Minggu, 08 Mei 2011

PANCASILA SEBAGAI CITA HUKUM DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL

PANCASILA SEBAGAI CITA HUKUM DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL

Oleh : Turiman Fachturahman Nur

A. Latar Belakang

Secara pendekatan historis yuridis dalam tataran ketatanegaraan Indonesia para penstudi hukum mencatat, bahwa jauh sebelum Indonesia mencapai kemerdekaan, Bung Karno telah memikirkan bentuk dasar negara yang cocok untuk Indonesia merdeka nantinya. Melalui buku-buku yang dibacanya dan melalui perenungan yang dalam, yang dipadu dengan pahit getirnya perjuangan politik yang dialami sejak menjadi pelajar sekolah menengah di Surabaya yang diteruskan sewaktu menjadi mahasiswa di Institut Teknologi Bandung, serta seluruh sepak terjang perjuangan politiknya setelah itu, maka Bung Karno sampai pada kesimpulan bahwa dasar negara yang cocok untuk Indonesia merdeka adalah Pancasila. Rumusan dasar negara tersebut pertama kali disampaikannya secara resmi di hadapan rapat pleno BPUPKI atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan In­donesia, pada tanggal 1 Juni 1945. Rumusan Pancasila yang dikemukakan oleh Bung Karno adalah Kebangsaan, Kemanusiaan, Internasionalisme atau Prikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Kemudian Bung Karno menyebutkan bahwa kelima rumusan itu masih bisa diperas lagi menjadi 3 sila yang disebutnya sebagai trisila yang terdiri dari Sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan, trisila itu juga kemudian masih diberikan kemungkinan untuk diperas lagi menjadi ekasila yaitu gotongroyong. Kemudian Setelah melalui proses yang panjang, rumusan Pancasila tersebut berubah secara redaksional seperti yang termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 seperti yang kita kenal sekarang[1].

Pancasila kemudian dalam perkembangannya menjadi dasar Negara seperti yang ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945, dan dengan dimuatnya Pancasila dalam Pembukaan maka telah terjadi konstituering atau penuangan konstitusional dari Panca­sila. Dengan terjadinya proses ini maka Pancasila juga menjadi sumber hukum negara Republik Indonesia. Akan tetapi nama Pan­casila tidak secara eksplisit disebutkan di dalam Pembukaan, Batang Tubuh. Secara ideologis (sebagai suatu belief-system) ada ter­dapat suatu communis opinio bahwa dasar negara yang lima itu ada­lah Pancasila, dan bahwa Pancasila itu adalah ideologi nasional[2]. Ideologi disebut juga dengan cita hukum[3]

Dalam dinamika proses-proses kemasyarakatan, Pancasila diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan, juga pada bidang kehidupan hukum. Penerapan atau realisasi Pancasila pada bidang kehidupan hukum itu menumbuhkan ketentuan-ketentuan hukum yang dijiwai atau diwarnai oleh Pancasila. Keseluruhan Tata Hukum sebagai suatu sistem aturan hukum positif yang merupakan penjabaran atau penerapan Pancasila pada bidang hukum, dapat disebut Hukum Pancasila.[4] Sebagai sebuah Negara hukum, Indonesia harus selalu mendasarkan segala tindakan Negara dalam kerangka hukum yang bersumber dari cita hukum Pancasila ini. Dalam kondisi sekarang kita lihat bahwa penyusunan suatu undang-undang di Indonesia, tidak sepenuhnya lagi dibuat konsepnya oleh orang Indonesia asli, akan tetapi dibuat oleh konsultan asing yang jelas tidak memahami nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Pengaruh paham asing adakalanya dipaksakan kepada pemerintah dalam membuat peraturan perundang-undangan, sehingga peraturan perundang-undangan itu sendiri kemudian bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, bahkan secara jelas bertentangan dengan UUD 1945 itu sendiri. Satu contoh dari itu adalah Undang-undang tentang pemanfaatan sumber daya air, yaitu UU No. 7 tahun 2004. Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. (pasal 9 ayat 1). Ketentuan ini tidak sejalan dengan pasal 33 UUD 1945.

Tulisan ini akan menguraikan tentang cita hukum Pancasila dalam pembentukan hukum nasional. Cita Hukum Pancasila adalah sangat berbeda dengan liberalisme dan kolektivisme yang dikenal di Barat, cita Hukum Pancasila memang merupakan suatu yang khas dalam kehidupan bangsa Indonesia.

B. Cita Hukum Pancasila

Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, berarti segala bentuk hukum di Indonesia harus diukur menurut nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, dan didalam aturan hukum itu harus tercermin kesadaran dan rasa keadilan yang sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup bangsa. Hukum di Indonesia harus menjamin dan menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan pencerminan Pancasila dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam batang tubuh UUD 1945 serta penjelasannya[5]. Dengan demikian ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari UUD 1945.

Pembukaan UUD 1945 adalah staatsfundamentalnorm yang menurut Darji Darmodiharjo adalah filsafat hukum Indonesia, dan batang tubuh UUD 1945 adalah teori hukumnya, karena dalam batang tubuhnya ditemukan landasan hukum positif Indonesia. Teori hukum tersebut meletakkan dasar-dasar falsafati hukum positif indonesia. Dan secara historis Penjelasan UUD 1945 memberikan latar belakang pikiran dan suasana batin yang muncul pada saat UUD 1945 itu dibentuk[6].

Sementara itu Mahfud menyebut Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 merupakan sumber dari keseluruhan politik hukum nasional Indonesia. Penegasan keduanya sebagai sumber politik hukum nasional didasarkan pada dua alasan. Pertama, Pembuka­an dan Pasal-pasal UUD 1945 memuat tujuan, dasar, cita hukum, dan norma dasar negara Indonesia yang harus menjadi tujuan dan pijakan dari politik hukum di Indonesia. Kedua, Pembukaan dan Pasal-pasal UUD mengandung nilai-nilai khas yang bersumber dari pandangan dan budaya bangsa Indonesia yang diwariskan oleh nenek moyang sejak berabad-abad yang lalu[7]. Dalam pandangan di atas terlihat adanya kesamaan dalam melihat embukaan UUD sebagai nilai-nilai yang sudah mengakar dalam kehidupan bangsa Indonesia dan harus menjadi landasan dalam menetukan arah kebijakan dan aturan dalam menjalankan pemerintahan. Penentuan arah dan kebijakan tersebut harus dikawal oleh produk hukum yang berlandaskan kepada Pancasila. Pembentukan produk hukum merupakan konsekwensi logis dari prinsip negara hukum yang disandang Indonesia.

UUD 1945 menggariskan secara yuridis filosofis dalam Pembukaan bahwa “… persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial atau disingkat persatuan, keadilan bagi seluruh rakyat, kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan, dan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, maka pokok-pokok pikiran itu tidak lain melainkan Pancasila. Dengan demikian maka pokok-pokok pikiran yang mewujudkan Cita Hukum itu ialah Pancasila[8].

Dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan, menurut Rudolf Stammler, Cita Hukum (rechtsidee) itu berfungsi sebagai penentu arah bagi tercapainya cita-cita masyarakat. Walaupun disadari benar bahwa titik akhir dari cita-cita masyarakat itu tidak mungkin dicapai sepenuhnya, namun Cita Hukum memberi faedah positif karena ia mengandung dua sisi, dengan Cita Hukum dapat diuji hukum positif yang berlaku dan kepada Cita Hukum dapat diarahkan hukum positif sebagai usaha mengatur tata kehidupan masyarakat dan bangsa. Lebih lanjut menurutnya, keadilan yang dituju sebagai Cita Hukum itu menjadi pula usaha dan tindakan mengarahkan hukum positif kepada Cita Hukum. Dengan demikian, hukum yang adil adalah hukum yang diarahkan oleh Cita Hukum untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat.[9] Selanjutnya Gustav Radbruch menegaskan pula bahwa Cita Hukum (rechtsidee) tidak hanya berfungsi sebagai tolak ukur yang bersifat regulatif, yaitu yang menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak, melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpa Cita Hukum, hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum.[10]

Dari uraian mengenai fungsi Cita Hukum tersebut, dengan istilah lain (namun sewarna), B. Arief Sidharta menggabungkan fungsi Cita Hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Rudolf Stammler dan Gustav Radbruch tersebut. Menurutnya, Cita Hukum itu berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani (guiding principle), norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penerapan, penegakan dan penemuan) dan perilaku hukum.[11]

Hukum dalam hubungannya dengan Cita Hukum (rechtsidee) mengandung pula suatu pedoman dan suatu ukuran umum tentang apa yang harus dilihat sebagai hukum di dalam budaya yang bersangkutan. Cita Hukum dalam dirinya adalah merupakan sesuatu yang di dalamnya mengandung unsur-unsur yang emosional – ideal, yang batasan rasionalnya tidak pasti. Pengertian dari konsepsi hukum yang berusaha mewujudkan Cita Hukum harus memenuhi tuntutan bahwa hal tersebut dapat dikerjakan. Untuk itu diperlukan unsur-unsur dari konsepsi hukum yang dapat dinilai dan merupakan sesuatu yang rasional.

Unsur-unsur yang rasionil dari Cita Hukum tersebut, mengendap menjadi suatu konsepsi hukum, yang memungkinkan disusun suatu pengertian hukum umum (allgemein Rechtsbegriff) menurut apa yang dikandung dan dimaksud oleh Cita Hukum yang bersangkutan. Unsur-unsur konsepsi hukum ini, adalah merupakan unsur-unsur yang di dalam mengandung bahan-bahan dasar idiil tentang aturan-aturan hukum selanjutnya yang diperlukan. Bahan-bahan idiil yang tersimpan di dalam unsur-unsur konsepsi hukum tersebut merupakan apa yang disebut dengan asas-asas hukum, yaitu pikiran dasar atau yang fundamentil dari hukum yang bersangkutan.

Dengan dan dari asas-asas hukum ini selanjutnya disusun segala aturan-aturan hukum yang diperlukan secara tertib dan tetap dalam hubungan persenyawaan dengan Cita Hukum. Kemudian dalam menyusun aturan selanjutnya dari dan di atas asas-asas tersebut, masih harus melalui suatu ide yang merupakan kerangka dari aturan-aturan yang akan disusun selanjutnya. Ide tersebut adalah ide yang dapat terbentuk sebagai endapan dari asas-asas hukum yang bersangkutan. Ide yang mendasari tersebut dapat dibedakan dalam dua ide. Yang pertama ialah ide sosial dan yang kedua ialah ide negara (Staatsidee).

Salah satu dari staatsidee ini adalah yang perlu disebutkan yaitu adanya ide negara hukum rechtstaat, seperti yang dimiliki Indonesia melalui UUD 1945. Artinya semua badan-badan Negara yang menjalankan kekuasaan pemerintahan harus dibentuk berdasarkan hukum yang berlaku dan dalam menjalankan kekuasaannya pun semua badan-badan tersebut harus berpedoman kepada aturan hukum. Dalam Negara hukum Indonesia maka semua aturan yang dibuat itu harus bersumber dari dan menggambarkan cita hukum Pancasila tadi. Dengan begitu segala perangkat aturan yang dikeluarkan negara hukum berarti harus berada dalam persenyawaan dengan isi Cita Hukum Pancasila yang membentuknya itu. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Arief Sidharta yaitu bahwa dalam membentuk hukum di Indonesia maka setiap hukum itu harus dijiwai oleh Pancasila[12], atau dengan kata lain dia menyebutnya dengan cita hukum (the idea of law, rechtsidee) dalam alam pikiran berdasarkan Pancasila[13].

Susilo Bambang Yudowono menegaskan Pancasila sebagai ideologi nasional bangsa Indonesia. Dasar Negara Republik Indonesia. Falsafah bangsa: Weltanschaung. Pandangan hidup bangsa (way of life). Jati diri bangsa. Perekat dan pemersatu bangsa.[14]

Menurut Arief bahwa dalam membentuk hukum di Indonesia maka setiap hukum itu harus dijiwai oleh Pancasila[15], dan yang dikehendaki hukum adalah ketertiban dan keteraturan yang bersuasanakan ketenteraman batin, kesenangan bergaul di antara sesamanya, keramahan dan kesejahteraan yang memungkinkan terselenggaranya interaksi antar-manusia yang sejati. Karena itu, hukum yang dijiwai oleh Pancasila adalah hukum yang berasaskan semangat kerukunan. Terpaut pada asas kerukunan adalah asas kepatutan. Asas ini juga adalah asas tentang cara menyelenggarakan hubungan antar-warga masyarakat yang di dalamnya para warga masyarakat diharapkan untuk berperilaku dalam kepantasan yang sesuai dengan kenyataan-kenyataan sosial. Sifat lain yang memberikan ciri pada Hukum Pancasila adalah asas keselarasan. Asas ini menghendaki terselenggaranya harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Kemudian Asas kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan sebagai ciri-ciri khas dari Hukum Pancasila dapat dicakup dengan satu istilah, yakni sifat kekeluargaan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Hukum Pancasila adalah hukum bersemangat kekeluargaan. Semangat kekeluargaan menunjuk pada sikap yang berdasarkannya kepribadian setiap warga masyarakat diakui dan dilindungi oleh masyarakat[16].

C. Pembangunan Hukum Indonesia

Indonesia adalah Negara hokum ini berarti hukum merupakan sarana utama untuk mengatur kehidupannya.[17] Hukum dalam hal ini harus diartikan dalam pengertian yang luas, bukan hukum dalam pengertian undang-undang seperti yang dimaksudkan oleh Hans Kelsen yaitu : law is a coercive order of humn behavior…, it is the primary norm which stipulates the sanction. Atau yang dikemukakan oleh John Austin, maupun RW Dworkin[18]. Pandangan-pandangan tentang hukum yang diberikan oleh mereka mencerminkan ciri positivisme yang kuat. Oleh karena itu dalam pembangunan hukum, maka itu tidak berarti hanya dengan membuat undang-undang. Suatu pendekatan yang normative semata-mata tentang hukum tidak cukup apabila kita melakukan pembinaan hukum secara menyeluruh. Dalam konteks Indonesia sebagai Negara hukum, hukum harus dijadikan sebagai saringan yang harus dilalui oleh konsep apapun yang akan diterapkan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Akan tetapi diakui bahwa tidak semua hal dapat dicapai melalui saluran hukum formal, sekalipun hukum formal adalah yang idealnya. Dalam hal ini terjadi proses interaksi saling tarik menarik dan pengaruh mempengaruhi yang intensif antara hukum dan berbagai proses yang berlangsung dalam masyarakat[19].

Dalam Politik Hukum nasional ditegaskan bahwa sasaran pembangunan hukum adalah terbentuk dan berfungsinya system hukum nasional yang mantap bersumberkan Pancasila dan UUD 1945, dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku, yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran serta mampu mengamankan dan mendukung pembangunan nasional, yang didukung oleh aparat hukum, sarana dan prasarana yang memadai serta masyarakat yang sadar dan taat hukum.[20] Dengan demikian terlihat bahwa pembangunan hukum mrupakan bagian integral dari pembangunan nasional secara keseluruhan.

Bagi Indonesia dalam melakukan pembangunan diperlukan suatu perencanaan pembangunan, dan prencanaan pembangunan itu perlu memanfaatkan hukum karena :

  1. Hukum merupakan hasil penjelajahan ide dan pengalaman manusia dalam mengatur hidupnya.
  2. Hakekat pengadaan dan keberadaan hukum hukum dalam masyarakat;
  3. Fungsi mengatur yang telah didukung oleh potensi dasar yang terkandung dalam hukum yang melampaui fungsi mengatur, yaitu sebagai pembri kepastian, pengaman, pelindung, dan penyeimbang yang sifatnya dapat tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif;
  4. Dalam isu pembangunan global itu hukum telah dipercaya unuk mengemban misinya yang paling baru yaitu sebagai sarana perubahan social atau sarana pembangunan.[21]

Sementara itu menurut Mochtar, salah satu tujuan hukum itu sendiri adalah ketertiban, untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diusahakan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Urgensinya disini adalah bukan saja bagi kehidupan masyarakat yang teratur, tetapi merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang melampaui batas-batas saat sekarang ini. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmakan olehnya manusia tidak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di dalam masyarakat dimana dia hidup.[22]

Dalam pembangunan hukum Indonesia dalam konteks pembangunan hukum yang berdasarkan cita hukum Pancasila, maka hukum sebagai sarana pembanguan tersebut telah dikembangkan oleh Muchtar Kusumaatmaja dengan menamainya sebagai teori Hukum pembangunan. Menurut Muchtar, hukum merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, juga mencakup lembaga-lembaga (institutions), dan proses-proses (processes) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan[23].

Pengertian tersebut menunjukkan kepekatan Mochtar terhadap arti kepekaan hukum terhadap kondisi dan gejala-gejala kemasyarakatan, dan pandangan Mochtar tentang fungsi hukum sebagai sarana pembangunan merupakan sumbangan penting dari Eugen Ehrlich dan Roscue Pound yang berasal dari aliran hukum pragmatis.[24]

Ehrlich dalam pandangannya tidak melihat hukum dalam wujud sebagai kaidah, melainkan melihat hukum dalam wujud sebagai masyarakat sendiri. Oleh karena itu Ehrlich kemudian melahirkan konsep tentang living law untuk membedakannya dengan positive law. Sementara itu Roscue Pound memandang hukum sebagai rtealitas social yang mengatur masyarakatnya.. Menurut dia Negara didirikan demi kepentingan umum dan hukum merupakan sarana utama (law as a tool of social engineering) untuk merealisasikan tujuan itu. Bagi Pound, suatu masyarakat yang baik ialah mesyarakat yang memperhatikan kepentingan umum.[25]

Teori hukum pembangunan Mochtar yang dipengaruhi oleh kedua pakar tersebut terlihat kemudian lebih merupakan transformasi dari teori hukumnya sendiri ditambah dengan transformasi teori hukum, terutama, Pound, akan tetapi Mochtar dengan tegad menolak konsepsi mekanis dari konsepsi law as a tool of social engineering dan karenanya menggantikan istilah alat (tool) itu dengan sarana.[26]

Pengembangan konsepsional dari hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat di Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya dari pada law as a tool of social engineering, karena di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum lebih menonjol, misalnya jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang menempatkan yurisprudensi (khususnya putusan the Supreme Court) pada tempat lebih penting; Karena konsep hukum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan penerapan “legisme” sebagaimana pernah diadakan pada zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti itu; dank arena apabila “hukum” di sini termasuk juga hukum internasional, maka konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum konsep ini diterima secara resmi sebagai landasan kebijakan.

Lebih lanjut juga dikemukakan bahwa hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun, yang berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam artistatis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan.[27]

Dengan demikian terlihat bahwa Teori hukum pembangunan Muchtar tersebut sudah mencakup dimensi yang meliputi structure (struktur), culture (kultur) dan substance (substansi) sebagaimana dikatakan oleh Lawrence W. Friedman. Namun Menurut Romli perlu juga dilengkapi dengan pemberdayaan birokrasi (beureucratic engineering) yang mengedepankan konsep panutan atau kepemimpinan, sehingga fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan dapat menciptakan harmonisasi antara elemen birokrasi.[28] Konsep panutan dan kepemimpinan tidak terlepas dari suatu pengakuan atas suatu realitas budaya paternalistic yang dianut di Indonesia, artinya sebuah contoh yang baik yang diberikan oleh orang yang dianggap sebagai panutan akan bisa menciptakan suatu perubahan yang lebih baik. Tentu saja sosok yang dianggap sebagai panutan adalah orang yang amanah dan bisa mengemban cita-cita perjuangan proklamasi. Konsep panutan demikian akan mempunyai peran yang penting dalam pembentukan budaya hukum masyarakat atau pembangunan kesadaran hukum secara prsuasif, namun demikian sebagai suatu hukum yang menjaga kepentingan masyarakat pada umumnya, tetap dubutuhkan adanya daya paksa dan struktur yang mengawal berlaknya hukum.

Sunaryati menambahkan factor tersebut dengan faktor tingkat kecerdasan dan kejujuran (integrasi) para pelaku/pejabat lembaga-lembaga hukum hukum itu, tingkat kinerja, Koordinasi dan sinkronisasi antara lembaga-lembaga hukum (baik dari lembaga legislative, eksekutif, yudikatif, dan pengawasan), tingkat teknologi yang digunakan oleh lembaga-lembaga dan profesi hukum, standar operation procedures, gaya manajemen (kuno atau moderen) yang digunakan oleh pelaku-pelaku hukum dan pemberi pelayanan hukum, tolak ukur (norma-norma) untuk mengukuir kinerja dan profesi pejabat dan profesi hukum (yaitu yg dikenal dengan asas-asas pemerintahan yang baik – good governance) dan last but not least besar kecilnya angaran pembangaunan belanja Negara yang disediakan/ disisihkan untuk pembangtunan dan reformasi hukum itu.[29]

Dalam suatu masyarakat yang sedang mengalami perubahan, dinamika masyarakat akan membawa pengaruh terhadap perubahan nilai di dalamnya, perubahan nilai akan mengubah cara pandang masyarakat yang pada gilirannya pada perubahan pola hidup, tingkah laku atau karakter masyarakat, yang apabila tidak di lakukan pengaturan, maka sangat mungkin terjadinya benturan-benturan kepentingan di antara mereka. Kondisi demikian merupakan suatu fenomena yang harus dipahami dan dijadikan landasan dalam menentukan arah pembangunan hukum itu sendiri. Dalam masyarakat yang berubah diperlukan adanya suatu penelitian yang dan kajian terhadap fenomena perubahan itu sendiri, yang kemudian dijadikan landasan pembangunan hukum. Pembangunan hukum dalam onteks pembuatan peraturan perundang-undangan, maka idealnya adalah bahwa aturan yang dibuat tersebut akan lebih mudah mengimplementasikannya terhadap suatu kelompok masyarakat yang menjadi akar terbentuknya peratuan itu, dengan kata lain aturan hukum tersebut haruslah berakar dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut. Dalam hubungan ini cita hukum Pancasila tidak bisa dilepaskan sama sekali dalam proses dalam pembangunan hukum itu.

Teori hukum pembangunan yang dikemukakan oleh Mochtar masih relevan unuk dijadikan landasan pembangunan hukum Indonesia dengan modifikasi yang ditambahkan oleh Romli dan Sunaryati, karena dimensi pembangunan hukum harus mencakup dimensi substansi, struktur, dan kultur. Berbicara tentang ketiga dimensi itu termasuk membicarakan kekuatan sumber daya manusia yang berperan besar dalam pembangunan hukum nasional.

Daftar pustaka

Buku Teks

A. Hamid S. Attamimi, Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara disunting oleh: Oetojo Oesman & Alfian, BP-7 Pusat, Jakarta, 1992.

A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, CSIS, Jakarta, 1985, hlm. 286

Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor,2008.

Arief Sidharta, Filsafat Hukum Pancasila, Materi Perkuliahan Mata Kuliah Sistem Filsafat Hukum Indonesia, Program Pascasarjana Program Studi Doktor Ilmu Hukum UNPAR, Bandung, 2006.

B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.Darji darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 1995.

Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003.

Lili Rasjidi, Pembangunan Sistem Hukum dalam Rangka Pembinaan Hukum Nasional, dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri, Butir-butir Pemikiran dalam Hukum-Mempringati 70 Tahun Prof.Dr.B.Arief Sidharta,SH, Refika Aditama, Bandung, 2009.

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002. Dalam BPHN, Hasil Seminar Hukum Nasional Keempat, BPHN, Jakarta, 1980.

Moh. Mahfud M.D., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006.

Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas Hukum Nasional dalam “Majalah Hukum Nasional (Edisi Khusus 50 Tahun Pembangunan Nasional)” No. 1, Pusat Dokumentasi Hukum BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta, 1995.

N. Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara penyunting: A. Sudiarja, et. al., Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006.

Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.

Makalah/Artikel

Lilik Mulyadi, Teori Hukum pembangunan Prof.Dr. Muchtar Kusumaatmadja: Sebuah Kajian Deskriftif Analitis, makalah tanpa tahun

Soejono Koesoemo Sisworo, Mempertimbangkan Beberapa Pokok Pikiran Pelbagai Aliran Filsafat Hukum Dalam Relasi dan Relevansinya Dengan Pembangunan/Pembinaan Hukum Indonesia dalam Kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang dihimpun oleh: Soekotjo Hardiwinoto, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995.

Sunaryati, Membangun Budaya Hukum Pancasila Sebagai Bagian dari Sistem Hukum Nasional Indonesia di Abad 21, Orasi Dies Natalis ke-50 Fakultas Hukum Unpar.

Susilo Bambang Yudhoyono, Menata Kembali Kerangka Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila, Pidato Peringatan 61 Tahun Lahirnya Pancasila, Jakarta Convension Center, Tanggal 6 Januari 2006.

[1] Lihat Soediman Kartohadiprodjo, Panca Sila Suatu Usaha Percobaan Mendekati Problema Sekitarnya, tanpa penerbit dan tahun terbit, hlm. 1 – 5

[2] A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, CSIS, Jakarta, 1985, hlm. 286

[3] A. Hamid S. Attamimi, Op.,Cit. hlm. 68

[4] Arief Sidharta, Filsafat Hukum Pancasila, Materi Perkuliahan Mata Kuliah Sistem Filsafat Hukum Indonesia, Program Pascasarjana Program Studi Doktor Ilmu Hukum UNPAR, Bandung, 2006, hlm. 4

[5] Darji darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 1995. hlm.206

[6] Ibid, hlm.207.

[7] Moh. Mahfud M.D., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006, hlm. 23.

[8] A. Hamid S. Attamimi, Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara disunting oleh: Oetojo Oesman & Alfian, BP-7 Pusat, Jakarta, 1992, hlm. 7

[9] Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas Hukum Nasional dalam “Majalah Hukum Nasional (Edisi Khusus 50 Tahun Pembangunan Nasional)” No. 1, Pusat Dokumentasi Hukum BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta, 1995, hlm. 50

[10] Soejono Koesoemo Sisworo, Mempertimbangkan Beberapa Pokok Pikiran Pelbagai Aliran Filsafat Hukum Dalam Relasi dan Relevansinya Dengan Pembangunan/Pembinaan Hukum Indonesia dalam “Kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang” dihimpun oleh: Soekotjo Hardiwinoto, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm. 121.

[11] B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 181.

[12] Arief Sidharta, FN. 4. Op.Cit., hlm. 6.

[13] Arief Sidharta, ibid., hlm. 5.

[14] Susilo Bambang Yudhoyono, Menata Kembali Kerangka Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila, Pidato Peringatan 61 Tahun Lahirnya Pancasila, Jakarta Convension Center, Tanggal 6 Januari 2006, hlm.5

[15] Arief Sidharta, FN. 4. Op.Cit., hlm. 6.

[16] Lihat Ibid, hlm.6-7

[17] Lili Rasjidi, Pembangunan Sistem Hukum dalam Rangka Pembinaan Hukum Nasional, dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri, Butir-butir Pemikiran dalam Hukum-Mempringati 70 Tahun Prof.Dr.B.Arief Sidharta,SH, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm.129

[18] Lihat Dardji, Op.cit, hlm. Dan Ahma Ali, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor,2008,hlm. 26-27.

[19] Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm.128.

[20] Darji, opcit.,hlm. 224.

[21] Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm.180.

[22] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 3. Dalam Dalam hasil Seminar Hukum Nasional Keempat yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, dirumuskan adanya enam fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan, yaitu : Pengatur, penertib dan pengaman kehidupan masyarakat; Penegak keadilan dan pengayom warga masyarakat terutama yang mempunyai kedudukan sosial ekonomi lemah; Penggerak dan pendorong pembangunan dan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan; Pengarah masyarakat pada nilai-nilai yang mendukung usaha pembangunan; Faktor penjamin keseimbangan dan keserasian yang dinamis dalam masyarakat yang mengalami perubahan cepat; lihat BPHN, Hasil Seminar Hukum Nasional Keempat, BPHN, Jakarta, 1980, hal. 61.

[23] Lolo Rasjidi, Op.cit. hlm.182-183.

[24] Lili Rasjidi, Op.cit, hlm. 183. Teori mochtar juga dipengaruhi oleh teori kebudayaan Northrop dan policy oriented yang dikemukakan oleh Laswell dan Mc.Dougal).

[25] Ahmad Ali, Op.cit, hlm. 19

[26] Lili Rasyidi, Loc.cit.

[27] Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, hlm. 14. Lihat juga Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm.3.

[28] Terkutip dalam Lilik Mulyadi, Teori Hukum pembangunan Prof.Dr. Muchtar Kusumaatmadja: Sebuah Kajian Deskriftif Analitis, makalah tanpa tahun

[29] Sunaryati, Membangun Budaya Hukum Pancasila Sebagai Bagian dari Sistem Hukum Nasional Indonesia di Abad 21, Orasi Dies Natalis ke-50 Fakultas Hukum Unpar,2008,hlm. 9

0 komentar:

Posting Komentar