PANCASILA SEBAGAI SUMBER SEGALA SUMBER HUKUM NEGARA DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011
Oleh: Turiman Fachturahman Nur
Untuk memberikan
kesepahaman tentang Pancasila sebagai sumber hukum negara, maka kita
menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, terpaparkan dengan jelas pada pasal
2 yang menyatakan Pancasila
merupakan sumber segala sumber hukum Negara.
Kemudian penjelasan pasal 2 tersebut menyatakan, bahwa penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara
adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan,
dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta
sekaligus dasar filosofis negara sehingga
setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Berdasarkan pernyataan di atas
yang perlu dipahami adalah apakah yang dimaksud dengan materi muatan peraturan perundang-undangan ? Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan
Perundang-undangan sesuai dengan jenis,
fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.(Pasal 1 angka 13 UU Nomor 12 Tahun 2011). Dari jawaban
atas pertanyaan di atas, maka perlu dipahami bersama apa yang dimaksud dengan
peraturan perundang-undangan?
Berdasarkan Pasal 4 UU No 12 Tahun 2011 Peraturan Perundang-undangan yang diatur
dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan
di bawahnya. Peraturan Perundang-undangan
adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. (Pasal 1 angka 2 UU No 12 Tahun 2011)
Mengacu pada Pasal 4 di atas
dibedakan antara undang-undang dan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang
adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dengan persetujuan bersama Presiden (pasal 1 angka 3
UU Nomor 12 Tahun 2011. Walaupun dibedakan keduanya namun secara bentuk dan
materi muatan, maka undang-undang termasuk jenis peraturan perundang-undangan.
Hal ini
juga sejalan dengan pengertian peraturan perundangan-undangan berdasarkan Pasal
1 angka 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, peraturan
perundang-undangan adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang
dikeluarkab oleh Badan Perwakilan Rakyat
bersama pemerintah, baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah, serta semua
semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik ditingkat pusat
maupun daerah, yang juga mengikat secara umum.
Untuk
memahami pernyataan, bahwa “sehingga
setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila”. Berikut ini pula dipahami, bahwa nilai nilai
Pancasila secara normatif haruslah dihubungkan antara asas-asas materi muatan
peraturan perundang-undangan dengan sila-sila dari Pancasila.
Dengan
kata lain klasul tersebut bisa dipahami melalui hubungan antara Pancasila
dengan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan atau pertanyaannya
adalah apa hubungan antara Pancasila dengan asas-asas materi muatan peraturan
perundang-undangan ? Sebagaimana diketahui, bahwa sila-sila Pancasila
divisualisasikan secara semiotika hukum didalam lambang negara, yakni pada
perisai Pancasila, maka diperlukan satu pemahaman terhadap pembacaan Pancasila
sebagai cita hukum atau sebagai sumber segala sumber hukum negara berdasarkan
lambang negara dengan pendekatan semiotika hukum.
Berkaitan
dengan ini teks hukum negara pada pasal 48
ayat (2) Undang-Undang Nomo 24 Tahun 2009, yang menyatakan “Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar
Pancasila sebagai berikut: a. dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan
dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang
yang bersudut lima; b. dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan
dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai; c. dasar Persatuan Indonesia
dilambangkan dengan pohon beringin di
bagian kiri atas perisai; d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas
perisai; dan e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan
dengan kapas dan padi di bagian kanan
bawah perisai.
Terhadap konsep “berthawaf” diatas penafsiran Sultan Hamid II menyatakan : [1]
".. lima sila Pantja Sila jang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini
menurut beliau adalah sila pertama Ketoehanan Yang Maha Esa,
barulah bangsa ini bisa bertahan madju kedepan untuk membangun generasi
penerus/kader-kader pedjuang bangsa jang bermartabat/ berprikemanusiaan jang
disimbolkan dengan sila kedua kemanusian jang adil dan beradab, setelah itu
membangun persatuan Indonesia sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah dan
perpaduan antar negara dalam RIS (baca NKRI) inilah bangsa Indonesia mendjadi
kuat, pada langkah berikutnja baru membangun parlemen negara RIS jang
demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan djalan itulah bisa
bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia, jakni
dari rakjat, untuk rakjat oleh rakjat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan
Jang Maha Esa. Atas pendjelasan Perdana Menteri RIS itu, kemudian perisai
ketjil ditengah saja masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur Tjahaya bintang
bersudut segilima.
Berdasarkan penjelasan Sultan Hamid II diatas, bahwa Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa
adalah terpenting sebagai pertahanan bangsa, mengapa karena dengan sila kesatu,
bangsa Indonesia bisa bertahan maju kedepan, makna yang tersirat dan tersurat,
adalah landasan moral relegius, artinya: Pancasila pada hakekatnya adalah
negara kebangsaan yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Landasan pokok sebagai
pangkal tolak, paham tersebut adalah Tuhan adalah Sang Pencipta segala sesuatu
Kodrat alam semesta, keselarasan antara mikro
kosmos dan makro kosmos, keteraturan segala ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
kesatuan saling ketergantungan antara satu dengan lainnya, atau dengan lain
perkataan kesatuan integral. [2]
Mengapa Sultan Hamid II menggunakan konsep thawaf dalam membaca
Pancasila, Kemudian pada bagian lain Sultan Hamid II menyatakan: [3]
"... patut diketahui arah simbolisasi
ide Pantja-Sila itu saja mengikuti gerak arah ketika orang
"berthawaf"/ berlawanan arah djarum djam/"gilirbalik" kata
bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke simbol sila kedua dan seterusnja,
karena seharusnja seperti itulah sebagai bangsa menelusuri/ menampak tilas
kembali akar sedjarahnja dan mau kemana arah bangsa Indonesia ini dibawa
kedepan agar tidak kehilangan makna semangat dan "djatidiri"-nja
ketika mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang berkaitan segala bidang
kehidupan berbangsanja, seperti berbagai pesan pidato Paduka Jang Mulia
disetiap kesempatan. Itulah kemudian saja membuat gambar simbolisasi
Pantja-Sila dengan konsep berputar-gerak "thawaf"/gilir balik kata
bahasa Kalimantan sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun kedepan
perdjalanan bangsa Indonesia yang kita tjintai ini.
Selanjutnya pada bagian lain Sultan Hamid II menjelaskan tentang
konsep thawaf pada perisai Pancasila :[4]
" ... Falsafah
"thawaf" mengandung pesan, bahwa idee Pantja-Sila itu bisa
didjabarkan bersama dalam membangun negara, karena ber"thawaf" atau
gilir balik menurut bahasa Kalimantannja, artinja membuat kembali-membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada
sasaran jang djelas, jakni masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan
rukun dan damai, begitulah menurut
Paduka Jang Mulia Presiden Soerkarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja,
jakni membangun negara jang bermoral tetapi
tetap mendjunjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada
sanubari rakjat bangsa di belahan wilajah negara RIS serta tetap memiliki
karakter asli bangsanja sesuai dengan "djatidiri" bangsa/adanja
pembangunan "nation character building"
demikian pendjelasan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja”.
Kemudian menurut Sultan Hamid II dengan bertahan maju
kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang
bermartabat/ berprikemanusiaan yang adil dan beradab disimbolkan dengan sila
kedua kemanusian yang adil dan beradab, pada langkah berikutnya jika sila
kesatu dan kedua bisa diselaraskan, maka setelah itu membangun persatuan
Indonesia, yaitu sila ketiga, mengapa demikian, karena hanya dengan bersatulah
dan perpaduan antar negara dalam RIS (baca antar daerah dalam Republik
Indonesia) inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat dan pada langkah berikutnya baru membangun
parlemen negara RIS (baca DPR, DPRD) jang demokratis dalam
permusyawaratan/perwakilan, karena dengan jalan itulah bisa bersama-sama
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yakni dari rakyat,
untuk rakyat oleh rakyat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa.
Atas penjelasan Perdana Menteri RIS (baca Mohammad Hatta) itu, kemudian perisai
kecil ditengah saya masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur cahaya bintang
bersudut segilima.
Hal demikian apa artinya? bahwa
setiap individu yang hidup dalam suatu bangsa adalah sebagai mahluk Tuhan, maka
bangsa dan negara sebagai totalitas yang
integral adalah Berketuhanan, demikian pula setiap warga negara juga
Berketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata
lain negara kebangsaan Indonesia adalah
negara yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusian yang adil dan beradab, yaitu Negara Kebangsaan yang membangun
generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang bermartabat/
berprikemanusiaan atau generasi
penerus/kader-kader pejuang bangsa yang memelihara budi pekerti kemanusian yang
luhur dan memegang teguh cita-cita rakyat
yang luhur, yang berarti bahwa negara menjunjung tinggi manusia sebagai mahluk
Tuhan, dengan segala hak dan kewajibannya.
Jika sudah ada kesadaran akan hak
dan kewajibannya menjadi sebuah kesadaran setiap warga negaranya, maka akan
mampu membangun persatuan Indonesia, karena hanya dengan bersatulah dan
perpaduan antar antar daerah dalam Republik Indonesia, tentunya mendjadi kuat dan pada langkah berikutnya baru membangun
parlemen DPR, DPRD yang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan
jalan itulah bisa bersama-sama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, yakni dari rakyat, untuk rakyat oleh rakyat karena berbakti kepada
bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa. artinya setiap umat beragama memiliki kebebasan
untuk menggali dan meningkatkan kehidupan spiritualnya dalam masing-masing
agama, dan para pemimpin negara wajib memelihara budi pekerti yang luhur serta
menjadi teladan bagi setiap warga negara berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Pada tataran yang demikian itu, berarti Sila
Pertama Pancasila sebagai dasar filsafat negara: Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh
karena itu pada simbolisasi didalam perisai ditempatkan ditengah berupa Nur Cahaya berbentuk bintang yang
bersudut lima, maknanya adalah bahwa Sila pertama ini menerangi semua empat
sila yang lain atau menurut Mohammad Hatta, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan
yang baik bagi masyarakat dan penyelenggara negara. Dengan dasar sila Ketuhanan
Yang Maha Esa ini, maka politik negara mendapat dasar moral yang kuat, sila ini
yang menjadi dasar yang memimpin ke arah jalan kebenaran, keadilan, kebaikan,
kejujuran dan persaudaraan [5]
Hakekat Ketuhanan Yang Maha Esa
secara ilmiah filosofis mengandung makna terdapat kesesuaian hubungan antara
Tuhan, Manusia dengan negara. Hubungan tersebut baik bersifat langsung maupun
tidak langsung. Manusia kedudukan kodratnya adalah sebagai mahluk Tuhan Yang
Maha Esa, oleh karena itu harus mampu membangun tiga hubungan yang sinergis,
yaitu antara Manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia dan antara
manusia dengan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Berkaitan dengan konsep Pancasila
dalam penjabaran kedalam peraturan perundang-undangan, maka secara material
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sumber bahan dan sumber nilai bagi
hukum positif Indonesia, dalam pengertian ini
Pembukaan UUD 1945 terdapat nilai-nilai hukum Tuhan (alinea III), hukum
kodrat (alinea I), hukum etis III) nilai-nilai hukum itu merupakan inspirasi
dalam memformulasikan materi muatan peraturan perundang-undangan.
Pembacaan Pancasila berthawaf atau selaras dengan
semiotika hukum pembacaan Pancasila berdasarkan Lambang Negara rancangan Sultan
Hamid II. Transformasinya pembacaan Pancasila berhawaf dapat menselaraskan
dengan subtansi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, khususnya ketika penerapan asas-asas materi muatan
peraturan perundang-undangan (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011),
sebagaimana paparan berikut ini.
Filsafat Hukum (Pancasila)
dengan konsep pembacaan Pancasila "berthawaf" secara ontologi
adalah berdasarkan hukum alam/yang
berbasis spiritualis menawarkan cara-cara untuk melengkapi pandangan ilmuwan
hukum yang ada sebelumnya yang membaca Pancasila dengan
konsep hirarkis piramida, dengan menunjukan cara baru bagaimana sejarah, semiotika dan filsafat perkembangan
pemikiran hukum dapat saling berhubungan secara harmonis. Mendialogkan antara
iman dan sains, hukum wahyu dan hukum dunia menjadi penting, sekalipun
barangkali pada satu titik tertentu masih belum diperoleh titik temu. Dialog
nilai merupakan sumbangan pemikiran yang amat menjanjikan di masa mendatang
itulah ilmuwan perlu merekonstruksi konsep-konsep yang ditawarkan dalam tataran
keilmuan, termasuk didalamnya ilmu hukum dan sekaligus termasuklah didalamnya
adalah ilmu hukum tata negara Indonesia.
Pada tataran yang demikian itu,
maka model pembacaan Pancasila dengan konsep pembacaan melingkar dengan gerak
yang berlawanan dengan arah jarum jam
atau gerakan “berthawaf” berdasarkan semiotika pada perisai Pancasila
dalam lambang negara Republik Indonesia adalah selaras dengan analisis sejarah
hukum dan analisis semiotika hukum yang kemudian disebut sebagai konsep
semiotika hukum pembacaan Pancasila berdasarkan lambang negara Republik
Indonesia sebagai hasil rancangan yang dibuat oleh Sultan Hamid II atau selaras
dengan pasal 48 UU No 24 Tahun 2009.
Adapun rumusannya adalah Sila Kesatu
Ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa merupakan sila yang menjadi basis utama yang
menerangi/nur cahaya keempat sila lainnya. Paham ke Tuhanan itu diwujudkan
dalam paham kemanusian yang adil dan beradab. Dorongan keimanan dan ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu menentukan kualitas dan derajad kemanusiaan
seseorang diantara sesama manusia, sehingga peri kehidupan bermasyarakat dan
bernegara dapat tumbuh sehat dalam struktur kehidupan yang adil, dan dengan
demikian kualitas peradaban bangsa dapat berkembang secara terhormat diantara
bangsa–bangsa di dunia. Semangat Ketuhanan Yang
Maha Esa itu hendaklah pula meyakinkan segenap bangsa Indonesia untuk
bersatu padu dibawah tali Tuhan Yang Maha Esa. Perbedaan-perbedaan diantara
sesama warga negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Dalam wadah negara, rakyatnya
adalah warga negara. Karena itu, dalam rangka dalam kehidupan kenegaraan,
berbangsa dan bermasyarakat tidak perlu dipersoalkan mengenai etnisitas, anutan
agama,warna kulit, dan bahkan status sosial seseorang, karena setiap warga
negara adalah rakyat, dan rakyat itulah yang berdaulat dalam negara Indonesia,
dimana kedaulatannya itu diwujudkan melalui mekanisme permusyawaratan dan
dilembagakan melalui sistem perwakilan, karena kedaulatan yang berada di tangan
rakyat itu dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar dalam bingkai negara hukum
dan pada akhirnya ditujukan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Inilah konsep negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 ayat (1) UUD Neg RI 1945) yang
berkedaulatan rakyat menurut paham konstitusionalisme (Pasal 1 ayat (2) UUD Neg
RI 1945) dalam wadah negara hukum (Pasal
1 ayat (3) UUD Neg RI 1945) berdasarkan Pancasila (Alinea Keempat Pembukaan UUD
Neg RI 1945) yang menjunjung tinggi nilai-nilai relegiositas yang berasal dari
sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa yang bersifat universal (asmaul husna) yang
diupayakan oleh manusia yang beraneka ragam suku bangsa tetapi berasal dari
diri yang satu atau satu diri, yaitu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.(Qur’an
Al Hujurat (49) ayat (13) dan Surah ke 4 Anisa ayat (1) atau dalam bahasa
semiotika lambang negara adalah Bhinneka Tunggal Ika. Bhina Ika, Tunggal Ika,
Beranekaragam itu dan satu itu beraneka ragam. Keragaman dalam persatuan dan
persatuan dalam keragaman.
Adapun konsepnya secara epistemologinya adalah sebagai berikut, bahwa nilai
Sila ke I dasar Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilambangkan dengan cahaya
dibagian tengah perisai Pancasila berbentuk bintang yang bersudut lima. Pada
tataran kenegaraan atau hukum tata Negara, yaitu ilmu
perundang-undangan
saat ini realitas semiotika hukumnya adalah diwujudkan/dijabarkan sebagai “asas
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)
huruf j Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), yaitu, bahwa setiap
materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara dan asas ini secara semiotika hukum tetap
menjadi basis sentral, oleh karena itu secara semiotika sila ke I diletakan
ditengah perisai merah putih dan ditempatkan pada perisai tersendiri berwarna
hitam sebagai warna alam dan Sila I yang dilambang dengan cahaya dibagian
tengah berbentuk bintang bersudut lima ini menyinari semua nilai-nilai ke empat
sila lainnya atau menjadi cahaya, yakni kepada sila II, III, IV dan V atau
menjadi “bintang pemandu” bagi keempat sila lainnya.
Secara teoritik atau konsepsional
dapat dijelaskan konstruksi model semiotika hukumnya, yakni sila I menjadi
cahaya sila II dasar Kemanusian Yang Adil dan Beradab yang dilambangkan dengan
tali rantai bermata bulatan dan persagi dibagian kiri bawah perisai Pancasila. Maknanya
bahwa hukum yang bersifat progresif mencerminkan HAM atau taat pada asas
kemanusian (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia serta harkat martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia
secara proporsional dan taat pula pada asas Bhinneka Tunggal Ika (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf f
Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya
bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi
hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain;
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial serta setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan
kepentingan bangsa dan negara serta taat pula pada asas Kesamaan Kedudukan
Dalam Hukum Dan Pemerintahan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)
huruf h Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya setiap materi muatan
Peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama,
suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Kemudian sila I menjadi cahaya Sila ke III dasar Persatuan Indonesia yang
dilambangkan dengan pohon beringin dibagian kiri atas perisai Pancasila, maknanya hukum yang bersifat progresif
taat kepada asas Kebangsaan Penjelasan (Pasal 6 Ayat (1) huruf c Undang -Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan
watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga
prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
Kemudian Sila I menjadi
cahaya sila IV dasar Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
dilambangkan dengan kepala banteng dibagian kanan atas perisai Pancasila,
karena produk hukum dalam hal ini peraturan perundang-undangan adalah hasil
dari sebuah hikmah kebijaksanaan sebagai perwujudan esensi semnagat demokrasi
untuk menterjemahkan suara rakyat tanpa mengenyampingkan suara kepentingan
pemerintah (negara), maknanya, bahwa hukum yang bersifat Progresif haruslah taat
kepada asas kekeluargaan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan dan taat
kepada asas Pengayoman (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman
masyarakat.
Kemudian
Sila
I menjadi cahaya sila ke V dasar Keadilan Bagi seluruh rakyat Indonesia dilambangkan
dengan kapas dan padi dibagian kanan bawah perisai Pancasila. Maknanya bahwa
hukum yang bersifat progresif harus mewujudkan rasa keadilan masyarakat,
atau taat pada asas Keadilan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)
huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara tanpa kecuali dan taat pula pada asas Kenusantaraan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf e Undang –Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila serta
taat pula pada asas Ketertiban dan Kepastian Hukum (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf i Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus
dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian
hukum..
Dengan demikian pada tataran
perencanaan penyusunan UndangUndang dalam prolegnas sebagai skala prioritas
program pembentukan Undang-Undang dalam kerangka sistem hukum nasional[6]
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Artinya Penempatan Pancasila sebagai cita hukum dengan menempatkan
Pancasila merupakan sumber segala sumber
hukum negara adalah sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alinea keempat dan sekaligus menempatkan Pancasila sebagai
dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga
materi muatan Peraturan perundang-Undangan tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang konsep pembacaan selaras
dengan semiotika hukum pembacaan Pancasila berdasarkan Lambang Negara Republik
Indonesia (Pasal 48 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009), yaitu pembacaan Pancasila dengan
logosentrisme berthawaf.
Konstruksi hukum, bahwa Pancasila bukan hanya staatfundalmentalnorm (kaidah fundamental negara), sebagai cita hukum (rechtidee) yang dijadikan sumber segala
sumber hukum negara yang keberadaannya tidak hanya diluar konstitusi negara
(UUD Negara RI) 1945, tetapi menjadi bagian UUD Negara RI, 1945, sehingga
Pancasila tidak menjadi mitos, terlalu abstrak dan tidak cair, sebagaimana
Pembacaan Pancasila secara hirarkis piramida menurut pandangan Notonagoro dan
dianut oleh para penstudi hukum di Indonesia ketika memberikan penafsiran
filsafat hukum Pancasila.
Konsep Pembacaan Pancasila
secara hirarkis Piramida secara semiotika hukum harus diselaraskan dengan
pembacaan Pancasila berdasarkan Perisai Pancasila dalam Lambang Negara Republik
Indonesia (Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009). Sedangkan
Penjabaran Pancasila sebagai cita hukum atau Pancasila merupakan sumber segala
sumber hukum negara, dapat dijabarkan
atau diwujudkan secara semiotika hukum dengan menghubungkan dengan penerapan
asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan, sebagaimana dimaksud
Pasal 6 dan Penjelasannya dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Artinya antara
Pasal 2 jo Pasal 6 dan Penjelasannya dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
selaras dan korelasi yang jelas dengan Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2009.
Untuk menerapkan konsep Pembacaan
Pancasila “berthawaf” berdasarkan Lambang Negara Republik Indonesia kedalam
pemetaan suatu undang-undang akan lebih mudah untuk memetakan materi muatannya
dengan cara menstruktur pasal-pasal dalam sebuah Undang-Undang sesuai jenis
peraturan perundang-undangan yang diperintahkan/imperatif ke dalam bentuk
peraturan perundangan dari sisi penjabarannya, misalnya dari Undang-Undang ke
bentuk peraturan presiden. Memang kelihatan tidak hirarkis sesuai Pasal 7 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tetapi dengan bantuan model pembacaan
Pancasila berthawaf bisa dilacak keberadaannya, karena selama ini dalam hukum
tata negara, bahwa undang-undang harus dijabarkan kedalam Peraturan Pemerintah
sebagaimana dimaksud Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tetapi bisa
saja keberadaan Peraturan Presiden untuk menyelenggarakan pengaturan lebih
lanjut perintah dari undang-undang, atau
dari peraturan pemerintah yang secara
tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya (pasal 13 Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011). Artinya bisa jadi dalam satu Undang-Undang bisa dipetakan
sekian konsep pembacaan dengan struktur pola pembacaan Pancasila “berthawaf”.
Kemudian untuk memahami hirarki peraturan perundang-undangan, maka
secara teks hukum negara, pertanyaan yang perlu diajukan adalah apa yang
dimaksud dengan hirarki ? Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan pada
penjelasan pasal 7 ayat (2) menyatakan, bahwa dalam ketentuan ini
yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan
setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Berdasarkan pengertian hirarki diatas, maka dimana pengaturan tentang
hirarki peraturan perundang-undangan dirumuskan secara teks hukum negara ?
Pasal 7
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur jenis dan hirarki sebagai berikut:
(1)Jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b.Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
c.Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.Peraturan Pemerintah;
e.Peraturan Presiden;
f.Peraturan Daerah Provinsi;
dan
g.Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
(2)Kekuatan
hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pertanyaan apakah jenis peraturan
perundangan hanya yang terpaparkan dalam hirarki sebagaimana dimaksud pasal 7
Ayat (1) saja ? UU Nomor 12 Tahun 2011
secara tegas menyatakan pada Pasal 8
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan
selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi
yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.
Pasal 8 ayat (2) di atas memberikan penegasan tentang kekuatan
hukum terhadap peraturan
perundang-undangan yang selain dalam hirarki peraturan perundang-undangan pada
Pasal 7 ayat (1), yakni pertama sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pernyataan ini memberikan pemahaman, bahwa apabila didalam peraturan
perundang-undangan apakah berbentuk Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah terdapat pasal yang teks normatifnya terdapat
klasul, misalnya “lebih lanjut diatur atau ditetapkan dengan peraturan menteri”,
maka keberadaan peraturan menteri tersebut mengikat secara hukum. Artinya
keberadaannya diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Apakah yang dimaksud peraturan
menteri?, penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 menjelaskan,
bahwa yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang
ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi
muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.
Yang menjadi persoalan dalam tataran
pratek selama ini setelah terbitnya UU nomor 12 Tahun 2011 masih ada Ketetapan
Menteri tetapi materi muatannya bersifat mengatur, bagaimana kekuatan hukumnya.
Pasal
100 UU Nomor 12 menyatakan, bahwa Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri,
Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada
sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-Undang ini.
Kemudian pada pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 kedua menyatakan atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Pertanyaannya apa
yang dimaksudkan berdasarkan kewenangan ? Penjelasan pasal 8 ayat (2)
menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu
pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
Berkaitan penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan
peraturan kewenangan bukan berarti kewenangan yang lepas dari dasar hukumnya,
karena didalam doktrin hukum administrasi negara dikenal namanya instrumen
pemerintahan dan salah satunya adalah peraturan perundang-undangan. Selain itu
adalah ketetapan Tata Usaha Negara, Peraturan Kebijakan. Rencana, Perizinan.
Yang sering belum terbangun kesepahaman dipublik adalah peraturan
kebijakan. Oleh karena itu untuk membangun kesepahaman perlu dipaparkan masalah
ini. Mengapa demikian, karena keberadaan peraturan kebijakan secara hukum tidak
dapat dilepaskan dengan kewenangan bebas
dari pemerintah yang sering disebut dengan istilah freis ermessen.
Secara bahasa Frei yang artinya bebas, tidak terikat, dan merdeka. Freis
artinya, orang yang bebas, tidak terikat, merdeka. Ermesen artinya mempertimbangkan,
menilai, memperkirakan. Pengertian Freis Ermessen, yakni kebebasan yang
diberikan kepada alat administrasi, yakni kebebasan yang pada asasnya
memperkenankan alat administrasi negara mengutamakan kefektifan tercapainya
suatu tujuan dan berpegang teguh pada ketentuan hukum.
Penggunaan freis Ermessen tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum
yang berlaku (kaidah hukum positif) dan penggunaan freis Ermesen hanya
ditujukan untuk kepentingan umum. Menurut
Indroharto, pembuatan
peraturan kebijakan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:[7]
1.
Ia
tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang
diskresioner yang dijabarkan.
2.
Ia
tidak boleh nyata-nyata bertentangan dengan nalar yang sehat.
3.
Ia
harus dipersiapkan dengan cermat, semua kepentingan, keadaan-keadaan serta
alternatif-alternatif yang ada perlu dipertimbangkan.
4.
Isi
dari kebijakan harus memberikan kejelasan yang cukup mengenai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dari warga yang terkena peraturan tersebut.
5.
Tujuan-tujuan
dan dasar-dasar pertimbangan mengenai kebijakan yang akan ditempuh harus jelas.
6.
Ia
harus memenuhi syarat kepastian hukum
material artinya hak-hak yang diperoleh dari warga masyarakat yang terkena harus dihormati kemudian juga harapan-harapan
warga yang pantas telah ditimbulkan jangan sampai diingkari.
Berkaitan
dengan enam hal diatas, maka sebenarnya diskresi yang berdasarkan konsep freis
Emerssen tidak terlepas dari materi
muatan peraturan perundangan-undangan yang akan dijadikan sumber
wewenangnya.
Untuk
memahami sumber wewenang tersebut, maka perlu dikaitkan dengan materi muatan
peraturan peraturan perundang-undangan sesuai dengan masing-masing jenis
peraturan perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 yang dijabarkan pada:
Pasal 10
(1) Materi muatan yang harus diatur dengan
Undang-Undang berisi:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur
dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi;
dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Pada
penjelasan pasal 10 Huruf c menyatakan: Yang
dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian
internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut
mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan DPR
Pada
penjelasan Pasal 10 ayat (1)Huruf d, bahwa yang
dimaksud dengan ”tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi” terkait dengan
putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Materi muatan yang
dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara
tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Pasal
11
Materi muatan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan
Undang-Undang.
Pasal 12
Materi muatan
Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana
mestinya.
Pasal 13
Materi muatan
Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau
materi untuk melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Pasal 14
Materi muatan
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi
muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran
lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Materi
muatan tidak terlepas dari struktur
masing-masing jenis peraturan perundang-undangan, oleh karena asas hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Jika kita menstruktur kembali
subtansi Pasal 7 ayat
1 “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan” terdiri atas:
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
·
Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia
dalam Peraturan Perundang-undangan, memuat dasar dan garis besar hukum dalam
penyelenggaraan negara. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
·
UUD1945
mulai berlaku sejak 18 agustus 1945 sampai 27 desember 1949.
·
Setelah itu
terjadi perubahan dasar negara yang mengakibatkan UUD 1945 tidak berlaku, namun
melalui dekrit presiden tanggal 5 juli tahun 1959, akhirnya UUD 1945 berlaku
kembali sampai dengan sekarang.
b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
·
merupakan
putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan
rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR atau bentuk putusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan
(beschikking).
·
Pada masa
sebelum perubahan (amandemen) UUD 1945, ketetapan MPR merupakan Peraturan
Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas
Undang-Undang. Pada masa awal reformasi, ketetapan MPR tidak lagi termasuk urutan
hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
·
Contoh : TAP
MPR NOMOR III TAHUN 2000 TENTANG SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
NOMOR III/MPR/2000
c. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
·
yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
Perlu diketahui bahwa undang-undang merupakan produk bersama dari presiden dan
DPR (produk legislatif), dalam pembentukan undang-undang ini bisa saja presiden
yang mengajukan RUU yang akan sah menjadi Undang-undang jika DPR menyetujuinya,
dan begitu pula sebaliknya.
·
Undang-Undang
memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi
politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan
tujuan dalam bentuk negara
Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2010 TENTANG “LARANGAN MEROKOK”
d.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Peraturan Perundang-undangan
yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa (negara
dalam keadaan darurat), dengan ketentuan sebagai berikut:
·
1)
Perpu dibuat
oleh presiden saja, tanpa adanya keterlibatan DPR.
·
2)
Perpu harus
diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
·
3)
DPR dapat
menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan.
·
4)
Jika ditolak
DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
Contoh :
bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan tuntutan masyarakat
sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru; diganti dengan :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
Contoh:
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN
2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
e.
Peraturan Presiden (PP)
Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
f.
Peraturan Daerah Provinsi
·
Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
dengan persetujuan bersama Gubernur.
·
Peraturan
daerah dan keputusan kepala daerah Negara Indonesia adalah Negara yang menganut
asas desentralisasi yang berarti wilayah Indonesia dibagi dalam beberapa daerah
otonom dan wilayah administrasi. Daerah otonom ini dibagi menjadi daerah
tingkat I dan daerah tingkat II. Dalam pelaksanaannya kepala daerah dengan
persetujuan DPRD dapat menetapkan peraturan daerah. Peraturan daerah ini tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundangan diatasnya.
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota dengan
persetujuan bersama Bupati atau Walikota.
Kemudian dengan dikeluarkannya Permendagri
Nomor 53 Tahun 2011 produk hukum daerah dapat
dikategorikan Pengaturan; dan Penetapan (pasal 2) dan yang bersifat pengaturan
terdiri dari Perda atau nama lainnya, Perkada; dan Peraturan Bersama KDH (pasal 3).
Kemudian biasanya yang menjadi pertanyaan publik adalah bagaimana
kedudukan surat edaran ? Dalam buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas cetakan Edisi I Januari 2004 dan
Permen Nomor 22 tahun
2008 yang diterbitkan oleh KeMenpan, Pengertian Surat Edaran adalah Naskah
Dinas yang memuat PEMBERITAHUAN TENTANG HAL TERTENTU YANG DIANGGAP PENTING DAN
MENDESAK.
- Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak
- Mengingat isi Surat Edaran hanya berupa pemberitahuan, maka dengan sendirinya materi muatannya tidak merupakan norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundangan-undangan. Oleh karena itu Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan Menteri, apalagi Perpres atau PP tetapi semata-mata hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan.
- Surat Edaran mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena surat edaran memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Surat Edaran bersifat pemberitahuan, tidak ada sanksi karena bukan norma.
[2]
Ensiklopedia
Pancasila, 1995, halaman 274.
[5]
Hatta, Panitia Lima, 1980 dalam Kaelan, Pancasila Yuridis Kenegaraaan,
Paradigma, Yogyakarta, edisi ketiga, 1999, halaman 86.
[6] Yang dimaksud dengan “sistem hukum
nasional adalah suatu sistem hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua
elemennya serta saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka
mengantisipasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan berbangsa, bernegara,
dan bermasyarakat yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia, Penjelasan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
[7]
Indroharto, Perbuatan Pemerintah
Menurut hukum publik dan hukum Perdata, Jakarta, 1992, halaman 45-46.
3 komentar:
Nama : Dandy Aditya Qasthari
NIM : A1011131007
KELAS : B
MATA KULIAH : ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
DOSEN : SUBIYATNO, SH DAN TURIMAN, SH, M.HUM
TOPIK :PANCASILA SEBAGAI SUMBER SEGALA SUMBER HUKUM NEGARA DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011
Menurut saya, Pancasila merupakan dasar negara yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia, selain itu Pancasila juga mengandung cita-cita dan pandangan hidup bangsa indonesia. Melalui pancasila, bangsa indonesia menyusun visi dan misi dalam membangun negara menuju negara lebih baik.
oleh karena itu, sudah seharusnya segala peraturan perundang-undangan di indonesia bersumber dari Pancasila. Hal ini agar dapat mewujudkan visi dan misi dari negara indonesia seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat.
jika pembentukan peraturan perundang-undangan melenceng dari apa yang sudah menjadi cita cita bangsa, maka sudah sepatutnya peraturan perundangan tersebut ditinjau ulang demi menghindarkan terjadinya hal-hal yang berdampak buruk bagi negara indonesia.
Terima kasih.
Nama : Adhitya Rianda
NIM : A1012141036
Mata Kuliah : Hukum Administrasi Negara
Kelas/Reguler : A/Reguler B
Tahun Akademik : 2015/2016
Komentar Saya :
Pancasila merupakan suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan Negara. Konsekuensinya seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara terutama segala peraturan perundang-undangan termasuk proses reformasi dalam segala bidang ini dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila. Maka pancasila merupakan Sumber dari segala sumber hukum, Pancasila merupakan sumber kaidah hukum Negara yang secara konstitusional mengatur Negara Republik Indonesia beserta seluruh unsur-unsurnya yaitu rakyat, beserta pemerintah Negara.
Sebagai dasar Negara, Pancasila merupakan suatu asas yang meliputi cita-cita hukum, sehingga merupakan suatu sumber nilai, norma serta kaidah, baik moral maupun hukum Negara, dan menguasai hukum dasar baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis atau Dalam kedudukannya sebagai dasar Negara, Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.
Sebagai sumber dari segala hukum atau sebagai sumber tertib hukum Indonesia maka Setiap hukum harus bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Pancasila tercantum dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945, kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam pokok-pokok pikiran, yang meliputi UUD, serta hukum positif lainnya.
Sekian komentar dari Saya,
Mudah-mudahan dengan komentar ini dapat memenuhi Tugas Hukum Administrasi Negara yang telah Bapak berikan, mohon maaf atas kekurangannya.
Terima Kasih.
NAMA : EARLY ROMANSA BUDI
NIM : A1011171051
KELAS : A ( REGULER A / PAGI )
PRODI : ILMU HUKUM
MATA KULIAH : PENDIDIKAN PANCASILA
SEMESTER : 1 ( 2017 )
ASSALAMUALAIKUM WR. WB
Pertama tama saya ingin mengucapkan terimakasih kepada Bpk. Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, S.H.,M.Hum yang telah menulis artikel didalam blog Rajawali Garuda Pancasila ini yang berjudul " PANCASILA SEBAGAI SUMBER SEGALA SUMBER HUKUM NEGARA DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 " . Dengan adanya artikel yang bapak tulis ini saya mendapatkan banyak wawasan dan ilmu yang sebelumnya tidak saya dapatkan di manapun, Setelah membaca artikel bapak saya mengetahui bahwa Pancasila adalah sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi yang memuat Peraturan Perundang - undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai - nilai yang sudah terkandung didalam Pancasila. Yang perlu kita pahami disini adalah apakah yang dimaksud dengan materi muatan Peraturan Perundang - undangan. Bapak Turiman menjelaskan bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang - undangan adalah materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang - undangan. Dengan adanya artikel yang telah bapak tulis ini bukan hanya berguna bagi saya tetapi sangat berguna bagi setiap orang yang membacanya. artikel yang bapak tulis ini sangat bermanfaat sekali semoga bapak sukses selalu dan dapat sering sering menulis artikel di Blog ini. Saya mengucpkan banyak terimakasih kepada bapak Turiman Fachturahman Nur, S.H.,M.Hum yang telah menulis artikel ini semoga semakin berjaya:)
TERIMAKASIH, WASSALAMUALAIKUM WR.WB
Posting Komentar