ARSENAL HUKUM PROGRESIF
Oleh: Prof (Emiritus) Dr. Satjipto Rahardjo, SH.*
Tulisan ini mengenang Pandangan Prof Tjip tentang Konsep Hukum Progresif , semoga menjadi bahan referensi rekan-rekan mahasiswa S3 di UNDIP KPK UNTAN
Abstrak
Kata kunci dalam gagasan hukum progresif adalah kesediaan untuk membebaskan diri dari faham status quo. Ide tentang pembebasan diri tersebut berkaitan erat dengan faktor psikologis atau spirit yang ada dalam diri para pelaku (aktor) hukum, yaitu keberanian (dare). Masuknya faktor keberanian tersebut memperluas peta cara berhukum, yaitu yang tidak hanya mengedepankan aturan (rule), tetapi juga perilaku (behavior). Berhukum menjadi tidak hanya tekstual, melainkan juga melibatkan predisposisi personal (Rahardjo, 2004). Pelaku hukum yang berani bukan sekedar pembicaraan atau sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang nyata ada dalam masyarakat.
Kata Kunci: Arsenal, Hukum Progresif, Pembebasan diri.
A. Pendahuluan
Dalam beberapa nomor terdahulu, jurnal ini telah dibicarakan tentang gagasan hukum progresif, maka dalam risalah sekarang, akan dijelajahi kekuatan dan kemampuan apa saja yang ada dalam progresif, yang dapat disumbangkan kepada pembangunan hukum di negeri kita. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan di sekitar apa yang secara konkrit dilakukan oleh hukum-hukum progresif. Berdasarkan hal-hal itulah artikel ini diberi judul “arsenal hukum progresif”.
Gagasan hukum progresif (2002) muncul disebabkan oleh kegalauan menghadapi kinerja hukum yang banyak gagal untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa ini. Terutama sejak bergulirnya era reformasi, yang ditandai oleh ambruknya kekuasaan Presiden Suharto yang otoriter selama berpuluh-puluh tahun itu, harapan rakyat terhadap hukum sebagai sang juru penolong makin melambung tinggi. Supremasi hukum sudah dianggap sebagai panacea, obat mujarab bagi semua persoalan. Harapan tersebut sangat membebani hukum untuk mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Di lain pihak berbagai polling dan survai malah menunjukkan, bahwa cukup banyak prestasi yang tidak memuaskan. Ini menyebabkan kesenjangan yang melebar antara harapan dan kenyataan, sehingga menuai kekecewaan.
Mungkin baik untuk memulai risalah ini dengan membicarakan moral hukum progresif. Kandungan moral ini adalah kepedulian yang tidak kunjung berhenti, mengenai bagaimana mendorong hukum untuk memberikan yang lebih baik dan lebih baik lagi kepada bangsanya. Salah satu perwujudan moral tersebut adalah pada waktu dibicarakan tentang hukum progresif sebagai kesinambungan antara merobohkan dan membangun (Jurnal Hukum Progresif Volume 2, Nomor 1/April 2006). Moral hukum progresif ingin mendorong agar cara kita berhukum tidak pernah mengenal waktu untuk berhenti, melainkan selalu ingin melakukan sesuatu menuju kepada keadaan yang lebih baik.
Kandungan moral yang demikian itu disebabkan oleh penerimaan paradigma manusia di atas paradigma aturan (rule). Sejarah hukum menjadi saksi tentang bagaimana, dari waktu ke waktu, dari abad ke abad, manusia bergulat dengan dan membangun tatanan kehidupannya. Ada satu tragedi di situ, yaitu tentang keinginannya untuk membangun satu tatanan, tetapi pada waktu yang sama tatanan itu dirombaknya kembali, karena manusia merasa tidak betah tinggal di situ.
Amandir-mengamandir Undang-Undang Dasar mungkin merupakan contoh yang baik mengenai tragedi tersebut. Bangsa Indonesia membuat Undang-Undang Dasar dengan tujuan agar kehidupannya lebih mapan untuk waktu yang abadi. Dalam waktu berpuluh-puluh tahun, lebih dari setengah abad, memang ia berhasil mewujudkan mimpinya itu, tetapi tidak lebih lama daripada itu. Kompromi antara menjaga kelestarian dan perubahan dilakukan dengan membuat amandemen-amandemen.
Pada masa awal reformasi, di penghujung tahun 90-an, pemerintahan Habibie mencapai rekor produksi perundang-undangan dalam masa transisi yang pendek. Apabila dikaitkan pada reformasi, maka pada waktu itu, problem-problem dalam reformasi seolah-olah telah dijawab dengan memroduksi undang-undang atau dapat juga dikatakan, bahwa reformasi hukum dilakukan dengan memproduksi undang-undang secara masal. Tetapi jawaban yang demikian itu tidak menyelesaikan masalah, karena ia tidak bergeming sesudah “digelontor” dengan sejumlah besar undang-undang baru.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa terdapat kesalahan dalam cara bangsa ini berhukum. Konklusi tersebut mendorong kita untuk melihat kembali kepada cara-cara yang dilakukan dalam mewujudkan negara hukum. Negara hukum adalah sebuah bingkai (framework) besar yang memuat prinsip-prinsip yang menuntun cara bangsa untuk menata (organize) serta menyalurkan proses-proses dalam masyarakat, sehingga tercapai tujuan sosial, politik, ekonomi dan lain-lain dalam bernegara tersebut. Ada hal yang kurang benar dalam cara kita berhukum, sehingga dengan cara yang selama ini dijalankan masyarakat menilai hukum tidak bekerja dengan baik.
Artikel ini merupakan kelanjutan dari tulisan-tulisan mengenai hukum progresif yang lalu (baca beberapa nomor “Jurnal Hukum Progresif”) dengan menjelajahi lebih lanjut hal apa saja yang dapat dilakukan oleh hukum progresif untuk mengubah dan memperbaiki kualitas berhukum. kita. Dengan demikian tulisan ini dibuat dengan maksud untuk meneliti dan mengiventariser sekalian potensi kekuatan dan pemikiran, sebagai suatu arsenal yang dimiliki hukum progresif.
B. Pembahasan
Gagasan hukum progresif lahir di tengah-tengah kegalauan sebagaimana diuraikan di atas, dan karena itu lebih sarat dengan keinginan untuk bertindak daripada suatu kontemplasi abstrak. Namun demikian, karena ia dilontarkan dan berasal dari komunitas akademik, maka pemikiran-nyapun perlu bersifat komprehensif dan di sini pemikiran teoritispun tak dapat ditinggalkan.
Hukum progresif mengajak bangsa ini untuk meninjau kembali (review) cara-cara berhukum di masa lalu. Cara berhukum merupakan perpaduan dari berbagai faktor sebagai unsur, antara lain, misi hukum, paradigma yang digunakan, pengetahuan hukum, perundang-undangan, penggunaan teori-teori tertentu, sampai kepada hal-hal yang bersifat keperilakuan dan psikologis, seperti tekad dan kepedulian (commitment), keberanian (dare), determinasi, empati serta rasa-perasaan (compassion).
Pada aras dasar yang formal, maka perundang-undangan dan sekalian kelengkapan untuk menjalankannya (enforce) segera menyedot perhatian kita. Sejak Indonesia adalah sebuah negara hukum, maka konstitusi dan perundang-undangan menjadi landasan untuk bertindak. Sekalipun demikian, kendati sama-sama mendasarkan pada hukum, belum tentu sekalian orang juga sama dalam memaknai hukum atau undang-undang itu. Perbedaan dalam memaknai hukum berlanjut pada cara berhukum.
Salah satu cara berhukum yang sangat merisaukan gagasan hukum progresif adalah yang secara mutlak berpegangan pada kata-kata atau kalimat dalam teks hukum. Cara yang demikian itu merupakan hal yang banyak dilazimkan di kalangan komunitas hukum, yaitu yang disebut sebagai menjaga kepastian hukum. Hukum adalah teks itu dan tetap seperti itu sebelum diubah oleh legislatif. Cara berhukum tersebut hanya melihat sistem hukum sebagai mesin besar perundang-undangan yang harus dijalankan. Di sini penegakan hukum sudah menjadi masinal, ibarat menjalankan teknologi “tekan tombol”. Para penegak hukum, seperti jaksa, hakim, sudah menjadi sekrup-sekrup belaka dari mesin yang besar itu.
Lebih daripada itu, maka gaya berhukum dengan tradisi civil law tersebut cenderung kuat untuk menerima hukum sebagai skema yang final (finite scheme), bukan sebagai panduan yang progresif, berbeda dengan common law yang bertumpu pada pengadilan. Hukum adalah sesuatu yang sudah selesai dibuat (oleh legislatif) (geleerd recht, van den Bergh, 1980) dan bukan sesuatu yang setiap kali dibuat (oleh pengadilan). Dengan cara berhukum seperti itu menjadi tidak mudah bagi hukum untuk mengikuti dinamika kehidupan. Cara ini saya namakan sebagai cara berhukum yang mem-pertahankan status quo.
Hukum progresif ingin mengajak masyarakat untuk memahami betapa keliru menerima hukum sebagai suatu status quo, sebagai institut yang secara mutlak harus diabadikan. Pemahaman seperti itu akan mengatakan, bahwa hukum yang ada harus diterapkan “at all cost”. Hukum adalah suatu skema dan suatu skema yang final (finite scheme). Tidak ada cara berhukum yang lain, titik. Hukum progresif mengajak masyarakat untuk melihat kekeliruan tersebut sebagai faktor penting yang menyebabkan kinerja hukum menjadi buruk.
Cara berhukum yang status-quo sentries, lazim bergandengan dengan alam pikiran positivistik-analitis. Di sini orang lebih membaca undang-undang sebagai mengeja undang-undang, daripada membacanya secara bermakna. Memang, untuk menjadi sekrup dari mesin hukum yang baik, maka menjalankan hukum secara bermakna dapat menjadi penghalang. Mengikuti saja apa yang telah ditulis dianggap sebagai cara berhukum yang benar, sedang mencoba menggali makna dari apa yang tertulis akan menyebabkan jalannya mesin menjadi tersendat-sendat.
Kata kunci dalam gagasan hukum progresif adalah kesediaan untuk membebaskan diri dari faham status quo tersebut[1]. Ide tentang pembebasan diri tersebut berkaitan erat dengan faktor psikologis atau spirit yang ada dalam diri para pelaku (aktor) hukum, yaitu keberanian (dare). Masuknya faktor keberanian tersebut memperluas peta cara berhukum, yaitu yang tidak hanya mengedepankan aturan (rule), tetapi juga perilaku (behavior). Berhukum menjadi tidak hanya tekstual, melainkan juga melibatkan predisposisi personal [2]. Pelaku hukum yang berani bukan sekedar pembicaraan atau sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang nyata ada dalam masyarakat. Indonesia sebetulnya tidak kering dari contoh-contoh hakim dan jaksa yang memiliki disposisi personal (baca: keberanian) seperti itu. Sebutlah Gatot Mangkupradja, Baharudin Lopa, Adi Andojo Soetjipto, dan lain-lain. Hakim dan jaksa yang berani dan berintegritas itu tidak hanya ada di Jakarta, tetapi juga di pelosok-pelosok tanah air dan tidak dikenal oleh masyarakat. Karena mereka hanya “jaksa kecil” saja, maka apabila berani bertindak di luar garis komando, dengan mudah dipindah ke tempat lain yang terpencil. Mereka ini adalah jaksa-jaksa kecil yang berani, tetapi menjadi korban dari doktrin “kejaksaan adalah satu dan tidak dapat dipecah-pecah” (een en ondeelbaar).
Berbicara dalam terma tipologi, maka cara berhukum progresif dimasukkan ke dalam tipe berhukum dengan nurani (conscience). Berhukum sebagai mesin bertolak belakang dengan tipe hukum bernurani ini. Penilaian keberhasilan hukum tidak dilihat dari diterapkannya hukum materiel maupun formal, melainkan dari penerapannya yang bermakna dan berkualitas.
Cara berhukum itu tidak hanya menggunakan rasio (logika), melainkan juga sarat dengan kenuranian atau compassion. Di sinilah pintu masuk bagi sekalian modalitas seperti tersebut di atas, yaitu empati, kejujuran, komitmen dan keberanian. Dengan demikian maka kita akan berbicara mengenai “nurani pengadilan” (conscience of the court), “nurani kejaksaan”, “nurani advokat” dan seterusnya.
Kendatipun hukum progresif sangat menekankan pada perilaku nyata dari para aktor hukum, namun ia tidak mengabaikan peran dari sistem hukum di mana mereka berada. Dengan demikian hukum progresif memasuki dua ranah, yaitu sistem dan manusia. Keduanya membutuhkan suntikan yang mencerahkan sehingga menjadi progresif. Para pelaku boleh bertindak progresif, tetapi apabila sistemnya menghambat, seperti cerita tentang jaksa kecil di atas, maka tindakan mereka menjadi sia-sia belaka. Seorang jaksa yang berpikiran dan bertindak progresif akan terbentur pada tembok “satu dan tidak dapat dipecah-pecah” itu. Alih-alih menjadi “pahlawan”, mereka malah menjadi orang yang bersalah (culprit). Hal yang sebaliknya juga dapat terjadi, yaitu manakala sumberdaya manusia yang menjalankan hukum itu tidak berwatak dan berpikir progresif.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka progresifitas menyangkut, baik peran pelaku hukum, maupun sistem itu sendiri. Keadaan menjadi ideal, manakala baik manusia maupun sistemnya sama-sama progresif. Para aktor dalam hukum belch progresif, tetapi, seperti contoh di atas, apabila sistemnya tidak mendukung, maka mereka yang progresif malah akan menjadi pihak yang salah (culprit). Dengan demikian, dalam konteks ide hukum progresif, maka kita perlu juga untuk meneliti mana-mana sistem yang menghambat atau berpotensi menghambat laju hukum progresif.
Hal yang sebaliknya dapat juga terjadi, yaitu manakala sistem dan sekalian perangkat lunak telah dirancang dengan progresif, tetapi apabila sumberdaya manusia yang ada tidak progresif, maka rancangan tersebut tak dapat diwujudkan secara optimal.
Namun, seraya berupaya membangun sistem yang progresif, langkah yang segera dapat dilakukan adalah menyediakan pelaku-pelaku yang bermental progresif. Inilah sesungguhnya yang di sana-sini terjadi di negeri kita. Hakim-hakim, seperti Adi Andojo Soetjipto, Bismar Siregar, Benjamin Mangkudilaga, serta jaksa, seperti Baharudin Lopa, adalah contoh pelaku-pelaku yang berani “menempatkan diri di luar sistem” yang ada, dengan risiko yang kita semua sudah tahu. Lopa, bahkan sempat “masuk kotak” sebagai staf ahli menteri, sebelum kemudian “direhabilitasi” menjadi Jaksa Agung. Sedikit cahaya terang tidak hanya bersinar di pusat Jakarta dan hanya dimonopoli oleh pelaku-pelaku besar, tetapi juga di tingkat lokal dan oleh orang-orang kecil.
Studi Bank Dunia yang dikemas dalam laporan berjudul “Menciptakan Peluang Keadilan”[3], lebih memastikan, bahwa pada tingkat dan “pelaku-pelaku kecil” masih dapat dijumpai orang-orang yang cukup progresif, kendatipun dengan inisiatif sendiri dan harus berani menanggung risiko sendiri pula. Seorang hakim pengadilan negeri di Sumatera Barat mengatakan, “Jakarta tidak memperhatikan orang-orang seperti saya”.
Hukum tak dapat hanya memikirkan urusannya sendiri tanpa memahami dan menyadari, bahwa ia tertanam dalam struktur politik tertentu. Dahulu, pada masa pemerintahan Presiden .Suharto, dominasi, bahkan hegemoni kekuatan politik Suharto sangat besar. Hukum hampir menjadi identik dengan “kemauan” Suharto. Siapa yang berani melawannya akan ditumpas. Dalam iklim politik yang demikian itu, maka hukum menjadi aman dengan berlindung di bawah kekuasaan politik. Baik hakim, jaksa dan lain-lain akan selamat, selama mereka mengikuti dan menjalankan kemauan politik yang berkuasa. Putusan-putusan pengadilan yang progresif akhirnya akan dimentahkan pada tingkat pengadilan tertinggi, seperti kasus-kasus “Tempo” dan “Kedungombo”. Demikian pula dengan hakim yang memiliki keberanian dan integritas, seperti Adi Andojo Soetjipto dan jaksa, seperti Baharudin Lopa, yang sempat dimasukkan ke dalam kotak staf ahli. Hanya pergantian kekuasaan politik yang mampu memulihkan citra Lopa yang sebenarnya dan “direhabilitasi” menjadi Jaksa Agung.
Sistem hukum yang progresif pada intinya adalah sistem yang mampu membebaskan pikiran dan kekuatan progresif dalam hukum, bukan malah menghambat dan membelenggunya. Sebuah disertasi yang ditulis oleh Yudi Kristiana[4], barangkali dapat menjadi contoh mengenai gagasan pembangunan sistem yang progresif, dalam hal ini sistem kejaksaan. Dalam studinya terhadap kejaksaan Indonesia, Kristiana menemukan, bahwa “(B)irokrasi kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi masih konvensional. Hal ini ditandai dengan karakter birokrasi yang melekat yaitu: bersifat birokratis, sentralistik, menganut pertanggungjawaban hirarkis dan berlaku sistem komando. Keempat karakter itu diturunkan dari doktrin bahwa ‘kejaksaan adalah satu’ (een en ondeelbaar)”.
Menurut Kristiana, pertanggungjawaban hirarkis dari bawah ke atas merupakan salah satu sisi lemah sistem kejaksaan. Pertanggungjawaban model tersebut menjadikan (penyalahgunaan) kekuasaan dalam birokrasi tidak terkontrol, sejauh ada saling pengertian pada semua lini. Struktur yang birokratis-sentralistik itu menjadikan kejaksaan rawan terhadap berbagai hal atau praktik negatif.
Sistem hukum tidak kunjung menjadi progresif apabila kita tidak memiliki badan pembuat undang-undang yang progresif pula. Sistem hukum itu bertumpu pada perundang-undangan. Manakala produk legislatif itu sendiri tidak memberi peluang kepada muncul dan berperannya kekuatan-kekuatan progresif dalam hukum, maka sistem hukum itu sendiri hanya menjadi sumber dari ketidakprogresifan itu. Dari studi Yudi Kristiana ditemukan, bahwa birokrasi dan sentralisme yang ketat menghambat munculnya pikiran progresif dan lebih menyuburkan terjadinya praktik yang tercela.
Hukum progresif menghendaki agar cara berhukum kita tidak mengikuti model status quo, melainkan secara aktif mencari dan menemukan avenues baru sehingga manfaat kehadiran hukum dalam masyarakat lebih meningkat. Oleh karena itu hukum progresif sangat bersetuju dengan pikiran-pikiran kreatif dan inovatif dalam hukum untuk menembus kebuntuan dan kemandekan.
Membaca Laporan Bank Dunia berjudul “Menciptakan Peluang Keadilan”[5], kegalauan kita terhadap kehidupan hukum di Indonesia menjadi sedikit terobati. Laporan tersebut didasarkan pada penelitian “Village Justice in Indonesia” dan “Terobosan dalam Penegakan Hukum di Tingkat Lokal”. Dalam laporan tersebut ditemukan orang-orang yang mandiri, baik di kejaksaan maupun pengadilan, yang atas inisiatif dan risiko sendiri menciptakan peluang keadilan di tingkat lokal. Dikatakan sebagai menciptakan peluang, karena mereka tidak bekerja menurut “teks”, melainkan secara kreatif membuka peluang untuk “bringing justice to the people”. Orang-orang seperti itu sudah bekerja “beyond the call of duty” dan tidak hanya bekerja menurut permintaan “kantor”. Berikut ini adalah beberapa contoh tentang pekerjaan orang-orang seperti itu sebagaimana ditemukan dalam studi Bank Dunia tersebut.
Indro Djoko Pramono, seorang jaksa di Cilacap, berhasil menyelesaikan kasus korupsi yang ditanganinya sejak dari penyusunan berita acara hingga mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi sampai mengeksekusi, hanya dalam waktu empat setengah bulan, sedangkan rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk kasus yang sama adalah dua tahun.
Sahlan Said, hakim di Yogyakarta, memfasilitasi demonstrasi yang dilakukan oleh aktivis LSM pemantau keadilan terhadap pengadilan negeri tempat is bertugas, untuk mencegah terjadinya kesalahan penanganan perkara dalam sebuah kasus korupsi yang cukup besar.
Hakim Gunawan Gusmo, berhasil memediasi 14 perkara perdata selama tahun 2003, sedang upaya untuk mendamaikan para pihak di luar proses hukum formal, yang disyaratkan oleh hukum acara perdata selama ini hanyalah lip service belaka.
Irfanuddin, seorang hakim pengadilan negeri di Lampung, dalam kondisi di bawah tekanan, intimidasi dan ancaman, mampu menghukum seorang pejabat lokal yang melakukan tidak pidana korupsi. Putusan hakim Irfanuddin merupakan terobosan, karena berisi beberapa klausula yang mengantisipasi persoalan berkaitan dengan eksekusi putusan tersebut, yaitu untuk setiap 25 juta dari denda dan dana korupsi yang tidak dikembalikan terpidana, diganti dengan penjatuhan hukuman penjara selama satu tahun. Berdasarkan ancaman sanksi tersebut maka denda dan danapun dibayar oleh terhukum.
Jaksa Muhammad Yamin dan sejawatnya yang lebih yunior, Muhammad Yusuf, memperketat kelulusan bagi seorang calon jaksa yang mengikuti pendidikan pelatihan calon jaksa pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung. Akibatnya dalam beberapa tahun, saat mereka bertugas di sana, tidak semua calon jaksa yang mengikuti pendidikan otomatis lulus sebagai jaksa. Pada masa sebelumnya, kelulusan para jaksa dijadikan komodifikasi.
Sri Suari, Kepala Sektor Kepolisian Sektor Khusus Bandara Soekarno-Hatta, mengambil langkah-langkah untuk mencegah pemerasan terhadap tenaga kerja yang baru datang dari luar negeri. Diproyeksikan pada penanganan kedatangan tenaga kerja luar negeri yang semrawut, langkah tersebut memberikan cahaya harapan.
Sewaktu menjabat Wakil Jaksa Tinggi di Sumatera Barat, jaksa Soehandojo secara bersungguh-sungguh memimpin investigasi dan penyusunan dakwaan korupsi terhadap sebagian besar anggota DPRD Sumatera barat. Apa yang berhasil dilakukan di Sumatera Barat akhirnya menjadi model penanganan kasus korupsi serupa di daerah-daerah lain.
Di samping prestasi yang dilaporkan oleh Bank Dunia tersebut, saya teringat kepada apa yang pernah dilakukan oleh hakim Bismar Siregar pada tahun 70-an, saat memimpin salah satu pengadilan negeri di wilayah Jakarta. Pada waktu itu hakim Bismar Siregar mencantumkan pengumuman yang ditempel di pengadilan negeri, yang meminta agar mereka, yang berperkara di pengadilan negeri itu, mendepositokan uang sebesar 25 ribu rupiah. Dalam pengumuman tersebut dijelaskan, bahwa uang tersebut akan digunakan untuk biaya rutin sehari-hari, seperti pembelian kertas, karbon dan doorsmeer mobil dinas dan lain-lain. Pada bagian akhir pengumuman tersebut dicantumkan, bahwa sejak hari itu, tidak ada alasan sidang-sidang dimulai terlambat.
Para aktor penegakan hukum tersebut dimasukkan ke dalam golongan pelaku hukum progresif berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut. Pertama, mereka tidak dibelenggu oleh keadaan status quo, baik itu berupa peraturan maupun kebiasaan. Dengan latar belakang peraturan dan tradisi yang sama, mereka telah mematahkan itu semua dengan melakukan terobosan-terobosan tertentu. Mereka secara konkrit dan atas inisiatif sendiri, telah menaikkan tampilan (performance) pekerjaannya dengan standar “beyond the call of duty”. Kita mendapat potret tentang bagaimana suatu tugas hukum itu dapat dilaksanakan dengan cara yang bermacam-macam. Ia dapat dilaksanakan dengan cara biasa menurut peraturan dan secara luar biasa.
Kedua, mereka telah membuktikan dan mempraktikkan tesis hukum progresif, bahwa hukum itu tidak hanya peraturan tetapi juga perilaku, atau dalam versi Holmesian Dictum yang terkenal itu berbunyi, “The life of the law has not been logic; it has been experience”[6] (Holmes 1963). Tentang hal tersebut, pada waktu menulis buku Common Law, Holmes mengatakan sebagai berikut: “To accomplish the task, other tools are needed besides logic. it is something to show that the’ consistency of a system requires a particular result, but it is not all. The life of the: law has not been logic; it has been experience. The felt necessities of the time, the prevalent moral and political theories, institutions of public policy, avowed or unconscious, even the prejudices which judges share with their fellow-men, have had a good deal more to do than syllogism in determining the rules by which men should be governed. The law embodies the story of a nation’s development through many centuries, and it can not be dealt with as if it contained only axioms and corollaries of a book of mathematics.”
Ketiga, mereka juga telah mewujudkan tesis lain dalam hukum progresif, bahwa orang dapat melakukan pembacaan terhadap teks-teks hukum tidak dengan mengeja pasal-pasalnya, melainkan secara bermakna atau mendalami maknanya. Diktum Holmes di atas memperkaya arti menjalankan hukum secara bermakna itu. Hukum ternyata tak dapat diterima dan difahami sebagai sejumlah aksioma atau kitab matematika, melainkan sarat dengan berbagai kekayaan tradisi dan pemikiran. Dengan perbuatan dan langkahnya sebagai perburuan makna itu, mereka mencoba menggali lebih dalam teks-teks hukum sampai ke akar maknanya. Mereka melakukan perburuan progresif seraya menguji seberapa jauh jangkauan peraturan. Terkadang pengujian itu dilakukan secara cukup ekstrem, seperti dilakukan oleh hakim Bismar Siregar, pada waktu menaikkan sendiri batas maksimum denda sebagaimana tercantum dalam peraturan. Protes yang ditujukan terhadap putusannya itu dijawabnya dengan mengatakan, “Di dalam ruang sidang ini sayalah undang-undang itu”.
Apa yang dilakukan oleh sejumlah aktor hukum progresif itu sesungguhnya menjawab tantangan yang sekarang sering dilontarkan orang, bahwa kita berada dalam situasi luar biasa dan karena itu perlu menjawabnya dengan perilaku yang luar biasa pula. Jumlah mereka memang tidak banyak, oleh karena rupanya tidak mudah untuk bertindak secara luar biasa itu. Tidak hanya dibutuhkan pemahaman, melainkan juga keberanian (dare) untuk mewujudkannya. Hukum progresif memfasilitasi perbuatan luar biasa tersebut. Oleh karena itu ia tak dapat menerima langkah dan putusan yang justru bersifat anti-progresif (counter progressive).
Hukum progresif menghendaki agar mereka yang berani berpikir dan bertindak “beyond the call of duty” itu justru tidak dibuang dan dikucilkan. Keadaan yang menyedihkan itu sempat muncul di sana-sini, seperti yang terjadi pada hakim Sahlan Said dan jaksa Yudi Kristiana. Sahlan Said harus berenang di laut yang tidak bersahabat dengan cara dan etos kerjanya yang progresif itu. Dalam Laporan Bank Dunia dikatakan, bahwa menjaga integritas dan motivasi kerja di tengah lingkungan yang tidak kondusif sangatlah sulit. Jangankan dihargai, seorang reformis yang vokal sering dicap oleh sejawatnya sebagai tidak memiliki kesetiakawanan, atau Sahlan Said sendiri. mengajukan pengunduran diri sebagai hakim setelah dipromosikan sebagai hakim pengadilan tinggi di Sulawesi Tenggara.
Nasib serupa juga menimpa jaksa Yudi Kristiana yang di tengah kesibukannya menuntaskan sebuah perkara korupsi di Jawa Tengah, dimutasikan ke kecamatan Pagimana di Luwuk, Sulawesi. Agak berbeda dengan hakim Said Sahlan, Yudi menerima mutasi tersebut dan kembali membongkar beberapa korupsi di Pagimana, kendatipun nilainya kecil, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Yudi Kristiana sekarang (April 2007) telah menyelesaikan studi doktornya pada Universitas Diponegoro dan bergelar doktor dalam ilmu hukum.
Selanjutnya, para aktor penegakan hukum yang berhasil ditemukan dalam studi Bank Dunia, memperkuat tesis hukum progresif tentang peran dan faktor modalitas dalam penegakan hukum. Hukum bukan karya mesin, melainkan manusia yang penuh dengan nuansa pilihan dan modalitas, seperti kepedulian, empati dan keberanian. Terobos-menerobos menempati kedudukan penting dalam arsenal hukum progresif. Terobosan ini tidak diartikan sebagai perbuatan anarkis, mengatakan, bahwa kita sedang berevolusi, hukum banyak dianggap sebagai penghalang dan oleh karena itu harus dipatahkan. Langkah pertama (1962) yang sangat kasatmata adalah melarang penggunaan gelar “meester in de rechten” (mr) dan digantikan oleh “sarjana hukum”. Waktu perjalanan politik kekuasaan Sukarno sudah sampai kepada ide “Nasakom” (nasional, agama dan komunis), maka majelis hakimpun harus mencerminkan secara fisik keanggotaan ketiga golongan tersebut. Hukum waktu itu mensahkan campur tangan presiden dalam pengadilan. Dalam nomenklatur Nonet dan Selznick, maka hukum yang otonom hampir tidak ada dan Indonesia mundur kembali ke tipe hukum represif [7].
Dijelaskan dari teori Nonet dan Selznick, maka yang ada pada waktu itu adalah suasana “widespread disorganization or unrest” dan dalam situasi sosial yang demikian itu, ” …. the primacy of order is reasserted and overrides other commitments and sensibilities. Even a highly liberal-minded administrator may have to fall back on repressive force if there is no other way of maintaining public order.”
Pemerintahan atau kekuasaan Suharto, menyusul robohnya kekuasaan Sukarno, belum dapat melepaskan sama sekali dari “falling back on repressive force”, sekalipun tidak dilakukan dengan terang-terangan seperti sebelumnya. Awal kekuasaan Suharto dimulai dengan pidato Suharto (1967) yang mengritik keras pemerintahan Sukarno yang dianggap tidak demokratis. Tetapi dalam perjalanannya, pemerintahan Suharto sendiri juga menjadi makin otoriter dan represif yang akhirnya bernasib hampir sama dengan “drama” robohnya kekuasaan Sukarno. Sekalipun pada masa pemerintahannya undang-undang yang membolehkan presiden campur tangan dalam pengadilan dicabut, tetapi itu tidak menutupi kenyataan, bahwa pengadilan tunduk di bawah kekuasaan politik pemerintah atau suatu pseudo independensi pengadilan.
Era politik pasca-Suharto yang disebut sebagai era reformasi adalah suatu masa transisi, yaitu peralihan dari suatu kekuasaan politik yang tertutup-sentralistis-otoriter menjadi terbuka-transparan-akuntabel. Seperti umumnya sebuah tatanan (order) transisi, maka suasana memang kacau (chaotic): yang lama sudah ambruk dan yang baru belum terbentuk. Meminjam istilah Boaventura de Sousa Santos, kita berada dalam suatu “paradigmatic transition”[8]. Diakui oleh Santos, bahwa peralihan paradigmatis bukan sesuatu yang mudah; ia memakan waktu lama, beberapa dekade, bahkan berabad-abad, seperti peralihan dari feodalisme ke kapitalisme. Barang tentu, magnituda transisi paradigmatis di Indonesia tidak seperti peralihan dari kedua sistem produksi tersebut, tetapi bagaimanapun ia membutuhkan waktu cukup lama. Pengalaman terakhir di negeri kita menunjukkan, bahwa perjalanan menuju suatu tatanan yang baru tidak mudah, karena unsur-unsur dari kekuasaan lama tak dapat lama sekali dihilangkan. Misalnya, seorang pengamat sosial-politik, HS Dillon, seraya mengritik Presiden SBY, yang notabene telah dipilih langsung oleh rakyat, mengatakan, “Mengapa political-will Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat tidak terimplementasi? Ternyata koalisi, membagi-bagi kekuasaan, menyenangkan semua vested-interests yang menghalangi terjadinya perubahan mendasar… Alhasil, orang yang seharusnya dituntut karena pernah menyengsarakan rakyat justru menduduki jabatan terhormat…” [9].
Bagaimanapun, peluang hukum progresif lebih besar dalam era reformasi ini, daripada apabila ia harus bekerja dalam era politik sebelumnya. Keterbukaan dan akuntabilitas menjadi lahan politik yang penting bagi hukum progresif. Semakin meluasnya keberanian untuk menggugat kekuasaan publik memberi dorongan kepada hukum progresif, yang lebih banyak bertumpu pada otentisitas daripada formalitas. Berdasarkan sekalian hal yang diuraikan di atas, hukum progresif sangat berkepentingan agar iklim politik yang demikian itu tetap terjaga dan tidak malah menciut.
Profesionalisme dan keprofesionalan menjadi unsur kekuatan yang penting pula dalam hukum progresif. Kendati penting, di sini profesionalisme tidak berhenti ide “profesionalisme untuk profesionalisme”, melainkan senantiasa mengajukan pertanyaan lebih jauh (ultimate question), “profesionalisme untuk apa?”. Kritik Gerry Spence terhadap keprofesionalan para lawyers Amerika Serikat menggugah kita untuk menukik lebih dalam kepada masalah keprofesionalan ini[10].
Keprofesionalan para lawyers, menurut Spence, ternyata menjadi kurang berarti, bahkan mengganggu, manakala tidak diarahkan kepada tujuan kemanusiaan yang lebih tinggi. Kritik terhadap mereka itu ditujukan kepada ketidakmampuan (incompetence) untuk memberikan pelayanan kepada publik. Masyarakat datang ke kantor-kantor advokat, karena mempunyai persoalan dengan keadilan. Mereka adalah orang-orang yang sedang susah dan menderita dan karena itu mereka berfikir untuk pergi ke advokat meminta bantuan agar keluar dari kesusahannya itu. Tetapi, para lawyers berfikir lain, tidak seperti diharapkan oleh masyarakat. Mereka lebih melihat publiknya sebagai aset untuk mendapatkan keuntungan materiel, bukan sebagai orang susah yang memerlukan pertolongan, “Most lawyers, … are incompetent … But most lawyers don’t recognize their incompetence. That’s because their incompetence begins not as lawyers, but as human beings”, demikian Spence. Sudah sejak mereka menginjakkan kaki memasuki sekolah-sekolah hukum, rasa kemanusiaan mereka dimatikan. Mereka tidak didorong (encouraged) “to become candid, caring, and compassionate human beings”. Dengan nada getir, Spence mengatakan, bahwa lebih baik orang pergi ke juru rawat untuk minta pertolongan. “When the student graduates from law school and passes the bar, he is equipped to do substantially nothing in the nation’s quest for justice. He is more suited to labor in some dark hole in a mammoth corporate law firm and bill out his services at hundreds of dollars an hour than he is to enter a plea of not guilty on behalf of a citizen charged with a crime and to thereafter competently defend him. I would rather to hire a good nurse to help me than a young lawyer fresh out of the moldy academic covers. The nurse went to nursing school not only to make a living but to do so by helping people… to listen to people, to hear their complaints, to care about them, to treat them … The young lawyers … can do little except what they were taught in law school - to read cases and to speak in legalese that no one can understand, nor cares to.”
Hukum progresif akan selalu gelisah mengamati kemampuan hukum untuk mensejahterakan manusia dan ini menjadi persoalan besar. Oleh karena itu semangat hukum progresif adalah semangat yang tidak henti-hentinya mengamati grafik kemampuan tersebut. Di dalamnya juga tersimpan usaha untuk melakukan pencarian terhadap apa yang dapat dikerjakan untuk memecahkan persoalan besar tersebut. Hampir tidak ada yang final dalam hukum, oleh karena suatu keberhasilan pasti juga menyimpan bibit-bibit kegagalan, bagaimanapun kecilnya. Berhubungan dengan itu, maka hukum progresif juga dapat dipersepsikan sebagai suatu pikiran yang secara terus-menerus ingin memperbaiki atau menyempurnakan dirinya.
Dalam kaitan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka semangat pembebasan merupakan bagian integral dalam hukum progresif. Ia tidak ingin terjebak ke dalam cara berhukum yang statis apalagi stagnan. Tanpa kemauan untuk melakukan pembebasan sebagai kekuatan yang dimilikinya, hukum progresif akan kehilangan jati-dirinya.
Pada saat mengamati pemberantasan korupsi yang kurang berhasil, hukum progresif mencurigai konsep liberal yang sangat dijunjung tinggi dalam sistem peradilan kita, sebagai penyebabnya. Penelitian terhadap asal-usul sosial dan kultural dari hukum modern menunjukkan, bahwa hukum modern dengan sekalian kelengkapan konsep, doktrin, asas serta teori, didominasi oleh pikiran liberal[11]. Individu dan kemerdekaan atau kebebasan individu, dan bukan yang lain, merupakan sumbu berputarnya hukum.
Marc Galanter, telah melakukan penelitian yang bagus tentang sistem peradilan yang liberal itu dan bagaimana implikasinya terhadap keadilan dalam masyarakat[12]. Kredo dari hukum liberal berisi penolakan terhadap diskriminasi. Maka tugas hukum dianggap selesai manakala telah berhasil untuk membuat produk yang tidak diskriminatif. Untuk selanjutnya segala sesuatunya kemudian diserahkan kepada pasar sosial. Tidak ada kekuatan atau kekuasaan lain yang boleh mengintervensi, seperti tercermin dalam slogan “laissez fairer, laissez passer”.
Persoalan segera muncul pada waktu hukum yang non-diskriminatif tersebut diterapkan dalam masyarakat. Masyarakat tidak terdiri dari individu dan golongan yang setara (equal), melainkan sarat dengan ketidaksetaraan (unequalities), baik sosial, ekonomi, maupun politik.
Dalam suasana asimetri antara hukum dan masyarakat tersebut, maka terbuka peluang besar bagi mereka yang tergolong “orang berpunya” (the haves) untuk selalu unggul karena memiliki sumber daya (resource) lebih, sehingga. muncul ungkapan “the poor pay more” atau menurut Galanter “the haves come out ahead”. Dalam tulisannya itu, Galanter ingin “… to try to put forward some conjectures about the way in which the basic architecture of the legal system as a means of redistributive (that is systematically equalizing) change… It is a society in which actors with different amounts of wealth and power are constantly in competitive or partially cooperative relationships in which they have opposing interests.” Dalam suasana seperti itu, “Resources on the institutional side are insufficient for timely full-dress adjudication in every case, so that parties are permitted or even encouraged to forego bringing cases and to “settle” cases, — that is, to bargain to a mutually acceptable outcome.”
Keadaan asimetri yang tetap dipertahankan itulah yang kemudian menjadi sasaran dari suatu gerakan yang dikenal sebagai “critical legal studies movement”, yang muncul di Amerika Serikat pada tahun 70-an. Pada waktu mengantar suatu buku bunga-rampai dalam studi hukum kritis tersebut, Alan C. Hutchinson (1989) menulis, “The vast bulk of this mainstream scholarship is devoted to describing and justifying the role of the judiciary within a liberal democracy: how do extant legal materials and practices and constrains judges so as to satisfy the democratic demand for judicial objectivity and popular demand for social justice?” Kendatipun terdapat beda-beda pikiran dalam gerakan tersebut, namun menurut Hutchinson semua bersepakat “menyerang” bangunan hukum liberal itu. “But the members unite in their common opposition to the intellectual and political dominance of the liberal establishment. Although liberalism once contributed to the improvement of the social lot, it has now outlived its usefulness and has become dangerous political anachronism. Offended by the hierarchical structures of domination that characterized modern society, CLS people work toward a world that is more just and egalitarian. They do not wish to embroider still further the patchwork quilt of liberal politics, but strive to cast it aside and reveal the vested interests that thrive under its snug cover…”
Pada waktu dihadapkan kepada ketimpangan antara hukum dan keadaan sosial, maka hukum progresif akan menyarankan pengambilan langkah-langkah yang lebih pasti (affirmative) untuk mengatasi ketimpangan tersebut. Maka apa yang tidak dapat dibenarkan atau disahkan oleh faham liberal, yang menolak campur tangan, menjadi sesuatu yang dibenarkan. Di sini, misalnya, kita terpikir pada langkah atau tindakan yang disebut diskriminasi positif[13]. Dalam pengantar buku J.B. Sloot yang berjudul “Positieve discriminatie”, Schuyt mengatakan, bahwa melihat ketidaksamaan yang menyolok dalam masyarakat telah memicu “gelijkberechtiging”, yaitu keinginan untuk memperoleh kesamaan. Seraya mengritik tesis liberal mengenai kesamaan formal di hadapan hukum, Schuyt mengatakan, “Gelijkheid voor de wet - zo blijkt herhaardelijk - is hiertoe niet een voldoende, zij het wel de noodzakelijke voorwaarde.” Tabrakan antara asas kesamaan formal dengan perwujudan nyata dari kesamaan dalam kesempatan, (feitelijke gelijkheid van kansen) membutuhkan jalan keluar. Jalan keluar tersebut adalah pemihakan kepada mereka yang dirugikan (bevoordeling van de benadeelden). Dalam masyarakat yang penuh dengan ketidaksamaan dalam banyak aspek kehidupan, menyatakan secara formal tentang keharusan adanya kesamaan hukum antara para anggota masyarakat, adalah sama saja dengan mempertahankan atau mengabadikan ketidaksamaan yang nyata ada dalam masyarakat, oleh hukum. Hukum progresif berkepentingan untuk mengakhiri atau menekan serendah-rendahnya ketidaksamaan atau ketimpangan sosial tersebut.
Dalam arsenal hukum progresif, sarana yang dapat digunakan lebih beragam daripada yang digunakan dalam hukum tradisional. Faham tradisional hanya mendasarkan pada peraturan (rules), sedang hukum progresif juga menggunakan atau mendasarkan pada sarana bukan peraturan formal.
Kita mengetahui, bahwa di dunia ini terdapat kosmologi lain kecuali kosmologi individualistis yang menjadi basis dari hukum liberal. la merupakan modal yang sangat mendasar yang membekali cara bangsa-bangsa berhukum. Kenyataan tersebut lebih mendorong hukum progresif untuk melakukan pemikiran alternatif tentang bagaimana sistem peradilan itu dibangun, yang pada akhirnya berujung pada pembebasan dari dominasi sistem liberal. Merupakan hak setiap bangsa untuk memelihara kosmologi masing-masing, termasuk institusi publik dan cara berhukum yang didasarkan pada kosmologi tersebut.
Pendidikan niscaya merupakan pilar penting yang diperlukan untuk ikut menyangga hukum progresif dan oleh karena itu hukum progresif berkepentingan untuk memerhatikan pendidikan hukum. Di sini ingin dikatakan, bahwa perilaku hukum yang progresif untuk sebagan penting merupakan fungsi dari pendidikan dan pembelajaran yang diterima oleh para profesional hukum waktu mereka duduk di bangku kuliah. Perkuliahan yang hanya menginformasikan bahan hukum positif dan bagaimana menjalankannya, tidak membantu menciptakan sikap dan perilaku progresif dalam berhukum. Mereka tidak didorong untuk membaca teks-teks hukum secara bermakna dan kemudian berani bertindak sesuai dengan pembacaannya itu.
Di sisi lain, pembelajaran hukum secara progresif mendorong para mahasiswa untuk berani mencoba avenues lain dalam menjalankan hukum. Para dosen hukum Indonesia tidak akan kekurangan bahan untuk mencontohkan perilaku progresif, seperti diperlihatkan oleh Adi Andojo Soetjipto, Bismar Siregar, Baharudin Lopa dan hakim serta jaksa yang dilaporkan oleh Bank Dunia tersebut di muka.
Kurikulum hukum progresif adalah yang membuat mahasiswa tidak berpandangan sempit dalam pengolahan hukum dan senantiasa mendorong pada mahasiswa untuk menemukan cakrawala yang lebih luas. Ini yang ingin disebut sebagai pendidikan hukum yang bermakna. Untuk itu maka sebaiknya fakultas-fakultas hukum menjadi institut pendidikan yang berhati nurani (law schools with conscience). Itu semua akan berhasil dilaksanakan, apabila para staf pengajar juga berpikiran progresif dan menularkannya kepada para. mahasiswanya.
Di sini saya hanya ingin merujuk kembali kepada kritik yang dilakukan oleh Gerry Spence terhadap pendidikan hukum di Amerika Serikat yang telah kehilangan semangatnya untuk mendidik para calon profesional hukum untuk memiliki kepedulian kemanusiaan di atas keprofesionalan. Para lawyers harus menjadi manusia terlebih dahulu (evolved person) sebelum menjadi lawyer.
Para profesor juga menerima giliran untuk dikecam oleh Spence, seraya mengatakan, “… they are taught by professors who have spent the major portion of their lives injecting formaldehyde into their student’s brains and, in the tombs of endless dusty books, burying whatever creativity, whatever life, ….”. Sudah sejak para mahasiswa menginjakkan kakinya di law schools, rasa-perasaan, kemanusiaannya dirampas dan ditumpulkan. “(B) the nine they have-entered law school, have been stripped of most of what makes human being, their openness, their compassion, their ability to feel, and who, after they got out of law school, and more equipped to cause trouble than to solve problems.” Menurut pengamatan Spence, di Amerika Serikat, sangat jarang menemukan lawyer yang bersemangat menolong kesusahan nasabahnya. “Never in the history of America have there been so many lawyers, and so many people who need a lawyer but can’t find a competent lawyer who will care about them and fight far their justice.”
Pengembangan gagasan hukum progresif tidak akan berjalan dengan tanpa sejak di bangku pendidikan, para mahasiswa sudah diperkenalkan kepada kenyataan, bahwa hukum itu mengandung fungsi penyelesaian problem sosial dan penanganan problem kemanusiaan yang kuat. Pendidikan hukum yang hanya sibuk mengajarkan dan berurusan dengan peraturan dan prosedur berhukum dan tidak mengakarkannya sampai ke basis kemanusiaan atau kenuranian, hanya akan menghambat pelaksanaan hukum progresif. Seperti telah disampaikan di muka, hukum progresif tidak hanya mengejar penegakan hukum yang profesional, tetap di atas itu, cara berhukum yang penuh muatan kenuranian.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, pendidikan hukum progresif juga erat berkaitan dengan pandangan, bahwa hukum itu tidak dapat diajarkan sebagai skema-skema atau rumusan-rumusan kategoris dan abstrak. Di sini pendidikan hukum progresif akan mendarat kepada ranah pembelajaran hukum yang mengajarkan “darah dan daging hukum” pula. Pembelajaran hukum hanya sebagai skema-skema abstrak hanya akan melahirkan ahli-ahli hukum, yang dalam pekerjaannya nanti, semata-mata melakukan pengkutak-katikan skema hukum tersebut, sehingga akan terjadilah, bahwa “the life of the law has been logic”.
Dalam optik ekstrem, maka pendidikan hukum progresif melihat, bahwa mengajarkan hukum sebagai skema dan logika skema, seperti pada Begriffsjurisprudenz, sesungguhnya hanya “mengajarkan bangkai-bangkai”, bukan sesuatu yang hidup. Skema atau skeleton yang berupa perundang-undangan itu telah mereduksi sesuatu yang utuh menjadi kepingan pasal-pasal undang-undang. Pendidikan hukum perlu mengutuhkan kembali skeleton hukum itu dengan “darah dan dagingnya”, sehingga menjadi suatu institut yang utuh.
Para mahasiswa perlu diajak menyadari, bahwa kejayaan era ilmu hukum sebagai skema, seperti diwakili oleh “reine Rechtslehre” Hans Kelsen, telah lewat. Ini bukan berarti, bahwa aspek analitis dalam berilmu hukum sama sekali tidak diperlukan, melainkan, bahwa “era Kelsen” itu sudah disusul oleh suatu era baru, di mana hukum diajarkan secara lebih utuh. Dengan metode kajian-kajian hukum yang analitis perlu diperkaya dengan optik dan pendekatan baru. Terkadang dikatakan, bahwa kita telah memasuki era sosiologis atau “the age of sociology”, seperti dikatakan oleh Donald Black[14]. “A new sociological jurisprudence would acknowledge that a conception of law as an affair of rules alone is incomplete and obsolete.”
Akhir-akhir ini, sebuah buku tentang ilmu hukum (jurisprudence), yang diterbitkan tahun 2001 dan dicetak ulang pada tahun 2006, menggunakan judul “A General Jurisprudence of Law and Society”[15]. Penggunaan judul tersebut sangat menarik, oleh karena merespons pendapat Donald Black pada tahun 1989 tersebut di atas. Dalam kaitan dengan hukum progresif, maka ilmu hukum jangan lagi hanya mengajarkan “law” atau skeleton, melainkan juga “the social’ atau darah dan daging hukum.
Pembelajaran hukum sebagai suatu institut untuk menyelesaikan problem sosial memang sangat berbeda daripada pembelajaran yang hanya menekankan pada penyelesaian problem hukum. Dalam penyelesaian problem hukum, kita akan lebih berurusan dengan “matematika hukum” atau “the logic of law” atau “het hanteren van logische figuren” (menangani hal-hal secara logis). Dengan demikian hukum menjadi kurang berfungsi untuk turut menyelesaikan problem sosial[16]. Kebiasaan berpikir hukum tradisional, yang bertolak dari “necessary connections”, oleh kedua penulis ditunjuk sebagai sebab sehingga hukum kurang mampu menyelesaikan problem sosial yang kompleks itu. Dalam penyelesaian problem sosial, maka penglihatan kita akan melampaui perundang-undangan dan bertanya “bagaimana hukum dapat digunakan untuk memecahkan problem sosial?” Dengan sedikit variasi, Paul Scholten mengatakan, bahwa “rechtsvinding” (penemuan hukum) itu beda dari “wetstoepassing” (penerapan undang-undang)[17]. Kemungkinan besar Scholten akan bersetuju dengan Nonet dan Selznick, bahwa apabila orang hanya melakukan penerapan undang-undang, maka hukum akan kurang mampu memecahkan problem sosial. Untuk itu perlu dilakukan “penemuan hukum”. Scholten mengatakan, bahwa “ketenangan banyak orang, yang menganggap, bahwa penemuan hukum adalah penerapan undang-undang, sudah tidak banyak lagi tersisa”; kepastian penerapan undang-undang di abad ke-sembilanbelas telah lewat” (”van de rustige verzekerdheid van velen in de 19de eeuw, dat rechtsvinding is wetstoepassing, is niet to veel meer overgebleven”).
C. Penutup
Hukum progresif memang muncul dari kerisauan kita sebagai bangsa terhadap kurangnya keberhasilan cara kita berhukum untuk turut memecahkan problem-problem besar bangsa dan negara kita. Cara-cara berhukum yang lama, yang hanya mengandalkan penerapan undang-undang, sudah waktunya untuk ditinjau kembali. Selama ini, dengan cara berhukum yang demikian itu, hukum kurang mampu untuk memecahkan problem sosial. Penegakan hukum memang sudah dilakukan, tetapi belum menyelesaikan problem sosial.
Suatu cara berhukum yang baru perlu dilakukan untuk menembus kemacetan. Sejak hukum progresif menyimpan banyak alternatif terhadap cara berhukum yang lama, maka sekalian arsenal kesenjataan yang ada pada hukum progresif perlu dikerahkan, mulai dari pengkonsepan kembali hukum, paradigma, penegakan hukum, pembuatan hukum, pendidikan dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Bank Dunia, Menciptakan Peluang Keadilan, Laporan atas Studi “Village Justice in Indonesia” dan “Terobosan dalam Penegakan Hukum dan Aspirasi Reformasi Hukum di Tingkat Lokal”, Jakarta: Februari 2005.
Black, Donald, Sociological Justice, N.Y.: Oxford University Press, 1989.
Bergh, G.C.J.J. van den, Geleerd recht, een geschiedenis van den Europese rechtswetehschap in vogelvlucht, Kluwer-Deventer, 1980.
Berman, Harold J., Law and Revolution, the Formation of the Western Legal Tradition, 1983.
Dillon, HS, “Kabinet Indonesia Maju”, artikel dalam Kompas, 12 Januari 2007, hlm. 6.
Galanter, Marc, “Why the ‘Haves’ Come Out Ahead Speculations on the Limits of Legal Change”, dalam Law and Society, Fall, 1974: 95-151.
Hutchinson, Allan C. (ed.), Critical legal Studies, Totowa, New Jersey: Rowman & Littlefield, 1989.
Yudi Kristiana, Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan dengan pendekatan Hukum Progresif (Studi Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi), disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum, Undi, 2007.
Lev, Daniel S., Islamic Courts in Indonesia, a Study in the Political Bases of Legal Institutions, Berkeley, Cal.: University of California Press, 1972.
Nonet, Philippe, & Selznick, Philip, Law and Society in Transition, Toward Responsive Law, N.Y.: Harper Colophon Books, 1973.
Satjipto Rahardjo, “Siapa Bilang Jaksa Tak Butuh Keberanian?”, artikel dalam Kompas, 4 Agustus, 2004.
———————–, “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, dalam Jurnal Hukum Progresif, Vol. 1, No. 1, April 2005, hlm. 1-24.
Sousa, Boaventura de Sousa, Toward a New Common Sense: Law, Science and Politics in the Paradigmatic Transition, N.Y.: Routledge, 1995.
Scholten, Paul, “Algemeen Deel” dari Air. C. Asser’s Handleiding tot de beoejening van het Nederlandsch Burgerlijk Recht, Zwolle : W.E.J.Tjeenk Willink 1954.
Sloot, B.P., Positieve Discriminatie, Maatschappelijke Ongelijkheed en rechtsontwikkeling in de Verenigde Staten en in Nederland, Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, 1986.
Spence, Gerry, The Death of Justice, N.Y.: St. Martin’s Press, 1997.
Tamanaha, Brian Z., A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford: University Press, 2006.
Unger, Roberto Mangabeira, Law in Modern Society, N.Y.: The Free Press, 1976.
[1] Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, dalam Jurnal Hukum Progresif, Vol. 1, No. 1, April 2005, hlm. 1-24.
[2] Satjipto Rahardjo, “Siapa Bilang Jaksa Tak Butuh Keberanian?”, artikel dalam Kompas, 4 Agustus, 2004.
[3] Bank Dunia, Menciptakan Peluang Keadilan, Laporan atas studi “Village Justice in Indonesia” dan “Terobosan dalam Penegakan Hukum dan Aspirasi Reformasi Hukum di Tingkat Lokal“, Jakarta : Februari 2005.
[4] Yudi Kristiana, Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan dengan pendekatan Hukum Progresif (Studi Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi), disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 2007.
[7] Philippe Nonet, & Selznick, Philip, Law and Society in Transition, Toward Responsive Law, N.Y. : Harper Colophon Books, 1973.
[8] Sousa, Boaventura de Sousa, Toward a New Common Sense: Law, Science and Politics in the Paradigmatic Transition, N.Y. : Routledge, 1995.
[11] Roberto Mangabeira Unger, Law in Modern Society, N.Y.: The Free Press, 1976: Berman, Harold J., Law and Revolution, The Formation of the Western Legal Tradition, 1983.
[12] Marc Galanter, “Why the ‘Haves’ Come Out Ahead Speculations on the Limits of Legal Change”, dalam Law and Society, Fall 1974 : 95-151.
[13] Sloot, B.P., Positieve Discriminatie, Maatschappelijke Ongelijkheed en Rechtsontwikkeling in de Verenigde Staten en in Nederland, Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, 1986.
[17] Paul Scholten, “Algemeen Deel” dari Air. C. Asser’s Handleiding tot de beoejening van het Nederlandsch Burgerlijk Recht, Zwolle : W.E.J.Tjeenk Willink 1954.
0 komentar:
Posting Komentar