Sabtu, 03 Desember 2016

MENGAPA TERJADI SERTIFIKAT TANAH GANDA ?

MENGAPA TERJADI SERTIFIKAT TANAH GANDA ?
Oleh Turiman Fachturahman Nur

Saat ini pihak pemerintah dalam hal ini BPN menjamin tidak ada lagi sertifikat ganda tetapi dalam kenyataan masih banyak kita temui kasus-kasus sengketa baik perdata maupun pidana. Apalagi setelah masuk ke ranah hukum, pihak BPN sudah tidak terlibat aktif. Pertanyaan yang mendasar adalah mengapa masih ada sertifikat ganda ? Yang pasti ada beberapa penyebab-penyebab sertifikat ganda, baik semuanya asli maupun hanya satu saja, yang penulis rangkum dari berbagai sumber bacaan maupun kisah nyata dihadapan “mata” serta pengalaman penulis ketika menjadi saksi ahli.
Kasus-kasus sertifikat ganda selalu diawali dengan pendaftaran tanah, sebagaimana kita ketahui, bahwa sistem pendaftaran tanah yang dianut di Hukum Agraria Indonesia, UU No 5 Tahun 1960, bahwa secara yuridis normatif ada cara pendaftaran tanah, yaitu pendaftaran tanah sistimatik dan pendaftaran tanah sporadik.
Kegiatan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali (Opzet atau Initial Registration). Pendaftaran tanah pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk objek tanah yang belum didaftarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 10/1961”) atau PP 24/1997.
Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Yang dimaksud dengan pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan (Pasal 1 angka 10 PP 24/1997). Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya mengenai satu beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal (Pasal 1 angka 11 PP 24/1997).
Bagaimana sistem yang berlaku dalam prosedur pedaftaran tanah baik pendaftaran tanah sistimatik maupun pedaftaran tanah sporadik ? Terhadap dua prosedur cara pendaftaran tanah, baik pendaftran tanah sistimatis maupun sporadik, hukum agraria Indonesia menganut stesel negatif yang bertendensi positif.
Untuk menjelaskan stesel negatif yang bertendensi posistif, maka perlu dipaparkan apa sebenarnya maksud diadakan pendaftaran pertama kali.  Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Hlm. 460). Dan pemeliharaan data pendaftaran tanah (maintenance) Maksudnya kegiatan pendaftaran tanah untuk menyelesaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.
Seperti diketahui bahwa pendaftaran tanah adalah bertujuan untuk memperoleh suatu bentuk kepastian hukum dan kepastian hak bagi pemegang hak-hak atas tanah. Dengan adanya pendaftaran tanah ini diharapkan bahwa seseorang pemegang hak atas tanah akan merasa aman tidak ada gangguan hak yang dipunyai atas sebidang tanah. Pasal 19 ayat (1) UU  Nomor 5Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.
Beberapa sistem pendaftaran tanah menurut AP. Perlindungan, yaitu: (AP. Parlindungan, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, Hlm. 130) 1. Pendaftaran Tanah sistem Torrens 2. Pendaftaran Tanah sistem Negatif 3. Pendaftaran Tanah sistem Positif. Sistem pendaftaran tanah yang digunakan suatu negara tergantung pada asas hukum yang dianut oleh negara tersebut dalam mengalihkan haknya.
Sementara itu jika dari segi jaminan yang diberikan dengan pemberian surat tanda bukti hak sebagai alat pembuktian, maka timbulah berbagai jenis sistem pendafataran tanah antara lain : 1. Sistem Publikasi Positif yaitu suatu Sistem pendaftaran tanah dimana alat bukti yang dikeluarkan menjamin secara mutlak. Ini memberi arti bahwa orang yang tercatat dalam daftar umum ( daftar tanah, daftar buku tanah, daftar nama, dan daftar surat ukur), maka dialah yang menjadi pemilik yang pasti. Pihak ketiga harus percaya dan tidak khawatir bahwa suatu ketika mereka akan kehilangan haknya meskipun apabila nanti akan terjadi kesalahan didalam mendaftarkan, sebab siapapun yang sudah menjadi pemegang hak maka tidak dapat diganggu gugat ( meskipun dengan keputusan hakim). 2. Sistem Publikasi Negatif yaitu suatu sistem pendaftaran tanah dimana alat bukti yang dikeluarkannya tidak menjamin secara mutlak. Pada sistem ini jaminan kuat diberikan kepada pemilik. Pemilik dapat menggugat haknya atas sebidang tanah dan mereka yang telah terdaftar terlebih dahulu. Pada pihak ketiga tidak mendapat perlindungan. Perlindungan hanya ada ditangan hakim, yang dalam sengketa-sengketa di muka pengadilan akan menimbang berbagai kepentingan-kepentingan hukum yang saling bertentangan.
Dalam UUPA yang dianut adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif. Ini memberikan arti bahwa pada pendaftaran memakai sistem negatif, yang memberikan peluang kepada pihak ketiga apabila ia bisa membuktikan bahwa tanah yang dimaksud miliknya, maka orang yang terlebih dahulu terdaftar pada sertifikat dapat dilaksanakan perubahan berdasarkan keputusan pengadilan. Sedangkan unsur positifnya terletak pada pelaksanaan pendaftarannya memakai sistem positif yaitu pendaftarannya dilakukannya dengan : a. Pengukuran bidang-bidang tanah yang diikatkan dengan titik dasar teknik. b. Penetapan batasnya dengan asas contrac dictoir delimintasi, yang artinya penetapan batas harus mendapatkan persetujuan oleh pihak sebelahnya. c. Dilakukan penyelidikan riwayat tanah secara cermat oleh suatu panitia.  d. Dilakukan pengumuman selama 2 bulan kepada pihak ketiga agar memberi peluang jika ternyata apa yang diumumkan tidak benar, maka dapat dilakukan keberatan. e. Dilaksanakan pembukuan dalam daftar-daftar umum yang terdiri dari daftar tanah, buku tanah, surat ukur, nama, dan peta-peta pendaftaran. 
Masing-masing kegiatan tersebut diatas memerlukan jangka waktu yang cukup dan biaya yang cukup besar, terutama dalam kegiatan pengukuran dan pemetaan tiap bidang tanah. Sehingga dengan adanya sertifikat hak milik atas tanah semakin besar adanya suatu tanda bukti hak yang telah didaftarkan menurut Pasal 19 ayat 2 sub c, hal tersebut diuraikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Pasal 32 ayat (1) sebagai peraturan pelaksanaannya yang disebut sertifikat. Bahwa berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1960 menyatakan: “Untuk memberikan kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagaimana Prosedur Pendaftaran Tanah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ? Pasal 1 Pendaftaran diselenggarakan oleh Jawatan Pendaftaran Tanah menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan dimulai pada tanggal yang ditetapkan oleh menteri Agraria masing-masing daerah. Pasal 2 (1) Pendaftaran tanah diselenggarakan desa demi desa atau daerah daerah yang setingkat dengan itu.(selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut dengan desa). Pasal 1 ayat (1) “Daerah-daerah  yang ditunjuk menurut pasal 2 ayat (2) semua bidang tanah diukur desa demi desa. Ayat (2)  Sebelum sebidang tanah diukur, terlebih dahulu diadakan a.penyelidikan riwayat tanah itu; dan b.penetapan batas-batas.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ada dua prosedur terhadap pendaftaran hak, peralihan dan penghapusannya serta pencatatan beban-beban atas hak dalam daftar buku tanah (BAB III), yaitu pada bagian I Pembukuan hak-hak atas tanah. a Di desa-desa yang pendaftaran tanahnya telah diselenggarakan secara lengkap mulai pasal 12 sd 14, dan b. Di Desa-desa yang pendaftaran tanahnya belum diselenggarakan  secara lengkap. Mulai pasal 15 sd Pasal 18.
Dua prosedur inilah menurut penulis yang menyebabkan terjadinya sertifikat ganda, karena dalam tataran pratek sertifikat dibawah sistem pendaftaran PP Nomor 10 Tahun 1961
Ada yang menggunakan prosedur huruf a dan ada yang menggunakan prosedur huruf b, karena bagian b adalah diperuntukan kepada desa-desa yang pendaftaran tanahnya belum diselenggarakan secara lengkap. Terhadap prosedur b adalah dimaksudkan belaku di desa-desa yang pendaftaran  tanahnya belum diselenggarakan secara lengkap, maka hak-hak atas tanah yang telah diuraikan dalam suatu surat hak atas tanah yang dibuat “Overschrijvings-Ordonantie” (s 1834 Nomor 27), Peraturan Agraria Nomor 9 Tahun 1959 dan Peraturan-peraturan pendaftaran yang berlaku di daerah Istimewa Yogyakarta,Keresidenan Surakarta dan Sumtera Timur dan telah pula diuraikan dalam surat ukur (lama) yang menurut Kepala Kantor Pendaftaran Tanah masih memenuhi syarat-syarat teknis dibukukan dalam buku tanah.
Prosedur b ini biasanya diberlakukan pada bekas hak diatas tanah yang ada di Indonesia, misalnya bekas tanah adat, artinya pendaftaran pertama dengan prosedur huruf b dimaksud untuk penegasan konversi bekas hak- hak Indonesia atas tanah yang dikenal tanah hak adat sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No Sk 26/DDA/1970 Tentang Penegasan Konversi Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia atas tanah. Dan Peraturan ini sudah dicabut dengan Permenag/KNPN No 3 Tahun 1997, (pasal 196 huruf e) sebagai pelaksanaan  Peraturan Pemerintan Nomor 24 Tahun 1997.
Pada sisi lain ada juga pendaftataran tanah dengan menggunakan prosedur a yang dilakukan pada desa desa yang sudah lengkap, sehingga dimungkinkan terjadi dua prosedur a dan b menghasilkan sertifikat dari produk BPN, persoalannya akan timbul adalah apakah sertifikat yang dikeluarkan terletak pada lokasi yang sama, ini sering menjadi masalah, karena prosedur selalu diawali dengan surat-surat yang dibuat oleh kepala desa atau pejabat kepala desa sering menerbitkan surat keterangan tanah pada lokasi yang sama. Kemungkinan kedua terjadi salah pengembalian batas dari sertifikat yang dihasilkan dari dua prosedur tersebut.
Bagaimana Prosedur Penerbitan sertifikat ? pada tingkat desa ada tiga surat dimasa pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. 1. Mengurus Surat Keterangan Tidak Sengketa, fungsinya adalah untuk mengetahui bahwa atas bidang tanah yang dimohonkan tersebut tidak ada sengketa. Pemohon adalah pemilik yang syah. 2. Mengurus Surat Keterangan Riwayat Tanah, surat keterangan riwayat tanah berfungsi untuk menerangkan secara tertulis riwayat penguasaan tanah dari sejak awal mulai ada pencatatan di kelurahan atau di desa sampai dengan penguasaan saat ini. Dalam surat keterangan riwayat tanah tersebut diceritakan proses peralihan baik berupa peralihan sebagian-sebagian atas keseluruhan. 3. Mengurus Surat Keterangan Penguasaan Tanah
Dalam Surat Keterangan Penguasaan Tanah ini dicantumkan sejak kapan waktu perolehan penguasaan tanah tersebut.
Dalam Hukum Administrasi Pertanahan yang dimaksud Pendaftaran Tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau masal.
Kemudian setelah prosedur ditingkat desa sudah selesai, tahapan prosedur selanjutnya adalah Pengurusan di Kantor Pertanahan 
a.    Mengajukan permohonan sertifikat dengan melampirkan dokumen-dokumen yang diurus di kelurahan/desa dan dilengkapi dengan syarat formal seperti :Fotocopy KTP dan KK pemohon,Fotocopy PBB tahun berjalan, Dokumen-dokumen lain yang disyaratkan oleh undang-undang
b.    Petugas dari Kantor Pertanahan Akan Melakukan Pengukuran 
c.    Pengukuran ini dilakukan setelah berkas permohonan lengkap dan pemohon menerima tanda terima dokumen dari kantor peranahan
d.   Pengesahan Surat Ukur hasil pengukuran dilokasi akan dicetak dan dipetakan di BPN dan surat ukur disahkan atau ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, pada umumnya kepala seksi Pengukuran dan Pemetaan
e.    Penerbitan Oleh Petugas Panitia A
f.     Setelah surat ukur ditandatangani, dilanjutkan dengan proses panitia  A dilakukan disub Seksi Pemberian Hak Tanah. Panitia A terdiri dari atas petugas BPN dan Lurah/Kades setempat.

           Selanjutnya terbitnya SK Hak Atas Tanah, setelah jangka waktu tertentu pengumuman terpenuhi dilanjutkan dengan penerbitan sertifikat, apabila proses hukumnya adalah merupakan peralihan hak dari peristiwa hukum jual beli, maka harus diselesaikan PBHTB sebelum penerbitan sertifikat peralihan hak.

           Kemudian bagaimana penyelesaian  Masalah  Sertipikat Dobel/Ganda ? Terdapat pula kasus dimana sebidang tanah oleh Kantor Pertanahan diterbitkan lebih dari satu sertifikat, sehingga mengakibatkan ada pemilikan bidang tanah hak saling bertindihan atau tumpang tindih, seluruhnya atau sebagian.
Hal ini terjadi antara lain disebablam :
1.      akibat kesalahan penunjukkan batas tanah oleh pemohon/pemilik sendiri sewaktu petugas Kantor Pertanahan melakukan pengukuran atas permohonan yang bersangkutan, disamping kesalahan dari Kantor Pertanahan yang tidak secara cermat membukukan dan memasukkan dalam Peta Dasar.
2.      Batas yang ditunjukkan oleh pemohon/pemilik, secara sengaja atau tidak sengaja adalah keliru. Sehingga Surat Ukur/Gambar Situasinya menggambarkan keadaan batas-batas yang bukan sebenarnya, seluruhnya atau sebagian, karena sebelumnya lokasi yang sama telah diterbitkan sertipikat.
3.      Prosedur Pendaftaran Tanah tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Prosedur Balik batas atau rekrontruksi balik batas tidak mengikuti SOP yang diatur dalam Peraturan BPN RI Nomor  1 Tahun 2000 tentang standar pelayanan dan peraturan SOP rekonstruksi batas tanah Administrasi Pengukuran (dikantor) dan atau ada pelanggaran pidana terhadap pasal 52 UU nomor 5 Tahun 1960
Bagaimana Penyelesaiannya ? Dalam keadaan seperti ini penguasaan peraturan pertanahan oleh masyarakat terutama para petugas Negara sangat diperlukan agar permasalahan-permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya, dengan memahami tata cara pendaftaran tanah, melaksanakan catur tertib pertanahan, dan menyelesaikan apabila terjadi sengketa di pengadilan.
      Pertama, penelusuran Proses Pendaftaran Tanah
Pendaftaran  atau permohonan tanah yang belum diketahui oleh masyarakat pada umumnya, salah satu contoh untuk melakukan permohonan pendaftaran tanah pertama kali, sebelum diproses atau diukur, diadakan pengecekan di peta pendaftaran tanah untuk mengetahui apakah atas sebidang tanah tersebut sudah terdaftar (bersertifikat) atau belum di BPN (Badan Pertanahan Negara).

Kedua, Penelusuran data yuridis,  sebagaimana ditegaskan, bahwa sertifikat Hak Atas Tanah Dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-  Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Pasal 32 ayat (1) tentang Pendaftaran Tanah, menegaskan bahwa : “Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.”
Dikatakan demikian, karena selama tidak ada bukti lain yang membuktikan ketidakbenarannya, maka keterangan yang ada dalam sertifikat harus dianggap benar dengan tidak perlu bukti tambahan, sedangkan alat bukti lain tersebut hanya dianggap sebagai alat bukti permulaan dan harus dikuatkan oleh alat bukti yang lainnya.
Jadi, sertifikat tanah membuktikan bahwa pemegang hak mempunyai suatu hak atas bidang tanah tertentu. Dimana data fisik mencakup keterangan mengenai letak,batas, dan luas tanah. Data yuridis mencakup keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, mengatur kegiatan meliputi pengumpulan, pengolahan dan penyajian data fisik dan yuridis, serta persengketaan yang terjadi.
            Pemetaan terhadap kasus sertifikat ganda dalam kegiatan tersebut menjadi penting untuk mengetahyu  jenis masalah/sengketa kemungkinan yang akan terjadi ada 2 (dua), yaitu:  1) Sengketa data fisik, yaitu sengketa yang menyakut keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang sudah didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan diatasnya. Jenis sengketa yang dimasuk dalam kategori ini adalah : a) Sengketa batas, yaitu menyangkut terjadinya kesalahan pengukuran batasbatas bidang tanah yang disebabkan oleh tidak adanya kesepakatan antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pemilik tanah yang berbatasan. b) Sengketa Ganti Kerugian, yaitu menyangkut kesepakatan besarnya nilai ganti rugi serta tata cara pembayarannya.
2) Sengketa data yuridis, yaitu sengketa yang menyakut keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar. Sengketa yang dimasuk dalam kategori ini adalah: a) Sengketa Waris, yaitu sengketa menyangkut siapa yang berhak atas tanah warisan yang ditinggalkan oleh pewaris berdasarkan peraturan yang berlaku. b) Sengketa Pengaturan Penguasaan Tanah, yaitu sengketa menyakut pemilik tanah yang tidak sesuai dengan ketentuan, misalnya pemilikan tanah absente dan pemilikan tanah yang melebihi batas maksimum. c) Sengketa Sertifikat Ganda, yaitu terjadi akibat adanya pemalsuan alas hak untuk mendapatkan sertifikat atas tanah oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
              Hal ini disebabkan karena hukum agraria kita menganut prinsip hukum “positif cenderung negatif”,maka memang sepertinya terbuka “kesempatan ” untuk menggugat keabsahan sebuah serifikat kepemilikan properti. Karena segala sesuatu menyimpan potensi kelebihan dan kekurangan, maka mungkin kelebihan dari prinsip “Relatif” ini adalah terbukanya juga kesempatan bagi pihak yang memang berhak tapi karena suatu alasan belum memperoleh haknya. Intinya bisa jadi memang sertifikat tsb sejak awal sudah di tangan yang berhak, tetapi kekurangan cermatan terhadap data dasar pendaftaran tanah dan adanya dua prosedur a dan b dalam PP Nomor 10 Tahun 1961.Karena itu sering kita dapati mereka yang telah menempati sebuah tanah atau bangunan sekian puluh tahun pun masih mungkin untuk digugat. Yah karena sifat hukumnya yang relatif.
           Sebenarnya sertifikat ganda tidak terjadi, karena sebelumnya, BPN belum memiliki peta tunggal, maka tidak semua lokasi telah termutakhirkan datanya. Terkadang ukuran tanah/lokasi bertumpang tindih. Apalagi jika tanah tanah tersebut bukan tanah yang telah diukur dan dikavling oleh BPN. Biasanya Perumahan kavling oleh developer resmi, memiliki sertifikat HGB dan sudah diukur oleh BPN. Karena tumpang tindih atau tanah bersebelahan saling memotong, maka kemungkinan sebuah tanah memiliki dua sertifikat. Dan terkadang di atasnya telah berdiri bangunan yang mungkin salah satunya telah mengalami beberapa kali peralihan hak, sementara yang sebelahnya belum pernah. Untuk kasus seperti ini, diperlukan kerjasama antara semua pihak untuk pemutakhiran data di BPN. Sedangkan jika sebuah tanah memiliki sertifikat asli BPN dan tidak bertumpang tindih, artinya data persil, dll yang ada di dalamnya persis sama, maka kemungkinan ada unsur penipuanyang biasanya disebabkan kelengahan pihak pembeli menunda pembuatan sertifikatnya yang dimanfaatkan oleh oknum penjual untuk mengambil kembali dengan cara ilegal. Modusnya biasanya oknum penjual yang tahu “kasus penundaan” ini akan membuat laporan kehilangan ke kepolisian, kemudian mendatangi pihak BPN untuk dibuatkan sertifikat pengganti. Dan karena memangdata atau file di BPN masih tercatat atas nama oknum tersebut, maka BPN akan menerbitkan sertifikat pengganti yang baru.
              Setelah berjalan sekian lama, barulah pembeli melakukan balik nama ke BPN, dengan bermodalkan AJB dari notaris, maka pihak BPN pun tidak akan menelusuri lagi riwayat objeknya. AJB yang dikeluarkan oleh notaris cukup syarat untuk membuat sertifikat.
Artinya telah terbit dua sertifikat untuk sebuah objek dan semuanya asli berkekuatan hukum.
Dan masalah akan semakin ruwet jika oknum penjual telah bertindak cepat menjual kembali objek tanah tersebut kemudian dijual lagi secara berantai karena biasanya harganya murah.
Sang pembeli legal biasanya baru menyadari sertifikatnya ganda setelah “pemilik baru yang lain” ingin mengelola objek tersebut. Akhirnya sengketa.
           Ada yang  sertifikat Aspal Hal ini biasanya ada keterlibatan langsung orang dalam. Misalnya berdalih ingin membantu melakukan cek sertifikat langsung ke BPN. Tapi sebenarnya yang dilakukannya adalah membuat duplikatnya dengan menyamakan semua data yang ada di sertifikat tsb. Setelah itu mengembalikan kepada pemilik berupa sertifikat aspalnya. Yang asli dipegang oleh oknum orang dalam. Atau mungkin kejadiannya, sertifikat (yang dititipkan di sebuah penitipan tanpa asuransi) hilang, bisa juga diduplikasi oleh oknum. Untuk yang seperti ini secepatnya buat laporan kehilangan dan penggantian sertifikat di BPN.

          Jika dilakukan saat itu memang asas manfaatnya lebih besar, maka jangan ditunda dan jangan menggantungkannya pada prinsip kehati-hatian pihak lain. Segera melakukan proses balik nama di BPN meskipun memerlukan waktu itu sebenarnya juga “mengamankan”. Jadi jika ada transaksi ilegal cepat terdeteksi karena sementara masih berproses di BPN. Lakukan pengecekan berkala, bukan hanya pada saat akan melakukan transaksi, terutama bagi tanahyang “strategis dan luas”.

0 komentar:

Posting Komentar