TEORI HIRARKI DAN KEBERLAKUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SERTA MEMAHAMI
PANCASILA SEBAGAI SUMBER HUKUM NEGARA
Oleh; Turiman Fachturahman Nur
Prolog:
Ilmu
Hukum Indonesia saat ini sedang mencari “jatidiri” ditengah-tegah era
globalisasi dan era penegakan HAM, sedangkan pada sisi lain bangsa ini ingin
mewujudkan dasar negara atau ideologi bangsa Pancasila kedalam materi muatan
peraturan perundangan-undangan agar nilai-nilai yang ada didalamnya tidak
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, tetapi bagaimanakah penjabarannya,
jika saja ilmu hukum Indonesia masih terbelenggu dengan paham positivisme hukum
dengan mengeleminasi unsur-unsur non hukum, tentunya harus ada sebuah terobosan
pendidikan Pancasila kembali di perguruan tinggi. Jika bangsa ini masih
berkomitmen bahwa Pancasila adalah pilihan untuk bernegara hukum sekaligus
sebagai cita hukum bagi pengembangan ilmu hukum yang selaras dengan jiwa bangsa
Indonesia, mengapa kita harus memaksakan teori-teori “barat” yang sebenarnya di
negara asalnya sudah masuk kotak atau masuk musium teori oleh para penstudi
hukum di negara asalnya, mereka bahkan saat ini mulai menggali apa yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, tetapi mengapa kita menjadi
“terbelenggu” oleh konsep-konsep yang telah usang pada abad 19, sedangkan kita
saat ini hidup di abad 21 atau abad globalisasi dan era penegakan HAM, adakah
“benang merah antara Globalisasi, HAM dan Pancasila, tulisan memberikan paparan
awal yang perlu diperdalam lebih lanjut para penstudi ilmu hukum di Indonesia.
1. Membuka
“belenggu” Kajian Ilmu Hukum
Saat
ini kajian hukum tidak bisa hanya dipahami sebagai kajian yuridis normatif
semata, tetapi perlu pengkajian yang multidisiplin, mengapa demikian, karena
tidak dapat dipungkiri, bahwa hukum itu pada dasarnya tidak begitu saja jatuh
dari langit, tetapi ia dibuat oleh manusia dan selalu berada dalam lingkusp
sosial tertentu. Itu artinya, hukum itu tidak hadir dan bergerak diruang hampa
dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak, melainkan selalu berada dalam
sebuah tatanan sosial tertentu dalam lingkup manusia-manusia hidup. Pemahaman
yang demikian itulah yang menggugah sebagian pemikir dan penstudi hukum untuk
melihat hukum tidak dalam sebuah tatanan norma an sich. Para
penganut perspektif ini berpendirian, bahwa hanya dengan cara itulah kita
dapat melihat “wajah” hukum secara sempurna. Demikian pernyataan Esmi
Warassih salah satu penggiat hukum dari Universitas Diponegoro, dalam catatan
pengantar buku Pranata Hukum sebuah telaah Sosiologis.
Menarik
untuk disimak, bahwa problematika hukum saat ini bukan hanya problematika
normatif semata, artinya dalam konteks pemahaman artinya tidak cukup kalau
hukum itu hanya dipahami secara yuridis normatif, yakni sebagai tertib logis
dari tatanan peraturan yang berlaku. Pada tataran inilah menurut penulis hukum
juga diberi ruang untuk masuknya kajian-kajian dengan mempergunakan pendekatan
ilmu-ilmu sosial, sepertisejarah, psikologi, semiotika dan hermenuetika
tanpa mengenyampingkan kajian yang yuridis normatif, bahkan dengan pendekatan
seperti demikian sebenarnya memperkaya ilmu hukum itu sendiri.
Jika
dipertanyakan mengapa demikian ? karena campur tangan hukum saat ini sudah
masuk keruang publik atau kedalam segala bidang kehidupan masyarakat,
konsekuensi logis dari ini kompleksitas hubungan hukum dengan dimensi lain non
hukum tak dapat dielakan, pada tataran ini dibutuhkan teori-teori sosial untuk
memperluas wawasan para penstudi hukum ketika mengeksplorasi paradigma hukum
yang begitu dominan terhadap para penstudi hukumyaitu paradigma positivisme
hukum yang sebenarnya telaah abad 19, sedangkan saat ini kita hidup di abad 21
yang serba digital dan multi wajah hukum.
Arus
informasi tak bisa dibendung memasuki keranah privasi seseorang sehingga para
penstudi hukum memasuki sebuah ranah yang disebut globalisasi dan era penegakan
HAM, tetapi apa sebenarnya yang disebut Globalisasi dan HAM itu sendiri ?
sebuah jawaban yang perlu jelas secara konsepsional dan adakah “benang merah: antara
keduanya dengan Pancasila?.
Perlu dianalisis dua
konsep terlebih dahulu, yaitu HAM dan Globalisasi. Istilah Hak Azasi Manusia
merupakan istilah yang relatif baru, khususnya semenjak perang dunia ke II dan
melakukan perjalanan panjang dan menarik rangkuman yang disampaikan Prof Paulus
Hadisuprapto, bahwa secara singkat dapat dinyatakan: (1) Konsep HAM
berkembang melalui jalan panjang hingga terbentuknya konsep HAM sekarang ini;
(2) Konsep HAM bermula dari "Natural rights". Hak-hal alam
yang bersumber dari hukum alam, (3) Konsep HAM berkembang mulai dari
konsep-konsep yang berlandaskan hukum alam, dengan segala aspek pemahaman dan
penjabarannya menuju konsep-konsep yang lebih kongkrit berdasarkan hukum buatan
manusia.(4) Konsep HAM pada alhirnya mengkristal menjadi berbagai dokumen HAM –Bill
of Right – Universal Declaration of Human Right. (5) Konsep
HAM yang sudah mengkristal itu ternyata dalam penerapannya masih harus
menghadapidua kutup pandang teori universalisme dan teori relatifvisme budaya.
Menarik
dipaparkan pada butir kelima rangkuman tersebut, beliau menyimpulkan bahwa
salah satu perbantahan sekitar universalisme versus cultular relalitifvisme
merupakan kenyataan yang tak dapat dibantah. Hal terpenting yang dapat
dilakukan sehubungan dengan hal ini ialah, bagaimana upaya merekonsialisasi
perbedaan-perbedaan antara universalisme dan relativisme budaya.
Pada
sisi lain Globalisasi lebih dekat ke arah universalisme, tetapi apa sebenarnya
Globalisasi, jika kita terjemahkan dengan konsep Indonesia, mungkin yang paling
mendekati adalah diartikan "mendunia" dan bila dicermati, maka
globalisasi ternyata memiliki karakteristik yang secara tidak langsung dapat
dijadikan para meter kapan telah terjadi globalisasi. Adapun ciri-ciri atau
karakterstik globalisasi adalah:
a. Perubahan konsep ruang dan waktu- internet komunikasi global super
cepat.
b. Pasar dan Produk ekonomi saling bergantung akibat pertumbuhan
perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional &
dominasi World Trade Organization (WTO).
c. Peningkatan interaksi kultural, perkembangan media massa (berkat
teknologi komunikasi) melintas ragam budaya (Fashion, literatus, kuliner)
d. Peningkatan masalah bersama, lingkungan hidup (Global warming),
krisis multi nasional (krisis keuangan Amerika dampaknya kemana-mana), Peter
Duker menyatakan " Globalisasi adalah jaman transformasi sosial"
Kemudian
dalam rangkuman Prof Paulus menyatakan beberapa pokok pikiran: (1) Globalisasi
merupakan fakta sekaligus proses, (2) Fakta karena orang penghuni bumi dan
bangsa-bangsa di bumi merasa saling ketergantungan satu sama lain dibandingkan
era-era sebelumnya, (3) Proses, karena diera Globalisasi terjadi proses
teknologi dan kemanusiaan, (4) Teknologi, sistem informasi global dan
komunikasi global membentuk dan menghubungkan agen-agen globalisasi, (5)
Kemansian, globalisasi ditarik oleh kehendak konsumen dan didorong oleh
kehendak manager untuk melayanani pelanggannya dan memperoleh kekuasaan
(6)Globalisasi memberikan janji-janji efisiensi dalam penyebarluasan
barang-barang kebutuhan hidup bagi mereka yang dulunya sulit menjangkaunya. (7)
Penghayatan dan pengamalan nilai-nilai etika global perlu karena pada
hakekatnya globalisasi memiliki dua wajah sekaligus "convergence"
and "integration" namun juga "conflik and integration".
Ketika bangsa ini dihadapkan globalisasi, pada sisi lain ketika pembentukan
peraturan perundang-undangan masih mengacu pada teori abad 19 yakni teori Hirarki
Norma Hukum dari Hans Kelsen yang berparadigma positivisme. Pertanyaannya adalah
apa sebenarnya teori hirarki norma hukum samakah dengan hirarki peraturan perundang-undangan
?
2.Teori Hirarki Hans Kelsen
Dalam tataran pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori jenjang hukum (Stufentheorie)
yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam teori tersebut Hans Kelsen berpendapat
bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat
hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm).
Norma Dasar
merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk
oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan
terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang merupakan gantungan
bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu
dikatakan pre-supposed.[1]
Menurut Hans
Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada norma yang di
atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar
bagi norma yang lebih rendah daripadanya. Dalam hal tata susunan/hierarki
sistem norma, norma yang tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat
bergantungnya norma-norma di bawahnya, sehingga apabila Norma Dasar itu berubah
akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada di bawahnya.[2]
Hans Nawiasky,
salah seorang murid Hans Kelsen mengembangkan teori gurunya tentang jenjang
norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky mengatakan suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang.
Norma yang di
bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang
lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang tertinggi
yang disebut Norma Dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu
berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga
berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu
terdiri atas empat kelompok besar antara lain:
1. Kelompok I :Staatsfundamentalnorm(Norma Fundamental Negara);
2. Kelompok II :Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan
Pokok Negara);
3. Kelompok III :Formell Gesetz (Undang-Undang ”Formal”);
4. Kelompok IV :Verordnung & Autonome Satzung
(Aturan pelaksana/Aturan otonom).[3]
Menurut Hans Nawiasky, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang
merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu
negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum
suatu Staats-fundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu
konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya
konstitusi atau undang-undang dasar.[4]
Selanjutnya Hans Nawiasky mengatakan norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut
sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak
disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan staatsfundamentalnorm atau
norma fundamental negara.
Grundnorm mempunyai kecenderungan untuk tidak berubah atau
bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu negara norma fundamental negara itu
dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya pemberontakan, kudeta dan sebagainya.[5]
Berdasarkan
teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya dengan
teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur dan tata hukum di Indonesia.
Untuk menjelaskan hal tersebut, A. Hamid S. Attamimi menggambarkan perbandingan
antara Hans Kelsen dan Hans Nawiasky
tersebut dalam bentuk piramida. Selanjutnya A. Hamid S. Attamimi menunjukkan
struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky.
Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1. Staatsfundamentalnorm : Pancasila
(Pembukaan UUD 1945);
2. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh
UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan;
3. Formell Gesetz : Undang-Undang;
4. Verordnung & Autonome Satzung : secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati
atau Walikota.[6]
3.Keberlakuan
Peraturan Perundang-Undangan
Agar suatu
peraturan perundang-undangan dapat diberlakukan, peraturan perundang-undangan
tersebut harus memenuhi persyaratan kekuatan berlaku. Ada tiga macam kekuatan
berlaku antara lain sebagai berikut:
A. Kelakuan atau hal berlakunya secara yuridis, yang mengenai hal ini dapat
dijumpai anggapan-anggapan sebagai berikut:
1. Hans Kelsen menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis,
apabila penentuannya berdasarkan kaedah yang lebih tinggi tingkatnya;
2. W. Zevenbergen menyatakan, bahwa suatu kaedah hukum mempunyai kelakuan
yuridis, jikalau kaedah tersebut, ”op de
vereischte wrijze is tot stant gekomen” (Terjemahannya: ”...terbentuk
menurut cara yang telah ditetapkan”);
3. J.H.A Logemann mengatakan bahwa secara yuridis kaedah hukum mengikat,
apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya
B. Kelakuan sosiologi atau hal berlakunya secara sosiologis, yang intinya
adalah efektivitas kaedah hukum di dalam kehidupan bersama. Mengenai hal ini
dikenal dua teori:
1. Teori Kekuasaan
(”Machttheorie”; ”The Power Theory”) yang pada pokoknya
menyatakan bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan sosiologis, apabila dipaksakan
berlakunya oleh penguasa, diterima ataupun tidak oleh warga-warga masyarakat;
2. Teori Pengakuan
(”Anerkennungstheorie”, ”The Recognition Theory” ) yang berpokok
pangkal pada pendapat, bahwa kelakuan kaedah hukum didasarkan pada penerimaan
atau pengakuan oleh mereka kepada siapa kaedah hukum tadi tertuju.
C. Kelakuan filosofis atau hal berlakunya secara filosofis. Artinya adalah,
bahwa kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (”Rechtsidee”) sebagai nilai positif yang
tertinggi (”Uberpositieven Wert”),
misalnya, Pancasila, Masyarakat Adil dan Makmur, dan seterusnya.[7]
Menurut Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan
harus memperhatikan asas-asas peraturan perundang-undangan antara lain:
1. Undang-Undang tidak dapat berlaku surut
2. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat;
3. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan
yang tinggi pula (Lex superiori derogat
legi inferiori);
4. Undang-Undang yang bersifat khusus akan mengesampingkan atau melumpuhkan
undang-undang yang bersifat umum (Lex
specialis derogat legi generalis);
5. Undang-Undang yang baru mengalahkan atau melumpuhkan undang-undang yang
lama (Lex posteriori derogat legi priori);
6. Undang-Undang merupakan sarana maksimal bagi kesejahteraan spirituil
masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian.[8]
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan
asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan keterbukaan.[9]
Di samping itu materi muatan yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah-an;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. [10]
Dalam doktrin ilmu hukum, pedoman dalam menyusun peraturan
perundang-undangan pernah disampaikan oleh I.C. Van Der Vlies dan A. Hamid S.
Attamimi. Menurut I.C. Van Der Vlies membaginya menjadi 2 (dua) klasifikasi,
yaitu asas-asas yang formal dan asas-asas yang material. Asas-asas yang formal meliputi:
1.
Asas tujuan yang jelas (beginsel van duideleijke doelstelling);
2.
Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);
3.
Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
4.
Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
Sedangkan asas-asas material antara lain meliputi:
1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van
duidelijke terminologi en duidelijke systematiek);
2. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijk-heidsbeginsel);
4. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheids beginsel);
5. Asas pelaksanakan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de
individuele rechtbedeling).[12]
Sedangkan A. Hamid S. Attamimi berpendapat, bahwa
pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut, adalah sebagai
berikut:
1. Cita Hukum Indonesia;
2. Asas Negara Berdasar Atas Hukum dan Asas Pemerintahan yang berdasar
Konstitusi;
3. Asas-asas lainnya.[13]
Dengan demikian, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan oleh :
a. Cita
Hukum Indonesia yang tidak lain melainkan Pancasila (Sila-sila dalam hal
tersebut berlaku sebagai Cita (Idee), yang berlaku sebagai ”bintang
pemandu”;
b. Norma Fundamental Negara juga tidak lain
melainkan Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Norma);
c. (1) Asas-asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan Undang-Undang
sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum (der Primat
des Rechts);
(2) Asas-asas pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi yang menempatkan
Undang-Undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan
pemerintahan.[14]
Dalam sistem
perundang-undangan dikenal adanya hierarki peraturan perundang-undangan. Ada
peraturan perundang-undangan yang mempunyai tingkatan yang tinggi dan ada yang
mempunyai tingkatan lebih rendah. Pengaturan mengenai jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, selengkapnya
berbunyi sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Di samping jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang disebutkan
diatas, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan juga mengatur jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan yang lain, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagai-mana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat
(1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah
atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat;
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.
Untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi perlu
dilakukan pengujian undang-undang. Baik di dalam kepustakaan maupun praktek
dikenal adanya 2 (dua) macam hak menguji, yaitu hak menguji formal (formele
toetsingsrecht) dan hak menguji material (material toetsingsrecht).[15]
Adapun yang dimaksud dengan hak uji formal adalah wewenang untuk menilai,
apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui
cara-cara (procedure) sebagaimana yang telah ditentukan/diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak.[16][16] Sedangkan hak uji material adalah suatu wewenang
untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan
perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht)
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.[17]
Dalam mekanisme pengujian undang-undang dikenal ada 3 (tiga) model
pengujian undang-undang, yaitu executive review, legislatif review,
dan judicial review. Dalam model executive review, mekanisme
pembatalan ini dapat juga disebut mekanisme pengujian, tidak dilakukan oleh
lembaga kehakiman (judiciary) ataupun legislator, melainkan oleh lembaga
pemerintahan eksekutif tingkat atas. Misalnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah mengatur mengenai ketentuan
pembatalan peraturan daerah.[18]
Dalam model legislative review, pengujian konstitusionalitas (constitutional
review) dilakukan oleh lembaga legislatif atau badan-badan yang terkait
dengan cabang kekuasaan legislatif. Misalnya Ketetapan MPR RI No. II/MPR/2000
yang menentukan bahwa Majelis inilah yang diberi secara aktif menilai dan
menguji konstititusionalitas undang-undang.[19] Sedangkan
dalam model judicial review tidak memerlukan lembaga baru, melainkan
cukup dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung yang sudah ada. Mahkamah Agung itulah yang selanjutnya akan
bertindak dan berperan sebagai Pengawal atau Pelindung Undang-Undang Dasar (the
Guardian or the Protector of the Constitution).[20]
4.Penalaran Hukum
Penalaran hukum (legal reasoning)
adalah kegiatan berpikir problematis tersistematis (gesystematiseerd probleemdenken) dari subjek hukum (manusia)
sebagai makhluk individu dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Penalaran
hukum dapat didefinisikan sebagai kegiatan berpikir yang bersinggungan dengan
pemaknaan hukum yang multiaspek (multidimensional dan multifaset).[21]
Penalaran hukum
sebagai kegiatan berpikir problematis tersistematis mempunyai ciri-ciri khas.
Menurut Berman ciri khas penalaran hukum adalah:
1.
Penalaran hukum berupaya mewujudkan konsistensi dalam aturan-aturan hukum
dan putusan-putusan hukum. Dasar berpikirnya adalah asas (keyakinan) bahwa
hukum harus berlaku sama bagi semua orang yang termasuk dalam yuridiksinya. Kasus yang sama harus diberi putusan yang sama berdasarkan asas similia similibus (persamaan);
2. Penalaran hukum berupaya memelihara kontinuitas dalam waktu (konsistensi
historikal). Penalaran hukum akan mengacu pada aturan-aturan hukum yang sudah
terbentuk sebelumnya dan putusan-putusan hukum terdahulu sehingga menjamin
stabilitas dan prediktabili-tas;
3.
Dalam penalaran hukum terjadi
penalaran dialektikal, yakni menimbang-nimbang klaim-klaim yang berlawan-an,
baik dalam perdebatan pada pembentukan hukum maupun dalam proses
mempertimbangkan pandangan dan fakta yang diajukan para pihak dalam proses
peradilan dan dalam proses negosiasi.[22]
Ada beberapa
pakar yang menyebutkan langkah-langkah dalam penalaran hukum. Kenneth J.
Vandevelde menyebutkan lima langkah penalaran hukum, yaitu:
1. Mengidentifikasi sumber hukum yang
mungkin, biasanya berupa peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify
the applicable sources of law);
2. Menganalisis sumber hukum tersebut untuk
menetapkan aturan hukum yang mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the sources of law);
3. Mensintesiskan aturan hukum tersebut ke
dalam struktur yang koheren, yakni
strukturmyang mengelompokkan
aturan-aturan khusus di bawah aturan umum (synthesize
the applicable rules of law into a coherent structure);
4. Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts);
5. Menerapkan struktur aturan tersebut kepada
fakta-fakta untuk memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta
itu, dengan menggunakan kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan hukum dalam
hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply
the structure of rules to the facts).[23]
Gr. van der
Brught dan J.D.C. Winkelman menyebutkan tujuh langkah yang harus dilakukan
seorang hakim dalam menghadapi suatu kasus antara lain:
1. Meletakkan kasus dalam sebuah peta
(memetakan kasus) atau memaparkan kasus dalam sebuah ikhtisar (peta), artinya
memaparkan secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus (menskematisasi);
2. Menerjemahkan kasus itu ke dalam peristilahan
yuridis (mengkualifikasi, pengkualifikasian);
3. Menyeleksi aturan-aturan hukum yang
relevan;
4. Menganalisis dan menafsirkan
(interpretasi) terhadap aturan-aturan hukum itu;
5. Menerapkan aturan-aturan hukum pada kasus;
6. Mengevaluasi dan menimbang (mengkaji)
argumen-argumen dan penyelesaian;
7. Merumuskan (formulasi) penyelesaian.[24]
Sedangkan
Shidarta menyebutkan enam langkah utama penalaran hukum, yaitu:
1. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk
menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh
hakim sebagai kasus yang riil terjadi;
2. Menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus
ter-sebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan
perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal
term);
3. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum
yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam
aturan hukum itu (the policies underlying
those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang
koheren;
4. Menghubungkan struktur aturan dengan
struktur kasus;
5. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian
yang mungkin;
6. Menetapkan pilihan atas salah satu
alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.[25]
Dalam proses
penerapan hukum secara secara teknis operasional dapat didekati dengan 2 (dua)
cara, yaitu melalui penalaran hukum induksi dan deduksi. Penanganan suatu
perkara atau sengketa di pengadilan selalu berawal dari langkah induksi berupa
merumuskan fakta-fakta, mencari hubungan sebab akibat, dan mereka-reka
probabilitasnya. Melalui langkah ini, hakim pengadilan pada tingkat pertama dan
kedua adalah judex facti. Setelah
langkah induksi diperoleh atau fakta-faktanya telah dirumuskan, maka diikuti
dengan penerapan hukum sebagai langkah deduksi. Langkah penerapan hukum diawali
dengan identifikasi aturan hukum.[26]
Dalam
identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu
kekosongan hukum (leemten in het recht),
konflik antar norma hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak jelas.[27] Dalam
menghadapi konflik antar norma hukum (antinomi hukum), maka berlakulah
asas-asas penyelesaian konflik (asas preferensi), yaitu:
1. Lex superiori
derogat legi inferiori, yaitu
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan
melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah;
2. Lex specialis
derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya
atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan;
3. Lex posteriori
derogat legi priori, yaitu
peraturan yang baru mengalahkan atau
melumpuhkan peraturan yang lama.[28]
Di samping itu
ada langkah praktis untuk menyelesaikan konflik tersebut antara lain
pengingkaran (disavowal),
reinterpretasi, pembatalan (invalidation),
dan pemulihan (remedy).[29][9] Dalam hal menghadapi norma hukum yang kabur atau norma yang tidak jelas,
hakim menafsirkan undang-undang untuk menemukan hukumnya. Penafsiran oleh hakim
merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima
oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode
interpretasi adalah saran atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.[30][10]
Dalam hal
menghadapi kekosongan hukum (rechts
vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet
vacuum), hakim berpegang pada asas ius
curia novit, dimana hakim dianggap tahu akan hukumnya.[31][11] Hakim tidak
boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada atau tidak jelas hukumnya.
Ia dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih undang-undangnya tidak
lengkap atau tidak jelas.[32][12] Ia wajib memahami, mengikuti, dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat. Oleh karena itu ia harus melakukan penemuan hukum (rechtvinding).
Sudikno Mertokusumo mengatakan apa
yang dinamakan penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh
hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas untuk melaksanakan
hukum atau menetapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwa hukum yang
konkret. Lebih lanjut dikatakan bahwa penemuan hukum merupakan konkretisasi dan
individualisasi peraturan (das sollen) yang bersifat umum dengan
mengingat akan peristiwa konret (das sein) tertentu.[33]
Paul Scholten menyatakan yang
dimaksud dengan penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan
peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi
bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun
dengan jalan analogi atau ataupun rechtsverfijning
(penghalusan/pengkonkretan hukum).[34] Sedangkan D.H.M. Meuwissen
berpendapat mengatakan penemuan hukum ihwalnya adalah berkenaan dengan
konkretisasi produk pembentukan hukum. Penemuan hukum adalah proses kegiatan
pengambilan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi
situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh
notaris, dan sebagainya).[35] Dengan demikian
dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan
hukumnya untuk peristiwa konkret (in-concreto).[36]
Dalam rangka menemukan hukum, Pasal
5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
menentukan, bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Adapun dalam penjelasan pasal tersebut menyatakan, bahwa “Ketentuan ini
dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan
rasa keadilan masyarakat”. Dengan demikian ketentuan tersebut memberi makna
hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hidup dalam masyarakat, ia
seharusnya dapat mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[37]
Untuk dapat
menemukan hukum, hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara menggunakan
metode penemuan hukum. Metode penemuan hukum yang dianut dewasa ini, seperti
yang dikemukakan antara lain oleh J.J.H. Bruggink meliputi metode interpretasi
(interpretation methoden) dan konstruksi hukum ini terdiri atas nalar
analogi yang gandengannya (spiegelbeeld)
a contrario, dan ditambah bentuk
ketiga oleh Paul Scholten penghalusan hukum (rechtsverfijning) yang dalam bahasa Indonesia oleh Soedikno
Mertokusumo disebut penyempitan hukum.[38]
Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua)
teori penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim dalam praktik peradilan,
yaitu melalui metode interpretasi atau penafsiran hukum dan metode konstruksi
hukum.[39] Ada perbedaan
pandangan tentang metode atau cara penemuan hukum oleh hakim menurut yuris dari
Eropa Kontinental dengan yuris yang berasal dari Anglo Saxon. Pada umumnya yuris Eropa Kontinental tidak
memisahkan secara tegas antara metode interpretasi hukum dengan metode
konstruksi hukum. Hal ini dapat dilihat dalam paparan buku-buku Paul Scholten,
Pitlo, Sudikno Mertokusumo, dan Yudha Bhakti Adiwisastra. Sebaliknya, para
penulis yang condong ke sistem Anglo
Saxon, seperti Curzon, B. Arief Shidharta, dan Achmad Ali membuat
pemisahan secara tegas antara metode interpretasi hukum dan metode konstruksi
hukum.[40]
Secara umum
ada 11 (sebelas) macam metode interpretasi hukum antara lain sebagai berikut:
1.
Interpretasi
gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah
bahasa dan kaidah hukum tata bahasa;
2.
Interpretasi
historis, yaitu mencari maksud dari peraturan perundang-undangan itu seperti apa
yang dilihat oleh pembuat undang-undang itu dibentuk dulu;
3.
Interpretasi
sistematis, yaitu metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari
keseluruhan sistem perundang-undangan, artinya tidak satu pun dari peraturan
perundang-undangan tersebut dapat ditafsir- kan seakan-akan berdiri sendiri,
tetapi harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan lainnya;
4.
Interpretasi
teleologis/sosiologis, yaitu pemaknaan suatu aturan hukum yang ditafsirkan
berdasarkan tujuan pembuatan aturan hukum tersebut dan apa yang ingin dicapai
dalam masyarakat;
5.
Interpertasi
komparatif merupakan metode penafsiran dengan jalan memperbandingkan antara
berbagai sistem hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai
makna suatu ketentuan peraturan perundang-undangan;
6.
Interpretasi
futuristik/antisipatif merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi
yang menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitutum) dengan berpedoman pada undang-undang yang belum
mempunyai kekuatan hukum (ius
constituendum);
7.
Interpretasi
restriktif, yaitu metode penafsiran yang sifatnya membatasi atau mempersempit
makna dari suatu aturan;
8.
Interpretasi
ekstensif, yaitu metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi
batas-batas yang biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal;
9.
Interpretasi
autentik, yakni dimana hakim tidak diperkenankan melalukan penafsiran dengan
cara lain selain dari apa yang ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang
itu sendiri;
10. Interpretasi interdisipliner, yakni dimana hakim akan melakukan penafsiran
yang disandarkan pada harmoni-sasi logika yang bersumber pada asas-asas hukum
lebih dari satu cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum;
11. Interpretasi multidisipliner, yakni dimana hakim mem-butuhkan verifikasi
dan bantuan dari disiplin ilmu lain untuk menjatuhkan suatu putusan yang
seadil-adinya serta memberikan kepastian bagi para pencari keadilan.[41]
Dalam metode
konstruksi hukum ada 4 (empat) metode yang digunakan oleh hakim pada saat
melakukan penemuan hukum, yaitu:
1.
Argumentum Per
Analogiam (analogi) merupakan metode
penemuan hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah
peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang baik yang telah diatur oleh
undang-undang maupun yang belum ada peraturan nya;
2.
Argumentum a
Contrario, yaitu dimana hakim melaku-kan
penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan
hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada
peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya;
3. Penyempitan/Pengkonkretan hukum (rechtsverfijning)
bertujuan untuk mengkonkretkan/menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu
abstrak, pasif, serta sangat umum agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa
tertentu;
4.
Fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum yang mengemukakan
fakta-fakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi yang baru di hadapan kita.[42]
5.Metode
Penemuan Hukum
Di samping
metode penemuan hukum oleh hakim berupa interpretasi hukum dan konstruksi
hukum, perlu dikemukakan suatu metode penemuan hukum yang lain yang dapat
dipergunakan oleh hakim dalam praktik peradilan sehari-hari sebagai alternatif
metode penemuan hukum baru oleh hakim yang berdasarkan pada interpretasi teks
hukum. Metode penemuan hukum ini dinamakan hermeneutika hukum. Hermeneutika
hukum sebenarnya bukan sesuatu yang berdiri sendiri, sebaliknya justru lebih
tepat bila digunakan untuk memecahkan berbagai persoalan hermeneutis dan
menemukan kesatuan hermeneutis masa lalu, dimana para ahli hukum dan teolog
bertemu dengan mereka yang mengkaji ilmu-ilmu humaniora.[43]
Tujuan
hermeneutika hukum di antaranya untuk menempat-kan perdebatan kontemporer
mengenai interpretasi hukum dalam kerangka interpretasi yang lebih luas. Upaya
mengkonsteks-tualisasikan teori hukum cara seperti ini mengisyaratkan bahwa
hermeneutika mengandung manfaat tertentu bagi yurisprudensi (ilmu hukum). Upaya
memandang problema hukum dari kacamata sejarah hukum, konstitusi linguistik
hukum, dan implikasi politik dari cara pembacaan dan pemahaman hukum ini
mencoba membangun interpretasi hukum yang benar dalam tradisi humanis.[44]
Dalam praktik
peradilan tampak metode hermenutika hukum ini tidak banyak atau jarang sekali
digunakan sebagai metode penemuan hukum dalam praktik peradilan di Indonesia.
Hal ini disebabkan begitu dominannya metode interpretasi hukum dan konstruksi
hukum yang sangat legalistik formal sebagai metode penemuan hukum yang telah
mengakar cukup lama dalam sistem peradilan di Indonesia. Atau dapat pula
sebagian besar hakim belum familiar dengan metode ini, sehingga jarang atau
tidak menggunakannya dalam praktik peradilan. Padahal esensi hermeneutika hukum
terletak pada pertimbangan triangle hukumnya,
yaitu suatu metode menginterpretasikan teks hukum yang tidak semata-mata
melihat teks saja semata, tetapi juga konteks hukum itu dilahirkan serta
bagaimanakah kontekstualisasi atau penerapan hukumnya di masa kini dan masa
mendatang.[45]
6.Pancasila sebagai sumber hukum
Negara
Untuk memberikan kesepahaman
tentang Pancasila sebagai sumber hukum negara, maka kita menggunakan UU Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terpaparkan
dengan jelas pada pasal 2 yang menyatakan Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum Negara.
Kemudian penjelasan pasal 2
tersebut menyatakan, bahwa penempatan Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Berdasarkan pernyataan di atas yang perlu dipahami adalah apakah
yang dimaksud dengan materi muatan
peraturan perundang-undangan ? Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan
sesuai dengan jenis, fungsi, dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan.(Pasal 1 angka 13 UU Nomor 12 Tahun
2011). Dari jawaban atas pertanyaan di atas, maka
perlu dipahami bersama apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan?
Berdasarkan Pasal 4 UU No 12 Tahun 2011 Peraturan
Perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang
dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya. Peraturan
Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan. (Pasal 1 angka 2 UU
No 12 Tahun 2011)
Mengacu pada Pasal 4 di
atas dibedakan antara undang-undang dan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang
adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dengan persetujuan bersama Presiden (pasal 1 angka 3 UU Nomor 12 Tahun 2011.
Walaupun dibedakan keduanya namun secara bentuk dan materi muatan, maka
undang-undang termasuk jenis peraturan perundang-undangan.
Hal ini juga sejalan dengan
pengertian peraturan perundangan-undangan berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Nomor
5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, peraturan perundang-undangan
adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkab
oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama
pemerintah, baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah, serta semua semua
keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik ditingkat pusat maupun
daerah, yang juga mengikat secara umum.
Untuk memahami pernyataan, bahwa “sehingga setiap
materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila”. Berikut ini pula dipahami, bahwa nilai nilai Pancasila secara
normatif haruslah dihubungkan antara asas-asas materi muatan peraturan
perundang-undangan dengan sila-sila dari Pancasila.
Dengan kata lain klasul tersebut bisa dipahami melalui hubungan antara
Pancasila dengan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan atau
pertanyaannya adalah apa hubungan antara Pancasila dengan asas-asas materi
muatan peraturan perundang-undangan ? Sebagaimana diketahui, bahwa sila-sila
Pancasila divisualisasikan secara semiotika hukum didalam lambang negara, yakni
pada perisai Pancasila, maka diperlukan satu pemahaman terhadap pembacaan
Pancasila sebagai cita hukum atau sebagai sumber segala sumber hukum negara
berdasarkan lambang negara dengan pendekatan semiotika hukum.
Berkaitan dengan ini teks hukum negara pada pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomo 24 Tahun 2009,
yang menyatakan “Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima
buah ruang yang mewujudkan dasar
Pancasila sebagai berikut: a. dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan
dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang
yang bersudut lima; b. dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan
dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai; c. dasar Persatuan Indonesia
dilambangkan dengan pohon beringin di
bagian kiri atas perisai; d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas
perisai; dan e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
dilambangkan dengan kapas dan padi di
bagian kanan bawah perisai.
Terhadap konsep “berthawaf” diatas penafsiran Sultan Hamid II menyatakan : [46]
".. lima sila Pantja Sila jang
terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau adalah sila pertama
Ketoehanan Yang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa bertahan madju
kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pedjuang bangsa jang
bermartabat/ berprikemanusiaan jang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian
jang adil dan beradab, setelah itu membangun persatuan Indonesia sila ketiga,
karena hanja dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS (baca NKRI)
inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat, pada langkah berikutnja baru membangun
parlemen negara RIS jang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena
dengan djalan itulah bisa bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakjat Indonesia, jakni dari rakjat, untuk rakjat oleh rakjat karena berbakti
kepada bangsa dan Tuhan Jang Maha Esa. Atas pendjelasan Perdana Menteri RIS
itu, kemudian perisai ketjil ditengah saja masukan simbol sila kesatu berbentuk
Nur Tjahaya bintang bersudut segilima.
Berdasarkan penjelasan Sultan Hamid II diatas, bahwa Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa
adalah terpenting sebagai pertahanan bangsa, mengapa karena dengan sila kesatu,
bangsa Indonesia bisa bertahan maju kedepan, makna yang tersirat dan tersurat,
adalah landasan moral relegius, artinya: Pancasila pada hakekatnya adalah
negara kebangsaan yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Landasan pokok sebagai
pangkal tolak, paham tersebut adalah Tuhan adalah Sang Pencipta segala sesuatu
Kodrat alam semesta, keselarasan antara mikro
kosmos dan makro kosmos, keteraturan segala ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
kesatuan saling ketergantungan antara satu dengan lainnya, atau dengan lain
perkataan kesatuan integral. [47]
Mengapa Sultan
Hamid II menggunakan konsep thawaf dalam membaca Pancasila, Kemudian pada bagian lain Sultan Hamid II menyatakan: [48]
"... patut diketahui arah simbolisasi ide Pantja-Sila itu saja
mengikuti gerak arah ketika orang "berthawaf"/ berlawanan arah djarum
djam/"gilirbalik" kata bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke
simbol sila kedua dan seterusnja, karena seharusnja seperti itulah sebagai
bangsa menelusuri/ menampak tilas kembali akar sedjarahnja dan mau kemana arah
bangsa Indonesia ini dibawa kedepan agar tidak kehilangan makna semangat dan
"djatidiri"-nja ketika mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang
berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanja, seperti berbagai pesan pidato
Paduka Jang Mulia disetiap kesempatan. Itulah kemudian saja membuat gambar
simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep berputar-gerak "thawaf"/gilir
balik kata bahasa Kalimantan sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun
kedepan perdjalanan bangsa Indonesia yang kita tjintai ini.
Selanjutnya pada bagian lain Sultan Hamid II menjelaskan tentang
konsep thawaf pada perisai Pancasila :[49]
" ... Falsafah "thawaf"
mengandung pesan, bahwa idee Pantja-Sila itu bisa didjabarkan bersama dalam
membangun negara, karena ber"thawaf" atau gilir balik menurut bahasa
Kalimantannja, artinja membuat kembali-membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada sasaran jang djelas, jakni
masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan rukun dan damai,
begitulah menurut Paduka Jang Mulia
Presiden Soerkarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja, jakni membangun negara jang bermoral tetapi tetap
mendjunjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada
sanubari rakjat bangsa di belahan wilajah negara RIS serta tetap memiliki
karakter asli bangsanja sesuai dengan "djatidiri" bangsa/adanja
pembangunan "nation character
building" demikian pendjelasan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno
kepada saja”.
Kemudian menurut Sultan Hamid II dengan bertahan maju kedepan untuk membangun
generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang bermartabat/ berprikemanusiaan
yang adil dan beradab disimbolkan dengan sila kedua kemanusian yang adil dan
beradab, pada langkah berikutnya jika sila kesatu dan kedua bisa diselaraskan,
maka setelah itu membangun persatuan Indonesia, yaitu sila ketiga, mengapa
demikian, karena hanya dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS
(baca antar daerah dalam Republik Indonesia) inilah bangsa Indonesia mendjadi
kuat dan pada langkah berikutnya baru
membangun parlemen negara RIS (baca DPR, DPRD) jang demokratis dalam
permusyawaratan/perwakilan, karena dengan jalan itulah bisa bersama-sama mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yakni dari rakyat, untuk rakyat
oleh rakyat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa. Atas
penjelasan Perdana Menteri RIS (baca Mohammad Hatta) itu, kemudian perisai
kecil ditengah saya masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur cahaya bintang
bersudut segilima.
Hal demikian apa artinya? bahwa setiap
individu yang hidup dalam suatu bangsa adalah sebagai mahluk Tuhan, maka bangsa
dan negara sebagai totalitas yang
integral adalah Berketuhanan, demikian pula setiap warga negara juga
Berketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata
lain negara kebangsaan Indonesia adalah
negara yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusian yang adil dan beradab, yaitu Negara Kebangsaan yang membangun
generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang bermartabat/
berprikemanusiaan atau generasi
penerus/kader-kader pejuang bangsa yang memelihara budi pekerti kemanusian yang
luhur dan memegang teguh cita-cita
rakyat yang luhur, yang berarti bahwa negara menjunjung tinggi manusia sebagai
mahluk Tuhan, dengan segala hak dan kewajibannya.
Jika sudah ada kesadaran akan hak dan
kewajibannya menjadi sebuah kesadaran setiap warga negaranya, maka akan mampu
membangun persatuan Indonesia, karena hanya dengan bersatulah dan perpaduan
antar antar daerah dalam Republik Indonesia,
tentunya mendjadi kuat dan pada
langkah berikutnya baru membangun parlemen DPR, DPRD yang demokratis dalam
permusyawaratan/perwakilan, karena dengan jalan itulah bisa bersama-sama
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yakni dari rakyat,
untuk rakyat oleh rakyat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa.
artinya setiap umat beragama memiliki kebebasan untuk menggali dan meningkatkan
kehidupan spiritualnya dalam masing-masing agama, dan para pemimpin negara
wajib memelihara budi pekerti yang luhur serta menjadi teladan bagi setiap
warga negara berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Pada tataran yang demikian itu,
berarti Sila Pertama Pancasila sebagai dasar filsafat negara: Ketuhanan Yang
Maha Esa, oleh karena itu pada simbolisasi didalam perisai ditempatkan ditengah
berupa Nur Cahaya berbentuk bintang
yang bersudut lima, maknanya adalah bahwa Sila pertama ini menerangi semua
empat sila yang lain atau menurut Mohammad Hatta, bahwa sila Ketuhanan Yang
Maha Esa merupakan dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk
menyelenggarakan yang baik bagi masyarakat dan penyelenggara negara. Dengan
dasar sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini, maka politik negara mendapat dasar
moral yang kuat, sila ini yang menjadi dasar yang memimpin ke arah jalan
kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan [50]
Hakekat Ketuhanan Yang Maha Esa
secara ilmiah filosofis mengandung makna terdapat kesesuaian hubungan antara
Tuhan, Manusia dengan negara. Hubungan tersebut baik bersifat langsung maupun
tidak langsung. Manusia kedudukan kodratnya adalah sebagai mahluk Tuhan Yang
Maha Esa, oleh karena itu harus mampu membangun tiga hubungan yang sinergis,
yaitu antara Manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia dan antara
manusia dengan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Berkaitan dengan konsep Pancasila dalam penjabaran
kedalam peraturan perundang-undangan, maka secara material nilai Ketuhanan Yang
Maha Esa merupakan sumber bahan dan sumber nilai bagi hukum positif Indonesia,
dalam pengertian ini Pembukaan UUD 1945
terdapat nilai-nilai hukum Tuhan (alinea III), hukum kodrat (alinea I), hukum
etis III) nilai-nilai hukum itu merupakan inspirasi dalam memformulasikan
materi muatan peraturan perundang-undangan.
Pembacaan Pancasila berthawaf atau selaras dengan semiotika hukum pembacaan
Pancasila berdasarkan Lambang Negara rancangan Sultan Hamid II. Transformasinya
pembacaan Pancasila berhawaf dapat menselaraskan dengan subtansi Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya
ketika penerapan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan (Pasal 6
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), sebagaimana paparan berikut ini.
Filsafat Hukum (Pancasila) dengan konsep pembacaan Pancasila
"berthawaf" secara ontologi adalah
berdasarkan hukum alam/yang berbasis spiritualis menawarkan cara-cara
untuk melengkapi pandangan ilmuwan hukum yang ada sebelumnya yang membaca
Pancasila dengan konsep hirarkis piramida, dengan menunjukan cara baru
bagaimana sejarah, semiotika dan
filsafat perkembangan pemikiran hukum dapat saling berhubungan secara harmonis.
Mendialogkan antara iman dan sains, hukum wahyu dan hukum dunia menjadi
penting, sekalipun barangkali pada satu titik tertentu masih belum diperoleh
titik temu. Dialog nilai merupakan sumbangan pemikiran yang amat menjanjikan di
masa mendatang itulah ilmuwan perlu merekonstruksi konsep-konsep yang
ditawarkan dalam tataran keilmuan, termasuk didalamnya ilmu hukum dan sekaligus
termasuklah didalamnya adalah ilmu hukum tata negara Indonesia.
Pada tataran yang demikian itu, maka model pembacaan Pancasila dengan
konsep pembacaan melingkar dengan gerak yang berlawanan dengan arah jarum
jam atau gerakan “berthawaf” berdasarkan
semiotika pada perisai Pancasila dalam lambang negara Republik Indonesia adalah
selaras dengan analisis sejarah hukum dan analisis semiotika hukum yang
kemudian disebut sebagai konsep semiotika hukum pembacaan Pancasila berdasarkan
lambang negara Republik Indonesia sebagai hasil rancangan yang dibuat oleh
Sultan Hamid II atau selaras dengan
pasal 48 UU No 24 Tahun 2009.
Adapun rumusannya adalah Sila Kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa
merupakan sila yang menjadi basis utama yang menerangi/nur cahaya keempat sila
lainnya. Paham ke Tuhanan itu diwujudkan dalam paham kemanusian yang adil dan
beradab. Dorongan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu menentukan
kualitas dan derajad kemanusiaan seseorang diantara sesama manusia, sehingga
peri kehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat tumbuh sehat dalam struktur
kehidupan yang adil, dan dengan demikian kualitas peradaban bangsa dapat
berkembang secara terhormat diantara bangsa–bangsa di dunia. Semangat Ketuhanan
Yang Maha Esa itu hendaklah pula
meyakinkan segenap bangsa Indonesia untuk bersatu padu dibawah tali Tuhan Yang
Maha Esa. Perbedaan-perbedaan diantara sesama warga negara Indonesia yang
berdasarkan Pancasila.
Dalam wadah negara, rakyatnya adalah warga negara. Karena itu, dalam
rangka dalam kehidupan kenegaraan, berbangsa dan bermasyarakat tidak perlu
dipersoalkan mengenai etnisitas, anutan agama,warna kulit, dan bahkan status
sosial seseorang, karena setiap warga negara adalah rakyat, dan rakyat itulah
yang berdaulat dalam negara Indonesia, dimana kedaulatannya itu diwujudkan
melalui mekanisme permusyawaratan dan dilembagakan melalui sistem perwakilan,
karena kedaulatan yang berada di tangan rakyat itu dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar dalam bingkai negara hukum dan pada akhirnya ditujukan
untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah konsep
negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa (pasal 29 ayat (1) UUD Neg RI 1945) yang berkedaulatan rakyat
menurut paham konstitusionalisme (Pasal 1 ayat (2) UUD Neg RI 1945) dalam wadah negara hukum (Pasal 1 ayat (3)
UUD Neg RI 1945) berdasarkan Pancasila (Alinea Keempat Pembukaan UUD Neg RI
1945) yang menjunjung tinggi nilai-nilai relegiositas yang berasal dari
sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa yang bersifat universal (asmaul husna) yang
diupayakan oleh manusia yang beraneka ragam suku bangsa tetapi berasal dari
diri yang satu atau satu diri, yaitu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.(Qur’an
Al Hujurat (49) ayat (13) dan Surah ke 4 Anisa ayat (1) atau dalam bahasa
semiotika lambang negara adalah Bhinneka Tunggal Ika. Bhina Ika, Tunggal Ika,
Beranekaragam itu dan satu itu beraneka ragam. Keragaman dalam persatuan dan
persatuan dalam keragaman.
Adapun konsepnya secara epistemologinya adalah sebagai berikut, bahwa
nilai Sila ke I dasar Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilambangkan dengan cahaya
dibagian tengah perisai Pancasila berbentuk bintang yang bersudut lima. Pada
tataran kenegaraan atau hukum tata Negara, yaitu ilmu perundang-undangan saat
ini realitas semiotika hukumnya adalah diwujudkan/dijabarkan sebagai “asas
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1)
huruf j Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), yaitu, bahwa setiap
materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara dan asas ini secara semiotika hukum tetap
menjadi basis sentral, oleh karena itu secara semiotika sila ke I diletakan
ditengah perisai merah putih dan ditempatkan pada perisai tersendiri berwarna
hitam sebagai warna alam dan Sila I yang dilambang dengan cahaya dibagian
tengah berbentuk bintang bersudut lima ini menyinari semua nilai-nilai ke empat
sila lainnya atau menjadi cahaya, yakni kepada sila II, III, IV dan V atau
menjadi “bintang pemandu” bagi keempat sila lainnya.
Secara teoritik atau konsepsional dapat dijelaskan konstruksi model
semiotika hukumnya, yakni sila I menjadi cahaya sila II dasar Kemanusian Yang
Adil dan Beradab yang dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan
persagi dibagian kiri bawah perisai Pancasila.
Maknanya bahwa hukum yang bersifat progresif mencerminkan HAM atau taat pada asas kemanusian (Penjelasan Pasal 6 Ayat
(1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia serta harkat martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia
secara proporsional dan taat pula pada asas Bhinneka Tunggal Ika (Penjelasan Pasal 6 Ayat
(1) huruf f Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan
berdasarkan latar belakang, antara lain; agama, suku, ras, golongan, gender,
atau status sosial serta setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara serta
taat pula pada asas Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum Dan Pemerintahan (Penjelasan Pasal 6 Ayat
(1) huruf h Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya setiap materi muatan
Peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama,
suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Kemudian sila I menjadi cahaya
Sila ke III dasar Persatuan Indonesia yang dilambangkan dengan pohon beringin
dibagian kiri atas perisai Pancasila, maknanya hukum yang bersifat progresif taat kepada asas Kebangsaan Penjelasan (Pasal 6 Ayat (1) huruf c Undang -Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan)
dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
Kemudian Sila I
menjadi cahaya sila IV dasar Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
dilambangkan dengan kepala banteng dibagian kanan atas perisai Pancasila,
karena produk hukum dalam hal ini peraturan perundang-undangan adalah hasil
dari sebuah hikmah kebijaksanaan sebagai perwujudan esensi semnagat demokrasi
untuk menterjemahkan suara rakyat tanpa mengenyampingkan suara kepentingan
pemerintah (negara), maknanya, bahwa hukum yang
bersifat Progresif haruslah taat kepada asas kekeluargaan (Penjelasan Pasal 6 Ayat
(1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan dan taat kepada asas Pengayoman (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap
materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan
perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
Kemudian Sila I
menjadi cahaya sila ke V dasar Keadilan Bagi seluruh rakyat Indonesia dilambangkan
dengan kapas dan padi dibagian kanan bawah perisai Pancasila. Maknanya bahwa
hukum yang bersifat progresif harus mewujudkan rasa keadilan masyarakat,
atau taat pada asas Keadilan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara tanpa kecuali dan taat pula pada asas Kenusantaraan (Penjelasan Pasal 6 Ayat
(1) huruf e Undang –Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila serta
taat pula pada asas Ketertiban dan Kepastian Hukum (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf i Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi Muatan Peraturan
Perundang-Undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan adanya kepastian hukum..
Dengan demikian pada tataran
perencanaan penyusunan UndangUndang dalam prolegnas sebagai skala prioritas
program pembentukan Undang-Undang dalam kerangka sistem hukum nasional[51] berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya Penempatan
Pancasila sebagai cita hukum dengan menempatkan Pancasila merupakan sumber
segala sumber hukum negara adalah sesuai
dengan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
alinea keempat dan sekaligus menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga materi muatan Peraturan
perundang-Undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila yang konsep pembacaan selaras dengan semiotika hukum pembacaan
Pancasila berdasarkan Lambang Negara Republik Indonesia (Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009), yaitu
pembacaan Pancasila dengan logosentrisme berthawaf.
Konstruksi hukum, bahwa Pancasila bukan hanya staatfundalmentalnorm (kaidah fundamental negara), sebagai cita hukum (rechtidee) yang dijadikan sumber segala
sumber hukum negara yang keberadaannya tidak hanya diluar konstitusi negara
(UUD Negara RI) 1945, tetapi menjadi bagian UUD Negara RI, 1945, sehingga
Pancasila tidak menjadi mitos, terlalu abstrak dan tidak cair, sebagaimana Pembacaan
Pancasila secara hirarkis piramida menurut pandangan Notonagoro dan dianut oleh
para penstudi hukum di Indonesia ketika memberikan penafsiran filsafat hukum
Pancasila.
Konsep Pembacaan Pancasila
secara hirarkis Piramida secara semiotika hukum harus diselaraskan dengan
pembacaan Pancasila berdasarkan Perisai Pancasila dalam Lambang Negara Republik
Indonesia (Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009). Sedangkan
Penjabaran Pancasila sebagai cita hukum atau Pancasila merupakan sumber segala
sumber hukum negara, dapat dijabarkan
atau diwujudkan secara semiotika hukum dengan menghubungkan dengan penerapan
asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan, sebagaimana dimaksud
Pasal 6 dan Penjelasannya dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Artinya
antara Pasal 2 jo Pasal 6 dan Penjelasannya dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 selaras dan korelasi yang jelas dengan Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2009.
Untuk menerapkan konsep Pembacaan
Pancasila “berthawaf” berdasarkan Lambang Negara Republik Indonesia kedalam
pemetaan suatu undang-undang akan lebih mudah untuk memetakan materi muatannya
dengan cara menstruktur pasal-pasal dalam sebuah Undang-Undang sesuai jenis
peraturan perundang-undangan yang diperintahkan/imperatif ke dalam bentuk
peraturan perundangan dari sisi penjabarannya, misalnya dari Undang-Undang ke
bentuk peraturan presiden. Memang kelihatan tidak hirarkis sesuai Pasal 7 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tetapi dengan bantuan model pembacaan
Pancasila berthawaf bisa dilacak keberadaannya, karena selama ini dalam hukum
tata negara, bahwa undang-undang harus dijabarkan kedalam Peraturan Pemerintah
sebagaimana dimaksud Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tetapi bisa saja
keberadaan Peraturan Presiden untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut
perintah dari undang-undang, atau
dari peraturan pemerintah yang secara
tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya (pasal 13 Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011). Artinya bisa jadi dalam satu Undang-Undang bisa dipetakan
sekian konsep pembacaan dengan struktur pola pembacaan Pancasila “berthawaf”.
Kemudian untuk memahami
hirarki peraturan perundang-undangan, maka secara teks hukum negara, pertanyaan
yang perlu diajukan adalah apa yang dimaksud dengan hirarki ? Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan pada penjelasan pasal 7 ayat (2) menyatakan,
bahwa dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan
Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan pengertian hirarki diatas, maka dimana
pengaturan tentang hirarki peraturan perundang-undangan dirumuskan secara teks
hukum negara ?
Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 mengatur jenis dan hirarki sebagai berikut:
(1)Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.Peraturan Pemerintah;
e.Peraturan Presiden;
f.Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2)Kekuatan hukum Peraturan
Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pertanyaan apakah jenis peraturan perundangan hanya yang
terpaparkan dalam hirarki sebagaimana dimaksud pasal 7 Ayat (1) saja ? UU Nomor 12 Tahun 2011 secara tegas
menyatakan pada Pasal 8
(1)
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,
Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.
Pasal 8 ayat (2) di atas memberikan penegasan tentang kekuatan
hukum terhadap peraturan
perundang-undangan yang selain dalam hirarki peraturan perundang-undangan pada
Pasal 7 ayat (1), yakni pertama sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pernyataan ini memberikan pemahaman,
bahwa apabila didalam peraturan perundang-undangan apakah berbentuk
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah
terdapat pasal yang teks normatifnya terdapat klasul, misalnya “lebih
lanjut diatur atau ditetapkan dengan peraturan menteri”, maka keberadaan peraturan
menteri tersebut mengikat secara hukum. Artinya keberadaannya diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apakah yang dimaksud peraturan menteri?, penjelasan Pasal 8 ayat
(1) UU Nomor 12 Tahun 2011 menjelaskan, bahwa yang
dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang ditetapkan oleh
menteri berdasarkan materi muatan
dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.
Yang
menjadi persoalan dalam tataran pratek selama ini setelah terbitnya UU nomor 12
Tahun 2011 masih ada Ketetapan Menteri tetapi materi muatannya bersifat
mengatur, bagaimana kekuatan hukumnya. Pasal 100 UU Nomor 12 menyatakan,
bahwa Semua Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau
keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya
mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai
sebagai peraturan, sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Kemudian pada pasal 8
ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 kedua menyatakan atau
dibentuk berdasarkan kewenangan. Pertanyaannya apa yang dimaksudkan berdasarkan
kewenangan ? Penjelasan pasal 8 ayat (2) menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan
Berkaitan penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan
sesuai dengan peraturan kewenangan bukan berarti kewenangan yang lepas dari
dasar hukumnya, karena didalam doktrin hukum administrasi negara dikenal
namanya instrumen pemerintahan dan salah satunya adalah peraturan
perundang-undangan. Selain itu adalah ketetapan Tata Usaha Negara, Peraturan
Kebijakan. Rencana, Perizinan.
Yang sering belum
terbangun kesepahaman dipublik adalah peraturan kebijakan. Oleh karena itu
untuk membangun kesepahaman perlu dipaparkan masalah ini. Mengapa demikian,
karena keberadaan peraturan kebijakan secara hukum tidak dapat dilepaskan
dengan kewenangan bebas dari pemerintah
yang sering disebut dengan istilah freis ermessen.
Secara bahasa Frei yang
artinya bebas, tidak terikat, dan merdeka. Freis artinya, orang yang bebas,
tidak terikat, merdeka. Ermesen artinya mempertimbangkan, menilai,
memperkirakan. Pengertian Freis Ermessen, yakni kebebasan yang
diberikan kepada alat administrasi, yakni kebebasan yang pada asasnya
memperkenankan alat administrasi negara mengutamakan kefektifan tercapainya
suatu tujuan dan berpegang teguh pada ketentuan hukum.
Penggunaan freis
Ermessen tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku
(kaidah hukum positif) dan penggunaan freis Ermesen hanya ditujukan untuk
kepentingan umum. Menurut Indroharto, pembuatan peraturan
kebijakan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:[52]
1. Ia tidak boleh
bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner yang
dijabarkan.
2. Ia tidak boleh
nyata-nyata bertentangan dengan nalar yang sehat.
3. Ia harus dipersiapkan
dengan cermat, semua kepentingan, keadaan-keadaan serta alternatif-alternatif
yang ada perlu dipertimbangkan.
4. Isi dari kebijakan harus
memberikan kejelasan yang cukup mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari
warga yang terkena peraturan tersebut.
5. Tujuan-tujuan dan
dasar-dasar pertimbangan mengenai kebijakan yang akan ditempuh harus jelas.
6. Ia harus memenuhi syarat
kepastian hukum material artinya
hak-hak yang diperoleh dari warga masyarakat yang terkena harus dihormati kemudian juga harapan-harapan
warga yang pantas telah ditimbulkan jangan sampai diingkari.
Berkaitan dengan enam hal
diatas, maka sebenarnya diskresi yang berdasarkan konsep freis Emerssen tidak
terlepas dari materi muatan peraturan
perundangan-undangan yang akan dijadikan sumber wewenangnya.
Untuk memahami sumber wewenang
tersebut, maka perlu dikaitkan dengan materi muatan peraturan peraturan
perundang-undangan sesuai dengan masing-masing jenis peraturan
perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 yang dijabarkan pada:
Pasal 10
(1) Materi muatan yang harus diatur
dengan Undang-Undang berisi:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai
ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk
diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian
internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah
Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam
masyarakat.
Pada penjelasan pasal 10 Huruf c menyatakan: Yang dimaksud dengan
“perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian internasional yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan
perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan DPR
Pada penjelasan Pasal 10 ayat (1)Huruf d, bahwa yang dimaksud dengan
”tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi” terkait dengan putusan
Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Materi muatan yang dibuat, terkait
dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 11
Materi
muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan
Undang-Undang.
Pasal 12
Materi
muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya.
Pasal 13
Materi
muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan
Peraturan Pemerintah, atau materi
untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Pasal 14
Materi
muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi
materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan
serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Materi muatan tidak terlepas dari struktur masing-masing jenis
peraturan perundang-undangan, oleh karena asas hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Jika kita menstruktur
kembali subtansi Pasal 7 ayat
1 “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan” terdiri atas:
a. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
·
Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia
dalam Peraturan Perundang-undangan, memuat dasar dan garis besar hukum dalam
penyelenggaraan negara. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
·
UUD1945
mulai berlaku sejak 18 agustus 1945 sampai 27 desember 1949.
·
Setelah itu
terjadi perubahan dasar negara yang mengakibatkan UUD 1945 tidak berlaku, namun
melalui dekrit presiden tanggal 5 juli tahun 1959, akhirnya UUD 1945 berlaku
kembali sampai dengan sekarang.
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
·
merupakan
putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan
rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR atau bentuk putusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan
(beschikking).
·
Pada masa
sebelum perubahan (amandemen) UUD 1945, ketetapan MPR merupakan Peraturan
Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas
Undang-Undang. Pada masa awal reformasi, ketetapan MPR tidak lagi termasuk
urutan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
·
Contoh : TAP
MPR NOMOR III TAHUN 2000 TENTANG SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
NOMOR III/MPR/2000
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
·
yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
Perlu diketahui bahwa undang-undang merupakan produk bersama dari presiden dan
DPR (produk legislatif), dalam pembentukan undang-undang ini bisa saja presiden
yang mengajukan RUU yang akan sah menjadi Undang-undang jika DPR menyetujuinya,
dan begitu pula sebaliknya.
·
Undang-Undang
memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi
politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan
tujuan dalam bentuk negara
Contoh : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR
32 TAHUN 2010 TENTANG “LARANGAN MEROKOK”
d.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa (negara dalam
keadaan darurat), dengan ketentuan sebagai berikut:
·
1)
Perpu dibuat
oleh presiden saja, tanpa adanya keterlibatan DPR.
·
2)
Perpu harus
diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
·
3)
DPR dapat
menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan.
·
4)
Jika ditolak
DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
Contoh : bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
hukum dan tuntutan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang
baru; diganti dengan : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13
TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
Contoh: PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
e.
Peraturan Presiden (PP)
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Peraturan
Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
f.
Peraturan Daerah Provinsi
·
Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
dengan persetujuan bersama Gubernur.
·
Peraturan
daerah dan keputusan kepala daerah Negara Indonesia adalah Negara yang menganut
asas desentralisasi yang berarti wilayah Indonesia dibagi dalam beberapa daerah
otonom dan wilayah administrasi. Daerah otonom ini dibagi menjadi daerah
tingkat I dan daerah tingkat II. Dalam pelaksanaannya kepala daerah dengan
persetujuan DPRD dapat menetapkan peraturan daerah. Peraturan daerah ini tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundangan diatasnya.
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota dengan persetujuan bersama Bupati
atau Walikota.
Kemudian dengan dikeluarkannya Permendagri
Nomor 53 Tahun 2011 produk hukum daerah dapat dikategorikan Pengaturan; dan Penetapan (pasal 2) dan yang bersifat pengaturan
terdiri dari Perda atau nama lainnya, Perkada; dan Peraturan Bersama KDH (pasal 3).
Kemudian biasanya yang menjadi pertanyaan publik adalah bagaimana
kedudukan surat edaran ? Dalam buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas cetakan
Edisi I Januari 2004 dan Permen Nomor 22 tahun 2008 yang diterbitkan oleh
KeMenpan, Pengertian Surat Edaran adalah Naskah Dinas yang memuat PEMBERITAHUAN
TENTANG HAL TERTENTU YANG DIANGGAP PENTING DAN MENDESAK.
Selanjutnya dalam Permendagri Nomor 55 tahun 2010
pasal 1 butir 43 dijelaskan:
- Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak
- Mengingat isi Surat Edaran hanya berupa pemberitahuan, maka dengan sendirinya materi muatannya tidak merupakan norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundangan-undangan. Oleh karena itu Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan Menteri, apalagi Perpres atau PP tetapi semata-mata hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan.
- Surat Edaran mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena surat edaran memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Surat Edaran bersifat pemberitahuan, tidak ada sanksi karena bukan norma.
Bahan Bacaan :
Ali,
Achmad, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia,
Bogor, 2011.
Ardhiwisastara,
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran
dan Konstruksi Hukum, Alumni,
Bandung, 2008.
Asshiddiqie,
Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010.
Asshiddiqie,
Jimly & M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
Chaidir,
Ellydar & Sudi Fahmi, Hukum
Perbandingan Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, 2010
D.H.M.
Meuwissen, Meuwissen Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan
Filsafat Hukum, terjemahan B. Arief Shidarta, PT. Refika Aditama, Bandung.
Hadjon, Philipus M. & Tatiek Sri
Djatmiati, Argumentasi
Hukum, Cetakan Keempat, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2009.
Leyh,
Gregory, Hermeneutika Hukum Sejarah,
Teori, Dan Praktik, terjemahan M. Khozim, Nusa Media, Bandung, 2008.
Mertokusomo,
Sudikno, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Ke 7, Liberty,
Yogyakarta, 2009.
Mertokusumo,
Sudikno & A. Pitlo, Bab-Bab Tentang
Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993.
Pontang
Moerad, B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara
Pidana, Alumni, Bandung, 2005.
Rifai,
Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam
Perspektif Hukum Progresif, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Shidarta,
“Karakteristik Penalaran Hukum Dalam
Konteks Keindonesiaan”, . Disertasi, Universitas Katolik
Parahyangan, 2004.
-----------,
“Penemuan Hukum Melalui Putusan Hakim”,
Makalah dibawakan pada Seminar Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk
Hakim Seluruh Indonesia di Hotel Grand Angkasa, Komisi Yudisial, Medan, 2 -
5 Mei 2011.
Shidarta,
B. Arief, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang
Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan
Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung 2000.
Soemantri,
Sri Soemantri, Hak Uji Material Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997.
Soeprapto,
Maria Farida Indrati, Ilmu
Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2010.
Soeprapto,
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007.
Soekanto, Soerjono & Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung 1993.
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[1] Farida
Indrati Soeprapto, Ilmu
Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2010, halaman
41.
[4]
Ibid, halaman 46.
[5] Ibid, halaman 48.
[6]Jimly Asshiddiqie & M. Ali
Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, halaman 171.
[7].Soerjono Soekanto & Purnadi
Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1993, halaman 88-92.
[8]Ellydar Chaidir & Sudi Fahmi,
Hukum Perbandingan Konstitusi, Total
Media, Yogyakarta, 2010, halaman 73-74.
[11]Maria
Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007, halaman 228.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[15] Sri Soemantri, Hak Uji
Material Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, halaman 6.
[18]Jimly Asshiddiqie, Model-Model
Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,
halaman 74.
[21]Shidarta, “Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks
Keindonesiaan”, (Disertasi, Universitas Katolik Parahyangan,
2004), halaman 486.
[22]B. Arief Shidarta, Refleksi
Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan
Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional
Indonesia, Mandar Maju, Bandung 2000, halaman 166-167.
[23] Shidarta, “Penemuan Hukum Melalui Putusan Hakim”,
Makalah dibawakan pada Seminar Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk
Hakim Seluruh Indonesia di Hotel Grand Angkasa, Komisi Yudisial, (Medan, 2
- 5 Mei 2011), halaman 3-4.
[26]Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cetakan
Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, halaman 89.
[28] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan Ketiga, Liberty, Yogyakarta, 2002,
halaman 85-87.
[29] Menurut
P.W. Brouwer sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon, dalam menghadapi
konflik antarnorma hukum, dapat dilakukan langkah praktis penyelesaian konflik
tersebut, yaitu:
a.
Pengingkaran (disavowal)
Langkah ini
seringkali merupakan suatu paradoks dengan mempertahankan tidak ada konflik
norma. Seringkali konflik itu terjadi berkenaan dengan asas lex specialis dalam
konflik pragmatis atau dalam konflik logika interpretasi sebagai pragmatis.
Suatu contoh yang lazim, yaitu membedakan wilayah hukum seperti antara hukum
privat dan hukum publik dengan berargumentasi bahwa 2 (dua) hukum tersebut
diterapkan secara terpisah meskipun dirasakan bahwa antara kedua ketentuan
tersebut terdapat konflik norma.
b. Penafsiran ulang (reinterpretation)
Dalam kaitan
penerapan 3 asas preferensi hukum harus dibedakan yang pertama adalah
reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti asas-asas preferensi, menginterpretasikan
kembali norma yang utama dengan cara yang lebih fleksibel
c. Pembatalan (invalidation)
Ada 2 macam, yaitu
abstrak normal dan praktikal. Pembatalan abstrak normal dilakukan misalnya oleh
suatu lembaga khusus, kalau di Indonesia pembatalan peraturan pemerintah (PP)
ke bawah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Adapun pembatalan praktikal yaitu
tidak menerapkan norma tersebut di dalam kasus konkret.
Di Indonesia,
dalam praktik peradilan, dikenal dengan mengenyampingkan. Contoh dalam kasus Majalah
Tempo, hakim mengenyampingkan Peraturan Menteri Penerangan oleh karena
bertentangan dengan Undang-Undang Pers.
d. Pemulihan (remedy)
Mempertimbangkan
pemulihan dapat membatalkan satu ketentuan. Misalnya dalam hal satu norma yang
unggul dalam overrulednorm. Berkaitan dengan aspek ekonomi, maka sebagai
ganti membatalkan norma yang kalah, dengan cara memberikan kompensasi. Philipus M. Hadjon & Tatiek Sri
Djatmiati, Argumentasi Hukum, Cetakan Keempat, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2009, halaman 31.
[30] Sudikno Mertokusumo & A.
Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum,
PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993, halaman 13.
[36]Pontang Moerad, B.M., Pembentukan
Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, Alumni,
Bandung, 2005, halaman 81.
[37]Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2008, halaman 7.
[38]Philipus M. Hadjon & Tatiek
Sri Djatmiati, Op. Cit, halaman 26.
[39]Achmad Ali, Loc. Cit. halaman
121.
[41]Ahmad Rifai, Loc. Cit,
halaman 62-72.
[43]Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori, Dan
Praktik, terjemahan M. Khozim, Nusa Media, Bandung, 2008, halaman 1.
[47] Ensiklopedia Pancasila, 1995,
halaman 274.
[50] Hatta, Panitia Lima, 1980 dalam
Kaelan, Pancasila Yuridis Kenegaraaan, Paradigma, Yogyakarta, edisi
ketiga, 1999, halaman 86.
[51]Yang dimaksud dengan “sistem
hukum nasional adalah suatu sistem hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua
elemennya serta saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka
mengantisipasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan berbangsa, bernegara,
dan bermasyarakat yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia, Penjelasan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
[52]
Indroharto, Perbuatan
Pemerintah Menurut hukum publik dan hukum Perdata, Jakarta, 1992, halaman
45-46.
26 komentar:
Nama : Bayu agustian
Nim : A01112008
Kelas : B Reg A
Komentar :
Menurut pendapat saya bahwasannya artikel yang bapak berikan telah mencakup suatu permasalahan serta telah menunjang perkembangan di bangsa ini. Serta mencakup beberapa gejala – gejala hukum yang terjadi. Pancasila adalah sumber hukum negara jika dilihat dari UU NO. 12 Tahun 2012 tentang pembentukan peraturan perundangan – undangan terpapar dalam pasal 2 menyatakan pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Memang benar Pancasila adalah sumber hukum yang dipilih negara sebagai cita hukum bagi pengembangan ilmu hukum. Menurut saya jika Indonesia masih terbelenggu dalam suatu paham patriotisme hukum dengan dorongan trobosan baru. Menurut saya salah karena pancasila adalah suatu sumber hukum yang erat di dalamnya telah mencakup berbagai element bangsa ini jadi menurut saya bahwa bangsa ini tidak perlu memikir suatu trobosan yang baru untuk mengatasi masalah hukum akan tetapi bangsa ini perlu untuk bagaimana menerapkannya. Dengan adanya teori Hirarki yang dikemukakan oleh Hans Kelsen bahwa suatu norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasarkan pada norma yang lebih tinggi demikian seterusnya. Dengan adanya teori ini sangat membantu bagi pembentukan konstitusi UU, Norma Fundamental setiap negara. Dari materi bapak ini yang telah diberikan saya sangat setuju karena sangat membantu dalam konflik untuk memahami suatu pembentukan perundang – undangan dan Pancasila sebagai sumber hukum.
Nama : Edy Marbun
NIM : A01112001
Kelas : B – Reg A
Mata Kuliah : Ilmu Perundang-undangan
Berdasarkan pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 Republik Indonesia pada aline ke IV Negara Indonesia adalah Negara yang berKetuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu sebaiknya sistem hukum Indonesia selalu berkomitmen bahwa Pancasila adalah pilihan untuk bernegara hukum sekaligus sebagai cita hukum bagi pengembangan ilmu hukum yang selaras dengan jiwa bangsa Indonesia. Indonesia tidak perlu memaksakan teori-teori asing yang ada dan terselenggara di Negara lain karena menurut saya, Pancasila sebagai dasar Negara dan bukan termasuk hukum positif untuk selalau dijaga komitmen Negara.
Pancasila lahir dari sebuah perjanjian luhur berdasarkan hasil musyawarah para founding father (pendiri bangsa dan negara) Indonesia dalam sidang BPUPKI yang dilaksanakan selama dua kali masa persidangan, yaitu pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 dan 10-16 Juni 1945. Sejak pertama kali ditetapkan sebagai dasar negara oleh Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, tepat satu hari setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekannya, Pancasila dianggap sebagai sublimasi dari pandangan hidup dan nilai-nilai budaya yang mampu menyatukan bangsa Indonesia dengan keberagaman suku, ras, bahasa, dan agama, sehingga keberadaannya dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun sosio-kultural. Moral dalam arti tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama yang berlaku di Indonesia, sosio-kultural berarti mencerminankan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Dan semua aspek kehidupan sudah tercatut sepaket dalam Pancasila sebagai dasar Negara.
Menurut saya Negara Indonesia tidak perlu terbelenggu lagi dengan teori-teori asing yang bertebaran di luar sana karena Pancasila sebagai dasar Negara dan filter dalam era globalisasi dewasa ini sudah sangat baik. Namun terkadang ,masyarakat yang tidak bisa menerima dan terbiasa dalam proses globalisasi dewasa ini yang lama kian lama semakin cepat. Negara Indonesia hanya perlu berkomitmen dan berpegang teguh dalam proses bernegara di Indonesia. Sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila harus benar-benar dijadikan sebagai acuan dasar hukum dan dasar moral dalam penyelenggaraan bernegara. Sebagai ideologi atau pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila perlu benar-benar di hayati sebagai suatu sistem nilai yang dipilih dan didianut oleh bangsa Indonesia karena kebaikan, kebenaran, keindahan dan manfaatnya bagi bangsa Indonesia, sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari yang pengamalannya bersifat subjektif, artinya tergantung kepada individu yang bersangkutan. Karena berbagai tantangan yang dihadapi dalam menjalankan ideologi Pancasila, sejatinya tidak akan mampu untuk menggantikankan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, Pancasila harus terus dipertahankan oleh segenap bangsa Indonesia sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia, karena Pancasila merupakan nyawa yang telah tertanam sejak bangsa dan negara Indonesia lahir.
Terimakasih.
Nama : Hizki Alfredo S
Nim : A01112010
Kelas : B/Reguler A
Mata Kuliah : Ilmu perUndang Undagan
Menurut saya pemberlakuan undang undang di negara kita Indonesia ini belum berjalan atau terlaksana secara baik dan tegas,saya mengatakan dikarenakan masih adanya antara undang undang atau pasal pasal saling bersinggugan atau saling bertabrakan sehingga menimbulkan suatu cacat Hukum yang dapat merugikan orang banyak,ada juga suatu contoh ketidak adilan yaitu kasus pencurian 3 buah Kakao (coklat) yang harganya hanya Rp.2000 yang dilakukan oleh seorang ibu yg bernama “Minah”,yang mendekam dijeruji besi selama beberapa bulan,sedangkan kasus lain seorang penjabat yang melakukan tindak pidana korupsi bermiliyaran rupiah juga dituntut beberapa bulan penjara juga.Contoh kasus ini menunjukkan bahwa pemberlakuan undang undang di Negara Indonesia masih menimbulkan ketidak adilan dan menimbulkan ketidak pastian Hukum.Jadi menurut saya pemberlakuan undang undang di Indonesia harus lebih tegas lagi,dan tidak memandang status,jabatan,suku,etnis,harta, bahkan keluarga dekat sekalipun dan juga yang lainnya. Undang undang di Indonesia harus lebih memerhatikan suatu keadilan di setiap lapisan dan kepastian Hukum bagi setiap masyrakat dan yang terakhir undang undang di Indonesia harus mempunyai rumusan/tujuan yang jelas agar tidak adanya kesinggugan antara satu pasal dengan pasal yang lainnya sehingga undang undang tersebut dapat mengayomi Negara kita ini menjadi lebih baik dan menjadi Negara Panutan dan disegani oleh bangsa bangsa lainnya yang berasaskan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Terima kasih
Nama:oktonius
NIM:A01112283
Kelas:B Reg A
Mata kuliah:Ilmu perundang-undangan
Menurut pendapat saya dalam UU No 12 Tahun 2011 tersebut ditegaskan,bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya. Artinya ketentuan ini memulihkan kembali keberadaan Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang kekuatan hukumnya lebih kuat dari UU.
Suatu hal yang baru dalam UU No 12 Tahun 2011 adalah adanya peraturan lain selain dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang sudah disebutkan. Peraturan lain tersebut yakni mencakup peraturan yang ditetapkan MPR, DPR, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, Badan, Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU , DPRD Pripvinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Kedudukan dan kekuatan hukum dari peraturan yang dibentuk lembaga-lembaga/instansi tersebut diakui keberadaaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Memahami UU No 12 Tahun 2011 sebagai pengganti UU No.10 tahun 2004, maka setidaknya beberapa persoalan yang terjadi dalam teknis pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dibawah UU No 10 Tahu 2004 — khususnya terhadap pengeluaran Tap MPR dari jenis dan susunan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia— dapat diatasi dan dikembalikan pada posisi yang benar dan konsistensi terhadap tertip hukum kembali ditegakkan. Dan hal ini sejalan dengan apa yang disebutkan dalam penjelasan UU No 12 Tahun 2011, bahwa materi UU No.10Tahun 2004 banyak menimbulkan kerancuan dan multi tafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum. Tetapi sekali lagi UU No 12 Tahun 2011 dalam menjelaskan dalam penjelasannya terdapat materi baru yang diatur, dan materi baru itu disebutkan menambahkan Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-Undangan dan hierarkhinya ditempatkan dibawah UUD. Dan hal ini sebenarnya bukan materi baru, melainkan adanya kelalaian dan kealfaan dalam membentuk dan menyusun UU No 10 Tahun 2004. Sebab sudah terang adanya dalam TAP MPR No III/MPR/2000 sudah ditetapkan Tap MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya setingkat dibawah UUD 1945. Jadi dimasukannya kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan perundang-undangan dalam UU No 12 Tahun 2011 sesungguhnya bukanlah penambahan materi baru, melainkan memperbaiki kesalahan pembentuk UU dalam menyusun dan membentuk UU sebelumnya yang digantikan UU No 12 tahun 2011.
Terima kasih.
NAMA : HENI
NIM : A01112157
M.K : ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Pancasila dalam kedudukannya ini sering disebut sebagai Dasar Filsafat atau Dasar Falsafah Negara (Philosofische Gronslag) dari Negara, ideologi Negara atau (Staatsidee). Dalam pengertian ini pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan Negara atau dengan kata lain perkataan. Pancasila merupakan suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan Negara. Konsekuensinya seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara terutama segala peraturan perundang-undangan termasuk proses reformasi dalam segala bidang dewasa ini dijabarkan dan diderivasikan dari nilai-nilai pancasila. Maka pancasila merupakan Sumber dari segala sumber hukum , pancasila merupakan sumber kaidah hukum Negara yang secara konstitusional mengatur Negara Republik Indonesia beserta seluruh unsur-unsurnya yaitu rakyat wilatah, beserta pemerintah Negara Sebagai dasar Negara, Pancasila merupakan suatu asas kerokhanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita- cita hukum, sehingga merupakan suatu sumber nilai, norma serta kaidah, baik moral maupun hukum Negara, dan menguasai hukum dasar baik yang tertulis atau Undang- Undang Dasar maupun yang tidak tertulis atau Dalam kedudukannya sebagai dasar Negara, Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Sebagai sumber dari segala hukum atau sebagai sumber tertib hukum Indonesia maka Setiap produk hukum harus bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.
NAMA :WAHYU ILAHI
NIM :A01112077
KELAS : B (Reg A)
MATA KULIAH : ILMU PERUNDANG UNDANGAN
SEMESTER : 4
Assallamualaikumwarrahmatullohiwabarakatu...
Salam Hormat
dalam gagasan yg disampaikan pak Turiman sangat menarik untuk di simak dan di cermati dalam suatu penyampaian atas penelitian.oleh karena itu saya disini ingin memberikan suatu gagasan pendapat dari refrensi dan literatur lainnya,agar bisa sama memberikan suatu gagasan pendapat yang sama.
Dalam kerangka berfikir mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, pasti tidak terlepas dalam benak kita menganai Teori Stuffen Bow karya Hans Kelsen (selanjutnya disebut sebagai ”Teori Aquo”). Hans Kelsen dalam Teori Aquo mambahas mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan.
Namun sekarang Teori Aquo semakin diperjelas dalam hukum positif di Indonesia dalam bentuk undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Undang-undang menganai pembentukan peraturan perundang-undangan pertama kali dipositifkan dalam Undang-Undang Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut sebagai ”UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2004”). UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2004 setidak-tidaknya mengatur mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan.
Namun sayangnya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundangundangan yang baik sehingga perlu diganti. Kemudian, pergantian tersebut ditandai dengan adanya undang-undang terbaru mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembetukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut sebagai ”UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2011”; download klik disini --> UU 12/2011). UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 2011 secara umum Secara umum memuat materi-materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut: asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan, Peraturan Perundang-undangan; perencanaan Peraturan Perundangundangan; penyusunan Peraturan Perundang-undangan; teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang; pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah.
Sebagai penyempurnaan terhadap UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2004, UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2011 memuat materi muatan baru yang ditambahkan, yaitu antara lain:
a. penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
c. pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
e. pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
f. penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang ini.
sekian pendapat gagasan dari saya.....
wassalamualaikum warrahmatullohiwabarokatu.....
Nama : Hendra Kesuma
NIM : A01112190
Kelas : B Reg. A
Matakuliah : Ilmu Perundang-Undangan
Komentar :
Saya sependapat dengan bapak, semuanya telah mecakup apa yang di perlukan Undang-Undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 "bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang menjamin perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam UU No.12 Tahun 2011 pasal 7 ayat 1 disebutkan Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dan kekuatan hukumnya ditegaskan pada pasal 7 ayat 2 :
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Jenis Peraturan Perundang-undangan ini mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Suatu undang-undang yang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sedangkan, suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
NAMA : ALIF HAMDU S.P
NIM : A01112291
KELAS : B Reg A
MATA KULIAH : ILMU PERUNDANG - UNDANGAN
SEMESTER : 4/IV
Assallamualaikumwarrahmatullohiwabarakatuh
Saya Sependapat dengan gagasan yang disampaikan oleh pak Turiman sangat menarik buat saya untuk di simak dan di cermati dalam suatu penyampaian atas penelitian.oleh karena itu saya disini ingin memberikan pendapat dari refrensi lain,agar bisa memberikan suatu gagasan pendapat yang sama.
Dalam kerangka berfikir mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, pasti tidak terlepas dalam benak kita menganai Teori Stuffen Bow karya Hans Kelsen (selanjutnya disebut sebagai ”Teori Aquo”). Hans Kelsen dalam Teori Aquo mambahas mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan.
Diperjelas dalam hukum positif di Indonesia dalam bentuk undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Undang-undang mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan pertama kali dipositifkan dalam Undang-Undang Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut sebagai ”UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2004”). UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2004 setidak-tidaknya mengatur mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan.
Namun sayangnya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundangundangan yang baik sehingga perlu diganti. Kemudian, pergantian tersebut ditandai dengan adanya undang-undang terbaru mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembetukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut sebagai ”UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2011”). secara umum Secara umum memuat materi-materi pokok yang disusun secara sistemati. Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan, Peraturan Perundang-undangan; perencanaan Peraturan Perundangundangan; penyusunan Peraturan Perundang-undangan; teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang; pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah.
sekian pendapat dari saya,jika ada kekukarangan mohon dimaklumi
Wassalamualaikum Warrahmatullohiwabarokatuh
NAMA : ASRI MULYANAH
NIM : A01112176
KELAS : B
REG : A
M.KULIAH : ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
menurut saya teori hirarki pada hukum saat ini bukan hanya hukum normatif semata artinya di dalam konteks pemahaman tidak cukup kalau hukum hanya dipahami secara yuridis normatif. teori hirarki hans kelsen berupa (a)staatsfundamentalnorm, bersifat presupposed dan axiomatis. (b)staatgrundgesetz, bersifat general (umum). (c)formellgesetz, bersifat spesifik (tidak umum/khusus). (d)verordnng satzung, peraturan perundang-undangan yang dibentuk berdasarkan pelimpahan kewenangan pengaturan dari uu/peraturan perundang-undangan diatasnya kepada peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. (e)atonome satzung, peraturan perundang-undangan yang dibentuk berdasarkan pemberian kewenangan pengaturan dari suatu uu kepada suatu lembaga pemerintah. penalaran hukum itu sendiri berupaya mewujudka konsistensi dalam aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, serta berupaya memelihara kontinuitas dalam waktu konsistensi historikal. dalam proses penerapan hukum mempunyai 2 teknis yaitu penalaran induksi dan deduksi. melalui langkah ini, hakim pengadilan pada tingakat pertama dan kedua adalah judex facti. langkah penerapan huku ini harus diawali dengan identifikasi aturan hukum. di dalam pasal 5 ayat (1) undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman menetukan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. pancasila sebagai sumber hukum negara menggunakan uu nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang dijelaskan di dalam pasal 2 yaitu bahwa penempatan pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan pembukaan undang-undang dasar negara republik indinesia tahun 1945 alinea ke-4. konsep pembacaan pancasila secara hirarki piramida ini secara semiotika hukumnya harus diselaraskan dengan pembacaan pancasila berdasarkan perisai pancasila dalam lambang negara republik indonesia pasal 48 ayat 2 undang-undang nomor 24 tahun 2009.
NAMA : OSCAR LARICI
NIM : A01112260
KELAS : B Reg. A
MATA KULIAH : ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
Komentar :
Saya sangat setuju dengan gagasan yang sudah bapak Turiman kemukakan. karena menurut saya penyampaian dalam gagasan ini sangat jelas dan lugas, lebih mudah dipahami dan tidak memberatkan para pembaca untuk berfikir lagi.. yang saya dapat ambil dalam gagasan bapak yaitu mengenai hierarki peraturan perundang undangan.
Menurut pendapat saya,Hirarki peraturan perundang-undangan adalah urutan sistematis peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi hingga terandah. Peraturan yang lebih tinggi menjadi sumber dan dasar peraturan-peraturan dibawahnya. Setiap peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya.dan juga memiliki suatu tingkatan misalnya : Pancasila
Kedudukan Pancasila dalam hirarki ini berada di tingkat teratas. artinya, pancasila merupakan sumber dari segala peraturan hukum di Indonesia.
UUD '45
Undang-Undang Dasar 1945 yang telah 4 kali diamandemen berada dibawah pancasila. Sebagai konstitusi negara, UUD '45 bersumber dari Pancasila dan bersifat umum.
Undang-Undang/Perpu
Undang-Undang merupakan aturan pelaksana undang-undang dasar masih bersifat umum akan tetapi sudah terkonsentrasi pada satu pokok pengaturan. aturan-aturan ini tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang Dasar. contoh: Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Dalam hal mendesak suatu Undang-Undang tidak diberlakukan atau dicabut dan belum ada penggantinya, diberlakukanlah Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) untuk menghindari kekosongan hukum.
UU tidak boleh bertentangan dengan UUD '45, dalam hal ini dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi yang bertugas mengawal UUD '45.
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah (PP) merupakan aturan pelaksana undang-undang, sifatnya teknis mengatur lebih rinci bagaimana undang-undang dilaksanakan. PP tidak boleh bertentangan dengan UU dan UUD '45.
Perda
Peraturan Daerah (Perda) adalah aturan hukum produk daerah yang dibuat berdasarkan peraturan perundangan diatasnya (UU, PP) yang mengatur hal-hal teknis di daerah dan tidak diatur secara rinci pada peraturan perundagan atau PP. Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya dan harus berdasarkan peraturan diatasnya.
Mengaitkan pengertian otentik tentang peraturan perundang-undangan berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 dengan pengertian secara teoritik, maka diperoleh pemahaman mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan mengandung unsur-unsur pengertian sebagai berikut:
1. proses pembuatan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum;
2. dilakukan oleh badan atau pejabat yang berwenang; dan
3. yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan.
20.Dengan demikian pembentukan peraturan perundang-undangan daerah dapat dimengerti sebagai proses pembuatan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum yang dilakukan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang di daerah, yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Oleh karena Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan perundang-undangan daerah.
Nama : Lidwina
NIM : A1011131147
Mata Kuliah : Ilmu Perundang-undangan
Kelas : B (Reg A)
Terima kasih saya ucapkan atas ulasan pembahasan “TEORI HIRARKI DAN KEBERLAKUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SERTA MEMAHAMI PANCASILA SEBAGAI SUMBER HUKUM NEGARA”. Blog bapak sangat bermanfaat bagi kami. Saya sangat setuju dengan apa yang telah bapak sampaikan diatas. Kita sebagai warga negara Indonesia yang baik haruslah menjujung tinggi apa yang menjadi landasan negara kita ini yaitu Pancasila, bukan mengikuti apa yang menjadi landasan negara lain. Kita harus bangga dengan landasan negara kita, bukan menjatuhkan ataupun menyembunyikannya
Hirarki ,dalam tataran pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori jenjang hukum (Stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed. Dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki peraturan perundang-undangan. Ada peraturan perundang-undangan yang mempunyai tingkatan yang tinggi dan ada yang mempunyai tingkatan lebih rendah. Pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Sekian komentar dari saya, jika ada kekurangan mohon dimaklumi. Terima kasih
Nama : Yaned Saputri Adha
NIM : A1011131118
Mata Kuliah : Ilmu perundang-undangan
kelas : B Reg A
Pertama-tama saya ucapkan terima kasih atas pembahasan di atas. Tulisan bapak saya yakin sangat bermanfaat bagi saya dan juga teman-teman saya. Baiklah, teori hirarki merupakan teori perjenjangan dari suatu norma hukum yang ada di Indonesia, tersusun dari yang tinggi ke yang rendah. Saya sangat suka atas ulasan bapak di atas. juga kita sebagai warga negara indonesia yang baik dan benar juga haruslah menjujung tinggi apa yang menjadi dasar hukum negara kita, bukan merendahkan, menginjak-injak dasarnegara sendiri dan membanggakan dasar negara lain. Kita juga harus mengajarkan kepada anak cucu kita tentang mencintai dan menghargai dasar negara kita sendiri agar dasar negara kita selalu menjadi yang tinggi tanpa ada satupun yang bisa menjatuhkannya. sekian dan terima kasih
NAMA :Teresa Dwi Octavia
NIM : A1011131012
ANGKATAN : 2013
MATA KULIAH : Ilmu Perundang-undangan
KELAS : B (Reguler A)
Pertama-tama saya ucapkan terimakasih atas pembahasan dalam blog bapak ini, menurut pendapat saya,Hirarki peraturan perundang-undangan adalah urutan sistematis peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi hingga terandah. Peraturan yang lebih tinggi menjadi sumber dan dasar peraturan-peraturan dibawahnya. Setiap peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya.dan juga memiliki suatu tingkatan misalnya : Pancasila. Kedudukan Pancasila dalam hirarki ini berada di tingkat teratas. artinya, pancasila merupakan sumber dari segala peraturan hukum di Indonesia. Pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Sekian dan terimakasih.
NAMA : VIVIAN CANCER
NIM : A1011131100
ANGKATAN : 2013
MATA KULIAH : Ilmu Perundang-undangan
KELAS : B (Reguler A)
Pertama saya ucapkan salam hormat, dan terima kasih atas pembahasan yang sudah bapak kemukakan tentang “TEORI HIRARKI DAN KEBERLAKUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SERTA MEMAHAMI PANCASILA SEBAGAI SUMBER HUKUM NEGARA” pembahasan bapak sudah cukup mudah untuk dipahami oleh para pembaca.
Menurut saya berlakunya UU No 12 tahun 2011 sebagai pengganti UU No 10 tahun 2004, perubahan tersebut nampak dari pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011, yang sebelumnya di dalam UU No. 10 Tahun 2004, TAP MPR tidak lagi di cantumkan di dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan namun semenjak berlakunya UU No 12 tahun 2011 maka TAP MPR diposisikan di dalam derajat kedua setelah UUD NRI 1945 dan di atas Undang-undang. Munculnya pengaturan dalam Pasal 7 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 yang mengkategorikan bahwa TAP MPR merupakan bagian dari jenis dan hierarki Peraturan –perundang-undangan yang bersifat regeling(mengikat secara umum) dan berada di bawah UUD NRI 1945 adalah akibat masih berlakunya beberapa TAP MPRyang hal tersebut di nyatakandi dalam TAP MPR No 1/MPR/2003. Dalam TAP MPR No 1/MPR/2003 ini mengelompokkan 139 TAP MPRS dan TAP MPR yang sudah ada ke dalam enam kelompok status baru sebagaimana dikemukakan sebelumnya. Meskipun Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 mengkategorikan TAP MPR termasuk bagian dari jenis dan hierarki peraturan perundang-Undangan, dan Pancasila sebagai sumber Hukum dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamental norm berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma dasar serta melihat hubungan antara Pancasila dan UUD 1945.
Sekian yang bisa saya paparkan, jika ada kesalah dan kekurangan dalam gagasan ini harap dimaklumi.
Terima kasih .
NAMA : INDRA AFRIYANSYAH
NIM : A1012141023
MATA KULIAH : ILMU PERUNDANG - UNDANGAN
KELAS : B REG B, SEMESTER : 3
TAHUN AKADEMIK 2015/2016
Seperti telah dikemukakan, proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara telah melibatkan berbagai komponen bangsa. walaupun setelah jatuhnya Presiden Soeharto sebgai Presiden RI kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dipermasalahkan oleh berbagai kelompok masyarakat. subtansi yang terdapat dalam Tap MPR-RI No.XVIII/MPR/1998, tetap mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dan sebagai ideologi nasional yang merupakan cita - cita dan tujuan negara. Artinya ialah bahwa Pancasila merupakan pola berpikir atau kerangka berpikir bangsa Indonesia, merupakan landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. bahwa setiap gerak langkah bangsa dan negara ini harus selalu dilandasi oleh sila-sila dalam Pancasila.
Sebagai negara hukum, setiap perbuatan, baik dari warga maupun para pejabat ( yang disana sini itu, yang selalu muncul di televisi dengan masalahnya dan membuat publik geram ) harus berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Hukum tertulis yang akan dibentuk atau ditetapkan harus berlandaskan dasar negara, seperti tercermin dalam sila - sila Pancasila. Hukum tertulis seperti UUD termasuk perubahannya, juga undang - undang dan peraturan perundang - undangan lainya harus mengacu pada dasar negara. Namun dalam pelaksanaannya atau dalam menjalankan amanah peraturan perundang - undangan oleh oknum - oknum tertentu dapat tidak diharuskan artinya dapat diselewengkan, dicurangi peraturan yang ada.
Dengan demikian, subtansi hukum tertulis yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau penjabaran sila - sila dalam Pancasila, sekurang - kurangnya tidak bertentangan sajalah. Dalam istilah hukum, substansi produk hukum yang merupakan penjabaran/perwujudan nilai - nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan karakter produk hukum responsif, artinya untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujudan aspirasi rakyat,...
ayooo,..bangkitkan Pancasila sebagai paradigma dalam pengembangan hukum di Indonesia.
Terima kasih,.
NAMA : DWI UTAMI
NIM : A1012141013
MATA KULIAH : ILMU PERUNDANG - UNDANGAN
KELAS : B REG B, SEMESTER : 3
TAHUN AKADEMIK 2015/2016
Sebelumnya saya ingin berterimakasih kepada Bapak Turiman yang telah memberi ulasan materi tentang “TEORI HIRARKI DAN KEBERLAKUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SERTA MEMAHAMI PANCASILA SEBAGAI SUMBER HUKUM NEGARA”. Blog bapak sangat bermanfaat bagi kami. Saya sangat setuju dengan apa yang telah bapak sampaikan diatas. Kita sebagai warga negara Indonesia yang baik haruslah menjujung tinggi apa yang menjadi landasan negara kita ini yaitu Pancasila, bukan mengikuti apa yang menjadi landasan negara lain. Kita harus bangga dengan landasan negara kita, bukan menjatuhkan ataupun menyembunyikannya.
Hirarki ,dalam tataran pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori jenjang hukum (Stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed. Dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki peraturan perundang-undangan. Ada peraturan perundang-undangan yang mempunyai tingkatan yang tinggi dan ada yang mempunyai tingkatan lebih rendah. Pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Demikian komentar yang dapat saya berikan. Semoga blog bapak ini bisa senantiasa berguna bukan hanya untuk saya, tetapi juga untuk seluruh mahasiswa hukum. Dan semoga bangsa Indonesia kelak bisa menjadi bangsa seperti yang dicita-citakan masyarakatnya dan semoga bangsa Indonesia bisa terus menjunjung tinggi nilai-nilai yang ada dalam Pancasila.
Wassalamualaikum wr.wr.
NAMA : SYAHRIL
NIM : A1012131070
MK : ILMU PERUNDANG UNDANGAN
REG : B ( 2014/2015 )
KELAS: B
DOSEN : TURIMAN FATURACHMAN SH,M.Hum
Assalamualaikum wrbr..
Peraturan perundang-undangan secara kodifikasi yaitu penyusunan dan penetapan perundang-undang secara sistematis mengenai bidang hukum yang agak luas dan dikumpulkan dalam suatu kitab, bentuk hukum ini diperbaharui namun isinya diambilkan dari hukum yang sudah ada, otomatis dengan perubahan dan perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin cepat hanya akan menyebabkan hukum selalu berjalan di belakang dan akan ketinggalan zaman. Sedangkan modifikasi adalah peraturan perundang-undangan yang menetapkan peraturan-peraturan baru dan yang mengubah hubungan-hubungan social.
Dalam penerapannya, baik dengan kodifikasi maupun modifikasi terdapat berbagai keuntungan dan kerugian. Apa bila dipakai cara kodifikasi , seseorang akan dengan mudah menemukan peraturan mengenai suatu bidang hukum, karena terkumpul dalam suatu kitab undang-undang. Selain itu akan mudah diterima oleh masyarakat karena di dalamnya terdapat nilai-nilai yang telah mengendap dalam masyarakat. Kerugiannya adalah bahwa dalam pembentukannya memerlukan waktu yang lama (dan sering ketinggalan zaman), selain itu kodifikasi akan sulit melakukan perubahan prinsipil hukum itu, dan Dan juga setiap peraturan yang di bentuk setingkat oleh pemerintah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan . Serta asas-asas formal, material, dan materi muatan yang berperan dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang lebih baik juga pula..
Nama : Wildan Adam Maulana
NIM : A1012141113
Mata Kuliah : ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
Kelas : B (REGULER B 2014) SEMESTER 3
Dosen : Turiman Fachturahman Nur SH, MH
Assalammu'alaikum wr.wb
Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih kepada dosen pengajar,bapak Turiman Fachturahman Nur,SH,MH atas pembelajaran atau materi yang diberikan dalam perkuliahan mengenai " TEORI HIRARKI DAN KEBERLAKUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SERTA MEMAHAMI PANCASILA SEBAGAI SUMBER HUKUM NEGARA”
Berdasarkan pengertian hirarki diatas, maka dimana pengaturan tentang hirarki peraturan perundang-undangan dirumuskan secara teks hukum negara ?
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur jenis dan hirarki sebagai berikut:
(1)Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.Peraturan Pemerintah;
e.Peraturan Presiden;
f.Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pertanyaan apakah jenis peraturan perundangan hanya yang terpaparkan dalam hirarki sebagaimana dimaksud pasal 7 Ayat (1) saja ? UU Nomor 12 Tahun 2011 secara tegas menyatakan pada Pasal 8
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Pasal 8 ayat (2) di atas memberikan penegasan tentang kekuatan hukum terhadap peraturan perundang-undangan yang selain dalam hirarki peraturan perundang-undangan pada Pasal 7 ayat (1), yakni pertama sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Saya kira hanya itu yang dapat saya sampaikan kurang lebihnya mohon maaf wassalamualaikum wr.wb
NAMA : PANCARI MUCHAIRIL
NIM : A01112119
KELAS : A
REG : A
M.KULIAH : ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
Pertama saya ucapkan salam hormat, dan terima kasih atas pembahasan yang sudah bapak kemukakan tentang “TEORI HIRARKI DAN KEBERLAKUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SERTA MEMAHAMI PANCASILA SEBAGAI SUMBER HUKUM NEGARA” pembahasan bapak sudah cukup mudah untuk dipahami oleh para pembaca.
Menurut saya penerapan undang undang di negara kita Indonesia ini belum terlaksana secara baik dan tegas,saya mengatakan dikarenakan masih adanya antara undang undang atau pasal pasal saling bersinggugan atau saling bertabrakan sehingga menimbulkan suatu cacat Hukum yang dapat merugikan orang banyak,banyak kasus tindak pidana kejahatan di negara ini namun pemberian sanksi dan penegakan hukumnya tidak 100% berjalan sesuai peraturan perundangan2an yang berlaku , apalagi ditambah dengan banyak nya pihak penegak hukum yg korup demi memperkaya diri dengan tidak memperdulikan orang lain menunjukan Negara Indonesia masih menimbulkan ketidak adilan dan menimbulkan ketidak pastian Hukum.Jadi menurut saya pemberlakuan undang undang di Indonesia harus lebih tegas lagi,dan tidak memandang status,jabatan,suku,etnis,harta, bahkan keluarga dekat sekalipun dan juga yang lainnya. Undang undang di Indonesia harus lebih memerhatikan suatu keadilan di setiap lapisan dan kepastian Hukum bagi setiap masyrakat dan yang terakhir undang undang di Indonesia harus mempunyai rumusan/tujuan yang jelas agar tidak adanya kesinggugan antara satu pasal dengan pasal yang lainnya sehingga undang undang tersebut dapat mengayomi Negara kita ini menjadi lebih baik dan menjadi Negara Panutan dan disegani oleh bangsa bangsa lainnya yang berasaskan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Terima kasih
setap pembentukan dan keberlakuan peraturan perundang-undangan perlu adanya dasar keberlakuan dan asas-asas pembentukannya, apabila tanpa adanya dasar keberlakuan peraturan Perundang-undangan; secara Yuridis, sosiologis dan filosofis, serta asas-asas pembentuaknya yakni asas materiil dan asas formiil. tentu peraturan perundang-undangan tersebut tidak memiliki kekuatan dasar keberlakuannya. apabila pembentukannya didasarkan pada beberapa dasar keberlakuan dan asas-asas pembentuakannya maka tentupula memiliki kekuatan keberlakuannya.dengan demikian maka, setiap produk hukum yang dibentuk oleh badan yang berwewenang dapat bermanfaat dan diterima oleh masyarakat serta patut ditaati.
by. Lourenco de Deus Mau Lulo.
Nama : SYHINTA BELLA DWI LESTARI
Nim : F1221151012
Makul : Hukum Tata Pemerintah
Prodi : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Smstr : 4 (Reg A)
Assalamualaikum Wr. Wb
Terimakasih atas pengetahuan yang telah disampaikan dalam TEORI
HIRARKI DAN KEBERLAKUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SERTA MEMAHAMI
PANCASILA SEBAGAI SUMBER HUKUM NEGARA, sangat menambah pengetahuan
saya dalam memahami tentang problematika hukum saat ini. Hal yang
sangat menarik perhatian saya ialah bahwa problematika hukum saat ini
bukan hanya problematika normatif semata, artinya dalam konteks
pemahaman artinya tidak cukup kalau hukum itu hanya dipahami secara
yuridis normatif, yakni sebagai tertib logis dari tatanan peraturan
yang berlaku. Hal ini membuat saya yakin bahwa hukum tidak hanya harus
dipahami akan tetapi hukum harus ditegakkan dan tidak boleh dilanggar.
Hukum tetaplah hukum untuk menjadikan negara ini menjadi negara yang
taat pada hukum, karna hukum bukan hanya sekedar peraturan semata yang
ditulis untuk dilanggar akan tetapi hukum merupakan peraturan yang
harus kita pahami dan kita tegakkan serta dilaksanakan. Terima kasih.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Nama : Herwinda Nurlaily
Nim : F1221151019
Makul : Hukum Tata Pemerintah
Prodi : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Smstr : 4 (Reg A)
Assalamu’alaikum, Alhamdulillah Suka sekali sama postingan Bapak tentang “TEORI HIRARKI DAN KEBERLAKUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SERTA MEMAHAMI PANCASILA SEBAGAI SUMBER HUKUM NEGARA”. Karena saya prodi PPKn jadi, menarik saat melihat postingan tentang pancasila. Dan Alhamdulillah bisa menambah wawasan saya. Memang benar pancasila merupakan sumber hukum negara. Sehingga setiap peraturan hukum akan dibuat berdasarkan pancasila, seperti yang telah di jelaskan bapak yakni: ”Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Tetapi sayang sekali semua itu hanya sebuah aturan yang penerapannya belum efektif, masih banyak aparatur negara yang melanggar peraturan tersebut. Seharusnya peraturan tersebut di terapkan dengan sebaik-baiknya, sehingga negara indonesia menjadi negara yang benar-benar bermartabat dan bermoral pancasila. Tidak akan ada lagi kasus korupsi, tidak akan ada lagi ketidakadilan dalam hukum. Seperti pembahasan ini sudah dijelaskan bahwa, Sila Pertama Pancasila sebagai dasar filsafat negara: Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena itu pada simbolisasi didalam perisai ditempatkan ditengah berupa Nur Cahaya berbentuk bintang yang bersudut lima, maknanya adalah bahwa Sila pertama ini menerangi semua empat sila yang lain atau menurut Mohammad Hatta, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan yang baik bagi masyarakat dan penyelenggara negara. Dengan dasar sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini, maka politik negara mendapat dasar moral yang kuat, sila ini yang menjadi dasar yang memimpin ke arah jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan.
NAMA : NANI FITRIANI
NIM : F1221151002
PRODI : PPKn
MATA KULIAH : HUKUM TATA PEMERINTAH
SEMESTER : 4 (REG A)
Assalamualaikum.wr.wb terimakah atas postingan bapak yang sangat menarik dan mudah untuk dipahami tentang "TEORI HIRARKI DAN KEBERLAKUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SERTA MEMAHAMI PANCASILA SEBAGAI SUMBER HUKUM NEGARA". Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Berbicara tentang hukum di indonesia, penegakan hukum di Indonesia masih kurang dan masih belum sesuai dengan tujuan utama dari hukum yaitu untuk mendapatkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Penerapan hukum masih melenceng dari apa yang sudah ditetapkan oleh aturan yang berlaku. Menurut saya ada beberapa faktor yang mempengaruhi hukum di Indoneisia belum berjalan dengan baik salah satunya adalah aparat penegak hukum yang belum optimal dalam menjalankan perannya sebagai aparat penegak hukum dan tidak ada kesadaran bagi masyarakat Indonesia akan pentingnya mentaati hukum yang sudah ditetapkan. Sesuai dengan pengertian hukum bahwasannya hukum itu adalah suatu aturan yang dibuat oleh badan resmi hukum yang bersifat mengikat dan memaksa serta mendapat sanksi bagi yang melanggarnya.Dari pengertian hukum itu sendiri adalah sebuah aturan yang berarti dimana aturan tersebut harus memang untuk ditaati dan suka tidak suka memang harus juga untuk patuh terhadap hukum dan apabila melangggar akan mendapatkan sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku.Jadi, apabila di Indonesia penegakan hukumnya sudah baik tentunya akan meciptakan yang namanya ketertiban hukum,kenyamanan dan ketentraman. Terima kasih. wassalam.
Posting Komentar