PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
PROFESI PERAWAT DILIHAT DARI PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh: Turiman Fachturahman Nur
1.Apakah yang dimaksud Perlindungan Hukum ?
Istilah
perlindungan hukum, yakni Perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang
diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak cederai oleh
aparat penegak hukum dan juga bisa berarti
perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu. Hakekatnya setiap
orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Dengan demikian hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum.
Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum. Secara umum perlindungan hukum diberikan kepada
subjek hukum ketika subjek hukum yang bersangkutan bersinggungan dengan
peristiwa hukum. Jika
demikian, lalu untuk apa lagi dibuat istilah perlindungan hukum?
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya
fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang
diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang
bersifat preventif (pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif
(pemaksaan), baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka
menegakkan peraturan hukum.
Menurut Hadjon seorang pakar Hukum
Administrasi Negara UNAIR, bahwa perlindungan hukum bagi rakyat atau seseorang
meliputi dua hal, yakni:
Pertama: Perlindungan Hukum
Preventif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana kepada rakyat atau
seseorang diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum
suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif;
Kedua: Perlindungan Hukum
Represif, yakni bentuk perlindungan hukum dimana lebih ditujukan dalam
penyelesian sengketa.
Berdasartkan dua
kategori perlindungan hukum, maka pengertian perlindungan hukum adalah suatu
perlindungan yang diberikan terhadap subyek
hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif
maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari
fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan,
ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian serta kebahagian.
2. Apakah yang dimaksud
keperawatan dan Siapakah Perawat itu dari aspek
hukum ?
Berdasarkan hasil dari Lokakarya
Keperawatan Nasional tahun 1983 didapatkan definisi Keperawatan adalah suatu
bentuk pelayanan profesional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan
kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk
pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada
individu, keluarga dan masyarakat baik yang sakit maupun sehat yang mencakup
seluruh siklus hidup manusia.
Permenkes No. HK.02.02/Menkes/148/I/2010
dikatakan bahwa perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat
baik di dalam maupun di luar negeri
sesuai peraturan perundang-undangan.
3. Apakah ada dasar hukum berkaitan
dengan perlindungan hukum terhadap profesi perawat?
a. Undang-Undang Dasar Negara RI 1945:
Secara
konstitusional dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NKRI 1945 yang
menyebutkan “setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakukan yang
sama di hadapan hukum”.
Pasal 34 ayat (3)
Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak
Pasal 28H ayat 1 menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
b. Undang–Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 9 ayat 3 berbunyi “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”
c. Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 4 berbunyi “ Setiap orang berhak atas kesehatan”.
Pasal 27
Undang-Undang No 36 Tahun 2009
(1)
Tenaga
kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
(2)
Tenaga kesehatan dalam melaksanakan
tugasnya berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki.
(3)
Ketentuan mengenai hak dan kewajiban
tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
d. Undang-Undang Nomor. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Pasal 13 menyatakan
1) Tenaga medis yang melakukan
praktik kedokteran di rumah sakit wajib memiliki surat ijin praktik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
2) Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di rumah sakit wajib
memiliki izin sesuai dengan ketentan peraturan perundang-undangan
3) Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit harus bekerja
sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan rumah sakit, standar prosedur
operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan
mengutamakan keselamatan pasien
4) Ketentuan mengenai tenaga
medis dan tenaga kesehatan
sebagaimana yang di maksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Menurut
Permenkes No.262/1979 yang dimaksud dengan tenaga medis adalah lulusan Fakultas
Kedokteran atau Kedokteran Gigi dan "Pascasarajna" yang memberikan
pelayanan medik dan penunjang medik. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 Tenaga Medik termasuk tenaga
kesehatan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
1996 tentang Tenaga Kesehatan tersebut, yang dimaksud dengan tenaga medis
meliputi dokter dan dokter gigi. Tenaga medis adalah mereka yang profesinya
dalam bidang medis yaitu dokter, physician (dokter fisit) maupun dentist (
dokter gigi ).
4.Apakah Perawat merupakan salah
satu profesi tenaga kesehatan ?
Pasal 1 angka 2 UU No 36 Tahun 2009. Sumber daya di bidang
kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga,
perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas
pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat.
Pasal 1 ayat 6 UU No 36/2009 tentang
kesehatan berbunyi : “Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan
diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.”
Upaya kesehatan
adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan
berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit,
dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. (Pasal
1 angka 11 UU No 36 Tahun 2009)
Jenis Tenaga
Kesehatan adalah
Pasal 2
Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1996:
(1) Tenaga
kesehatan terdiri dari:
a. tenaga
medis;
b. tenaga
keperawatan;
c. tenaga
kefarmasian;
d. tenaga
kesehatan masyarakat;
e. tenaga
gizi;
f. tenaga
keterapian fisik;
g.
tenaga keteknisian medis.
(2) Tenaga
medis meliputi dokter dan dokter gigi.
(3) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan
bidan.
(4) Tenaga
kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
(5) Tenaga
kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan,
mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan
sanitarian.
(6) Tenaga
gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.
(7) Tenaga
keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.
(8) Tenaga
keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi
elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik,
teknisi transfusi dan perekam medis
Berdasarkan
definisi hukum UU No 36 Tahu 2009 jo PP No 32 Tahun 1996 menggunakan istilah
Tenaga Kesehatan dan perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan.
Tenaga Kesehatan
Pasal 21
(1)
Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan
pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan
kesehatan.
(2)
Ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan
pengawasan mutu tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
(3)
Ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan Undang-Undang
Penjelasan
Pasal 21
Ayat
(1)
Pada
prinsipnya perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan dan pengawasan mutu
tenaga kesehatan ditujukan kepada seluruh tenaga kesehatan dalam
menyelenggarakan upaya kesehatan. Tenaga kesehatan dapat dikelompokkan sesuai
dengan keahlian dan kualifikasi yang dimiliki, antara lain meliputi tenaga
medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga kesehatan masyarakat dan
lingkungan, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisian medis, dan
tenaga kesehatan lainnya.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Pengaturan
tenaga kesehatan di dalam undang-undang adalah tenaga kesehatan di luar tenaga medis
Berdasarkan Pasal 21 ayat (3) UU No 36 Tahun 2009 yang diamanahkan
untuk dibuat Undang-Undang adalah adalah Undang-Undang Tenaga Kesehatan.
4. Bagaimana Fenomena Sosial terhadap perlindungan hukum terhadap Profesi Keperawatan ?
Pertama, fakta sosial tidak meratanya penyebaran tenaga dokter di pedesaan mengakibatkan tenaga keperawatan melakukan intervensi medik bukan intervensi perawatan. Mengingat perawat sebagai tenaga kesehatan terdepan dalam pelayanan kesehatan di masyarakat, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor HK.02/Menkes/148/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat.
Pasal 8 ayat (3) Permenkes menyebutkan praktik keperawatan meliputi pelaksanaan asuhan keperawatan, pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat dan pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer.
Berdasarkan pasal tersebut menunjukkan, bahwa aktivitas perawat dilaksanakan secara mandiri (independent) berdasar pada ilmu dan asuhan keperawatan, dimana tugas utama adalah merawat (care) dengan cara memberikan asuhan keperawatan (nurturing) untuk memuaskan kebutuhan fisiologis dan psikologis pasien. Dengan kata lain, perawat memiliki hubungan langsung dengan pasien secara mandiri. Hubungan langsung antara perawat dengan pasien utamanya terjadi di rumah atau puskesmas yang mendapatkan rawat inap atau pasien yang mendapatkan perawatan di rumah, home care.
5. Bagaimana aspek legal terhadap perlindungan Hukum Keperawatan ?
Ada sebuah
Penelitian Disertasi tentang masalah
ini, yaitu M. Fakih, S.H., M.S, di Fakultas Hukum UGM, yang berjudul “Aspek Keperdataan Dalam Pelaksanaan Tugas
Tenaga Keperawatan Di Bidang Pelayanan Kesehatan Di Propinsi Lampung".
Dalam pernyataaanya “Mengingat
perawat sebagai tenaga kesehatan terdepan dalam pelayanan kesehatan di
masyarakat, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
Nomor HK.02/Menkes/148/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat.
Pasal 8 ayat (3) Permenkes
menyebutkan praktik keperawatan meliputi pelaksanaan asuhan keperawatan,
pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat
dan pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer. dari pasal tersebut
menunjukkan aktivitas perawat dilaksanakan secara mandiri (independent)
berdasar pada ilmu dan asuhan keperawatan, dimana tugas utama adalah merawat
(care) dengan cara memberikan asuhan keperawatan (nurturing) untuk memuaskan
kebutuhan fisiologis dan psikologis pasien.
Dengan kata lain, perawat memiliki
hubungan langsung dengan pasien secara mandiri. Hubungan langsung antara
perawat dengan pasien utamanya terjadi di rumah atau puskesmas yang mendapatkan
rawat inap atau pasien yang mendapatkan perawatan di rumah, home care
Sementara perawat yang melakukan
keperawatan mandiri menurut ketentuan Pasal 22 ayat (1) PP No.32 Tahun 1996
Tentang Tenaga Kesehatan jo. Pasal 12 ayat (1) Permenkes Nomor
HK.02.02/Menkes/148/2010 memimiliki kewajiban diantaranya menghormati hak
pasien, memberi informasi, meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan
dilakukan dan memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan standar profesi
dan kode etik keperawatan. Sehingga kewajiban perawat tersebut menjadi hak bagi
pasien. "Dengan begitu, hubungan antara prawat dan pasien merupakan
hubungan hukum (perjanjian) yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi
masing-masing pihak. Oleh karena itu, aspek keperdataan dalam pelayanan
keperawatan berpokok pangkal pada hubungan pasien dan perawat.
Hingga saat ini perjanjian
keperawatan atau informed consent keperawatan
belum diatur secara tertulis dan baru mengatur informed consent tindakan kedokteran sebagaimana diatur dalam
Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008. Sehingga
tindakan medik yang dilakukan perawat pada prinsipnya berdasar delegasi secara
tertulis dari dokter. Kecuali dalam keadaan darurat, perawat diizinkan
melakukan tindakan medik tanpa delegasi dokter sesuai Pasal 10 ayat (1)
Permenkes No. HK. 02.02/Menkes/148/2010, dan aturan Permenkes ini pada dasarnya
mirip dengan rumusan yang dikeluarkan oleh American Nurse Association (ANA) di
tahun 1970.
Perluasan tugas yang diberikan pada
perawat di Amerika sejak tahun 1970 tentu tidak berarti peranan perawat yang
diperluas dapat ditafsirkan seluas-luasnya. Artinya, tidak semua tindakan medik
dan wewenang profesi kedokteran dapat dilakukan oleh perawat. Permasalahan ini
tentu saja tidak hanya berimplikasi pada upaya preventif dan kuratif, namun
juga pada spek etika dan hukum. Sebab tindakan medik yang dilakukan oleh
perawat dalam kondisi darurat dalam praktik belum menunjukan batas-batas yang
jelas. Dalam konteks ini perlu dirumuskan secara yuridis terhadap tindakan
medik tersebut, sehingga tindakan medik yang dilakukan oleh perawat akan lebih
terlindungi.
6.
Bagaimana segi yuridis Praktik Keperawatan ?
Dalam melakukan semua keahlian dan
kewenangan di atas, perlu dibuat suatu regulasi yang dapat memberikan suatu
Izin kepada tenaga keperawatan supaya dapat memberikan tindakan kepada pasien
dalam level aman. Berdasarkan
Kepmenkes no 1239/2001 tentang registrasi perawat dan Permenkes No 148/2009
tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat didapatkan beberapa izin yang
harus dipunyai oleh seorang perawat:
1. Surat
Izin Kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis yang diberikan kepada
perawat untuk melakukan praktik keperawatan di sarana pelayanan kesehatan
2. Surat
Izin Perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis pemberian kewenangan
untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh wilayah Indonesia
3. Surat
Izin Praktik Perawat selanjutnya disebut SIPP adalah bukti tertulis yang
diberikan kepada perawat untuk melakukan praktik keperawatan secara perorangan
dan/atau berkelompok
4. STR
(Surat Tanda Registrasi) adalah bukti tertulis dari pemerintah kepada tenaga
kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi sesuai ketentuan
perundang-undangan
Pasal 63 ayat 4 UU no 36/2009 berbunyi
“Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu”. Yang mana berdasarkan pasal ini
keperawatan merupakan salah satu profesi/tenaga kesehatan yang bertugas untuk
memberikan pelayanan kepada pasien yang membutuhkan
Pelayanan keperawatan di rumah sakit
meliputi : proses pemberian asuhan keperawatan, penelitian dan pendidikan
berkelanjutan. Dalam hal ini proses pemberian asuhan keperawatan sebagai inti
dari kegiatan yang dilakukan dan dilanjutkan dengan pelaksanaan penelitian-penelitian
yang menunjang terhadap asuhan keperawatan, juga peningkatan pengetahuan dan
keterampilan serta sikap yang diperoleh melalui pendidikan dimana hal ini semua
bertujuan untuk keamanaan pemberian asuhan bagi pemberi pelayanan dan juga pasien
selaku penerima asuhan.
Berdasarkan undang-undang kesehatan
yang diturunkan dalam Kepmenkes 1239
tahun 2001 dan Permenkes No. HK.02.02/Menkes/148/I/2010, terdapat beberapa
hal yang berhubungan dengan kegiatan keperawatan. Adapun kegiatan yang secara
langsung dapat berhubungan dengan aspek legalisasi keperawatan :
1. Proses
Keperawatan
2. Tindakan keperawatan
3. Informed Consent
4. Dll
2. Tindakan keperawatan
3. Informed Consent
4. Dll
7. Apa hak dan kewajian perawat
secara legal ?
Untuk melindungi tenaga perawat akan adanya tuntutan dari klien/pasien perlu ditetapkan dengan jelas apa hak, kewajiban serta kewenangan perawat agar tidak terjadi kesalahan dalam melakukan tugasnya serta memberikan suatu kepastian hukum, perlindungan tenaga perawat. Hak dan kewajiban perawat ditentukan dalam Kepmenkes 1239/2001 dan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor Y.M.00.03.2.6.956
a. Kewajiban Perawat
1. Mempunyai
izin untuk melakukan pekerjaan maupun untuk melakukan praktik keperawatan
(Pasal 1, 3, 6, 8)
2. Membantu
Program Pemerintah di bidang kesehatan (Pasal 18)
3.Meningkatkan
mutu pelayanan profesi (Pasal 19)
4.
Mencantumkan Surat Izin Praktik Perawat di ruang praktiknya (untuk praktik
perorangan)
(Pasal 21)
5. Memenuhi
persyaratan mutu layanan dalam bentuk ketersediaan sarana dan prasarana minimal
bagi perawat (pasal 22, 23) dan berpraktik sesuai dengan peraturan perundangan
(Pasal 30)
6. Menjalankan
fungsi keperawatan berdasarkan ketentuan
7. Mengumpulkan
sejumlah angka kredit (Ketentuan MenPAN 94/2001)
b. Hak Perawat
Dalam Kepmenkes 1239/2001 hak
perawat tidak dijelaskan secara eksplisit tetapi dapat kita lihat pada pasal 15
dan 20 sebagai berikut
Pasal 15 : dalam
melaksanakan praktik keperawatan berwenang untuk:
1.
Melaksanakan asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, penetapan diagnosa
keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi
keperawatan.
2. Tindakan
keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir (1) meliputi : intervensi
keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan.
3. Dalam
melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dimaksud angka (1) dan (2) harus
sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan oleh organisasi
profesi
4. Pelayanan
tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaaan tertulis dari
dokter.
Pasal 20, menjelaskan sebagai berikut:
1.Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa
seorang/pasien, perawat berwenang untuk melakukan tindakan pelayanan kesehatan
di luar kewenangan sebagai dimaksud dalam pasal 15
2. Pelayanan dalam keadaan darurat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
Secara yuridis perlindungan hukum dalam
tingkat yang paling tinggi secara operasional setelah Undang-undang dasar
adalah undang-undang. Payung
hukum yang meregulasi perawat adalah UU Kesehatan Nomor 36 tahun 2009,
Permenkes nomor 148 tahun 2010 tentang praktik keperawatan, kemudian SK Menkes
no. 729 tahun 2006, Permenkes no. 1796 tahun 2011 tentang sertifikasi, Sk
Dirjen Yanmedik no. 00.06.5.1.311 dan MRA on Nursing Services tahun
2006.
8..Bagaimana
problematika perlindungan hukum terhadap perawat dari aspek peraturan
perundang-undangan ?
Sebagaimana paradigma baru, bahwa pembangunan kesehatan
ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai
salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 dan kesehatan sebagai hak asasi manusia harus
diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh
masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan
terjangkau.
Untuk
penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau, maka
dibutuhkan sebuah profesi yang dinamakan perawat
sebagai salah satu tenaga kesehatan dan
patut disadari, bahwa profesi keperawatan memiliki peran dan fungsi
sangat strategis dalam pembangunan bidang kesehatan, sedangkan pada sisi lain keperawatan adalah profesi
dibidang kesehatan yang bertanggung jawab dan akuntabel terhadap pelayanan
keperawatan kepada masyarakat dan perlu dijamin serta dilindungi oleh
undang-undang demi terselenggaranya pelayanan keperawatan yang aman dan
berkualitas.
Berbicara
pelayan kesehatan, maka tidak terlepas dari
hal yang berkaitan dengan pelayanan keperawatan, mengapa, karena
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh perawat
secara terus menerus berdasarkan keilmuan yang kokoh, kaidah etik dan nilai
moral, serta standar profesi.
Dengan demikian
praktik keperawatan sebagai inti dari pelayanan keperawatan yang didasarkan
pada kewenangan yang diberikan kepada perawat karena keahliannya, yang
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan kesehatan masyarakat, perkembangan ilmu
pengetahuan dan tuntutan globalisasi. Untuk itu perlu memberikan perlindungan
dan kepastian hukum kepada masyarakat dan perawat diperlukan pengaturan mengenai
penyelenggaraan praktik keperawatan.
Jika kita
mengikuti perkembangan RUU yang berkaitan dengan perlindungan hukum profesi
perawat,maka ada dua RUU sebagaimana dijelaskan oleh Sekjen Kemenkes Dr. Supriyantoro mengungkapkan bahwa pihak pemerintah saat ini lebih
fokus menyelesaikan RUU tentang Nakes yang dinilainya lebih strategis. “Adanya
UU tentang Nakes nantinya akan menjawab semua harapan nakes tidak hanya
perawat, tetapi semua tenaga profesi kesehatan yang ada,” Dia beralasan,
mendahulukan mengesahkan RUU tentang Keperawatan akan berdampak luas terhadap
tuntutan dari profesi lain yang jumlahnya mencapai puluhan. “Saat ini saja
profesi dari kalangan Apoteker juga menuntut untuk dibuatkan undang-undangnya,”
Pada sisi lain Ketua Komisi IX DPR RI Dr. Ribka Ciptaning menegaskan, usulan RUU
tentang Keperawatan sudah menjadi usul inisiatif DPR dan sudah diparipurnakan
bulan Februari 2013 lalu.Sekarang DPR tinggal menunggu Amanat Presiden (Ampres)
yang perlu dibahas oleh pemerintah dalam hal ini Kemenkes. Pembahasan RUU
keperawatan ini dapat segera dimulai, sehingga 2013 ini dapat diselesaikan
menjadi UU. Dan diharapkan RUU ini segera dibahas, dan dapat diselesaikan tahun
ini.Dia mengatakan, hadirnya UU Keperawatan diharapkan mampu melahirkan perawat
yang berkualitas untuk memenuhi kebutuhan pemerataan pelayanan kesehatan di
pelosok wilayah tanah air. "Sudah sewajarnya perawat mendapat
perlindungan hukum, karena saya yakin perawat adalah pejuang rakyat.
9
RUU yang mana mau dimenangkan RUU Perawatan atau RUU tenaga Kesehatan ?
Hasil sidang paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) hari Selasa, 12
Februari 2013 lalu telah membawa angin segar bagi segenap civitas Perawat Indonesia, baik yang ada di
tanah air maupun yang beroporasi di mancanegara. Bagaimana tidak, satu langkah
maju telah diraih. Setelah menjalani perjalanan panjang sejak masuk Prioritas
Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2008 sehingga
kini nasibnya tidak jelas. Baru kali pertama, Rancangan Undang-Undang Keperawatan (RUU Keperawatan) menunjukkan
kemajuan yang cukup signifikan.
Namun kiranya kebahagiaan Perawat Indonesia tidak akan bertahan
lama, karena Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia (Kemenkes RI) sehingga saat ini tetap “keukeuh” dan menginginkan
bahwa Rancangan Undang-Undang Tenaga Kesehatan (RUU Nakes)-lah yang
perlu didahulukan dibandingkan dengan RUU Keperawatan. Alasannya karena
RUU Nakes akan berdampak pada perlindungan terhadap semua profesi kesehatan yang ada di Indonesia, sedangkan RUU Keperawatan hanya ditujukan
untuk satu profesi saja, yaitu profesi Perawat.
Alasan lain yang mengeraskan hati pimpinan Kemenkes RI karena Perawat sudah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun
1992 maupun revisinya dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun
2009. Selain itu, Praktik Keperawatan juga telah diatur
dalam Kepmenkes No. 1239
Tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat maupun Kepmenkes lain yang berkaitan, sehingga tidak
perlu untuk dibuat Undang-Undangnya secara khusus. Oleh Karena itu
setelah Perawat mengajukan RUU Keperawatan di DPR RI dan mulai masuk Prolegnas di tahun 2008,
Pemerintah berinisiatif untuk memajukan pula RUU Nakes pada tahun 2012. Saat
ini kedua RUU yang mengatur korps berbaju putih ini sedang adu
kekuatan di DPR RI.
Sementara itu, para Perawat yang tergabung
PPNI tetap keukeuh agar segera disahkannya RUU Keperawatan sebagai
Undang-Undang Keperawatan. Alasan utama
Perawat adalah untuk mendapatkan pengakuan dari negara bahwa Perawat adalah
sebuah profesi yang independent. Selain itu, aktivitias Keperawatan yang senantiasa
bersentuhan langsung dengan pasien memungkinkan para Perawat untuk digugat dan
diperadilankan secara tidak fair apabila tidak memiliki Undang-Undang Keperawatan sendiri. Pengesahan
RUU Keperawatan menjadi UU Keperawatan juga diperlukan agar
profesi Perawat dapat diakui oleh
dunia internasional, karena di ASEAN saja, tinggal
Indonesia dan Vietnam yang belum memiliki UU Keperawatan sehingga eksistensi
Perawat Indonesia di mancanegara kurang mendapatkan pengakuan secara layak baik
dari segi kedudukan maupuan gaji yang didapat.
Saat ini RUU Keperawatan sudah disahkan
menjadi RUU atas inisiatif DPR RI, sedangkan RUU Nakes
sejak awal memang diusung oleh Kemenkes RI. Agar RUU Keperawatan dan RUU Nakes
ini disahkan menjadi UU maka kedua belah pihak harus bersetuju. Akan lebih
powerfull mana antara kedua RUU tersebut yang akhirnya nanti disahkan sebagai
UU? Kita lihat saja nanti pada episode selanjutnya di DPR RI dan Kemenkes RI
10. Bagaimana sikap Organisasi profesi yang
mendorong RUU Tenaga Kesehatan ?
Jika kita
mengamati perkembangan pada tanggal 4 Maret 2013 Komite III DPD RI mengundang beberapa organisasi
profesi terkait yaitu Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Ahli Gizi
(Persagi), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Pertemuan dengan ketiga
organisasi tersebut terangkum dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang
dipimpin oleh Ketua Komite III, Hardi Selamat Hood. diJakarta
Ketua Pimpinan
Pusat IBI, Emi Durjasmi, menyatakan
dukungan IBI terhadap RUU Tenaga Kesehatan tersebut karena beberapa alasan.
“Kami menyambut baik RUU Tenaga Kesehatan ini karena aturan tentang registrasi
Tenaga Kesehatan yang tercantum sesuai dengan standar profesi dan standar
pelayanan. Selain itu, dalam RUU Tenaga Kesehatan juga terdapat pengakuan
terhadap profesi untuk mengembangkan pengetahuan. “Kualifikasi pendidikan
minimal yang diatur, yaitu Diploma III, juga kami sepakati,”
Dalam
presentasinya, Emi Durjasmi juga
memberikan beberapa masukan dalam sejumlah pasal seperti dalam Pasal 1 Ayat 2,
merasa perlu ada penjelasan tentang siapa yang disebut masayarakat dalam ayat
tersebut. “Kemudian untuk Pasal 30, mohon dimasukkan peran organisasi dalam uji
kompetensi dan sertifikasi,”.
Selanjutnya,
dirinya berharap agar kelak RUU ini akan benar-benar menjadi UU disusul oleh UU
yang mengatur profesi lainnya. “Setiap profesi sebenarnya memerlukan
Undang-undang karena tuntutan pengakuan dari internasional. Bidan misalnya,
saat ini banyak bidan Indonesia yang bekerja di Arab Saudi dan mereka
membutuhkan pengakuan internasional serta UU sebagai payung hukum,”
Menanggapi
pernyataan Ketua PP IBI tersebut, senator Ahmad
Jajuli Anggota DPD RI dari Provinsi Lampung.mengatakan bahwa setiap RUU
untuk profesi tertentu harus didukung karena hal tersebut merupakan pintu masuk
bagi profesi lainnya. “Paradigma berpikir kita harus terbuka dan saling
mendukung. Jangan halangi profesi lain untuk memperoleh UU karena hal itu akan
menjadi pintu masuk bagi profesi lainnya dan merupakan sebuah contoh tentang
bagaimana memperjuangkan UU.”
11 Pasal RUU
Perawatan yang manakah yang berkaitan dengan perlindungan hukum keperawatan
yang menjadi “krusial point ?
Pasal 6 RUU Perawatan
Wewenang Perawat
1.
Kewenangan
perawat adalah:
1.
Menetapkan
diagnosis keperawatan
2.
Merencanakan
tindakan keperawatan
3.
Melaksanakan
tindakan keperawatan
4.
Mengevaluasi
hasil tindakan keperawatan
5.
Melakukan
rujukan klien
6.
Menerima
konsultasi keperawatan
7.
Melakukan
pelayanan keperawatan dan atau kesehatan dirumah
8.
Memberikan
pengobatan terbatas dan tindakan medik terbatas sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku
2.
Melaksanakan
tugas limpah
3.
Dalam keadaan
darurat yang mengancam kehidupan atau nyawa klien perawat dapat melakukan
tindakan di luar kewenangan.
4.
Dalam keadaan
luar biasa atau bencana, perawat dapat melakukan tindakan di luar kewenangan
untuk membantu mengatasi keadaan luar biasa atau bencana tersebut.
5.
Untuk
meningkatkan akses dan cakupan pelayanan kesehatan, perawat dapat melakukan
tindakan di luar kewenangannya sebagai perawat dengan ketetapan pemerintah
daerah setempat.
6.
Kewenangan
perawat vokasional dan profesional lebih rinci diatur dalam peraturan konsil.
Jika kita kaitkan
dengan kode etik dalam lampiran
Keputusan Munas VI/PPNI Nomor : 09/MUNAS VI/PPNI/2000 tentang Kode Etik
Perawatan Indonesia pada klasul Perawat dan Praktik pada angka 3
yang menyatakan : Perawat dalam
membuat keputusan didasarkan pada informasi yang adekuat dan
mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi seseorang bila melakukan
konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain.
Subtansi ini sudah tertampung dalam Permenkes
nomor 148 tahun 2010 tentang praktik keperawatan, kemudian SK Menkes no. 729
tahun 2006, Permenkes no. 1796 tahun 2011 tentang sertifikasi, Sk Dirjen
Yanmedik no. 00.06.5.1.311 dan MRA on Nursing Services tahun 2006.
12. Secara hukum apakah bisa perawat melakukan
tindakan diluar kewenangannya ?
RUU Perawatan
secara khusus memberikan jawaban pada pasal 1 angka 2 dan pasal 5 :
Pasal 1
2.
Praktik
keperawatan adalah tindakan perawat berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan yang
diberikan dalam bentuk asuhan keperawatan kepada individu, keluarga, dan atau
masyarakat pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan untuk mengatasi masalah
keperawatan yang dihadapi.
Pasal
5
Praktik Keperawatan
1.
Praktik
keperawatan dapat dilaksanakan diberbagai difasilitas kesehatan yang diberikan
melalui asuhan keperawatan untuk klien individu, keluarga, kelompok, masyarakat
dalam menyelesaikan masalah keperawatan dan atau masalah kesehatan sederhana
dan komplek.
2.
Asuhan
keperawatan dapat dilakukan melalui tindakan keperawatan mandiri dan atau
kolaborasi dengan tim kesehatan dan atau dengan sektor terkait lain
3.
Tindakan
mandiri keperawatan antara lain adalah:
1.
Melakukan
terapi keperawatan, observasi keperawatan, terapi komplementer, penyuluhan
kesehatan, nasehat dan konseling, advokasi, dan edukasi dalam rangka
penyelesaian masalah keperawatan dan atau kesehatan melalui pemenuhan kebutuhan
dasar manusia dalam upaya memandirikan klien.
2.
Memberikan
pengobatan terbatas dan tindakan medik terbatas sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku
3.
Melaksanakan
pelayanan KB, imunisasi, pertolongan persalinan normal
sesuai Program Pemerintah.
sesuai Program Pemerintah.
4.
Melaksanakan
tugas limpah dari tenaga kesehatan lain dalam pelaksanaan program pengobatan
dan atau tindakan medik tertentu.
5.
Tindakan
kolaborasi keperawatan dengan tim kesehatan lain atau dengan sektor terkait
lain mencakup pembuatan dan pelaksanaan program kesehatan lintas sektoral,
lintas program dan lintas profesi untuk promosi kesehatan, pencegahan penyakit,
pemulihan dan rehabilitasi kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat
6. Rancangan Undang-Undang Keperawatan
batal diajukan menjadi RUU inisiatif DPR. Sebab, Badan Legislasi (Baleg) belum
menyetujui untuk melakukan harmonisasi terhadap RUU tersebut setelah diajukan
oleh Panitia Kerja (Panja) RUU Keperawatan.
13.
Bagaimana Nasib RUU Keperawatan ?
Pertanggan 14 Desember 2012,Balek sebenarnya sudah membatalkan, karena menurut Ketua Panja RUU Keperawatan, Nova
Riyanti Yusuf, keputusan Baleg tersebut muncul karena saat ini Komisi IX tengah
ditugaskan untuk membahas RUU Tenaga Kesehatan Terlebuh dahulu sebelum
melakukan pembahasan terkait RUU Keperawatan. Kalau menurut Baleg, ini kenapa
RUU Keperawatan seperti memaksa, sedangkan RUU Tenaga Kesehatan sudah turun Ampres
(Amanat Presiden) dan sudah turun dari Bamus DPR RI yang menginstruksikan ke
Komisi IX DPR RI untuk membahas RUU Tenaga Kesehatan. Nah, RUU Keperawatan
malah mau dibahas sebelum gimana,".Dikatakan Nova, dalam perspektif
Baleg menjadi aneh ketika UU yang khusus mengenai Perawat terlebih dahulu
dibahas sebelum selesai diundangkannya UU yang bersifat umum.Ada RUU kesehatan
yang disitu isinya seluruh Tenaga
Kesehatan diatur termasuk keperawatan. Jadi menurut Baleg UU Kesehatan yang
sudah ada ibunya, tapi anaknya belum lahir malah cucunya duluan yang mau
dibahas," Kendati proses perjuangan agar RUU Keperawatan menjadi RUU
inisiatif DPR RI belum berhasil, pihaknya akan terus berusaha agar RUU
Keperawatan dapat segera di sahkan dengan tetap sejalan dengan konsep dalam RUU
Tenaga Kesehatan. Menurut Nova :”Saya tidak bisa memaksakan kehendak dan hanya
mengikuti anjuran Baleg, nanti RUU ini kami harmonisasi RUU Tenaga Kesehatan”
Ada multi tafsir secara tegas
tertulis di UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 63 (3) dan (4)
bahwa “Pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan
ilmu kedokteran dan ilmu
keperawatan
atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan kemanfaatan dankeamanannya Dan juga “Pelaksanaan pengobatan dan/atau
perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dankewenangan untuk
itu.” Menerangkan bahwa keperawatan adalah sebuah entitas yangtelah diakui
secara Yuridis, dalam hal penyembuhan, pemulihan dan pengendalianmemerlukan
Perawatan yang berdasrkan ilmu Keperawatan, tentu memerlukan pengaturan lebih
lanjut secara teknis Profesi dalam bentuk UU keperawatan
Untuk itu secara
tegas UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 21 ayat (3) yang berbunyi
“Untuk Tenaga Kesehatan diatur dengan
undang-undang”
, maka secara peraturan perundang-undangan ada norma perintah yang tegas,
sedangkan RUU Perawatan tidak ada norma diundang-undang No 36 Tahun 2009 secara
tegas. Kemudianm apa yang dimaksudkan dengan tenaga kesehatan ?
Tenaga kesehatan adalah
setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.(Pasal 1 angka 6) 1 angka 2 UU No 36 Tahun 2009) menyatakan : Sumber
daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta
fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau masyarakat. Sedangkan yang dimaksud Upaya kesehatan adalah
setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu,
terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau
masyarakat. (Pasal 1 angka 11 UU No 36 Tahun 2009).
14. Apakah
yang dimaksud Informed consent ?
Informed consent adalah persetujuan individu terhadap
pelaksanaan suatu tindakan, seperti operasi atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan
pemberitahuan lengkap tentang risiko, manfaat, alternatif, dan akibat
penolakan. Informed consent merupakan kewajiban hukum bagi penyelengara
pelayanan kesehatan untuk memberikan informasi dalam istilah yang dimengerti
oleh klien sehingga klien dapat membuat pilihan. Persetujuan ini harus
diperoleh pada saat klien tidak berada dalam pengaruh obat seperti narkotika.
Secara harfiah informed consent adalah persetujuan
bebas yang didasarkan atas informasi yang diperlukan untuk membuat persetujuan
tersebut. Dilihat dari pihak-pihak yang terlibat , dalam praktek dan penelitian
medis, pengertian “informed consent” memuat dua unsur pokok, yakni:
1. Hak pasien (atau subjek manusiawi yang
akan dijadikan kelinci percobaanmedis) untuk dimintai persetujuannya bebasnya
oleh dokter (tenaga medis) dalam melakukan kegiatan medis pada pasien tersebut,
khususnya apabila kegiiatan ini memuat kemungkinan resiko yang akan ditanggung
oleh pasien.
2. Kewajiban dokter (tenaga riset medis)
untuk menghormati hak tersebut dan untuk memberikan informasi seperlunya,
sehingga persetujuan bebas dan rasional dapat diberikan kapada pasien.
Dalam
pengertian persetujuan bebas terkandung kemungkinan bagi pasien untuk menerima
atau menolak apa yang ditawarkan dengan disertai penjelasan atau pemberian
informasi seperlunya oleh tenaga medis (Sudarminta, J. 2001).
Dilihat dari
hal-hal yang perlu ada agar informed consent dapat diberikan oleh pasien maka,
seperti yang dikemukakan oleh Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, dalam
pengertian informed consent terkandung empat unsur, dua menyangkut pengertian
informasi yang perlu diberikan dan dua lainnya menyangkut perngertian
persetujuan yang perlu diminta. Empat unsur itu adalah: pembeberan informasi,
pemahaman informasi, persetujuan bebas, dan kompetensi untuk membuat
perjanjian.
Mengenai
unsur pertama, pertanyaan pokok yang
biasanya muncul adalah seberapa jauh pembeberan informasi itu perlu
dilakukan. Dengan kata lain, seberapa jauh seorang dokter atau tenaga kesehata
lainnya memberikan informasi yang diperlukan agar persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau subyek riset medis dapat disebut suatu persetujuan informed. Dalam menjawab pertanyaan ini dikemukakan
beberapa standar pembeberan, yakni:
a.
Standar
praktek profesional (the professional
practice standard)
b. Standar pertimbangan akal sehat (the reasonable person standard)
c.
Standar
subyektif atau orang perorang (the
subjective standard)
Menurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, PTM
(Persetujuan Tindaka Medis) berarti ”persetujuanyang diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakanmedik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut”. Dari pengertian
diatas PTMadalah persetujuan yang diperoleh sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan atau tindakan medik
apapun yang akan dilakukan.
Persetujuan tersebut disebut dengan Informed Consent
Informed. Consent hakikatnya adalah hukum
perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan
tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian
terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum
Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu
perjanjjian yaitu:
a.
Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
b.
Para pihak cakap untuk membuat perikatan
c. Adanya
suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan
perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
Jika sepakat
maka berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak (Pasdal 1338 KUH
Perdata)
15. Bagaimana Sejarah Informed Consent ?
Konsep informed consent dapat dikatakan merupakan
suatu konsep yang relatif masih baru dalam sejarah etika medis. Secara histori
konsep ini muncul sebagai suati prinsip yang secara formal ditegaskan hanya
setelah Perang dunia ke II, yakni sebagai reaksi dan tindakan lanjut dari apa
yang disebut pengadilan Nuremberg, yakni pengadilan terhadap para penjahat
perang zaman Nazi. Prinsip informed consent merupakan reaksi terhadap
kisah-kisah yang mengerikann tentang pemakaian manusia secara paksa sebagai
kelinci percobaan medis di kamp-kamp konsentrasi. Sejak pengadilan Nuremberg,
prinsip inforned consent cukup mendapat perhatian besar dalma etika biomedis
(Sudarminta, J. 2001).
Dalam hukum Inggris-Amerika, akjaran tentang informed
consent juga berkaitan dengan kasus-kasus malpraktek yang melibatkan perbuatan
tertentu pada tubuh pasien yang kompeten tanpa persetujuannya dalam kasus
tersebut dipandang tidak dapat diterima lepas dari pertimbangan kualitas
pelayanan. Mengingat pentingnya informed consent dalam pelayanan medis, maka
dalam salah satu butir panduan (yakni butir No. 11) dan butir-butir panduan
etis untuk Lembaga-lembaga Pelayanan Medis Katolik di Amerika terdapat
pernyataan sebagai berikut.
Pasien
adalah pembuat keputusan utama dalam semua pilihan yang berhubungan dengan
kesehatan dan perawatannya, ini berarti ia adalah pembuat keputusan pertama,
orang yang diandaikan memprakarsai keputusan berdasarkan keyakinan hidup dan
nilai-nilainya. Sedangkan pembuat keputusan sekunder lainnya juga mempunyai
tanggung jawab.
Jika secara
hukum pasien tidak mampu membuat keputusan atau mengambil inisiatif, seorang
pelaku yang lain yang menggantikan pasien. Biasanya keluarga pasien, kecuali
kalau sebelumnya pasien telah menunjuk orang lain yang bertanggung jawab untuk
berusaha menentukan apa yang kiranya akan dipilih oleh pasien, atau jika itu
tidak mungkin, berusaha dipilih apa yang paling menguntungkan bagi pasien.
Para pemegang profesi pelayanan kesehatan juga
merupakan pembuat keputusan kedua, dengan tanggung jawab menyediakan pertolongan
dan perawatan untuk pasien sejauh itu sesuai dengan keyakinan hidup dan
nilai-nilai mereka. Kebijakan dan praktek rumah sakit harus mengakui serangkai
tanggung jawab ini.
Para pemegang profesi pelayanan kesehatan bertanggung
jawab untuk memberikan informasi yang mencukupi dan untuk memberikan dukungan
yang memadai kepada si pasien, sehingga ia mampu memberikan keputusan yang
dilandasi pengetahuan mengenai perawatan yang mestinya dijalani.
Perlu disadari bahwa bantuan dalam profesi pengambilan
keputusan merupakan bagian penting dalam perawatan kesehatan. Kebijakan dan
dokumen mengenai informed consent haruslah diupayakan untuk meningkatkan dan
melindungi otanomi pasien, bukan pertama-tama melindungi rumah sakit dan
petugas pelayanan medis dari perkara pengaduan hukum.
16. Apa Fungsi informed consent ?
Menurut Katz & Capran,
fungsi informed Consent :
•
promosi otonomi individu.
• Proteksi terhadap pasien dan subjek.
• Menghindari kecurangan, penipuan dan paksaan.
•
Mendorong adanya penelitian yang cermat.
•
Promosi keputusan yang rasional
•
Menyertakan publik.
Semua tindakan medik/keperawatan yang akan dilakukan
terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Persetujuan :
• Persetujuan
; Tertulis maupun lisan.
• Persetujuan diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat.
• Cara
penyampaian informasi disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan
situasi pasien.
• Setiap tindakan yang mengandung risiko tinggi harus dengan
persetujuan, selain itu dengan lisan.
17. Adakah Informed Consent di profesi Keperawatan ?
Tidak meratanya penyebaran tenaga dokter
di pedesaan mengakibatkan tenaga keperawatan melakukan intervensi medik bukan intervensi perawatan. Mengingat perawat
sebagai tenaga kesehatan terdepan
dalam pelayanan kesehatan di masyarakat, Pemerintah menerbitkan Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor HK.02/Menkes/148/2010 Tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Perawat.
Pasal 8 ayat (3) Permenkes menyebutkan praktik keperawatan meliputi
pelaksanaan asuhan keperawatan, pelaksanaan upaya promotif, preventif,
pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat dan pelaksanaan tindakan keperawatan
komplementer. dari pasal tersebut menunjukkan aktivitas perawat dilaksanakan
secara mandiri (independent) berdasar pada ilmu dan asuhan keperawatan, dimana
tugas utama adalah merawat (care) dengan cara memberikan asuhan keperawatan
(nurturing) untuk memuaskan kebutuhan fisiologis dan psikologis pasien.
Dengan kata lain, perawat memiliki hubungan langsung dengan pasien secara
mandiri. Hubungan langsung antara perawat dengan pasien utamanya terjadi di
rumah atau puskesmas yang mendapatkan rawat inap atau pasien yang mendapatkan
perawatan di rumah, home care.
Sementara perawat yang melakukan keperawatan mandiri menurut ketentuan
Pasal 22 ayat (1) PP No.32 Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan jo. Pasal 12
ayat (1) Permenkes Nomor HK.02.02/Menkes/148/2010 memimiliki kewajiban
diantaranya menghormati hak pasien, memberi informasi, meminta persetujuan
terhadap tindakan yang akan dilakukan dan memberikan pelayanan keperawatan
sesuai dengan standar profesi dan kode
etik keperawatan.Sehingga kewajiban perawat tersebut menjadi hak bagi
pasien. Dengan begitu, hubungan antara perawat dan pasien merupakan hubungan
hukum (perjanjian) yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak.
Oleh karena itu, aspek keperdataan dalam pelayanan keperawatan berpokok pangkal
pada hubungan pasien.
Hingga saat ini perjanjian keperawatan
atau informed consent keperawatan belum diatur secara tertulis dan baru
mengatur informed consent tindakan kedokteran sebagaimana diatur dalam
Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008. Sehingga tindakan medik yang dilakukan
perawat pada prinsipnya berdasar delegasi secara tertulis dari dokter.
Kecuali dalam keadaan darurat, perawat
diizinkan melakukan tindakan medik tanpa delegasi dokter sesuai Pasal 10 ayat
(1) Permenkes No. HK. 02.02/Menkes/148/2010, dan aturan Permenkes ini pada
dasarnya mirip dengan rumusan yang dikeluarkan oleh American Nurse Association
(ANA) di tahun 1970. Perluasan tugas yang diberikan pada perawat di Amerika
sejak tahun 1970 tentu tidak berarti peranan perawat yang diperluas dapat
ditafsirkan seluas-luasnya. Artinya,
tidak semua tindakan medik dan wewenang profesi kedokteran dapat dilakukan oleh
perawat.
Permasalahan ini tentu saja tidak hanya
berimplikasi pada upaya preventif dan kuratif, namun juga pada aspek etika dan
hukum. Sebab tindakan medik yang dilakukan oleh perawat dalam kondisi darurat
dalam praktik belum menunjukan batas-batas yang jelas. Dalam konteks ini perlu
dirumuskan secara yuridis terhadap tindakan medik tersebut, sehingga tindakan
medik yang dilakukan oleh perawat akan lebih terlindungi. "Aturan yang
memadai mutlak diperlukan dalam menegakkan hak dan kewajiban. Perawat perlu
perlindungan dan kepastian hukum, sebagaimana pasal 28D ayat (1) UUD NKRI 1945
yang menyebut, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum.
18 Bagaimana Bentuk Informed Consent
secara konsepsional ?
Ada dua
bentuk informed consent (Febiyanti Rizky, 2011) Implied constructive Consent
(Keadaan Biasa) Tindakan yang biasa dilakukan , telah diketahui, telah
dimengerti oleh masyarakat umum, sehingga tidak perlu lagi di buat tertulis
misalnya pengambilan darah untuk laboratorium, suntikan, atau hecting luka
terbuka.
Implied Emergency Consent (keadaan
Gawat Darurat)
Secara umum bentuk persetujuan yang
diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi
tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan
untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam
PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No.
319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung
resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah
sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya
tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed
consent)
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan
untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko
tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien\
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan
pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa
tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui
tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya. Tujuan Informed Consent:
a. Memberikan perlindungan kepada pasien
terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik
tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap
suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa
resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko (Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008
Pasal 3 ).
19 .Apa Perlindungan Hukum Pasien
terhadap informed Consent ?
Perlindungan pasien tentang hak
memperoleh Informed Consent dan Rekam Medis dapat dijabarkan seperti dibawah
ini: UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan Pasal 56
(1)
Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami
informasi mengenai tindakan tersebut
secara lengka
(2) Hak menerima atau menolak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secaracepat menular ke dalam masyarakat
yang lebih luas
b. keadaan
seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan
mental berat
Pontianak, 20 April 2013
Pengamat Fsikologi Hukum UNTAN
0 komentar:
Posting Komentar