Sabtu, 11 Juni 2011

MENGAPA TERJADI “CARUT MARUT” PENEGAKAN HUKUM ?


MENGAPA TERJADI  “CARUT MARUT”  PENEGAKAN HUKUM  ?
Oleh :Turiman Fachturahman Nur
Abtrak
Hukum manusia memang sejatinya tidak akan pernah bisa menuntaskan persoalan yang dihadapi oleh manusia itu sendiri karena ada banyak potensi konflik kepentingan sehingga melahirkan hukum yang multi tafsir. Kekuasaan dan ego manusia itu sendiri yang kemudian menjadikan hukum  buatan manusia menjadi multi tafsir. Dasar-dasar pembuatan hukum jelas harus memasukan unsur keadilan didalamnya, sayangnya keadilan yang mutlak itu hanya milik Allah SWT semata. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa hukum buatan manusia teramat rentan sekali untuk menjauh dari nilai-nilai keadilan. Karena manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk membuat hukum  berpihak kepada kepentingannya sendiri. Produk hukum dan perundang-undangan di Indonesia bisa menjadi contoh bagaimana wajah sesungguhnya hukum buatan manusia. Bisa kita saksikan pula produk-produk hukum tersebut gugur sebelum dipergunakan karena dianulir melalui mahkamah konstitusi. Jika pada tataran proses dan pengesahannya saja produk hukum tersebut mendapat banyak tentangan dari beragam pihak, apalagi pada saat penegakan hukum?. Jelas kita saksikan bahwa mereka yang punya uang dan kekuasaan jauh lebih aman dari jeratan hukum atau setidaknya mendapatkan keringanan hukuman bila dibandingkan mereka-mereka yang tidak memiliki kekuasaan dan uang. Tidak ada namanya persamaan perlakuan dalam penegakan hukum, apalagi bicara keadilan. Hukum ketika mengenai pemegang kekuasaan “tumpul” tetapi ketika mengenai rakyat kecil “tajam,”. Itu fakta yang terjadi dinegeri mengenai penegakan hukum. Hukum kita telah mandul dan jalan ditempat, kalaupun ada yang berjalan bukan dari sisi “penegakan” hukumnya, tetapi karena semakin banyaknya rakyat miskin yang tidak kuat menjaga imannya karena terdesak oleh kebutuhan ekonomi. Ini terjadi karena pemerintah sudah tidak mampu (tidak becus) mengurus rakyatnya. Kalau kejahatan terjadi karena urusan sesuap nasi yang bisa dimakan oleh lambung hari ini , sebenarnya bukan urusan penegakan hukum yang diperlukan tetapi penegakan janji-janji politik terhadap rakyat.\ Hukum manusia yang multi tafsir itu jelas tidak akan membawa manusia-manusia didalamnya kepada ketenangan hati apalagi keberkahan, karena akan selalu ada intimidasi dari “kekuasaan” dan “uang” terhadap hukum itu sendiri. Apalagi diperparah oleh manusia-manusia yang seharusnya menegakan hukum malah bermain-main dengan aturan hukum itu, karena sudah dibayang-bayangi ketakutan tingginya tembok kekuasaan yang menghadang serta tidak tahan akan godaan duniawi. Bila itu yang terjadi maka tinggal tunggu waktu kebinasaannya. Nurani manusialah yang sebenarnya bisa mensiasati agar hukum buatan manusia tersebut tidak jauh melenceng dalam penegakannya. Tetapi tetap saja hukum Allah jauh lebih adil daripada hukum manusia, karena tidak ada unsur kepentingan yang terlibat didalamnya, kecuali untuk mendekatkan manusia kepada-Nya.
A.    Penegakan Hukum Yang melepaskan Nilai Moral
Para praktisi hukum itu memang dari luar tampak sibuk mengoperasikan hukum, tetapi kita tidak tahu persis apa yang menjadi kepentingan mereka atau apa yang ada di belakang kepala mereka. Sekali lagi, inilah tragisnya hukum (modern) sebagai barang teknologi yang sangat ditentukan oleh orang yang menggunakannya. Misalnya, orang dapat dengan sengaja memperpanjang suatu proses hukum untuk kepentingannya, padahal kalau mau, proses itu dapat lebih cepat. Tetapi di sini kita tidak dapat  mengatakan bahwa mereka yang sengaja memperlambat suatu proses itu sebagai melakukan pelanggaran hukum, sebab peraturan hukum yang ada memang memungkinkan hal itu.
        Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi tameng bagi terciptanya penegakan hukum secara transparan, ternyata dikibuli oleh rekayasa mafia peradilan yang semakin marak. Selain itu, penegak hukum juga banyak menopang rekayasa politik yang bernuansa iluminatif dan imajinatif, karena oknum yang terlibat di dalamnya melakukan dengan jalan eksklusif. Sudah saatnya peradilan hukum di Indonesia melakukan perbaikan dan reformasi secara total. Lembaga peradilan yang diharapkan menjadi pelindung dan benteng utama penegakan hukum, ternyata juga tidak lepas dari skandal suap maupun korupsi. Ketika KPK melakukan penangkapan terhadap salah satu penegak hukum, maka di situ kita bisa memastikan bahwa mafia peradilan di Indonesia sudah terbilang akut dan kronis.
         Adanya rekayasa dalam penegakan hukum itu, semakin mencerminkan potret buram masa depan peradilan di Indonesia. Kita bisa membayangkan bahwa seolah-olah mafia peradilan adalah sebagai cambuk yang dapat mematikan reputasi dan citra penegak hukum itu sendiri. Bagaimana mungkin rakyat akan percaya, jika kredibilitas dan integritas mereka dipertaruhkan oleh iming-iming uang yang hanya bersifat instan dan pragmatis? Apakah rakyat akan dijadikan korban dengan polemik besar yang melanda lembaga peradilan kita, atau seperti apa kelanjutan kisah ini?
Kalau kita becermin pada pengalaman penegakan hukum di Indonesia, ternyata mafia-mafia peradilan yang selama ini didengungkan oleh para peneliti antikorupsi, bukanlah isapan jempol belaka. Terungkapnya isi rekaman di MK semakin meneguhkan, bahwa mafia peradilan masih menjadi ancaman penegakan hukum. Tidak heran bila Prof Abdulkadir Muhammad SH dalam buku Etika Profesi Hukum (1997), mengatakan saat ini profesi hukum cenderung beralih kepada kegiatan bisnis dengan tujuan utama berapa yang harus dibayar, bukan apa yang harus dikerjakan.
Pertanyaannya, bagaimana langkah kita menumpas mafia peradilan agar tidak terus menjadi fobia dan sindrom yang membayang-bayangi dunia hukum kita?
        Dalam berbagai analisis para penstudi hukum menyatakan, bahwa setiap penyelesaian kasus hukum haruslah dilakukan dengan transparan dan tidak memandang siapa yang melakukan. Berawal dari transparansi ini, minimal kita bisa mencegah semakin maraknya mafia peradilan yang merongrong kredibilitas dan integritas penegakan hukum di Indonesia. Adanya praktik-praktik hukum semacam itu seolah memberikan pembenaran pernyataan Adi Andojo Sutjipto, mantan hakim Agung itu yang mengatakan, hakim tidak boleh berjiwa pamong, juga tidak boleh terlibat kasus atau skandal apa pun. Seorang hakim, mau tidak mau dia harus menerapkan hukum yang berlaku. Bukan hakim yang benar kalau dia ada jiwa pedagang (Forum Keadilan, Nomor 27, Januari 1991). Oleh karena itu, penguatan sistem hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance. Jangan harap kita bisa menegakkan hukum, kalau elite di negeri ini masih terbuai oleh rayuan suap yang setiap saat menggelinding dan merasuk dalam denyut nadi pejabat hukum. Sementara, posisi dan peran hukum di Indonesia tengah berada pada titik nadir, karena hukum saat ini lebih dianggap sebagai komoditi daripada lembaga penegak keadilan.
      Moral dan Mental Terlepas dari itu semua, maraknya skandal suap dan korupsi dalam lembaga peradilan kita, tidak bisa lepas dari dua faktor penting yang paling signifikan. Dua faktor ini selalu menjadi persoalan akut yang belum bisa dipecahkan, karena memang muncul dalam jiwa yang terselubung dan sulit ditebak perkembangannya. Inilah yang saya sebut sebagai faktor moral dan mental.
        Pertama, kebobrokan moral yang belum terpecahkan. Moral dalam dimensi kepribadian manusia berpengaruh sangat besar untuk membentuk karakter dan kedewasaan berpikir di setiap dimensi kehidupan. Jika dimensi moral tidak sepenuhnya dijadikan pedoman kehidupan, tidak menutup kemungkinan seseorang bisa saja melakukan suatu tindakan amoral yang bertentangan dengan hukum, bahkan lebih dari pada itu, tindakan yang dilakukan berbenturan dengan ajaran agama.
        Kedua, faktor mental yang rapuh dan ambivalen, akibat para elite penegak hukum tidak memiliki nilai-nilai kesadaran (awareness values) sehingga mereka rela menyalahgunakan wewenang dan amanah dari rakyat. Para elite penegak hukum di negeri ini masih mengalami keguncangan jiwa atau istilah yang sering digunakan Abdul Aziz El-Qussy sebagai sakit mental. Pendek kata, keguncangan jiwa yang melanda lembaga peradilan kita perlu disembuhkan terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan hukum agar kesehatan mental mereka bisa pulih kembali.
Menelisik skandal suap dan korupsi yang menimpa lembaga peradilan secara umum, tidak saja mempengaruhi citra mereka sebagai penegak hukum, tetapi juga berpotensi serius terhadap masa depan pembangunan bangsa ke depan. Tentu saja secara empiris, kita tidak hanya krisis finansial dan ekonomi rakyat yang kian terlunta-lunta, di samping itu, kita sedang mengalami krisis kepercayaan dan kepemimpinan.
       Krisis kepercayaan dapat dipahami sebagai bentuk kegagalan penegak hukum dalam membina kader-kadernya yang memiliki kredibilitas dan integritas. Sebagai bentuk kegagalan, penegak hukum seharusnya memiliki kesadaran dan kedewasaan politik, bahwa dalam menegakkan keadilan yang benar dan sehat harus diimbangi dengan kemampuan membangun kepercayaan kepada publik. Ketika penegak hukum dan pejabat pengadilan lainnya terbentur krisis kepercayaan, secara faktual mereka akan kehilangan nilai jual yang mengakibatkan citra dan reputasinya di pemerintahan, juga akan semakin terbenam.
        Demikian juga dengan krisis kepemimpinan, di mana faktor yang paling dominan dari krisis ini adalah keteladanan para penegak hukum yang semakin suram dan tak terkendali. Lembaga peradilan yang seharusnya memberikan contoh mulia, ternyata di satu sisi, mereka mengalami stagnasi kepemimpinan. Pendek kata, kepemimpinan mereka sebagai penegak hukum tidak bisa dijadikan acuan fundamental untuk membawa perubahan dan kemajuan mendasar bagi masa depan rakyat.
B.“Carut Marut” Penegakan Hukum
             Penegakan hukum yang mengabaikan moralitas dan etika yang berbasiskan nilai-nilai relegiositas adalah sia-sia dan tanpa budi pekerti yang luhur, para ahli hukum hanya akan menjadi monster dari pada malaikat penolong“ (Geery Spence)  Aparat penegak hukum saat ini menjadi sorotan utama masyarakat karena  belum bisa tampil seperti yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu perlu dicari solusi agar harapan masyarakat tersebut bisa segera terwujud.
Ada banyak faktor yang menyebabkan kondisi yang demikian, diantaranya adalah masih kurangnya profesionalisme dan rendahnya mentalitas aparat penegak hukum. Penegakan hukum pada dasarnya merupakan konsekuensi atas pilihan negara hukum yang dianut oleh Indonesia. Penegakan Hukum (law enforcement) mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum melalui prosedur hukum.
Hal terpenting dalam penegakan hukum sesungguhnya adalah pencapaian atas  tujuan hukum yang meliputi: kepastian hukum (rechtszeherheid), kemanfaatan (rechtsmatigheid) dan keadilan (gerichtigheid). Upaya mencapai ketiga tujuan hukum perlu dipahami dan dikembangkan dalam satu kesatuan sistem yang di dalamnya terdapat elemen kelembagaan (legal structure), elemen materi hukum (legal sustance), dan elemen budaya hukum (legal culture) sebagaimana dimaksud oleh Friedmen. Dari pendekatan kesisteman tersebut bisa terlihat bahwa saat ini, permasalahan utama dalam penegakan hukum yang dihadapi adalah  rendahnya profesionalisme dan mentalitas aparat penegak hukum di mata masyarakat, disamping kurang harmonisnya peraturan perundang-undangan, kurangnya fasilitas (sarana dan prasarana) yang mendukung pelaksanaan penegakan hukum, serta kurangnya kesadaran hukum, masyarakat. Peningkatan profesionalisme dan mentalitas aparat penegak hukum merupakan persoalan yang cukup kompeks.
Pembenahan mentalitas ini perlu dilakukan sejak dini, bahkan sebelum memasuki perkuliahan di Fakultas hukum. Jika ditarik lebih ke belakang, persoalan mendasar di bidang hukum adalah memang masalah pendidikan hukum. Penegakan hukum tidak akan bisa berjalan dengan baik apabila insan-insan hukum untuk menegakkan hukum dan keadilan tidak diajari dan dibekali ilmu dengan baik. Sistem pembelajaran yang berlangsung pada lembaga-lembaga pendidikan hukum tidak seharusnya sekedar bersifat transfer pengetahuan (transfer of knowledge) belaka dan berorientasi positivistik. Sistem pembelajaran yang demikian memiliki kecenderungan untuk mencetak tukang (legal mechanics) dan tidak membentuk perilaku calon insan-insan hukum yang memiliki integritas diri yang adil, jujur, dan humanis. Sistem pembelajaran hukum harus mampu mendorong perkembangan kebudayaan dan peradaban pada tingkatan sosial yang berbeda. Secara umum pendidikan pada level individu, membantu mengembangkan potensi dirinya menjadi manusia yang berakhlak mulia, berwatak, cerdas, kreatif, sehat, estetis serta mampu melakukan sosialisasi dan transformasi, dari manusia pemain menjadi manusia pekerja dan dari manusia pekerja menjadi manusia pemikir.
Pembelajaran hukum diharapkan juga melahirkan kemampuan individu untuk  menghargai dan menghormati adanya perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka dan demokratis. Dengan demikian semakin banyak orang yang terdidik baik, maka semakin dapat dijamin adanya toleransi dan kerjasama antar budaya dalam suasana yang demokratis, yang pada gilirannya akan membentuk integrasi budaya nasional dan regional dari sini jelas terlihat peranan pendidikan terhadap perkembangan kebudayaan.
Pembelajaran hukum sebaiknya tidak hanya ditujukan untuk mempersiapkan orang-orang yang memiliki profesionalisme dan kemahiran untuk menerapkan hukum yang ada, serta berguna dalam memelihara ketertiban menurut ketentuan-ketentuan hukum positif yang ada. Tetapi lebih jauh dari itu, pendidikan di fakultas hukum juga harus mampu menciptakan masyarakat yang dikehendaki melalui teknik hukum dan perundang-undangan yang mengarah kepada profesionalisme sekaligus tidak tercerabut dari nilai-nilai budaya dan memiliki integritas moral.
Dengan demikian  pendidikan hukum akan memberikan kontribusi yang lebih baik bagi pembentukan sistem hukum di Indonesia. Seperti halnya pendapat Geery Spence: “sebelum menjadi ahli hukum profesional, jadilah manusia berbudi luhur (evolved person) lebih dulu. Kalau tidak, para ahli hukum hanya akan menjadi monster dari pada malaikat penolong. “ Hal ini terkait erat dengan kesadaran dan budaya hukum masyarakat. Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak seyogyanya dilakukan (Scholten, 1954: 166). Kesadaran tentang apa hukum itu berarti kesadaran bahwa hukum itu merupakan perlindungan kepentingan manusia. Kesadaran hukum merupakan faktor dalam penemuan hukum (Lemaire, 1952; 46). Bahkan Krabbe mengatakan bahwa sumber segala hukum adalah kesadaran hukum (v. Apeldoorn, 1954: 9).
Dengan demikian hukum harus memenuhi kesadaran hukum kebanyakan orang, sehingga undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum kebanyakan orang akan kehilangan kekuatan mengikat. Setidak-tidaknya terdapat dua aspek dalam konsep budaya hukum, yaitu aspek nilai (value) dan sikap (attitude). Kedua aspek tersebut terjalin secara erat dan menentukan satu dengan lainnya, artinya aspek nilai yang dianut oleh seseorang atau kelompok orang akan sangat menentukan sikap seseorang atau kelompok orang akan sangat menentukan sikap seseorang atau sikap kelompok orang tersebut. Kedua aspek itu merupakan indikator dari budaya hukum, artinya dengan mengetahui nilai sikap masyarakat terhadap hukum maka dapat diketahui keadaan budaya hukum dari masyarakat tersebut. Membangun budaya hukum masyarakat merupakan bagian dari upaya nation character-building yang dimulai sejak kita masih berupa janin di dalam kandungan sampai saat kita menutup usia.
            Dengan demikian penegakan hukum akan mampu menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantah sebagai rangkaian penjabaran nilai-nilai untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup dalam mewujudkan the rule of law. Dalam istilah “ the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “ the rule of just law”.
Dalam istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang.  Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka. Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Usaha untuk mewujudkan gagasan ini jelas bukan hal yang gampang. Usaha-usaha tersebut mau tidak mau sangat dipengaruhi oleh berbagai kepentingan dan pandangan kelompok-kelompok sosial, terutama kelompok sosial yang paling dominan. Itu berarti seberapa jauh gagasan negara hukum yang domokratis dan berkeadilan sosial itu hendak diwujudkan sangat tergantung pada hasil interaksi politik di antara kelompok-kelompok sosial-politik yang ada dalam masyarakat.  

C.Penegakan Hukum Yang Bertanggung jawab
Penegakan hukum yang bertanggungjawab (akuntabel) dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku, juga berkaitan dengan kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Proses penegakan hukum memang tidak dapat dipisahkan dengan sistem hukum itu sendiri. Sedang sistem hukum dapat diartikan merupakan bagian-bagian proses / tahapan yang saling bergantung yang harus dijalankan serta dipatuhi oleh Penegak Hukum dan Masyarakat yang menuju pada tegaknya kepastian hukum.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, di samping itu anehnya masyarakatpun tidak pernah jera untuk terus melanggar hukum, sehingga masyarakat sudah sangat terlatih bagaimana mengatasinya jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya, apakah itu bentuk pelanggaran lalu-lintas, atau melakukan delik-delik umum, atau melakukan tindak pidana korupsi, tidak menjadi masalah. Sebagian besar masyarakat kita telah terlatih benar bagaimana mempengaruhi proses hukum yang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukumannya. Kenyataan ini merupakan salah satu indikator buruknya law enforcement di negeri ini.
Sekalipun tidak komprehensif perlu ada angkah-langkah untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel, antara lain : 1). Perlunya penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada, sebagai contoh, perlunya ditindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dari UU No.4 tahun 2004 terutama yang mengatur tentang pemberian sanksi pidana bagi pelanggar KUHAP, khususnya bagi mereka, yang ditangkap, ditahan,dituntut, atau diadili tanpa berdasarkan hukum yang jelas, atau karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 9 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ; 2) Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas dan intelektualitasnya, karena tidak sedikit Penegak Hukum yang ada saat ini, tidak paham betul idealisme hukum yang sedang ditegakkannya ; 3). Dibentuknya suatu lembaga yang independen oleh Pemerintah dimana para anggotanya terdiri dari unsur-unsur masyarakat luas yang cerdas (non Hakim aktif, Jaksa aktif dan Polisi aktif) yang bertujuan mengawasi proses penegakan hukum ( law enforcemen’) dimana lembaga tersebut nantinya berwenang merekomendasikan agar diberikannya sanksi bagi para penegak hukum yang melanggar moralitas hukum dan / atau melanggar proses penegakan hukum (vide : pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman , Jo. pasal 17 Jo psl. 3 ayat (2 ) dan (3) Jo. Psl.18 ayat (1) dan (4) UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) ] ; 4) Perlu dilakukannya standarisasi dan pemberian tambahan kesejahteraan yang memadai khususnya bagi Penegak Hukum yang digaji yaitu : Hakim, Jaksa dan Polisi ( Non Advokat ) agar profesionalisme mereka sebagai bagian terbesar penegak hukum di Indonesia dalam kerjanya lebih fokus menegakkan hukum sesuai dari tujuan hukum itu sendiri ;. 5) Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi asas hukum yang mengatakan bahwa ; “ setiap masyarakat dianggap tahu hukum ”, sekalipun produk hukum tersebut baru saja disahkan dan diundangkan serta diumumkan dalam Berita Negara. Disini peran Lembaga Bantuan Hukum atau LBH-LBH dan LSM-LSM atau lembaga yang sejenis sangat diperlukan terutama dalam melakukan “advokasi” agar hukum dan peraturan perundang-undangan dapat benar-benar disosialisasikan dan dipatuhi oleh semua komponen yang ada di negeri ini demi tercapainya tujuan hukum itu sendiri ;. 6). Membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan diprakarsai oleh “Catur Wangsa” atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut dapat dicontoh dan diikuti pula oleh seluruh lapisan masyarakat ;
Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih (‘clean government’), karena penegakan hukum (‘law enforcement’) adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Pemerintahan negara ( ‘lapuissance de executrice’) harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi “Kejaksaan” dan “Kepolisian” karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat indonesia yang sadar dan patuh pada hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum ( ‘rechtsstaat’ ). Di samping itu rakyat harus diberitahu kriteria / ukuran yang dijadikan dasar untuk menilai suatu penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik guna menciptakan budaya kontrol dari masyarakat, tanpa itu penegakan hukum yang baik di Indonesia hanya ada di Republik Mimpi.



D.Hambatan Penegakan Hukum
Hikmahanto Juwana [1] mengemukakan bahwa sulitnya penegakkan hukum di Indonesia sudah diawali dari pembuatan peraturan perundang-undangan ini sendiri dan paradigm penegakan hokum yang belum bergeser, yaitu :
1.      Antar Peraturan Benturan
Pembuatan peraturan perundang-undangan tidak memberi perhatian yang cukup apakah aturan yang dibuat nantinya bisa dilaksanakan dengan baik dan benar atau tidak. Pembuat peraturan perundang – undangan    telah melakukan mengambil asumsi aturan yang dibuat akan dengan sendirinya dapat berjalan, tanpa melihat situasi dan kondisi kemampuan masyarakat. Sehingga timbul ungkapan peraturan atau perundang-undangan dibuat bukan untuk dipatuhi tetapi untuk dilanggar, kadang masyarakat merasa bangga apabila sudah mampu melanggar aturan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan kerap dibuat secara tidak realistis. Ini sering terjadi terhadap pembuatan peraturan perundanmg-undangan yang merupakan pesanan dari elit politik Negara Asing maupun lembaga keuangan Internasional. Disini peraturan perundang-undangan dianggap sebagai komoditas.
2. Masyarakat Pencari Kemenangan bukan Keadilan
Masyarakat Indonesia terutama yang berada di kota-kota besar bila mereka berhadapan dengan proses hukum akan melakukan berbagai upaya agar tidak dikalahkan atau terhiindar dari hukuman. Kenyataan ini mengindikasikan masyarakat di Indonesia sebagai masyarakat pencari kemenangan, bukan pencari keadilan sebagai kemenangan, tidak heran bila semua upaya akan dilakukan baik yang sah maupun yang tidak, semata-mata untuk mendapat kemenangan.
Tipologi masyarakatt pencari kemenangan merupakan problem bagi penegakkan hukum, terutama bila aparat penegak hukum kurang berintegarsi dan rentan disuap, masyarakat pencari kemenangan akan memanfaatkan kekuasaan dan uang agar memperoleh kemenangan atau terhindar dari hukuman. Hukum tidak akan tegak selama masyarakat mencari kemenangan.
3. Penegakan Hukum sebagai komoditas Politik
Penegakan Hukum di Indonesia telah menjadi komoditas politik. Pada masa orde baru penegakkan hukum sebagai komoditas politik sangat merajalela. Penegakan hukum diatur karena kekuasaan menghendaki. Aparat penegak Hukum  didikte oleh kekuasaan, bahkan diintervensi dalam menegakkan hukum.
Penegakkan hukum akan dilakukan secara tegas karena penguasa memerlukan Hukum  yang sah untuk melawan kekuatan pro demokrasi atau pihak-pihak yang membela kepentingan rakyat. Tetapi penegakkan hukum akan dibuat melemah oleh kekuasaan bila pemerintah atau elite politik yang menjadi pesakitan.
4.  Penegakkan hukum yang Diskriminatif dan ewuh pakewuh
Problema lain lemahnya penegakkan hukum adalah perlakuan diskriminatif. Tersangka koruptor dan tersangka pencuri sandal akan mendapat perlakuan dan sanksi yang berbeda. Tersangka yang mempunyai status sosial yang tinggi ditengah-tengah masyarakat akan diperlakukan secara istimewa. Pengakkan hukum seolah-olah hanya berpihak pada si kaya tetapi tidak pada si miskin. Bahkan hukum berpihak pada mereka yang memiliki jabatan dan koneksi dan para pejabat hukum atau akses terhadap keadilan.
5. Pengacara tahu hukum versus Pengacara Tahu hakim
Dunia pengacarapun tidak terbebas dari masalah penegakkan Hukum . Dalam dunia pengacara menurut Amir Syarifuddin dapat dibedakan pengacara yang ideal dan pengacar yang nekad, dengan istilah lain bias diartikan pengacara yang tahu Hukum  dan pengacara yang kenal hakim jaksa dan kepolisian.
Mengingat tipologi masyarakat di Indonesia sebagai pencari kemenangan bukan mencari keadilan, maka sudah sifatnya apabila berhadapan dengan hukum mereka lebih suka  dengan pengacara yang tahu hakim (koneksi) daripada pengacara yang tahu hukum. Hal ini dikarenakan mereka ingin menang dan tidak ingin memperoleh keadilan.
6. Keterbatasan Anggaran
Penganggaran bagi insfrastruktur hukum oleh Negara tidak dialokasikan secara memadai. Institusi pengadilan yang seharusnya menunjukkan kewibawaan melalui gedungnya masih banyak yang memperihatinkan, bahkan dalam ukuran yang tidak sebanding dengan keangkerannya. Ruang hukum jauh dari kesan nyaman sehingga tidak memungkinkan   orang mengikuti secara cermat proses persidangan.
Pengalokasian anggaran baik polisi dan jaksa dalam menangani suatu kasus jauh dari memadai. Padahal kasus yang harus dipecahkan atau dituntut sangat kompleks. Dalam kondisi keterbatasan anggaran kerap kali pihak yang melapor kejahatan justru harus mengeluarkan biaya. Tidak heran bila ada anekdot seorang yang kehilangan kambing bila melapor ke polisi hukum jadi kehilangan sapi, akibatnya masyarakat segan melaporkan sesuatu kejahatan yang terjadi, dan tidak bersedia apabila diminta jadi saksi dalam satu kasus kejahatan. Keterbatasan anggaran telah membuat penegakkan hukum lemah, tidak efektif dan kurang berwibawa.
7. Penegakkan Hukum yang Dipicu oleh Media Masa
Dalam beberapa tahun terakhir masalah penegakan hukum mendapat tempat tersendiri di berbagai media massa. Penegakan hukum yang diberitakan pun tidak yang umum-umum saja, melainkan penegakkan hukum yang melibatkan orang yang menjabat di Institusi hukum. Disadari atau tidak penegakkan hukum di Negara kita, belakangan ini telah memasuki situasi yang dipicu oleh pers. Penegakkan hukum yang disoroti pers tentu sangat positif karena penegakkan hukum akan secara serius dilakukan.
E. Usaha Untuk Mewujudkan Cita-Cita Hukum di Negara   Indonesia
Menurut Jimly Asshiddiqie[2] yang bisa mewujudkan cita-cita Hukum  di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Supermasi hukum (Supremacy of Law) :
Adanya pengakuan normative dan empiric akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tinggi. Dalam perspekif supremasi hukum pada hakikatnya pemimpin tertingi Negara yang sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertingi. Pegakuan normative mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum dan atau konstitusi, sedangkan pengakuan empiric adalah pengakuan yang tercermn dalam perilaku sebagain terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang supreme. Bahkan dalam republik yang menganut system presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya yang lebih tepat  disebut sebagi kepala Negara;
2. Persamaan dalam Hukum (equality before the Law)
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui sebagai normatife dan dilaksanakan secara empiric. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskrimatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang kecuali tindakan-tinakan yang bersifat khusus  dan sementara yang dinamakan affirmative actions, guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok mayarakat tertentu yang dapatt diberikan perlakuan khusus melalui “affirmative actions” yang tidak termasuk pengerian diskriminasi.
3. Asas Legalitas (Due Proecess of Law)
Dalam setiap Negara hukum dipersaratkan berlaku asas legalitas dalam segala bentuk (due process of law) yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peratuan perundang-udangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikan setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau rules and procedurses “ (regels). Prinsip normative demikian nampaknya sangat kaku dan dapat menyebabkan birokasi menjadi lamban. Oleh karena itu untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat admnistrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijjsermessen ‘ yang memungkinkan para pejabat administrasi Negara mengembankan dan menetapkan sendiri beleid-regels’ atau policy rules’ yang berlaku internal secara bebas dan mandiri  dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peratuan yang sah.
4. Pembatasan Kekuasaan
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara   dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertical atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum bersifat kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton : “Powwer tends to coorup, and absoer be power coorupts absolutely”. Karena itu kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘cheks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
3. Organ-organ eksekutif independent
Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang bersfat  independent” seperti bank sentral, organisasi tentara, organisasi kepolisian dan kejaksaan.
Selain itu ada lembaga-lembaga baru seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemihan Umum, Lembaga Ombudsman, Komisi Penyiaran, Komisis Yudisal, KPK dan lain sebagainya. Lembaga badan atau organisasi-organisasi ini sebelumyna dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independent sehinga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya. Independensi Independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat penting untuk menjamin prinsip Negara hukum dan demokrasi.

6. Peradilan Bebas dan tidak memihak.
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak mutlak harus ada dalam setiap Negara hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga , baik karena kepentingan jabatan (politik), maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan dari pihak manapun juga, dan siapapun juga. Dalam menjalankan tugasnya hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup ditengah-tengah mayarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai mulut undang-undang atau peraturan perundang-undangan melainkan juga mulut keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

7. Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam setiap Negara hukum harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga Negara untuk menggugat keputusan pejabatan administrai Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha Negara oleh pejabatan administrasi Negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga Negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Sudah tentu keberadaan hakim peradilan Tata Usaha Negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip “independent and impartial judiciary’ tersebut di atas.
8. Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court)
Disamping adanya pengadilan tata usaha Negara yang diharapkan memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap Negara. Negara hukum modern juga lazim mengadopsikan gagasan pembentukan Mahkamah konstitusi. Dalam system ketatanegaraannya. Pentingnya Mahkamah Konstitusi  ((Constitutional Court) adalah dalam upaya memperkuat system cheks and balances antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi. Keberadaan Mahkamah konstitusi itu dianggap penting sebab bisa menegakkan Negara hukum.
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia
Setiap manusia sejak kelahiranya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara dan penyelenggaraan kekuasaan satu Negara tidak boleh mengurangi arti dan makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan. Oleh karena itu diperlukan aturan yang melindungi dan menghormati terhadap hak-hak manusia yang merupakan pilar yang saangat penting dalam setiap Negara hukum. Apabila dalam satu Negara hak asasi manusia terabaikan dan atau dilanggar dengan sengaja  dan penderitaan yang ditimbulkan tidak dapat diatasi secara adil maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara hukum dalam arti sesungguhnya.
10. Bersifat Demokratis (Demokratis Rechtssataat)
Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak dimaksudkan hanya untuk menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa namun demi menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa terkecuali. Dengan demikian Negara hukum (rechtsstaat) yang dikembankan bukanlah absolute rechtsstaat melainkan democratische rechsstaat atau Negara hukum yang demokrais. Dengan perkataan lain dalam setiap Negara hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.
Menurut pendapat Ralf Dahrendorf[3] bahwa Negara hukum yang demokratis mensyaratkan empat perangkat kondisi social yaitu : 1. perwujudan yang nyata atas persamaan status kewarga negaraan bagi semua peserta dalam proses politik ; 2. kehadiran kelompok-kelompok kepentingan dan elite dimana tak  satupun mampu memonopoli jalan menuju ke kuasaan ; 3. berlakunya nilai-nilai yang boleh disebut sebagai kebajikan public ; 4. menerima perbedaan pendapat dan konplik kepentingan sebagai sesuatu yang tak terhindarkan dan elemen kreatif dalam kehidupan sosial.
11. Tranparansi dan Kontrol Sosial
Adanya tranparansi dan control sosial yang terbuka terhadap setiap proses pemuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena system perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena prinsip repsentation in ideas dibedakan dari repsentation in presence” karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi, demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan semuanya memerlukan control social agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran, serta kepastian  hukum.
Di Indonesia[4] saat ini secara formal telah mempunyai konstitusi yang mengakui dan menjamin persamaan hak, kedudukan, dan tanggung jawab bagi setiap peserta dalam proses politik. Namun secara material tidak bisa dibantah masih ada kelompok-kelompok dominan baik yang bersifat domestik maupun internasional yang mampu memonopoli jalan menuju kekuasaan kelompok-kelompok dominan ini mempunyai akses yang luas pada sumber daya ekonomi dan politik yang acap kali memustahilkan perwujudan cita-cita hukum (The autonomy of Law). Selain itu elemen-elemen budaya yang belum tercerahkan dan terbebaskan merupakan hambatan nyata bagi terwujudnya cita-cita hukum di Negara Indonesia.
Menurut Dahrendorf[5]dalam negara hukum konflik bukanlah sesuatu yang harus dihindari dan diharamkan. Memang betul kemampuan masyarakat untuk berorganisasi atau bekerja sama diperlukan bagi perwujudan Negara Hukum Indonesia  namun itu tidak berarti harus menghilangkan konplik. Dalam Negara hukum konflik akan tetap ada, namun bagaimana mengelola konflik melalui pranata hukum yag mampu menamilkan dirinya sebagai zona netral dan berdaulat sehingga mengundang Trus dan konfiden bagi para pihak yang bersangketa, yaitu bahwa konflik mereka itu dapat ditintaskan secara adil.
Di Indonesia sebagai akibat dari masa otoritarisme yang panjang di mana hukum untuk waktu yang panjang digunakan sebagai alat kekuasaan, birokrasi pemerintah dan militer yang belum sepenuhnya tereformasi, serta adanya kelompok kelompok ekonomi politik dominan yang masih terus memelihara akses istimewa pada Negara, pranata hukum masih tidak berdaya untuk mewujudkan jati dirinya sebagai institusi yang harus bersikap netral, otonom, dan adil dalam menyelesaikan berbagai konflik di tanah air.
Meskipun tantangan sosial politik ekonomi dan budaya yang dihadapi gagasan dan konsep Negara Hukum Indonesia begitu komplek dan rumit. Namun masih banyak lagi dari bangsa Indonesia yang tetap optimis terhadap upaya perwujudan cita-cita Hukum di  Indonesia itu. Karena selain tidak banyak pilihan bagi bangsa Indonesia yang majemuk ini jika ingin survive, kecuali mewujudkan cita-cita hukum. Juga yang lebih penting lagi Negara Hukum Indonesia mempunyai dukungan sosial yang nyata dalam masyarakat bangsa ini.
Alasan lain adalah [6]: Pertama bagi bangsa majemuk cita-cita hukum merupakan pilihan yang tak terhindarkan. Didalam itulah baik mayoritas maupun minoritas memperoleh hak dan kedudukan yang sama  di depan hukum; Kedua nilai-nilai persamaan (equality) yang terkandung dalam cita-cita hukum mempunyai akarnya pada agama dan budaya yang dianut masyarakat Indonesia; Ketiga lahir dan bangkitnya golongan menengah seperti golongan profesi, pengusaha, pedagang, mahasiswa dan kaum intelektual akan memberikan dukungan sosial yang penting bagi berlangsungnya cita-cita hukum. Juga keberhasilan pembangunan ekonomi yang terdistribusikan secara adil dan merata akan membuka peluang yang lebih besar bagi terwujudnya cita-cita Hukum di Negara Indonesia.

SENARAI PUSTAKA
Abdul Hakim G. Nusantara, Menuju Negara Hukum Indonesia, Refleksi keadaan Politik dan Prospek Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta 17 Mei 2005
Arief, Barda Nawawi, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
-------------------------- 1996, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, Semarang.
————————, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti Bandung.
Dadan Muttaqien , Prospek Peradilan Di Indonesia Paska Lahirnya UU No. 35 tahun 1999, makalah disampikan dalam acara diskusi di Pengadilan Tinggi Agama Semarang, tahun 2000.
E. Zaenal Abididn, Budaya Hukum dalam Peradilan di Indonesia, dalam jurnal Hukum Ius Quia Lustum, no. 9 vol 4 tahun 1997
Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Simbur Cahaya No. 25 tahun IX Mei 2004 ISSN No. 14110-0614.
Plato ; The Law Penguin Classics, edisi tahun 1986, diterjemahkan dan diberi pengantar oleh Trevor  J. Saunders.
Sudikno Mertokusumo, Sistem Peradilan di Indonesia, dalam jurnal Hukum lus Quia Instum no. 9 Vol 4 tahun 1997
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar Jakarta, 1969
Ikatan hakim Indonesia, Varia Peradilan, Majalah Hukum tahun XXI No. 244 Maret 2006.



[1] Hikmahanto Juwana, Ikatan hakim Indonesia, Varia Peradilan, Majalah Hukum tahun XXI No. 244 Maret 2006, hlmn 56
[2]Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Simbur Cahaya No. 25 tahun IX Mei 2004 ISSN No. 14110-0614, hlm. 4
[3] Abdul Hakim G Nusantara, Menuju Negara Hukum Indonesia, Makalah, jakarta 17 Mei 2005, hlm.4
[4] I bi  d. hlm.5
[5] I b i d. Hlm. 6
[6] I b i d. hlm. 7

0 komentar:

Posting Komentar