keputusan
mengedepankan dasar hukum dari sebuah
Keputusan.
Kemudian penjelasan Pasal 5 Huruf b: Yang dimaksud dengan “asas perlindungan terhadap hak asasi manusia” adalah bahwa
penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak boleh melanggar hak-hak dasar Warga
Masyarakat sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Makna hukumnya adalah pejabat
pemerintahan tidak boleh melanggar HAM.
14.
Bahwa pejabat bupati/pejabat Kepala daerah, maka secara HAN adalah juga
sebagai pejabat Pemerintahan, karena Kepala Daerah adalah bagian dari
Pemerintahan Daerah (Pasal 1 angka 3 UU Nomor 23 Tahun 2014). maka pejabat
bupati/pejabat Kepala daerah
melaksanakan administrasi pemerintahan. Adapun yang dimaksud dengan administrasi pemerintahan berdasarkan
pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 2014 yang menyatakan: “Administrasi
Pemerintahan adalah tata laksana dalam
pengambilan keputusan dan/atau tindakan
oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan”
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 ada dua konstruksi hukum, pertama, adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan, dan kedua
adalah tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan”
15. Atas dasar itu maka diwajibkan pejabat
yang berwenang dalam hal ini pejabat Admnistrasi Negara/TUN terhadap tata laksana dalam pengambilan keputusan
dan melakukan tindakan oleh pejabat
pemerintahan, haruslah/wajib memegang teguh Undang-Undang yang menjadi
dasar hukum kewenangan atau sumber Hukum Materiil HAN, yakni UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan, khususnya pada pasal Pasal 9 ayat (1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan
wajib berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan AUPB.
16. Apa yang dimaksud
dengan peraturan perundang-undangan yang dimaksud Pasal 9 ayat (1) diatas?
Pasal 9 Ayat
(2) UU Nomor 30 Tahun 2014 menyatakan, bahwa Peraturan perundang-undangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar Kewenangan; dan
b. peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
17. Bagaimana tata
laksanannya ? Pasal 9 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 2014,Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan
dan/atau melakukan Keputusan
dan/atau Tindakan wajib mencantumkan
atau menunjukkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar
Kewenangan dan dasar dalam
menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
18.Bagaimana
jika peraturan perundang-undangan tidak jelas?, Pasal 9 ayat (4) UU Nomor
30 Tahun 2014, menyatakan, bahwa ketiadaan
atau ketidakjelasan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b, tidak menghalangi Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan sepanjang memberikan
kemanfaatan umum dan sesuai dengan
AUPB.
Berdasarkan itu, maka pejabat pemerintahan dalam konteks
ini pejabat bupati/ pejabat Kepala daerah, ketika mengeluarkan Keputusan
Administrasi Pemerintahan dan tindakan administrasi pemerintahan harus memiliki kewenangan dan wewenang serta
dasar hukum yang didasarkan kepada peraturan perundang-undangan.
19.Apa yang
dimaksud Keputusan Administrasi
Pemerintahan dan Tindakan
Administrasi Pemerintahan?
Adapun yang
dimaksud dengan Keputusan Administrasi dan Tindakan Administrasi adalah
sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 7 dan 8 UU Nomor 30 Tahun 2014:
Pasal
1 angka 7: Keputusan Administrasi
Pemerintahan yang juga disebut Keputusan
Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya
disebut Keputusan adalah ketetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pasal 1 angka 8: Tindakan Administrasi Pemerintahan yang selanjutnya disebut
Tindakan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara
lainnya untuk melakukan dan/atau tidak
melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
20.Berdasarkan hal
pemahaman konstruksi hukum di atas dalam contoh dia atas, maka pertanyaannya
adalah apakah pejabat bupati /pejabat Kepala daerah memiliki kewenangan
dan wewenang dalam melakukan Mutasi PNS
secara HAN?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, maka terlebih dahulu dipahami konstruksi hukum
apa yang dimaksud dengan kewenangan dan
wewenang?
Pasal 1 angka 5. Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara
negara lainnya untuk mengambil keputusan
dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sedangkan kewenangan berdasarkan Pasal 1 angka 6. Kewenangan Pemerintahan
yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara
negara lainnya untuk bertindak dalam
ranah hukum publik.
Berdasarkan nomenklatur Pasal 1 angka 5 dan 6
UU Nomor 30 Tahun 2014, pejabat bupati/pejabat kepala daerah adalah dalam
kapasitas sebagai pejabat Pemerintahan,
dalam hal ini pejabat pemerintahan pada tingkat Kabupaten. (Dalam perkara ini
adalah Kabupaten Melawi), dan Keputusan Administrasi Negara/Keputusan Tata
Usaha Negara yang ditetapkan tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundangan, mengapa, karena pejabat kepala daerah secara definitif sama dengan
Kepala Daerah, dengan demikian tunduk dengan kewajiban Kepala Daerah, dan salah
satunya berdasarkan Pasal 67 huruf b UU Nomor 23 Tahun 2014 adalah menaati seluruh ketentuan peraturan
perundang-undangan;
Ketiga, Tentang Persyaratan Sahnya Keputusan
Administrasi Negara ?
A.Dilihat dari
Konstruksi Hukum Administrasi Negara
21. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, adalah HUKUM
MATERIIL HAN yang dimaksudkan keberadaannya untuk mengukur kualitas,
penyelesaian, mewujudkan pemerintahan
yang baik (good governance),
yaitu:[1]
1.
dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan
pemerintahan, badan dan/atau pejabat
pemerintahan dalam menggunakan wewenang harus mengacu pada asas-asas umum
pemerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2.
untuk menyelesaikan permasalahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pengaturan mengenai administrasi pemerintahan
diharapkan dapat menjadi solusi dalam
memberikan pelindungan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun pejabat
pemerintahan;
3.
untuk mewujudkan pemerintahan yang baik,
khususnya bagi pejabat pemerintahan, undang-undang tentang administrasi
pemerintahan menjadi landasan hukum yang
dibutuhkan guna mendasari keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan
untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan;
Kedua, Bahwa dengan tidak
memenuhi syarat-syarat prosedur UU
Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, maka keputusan ada terindikasi “cacat hukum” dan “tidak
sesuai prosedur”, karena dasar hukum HAN sebagai sumber hukum materiil tidak
sesuai dengan prosedur hukum yang sudah secara jelas diatur, oleh UU Nomor 30
Tahun 2014.
B. Dilihat dari tempus Keputusan Tata Usaha
Negara ketika dikeluarkan.
22. Mengapa setiaap Keputusan Tata Usaha Negara wajib
menunjuk dasar hukum yang mengatur administrasi Pemerintahan dalam ini
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, karena, secara hukum, bahwa:1)
1. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara Indonesia
adalah negara hukum. Hal ini berarti
bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan negara Republik Indonesia harus
berdasarkan atas prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum.
2. Berdasarkan
prinsip-prinsip tersebut, segala bentuk Keputusan dan/atau Tindakan
Administrasi Pemerintahan harus berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan hukum
yang merupakan refleksi dari Pancasila sebagai ideologi negara. Dengan
demikian tidak berdasarkan kekuasaan yang melekat pada kedudukan penyelenggara
pemerintahan itu sendiri. Mengapa karena
berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2011, bahwa Pancasila merupakan
sumber segala sumber hukum negara,
konsekuensi hukum, Pancasila adalah recht
idee dari sistem hukuk Indonesia, karena berdasarkan penjelasan Pasal 2 UU
Nomor 12 Tahun 2011, menyatakan: Penempatan Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. dan Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta
sekaligus dasar filosofis negara sehingga
setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, oleh karena itu konsekuensi hukumnya adalah:
3. Bahwa
Penggunaan kekuasaan negara terhadap Warga Masyarakat bukanlah tanpa
persyaratan. Warga Masyarakat tidak dapat diperlakukan secara sewenang-wenang
sebagai objek. Keputusan dan/atau Tindakan terhadap Warga Masyarakat harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
4. Untuk
itu dibutuhkan, pengawasan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan merupakan
pengujian terhadap perlakuan kepada Warga Masyarakat yang terlibat telah
diperlakukan sesuai dengan hukum dan memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan
hukum yang secara efektif dapat dilakukan oleh lembaga negara dan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan
mandiri. Karena itu, sistem dan
prosedur penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan harus diatur dalam
undang-undang. Tugas pemerintahan untuk mewujudkan tujuan negara
sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tugas tersebut merupakan tugas yang sangat luas.
5. Oleh
karena begitu luasnya cakupan tugas Administrasi Pemerintahan sehingga
diperlukan peraturan yang dapat
mengarahkan penyelenggaraan Pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan harapan
dan kebutuhan masyarakat (citizen
friendly), guna memberikan landasan dan pedoman bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan
tugas penyelenggaraan pemerintahan.
6. Ketentuan
penyelenggaraan Pemerintahan tersebut diatur dalam sebuah Undang-Undang yang
disebut Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang dapat menjamin
hak-hak dasar dan memberikan pelindungan kepada Warga Masyarakat serta menjamin
penyelenggaraan tugas-tugas negara
sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
7.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Warga
Masyarakat tidak menjadi objek, melainkan subjek
yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Dalam rangka
memberikan jaminan pelindungan kepada setiap Warga Masyarakat, maka
UndangUndang ini memungkinkan Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan banding terhadap Keputusan dan/atau
Tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang bersangkutan.
8.
Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau
Tindakan Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena UndangUndang ini merupakan hukum materiil dari sistem
Peradilan Tata Usaha Negara. Dan Pegawai Negeri Sipil, sebagai ASN adalah bagian dari warga masyarakat,
sebagaimana pasal 1 angka 3 UU Nomor 5 Tahun 2014, yang menayatakan Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya
disingkat PNS adalah warga negara
Indonesia yang
memenuhi
syarat tertentu, diangkat sebagai
Pegawai
ASN secara tetap oleh
pejabat
pembina
kepegawaian
untuk menduduki jabatan pemerintahan
Berdasarkan analisis di atas, maka menurut
pandangan saksi ahli, bahwa Keputusan Pejabat
Yang Berwenang wajib tunduk dengan UU Nomor 30 Tahun 2014, karena
berdasarkan alasan hukum, sebagai berikut:
Pertama,
Berdasarkan konstruksi hukum pada Pasal 86 UU
Nomor 30 Tahun 2014 Apabila dalam
tenggang waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, peraturan pemerintah
yang dimaksudkan dalam Undang-Undang ini belum
terbit, hakim atau Pejabat
Pemerintahan yang berwenang dapat
menjatuhkan putusan atau sanksi administratif berdasarkan Undang-Undang ini.
Kedua, berdasarkan
konstruksi hukum pada Pasal 87 UU Nomor
30 Tahun 2014 Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha
Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:
a.
penetapan tertulis yang juga
mencakup tindakan faktual;
b.
Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan
penyelenggara negara lainnya;
c.
berdasarkan ketentuan perundang-undangan
dan AUPB;
d.
bersifat final dalam arti lebih
luas;
e.
Keputusan yang berpotensi menimbulkan
akibat hukum; dan/atau
f.
Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
Berdasarkan Pasal 86 dan 87 UU Nomor 30 Tahun
2014, maka semua Keputusan Pejabat yang berwenang dilingkungan
legislatif, eksekutif, yudikaif dan penyelenggraa negara lainnya dapat
dikategorikan sebagai Keputusan Administrasi Negara/Keputusan Tata Usaha
Negara, yaitu penetapan tertulis, berdasarkan
ketentuan perundang-undangan dan AUPB; bersifat
final dalam arti lebih luas; dan Keputusan
yang berpotensi menimbulkan akibat hukum, Walaupun konsideran hukumnya tidak mencantumkan UU No 30 Tahun 2014, bukan
berarti tidak terikat dengan sumber Hukum
Materiil HAN, karena sesuai dengan sumpah jabatan pejabat administrasi
negara wajib memegang teguh UUD Neg RI
1945 dan menjalankan segala Undang-undang dan peraturannya dengan
selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa (Pasal
11 Permendagri Nomor 35 Tashun 2013). Dan patut disadari berssma, bahwa keberadaan
UU Nomor 30 Tahun 2014 ini adalah sebagai pelaksanaan
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, maka konsekuensi hukum wajib
dijadikan dasar hukum, kemudian jika dicontohkan terhadap kedudukan Penjabat
Kepala Daerah secara definitif sama dengan Kepala Daerah, juga tunduk kepada UU
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, berarti wajib melaksanakan
kewajiban kepala daerah, berdasarkan Pasal 67 Kewajiban kepala daerah dan
wakil kepala daerah meliputi: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. menaati
seluruh ketentuan peraturan perundangundangan;
C.
Dilihat dari asas-asas Penyelenggaraan Kebijakan dan Manajemen ASN
23.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang
ASN, didalam subtansinya memberikan alas hukum, bahwa setiap keputusan
Administrasi Negara/PTUN wajib tunduk dengan asas-asas penyelenggaraan Kebijakan dan manajemen ASN, yaitu sebagaimana
diperintahkan pada pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 2014:
Pasal
2, beserta penjelasannya UU Nomor 5
Tahun 2014 yang menyatakan, bahwa: Penyelenggaraan kebijakan dan
Manajemen
ASN berdasarkan pada asas: a. kepastian hukum; b. profesionalitas; c.proporsionalitas; d.keterpaduan; e.delegasi; f.netralitas; g. akuntabilitas; h.efektif dan efisien;i. keterbukaan; jnondiskriminatif; k.persatuan dan kesatuan; l.keadilan
dan kesetaraan; dan m.kesejahteraan.
24.Berdasarkan
asas tersebut di atas, maka apabila dikaitkan dengan asas-asas tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance), baik yang juga dicantumkan didalam UU Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomo 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, maka yang terpenting dalam konteks HAN, adalah asas berikut ini:
1. Asas
Kepastian Hukum
Penjelasan
Pasal 2 Huruf a UU Nomor 5 Tahun 2014
Yang dimaksud dengan
“asas kepastian hukum” adalah dalam
setiap penyelenggaraan kebijakan dan
Manajemen ASN, mengutamakan landasan peraturan perundang- undangan, kepatutan, dan keadilan.
2.Asas
Profesionalitas
Penjelasan
Pasal 2 Huruf b UU Nomor 5 Tahun 2014
Yang dimaksud dengan “asas
profesionalitas” adalah
mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3, Asas
Akuntabilitas
Pasal 2 huruf g Yang
dimaksud dengan “asas akuntabilitas” adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Pegawai ASN harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
25.Berdasarkan
tiga asas kunci Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik, maka menurut pandangan saksi
ahli perlu untuk diterapkan dalam penyelesaian terhadap obyek sengketa perkara
ini, mengapa? oleh karena berkaitan
dengan manajemen ASN, yang secara HAN, yaitu berdasarkan pasal 1 angka 5, bahwa
manajemen ASN adalah pengelolaan ASN
untuk menghasilkan Pegawai ASN yang profesional,
memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas
dari intervensi politik, dan praktik korupsi dan nepotisme.
Atas dasar itu secara
HAN, maka Kewenangan merupakan salah satu konsepsi inti dalam Hukum Administrasi Negara. Oleh Prajudi[2] menyatakan bahwa:
“Pengertian kewenangan dan wewenang (comptence,
bevoegdheid) walaupun dalam prakteknya pembedaannya tidak selalu dirasakan
perlu. Selanjutnya, dikatakan kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang
berasal dari, Hukum Administrasi Negara, kekuasaan legislatif (diberikan oleh
Undang-Undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif”.
Berdasarkan hal itu,
dalam perkara ini apakah sudah ditempuh upaya-upaya penyelesaian secara
administrasi pemerintahan pada tingkat kabupaten, provinsi, atau pemerintah
pusat, jika sudah ada, tetapi belum dilaksanakan rekomendasinya, maka
berdasarkan Pasal 21 (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau
tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang
yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan. (2) Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang dalam
Keputusan dan/atau Tindakan. (3) Pengadilan wajib memutus permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja
sejak permohonan diajukan. (4) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
(5) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara wajib memutus permohonan banding
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja
sejak permohonan banding diajukan. (6) Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat
final dan mengikat, tetapi apabila obyek
yang dipersengketakan dalam perkara ini adalah prosedur dalam pengambilan keputusan
oleh pejabat yang bewenang dan pelanggaran terhadap larangan peraturan perundang-undangan,
maka tindakannya adalah pembatalan Surat Keputusan dan tidak sahnya Surat
Keputusan Tata Usaha Negara, atau kedua-keduanya,
menurut saksi ahli harus diperjelas atas obyek sengketa pokok
perkara ini.
D.Dilihat dari upaya penyelesaian Sengketa,
yaitu upaya hukum Terhadap Tindakan Pejabat Administrasi BKAN dan KASN dalam konteks Peraturan
Perundang-undangan.
26. Untuk kecermatan pendapat saksi ahli, maka harus
dilihat dahulu peraturan yang ditetapkan
oleh Badan dan Lembaga yang dibentuk dengan Undang-Undang, yaitu Bahwa
berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, yang menyatakan:
Pasal 8
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.
Berdasarkan
Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 diatas, secara
HAN, bahwa Tindakan Administrasi Pejabat yang berwenang dilakukan oleh BKN, yaitu sebuah Badan
Kepegawaian Negara yang
selanjutnya disingkat BKN adalah lembaga pemerintah non kementerian yang diberi kewenangan
melakukan pembinaan dan menyelenggarakan
Manajemen ASN secara nasional
sebagaimana diatur dalam undang-
undang ini. (pasal 1 angka 21 UU Nomor 5 Tahun 2014) dan Tindakkan Administrasi
pejabat yang berwenang yang dilakukan oleh Komisi ASN yang selanjutnya disingkat KASN adalah lembaga nonstruktural yang mandiri
dan bebas dari intervensi politik (pasal 1angka 19 UU Nomor 5 Tahun 2014)
27.Kemudian
secara HAN bahwa BKN dan KASN adalah lembaga yang dibentuk atas dasar
kewenangan atribusi yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan psal 25 UU Nomor 5
Tahun 2014 yang menyatakan:
Pasal 25
(1) Presiden
selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang
kekuasaan tertinggi dalam kebijakan,
pembinaan profesi, dan Manajemen ASN.
(2) Untuk menyelenggarakan kekuasaan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
Presiden mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada:
a.
Kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan
aparatur negara, berkaitan dengan kewenangan perumusan dan
penetapan kebijakan, koordinasi
dan sinkronisasi kebijakan, serta pengawasan
atas pelaksanaan kebijakan ASN;
b.
KASN, berkaitan dengan kewenangan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan kebijakan dan Manajemen ASN untuk menjamin perwujudan SistemMerit serta pengawasan terhadap penerapanasas serta kode
etik
dan kode perilaku ASN;
d.
BKN, berkaitan dengan
kewenangan penyelenggaraan Manajemen ASN, pengawasan
dan pengendalian pelaksanaan norma,
standar, prosedur, dan kriteria Manajemen ASN.
Berdasarkan Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 jo Pasal 25 UU Nomor 5 Tahun 2014, tindakan pejabat BKN, dan KASN adalah merupakan tindakan Administrasi
Pemerintahan yang merupakan bagian dari kewenangan administrasi Pemerintahan
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014.
28.Berkaitan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 49 tahun 2008, pada Pasal 132A, berbunyi : Ayat (1) :
"Penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 131 ayat (4), atau
yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan
kepala daerah karena mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan menjadi
calon kepala daerah/wakil kepala daerah, serta kepala daerah yang diangkat
dari wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang mengundurkan diri
untuk mencalonkan/dicalonkan sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah
DILARANG (saya sengaja tulis pakai huruf besar pada kata 'dilarang') : a.
melakukan mutasi pegawai; b. membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan
pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan
yang dikeluarkan pejabat sebelumnya; c. membuat kebijakan tentang pemekaran
daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan d. membuat
kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan
program pembangunan pejabat sebelumnya".
29.Hal ini berarti, Penjabat kepala daerah atau pelaksana
tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) dan ayat (3),
serta Pasal 131 ayat (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 49 tahun 2008, atau yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan
kepala daerah karena mengundurkan diri
untuk mencalonkan/dicalonkan menjadi
calon kepala daerah/wakil kepala daerah, serta kepala daerah yang diangkat
dari wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang mengundurkan diri
untuk mencalonkan/dicalonkan sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah dilarang:
melakukan mutasi pegawai,pasal ini bukan diperuntukan kepada Kepala Daerah
yang berakhir masa jabatan atau sudah
berakhir dan pejabat bupati secara
definitif belum terpilih, tetapi
diperuntukan untuk kepala daerah yang mengundurkan diri, karena mencalonkan/dicalonkan menjadi calon kepala
daerah/wakil kepala daerah.
30.Berdasarkan
doktrin/dogma HAN, menurut F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek, menentukan bahwa :
“Hanya 2 (Dua) cara organ pemerintah memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru,
sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada oleh organ
yang telah memperoleh wewenang secara atributif
kepada orang lain. Jadi delegasi secara logis selalu didahului atribusi, sedangkan mandat tidak dibicarakan mengenai
penyerahan wewenang, didalam mandat tidak terjadi pula perubahan wewenang
apapun, namun yang ada hanyalah hubungan
internal”. Dalam mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ
pemerintahan adalah sangat penting oleh karena berkenaan dengan
pertanggungjawaban hukum (rechtelijke
verantwording) dalam penggunaan wewenang tersebut seiring dengan salah satu
prinsip dalam negara hukum yaitu “tidak ada kewenangan tanpa
pertanggungjawaban”
31.Selanjutnya Ridwan
menyatakan, yakni: “Pada delegasi tidak
ada penciptaan wewenang, melainkan hanya pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu ke pejabat yang lain .
tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans)
tetapi beralih pada penerima delegasi
(delegataris) semetara pada mandat, penerima mandat (mandataris) hanya
bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans), tanggung jawab akhir
keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans, karena pada
dasarnya penerima mandat tersebut bukan
pihak lain dari pemberi mandat “
32.Bagaimana
doktrin HAN di atas tersebut dilihat dari konstruksi Hukum UU No 5 Tahun 2014?
Bahwa didalam UU ASN
Nomor 5 Tahun 2014 paragraf 6 BAB VII
KELEMBAGAAN, yang mengatur Wewenang KASN:
Pasal 32
(1) KASN berwenang:
a.
mengawasi setiap
tahapan
proses
pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi
mulai dari pembentukan panitia seleksi instansi,
pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi, pengusulan nama calon,
penetapan, dan pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi;
b. mengawasi dan mengevaluasi penerapan asas, nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;
c. meminta informasi
dari
pegawai
ASN dan masyarakat mengenai laporan pelanggaran
norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;
d. memeriksa dokumen terkait pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai
ASN;
e. meminta klarifikasi dan/ atau dokumen
yang diperlukan dari Instansi Pemerintah untuk pemeriksaan laporan atas pelanggaran norma dasar serta kode
etik dan kode perilaku Pegawai ASN.
(2) Dalam melakukan
pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, KASN
berwenang untuk memutuskan adanya
pelanggaran kode etik dan kode
perilaku Pegawai ASN.
(3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian
dan Pejabat yang Berwenang
untuk wajib ditindaklanjuti.
Berdasarkan
wewenang KASN pasal 32 huruf b secara hukum jelas, bahwa wewenang KASN mengawasi dan mengevaluasi penerapan asas, nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN, jadi keberadaan,
jadi ketika KSN
mengeluarkan surat sebagai tindakan
administrasi negara adalah dalam rangka
pengawasan dengan memberikan rekomendasi, sebagaimana dimaksud pasal 120
ayat 5 UU Nomor 5 Tahun 2014 yang menyatakan: (5)
Rekomendasi KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) bersifat mengikat.
E. Dilihat dari Sumber wewenang Pejabat
Bupati berdasarkan doqma HAN
33.
Sebagaimana doktrin HAN dari F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek diatas ada dua
cara penggunaan wewenang, yaitu atribusi
dan delegasi, dan delegasi adalah tidak berdiri sendiri tetapi harus didahului
wewenang atribusi, untuk memperjelas analisis ini, maka berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, mengacu
pada
Pasal 1 angka 22 dan angka
23 menyatakan:
Atribusi adalah pemberian
Kewenangan kepada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 atau Undang-Undang. (pasal
1 angka 22 UU Nomor 30 Tahun 2014)
Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih
tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat
beralih sepenuhnya kepada penerima
delegasi. (Pasal 1 angka 23 UU Nomor 30 Tahun 2014)
34.Pertanyaannya bagaimana konstruksi hukum
pelaksanaan wewenang atribusi dan delegasi berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2014 ?
Berdasarkan Pasal 12 (1) UU Nomor 30
tahun 2014 Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang
melalui Atribusi apabila: a. diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang; b. merupakan Wewenang baru atau sebelumnya tidak ada; dan c. Atribusi
diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. (2) Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Atribusi, tanggung jawab
Kewenangan berada pada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang bersangkutan. (3) Kewenangan
Atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur di dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang. Sedangkan pelaksanaan delegasi diatur pada Pasal
13 (1) UU No 30 tahun 2014 Pendelegasian Kewenangan ditetapkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
memperoleh Wewenang melalui Delegasi apabila: a. diberikan oleh Badan/Pejabat
Pemerintahan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya; b. ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan Daerah; dan c. merupakan Wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada.
Pertanyaan apa yang dimaksud dengan
Keputusan Administrasi Negara dan tindakan administrasi negara adalah :
Keputusan
Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang
selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. (Pasal
1 angka 7 UU Nomor 30 Tahun 2014
Pasal 87 Dengan
berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan
Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai
sebagai:
a.
penetapan tertulis yang juga mencakup
tindakan faktual;
b.Keputusan
Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
c.
berdasarkan ketentuan perundang-undangan
dan AUPB;
d.
bersifat final dalam arti lebih luas;
e.
Keputusan yang berpotensi menimbulkan
akibat hukum; dan/atau
f.
Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
35.
Bagaimana syarat sahnya sebuah keputusan ? dalam UU Nomor 30
Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, diatur secara normatif syarat
sahnya keputusan yaitu pada Pasal 52:
Pasal
52 (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 yang mengatur syarat sah Keputusan , yaitu, bahwa
Syarat sahnya Keputusan meliputi:
a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
b. dibuat sesuai
prosedur; dan
c. substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.
(2) Sahnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada ketentuan peraturan
perundang-undangan dan AUPB.
36.Berdasarkan
Pasal 52 UU Nomor 52 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014, maka menurut penulis Keputusan
Pejabat Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi negara,
harus dianalisis konstruksi hukumnya:
1.Apakah Bersumber dari wewenang Atribusi atau delegasi ?
a. Sesuai
konstruksi hukum menurut ahli adalah sumber wewenangnya adalah wewenang Atribusi, yakni pemberian Kewenangan kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 atau Undang-Undang (pasal
1 angka 22 UU Nomor 30 Tahun 2014)
Jadi secara
HAN, bahwa ketika pejabat bupati diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dan
dilantik,maka secara HAN pejabat bupati mendapatkan sumber wewenang atribusi, karena diberikan pemberian
kewenangan berdasarkan Undang-Undang, oleh karena itu dalam mengambil Keputusan
dan tindakan administrasi harus dibuat
sesuai prosedur dan didasarkan pada ketentuan
peraturan perundang-undangan dan AUPB.
b. Kemudian perlu dianalisis dari sifat
keputusan dari pejabat bupati, karena menurut UU Nomor 30 Tahun 2014
Pasal 54 (1) Keputusan meliputi Keputusan yang bersifat:
a. konstitutif; atau
b. deklaratif.
(2)
Keputusan yang bersifat deklaratif menjadi tanggung jawab Pejabat Pemerintahan
yang menetapkan Keputusan yang bersifat konstitutif
Penjelasan Pasal 54 Ayat (1)
a. Yang
dimaksud dengan “Keputusan yang bersifat konstitutif” adalah Keputusan yang
bersifat penetapan mandiri oleh Pejabat Pemerintahan.
b. Yang
dimaksud dengan “Keputusan yang bersifat deklaratif” adalah Keputusan yang
bersifat pengesahan setelah melalui proses pembahasan di tingkat Pejabat
Pemerintahan yang menetapkan Keputusan yang bersifat konstitutif.
c. Alasan
secara yuridis normatif, karena harus melalui proses pembahasan ditingkat
pejabat pemerintahan dalam hal ini melalui mekanisme Badan Pertimbangan Jabatan
dan Kepangkatan Kabupaten/kota sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13
Tahun 2002 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil, pasal 16 menyatakan Ketua Baperjakat Instansi Daerah Kabupaten/Kota adalah Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dengan
anggota para pejabat eselon II, dan Sekretaris dijabat oleh pejabat eselon III
yang membidangi kepegawaian.
Pasal 14 Peraturan
Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 Tentang PENGANGKATAN PEGAWAI NEGERI
SIPIL DALAM JABATAN STRUKTURAL
(1). Untuk menjamin kualitas dan obyektifitas dalam pengangkatan,
pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan
struktural Eselon II ke bawah di setiap instansi dibentuk Badan Pertimbangan
Jabatan dan Kepangkatan, selanjutnya disebut Baperjakat.
(2)
Baperjakat terdiri dari:
a. Baperjakat Instansi Pusat;
b. Baperjakat Instansi Daerah Propinsi;
c. Baperjakat
Instansi Daerah Kabupaten/Kota
(3) Tugas pokok Baperjakat Instansi Pusat dan Baperjakat Instansi
Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota memberikan pertimbangan kepada Pejabat
Pembina Kepegawaian Pusat dan Pejabat
Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dalam pengangkatan,
pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural Eselon II ke
bawah.
(5). Disamping
tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Baperjakat bertugas pula memberikan pertimbangan kepada pejabat yang berwenang dalam pemberian kenaikan
pangkat bagi yang menduduki jabatan struktural, menunjukkan prestasi kerja
luar biasa baiknya, menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi negara dan
pertimbangan perpanjangan batas usia pensiun Pegawai Negeri Sipil yang
menduduki jabatan struktural Eselon I dan Eselon II.
37.Berdasarkan Dogma HAN, bahwa SYARAT SAH BERLAKUNYA KEPUTUSAN, ada dua syarat, yaitu
SYARAT FORMAL. YAITU:
1. PROSEDUR/CARA PEMBUATAN KEPUTUSAN.
2. BENTUK KEPUTUSAN.
3.PEMBERITAHUAN KEPADA YANG
BERSANGKUTAN.
Ad 1 PROSEDUR/CARA
PEMBUATAN
•
Artinya Beschikking dibuat berdasarkan prosedur
yang telah ditentukan Oleh peraturan dasarnya.
•
Misalnya pengangkatan
PNS
Ad.2. BENTUK PENETAPAN
•
Persoalan apakah
suatu Beschikking harus diberi bentuk tertentu, misalnya
tertulis ataupun tidak tertulis, tergantung dari peraturan pokok yang menjadi
dasar pengambilan keputusan.
Ad.3. PENYAMPAIAN KEPUTUSAN PADA YANG BERSANGKUTAN.
•
Pada umumnya syarat berlakunya suatu
keputusan harus disampaikan kepada yang bersangkutan
atau terkena keputusan.
•
Pemberitahuan ini dapat dilakukan melalui
penyerahan kepada yang bersangkutan, pengumuman melalui media massa, melalui
surat yang tercatat dalam buku ekspedisi.
2. SYARAT MATERIIL
Instansi atau pejabat yang
membuat harus memiliki kewenangan dalam jabatannya
1.
Penetapan harus dibuat tanpa kekurangan yuridis.
•
Artinya bahwa keputusan tersebut dibuat tidak
boleh didasarkan pada paksaan (Dwang), Penipuan (bedrog) dan
kekhilapan(dwaling)
2.
Penetapan harus menuju sasaran/tujuan (doelmatig) yang tepat, sesuai
dengan peraturan dasarnya.
Apabila suatu penetapan dibuat tidak sesuai dengan sasaran/tujuan
sebagaimana diamanahkan oleh peraturan dasarnya, maka hal tersebut merupakan
penyelewengan atau penyimpangan (detournement de pouvoir).
Akibat Hukum
Keputusan yang tidak sah:
Penetapan yang tidak memenuhi syarat formal maupun material mempunyai
akibat:
1. Penetapan menjadi batal
2. Penetapan dapat dibatalkan oleh Instansi yang
membuat.
3. Penetapan yang seharusnya disahkan oleh
instansi atasan, menjadi tidak disahkan.
4. Ada kemungkinan kekurangan dalam penetapan
tidak mempunyai pengaruh mengenai sah berlakunya, malahan dengan perbaikan/ penambahan
kekurangan diperkuat sah berlakunya.
5. Apabila
Keputusan diambil diluar kewenangan atau melampuai kewenangannya,maka Keputusan
itu Batal demi Hukum.
Berdasarkan analisis di atas, menurut pendapat
ahli jika pejabat bupati tidak secepatnya mencabut dan membatalkan 6 (enam )
Keputusan, karena diluar kewenangan
Pejabat Bupati, maka dimungkinkan akan meningkat
pembuktian penyalah gunaan kewenangan, karena menurut pasal 15 UU Nomor 30
Tahun 2014, bahwa berkaitan dengan Pembatasan Kewenangan Pasal 15 (1) Wewenang
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dibatasi oleh: a. masa atau tenggang waktu
Wewenang; b. wilayah atau daerah berlakunya Wewenang; dan c. cakupan bidang atau materi Wewenang.
Dan menurut pandangan penulis tindakan yang dilakukan oleh pejabat Bupati dapat
dikategorikan sebagai TINDAKAN
ADMINISTRASI YANG MERUPAKAN TINDAKAN YANG MELAMPUAI BATAS KEWENANGAN YANG
DIAMANATKAN DAN MELANGGAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
Dengan argumentasi:
Pertama,
Pejabat Bupati mendapat sumber kewenangannya adalah wewenang atribusi, yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 Tentang ASN sebagai Pejabat yang Berwenang, yaitu pejabat yang mempunyai kewenangan melaksanakan proses pengangkatan,
pemindahan, dan pemberhentian Pegawai
ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan sebagai pejabat
yang diangkat dan ditetapkan oleh Pejabat Administrasi, yaitu sebagai Pegawai ASN
yang
menduduki Jabatan Administrasi pada
instansi pemerintah, dalam hal ini
instansi Pemerintah Daerah Kabupaten serta sebagai Pejabat Fungsional, yaitu Pegawai ASN
yang menduduki Jabatan Fungsional pada
instansi pemerintah, maka terikat dengan sumpah atau janji jabatan,
sebagaimana ditetapkan oleh Permendagri
Nomor 35 Tahun 2013 pada BAB IV PELANTIKAN PENJABAT KEPALA DAERAH dalam Pasal
25 yang menyatakan (1) Penjabat kepala daerah sebelum memangku jabatannya
dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji,(2) Pengucapan sumpah/janji dipandu
oleh pejabat yang melantik, kemudian lapal sumpahnya berdasarkan secara mutatis
mutandis sama dengan kepala daerah dan wakil kepala daerah, sebagaimana
dimaksud Pasal 29 yang menyataka, bahwa
Ketentuan mengenai naskah dan pengucapan sumpah/janji kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 dan pasal 11 berlaku secara mutatis mutandis terhadap naskah dan
pengucapan sumpah/janji penjabat kepala daerah yang berbunyi (2)Sumpah/janji
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji,
akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
menjalankan segala Undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya
serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa”.
Kedua, Kemudian dengan
sumpah tersebut ketika Pejabat Bupati, sebagai pejabat yang berwenang
dalam mengambil keputusan adminitrasi
negara dan tindakan administrasi negara harus berdasarkan dasar hukum,
khususnya dalam melaksanakan proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
(Pasal 1 angka 13 UU Nomor 5 Tahun 2014)
dan mematuhi larangan peraturan perundang-undangan.
Ketiga, bahwa dalam hal
pejabat bupati sebagai pejabat Kepala Daerah yang sumber wewenangnya atribusi sebagai pejabat administrasi atau
sebagai Pegawai ASN yang menduduki Jabatan Administrasi pada
instansi pemerintah, dalam hal ini
instansi Pemerintah Daerah Kabupaten dalam Penyelenggaraan kebijakan dan
Manajemen ASN berdasarkan pada asas antara lain:
a. kepastian hukum; b. profesionalitas; c. proporsionalitas; d. keterpaduan; j. Non diskriminatif; l. keadilan dan kesetaraan;
(pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 2014).
Keempat, walaupun UU Nomor 30 Tahun 2014 tidak dijadikan konsideran Keputusan,
tetapi sesuai dengan sumpah pejabat bupati, diwajibkan harus patuh untuk
memegang teguh Udang-Undang dan peraturannya, karena UU Nomor 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan sebagai hukum materiil Hukum Administrasi
Negara atau salah satu dasar hukum bagi Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan, Warga Masyarakat, dan pihak-pihak lain yang terkait dengan Administrasi
Pemerintahan dalam upaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan.(pasal
2 UU Nomor 30 Tahun 2014), oleh karena
itu pejabat bupati terikat secara hukum untuk menjalankan taat asas dalam
Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan berdasarkan: a. asas legalitas; b. asas pelindungan
terhadap hak asasi manusia; dan c. AUPB (pasal 5 UU Nomor 30 Tahun 2014) wajib
mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Kelima,
Bahwa
ketika mengambil keputusan, sebagaimana diperintahkan Pasal 9 (1) UU Nomor 30
Tahun 2014, yaitu Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.
(2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar Kewenangan; dan b. peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan. (3)
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan wajib
mencantumkan atau menunjukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar Kewenangan dan dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakana.
Keenam,
bahwa keputusan yang diambil harus memenuhi syarat sah sebuah keputusan
sebagaimana diamanahkan Pasal 52 (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 Syarat sahnya
Keputusan meliputi: a. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang; b. dibuat sesuai prosedur; dan c. substansi yang
sesuai dengan objek Keputusan. (2) Sahnya Keputusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB dan
tidak boleh melampai kewenangan atau cakupan kewenangan, karena berdasarkan
Pasal 15 (1) Wewenang Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dibatasi oleh: c. cakupan bidang atau materi Wewenang.
Ketujuh, Bahwa ketika tata
usaha negara dalam mengambil keputusan, kemudian
melanggar peraturan perundang-undangan, maka Larangan dimaksud dapat menjurus
kepada Penyalahgunaan Wewenang
sebagaimana amanah Pasal 17 (1) UU Nomor
30 Tahun 2014, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dilarang menyalahgunakan
Wewenang. (2) Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi: a. larangan melampaui
Wewenang; b. larangan
mencampuradukkan Wewenang; dan/atau c. larangan bertindak sewenang-wenang.
Kedelapan,
ketika pejabat tata usaha negara mengambil keputusan melampaui kewenangan yang
diamanahkan peraturan perundang-undangan sebagaiman dimaksud Pasal 18 (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan
melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila
Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: a. melampaui masa jabatan atau
batas waktu berlakunya Wewenang; b. melampaui batas wilayah berlakunya
Wewenang; dan/atau c. bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan kemudian Pasal 18 ayat (2) yang menyatakan, bahwa: Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan dan/atau Tindakan
yang dilakukan: a. di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan;
dan/atau b. bertentangan dengan tujuan
Wewenang yang diberikan.
Kesembilan, Berdasarkan Pasal
18 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 2014, bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
dikategorikan bertindak sewenang-wenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan dan/atau
Tindakan yang dilakukan: tanpa dasar Kewenangan; apabila
terjadi kesalahan prosedur dan tidak
memiliki dasar hukum terhadap kewenangan dan melanggar larangan peraturan perundang-undangan, maka secara hukum
Keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang dapat dicabut dan dibatalkan, jika tidak dicabut atau dibatalkan,
maka dapat patut diduga sebagai penyalahgunaan
kewenangan.
Pontianak, 11 Februari 2016
Tengku Mulia Dilaga Turiman FN,SH,MHum
13 komentar:
NAMA : SISKA
NIM : A1011151141
SEMESTER : 2 (GENAP)
ANGKATAN : 2015
DOSEN : Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachrutahman Nur,SH,MHum
Selamat siang bapak Turiman , selaku dosen yang mengajar saya di semester 2 (genap) ini .
Saya ingin menyampaikan pendapat say tentang artikel yang bapak tulis ini .
Saya ingin menyampaikan bahwa banyak sekali masyarakat ataupun orang yang memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi .
Tetapi dalam hal ini tidak semua orang yang berkuasa melakukan kesalahan yang memang disengaja , tetapi ada juga orang lain diluar sana yang sengaja menjebak atau melakukan tindakan yang sengaja untuk merusak nama baik atau kedudukan seseorang .
Dalam hal ini perlu adanya penegasan kepada masyarakat ataupun aparat penegak hukum agar dapat menyelidiki dengan baik sebelum menjatuhkan hukuman yang seharusnya tidak dilakukan .
Apabila ada bukti nyata maka boleh melakukan pengecaman ataupun tindakan yang tegas terhadap penyalahgunaan jabatan .
Sekian komentar dari saya , apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dihati saya haturkan maaf .
Nama : hemi marihot goldfirst nainggolan
NIM : A1011151103
Kelas : E
Sebelum nya saya ucapkan terima kasih atas karya yang telah di publikasika oleh penulis bolg yang mana adalah dosen saya sendiri yakni Bapak TurimanSH,M.Hum
Berdasarkan judul yakni KONSTRUKSI HUKUM
KEDUDUKAN DAN BATAS KEWENANGAN PEJABAT NEGARA , sayang sangat suju sekali dengan adanya batas kewenangan pejabat negara ini.Dengan begini mereka tidak dapat bertindak sewenang-wenang saja.Dengan kata lain rakyat yang tidak berdaya tidak akan tertekan oleh kekuasaan sewenang-wenang.
Dan ya tentu saja juga harus ada sumpah jabatan tersebut,namun menurut saya itu kurang efisien karena bisa saja yang bersangkuta berbohong dan menyeleweng , kerena kan itu hanya idealisme buka realisme nya. Menurut saya para pejabat yang melanggar sumpah dan batasan kewenangannya hendaklah di hukum sanagt berat seperti hukum mati dan keluarganya di miskinkan serta dilarang bekerja di sektor yang berhubungan langsung dengan negara,sebab kejahatan nya kan memang merugikan seluruh rakyat indonesia.Dan ada kemungkinan ada pihak yanh meninggal karena oleh yang bersangkutan walaupun karna hal sepele saja
Nama : Muhammad Klayoga Pribadi
NIM : A1012141222
Kelas : A
Semester : 4 (genap)
Mata Kuliah : Ilmu Perundang undangan
Selamat Pagi Pak Turiman,
Saya akan memberikan pendapat saya mengenai artikel ini, sejauh ini menurut padangan saya dalam suatu pemilihan calon Kepala daerah baik itu Bupati ataupun Walikota yang memiliki basic khusus dalam menjadi pemimpin, sebaiknya diberikan pengenalan dari berbagai sudut pandang yang jelas, salah satunya dalam memilih calon pemimpin, banyak sekali masyarakat kita yang belum mengetahui profil-profil dari para calon pemimpim nanti yang akan di pilih, mereka hanya di berikan janji atau sekedar kampanye yang mengatas namakan kepentingan rakyat.
Terlebih lagi untuk para pemilih yang berdomisili jauh di pedalaman sana, yang mereka tidak tahu dan hanya memilih berdasarkan instruksi dari kepala desa ataupun kepala adat.
Banyak sekarang kita lihat baik itu di TV, Media Sosial ataupun Surat Kabar, banyak pejabat administrasi negara yang menayalah gunakan jabatannya, saya berharap ada ketegasan dalam suatu sistem pemilihan calon kepala daerah yang nantinya tidak akan menimbulkan kerugian dari pihak negara maupun masyarakat.
Nama: Novica
Kelas: E (reg A)
Nim: A1011151135
Fakultas: UnTan
Semester: 2
Makul: Hukum Tata Negara
Komentar saya:
Mengenai "KONSTRUKSI HUKUM KEDUDUKAN DAN BATAS KEWENANGAN PEJABAT ADMINISTRASI NEGARA/PEMERINTAHAN" Kata kuncinya pada konstruksi hukum Pasal 1 angka 5 diatas adalah klasul: “untuk melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban kepala daerah dalam kurun waktu tertentu”. Adanya konstruksi hukum tersebut pasti ada alasan yang mendukung terjadinya konstruksi tersebut. pejabat bupati adalah pejabat aparatur sipil negara, yang tunduk dengan Undang-Undang Tentang ASN. oleh karena itu dalam UU ASN diberikan batasan hukum siapa yang dimaksud pejabat yang berwenang. Didalam UU Nomor 5 Tahun 2014 Pasal angka 13 menyatakan: “Pejabat yang Berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan melaksanakan proses pengangkatan, pemindahan, danpemberhentian Pegawai ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dalam pasal 1 angka 13 UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN terdapat klasul HAN, yaitu: “yang mempunyai kewenangan melaksanakan proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Adanya sumpah/janji saat pelantikan merupakan hal yang baik dan memiliki makna yang dalam tapi bagi sebagian anggota negara yang menjalanin sumpah setelah di lantik, tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan benar. Anggota negara masih banyak yang korupsi dan melakukan pelanggaran hukum yang merugikan negara. Berdasarkan Pasal 29 Permendagri No 35 Tahun 2013 menyatakan:“Ketentuan mengenai naskah dan pengucapan sumpah/janji kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 dan pasal 11 berlaku secara mutatis mutandisterhadap naskah dan pengucapan sumpah/janji penjabat kepala daerah”.
Jika kita lihat bunyi sumpahnya, pada pasal 11 Permendagri No 35 Tahun 2013. Menyatakan: “Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji, akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa”. Jika dilihat dari pernyataan yang sudah dicantumkan anggota negara maupun pejabat negara harus menjalankan tugasnya dengan baik dan benar mengingat apa yang di perjanjikan berkaitan dengan negara dan rakyat atas nama Yang Maha Kuasa. Sekian dari komentar saya, apa bila terdapat penulisan kalimat yang salah, harap di maklumi dan terima kasih atas informasi dan ilmu yang sudah dibagi oleh Bapak.
Zapplerepair pengerjaan di tempat. Zapplerepair memberikan jasa service onsite home servis pengerjaan di tempat khusus untuk kota Jakarta, Bandung dan Surabaya dengan menaikan level servis ditambah free konsultasi untuk solusi di bidang data security, Networking dan performa yang cocok untuk kebutuhan anda dan sengat terjangkau di kantong" anda (http://onsite.znotebookrepair.com)
“Zapplerepair Apple dan Smarphone specialist
telp: 087788855868
website: http://indonesia.zapplerepair.com/
Nama :Era Januarisma
NIM : A1011171143
Kelas :C
Mata Kuliah :Ilmu Negara
Fakultas/Prodi :Hukum/Ilmu Hukum
Semester :1
Reg A
Assalamu’alaykumwarahmatullah terimakasih kepada bapak Turiman Fachturahman Nur,SH,MHum yang telah menulis blog yang berjudul
"KONSTRUKSI HUKUM KEDUDUKAN DAN BATAS KEWENANGAN PEJABAT ADMINISTRASI NEGARA/PEMERINTAHAN
(Analisis UU Nomor 30 Tahun 2014)
Dari blog ini saya sangat setuju dengan adanya pembatasan kekuasaan para pejabat negara agar tidak terjadi kesewenang-wenangan, dan hal yang dapat saya simpulkan salah satunya adalah bahwa banyak sekali orang ataupun pejabat yang memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi, misalnya banyak kita ketahui banyak sekali sekarang ini pejabat negara yang menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi atau keluarganya tanpa memikirkan susahnya rakyat, banyak sekali anak pejabat yang menggunakan fasilitas negara untuk kepentingannya pribadi.
Tetapi dalam hal ini tidak semua orang yang berwenang melakukan kesalahan ini dengan disengaja , tetapi ada juga orang lain diluar sana yang memang dengan sengaja menjebak atau melakukan tindakan yang tidak baik untuk merusak nama baik atau kedudukan seseorang tersebut .
Dan untuk membatasi kesewenang-wenangan tersebut terdapat Dalam pasal 1 angka 13 UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN terdapat klasul HAN, yaitu: “yang mempunyai kewenangan melaksanakan proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Adanya sumpah/janji saat pelantikan merupakan hal yang baik dan memiliki makna yang dalam tapi bagi sebagian anggota negara yang menjalanin sumpah setelah di lantik, tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan benar. Anggota negara masih banyak yang korupsi dan melakukan pelanggaran hukum yang merugikan negara. Berdasarkan Pasal 29 Permendagri No 35 Tahun 2013 menyatakan:“Ketentuan mengenai naskah dan pengucapan sumpah/janji kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 dan pasal 11 berlaku secara mutatis mutandisterhadap naskah dan pengucapan sumpah/janji penjabat kepala daerah”.
Atas perhatian bapak saya ucapkan terimakasih.
Waalaikumsalamwarahmatullah
Nama : Imam Suntoro
NIM : A1011141226
Kelas : C (reg A)
Mata Kuliah : Ilmu Negera
Fakultas : Hukum
Semester : 7
Assalamualaikum wr, wb
Menurut saya artikel bapak yang berjudul "KONTRUKSI HUKUM DAN BATAS KEWENANGAN PEJABAT ADMINISTRASI NEGARA/PEMERINTAH (Analisis uu no 30 th 2014" ini sangat baik .
Karena dapat membantu orang memahami apa saja kewenangan kepala daerah dan kewajibannya baik itu bupati atau walikota dalam rangka menciptakan pemerintahan yang baik .
Di dalam artikel ini juga terdapat banyak pengetahuan sangat bermanfaat .
Mulai dari siapa yang melantik kepala daerah sampai dengan batasan-batasan tertentu seorang kepala daerah .
Sekian komentar saya, terima kasih atas ilmu dan informasi yang telah bapak sampaikan pada artikel ini .
Wassalamualaikum wr.wb
Nama : Alma Annisa Imanda
NIM : A1011171133
Mata Kuliah : Hukum Tata Negara
Kelas : E
Semester : 2
Regular : A
Dosen : Turiman SH,MH
Fakultas : Hukum Universitas Tanjungpura
AssalamualaikumWr,Wb
Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih kepada bapak Turiman yang telah memberikan artikel yang berjudul Konstruksi Hukum Kedudukan dan Batas Kewenangan Pejabat Administrasi Negara atau Pemerintahan sehingga sangat bermanfaat dan menambah wawasan ilmu pengetahuan saya setelah saya membaca dan mencermatinya. Saya akan menanggapi mengenai kedudukan hukum dan sumpah pejabat administrasi negara.
Saya menjadi mengerti bahwa tentang kedudukan hukum dan sumpah pejabat administrasi negara dimana salah satu contoh adalah Kedudukan Status Hukum Pejabat Bupati, maka harus dikaji lebih dahulu asas hukum yang menjadi dasar pengangkatan pejabat Bupati secara Hukum Administrasi Negara diberikan nomenklatur sebagai Pejabat Kepala Daerah, yaitu asas hukumnya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah Dan/Atau Wakil Kepala Daerah, menyatakan nomenklatur hukum Administrasi Negara tentang siapa yang dimaksud Pejabat Bupati, Pasal 1 angka 5.
Selanjutnya pejabat daerah sebelum memangku jabatan, harus mengucapkan sebuah sumpah yang dipandu oleh pejabat yang melantik menurut pasal 25 Permendagri No 35 Tahun 2013. Menurut saya harus dipahami oleh para Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yaitu pertama, sumpah diyakini sebagai janji kepada Allah SWT. Kedua, ada beberapa point penting dalam sumpah janji jabatan yang tak boleh dilupakan oleh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Yakni mereka harus menjungjung tinggi selalu Undang-undang Dasar 1945 serta peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Ketiga, sumpah sebagai pengingat janji kepada rakyat. Semua kepala daerah terpilih telah berhutang janji pada rakyat. Keempat, sumpah janji jabatan dijadikan sebagai tekad bulat untuk bekerja dan bekerja. Jika Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah melanggar sumpah janji jabatan, maka menurut UU No.32 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 29 ayat d, Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah dapat diberhentikan bilamana dinyatakan melanggar sumpah jabatan. Adapun prosesnya ada 5,yaitu: pertama, pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD.
Kedua, pendapat DPRD diputuskan melalui Rapat Paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD. Ketiga, MA wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 hari setelah permintaan DPRD itu diterima MA. Keputusan MA bersifat final.
Keempat, apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah jabatan maka DPRD menyelenggarakan Rapat Paripurna yang harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota. Kelima, Presiden wajib memproses usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tersebut paling lambat 30 hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa sumpah jabatan bukan sesuatu yang ringan diucapkan. Sumpah janji jabatan sangat berat pertanggungjawabannya baik di sisi Allah maupun di hadapan hukum manusia. Pelanggaran sumpah janji jabatan dapat beresiko pemberhentian sebagai pimpinan daerah. Karenanya, seyogyanya bagi setiap kepala daerah berhati-hati dalam mengemban tugas dan amanat dari rakyat. Semoga mereka yang dilantik dapat melaksanakan sumpah janji jabatan, mewujudkan keadilan dan kesejahteraan untuk rakyat. Demikian komentar yang dapat saya sampaikan, atas perhatian bapak saya mengucapkan terimakasih.
Nama : Dimas Purbaya
NIM : A1011171107
Kelas : E
Mata Kuliah : Hukum Tata Negara (REG A)
Semester : 2
Fakultas : Hukum
Assalamualaikum Wr.Wb
asas-asas tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance), baik yang juga dicantumkan didalam UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomo 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, maka yang terpenting dalam konteks HAN, adalah asas berikut ini:
1. Asas Kepastian Hukum
Penjelasan Pasal 2 Huruf a UU Nomor 5 Tahun 2014
Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah dalam setiap penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN, mengutamakan landasan peraturan perundang- undangan, kepatutan, dan keadilan.
2.Asas Profesionalitas
Penjelasan Pasal 2 Huruf b UU Nomor 5 Tahun 2014
Yang dimaksud dengan “asas profesionalitas” adalah mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3, Asas Akuntabilitas
Pasal 2 huruf g Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas” adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Pegawai ASN harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Nama : Leonardo
NIM : A1011171140
Kelas : E
Mata Kuliah : Hukum Tata Negara (REG A)
Semester : 2
Fakultas : Hukum
selamat malam pak, terima kasih atas artikel yang bapak tulis ini, sehingga saya dapat memberi pendapat lewat komentar dan semoga dapat menambah pandangan bagi saya dan pembaca lainnya dan bila adanya kesalahan mohon diperbaiki
KONSTRUKSI HUKUM KEDUDUKAN DAN BATAS KEWENANGAN PEJABAT ADMINISTRASI NEGARA/PEMERINTAHAN, saya sangat setuju apabila kewenangan daripada pejabat administrasi negara/ pemerintahan itu dibatasi karna adanya jabatan atau kuasa tanpa pembatasan akan berkahir pada diktatorisme. akan tetapi saya merasa batasan-batasan daripada pejabat ini kurang dipublikasikan oleh pemerintahan sehingga masyarakat awam yang tidak mengetahuinya terkadang tidak tahu akan hal itu dan pejabat yan menyeleweng dapat memanfaatkannya. sehingga akan lebih baik apabila batasan-batasan ini dapat diekspos lebih lagi kepada masyarakat diluar sana.
saya juga merasa bahwa memang akan lebih baik apabila dalam dalam suatu pemilihan calon Kepala daerah mau itu Bupati ataupun Walikota yang memiliki basic khusus dalam menjadi pemimpin, sebaiknya diberikan pengenalan dari berbagai sudut pandang yang jelas, salah satunya dalam memilih calon pemimpin, banyak sekali masyarakat kita yang belum mengetahui profil-profil dari para calon pemimpin yang akan di pilih, mereka hanya di berikan janji atau sekedar kampanye yang mengatas namakan kepentingan rakyat. oleh karena itu sepertinya perlu adanya pengeksposan yang lebih terhadap calon-calon pemimpin tersebut, karna seperti yag kita tahu tidak semua orang memiliki waktu atau kesempatan untuk melakukan penelitian atau searching mengenai calon-calon yang akan dipilihnya nanti, itulah gunanya pengeksposan dari individu sang calon kepala daerah, jangan hanya kampanye atau janji-janji politiknya saja yang diekspos kemana-mana.
sehingga dengan begitu dapat meminimalisir terpilihnya kepala daerah yang salah atau menggunakan kekuasaanya sembarangan atau untuk kepentingan pribadi maupun individu.
terimakasih...
Nama : roynald christian chi
NIM : A1011171111
Kelas : E
Mata Kuliah : Hukum Tata Negara (REG A)
Semester : 2
Fakultas : Hukum
selamat pagi,
sebelum saya memberikan pendapat saya mengenai KONSTRUKSI HUKUM KEDUDUKAN DAN BATAS KEWENANGAN PEJABAT ADMINISTRASI NEGARA/PEMERINTAHAN,saya mengucapkan terima kasih kepada pak Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur,SH,MHum yang telah membuat artikel ini sehingga bisa bermanfaat bagi banyak orang.
menurut pendapat saya,saya setuju terhadap pembatasan kewenangan dalam administrasi negara/pemerintahan karena dengan adanya pembatasan dalam kewenangan oleh para penjabat,dapat mencegah ada sistem pemerintahan yang otoriter. pembatasan kewenangan merupakan uapaya prefentif dalam menangulangi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para penjabat kotor yang menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi,contohnya dalam tindakan KKN.
namun,batasan2 ini banyak yang tidak diketahui oleh masyarakat secara luas,sehingga terjadinya tindakan penyalahgunaan kekuasaan oleh para penjabat,karena ketidak tahuan masyarakat itu sendiri dalam memahami batasan2/kewenangan yang dimiliki oleh para penjabat.diharapkan,bahwa masyarakat juga turut ikut serta dalam mengawasi tata pelaksaanaan pemerintahan baik daerah maupun nasional.
dalam ppemilihan calon kepala daerah,diharapkan agar memberikan data2 profil tentang berbagai hal yang menyangkut tentang kapabilitas orang tersebut sebagai bakal calon kepala daerah,contohnya track record,visi-misi dan lain-lain,sehingga masyarakat dapat menentukan pilihan calon kepala daerahnya dengan lebih matang,agar masyarakat tidak lagi terbuai oleh janji janji kampanye,namun tidak pernah terealisasikan.
hal ini dapa meminimalisir tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh penjabat untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
sekian dan terima kasih
Posting Komentar