ANALISIS
UU NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR
Oleh: Turiman
Fachturahman Nur
A.Kesalahan Undang-Undang No 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air
Air merupakan
material yang vital bagi kelangsungan hidup seluruh makhluk hidup di bumi,
sebagaimana dinyatakan oleh Enger dan Smith: "Semua organisme yang
hidup tersusun atas sel-sel yang berisi air sedikitnya 60 % dan aktivitas
metaboliknya mengambil tempat di larutan air".
Selanjutnya, tokoh
dunia Goethe pernah menyatakan: "Everything originated is the water.
Everything is sustained by water." Sebagai tambahan, fakta menunjukkan
bahwa 70% permukaan bumi tertutup oleh air. Dengan demikian, tanpa air, seluruh
gerak kehidupan di bumi akan berhenti.
Setiap orang
memerlukan air. Dua pertiga tubuh manusia terdiri atas air. Setiap hari setiap
orang memerlukan sedikitnya 50 liter air untuk minum, masak, mencuci, untuk
sanitasi dan untuk bertumbuhnya tanaman pangan. Oleh karena itu, disiplin hukum
hak asasi manusia juga mengadopsi hak setiap orang atas air sebagai hak asasi
manusia yang fundamental.
Pada Tahun 2002
Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (the Committee on Economic, Social
and Cultural Rights) dalam Komentar Umum (General Comment) No. 15,
secara tegas memberikan penafsiran tentang pasal 11 dan pasal 12 dari Kovenan
Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights), bahwa hak atas air adalah sesuatu
yang tidak dapat dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya. Dalam
argumentasinya, Komite ini menunjukkan bahwa banyak hak asasi manusia lainnya
tidak dapat didapatkan oleh manusia jika sebelumnya tidak dikenal adanya hak
atas air. Hak Hidup (the right to life) , hak untuk mendapatkan makanan
(the right to food), hak untuk mempertahankan kesehatan (the right to
maintain health level) adalah hak-hak yang dalam upaya untuk memenuhinya
membutuhkan hak atas air (the right to water) – sebagai prasyaratnya.
Disebutkan bahwa air
tidak saja dibutuhkan untuk minum tetapi juga bagian yang tak terpisahkan dari
proses pengolahan makanan, atau penciptaan kondisi perumahan yang sehat dan
kebutuhan manusia lainnya akan kehidupan. Lebih jauh bahkan ditegaskan bahwa
komite tersebut memberikan kewajiban bagi negara untuk menjamin adanya hak atas
air bagi setiap warga negaranya.
Terkandung dalam
pengertian hak atas air adalah penyediaan air bagi rakyat dengan memperhatikan
(1) Availability (ketersediaan): penyediaan sumur-sumur umum adalah
bagian dari kewajiban pemerintah akan penyediaan air bagi kebutuhan minimal
setiap warganya; (2) Quality (kualitas): tidak hanya jumlahnya namun
kualitas air yang diberikan haruslah memenuhi standar yang tidak membahayakan
kesehatan; dan (3) Accessibility (aksesibilitas); termasuk dalam
kriteria ini adalah affordability (keterjangkauan) dari masyarakat untuk
mendapatkan air.
Dengan demikian jelas bahwa air
merupakan kebutuhan dasar yang tidak dapat tergantikan oleh apapun dan air juga
merupakan hak asasi manusia yang paling utama karena tanpa hak atas air (the
right to water) maka hak asasi manusia lainnya tidak dapat terpenuhi.
Selain itu tanggung jawab negara untuk menyediakan air bagi warganya merupakan
salah satu manifestasi dari kontrak sosial antara negara dan warga negara.
Dalam konteks pelayanan publik, air merupakan kebutuhan yang paling utama
bahkan jika dibandingkan dengan makanan, yang berarti tanpa air setiap warga
negara akan terlanggar haknya. Oleh karenanya negara wajib menjamin
terpenuhinya hak atas air bagi masyarakatnya, sesuai dengan amanat dari
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (2) bahwa cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara yang berdasarkan pada konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala
sumber kekayaan ”bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”,
termasuk pula pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas
sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif memberikan mandat
kepada negara untuk mengadakan kebijakan dan tindakan pengurusan, pengaturan,
pengelolaan, dan pengawasan untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Lebih lanjut penguasaan negara
atas air sebagai bagian dari kebutuhan yang paling mendasar dan hak asasi
manusia semakin dipertegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal di pasal Pasal
28A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya, Pasal 28C Ayat (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, Pasal 28D Ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pasal 28I ayat (4)
yang menyatakan bahwa ”perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah”.
Seperti dijelaskan di atas,
langkah awal dari restrukturisasi sektor sumberdaya air di Indonesia adalah
dengan membuat peraturan baru di sektor sumberdaya air sebagai bagian dari
WATSAL. Jika dilihat dari materinya Undang- Undang Sumberdaya Air yang baru
memang jauh lebih lengkap dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974
tentang Pengairan, namun ada perubahan paradigma yang mendasar dalam penyusunan
Undang-Undang Sumberdaya Air yang baru dimana dalam penyusunan Undang-Undang
Sumberdaya Air tersebut didasarkan atas cara pandang air sebagai barang
ekonomi.
Perubahan cara pandang inilah yang kemudian
membawa perubahan luar biasa dalam pendekatan pengelolaan sumberdaya air dari
pendekatan penyediaan menjadi pendekatan permintaan. Dengan demikian harga
menjadi faktor pokok untuk mengontrol permintaan, yang pada akhirnya membuat
realokasi penggunaan air pada penggunaan yang memiliki nilai air lebih tinggi.
Berdasarkan paradigma pengelolaan
sumberdaya air yang dijelaskan di atas, maka ada kesalahan mendasar dari
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air terhadap Undang-Undang
Dasar 1945, yaitu adalah air dipandang sebagai barang ekonomi dengan
diperkenalkannya hak guna air yang terdiri dari hak guna pakai dan hak guna
usaha dan penyelenggaraan oleh swasta (privatisasi).
B.
Hak Guna Air
Hak guna air merupakan
manifestasi dari konsep water rights (bukan the right to water). Water
rights dan the right to water merupakan dua terminologi yang sering
digunakan untuk menyebut hak atas air. Walaupun terlihat serupa tetapi kedua
kata ini memiliki tradisi akademik dan sejarah hukum yang berbeda. Sayangnya
dalam bahasa Indonesia terjemahan atas kedua kata itu seringkali dirancukan
pengertiannya.
Water rights merupakan bentukan kata Inggris
yang merujuk kepada proses kepemilikan seseorang atas benda tertentu (property
right). Sebagaimana dengan hak-hak kepemilikan lainnya, maka water
rights memberikan kebebasan dan kewenangan kepada orang yang telah dianggap
secara sah memiliki air. Dalam hal ini, air dipahami sebagai sesuatu yang
awalnya adalah res nullius (tiada yang memiliki).
Tradisi akademik res nullius menyebutkan
bahwa jika suatu benda (dahulu juga wilayah) belum pernah dimiliki oleh
seseorang (atau subyek hukum lainnya), dapat kemudian dimiliki oleh orang yang
telah berhasil menguasainya sehingga tidak ada lagi pihak-pihak lain yang
melakukan perlawanan terhadap penguasaan tersebut. Konsep inilah yang kemudian
diperkenalkan oleh para pendukung water rights.
Lembaga Pangan dan Pertanian PBB
(FAO) dalam kertas kerjanya yang dikeluarkan pada bulan Maret 2004 secara jelas
menyebutkan adanya suatu kesejajaran antara Hak atas Tanah dan Hak atas Air.
Disebutkan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi para pemegang hak
atas air sebagaimana negara telah melindungi pemegang hak atas tanah.
Termasuk di dalam hak atas air
yang harus dilindungi adalah kekuasaan untuk (1) Mengalihkan sejumlah air dari
sebuah sumber alamiah; (2) Mengumpulkan sejumlah air dari sebuah sumber air ke
dalam suatu tempat seperti bendungan atau struktur hidrolik lainnya; dan (3)
menggunakan air di sumber alaminya. Maka kegiatan untuk menguasai sumber air
dan memanfaatkannya demi kepentingan pribadi menjadi sah atas nama hukum.
Water rights juga mendukung upaya-upaya untuk
melihat nilai ekonomis dari air sehingga bisa dijadikan sebagai komoditi.
Dengan kata lain, water right sangat mendukung terjadinya komodifikasi
air.
Sementara itu the right to
water adalah bentukan bahasa Inggris yang dilahirkan dalam kaitannya dengan
hak asasi manusia. Secara eksplisit, setidaknya ada dua konvensi utama hak
asasi manusia yang menyebutkan adanya hak atas air sebagai bagian dari hak
asasi manusia. Pertama, Konvensi menentang segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan (the Convention on the Elimination of all
forms Discrimination Against Women – CEDAW 1979) yang dalam Pasal 14
menegaskan perlunya perlakuan yang tidak diskriminatif terhadap penyediaan air
(water supply) sebagai hak perempuan. Konvensi kedua,
Konvensi Hak Anak (the Convention on the Right of the Child – CRC 1989).
Pasal 24 CRC secara tegas
menyebutkan bahwa dalam rangka mencegah terjadinya malnutrisi (kekurangan
gizi) dan penyebaran penyakit maka setiap anak memiliki hak atas air minum
yang bersih (clean drinking water). Kedua Konvensi ini sudah
diratifikasi oleh Indonesia dan telah terinkorporasi dalam hukum positif di
Republik Indonesia.
Apabila dikaitkan dengan
peraturan perundangan di Indonesia, maka secara jelas dinyatakan bahwa air
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Mencermati rumusan pasal 33 ayat (2) dengan menggunakan perspektif berbasis hak
maka penguasaan hak atas air berada di tangan negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dengan kata lain negara lah yang
memiliki kewenangan terhadap hak atas air dan kemudian merencanakan bagaimana
pemenuhan hak atas air sebagai sebagai kewajiban negara terhadap warga
negaranya.
Batasan dari pengelolaan oleh
negara terhadap hak atas air ini adalah adanya larangan untuk menyerahkan
pengelolaan air tersebut ke dalam tangan orang-perseorangan. Maka prinsip
pertama pendekatan berbasis hak atas air di Indonesia adalah penguasaan oleh
negara dan tidak boleh diserahkan kepada orang perseorangan.
Selain dari aspek sejarah hukum yang
berbeda, pemberian hak guna dalam pengelolaan sumberdaya air secara nyata akan
menghilangkan penguasaan negara (negara mengadakan fungsi kebijakan dan
pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan untuk tujuan sebesar-besar
kemakmuran rakyat) terhadap sumberdaya air.
Memang makna dikuasai oleh negara
tidak hanya sekedar kepemilikan tetapi lebih jauh dari itu dimana negara juga
harus mengatur. Dengan hak guna air negara akan kehilangan bukan hanya
kepemilikan tetapi juga fungsi pengaturan, karena ketika hak guna tersebut
diberikan kepada orang perorang atau badan usaha swasta maka pengelolaan
sumberdaya air menjadi milik pemegang hak guna. Dan apabila terjadi kondisi
dimana dalam mengelola sumberdaya air tersebut pemilik hak guna tersebut
merugikan masyarakat maka itu bisa dicabut melalui proses pengadilan. Implikasi
lainnya dengan kewenangan penuh untuk mengelola hak guna maka kemungkinan
terjadinya konflik antara pemegang hak guna dengan masyarakat menjadi tinggi.
C.
Penyelenggaran oleh Swasta (Privatisasi)
Hal lain yang sangat mendasar adalah masalah
penyelenggaraan penyediaan kebutuhan air bagi masyarakat oleh swasta yang
secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumberdaya Air. Sebagai sebuah layanan publik yang sangat mendasar penyediaan
air bagi masyarakat harus menjadi
tanggung jawab negara sehingga harus dikuasai oleh negara, sesuai dengan pasal
33 UUD 1945 pasal 33. Jika penyediaan sumberdaya air diserahkan kepada swasta
(privatisasi), maka penguasaan negara terhadap air untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat akan hilang.
Secara teoritis, ada banyak
definisi tentang privatisasi. Definisi privatisasi menurut Undang-Undang No 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, pasal 1 angka 12 adalah penjualan
saham persero, baik sebagian mau pun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka
meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan
masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Definisi menurut
peraturan perundangan ini hanya merupakan salah satu bentuk privatisasi menurut
banyak ahli.
Sebagai contohnya Diana Carney
dan John Farrington (1998) menyatakan bahwa privatisasi bisa diartikan secara
luas sebagai proses perubahan yang melibatkan sektor privat untuk ikut
bertanggung jawab terhadap kegiatan yang semula dikontrol secara eksklusif oleh
sektor publik. Privatisasi termasuk di dalamnya pengalihan kepemilikan aset
produktif dari sektor publik ke swasta atau hanya sekedar memberikan ruang
kepada sektor privat untuk ikut terlibat dalam kegiatan operasional seperti contracting
out dan internal markets).
Dengan definisi seperti memang
yang dimaksud dengan privatisasi tidak semata-mata diartikan sebagai penjualan
saham. Privatisasi juga mencakup model dimana kepemilikan tetap di tangan
pemerintah/negara tetapi pengelolaan, pemeliharaan dan investasi dilakukan oleh
pihak swasta (dengan model (BOT, management contract, konsesi dan
sebagainya).
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumberdaya Air, penyelenggaraan oleh swasta dapat dilakukan jika
pada daerah tersebut belum ada BUMN/BUMD yang menyelenggarakan layanan
pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakatnya. Dengan aturan tersebut jelas bahwa
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 membuka kesempatan bagi keterlibatan sektor
swasta (privatisasi) dalam penyediaan air bagi masyarakatnya. Pemberian
kesempatan kepada badan usaha swasta dalam penyediaan air baku bagi masyarakat
jelas akan menghilangkan penguasaan negara atas sumberdaya air.
Sebagai sebuah institusi yang
berorientasi pada keuntungan, badan usaha swasta tentunya hanya akan mau
menanamkan investasinya jika ada jaminan bahwa investasi yang ditanamkan dapt
kembali. Untuk itu badan usaha membutuhkan jaminan baik itu terhadap resiko
politik maupun resiko kinerja, dan permasalahannya jaminan tersebut dibebankan
kepada masyarakat melalui pembayaran kompensasi dari pemerintah dan penyesuaian
tariff.
Penyesuaian tarif dilakukan
dengan menerapkan full cost recovery (tarif biaya penuh), untuk menjamin
tingkat pengembalian yang tetap (steady rate of return) bagi pemegang
kontrak. Lebih lanjut, dalam penyediaan air baku bagi masyarakat badan usaha
swasta tidak akan mau menanamkan investasinya jika pendapatan masyarakatnya
rendah dan secara topografis sulit karena kesemuanya membuat investasi yang
mereka tanamkan sangat sulit untuk kembali, sehingga penyediaan air baku untuk
masyarakat di daerah terpencil menjadi terbengkalai.
Pada dasarnya pemerintah mempunyai tugas
mendasar untuk memenuhi kebutuhan dasar seluruh masyarakatnya termasuk air
minum. Hal ini merupakan salah satu manifestasi dari kontrak sosial antara
negara dan warga negara. Dengan privatisasi pengelolaan air minum, jelas telah
memindahkan tanggung jawab penyediaan layanan dasar tersebut dari sektor publik
kepada sektor swasta. Dengan berpindahnya tanggung jawab penyediaan air,
permasalahan selanjutnya adalah perubahan alokasi penggunaan air.
Implikasi lain dari kebijakan
privatisasi adalah semakin terabaikannya masyarakat miskin dan
kelompok-kelompok terpinggirkan dalam mengakses air bersih. Masyarakat miskin
dan kelompok-kelompok terpinggirkan tidak akan terlayani karena mereka tidak
memiliki kekuatan politik maupun perwakilan dan tentunya kekuatan ekonomi untuk
membayar harga yang tinggi akibat kebijakan privatisasi.
Pengalihan tanggung jawab untuk
menjamin akses masyarakat terhadap air terutama air bersih dari pemerintah
kepada sektor swasta, menyebabkan munculnya praktek komodifikasi dan
komersialisasi air. Dalam perspektif etika lingkungan, memberlakukan air
sebagai komoditi dan kemudian meperdagangkannya merupakan sebuah pelanggaran [1]. Privatisasi, pengusahaan- atau
apapun namanya- menyiratkan pemberian harga (pricing) pada air.
Memberikan harga pada air tentu
saja mereduksi nilai utuh dari air itu sendiri. Air dapat ditemukan dalam semua
aras kehidupan, mulai dari sel sederhana sampai ekosistem yang paling rumit
sekalipun. Air adalah senyawa paling vital dan intim dalam kehidupan manusia.
Keyakinan bahwa air adalah berkah
dan sumber segala kehidupan adalah nilai universal yang terus hidup dalam
tradisi, kepercayaan, dan bahkan agama yang dianut oleh segenap masyarakat
segenap penjuru dunia. Sebagian besar kepercayaan tradisional dan agama di
Indonesia menempatkan air sebagai sumber kehidupan, berkah dan kesembuhan [2].
Dengan demikian, air
bukan sekedar untuk kehidupan tetapi air adalah kehidupan itu sendiri.
D.Undang-Undang No 7 Tahun 2004
Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Neg RI 1945.
Pasal 7 ayat (1), pasal 8 ayat (2)
huruf c, pasal 9 ayat 1 jo. pasal 29 ayat (5), pasal 40 ayat (4) dan ayat (7),
pasal 45 ayat (3) dan ayat (4) serta pasal 46 ayat (2) Undang-undang No. 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan jiwa dan
semangat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang anti
penjajahan, yang mengutamakan persatuan dan kedaulatan, kemakmuran
rakyat dan mengutamakan demokrasi ekonomi.
Pasal 6 ayat (3), pasal 29 ayat (3)
dan ayat 4 dan pasal 40 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia
yang dijamin dalam pasal 18B ayat (2), pasal 27 ayat (3), pasal 28 C ayat (1),
pasal 28D ayat (2), pasal 28E ayat (1),
pasal 28I ayat (4), pasal 28A, pasal 28 H ayat (1), pasal 34 ayat (3)
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan “tidak
dikuasasinya” sumber daya air oleh Negara, maka promosi, perlindungan dan
pemenuhan hak asasi manusia tidak dapat dilaksanakan secara maksimum oleh
Negara. Pasal-pasal dalam Undang-undang Sumber Daya Air telah melanggara
jaminan hak asasi manusia yang dimuat dalam Undang-undang Dasar 1945.
Secara otomatis, limitasi atau
pembatasan yang dimuat pasal 91 serta ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) telah
terbukti tidak relevan serta pasal-pasal ini bertentangan dengan pasal 28A, pasal 28C ayat (2), pasal 28D
ayat (1), pasal 28F, pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Berikut ini aspek-aspek materiil
konstitusional yang telah dilanggar oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air. Hak guna
memindahkan/ melepaskan hak menguasai Negara bertentangan dengan Undang-undang
Dasar 1945, mengancam pemenuhan hak atas air (the right to water)
sebagai hak asasi manusia, dan hak-hak asasi manusia lainnya
Konsepsi Hak Guna Air yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
bertentangan dengan Konstitusi yaitu pasal 33 UUD 45. Hal ini dibuktikan dalam
beberapa point dibawah ini. Hak Guna yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 pada pasal 7 ayat (1) dan (2), pasal 8 ayat (2) huruf c, pasal 9
ayat (1), bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia, dimana hal-hal
yang bertentangan dengan konstitusi tersebut adalah :
1. Air menjadi komoditas bagi
perseorangan atau badan usaha;
2. Konstitusi sendiri tidak
mengakui hak atas air sebagai hak perseorangan;
3. Hak guna mengarahkan ke
komersialisasi/proses liberalisasi ekonomi.
4. Penguasaan dan/atau
pengelolaan sumber air oleh perseorangan/badan hukum swasta mengancam pemenuhan
hak atas air (the right to water) dan hak asasi manusia lainnya, termasuk dan
tidak terbatas pada hak asasi penduduk asli atau masyarakat adat, hak untuk
hidup, dan hak atas pekerjaan.
Adapun alasan pertentangan sebagai
berikut:
Pertama,
apabila kita bicara hak guna air, maka kita sudah masuk di dalam hukum perdata,
di mana setiap orang bebas menggunakan haknya dan bisa minta setiap saat pada pemerintah.
“Itu yang pertama.”, Latar belakang hak guna air itu, memberikan
pemikiran kebebasan pasar dan ini agak berbeda sekali kalau kita mengatakan
pembaca di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2). Pertama soal
cabang produksi, karena air kalau sudah memakai hak guna air, maka timbul
masalah cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasi oleh negara. Jadi, kalau dari Pasal 33 ayat (2) ini
sudah jelas yang akan menguasai itu adalah lembaga negara, yang akan mengelola
soal air. Ayat yang ketiga dari Pasal 33 itu, lebih jelas mengatakan tentang
air, yaitu cabang-cabang produksi tentang air. Sehingga pengelolaannya dan
penentuannya itu, oleh suatu lembaga yang ditentukan oleh negara, yang setara seperti
PLN, yang setara seperti Pertamina, dan hal itu secara tidak langsung, malah
hanya sepintas lalu, diungkapkan pada Pasal 47 ayat (1) yang dikatakan, “Pemerintah
wajib melakukan pengawasan mutu pelayanan atas Badan Usaha Milik Negara”.
Jadi, ada sesuatu yang bertolak belakang antara Pasal 6 ayat (4) tentang hak
guna air.
Kedua Pasal
7 ayat (2) itu mengatakan bahwa hak guna air itu tidak dapat disewakan atau
dipindahkan sebagian atau seluruhnya. Apabila seseorang sudah mempunyai hak
guna air tersebut, maka dia bisa melakukannya. Mengapa ayat (2) dari Pasal 7
ini timbul? Karena ada pemikiran-pemikiran izin yang diberikan oleh Pemerintah.
Izin adalah izin untuk berusaha mengelola, bukan izin untuk mengenai hak guna
air. Karena hak guna air adalah permohonan untuk minta hak, sedangkan izin ada
untuk izin usaha, dan itu sangat jelas pada Pasal 8 ayat (1) hak guna pakai air
diperoleh tanpa izin, satu. Yang kedua, dari Pasal 7 tersebut dikatakan apabila
bukan untuk keperluan sehari-hari, maka dia harus minta izin, jadi seolah-olah
diharapkan bahwa hak guna air itu sudah dihapus dengan izin, sehingga yang
diutamakan adalah izin bukan haknya seperti yang di minta oleh Pasal 33 ayat
(2), ayat (3), kemudian pada Pasal 34 ayat (3) bahwa negara bertanggungjawab
atas penyelenggaraan fasilitas pelayanan umum dan kesehatan yang layak, itu
yang kedua.
Mengenai konsekuensi atau implikasi
dari konsepsi tata guna air berdasarkan hak guna baik itu hak guna pakai atau
hak guna usaha berdasarkan undang-undang Nomor 7 Tahun 2004, ahli Frans
Limahelu memberikan keterangan sebagai berikut : konsekuensinya adalah bahwa
setiap orang kalau mau memakai hak harus minta, mohon. Tapi kalau dia tidak
memohon maka dia tidak dapat hak sama sekali. Itu, tapi kalau soal izin pengelolaan
air maka yang melakukan adalah para pengusaha, yang akan minta izin sedangkan
masyarakat tidak minta izin, tapi mohon haknya.
Mohon haknya untuk dapat air. itu
secara jelas dikatakan pengertian tentang apakah itu pada butir yang Pasal 1 pada
butir 14, hak guna pakai air adalah guna untuk memperoleh dan memakai air.
Dengan kata lain dikatakan bahwa kita bisa mendapat kebebasan memakai air tanpa
bayar. Dan tidak perlu memakai Pasal 80 yang diperluas oleh penjelasan Pasal 80
ayat (1) bahwa di dalam pada Pasal 80 ayat (1) bahwa penggunaan sumber daya air
untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak
dibebani biaya pengelolaan sumber daya air. Jadi tidak perlu di pungut.
Malah dalam penjelasan ini di perluas
dari Pasal 80 itu diperluas, penggunaan sumber daya air untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya
air atau pada mengambil air keperluan sendiri dari sumber yang bukan saluran
distribusi, berarti lebih luas. Apabila nanti diambil dari tanah, ambil dari
sungai juga tidak kena pungutan. Jadi hak rakyat jadi lebih luas dengan adanya
Pasal 80 ini.
Undang-undang Agraria memakai hal
yang sama, yaitu hak guna pakai dan hak guna usaha, untuk tanah. Sekarang hanya
di ubah bukan tanah tapi air. Nah, itu BW di buat pada Tahun 1940-an,
dimana liberalisme sangat kuat. Istilah sekarang kebebasan pasar, pasar bebas.
Itu yang sekarang yang memakai istilah pasar bebas, sehingga pasar yang
menentukan harga, bukan Pemerintah bukan negara. Karena pada hak tiap orang,
itulah alam Eropa, minta supaya mereka mempunyai kebebasan untuk menentukan
haknya sendiri, karena mereka mampu melaksanakannya. Sedangkan kita belum mampu
untuk memperjuangkan hak itu.
Sehingga perlu adanya perlindungan
dari negara yang ada di dalam Pasala 33 ayat (2) dan (3). Sangat bertentangan
dengan alam berpikir pasar bebas. Itu yang berbeda sekali di setiap konsep
hukumnya berbeda sekali. Satu memihak pada ada otonomi para pihak, karena itu
masalah privat karena itu ada otonomi setiap orang boleh menentukan apa yang
dikehendaki asal sepakat. Sedangkan kita tidak mengikuti itu, karena memakai
Undang Undang Dasar kita Pasal 33 tersebut.
Kalau dilihat alur berpikir di
undang-undang ini, yang lebih memihak pada hak guna usaha air. alur berpikirnya
ya. Karena bicara hak seperti yang katakan tadi adalah mereka yang mengerti
akan hak mereka. Itu sangat kecil jumlahnya, karena orang yang mengerti akan
haknya itu bisa menghitung untung ruginya. Kalau dia minta haknya apa
untungnya, apa ruginya? Dan kita biar sudah di dalam kota mereka mengatakan
kalau meminta hak ruginya lebih banyak. Ongkosnya lebih banyak, dan tidak
sanggup bayar dibanding orang yang berusaha. Karena dia bisa mengambil sebagai
bagian dari ongkos usahanya untuk menutupi ongkos-ongkosnya, maka dia melakukan
hal itu. Jadi ada unsur bisnis di dalamnya. Dimana tidak bisa diatur atau
dikuasai oleh orang biasa. Karena orang biasa hanya bisa hanya ambil dari uang
gajinya saja. Kalau kita mau berbicara sisi fakta ekonominya keuangannya dari
hak guna pakai air dan hak guna usaha air. Sehingga yang lebih berperan adalah
hak guna usaha air.
Potret sebuah masyarakat, termasuk
masyarakat Indonesia saat ini, adalah produk dari bekerjanya empat faktor yang
saling berinteraksi, yaitu :
1.
dinamika internal masyarakat itu sendiri,
2.
kebijakan pemerintah,
Dua
faktor yang biasanya di utak-atik, di obok-obok olah para analis, melupakan dua
faktor yang lain. Dua faktor yang lain adalah:
3.
dimensi sejarah (warisan sejarah),
4.
invensi asing.
Empat ini saling berinteraksi. Dari
empat itu kalau sudah banyak orang mulai menyinggung, faktor keempat mulai
banyak diungkap, tapi faktor sejarah banyak yang melupakan. Karena itu untuk
menjawab pertanyaan itu, perkenankanlah, jika diijinkan, Saya menguraikan dari
mana lahirnya konsep HGU? HGU itu diakui atau tidak, walaupun dalam
Undang-undang Pokok Agraria disebutkan bahwa HGU bukan hak erpacht, tapi
dalam ketentuan konversi, itu jelas HGU itu konversi dari hak erpacht. Pertanyaannya, dari mana lahir konsep hak erpacht?
Sejarah ini penting, karena ini
relevan dengan yang kita hadapi sekarang. Pada pertengahan abad 19 di Eropa,
paham liberalisme sedang naik daun, partai-partai golongan liberal mengusai
parlemen Belanda. Karena itu menuntut, parlemen berhasil menuntut dirubahnya
Undang-Undang Dasar Belanda, yaitu bahwa urusan tanah jajahan tidak lagi
dipegang oleh dua orang, yaitu raja dan menteri seberang lautan, atau menteri
tanah jajahan, tapi harus dengan undang-undang.
Akhirnya Tahun 1848, Undang-Undang
Dasar Belanda diubah. Salah satu ketentuannya berbunyi, “bahwa urusan tanah
jajahan akan diatur dengan undang-undang”. Tapi perjuangan itu ternyata
berjangka panjang. Baru Tahun 1854, lahirlah undang-undang itu. Saya kira
Bapak-bapak Majelis Hakim semua mengenal, lahirnya R.R. Regelings Regelment.
Dalam Pasal 62, ada tiga ayat.
Kemudian Tahun 1858, kalau tidak
salah, maka golongan liberal itu akhirnya mengajukan Rencana Undang-undang
untuk menindaklanjuti ketentuan dalam R.R. Pasal 62 itu. Maka diajukanlah
RUndang-Undangoleh golongan liberal yang bernama Frans Van De Boete. Tiga hal
yang penting dan ini, fenomena ini, juga terjadi harus seperti sekarang. Satu,
hak komunal harus dijadikan hak individu, hak milik mutlak, istilah almarhum
Prof. DR. Soekamto, hak milik mutlak yaitu hak eigendom.
Yang kedua, Gubernur Jenderal boleh
menyewakan tanah dengan jangka waktu 99 Tahun, tapi Rancangan Undang-Undang itu
ditolak. Baru kemudian menjelang 1866, Perdana Menteri yang baru, juga dari
golongan liberal, mengajukan RUndang-Undangyang akhirnya diterima. Karena apa?
Karena perdebatan mengenai panjangnya hak menyewakan itu, menyewakan oleh
pemerintah kepada swasta, itu diperdebatkan antara mereka yang menganut aliran
hukum Romawi dan mereka yang menganut aliran hukum Anglo Saxon, 60 Tahun dan 90
Tahun, debatnya hampir dua Tahun itu. Akhirnya komprominya, 60 + 90, dibagi
dua, maka lahirlah hak erpacht 75 Tahun. Apa arti hak erpacht?
Yaitu hak yang diperoleh dari menyewa tanah negara dengan murah dan jangka panjang,
itu bahasa awamnya, kurang lebih begitu. Gunanya apa? Gunanya untuk memenuhi
tuntutan partai-partai liberal untuk melakukan investasi di bidang pertanian di
Indonesia. Mengapa demikian? Pertama, karena arus paham liberal
di Eropa sedang naik daun. Yang kedua, golongan liberal merasa
iri hati terhadap praktek cultuurstelzel yang membuat pemerintah Belanda
kaya raya.
Lahirnya
hak erpacht, yang kemudian dikonversi dalam UUPA menjadi Hak Guna Usaha.
Dampak dari kebijakan itu, yaitu kebijakan yang kemudian dilahirkan oleh proses
perjuangan dalam parlemen tadi, yang akhirnya melahirkan Undang-undang Agraria
Kolonial 1870, dampaknya kemudian dikritik habis oleh para akademisi Belanda
sendiri, antara lain Prof. Van Helderen yang mengatakan, “Rakyat Indonesia
kalau begini ini nanti akan menjadi bangsa buruh dan menjadi buruh di antara
bangsa-bangsa”, seperti yang sekarang kita alami. Mr. Boel kritiknya lain lagi,
“Rakyat Indonesia sengsara karena kolusinya, kalau istilah sekarang, para
Sultan dengan para pemilik modal swasta dan pemerintah kolonial Belanda, maka
banyak tanah rakyat yang dijadikan konsesi, diberikan sebagai konsesi oleh para
Sultan itu.
Jadi konsep itu hanya seolah-olah
hanya kelatahan saja, karena di agraria
ada istilah Hak Guna Usaha lalu di situ seolah-olah ada. Tapi yang jelas
begini, Saya harus fokus kepada pasal-pasal, walaupun sekali lagi Saya tidak
memakai pendekatan legalistik, ini Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air jelas, ini mengandung gagasan kecenderungan liberalisasi,
swastanisasi.
Sayangnya, secara keseluruhan
Undang-undang Nomor 7 ini kurang jelas terdapat inkonsistensi antara definisi
di depan, yang disebut air itu apa, dengan rumusan pasal–pasal. Ada istilah di
dalam sistem irigasi, ada di luar sistem irigrasi. Jadi yang akan diatur apa?
Air yang mana? Tidak eksplisit disebut. Padahal terdefinisi yang dimaksud air
itu, air tanah, air permukaan, air hujan dan sebagainya. Ketika menjabarkan
dalam pasal-pasal tidak jelas. Ini akan mengandung dalam pelaksanaannya
kerancuan-kerancuan. Sebagai contoh, jika ada Hak Guna Usaha Air lalu Hak Guna
Usaha Air ini diberikan kepada badan usaha swasta mengelola air hujan bagaimana
dengan daerah sawah-sawah tadah hujan? Untuk memprediksi lebih jauh sulit
karena tidak jelas, yang dimaksud air yang mana, yang harus memakai izin yang
tidak, apakah semua air.
Jadi ini kaitannya dengan mengenai
Hak Guna Usaha yang seharusnya bagaimana. Yang penting, walaupun itu suatu
kreasi menghasilkan konsep Hak Guna Usaha untuk air dan air bagian dari agraria. Berbeda dengan dari
negara lain, Sayangnya di Indonesia, sebelum Indonesia merdeka, hampir tidak
ada tokoh yang mengangkat isu agraria tanah dan air sebagai platform
perjuangan, kecuali ada dua orang, Mr. Iwa Kusuma Sumantri dan Bung Karno.
Tidak berarti semua tokoh tidak tahu, banyak yang tahu. Itu sebabnya baru
seTahun Indonesia merdeka, Bung Hatta bertutur tanggal 23 Februari 1946, yang
isinya ada 10 butir fatwa yang menurut Alm. Prof. Madi Sardi Fatwa, dua di
antaranya berbunyi, “Tanah-tanah perkebunan itu dulu adalah milik rakyat”. Yang
kedua, “Jangan perlakukan sumber-sumber agraria sebagai komoditi komersial”.
Ini relevansinya yang terjadi, air sebagai salah
satu sumber paling mendasar dari tiga sumber yang mendasar sumber agraria
yaitu, tanah, air dan udara. Maka itu jangan dijadikan komoditi komersial.
Ketika secara normatif selalu mengacu kepada Bung Hatta sampai dengan Tahun
80-an, karena fatwa ini dari seorang pendiri Republik, tapi ternyata pada
pertengahan Tahun 80, terbit pada hasil penelitian seorang doctor ekonomi
Amerika, yang membuktikan hipotesis ekonomi klasik Hendrik Church pada Tahun
1879 yang mengatakan bahwa, jika tanah atau air dijadikan barang komersial,
maka yang terjadi adalah spekulasi tanah yang merajalela.
Karena spekulasi tanah pada
pasar bebas adalah itu sah. Jadi sudah bias diramal akan terjadi spekulasi.
Kalau ternyata spekulasi tanah merajalela, yang terjadi krisis dan penelitian
Fred Harrison, yang terbit Tahun 1983, berarti membenarkan kata-kata pengantar,
jangan jadikan sumber-sumber agraria yang fundamental ini sebagai komoditi
komersial, karena semua krisis yang pernah dialami dunia, yang diteliti oleh
Fred Harrison itu krisis 1819, krisis 1829, krisis 1937, krisis 1857, krisis
1873, krisis 1893, semua krisis itu sumbernya merajalelanya spekulasi tanah dan
apakah krisis ini akan merambah pada krisis air.
[1]
Widianarko, B.
Perang Air: Profit Versus Hak Asasi- Catatan dari The Third World Water Forum
(WWF), Kyoto-Osaka-Shiga, 16-23 Maret, Kompas, 29 Maret 2003, lihat juga
Widianarko,B, Selling Water – Unethical and yet Unstoppable, The Jakarta
Post, 21 March, 2003.
[2]
Whitten et al,
Ecology of Java and Bali, Periplus , Hongkong, 1996
0 komentar:
Posting Komentar