MENGAGAS DAN MEMPERKUAT
LEMBAGA PERWAKILAN INDONESIA DALAM PERUBAHAN KELIMA UUD NEGARA R.I. 1945
(Suatu Analisis Dari Sistem
Tiga Kamar menjadi Dua Kamar
Berdasarkan Prinsip Bhinneka
Tunggal Ika)
Oleh: Turiman Fachturahman Nur
Email: qitriaincenter@yahoo.co.id
Blog: Rajawali Garuda Pancasila.
HP 08125695414
1.
Selaras
dan seiring dengan dinamika kehidupan hukum dan kenegaraan, maka materi muatan
konstitusi harus dapat menyesuaikan konteks kekinian dan masa depan. Oleh
karena amandemen konstitusi dipandang tidak cukup hanya perubahan parsial,
namun hendaknya merupakan sebuah konsep perbaikan yang lebih komprehensif dan
berorientasi masa depan.
2.
Pada
tataran demikian, maka perubahan konstitusi adalah keniscayaan zaman, serta
perlunya dibuat perubahan yang lebih komprehensif. Ini artinya upaya
penyempurnaan perubahan UUD Negara RI 1945 perlu didukung oleh sebuah dukungan
mayoritas elit politik dan dukungan rakyat.
3.
Keniscayaan
perubahan UUD dapat ditelusuri dari pandangan Franscois Venter yang berpendapat, bahwa konsep “Konstitusi” itu
dinamis.Menurutnya, Konstitusi yang “final” tidak ada, karena konstitusi suatu
negara itu bergerak bersama-sama dengan negara itu sendiri[1].
Sedangkan John P Wheeler, Jr.terang-terangan berpendapat bahwa perubahan
konstitusi adalah keniscayaan.[2].
Bahkan Romano Prodi menyatakan,
“konstitusi yang tidak bisa diubah adalah konstitusi yang lemah, karena “ia
tidak bisa beradaptasi dengan realitas, padahal sebuah konstitusi harus bisa
diadaptasikan dengan realitas yang terus berubah”[3].
4.
Lebih
tegas lagi menurut Brannon P Denning,
sebuah mekanis amandemen konstitusi sangat diperlukan untuk menjamin generasi
generasi yang akan datang punya alat untuk secara efektif menjalankan kekuasaan-kekuasaan mereka untuk
memerintah.[4]
Kemudian tidak juga berbeda , Thomas
Jefferson menegaskan, bahwa hukum hukum dan lembaga-lembaga harus seiring
dengan perkembangan pemikiran manusia. Ketika pemikiran manusia menjadi lebih
maju, lebih terarahkan, ketika temuan-temuan baru dibuat, kebenaran-kebenaran
baru ditemukan, dan sikap-sikap serta pendapat-pendapat berubah, sejalan dengan
berubahnya situasi dan kondisi, maka lembaga-lembaga negara pun harus ikut maju
agar tidak ketinggalan zaman.[5]
5.
Pada
tataran Indonesia dan faktual Indonesia, bahwa perubahan hukum dasar tertulis,
yaitu UUD negara bukanlah hanya persoalan menyempurnakan hukum dasar, tetapi
materi muatan perubahan juga harus berpijak dengan fakta sejarah bangsa itu
sendiri dan prinsip kenegaraan yang telah disepakati. Apalagi hal-hal yang
berkaitan dengan kondisi faktual dan
fakta sejarah kehidupan kenegaraan.
6.
Berdasarkan
berbagai pandangan di atas, maka perubahan UUD Neg RI 1945 untuk amandemen kelima adalah sebuah keniscayaan, mengapa demikian,
karena menurut penulis ada tiga prinsip, yakni berkaitan dengan prinsip negara
hukum (pasal 1 ayat 3), prinsip supremasi konstitusi (Pasal 1 ayat (2), dan
yang ketiga adalah prinsip Bhinneka Tunggal Ika (pasal 36A).
7.
Berkaitan
prinsip Bhinneka Tunggal Ika ini, sebenarnya bisa dimainkan secara strategis
oleh DPD RI, karena mewakili karakteristik daerah dan kepentingan yang berbeda
dibanding dengan DPR, namun dapat diperjuangkan bersama dalam satu lembaga
perwakilan sesuai dengan namanya Dewan Perwakilan Daerah.
8.
Kehadiran
DPD RI sebenarnya dapat menjadi lembaga penyeimbang dan mengawal pelaksanaan
otonomi daerah dan diharapkan mampu menjembatani kepentingan pusat dan daerah,
serta memperjuangan kesejahteraan daerah yang berkeadilan dan berkesetaraan.
Pada tataran ini DPD RI dibentuk bertujuan untuk meningkatkan derajat
keterwakilan daerah.
9.
Pada
tataran sistem ketatanegaraan seharusnya DPD hadir sebagai kamar kedua di
parlemen dan mewujudkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (check and balance), namun pada tataran
pratiknya, DPD pada fungsi legislatif tidak diberikan kewenangan yang seimbang.
10.
Menjelang
satu dasar warsa perubaan UUD, DPD RI berpendapat, bahwa perlu adanya penataan
kembali sistem ketatanegaraan meliputi semua cabang kekuasaan secara
komprehensif dan tidak parsial dan ada 10 isu strategis yang tersisa pasca
empat tahap perubahan UUD. Sepuluh isu strategis itu adalah memperkuat sistem
presidensiil, memperkuat lembaga
perwakilan, dibuka ruang bagi calon presiden perorangan, pemilahan pemilu
nasional dan lokal, forum previllegeatum, optimalisasi peran Makamah
Konstitusi, penambahan padsal HAM, penambahan bab komisi negara, penajaman bab
tentang pendidikan dan perekonomian.
11.
Terhadap
10 isu strategis tersebut, yang terpenting dalam konstruksi hukum tata negara
adalah Memperkuat Lembaga Perwakilan,
karena esensi terpenting dari perubahan secara Sistem Ketatanegaraan Indonesia
pada formatnya seharusnya harus mampu menjabarkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika
dalam negara persatuan Indonesia.Pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakah
Negara Indonesia berkehendak menganut dua kamar dalam lembaga perwakilan, jika
jawaban ia, maka pertanyaan hukum tata negara selanjutnya adalah sistem
bikameral yang bagaimanakah yang dianut dalam perubahan UUD 1945 ? Jika sudah
sepaham permasalahan ini, maka perubahan kelima UUD Negara 1945 menjadi sesuatu
yang urgen.
12.
Untuk
membedah ini, maka perlu diajukan apa sebenarnya hakekat perwakilan yang ingin
dianut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia kedepan dalam konteks
ketatanegaraan yang khas Indonesia?
13.
Fakta
sejarah telah memaparkan kepada publik, bahwa perubahan ketiga UUD 1945
ternyata gagasan pembentukan DPD RI dalam rangka restrukturasi parlemen
Indonesia menjadi dua kamar telah diadopsi. Fakta yuridis konstitusional dapat
dilacak secara implisit namun tidak tegas pada BAB II dengan judul BAB Majelis
Permusyawaratan Rakyat, pada Pasal 2 ayat (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat
terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwkilan Daerah
yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan
undang-undang.
14.
Jika
Urgensi Perubahan UUD Neg 1945 kelima bertujuan untuk memperkuat lembaga
perwakilan, yaitu ditujukan untuk meningkatkan kualitas kebijakan dari segi
derajat keterwakilan dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan,
maka diperlukan mekanisme check and
balance antar kamar dalam fungsi lembaga perwakilan. Menurut penulis Pasal
2 ayat (1) harus direkonstruksi lebih
dahulu.
15. Rekonstruksi yang dimaksudkan adalah kita
harus sepakat secara hukum tata negara apakah MPR sebagaimana konstruksi hukum pasal 2 ayat (1)
saat ini disepakati semata-mata sebagai forum belaka, sebagaimana subtansi pada
pasal-pasal usulan perubahan kelima UUD 1945 yang diusulkan oleh DPD RI, karena
menurut penulis belum ada rumusan teks hukum yang diusulkan oleh DPD RI
terhadap rumusan pasal 2 ayat (1) UUD 1945, maka menurut penulis Pasal 2 ayat 1
UUD 1945 harus ditegaskan lebih dahulu dengan rumusan :” Pasal 2 ayat (1)
Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Forum
bersama yang terdiri Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah “.
16.
Konstruksi
hukum terhadap rumusan ini dimaksudkan kita ingin menegaskan, bahwa parlemen
Indonesia menjadi dua Kamar dan secara eksplisit saat ini dapat terlacak dari
teks hukum negara Pasal 20 UUD 1945 mengatur DPR dan Pasal 22 C dan Pasal 22D
mengatur DPD. Perbedaan keduanya terletak pada hakekat kepentingan yang diwakili
masing-masing. Dewan Perwakilan Rakyat dimaksudkan untuk mewakili rakyat, siapa
yang dimaksudkan rakyat disini adalah Rakyat Indonesia oleh karena itu yang
diwakili rakyat yang hidup didaerah-daerah yang sudah mengikuti pemilihan umum
untuk memilih wakil rakyat yang terpilih untuk menduduki kursi di DPR, dalam
prinsip “Bhinneka Tunggal Ika” DPR adalah mewakili prinsip Tunggal, yaitu satu
kepentingan, yaitu kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan sebagaimana sila keempat. Tetapi Dewan Perwakilan
Daerah hakekatnya mewakili Daerah Otonom yang masing masing memiliki
karakteristik yang beraneka ragam, oleh karena itu DPD itu mewakili prinsip
Bhinneka atau mewakili persatuan Indonesia pada sila ketiga Pancasila.
17. Fakta sejarah Soekarno pada tanggal 22
Juli 1958 memaknai Bhinneka Tunggal Ika itu adalah sebagai berikut :[6]
“Saudara-saudara, lihatlah Lambang Negara kita di
belakang ini, alangkah megahnya, alangkah hebat dan cantiknya.
Burung Elang Rajawali, garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar
17 buah, dengan ekor yang berelar 8 buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang berkalungkan perisai yang di atas perisai itu tergambar
Pancasila. Yang di bawahnya tertulis seloka buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika", Bhina Ika Tunggal Ika,
Berjenis-jenis tetapi tunggal.
Pancasila
yang tergambar di pusat bintang cermelang atas dasar hitam, sinar cermerlang abadi dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, pohon
beringin lambang kebangsaan. Rantai yang terdiri dari pada gelang-gelangan dan persegi dan bundar yang
bersambung satu sama lain dalam sambungan yang tiada putusnya, peri
kemanusiaan.
Banteng Indonesia lambang kedaulatan rakyat. Kapas dan
padi lambang kecukupan sandang-pangan, keadilan sosial”
18.
Soekarno
menyatakan Bhina Ika, Tunggal Ika,
berjenis-jenis tetapi tunggal, maknanya bahwa walaupun masing masing Anggota
DPD itu mewakili berjenis-jenis kepentingan daerah tetapi ketika duduk bersama dalam
satu forum Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan DPR, maka mereka mewakili yang
tunggal, yakni persatuan Indonesia.
19.
Pertanyaan akademisnya yang perlu diajukan adalah apa sebenarnya hermenuetika hukum[7] terhadap seloka Bhinneka Tunggal Ika dalam konsep
lambang negara, apakah seperti yang dipahami saat ini berbeda-beda tetapi satu
jua, transkrip Sultan Hamid II15
April 1967 menjawab perspeftif tentang
Bhinneka Tunggal Ika itu:[8]"……ternjata masih ada keberatan dari beliau, jakni bentuk tjakar kaki jang
mentjekram seloka Bhinneka Tunggal Ika dari arah belakang sepertinja terbalik,
saja mentjoba mendjelaskan kepada Paduka Jang Mulia, memang begitu burung
terbang membawa sesuatu seperti keadaan alamiahnja, tetapi menurut Paduka Jang
Mulia Seloka ini adalah hal jang sangat prinsip, karena memang sedjak semula
merupakan usulan beliau sebagai ganti rentjana pita merah putih jang menurut
beliau sudah terwakili pada warna perisai, selandjutnja meminta saja untuk mengubah bagian tjakar kaki mendjadi
mentjekram pita/mendjadi kearah depan pita agar tidak "terbalik"
dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip "djatidiri" bangsa
Indonesia, karena merupakan perpaduan antara pandangan "federalis"
dan pandangan "kesatuan" dalam negara RIS, mengertilah saja pesan
filosofis Paduka Jang Mulia itu, djadi djika "bhinneka" jang
ditondjolkan itu maknanja perbedaan jang menondjol dan djika
"keikaan" jang ditondjolkan itulah kesatuan republik jang menondjol,
djadi keduanja harus disatukan, karena ini lambang negara RIS jang didalamnja
merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan
"kesatuan" haruslah dipegang teguh sebagai "djatidiri" dan
prinsip berbeda-beda pandangan tapi satu djua, "e pluribus unum".
20.
Berdasarkan
transkrip Sultan Hamid II di atas,
bahwa masuknya seloka Bhinneka Tunggal Ika pada pita yang dicengkram cakar
Rajawali Garuda Pancasila adalah sebuah kompromi terhadap pandangan kenegaraan
antara paham federalis dengan paham Republik (Unitaris), sebagaimana kita
ketahui Sultan Hamid II adalah tokoh
federalisme sedangkan Soekarno
adalah tokoh republik (Unitaris), jika kita menelusuri sejarah terbentuknya
RIS, hal ini selaras, bahwa sejak awal penulisan sejarah (historiografi)
identik dengan politik. Bahkan Sir John
Seeley, sebagaimana dikutip Mark
M.Krug, mengatakan “History is past politics” dan politik adalah
sejarah masa kini. Persepsi ini terbentuk karena kenyataan bahwa sejarah
dianggap atau diperlakukan sebagai sejarah raja-raja, sejarah timbul atau tenggelamnya para penguasa, sejarah naik dan turunnya dinasti-dinasti,
sejarah bangun dan runtuhnya rezim-rezim politik dan sebagainya.[9]
21.
Mengapa penulis penggunaan
model hermenuetika hukum ketika menjelaskan makna seloka Bhinneka Tunggal Ika
pada pita lambang negara Elang Rajawali –Garuda Pancasila di atas, karena pada
intinya hermenuetik dimaknakan sebagai teori atau filsafat tentang
interprestasi makna (Bleiher, 1980), atau sebagai suatu teori tentang aturan
–aturan yang digunakan dalam egsegese (ilmu
Tafsir) ataupun interpretasi teks atau
kumpulan tanda-tanda tertentu yang dipadang sebagai teks.[10]
22.
Secara
etimologis, istilah hermeneutik mengandung tiga lapisan makna, yakni pertama, adanya suatu tanda, pesan, teks
itu dari sebuah sumber tertentu. Tanda, pesan dan teks itu sendiri merupakan
satu kesatuan yang terangkai dalam suatu pola tertentu, dan ini diandaikan menyimpan makna dan intensi yang
tersembunyi. Kedua adanya seorang perantara
atau seorang penafsir untuk memberikan pemahaman terhadap tanda, pesan atau
teks yang memiliki makna dan intensi tersembunyi tersebut. Ketiga, penafsir itu menyampaikan pemahamannya atau interprestasi
mengenai makna dari tanda pesan atau
teks kepada kelompok pendengar tertentu.[11]
23.
Harus
diakui bahwa perkembangan studi hukum dewasa ini telah berkembang maju seiring dengan perubahan atau pergeseran
perspektif atau cara pandang hukum tidak semata dilihat dan diberlakukan
sebagai bangunan norma, melainkan lebih jauh dari sebuah institusi sosial yang
menyatu dengan sekalian variabel sosial, budaya, politik dan ekonomi, dan lain
sebagainya. Perubahan cara pandang itupun menuntut perubahan metode atau
cara-cara yang ditempuh untuk memahami dan menjelaskan secara lebih memadai
tentang apa yang kita sebut dengan hukum itu.[12]
24.
Dengan
perkataan lain kehadiran metode hermenuetik dalam studi hukum juga sebetulnya
juga salah satu alternatif untuk memahami dan menjelaskan hukum secara lebih
memadai. Pada dasarnya kajian legal Hermenuetik (Hermanuetik Hukum) mencoba
melihat hukum sebagai institusi yang didalam dirinya terkandung sejumlah tanda
(simbol), pesan atau teks yang memiliki makna tertentu. Semula hermenuetik
hukum hanya berkutat upaya pencarian makna-makna secara tekstual dari sebuah
tanda, pesan atau teks-teks hukum, namun kini upaya pencarian makna hukum-hukum
itu mulai menerobos masuk kedalam aspek-aspek yang berada dibalik tanda, pesan
atau teks-teks hukum yang tampak kasatmata.
25.
Paparan
kajian legal Hermenuetik (Hermanuetik Hukum) diatas jelas selaras ketika
membaca secara hermenuetika hukum tentang Bhinneka Tunggal Ika, karena didalam
Lambang Negara Indonesia, menurut Soediman Kartohadiprojo dalam salah
satu tulisan "Pancasila dan Hukum" menyatakan:
1. "Lambang Negara adalah lambang dan
lambang itu adalah sesuatu yang melambangkan sifat dari sesuatu; sedang negara
adalah manusia. Jadi Lambang Negara kita tadi melambangkan sifat bangsa yang
bernegara didalam negara itu Bangsa Indonesia.
2.
Didalam
Lambang Negara ini kita jumpai Pancasila.
Lambang negara kita
ini terdiri dari tiga bagian:
1.
Cendra sengkala
2. Perisai Pan casila
3. Seloka
Candra sengkala, ini terdapat dalam "
Burung Sakti Elang Rajawali yang bulu sayapnya 17 helai jumlahnya, bulu sayap
kemudinya 8 helai, sedangkan bulu sayap sisiknya pada batang tubuh 45 helai
jumlahnya" ini melukiskan diproklamisikan Republik Indonesia. Perisai
Pancasila Burung Elang Rajawali atau garuda ini dikalungi dengan perisai yang
memuat didalamnya Pancasila. Ini berarti bahwa Republik Indonesia kita dijiwai
oleh Pancasila.Burung Elang Rajawali atau Garuda dengan kalungnya ini
menggemgam dalam cakarnya sebilah "papan" yang tak terpisahkan dari
padanya yang memuat seloka "Bhinneka Tunggal Ika.Bhinneka Tunggal Ika, ini
digengggam oleh sang burung, dan terdapat dibawahnya. Ibaratkan sebatang
tumbuh-tumbuhan, yang terdapat dibawah adalah akarnya. Akar adalah urat nadinya
tumbuh-tumbuhan. Dari akar tumbuh-tumbuhan memperoleh sumber kehidupannya.
Selain dari itu, akar
adalah alat untuk menegakkan berdirinya tumbuh-tumbuhan. Demikian Bhinneka
Tunggal Ika merupakan:
a. sumber kehidupan Revolusi/Republik kita
dengan Pancasila itu; jadi sumber kehidupan Pancasila pula.
b. alat penegak Revolusi/Republik dan
Pancasila[13]
26.
Berdasarkan
pandangan Soediman Kartohadiprojo,
menurut penulis ada dua hal, yaitu Pertama, (1) bahwa membahas Lambang Negara
secara hermenutika hukum sebenarnya tiga bagian semiotika, yaitu Burung Elang
Rajawali berdasarkan jumlah sayapnya melambangkan identitas negara atau candra
sengkala tentang berdiri negara republik Indonesia (2) tentang semiotika
Pancasila yang disimbolisasikan pada perisai Pancasila (3) tentang seloka
Bhinneka Tunggal Ika, dan ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan walaupun terbedakan secara semiotika hukum. Kedua, Istilah yang
digunakan untuk menyebut lambang negara adalah Burung Sakti Elang Rajawali ini
memberikan bukti sekali lagi, bahwa lambang negara kita bukan figur garuda dalam
mitologi tetapi sudah terjadi pergeseran
semiotika, yaitu figur burung Elang Rajawali Pancasila.
27.
Pertanyaan
secara hermenuetika hukum apakah artinya Bhinneka Tunggal Ika itu ? Jika
menyitir kembali pandangan Muhammad
Yamin yang menyatakan, bahwa Bhinneka Tunggal Ika" artinya hampir sama
dengan seloka bahasa latin: " Ex
pluribus umum= Bersatu walaupun berbeda –beda.[14]
28.
Secara
hermenuetika dengan arti yang
dilontarkan Muhammad Yamin diatas
secara gramatikal mengingat akan salah satu arti dari awal kata be- ialah
menunjukkan sesuatu yang aktif, maka bersatu mengandung arti, bahwa yang
kemudian bersatu itu sebelumnya adalah terpisah satu sama lain. Kalau manusia,
maka menurut pengertian ini manusia dilahirkan dan hidup terpisah satu sama
lain, kemudian "bersatu" menjadi (hidup ber-) satu.
29.
Menelaah
apa yang menjadi arti "Bhinneka Tunggal Ika" ini, patut
memperhatikan, bahwa tiap-tiap kata yang kita pergunakan itu adalah untuk
menunjukkan suatu maksud. Kadang-kadang dalam bahasa yang kita pergunakan itu
tidak kata yang tepat untuk menunjukkan maksud kita. Dalam tataran ini, maka kita mempergunakan
suatu kata atau rangkaian kata-kata yang artinya menurut tata bahasa mendekati
apa yang kita maksudkan. Untuk keperluan itu, maka kata atau rangkaian
kata-kata itu harus diberi arti sesuai dengan tujuannya, dan tidak menurut tata
bahasa.
30.
Dengan
demikian dengan memberikan tempat pada seloka Bhinneka Tunggal Ika dalam
lambang negara Indonesia sudah tentu dengan maksud dan tujuan yang tertentu,
suatu maksud dan tujuan kira dapat dipisahkan dari makna umum, bahkan untuk
menambah atau melengkapi maksud dan tujuan dari Lambang keseluruhan, karena semiotika hukum, bahwa
lambang itu adalah sesuatu untuk menunjukkan sifat sesuatu.
31.
Berkaitan
dengan itu, berarti Lambang Negara Republik Indonesia tentunya untuk menunjukan
sifat, isi jiwa negara Republik Indonesia, dan dengan begitu sifat, isi jiwa
bangsa Indonesia, lebih mendalam, bahwa bagian lambang negara itu karena
ditujukan pada manusia yang merupakan bangsa Indonesia, maka dengan demikian
seloka Bhinneka Tunggal Ika yang ditempatkan pada Lambang Negara juga
dimaksudkan untuk menunjukkan/mempresentasikan bagi isi jiwa bangsa Indonesia.
32.
Pertanyaanya
adalah isi jiwa apakah dari Bangsa Indonesia yang hendak dipresentasikan dengan
Bhinneka Tunggal Ika ? Melihat coraknya Pancasila, yang Bhinneka Tunggal Ika
merupakan sumbernya, maka kiranya tidak jauh dari kebenaran kalau diambil
kesimpulan, bahwa isi jiwa tentang tempatnya manusia, individu dalam pergaulan
hidup manusia.
33.
Proposisi yang selaras dengan paparan diatas
berdasarkan paradigma pospostivisme yang berbasis spiritual, yaitu proposisi
Ilahiah, sebagai berikut: "Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada
Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya. Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah mengembangbiakan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan
mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah
hubungan silahaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu".[15]Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadi kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal., Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.[16]
34.
Proposisi
ilahiah diatas adalah selaras dengan makna hermenuetika hukum, dari seloka
Bhinneka Tunggal Ika, bahwa walaupun bangsa Indonesia itu berbeda-beda secara
multi agama, multi suku, multi budaya dst tetapi sesungguhnya berasal dari satu
diri, yaitu bangsa Indonesia, dan basis
terkecil dari suatu bangsa adalah keluarga, yaitu kesatuan, kelompok,
pergaulan hidup manusia yang terdiri dari manusia yang berbeda-beda; ayah ,
ibu, anak-anak, ayah dan ibu berbeda dari anak dalam umurnya, ayah dan ibu
berbeda satu sama lain dalam kelamin; pria dan wanita:pun anak-anak terdiri
dari pria dan wanita; dan last but not
least, diantar sekian banyak manusia yang hidup bersatu merupakan keluarga
itu, bahkan andaikata terdapat diantaranya anak kembar, tidak ada yang sama
kepribadianya. Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya
masing-masing" Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar
jalannya.[17]
35.
Secara
hermenuetika hukum hal itu dapat dikemukakan, bahwa makna Bhinneka Tunggal Ika
dalam hubungannya manusia Indonesia, yaitu persatuan dalam keragaman; Keragaman
dalam persatuan yang disimpulkan dalam pengertian "kekeluargaan",
Jadi jika benar bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah sumber dari Pancasila, maka
menurut pandangan bangsa Indonesia atau menurut padangan bangsa Barat yang
dilukiskan dengan "Men are created
free and equal" , -Manusia dilahirkan bebas dan merdeka, yang satu
terpisah dari lainnya sumber ini ditemukan kembali dalam seluruh lembaga
kehidupan ketatanegaraan, hukum , dan sebagainya, maka kebenaran Bhinneka
Tunggal Ika itu harus diketemukan kembali dalam pembacaan Pancasila secara
hermenuetika hukum.
36.
Konstruksi
fakta sejarah Bhinneka Tunggal Ika jika dikaitkan dengan konsep kenegaraan,
maka secara lembaga perwakilan sebenarnya Indonesia dihadapkan pada pilihan sistem bikameral dalam sistem
ketatanegaraan,yakni sebagai yang disarankan oleh banyak kalangan ahli hukum
politik dan hukum tata negara supaya dikembangkan menurut sistem bikameral yang kuat (strong bicameral) dalam arti kedua kamar dilengkapi kewenangan yang
sama-sama kuat dan saling mengimbangi satu sama lain. Usulan format seperti ini
berkaitan erat dengan penguatan Dewan Perwakilan Daerah. Namun pada
kenyataannya bikameral yang diterapkan adalah mengarah pada sistem bikameral
yang lemah (soft bicameral),
pertanyaannya adalah terhadap dua format tersebut pada perubahan kelima ingin
menganut yang sistem bikameral kategori yang mana ? Sebaiknya menurutv penulis
Indonesia menganut sistem bikameral khas Indonesia.
37.
Pilihan
ini menjadi penting ketika menempatkan DPD RI sebagai satu kamar pada parlemen
di Indonesia, artinya pilihan itu perlu disepakati lebih dahulu oleh kalangan
DPD RI dan DPR RI dalam satu forum. Jika kita cermati usulan teks hukum negara
pada BAB Perubahan UUD (dalam usulan DPD) menjadi BAB XX Pasal 92 yang
menyatakan:
Ayat (1) Usul perubahan pasal pasal Undang-Undang
Dasar dapat diagendakan dalam Forum
Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurang 1/3
dari jumlah 1/3 anggota Dewam Perwakilan Rakyat dan 1/3 dari Jumlah anggota
Dewan Perwakilan Daerah.
Ayat (3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang
Dasar, Forum Majelis Permusyawaratan
Rakyat dihadiri sekurang-kurang oleh 2/3 dari jumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Ayat (4) Putusan untuk mengubah pasal –pasal
Undang-Undang Dasar di;lakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu dari seluruh
anggota Dewan Perwakilan dan lima puluh persen ditambah satu dari seluruh Dewan
Perwakilan Daerah dalam Forum majelis
permusyawaratan rakyat.
38.
Konsep,
bahwa MPR adalah Forum, maka Pasal 2 ayat (1) UUD Neg RI 1945 seharusnya juga
diamandemen lebih ditegaskan oleh DPD, yakni dengan rumusan sbb:
BAB II
FORUM MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Pasal 2
Ayat (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah forum
bersama yang terdiri Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih Lanjut dengan Undang-Undang.
Ayat (2) Forum Majelis Permusyawaratan Rakyat
Bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibu Kota Negara.
Pasal 3
Ayat (1) Forum Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah
sebuah Forum yang mengagendakan sidang perubahan Undang-Undang Dasar yang
diajukan bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
Ayat 2 Forum Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah
Forum yang mengagendakan sidang penetapan Undang-Undang Dasar yang telah
disepakati perubahannya dalam sidang bersama
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
Ayat (3) Forum Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
mengagendakan sidang untuk memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden
Konstruksi Teks Hukum terhadap perubahan di atas adalah selaras dengan
format usulan pasal 19 dari DPD RI.
39.
Berkaitan
dengan kekuasaan Legislatif sebagai pewujudan tehadap parlemen dua kamar, maka
rumusan pasal 18 harus dirumuskan sebagai berikut:
Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan Perwakilan Daerah
memegang kekuasaan legislatif menurut
Undang-Undang Dasar.
Kata “menurut
Undang-Undang Dasar” adalah memperkuat, bahwa negara Indonesia menganut
supremasi konstitusional. Hal ini agar selaras dengan Pasal 1 ayat (2) Kedaulatan berada ditangan Rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Salah satu perwujudan kedaulatan
Rakyat ditandai keberadaan lembaga perwakilan, yakni DPR dan DPD yang memegang
kekuasaan legislatif menurut Undang-Undang Dasar. Mengapa demikian, karena
Pasal 26 mengusulkan pola baru terhadap pembahasan rancangan Undang-Undang
didalam legislatif dalam konteks effective bikameral dan mempertegas adanya dua
kamar pada parlemen Indonesia.
40.
Klasul
menurut Undang-Undang Dasar, adalah
untuk mengunci dan memperkuat atau menegaskan, bahwa DPR dan DPD adalah lembaga
legislatif yang sama-sama memegang kekuasaan legislatif menurut Undang-Undang
Dasar dan menegaskan bahwa sistem lembaga perwakilan rakyat Indonesia menganut
pola dua kamar yang effective,
sehingga menjadi jelas, bahwa forum Majelis permusyawaratan rakyat merupakan joint session antara DPR dan DPD untuk
melakukan tugas-tugas ketatanegaran dengan sistem konstitusionalisme.
41.
Mengapa
perlunya ada klasul menurut “Undang-Undang Dasar “, karena konsensus untuk
menjaminnya tegaknya konstitusionalisme pada umumnya yang dipahami bersandar
pada tiga elemen kesepakatan, yaitu :[18]
Pertama, Kesepakatan tentang
tujuan atau cita-cita bersama (the
general goals of society or general accceptance of the sama philosophy of
goverment)
Kedua, Kesepakatan tentang
“the rule of law” sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basic of goverment)
Ketiga, Kesepakatan tentang
bentuk-bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of constitutions and procedures)
42.
Berkaitan
dengan kesepakatan kedua dan ketiga adalah berkaitan dengan dengan dua hal yang
mendasar ketika suatu negara merubah basis hukum dasar yang berkaitan dengan
aturan main “The Rule of Law”
ketatenegaraan, bahwa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin. Bagi
Indonesia telah tegas, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat
(3) UUD Negara RI 1945 dan menegaskan, bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini berarti kesepakatan
ketiga apabila menjadi penting bagi DPD RI, berarti kesepakatan perubahan itu
berkenaan dengan (a) bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur
kekuasaannya, (b) hubungan-hubungan antar organ-organ negara itu satu sama
lain, serta (c) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara.
43.
Dengan
demikian dengan adanya kesepakatan terhadap pilihan model parlemen Indonesia
dan penegasan menjadi dua kamar harus diikuti penegasan isi konstitusi yang
mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan struktur institusi kenegaraan
dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangkan kehidupan
berkonstitusi (constitutional state).
Artinya ketika kesepakatan utama, yakni perubahan penguatan lembaga perwakilan
dirumuskan dalam sebuah agenda perubahan yang intinya mengarah pada prinsip
pengaturan dan pembatasan kekuasaan, maka struktur lembaga perwakilan harus
jelas lenbih dahulu. Pada pokoknya, prinsip konstitusionalisme modern
sebenarnya memang menyangkut prinsip pembatasan kekuasaan atau lazim disebut
sebagai prinsip “limited goverment”.
Prinsip konstitusionalisme secara hukum tata negara isinya dimaksudkan untuk
mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu (a) menentukan pembatasan-pembatasan
kekuasaan organ-organ negara, (b) mengatur hubungan lembaga-lembaga negara yang
satu dengan yang lain dan (c) mengatur hubungan kekuasan antara lembaga-lembaga
negara dengan warga negara.
44.
Paparan
di atas secara analisis penulis ingin menyatakan, bahwa apabila perubahan
kelima disepakati sebagai perubahan yang memperkuat lembaga perwakilan
Indonesia dan bersepakat, bahwa saat ini sistem perlemen Indonesia bukan sistem
bikameral tetapi trikameral, karena pertama, ternyata DPD sama sekali tidak
berwenang mengambil keputusan apa-apa dibidang legislatif. Kedua rumusan Pasal
2 ayat (1) tidak mencerminkan sistem bikameral dan ketiga MPR juga mempunyai
wewenang dan pimpinan atau institusi tersendiri, sehingga Prof Dr Jimly
Asshididiqie berpendapat Indonesia sebenranya menganut tri kameral atau tiga
kamar[19].
Oleh karena itu menurut penulis jika DPD RI ingin memperkuat sistem perwakilan,
maka pasal 2 ayat (1) harus juga diamandemen.
45.
Mengapa
harus ada rumusan pasal 2 ayat (1) dalam amademen kelima oleh DPD RI, karena
dalam usulan beberapa pasal secara tegas menyatakan, bahwa MPR adalah Forum.
Kemudian dalam naskah akademik usulan DPD RI menyatakan :[20]
“Dibidang legislatif, MPR ditegaskan
sebagai joint session, forum gabungan saat DPR dan DPD melakukan sidang
bersama. Selanjutnya, kewenangan DPD sebaiknya dikuatkan agar fungsinya sebagai
penyeimbang DPR dapat dilaksanakan dengan lebih efektif. Pemilihan anggota DPD
yang secara langsung melalui sistem perwakilan provinsi harus disinkronkan
dengan kewenangan yang lebih kuat. Fungsi pertimbangan yang saat ini melekat
kepada DPD, dalam hal-hal yang berkaitan dengan daerah, sebaiknya ditingkat.
Misalnya, dalam proses legislasi, jika kedepan ada amandemen konstitusi, maka
DPD tidak hanyua sebatas memberi pertimbangan, tetapi turut memberikan suara
untuk menentukan lolos tidaknya RUU
perubahan tersebut.Selain penguatan fungsional, perlu juga dilakukan penguatan
struktural terutama berhubungan dengan personal DPD. Proteksi personal adalah
dengan mengangkat hak imunitas DPD ysang saat ini ada dari tingkat UU ke
tingkat konstitusi. Sehingga sistem
parlemen Indonesia kedepan sebaiknya mengarah kepada sistem parlemen bikameral
yang efekif, meski tidak mengarah kepada bikameral yang sama kuat (perfect
bicameralsm) karena perfect berpotensi mengarah kepada kebuntuan proses politik.[21]
46.
Dengan
demikian penguatan lembaga perwakilan Indonesia dengan sistem parlemen bikameral
efektif adalah dimaksud sebagai sistem bikameral yang khas Indonesia yang
digali dari prinsip Bhinneka Tunggal Ika, karena prinsip persatuan Indonesia
pada sila ketiga sangat dibutuhkan, karena keragamana (Bhinneka) merupakan
kekayaan yang harus dipersatukan (United), tetapi tidak boleh disatukan atau
diseragamkan (uniformed). Karena itu, prinsip persatuan Indonesia tidak boleh
diindetikan dengan kesatuan. Prinsip Persatuan juga tidak boleh dipersempit
maknanya atau diidentikan dengan
pengertian kelembagaan bentuk negara kesatuan yang merupakan bangunan negara
yang dibangun atas prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Arti Negara Kesatuan Republik
Indonesia adfalah merupakan negara persatuan yang didalamnya berkembang suatu
mekanisme yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya keragaman antar daerah,
dalam hal ini diwakili oleh DPD RI sebagai perwujudan kebhinnekaan, tetapi
ketika duduk bersama dengan DPR adalah merupakan Tunggal, yakni persatuan
Indonesia dalam kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan.
Pontianak, 25 April 2013.
Turiman Fachturhamna Nur
[1] Franscois Venter, :”Contitution Making and
the legitimacy of the Constitution in Antero Jyranki (ed), National
constitutions in the Era of integration (1999), hlm .19.
[2] Jhon P.Wheeler, Jr, Changing the fundemental Law dalam Jhon P
Wheeler, Jr (ed), Salient Issues of Constitusional Revision, (1961), hlm 49
[3] Anthony Browne, Prodi Fears Sceptics wil Neuter EU Constitution Vote 2004.
http//www vote 2004.com/mediacentre/display, 17 April 2013
[4] Branon P.Denning. Means to Amend: Theories
of Constitution Change, 65 : 156 Tennessee Law Review, hlm 160
[5] Jefrey Reiman, The Constitution, Right,
and the Condition of legitoimacy dan alan S Rosenbaum (ed) Constitusionalsm:
the Philosophiacal Dimension, 1988, hlm 127.
[6] Pidato Presiden Soekarno 22 Juli 1958 ,
Arsip Nasional, 1999
[7]Hermenuetika :berasal dari Bahasa Yunani,
hermenuetika (penafsiran) Itu berarti hermenuetika adalah ilmu dan teori
tentang penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks dan ciri-cirinya, baik
objektif (arti gramatikal kata-kata dan variasi variasi historisnya) maupun
subyektif (maksud ataupun kenhedak pengarang, lihat Anthon F Susanto, Ilmu
Hukum Non Sistematika Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia ,
Genta Publishinh ,Yogyakarta, 2010. hlm xi. Secara etimologi Hermeneutics atau hermeneia (Yunani) diartikan sebagai
penafsiran/interprestasi sehingga merupakan sebuah proses transformasi
pemikiran dari yang kurang jelas atau ambigu menuju yang lebih jelas/kongkrit. Periksa
Jazim Hamidi, Hermenuetika Hukum teori penemuan hukum baru dengan interpretasi
teks, UII Pres.2005, Yogyakarta, hal 19-27-bandingkan dengan suatu
"paradigma interpretative mencoba membebaskan kajian- kajian hukum dari
otoriasme para yuris positif yang elitis
dengan strategi metodologinya mengajak para pengkaji hukum agar menggali dan
meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna atau pencari
keadilan" Menurut Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Mengingat,
Mengumpulkan dan membuka Kembali, Cetakan Pertama, Bandung: PT Refika Aditama,
2004, halaman 81-82.
[10] Ricoeur dalam Zumro Bestado Syamsuar,
Pandangan Paul Recoer Mengenai Ideologi dan Kritik Ideologi atas Teori Kritis
Masyarakat", Tesis Magister Ilmu Filsafat, Jakarta, Program Pascasarjana
Ilmu Filsafat Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2004, hlm 347. Untuk
memahami Hermenuetika dalam tataran filsafat dan hukum dapat dilihat, Richard E
Palmerm, Hermeneutika Teori
Baru Mengenai Interprestasi, Yogyakrat : cet
II, 2005, Pustaka Pelajar, dan Gregory Ley, Hermenuetika Hukum, Sejarah, Teori
dan Praktek.2007.
[11] Ibid hlm 346.
[12] Karolus Kopong Medan, "Hermenuetik
Hukum sebuah model Pemahaman Filosofis Peradilan dalam Membangun Harmonisasi
Sosial" Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional "Legal
Hermenuetik sebagai Alternatif Kajian Hukum", diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 24 November 2007.Hlm 2.
[13] Soediman Kartohadiprojo, Pancasila sebagai Pandangan Hidup
Bangsa Indonesia-
Pancasila dan Hukum (kumpulan karangan), Jakarta /Bandung, 2009. halaman 97-98.
[15] Surah
Al-Qur'an, An Nisaa (4) ayat 1.
[16] Surah
Al-Quran, Al Hujuraat (49) ayat 13
[17] Surah
Al-Quran, Al Israa (Memperjalankan di
malam hari) (17) ayat 84
[18] William G,Andrews, Constitutions and
Contitutionalisme, Van Nostrad Company, New Jersey, 1968, hlam 12-13.
[19] Jimly Asshiddiqie, , Konstitusi &
Konstitusionalisme Indonesia, MK RI, 2004, hlm 150
[20] Naskah Amendemen Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kelompok DPD di MPR RI, Jakarta, 2008.
Hlm 6-7.
[21]Giovanoi Sartori, Conparative
Constitutonal Engineering: An Inquiry into Structures, Incentive and Outcomes,
1997, hlm 188.
1 komentar:
Dapat disimpulkan bahwa negara indonesia menganut sistem pembentukan Undang-Undang Dasar Parsial, dan tidak konprehensif. Itu sulit dilakukan karena adanya unsur ke-Bhineka Tungggal Ika-an di dalamnya. kadang juga berkesan lebih suka bertolak belakang pada prinsip yang telah dibuat (itulah makanya hukum di Indonesia tidak pernah terwujud dengan baik, supremasi hanya sebatas supremasi, namun kenyataan pelaksanaan menjadi carut marut dan dicederai sendiri.
Berbicara tentang apakah Indonesia menganut Struktur Parlemen 1 kamar, 2 Kamar ataupun 3 kamar justru semakin mengaburkan prinsip ketatanegaraan. Ironis memang, jika kita sendiri tidak sampai tahu model parlemen apa yang telah kita anut, hingga kita tidak menyadarinya, ataukah memang kita sekarang ini sedang sibuk memperjuangkan demokrasi, semoga demokrasi yang sedang kita perjuangkan tidak semu. Mungkin yang perlu dipertimbangkan mengenai sistem parlemen kita adalah betapa suatu perubahan Institusi mungkin pula keparlemenan kita sangat menyita waktu dan harta benda(biaya) yang tidak terhitung, apakah salahnya untuk masing-masing elit kedepan saling instropeksi mencari jalan singkat yang mungkin lebih efesien, tepat sasaran, konprehensif, untuk sungguh sungguh menciptakan Institusi, Undang-Undang Dasar, dan aturan yang mengaturnya menjadi lebih efektif, mengena, efesien, berkalaborasi berdasarkan sejarah terbaik yang pernah kita miliki yang kita pernah lakukan, sehingga kamar - kamar yang akan kita masuki adalah kamar yang tepat dalam kemajuan sejarah ketatanegaraan kita. Semoga Indonesiaku kedepan akan lebih maju dengan elitnya yang berwawasan positif. Amin
Posting Komentar