Paradigma Teks
Hukum Negara Dalam Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah
(Bagaimana Mengisi Jabatan Struktural di SKPD Pemerintah Daerah Secara
Terbuka dan Tidak Diskriminatif Serta Partisipatif ?)
Oleh : Turiman Fachturahman Nur
Email : qitriaincenter@yahoo.co.id
HP 08125695414
I. KEBIJAKAN REFORMASI
BIROKRASI
1 Undang-undang
No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional 2005-2025 mengamanatkan bahwa pembangunan aparatur negara
dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk mendukung keberhasilan pembangunan
bidang lainnya.
2 Sebagai
wujud komitmen nasional untuk melakukan reformasi birokrasi, pemerintah telah
menetapkan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan menjadi prioritas
utama dalam Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2010 – 2014. Makna
reformasi birokrasi adalah: Perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola
pemerintahan Indonesia; Pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi
tantangan abad ke-21;
3 Berkaitan
dengan ribuan proses tumpang tindih antarfungsi-fungsi pemerintahan, melibatkan
jutaan pegawai, dan memerlukan anggaran yang tidak sedikit; Upaya menata ulang
proses birokrasi dari tingkat tertinggi hingga terendah dan melakukan terobosan
baru dengan langkah-langkah bertahap, konkret, realistis, sungguh-sungguh,
berfikir di luar kebiasaan/rutinitas yang ada, dan dengan upaya luar biasa;
Upaya merevisi dan membangun berbagai regulasi, memodernkan berbagai kebijakan
dan praktek manajemen pemerintah pusat dan daerah, dan menyesuaikan tugas
fungsi instansi pemerintah dengan paradigma dan peran baru.
Atas dasar
makna tersebut, pelaksanaan reformasi birokrasi diharapkan dapat: Mengurangi
dan akhirnya menghilangkan setiap penyalahgunaan kewenangan publik oleh pejabat
di instansi yang bersangkutan; Menjadikan negara yang memiliki birokrasi yang
bersih, mampu, dan melayani; Meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat;
Meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan/program instansi;
Meningkatkan efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan semua segi tugas
organisasi; Menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif
dalam menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis.
5 Pelaksanaan
Reformasi Birokrasi Pemerintah di Indonesia pada dasarnya dimulai sejak akhir
tahun 2006 yang dilakukan melalui pilot project di Kementerian Keuangan,
Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sejak itu, dikembangkan konsep
dan kebijakan Reformasi Birokrasi yang komprehensif yang ditetapkan dengan Peraturan
Presiden No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025,
dan Permenpan-rb No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi
2010-2014. Selain itu, diterbitkan pula 9 (sembilan) Pedoman dalam rangka
pelaksanaan reformasi birokrasi yang ditetapkan dengan Permenpan-rb No. 7
sampai dengan No. 15 yang meliputi pedoman tentang Pengajuan dokumen usulan
sampai dengan mekanisme persetujuan pelaksanaan reformasi birokrasi dan
tunjangan kinerja.
6. Pelaksanaan
reformasi birokrasi di masing-masing instansi pemerintah dilakukan berdasarkan
kebijakan/program/kegiatan yang telah digariskan dalam Grand Design Reformasi
Birokrasi dan Road Map reformasi Birokrasi, serta berbagai pedoman
pelaksanaannya.
7. Selanjutnya,
pelaksanaan reformasi birokrasi memerlukan sistem monitoring dan evaluasi yang
solid dan kredibel dan dapat mencerminkan suatu sistem pengukuran yang
objektif, dan pengguna dapat menerima dan menindaklanjuti hasil dari sistem
tersebut. Dalam rangka itu, ditetapkan Permenpanrb No. 1 Tahun 2012 tentang
Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, dan untuk
operasionalisasinya ditetapkan Permenpanrb No. 31 Tahun 2012 tentang Petunjuk
Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Secara Online.
8. Pedoman dan
Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB)
tersebut merupakan acuan bagi instansi pemerintah untuk melakukan penilaian
upaya pencapaian program Reformasi Birokrasi sejalan dengan pencapaian sasaran,
indikator dan target nasional. PMPRB mengkaitkan penilaian atas output dan
outcome pelaksanaan program reformasi birokrasi di instansi pemerintah, serta
pencapaian Indikator Kinerja Utama masing-masing instansi pemerintah dengan
indikator keberhasilan reformasi birokrasi secara nasional.
9 Perubahan sistem politik
pemerintahan di Indonesia dari paradigma monolitik sentralistik ke paradigma
demokrasi khususnya local democracy atau dari government yang menekankan pada
otoritas ke governance yang bertumpu pada interaksi dan kompatibilitas
(compatibility) di antara komponen-komponen yang ada, menuntut adanya perubahan
dalam mindset kita, tidak saja di dalam formulasi kebijakan tetapi juga
implementasinya (Utomo, 2006:83). Desentralisasi kewenangan dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah dalam bingkai otonomi daerah merupakan peluang untuk
melakukan reformasi pelayanan publik agar menjadi semakin berkualitas, serta
dapat dinikmati oleh segala lapisan masyarakat.
1 Kebijakan (policy) reformasi
pelayanan publik itu haruslah diarahkan untuk mencermati dan membenahi berbagai
kesalahan kebijakan di masa lalu maupun kebijakan yang berlaku sekarang serta
mekanisme pengaturan kelembagaan yang ada (Wahab, 2000). Lebih spesifik,
reformasi pelayanan publik itu harus menjangkau pula perubahan yang mendasar
dalam rutinitas kerja administrasi, budaya birokrasi, dan prosedur kerja
instansi/departemen guna memungkinkan dikembangkannya kepemimpinan yang
berwatak kewirausahaan pada birokrasi publik (Schaehter, 1995: 534).
11. Hakikat otonomi daerah salah
satunya adalah mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Dengan adanya
otonomi daerah, pemerintah daerah otonom memiliki kewenangan yang luas yang
sebelumnya berada di pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah dapat lebih
cepat dalam merespon tuntutan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki.
12. Di era globalisasi ini, tantangan
yang dihadapi pemerintah dan pemerintah daerah semakin kompleks. Peningkatan
mutu pelayanan publik harus terus dilakukan sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan masyarakat. Tuntutan politik yang berkembang di arus global sejak
dasawarsa 1980-an memang menunjukkan bahwa pemberian pelayanan publik yang
semakin baik pada sebagian besar rakyat merupakan salah satu tolok ukur bagi
legitimasi kredibilitas dan sekaligus kapasitas politik pemerintah di mana pun.
Penerapan Total Quality Management (TQM) merupakan salah satu upaya untuk
menjawab tantangan tersebut (Sutopo & Suryanto, 2001:28). Standar-standar
baku seperti berfokus pada pelanggan, obsesi terhadap mutu, kerjasama tim, perbaikan
secara berkesinambungan serta adanya pendidikan dan pelatihan sebagai upaya
belajar secara terus menerus adalah sejumlah hal yang harus diperhatikan dalam
upaya peningkatan mutu pelayanan publik.
13. Dalam implementasi
program-program pelayanan publik di bidang apapun, para administrator publik
jelas tidak hanya dituntut untuk kian mampu bekerja secara lebih profesional,
efisien, ekonomis dan efektif, tetapi juga mampu mengembangkan
pendekatan-pendekatan yang lebih inovatif guna menjawab tantangan-tantangan baru
yang timbul pada aras global yang, langsung atau tidak langsung, berpengaruh
pada lingkungan tugasnya.
Salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah pada era otonomi daerah ini adalah penanganan bidang kesehatan. Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Bahkan Untuk mendapatkan penghidupan yang layak di bidang kesehatan, amandemen kedua UUD 1945, Pasal 34 ayat (3) menetapkan : ”Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak”.
Salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah pada era otonomi daerah ini adalah penanganan bidang kesehatan. Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Bahkan Untuk mendapatkan penghidupan yang layak di bidang kesehatan, amandemen kedua UUD 1945, Pasal 34 ayat (3) menetapkan : ”Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak”.
14. Di era otonomi daerah amanat
amandemen dimaksud, mempunyai makna penting bagi tanggung jawab Pemerintah
Daerah sebagai sub sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap
masyarakat, dan Pemerintah Daerah dituntut dapat menyelenggarakan pelayanan
kesehatan yang layak, tanpa ada diskriminasi sosial, budaya, ekonomi dan
politik. Amanat ini harus diterjemahkan dan dijabarkan secara baik oleh sistem
dan perangkat pemerintahan daerah. Untuk lebih menjamin penerapan hak-hak
publik sebagaimana tersebut di atas, di era otonomi daerah UU No. 32 Tahun 2004
dalam Pasal 11, 13 dan 14 telah menjadikan penanganan bidang kesehatan sebagai
urusan wajib/ tugas pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Merujuk
Pasal 11 ayat (4), maka penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang layak dalam
batas pelayanan minimal adalah merupakan tanggung jawab atau akuntabilitas yang
harus diselenggarakan oleh daerah yang berpedoman pada PP No. 65 Tahun 2005
tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Secara ringkas PP No. 65 Tahun 2005 memberikan rujukan bahwa SPM adalah
ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib
daerah yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal, terutama yang
berkaitan dengan pelayanan dasar, baik Daerah Provinsi maupun Daerah
Kabupaten/Kota.
15. Kaitannya dengan pelayanan
kesehatan, maka SPM sangat dibutuhkan untuk menjamin hak masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas di mana pun mereka berada.
Oleh karena itu SPM merupakan bagian integral dari Pembangunan Kesehatan yang
berkesinambungan, menyeluruh, terpadu sesuai Rencana Pembangunan Jangka
menengah Nasional. Ini merupakan wujud keberpihakan pemerintah kepada
kepentingan masyarakat serta jawaban dari tuntutan perkembangan global.
16. Penyelenggaraan
pemerintahan yang efisien dan efektif menjadi tuntutan di era globalisasi yang
sarat dengan persaingan dan keterbatasan di segala bidang. Kenyataan tersebut
menuntut profesionalisme sumber daya aparatur dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan. Yang terjadi saat ini profesionalisme yang diharapkan belum
sepenuhnya terwujud.
17. Salah
satu penyebab utamanya karena terjadi ketidaksesuaian antara kompetensi pegawai
dengan jabatan yang didudukinya. Ketidaksesuaian itu disebabkan oleh komposisi
keahlian atau keterampilan pegawai yang belum proporsional. Demikian pula,
pendistribusian pegawai masih belum mengacu pada kebutuhan nyata organisasi,
dalam arti belum didasarkan pada beban kerja organisasi. Menumpuknya pegawai di
satu unit tanpa pekerjaan yang jelas dan kurangnya pegawai di unit lain
merupakan kenyataan dari permasalahan tersebut. Di sisi lain pembentukan
organisasi cenderung tidak berdasarkan kebutuhan nyata, dalam arti organisasi
yang dibentuk terlalu besar sementara beban kerjanya kecil, sehingga pencapaian
tujuan organisasi tidak efisien dan efektif.
18. Dengan memperhatikan amanat
reformasi birokrasi dan upaya nyata untuk meningkatkan kinerja aparatur maka
beberapa daerah otonom berupaya menerapkan kebijakan promosi PNS atau pengisian
lowongan jabatan berdasarkan merit sistem dan terbuka. Kebijakan
tersebut diharapkan dapat mendorong PNS meningkatkan kapasitas, semangat yang
kompetitif serta memberikan kesempatan yang sama (equity) kepada semua
PNS untuk mengembangkan diri melalui jenjang-jenjang jabatan negeri utamanya
jabatan struktural.
19. Proses seleksi yang dilakukan
secara obyektif akan menghasilkan unsur pimpinan yang berkompeten, responsif,
memiliki kinerja dan integritas yang unggul, serta mampu merumuskan dan
mengimplementasikan kebijakan dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya.
Pada tahapan selanjutnya diharapkan akan terwujud peningkatan kinerja
organisasi dan pelayanan kepada masyarakat selaku end user.
210 Secara normatif kebijakan promosi
terbuka belum ada pedoman teknisnya dan relatif secara nasional merupakan
kebijakan baru sehingga belum banyak instansi yang secara utuh melaksanakannya.
Sehubungan dengan hal tersebut, agar kebijakan ini tepat dan dapat diterima
oleh internal maupun eksternal birokrasi maka dalam perumusannya tetap
memperhatikan kearifan lokal/budaya yang berlaku.
21. Sehingga kebijakan promosi terbuka
yang dikembangkan beberapa pemerintah daerah baik provinsi maupu kabupaten
selain dilakukan melalui instrumen yang obyektif, melibatkan keaktifan PNS
untuk berkompetisi juga mengedepankan kearifan lokal terutama
penegasan bahwa jabatan adalah amanah/penugasan.
22. Berdasarkan ketentuan normatif
pembinaan karier PNS di dasarkan pada sistem karier dan prestasi kerja sehingga
kebijakan promosi terbuka yang dilakukan Pemerintah Daerah provinsi dan
kabupaten/kota juga tetap mempertimbangkan kesinambungan karier PNS.
23. Salah satu
paradigma baru UU ASN (UU Nomor 5 Tahun 2014) adalah berkaitan dengan Manajemen
ASN diselenggarakan berdasarkan Sistem Merit, yang berdasarkan pada
kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa
membedakan latar belakang poltik, ras, warna kulit, agama, asal-usul, jenis
kelamin, status pernikahan, umum, atau kondisi kecacatan. Manajemen ASN ini
meliputi Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Manajemen Pegawai Pemerintah
dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Disebutkan
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
itu, Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pembinaan Manajemen ASN
kepada Pejabat yang Berwenang di kementerian, sekretariat jendral/sekretariat
lembaga negara, sekretariat lembaga nonstruktural, sekretaris daerah/provinsi dan kabupaten/kota.
24. Pejabat yang
berwenang sebagaimana dimaksud memberikan rekomendasi usulan kepada Pejabat
Pembina Kepegawaian (PPK) di instansi masing-masing. “Pejabat yang Berwenang
mengusulkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pejabat Administrasi
dan Pejabat Fungsional kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi
masing-masing,” bunyi Pasal 54 Ayat (4) UU ini. Manajemen PNS pada Instansi
Pusat, menurut UU No. 5/2014 ini, dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sementara
Manajemen PNS pada Instansi Daerah dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
25. Pasal 56 UU
ini menegaskan, setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah dan
jenis jabatan PNS berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja.
Penyusunan kebutuhan sebagaimana dimaksud dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas kebutuhan.
Berdasarkan penyusunan kebutuhan ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (PAN-RB) menetapkan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS
secara nasional. Adapun dalam hal pengadaan, ditegaskan Pasal 58 UU No.5/2014
ini, bahwa pengadaan PNS merupakan kegiatan untuk mengisi kebutuhan Jabatan
Administrasi dan/atau Jabatan Fungsional dalam suatu Instansi Pemeirntah, yang
dilakukan berdasarkan penetapan kebutuhan yang ditetapkan oleh Menteri PAN-RB.
“Pengadaan PNS sebagaimana dimaksud dilakukan melalui tahapan perencanaan,
pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, masa
percobaan, dan pengangkatan menjadi PNS,” bunyi Pasal 58 Ayat (4) UU No. 5/2014
ini.
26. Disebutkan
dalam UU ini, setiap Instansi Pemerintah mengumumkan secara terbuka kepada
masyarakat adanya kebutuhan jabatan untuk diisi dari calon PNS, dan setiap
Warga Negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS
setelah memenuhi persyaratan.
27. Berkaitan
dengan Pangkat dan Jabatan Pasal 68 UU ini menegaskan, PNS diangkat dalam
pangkat dan jabatan tertentu pada Instansi Pemerintah berdasarkan perbandingan
objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh
jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh yang
bersangkutan.\
28. Penempatan
pada jabatan disesuaikan dengan pengembangan karier PNS dilakukan berdasarkan
kulifikasi, kompetensi, penilaian kinerja, dan kebutuhan Instansi Pemerintah,
yang dilakukan dengan mempertimbangkan integritas dan moralitas. Sementara
promosi PNS dilakukan berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi,
kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan, penilaian atas
prestasi kerja, kepemimpinan, kerjasama, kreativitas, dan pertimbangan dari tim
penilai kinerja PNS pada Instansi Pemerintah, tanpa membedakan jender, suku, agama, ras, dan golongan. “Setiap PNS
yang memenuhi syarat mempunyai hak yang sama untuk dipromosikan ke jenjang
jabatan yang lebih tinggi, yang dilakukan oleh Pejabat pembina Kepegawaian
setelah mendapat pertimbangan tim penilai kinerja PNS pada Instansi Pemerintah,”
bunyi Pasal 72 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
itu.
29. Berkaitan dengan Pasal 73 ayat (3) UU No 5
Tahun 2014 dalam kaitannya dengan salah satu proses dalam rangka percepatan
reformasi birokrasi didaerah adalah terkait pengisian jabatan struktural di
pemerintahan daerah, khususnya di daerah otonom Kabupaten/Kota.Pelaksanaan
promosi karir PNS, penempatan PNS, Pemberhentian dan pengangkatan pejabat
struktural selama ini masih dilakukan dengan mekanis badan pertimbangan jabatan
dan pengangkatan (Baperjakat) yang ditetapkan oleh pembina kepegawaian daerah
(Bupati/Walikota).Baperjakat ini diberikan kewenanangan untuk memberi
pertimbangan kepada pembina kepegawaian terkait pengangkatan pejabat eselon II
kebawah dan memberikan pertimbangan terhadap kenaikan pangkat PNS yang
menduduki jabatan struktural. Berbagai problem muncul ketika penggantian dan
pengangkatan pejabat struktural, penempatan PNS dan Promosi Karir PNS
dilingkungan pemerintah daerah yang konon diwarnai nuansa politis dan berbagai
kepentingan lainnya.
310.Agar
terjaminnya kualitas dan obyektifitas hal tersebut, maka sangat diperlukan
komitmen pemerintaha daerah untuk melakukan percepatan reformasi birokrasi
didaerah, yakni salah satunya kebijakan daerah terkait mekanisme Promosi Jabatan Terbuka dan tidak diskriminatif atau
lebih khusus dalam rangka promosi jabatan dan pengangkatan pejabat struktural
secara terbuka, obyektif , berkualitas dan tidak diskriminatif dengan
mengedepankan merit system dan manajemen
terbuka untuk mencapai “the right man on the right place”
31. Berdasarkan
latar belakang tersebut perlu dilakukan penelitian sebagai dasar untuk perancangan kebijakan daerah terkait
mekanisme Promosi Jabatan Terbuka dan tidak diskriminatif
2.Identifikasi Permasalahan
Patut disadari, bahwa UU ASN merupakan produk hukum
yang cukup kompleks dan membutuhkan penafsiran yang komprehensif. Oleh karena itu dengan terbitnya UU ASN, yakni
UU No 5 Tahun 2014 diharapkan.dalam penjabaran peraturan pelaksanaannya jangan
sampai multitafsir, oleh karena itulah, dibutuhkan
banyak masukan dari berbagai pihak agar penafsiran UU ASN, yang nantinya termanifestasi
dalam PP/Perpres-nya, tidak menjadi salah sasaran atau jauh dari harapan
kolektif atas perubahan dalam manajemen SDM aparatur.
Pertanyaannya adalah bagaimana dengan kebijakan daerah terkait
mekanisme Promosi Jabatan Terbuka dan tidak diskriminatif ? Untuk itu perlu
dilakukan draf kebijakan daerah dengan indikator
sebagai berikut:
1.
Penyelenggaraan
pemerintahan yang efisien dan efektif menjadi tuntutan di era globalisasi yang
sarat dengan persaingan dan keterbatasan di segala bidang. Kenyataan tersebut
menuntut profesionalisme sumber daya aparatur dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan. Yang terjadi saat ini profesionalisme yang diharapkan belum
sepenuhnya terwujud.
2. Salah
satu penyebab utamanya karena terjadi ketidaksesuaian antara kompetensi pegawai
dengan jabatan yang didudukinya. Ketidaksesuaian itu disebabkan oleh komposisi
keahlian atau keterampilan pegawai yang belum proporsional. Demikian pula,
pendistribusian pegawai masih belum mengacu pada kebutuhan nyata organisasi,
dalam arti belum didasarkan pada beban kerja organisasi. Menumpuknya pegawai di
satu unit tanpa pekerjaan yang jelas dan kurangnya pegawai di unit lain
merupakan kenyataan dari permasalahan tersebut. Di sisi lain pembentukan
organisasi cenderung tidak berdasarkan kebutuhan nyata, dalam arti organisasi
yang dibentuk terlalu besar sementara beban kerjanya kecil, sehingga pencapaian
tujuan organisasi tidak efisien dan efektif.
3.
Dengan memperhatikan amanat
reformasi birokrasi dan upaya nyata untuk meningkatkan kinerja aparatur maka
beberapa daerah otonom berupaya menerapkan kebijakan promosi PNS atau pengisian
lowongan jabatan berdasarkan merit sistem dan terbuka. Kebijakan
tersebut diharapkan dapat mendorong PNS meningkatkan kapasitas, semangat yang
kompetitif serta memberikan kesempatan yang sama (equity) kepada semua
PNS untuk mengembangkan diri melalui jenjang-jenjang jabatan negeri utamanya
jabatan struktural.
4.
Proses seleksi yang dilakukan
secara obyektif akan menghasilkan unsur pimpinan yang berkompeten, responsif,
memiliki kinerja dan integritas yang unggul, serta mampu merumuskan dan
mengimplementasikan kebijakan dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya.
Pada tahapan selanjutnya diharapkan akan terwujud peningkatan kinerja
organisasi dan pelayanan kepada masyarakat selaku end user.
5.
Secara normatif kebijakan
promosi terbuka belum ada pedoman teknisnya dan relatif secara nasional
merupakan kebijakan baru sehingga belum banyak instansi yang secara utuh
melaksanakannya. Sehubungan dengan hal tersebut, agar kebijakan ini tepat dan
dapat diterima oleh internal maupun eksternal birokrasi maka dalam perumusannya
tetap memperhatikan kearifan lokal/budaya yang berlaku.
6.
Sehingga kebijakan promosi
terbuka yang dikembangkan beberapa pemerintah daerah baik
provinsi maupun kabupaten selain dilakukan melalui
instrumen yang obyektif, melibatkan keaktifan PNS untuk berkompetisi juga
mengedepankan kearifan lokal terutama penegasan bahwa jabatan adalah
amanah/penugasan.
7. Berdasarkan ketentuan normatif
pembinaan karier PNS di dasarkan pada sistem karier dan prestasi kerja sehingga
kebijakan promosi terbuka yang dilakukan Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota juga tetap mempertimbangkan kesinambungan karier PNS.
8. Dengan indikator di atas dan mencermati
hasil evaluasi beberapa Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang telah
melaksanakan promosi terbuka dan mempertimbangkan belum adanya petunjuk teknis,
kesiapan PNS, instrumen seleksi, anggaran, pemetaan database
kompetensi yang membutuhkan waktu serta untuk menjaga situasi dan kinerja birokrasi
yang kondusif maka promosi terbuka di beberapa daerah dilaksanakan secara bertahap, selektif
dan terbuka serta Partisipatif
9. Mencermati hasil evaluasi
beberapa Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang telah melaksanakan promosi
terbuka dan mempertimbangkan belum adanya petunjuk teknis, kesiapan PNS,
instrumen seleksi, anggaran, pemetaan database kompetensi yang
membutuhkan waktu serta untuk menjaga situasi dan kinerja birokrasi yang
kondusif maka promosi terbuka di
beberapa daearah dilaksanakan secara bertahap, selektif
dan terbuka sebagai berikut :
a.
Bertahap
Mempertimbangkan jumlah
jabatan struktural dan PNS di Pemerintah Daerah, maka promosi terbuka dilakukan
secara bertahap berdasarkan skala prioritas. Untuk tahun 2013 sebagai
upaya percepatan (quick wins) maka promosi terbuka akan dilaksanakan
untuk jabatan midle manajer yaitu eselon III dan IV dengan model talent
scouting. Jabatan struktural eselon III dan IV menjadi prioritas
karena kondisi saat ini kekosongan jabatan di SKPD sudah cukup banyak dan
memerlukan percepatan pengisiannya. Sedangkan untuk jabatan yang lainnya akan
dilaksanakan pada tahapan berikutnya.
b.
Selektif
Ketentuan dasar dari promosi terbuka
adalah untuk mengisi jabatan yang kosong dan merupakan jabatan yang bersifat
strategis sehingga prosesnya dilakukan selektif melalui mutasi vertikal
(promosi jabatan). Untuk mutasi dalam jabatan yang setara (mutasi horisontal)
tidak dilakukan melalui promosi terbuka namun demikian dalam pertimbangan
pengangkatannya tetap memperhatikan database yang terukur meliputi kompetensi
(hasil assessment center), kinerja (e-kinerja), administrasi,
kasus, kesehatan dll. Kebijakan promosi terbuka jabatan struktural eselon I dan
II (top manager) yang kosong secara selektif akan dilakukan melalui
pola one job one selection sedangkan jabatan eselon III dan IV (midle
manager) akan dilakukan dengan melakukan pemetaan PNS potensial model talent
scouting.
c.
Terbuka
Sesuai dengan amanat reformasi
birokrasi penataan personil dilakukan secara terbuka, namun demikian
pelaksanaannya harus memperhatikan ketentuan keterbukaan informasi publik yang
diatur dalam Undang Undang nomor 14 tahun 2008.
II. ANALISIS JABATAN
1. Arti Analisis Jabatan
Analisis jabatan mencakup
kegiatan mengidentifikasi dan menggambarkan (dengan kata-kata) mengenai apa
yang sedang terjadi dalam sebuah pekerjaan dan jabatan yang ada dalam sebuah organisasi.
1.1 Mengapa Analisis Jabatan
Perlu Dilakukan?
Analisis jabatan adalah
sebuah kegiatan atau proses manajemen yang paling sering dipahami secara
keliru, dianggap rendah, dan seringkali dilaksanakan dengan asal-asalan.
Richard L. Henderson, Profesor si
Amerika Serikat pun, di mana teknik-teknik manajemen modern banyak
dikembangkan, kegiatan analisis jabatan ini baru dapat diperhatikan yang cukup
besar dari manajemen, mahasiswa dan praktisi manajemen sumber daya manusia
setelah diberlakukan Equal Employment
Opporttunity Act (Undang-undang Anti Diskriminasi dalam Hubungan Kerja)
yang cukup keras itu. Perusahaan yang menjadi khawatir rasa perlu sangan
berhati-hati dalam menerapkan segala teknik dan metode dalam manajemen SDM.
Terutama dalam proses seleksi untuk rekrutmen dan promosi, mereka merasa perlu
mengundang semua keputusan mereka dengan data dan fakta yang pasti. Data dan
fakta tentang sebuah pekerjaan termasuk persyaratannya harus dihasilkan melalui
sebuah yang disebut Analisis Jabatan.
1.2 Bidang-bidang dalam Manajemen
yang Dapat Memanfaatkan Hasil Analisis Jabatan
Bidang dan program yang
mutlak perlu memanfaatkan hasil Analisis jabatan adalah sebagai berikut:
1.2.1 Rancangan
Bangunan Organisasi dan Pekerjaan/Jabatan
Karena analisis jabatan
juga meliputi pekerjaan penelitian atau audit atas lokasi tuga, pekerjaan,
wewenang dan tanggung jawab, jenjang komunikasidan pengawasan, maupun penentuan
mana pekerjaan/tugas yang sifatnya core dan esensial dalam struktur organisasi.
1.2.2
Bimbingan dan Pengawasan
Hasil analisis jabatan
yang disajikan dalam bentuk sebuah dokumen tertulis yang disebut ”Uraian
Jabatan” (Job Description) akan membantu memperoleh gambaran yang jelas tentang
apa kontribusi dari setiap pekerjaan / jabatan pada pencapaian tujuan
organisasi.
1.2.3
Rekrutmen
Hasil analisis jabatan
akan sangat membantu petugas rekrutmen dalam melaksanakan seleksi dengan tepat
dan benar, sehingga hanya orang yang tepat yang akan diperoleh. Keluhan dan
protes atau tuduhan bahwa proses seleksi penuh dengan praktek nepotisme dan kecurangan, misalnya,
akan jauh berkurang.
1.2.4 Penilaian Prestasi Kerja
Analisis jabatan yang
sempurna seharusnya mencakup standar prestasi yang harus dicapai oleh pemegang
jabatan untuk setiap tugas dan tanggung jawab yang diambil bagian dari
pekerjaan ini.
1.2.5
Penggajian/Imbalan
Telah disinggung pada
bagian awal bahwa sebagian terbesar perusahaan di Indonesia justru hanya
melakukan analisis jabatan pada saat akan menata ulang sistem penggajian
mereka. Analisis jabatan memang diperlukan karena hasilnya akan digunakan dalam
proses penilaian jabatan ( Job Evaluation) untuk mengukur bobot dan nilai
jabatan.
1.2.6 Program-program
lain
Masih ada progra-program
lain dalam bidang manajemen SDM yang dapat memanfaatkan hasil analisis jabatan,
antara lain: program keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan penentuan
kempatan kerja untuk panyandang cacat.
3. Merencanakan
Analisis Jabatan dan Tahap Pelaksanaannya
Ada beberapa tahap yang perlu diikuti bila pelaksanaan Analisis
Jabatan ingin dilaksanakan dengan benar dan sukses:
3.1. Tahap
I – Tetapkan Tujuan Analisis jabatan Ini
Diatas telah disebutkan 7
kelompok bidang yang biasanya memerlukan analisis jabatan. Tetapkan mana dari 7
alternatif tersebut yang menjadi tujuan anda. Mungkin saja lebih darisatu.
Langkah pertama ini perlu karena langkah-langkah berikutnya akan ditentukan
oleh langkah ini.
3.2. Tahap
II – Tetapkan Apa yang Dianalisis?
a) Identitas pekerjaan/jabatan dalam struktur
organisasi yang sekarang berlaku
b) Tugas-tugas yang esensial
c) Sumber daya yang dipercayakan/alokasikan pemegang
jabatan ini
d) Alur ”input-output
e) Jenis, dimensi, dan lingkup keputusan
f) Kompleksitas atau tingkat kesulitan dari
pekerjaan ini
g) Hubungan-hubungan (interaksi) yang harus
dilakukan oleh pemegang jabatan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
h) Persyaratan jabatan
i)
Kondisi lingkungan kerja
3.3. Tahap III – Kumpulkan Informasi tentang Struktur Organisasi,
Kegiatan Operasi, dan Arus Kerja
Untuk langkah ini dokumen
yang perlu diperoleh adalah skema organisasi yang sekarang digunakan, Job Description yang ada, Skema Proses (Process Cbart) maupun manual sistem dan prosedur yang ada.
Andaikan dalam organisasi ini belum ada skema organisasi yang formal, maka
harus dibuat skema sementara.
3.4. Tahap IV – Tetapan Metode yang Akan Digunakan
Ada 4 (empat) metode atau
cara yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi dan mengumpulkan data, fakta
dan informasi tentang pekerjaan/jabatan dalam proses analisis jabatan. Empat
metode atau cara tersebut adalah :
§ Job Questionnaire
§ Interview
§ Observasi di lapangan
§ The Work Log
§
3.5. Tahap V – Implementasi Program dengan Mengikuti
Langkah-langkah yang Benar
Langkah-langkah
implementasi yangbenar antara lain mencakup kegiatan komunikasi untuk menjamin
dukungan dan kerja sama penuh dari semua tingkatan dan memperkecil penolakan.
1. ”Kick-off Meeting” oleh pimpinan
puncak dengan semua unsur pimpinan organisasi.
2. Pertemuan-pertemuan denga semua staf pada setiap
unit kerja dipimpin oleh kepala unut kerja yang bersangkutan.
3. Komunikasi tertulis untuk seluruh karyawan oleh
pimpinan puncak, atau yang memberi wewenang, agar semua karyawan mengetahui.
III. PERINGKAT
JABATAN
1.
Bagaimana cara Melakukan Evaluasi Jabatan?
Banyak cara dan metode yang dapat digunakan untuk melaksanakan Evaluasi
Jabatan. Ada sejumlah cara yang bersifat informal dan lebih kualitatif yang
disebut juga sebagai cara yang ”non-analitis”
karena tidak memerlukan analisis
jabatan dan pengkukuran dalam prosesnya. Ada pula sekelompok cara yang terdiri
dari cara-cara yang lebih ”formal”, analitis dan kuantitatif yang biasanya
digunakan oleh perusahaan besar terutama perusahaan internasional karena
biasanya cukup tinggi.
1.1 Menyusun Peringkat Jabatan
dengan metode Analisis dan Non Analitis
.1. Metode Analitis
Penerapan kelompok metode yang disebut metode
’analitis” atau ”semi ilmiah” dimulai dengan kegiatan memilih dan menetapkan
faktor yang ada pada jabatan / pekerjaan atau terikat erat dengan yang akan
dijadikan tolak ukur.
Metode Analitis yang paling populer adalah Rating/Factors assesment yang masih
cukup sederhana dan metode sejenis yang lebih canggih seperti Hay, CRG, dan
Bipers yang dikembangkan dan menjadi copy
right lembaga konsultan yang mengembangkannya. Sebenarnya metode-metode
yang dianggap canggih dandimiliki oleh beberapa perusahaan konsultan tersebut
adalah pengembangan dari metode Points-Factors
Rating.
2 Cara-menggunakan metode Points-Factors Rating
Untuk melaksanakan evaluasi jabatan dengan
menggunakan metode Points-Factors Rating
langkah berikut tindakan di bawah ini harus diikuti.
1. Langkah I – Membentuk Panitia
Penilaian Jabatan
Panitia penilaian jabatan ini harus disahkan dan
diumumkan oleh Dewan Direksi dan terdiri dari maksimum 7 orang, minimum 5
orang, dan sebaiknya jumlahnya ganjil agar apabila terpaksa membuat keputusan
melalui pemungutan suara tidak akan ada hasil ”seri”.
2. Langkah II – Memilih dan
Menyetujui faktor yang akan Diukur
Untuk memilih faktor-faktor tersebut biasanya digunakan kriteria di bawah ini:.
Untuk memilih faktor-faktor tersebut biasanya digunakan kriteria di bawah ini:.
- Faktor yang dipilih harus dipahami danditerima oleh semua karyawan (dan juga Serikat pekerja, bila ada)
- Faktor-faktor yang dipilih harus nyata-nyata berlaku ada pada pekerjaan/jabatan yang sedang dinilai.
- Faktor-faktor yang hanya berlaku atau terdapat pada dua atau beberapa pekerjaan juga tidak dapat digunakan untuk mengukur pekerjaan lain karena tidak ada pembandingnya.
- Faktor-faktor yang dipilih tidak boleh mempunyai kemiripan satu sama lain yang pada dasarnya akang mengukur aspek yang sama.
Jumlah faktor sebainya dibatasi sampai jumlah
minimum yang benar-benar perlu untuk membuat perbandingan yang baik di antara
pekerjaan-pekerjaan.
Bagi perusahaan yang jumlah karyawannya ratusan
atau ribuan, dianjurkan untuk membagi karyawannya dalam berbagai kelompaok
seperti : kelompok pabrik/operasional, kelompok kantor/administatif, krlompok
profesional, dan lain-lain.
3.Langkah III – Membuat Definisi untuk Setiap faktor yang Dipilih
Para pakar misalnya sepakat menggunakan definisi di
bawah ini untuk faktor-faktor yang dianggap universal:
- Tuntutan Mental (Mental Requirement)
- Tuntutan Fisik (Physical Requirement)
- Persyaratan Keterampilan (Skills Requirement
- Tanggung Jawab (Responsibility)
- Kondisi ( Lingkungan) Kerja (Working Conditions)
4. Langkah IV -
Membuat “Level” atau Gradasi
dari Setiap faktor, Definisi, dan Points (Skor) untuk Setiap Level
Contoh berikut adalah gradasi, definisi dan skor yang dibuat oleh sebuah perusahaan yang
menggunakan teknologi menengah untuk faktor ”Pendidikan”
4.Metode Non-Analitis
Kelompok cara yang kedua
terdiri dari cara-cara yang cukup sedarhana, murah biaya, tetapi meriah
perdebadan dalam prosesnya. Kelompok metode yang sederhana dan ”murah-meriah”
tersebut terdiri dari metode – metode sebagai berikut:
1. Mengikuti ”Hierarki dalam Organisasi”
2. Metode ”Forced
Ranking” (Peringat Paksa/Konsensus)
3. Metode Klasifikasi Jabatan
4. Metode ”Factors
Comparison”
5. Metode yang digunakan oleh Pegawai Negeri Sipil
dan TNI
5.Mengikuti ”Hierarki dalam
Organisasi”
Teknik yang paling
sederhana untuk menetapkan peringkat jabatan atas dasar ”bobot/nilai” jabatan
itu adalah atas dasar ”Hierarki dalam Organisasi”.
Cara seperti ini biasanya
digunakan oleh perusahaan milik negara (BUMN) walaupun ada sejumlah kecil
perusahaan swasta juga menggunakannya. Struktur peringkat jabatan yang
dihasilkan mungkin seperti berikut :
Peringkat Jabatan
1.Direktur Utama
2.Kepala Sub Direktorat
3.Kepaka Biro
4.Kepala Bagian
5.Kepala Seksi
6.Kepala Regu/Urusan
7.Pelaksana
6. Metode ”Forced Ranking” (Peringat Paksa/Konsensus)
Yang dilakukan melalui
metode ini adalah sejumlah kecil pejabat perusahaan organisasi dengan dimotori
oleh pejabat pimpinan bagian sumber daya manusia menetapkan peringkat jabatan
yang ada dalam struktur organisasi perusahaan. Pertama-tama, bagian sumber daya
manusia harus menyiapkan daftar jabatan yang ada pada masing-masing departemen
atau fungsi yang ada. Daftar ini harus dibuat secara acak yang artinya tidak
menunjukanurutan hierarki atau tinggi rendahnya jabatan berdasarkan struktur
organisasi yang sekarang.
7. Metode Klasifikasi Jabatan
Metode ini merupakan sebuah kemajuan dari metode ”konsensus” karena dalam metode ini pertama-tama harus dibuat dulu kriteria untuk setiap ”kelas/klasifikasi jabatan” yang ditetapkan. Kriteria tersebut bersifat kualitatif dan negatif, serta menjelaskan secara ringkas semua karakteristik jabatan dan persyaratan yang harus dipenhi oleh para pemegang jabatan tersebut. Atas dasar kriteria tertulis tersebut, Kelompok Kerja”/Tim Penilai akan menilai semua jabatan yang terdaftar dan memasukannya ke dalam ”kelas yang dianggap ”pas” untuknya.
7. Metode Klasifikasi Jabatan
Metode ini merupakan sebuah kemajuan dari metode ”konsensus” karena dalam metode ini pertama-tama harus dibuat dulu kriteria untuk setiap ”kelas/klasifikasi jabatan” yang ditetapkan. Kriteria tersebut bersifat kualitatif dan negatif, serta menjelaskan secara ringkas semua karakteristik jabatan dan persyaratan yang harus dipenhi oleh para pemegang jabatan tersebut. Atas dasar kriteria tertulis tersebut, Kelompok Kerja”/Tim Penilai akan menilai semua jabatan yang terdaftar dan memasukannya ke dalam ”kelas yang dianggap ”pas” untuknya.
8. Metode ”Factors Comparison”
Dalam metode ini hal pertama yang harus ditetapkan bukan ”kriteria” seperti dalam netode
klasifikasi jabatan seperti jumlah ”faktor” jabatan yang akan diperbandingkan derajat berat
ringan atau mudah-sukarnya. Faktor-faktor yang dipilih biasanya tidak banyak, berkisar antara 4
dan 6 faktor yaitu:
§
Mental
Requirements (Tuntutan terhadap mendal)
§
Skill
Requirements (Tuntutan Keterampilan)
§
Physical
Requirements (Tuntutan terhadap fisik/jasmani)
§
Lingkukangan fisik tempat kerja
§
Tanggung jawab
9.
Menyusun
Rancangan Poin dan Level
Cara-menggunakan metode Points-Factors Rating
Untuk melaksanakan
evaluasi jabatan dengan menggunakan metode Points-Factors
Rating langkah berikut tindakan di bawah ini harus diikuti.
1. Langkah I – Membentuk Panitia
Penilaian Jabatan
Panitia penilaian jabatan ini harus disahkan dan
diumumkan oleh Dewan Direksi dan terdiri dari maksimum 7 orang, minimum 5
orang, dan sebaiknya jumlahnya ganjil agar apabila terpaksa membuat keputusan
melalui pemungutan suara tidak akan ada hasil ”seri”.
2. Langkah II – Memilih dan
Menyetujui faktor yang akan Diukur
Untuk
memilih faktor-faktor tersebut biasanya digunakan kriteria di bawah ini.
§ Faktor yang dipilih harus dipahami danditerima
oleh semua karyawan (dan juga Serikat pekerja, bila ada)
§ Faktor-faktor yang dipilih harus nyata-nyata
berlaku ada pada pekerjaan/jabatan yang sedang dinilai.
§ Faktor-faktor yang hanya berlaku atau terdapat
pada dua atau beberapa pekerjaan juga tidak dapat digunakan untuk mengukur
pekerjaan lain karena tidak ada
pembandingnya.
§ Faktor-faktor yang dipilih tidak boleh mempunyai
kemiripan satu sama lain yang pada dasarnya akang mengukur aspek yang sama.
§ Jumlah faktor sebainya dibatasi sampai jumlah minimum
yang benar-benar perlu untuk membuat perbandingan yang baik di antara
pekerjaan-pekerjaan.
§ Bagi perusahaan yang jumlah karyawannya ratusan
atau ribuan, dianjurkan untuk membagi karyawannya dalam berbagai kelompaok
seperti : kelompok pabrik/operasional, kelompok kantor/administatif, krlompok
profesional, dan lain-lain.
3.Langkah III – Membuat Definisi untuk Setiap faktor yang Dipilih
Para pakar misalnya sepakat menggunakan definisi di bawah
ini untuk faktor-faktor yang dianggap universal:
o
Tuntutan Mental (Mental Requirement)
o
Tuntutan Fisik (Physical Requirement)
o
Persyaratan Keterampilan (Skills Requirement)
o
Tanggung Jawab (Responsibility)
o Kondisi
(Lingkungan) Kerja (Working Conditions)
4. Langkah
IV - Membuat “Level” atau Gradasi dari Setiap faktor, Definisi, dan Points (Skor)
untuk Setiap Level
Contoh berikut adalah gradasi, definisi dan skor yang dibuat oleh sebuah perusahaan yang
menggunakan teknologi menengah untuk faktor ”Pendidikan”
10. Faktor Pendidikan Formal Minimal
Level Devinisi
1. Pendidikan ”elementer” yang
memungkinkannya mampu membaca dan menulis cukup baik, mampu melakukan
perhitungan sederhana (aritbmetics). Dapat memahami instruksi sederhana yang
bersifat rutin.
(sekor 10)
2.SMTA atau sederajat, mampu melakukan
perhitungan matematika dan ilmu ukur untuk memecahkan masalah sederhana. Dapat
memahami ”manual standar” untuk menjalankan mesin, maanual tentang bagian
mesin, dan instruksi lisan dan tertulis.
(sekor 20)
3.Pendidikan D3 Teknik atau Politeknik atau
Sekolah Magang 2-3 Tahun yang hanya menerima lulusan SMTA. Mampu
membaca dan memahami ”Cetak Biru” alur proses dan manual yang cukup sulit.
(sekor
30)
4.Pendidikan Tinggi Strata I atau Sederajat.
Mampu menggunakan metode dan teknik yang lebih tinggi dalam memecahkan maslah
yang berkaitan dengan pekerjaan termasuk matematika tinggi bila perlu. Memahami
standard operating procedure dan
mampu menulisnya.
(sekor 40)
5.Pendidikan Strara 2 atau sederajat atau brever
spesialisasi dan pendidikan profesi lanjutan dalam bidang yang relevan.
Memecahkan masalah tanpa bantuan siapa pun.
(sekor 50)
CONTOH ALOKASI BOBOT DAN POINT (SEKOR)
UNTUK SETIAP FAKTOR
Faktor-faktor Jabatan
|
Alokasi Bobot (%)
|
Point Terendah
|
1. Pendidikan Dasar
|
12.5
|
25
|
2. Pengalaman
|
12.5
|
25
|
3. Kompleksitas Tugas
|
5
|
30
|
4. Analisis dan inovasi
|
15
|
30
|
5. Hubungan-hubungan
|
10
|
20
|
6. Supervisi/Bimbingan Teknis
|
17.5
|
35
|
7. Rekomendasi & Keputusan
|
17.5
|
35
|
8. Tersedianya arahan dan bimbingan
|
10
|
10
|
DAFTAR PUSTAKA
Aamodt, M. G., (2004). Applied Industrial/Organizational Psychology. USA: Wadsworth, Inc.
Copithorne, K. (2001). Case Study of Competency-Based Performance
Management System. Thesis. Diakses
tanggal 10 Oktober 2007.
Arnold, S.B. (2003). Leader Traits and Leadership Competencies
Necessary During Organizational Change. Dissertation. Diakses Tanggal 24 Maret 2007 dari Clarke, M.
(2002). A Grounded Theory Approach to Standard of Leadership Competency
Framework Development.
Gangani, N.,
McLean, G.N. & Braden, R.A. (2006). A Competency-Based
Human Resource Development Strategy.
Krueger, R.A., (1994). Focus Groups: A Practical Guide for Applied Research. California: Sage Publication Inc.
Loma. (1998).
LOMAs Competency Diary
McShane, S.L. & Glinow, M.A.V
(2003).
Organizational Behavior. New York: McGraw-Hill.
Moleong,
L. J., (2000). Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Noe, R.A., Hollenbeck, J.R.,
Gerhart, B., Wright, P.M. (2004) Fundamentals
of Human Resource Management. Singapore:
McGraw-Hill.
Oshins, M.L. (2002). Identifying a Competency Model for Hotel
Managers. Dissertation. Diakses Tanggal 23 Oktober dari
Poerwandari,
E.K. (2001). Pendekatan Kualitatif dalam
Penelitian Psikologi. Penerbit Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan
Pendidikan Psikologi (PSP3) UI: Jakarta
Prihadi,
S.F. (2004). Assessment Centre: Identifikasi, Pengukuran dan Pengembangan Kompetensi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Rivai,
V., (2005). Performance Appraisal :
Sistem Yang Tepat Untuk Menilai Kinerja Karyawan Dan Meningkatkan Daya Saing
Perusahaan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Shermon, G. (2004). Competency
Based HRM. New Delhi:
Tata McGraw Hill
Spencer, L.M. & Spencer, S.M.
(1993). Competence at Work: Models for Superior Performance.
New York: John Wiley & Sons, Inc
Schahter, Hindy Lauer, 1995.
“Reinventing Government or Reinventing Ourselves Two Models For Improving
Government”. Sutopo & Suryanto, Adi, 2001, Modul Prajab Gol. III :
Pelayanan Prima, LAN-RI
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005
Tentang Guru dan Dosen. Diakses tanggal 11 November 2007
Usman,
H., & Akbar, P.S. (2003). Metodologi
Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara
Utomo,
Warsito, 2006, “Administrasi Publik Baru Indonesia, Perubahan Paradigma dari
Administrasi Negara ke Administrasi Publik”, Pustaka Pelajar : Yogyakarta
Wood, R;
Payne, T. (1998). Competency
Based Recruitment and selection: A Practical Guide.
New York:
John Wiley & Sons, Inc
Wahab,
Solichin Abdul, 2000, Makalah dalam Pengukuhan Guru Besar : “Globalisasi dan
Pelayanan Publik dalam Perspektif Teori Governance”.
.
0 komentar:
Posting Komentar