MENGAPA TERJADI SERTIFIKAT TANAH GANDA ?
Oleh Turiman Fachturahman Nur
Saat ini pihak pemerintah dalam hal ini BPN menjamin tidak ada lagi
sertifikat ganda tetapi dalam kenyataan masih banyak kita temui kasus-kasus
sengketa baik perdata maupun pidana. Apalagi setelah masuk ke ranah hukum,
pihak BPN sudah tidak terlibat aktif. Pertanyaan yang mendasar adalah mengapa
masih ada sertifikat ganda ? Yang pasti ada beberapa penyebab-penyebab
sertifikat ganda, baik semuanya asli maupun hanya satu saja, yang penulis
rangkum dari berbagai sumber bacaan maupun kisah nyata dihadapan “mata” serta
pengalaman penulis ketika menjadi saksi ahli.
Kasus-kasus sertifikat ganda selalu diawali dengan pendaftaran tanah,
sebagaimana kita ketahui, bahwa sistem pendaftaran tanah yang dianut di Hukum
Agraria Indonesia, UU No 5 Tahun 1960, bahwa secara yuridis normatif ada cara pendaftaran
tanah, yaitu pendaftaran tanah
sistimatik dan pendaftaran tanah
sporadik.
Kegiatan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali (Opzet atau Initial Registration). Pendaftaran tanah pertama kali
adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk objek tanah yang belum didaftarkan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
(“PP 10/1961”) atau PP 24/1997.
Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran
tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Yang dimaksud
dengan pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah
untuk pertama kali secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah
yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan
(Pasal 1 angka 10 PP 24/1997). Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik
adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya mengenai satu beberapa
objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan
secara individual atau massal (Pasal 1 angka 11 PP 24/1997).
Bagaimana sistem yang berlaku dalam prosedur pedaftaran tanah baik
pendaftaran tanah sistimatik maupun pedaftaran tanah sporadik ? Terhadap dua
prosedur cara pendaftaran tanah, baik pendaftran tanah sistimatis maupun
sporadik, hukum agraria Indonesia menganut stesel negatif yang bertendensi
positif.
Untuk menjelaskan stesel negatif yang bertendensi posistif, maka perlu
dipaparkan apa sebenarnya maksud diadakan pendaftaran pertama kali. Boedi
Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta,
Hlm. 460). Dan pemeliharaan data pendaftaran tanah (maintenance) Maksudnya
kegiatan pendaftaran tanah untuk menyelesaikan data fisik dan data yuridis
dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan
sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.
Seperti diketahui
bahwa pendaftaran tanah adalah bertujuan untuk memperoleh suatu bentuk
kepastian hukum dan kepastian hak bagi pemegang hak-hak atas tanah. Dengan
adanya pendaftaran tanah ini diharapkan bahwa seseorang pemegang hak atas tanah
akan merasa aman tidak ada gangguan hak yang dipunyai atas sebidang tanah.
Pasal 19 ayat (1) UU Nomor 5Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.
Beberapa sistem
pendaftaran tanah menurut AP. Perlindungan, yaitu: (AP.
Parlindungan, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju,
Bandung, Hlm. 130) 1. Pendaftaran Tanah sistem Torrens 2. Pendaftaran
Tanah sistem Negatif 3. Pendaftaran Tanah sistem Positif. Sistem
pendaftaran tanah yang digunakan suatu negara tergantung pada asas hukum yang
dianut oleh negara tersebut dalam mengalihkan
haknya.
Sementara itu jika
dari segi jaminan yang diberikan dengan pemberian surat tanda bukti hak sebagai
alat pembuktian, maka timbulah berbagai jenis sistem pendafataran tanah antara
lain : 1. Sistem Publikasi Positif
yaitu suatu Sistem pendaftaran tanah dimana alat bukti yang dikeluarkan
menjamin secara mutlak. Ini memberi arti bahwa orang yang tercatat dalam daftar
umum ( daftar tanah, daftar buku tanah, daftar nama, dan daftar surat ukur),
maka dialah yang menjadi pemilik yang pasti. Pihak ketiga harus percaya dan tidak
khawatir bahwa suatu ketika mereka akan kehilangan haknya meskipun apabila
nanti akan terjadi kesalahan didalam mendaftarkan, sebab siapapun yang sudah
menjadi pemegang hak maka tidak dapat diganggu gugat ( meskipun dengan
keputusan hakim). 2. Sistem Publikasi
Negatif yaitu suatu sistem
pendaftaran tanah dimana alat bukti yang dikeluarkannya tidak menjamin secara
mutlak. Pada sistem ini jaminan kuat diberikan kepada pemilik. Pemilik
dapat menggugat haknya atas sebidang tanah dan mereka yang telah terdaftar
terlebih dahulu. Pada pihak ketiga tidak mendapat perlindungan. Perlindungan
hanya ada ditangan hakim, yang dalam
sengketa-sengketa di muka pengadilan akan menimbang berbagai
kepentingan-kepentingan hukum yang saling bertentangan.
Dalam UUPA yang
dianut adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif. Ini
memberikan arti bahwa pada pendaftaran memakai sistem negatif, yang memberikan
peluang kepada pihak ketiga apabila ia bisa membuktikan bahwa tanah yang
dimaksud miliknya, maka orang yang terlebih dahulu terdaftar pada sertifikat
dapat dilaksanakan perubahan berdasarkan keputusan
pengadilan. Sedangkan unsur positifnya terletak pada pelaksanaan
pendaftarannya memakai sistem positif yaitu pendaftarannya dilakukannya dengan
: a. Pengukuran bidang-bidang tanah yang diikatkan dengan titik dasar
teknik. b. Penetapan batasnya dengan asas contrac dictoir
delimintasi, yang artinya penetapan batas harus mendapatkan persetujuan
oleh pihak sebelahnya. c. Dilakukan
penyelidikan riwayat tanah secara cermat oleh suatu panitia.
d. Dilakukan pengumuman selama 2 bulan kepada pihak ketiga agar memberi
peluang jika ternyata apa yang diumumkan tidak benar, maka dapat dilakukan
keberatan. e. Dilaksanakan pembukuan dalam daftar-daftar umum yang terdiri
dari daftar tanah, buku tanah, surat ukur, nama, dan peta-peta
pendaftaran.
Masing-masing
kegiatan tersebut diatas memerlukan jangka waktu yang cukup dan biaya yang
cukup besar, terutama dalam kegiatan pengukuran dan pemetaan tiap bidang tanah.
Sehingga dengan adanya sertifikat hak milik atas tanah semakin besar adanya
suatu tanda bukti hak yang telah didaftarkan menurut Pasal 19 ayat 2 sub c, hal
tersebut diuraikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Pasal 32
ayat (1) sebagai peraturan pelaksanaannya yang disebut sertifikat. Bahwa
berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1960 menyatakan: “Untuk memberikan kepastian hukum oleh
pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagaimana Prosedur
Pendaftaran Tanah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ? Pasal 1
Pendaftaran diselenggarakan oleh Jawatan Pendaftaran Tanah menurut
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah ini dan dimulai pada tanggal yang ditetapkan oleh menteri
Agraria masing-masing daerah. Pasal 2 (1) Pendaftaran
tanah diselenggarakan desa demi desa atau
daerah daerah yang setingkat dengan itu.(selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah
ini disebut dengan desa). Pasal 1 ayat (1) “Daerah-daerah yang ditunjuk menurut pasal 2 ayat (2) semua
bidang tanah diukur desa demi desa. Ayat (2)
Sebelum sebidang tanah diukur,
terlebih dahulu diadakan a.penyelidikan riwayat tanah itu; dan
b.penetapan batas-batas.
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ada dua prosedur terhadap pendaftaran
hak, peralihan dan penghapusannya serta pencatatan beban-beban atas hak dalam
daftar buku tanah (BAB III), yaitu pada bagian I Pembukuan hak-hak atas tanah. a Di desa-desa yang pendaftaran tanahnya
telah diselenggarakan secara lengkap mulai pasal 12 sd 14, dan b. Di Desa-desa yang pendaftaran tanahnya
belum diselenggarakan secara lengkap.
Mulai pasal 15 sd Pasal 18.
Dua prosedur
inilah menurut penulis yang menyebabkan terjadinya sertifikat ganda, karena
dalam tataran pratek sertifikat dibawah sistem pendaftaran PP Nomor 10 Tahun
1961
Ada yang menggunakan prosedur huruf
a dan ada yang menggunakan prosedur huruf b, karena bagian b adalah diperuntukan
kepada desa-desa yang pendaftaran tanahnya belum
diselenggarakan secara lengkap. Terhadap prosedur b adalah dimaksudkan belaku di desa-desa yang pendaftaran tanahnya belum diselenggarakan secara lengkap,
maka hak-hak atas tanah yang telah diuraikan dalam suatu surat hak atas tanah
yang dibuat “Overschrijvings-Ordonantie” (s 1834 Nomor 27), Peraturan Agraria
Nomor 9 Tahun 1959 dan Peraturan-peraturan pendaftaran yang berlaku di daerah Istimewa Yogyakarta,Keresidenan Surakarta dan
Sumtera Timur dan telah pula diuraikan dalam surat ukur (lama) yang menurut
Kepala Kantor Pendaftaran Tanah masih memenuhi syarat-syarat teknis dibukukan
dalam buku tanah.
Prosedur b ini biasanya diberlakukan pada bekas hak diatas tanah yang ada
di Indonesia, misalnya bekas tanah adat, artinya pendaftaran pertama dengan
prosedur huruf b dimaksud untuk penegasan konversi bekas hak- hak Indonesia
atas tanah yang dikenal tanah hak adat
sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No Sk 26/DDA/1970
Tentang Penegasan Konversi Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia atas tanah. Dan
Peraturan ini sudah dicabut dengan Permenag/KNPN No 3 Tahun 1997, (pasal 196
huruf e) sebagai pelaksanaan Peraturan
Pemerintan Nomor 24 Tahun 1997.
Pada sisi lain ada juga pendaftataran tanah dengan menggunakan prosedur a
yang dilakukan pada desa desa yang sudah lengkap, sehingga dimungkinkan terjadi
dua prosedur a dan b menghasilkan sertifikat dari produk BPN, persoalannya akan
timbul adalah apakah sertifikat yang dikeluarkan terletak pada lokasi yang
sama, ini sering menjadi masalah, karena prosedur selalu diawali dengan
surat-surat yang dibuat oleh kepala desa atau pejabat kepala desa sering
menerbitkan surat keterangan tanah pada lokasi yang sama. Kemungkinan kedua
terjadi salah pengembalian batas dari sertifikat yang dihasilkan dari dua
prosedur tersebut.
Bagaimana Prosedur Penerbitan sertifikat ? pada
tingkat desa ada tiga surat dimasa pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961. 1. Mengurus Surat Keterangan Tidak Sengketa, fungsinya adalah untuk mengetahui bahwa atas bidang
tanah yang dimohonkan tersebut tidak ada sengketa. Pemohon adalah pemilik yang
syah. 2. Mengurus Surat Keterangan Riwayat Tanah, surat keterangan riwayat tanah berfungsi untuk
menerangkan secara tertulis riwayat penguasaan tanah dari sejak awal mulai ada
pencatatan di kelurahan atau di desa sampai dengan penguasaan saat ini. Dalam
surat keterangan riwayat tanah tersebut diceritakan proses peralihan baik
berupa peralihan sebagian-sebagian atas keseluruhan. 3. Mengurus Surat Keterangan Penguasaan Tanah
Dalam Surat Keterangan Penguasaan Tanah ini dicantumkan sejak kapan waktu perolehan penguasaan tanah tersebut. Dalam Hukum Administrasi Pertanahan yang dimaksud Pendaftaran Tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau masal.
Dalam Surat Keterangan Penguasaan Tanah ini dicantumkan sejak kapan waktu perolehan penguasaan tanah tersebut. Dalam Hukum Administrasi Pertanahan yang dimaksud Pendaftaran Tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau masal.
Kemudian setelah prosedur ditingkat desa sudah
selesai, tahapan prosedur selanjutnya adalah Pengurusan di Kantor
Pertanahan
a.
Mengajukan permohonan
sertifikat dengan melampirkan dokumen-dokumen yang diurus di kelurahan/desa dan
dilengkapi dengan syarat formal seperti :Fotocopy KTP dan KK pemohon,Fotocopy
PBB tahun berjalan, Dokumen-dokumen lain yang disyaratkan oleh undang-undang
b.
Petugas dari Kantor
Pertanahan Akan Melakukan Pengukuran
c.
Pengukuran ini
dilakukan setelah berkas permohonan lengkap dan pemohon menerima tanda terima
dokumen dari kantor peranahan
d.
Pengesahan Surat Ukur
hasil pengukuran dilokasi akan dicetak dan dipetakan di BPN dan surat ukur disahkan
atau ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, pada umumnya kepala seksi
Pengukuran dan Pemetaan
e.
Penerbitan Oleh
Petugas Panitia A
f.
Setelah surat ukur
ditandatangani, dilanjutkan dengan proses panitia A dilakukan disub Seksi Pemberian Hak Tanah.
Panitia A terdiri dari atas petugas BPN dan Lurah/Kades setempat.
Selanjutnya terbitnya SK Hak Atas
Tanah, setelah jangka waktu tertentu pengumuman
terpenuhi dilanjutkan dengan penerbitan sertifikat, apabila proses hukumnya
adalah merupakan peralihan hak dari peristiwa hukum jual beli, maka harus
diselesaikan PBHTB sebelum penerbitan sertifikat peralihan hak.
Kemudian bagaimana penyelesaian Masalah
Sertipikat Dobel/Ganda ? Terdapat pula kasus dimana sebidang tanah oleh
Kantor Pertanahan diterbitkan lebih dari satu sertifikat, sehingga
mengakibatkan ada pemilikan bidang tanah hak saling bertindihan atau tumpang
tindih, seluruhnya atau sebagian.
Hal ini terjadi antara lain disebablam :
1.
akibat kesalahan
penunjukkan batas tanah oleh pemohon/pemilik sendiri sewaktu petugas Kantor
Pertanahan melakukan pengukuran atas permohonan yang bersangkutan, disamping
kesalahan dari Kantor Pertanahan yang tidak secara cermat membukukan dan memasukkan
dalam Peta Dasar.
2. Batas yang ditunjukkan oleh pemohon/pemilik, secara
sengaja atau tidak sengaja adalah keliru. Sehingga Surat Ukur/Gambar Situasinya
menggambarkan keadaan batas-batas yang bukan sebenarnya, seluruhnya atau
sebagian, karena sebelumnya lokasi yang sama telah diterbitkan sertipikat.
3. Prosedur Pendaftaran
Tanah tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Prosedur Balik batas
atau rekrontruksi balik batas tidak mengikuti SOP yang diatur dalam Peraturan
BPN RI Nomor 1 Tahun 2000 tentang
standar pelayanan dan peraturan SOP rekonstruksi batas tanah Administrasi
Pengukuran (dikantor) dan atau ada pelanggaran pidana terhadap pasal 52 UU
nomor 5 Tahun 1960
Bagaimana
Penyelesaiannya ? Dalam keadaan seperti
ini penguasaan peraturan pertanahan oleh masyarakat terutama para petugas
Negara sangat diperlukan agar permasalahan-permasalahan tersebut dapat
diselesaikan dengan sebaik-baiknya, dengan memahami tata cara pendaftaran
tanah, melaksanakan catur tertib pertanahan, dan menyelesaikan apabila
terjadi sengketa di pengadilan.
Pertama, penelusuran
Proses Pendaftaran Tanah
Pendaftaran atau
permohonan tanah yang belum diketahui oleh masyarakat pada umumnya, salah satu
contoh untuk melakukan permohonan pendaftaran tanah pertama kali, sebelum
diproses atau diukur, diadakan pengecekan di peta pendaftaran tanah untuk
mengetahui apakah atas sebidang tanah tersebut sudah terdaftar (bersertifikat)
atau belum di BPN (Badan Pertanahan Negara).
Kedua,
Penelusuran data yuridis, sebagaimana
ditegaskan, bahwa sertifikat Hak Atas Tanah Dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang- Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997. Pasal 32 ayat (1) tentang Pendaftaran Tanah, menegaskan
bahwa : “Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat
didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data
yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.”
Dikatakan demikian,
karena selama tidak ada bukti lain yang membuktikan ketidakbenarannya, maka
keterangan yang ada dalam sertifikat harus dianggap benar dengan tidak perlu
bukti tambahan, sedangkan alat bukti lain tersebut hanya dianggap sebagai alat
bukti permulaan dan harus dikuatkan oleh alat bukti yang lainnya.
Jadi, sertifikat tanah
membuktikan bahwa pemegang hak mempunyai suatu hak atas bidang tanah tertentu.
Dimana data fisik mencakup keterangan mengenai letak,batas, dan luas tanah.
Data yuridis mencakup keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang
haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, mengatur
kegiatan meliputi pengumpulan, pengolahan dan penyajian data fisik dan yuridis,
serta persengketaan yang terjadi.
Pemetaan terhadap kasus sertifikat
ganda dalam
kegiatan tersebut menjadi penting untuk mengetahyu jenis masalah/sengketa kemungkinan yang akan
terjadi ada 2 (dua), yaitu: 1) Sengketa
data fisik, yaitu sengketa yang menyakut keterangan mengenai letak, batas dan
luas bidang tanah yang sudah didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya
bangunan atau bagian bangunan diatasnya. Jenis sengketa yang dimasuk dalam
kategori ini adalah : a) Sengketa batas, yaitu menyangkut terjadinya kesalahan
pengukuran batasbatas bidang tanah yang disebabkan oleh tidak adanya
kesepakatan antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pemilik tanah yang
berbatasan. b) Sengketa Ganti Kerugian, yaitu menyangkut kesepakatan besarnya
nilai ganti rugi serta tata cara pembayarannya.
2) Sengketa data yuridis, yaitu sengketa
yang menyakut keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah
susun yang didaftar. Sengketa yang dimasuk dalam kategori ini adalah: a)
Sengketa Waris, yaitu sengketa menyangkut siapa yang berhak atas tanah warisan
yang ditinggalkan oleh pewaris berdasarkan peraturan yang berlaku. b) Sengketa
Pengaturan Penguasaan Tanah, yaitu sengketa menyakut pemilik tanah yang tidak
sesuai dengan ketentuan, misalnya pemilikan tanah absente dan pemilikan tanah
yang melebihi batas maksimum. c) Sengketa Sertifikat Ganda, yaitu terjadi
akibat adanya pemalsuan alas hak
untuk mendapatkan sertifikat atas tanah oleh orang yang tidak bertanggung
jawab.
Hal ini disebabkan karena
hukum agraria kita menganut prinsip hukum “positif cenderung negatif”,maka
memang sepertinya terbuka “kesempatan ” untuk menggugat keabsahan sebuah
serifikat kepemilikan properti. Karena segala sesuatu menyimpan potensi kelebihan dan
kekurangan, maka mungkin kelebihan dari prinsip “Relatif” ini adalah terbukanya
juga kesempatan bagi pihak yang memang berhak tapi karena suatu alasan belum
memperoleh haknya. Intinya bisa jadi memang sertifikat tsb sejak awal sudah di
tangan yang berhak, tetapi kekurangan cermatan terhadap data dasar pendaftaran
tanah dan adanya dua prosedur a dan b dalam PP Nomor 10 Tahun 1961.Karena itu
sering kita dapati mereka yang telah menempati sebuah tanah atau bangunan
sekian puluh tahun pun masih mungkin untuk digugat. Yah karena sifat hukumnya
yang relatif.
Sebenarnya sertifikat ganda tidak
terjadi, karena sebelumnya, BPN belum memiliki peta tunggal, maka tidak semua
lokasi telah termutakhirkan datanya. Terkadang ukuran tanah/lokasi bertumpang
tindih. Apalagi jika tanah tanah tersebut bukan tanah yang telah diukur dan
dikavling oleh BPN. Biasanya Perumahan kavling oleh developer resmi, memiliki
sertifikat HGB dan sudah diukur oleh BPN. Karena tumpang tindih atau tanah
bersebelahan saling memotong, maka kemungkinan sebuah tanah memiliki dua
sertifikat. Dan terkadang di atasnya telah berdiri bangunan yang mungkin salah
satunya telah mengalami beberapa kali peralihan hak, sementara yang sebelahnya
belum pernah. Untuk kasus seperti ini, diperlukan kerjasama antara
semua pihak untuk pemutakhiran data di BPN. Sedangkan jika sebuah tanah
memiliki sertifikat asli BPN dan tidak bertumpang tindih, artinya data persil,
dll yang ada di dalamnya persis sama, maka kemungkinan ada unsur penipuanyang
biasanya disebabkan kelengahan pihak pembeli menunda pembuatan sertifikatnya
yang dimanfaatkan oleh oknum penjual untuk mengambil kembali dengan cara
ilegal. Modusnya biasanya oknum penjual yang tahu “kasus penundaan” ini akan
membuat laporan kehilangan ke kepolisian, kemudian mendatangi pihak BPN untuk
dibuatkan sertifikat pengganti. Dan karena memangdata atau file di BPN masih
tercatat atas nama oknum tersebut, maka BPN akan menerbitkan sertifikat
pengganti yang baru.
Setelah
berjalan sekian lama, barulah pembeli melakukan balik nama ke BPN, dengan
bermodalkan AJB dari notaris, maka pihak BPN pun tidak akan menelusuri lagi
riwayat objeknya. AJB yang dikeluarkan oleh notaris cukup syarat untuk membuat
sertifikat.
Artinya telah terbit dua sertifikat untuk sebuah objek dan semuanya asli berkekuatan hukum.
Dan masalah akan semakin ruwet jika oknum penjual telah bertindak cepat menjual kembali objek tanah tersebut kemudian dijual lagi secara berantai karena biasanya harganya murah.
Sang pembeli legal biasanya baru menyadari sertifikatnya ganda setelah “pemilik baru yang lain” ingin mengelola objek tersebut. Akhirnya sengketa.
Artinya telah terbit dua sertifikat untuk sebuah objek dan semuanya asli berkekuatan hukum.
Dan masalah akan semakin ruwet jika oknum penjual telah bertindak cepat menjual kembali objek tanah tersebut kemudian dijual lagi secara berantai karena biasanya harganya murah.
Sang pembeli legal biasanya baru menyadari sertifikatnya ganda setelah “pemilik baru yang lain” ingin mengelola objek tersebut. Akhirnya sengketa.
Ada yang sertifikat Aspal Hal ini biasanya ada
keterlibatan langsung orang dalam. Misalnya berdalih ingin membantu melakukan
cek sertifikat langsung ke BPN. Tapi sebenarnya yang dilakukannya adalah
membuat duplikatnya dengan menyamakan semua data yang ada di sertifikat tsb.
Setelah itu mengembalikan kepada pemilik berupa sertifikat aspalnya. Yang asli
dipegang oleh oknum orang dalam. Atau mungkin kejadiannya, sertifikat (yang
dititipkan di sebuah penitipan tanpa asuransi) hilang, bisa juga diduplikasi
oleh oknum. Untuk yang seperti ini secepatnya buat laporan kehilangan dan
penggantian sertifikat di BPN.
Jika dilakukan saat itu memang asas
manfaatnya lebih besar, maka jangan ditunda dan jangan menggantungkannya pada
prinsip kehati-hatian pihak lain. Segera melakukan proses balik nama di BPN
meskipun memerlukan waktu itu sebenarnya juga “mengamankan”. Jadi jika ada
transaksi ilegal cepat terdeteksi karena sementara masih berproses di BPN. Lakukan
pengecekan berkala, bukan hanya pada saat akan melakukan transaksi, terutama
bagi tanahyang “strategis dan luas”.
0 komentar:
Posting Komentar