SEJARAH HUKUM PENGATURAN PEMERINTAHAN
DESA
(Sebuah Catatan Analisis Hukum Tata Pemerintahan Desa)
Oleh Turiman Fachturahman Nur
Prolog
UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian
desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati
dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari defenisi tersebut,
sebetulnya desa merupakan bagian vital bagi keberadaan bangsa Indonesia. Vital
karena desa merupakan satuan terkecil dari bangsa ini yang menunjukkan keragaman
Indonesia. Selama ini terbukti keragaman tersebut telah menjadi kekuatan
penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengan demikian penguatan desa
menjadi hal yang tak bisa ditawar dan tak bisa dipisahkan dari pembangunan
bangsa ini secara menyeluruh.
Memang
hampir semua kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan pembangunan desa
mengedepankan sederet tujuan mulia, seperti mengentaskan rakyat miskin,
mengubah wajah fisik desa, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat,
memberikan layanan social desa, hingga memperdayakan masyarakat dan membuat
pemerintahan desa lebih modern. Sayangnya sederet tujuan tersebut mandek diatas
kertas. Karena pada kenyataannya desa
sekedar dijadikan obyek pembangunan, yang keuntungannya direguk oleh actor yang
melaksanakan pembangunan di desa tersebut : bisa elite kabupaten, provinsi,
bahkan pusat. Para pendiri Negara kita Republik Indonesia tercinta dengan
segala pemahamannya tentang kondisi Tanah Air Indonesia yang terdiri beribu –
ribu pulau dan suku bangsa dengan bijak menempatkan kondisi Desa sebagai unsur
Pemerintah terdepan.
Struktur
Pemerintahan sedemikian rupa memiliki semangat untuk menjadikan Desa sebagai
pilar utama pembangunan bangsa, logikanya bila sekitar 80.000 desa di bumi
pertiwi ini maju, mandiri, sejahtrera dan demokratis maka menjelmalah Negara
Kesatuan Indonesia menjadi bangsa yang besar dan terhormat dalam percaturan
bangsa – bangsa di dunia.
Lain yang diharap lain pula
kenyataannya, dengan pola sentralistik yang dikembangkan di masa lalu telah menempatkan
desa menjadi “pelengkap penderita“ yang tidak berdaya segalanya ditentukan dari
atas bahkan cenderung segala potensi yang dimilikinya lebih banyak menjadi
“Upeti“ pada Pemerintah diatasnya. Desa tetap miskin bodoh dan abdi para
pejabat diatasnya yang semakin rakus mengeksploitasi desa.
Setelah berjalan lama mulai tumbuh
akan kesadaran akan kekeliruan tersebut terutama setelah terbukti bahwa pola
sentralistik hanya menghasilkan koruptor-koruptor dan kesenjangan sosial yang
tajam antara pusat, daerah dan desa. Reformasi pola ini dirombak total dimana
pola desentralisasi yang ditinggalkan akan dipacu kembali Undang-Undang Dasar
1945 yang telah diamandemen, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang semangatnya lebih berpihak pada
desentralisasi dan demokratisasi.
Kesulitan berhimpun dalam rangka
membangun posisi tawar bagi pemerintahan desa telah punah. Selama ini,
kebijakan pembangunan di Indonesia terutama pembangunan Desa selalu bersipat
top down dan sektoral dalam perencanaan serta implementasinya tidak
terintegrasi, hal ini dapat dilihat dari program pemerintah pusat (setiap
departemen) yang bersipat sektoral. Perencanaan disusun tanpa melibatkan sektor
yang lain serta pemerintah daerah, hal lain yang menjadi permaslahan adalah
tidak dicermatinya persoalan mendasar yang terjadi di daerah, sehingga
formulasi strategi dan program menjadi tidak tepat.
Berkaitan
dengan kemiskinan, sebagaimana terinformasikan dalam data statistik, ternyata
sebagian besar masyarakat miskin berada di desa, oleh karena itu, pembangunan sudah
sewajarnya difokuskan di desa sebagai upaya mengatasi kemiskinan, Pembangunan
selama ini, lebih banyak di arahkan di kota, hal ini menyebabkan aktivitas
perekonomian, berpusat di kota, hal inilah yang menyebabkan terjadinya migrasi
dari desa ke kota. Masyarakat desa dengan segala keterbatasan pindah ke kota
mengadu nasib dan sebagian besar dari mereka menjadi persoalan besar di kota.
Disisi lain, kondisi di desa tidak
tersentuh pembangunan secara utuh, infrastruktur dasar tidak terpenuhi,
aktivitas ekonomi sangat rendah, peluang usaha juga rendah, sarana pendidikan
terbatas, sebagian besar baru terpenuhi untuk sekolah dasar saja. Kondisi ini
menyebabkan tidak ada pilihan lain bagi masyarakat desa untuk merubah nasibnya,
yaitu dengan merantau ke kota. Pada kenyataannya, seluruh potensi sumber daya
alam, sebagai raw material aktivitas penunjang perekonomian bisa dilaksanakan
tanpa ada support bahan baku yang diproduksi di desa. Kondisi ini yang harus
segera diselesaikan melalui strategi pembangunan desa yang tepat dan
teritegrasi. Fakta lain memperlihatkan ekploitasi sumber daya alam di desa
secara besar besaran, dengan tidak mencermati daya dukung lingkungan serta
tidak melibatkan masyarakat setempat, dengan alasan kemampuan rendah dari
masyarakat setempat, menyebabkan kerusakan lingkungan, baik fisik maupun
sosial.
Terkait
dengan pembangunan desa (rural
development), secara tradisional bahwa pembangunan desa mempunyai tujuan
untuk pertumbuhan sektor pertanian, dan integrasi Nasional, yaitu membawa
seluruh penduduk suatu negara ke dalam pola utama kehidupan yang sesuai, serta
menciptakan keadilan ekonomi berupa bagaimana pendapatan itu didistribusikan
kepada seluruh penduduk, Pembangunan desa diarahkan kepada bagaimana mengubah
sumber daya alam dan sumber daya manusia suatu wilayah atau Negara, sehingga
berguna dalam produksi barang dan melaksanakan pertumbuhan ekonomi, modernisasi
dan perbaikan dalam tingkat produksi barang (materi) dan konsumsi.
Dengan
demikian, pembangunan desa diarahkan untuk menghilangkan atau mengurangi
berbagai hambatan dalam kehidupan sosial ekonomi, seperti kurang pengetahuan
dan keterampilan, kurang kesempatan kerja, dan sebagainya. Akibat berbagai
hambatan tersebut, penduduk wilayah pedesaan umumnya miskin. Sasaran dari
program pembangunan pedesaan adalah meningkatkan kehidupan sosial dan kehidupan
ekonomi masyarakat desa, sehingga mereka memperoleh tingkat kepuasan dalam
pemenuhan kebutuhan material dan spiritual
Berdasar
uraian di atas, pembangunan desa secara konkret harus memperhatikan berbagai
faktor, diantaranya adalah terkait dengan pembangunan ekonomi, pembanguna atau
pelayanan pendidikan, pengembangan kapasitas pemerintahan dan penyediaan
bernagai infrastruktur desa. semua faktor tersebut diperlukan guna
mengimplementasikan dan mengintegrasikan pembangunan desa ke dalam suatu
rencana yang terstruktur dalam desain tata ruang.
Disisi lain, baik dalam Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang), musyawarah perenacanaan pembangunan daerah ( Musrenbangda), dan musyawarah perencanaan pembanguan kecamatan ( Musrenbangcam), dimana ajang tersebut sebagai ajang perencanaan pembangunan daerah, selama ini dirasakan tidak optimal dan hanya bersifat formalitas semata, karena terjadi tarik menarik kepentingan antara elite di daerah,
Disisi lain, baik dalam Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang), musyawarah perenacanaan pembangunan daerah ( Musrenbangda), dan musyawarah perencanaan pembanguan kecamatan ( Musrenbangcam), dimana ajang tersebut sebagai ajang perencanaan pembangunan daerah, selama ini dirasakan tidak optimal dan hanya bersifat formalitas semata, karena terjadi tarik menarik kepentingan antara elite di daerah,
Dengan demikian,
ajang musrenbang/musrenbangda/musrenbangcam pun tidak maksimal untuk menyerap
aspirasi masyarakat dalam pembangunan karena masing masing level (elite
birokrasi) bertahan dengan pendirian atau keputusan keputusan yang telah dibuat
sebelumnya dalam hal penentuan program pembangunan daerah. Di samping itu,
hasil musrenbang dalam kenyataannya tidak pernah diaplikasikan dan
diimplementasikan dilapangan secara utuh.
Minimnya
peran pemerintah Provinsi terkait dengan pembangunan desa, kondisi tersebut
kemudian diperparah dengan banyaknya kebijakan pemerintah pusat dalam
pembangunan desa yang selalu bersifat top down, dimana pemerintah pusat selalu
memaksakan program programnya dalam pembangunan desa bagi daerah.
Kebijakan
Pemerintah dalam pembangunan desa juga bersifat parsial atau sektoral, sehingga
keterkaitan dan keterpaduan antar program tidak terjadi. Dengan kata lain,
antar departemen terkait tidak ada sinergitas fungsi dan program terkait dengan
kemiskinan di desa, selain itu, kebijakan pemerintah dalam pembangunan desa
selam ini tidak akomodatif terhadap ke khasan daerah dan cenderung
diseragamkan, kebijakan tidak fokus pada pengentasan atau penanggulangan
kemiskinan, dimana kegiatan apa yang akan dilakukan tidak berdasarkan pada
grand design pembangunan desa (misalnya 5 tahunan)
Kebijakan pemerintah terkait
pembangunan desa selama ini dinilai tidak berdasarkan pada potensi desa yang
ada, tidak berdasarkan pada desain tata ruang (yang telah dibuat), hasil
musrenbang tidak implementatif, tidak ada perencanaan yang komprehensif
terhadap pembangunan desa, mekanisme perencanaan dan pembiayaan desa tidak
optimal, peran Stakeholders terutama pemerintah desa tidak optimal. Selain itu,
kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa selama ini juga dinilai tidak
memperhatikan kondisi faktual infrastruktur yang ada di desa, ketersediaan
prasarana ekonomi dan aktivitas ekonomi, pelayanan pendidikan, kesehatan,
kesempatan kerja sehingga diversifikasi usaha di desa sangat terbatas, lebih
lanjut, desa menjadi tidak mandiri dan hanya menggantungkan usaha atau
pencaharian nafkah kepada sektor pertanian semata. Akibat program program
pemerintah yang tidak berdasarkan pada potensi dan kekhasan daerah tersebut
telah menyebabkan banyak potensi yang berada di desa menjadi tidak berkembang.
Untuk memahami secara utuh
bagaimana pengaturan pemerintahan desa dan sejarah hukum pengaturan desa,
berikut ini diulas perjalanan sejarah hukum pengaturan desa di negara kesatuan
Republik Indonesia.
I.
Sejarah
Hukum Pemerintahan Desa
A.
Pengaturan Desa di Masa Hindia Belanda
Jika kita menelusuri sejarah
pengaturan desa kita bisa mulai pada tahun 1854, Pemerintah kolonial Belanda
mengeluarkan “Regeeringsreglement” yang
merupakan cikal-bakal pengaturan tentang daerah dan Desa. Dalam pasal 71 (pasal
128.I.S.) menegaskan tentang kedudukan Desa, yakni: Pertama, bahwa Desa yang dalam peraturan itu disebut “inlandsche gemeenten” atas pengesahan
kepala daerah (residen), berhak untuk memilih kepalanya dan pemerintah Desanya
sendiri. Kedua, bahwa
kepala Desa itu diserahkan hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh gubernur
jenderal atau dari kepala daerah (residen). Gubernur Jenderal menjaga hak
tersebut terhadap segala pelanggarannya.
Subtansi dalam ordonansi itu juga
ditentukan keadaan dimana Kepala Desa dan anggota pemerintah Desa diangkat oleh
penguasa yang ditunjuk untuk itu. Kepala
Desa bumiputera diberikan hak mengatur dan mengurus rumah tangganya dengan
memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal,
pemerintah wilayah dan residen atau Pemerintah otonom yang ditunjuk dengan
ordonansi. Selain itu, dalam ordonansi
diatur wewenang dari Desa Bumiputera untuk: (a) memungut pajak di bawah
pengawasan tertentu; (b) di dalam batas-batas tertentu menetapkan hukuman
terhadap pelanggaran atas aturan yang diadakan oleh Desa (Suhartono, 2001:
46-47).
Berdasarkan Ordonansi tanggal 3
Februari 1906, lahirlah peraturan yang mengatur pemerintahan dan rumah tangga
Desa di Jawa dan Madura. Peraturan itu, yang dimuat dalam Staasblad 1906 N0. 83, diubah dengan Staablad 1910 No. 591, Staadblad.
1913 No. 235 dan Staadblad, 1919 No.
217 dikenal dengan nama “Islandsche
Gemeente-Ordonnantie”. Dalam penjelasan atas Ordonnantie itu yang dimuat dalam Bijblad 6567 disebutkan bahwa ketetapan-ketetapan dalam Ordonnantie secara konkret mengatur
bentuk, kewajiban dan hak kekuasaan pemerintah Desa baik berdasarkan hukum
ketataprajaan maupun berdasarkan hukum perdata.
Walaupun berbagai peraturan yang muncul
masih jauh dari sempurna, tetapi dalam rangka perundang-undangan Hindia Belanda
semuanya telah berhasil menghilangkan keragu-raguan tentang kedudukan Desa
sebagai badan hukum, lebih dari posisi Desa sekedar kesatuan komunal masyarakat. Peraturan telah
berhasil pula mengembangkan kemajuan kedudukan hukum Desa sebagai pemilik harta
benda (Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984).
Dari sisi kajian sejarah hukum,
bahwa pengaturan tentang Desa seperti disebut di atas menimbulkan perdebatan di
kalangan akademisi maupun internal pemerintahan kolonial. Misalnya, Van Deventer menyambutnya dengan
gembira. Menurut Van Deventer, dengan keluarnya peraturan tentang Desa, hak Desa untuk mendapat dan menguasai milik
sendiri telah diberi dasar hukum. Berdasarkan hak itu Desa akan dapat menyusun
“pendapatan Desa” sendiri. Hal ini penting berhubungan dengan hendak
didirikannya sekolah Desa dan lumbung Desa pada waktu itu. Sebaliknya Mr. Van
Bockel dalam Koloniale Studien tahun 1921 mengatakan, bahwa peraturan
itu merupakan sebuah tatapraja untuk Desa, yang dimasukkan dengan paksa ke
dalam suatu susunan yang asing baginya, dengan tiada mengingat tingkat
kecerdasan rakyat dan susunan tatapraja dalam daerah. Van Vollenhoven
berpendapat senada. Setelah mengucapkan penghargaannya terhadap tujuan
ordonansi di atas, yang bermaksud hendak menguatkan kedudukan Desa, maka ia
mencela bahwa dalam peraturan itu membuat ordonansi kurang cukup mengindahkan
sifat-sifat asli dari Desa di daerah Jawa, Madura dan Pasundan.
Jika memahami dalam konteks
perdebatan di atas, akhirnya “Islandsche
Gemeent Ordonantie” tahun 1906 tidak berlaku untuk empat daerah Swapraja di
Surakarta dan Yogyakarta. Di daerah-daerah tadi, yang pada hakekatnya adalah
daerah Negorogung di jaman dahulu,
dimana otonomi Desa karena percampuran kekuasaan Raja -- antara lain disebabkan
oleh apanage-stelsel sejak 1755
-- telah menjadi rusak, maka kedudukan Desa sebagai daerah hukum otonom
sudah rusak pula.
Hal ini memberikan gambaran, bahwa meski
demikian, hukum asli yang menjadi pokok-pokok dasar kebudayaan bangsa, meskipun
telah terpendam dibawah reruntuhan Desa asli selama ratusan tahun, setelah
kesatuan Desa sebagai daerah hukum itu di daerah Swapraja di Jawa dihidupkan
kembali, maka ia hidup kembali juga. Begitu kuatnya, hingga waktu permulaan
kemerdekaan di daerah Yogyakarta muncul peraturan untuk menggabungkan Desa-desa
yang kecil-kecil menjadi kesatuan daerah yang lebih besar. Peraturan itu
mengalami kesulitan. Selain itu, sebagai penjelmaan dari kesatuan daerah hukum
itu barangkali belum diketahui umum, bahwa daerah Yogyakarta penjualan tanah
milik di Desa (malah juga penggadaian) kepada seorang yang bukan penduduk Desa,
harus mendapat ijin dari rapat Desa.
Sejarah mencatat tahun 1912 pemerintah Pakualaman melancarkan penataan Desa, tertanggal
18 Oktober 1912 untuk distrik Sogan, Kabupaten Adikarta, untuk penataan dimana
ordonansi tahun 1906 dipakai sebagai model. Penataan itu diumumkan dalam “Vaststelling van de gemeenteregeling en
gemeentebestuursregeling in het district Sogan kabupaten Adikarta”.
Selanjutnya pada tahun 1918 itu juga
Kasultanan Yogyakarta oleh Rijksbestuurder ditetapkan sebuah
peraturan semacam itu. Peraturan itu diumumkan dalam Rijksblad tahun 1918 No.
22. Penataan Pakualaman tahun 1912 pun lalu diganti dan namanya dalam bahasa
Belanda disebut “Regelen betreffende het
beheer en de huishoudelijke belangen der inlandche gemeenten in het distriect
Sogan kabupaten Adikarta”, sama dengan peraturan buat Kasultanan. Perubahan
itu diumumkan dalam Rijksblad tahun
1918 No. 24.
Jika ditelusuri baik di Kasultanan
dan Pakualaman, dalam tahun itu diluncurkan peraturan tentang pengangkatan,
pemberhentian sementara, pemecatan dari jabatan, tentang penghasilan dan
kewajiban pemerintah Desa. Peraturan ini unutk Kasultanan dimuat dalam Rijksblad tahun 1918 No. 23, diubah
dalam Rijksblad tahun 1925 No. 17 dan
buat Pakualaman dimuat dalam Rijksblad
tahun 1918 No. 25 diubah dalam Rijklsblad
No. 17/1925.
Sedangkan daerah-daerah Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran tidak mempunyai peraturan serupa. Di daerah-daerah
itu berlaku peraturan-peraturan lain; bagi Kasunanan termuat dalam Rijksblad tahun 1917 No. 33; bagi
Mangkunegaran termuat dalam Rijksblad
tahun 1917 No. 14, yakni
peraturan-peraturan yang membagi daerah Kasunanan dan daerah Mangkunegaran
dalam sejumlah wilayah Desa.
Berdasarkan riwayat pasal 71 Regeringsreglement 1854 memang yang
hendak diatur hanya kedudukan Desa di Jawa dan Madura. Beberapa tahun kemudian
pemerintah Hindia Belanda mengetahui bahwa di luar Jawa dan Madura ada juga
daerah-daerah hukum seperti Desa-Desa di Jawa. Karena itu, pemerintah kolonial
juga menyusun peraturan untuk mengatur kedudukan daerah-daerah itu semacam Inlandsche Gemeente Ordonnantie yang
berlaku di Jawa dan Madura. Inlandsche
Gemeente Ordonnantie untuk Karesidenan Amboina termuat dalam Staatblad 1914 No. 629 jo. 1917 No. 223.
Peraturan itu namanya: Bepalingen met
betrekking tot de regeling van de huishoudelijke belangen der inlandsche
gemeenten in de residentie Amboina”, diganti dengan peraturan yang memuat
dalam stbl. 1923 No. 471. Peraturan
untuk Sumatera Barat termuat
dalam Stbl.1918 No. 667; mulai
berlaku pada tanggal 31 Desember 1918 diganti dengan peraturan termuat dalam Stbl. 1918 No. 667 dan 774 dan dalam Stbl.1921 No. 803. Untuk karesidenan Bangka termuat dalam Stbl. 1919 No. 453. Peraturan untuk
karesidenan Palembang termuat dalam Staatblad 1919 No. 814; untuk Lampung termuat dalam Stbl.
1922 No. 564; untuk Tapanuli
termuat dalam Stbl. 1923 No. 469;
untuk daerah Bengkulu termuat
dalam Stbl. 1923 No. 470; untuk
daerah Belitung termuat
dalam Stbl.1924 No. 75 dan untuk daerah Kalimantan Selatan dan Timur termuat dalam Stbl. 1924 No. 275; kemudian ditetapkan “Hogere Inlandsche Verbanden Ordonnantie Buitengewesten” Stbl. 1938
No. 490 jo. Stbl. 1938 No. 681.
Jika kita analisis, maka berbagai peraturan itu tampak ambigu. Di satu sisi
pemerintah kolonial membuat peraturan secara beragam (plural) yang disesuaikan
dengan konteks lokal yang berbeda. Di sisi lain berbagai peraturan itu tidak
lepas dari kelemahan. Van Vollenhoven selalu mengkritik bahwa
peraturan-peraturan itu berbau Barat. Dengan berpegang pada ordonansi-ordonansi
itu pemerintah Hindia Belanda telah membentuk -- kadang secara paksa, seperti
halnya di Belitung -- daerah-daerah baru yang diberi hak otonomi, dari
masyarakat-masyarakat yang belum mempunyai kedudukan sebagai masyarakat hukum;
ataupun kesatuan-kesatuan masyarakat yang dulu memang sudah mempunyai kedudukan
sebagai daerah hukum, akan tetapi kemudian dirusak oleh kekuasaan Raja-raja
atau kekuasaan asing, sehingga hak otonominya telah hilang. Desa-Desa seperti
itu terdapat di daerah-daerah Swapraja di Jawa, Belitung dan sebagian dari
tanah-tanah partikelir. Desa-Desa baru yang dibentuk atas dasar Inlandsche
gemeente-ordonnantie terdapat di
daerah-daerah Sumatera Timur, Kalimantan, Bangka, Belitung, Sulawesi Selatan,
Swapraja di Jawa dan bekas tanah partikelir. Daerah-daerah dimana masyarakat
itu dahulu kala sudah mempunyai kedudukan sebagai daerah hukum yang otonom,
maka setelah kedudukan itu dihidupkan, maka pemerintah disitu menurut
syarat-syarat yang baru berjalan dengan lancar. Hal ini dapat dimengerti sebab
meskipun penduduk Desa itu sudah lama tidak menjalankan kewajiban sebagai warga
Desa yang otonom, tetapi otonomi itu sudah berjalan secara turun-temurun dan
menjadi bagian erat dalam kebudayaan rakyat setempat (Soetardjo
Kartohadikoesoemo, 1984).
Selanjutnya sejarah hukum mencatat,
bahwa Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 23 Januari 1941 menyampaikan
rancangan Rancangan Desa-ordonannantie
baru kepada Volksraad. Ordonnantie
itu kemudian ditetapkan pada tanggal 2 Agustus 1941 (stbl. 1941 no. 356).
Substansi Desa ordonanntie baru
berlainan dengan ordonanntie-ordonanntie sebelumnya.
Prinsipnya ialah supaya Desa diberi keleluasaan untuk berkembang menurut
potensi dan kondisinya sendiri. Untuk mencapainya, Desa tidak lagi dikekang
dengan berbagai peraturan-peraturan (regulasi) yang mengikat dan instruktif.
Berdasarkan atas prinsip itu dalam Desa-ordonanntie
baru dinyatakan perbedaan antara Desa yang sudah maju dan Desa yang belum maju.
Untuk Desa yang sudah maju, pemerintahan dilakukan oleh sebuah Dewan Desa (Desaraad),
sedang Desa untuk yang belum maju pemerintahan disusun tetap sediakala, yaitu
pemerintahan dilakukan oleh Rapat Desa yang dipimpin oleh kepala Desa yang
dibantu oleh parentah Desa.
Selanjutnya dalam Desa-ordonnantie
baru itu, pemerintah hendaknya minimal mencampuri dalam rumah tangga Desa dengan
peraturan-peraturan yang mengikat, bahkan dalam pemerintahan Desa itu
diharuskan lebih banyak menggunakan hukum
adat. Namun sampai pada waktu jatuhnya pemerintahan Hindia Belanda Desa-ordonnantie itu belum bisa
dijalankan.
Dengan demikian, bahwa sejak
lahirnya “otonomi baru” bagi Desa yang disajikan dalam Inlandsche Gemeente-ordonnantie tahun 1906, maka berturut-turut
dengan segala kegiatan diadakan aturan-aturan baru tentang “kas Desa”, tentang
“lumbung Desa”, “bank Desa”, “sekolah Desa”, “pamecahan Desa”, “bengkok guru Desa”
“bale Desa”, tebasan pancen dan pajak bumi, “seribu satu aturan berkenaan
dengan (mengatur, mengurus, memelihara dan menjaga keamanan hutan), yang
semuanya itu menimbulkan satu akibat yaitu menambah beban rakyat berupa uang
dan tenaga. Padahal berbagai aturan itu umumnya bukan hanya tidak dimengerti
oleh rakyat Desa, akan tetapi juga disangsikan akan manfaatnya bagi rakyat
Desa, malah sebagian besar nyata-nyata sangat bertentangan dengan kepentingan
Desa dan melanggar hak-hak asasi.
B.
Pengaturan Desa di masa Jepang
Memasuki pada zaman pemerintahan
Jepang, pengaturan mengenai Desa diatur dalam Osamu Seirei No. 7 yang
ditetapkan pada tanggal 1 Maret Tahun Syoowa 19 (2604 atau 1944). Dari
ketentuan Osamu Seirei ini
ditegaskan bahwa Kucoo (Kepala
Ku, Kepala Desa) diangkat dengan jalan pemilihan. Sedangkan dewan yang berhak
untuk menentukan tanggal pemilihan dan syarat-syarat lain dalam pemilihan Kucoo
adalah Guncoo. Sedangkan
untuk masa jabatan Kucoo adalah 4 tahun. Kucoo dapat dipecat oleh Syuucookan (Surianingrat, 1985:
189-190).
Kemudian menurut Suhartono et. al (2001: 49), pada
jaman penjajahan Jepang Desa ditempatkan di atas aza (kampung, dusun) yang merupakan institusi terbawah. Pada
pendudukan Jepang ini, Otonomi Desa kembali dibatasi bahkan Desa dibawah pengaturan
dan pengendalian yang sangat ketat. Rakyat Desa dimobilisasi untuk keperluan
perang, menjadi satuan-satuan milisi, seperti Heiho, Kaibodan, Seinendan, dan lain-lain. Kepala Desa
difungsikan sebagai pengawas rakyat untuk menanam tanaman yang dikehendaki
Jepang, seperti jarak, padi dan tebu.
Pemerintah Desa pada jaman
pendudukan Jepang terdiri dari 9 (sembilan) pejabat: Lurah, Carik, 5 (lima)
orang Mandor, Polisi Desa dan Amir (mengerjakan urusan agama).
C.
Pengaturan Desa 1945-1965
Memahami dimulainya desentralisasi dan
otonomi daerah menjadi perhatian awal menyusul lahirnya UUD 1945, 18 Agustus
1945. Pada bab IV Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur masalah Pemerintahan Daerah,
disebutkan bahwa:
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar
dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa”. Dalam bagian penjelasan dinyatakan bahwa ”Dalam territoir
Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan
Volksgemeenschappen, seperti Desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau,
dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai
susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat
istimewa”. Selanjutnya dinyatakan juga: ”Negara Republik Indonesia
menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan
negara yang mengenai daerah-daerah itu
akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut”.
Berkaitan
Volksgemeenschappen penjelasan pasal 18 UUD 1945 tidak menyebutkan
jumlah tertentu, akan tetapi menyebutkan contoh yaitu Desa di Jawa dan Bali,
Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Meski dalam
UUD 1945 Zelfbesturende Landschappen dan Volksgemeenschappen
diberlakukan sama namun antara keduanya ada perbedaan mendasar. Tidak ada Landschappen
atau swapraja yang berada dalam wilayah Volksgemeeschappen. Secara
hirarkhis kedudukan Zelfbesturende Landschappen berada di
atas Volksgemeenschappen. Meski Desa-Desa di Jawa hanya merupakan salah
satu bentuk Volksgemeenschappen seperti yang disebut dalam penjelasan
pasal 18 UUD 1945, namun istilah “Desa” digunakan sebagai istilah yang
menggantikan istilah Volksgemeenschappen. Desa telah menjadi istilah
yang digunakan tidak hanya di pemerintahan dalam negeri, tetapi juga digunakan
di lingkungan akademik khususnya dalam ilmu-ilmu sosial (Yando Zakaria, 2000).
Seanjutnya
untuk mengatur pemerintahan pasca 17 Agustus 1945, Badan pekerja Komite
Nasional Pusat mengeluarkan pengumuman No. 2. yang kemudian ditetapkan menjadi
UU No. 1/1945. UU ini mengatur kedudukan Desa dan kekuasaan komite nasional
daerah, sebagai badan legislatif yang dipimpin oleh seorang Kepala Daerah.
Menurut Prof. Koentjoro Perbopranoto, undang-undang ini dapat dianggap sebagai
peraturan desentralisasi yang pertama di Republik Indonesia. Di dalamnya
terlihat bahwa letak otonomi terbawah bukanlah kecamatan melainkan Desa,
sebagai kesatuan masyarakat yang berhak mengatur rumah tangga pemerintahannya
sendiri. Desentralisasi itu hanya sempat dilakukan sampai pada daerah tingkat
II.
Memperhatikan
isinya yang terlalu sederhana, Undang-undang No. 1/1945 ini dianggap kurang memuaskan. Maka dirasa
perlu membuat undang-undang baru yang lebh sesuai dengan pasal 18 UUD 1945.
Pada saat itu pemerintah menunjuk R.P. Suroso sebagai ketua panitia. Setelah
melalui berbagai perundingan, RUU ini akirnya disetujui BP KNIP, yang pada tanggal 10 Juli 1948 lahir UU No.
22/1948 Tentang Pemerintahan Daerah. Bab 2 pasal 3 angka 1 UU No. 22/1948
menegaskan bahwa daerah yang dapat mengatur rumah tangganya sendiri dapat
dibedakan dalam dua jenis, yaitu daerah otonomi biasa dan daerah otonomi
istimewa. Daerah-daerah ini dibagi atas tiga tingkatan, yaitu Propinsi
Kabupaten/kota besar, Desa/kota kecil. Sebuah skema tentang pembagian
daerah-daerah dalam 3 tingkatan itu menjadi lampiran undang-undang. Daerah
istimewa adalah daerah yang mempunyai hak asal-usul yang di zaman sebelum RI
mempunyai pemerintahan yang bersifat istimewa. UU No. 22/1948 menegaskan pula
bahwa bentuk dan susunan serta wewenang dan tugas pemerintah Desa sebagai suatu
daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri (Yando
Zakaria, 2000).
Selanjutnya
memasuki periode Republik Indonesia Serikat (RIS), Pemerintah Negara Republik
Indonesia Timur (NIT ) menetapkan suatu peraturan desentralisasi yang dinamakan
undang-undang pemerintahan daerah daerah Indonesia Timur, yang dikenal dengan
UU No. 44/1950. Mengenai tingkatan daerah otonom, menurut UU No.44/1950,
tersusun atas dua atau tiga tingkatan. Masing-masing adalah (1) Daerah; (2)
Daerah bahagian dan (3) daerah anak bahagian.
Berikutnya
pada bulan Juni 1956 sebuah RUU tentang pemerintahan daerah diajukan Menteri
Dalam Negeri ketika itu, Prof. Sunaryo, kepada DPR RI hasil Pemilu 1955.
Setelah melalui perdebatan dan perundingan Pemerintah dan Fraksi-fraksi dalam
DPR RI waktu itu, RUU tersebut diterima
dan disetujuai secara aklamasi. Pada tanggal 19 Januari 1957 RUU itu
diundangkan menjadi Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah.
Jika
kita perhatikan, maka UU No. 1/1957 ini berisikan mengenai pengaturan tentang,
antara lain, jumlah tingkatan daerah sebanyak-banyaknya tiga tingkatan,
kedudukan kepala daerah dan tentang pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah
Pusat. Daerah Otonom terdiri dari dua jenis, yaitu otonom biasa dan daerah
swapraja. Mengenai pembentukan daerah Tingkat III, menurut UU No. 1/1957, harus
dilakukan secara hati-hati, karena daerah itu merupakan batu dasar pertama dari
susunan negara, sehingga harus diselenggarakan secara tepat pula karena daerah
itu bertalian dengan masyarakat hukum Indonesia yang coraknya beragam, yang
sulit sembarangan untuk dibikin menurut satu model.
Artinya
dalam rangka pembentukan daerah Tingkat III, disebutkan pula bahwa pada
dasarnya tidak akan dibentuk kesatuan kesatuan masyarakat hukum secara
bikin-bikinan tanpa berdasarkan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum seperti
Desa, nagari, kampung dan lain-lain. Karena itu Desapraja (sebagai daerah
Tingkat III) dan sebagai daerah otonom terbawah hingga UU No. 1/1957 digantikan
UU yang lain, belum dapat dilaksanakan.
Kemudian
pada tanggal 5 Juli 1959 keluarlah Dekrit Presiden, yang menyatakan berlakunya
kembali UUD 1945. Atas dasar dekrit ini UUDS 1950 tidak belaku lagi. Dekrit
Presiden ini mengantar Republik Indonesia ke alam demokrasi terpimpin dan
Gotong Royong. Untuk menyesuaikannya dengan prinsip-prinsip demokrasi terpimpin
dan kegotong-royongan, maka pada tanggal 9 September 1959 Presiden mengeluarkan
Penpres No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah. Dari Pidato Menteri Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah ketika menjelaskan isi Penpres No. 6/1959, dapat
ditarik kesimpulan pokok bahwa, dengan pemberlakuan Penpres No. 6/1959 terjadi
pemusatan kekuasaan ke dalam satu garis birokrasi yang bersifat sentralistis.
Ketika
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara terbentuk atas Penpres No. 12/1959,
yang antara lain menetapkan Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1960 tentang
Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969,
yang dalam beberapa bagiannya memuat ketentuan-ketentuan tentang Pemerintah
Daerah. Masing-masing adalah: (a) Paragraf 392 mengenai pembagian Daerah dan
jumlah tingkatan; (b) Paragraf 393 mengenai desentralisasi; (c) Paragraf 395
mengenai pemerintahan daerah; (d) Paragraf 396 mengenai pemerintahan Desa.
Jika
kita perhatika dalam setiap paragraf antara lain termuat amanat agar dilakukan
pembentukan daerah Tingkat II sebagaimana dalam UU No. 1/1957; dan menyusun
Rancangan Undang-Undang Pokok-Pokok Pemerintahan Desa, yang dinyatakan berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sebagai pengganti segala
peraturan dari masa kolonial dan nasional yang dianggap belum sempurna, yang
mengatur tentang kedudukan Desa dalam rangka ketatanegaraan: bentuk dan susunan
pemerintahan Desa; tugas dan kewajiban, hak dan kewenangan pemerintah Desa;
keuangan pemerintah Desa: serta kemungkinan-kemungkinan badan-badan kesatuan
pemerintahan Desa yang sekarang ini menjadi satu pemerintahan yang otonom
(Yando Zakaria, 2000).
Berkaitan
dengan itu, pemerintah membentuk Panitia Negara Urusan Desentralisasi dan
Otonomi Daerah yang diketuai oleh R.P. Soeroso, atas dasar keputusan presiden
No.514 tahun 1960. Tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh panitia adalah:
A.
Menyusun Rencana Undang-undang Organik tentang
Pemerintahan Daerah Otonom sesuai dengan cita-cita Demokrasi Terpimpin dalam
rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mencakup segala pokok-pokok
(unsur-unsur) Progresif dari UU No. 22/1948,UU No.1/1957, Perpres No.6/1959
(disempurnakan), Perpres No.5/1960 (disempurnakan),dan Perpres No.2/1961.
B.
Menyusun Rencana
Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa, yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri, sebagai pengganti segala peraturan
perundangan dari masa kolonial mengenai pemerintahan Desa sehingga dewasa ini
masih berlaku; rencana akan mengatur hal-hal pokok tentang:
a)
Kedudukan Desa dalam rangka ketatanegaraan
b)
Bentuk dan susunan pemerintahan Desa
c)
Tugas kewajiban,hak dan kewenangan pemerintahan Desa
d)
Keuangan pemerintahan Desa
e)
Pengawasan pemerintahan Desa
f)
Kemungkinan pembangunan badan-badan kesatuan pemerintah
Desa yang ada sekarang ini menjadi satu pemerintahan Desa yang otonom
g)
Dan lain-lain.
C.
Mengajukan usul usul penjelasan mengenai:
a)
Penyerahan urusan-urusan pemerintahan pusat yang
menurut sifatnya dan sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan daerah dapat
diserahkan kepada daerah, yang dahulu menurut penjelasan UU No. 1/1957
diharapkan akan dijadikan tugas suatu Dewan Otonomi dan Desentralisasi.
b)
Tuntutan-tuntutan tentang pembagian daerah (pemecahan,
pemisahan, penghapusan dan pembentukan baru), perluasan batas-batas wilayah
kotapraja, pemindahan ibu kota daerah.
c) Penertiban
organisasi-organisasi masyarakat rukun kampung dan rukun tetangga (Yando
Zakaria, 2000).
Selanjutnya
setelah bekerja selama dua tahun Panitia Suroso berhasil menyelesaikan 2
rancangan undang-undang: RUU tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan
Rancangan Undang-undang tentang Desa
Praja. Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah saat itu, Ipik Gandamana, pada tahun 1963, menyampaikan kedua
RUU itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Sebelumnya pada bulan
Januari 1963 kedua rancangan itu dibuat dalam sebuah konferensi yang diikuti
oleh seluruh gubernur. Pembahasan kedua RUU di DPRGR cukup lama dan alot.
Setelah mengalami berbagai penyesuaian sesuai aspirasi dari banyak pihak, pada
tanggal 1 September 1965, DPRGR menetapkannya sebagai undang-undang.
Masing-masing menjadi UU No. 18/1965 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
dan UU No. 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja.
Berdasarkan
pasal 1 UU No. 19/1965, yang dimaksud dengan Desapraja adalah kesatuan
masyarakat hukum yang tertentu
batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih
penguasanya, dan mempunyai harta bendanya sendiri. Dalam penjelasan dinyatakan
bahwa kesatuan-kesatuan yang tercakup dalam penjelasan UUD 1945 pasal 18, Volksgemeenschappen
seperti Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan marga di
Palembang dan sebagainya, yang bukan bekas swapraja adalah Desapraja menurut
undang-undang ini. Dengan demikian, persekutuan-persekutuan masyarakat hukum
yang berada dalam (bekas) daerah swapraja tidak berhak atas status sebagai
Desapraja (Yando Zakaria, 2000).
Istilah
yang digunakan adalah dengan memggunakan nama Desapraja, UU No.19 /1965 memberikan
istilah baru dengan satu nama seragam untuk menyebut keseluruhan kesatuan
masyarakat hukum yang termasuk dalam penjelasan UUD 1945 pasal 18, padahal
kesatuan masyarakat hukum di berbagai wilayah Indonesia mempunyai nama asli
yang beragam. UU No.19/1965 juga memberikan dasar dan isi Desapraja secara
hukum yang berarti kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas
daerahnya dan berhak mengurus rumahtangganya sendiri, memilih penguasanya, dan
memiliki harta benda sendiri.
Menyitir
dalam penjelasan umum tentang Desapraja itu terdapat keterangan yang menyatakan
bahwa UU No. 19/1965 tidak membentuk baru Desapraja, melainkan mengakui
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang telah ada di seluruh Indonesia dengan
berbagai macam nama menjadi Desapraja. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum lain
yang tidak bersifat teritorial dan belum mengenal otonomi seperti yang terdapat
di berbagai wilayah daerah administratif tidak dijadikan Desapraja, melainkan
dapat langsung dijadikan sebagai unit administratif dari daerah tingkat III.
Penjelasan juga menyatakan bahwa Desapraja bukan merupakan satu tujuan
tersendiri, melainkan hanya sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat
terwujudnya daerah tingkat III dalam rangka UU No.18/1965 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan daerah. Suatu saat bila tiba waktunya semua Desapraja harus
ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat III dengan atau tanpa penggabungan lebih
dahulu mengingat besar kecilnya Desapraja yang bersangkutan.
Adapun
Alat-alat perlengkapan Desapraja menurut UU No. 19/1965 adalah: (a) kepala
Desa, (b) badan musyawarah Desa, (c) Pamong Desapraja, (d) Panitera Desapraja,
(e) Petugas Desapraja, (f) badan pertimbangan Desapraja. Disebutkan pula bahwa
kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk; kepala Desapraja adalah
penyelenggara utama urusan rumah tangga Desapraja dan sebagai alat pemerintah
pusat; kepala Desapraja mengambil tindakan dan keputusan-keputusan penting
setelah memperoleh persetujuan badan
musyawarah Desapraja; kepala Desapraja tidak diberhentikan karena suatu
keputusan musyawarah; dan kepala Desapraja menjadi ketua badan musyawarah
Desapraja. Sedangkan anggota badan musyawarah Desapraja dipilih menurut
peraturan yang ditetapkan oleh peraturan daerah tingkat I.
Kemdian
dengan keluarnya UU No.19/1965 warisan kolonial yang sekian lama berlaku di
negara RI, seperti IGO dan IGOB serta semua peraturan-peraturan pelaksanaannya
tidak berlaku lagi. Tetapi, UU No.19/1965 tidak sempat pula dilaksanakan
dibanyak daerah. Pelaksanaannya ditunda, tepatnya dibekukan, atas dasar
pemberlakuan UU No.6 /1969, yaitu undang-undang dan peraturan pemerintah
Pengganti Undang-undang 1965, meski dinyatakan juga bahwa pelaksanaanya efektif
setelah adanya undang-undang baru yang menggantikannya. Namun, anehnya, UU
No.19/1965 sendiri sebenarnya sudah terlebih dahulu ditangguhkan melalui
intruksi Menteri Dalam Negeri No.29/1966. Karena itu, sejak UU No.18/1965 dan
UU No.19/1965 berlaku, praktis apa yang dimaksudkan dengan daerah tingkat III
dan Desapraja itu tidak terwujud. Secara informal pemerintahan Desa kembali diatur
berdasarkan IGO dan IGOB.
D.
Pengaturan Desa di Masa Orde Baru
Sejarah mencatat, bahwa Pemerintah
Orde Baru menempatkan isu desentralisasi pemerintahan daerah/Desa setelah atau
bahkan di bawah agenda konsolidasi politik dan pembangunan. Pada tahun 1969
pemerintah mengeluarkan UU No. 6/1969 yang dimaksudkan untuk membekukan UU
sebelumnya. Lima tahun kemudian pemerintah mengeluarkan UU No. 5/1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
yang betul-betul merupakan versi Orde Baru, yakni UU itu merupakan instrumen
untuk memperkuat birokratisasi, otoritarianisme, sentralisasi dan pembangunan.
UU itu bukanlah kebijakan yang berorientasi pada desentralisasi untuk
memperkuat otonomi daerah atau membentuk pemerintahan daerah (local government), melainkan
berorientasi pada pembentukan pemerintahan pusat yang bekerja di daerah (the local state government). Ini bisa
dilihat begitu kuatnya skema dekonsentrasi (desentralisasi administratif)
ketimbang devolusi (desentralisasi politik) dalam UU No. 5/1979.
Wacana Isu Desa sebagai daerah
tingkat III yang pernah mengemuka pada tahun 1950-an tidak diakomodasi oleh
Orde Baru. Pemerintah mengeluarkan UU No. 5/1979 tentang pemerintahan Desa yang
betul-betul paralel dengan semangat sentralisasi dan regimentasi dalam UU No.
5/1974, serta paralel dengan UU kepartaian yang melancarkan kebijakan massa
mengambang di Desa. UU No. 5/1979 membuat format pemerintahan Desa secara
seragam di seluruh Indonesia. UU ini menegaskan: “Desa adalah wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai
persatuan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri”.
Pada tataran ketika UU ini masih
berstatus RUU, pemerintah berpendapat: “bahwa Desa dimaksudkan sebagaimana
dimaksudkan dalam RUU ini, bukanlah merupakan salah bentuk daripada Pembagian
Daerah Indonesia Atas Daerah besar dan kecil sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 18 UUD 1945. Masalah pembagian daerah Indonesia atas Daerah besar dan
kecil itu kiranya sudah cukup diatur dengan UU No.5/1974. Pengertian daerah
besar adalah wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan seterusnya, karena itu sulit
untuk dimaknai, bahwa daerah yang lebih kecil itu juga mencakup Desa
sebagaimana dimaksud dalam RUU ini”
Memperhatikan ketentuan awal,
termasuk pengertian Desa yang seragam itu, banyak pihak menilai bahwa UU No.
5/1979 merupakan bentuk Jawanisasi atau menerapkan model Desa Jawa untuk
kesatuan masyarakat adat di Luar Jawa. Dengan sendirinya UU ini tidak mengakui
lagi keberadaan nagari, huta, sosor, marga, negeri, binua, lembang, parangiu
dan lain-lain yang umumnya berada di Luar Jawa. Pengaturan dalam UU No. 5 /1979
memaksa Desa dan kesatuan masyarakat hukum yang menjadi bagian darinya menjadi seragam. Persekutuan sosial Desa lain
yang belum sesuai bentuknya dengan Desa dipaksa menyesuaikan diri, melalui
upaya misalnya regrouping Desa, sehingga tidak dapat disebut Desa lagi.
Yang menjadi perhatian adalah bagi
masyarakat terutama masyarakat adat di luar Jawa dan Madura implementasi UU
No.5/1979 tersebut menimbulkan dampak negatif. Pemerintah daerah di Luar Jawa
dipaksa berlawanan dengan masyarakat adat karena harus menghilangkan kesatuan
masyarakat hukum (Rechtsgemeenschap)
yang dianggap tidak menggunakan kata Desa seperti Nagari di Minangkabau,
Dusun dan Marga di Palembang, Gampong di Aceh, Huta,
Sosor dan lumban di
Mandailing, Kuta di Karo, Binua di Kalimantan Barat, Negeri di
Sulawesi Utara dan Maluku, Kampung di Kalimantan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi
Selatan, yo di Sentani Irian
Jaya, dan lain-lain. Kesatuan masyarakat hukum yang telah dijadikan Desa itu
harus memiliki pemerintahan yang akan melaksanakan kewenangan, hak dan
kewajiban Desa serta menyelenggaraan pemerintahan Desa, seperti ditetapkan
dalam UU No.5/1979. Kesatuan masyarakat hukum tidak hanya secara formal dan
nomenklatur berganti nama menjadi Desa, tetapi harus secara operasional segera
memenuhi segala syarat yang ditentukan oleh UU No.5/1979.
Artinya dengan pergantian dari nagari,
dusun, marga, gampong, huta, sosor, lumban, binua, lembang, kampung, paraingu,
temukung dan yo
menjadi Desa berdasarkan UU No.5/1979 maka Desa-Desa hanya berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, dan tidak dinyatakan dapat “mengurus
dan mengatur rumahtangganya sendiri”. Dengan kata lain, Desa tidak lagi otonom.
Karena ia tidak lagi otonom, Desa kemudian tidak lebih dari sekedar ranting
patah yang dipaksakan tumbuh pada ladang pembangunan yang direncanakan rezim
Orde Baru.
Jika kita analisis secara substantif
UU No. 5/1979 menempatkan Kepala Desa bukanlah pemimpin masyarakat Desa,
melainkan sebagai kepanjangan tangan pemerintah supra Desa, yang digunakan
untuk mengendalikan penduduk dan tanah Desa. UU No. 5/1979 menegaskan bahwa
kepala Desa dipilih oleh rakyat melalui demokrasi langsung. Ketentuan pemilihan
kepala Desa secara langsung itu merupakan sebuah sisi demokrasi (elektoral) di
aras Desa. Di saat presiden, gubernur dan bupati ditentukan secara oligarkis
oleh parlemen, kepala Desa justru dipilih secara langsung oleh rakyat. Karena
itu keistimewaan di aras Desa ini sering disebut sebagai benteng demokrasi di
level akar-rumput. Tetapi secara empirik praktik pemilihan kepala Desa tidak
sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat.
Pilkades selalu sarat dengan rekayasa dan kontrol pemerintah supraDesa
melalui persyaratan yang dirumuskan secara politis dan administratif. Dalam
studinya di Desa-Desa di Pati, Franz Husken (2001) menunjukkan bahwa pilkades
selalu diwarnai dengan intimidasi terhadap rakyat, manipulasi terhadap hasil,
dan dikendalikan secara ketat oleh negara. Bagi Husken, pilkades yang paling
menonjol adalah sebuah proses politik untuk penyelesaian hubungan kekuasaan
lokal, ketimbang sebagai arena kedaulatan rakyat.
Dengan demikian, bahwa kekurang-sempurnaan
demokrasi Desa tidak hanya terlihat dari sisi pilkades, tetapi juga pada posisi
kepala Desa. UU No. 5/1979 menobatkan kepala Desa sebagai “penguasa tunggal” di
Desa. Kepala Desa sebagai kepanjangan tangan birokrasi negara, akibatnya dia
harus mengetahui apa saja yang terjadi di Desa, termasuk ”selembar daun yang
jatuh dari pohon di wilayah yurisdiksinya”. Akibat selanjutnya, Kepala Desa
dalam menjalankan ”perintah” untuk mengendalikan wilayah dan penduduk Desa
terkadang mengendalikan seluruh hajat hidup orang banyak. Ken Young (1993)
bahkan lebih suka menyebut Kepala Desa sebagai “fungsionaris negara” ketimbang
sebagai “perangkat Desa”, karena dia lebih banyak menjalankan tugas negara
ketimbang sebagai pemimpin masyarakat Desa.
Struktur Pemerintahan Desa
berdasarkan UU No. 5/1979 sebenarnya juga mengenal pembagian kekuasaan di Desa,
yakni ada Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Pasal 3 menegaskan,
Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD).
Lembaga Musyawarah Desa adalah lembaga permusyawaratan atau pemufakatan yang
keanggotaannya terdiri atas Kepala-kepala Dusun, Pimpinan Lembaga-lembaga Kemasyarakatan,
dan pemuka-pemuka masyarakat di esa yang bersangkutan (Pasal 17). Meski ada
pembagian kekuasaan, tetapi LMD tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang
berarti. LMD bukanlah wadah representasi dan arena check and balances terhadap
kepala Desa. Bahkan juga ditegaskan bahwa kepala Desa karena jabatannya (ex
officio) menjadi ketua LMD (Pasal 17 ayat 2).
Pasal
17 ayat (2) diatas menempatkan kepala Desa menjadi penguasa tunggal, tetapi
kalau dihadapan supraDesa, kepala Desa hanya sekadar kepanjangan tangan yang
harus tunduk dan bertanggungjawab kepada supraDesa. Menurut UU No. 5/1979
Kepala Desa diangkat dan diberhentikan oleh Bupati /Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I (pasal 6 dan 9), untuk
masa jabatan selama 8 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan
berikutnya (pasal 7). Kepala Desa menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban
pimpinan pemerintahan Desa yaitu menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan
merupakan penyelenggara dan penanggung jawab utama dibidang pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintah
Desa, urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta
mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan
pemerintahan Desa. Dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan
pemerintah Desa, Kepala Desa bertanggung jawab kepada pejabat yang berwenang
mengangkat melalui Camat; dan memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut
kepada Lembaga Musyawarah Desa.
E.
Pengaturan Desa UU No. 22/1999
Bergulirnya UU No. 22/1999 memang
tidak mengenal desentralisasi Desa, tetapi para perumusnya, misalnya Prof. M.
Ryaas Rasyid, menegaskan bahwa semangat dasar UU No. 22/1999 adalah memberikan
pengakuan terhadap keragaman dan keunikan Desa (atau dengan nama lain) sebagai self-governing community, yang tentu
saja merupakan manifestasi terhadap
makna “istimewa” dalam Pasal 18 UUD 1945. Pemaknaan baru ini berbeda dengan
semangat dan disain yang tertuang dalam UU No. 5/1979, yang hanya menempatkan
Desa sebagai unit pemerintahan terendah di bawah camat. Secara politik UU No.
5/1979 bermaksud untuk menundukkan Desa dalam kerangka NKRI, yang berdampak
menghilangkan basis self-governing
community.
Berpijak pada semangat pengakuan itu, UU No. 22/1999 mendefinisikan Desa
sebagai berikut:
“Desa atau
yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di Daerah
Kabupaten”.
Teks hukum rumusan normatif di atas merupakan lompatan yang luar biasa bila
dibandingkan dengan rumusan tentang Desa dalam UU No. 5/1979. Secara normatif
UU No. 22/1999 menempatkan Desa tidak lagi sebagai bentuk pemerintahan terendah
di bawah camat, melainkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak
asal-usul Desa. Implikasinya adalah, Desa berhak membuat regulasi Desa sendiri
untuk mengelola barang-barang publik dan kehidupan Desa, sejauh belum diatur
oleh kabupaten. Dalam Pasal 105, misalnya, ditegaskan: “Badan Perwakilan Desa
bersama dengan Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa”. Ini artinya, bahwa Desa
mempunyai kewenangan devolutif (membuat peraturan Desa) sekaligus mempunyai
kekuasaan legislatif untuk membuat peraturan Desa itu.
Saat kelahiran UU No. 22/1999
memperoleh apresiasi yang luar biasa, sekaligus membangkitkan wacana, inisiatif
dan eksperimentasi otonomi Desa. Desentralisasi melalui UU No. 22/1999 telah
mendorong bangkitnya identitas lokal di daerah, karena selama Orde Baru
identitas politik dihancurkan dengan proyek penyeragaman ala Desa Jawa. Bagi
pemimpin dan masyarakat lokal, identitas diyakini sebagai nilai, norma, simbol,
dan budaya yang membentuk harga diri, eksistensi, pedoman untuk mengelola
pemerintahan dan relasi sosial, dan senjata untuk mempertahankan diri ketika
menghadapi gempuran dari luar. Sumatera Barat telah kembali nagari sejak
2000/2001, Kabupaten Tana Toraja telah mengukuhkan kembali ke Lembang, dan di
beberapa kabupaten di Kalimantan Barat tengah berjuang untuk kembali ke
pemerintahan binua. Kembalinya ke pemerintahan asal-usul diyakini sebagai upaya
menemukan identitas lokal yang telah lama hilang, sekaligus sebagai bentuk
kemenangan atas penyeragaman (Jawanisasi) di masa lampau.
Secara empirik banyak pihak tampaknya sangat
khawatir bahwa kembalinya ke pemerintahan asli merupakan kebangkitan feodalisme
yang berpusat pada tokoh-tokoh adat. Pengalaman di Sumatera Barat dan
Kalimantan Barat memang menunjukkan bahwa para tokoh adat sangat dominan
“memaksakan” pemulihan model lama untuk diterapkan masa sekarang. Di Sumbar
misalnya, euforia kembali ke nagari memang diwarnai oleh jebakan romantisme,
formalisme dan konservatisme. Tetapi aspirasi di nagari sekarang tidaklah
tunggal. Suara-suara kritis generasi muda yang kosmopolit terus-menerus
menyerukan tentang demokrasi, partisipasi, transparansi dan lain-lain. Bahkan
suara mereka berbeda jauh dengan aspirasi “kembali ke surau” yang diserukan
oleh golongan tua. Dengan demikian, aspirasi feodalisme golongan tua mau tidak
mau harus mengakomodasi suara demokrasi dari kalangan muda.
Dengan perkataan lain, pengalaman “kembali ke nagari” di
Sumatera Barat merupakan eksperimentasi lokal membangun otonomi Desa. Sumbar
adalah “pelari terdepan” bila dibanding dengan daerah-daerah lain, termasuk
Jawa, meski kapasitas Desa di Jawa mungkin
lebih baik ketimbang nagari di Sumbar. Sumatera Barat merupakan daerah yang sangat unik dan eksotik
dalam hal desentralisasi dan demokrasi lokal karena mereka mempunyai sejarah
“otonomi asli” yang berbasis pada nagari. Sampai 2002 pembentukan kembali (recreating)
nagari di wilayah kabupaten telah usai dilakukan. Prinsipnya adalah membentuk
“nagari baru” yang menggabungkan antara self-governing
community (otonomi asli yang berbasis adat) dan local-self government (desentralisasi dari pemerintah). Pola
penggabungan ini adalah format baru nagari yang memungkinkan terjadinya
“rekonsiliasi” antara “Desa adat” dengan “Desa dinas”.
Hal ini memberikan gambaran,
bahwa eksperimentasi otonomi Desa serupa
adalah keluarnya kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) di sebagian kecil kabupaten
sejak 2001. Kabupaten Solok dan Sumedang merupakan perintis ADD mulai 2001,
kemudian disusul oleh kabupaten-kabupaten lain. UU No. 22/1999 dan UU No.
25/1999 memang tidak secara eksplisit mengatur mengenai perimbangan keuangan
yang terformula kepada Desa. Desa hanya memperoleh bantuan keuangan dari pusat,
provinsi dan kabupaten. Karena itu
pemerintah kabupaten mempunyai tafsir yang berbeda-beda. Sebagian besar
kabupaten hanya menerapkan konsep “bantuan” untuk mengalihkan sebagian dananya
kepada Desa, misalnya dengan skema Dana Pembangunan Desa (DPD) – bentuk lain
dari Inpres Bandes -- untuk membantu pembiayaan pemerintahan dan pembangunan
Desa. Tampaknya lebih banyak kabupaten yang “enggan” membuat kebijakan alokasi
dana yang menggunakan istilah perimbangan keuangan atau alokasi dana Desa
(ADD), dengan cara mereplikasi formula perimbangan keuangan dalam UU No.
25/1999. Hanya ada beberapa kabupaten
(kurang dari 40 kabupaten dari sekitar 400 kabupaten/kota) yang melakukan
inovasi ADD dengan merujuk pada UU No. 25/1999.
Inovasi baru ini memang tidak lepas dari berbagai dorongan yang beragam:
inisiatif populis seorang bupati,
dorongan dari pemerintah pusat, asistensi teknis dari sejumlah lembaga donor,
serta tekanan dari oganisasi masyarakat sipil maupun asosiasi Desa. .
Tiga wadah demokrasi
Desa
No
|
Item
|
Rembug Desa
|
LMD
|
BPD
|
1.
|
Penentuan pemimpin
dan anggota.
|
Musyawarah
|
Tanpa musyawarah dan pemilihan, tetapi penunjukkan oleh kades (lurah)
|
Pemilihan yang melibatkan masyarakat
|
2.
|
Pembuatan keputusan
|
Partisipatif dengan musyawarah.
|
Musyawarah oleh “wali” masyarakat
|
Perwakilan.
|
3.
|
Kedudukan dan fungsi
|
Pemegang kedaulatan tertinggi, membuat keputusan yang mengikat rakyat
|
Subordinat kades Sebagai lembaga konsultatif yang dikendalikan kades.
|
Otonom dari kades. Legislasi dan kontrol terhadap kades.
|
4.
|
Kedudukan kades
|
Sebagai ketua rembug Desa
|
Sebagai ketua umum dan mendominasi LMD
|
Lepas dari organisasi BPD.
|
5.
|
Keterlibatan masyarakat
|
Seluruh kepala keluarga terlibat, kecuali anak-anak muda dan perempuan.
|
Masyarakat tidak terlibat. Hanya elite Desa yang terlibat.
|
Masyarakat terlibat memilih, tetapi kurang terlibat dalam proses
pembuatan keputusan.
|
6.
|
Tipe demokrasi
|
Permusyawaratan (deliberative)
|
Perwalian (delegatif) yang tidak sempurna.
|
Perwakilan
|
Jika kita analisis, bahwa di luar
skema otonomi Desa di atas, lompatan lain yang tampak dalam UU No. 22/1999
adalah pelembagaan demokrasi Desa dengan lahirnya Badan Perwakilan Desa (BPD)
sebagai pengganti Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Pasal 94 UU No. 22/1999 menegaskan: “Di Desa dibentuk Pemerintah Desa
dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan Pemerintahan Desa”. Sedangkan Pasal
104 menegaskan: Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain
berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Lembaga BPD menjadi arena baru bagi
kekuasaan, representasi dan demokrasi Desa. BPD dilahirkan sebagai bentuk kritik terhadap LMD. Pembentukan BPD
melibatkan secara terbatas partisipasi masyarakat. Ia menjadi sebuah arena
demokrasi perwakilan yang lebih baik ketimbang LMD. Berbeda dengan LMD masa
lalu yang ditunjuk oleh lurah, BPD sekarang dipilih dengan melibatkan
masyarakat. Jika dulu LMD merupakan
lembaga korporatis yang diketuai secara ex
officio dan didominasi oleh kepala Desa, sekarang kepala Desa ditempatkan
sebagai eksekutif sementara BPD sebagai badan legislatif yang terpisah dari
kepala Desa. Dengan kalimat lain, lahirnya BPD telah membawa pergeseran
kekuasaan yang lebih jelas antara kepala Desa sebagai pemegang kekuasaan
eksekutif dan BPD sebagai pemangku lembaga legislatif. Paling tidak ada tiga
domain kekuasaan kepala Desa yang telah dibagi ke BPD: (1) pembuatan keputusan
dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes) yang dikerjakan bersama-sama antara lurah
dan BPD; (2) pengelolaan keuangan yang melibatkan BPD seperti penyusunan APBDES
dan pelelangan tanah kas Desa; (3) rekrutmen perangkat Desa yang dulu
dikendalikan oleh lurah dan orang-orang kecamatan maupun kabupaten sekarang dikendalikan
oleh BPD. Bahkan kontrol BPD terhadap kepala Desa sudah dijalankan meski
kontrol itu masih terbatas pada LPJ lurah dan ia belum terinstitusionalisasi
kepada masyarakat.
Paparan di atas memberikan gambaran,
bahwa meski menciptakan lompatan yang luar bisa, tetapi UU No. 22/1999 tetap
memiliki sejumlah keterbatasan, terutama kalau dilihat dari sisi Desain
desentralisasi. UU ini menyerahkan sepenuhnya persoalan Desa kepada
kabupaten/kota, sehingga membuat rumusan UU No. 22/1999 memberikan “cek kosong”
pengaturan Desa kepada kabupaten/kota. UU No. 22/199 hanya memberikan diktum
yang sifatnya makro dan abstrak dalam hal desentralisasi kewenangan kepada
Desa. Di satu sisi ini adalah gagasan subsidiarity
yang baik, tetapi kami menilai bahwa pemerintah tampaknya tidak mempunyai
konsepsi yang memadai (jika tidak bisa disebut kurang mempunyai komitmen
serius) untuk merumuskan disain desentralisasi dan otonomi Desa. Sebagaimana
ditunjukkan oleh Selo Sumardjan (1992), pemerintah sebenarnya mengalami
kesulitan dalam mengatur otonomi Desa, sejak awal kemerdekan, khususnya sejak
1965. Jika dilihat dari sisi hukum ketetanegaraan, pemberian cek kosong kepada
kabupaten sangat tidak tepat, sebab yang melakukan desentralisasi adalah
negara, bukan kabupaten/kota.
Subtansi UU No. 22/1999 membuat kabur (tidak
jelas) posisi Desa karena mencampuradukkan antara prinsip self-governing community (otonomi asli) dan local-self government
(desentralisasi) tanpa batas-batas perbedaan yang jelas. Pengakuan Desa
sebagai self-governing community
(otonomi asli) lebih bersifat simbolik dan nostalgia, ketimbang
substantif. Setelah UU No. 22/199
dijalankan, tidak serta-merta diikuti dengan pemulihan otonomi asli Desa,
terutama otonomi dalam mengelola hak ulayat Desa adat.
Mengacu kepada UU No. 22/1999, kewenangan Desa mencakup: (1) kewenangan yang sudah
ada berdasarkan hak asal-usul Desa; (2) kewenangan yang oleh peraturan
perundang-perundangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan
Pemerintah; dan (3) Tugas Pembantuan
dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten.
Pada Ayat (1) menunjukkan bahwa Desa
memiliki kewenangan asli yang tidak boleh diintervensi oleh pemerintah
supraDesa. Namun hal ini dalam kenyataannya tidak jelas kewenangan yang
dimaksud, sehingga Desa tetap saja tidak mempunyai kewenangan yang benar-benar
berarti (signifikan) yang dapat dilaksanakan secara mandiri (otonom).
Kewenangan yang selama ini benar-benar dapat dilaksanakan di Desa hanyalah
kewenangan yang tidak mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap kehidupan
masyarakat Desa itu sendiri.
Dengan kewenangan asli tersebut
sebenarnya yang menjadi pertanda bagi Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum
atau Desa sebagai subyek hukum yang otonom. Tetapi, sekarang, kewenangan
generik bukan hanya susah untuk diingat kembali, tetapi sebagian besar sudah hancur.
Komunitas adat (Desa adat) yang paling menderita atas kehancuran kewenangan
generik. Adat telah kehilangan eksistensinya sebagai subyek hukum untuk
mengelola property right. Banyak tanah ulayat yang kemudian diklaim
menjadi milik negara. Ketika Desa dan adat diintegrasikan ke dalam negara, maka
negara membuat hukum positif yang berlaku secara nasional, sekaligus meniadakan
hukum adat lokal yang dulunya digunakan untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Sengketa hukum dan agragia antara negara dengan adat pun
pecah dimana-mana yang sampai sekarang sulit diselesaikan secara karitatif
karena posisi (kedudukan) Desa adat yang belum diakui sebagai subyek hukum yang
otonom. Di tingkat lokal juga sering terjadi dualisme antara kepala Desa dengan
penghulu adat atau sering terjadi benturan antara “Desa negara” dengan “Desa
adat” yang menggelar sengketa dalam hal
pemerintahan, kepemimpinan, aturan dan batas-batas wilayah.
Yang menjadi titik krusial lain
adalah perubahan dari kewenangan mengatur dan mengurus “rumah tangga sendiri”
menjadi kewenangan mengatur dan mengurus “kepentingan masyarakat setempat”
sebagaimana terumuskan dalam UU No. 22/1999. Kalau hanya sekadar kewenangan
mengelola “kepentingan masyarakat setempat”, kenapa harus diformalkan dalam UU,
sebab selama ini masyarakat sudah mengelola kepentingan hidup sehari-hari
mereka secara mandiri. Tanpa pemerintah dan UU sekalipun masyarakat akan
mengelola kepentingan mereka sendiri. Dimata para kepala Desa, mengurus dan
melayani kepentingan masyarakat setempat sudah merupakan kewajiban dan
tanggungjawab mereka sehari-hari.
Pada Ayat (2) menunjukkan betapa
Desa hanya akan memperoleh kewenangan sisa dari kewenangan pemerintah supraDesa
(otonomi residu). Sementara pada ayat (3) sebenarnya bukanlah termasuk kategori
kewenangan Desa karena tugas pembantuan hanyalah sekedar melaksanakan tugas
tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya
manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan
kepada yang menugaskan. Dengan demikian makna tugas pembantuan bukanlah
merupakan kewenangan Desa tetapi sekedar sebagai pelaksana dari sebuah kegiatan
yang berasal dari pemerintah supraDesa.
F.
UU No. 32/2004
Dari analisis sebelum kita melihat,
bahwa Undang-undang No. 22/1999 telah meletakkan kerangka landasan desentralisasi,
otonomi daerah dan demokrasi lokal yang jauh lebih maju di era reformasi,
setelah republik Indonesia dibelenggu
oleh sistem yang sentralistik-otoritarian selama tiga dekade. Tetapi
undang-undang transisional itu telah memicu konflik kekuasaan-kekayaan antara
pusat, provinsi, kabupaten/kota dan Desa; mengundang multitafsir yang beragam
sehingga membuat pemahaman kacau-balau; serta memicu ketidakpuasan dan kritik
dari berbagai pihak. Karena itu semua
pihak menghendaki revisi untuk penyempurnaan.
Sebenarnya arah dan substansi revisi
telah lama diperdebatkan namun tidak terbangun visi bersama untuk memperkuat
otonomi daerah, karena fragmentasi kepentingan. Pemerintah mempunyai kehendak
kuat untuk merevisi karena UU No. 22/1999 dinilai melenceng jauh dari prinsip NKRI.
Pemerintah kabupaten/kota sangat risau
dengan intervensi dan kontrol yang berlebihan oleh DPRD. Pihak Desa (kepala
Desa dan BPD) telah lama mengusulkan revisi karena UU No. 22/1999 tidak
memberikan ruang bagi desentralisasi kewenangan dan keuangan untuk mendukung
otonomi Desa. Pihak LSM terus-menerus melakukan kajian dan kritik terhadap UU
No. 22/1999, tetapi yang paling krusial di mata mereka adalah lemahnya jaminan
legal partisipasi masyarakat dan lemahnya komitmen pada pembaharuan Desa.
Selanjutnya pada tanggal 15 Oktober
2004 telah disahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang ini pengaturan mengenai Desa terdapat
dalam Bab XI yaitu dari Pasal 200 – Pasal 216. Sedangkan penjabaran lebih
lanjut dari ketentuan di atas adalah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2005 tentang Desa yang telah disahkan pada tanggal 30 Desember 2005. Keluarnya Undang-undang no.
32 Tahun 2004 dan PP No. 72/ 2005 masih
menyisakan beberapa persoalan dari sisi substansi dan regulasi. Ada beberapa
isu krusial yang muncul dalam kerangka substansi dan regulasi itu.
II. ANALISIS PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN DESA
A. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Desa sebenarnya memberikan gamabarn sebagai
miniatur negara Indonesia, Desa menjadi arena politik paling dekat bagi relasi
antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan (perangkat Desa). Di satu sisi,
para perangkat Desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai daftar
tugas kenegaraan, yakni menjalankan birokratisasi di level Desa, melaksanakan
program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat.
Tugas penting pemerintah Desa adalah memberi pelayanan administratif (surat-menyurat)
kepada warga.
Pada sisi lain, karena dekatnya arena, secara normatif masyarakat
akar-rumput sebenarnya bisa menyentuh langsung serta berpartisipasi dalam
proses pemerintahan dan pembangunan di tingkat Desa. Para perangkat Desa selalu
dikonstruksi sebagai “pamong Desa” yang diharapkan sebagai pelindung dan
pengayom warga masyarakat. Para pamong Desa beserta elite Desa lainnya
dituakan, ditokohkan dan dipercaya oleh warga masyarakat untuk mengelola
kehidupan publik maupun privat warga Desa. Dalam praktiknya antara warga dan
pamong Desa mempunyai hubungan kedekatan secara personal yang mungkin diikat
dengan tali kekerabatan maupun ketetanggaan, sehingga kedua unsur itu saling
menyentuh secara personal dalam wilayah yang lebih privat ketimbang publik.
Batas-batas urusan privat dan publik di Desa sering kabur. Sebagai contoh,
warga masyarakat menilai kinerja pamong Desa tidak menggunakan kriteria modern
(transparansi dan akuntabilitas), melainkan memakai kriteria tradisional dalam
kerangka hubungan klientelistik, terutama kedekatan pamong dengan warga yang
bisa dilihat dari kebiasaan dan kerelaan pamong untuk beranjangsana.
Saat sekarang jika pemerintah Desa menjadi sentrum kekuasaan
politik, maka kepala Desa (lurah Desa) merupakan personifikasi dan representasi
pemerintah Desa. Semua perhatian di Desa ditujukan kepada Kepala Desa secara
personal. “Hitam putihnya Desa ini tergantung pada lurahnya atau kepala desanya”,
demikian ungkap seorang warga Desa.
Kades harus mengetahui semua hajat hidup orang banyak, sekalipun hanya
selembar daun yang jatuh dari pohon. Karena itu kepala Desa selalu sensitif
terhadap legitimasi di mata rakyatnya. Legitimasi berarti pengakuan rakyat
terhadap kekuasaan dan kewenangan kepala Desa untuk bertindak mengatur dan
mengarahkan rakyat. Kepala Desa yang terpilih secara demokratis belum tentu
memperoleh legitimasi terus-menerus ketika menjadi pemimpin di Desanya.
Legitimasi mempunyai asal-usul dan sumbernya.
Dengan demikian legitimasi kepala
Desa bersumber pada ucapan yang disampaikan, nilai-nilai yang diakui, serta
tindakan yang diperbuat. Umumnya kepala Desa yakin bahwa pengakuan rakyat
sangat dibutuhkan untuk membangun eksistensi dan menopang kelancaran kebijakan
maupun tugas-tugas yang diemban, meski setiap kepala Desa mempunyai ukuran dan
gaya yang berbeda-beda dalam membangun legitimasi. Tetapi, kepala Desa umumnya
membangun legitimasi dengan cara-cara yang sangat personal ketimbang
institusional. Kepala Desa dengan gampang diterima secara baik oleh warga bila
ringan tangan membantu dan menghadiri acara-acara privat warga, sembada dan
pemurah hati, ramah terhadap warganya, dan lain-lain.
Artinya Kepala Desa selalu tampil
dominan dalam urusan publik dan politik, tetapi dia tidak mengembangkan sebuah
tata pemerintahan yang bersendikan transparansi, akuntabilitas, daya tanggap, kepercayaan
dan kebersamaan. Yang terjadi adalah sebaliknya: penundukan secara hegemonik
terhadap warga, karena kepala Desa merasa dipercaya dan ditokohkan oleh warga.
Kepala Desa punya citra diri benevolent atau sebagai wali yang sudah
dipercaya dan diserahi mandat oleh rakyatnya, sehingga kades tidak perlu
bertele-tele bekerja dengan semangat partisipatif dan transparansi, atau harus
mempertanggungjawabkan tindakan dan kebijakannya di hadapan publik. Sebaliknya,
warga Desa tidak terlalu peduli dengan kinerja kepala Desa sebagai pemegang
kekuasaan Desa, sejauh Kepala Desa tidak mengganggu usaha ekonomi dan nyawa
warganya secara langsung. Warga Desa, yang sudah lama hidup dalam pragmatisme
dan konservatisme, sudah cukup puas dengan penampilan Kades yang lihai pidato
dalam berbagai acara seremonial, yang populis dan ramah menyapa warganya, yang
rela beranjangsana, yang rela berkorban mengeluarkan uang dari kantongnya
sendiri untuk kepentingan umum, yang menjanjikan pembangunan prasarana fisik
dan seterusnya. Masyarakat tampaknya tidak mempunyai ruang yang cukup dan
kapasitas untuk voice dan exit dari kondisi struktural Desa yang
bias elite.
Demikian pula akuntabilitas publik
sebenarnya merupakan isu yang sangat penting bagi demokrasi pemerintahan Desa.
Tetapi secara empirik akuntabilitas tidak terlalu penting bagi seorang Kades.
Ketika Kades sudah memainkan fungsi sosialnya dengan baik, maka Kades cenderung
mengabaikan akuntabilitas di hadapan masyarakat. Ia tidak perlu
mempertanggungjawabkan program, kegiatan dan keuangannya, meski yang terakhir
ini sering menjadi problem yang serius. Proses intervensi negara ke Desa dan
integrasi Desa ke negara menjadikan kades lebih peka terhadap akuntabilitas
administratif terhadap pemerintah supra-Desa ketimbang akuntabilitas politik pada
basis konstituennya.
Yang menjadi permasalahan adalah lemahnya
transparansi adalah problem lain yang melengkapi lemahnya akuntabilitas
pemerintah Desa, yang bisa dilihat dari sisi kebijakan, keuangan dan pelayanan
administratif. Kebijakan Desa umumnya
dirumuskan dalam kotak hitam oleh elite Desa, serta kurang ditopang proses
belajar dan partisipasi yang memadai. Masyarakat Desa, yang menjadi obyek
risiko kebijakan, biasanya kurang mengetahui informasi kebijakan dari proses
awal. Pemerintah Desa sudah mengaku
berbuat secara transparan ketika melakukan sosialisasi kebijakan kepada warga masyarakat. Tetapi
sosialisasi adalah sebuah proses transparansi yang lemah, karena proses
komunikasinya berlangsung satu arah dari pemerintah Desa untuk memberi tahu
(informasi) dan bahkan hanya untuk meminta persetujuan maupun justifikasi dari
warga. Warga tidak punya ruang yang
cukup untuk memberikan umpan balik dalam proses kebijakan Desa.
Pada satu sisi pengelolaan keuangan
dan pelayanan juga sedikit-banyak bermasalah. Warga umumnya tidak memperoleh
informasi secara transparan bagaimana keuangan dikelola, seberapa besar
keuangan Desa yang diperoleh dan dibelanjakan, atau bagaimana hasil lelang
tanah kas Desa dikelola, dan seterusnya. Masyarakat juga tidak memperoleh
informasi secara transparan tentang prosedur dan biaya memperoleh pelayanan
administratif.
Lemahnya partisipasi (voice,
akses dan kontrol) masyarakat merupakan sisi lain dari lemahnya praktik
demokrasi di tingkat Desa. Sampai sekarang, elite Desa tidak mempunyai
pemahaman yang memadai tentang partisipasi. Bagi kepala Desa, partisipasi
adalah bentuk dukungan masyarakat terhadap kebijakan pembangunan pemerintah
Desa. Pemerintah Desa memobilisasi gotong-royong dan swadaya masyarakat (yang
keduanya dimasukkan sebagai sumber penerimaan APBDes) untuk mendukung
pembangunan Desa.
Pada sisi lain, pemerintahan Desa mempunyai organisasi dan birokrasi yang sederhana. Para
Birokrat Desa (sekretaris Desa hingga kepala-kepala urusan) disebut sebagai
perangkat Desa yang bertugas membantu kepala Desa dalam menjalankan urusan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, termasuk pelayanan administratif
di dalamnya. Di Jawa, perangkat Desa sering disebut sebagai “Pamong Desa”, yang
karena posisinya sebagai pemuka masyarakat, dan memperoleh mandat untuk
mengayomi dan membimbing rakyat Desa.
Mereka juga mempunyai atribut mentereng (abdi negara dan abdi masyarakat) yang
menjadi kebanggaannya. Sebagai abdi negara, perangkat Desa menyandang atribut
dan simbol-simbol yang diberikan oleh
negara, sekaligus menjalankan tugas-tugas negara, seperti menarik pajak,
mengurus administrasi, surat-surat resmi, pendataan penduduk dan lain-lain.
Sebagai abdi masyarakat, perangkat Desa bertugas melayani masyarakat 24 jam,
mulai pelayanan administratif hingga
pelayanan sosial (mengurus kematian, hajatan, orang sakit, pasangan suami
isteri yang mau cerai, konflik antarwarga, dan sebagainya).
Memang secara struktur, bahwa sistem
birokrasi Desa sangat berbeda dengan sistem birokrasi negara, meskipun Desa
juga sebagai unit pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas negara, baik
pelayanan publik maupun pembangunan. Birokrasi negara didisain dan dikelola
teknokratis dan modern dari sisi rekrutmen, pembinaan, penggajian (remunerasi),
organisasi, tatakerja, tupoksi, dan lain-lain. Birokrat negara, baik pejabat administratif maupun pejabat
fungsional (kesehatan dan pendidikan), berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil
(PNS), yang dikelola dengan kepastian mulai dari pengangkatan pertama,
pembinaan, pembagian tugas, promosi, penggajian hingga sampai pensiun di hari
tua.
Artinya Birokrasi Desa didesain dan
dikelola dengan sistem campuran antara pendekatan tradisional dengan pendekatan
modern (teknokratis), tetapi pendekatan teknokratis tidak bisa berjalan secara
maksimal antara lain karena gangguan pendekatan tradisonal. Status perangkat
Desa bukanlah PNS, tetapi sebagai aparat yang direkrut secara lokal-tradisional
(dari penduduk Desa setempat) dengan cara teknokratis (memperhatikan
syarat-syarat dan proses modern). Pengisian perangkat bukanlah dari nol sebagai
staf seperti PNS, melainkan langsung mengisi pos jabatan-jabatan dalam
birokrasi Desa (sekdes, kaur, kadus) yang posisinya lowong. Semula mereka ditetapkan bekerja seumur
hidup, tetapi belakangan banyak kabupaten/kota yang menetapkan masa kerja perangkat
Desa selama 20 tahun atau berusia maksimal 60 tahun. Pembinaan PNS dimulai dari
prajabatan, diklat penjenjangan maupun promosi dari staf hingga eselon I,
perangkat Desa tidak diperlakukan yang sama. Ketika seseorang menduduki jabatan
kepala urusan maka dia selamanya akan duduk situ sampai usia pensiun. Dia tidak
akan mengalami promosi menjadi sekretaris Desa, kecuali jika dia melepas
jabatan kaur dan bertarung melamar posisi sekdes yang kosong.
Sebab lain lagi, bahwa para perangkat Desa juga tidak memperoleh
pendidikan dan latihan yang sistematis dan berkelanjutan sebagaimana diberikan
negara kepada PNS. Perangkat Desa memperoleh pembekalan awal mengenai tupoksi
dan tugas-tugas administrasi, tetapi setelah itu tidak memperoleh diklat teknis
dan juga tidak ada monev. Terkadang
sebagian perangkat Desa memperoleh diklat teknis (misalnya administrasi,
perencanaan, pendataan, keuangan) jika ada proyek diklat dari pemerintah yang
datangnya tidak menentu.
Kurangnya pembinaan, maka kapasitas
(pengetahuan, wawasan dan keterampilan) perangkat Desa sangat terbatas.
Sebagian besar perangkat Desa di Indonesia tidak memahami berbagai peraturan
dan tugas yang menyangkut diri mereka sendiri, kecuali sebagian kecil perangkat
yang mau mencari tahu atau mereka yang kritis. Pada umumnya mereka bekerja apa
adanya (taken for granted) sesuai dengan kebiasaan perangkat sebelumnya.
Di masa Orde Baru, semua formulir administrasi (monografi, buku tamu, buku
keuangan, buku proyek, buku tanah Desa, dan sebagainya) bisa terisi dan
diperbarui terus karena ada proses monev yang berjalan. Tetapi di era
reformasi, buku-buku administrasi itu terbengkelai, kecuali Desa-Desa yang
mempunyai predikat maju. Di banyak Desa, data monografi Desa sekian tahun lalu
masih terpampang dengan tulisan spidol/cat parmanen. “Ada organisasi tetapi tidak
berorganisasi” adalah sebuah metafora yang menggambarkan bahwa organisasi
birokrasi Desa tidak berjalan dengan baik, apalagi Desa-Desa yang terbelakang,
terutama di luar Jawa. Sebagian besar Desa di Indonesia sampai sekarang belum
memiliki kantor Desa sebagai pusat penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
administrasi.
Jika kita amati, banyak Desa di luar
Jawa yang tidak memiliki kantor Desa sendiri, sehingga menggunakan kantor Desa
di rumah kepala Desa yang terpilih. Selain tidak memiliki jam kerja yang jelas,
banyak hari di “kantor Desa” itu terlihat sepi, jarang didatangi perangkat
Desa. Kepala Desa sendiri, si pemilik “kantor Desa” jarang berada di “kantor
Desa” pada jam kerja, karena “kantor” yang sesungguhnya berada di kantong saku
yang dibawa kemanapun ketika penguasanya pergi. Kepala Desa tidak mengurusi
jabatan dan fungsinya, tetapi lebih banyak menghabiskan waktu jam kerjanya
untuk mencari nafkah (ke sawah, ladang, pantai, hutan atau bisnis). Kalau warga
hendak berurusan administrasi dengan perangkat Desa, maka mereka akan pergi ke
rumah masing-masing atau ke tempat dimana perangkat Desa mangkal sehari-hari.
Karena kondisi ini, UU 32/2004 menetapkan pengisian Sekdes dengan PNS dengan
tujuan agar pelayanan administrasi di semua Desa bisa berjalan, terutama dalam
administrasi pertanggung-jawaban keuangan Desa yang berasal dari APBN/APBD,
apalagi Desa-desa di Luar Jawa yang tidak berorganisasi.
Apalagi kinerja organisasi dan
perangkat Desa yang sangat terbatas juga
berkaitan dengan keterbatasan kesejahteraan mereka dan tidak jelasnya sistem
penggajian (remunerasi) yang didisain pemerintah. Meski di atas kertas sistem
birokrasi Desa dibuat modern, tetapi penggajian perangkat masih menggunakan
pola yang sangat tradisional. Selama ini belum ada kebijakan yang memadai mengenai
penggajian (remunerasi) terhadap kepala Desa dan perangkat Desa. Di sebagian
besar Desa-Desa di Jawa, perangkat memperoleh penghasilan dari tanah bengkok (palungguh),
sebagai bentuk remunerasi secara tradisional yang diwariskan secara
turun-temurun. Besaran tanah bengkok yang dikelola perangkat itu sangat
bervariasi dari satu Desa ke Desa lain, bahkan ada juga sebagian Desa yang sama
sekali tidak mempunyai tanah bengkok.
Para perangkat Desa tentu mempunyai
status yang terhormat bagi masyarakat, tetapi pada umumnya tingkat
kesejahteraan perangkat Desa sangat memprihatinkan. Oleh karena itu Perangkat
Desa selalu menuntut dan berharap agar pemerintah betul-betul memperhatikan
nasib dan kesejahteraan mereka.
B. Perencanaan Pembangunan Desa
Sejak pembangunan desa menjadi
prioritas negara, sebenarnya masyarakat Desa di Indonesia sudah lama akrab
dengan perencanaan dari atas (top down planning) pada masa
Orde Baru. Meskipun sejak 1982 telah dikenal perencanaan dari bawah (bottom
up planning), mulai dari
Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) hingga Rakorbangnas, tetapi
keputusan tentang kebijakan dan program pembangunan Desa tetap terpusat dan
bersifat seragam untuk seluruh wilayah. Perencanaan yang terpusat itu juga
disertai dengan berbagai proyek bantuan pembangunan Desa, baik yang bersifat
spasial (Bantuan Desa) maupun yang sektoral. Setiap departemen, kecuali
Departemen Luar Negeri, mempunyai program-program bantuan pembangunan Desa.
Berkaitan dengan perencanaan desa sudah
banyak kritik dan bukti empirik yang memperlihatkan kelemahan perencanaan
terpusat dan model bantuan itu. Kritik secara umum, mengatakan bahwa Desa
merupakan obyek pembangunan, sekaligus tempat membuang bantuan (sedekah). Pola
kebijakan yang sentralistik dan seragam ternyata cenderung tidak sesuai dengan
kebutuhan lokal dan mematikan konteks sosial yang beragam. Konsep “bantuan”
ternyata tidak memberdayakan, dan sebaliknya malah menciptakan kultur
ketergantungan atau kultur meminta.
Hal tersebut diakibatkan ketika pengalaman
masa lalu itu mengalami perubahan di masa desentralisasi. Sejak delapan tahun lalu
(1999), desentralisasi telah melakukan devolusi perencanaan, yakni mengubah
model perencanaan terpusat menjadi perencanaan yang terdesentralisasi, atau
perencanaan yang lebih dekat dengan masyarakat lokal. Pemerintah daerah
mempunyai kewenangan penuh untuk mempersiapkan perencanaan sendiri (self
planning) yang sesuai dengan konteks lokal, sekaligus memiliki
kepastian anggaran dari dana perimbangan pusat-daerah. Menurut UU 32/2004 (pemerintahan daerah) dan
UU No. 25/2004 (sistem perencanaan pembangunan nasional), perencanaan daerah
itu harus ditempuh secara partisipatif dan berasal dari bawah (bottom up
planning), yaitu bermula dari aras Desa. Perencanaan pembangunan sekarang
tampak lebih desentralistik dan partisipatif, yang memungkinkan pemerintah daerah
menghasilkan perencanaan daerah yang sesuai dengan konteks lokal serta proses
perencanaan daerah berlangsung secara partisipatif dan berangkat dari Desa.
Walaupun ada kelemahan namun ada
sejumlah kelemahan sistem dan metodologi perencanaan daerah, yang justru
memperlemah kemandirian dan kapasitas Desa. Pertama, baik UU No. 32/2004
maupun UU No. 25/2004 sama sekali tidak mengenal perencanaan Desa, atau tidak
menempatkan Desa sebagai entitas yang terhormat dalam sistem perencanaan
pembangunan nasional. Sementara PP 72/2005 (turunan dari UU No. 32/2004) justru
yang memperkenalkan perencanaan Desa, tetapi konsep perencanaan Desa yang
dikemukakan bukanlah perencanaan otonom (self planning), melainkan
perencanaan Desa sebagai bagian (subsistem) dari perencanaan daerah. Dalam konteks posisi ini, Desa hanya
“bertugas” menyampaikan usulan sebagai input perencanaan daerah, bukan
“berwenang” mengambil keputusan secara otonom untuk menyusun perencanaan Desa.
Kedua, secara metodologis perencanaan daerah mengandung
kesenjangan antara “hasil sektoral” dengan “proses spasial”. Perencanaan daerah
sebenarnya menghasilkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang bersifat
sektoral (pendidikan, kesehatan, prasarana daerah, pertanian, perikanan,
perkebunan, pariwisata, dan lain-lain), tetapi prosesnya menggunakan pendekatan
spasial, yaitu melalui Musrenbang Desa dan kecamatan. Apa risiko kesenjangan
ini? Dalam Musrenbang Desa, masyarakat Desa tidak mempunyai kapasitas untuk
menjangkau isu-isu sektoral. Meskipun di wilayah Desa terdapat prasana
pendidikan dan kesehatan, misalnya, masyarakat Desa tetap tidak mempunyai
kapasitas untuk menjangkau prasarana itu. Prasarana publik itu tetap dalam
jangkauan kewenangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Sedangkan kapasitas
masyarakat Desa hanya menjangkau masalah prasarana fisik yang berada di lingkup
kampung, sehingga setiap Musrenbangdes hanya mampu mengusulkan perbaikan prasarana fisik di lingkungan mereka.
Masyarakat Desa tidak mungkin menyampaikan usulan-usulan sektoral yang lebih
luas. Kesenjangan dan ketidakmampuan masyarakat Desa itu terjadi karena Desa
tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus berbagai sektor
pembangunan (Sutoro Eko, 2007).
Ketiga, perencanaan pembangunan di tingkat Desa belum
partisipatif. Peran elite Desa yang mengklaim mewakili aspirasi masyarakat
masih mendominasi kekuatan dalam menentukan kebijakan pembangunan Desa.
Sekarang istilah partisipasi stakeholders sebenarnya sudah populer
diadopsi oleh pemerintah sebagai sebuah pendekatan partisipatif dalam pembangunan.
Di Desa, istilah itu juga cukup akrab diungkapkan para elite Desa. Tetapi stakeholders
yang terlibat dalam perencanaan pembangunan masih berkutat pada aktor
pemerintahan Desa dan lembaga-lembaga formal di tingkat Desa (lurah, BPD, PKK,
LPMD, RT, dan RW). Keterlibatan organisasi-organisasi sektoral, organisasi
kemasyarakatan yang lain, dan kelompok perempuan masih sangat terbatas.
Keempat, proses partisipasi dan perencanaan di
Musrenbangdes menghadapi distorsi dari proyek-proyek tambahan dari pemerintah,
misalnya Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
PPK adalah proyek yang tidak menyatu (integrasi) dengan Musrenbang
reguler, tetapi ia membikin sendiri proses dan forum perencanaan. Temuan di
lapangan menunjukkan bahwa masyarakat enggan berpartisipasi dalam Musrenbang
reguler, dan tampak lebih bersemangat berpartisipasi dalam Forum PPK. Mengapa?
Musrenbang reguler sungguh melelahkan dan membosankan karena tidak ada
kejelasan anggaran yang bakal diterima Desa. Sebaliknya Forum PPK, yang sudah
berjalan sejak 1998 hingga sekarang, tampak lebih partisipatif dan bergairah
karena proyek ini mampu memastikan pagu anggaran yang akan diperoleh oleh
Desa.
Kelima, proses perencanaan partisipatif dari bawah yang
bekerja dalam wilayah yang luas, kondisi sosial yang segmented dan
struktur pemerintahan yang bertingkat-tingkat, cenderung menimbulkan jebakan
proseduralisme dan kesulitan representasi (Brian Cooksey dan Idris Kikula,
2005). Dalam proses partisipasi, kelompok-kelompok marginal dan perempuan yang
hidup di Desa pasti tidak terwakili dalam perencanaan daerah. Selain itu
perencanaan partisipatif yang bertingkat dari bawah memang tidak dihayati dan
dilaksanakan secara otentik dan bermakna atau
“murni dan konsekuen”, melainkan hanya prosedur yang harus dilewati. Sebagai prosedur formal, perencanaan dari
bawah sebenarnya hanya sebagai alat justifikasi untuk menunjukkan kepada publik
bahwa perencanaan pembangunan yang dilalui oleh pemerintah kabupaten telah berangkat
dari bawah dan melibatkan partisipasi masyarakat. Yang terjadi sebenarnya adalah perencanaan
yang tidak naik ke kabupaten, dan program-program kabupaten yang turun ke Desa
ternyata juga tidak mengalami pemerataan. Banyak Desa yang kecewa karena setiap
tahun membuat perencanaan tetapi ternyata programnya tidak turun.
C. Keuangan Desa
Berkaitan dengan keuangan Desa ditopang dengan dua sumber
utama, yakni pendapatan asli Desa (pungutan, hasil kekayaan Desa, gotong-royong
dan swadaya masyarakat) serta bantuan dari pemerintah. Namun, secara empirik,
ada beberapa masalah yang berkaitan dengan keuangan Desa.
Pertama, besaran anggaran Desa sangat terbatas. PADes
sangat minim, antara lain karena Desa tidak mempunyai kewenangan dan kapasitas
untuk menggali potensi sumber-sumber keuangan Desa. Karena terbatas, anggaran Desa
tidak mampu memenuhi kebutuhan kesejahteraan perangkat Desa, pelayanan publik,
pembangunan Desa apalagi kesejahteraan masyarakat Desa. Anggaran Desa sangat
tidak mencukupi untuk mendukung pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan
dan perumahan. Dengan kalimat lain ada kesenjangan fiskal antara keuangan
pemerintah supraDesa dengan pemerintah Desa.
Kedua, ada kesenjangan antara tanggung-jawab dan
responsivitas dengan partisipasi masyarakat dalam anggaran Desa. Partisipasi
masyarakat dalam anggaran pembangunan Desa sangat besar, sementara
tanggungjawab dan responsivitas sangat kecil. Sebagian besar anggaran
pembangunan Desa, terutama pembangunan fisik (infrastruktur), ditopang oleh
gotong-royong atau swadaya masyarakat. Sementara besaran dana dari pemerintah
sangat kecil, yang difungsikan sebagai stimulan untuk mengerahkan (mobilisasi)
dana swadaya masyarakat. Padahal kekuatan dana dari warga masyarakat sangat
terbatas, mengingat sebagian besar warga Desa mengalami kesulitan untuk
membiayai kebutuhan dasar (papan, sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan)
bagi keluarganya masing-masing.
Ketiga, skema pemberian dana pemerintah kepada Desa
kurang mendorong pemberdayaan. Dulu ada dana pembangunan Desa (Inpres Bandes)
selama 30 tahun yang dibagi secara merata ke seluruh Desa sebesar Rp 10 juta
(terakhir tahun 1999), yang sudah ditentukan dan dikontrol dari atas, sehingga
Desa tidak bisa secara leluasa dan berdaya menggunakan anggaran. Lagipula
alokasi dana yang sama-merata kepada seluruh Desa hanya berfungsi sebagai
stimulan, yang tidak mencerminkan aspek keragaman (kondisi geografis dan sosial
ekonomi Desa) dan keadilan. Baik Desa miskin maupun Desa kaya akan memperoleh
alokasi yang sama. Saking lamanya (30 tahun) pengalaman bandes, skema seperti
itu sudah mendarah daging dalam paradigma dan kebijakan pemerintah atas Desa,
yang justru tidak mengangkat kesejahteraan dan kemandirian Desa.
Sebenarnya banyak program lain selain
Bandes yang sudah melegenda, masih ada banyak skema bantuan proyek masuk Desa,
mulai dari IDT, P3DT, KUT, PDMDKE, PPK, P2KP, BLT dan lain-lain. Proyek-proyek
(yang silih berganti) yang bersifat bagi-bagi uang selalu menimbulkan masalah,
sehingga dana menjadi sia-sia. Selain itu, skema bantuan proyek selalu
mempunyai birokrasi dan mekanisme tersendiri, yang lepas dari konteks
perencanaan lokal (Desa dan daerah) dan kebutuhan lokal.
Pada tingkat pemerintah daerah
(kabupaten/kota) juga mempunyai anggaran (ABPD) yang disusun berdasarkan
perencanaan dari bawah (Desa). Baik APBN maupun APBD umumnya kurang perhatian
pada Desa. Sebesar 60% - 70% anggaran negara dan daerah dikonsumsi untuk
belanja aparatur (belanja rutin). Sisanya, sebesar 30% hingga 40% anggaran
daerah digunakan untuk belanja publik untuk masyarakat, yang komposisi kasarnya
sekitar 30% untuk biaya tidak langsung (administrasi) dan 70% untuk belanja
langsung ke masyarakat. Dari 70% belanja langsung untuk pembangunan tersebut,
jika dihitung secara kasar, terdiri dari beberapa pfalon: 20% plafon politik
(untuk DPRD dan Kepala Daerah); 70% untuk plafon sektoral (pendidikan, kesehatan,
ekonomi rakyat, industri kecil, prasarana daerah, dan seterusnya); dan 10%
untuk plafon spasial Desa melalui ADD.
Sedangkan mayoritas (70%) plafon sektoral digunakan untuk prasarana
fisik, yang tidak berkaitan langsung dengan penanggulangan kemiskinan. Dari
komposisi kasar APBD itu memperlihatkan bahwa keberpihakan pemerintah terhadap
Desa dan orang miskin di Desa sangat lemah.
Pada kenyataannya,bahwa keterbatasan
keuangan Desa tersebut menjadi sebuah masalah serius, yang menjadi perhatian
yang seksama baik dari kalangan pemerintah Desa, pemerintah pusat dan kabupaten
maupun kalangan “sektor ketiga” (akademisi dan NGOs) yang menaruh perhatian
tentang Desa. Pemerintah ternyata
memberikan respons yang positif. Pada
masa Undang-undang lama maupun UU No. 22/1999, kita hanya mengenal konsep dan
skema bantuan pemerintah untuk mendukung keuangan Desa, meski dalam hal
keuangan daerah sudah dikenal dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah. Konsep “bantuan” ini tentu tidak
jelas, sangat tergantung pada kebaikan hati pemerintah, sekaligus menunjukkan
bahwa Desa tidak mempunyai hak atas uang negara.
Jika dahulu ketika diberlakukan UU
22/1999 belum memberikan amanat tentang perimbangan atau alokasi dana kepada
Desa secara jelas, tetapi sejak 2001 sejumlah pemerintah kabupaten/kota
melakukan inovasi melahirkan kebijakan alokasi dana Desa (ADD) secara
proporsional dengan jumlah yang lebih besar daripada bantuan keuangan
sebelumnya. Pengalaman-pengalaman yang baik dari banyak daerah ini diadopsi
dengan baik oleh UU 32/2004. UU No. 32/2004 memperbaiki kelemahan yang
terkandung dalam UU 22/1999 tersebut, yakni mengubah konsep “bantuan” menjadi
“bagian”, yang berarti bahwa Desa mempunyai hak untuk memperoleh alokasi
sebagian dana perimbangan yang diterima oleh pemerintah kabupaten/kota.
Kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) tersebut semakin dipertegas dalam PP No.
72/2005, yang menyatakan bahwa salah satu sumber keuangan Desa adalah “bagian
dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh
Kabupaten/Kota untuk Desa sekurang-kurangnya 10% (sepuluh per seratus), setelah
dikurangi belanja pegawai, yang pembagiannya untuk setiap Desa secara
proporsional yang merupakan alokasi dana Desa”.
Klausul regulasi inilah yang dijadikan sebagai dasar hukum atas Alokasi
Dana Desa (ADD).
Menyinggung masalah ADD tersebut
tentu merupakan amanat peraturan untuk dilaksanakan oleh pemerintah
kabupaten/kota. Meski belum semua kabupaten/kota melaksanakannya, tetapi
setelah PP No. 72/2005 lahir semakin banyak kabupaten/kota yang menyusul
melaksanakan kebijakan ADD. ADD tentu memberikan suntikan darah segar dan
memompa semangat baru bagi pemerintah dan masyarakat Desa. ADD jelas lebih maju
dari PPK karena ADD menyatu (integrasi) dengan sistem perencanaan dan
penganggaran daerah, dan dananya bukan berasal dari utang seperti PPK. Pengalaman,
tujuan dan manfaat ADD di berbagai daerah sejak 2001 memang sangat beragam.
Lebih banyak banyak kabupaten yang “enggan” membuat kebijakan alokasi dana yang
menggunakan istilah perimbangan keuangan atau alokasi dana Desa (ADD), dengan
cara mereplikasi formula perimbangan keuangan. Sampai tahun 2004, akhir baru
sekitar 40 kabupaten yang melakukan inovasi dalam hal alokasi dana Desa dengan
merujuk pada UU No. 25/1999, yang kemudian disusul oleh kabupaten-kabupaten
lain sejak keluar PP No. 72/2005.
Inovasi baru ini memang tidak lepas dari berbagai dorongan yang beragam:
inisiatif populis seorang bupati,
dorongan dari pemerintah pusat, asistensi teknis dari sejumlah lembaga donor,
serta tekanan dari oganisasi masyarakat sipil maupun asosiasi Desa. Sejak
2005/2006, tidak ada alasan bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan ADD
karena sudah memperoleh amanat, namun masih banyak kebupatan yang belum
menjalankan ADD, dan komponen masyarakat bawah juga belum mengetahui apa itu
kebijakan ADD.
Pada tataran praketk tentu
pelaksanaan ADD tidak luput dari banyak masalah. Salah satu masalah yang muncul
adalah keterpisahan antara perencanaan daerah dengan kebutuhan lokal dan
perencanaan Desa. Ketika ide ADD mulai digulirkan umumnya birokrasi
kabupaten/Kota terutama dinas-dinas teknis yang mengendalikan kebijakan dan
anggaran pembangunan sektoral, melakukan resistensi yang keras, bukan karena
visi jangka panjang, tetapi karena mereka merasakan bakal kehilangan sebagian
kapling. Keenganan secara psikologis dinas-dinas teknis ini tampaknya masih berlanjut
ketika ADD dilancarkan. Dengan berlindung pada ADD, atau karena Desa telah
memiliki dana tersendiri, dinas-dinas teknis justru menjauh dan kurang
responsif pada kebutuhan Desa. Di sisi lain, masalah juga muncul di Desa,
terutama masalah lemahnya akuntabilitas pemerintah Desa dalam mengelola
ADD. Karena itu beberapa kabupaten yang
sudah berpengalaman menjalankan ADD atau yang baru saja mengeluarkan kebijakan
ADD sangat peka (baca: khawatir) terhadap akuntabilitas keuangan Desa, sehingga
memaksa mereka membuat rambu-rambu yang lebih ketat dalam pengelolaan ADD,
meski langkah ini tidak sesuai dengan prinsip keleluasaan Desa dalam mengelola block
grant.
Walaupun banyak masalah dan distorsi
yang muncul, ADD di banyak kabupaten tetap memberikan banyak pelajaran berharga
yang kedepan mengarah pada penguatan kemandirian Desa. Pertama, pengalaman ADD telah
mendorong rekonstruksi terhadap makna dan format transfer dana dari pemerintah
supraDesa ke Desa. Kedua, ADD telah mendorong efisiensi penyelenggaraan layanan
publik, kesesuaian program dengan kebutuhan lokal, sekaligus juga meningkatkan
kepemilikan lokal. Ketiga, ADD
sangat relevan dengan salah satu tujuan besar desentralisasi, yakni membawa
perencanaan daerah lebih dekat kepada masyarakat lokal. Belajar dari pengalaman
di beberapa kabupaten menunjukkan bahwa ADD semakin membuat perencanaan Desa
lebih bermakna dan dinamis. Secara
kelembagaan ADD telah membawa perubahan pada aspek perencanaan daerah, yakni
munculnya pola perencanaan Desa. Dampaknya, pola ini semakin mendekatkan
perencanaan pembangunan kepada masyarakat Desa, dan sebaliknya, masyarakat Desa
mempunyai akses yang lebih dekat pada pusat perencanaan. Keempat, ADD
menjadi arena baru bagi pembelajaran lokal dalam mengelola desentralisasi.
Meskipun dana ADD tentu tidak
sebanding dengan problem keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat Desa,
sehingga berdasarkan perhitungan nominal ADD ibarat hanya “menggarami air
laut”. Dana sebesar 100 juta hingga 200 juta jelas dangat tidak cukup untuk
mengatasi masalah kemiskinan dan kekurangan pelayanan dasar. ADD tentu tidak
serta-merta menciptakan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat.
D. Lembaga Kemasyarakatan
Sejarah mencatat, bahwa sejak UU
5/1979, lembaga-lembaga kemasyarakatan yang modern diperkenalkan kepada
masyarakat Desa. Meski jauh sebelumnya di setiap Desa memiliki lembaga-lembaga
lokal yang tumbuh dari masyarakat, namun UU 5/1979 menerapkan berbagai nama
lembaga kemasyarakatan yang seragam dan korporatis di seluruh Desa (LKMD, PKK,
Karang Taruna, P3A, Dasawisma, RT, RW dan sebagainya). Berbagai lembaga
kemasyarakatan ini di satu sisi berfungsi sebagai wadah organisasi kepentingan
masyarakat setempat, termasuk untuk kepentingan ketahanan sosial (social
security) masyarakat, tetapi di sisi lain juga sebagai alat negara
untuk menjalankan tugas-tugas administratif.
Pada
level bawah fungsi itu antara lain dimainkan secara menonjol oleh Rukun
Tetatangga (RT), sebuah lembaga kemasyarakatan berbasis kewilayahan yang paling
kecil di tingkat Desa. RT menjadi benteng ketahanan sosial di tingkat paling
bawah. Dalam konteks sishanmrata, RT menjadi benteng hankam bagi warga dan
kampung. Seksi bina keamanan dan ketertiban maupun tradisi sistem keamanan
lingkungan dimiliki oleh RT. Di komunitas RT banyak kantong arisan yang
dimaksudkan untuk kepentingan menyokong daya tahan ekonomi (economic
survival) warga. RT juga menghimpun berbagai bentuk dana dari
masyarakat, untuk kepentingan dana sosial maupun untuk gotong royong. Namun RT sebenarnya diformalkan
(dilembagakan) sebagai organisasi korporatis paling bawah dalam hirarkhi
birokrasi Indonesia. RT menjadi ujung tombak birokratisasi dan regulasi
terhadap warga masyarakat. Menurut prosedur formalnya setiap urusan pelayanan
administrasi (KTP, SIM, C-1, IMB, SKKB, surat jalan, surat nikah, akte kelahiran,
sertifikasi tanah, dan masih banyak lagi) harus melewati tanda tangan ketua RT.
Ketikka
di era reformasi sejak UU No. 22/1999, pengaturan kelembagaan masyarakat tidak
lagi bersifat seragam, meski tetap membuat standar seperti Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat Desa (LPMD) dan PKK. Di Luar Jawa, umumnya RT dan RW sudah
dihilangkan. Namun di Jawa, RT tetap menjadi lembaga kemasyarakatan yang
terkemuka. RT tetap menjalankan fungsi kemasyarakatan dan juga fungsi
administrasi pemerintahan.
E. Kerjasama Desa
Berkaitan dengan kerjasama antarDesa
bertetangga maupun kerjasama Desa dengan pihak ketiga tentu sudah lama
dijalankan oleh Desa-Desa sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setempat. Apalagi kerjasama yang berbasis masyarakat
antara Desa satu dengan Desa lain. Kerjasama antarwarga antar Desa dalam
pengelolaan barang publik dan sumberdaya air, maupun kegiatan kemasyarakatan
itu sudah berlangsung lama tanpa harus ada peraturan maupun melalui perantara
pemerintah Desa setempat. Di masa
reformasi, kesempatan melakukan kerjasama antar Desa terbuka sangat lebar, dan
Desa mempunyai keleluasaan untuk melakukan kerjasama tanpa harus dikontrol
secara ketat dari supra Desa. UU 22/1999, misalnya, memberi kesempatan kepada
Desa untuk membentuk asosiasi sebagai salah satu wadah kerjasama antar Desa. Kesempatan
ini direspons dengan baik oleh Desa, sebagaimana para Bupati/Walikota, DPRD dan
Gubernur merespons kesempatan kerjasama antardaerah.
Fokus dari kerjasama antar Desa,
terutama yang berkaitan dengan sumberdaya alam, seperti air, pantai dan hutan,
serta bentangan ekologi, merupakan pendekatan krusial yang harus
diperhatikan. Pendekatan hulu – hilir
dalam satuan Daerah Aliran Sungai (DAS), menjadi kebutuhan substansi dalam
kerjasama antar Desa. Bencana alam
banjir dan kerusakan ekologi laut, sering terjadi karena tidak adanya
pendekatan ekologi dalam perencanaan satuan DAS. Kondisi ini bukan saja antar Desa tapi juga
antar Kabupaten, sehingga bencana banjir terjadi tanpa dapat diurus.
Menelusuri sejak tahun 2000, hampir
di setiap kabupaten terbentuk forum komunikasi atau asosiasi Kepala Desa maupun
Badan Perwakilan Desa (BPD). Tahun-tahun
berikutnya asosiasi ini membesar di level provinsi dan nasional, sebagaimana
ditunjukkan dengan hadirnya Asosiasi Badan Perwakilan Desa Seluruh Indonesia
(ABPEDSI), Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI dan juga Parade
Nusantara (Persatuan Perangkat Desa Nusantara), Persatuan Perangkat Desa
Seluruh Indonesia (PPDI) Kemudian juga disusul dengan hadirnya Asosiasi Sekdes
Seluruh Indonesia untuk memperjuangkan aspirasi mereka agar segera diangkat
menjadi PNS. Berbagai asosasi ini ternyata tumbuh sebagai “organisasi politik”
baru yang digunakan sebagai wadah penyaluran aspirasi politik mereka, bahkan
digunakan untuk menekan dan menantang pemerintah daerah dan pusat. Penyaluran
aspirasi politik para pemimpin Desa melalui wadah asosiasi tentu merupakan hak
politik yang dijamin oleh konstitusi, tetapi fungsi kerjasama antarDesa tidak
diutamakan oleh asosiasi.
Catatan lain masalah yang lebih
krusial adalah banyaknya fenomena elite capture dalam kerjasama
antara Desa dengan pihak ketiga, baik kerjasama bisnis maupun pengembangan
kawasan yang lebih besar. Di banyak daerah, kepala Desa maupun elite lokal
mengambil keputusan sendiri menjual/menyewakan tanah kas Desa atau tanah ulayat
kepada pihak ketiga, yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan elite lokal dan
justru merugikan masyarakat. Di banyak daerah, pertengkaran antara kepala Desa
dengan rakyat tidak bisa dihindari karena keputusan pengembangan kawasan maupun
kerjasama bisnis itu tidak melibatkan masyarakat, melainkan hanya diputuskan
sendiri oleh masyarakat. Kondisi ini tentu menimbulkan beberapa masalah untuk
diperhatikan dalam pengaturan kedepan.
Pertama, kepala Desa secara administratif memang memegang
kekuasaan/ kewenangan tetapi secara politik tidak cukup legitimate dan
representatif untuk mengambil keputusan sendiri dalam kerjasama bisnis dan
pengembangan kawasan. Karena itu, kedepan, partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan mengenai kerjasama bisnis dan pengembangan sangat dibutuhkan.
Kedua, belum adanya pengaturan yang kuat dari negara untuk memberikan
proteksi atas sumberdaya alam dan kawasan dari elite capture, meski Desa
mempunyai otonomi dalam hal itu. Karena belum adanya proteksi dari negara
itulah, otonomi Desa yang lebih besar sangat dikhawatirkan akan memuluskan
masuknya modal dari luar untuk mengeksploitasi sumberdaya Desa. Ketiga, globalisasi tentu jalan terus,
globalisasi telah masuk ke Desa, bahkan sampai ke Desa-desa yang terpencil
sekalipun. Ketidaksiapan perangkat Desa dengan seluruh SDM-nya dalam mengelola
otonomi Desa bisa terjebak pada eksploitasi sumberdaya alam dan ekonomi oleh
kepentingan neoliberalisme (misalnya Multi National Companies dan Trans
National Companies). Salah satu tantangan terbesar dalam pengembangan otonomi
Desa adalah mencegah distorsi otonomi dan demokratisasi di tingkat Desa.
Dorongan untuk menciptakan negara yang demokratis tentu tidak boleh mengurangi
derajat keterlibatan peran negara dalam melindungi Desa dan seluruh sumberdaya
yang terkandung di dalamnya. Perubahan tata kelola sumberdaya alam dan ekonomi
saat dihadapkan pada perubahan konfigurasi ekonomi politik internasional
berpeluang menimbulkan hegemoni pasar
internasional. Hal ini harus diantisipasi agar tidak semakin meminggirkan masyarakat
Desa.
III.Strategi Yang perlu dikembangkan
Mencermati
uraian terdahulu, walaupun belum melalui suatu kajian penelitian yang resmi,
hanya berbekal pengalaman (experient base) dan pendekatan literatur, dapat
dirumuskan suatu strategi upaya pembangunan desa dalam rangka pengentasan kemiskinan,
Sebagai berikut :
1. Penyusunan
tata ruang desa menjadi prasyarat utama dalam memulai suatu upaya
pembangunan desa. Dalam proses penyusunan tata ruang desa telah dirumuskan
berbagai potensi yang ada, keunikan, kultur yang melandasi dan harapan harapan
yang ingin dicapai, sehingga wujud desa nantinya menjadi khas, seperti desa
wisata, desa tambang, desa kebun, desa peternakan, desa nelayan, desa
agribisnis, desa industri, desa tradisional dan lain sebagainya. Dalam tata
ruang tersebut, harus tersusun rencana infrastruktur, site plan untuk office,
pemukiman, comercial area, lahan usaha/budidaya berbasis sentra(satu hamparan),
kemampuan daya dukung lingkungan (berdasarkan estimasi jumlah penduduk
maksimal), lokasi pendidikan, sarana pelayanan kesehatan, pasar, terminal dan
ruang publik (alun alun, taman) dan sebagainya sesuai kebutuhan dan kesepakatan
masyarakat.
2. Penetapan
aktivitas dan komoditi yang akan dijadikan basis pengembangan ekonomi desa,
didasarkan analisis terhadap potensi yang ada, kemampuan masyarakat pada
umumnya, potensi pasar, minat dan kultur masyarakat.
3. Pembentukan
lembaga lembaga masyarakat dan lembaga adat yang akan berperan sebagai
stakeholders, dan akan memberikan berbagai masukan dalam proses pembangunan
desa.
4. Perumusan
perencanaan pembangunan untuk satu masa jabatan Kepala Desa, serta program
pembangunan setiap tahunnya. Perumusan harus melibatkan harus melibatkan
seluruh komponen di desa, didasarkan kepada tata ruang yang telah disusun serta
didasarkan kepada kewajaran dan ketersediaan anggaran.
5. Pemerintah
pusat, Provinsi, Kabupaten / Kota dapat memberikan asistensi, masukan sesuai
dengan kebijakan, misi dan visi terhadap dokumen perencanaan yang disusun,
serta memberikan dukungan berupa pengalokasiandana dalam bentuk tugas
pembantuan atau bantuan yang diarahkan (specific grand ), Dengan demikian tidak
ada lagi program charity, baik dari Kabupaten / Kota, Provinsi maupun dari
pusat. Seluruh aktivitas pembangunan di desa sudah terintegrasi programnya
(commited program ) dan sudah terintegrasi juga alokasi anggarannya (commited
budget).
6. Untuk
pembangunan pendidikan, terutama dalam menuntaskan program wajardikdas sembilan
tahun, di desa perlu di bangun sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama dalam
satu lokasi, ini dilakukan untuk mengefisiesikan biaya pembangunan dan
pemeliharaan sekolah, juga untuk meringankan beban orang tua murid yang besar,
yaitu komponen transport.
7. Untuk
meningkatkan akses pelayanan kesehatan di desa perlu dibangun Puskesmas
Pembantu atau sejenis, dan untuk desa yang sangat terpencil dapat didukung
dengan Unit Pelayanan Kesehatan Keliling.
8. Untuk
pembangunan perekonomian di desa, dilakukan penetapan kegiatan dan komoditas
terpilih, sinkronisasi dengan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten / Kota,
penguatan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), penyiapan masyarakat dan lokasi
sentra Manajemen sentra, Penetapan berbagai kerjasama dengan pihak ketiga,
penyiapan sarana perekonomian (seperti terminal, pasar, koperasi, atau
sejenis), penunjang aktivitas ekonomi masyarakat, serta pembentukan lembaga
fasilitator, baik dari masyarakat Desa itu sendiri atau dari luar dan dari
Perguruan Tinggi melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN).
9. Untuk
meningkatkan SDM aparat desa dilakukan dengan meningkatkan program dan kegiatan
yang telah berjalan melalui program pusat, provinsi dan kabupaten / kota,
efektivitas program lomba desa dan peningkatan program Non Governtment (NGO).
36 komentar:
Assalamualaikum WR.WB.|
Nama : SAPARUDDIN
NIM : A01112156
Mahasiswa : Fak. Hukum Untan Smester 3, Ma-kul (HAN)
Tugas : Mengomentari blog ini.
Saya (Saparuddin) ingin mengomentari Hal-hal diatas seperti yg telah di beritahukan bahwa, hampir semua kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan pembangunan desa mengedepankan sederet tujuan mulia, seperti mengentaskan rakyat miskin, mengubah wajah fisik desa, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memberikan layanan social desa, hingga memperdayakan masyarakat dan membuat pemerintahan desa lebih modern.
Pertanyaannya, apakan dengan sedemikian rupa, akankah berhasil untuk memajukan sebuah desa agar lebih maju daripada sebelumnya,? yg selama ini, fakta yg ada kebanyakan pemerintah hanya, bisa berucap tanpa ada perlakuan, seperti contoh jalan jalan disebuah desa yg kecil yg tidak pernah diperhatikan, yg sebagian Dana yg diberikan di potong potong sedemikian persen untuk kepentingan individu tsb,
lebih jelasnya, pertanyaan saya apakah tidak ada cara lain lagi untuk mengatasi hal tsb, demi membangun sebuah desa atau bahkan negara yg lebih maju??
demikian komentar saya apabila ada kata kata yg salah saya (Saparuddin) memohon maaf yg sebesarnya, Trimakasih
Wassalam.. !!
Nama : Arasti Ditasari Hamdi
NIM : A1011131194
Kelas C Reguler A
Ilmu Negara
"Setelah membaca artikel-artikel yang sudah tertera, dapat saya simpulkan bahwa banyaknya pengaruh dan perkembangan yang masuk ke Negara kita melalui negara-negara asing. Seperti halnya yang telah di lihat oleh pandangan Chaos Theory bahwa hukum tidak hanya muncul atau berasal dari suatu sistem yang sistematis tetapi dapat juga muncul karena adanya suatu keadaan atau kondisi masyarakat yang selalu menjalin hubungan yang tidak dapat diprediksi dan tidak sistematis".
Nama : HENDRA KESUMA
NIM : A01112190
Matakuliah : Hukum Administrasi Negara (Semester 3)
Kelas E "Reguler A"
Dari artikel di atas dapat saya simpulkan bahwa Desa sebenarnya digambarkan sebagai miniatur sebuah negara yaitu Indonesia, Desa menjadi arena politik paling dekat bagi relasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan (perangkat Desa). Di sisi lain, para perangkat Desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai daftar tugas kenegaraan, yakni menjalankan birokratisasi di level Desa, melaksanakan program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat. Tugas penting pemerintah Desa adalah memberi pelayanan administratif (surat-menyurat) kepada warga terutama di Desa
Nama : mughniy putri syuryaningsih
NIM : A01112044
Semester : 3
Kelas : E- Reguler A
Tugas : Hukum Administrasi Negara
Dosen :Turiman Fachturahman SH, M.Hum
Assalamualaikum wr wb
Komentar yang ingin saya sampaikan,setelah membaca artikel diatas
Perwujudan desa sebagai unsur pemerintahan terdepan dan sebagai pilar utama pembangunan bangsa di zaman sekarang ini belum merata secara keseluruhan,pasalnya banyak desa-desa di pedalaman kalimantan yang belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah,sulitnya menjangkau daerah tersebut juga menjadi kendala utama pembangunan desa.Keberadaan desa juga dipandang sebelah mata dengan masyarakat kota karena keminman fasilitasnya. Pemerintah seharusnya bertindak dan berfikir bagaimana cara sebuah desa maju dengan menggali potensi SDA serta SDM yang ada di desa tersebut,dengan banyaknya kemajuan tekhnologi saat ini seharusnya dengan sangat mudah membangun desa-desa yang berpotensi dengan membuat sekolah yang layak sebagai tempat belajar agar SDM nya maju serta menggali potensi pasar yang ada di desa tersebut.
Saya sangat setuju dengan pendapat Ken Young (1993) yang menyebutkan bahwa ia bahkan lebih suka menyebut Kepala Desa sebagai “fungsionaris negara” ketimbang sebagai “perangkat Desa”, karena dia lebih banyak menjalankan tugas negara ketimbang sebagai pemimpin masyarakat Desa.Di lihat secara nyata banyak kepala desa saat ini hanya menjalankan tugas wajib nya sebagai kepala desa meyerahkan laporan desa. Di saat ini sangat jarang melihat para kepala desa turun kelapangan memantau perkembangan desa dan bahkan menemukan kepala desa di kantornya sendiri juga sangatt sulit. Dengan demikian perkembangan desa saat ini bergantung bagaimana para perangkat desa menjalankan tugas nya dan SDM yang di miliki desa tersebut.
sekian komentar dari saya,jika ada salah kata mohon di maafkan
wassalamualaikum wr wb
Nama : supiana
Nim ; A01112261
Kelas: E
Regular : A
Tugas : hukum administrasi Negara
Dosen : turiman fachturahman nur sh. M. hum
asssalamualaikum wr wb
menurut pendapat saya pembangunan desa merupakan suatu pedoman-pedoman dan ketentuan-ketentuan yang dianut atau dipilih dalam perencanaan pelaksanakan (menagement) pembangunan di desa yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga dapat mencapai kesejahteraan bagi masyarakat. Pembangunan Masyarakat Desa pada dasarnya adalah bertujuan untuk mencapai suatu keadaan pertumbuhan dan peningkatan untuk jangka panjang dan sifat peningkatan akan lebih bersifat kualitatif terhadap pola hidup warga masyarakat, yaitu pola yang dapat mempengaruhi perkembangan aspek mental (jiwa), fisik (raga), intelegensia (kecerdasan) dan kesadaran bermasyarakat dan bernegara. Akan tetapi pencapaian objektif dan target pembangunan desa pada dasarnya banyak ditentukan oleh mekanisme dan struktur yang dipakai sebagai sistem pembangunan desa.Pengertian pembangunan itu sangat luas bukan hanya sekedar bagaimana menaikkan pendapatan nasional saja. Pembangunan ekonomi itu tidak bisa diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya.
Beberapa program-program pembangunan pedesaan yang pernah dilaksanakan, misalnya program bidang pangan, program Inpres Desa Tertinggal, merupakan salah satu upaya pemerintah dalam rangka mengembangkan pedesaan dalam mengejar ketertinggalannya dari perkotaan. Guna mendorong peningkatan pangan, Selain itu guna menyokong program pangan, pemerintah menyediakan bantuan Kredit Usaha Tani ( KUT )serta KUR ( kredit usaha rakyat ) bagi para petani serta pengusaha kecil dalam memberikan permodalan dalam pengelolaan lahannya memperbesar usahanya
Dengan adanya sebuah kebijakan dari pemerintah untuk setiap kecamatan diperlukan sebuah sistem yang mampu dalam mengolah pembangunan desa sesuai dengan karakteristik dimana hal itu menyangkut sumber daya manusia dalam hal ini paling utama penyelenggara pemerintahan desa ,masyaarakat dan sumber daya alam .
Nama : Cintia Karina Pratiwi
NIM : A01112018
Semester : 3
Kelas : E- Reguler A
Tugas : Hukum Administrasi Negara
Dosen :Turiman Fachturahman SH, M.Hum
Dari artikel diatas saya ingin menyampaikan komentar pembangunan desa menjadi prioritas negara pada kenyataannye belum dijalankan dengan maksimal karena masih banyak desa-desa khususnya di Kalimantan Barat yang belum tersentuh oleh pemerintah. contoh kecilnya saja masih banyak desa-desa yang belum dialiri listrik dan juga banyak desa yang belum memiliki sarana kesehatan serta pendidikan yang memadai.hal ini tentu saja menjadi penghambat bagi desa untuk berkembang khususnya SDM karena banyak penduduknya yang belum mendapatkan pendidikan sehingga tidak memiliki cukup wawasan untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki untuk meningkatkan taraf hidup mereka. perangakat desa juga biasanya kurang mendapatkan pembinaan dari pemerintah sehingga para perangkat desa yang harusnya memiliki wawasan yang luas untuk membangun desa malah tidak memiliki cucuk wawasan sehingga hanya menjalankan tugasnya saja. dan sering kali dijumpai posisi perangkat desa ini juga jarang terdapat perubahan karena tidak terdapat periode tugas tertentu.
Warga umumnya juga tidak memperoleh informasi secara transparan bagaimana pengelolaan desa khususnya pengelolaan keuangan.
Nama : KURNIATI
NIM : A01112148
Kelas: E
Regular : A
Tugas : hukum administrasi Negara
Dosen : Turiman fachturahman nur sh. M. hum
Menurut pendapat saya pembangunan pedesaan memang sangat penting. Dengan melakukan berbagai progam yang mengutamakan kepentingan masyaraka. Hal ini, menjadikan masyarakat lebih sejahtera dan makmur serta menjadikan bangsa Indonesia mempunyai kekuatan yang tangguh karena pembangunan desa yang merata dengan berbagai macam strategi yang mendukung progam pembangunan pedesaan. Investasi prasarana pun menjadi prioritas utama yang memobilitasi seluruh aktivitas kehidupan masyarakat pedesaan. Seperti yang kita ketahui bahwa sejak dahulu kala sampai sekarang desa merupakan dan tetap berfungsi sebagai tulang punggung kehidupan social politik Indonesia. Maka dari itu, sangatlah penting pembanguna desa dalam kondisi sekarang ini.
Nama : Widya Septiani
NIM : A01112064
Semester : III (3)
Kelas : E regular A
Makul : Hukum Adminitrasi Negara
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Menurut saya tentang "SEJARAH HUKUM PENGATURAN PEMERINTAHAN DESA" adalah pentingnya peranan dalam mendukung di dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah, pembentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional. Desa hanya memperoleh bantuan keuangan dari pusat, provinsi dan kabupaten. Karena itu pemerintah kabupaten mempunyai tafsir yang berbeda-beda. Kepala Desa menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa yaitu menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggung jawab utama dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintah Desa, urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan pemerintahan Desa Dalam hal ini menurut saya pemerintah perlu memaksimalkan undang-undang nomor 32 tahun 2004 karena pada dasarnya apa yang diamanatkan undang-undang telah mendukung kemauan masyarakat untuk memajukan desa. serta menum buhkan rasa kepedulian antar masyarakat agar terciptanya kepentingan masyarakat setempat, secara tepat pula karena daerah itu bertalian dengan masyarakat hukum Indonesia yang coraknya beragam, yang sulit sembarangan untuk dibikin menurut satu model yang memberikan kewenangan dan keuangan untuk mendukung otonomi Desa yang terkadang amat sangat minim fakta yg ada kebanyakan pemerintah hanya bisa berucap tanpa ada perlakuan.
Agar pembangunan desa bukan jadi proyek pemerintah pusat tanpa implementasi yang jelas melainkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak asal-usul desa.
Di setiap desa harus diberi kemandirian dalam berbagai hal dalam mengelola otonomi daerahnya. Agar pemerintah pusat tidak perlu lagi mengurusi segala urusan di tingkat desa, hal ini bermanfaat pada hasil kebijakan dan perwujudannya benar-benar dirasakan serta bermanfaat bagi masyarakat desa.
Sekian dari saya semoga dapat menjadi masukan yang baik.
Wassalamualikum warahmatullah hiwabarokatuh.
Nama : Sunarti
Nim : A0112200
Kelas : E
Reguler : A
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
Assalamualaikum wr.wb
Desa merupakan kesatuan masyarakat hokum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Republik Indonesia. Mirisnya banyak daerah atau desa yang “termiskinkan” di Negeri ini, salah satu penyebabnya adalah pembangunan yang tidak merata. Pembangunan yang tidak merata seperti pembangunan jalan yang hanya dititikkan di satu tempat saja maka dapat membuat akses jalan didaerah lain terputus terutama daerah-daerah yang tidak terjangkau, membuat daerah-daerah tersebut semakin tertinggal. Seharusnya pemerintah dapat meratakan pembangunan di seluruh Indonesia, bukan hanya di pusat kota saja tetapi juga di daeradaerah terpencil. Sekian komentar dari saya wassalam..
Nama: Resmaya Agnesia Mutiara Sirait
Nim: A01112183
Kelas: E
Reguler: A
Terimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk memberikan sedikit komentar dari artikel diatas yang telah saya baca. Dari pribadi saya sendiri dapat saya simpulkan, bahwa memang benar desa ini adalah bagian yang bisa dibilang "vital bagi Indonesia sendiri" karena dari desalah beragam adat istiadat muncul, wajah dari Indonesia tersebut adalah desa yang begitu banyaknya di negeri kita Indonesia. Namun disayangkan minimnya pemikiran akan Pembangunan ini yang memandetkan kemajuan dari desa sendiri. Ya, tidak dipungkiri kita dapat melihat mirisnya pedesaan yang masih sangat kurang infrastrukturnya seperti jalan setapak yang becek, perumahan yang tidak layak, kurangnya air bersih hingga tiadanya listrik untuk menerangi rumah-rumah warga di desa. Kita tahu pemerintahan telah merancangkan UU membahas tentang kesejahteraan warga pedesaan dimana mereka layak menerima Pembangunan untuk mensejahterakan desa mereka. Tapi hal itu tidak semuanya dijalankan hanya beberapa kecil saja dilakukan dikarenakan beberapa faktor. faktor itu pun seperti dana keuangan pembangunan desa yang mungkin sudah dipercayakan kepada pejabat-pejabat yahng bertugas, dari pejabat-pejabat tersebut ada yang menyeludupkan dalam arti kata lainnya mengkorupsikan uang pembangunan daerah pedesaan. Yang menjadi salah satu penghambat pembangunan desa. Dari saya pribadi mengingikan agar pemerintahan bersikap tegas, jujur, dan adil dalam pembangunan desa itu sendiri dengan melihat sisi kenyataan yang ada. Bahwasanya memang desa dan daerah-daerah terpencil memang wajib untuk diadakan pembangunan, agar terlaksanakannya kesejateraan di daerah pedesaan. jangan hanya membangun kota, atau daerah-daerah yang dimana infrastrukturnya sudah memadai. Tapi lihatlah sisi kurangnya terhadap pedesaan hyang benar-benar butuh dibangun atau dilaksanakan pembangunan. Dari situ dapat kita sebagai warga negarab Indonesia memberikan ajungkan jempol kepada pemerintahan yang menata negara dengan baik dan benar sesuai dengan UU yang sudah tertulis. Bukan hanya menulisnya dikertas namun diabaikan. Tapi sebaliknya menulisnya diatas kertas, dan melaksanakannya serta menwujudkan pembangunan secara nyatanya untuk Negara kita Indonesia itu sendiri. Sekian komentar saya kiranya dapat bermanfaat, saya ucapkan terimakasih sebesar-besarnya.
nama : Tagor Paido Tambunan
Nim : A1012131110
Nama : Tagor Paido Tambunan
Nim : A1012131110
Kelas : C Semester Satu
Mata Kuliah : Ilmu Negara
Menurut saya : Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Republik Indonesia. Mirisnya banyak daerah atau desa yang “termiskinkan” di Negeri ini, salah satu penyebabnya adalah pembangunan yang tidak merata. Pembangunan yang tidak merata seperti pembangunan jalan yang hanya dititikkan di satu tempat saja maka dapat membuat akses jalan didaerah lain terputus terutama daerah-daerah yang tidak terjangkau, membuat daerah-daerah tersebut semakin tertinggal. Seharusnya pemerintah dapat meratakan pembangunan di seluruh Indonesia, bukan hanya di pusat kota saja tetapi juga di daerah daerah terpencil.
Nama : andi prayoga
NIm : A01112056
Mata kuliah : hukum pemerintahan daerah
Kelas ; C reguler A
MENURUT SAYA Pembangunan Masyarakat Desa pada dasarnya adalah bertujuan untuk mencapai suatu keadaan pertumbuhan dan peningkatan untuk jangka panjang dan sifat peningkatan akan lebih bersifat kualitatif terhadap pola hidup warga masyarakat, yaitu pola yang dapat mempengaruhi perkembangan aspek mental (jiwa), fisik (raga), intelegensia (kecerdasan) dan kesadaran bermasyarakat dan bernegara. Akan tetapi pencapaian objektif dan target pembangunan desa pada dasarnya banyak ditentukan oleh mekanisme dan struktur yang dipakai sebagai sistem pembangunan desa.Pengertian pembangunan itu sangat luas bukan hanya sekedar bagaimana menaikkan pendapatan nasional saja. Pembangunan ekonomi itu tidak bisa diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya. Beberapa program-program pembangunan pedesaan yang pernah dilaksanakan, misalnya program bidang pangan, program Inpres Desa Tertinggal, merupakan salah satu upaya pemerintah dalam rangka mengembangkan pedesaan dalam mengejar ketertinggalannya dari perkotaan. Guna mendorong peningkatan pangan, Selain itu guna menyokong program pangan, pemerintah menyediakan bantuan Kredit Usaha Tani ( KUT )serta KUR ( kredit usaha rakyat ) bagi para petani serta pengusaha kecil dalam memberikan permodalan dalam pengelolaan lahannya memperbesar usahanya Namun disayangkan minimnya pemikiran akan Pembangunan ini yang memandetkan kemajuan dari desa sendiri. Ya, tidak dipungkiri kita dapat melihat mirisnya pedesaan yang masih sangat kurang infrastrukturnya seperti jalan setapak yang becek, perumahan yang tidak layak, kurangnya air bersih hingga tiadanya listrik untuk menerangi rumah-rumah warga di desa. Kita tahu pemerintahan telah merancangkan UU membahas tentang kesejahteraan warga pedesaan dimana mereka layak menerima pembangunan untuk mensejahterakan desa mereka. Tapi hal itu tidak semuanya dijalankan hanya beberapa kecil saja dilakukan dikarenakan beberapa faktor. faktor itu pun seperti dana keuangan pembangunan desa yang mungkin sudah dipercayakan kepada pejabat-pejabat yahng bertugas, dari pejabat-pejabat tersebut ada yang menyeludupkan dalam arti kata lainnya mengkorupsikan uang pembangunan daerah pedesaan. Yang menjadi salah satu penghambat pembangunan desa.UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari defenisi tersebut, sebetulnya desa merupakan bagian vital bagi keberadaan bangsa Indonesia. Vital karena desa merupakan satuan terkecil dari bangsa ini yang menunjukkan keragaman Indonesia. Selama ini terbukti keragaman tersebut telah menjadi kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengan demikian penguatan desa menjadi hal yang tak bisa ditawar dan tak bisa dipisahkan dari pembangunan bangsa ini secara menyeluruh. Memang hampir semua kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan pembangunan desa mengedepankan sederet tujuan mulia, seperti mengentaskan rakyat miskin, mengubah wajah fisik desa, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memberikan layanan social desa, hingga memperdayakan masyarakat dan membuat pemerintahan desa lebih modern. Sayangnya sederet tujuan tersebut mandek diatas kertas. Karena pada kenyataannya desa sekedar dijadikan obyek pembangunan, yang keuntungannya direguk oleh actor yang melaksanakan pembangunan di desa tersebut : bisa elite kabupaten, provinsi, bahkan pusat. Para pendiri Negara kita Republik Indonesia tercinta dengan segala pemahamannya tentang kondisi Tanah Air Indonesia yang terdiri beribu – ribu pulau dan suku bangsa dengan bijak menempatkan kondisi Desa sebagai unsur Pemerintah terdepan. untuk mencapai tujuan kesejateraan
NAMA : NYEMAS MELISA
NIM : A01112007
KELAS : C REGULER A
MATA KULIAH : HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH
SEMESTER : 4
Menurut pendapat saya dalam pembangunan desa diperlukan peran pemerintah untuk mengembangkan, memajukan dalam pembangunan. Dari perkembangannya cukup strategi-strategi yang dilakukan oleh Negara berkembang dalam upaya pembangunan pedesaan. Pada pembangunan upaya yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan untuk mencapai masyarakat desa untuk menciptakan masyarakat desa yang sejahtera. Tetapi dimana pemerintah pusat selalu memaksakan program programnya dalam pembangunan desa bagi daerah yang berakibat desa tidak terbangun dengan baik. Penduduk di desa sebagian besar orang yang miskin dari segi ekonomi, contohnya kurang pengetahuan dan keterampilan, kurang kesempatan kerja dan minimnya lapangan pekerjaan yang berdampak banyak sekali pengangguran yang ada didesa tersebut. Masih banyak sekali para penduduk desa yang kurang dalam pengetahuan tidak hanya anak-anak tetapi orang dewasa juga. Kebijakan Pemerintah dalam pembangunan desa juga bersifat parsial atau sektoral, sehingga keterkaitan dan keterpaduan antar program tidak terjadi. Sejarah mencatat, bahwa Pemerintah Orde Baru menempatkan isu desentralisasi pemerintahan daerah/Desa setelah atau bahkan di bawah agenda konsolidasi politik dan pembangunan. Hambatan-hambatan yang terjadi pada wilayah desa karena kurang nya peran pemerintah yang turut ikut serta dalam pembangunan desa. Warga desa juga harus melaksanakan program-program yang telah ada. Di daerah desa dilakukan pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa secara langsung dalam peningkatan luang kesempatan kerja dan untuk meningkatakan materi masyarakat desa. Sumber daya alam juga harus sebaik-baiknya dipergunakan. Masyarakat desa juga memerlukan pendidikan karena melalui pendidikan manusia dapat brfikir secara sistematis dan kritis untuk menghadapi persoalan. Dalam melaksanakan pembangunan desa diperlukan kerjasama yang erat dalam satu wilayah.
Terima Kasih
NAMA : YANA
NIM : A01112159
KELAS : C REGULER A
MATA KULIAH : HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH
SEMESTER : 4
Terimakasih atas kesempatan ini..
Menurut saya artikel diatas sangat membantu kita untuk menyadari bahwa pentingnya desa dalam sebuah negara.karena di negara kita sebuah desa seperti tidak diperhatikan oleh pemerintah karena masih banyak hal-hal yang telihat tindak membuat desa makmur dan sejahtera. Pembangunan Masyarakat Desa pada dasarnya adalah bertujuan untuk mencapai suatu keadaan pertumbuhan dan peningkatan untuk jangka panjang dan sifat peningkatan akan lebih bersifat kualitatif terhadap pola hidup warga masyarakat, yaitu pola yang dapat mempengaruhi perkembangan aspek mental (jiwa), fisik (raga), intelegensia (kecerdasan) dan kesadaran bermasyarakat dan bernegara. Akan tetapi pencapaian objektif dan target pembangunan desa pada dasarnya banyak ditentukan oleh mekanisme dan struktur yang dipakai sebagai sistem pembangunan desa.
telah kita ketahui pemerintahan telah merancangkan UU membahas tentang kesejahteraan warga pedesaan dimana mereka layak menerima pembangunan untuk mensejahterakan desa mereka. Tapi hal itu tidak semuanya dijalankan hanya beberapa kecil saja dilakukan dikarenakan beberapa faktor. faktor itu pun seperti dana keuangan pembangunan desa yang mungkin sudah dipercayakan kepada pejabat-pejabat yang bertugas, dari pejabat-pejabat tersebut ada yang menyeludupkan dalam arti kata lainnya mengkorupsikan uang pembangunan daerah pedesaan. Yang menjadi salah satu penghambat pembangunan desa.UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.dengan adanya artikel dan banyak pandangan diatas dapat menjadi pedoman bagi pemerintahan kita saat ini.
sekian dan terimakasih.....
Nama :NIRA VERAWATI
NIM :A1011131163
M.kul :Pendidikan pancasila dan kewarganegaraan
Kelas :B
reguler :A
menurut pendapat saya : pengaturan pemerintah di desa Berdasar uraian di atas, pembangunan desa secara konkret harus memperhatikan berbagai faktor, diantaranya adalah terkait dengan pembangunan ekonomi, pembanguna atau pelayanan pendidikan, pengembangan kapasitas pemerintahan dan penyediaan bernagai infrastruktur desa. semua faktor tersebut diperlukan guna mengimplementasikan dan mengintegrasikan pembangunan desa ke dalam suatu rencana yang terstruktur dalam desain tata ruang,kerena kadang-kadang pemerintah lebih mengutamakan pembangunan di kota dibandingkan di pedesaan,sehinga masyarakat di pedesaan hidup dalam ke susahan.contoh putusnya anak sekolah karena tempat sekolahnya yang jauh,puskesmas yang tidak tersediadan lain-lain.
disini peran yang harus dilakukan pemerintah pusat juga pemerintah desa supaya dapat menyediakan pembagunan tersebut di desa-desa yang yang jauh dari kota.Selama ini, kebijakan pembangunan di Indonesia terutama pembangunan Desa selalu bersipat top down dan sektoral dalam perencanaan serta implementasinya tidak terintegrasi, hal ini dapat dilihat dari program pemerintah pusat (setiap departemen) yang bersipat sektoral. Perencanaan disusun tanpa melibatkan sektor yang lain serta pemerintah daerah, hal lain yang menjadi permaslahan adalah tidak dicermatinya persoalan mendasar yang terjadi di daerah, sehingga formulasi strategi dan program menjadi tidak tepat.
Nama : Micang
Nim : A01111058
Mata Kuliah : Pendidikan pancasila dan kewarganegaraan
Kelas : B
Reg : A
Menurut pandangan saya tentang Perubahan Desa Pasca Orde Baru telah membawa perubahan system kekuasaan yang ada,dari otoritarianisme menuju pada kekuasaan yang Demokratis yang sangat berbeda pada masa Orde Baru yang menjalankan kekuasaan secara sentralistik – otoriter,dengnan alas yuridis UU No.5 tahun 1979, era Reformasi ditandai dengan digunakannya prinsip-prinsip Demokrasi dan Desentralisasi sebagai basis kerja kekuasaan.
Pada masa orde baru , penataan desa di landaskan pada undang-undang nomor 5 tahun 1979, yaitu konsepsi desa dalam pengertian admnistratif , yaitu satuan ketatanegaraan yang terdiri atas wilayah tertentu , suatu satuan masyarakat , dan suatu satuan pemerintahan yang berkedudukan langsung di bawah kecamatan . Dengan demikian , desa merupakan bagian dari organisasi pemerintah. Selain menempatkan desa dalam pengertian administratif ,undang – undang nomor 5 tahun 1979 juga telah melakukan perubahan terhadap struktur desa , yaitu:
1. Penyeragaman struktur pemerintahan desa . Ini merupakan strategi orde baru untuk memberikan legitimasi dalam hal kontrol negara terhadap desa.
2. Pengintegrasian struktur pemerintah desa pada pemerintah pemerintah nasional menempatkan pemerintah desa sebagai rantai terakhir dan terbawah dari sistem birokrasi pemerintahan yang sentralistik . Ini menjadikan desa hanya sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat.
3. Penghapusan lembaga perwakilan desa dan sentralisasi kekuasaan desa pada kepala desa.
Dari ketiga hal tersebut dapat dilihat keinginan utama orde baru atas desa yaitu pertama mengarahkan pengertian desa pada sudut administrasi negara , dan kedua , menempatkan desa sebagai alat dari pemerintah pusat .
Titik inilah yang kemudian merubah arti desa yang sebelumnya selalu di kaitkan dengan kedudukannya sebagai satuan masyarakat hukum adat tertentu bergeser kearah pengertian desa yang dikaitkan dengan kedudukannya sebagai satuan ketatanegaraan atau satuan administratif pemerintahan. Dengan kata lain , kedudukan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom makin lama makin terkikis karena menjadi subsistem terbawah dari birokrasi pemerintahan nasional.otonomi aseli desa tidak bisa lagi dilaksanakan karena kedudukan desa yang telah berubah menjadi subsistem dari negara.
Pada era reformasi Melalui undang – undang nomor 22 tahun 1999 terutama pasal 93 sampai dengan 111,mengandung semangat mengakhiri sentralisasi serta mengembangkan desa sebagai wilayah otonom.desa dikembalikan statusnya sebagai lembaga yang diharapkan demokratis dan otonom , dalam hal ini terlihat dari pertama , adanya keinginan untuk mendudukkan kembali desa terpisah dari jenjang birokrasi pemerintah . Diakui dalam sistem pemerintahan nasional sebagai kesatuan masyarakat yang di hormati mempunyai hak asal usul ,dan penghormatan terhadap adat istiadat setempat.dengan kata lain Desa merupakan salah satu dari ruang negara. kedua memulihkan demokrasi di tingkat yang paling rendah dengan pembentukan badan perwakilan desa {BPD} atau dengan nama lain sebagai lembaga legeslatif.
Selain semangat otonom yang tinggi , undang – undang nomor 22 tahun 1999 juga telah merubah struktur desa , antara lain:
1. Penghapusan penyeragaman struktur pemerintahan desa.
2. Pembentukan struktur pemerintahan desa baru yang terdiri atas pemerintah desa dan badan perwakilan desa.
3. Pembentukan struktur pemerintah desa baru ( formulasi ) yang terdiri atas pemerintah desa dan lembaga yudikatif Desa ( Mahkamah adat desa )
4. Pembentukan Lembaga adat Desa sebagai peradilan Desa .
5. Pembentukan lembaga perwakilan di tingkat desa dan penghapusan fungsi kepala desa sebagai pusat kekuasaan di desa ( dalam orde baru kepala Desa sebagai penguasa tunggal).
Nama: Elza Tivani
NIM: A1011131013
Reg A
Mata Kuliah / Kelas : Ilmu Adminitrasi Negara / E
Semester : 3 ( TIGA )
Sebelum saya komentari artikel ini, saya mengucap berterima kasih atas beliau yang telah menulis artikel ini dengan sangat berguna bagi sang pembaca dan baik.
Menurut saya, setelah membaca artikel diatas
Perwujudan desa sebagai unsur pemerintahan terdepan dan sebagai pilar utama pembangunan bangsa di zaman sekarang ini belum merata secara keseluruhan dan menyeluruhnya,pasalnya banyak desa-desa di pedalaman kalimantan yang masih belum mendapat perhatian khusus atau pribadi dari pemerintah,sulitnya menjangkau daerah tersebut juga menjadi kendala utama pembangunan desa untuk lebih maju.Keberadaan desa juga dipandang sebelah mata dengan masyarakat kota karena keminman fasilitasnya. Pemerintah seharusnya bertindak dan berfikir bagaimana cara sebuah desa maju dengan menggali potensi SDA serta SDM yang ada di desa tersebut menjadi bermanfaat bagi semua masyarakat dan untuk kemajuan yang akan datang, dengan banyaknya kemajuan tekhnologi saat ini seharusnya dengan sangat mudah membangun desa-desa yang berpotensi dengan membuat sekolah yang layak sebagai tempat belajar agar SDM nya maju serta menggali potensi pasar yang ada di desa tersebut.
Di lihat secara nyata atau menurut saya pribadi, banyak kepala desa saat ini hanya menjalankan tugas wajib nya sebagai kepala desa meyerahkan laporan desa. Di saat ini sangat jarang melihat para kepala desa turun kelapangan memantau perkembangan desa dan bahkan menemukan kepala desa di kantornya sendiri juga sangatt sulit. Dengan demikian perkembangan desa saat ini bergantung bagaimana para perangkat desa menjalankan tugas nya dan SDM yang di miliki desa tersebut.Terimaa kasihhhh
Nama: Roberto Antonius Gultom
NIM: A10112131197
Mata Kuliah / Kelas : Ilmu Adminitrasi Negara / E
Semester / Reguler : 3 ( TIGA ) / B
Sebelum saya komentar artikel ini saya mengucapkan terima kasih kepada penulis yg telah menulis artikel ini.
Dari artikel di atas dapat saya simpulkan secara pribadi, bahwa Desa / pedalaman pedalaman sana sebenarnya digambarkan atau seua sketsa dimana sebuah negara yaitu Indonesia, Desa menjadi arena politik paling sangat dekat bagi relasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan yang disebut perangkat desa bahasa kerennya itu Kepala Desa Dan lain lain. dimna pandangan dari sudut lain, para perangkat Desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai daftar tugas kenegaraan, yakni menjalankan birokratisasi di level Desa, melaksanakan program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat. Tugas penting pemerintah Desa adalah memberi pelayanan administratif (surat-menyurat) kepada warga terutama di Desa tersebut.
Nama: Kornelia Agatha
NIM: A1011141160
Mata Kuliah / Kelas : Ilmu Negara / C
Semester / Reguler : 1 (SATU) / A
Setelah saya membaca artikel di atas saya setuju dengan argumen yang disampaikan oleh penulis terkait dengan program - program pemerintah yang tidak berdasarkan pada potensi dan kekhasan daerah tersebut telah menyebabkan banyak potensi yang berada di desa menjadi tidak berkembang. Hal ini terbukti dengan ketidaksesuaian program pemerintah dengan apa yang terjadi di lapangan, yang seharusnya terdapat pembagian wilayah yang seimbang. Misalnya wilayah yang dipotensikan untuk hutan lindung, pertanian atau perkebunan, dan pemukiman ternyata wilayah-wilayah tersebut tidak sesuai dengan potensi yang ada. Hal ini mengakibatkan wilayah yang seharusnya berpotensi menjadi tidak maksimal bagi kemajuan desa dan negara. Padahal desa adalah miniatur negara. Apabila desa mengalami kemandekan dan bahkan tidak ada perkembangan maka hal ini akan memberi dampak yang kurang signifikan bagi desa dan negara. Dengan demikian kebijakan yang diambil oleh pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah demi perkembangan desa harus mengacu pada keadaan dan potensi yang ada. dikatakan dalam artikel diatas bahwa kebijakan pemerintah yang tertulis sungguh berpihak pada potensi desa tetapi dalam realitanya kerapkali kebijakan tersebut hanya jatuh pada hal lisan dan tidak bukti nyata. Karena itu, baik apabila seluruh elemen kenegaraan memikirkan yang terbaik bagi kemajuan desa sehingga potensi yang ada dalam desa tersebut dapat berkembang dan memberi kemajuan bagi kehidupan masyarakat setempat.
Nama saya Susi dari Indonesia, saya sudah lama mencari pinjaman asli dan yang saya dapatkan hanyalah penipuan yang membuat saya mempercayai mereka dan pada akhirnya, mereka mengambil uang saya tanpa memberi saya pinjaman, semua harapan saya adalah hilang, saya menjadi bingung dan frustrasi, maka saya merasa sangat sulit untuk memberi makan keluarga saya, saya tidak pernah ingin ada hubungannya dengan pinjaman online lagi, jadi saya pergi untuk meminjam uang dari seorang teman, saya mengatakan kepadanya semua yang terjadi dan dia bilang dia bisa membantu saya, bahwa dia tahu pemberi pinjaman yang jujur bernama Ny. Alicia Radu bahwa dia bisa membantu saya, bahwa dia baru saja mendapat pinjaman dari Ny. Alicia Radu, dia mengarahkan saya tentang cara melamar, saya lakukan seperti yang dia katakan, saya diterapkan, saya tidak pernah percaya tetapi saya mencoba dan yang paling mengejutkan saya mendapat pinjaman 300 juta rupiah, saya tidak percaya saya sangat terkejut ketika memeriksa rekening bank saya dan menemukan jumlah pinjaman yang saya minta telah ditransfer ke rekening bank saya tanpa penundaan atau kekecewaan. Saya sangat senang dan saya berterima kasih kepada ALLAH, karena saya tidak percaya pemberi pinjaman jujur seperti ini masih ada
Jadi jika Anda membutuhkan pinjaman, hubungi email ibu Alicia Radu: (aliciaradu260@gmail.com) dan dengan rahmat ALLAH Dia tidak akan mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman.
Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya: (susi85746@gmail.com) jika Anda memerlukan informasi tentang bagaimana saya mendapatkan pinjaman dari Ibu Alicia Radu
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Negara: Indonesia
WhatsApp: +62 838-3669-4853
Alamat: Surabaya
email saya: nurbrayani750@gmail.com
nama saya Nurbrayani, saya ingin bersaksi tentang pekerjaan ALLAH yang baik dalam hidup saya, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka mencari pinjaman di antara Anda? Jadi Anda harus sangat berhati-hati karena banyak pemberi pinjaman palsu ada di internet, tetapi mereka sangat asli dalam pemberi pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban dari pemberi pinjaman 2 kredit yang curang, saya kehilangan banyak uang karena saya sedang mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari hutang saya sendiri, sebelum saya dibebaskan dari penjara dan teman saya menjelaskan situasi saya kemudian memperkenalkan saya kepada pemberi pinjaman pinjaman yang andal. Ny. Alicia Radu Saya mendapatkan pinjaman saya sebesar Rp350.000.000 dari Ny. Alicia Radu dengan sangat mudah dalam 24 jam yang saya lamar, jadi saya memutuskan untuk membagikan pekerjaan yang baik dari ALLAH melalui Bunda Alicia Radu dalam kehidupan keluarga saya.
Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman, hubungi ibu Alicia Radu melalui email: (aliciaradu260@gmail.com)
Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (nurbrayani750@gmail.com)
Nomor WhatsApp saya: +62 838-3669-4853
jika Anda memerlukan informasi tentang bagaimana saya mendapat pinjaman dari Ibu Alicia Radu
Negara: Indonesia
WhatsApp: +62 838-3669-4853
Alamat: Surabaya
email saya: nurbrayani750@gmail.com
nama saya Nurbrayani, saya ingin bersaksi tentang pekerjaan ALLAH yang baik dalam hidup saya, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka mencari pinjaman di antara Anda? Jadi Anda harus sangat berhati-hati karena banyak pemberi pinjaman palsu ada di internet, tetapi mereka sangat asli dalam pemberi pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban dari pemberi pinjaman 2 kredit yang curang, saya kehilangan banyak uang karena saya sedang mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari hutang saya sendiri, sebelum saya dibebaskan dari penjara dan teman saya menjelaskan situasi saya kemudian memperkenalkan saya kepada pemberi pinjaman pinjaman yang andal. Ny. Alicia Radu Saya mendapatkan pinjaman saya sebesar Rp350.000.000 dari Ny. Alicia Radu dengan sangat mudah dalam 24 jam yang saya lamar, jadi saya memutuskan untuk membagikan pekerjaan yang baik dari ALLAH melalui Bunda Alicia Radu dalam kehidupan keluarga saya.
Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman, hubungi ibu Alicia Radu melalui email: (aliciaradu260@gmail.com)
Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (nurbrayani750@gmail.com)
Nomor WhatsApp saya: +62 838-3669-4853
jika Anda memerlukan informasi tentang bagaimana saya mendapat pinjaman dari Ibu Alicia Radu
Halo,
nama saya Siti Aminah dari Indonesia, tolong saya sarankan semua orang di sini harus sangat berhati-hati, karena ada begitu banyak pemberi pinjaman pinjaman palsu di internet, tetapi mereka masih yang asli di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah ditipu oleh 4 pemberi pinjaman yang berbeda, saya kehilangan banyak uang karena saya sedang mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang karena hutang.
Saya hampir menyerah sampai saya meminta saran dari seorang teman yang memperkenalkan saya kepada pemberi pinjaman asli dan perusahaan yang sangat dapat diandalkan yaitu Bunda Alicia Radu yang mendapatkan pinjaman saya dari 800 juta rupiah Indonesia dalam waktu kurang dari 24 jam Tanpa tekanan dan tekanan suku bunga rendah 2%. Saya sangat terkejut ketika memeriksa rekening bank saya dan menemukan jumlah pinjaman yang saya minta telah ditransfer ke rekening bank saya tanpa penundaan atau kekecewaan sehingga saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman dengan mudah tanpa tekanan dari Bunda Alicia Radu
Saya ingin Anda mempercayai Bunda Alicia Radu dengan sepenuh hati karena ia sangat membantu dalam hidup saya dan kehidupan finansial saya. Anda harus menganggap diri Anda sangat beruntung memiliki kesempatan untuk membaca kesaksian ini hari ini. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman, hubungi ibu Alicia Radu melalui email: (aliciaradu260@gmail.com)
Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya: (sitiaminah6749@gmail.com) jika Anda memerlukan informasi tentang bagaimana saya mendapatkan pinjaman dari Ibu Alicia Radu, Anda sangat bebas untuk menghubungi saya dan saya akan dengan senang hati menjawab Anda karena Anda juga dapat membantu orang lain setelah Anda menerima pinjaman Anda.
PERUSAHAAN PINJAMAN KARINA ROLAND
SELAMAT DATANG DI KARINA ELENA ROLAND LOAN COMPANY, (karinarolandloancompany@gmail.com) atau whatsapp hanya di +1(585)708-3478, tujuan kami adalah memberikan Layanan Profesional yang Unggul.
Apakah Anda seorang pria atau wanita bisnis? Apakah Anda dalam kekacauan keuangan atau Anda perlu dana untuk memulai bisnis Anda sendiri? Apakah Anda memerlukan pinjaman untuk memulai Skala Kecil dan bisnis menengah yang bagus? Apakah Anda memiliki skor kredit yang rendah dan Anda kesulitan mendapatkan modal dari bank lokal dan lembaga keuangan lainnya?
Pinjaman kami diasuransikan dengan baik untuk keamanan maksimum adalah prioritas kami, tujuan utama kami adalah membantu Anda mendapatkan layanan yang layak Anda dapatkan, Program kami adalah cara tercepat untuk mendapatkan apa yang Anda butuhkan dalam sekejap. Kurangi pembayaran Anda untuk mengurangi beban pengeluaran bulanan Anda. Dapatkan fleksibilitas yang dapat Anda gunakan untuk tujuan apa pun - mulai dari liburan, pendidikan, hingga pembelian unik
Kami menawarkan semua jenis layanan keuangan kepada individu yang membutuhkan pinjaman yang meliputi: Pinjaman Pribadi, pinjaman konsolidasi Utang, Pinjaman Bisnis, Pinjaman Pendidikan, Pinjaman Terjamin Hipotek, Pinjaman Tanpa Jaminan, Pinjaman Hipotek, Pinjaman Gaji, Pinjaman Siswa, Pinjaman Komersial, Pinjaman Investasi , Pinjaman Pembangunan, Pinjaman Otomatis, Pinjaman Konstruksi, dengan suku bunga rendah sebesar 2% per tahun untuk perorangan, perusahaan dan badan hukum. Dapatkan yang terbaik untuk keluarga Anda dan miliki rumah impian Anda juga dengan skema Pinjaman Umum kami.
Silakan, hubungi kami untuk informasi lebih lanjut jika Anda tertarik: (karinarolandloancompany@gmail.com) whatsapp kami hanya di +1(585)708-3478, instagram ... karina roland, facebook ... elena karina roland
Saya tidak dapat cukup berterima kasih kepada Dr EKPEN TEMPLE kerana mengembalikan kegembiraan dan cinta dalam perkahwinan saya, perceraian dan perpisahan bukanlah perkara yang baik untuk dialami dalam sebuah hubungan tetapi terima kasih kepada Dr EKPEN TEMPLE kerana memberikan mantra cinta kepada saya untuk mengembalikan cinta dalam perkahwinan saya. Hubungi dia hari ini di (ekpentemple@gmail.com) untuk mendapatkan bantuan.
Negara: Indonesia
WhatsApp: +62 838-3669-4853
Alamat: Surabaya
email saya: nurbrayani750@gmail.com
nama saya Nurbrayani, saya ingin bersaksi tentang pekerjaan ALLAH yang baik dalam hidup saya, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka mencari pinjaman di antara Anda? Jadi Anda harus sangat berhati-hati karena banyak pemberi pinjaman palsu ada di internet, tetapi mereka sangat asli dalam pemberi pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban dari pemberi pinjaman 2 kredit yang curang, saya kehilangan banyak uang karena saya sedang mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari hutang saya sendiri, sebelum saya dibebaskan dari penjara dan teman saya menjelaskan situasi saya kemudian memperkenalkan saya kepada pemberi pinjaman pinjaman yang andal. Ny. Alicia Radu Saya mendapatkan pinjaman saya sebesar Rp350.000.000 dari Ny. Alicia Radu dengan sangat mudah dalam 24 jam yang saya lamar, jadi saya memutuskan untuk membagikan pekerjaan yang baik dari ALLAH melalui Bunda Alicia Radu dalam kehidupan keluarga saya.
Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman, hubungi ibu Alicia Radu melalui email: (aliciaradu260@gmail.com)
Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (nurbrayani750@gmail.com)
Nomor WhatsApp saya: +62 838-3669-4853
jika Anda memerlukan informasi tentang bagaimana saya mendapat pinjaman dari Ibu Alicia Radu
Saya tidak dapat cukup berterima kasih kepada Dr EKPEN TEMPLE kerana telah membantu saya mengembalikan kegembiraan dan ketenangan dalam perkahwinan saya setelah banyak masalah yang hampir menyebabkan perceraian, alhamdulillah saya bermaksud Dr EKPEN TEMPLE pada waktu yang tepat. Hari ini saya dapat mengatakan kepada anda bahawa Dr EKPEN TEMPLE adalah jalan keluar untuk masalah itu dalam perkahwinan dan hubungan anda. Hubungi dia di (ekpentemple@gmail.com)
Nama saya LESTARI, saya ingin menggunakan media ini untuk menasihati semua orang agar berhati-hati dalam mendapatkan pinjaman internet karena begitu banyak peminjam internet di sini semuanya scammer dan mereka hanya berbagi cerita untuk menipu Anda agar keluar dari uang Anda, saya mengajukan pinjaman 5 Miliar dari seorang wanita di Malaysia dan saya kehilangan Rp59.000.000 tanpa mendapatkan pinjaman,
Pada tanggal 20 Oktober 2019, teman saya CYNTHIA DAFE di tempat kerja saya memberi tahu saya bagaimana dia menerima pinjaman dari CHRISTABEL LOAN INVESTMENT COMPANY
Saya tidak pernah mempercayainya sampai saya pergi bersamanya ke bank untuk memastikan apakah itu benar dan itu benar.
Semoga Tuhan memberkati Ibu yang Baik Bu CHRISTABEL MISSAN atas apa yang telah dia lakukan untuk saya dan rumah tangga saya, saya menyuruh teman saya untuk memperkenalkan saya kepada seorang ibu yang baik. CHRISTABEL MISSAN INVESTMENT INVESTMENT COMPANY, dan saya mengajukan pinjaman sebesar Rp900.000.000.000.
Saya mematuhi syarat dan ketentuan pinjaman perusahaan dan pengajuan pinjaman saya disetujui untuk saya tanpa tekanan dan kesulitan.
Akhirnya, saya menerima pinjaman di rekening bank saya dan saya menelepon teman saya CYNTHIA DAFE bahwa saya telah menerima pinjaman saya dan saya juga telah memperkenalkan begitu banyak orang kepada ibu saya yang baik Nyonya CHRISTABEL MISSAN LOAN INVESTMENT COMPANY
Saya ingin Anda membaca kesaksian saya untuk menghubungi ibu yang baik jika Anda membutuhkan pinjaman agar Anda juga bersaksi tentang niat baik ibu yang baik itu.
Jadi saya menggunakan cara ini untuk memberi tahu setiap orang Indonesia dan orang yang tepat lainnya untuk membaca kesaksian saya dan dia membutuhkan pinjaman untuk menghubungi IBU melalui EMAIL: christabelloancompany@gmail.com
IBU WHATSAPP NOMOR +15614916019
Anda masih dapat menghubungi saya jika Anda membutuhkan informasi lebih lanjut melalui EMAIL: lestarizudrefy@gmail.com
Anda juga dapat menghubungi teman saya CYNTHIA DAFE melalui EMAIL-nya: cynthiadafaq@gmail.com
Terima kasih sekali lagi untuk membaca kesaksian saya, dan semoga Tuhan terus memberkati kita semua dan memberi kita umur panjang dan kemakmuran.
Nama saya Cepi Hamdani dari bandung Indonesia. Saya baru saja mendapatkan pinjaman Rp150.000.000 dan telah ditransfer ke rekening bank saya pada tanggal 18 Agustus 2020.
Saya melihat testimoni dari blog dan twitter Leony Dora Patty dan saya menghubungi dia di email: nyratyy@gmail.com untuk informasi bahwa jika saya memiliki semua syarat dan persyaratan, pinjaman saya akan ditransfer kepada saya tanpa penundaan.
Saya diperkenalkan dan dilamar ke ibu RIKA ANDERSON LENDER dengan tingkat bunga 2% karena pinjaman usaha Furnitur dan Pertanian saya disetujui dan ditransfer ke rekening bank saya tanpa biaya tersembunyi.
untuk lebih jelasnya hubungi RIKA ANDERSON LENDER
Kontak melalui email: rikaandersonloancompany@gmail.com
WA +1(323)689-3663
Email: cepihamdani9@gmail.com
Negara: Indonesia
Kota: Bandung
Jumlah: Rp150 Juta
Tanggal: 18/08/2020
Instagram: cepihamdani9
Twitter: @ CepiHamdani9
Assalamualaikum
Data pribadi
Negara: Indonesia
Nama: Wahyu Sapto Handoko
Email: wahyusaptohandoko256@gmail.com
Alamat: Jl. Sukarela rt.02 / 05 Paninggilan, Ciledug, Tangerang
Sudah empat tahun sekarang saya telah memberikan kesaksian tentang bagaimana saya meminjam Rp1,2 miliar dari ibu Helen dan beberapa orang meragukan saya karena tingkat penipuan online. Ibu Helen Wilson telah memberi saya satu hal lagi untuk tersenyum karena setelah menyelesaikan angsuran pinjaman bulanan yang saya pinjam sebelumnya, saya memohon kepada Ibu Helen bahwa saya ingin pergi untuk ekspansi bisnis lebih lanjut sehingga saya meminta tambahan Rp3,7 miliar setelah melalui saya proses hukum. pinjaman itu disetujui oleh manajemen mereka dan saya menerima pinjaman saya dalam waktu kurang dari 48 jam di rekening bank BRI saya. Saya tidak memiliki tantangan dengan bank karena Mrs. Helen Wilson dan tim manajemen pinjaman WEMA Finance telah dianggap sebagai pemberi pinjaman yang sah baik di Amerika Serikat, MALAYSIA, INDONESIA dan Rumania, sehingga tidak ada masalah sama sekali.
Untuk pinjaman apa pun, saya sangat merekomendasikan Ibu Helen Wilson hari ini dan selalu
Email: (helenwilson719@gmail.com)
WA: +1-585-326-2165
Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.
Negara: Indonesia
WhatsApp: +62 838-3669-4853
Alamat: Surabaya
email saya: nurbrayani750@gmail.com
nama saya Nurbrayani, saya ingin bersaksi tentang pekerjaan ALLAH yang baik dalam hidup saya, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka mencari pinjaman di antara Anda? Jadi Anda harus sangat berhati-hati karena banyak pemberi pinjaman palsu ada di internet, tetapi mereka sangat asli dalam pemberi pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban dari pemberi pinjaman 2 kredit yang curang, saya kehilangan banyak uang karena saya sedang mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari hutang saya sendiri, sebelum saya dibebaskan dari penjara dan teman saya menjelaskan situasi saya kemudian memperkenalkan saya kepada pemberi pinjaman pinjaman yang andal. Ny. Alicia Radu Saya mendapatkan pinjaman saya sebesar Rp350.000.000 dari Ny. Alicia Radu dengan sangat mudah dalam 24 jam yang saya lamar, jadi saya memutuskan untuk membagikan pekerjaan yang baik dari ALLAH melalui Bunda Alicia Radu dalam kehidupan keluarga saya.
Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman, hubungi ibu Alicia Radu melalui email: (aliciaradu260@gmail.com)
Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (nurbrayani750@gmail.com)
Nomor WhatsApp saya: +62 838-3669-4853
jika Anda memerlukan informasi tentang bagaimana saya mendapat pinjaman dari Ibu Alicia Radu
Salam untuk seluruh WNI, nama saya NOVITA CAROLINA, TOLONG saya ingin memberikan kesaksian hidup saya di sini di platform ini agar semua WNI berhati-hati dengan pemberi pinjaman di internet, ALLAH mendukung saya melalui ibu saya yang baik Ivana Pedro, Setelah beberapa lama mencoba mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, dan ditolak, kemudian saya memutuskan untuk mengajukan melalui pinjaman online tetapi saya menipu dan saya kehilangan lebih dari 50 juta rupiah dengan pemberi pinjaman yang berbeda karena saya sedang mencari pinjaman (Rp 2 Miliar) setelah membayar biaya dan tidak mendapatkan pinjaman apapun. Saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman, maka saya berdiskusi dengan teman saya, Asmaul, dia kemudian memperkenalkan saya dengan Ibu IVANA PEDRO, seorang pemberi pinjaman di sebuah perusahaan bernama OCEAN CREDIT LOAN sehingga teman saya meminta saya untuk melamar ibu Ivana, jadi saya mengumpulkan keberanian dan menghubungi Nyonya Ivana.
Saya mengajukan pinjaman Rp2,5 miliar dengan tingkat bunga 2%, jadi pinjaman disetujui tanpa tekanan dan semua pengaturan dilakukan dengan transfer kredit, karena tidak memerlukan jaminan dan jaminan untuk transfer pinjaman yang baru saja saya suruh. mendapatkan perjanjian lisensi, aplikasi mereka untuk mentransfer kredit saya dan dalam waktu kurang dari 48 jam uang pinjaman telah disimpan ke rekening bank saya.
Saya pikir itu lelucon sampai saya menerima panggilan dari bank saya bahwa rekening saya dikreditkan dengan jumlah 2,5 miliar. Saya sangat senang akhirnya ALLAH menjawab doa saya dengan memesan pinjaman saya dengan pinjaman asli saya, yang memberikan saya keinginan hati saya. mereka juga memiliki tim ahli yang akan memberi Anda nasihat tentang jenis bisnis yang ingin Anda investasikan dan cara menginvestasikan uang Anda, sehingga Anda tidak akan pernah bangkrut lagi dalam hidup Anda. Semoga ALLAH memberkati Ibu Ivana Pedro yang telah membuat hidup saya lebih mudah, maka saya menyarankan siapapun yang tertarik untuk mendapatkan pinjaman dapat menghubungi Ibu Ivana Pedro melalui email: (ivanapedro85@gmail.com) atau OCEAN CREDIT LOAN email: info@oceancreditloan.com
Anda juga dapat menghubungi Ibu Ivana Pedro melalui nomor WhatsApp: +1-346-367-2942
Akhirnya, saya ingin berterima kasih kepada Anda semua karena telah meluangkan waktu untuk membaca kesaksian sejati hidup saya tentang kesuksesan saya dan saya berdoa agar ALLAH melakukan kehendak-Nya dalam hidup Anda. Sekali lagi nama saya NOVITA CAROLINA, Anda dapat menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut melalui email saya: (novitacarolina34@gmail.com)
Assalamualaikum
Nama saya Sri Muji Astuti. Saya seorang pemilik bisnis yang menjual kosmetik dan pakaian. Untuk sementara, saya telah mencari pemberi pinjaman pinjaman yang dapat saya pinjam untuk menumbuhkan bisnis saya dan juga menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Pengalaman pertama saya dengan pemberi pinjaman internet sangat buruk dan saya kehilangan jumlah 24 juta karena saya mengajukan 800 juta untuk meningkatkan bisnis saya. Setelah pengalaman saya, saya berjanji pada diri sendiri bahwa saya tidak akan pernah meminjam dari internet karena saya ditipu.
Jadi, suatu hari saya dengan setia membaca artikel di blog dan setelah saya selesai membaca, saya pergi untuk memeriksa bagian komentar untuk mengetahui pendapat mereka. Saya melihat komentar oleh Yeyes Ristintares, seorang wanita bisnis besar dan dia berbagi cerita tentang bagaimana dia meminjam pinjaman besar dari perusahaan tempat Ms. Helen Wilson bekerja.
Kemudian, saya memutuskan untuk menghubungi Yeyes Ristintares dan saya menceritakan kisah saya kepadanya tentang bagaimana saya kehilangan 24 juta dari pemberi pinjaman yang buruk. Saya masih ingat dengan jelas bagaimana dia memberi tahu saya bahwa semua pencarian saya untuk pemberi pinjaman yang andal sudah berakhir. Dia mengirimi saya emailnya dan saya mengiriminya email untuk memastikan karena saya tidak ingin kehilangan uang lagi. dia membalas saya dan mengatakan saya harus menghubungi perincian perusahaan tempat Ny. Helen Wilson bekerja dan saya akan menerima pinjaman saya tanpa penundaan dan saya harus mencoba untuk membagikan kabar baik saya sehingga orang lain selamat dari pemberi pinjaman yang buruk.
Jadi saya menghubungi Ny. Helen Wilson melalui email: (helenwilson719@gmail.com) dan dengan nomor WA-nya: +1-585-326-2165. Ini adalah email Yeyes Ristintares: (yristintares@gmail.com) yang saya hubungi.
Setelah saya menghubungi perusahaan pinjaman, saya diminta untuk menyerahkan segala sesuatu yang diminta dari saya sebagai peminjam dan setelah beberapa saat, pinjaman itu disetujui untuk saya dan saya menerima pinjaman saya tanpa penundaan atau segala bentuk tekanan.
jadi, saya menambahkan informasi pribadi saya kepada siapa saja yang mencari pemberi pinjaman yang dapat dipercaya untuk menghubungi saya dan saya siap membantu Anda karena saya ingin orang lain diselamatkan dari pemberi pinjaman yang buruk. Hubungi saya melalui email saya: srimujiastuti93@gmail.com
Saya berdoa agar ALLAH akan memberikan mereka yang membutuhkan pinjaman untuk melihat kisah saya sehingga mereka dapat diselamatkan seperti saya. Saya selalu siap memberikan bantuan kepada siapa saja yang membutuhkannya, jadi jangan ragu untuk menghubungi saya kapan saja karena saya tidak membuat orang saya jatuh ke tangan pencuri.
Nama:::::::::::::::::::::::::::[Queen Jamillah]
Negara:::::::::::::::::::::::::::::[Indonesia]
Jumlah:::::::::::::::::::[Rp.9,8 miliar]
Alamat::::::::::::::::::::[Surabaya]
W/A:::::::[+6287818697754]
☎::::::[+6287818697754]
e_mail:::::::::::::::::[queenjamillah09@gmail.com]
Teman-teman orang Indonesia Nama saya Jamiilah saya seorang muslim jika Anda membaca blog selama dua sampai tiga tahun sekarang Anda akan menemukan bahwa saya telah membuat beberapa kesaksian mengenai saya mendapatkan pinjaman dari Bunda Iskandar dan saya memang sangat senang karena memberi tahu semua orang bahwa ibu Iskandar memang pemberi pinjaman yang sangat tulus dan juga saya dapat membuktikan fakta bahwa begitu banyak pelanggan juga telah mendapatkan pinjaman yang benar dari ibu selama bertahun-tahun melalui saya dan saya sangat senang untuk itu [Kesaksian terbaru sekarang adalah bahwa suami saya harus menyusun rencana mendirikan perusahaan mencuri di (Surabaya))))))) sehingga dia juga dapat memiliki akses ke bisnis yang lebih dan lebih berorientasi pada keuntungan yang melibatkan capaital yang sangat besar sehingga saya harus menghubungi Ibu bahkan ketika saya belum menyelesaikan cicilan bulanan terakhir saya sehingga ibu setuju untuk meminjamkan saya dan suami saya karena rencana bisnisnya berorientasi pada keuntungan dan kami harus mengajukan pinjaman sebesar (((Rp. 9,8 miliar) sehingga dana untuk proyek tersebut akan menjadi e Cukup mengejutkan kami, pinjaman saya disetujui oleh manajemen dalam waktu beberapa jam dan setelah beberapa waktu transfer berhasil dilakukan dengan gangguan dari OJK atau lembaga pengatur keuangan lainnya]
Ibu Iskandar tidak pernah menipu siapa pun atas uangnya,
Ibu memang pemberi pinjaman yang sangat tulus
Perusahaan Induk terdaftar di OJK jadi jangan takut
Ibu Iskandar punya catatan bagus dalam meminjamkan
Tarifnya sangat bersahabat dibandingkan dengan Bank
Minimum (Rp.100juta)))))
Maksimum (((((Rp.100billion)
Detail Kontak Perusahaan:
e_mail:::[[iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com]]]
COMPANY::::::::::::[Iskandar Lestari Loan Company]]]
Posting Komentar