Kamis, 04 Agustus 2011

EFEK OTONOMI DAERAH BAGI DAERAH LUAR JAWA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI HUKUM


EFEK  OTONOMI DAERAH BAGI DAERAH  LUAR JAWA  DALAM  PERSPEKTIF PSIKOLOGI HUKUM

Oleh : Turiman Fachturahman Nur

A.Pendahuluan
                Sebuah pertanyaan yang penting patut diajukan apa yang membedakan pemerintah pusat dengan daerah ? Pemerintah daerah yang selanjutnya menjadi pembeda dari pemerintah pusat adalah penyelenggara urusan pemerintahan yang dilakukan oleh perintah daerah dan DPRD menurt asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya Dalam sistem dan prinsip negara kesatuan seperti yang disebutkan dalam UUD 1945, Asas otonomi dan tugas pembantuan kelahirannya memiliki makna tersendiri, yaitu makna yang dilahirkan dari sejarah pembentukan karakter bernegara di Indonesia. Pemebentukan karakter tersebut bisa dilihat dari naik turunya tensi penggunaan prinsip otonomi daerah .
Mahfud MD mengatakan Otonomi daerah berkembang seiring dengan konfigurasi politik yang ada di Indonesi. Beliau membagi perkembangan otonomi daerah menjadi tiga fase:
1.Fase antara tahun 1945-1959 yaitu otonomi daerah dalam bingkai demokrasiliberal.
2.Fase antara tahun 1959-1966 yaitu otonomi daerah dalam bingkai demokrasi terpimpin.
3.Fase antara tahun 1959-1998 yaitu otonomi daerah dalam bingkai ordebaru..

Bagi penulis pandangan mahfud tersebut harus ditambah sedikit lagi, yaitu dengan dimasukkanya konsfigurasi politik otonomi daerah orde reformasi yang terjadi pada tahun 1998-sampai sekarang. Dari ke emepat periode yang terjadi periode pertama sampai ke tiga saya kira sudah tidak perlu dibahas kembali mengingat ketiga periode tersebut telah berlalu. Pembahasan kali akan lebih ditekankan pada periode terakhir yaitu orde reformasi. Pada periode ini telihat banyak sekali prinsip-prinsip otonomi daerah yang pada awalnya belum ada kemudian dimunculkan kepermukaan. Prinsip prinsip tersebut antara lain diterimanaya asas otonomi dan tugas pembantu dalam melaksakan pemerintahan daerah dalam UUD 1945 hasil amandemen.
Diimasukkanya asas dekonsentrasi dalam UU yang baru menyangkut persoalan daerah. Perubahan format otonomi tersebut tidak sepenuhnya membawa berkah bagi masyaratak daerah, akan tetapi banyak persoalan yang muncul kemudian akibat ditemanya asas tersebut. Ini terbukti sejak reformasi hingga sekarang terjadi dua kali perubahan dalam peraturan yang mengatur otonomi daerah, yaitu UU No 22 1999 diubah dengan UU No 32 tahun 2004.
            Untuk memaparkan secara sistimatis penulis paparkan secara sistimatis eksplorasinya sebagai berikut:

B. Pembahasan
1. Asas Dekonsentrasi
            Indonesia sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 1 UUD 1945 dinyatakan bahwa Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik dan sekaligus Bentuk Negara kesatuan adalah bentuk negara yang bersifat final yang diharapkan oleh rakyat Indonesia secara menyeluruh, disamping bentuk-bentuk Negara alternatif lain. Hal ini diatur secara rigit dalam pasal 37 ayat 5 UUD 19451.
Hubungan yang muncul dalam Negara kesatuan adalah hubungan yang bersifat hirarkis-vertical antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota. Sehingga, otonomi daerah yang yang dilaksanakan tidak boleh keluar dari pakem tersebut.
Agar tidak keluar dari pakem maka otonomi daerah menganut asas dekonsentrasi. Asas Dekonsentrasi ini mengandung pengertian pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Jadi gubernur adalah sebagai mandatris pemerintah pusat untuk melaksanakan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang diberikan. Sehingga kekuasaan memberikan dan mencabut tugas dan fungsi tetap berada dipemerintah pusat. Akan tetapi kemudian asas ini menjadi tidak berfungsi karena terjadinya pembagian urusan yang diatur kemudian dalam UU No 32 tahun 2004.
Pembagian urusan tersebut bisa dilihat dari bab III pasal 10 UU No 32 tahun 2004. klausa yang ada dalam pasal 1 tersebut mengatakan bahwa Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Kemudian pada pasal selanjutnya Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dari klausa “Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah”. Secara substansial klausa ini mengatakan bahwa kwenangan yang dimiliki pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah diatur secara jelas dan rigid. Pembagian tersebut memang terbukti demikian dengan meninjau pasal selanjutnya maka akan terlihat betapa kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah menjadi sejajar dalam mengelelola daerah. Pasal 10 ayat 4 mengatur kewenangan pemerintah pusat tersebut sebagai berikut:

a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.

Sedangkan klausa yang mengatur mengenai kewenangan daerah diatur dalam pasal 13 ayat 1 dan pasal 14 ayat 1 UU No 32 tahun 2004.
Dari penjelasan diatas susunan, komposisi peraturan menurut penulis bertentangan satu sama lain dengan  asas dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi menyatakan bahwa keberadaan kewenangan berada dipemerintah pusat kemudian kewenangan tersebut didistribusikan keperintah daerah. Sedangkan pada klausa-klausa aturan diatas tidak demikian adanya pengaturan-pengaturan secara jelas hak dan wewenang baik pemerintah pusat maupun daerah membuktikan bahwa keberadaan asas dekonsentrasi tidak bermakna, itu yang pertama. Sebenarnya setiap daerah memiliki potensi tetapi sepertinya konsentrasi terbesar kebijakan pembangunan berada di pulau Jawa, sehingga berkembang “jawa Sentris” , sering membuat iri masyarakat dui luar Jawa, salah ketidak adilannya adalah dalam hal penentuan DAK parameter masih terfokus besar pada jumlah penduduk, sehingga “kue pendanaan” terfokus ke Pulau  Jawa, karena memiliki kepadatan penduduk yang luar biasa, mengapa daerah dimlaur Jawa tidak mendapat perhatian penuh dari sisi karakteristik dann potensi yang belum tereksplorasi, mengapa infra struktur jalan tidak menjadi perhatian pemerintah pusat untuk wilayah luar Jawa.
Kecemburuan dan ketidak adilan ini membuat masyarakat luar Jawa merasa “dianak tirikan” penulis kuatir gerakan-gerakan disintegrasi akan mengkristal diluar Jawa, hanya karena  karakternya masyarakat luar Jawa, masih tolerir saja, tetapi sebenarnya  ibarat “api dalam sekam” dan tanda-tanda kearah “kejenuhan dan kekesalan masyarakat luar  Jawa”  sebenarnya sudah banyak muncul kepermukaan, tetapi apakah pemerintah pusat menyadari hal ini.
Jika parameter yang diberlakukan masih menggunakan “Standar di Pulau Jawa” kita kuatir psikologis daerah bias meledak setiap saat. Berbagai diskusi terfokus dengan berbagai elemen masyarakat di daerah, sepertinya “ada tumpahan kekesalan para penyelenggara pemerintahan daerah, hanya tidak berani untuk mengemukan secara public” tetapi curhat kepada kalangan akademisi  atau kelas menengah di luar pemerintahan, pada intinya adalah “keterpaksaan tunduk dengan pemerintah pusat, karena pemegang otoritas pendanaan ada di pemerintah pusat”, sehingga “loby-loby harus dibangun dengan kesepakatan-kesepakatan agar proyek bias menggelontor ke daerah” jika mau vulgar adalah berebut dengan proyek-proyek yang berada di Pulau Jawa yang nota bene “birokrasi dikuasai oleh sebuah primordial tertentu”.
Yang kedua, asas dekonsentrasi merupakan asas perekat bentuk negara kesatuan akan tetapi akibat pembagian kewenangan tersebut akhirnya konsep kesatuan diciderai. Karena, Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah secara ketat merupakan sebuah konsep negara federal, dan ini sejak semula tidak diinginkan oleh masyarakat Indonesia, efeknya adalah terjadi multitafsir hakekat otonomi daerah, karena saat ini ada anggapan masyarakat daerah , bahwa “Pemerintah Pusat” sedang “menjajah daerah” mulai darin regulasi yang belum berpihak kepada daerah, dan pemerintahan daerah dibingungkan dengan peraturan perundang-undangan yang norma jabarannya sering berubah-ubah dan perubahan model-model system yang sepertinya :”berganti-ganti” sedangkan evaluasi terhadapn system lama belum di transparankan.
Prediksi penulis, jika kebijakan pembangunan terbesar infra struktur terfokus di pulau Jawa, karena parameter jumlah penduduk, penulis kuatir “bibit federalism” mulai mengkristal dan itu sebuah ancaman integrasi NKRI, semakin banyak kelas menengah dari luar Jawa yang belajar di Luar Negeri dan di Pulau Jawa semakin melihat ketidak adilan, pernahkan dimapping tesis-tesis dan disertasi yang dilakukan oleh mahasiswa yang berasal dari luar pulau Jawa diobervasi oleh LIPI atau sebuah lembaga, betapa subtansinya adalah ketidak adilan dan “terabaikan” kebijakan-kebijakan pembanguan di luar Pulau Jawa. Dan penelitian itu masih melekat di kepala para mantan mahasiswa yang berasakl dari luar Jawa dan menjadi bahan diskusi ketika para pejabat p[usat dating ke daerah.

2. Asas Desentralisasi
Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Asas ini memiliki semangat bahwa pemerintah daerah dianggap mampu untuk melaksanakan pemerintahan sendiri, ini terbukti dari kata penyerahan.
Kata ini juga membuktikan bahwa kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus dibagi karena daerah sudah dianggap mampu untuk melaksanakan pemerintahan sendiri. Secara pengertian antara dekonsentrasi dan desentralisasi seakan-akan tidak ada masalah akan tetapi apabila ditinjau lebih mendalam kepada peraturan yang mengatur persoalan tersebut, maka akan terlihat betapa benturan tersebut terjadi. Benturan tersebut berasal dari tujuan dasar keberadaan asas desentralisasi dan dekonsentrasi. Asas desentralisasi lebih bermuatan federalistik sedangkan asas dekonsentrasi lebih bermuatan keasatuan. Hal ini bisa dilihat dari pemebagian-pembagian kewenangan yang ada dalam UU otonomi daerah lebih mendekati kepa prinsip desentralisasi.

3.Asas tugas pembantuan
Mengiringi kedua asas diatas terdapat satu asas lagi yaitu asas tugas pembantu. Asas ini mengandung pengertian, adanya penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Asas ini dalam UU 32 tahun 2004 ditempatkan pada pasal 10 ayat 5 poin c, dalam sebuah klausal “menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan”. Ketentuan ini dilaksanakan untuk mengatisipasi pabila terjadi hal-hal yang tidak di inginkan dalam sebuah pemerintahan, sedangkan penangananya harus segera dilaksanakan.
Keberadaan ketentuan ini sangat minim dalam peratuaran, akan tetapi dibandingkan dengan asas desentralisasi, asas ini lebih dapat diterima oleh prinsip pemrintahan daerah dalam negara kesatuan. karena asas ini tetap menempatkan pemerintah pusat sebagai tolak ukur dalam sebuah kebijakan. Dan pemerintah daerah merupakan subdivisi dari pemerintah pusat untuk melaksanakan fungsi-fungsi dan kebijakan-kebijkan yang dibuat oleh pemerintah pusat.

C. Penutup
C.1 Kesimpulan
Didalam sebuah negara yang amat luas seperti di Indonesia ini tidak mungkin pemerintah pusat bisa menghendel secara keseluruhan pemerintahan. Pembagian pemerintahan secara vertikal merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditinggalkan apabila tujuan bernegara ini ingin segera tercapai. Bahwa tujuan negara untuk mensejahterakan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menciptakan rasa aman bagi seluruh rakyat indonesia dengan jalan melindungi segenap bangsa indonesia merupakan sesuatu yang mendesak, maka otonomi daerah tidak bisa dihindari. Otonomi sebagai sebuah alternatif pemerintahan merupakan sebuah cara yang diambil demi melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Akan tetapi bagaimanapun cara tersebut tidak bisa juga bertentangan dengan cara/ prinsip-prinsip yang lain yang telah disepakati secara bersama.


C. 2 Saran
1. Keberadaan otonomi daerah harus tetap ditempatkan dalam kerangka negara kesatuan. Prinsip-prinsip yang bertentangan dengan itu sebisa mungkin harus dihindari.
2. Peguatan terhadap keberadaan asas dekonsentrasi dan tugas pembantu dalam konsep otonomi daerah.
3.Seharusnya asas dekonsentrasi tidak hanya mengatur pelimpahan wewenang antara pemerintah dengan pemerintahan provinsi, akan tetapi asas tersebut juga diterapkan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten kota. Sehingga hirarkisitas negara keasatuan bisa berjalan
4. Seandainya ada kekhawatiran terhadap berkembangnya sistem sentralistik, maka hal itu sekarang tidak cukup beralasan. Mahkamah konstitusi bisa dijadikan rujukan untuk mengatisipasi kecenderungan tersebut.

2 komentar:

Unknown mengatakan...


Nama : NOVIA SRI RAHAYU
NIM : F1221151003
Prodi : PPKn
Mata Kuliah : HUKUM TATA PEMERINTAHAN
Dosen Pembimbing : TURIMAN, SH. M.HUM

Bismilahirrohmanirahim...
Assalamualaikum, wr, wb. Sebelumnya terlebih dahulu Saya ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Turiman, SH.M.SI selaku dosen Mata Kuliah Hukum Tata Pemerintahan yang memberikan saya kesempatan untuk memberikan komentar terhadap artikelnya yang berjudul “Efek Otonomi Daerah Bagi Daerah Luar Jawa Dalam Perspektif Psikologi Hukum”.
Saya sependapat dengan bapak mengenai perkembangan otonomi daerah yang dibagi oleh bapak Mahfud MD yang harus ditambah satu fase lagi yaitu dengan dimasukkanya konfigurasi politik otonomi daerah orde reformasi yang terjadi pada tahun 1998-sampai sekarang. Mengingat negara Indonesia kita ini sekarang memang sudah mengalami masa reformasi. Jadi sangat perlu dimasukkan ke dalam fase perkembangan otonomi daerah.
Kemudian mengenai dianutnya asas dekonsentrasi dalam otonomi daerah. Saya setuju dengan pendapat bapak bahwa pada kenyataannya di lapangan, justru asas ini tidak dijalankan dengan semestinya dikarenakan terjadinya pembagian urusan yang diatur kemudian dalam UU No 32 tahun 2004.. Asas Dekonsentrasi ini mengandung pengertian pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Jadi gubernur adalah sebagai mandatris pemerintah pusat untuk melaksanakan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang diberikan. Sehingga kekuasaan memberikan dan mencabut tugas dan fungsi tetap berada dipemerintah pusat. Tetapi dalam prakteknya justru pemerintah daerah itu melaksanakan otonomi seluas-luasnya. Sehingga wewenang pemerintah pusat dan pemritah daerah itu sejajar atau tidak ada bedanya.
Memang benar, sampai sekarang pembangunan di Indonesia ini belum merata. Pemerintah Pusat lebih banyak mencanangkan pembangunan di daerah Pulau Jawa daripada pulau-pulau lainnya. Padahal setiap daerah itu memiliki banyak sekali potensi. Kalau hanya mengharapkan pembangunan terbaik di pulau Jawa maka negara Indonesia ini akan sulit untuk maju dari negara-negara lainnya. Karena yang dikembangkan hanya fokus pada satu daerah saja. Seharusnya semua daerah harus rata pembangunannya. Agar potensi-potensi yang ada di setiap daerah bisa dioptimalkan dan seluruh rakyat Indonesia bisa merasakan manfaat pemerataan pembangunan. Terciptalah nantinya kesejahteraan kehidupan di dalam masyarakat dan tidak terjadi yang namanya “kecemburuan sosial” serta masyarakat pun tidak ada yang memberontak. Jika pemerintah berhasil melaksanakan pemerataan pembangunan, berarti pemerintah pun sudah menjalankan nilai-nilai dalam pancasila yaitu nilai keadilan.

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar