Sabtu, 31 Mei 2014

METODE PENELITIAN HUKUM MELALUI ANALISIS SEMIOTIKA


METODOLOGI  PENELITIAN HUKUM MELALUI  ANALISIS  SEMIOTIKA

Oleh : Turiman Fachturahman Nur

1.Memasuki Ranah Dunia  Ilmu Semiotika
Dalam khasanah kebudayaan dan peradaban manusia, hadirnya ilmu semiotika dapat dikatakan mampu memberikan kerangka analisis yang lebih komprehensif. Sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda-tanda, semiotika oleh para pendukjungnya diklaim dapat diterapkan disemua bidang kehidupan yang berbeda. Dari sini, semiotika termasuk dalam ilmu yang imperialistik, yakni dalam kemampuannya untuk memayungi analisis terhadap bidang yang berbeda. Namun, dari segi aksebilitasnya semiotika cukup menggugah para analis untuk berbuat lebih dengan memasuki relung-relung relasi yang tersembunyi dari sebuah fenomena.
Fenomena kehidupan manusia sesungguhnya tak bisa dipisahkan dengan fenomena hukum, karena hukum secara semiotika dipahami sebagai simbol yang terpaparkan dalam teks hukum tertulis dalam bentuk formulasi atau rumusan bahasa yang dikenal dengan bahasa hukum. Bahasa hukum  sejatinya didalamnya tersembunyi sesuatu hal yang tersirat dan tersurat. Tentunya untuk memahami terdapat berbagai metode penafsiran yang tersedia, tetapi akan lebih menarik dan holistik jika dipahami dengan analisis dari perspektif semiotik.
Beberapa ahli semiotika bahkan mengatakan bahwa semiotika adalah satu disiplin utama yang dapat dipakai untuk menerangkan setiap aspek dalam komunikasi dan tentunya termasuk dalam lintas komunikasi hukum. Memang jika belum paham semiotika adalah ilmu yang sangat rumit.Ia memiliki terminologinya sendiri. Dan agar menjadi semiotisi, tentunya kita harus mempelajari sesuatu dari bahasa sebagai bagian dari semiotika.
Charles Sander Pierce, salah seorang pendiri semiotika, pernah berkata “....dunia ini bertaburan dengan tanda-tanda, jika tidak tersusun dari tanda-tanda yang ekslusif”. Oleh karenanya, amat logis bagi kita untuk memahami apakah tanda-tanda itu dan bagaimana mereka berfungsi. Ahirnya manfaat dari semiotika adalah untuk menggali dan mengerti tentang sesuatu dari tanda-tanda yang menarik dan mengandung petunjuk tentang kita sendiri sebagai manusia.
Sesungguh Tuhan Yang Maha Esa telah memaparkan proposisi ilahiahnya hal yang berkaitan dengan tanda-tanda sesuatu di alam raya dan tanda-tanda di dalam diri manusa.Didalam surah Fuhshilat (yang dijelaskan) (41) ayat 53 menyatakan “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap alam raya dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar.Dan apakah Tuhanmu tidak cukup bagimu sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu ?”. Demikian juga pada surah Adz Dzaariyaat (Anging Yang Menerbangkan) 51 ayat 20, 21 menyatakan: “Dan dibumi itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang yakin, dan juga pada dirimu sendiri.Apakah kamu tiada memperhatikan?”
Pertanyaannya adalah apakah tanda itu ? Secara semiotika tanda adalah sesuatu yang terdiri pada sesuatu yang lain atau menambah dimensi yang berbeda pada sesuatu, dengan memakai apapun yang dapat dipakai untuk mengartikan sesuatu hal lainnya.[1] Tanda-tanda itu seperti lembaran kertas.Satu sisi adalah penanda dan pada sisi yang lain menjadi petanda dan kertas itu sendiri adalah tanda. C.S Pierce menyebut tanda sebagai “ sesuatu pegangan seseorang akibat keterkaitan dengan tanggapan atau kapasitasnya”.[2]
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana kategorisasi tanda? Pertanyaan ini mengarah pada suatu sistem analisis tanda yang dikembangkan oleh filsuf Charles Sanders Pierce (1839-1914), pemikir dan pemerhati semiotika Amerika yang cerdas menyatakan, bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan kausal dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. C.S Pierce menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, Indeks untuk hubungan kausalnya, dan simbol untuk asosiasi konvensionalnya.
      Secara konstruksi teoritik, konsep tanda  menurut Charles Sanders Peirce, dapat dijelaskan secara konsepsional. Tanda diklasifikasikan ke dalam tiga jenis berdasarkan relasi antara tanda sebagai representan dengan denotatumnya yaitu :[3]
1.   Simbol yaitu tanda yang dapat melambangkan atau mewakili sesuatu (ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan) secara arbitrer dan konvensional. Misalnya, warna merah dan putih dalam bendera kebangsaan Indonesia masing-masing melambangkan keberanian dan kesucian.
2.     Indeks yaitu tanda yang dapat menunjukkan sesuatu (ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan) secara kausal atau faktual. Misalnya, asap menunjukkan adanya api.
3.     Ikon yaitu tanda yang dapat menggambarkan sesuatu (ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan) berdasarkan persamaan atau perbandingan. Misalnya, potret menggambarkan orangnya.
       Relasi antara tanda sebagai representan dengan denotatum di atas didasarkan pada sifat hubungan itu sendiri. Apabila hubungan antara tanda atau representan dengan denotatum atau objek melambangkan atau mewakili secara arbitrer dan konvensional, tanda itu disebut simbol; apabila menunjukkan secara kausal dan faktual, tanda itu disebut indeks; dan apabila menggambarkan berdasarkan persamaan atau perbandingan, tanda itu disebut ikon.
        Proses penyampaian simbol itu disebut tindak komunikasi. Dengan kata lain, tanda (simbol, indeks, dan ikon) adalah media komunikasi (mediums of communication) yang berpijak dalam bidang semiotika. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar di bawah ini. Lingkaran pertama (paling dalam) menyatakan isi atau kandungan tanda, lingkaran kedua menunjukkan bahwa isi tanda itu dapat ditransformasikan ke dalam tiga jenis tanda, lingkaran ketiga menunjukkan bahwa tanda-tanda itu dapat juga diklasifikasikan ke dalam jenis tanda pada lingkaran kedua, dan lingkaran keempat menunjukkan bahwa tanda yang terdiri atas simbol, indeks, dan ikon merupakan bidang semiotik dan dapat digunakan dalam komunikasi.
            Untuk menjelaskan paparan C.S Sander Pierce diatas, kita pahami proposisi Piecer berkaitan dengan teori tanda:
Suatu analisis tentang esensi tanda...mengarah pada pembuktian bahwa   setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama,ketika saya menyebut tanda suatu ikon, maka suatu tanda akan mengikuti sifat objeknya.Kedua, ketika saya menyebut tanda suatu indeks, kenyataan dan keberadaan tanda itu berkaitan dengan objek individual.Ketiga,ketika saya menyebut tanda suatu simbol, kurang lebih hal itu diinterpresentasikan sebagai objek denotatif lantaran adanya kebiasaan (istilah yang saya gunakan untuk mencakup sifat alamiah).[4]
         Tabel berikut ini menjelaskan hal proposisi Pierce:

Tanda
Ikon
Indeks
Simbol
Ditandai dengan
Persamaan (kesamaan)
Hubungan kausal
Konvensi
     Contoh :
  Gambar-gambar, Patung-Patung, Fhoto Seseorang
  Asap/Api. Gejala/penyakit (bercak merah campak)
   Kata-Kata, Isyarat, Lambang-Lambang, Tanda Lalu Lintas
    Proses  :
 Dapat dilihat
  Dapat diperkirakan
 Harus dipahami dan dipelajari.

 Untuk memahami kategorisasi tanda dan metode analisis semiotika, maka kita perlu mengenal dua kunci pemahaman semiotika, yaitu teori yang dibangun oleh Ferdinand De Saussure tentang penanda dan petanda sebagai teori semiologi, dan trikotomi C.S Fierce adalah kunci analisis semiotika.

2.Mengenal Dua Tokoh Semiotika Terkemuka: Ferdinand De Saussure (1857 - 1913) &  Charles Sanders Peirce (1839 -1914)  .
Kalau kita telusuri dalam buku-buku semiotika yang ada, hampir sebagian besar menyebutkan bahwa ilmu semiotika bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand De Saussure (1857 - 1913). De Saussure tidak hanya dikenal sebagai bapak linguistik, tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotika dalam bukunya Course in General Linguistics (1916).
Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik adalah Charles Sanders Peirce (1839 -1914) seorang filsuf Amerika beraliran fragmatis yang dikenal bapak semiotika, Charles Williams Morris (1901 - 1979) yang mengembangkan behaviourist semiotics. Kemudian yang mengembangkan teori-teori semiotika modern adalah Roland Barthes (1915 - 1980), Algirdas Greimas (1917 - 1992), Yuri Lotman (1922 - 1993), Christian Metz (1933 - 1993), Umberco Eco (1932),dan Julia Kristeva (1941). Linguis selain de Saussure yang bekerja dengan semiotics framework adalah Louis Hjlemslev (1899 - 1966) dan Roman Jakobson (1896 - 1982). Dalam ilmu antropologi ada Claude Levi Strauss (1980) dan Jacues Lacan (1901 - 1981) dalam psikoanalisis.
Tokoh yang tersebut  di atas sebagian besar menggunakan metode strukturalisme, yakni sebuah metode yang telah diacu oleh banyak ahli semiotik, hal itu didasarkan pada model linguistik struktural de Saussure. Strukturalis mencoba mendeskripsikan sistem tanda sebagai bahasa-bahasa, Strauss dengan mith, kinship dan totemisme, Lacan dengan unconcious, Barthes dan Greimas dengan grammar of narrative. Mereka bekerja mencari struktur dalam (deep structure) dari bentuk struktur luar (surface structure) sebuah fenomena. Semiotik sosial kontemporer telah bergerak di luar perhatian struktural yaitu menganalisis hubungan - hubungan internal bagian-bagian dengan a self contained system, dan mencoba mengembangkan penggunaan tanda dalam situasi sosial yang spesifik.
Melihat kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang strukturalisme dalam konteks perkembangan kajian budaya harus dilakukan dalam konteks perkembangannya ke semiotik yang seolah-olah lahir sesudahnya. Sebenarnya bibitnya telah lahir bersama dalam kuliah-kuliah Ferdinad de Saussure yang sekaligus melahirkan strukturalisme dan semiotika (oleh de Saussure disebut semiologi yaitu ilmu tentang kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat)[5]. Jadi tidak dapat disangkal lagi bahwa lahirnya semiotika khususnya di Eropa tidak dapat dilepaskan dari bayangan strukturalisme yang mendahuluinya dalam perkembangan ilmu pengetahuan budaya.
Perkembangan dari strukturalis ke semiotika dapat dibagi dua, yakni yang sifatnya melanjutkan sehingga ciri -ciri strukturalismenya masih sangat kelihatan (kontinuitas) dan yang sifatnya mulai meninggalkan sifat strukturalisme untuk lebih menonjolkan kebudayaan sebagai sistem tanda (evolusi).
Berikut ini dua tokoh semiotika dan analisis teorinya:Ferdinand de Saussure (1857 – 1913) dan Charles Sanders Peirce (1839 – 1914)
            Tokoh pertama semiotika adalah Ferdinand de Sausure lahir di Jenewa 26 November 1857, meninggal di Vufflens-le Chateau, 22 Februari 1913 dikenal sebagai bapak linguis Swedia dan dikenal sebagai bapak linguistik modern dalam  semiologi istilah yang digunakan untuk istilah semiotika. Sausure berpendapat, bahwa bahasa sebagai suatu sistem tanda yang mewujudkan  menjadi dua unsur langue (bahasa) sistem abstrak yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat yang digunakan sebagai alat komunikasi dan parole (ujaran), realisasi individu atas sistem bahasa. Oleh karena itu basis semiotika  F.de Sausure adalah bahasa sebagai sarana analisis.
           Konsep semiologi diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure (1857 – 1913) dari Swiss yang dahulu mengajar linguistik sejarah. Pendekatan Saussure tentang bahasa berbeda dari pendekatan filolog abad 19, dimana ia mengkaji linguistik secara sinkronik bukan secara diakronik. Saussure mendefinsikan tanda linguistik sebagai entitas dua sisi (dyad). Sisi pertama disebut penanda (signifier) dan sisi kedua adalah petanda (signified).
Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”.
            Penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan, Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa.
            Tanda linguistik (antara penanda dan petanda) bersifat arbitrer (terserah pengguna) contoh di Indonesia bintang berkaki empat dan yang bisa menggongong disebut anjing, dan di Inggris disebut dog. Konsep tantang anjing tidak harus dibangkitkan oleh penanda dalam bentuk bunyi a/n/j/i/n/g; karena bagi orang Inggris pengertian anjing diperoleh melalui kata “dog”.
            Terhubungnya sebuah penanda dan petanda hanya dapat dimungkinkan oleh bekerjanya sistem relasi atas kesepakatan (konvensi). Tanda dapat bekerja karena ada difference, artinya dia dapat dibedakan dengan tanda – tanda lainnya.
             Fenomena bahasa dibentuk oleh dua faktor; parole – ekspresi kebahasaan dan langue – sistem pembedaan di antara tanda – tanda. Struktur konsepsi dasar tentang langue berkaitan dengan kombinasi dan substitusi elemen–elemen bahasa (hubungan paradigmatik-sintagmatik).
Dalam buku-buku de Saussure membayangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda -tanda dalam masyarakat. Ia juga menjelaskan konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda). Ia menulis… the linguistics sign unites not a thing and a name,but a concept and a sound image a sign .
           Kombinasi antara konsep dan citra bunyi adalah tanda ( sign). Jadi de Saussure membagi tanda menjadi dua yaitu komponen, signifier (atau citra bunyi) dan signified (atau konsep) dan dikatakannya bahwa hubungan antara keduanya adalah arbitrer.
          Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfung si sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem. Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk semiologi.[6]
             Makna Kata “Tanda” Bagi de Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas. de Saussure memberikan contoh kata arbor dalam bahasa Latin yang maknanya ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/ disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu) yakni signifie. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara penanda ( signifier) dan petanda (signified).
             Hubungan ini disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubungan itu adalah mufakat (konvensi) …’a body of necessary conventions adopted by society to enable members of society to use their language faculty. Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari kemufakatan (konvensi) di atas dasar yang tak beralasan      (unreasonable) atau sewenang-wenang[7].
             Sebagai contoh, kata kupersembahkan sekuntum bunga ini kepadamu” yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi dengan konsep tentang bunga dalam benak orang tersebut tidak menunjukkan adanya  batas-batas (boundaries) yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang mendemonstrasikan “perasaan cinta” itu, sedangkan bagi seorang penutur bahasa Inggris bunyi bunga itu tidak berarti apa-apa.
             Petanda selalu akan lepas dari jangkauan dan konsekuensinya, makna pun tidak pernah dapat sepenuhnya ditangkap, karena ia berserakan seperti jigsaw puzzles disepanjang rantai penanda lain yang pernah hadir sebelumnya dan akan hadir sesudahnya, baik dalam tataran paradigmatik. Ini dimungkinkan karena operasi sebuah sistem bahasa menurut de Saussure dilandasi oleh prinsip negative difference, yakni bahwa makna sebuah tanda tidak diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan what is it, melainkan melalui penemuan akan what is not. Kucing adalah kucing karena ia bukan anjing atau bajing. Dengan demikian ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda adalah semiotik. Semiotics is concerned with everything that can be taken as a sign.
            Semiotika adalah studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam percakapan sehari -hari, tetapi juga segala sesuatu yang merujuk pada bentuk-bentuk lain seperti words, images, sounds, gesture, dan objects. Sementara de Saussure menyebut ilmu ini dengan semiologi yakni sebuah studi tentang aturan tanda–tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial ( a science which studies the role of signs as a part of social life).
            Bagi Peirce (1931), semiotics was formal doctrine of signs which was closely related to logic. Tanda menurut Peirce adalah something which stands to somebody for something in some respect or capacity. Kemudian ia juga mengatakan bahwa every thought is a sign.
            Van Zoest (1993) memberikan lima ciri dari tanda. Pertama, tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. Sebagai contoh Van Zoest menggambarkan bahwa di pantai ada orang-orang duduk dalam kubangan pasir, di sekitar kubangan di buat semacam dinding pengaman (lekuk) dari pasir dan pada dinding itu diletakkan kerang-kerang yang sedemikian rupa sehingga membentuk kata ‘Duisburg’ maka kita mengambil kesimpulan bahwa di sana duduk orang-orang Jerman dari Duisburg. Kita bisa sampai pada kesimpulan itu, karena kita tahu bahwa kata tersebut menandakan sebuah kota di Republik Bond. Kita menganggap dan menginterpretasikannya sebagai tanda.
             Kedua, tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat mutlak. Kata Duisburg dapat ditangkap, tidak penting apakah tanda itu diwujudkan dengan pasir, kerang atau ditulis di bendera kecil atau kita dengar dari orang lain.
              Ketiga, merujuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir. Dalam hal ini Duisburg merujuk kesatu kota di Jerman. Kata Duisburg merupakan tanda karena ia “merujuk pada”, “menggantikan”, “mewakili” dan “menyajikan”.
             Keempat, tanda memiliki sifat representatif dan sifat ini mempunyai hubungan langsung dengan sifat interpretatif, karena pada kata Duisburg di kubangan itu bukannya hanya terlihat adanya pengacauan pada suatu kota di Jerman, tetapi juga penafsiran ‘di sana duduk -duduk orang Jerman.
            Kelima, sesuatu hanya dapat merupakan tanda atas dasar satu dan lain. Peirce menyebutnya dengan ground (dasar, latar) dari tanda. Kita menganggap Duisburg sebagai sebuah tanda karena kita dapat membaca huruf-huruf itu, mengetahui bahwa sebagai suatu kesatuan huruf-huruf itu membentuk sebuah kata, bahwa kata itu merupakan sebuah nama yakni sebuah nama kota di Jerman.
Dengan perkataan lain, tanda Duisburg merupakan bagian dari suatu keseluruhan peraturan, perjanjian dan kebiasaan yang dilembagakan yang disebut kode. Kode yang dimaksud dalam hal ini adalah kode bahasa. Walaupun demikian ada juga tanda yang bukan hanya atas dasar kode. Ada tanda jenis lain yang berdasarkan interpretasi individual dan insidental atau berdasarkan pengalaman pribadi.
        Jadi secara ringkas teori Teori F. Saussure, bahwa Saussure mengemukakan bahwa tanda terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar. Bunyi-bunyian dan gambar itu sendiri disebut signifier atau penanda, sedangkan konsep dari bunyi-bunyian dan gambar itu disebut signified atau tertanda. Dalam berkomunikasi, seseorang menyampaikan makna tentang objek dengan menggunakan tanda, dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Saussure juga mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menjadikannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan.[8] Contoh: jika ada orang yang berkata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat, maka kata itu adalah tanda kesialan (signified).
               Tokoh semiotika kedua adalah Charles Sanders Peirce (1839 – 1914), Seorang filsuf berkebangsaan Amerika nama lengkapnya Charles Sanders Peirce (1839 - 1914). Kajian Peirce jauh lebih terperinci daripada tulisan de Saussure yang lebih programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih lazim dalam dunia Anglo-Saxon, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa Kontinental.
               Siapakah Peirce? Charles Sanders Peirce adalah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan multidimensional. Bagi teman-teman sejamannya ia terlalu orisional. Dalam kehidupan bermasyarakat, teman-temannya membiarkannya dalam kesusahan dan meninggal dalam kemiskinan. Perhatian untuk karya-karyanya tidak banyak diberikan oleh teman -temannya.
             Peirce banyak menulis, tetapi kebanyakan tulisannya bersifat pendahuluan, sketsa dan sebagian besar tidak diterbitkan sampai ajalnya. Baru pada tahun 1931 - 1935 Charles Hartshorne dan Paul Weiss menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul Collected Papers of Charles Sanders Pierce. Pada tahun 1957, terbit jilid 7 dan 8 yang dikerjakan oleh Arthur W Burks. Jilid yang terakhir berisi bibliografi tulisan Pierce.
            Peirce selain seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce memahami bagaimana manusia itu bernalar. Peirce akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia berpikir dalam tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotika. Semiotika baginya sinonim dengan logika. Secara harfiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi.
             Ia mengembangkan filsafat pragmatisme melalui kajian semiotika, dan teori tanda yang dibentuk oleh tiga sisi: a. Representamen (tanda) b. Objek (sesuatu yang dirujuk oleh tanda) c. Interpretant (efek yang ditimbulkan;hasil)
             Selain itu terdapat immediate interpretant (makna pertama), dynamic interpretant (makna dinamis), final interpretant (makna akhir). Peirce memperkenalkan sifat dinamisme internal dalam tanda. Interpretant yang tersamar memungkinkan ia menjelma menjadi tanda baru (rantai semiosis).
Representamen: the form which the signt Interpretant: not an interpreter but rather the Sense made of the sign Object: to which the sign refers  Contoh: Kata “Kucing" sebagai penanda, Konsep dalam otak kita tentang bentuk kucing ialah interpretant, sedangkan gambar atau binatang asli kucing ialah objeknya
a.Level Tanda
Tanda yang dikaitkan dengan ground/representamen dibaginya menjadi:
1. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda (mis. warna hijau);
2. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa/realitas fisik yang nyata. (mis. rambu lalu lintas);
3. Legisign adalah norma/hukum yang dikandung oleh tanda (mis. suara pluit wasit).

b.Level objek
            Tanda yang dikaitkan dengan jenis dibagi menjadi tiga kategori, Ikon, Indek dan Simbol.
            Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya foto;
             Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan; misalnya asap sebagai tanda adanya api.;
            Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer, hubungan berdasarkan konvensi masyarakat, misalnya kata, bendera.

c.Level Interpretan
            Tanda yang dikaitkan dengan subtansi makna, dibagi menjadi tiga, Rheme, Disensign, Argument.
             Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Tanda tampak bagi interpretant sebagai sebuah keungkinan, misalnya: konsep;
             Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuai dengan kenyataan. Tanda bagi interpretant sebagai sebuah fakta, misalnya: pernyataan deskriptif;
            Argument adalah yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu. Tanda bagi interpretant sebagai sebuah nalar, misalnya : preposisi.

d.Konsep dasar semiotika
            Peirce membedakan tiga konsep dasar semiotik, yaitu:
1.      Sintaksis mempelajari hubungan antartanda. Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama. Contoh: teks dan gambar dalam wacana iklan merupakan dua sistem tanda yang berlainan, akan tetapi keduanya saling bekerja sama dalam membentuk keutuhan wacana iklan.
2.      Semantik mempelajari hubungan antara tanda, objek, dan interpretannya. Ketiganya membentuk hubungan dalam melakukan proses semiotis. Konsep semiotik ini akan digunakan untuk melihat hubungan tanda-tanda dalam iklan (dalam hal ini tanda non-bahasa) yang mendukung keutuhan wacana.
3.      Pragmatik mempelajari hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda.
            Semakin lama ia semakin yakin bahwa segala sesuatu adalah tanda artinya setidaknya sesuai cara eksistensi dari apa yang mungkin. Dalam analisis semiotiknya Peirce membagi tanda berdasarkan sifat ground menjadi tiga kelompok yakni qualisigns, sinsigns dan legisigns. Qualisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh, sifat merah merupakan qualisgins karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Sinsigns adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilannya  dalam kenyataan.
             Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan merupakan sinsigns. Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan, keheranan atau kegembiraan. Legisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Tanda lalu lintas adalah sebuah legisigns. Begitu juga dengan mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan dan sebagainya.
            Untuk tanda dan denotatumnya Peirce memfokuskan diri pada tiga aspek tanda yaitu ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya (terlihat pada gambar atau lukisan). Indeks adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya, sedangkan simbol adalah penanda yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara kovensi telah lazim digunakan dalam masyarakat.
            Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali.Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat representatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain ( something that represents something else)[9].
              Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu representamen (R) - Object (O) - Interpretant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O). Kemudian I adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara R dan O. Oleh karena itu bagi Pierce, tanda tidak hanya representatif, tetapi juga interpretattif. Teori Peirce tentang tanda memperlihatkan pemaknaan tanda seagai suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur. Proses seperti itu disebut semiosis. Peirce membedakan tanda menjadi tiga yaitu indeks, ikon dan simbol.
              Bagaimanakah hubungan ikon, indeks dan simbol? Seperti yang dicontohkan Hoed, apabila dalam perjalanan pulang dari luar kota seseorang melihat asap mengepul di kejauhan, maka ia melihat R. Apa yang dilihatnya itu membuatnya merujuk pada sumber asap itu yaitu cerobong pabrik (O). Setelah itu ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebuah pabrik ban mobil. Tanda seperti itu disebut indeks, yakni hubungan antara R dan O bersifat langsung dan terkadang kausal. Dalam pada itu apabila seseorang melihat potret sebuah mobil, maka ia melihat sebuah R yang membuatnya merujuk pada suatu O yakni mobil yang bersangkutan.
Proses selanjutnya adalah menafsirkan, misalnya sebagai mobil sedan berwarna hijau miliknya (I). Tanda seperti itu disebut ikon yakni hubungan antara R dan O menunjukkan identitas. Akhirnya apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam kognisinya ia merujuk pada ‘larangan untuk berenang’ (O). Selanjutnya ia menafsirkan bahwa ‘adalah berbahaya untuk berenang disitu’ (I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat konvensional.[10]
            Peirce juga mengemukakan bahwa pemaknaan suatu tanda bertahap -tahap. Ada tahap kepertamaan (firstness) yakni saat tanda dikenali pada tahap awal secara prinsip saja. Firstness adalah keberadaan seperti apa adanya tanpa menunjuk ke sesuatu yang lain , keberadaan dari kemungkinan yang potensial.
Kemudian tahap ‘kedua’ (secondness) saat tanda dimaknai secara individual, dan kemudian ‘ketiga’ ( thirdness) saat tanda dimaknai secara tetap sebagai kovensi. Konsep tiga tahap ini penting untuk memahami bahwa dalam suatu kebudayaan kadar pemahaman tanda tidak sama pada semua anggota kebudayaan tersebut.
           Jadi secara ringkas C.S Peirce yang dikenal nama teorinya sebagai   Teori Segitiga Makna (Triangle Meaning), yakni dalam teori tersebut terdiri dari tiga elemen utama, yaitu tanda (sign), objek, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu berbentuk fisik yang dapat diindera dan menunjukkan hal lain di luar tanda itu sendiri. Objek adalah acuan tanda, yaitu konteks yang ditunjukkan oleh tanda, sedangkan interpretant adalah pengguna tanda, yaitu konsep yang diberikan oleh pengguna tanda terhadap suatu objek yang ditunjukkan oleh tanda, berupa sebuah makna tertentu.[11]

3.Konsep Hukum Sebagai Simbol Dalam Analisis Semiotika
Pertanyaan yang  mendalam kaitannya dengan analisis semiotika adalah apakah yang dimaksud dengan simbol ?. Sebagai telah dipahami, bahwa definisi tanda sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk memaknai sesuatu yang lain. Simbol, jika kita gunakan teori De Sausurean, simbol dalam perspektif De Sausurean , adalah jenis tanda dimana hubungan antara penanda dan petanda seakan-akan bersifat arbriter. Konsekuensinya, hubungan kesejarahan akan mempengaruhi pemahaman kita. Sausurean menerangkan sebagai berikut:
           Salah satu karakteristik dari simbol adalah bahwa simbol tak pernah benar-benar arbriter. Hal ini bukan tanpa alasan karena ada ketidak sempurnaan ikatan alamiah antara penanda dan petanda. Simbol keadilan yang berupa timbangan tak dapat digantikan oleh simbol lainnya seperti kendaraan (kereta) misalnya.[12]
           Seorang dewi yang dengan mata tertutup sedang memegang timbangan bahkan lebih menguatkan tentang keadilan, karena memperkuat makna ketidak berpihakan dan kesamaan perlakuan yang kita asosiasiakan dengan keadilan. Gambaran ini merupakan simbol konvensional keadilan dalam padangan dunia Yahudi-Kristen Barat.Karena itu, ada keterkaitan logis antara timbangan dan konsep Keadilan. Dengan melihat gambar timbangan tidak secara otomatis menjadikan seorang berpikir tentang keadilan. Disinilah konteks menjadi sangat penting dalam analisis semiotika.
         Suatu simbol, dari  perspektif semiotika, adalah sesuatu yang memiliki signifikasi dan resonansi kebudayaan. Simbol tersebut memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan memiliki makna mendalam. Sebagaimana telah ditunjukan, para penganut de Sausure memandang simbol dan mengasosiasikannya dengan semua jenis kejadian, pengalaman dan sebagainya yang sebagian besar memiliki pengaruh emosional bagi kita dan orang lain.         
         Dalam kaitannya dengan hukum, maka sesungguhnya hukum adalah sebuah simbol            Sebagaimana diketahui, bahwa dalam proses komunikasi secara primer, lambang atau simbol digunakan sebagai media dalam penyampaian gagasan atau perasaan seseorang kepada orang lain. Lambang di dalam proses komunikasi meliputi bahasa, gestur, isyarat, gambar, warna, dan tanda-tanda lainnya yang dapat menerjemahkan suatu gagasan atau perasaan seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan) secara langsung.[13] Dari berbagai lambang yang dapat digunakan di dalam proses komunikasi, bahasa merupakan media yang paling banyak dipakai karena paling memungkinkan untuk menjelaskan pemikiran seseorang, dan dengan bahasa pula segala kejadian masa lalu, masa kini, maupun ramalan masa depan dapat dijelaskan.
Fungsi bahasa yang sedemikian rupa menyebabkan ilmu pengetahuan dapat berkembang dan hanya dengan kemampuan berbahasa, manusia dapat mempelajari ilmu pengetahuan. Kegagalan dalam proses komunikasi banyak disebabkan oleh kesalahan berbahasa atau ketidakmampuan memahami bahasa. Apalagi rumusan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, misalnya yang menggunakan bahasa hukum sebagaimana terformulasikan dalam teks rumusan bunyi pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan. Untuk memahami tentunya perlu dieksplore secara  mendalam terhadap makna yang tersirat dan tersurat sebagai teks hukum baik dalam tataran teks, konteks dan kontekstualisasinya.
Semiotika merupakan ilmu atau metode ilmiah untuk melakukan analisis terhadap tanda dan segala hal yang berhubungan dengan tanda. Tanda merupakan bagian yang penting dari bahasa, karena bahasa itu sendiri terdiri dari kumpulan lambang-lambang, dimana di dalam lambang-lambang itu terdapat tanda-tanda.[14] Oleh karenanya tentu ada kaitan yang erat antara semiotika dengan proses komunikasi, mengingat semiotika merupakan unsur pembangun bahasa dan bahasa merupakan media dalam proses komunikasi.
Pentingnya semiotika dalam komunikasi khususnya dibidang komunikasi hukum mendorong para ahli dan ilmuwan semiotika untuk merumuskan berbagai macam teori semiotika. Teori-teori tersebut terus berkembang dan saling melengkapi. Berangkat dari hal tersebut, perkembangan teori semiotika menjadi menarik untuk dipaparkan dan dibahas lebih mendalam secara holistik.
           Dalam perkembangan metode ilmu hukum ada metode yang cukup menarik untuk digunakan dalam penelitian hukum kualitatif, yakni  Legal Semiotics atau Semiotic Jurisprudence: Sebagai Metode Analisis atau Aliran Teori Baru dalam Ilmu Hukum. Banyak penyelesaian perkara-perkara hukum yang dewasa ini dipandang masih amat kurang memuaskan oleh khalayak ramai. Dengan perasaan yang teramat kurang puas, mereka yang awam ini gampang berprasangka akan adanya sesuatu yang koruptif sepanjang proses, tak lain yaitu sebagai akibat ulah laku para hakim, jaksa dan pengacara yang menyalahi hukum yang  berlaku.
Sementara itu para aktivis lebih berani menuduh bahwa segala ketidakadilan itu  bersumber dari tiadanya lagi kemampuan hukum formal – yang dibangun berdasarkan falsafah dan teori-teori positivisme dalam ilmu hukum – untuk memenuhi fungsinya sebagai sarana kontrol (yang sekaligus mestinya juga harus lebih bersifat fasilitatif ) dalam kehidupan  bermasyarakat yang telah kian bertumbuh dam berkembang ke bentuk struktural organisatorisnya yang kian kompleks, majemuk dan heterogen.
Dikatakan bahwa positivisme sebagai dasar paradigma hukum modern telah mengalami krisisnya di tengah kehidupan yang telah berubah pesat ini, khususnya amat terasa di Amerika Serikat yang para eksponennya dengan pasti kian mengukuhi paham pragmatismenya yang klasik, namun yang juga jelas memberikan preferensi yang tinggi pada realisme, tak ayal pula dalam kehidupan hukum.
Analisis dari perspektif semiotika adalah salah satu contoh realisme dalam pemikiran dan analisis hukum, baik pada tataran paradigmatis-teoretis maupun pada tataran produk legislatif dan kasus-kasus konkretnya di sidang-sidang pengadilan.
Analisis-analisis semiotika memang diprakarsai oleh para realis yang memulai aktivitasnya dalam bentuk gerakan-gerakan sosial- politik untuk melakukan pembaruan dalam tatanan sosial dan tatanan hukum, dan baru kemudian disusul oleh gerakan-gerakan yang lebih bersifat akademis dalam bentuk dekonstruksi-rekonstruksi paham dan teori dalam percaturan ilmu hukum.
Semiotika Hukum dianggap sebagai paradigma baru yang nonpositivistis dan nondoktrinal, yang harus diawalmulakan sebagai gerakan sosial-politik guna melakukan dekonstruksi-dekonstruksi. Pembaruan hukum yang dikerjakan atas dasar doktrin-doktrin klasik kaum positivis yang pada dasarnya juga beraliran  paham liberal – yang lebih berpreferensi pada kepastian hukum undang-undang daripada kemanfaatan segala amar putusan hukum untuk kemaslahatan umum – tidaklah akan berhasil mentransformasikan hukum ke konfigurasi dan fungsinya yang baru sebagai suatu pranata yang  berfungsi fasilitatif bagi kemaslahatan massa awam.
Selama alam kebahasaan – demikian kritik dari perspektif semiotika – tidak mengalami transformasi reformatifnya (yang hanya bisa dianjurkan sebagai politik/kebijakan hukum yang baru lewat bantuan analisis-analisis semiotika), selama itu pula reformasi hukum di negeri ini hanya merupakan dambaan yang hanya terealisasi dalam bentuk retorika pada tatarannya yang normatif di ranahnya yang formal belaka. Tidak kurang dan tak akan lebih. Tetapi pertanyaannya adalah bagaimana melakukannya dalam ilmu hukum, untuk itu perlu dipahami hakekat penelitian hukum itu sendiri.

4.Hakikat Penelitian Hukum[15]
Terminologi penelitian – yang di dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah  research  – pada hakikatnya adalah sebuah upaya pencarian. Lewat penelitian (research ) orang mencari (Search) temuan-temuan baru, berupa pengetahuan yang benar ( truth, true knowledge), yang dapat dipakai untuk menjawab suatu pertanyaan atau untuk memecahkan sesuatu masalah.
Tujuan pemecahan masalah dimaksudkan untuk menemukan  pengetahuan baru yang benar, berdasarkan metode-metode yang dipatuhi secara penuh disiplin, peneliti akan mencoba meniadakan ketidaktahuannya dan/atau mengatasi keragu-raguan yang selama ini menggelisahkan jiwanya dan mengganggu pikirannya.
Seperti penelitian ilmu sosial yang lain, maka penelitian hukum halnya dimaksudkan dalam upaya-upaya pencarian fakta atau data yang diharapkan memberikan hasil, orang pertama-tama harus mengetahui terlebih dahulu informasi apa yang sesungguhnya ingin peroleh, dan di mana gerangan kira-kira letak sumber-sumber yang dapat digali untuk menghasilkan informasi atau data yang diperlukan, yang kemudian dapat digunakan untuk menyimpulkan  pengetahuan-pengetahuan baru.
Untuk itu, penelitipun harus paham akan cara-cara metode  pencarian/penemuannya, beserta keterampilan untuk mengaplikasikan metode itu. Tentang sumber-sumber ini, peneliti dapat membedakannya menjadi dua, yaitu sumber  penyedia pengetahuan yang siap pakai dan sumber yang cuma menyediakan materi-materi mentah (data), yang masih harus diolah terlebih dahulu melalui metode tertentu, sebelum bisa menghasilkan pengetahuan yang bisa dipakai untuk menjawab masalah yang diajukan.
Sumber utama yang sering banyak dikenal oleh mereka yang pemula atau awam dalam melakukan penelitian adalah para guru, atau tokoh-tokoh berwibawa lain yang dipandang serba tahu dan mahatahu. Mereka yang pemula dan awam ini tinggal bertanya saja secara langsung apa yang tak mereka ketahui.
Pengetahuan yang mereka peroleh menurut dan lewat cara ini umumnya – dapat diduga – adalah juga  pengetahuan-pengetahuan hasil olahan yang “telah jadi dan telah disiapkan” (atau yang disebut  parate kennis  dalam bahasa Belanda).
Sumber data lain – dengan cara yang memerlukan motivasi dan aktivitas pencari pengetahuan yang sedikit lebih besar – adalah pencarian jawab untuk mengatasi ketidaktahuan lewat cara mencari dan membaca buku-buku referensi atau buku-buku teks (yang umumnya juga ditunjukkan oleh guru).
Selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mencari dan membaca buku untuk menelusuri informasi-informasi yang termuat di dalamnya, untuk kemudian juga menseleksi mana yang akan diperlukan, merupakan kegiatan yang lebih bersifat individual, dan karena itu juga jelas memerlukan ketekunan yang lebih bersifat  pribadi.
Sekalipun pengetahuan yang diperoleh di sini adalah pengetahuan yang umumnya juga  bersifat siap pakai, namun – berbeda dengan cara bertanya langsung – mencari informasi dari sumber-sumber pustaka akan memberikan kesempatan kepada para pencari informasi ini untuk membuktikan kemandiriannya, menguji ketekunannya, mengembangkan imanjinasinya di dalam abstracto, dan merasakan kepuasan, buah hasil suatu self-achievements
 Apabila yang hendak dicari suatu kompleks informasi untuk menjawab permasalahan yang sifatnya kompleks pula, acap kali sumber bacaan yang dicari tidaklah sebatas satu-dua buku saja, melainkan sumber-sumber pustaka dalam jumlah yang banyak dan saling merujuk.
Pencarian sumber dan informasi yang dikandungnya memerlukan kemampuan metodis untuk menelusuri sumber dan informasi itu sebagaimana telah dikoleksi dan disimpan di perpustakaan.
Metode  penelusuran sumber di perpustakaan – untuk menemukan data, informasi dan pengetahuan terolah  – disebut penelitian kepustakaan (library research) Pada tingkat kemahiran yang lebih lanjut, bertanya langsung kepada guru atau responden atau informan atau pula menelusuri dan membaca buku-buku sumber yang diduga kaya dengan  berbagai informasi, tidaklah hendak dimaksudkan sebagai kegiatan final.
Kegiatan-kegiatan itu hanyalah dimaksudkan sebagai kegiatan awal saja, yaitu kegiatan untuk memperoleh informasi-informasi sementara (alias “bahan mentah” atau yang secara populer disebut data) guna diolah lebih lanjut secara kritis.
Dengan demikian, pengetahuan-pengatahuan yang benar dan sahih, tidaklah dianggap telah diperoleh bagitu saja sewaktu diucapkan atau dituliskan oleh (nara)sumber, melainkan dianggap baru diperoleh setelah selesai diolah dengan cara-cara tambahan melalui prosedur dan proses tertentu yang bersifat lanjutan.
Adapun cara orang mencari pengetahuan yang dinilai benar dan sahih untuk menjawab suatu permasalahan – entah lewat cara yang masih dikatakan awal dan sederhana, entah pula lewat cara yang lebih kritis dan canggih – menurut definisinya semua itu adalah upaya-upaya yang boleh  – dan bahkan harus dikualifikasi sebagai usaha pencarian alias usaha search and research
.           Mengapa begitu? Karena dalam upaya ini menurut kadar masing-masing, nyata-nyata terefleksikan adanya serangkaian aktivitas searching yang diawali oleh keinginan seseorang individu secara independen untuk ingin tahu dan ingin bertanya serta (bahkan) mempertanyakan. Di sini tersimak adanya upaya aktif seseorang untuk belajar, dan tidak untuk sebatas diajar dan diajar-ajari saja dalam posisinya yang pasif.
Maka peran narasumber di sini tidak lagi terpandang sebagai pemuka yang harus diikuti dan dipercya serta diturut, melainkan sebagai pembimbing  belaka, dengan fungsinya yang jelas-jelas "cuma" sebagai fasilitator. Dalam tahap-tahap pendidikan keilmuan yang dini, meminta para pemula untuk searching  for the true answer  sudahlah cukup apabila mereka itu tergalakkan untuk banyak bertanya. 
Hasil dari berbagai sumber itulah yang kemudian diperbandingkan, dinilai keakuratan serta keterandalannya, guna kemudian dianalisis sampai menghasilkan simpulan akhir yang teruji sebagai tesis yang bernilai sebagai the true answer 
Pada tahap yang sudah boleh dibilang lanjut, minat menemukan pengetahuan yang benar itu tentulah ikut diseyogyakan apabila usaha seperti itu juga diiringi dengan reserveuntuk tidak  begitu saja menerima kebenaran apa yang dikabarkan sang sumber.
Pada tahapan yang masih lebih tinggi lagi, mereka yang membilangkan diri ke dalam golongan peneliti (searcher/researcher  juga amat diharapkan selalu bisa bersikap kritis dengan membangkitkan keberanian serta kemampuannya untuk senantiasa mau menimbang-nimbang terlebih dahulu kecermatan, keterandalan dan kesahihan informasi-informasi yang diberitakan oleh sang sumber itu.
Pada tahap ini, para peneliti perlu dibantu secara bersungguh-sungguh untuk mengembangkan kemampuannya agar tidak hanya sebatas cakap mengajukan pertanyaan dalam rangka proses tanya-jawab. Maka alih-alih demikian – lebih jauh dari itu – amat diharapkan bahwasannya para peneliti itu juga mampu serta berani bersoal-jawab untuk menguji keterandalan sumber atau narasumber yang telah dipilihnya itu. Tak salah lagi, modal utama dalam langkah pertama suatu penelitian itu  bukanlah "tak tahunya sama sekali" si peneliti mengenai jawaban atas sesuatu masalah, begitu rupa sehingga ia menggantungkan diri pada informasi yang diberikan sepenuhnya oleh sumber atau narasumber.
Modal penggerak pertama suatu proses pencarian itu tak lain yaitu "keragu-raguan" si peneliti apakah pengetahuan atau jawaban yang ia punyai tentang suatu masalah memang sudah betul ataukah masih mengandung cacat kekeliruan.
Pada taraf pendidikan keilmuan yang lebih tinggi lagi, cara searching diharapkan sudah akan meningkat lebih lanjut lagi. Metode searching-nya pun sudah lebih prosedural lagi, dengan strategi-strategi yang dikontrol ketat dan tunduk penuh pada hukum-hukum logika serta disiplin  pengamatan dan/atau pengukuran.
Tidak hanya sampai di situ saja, temuan-temuan empiris itu masih harus dilanjutkan lagi dengan proses-proses analisis – yang tak hanya logis tapi juga imajinatif – untuk pada akhirnya tiba pada kesimpulan-kesimpulan yang lebih abstrak dan lebih umum sifatnya.
Proses abstraksi demikian ini kadang-kala bahkan dapat demikian teoretis dan imajinatif sifatnya sehingga hasilnya seolah-oleh "berambisi" hendak menjurus dan menjangkau ke kasimpulan-kesimpulan yang tidak cuma berlaku untuk menjawabi masalah-masalah setempat, akan tetapi juga berlaku "umum" untuk menjawab permasalahan serupa di tempat lain dan di kerangka waktu yang lain.
Model searching for true answerss ebagaimana yang telah dipaparkan secara berurut-turut di muka – mulai dari yang awam sampai ke yang ilmiah – sesungguhnya mempunyai derajat kesulitan yang sifatnya tidak prinsipil, melainkan cuma kuatitatif atau gradual saja.
Sekalipun demikian, researching untuk kepentingan ilmiah jelas kalau mempersyaratkan tak hanya metode dan instrumen yang lebih tergarap akan tetapi juga disiplin dalam hal berpikir dan dalam hal mendayagunakan metode serta teknik. Semua itu demi kecermatan, keterandalan dan kesahihan hasil-hasilnya.
Metode diperlukan guna mengontrol sepanjang proses, apakah data, informasi dan seluruh kesimpulan yang didapat benar-benar merupakan kebenaran (truth) yang sungguh-sungguh berkebenaran alias “objektif”, dan bukan cuma merupakan proyeksi-proyeksi subjektivitas para penelitinya saja. Maka, kemahiran metodologis para peneliti yang hendak mencari kebenaran ilmiah tidaklah dapat diabaikan.
Maka siapa pun – ilmuwan ataupun praktisi – yang bermaksud secara  bersungguh-sungguh mencari kebenaran ilmiah untuk menjawab masalah yang tengah ia dihadapi, mau tak mau dan dapat tak dapat, mestilah menguasai metode penelitian itu dengan benar. Sekalipun demikian, betapapun pentingnya penguasaan metode demi terjaminnya hasil penelitian yang tak hanya akurat dan berketerandalan (reliable) akan tetapi juga sahih (valid ) untuk menjawab masalahnya.
Ketegasan definitif mengenai "apa sesungguhnya yang tengah dijadikan  masalah dan dicarikan jawabannya" itu haruslah ada terlebih dahulu. Orang harus menegaskan dulu "apa" yang jawabannya tengah dicari sebelum metode untuk menemukan jawaban itu dipastikan. Itulah sebabnya mengapa setiap penelitian selalu diawali dengan upaya menegaskan dulu konsep dan/atau definisi objek atau objek-objek yang akan diteliti (alias yang "misteri"nya akan diungkap dengan jalan mencari jawaban kejelasan-kejelasannya).
Penegasan konsep dimaksudkan agar orang tidak sampai salah memilih cara atau metode penelitian/pencariannya, suatu kesalahan yang akan menyebabkan kebenaran-kebenaran yang telah diperoleh melalui  penelitian/pencariannya, suatu kesalahan yang akan menyebabkan kebenaran-kebenaran yang telah diperoleh melalui penelitian itu – sekalipun akurat dan berketerandalan – tidak "laku" lagi (alias tidak sahih atau tidak valid) untuk menjawab masalah yang tengah diajukan.
Peringatan tentang hal itu amat perlu untuk diperhatikan, khususnya dalam penelitian sosial dan lebih khusus lagi di dalam penelitian-penelitian hukum, mengingat kenyataan bahwa dalam ilmu dan kajian kedua bidang ilmu itu orang lebih banyak membicarakan objek-objek yang tidak berwujud materi yang empiris dan kasat mata, melainkan berupa fenomena-fenomena yang eksistensinya berada di suatu alam abstrak yang dibangun lewat konstruksi-konstruksi rasional.

5.Metode Penelitian Hukum
Terjadinya pengkotakan kajian hukum ke dalam spesialisasi yang amat dipisahkan seperti itu sebenarnya bermula dari kehendak untuk membuat dan menegakkan batas yuridiksi kewenangan yang jelas dan tegas demi kepentingan profesionalisme mereka yang membilangkan diri ke dalam golongan the legal professionals atau the lawyers yang spesialis pengkaji dan pengguna hukum yang murni alias hukum yang formal-positif itu.
Pengkotakan yang berawal dari persoalan yurisdiksi kewenangan professional ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan persoalan keilmuan, berikut metode dan metodologinya, yang harus dipertimbangkan dan dibobot  berdasakan makna akademisnya. Sekalipun demikian, akan kita ketahui nanti bahwa pembedaan antara hukum yang terbentuk secara formal sebagai norma positif dan hukum yang “terbiarkan”  bebas sebagai nomos sosial ini akan ada juga imbasnya dalam dunia pembelajaran hukum dan  penelitian hukum.
Namun demikian, asal saja orang bersedia mencermati liku-liku metodologi sains yang diperlukan untuk kajian-kajian saintik yang berobjek hukum sekalipun, orang akan sadar dan mengetahui bahwa metode penalaran yang diperlukan – baik untuk mempelajari norma (dengan mengikuti alur pemikiran kaum profesional yang positivis) maupun untuk mempelajari nomos(dengan mengikuti alur pemikiran para socialscientists yang sebagian besar dari mereka sesungguhnya terbilang kaum positivis juga) – tidaklah sekali-kali berbeda secara mutlak. Keduanya diprasyaratkan untuk bekerja menurut disiplin prosedur logika yang sama.
Perbedaan hanyalah ada dalam ihwal prosedur teknis-teknisnya saja, yaitu tatkala metode jenis kedua mulai harus dirancangkan dan dilaksanakan untuk keperluan mencari informasi yang akurat,  berketerandalan dan sahih. Dari sinilah awal pembedaan model penelitian hukum, yang terspesialisasi pula menjadi dua, yaitu antara penelitian hukum yang dikatakan normatif (khusus untuk meneliti hukum sebagai norma positif  as it is written in the books) dan penelitian hukum yang dikatakan empiris (khusus untuk meneliti hukum dalam wujudnya sebagai  nomos, at it is observed in society).
Sekalipun  pembedaan dua jenis penelitian hukum dengan penyebutan “penelitian normatif” dan “penelitian empiris” ini telah terlanjur populer dan terus dipopulerkan dalam wacana keilmuan hukum di Indonesia, namun sejak awal orang harus mengetahui bahwa penyebutan seperti itu kurang tepat  benar. Akan kita ketahui nanti bahwa apa yang disebut “penelitian normatif” itu acap kali meninggalkan tataran normatifnya yang positif untuk menggapai tataran-tataran doktrin (atau ajaran) hukumnya juga. Sedangkan apa yang disebut “penelitian empiris” acap kali mengajuk ranah-ranah simbolis yang ada di balik nomos yang tersimak itu. Penyebutan “penelitian doktrinal” dan “penelitian nondoktrinal” – yang pada kenyataannya nanti akan merupakan  penelitan sosial mengenai hukum – kiranya akan lebih tepat.

5.Penelitian Hukum Doktrinal
Penelitian hukum doktrinal adalah penelitian-penelitian atas hukum yang dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang pengkonsep dan/atau sang pengembangnya. Ada berbagai doktrin yang pernah dianut dan dikembangkan dalam kajian-kajian hukum, mulai dari doktrin klasik – yang dikenali sebagai doktrin (atau aliran) hukum alam kaum filosof dan doktrin (atau aliran) positifisme para yuris-legis sampai ke doktrin historis dan doktrin realisme-fungsionalisme para ahli hukum yang terbilang kaum realis. Berikut ini akan dipaparkan  berturut-turut metode doktrinal yang dikenal dalam aliran hukum alam, metode doktrinal yang dianut kaum positivis (yang juga disebut kaum  legis
 itu), dan kemudian juga metode doktrinal yang ditradisikan di kalangan para ahli hukum yang berpaham fungsionalis-realisme.
Di Indonesia, metode doktrinal ini terlanjur secara lazim disebut sebagai metode penelitian yang normatif, untuk melawankan dengan metode penelitian yang dikatakan terbilang empiris (yang di dalam literatur internasional disebut penelitian nondoktrinal).
            Metode Kajian Hukum dengan Hukum yang Dikonsepkan sebagai Asas Keadilan dalam Sistem  Moral Menuruti Doktrin Aliran Hukum Alam Konsep hukum tersebut pertama adalah konsep yang amat berwarna moral dan fisolofis, atau tak  jarang pula dalam masyarakat-masyarakat tertentu amat berwarna religius. Konsep hukum yang demikian ini tak pelak lagi akan melahirkan cabang kajian hukum yang amat religius (seperti semasa jaya-jayanya peran hukum kanonik Eropa pada abad-abad pra-renesans) atau amat filosofis (seperti semasa merebaknya ajaran hukum alam), atau yang moralistis (seperti pada era  pengaruh ajaran hukum positif tatkala orang mendambakan koreksi-koreksi terhadap kelugasan iusconstitutum dengan mengkonstruksikan apa yang mereka sebut  ius constituendum).
Dalam perkembangan alam pemikiran Barat, konsep hukum sebagai asas moral keadilan itu adalah konsep yang terbilang paling tua. Konsep ini berasal-mula dari masa jaya-jayanya kekuasaan gereja dengan hukum kanonik atau  ius novum -nya, sepanjang era sebelum lahirnya negara-negara nasional di negeri-negeri Eropa Barat. Asas dipungut dari dunia nilai (yaitu nilai moralitas) yang – sekalipun tak selamanya dirumuskan secara tegas dan pasti oleh lembaga-lembaga kekuasaan negara – tetap saja selalu diakui oleh masyarakat sebagai segugus  pedoman normatif yang hidup untuk menuntut perilaku-perilaku yang dipandang amat patut di dalam masyarakat. Dalam kehidupan komunitas-komunitas lokal yang  otonom, yang di Indonesia dikenali sebagai masyarakat-masyarakat adat, asas-asas yang hidup di dalam sanubari warga masyarakat sebagai bagian dari – yang oleh Eugen Ehrlich disebut  das lebend recht – “the living law”.
 Inilah yang di dalam literatur-literatur hukum di Indonesia disebut hukum adat (dalam asas-asasnya). Asas-asas keadilan (atau kearifan atau pula kepantasan) yang berada pada ranah moral ini umumnya terumus amat umum, dan acap pula tidak tertulis, serta terbuka untuk sembarang tafsir oleh siapa pun ketika akan diperlukan untuk menghukumi sesuatu perkara yang konkret.
Sekalipun terumus umum sebagai asas-asas belaka, namun demikian norma-norma abstrak itu dalam praktik kehidupan dapat berfungsi juga sebagai pedoman (kalaupun bukan sebagai aturan atau perintah berperilaku yang eksplisit untuk memberi arahan tentang apa yang harus dilakukan  para warga dalam perilaku mereka sehari-hari).
Kehidupan masyarakat awam dalam kesehariannya, umumnya dipedomani oleh asas-asas umum semacam ini, seperti misalnya “janji harus ditepati”, “suami-isteri harus saling mencintai”, “jangan gampang-gampangan memutus  persahabatan”, “menutut ilmu itu sesungguhnya merupakan bagian dari ibadah dan karena itu harus dikerjakan sepanjang umur”, dan seterusnya.
Di tangan para elite pemuka masyarakat yang tampil sebagai eksponen-eksponen penegak moral sosial – entah yang tetua adat, entah yang ulama atau yang dikenali sebagai kaum brahman di India, entah filosof – semua asas-asas itu dihimpun (kalaupun tak dikitabkan tentulah direkam dalam ingatan), untuk difungsikan sebagai kekayaan rohani masyarakat, dan akan selalu dirujuk sebagai ajaran dan pembenaran cara-cara bertingkah laku dan/atau tatacara-tatacara berperilaku.
Dalam riwayat berbagai bangsa, tak jarang ajaran-ajaran asasi ini dikabarkan sebagai sesuatu yang sebenarnya tak sekali-kali berawal dan berasal dari ranah-ranah manusiawi, melainkan dari ranah-ranah yang kodrati, supranatural, superhuman, atau bahkan sesungguhnya Illahi.
Dalam  perkembangan kehidupan di negeri-negeri Eropa Barat, para era sebelum lahirnya negara-negara nasional yang tersentralisasi, asas-asas itu memiliki sifatnya sebagai asas-asas yang kodrati dan –  berikut semua hasil jabarannya – dipercaya sebagai bagian dari hukum kodrat atau hukum alam.
Di tangan ahli-ahli filsafat hukum alam, asas-asas yang diyakini sebagai bagian dari hukum kodrati itu – demi keterpakaiannya untuk mengkaidahi perilaku warga masyarakat dalam situasi-situasi konkret – masihlah harus diupayakan dan diputuskan dengan melihat  permasalahannya dari kasus ke kasus.
Upaya intelektual di ranah normatif ini – dari normanya yang abstrak (pada tataran asas) ke normanya yang sungguh lebih konkret (pada tataran aturan  berperilaku) – berlangsung lewat proses-proses yang tunduk penuh pada aturan logika formal yang disebut silogisme deduksi.
Deduksi yang dikenal juga sebagai logika matematika ini terdiri dari tiga premis: yang umum (mayor), yang khusus (minor) dan dan yang simpulan (konklusi). Apabila “semua manusia mesti mati” (premis mayor), dan “Socrates adalah manusia” (premis minor), maka “Socrates mesti mati” (premis konklusi).
Dalam konstruksi silogisme deduksi sebagaimana digunakan dalam kajian hukum  bermoral keadilan ini, asas-asas atau postulat-postulat moral yang dipungut dari hasil kontemplasi  para pemikir filsafati (atau yang tak jarang sesungguhnya juga dipungut dari moral masyarakat setempat) namun yang sering kali dinyatakan sebagai sesuatu yang self-evident dan berlak universal, akan diposisikan sebagai premis mayor.
Sementara itu, kasus-kasus perilaku yang hendak dipertanyakan nilai normatifnya akan didudukan sebagai presis minornya. Maka, tak ayal lagi, konklusi yang dapat ditarik sebagai premis penutup dalam silogisme itu akan menyatakan apa yang menjadi norma hukum atau norma moralnya untuk kasus perilaku yang ditanyakan itu.
Sebagai ilustrasi dapatlah dikemukakan contoh berikut ini. Apabila orang menanyakan: “apakah dasar moral dan/atau bunyi hukumnya yang harus dipakai untuk membenarkan atau menyalahkan seseorang yang tak menepati janji dalam kasus jual-beli karena ia merasa tertipu?”, lalu apakah kira-kira jawabnnya? Dapatkah dicarikan (search and research) jawaban untuk pertanyaan itu? Di sini akan dicari melalui konstruksi silogisme. Diketahui fakta bahwa ada orang yang tak menepati janji karena ia merasa tertipu. Fakta khusus ini tak pelak harus diposisikan sebagai  premis minor. Asas moralnya yang berlaku umum harus dicari melalui penelusuran.
Search! Ditemukan asas moral bahwa semua janji dan perjanjian harus dilandasi itikat baik agar melahirkan ikatan moral – atau ikatan hukum yang bermoral – antara pihak-pihak. Maka simpulannya dapat diharapkan dari konstruksi silogisme deduktif berikut ini: “Semua perjanjian harus dilakukan atas dasar itikat moral yang baik agar dapat mengikat; a concreto,
 semua  perjanjian yang tak dilakukan atas dasar itikat moral yang baik tidaklah akan mengikat”.
Ini premis mayornya. “Si A mengikat diri ke dalam ikatan perjanjian itu karena tertipu”. Ini premis minornya! Maka, premis konklusinya adalah: “Si A yang tertipu (menurut asas moralnya) tak akan terikat oleh perjanjian itu”.
 Metode Kajian Hukum dengan Hukum yang Dikonsepkan sebagai Kaidah  Perundang-Undangan Menurut Doktrin Aliran Positivisme dalam Ilmu Hukum Berseiring dengan pertumbuhan dan perkembangan negara-negara bangsa yang terpisahkan dari kekuasaan Gereja di negeri-negeri Eropa Barat, yang dengan demikian telah menyebabkan terjadinya proses sekularisasi kekuasaan negara di negeri-negeri itu, terjad pula sekularisasi hukum-hukumnya. Hukum negara yang disebut juga hukum nasional – kini tak lagi mengutamakan kandungan moral dan kebenaran moral atau nilai rchtswaardigheid  untuk menjamin legitimiasinya, melainkan lebih mengutamakan kekuatan kepastian berlaku atau nilai rechtzekerheid .
Inilah proses sekularisasi yang disebut juga proses positivisasi hukum. “Hukum” hanya akan boleh dipandang dan diakui sebagai hukum tatkala hukum itu secara jelas merupakan  perintah eksplisit. Hukumlah yang berdaulat, seperti yang dikatakan Austin bahwa “(positive) law is the command of the sovereign.
Hukum bukan lagi asas-asas abstrak yang tak dapat ditunjukkan di mana dan bagaimana rumusannya yang jelas dan tegas, dan bagaimana pula ciri-cirinya yang menengarai bahwa “hukum” itu memang benar-benar hukum. Hukum dan konsep kaum positivis ini bukan lagi cuma berupa ius, melainkan harus benar-benar berciri sebagai lex atau
lege.
Sekalipun dalam soal konsep tentang substansi hukum ada perbedaan yang cukup mendasar antara puak pembela hukum dalam yang moralistis dan puak positivis yang menyebut hukum adalah benar-benar  the command of the sovereign  – yang oleh sebab itu dapat ditunjukkan  bagaimana isi rumusannya dan kapan serta di mana diperintahkannya (diundangkannya) itu – namun dalam soal metode  searchings and  researchings- nya tidaklah ada perbedaan antara keduanya itu.
Baik penganut aliran hukum alam, maupun para penganut aliran positif, keduanya sama-sama berlogika normatif dan karena itu kedua-duanya juga sama-sama mendayagunakan silogisme deduktif untuk menemukan jawab mengenai “apa hukumnya untuk mengkaidahi suatu kasus tertentu”.
Hanya saja, tatkala para eksponen aliran hukum alam mencari dan menemukan  premis-premis mayornya dalam wujud asas-asas yang terdapat dalam ajaran moral atau asas-asas filsafati yang konon berlaku universal, para eksponen aliran positivisme hanya mau menggunakan  pasal-pasal dan ayat-ayat yang terdapat dalam undang-undang atau hukum perundang-undangan (tentu saja secara selektif) sebagai premis-premis mayor.
Lepas dari soal apa yang akan dijadikan premis mayor, tak adalah beda lebih jauh mengenai pendayagunaan silogisme deduksi itu, oleh mereka yang berada di pihak paham hukum alam dan mereka yang berada di pihak paham hukum positif. Dengan menempatkan fakta “duduk  perkaranya” sebagai premisnya yang minor, kaum positivis dengan mudah akan menemukan lewat  penarikan simpulan (premis konklusi) mengenai apakah bunyi hukumnya in concreto untuk suatu  perkara tetentu.
Peragaannya dalam sidang-sidang pengadilan yang menaati ajaran hukum kaum  positivis (yang di dalam bahasa Hans Kelsen disebut reine Rechtslehre) adalah sebagai berikut: apabila hakim menemukan bunyi hukumnya in abstracto – seperti misalnya yang kira-kira dirumuskan dalam pasal 362 KUHP – bahwa “barangsiapa mengambil barang milik orang lain, sebagai atau seluruhnya, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, maka ia akan dihukum karena pencurian sebanyak-banyaknya X tahun” (ini  premis mayor), dan dalam pemeriksaan perkara sang hakim ini menerima bukti bahwa “si A mengambil sebagian dari milik orang lain dengan maksud untuk menguntungkan anaknya” (ini logikanya) bahwa “si A harus dihukum karena mencuri.
Pada masa awal perkembangan kehidupan bernegara, yaitu tatkala positivisasi hukum baru  berada pada tahap-tahap awalnya, dan ketika tertib kehidupan bermasyarakat masih pula lebih  banyak dikuasai oleh tuntutan-tuntutan asas-asas moral dan mores sebagaimana yang lebih banyak dikontrol oleh elite-elite masyarakat ulama dan tokoh-tokoh penegak moral sosial daripada oleh the positive command of the sovereign sebagai dikontrol oleh the legal professional (juristen dan/atau lawyer ), kebutuhan untuk menginventarisasi bahan-bahan hukum primer, yang dapat difungsikan sebagai sumber formil bagi setiap usaha penciptaan hukum baru (yang abstrak maupun yang konkrit) tidaklah sekali-kali terasa mendesak.
Sementara itu, jumlah produk hukum  perundang-undangan belum seberapa banyak, dan belum terasa perlu diinventarisasi, dikoleksi dan diorganisasi dengan teknik-teknik dan prosedur-prosedur yang khusus. Sehubungan dengan kenyataan itu, kebutuhan untuk mengembangkan metode dan teknik guna keperluan pembinaan serta pendayagunaan koleksi bahan-bahan primer pun lalu tak terlampau banyak dirasakan.  
Namun kini keadaan telah berubah. Perkembangan hidup bernegara dan berhukum (yang tak hanya menghendaki keadilan akan tetapi juga kepastian), telah kian kompleks dan telah menyebabkan meningkatnya produksi perundang-undangan dan seterusnya juga meningkatkan  pergandaannya dalam bentuk peraturan-peraturan pelaksanannya dan dalam berbagai bentuk keputusan pengadilan yang menetap sebagai yurisprudensi.
Positivisasi hukum, dengan penolakan untuk mengakui asas-asas moral dan asas-asas filsafat sebagai hukum yang berlaku, telah meningkatkan produksi hukum positif. Multiplikasi hukum positif (yang terumus in abstracto maupun yang terlafalkan  in concreto) dan meningkatnya kebutuhan akan informasi hukum positif untuk praktik maupun untuk studi, tentu saja akan meningkatkan pula kebutuhan akan metode dan teknik yang tepat guna menjamin terwujudnya koleksi bahan-bahan hukum yang lengkap.
Seluruh kerja inventarisasi itu tentu saja meliputi pula usaha-usaha untuk mengorganisasi bahan-bahan hukum itu ke dalam suatu sistem informasi yang komprehensif dan yang terkembang demikian rupa sehingga memudahkan penelusuran kembali bahan-bahan hukum tersebut secara efisien.
Kecuali mengerjakan inventarisasi bahan-bahan primer – dalam wujud hukum  perundang-undangan, untuk kemudian mengorganisasinya ke dalam suatu koleksi yang memudahkan penelusurannya kembali – kajian-kajian doktrinal dalam ranah hukum positif ini  juga meliputi usaha-usaha untuk mengkoleksi bahan-bahan hukum lain yang sekalipun tak terbilang primer.
Akan tetapi – dibilangkan sebagai bahan-bahan hukum yang sekunder – bernilai  penting juga untuk mengembangkan hukum dan ilmu hukum. Bahan-bahan sekunder ini umumnya terdiri atas karya-karya akademis – mulai dari yang diskriptif sampai yang berupa komentar-komentar penuh kritik – yang memperkaya pengetahuan orang tentang hukum positif yang berlaku (ius constitutum) dan/atau yang seharusnya berlaku (ius constituendum).
Dalam maknanya yang formil, bahan-bahan hukum yang sekunder ini memang bukan hukum yang  berlaku akan tetapi, dalam maknanya yang materiil, bahan-bahan sekunder itu memang  bahan-bahan yang berguna sekali untuk meningkatkan mutu hukum positif yang berlaku. Bahan-bahan sekunder itu berguna untuk dirujuk pertama-tama sebagai sumber guna meningkatkan mutu interpretasi atas hukum positif yang berlaku.
Lebih lanjut lagi, bahan-bahan sekunder itu juga berguna untuk mengembangkan hukum sebagai suatu sistem normatif yang komprehensif dan tuntas, baik dalam maknanya yang formil maupun dalam maknanya yang materiil.
Bahan-bahan sekunder adalah hasil kegiatan teoretis-akademis yang mengimbangi kegiatan-kegiatan praktik legislatif (atau praktik yudisial juga), sedemikian rupa sehingga  produk-produk praktik yang nampaknya fragmentaris dan mosaik itu akhirnya bisa terpola menjadi suatu sistem yang utuh dengan komponen-komponen yang tak saling bertentangan, dan karena itu menyebabkan seluruh sistem hukum positif menjadi bersifat rasional serta pasti.
Sementara itu, hasil-hasil studi yang telah terkoleksi sebagai hahan-bahan sekunder ini lazim pula dikaji para praktisi, yang akan mampu merawat serta mengembangkan kaidah positif secara lebih  baik. Inventarisasi dan koleksi bahan-bahan hukum tersebut dimuka (baik yang primer untuk difungsikan sebagai sumber formil maupun yang sekunder untuk difungsikan sebagai sumber materiil) banyak dikerjakan oleh para pekerja yang bertugas dalam bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi, serta pengarsipan hukum.
Menggembirakan sekali, akhir-akhir ini  perkembangan metode dan teknik untuk maksud itu telah banyak terbantu oleh prekembangan teknik dan prosedur di dalam cabang ilmu khusus yang dinamakan “informatika”, dan kemudian  juga – setelah meluasnya penggunaan teknologi elektronik – oleh salah satu cabang kajian yang khusus tetapi penting di dalam Metodologi Penelitian Hukum, yaitu apa yang disebut-sebut dengan nama yurimetri. Namun, dalam soal pendayagunaan kemampuan informatika dan yurimetri.
Namun, dalam soal pendayagunaan kemajuan informatika dan yurimetri itu, (sayang sekali), di Indonesia usaha-usaha di bidang itu ini belum banyak ditangani secara serius, dan  prosedural serta struktur koleksinya pun belum dibakukan secara cukup tuntas.
Komputerisasi koleksi malahan belum dimulai secara berarti, sedangkan personil-personilnya yang terlatih untuk  bidang itu pun belum pula memadai, baik dalam hal jumlah maupun dalam hal mutu ketrampilannya.
 Metode Kajian Hukum dengan Hukum yang Dikonsepkan sebagai Keputusan Hakim in Concreto Menuruti Doktrin Fungsionalisme Kaum Realis dalam Ilmu Hukum
Kegiatan jenis ketiga dalam penelitian-penelitian hukum, dengan hukum yang menurut doktrinnya dikonsepkan sebagai hukum positif ini, adalah penelitian-penelitian dan kajian-kajian yang dikerjakan dengan hukum yang dikonsepkan pertama-tama sebagai keputusan hakim  in concreto.
Inilah hukum yang dikenali sebagai  judge-made law, yang sekalipun semula dimaksudkan hanya untuk memutus perkara hukum yang tengah menjadi kasus, akan tetapi karena adanya doktrin  stare decisis  berikut asas  precedencenya maka hukum seperti itu pada saat tertentu juga bisa  berlaku in abstracto.
Hukum dan kajian hukum yang dikembangkan atas dasar doktrin seperti itu dikenal marak di negeri-negeri yang bersistem  common law  (khususnya di Amerika Serikat), di mana hakim menurut doktrinnya tidak cuma hendak menemukan hukum akan tetapi terlebih-lebih harus dapat menciptakan hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum  in concreto.
Kegiatan  penelitian hukum jenis ketiga di Amerika Serikat ini umumnya dilakukan oleh para ahli hukum  praktisi, khususnya para pengacara, serta pula para teoretisi yang mem-
back-up  para pengacara itu untuk melakukan studi-studi guna memperkirakan apa kira-kira yang akan diputuskan hakim olah  pengadilan dan/atau juri, lewat studi-studi.
Berbeda dengan apa yang dipraktikkan di negeri-negeri  penganut tradisi  civil law system Eropa Kontinental, di mana para ahli hukum dengan sepenuhnya hati memandang  law as it is in the books sebagai model normologis yang sempurna untuk mengontrol seluruh kehidupan, dengan kewajiban hakim untuk (bak mulut yang tugasnya cuma membunyikan apa yang tertulis dalam undang-undang) memutus perkara-perkara dengan menemukan hukum dari produk-produk legislatif – di negeri-negeri Anglo-Saxon (lebih-lebih di Amerika Serikat yang terkenal pragmatismenya itu) yang hendak dipentingkan bukanlah  the codified law itu, melainkan  the judge-made law.
Maka  searching for law  dalam tradisi penelitian hukum di Amerika Serikat ini akan segera  bermakna sebagai  the searching for what the judge will decide as law.  Kerja pencarian hukum di sini lalu tak cuma hendak dilakukan untuk menemukan apakah bunyi hukum in abstracto-nya saja, untuk kemudian mendeduksikannya berdasarkan silogisme logika formal, melainkan dengan cara menspekulasikan secara teoretis – dan kemudian menghipotesiskan – apa kira-kira yang akan diputuskan oleh juri dan hakim. Diketahui bahwa hakim di mana-mana tidak akan mungkin – dan memang juga tidak akan diharapkan – untuk cuma sekadar menemukan lafal-lafal hukum  in abstracto  tersebut menjadi lafal-lafal yang  in concreto, sine ira.
 Di mana-mana hakim itu selalu mengimbuhkan suatu pertimbangan pribadi yang extra-legal sifatnya, dengan cita-cita bahwa keputusan-keputusan yang dibuatnya itu akan lebih fungsional bagi kehidupan. Maka pengalaman yang tersimak dalam kehidupan akan dapat lebih mampu menjawab persoalan hukum dan akan dapat lebih cermat menduga arah keputusan hakim-hakim daripada logika-logika hukum. Berkatalah Holmes – yang merintis aliran realisme dalam ilmu hukum di Amerika Serikat – dalam hubungan ini bahwa  the life of law has not been logic, it is experience.
Ajaran  legal realism atau  the functional jurisprudence rintisan Holmes ini bukannya mengabaikan sifat kajian-kajian hukum yang normatif-deduktif dan doktrinal, akan tetapi sesungguhnya cuma hendak menegaskan bahwa dalam setiap penciptaan hukum  in concreto
itu selalu terjadi apa yang disebut   judgements, yaitu keputusan-keputusan yang diinfiltrasi oleh  pertimbangan-pertimbangan pribadi yang bersifat  extra legal  (bukan yang  illegal).
Roscoe Pound  – dengan paham  sociological jurisprudence- nya malahan menganjurkan dikerjakannya  judgements seperti itu oleh para hakim agar hukum dan keputusan-keputusan hukum tidak hanya fungsional dalam masyarakat akan tetapi juga secara pro-aktif dapat merekayasa perubahan masyarakat.
Tak pelak lagi, di negeri-negeri dengan tradisi  common law di mana para hakim akan agak terbebaskan dari imperatif silogisme deduktif, agar dapat lebih memenuhi fungsi “menyelesaikan sengketa dari kasus ke kasus” daripada melebihkan fungsinya sebagai “penerap atau bahkan penegak hukum bersumberkan perintah undang-undang” (sekalipun langit akan runtuh), kemungkinan mencapai kesimpulan dengan cara induksi, seraya banyak mempertimbangkan tuntutan kenyataan – akan menjadi lebih besar. Maka, mungkin saja bukan hal yang kebetulan apabila dasar-dasar ide paham  sociological  jurisprudence atau  the functional school of jurisprudence  itu lebih mudah diterima dan dimengerti, untuk kemudian berkembang marak di negeri-negeri dengan sistem  common law  – lebih-lebih lagi yang berpaham pragmatis, seperti Amerika Serikat.
Kajian-kajian yang induktif-nomologis mengenai proses sosio-psikologis terjadinya
 judgements  hakim banyak muncul dalam penelitian-penelitian tentang apa yang didalam literatur Amerika Serikta disebut  court behaviors.
Kondisi-kondisi sosio psikologis yang riil dan  berpengaruh pada perilaku para juri dan hakim atau pula pada para pengacara – serta pula  proses-proses interaktif antara-mereka, telah menjadi topik-topik utama dalam kajian-kajian  court/judicial behaviors.
Studi tentang afiliasi politik para hakim (demokrat ataukah republikan), misalnya, dikaji dalam kaitan dengan keputusan-keputusan yang akan dijatuhkan dalam perkara diskriminasi dan segregasi rasial. Perbedaan jenis kelamin atau golongan etnis/ras para anggota  juri atau hakimnya, sebagai misal yang lain, dikaji apakah akan ada pengaruh dalam ihwal keputusan-keputusan yang akan dijatuhkan dalam perkara perkosaan. Demikian seterusnya.
Sejauh studi-studi itu berkaitan erat dengan soal opini-opini (hakim) tentang substansi hukum perundang-undangan dan/atau keputusan-keputusan para hakim terdahulu yang  berkekuatan sebagai preseden-preseden, tidaklah ada salahnya kalau studi-studi tersebut tetap dikategorikan sebagai studi-studi doktrinal. Akan tetapi, studi-studi tentang perilaku hukum di ruangan-ruangan pengadilan sulitlah kalau dikategorikan sebagai studi tentang doktrin-doktrin hukum.
Variabel-variabel yang  extra-legal  itu jelaslah kalau eksis ke luar ranah doktrin, dan  penelitian-penelitian serta studi-studinya tak ayal lagi sudah terbilang ke dalam kategori non doktrinal, dengan menggunakan metode-metode dan idiom-idiom yang non doktrinal pula. Dalam  perkembangan berikutnya, metode-metode nondoktrinal ini dimanfaatkan oleh ilmu hukum, tidak hanya untuk mengkaji  the extra-legal factors , akan tetapi juga untuk mempelajari  the real social  factors dalam konteks  legal hehaviors as it is in society.
 Dengan sekali langkah,  the sociological  jurisprudence sudah menjadi  the sociology of law  dengan segala konsekuensinya. Tidak cuma konsekuensi paradigma substantifnya akan tetapi juga konsekuensi metodologisnya

6.Metode Penelitian Non-doktrinal
Di dalam kehidupan yang mulai banyak mengalami perubahan-perubahan transformatif yang amat cepat, terkesan kuat bahwa hukum (positif) tak dapat berfungsi efektif untuk menata perubahan dan perkembangan. Tak ayal lagi, berbagai cabang ilmu-ilmu sosial – khususnya sosiologi yang akhir-akhir ini mulai banyak mengkaji dan meneliti ihwal perubahan-perubahan sosial – "dipanggil" untuk ikut menyelesaikan berbagai masalah dan perubahan sosial yang amat relevan  dengan permasalahan hukum. Ilmu-ilmu sosial – yang mulai "ditengok" dalam kerangka ajaran  sociological jurisprudence mulai banyak pula dimanfaatkan untuk memungkinkan usaha memperbaharui dan memutahirkan norma-norma hukum.
Kajian-kajian  sociology of law  – dengan metode sosialnya yang nomologis-induktif – kini dikembangkan dan dimanfaatkan untuk menganalisis dan memberikan jawaban tentang masalah keefektifan bekerjanya seluruh struktur institusional hukum. Maka di sini, tak terelakan lagi hukum pun lalu dikonsepkan secara sosiologis sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan.
Hukum tidak lagi dikonsepkan secara filosofi-moral sebagai norma  ius constituendum  atau  law as what ought to be , dan tidak pula secara  positivistis sebagai norma ius constitutum atau  law as what it is the books, melainkan secara empiris yang teramati di alam pengalaman.
Hukum tidak lagi dimaknakan sebagai norma-norma yang eksis secara eksklusif di dalam suatu sistem legitimasi yang formal. Dari segi substansinya, kini hukum terlihat sebagai suatu kekuatan sosial yang empiris wujudnya, namun yang terlihat secara sah, dan bekerja – dengan hasil yang mungkin saja efektif akan tetapi mungkin pula tidak – untuk memola perilaku-perilaku aktual warga masyarakat.
Sementara itu, dari segi strukturnya, hukum kini terlihat sebagai suatu institusi peradilan yang kerjanya mentransformasi masukan-masukan (tegasnya materi hukum  in abstracto , yaitu produk sistem politik) menjadi keluaran-keluaran (tegasnya keputusan-keputusan  in concreto), yang dengan cara demikian mencoba mempengaruhi dan mengarahkan bentuk serta proses interaksi sosial yang berlangsung di dalam masyarakat. Karena dikonsepkan sebagai gejala yang berada, bergerak atau beroperasi di dunia empiris, hukum – baik sebagai substansi kekuatan sosial maupun sebagai struktur institusi pembuat keputusan in concreto yang berkekuasaan – dari perspektif ini kini hukum akan menampakkan diri sebagai fakta alami yang tentunya akan tunduk kepada keajegan-keajegan (regularities, nomor) atau keseragaman-keseragaman (uniformities).
Dengan demikian, menurut konsepnya, hukum akan dapat diamati. Kalau demikian halnya, hukum yang dikonsepkan secara sosiologis ini akan dapat dijadikan objek penelitian yang dikerjakan secara saintifik, non-doktrinal, dan tidak akan lagi dijadikan "sekadar" objek penggarapan untuk menyusun sistem normatif yang koheren belaka (atas daar prosedur logika yang deduktif semata-mata, dengan premis-premis yang diperoleh dari  bahan-bahannya (yang primer atau yang sekunder) atau dari sumber-sumbernya di ranah normatif (baik yang formil maupun yang matriil).
Perubahan konsep hukum – dari konsep positivistis ke konsep empiris-sosilologi – ini tak pelak akan menimbulkan konsekuensi metodologis yang cukup  jauh juga, yaitu digunakannya metode saintifik untuk pengkajian dan penelitiannya. Adapun ciri metode yang saintifik ini tampak jelas perama-tama pada peran logika induksi yang amat mengedepan untuk menemukan asas-asas umum ( empirical uniformities) dan teori-teori (baik yang miniatur atau yang middle range maupun yang grand) melalui silogisme induksi.
Dalam silogisme induksi ini, premis-premis (kecuali tentu saja konklusinya) selalu berupa hasil pengamatan yang diverifikasi. Di sinilah letak bedanya dengan model penelitian doktrinal yang dikerjakan oleh para filosof-moralis ataupun teoretis positivis untuk menemukan asas-asas umum hukum positif.
Penelitian-penelitian doktrinal selalu bertolak secara deduktif dari noma-norma yang kebenarannya bernilai formal, dan tidak berasal dari hasil pengamatan yang kebenaran materialnya selalu dipersoalkan dan karenanya selalu dicek. Kedua, karena menggunakan silogisme induksi dan memperoleh simpulan-simpulan dari suatu proses induksi simpulan-simpulan yang diperoleh sebagai  conclusio di dan dari dalam silogisme induksi, selalulah berupa diskripsi atau eksplanasi tentang ada-tidaknya hubungan (entah kausal atau entah korelatif) antara berbagai variabel sosial-hukum. Ilustrasi berikut ini dapatlah dikemukakan untuk menggambarkan perbedaan ancangan antara metode doktrinal yang normatif-normologis pada silogisme deduktif itu dengan metode nondoktrinal yang empiris-nomologis pada silogisme yang induktif.
Dengan metode yang normologis-deduktif itu, bertolak dari premis “peradilan harus cepat dan murah” (bunyi pasal 14 Undang-Undang Pokok Kehakiman), orang akan menyimpulkan bahwa “peradilan dalam perkara warisan, pun di mana-mana di Indonesia, akan berlangsung cepat dan murah”. Namun, dengan metode yang nomologis-induktif, orang akan menemukan simpulan hubungan kausal antara kecepatan proses peradilan itu dengan gejala-gejala lain di dalam masyarakat, yang mungkin sekali lain dengan apa yang telah disimpulkan lewat proses deduksi di muka.
Sebagai contoh: apabila di alam amatan “besar (atau kecil)-nya, jumlah harta warisan yang dipersengketakan di muka pengadilan” selalu berseiring atau selalu diikuti oleh fakta “cepat (atau lambat) nya  penyelesaian perkara warisan, maka dengan mengamati frekuensi keseiringan itu di berbagai situasi, maka dapat disimpulkan bahwa ada buhungan antara jumlah harta warisan yang dipertaruhkan dengan kecepatan pengadilan untuk menyelesaikan perkara.
Penelitian-penelitian nondoktrinal yang sosial dan empiris atas hukum akan menghasilkan teori-teori tentang eksistensi dan fungsi hukum dalam masyarakat, berikut perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses-proses perubahan sosial. Teori-teori ini dikembangkan dari hasil-hasil  penelitian yang beruang lingkup luas, makro, dan umumnya juga amat kuantitatif untuk mengelola data amat massal, terorganisasi dalam suatu gugus yang disebut  the social theories of law.
Seluruh hasil kajian disistematisasikan ke dalam suatu cabang kajian khusus yang terkategorikan tidak hanya sebagai cabang kajian ilmu-ilmu sosial akan tetapi juga tengah diperjuangkan agar boleh  juga diaku sebagai bagian dari kajian ilmu hukum, yang disebut dengan nama kajian  Law in Society yang di Amerika Serikat lebih dikenal dengan nama  Law and Society.
Penelitian-penelitian empiris cabang kajian ini lazim disebut  socio-legal research , yang pada hakikatnya – seperti telah disebutkan berulangk ali di muka – merupakan bagian dari penelitian sosial. Di sini metode  penelitian yang konvensional, seperti yang banyak dipraktikkan di berbagai cabang ilmu-ilmu sosial, yang suka mengkuantifikasi datanya, akan lazim dipakai.
          Pendekatan Makro Teori Struktural-Fungsional: Hukum Dikonsepkan sebagai Institusi Sosial  yang Objektif  Dalam kajian-kajian ilmu hukum, penganut paham positivisme yang mengkonsepkan  law in book  sebagai model nomologis untuk mengontrol kehidupan yang riil, yang karena itu – demi terwujudnya tertib sosial – hukum harus diaati penuh, entah
karena sanksi-sanksi koersifnya, entah karena kesadaran warga untuk bersikap patuh secara volunter. Dalam kajian hukum yang sociological jurisprudence maupun yang sosilogis-nondoktrinal, konsep mengenai fungsi hukum yang demikian itu terasa tetap dominan juga, sehingga paham sosiologis tentang hukum yang demikian – entah paham konseptual yang mengatakan bahwa law  is a tool of social engineering , entah yang berpaham bahwa  law is government’s social control , dalam perkembangan teori-teori sosial tentang hukum sekarang ini digolongkan ke dalam kelompok paham kaum strukturalis yang  berwawasan teknokratis.
Menurut konsep kaum ini, hukum – sebagai alat dan sarana untuk merekayasa tertib kehidupan dalam masyarakat – adalah hukum perundang-undangan yang telah dibuat secara baik dan layak sebagai refleksi kebijakan proaktif yang lahir dari pemikiran para  pakar dan pemuka yang tentunya tak akan (banyak) mengandung cacat cela. Dalam hubungan ini, kewajiban rakyat awam tidak lain adalah menerima dan menaati hukum undang-undang yang telah dibuat dan diundangkan secara benar.
Akhir-akhir ini, seiring dengan perkembangan teori-teori sosial yang lebih melebihkan makna aksi-aksi individual dan interaksi-interaksi antar-individu (daripada melebih-lebihkan makna struktur kekuasaan) sebagai determinan utama eksistensi kehidupan bermasyarakat,  berkembang pula teori-teori sosiologi hukum yang berparadigma baru, dengan konsekuensi metodologinya yang – karena hendak lebih mengkaji aksi-aksi individu dengan makna-makna simbolis yang direfleksikannya – akan lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif.
Kelompok teoretis yang terbilang ke dalam aliran paham aksi dan interaksionisme ini berpendapat bahwa realitas kehidupan itu tidaklah muncul secara empiris dalam alam amatan, dan menampak dalam ujud perilaku yang terpola dan terstruktur secara objektif (apalagi normatif), dan karenanya bisa diukur-ukur.
Menurut kaum interaksionis ini, realitas kehidupan itu sesungguhnya hanya eksis dalam alam makna yang simbolis, yang karena itu akan sulit ditangkap” lewat pengamatan dan  pengukuran begitu saja dari luar. Alih-alih begitu – demikian menurut kaum interaksionis-simbolis ini – realitas-realitas itu hanya mungkin “ditangkap” lewat pengalaman dan  penghayatan-penghayatan internal yang membuahkan gambaran kemafhuman yang utuh dan lengkap (verstehen), dan tidak cukup kalau cuma diperoleh lewat ukuran beberapa indikator yang cuma terlihat di permukaan.
Karena realitas adalah bagian dari alam makna/simbolis yang hanya dapat dipahami lewat  pengalaman intern para subjek pelaku, maka menurut para interaksionisme ini tidaklah akan mungkin lain daripada apa yang dijumpai para subjek pelaku lewat partisipasi, pengalaman dan  penghayatan mereka dalam kehidupan yang dijalani. Maka, masalah yang akan terlihat oleh subjek-subjek pengamat (bukan pelaku) yang non-partisipan, betapapun tinggi keahlian, dan  betapapun pula besar kewenangannya di dalam hal pengendalian sistem, bukanlah hasil yang mereka peroleh lewat pengamatan.
Dalam hal demikian, kaum interaksionis mengklaim bahwa masalah yang sebenar-benarnya masalah tidaklah akan mungkin didefinisikan oleh para pengamat dan penganalisis, melainkan hanya akan mungkin dipaparkan dan dijabarkan oleh mereka yang mengalami dan menjalaninya dalam kehidupan untuk kemudian melilitnya. Maka yang harus ia lakukan adalah “masuk” dan berpartisipasi di dalam kehidupan yang akan dikajinya itu guna menemukan masalah “dari dalam” lewat pengalaman dan penghayatan dalam kehidupan setempat.
Atau, kalau tak ingin menempuh proses panjang berlama-lama lewat partisipasi seperti itu, dapatlah ia menanyai secara intensif dan in depth para warga yang menjadi partisipan budaya dan kehidupan sosial dan kehidupan hukum setempat, dengan sikap-sikap yang empatik. Perbedaan dan silang selisih konseptual antara kedua paham yang berbeda paradigma sebagaimana diutarakan di atas, dapatlah diilustrasikan dengan jelas dalam persoalan berikut ini.
Dalam kasus-kasus hukum berkaitan dengan pencabutan hak atas tanah penduduk di kota-kota yang dilaksanakan dalam rangka peningakatan fungsi kota dalam tatanan ekonomi nasional, para  pejabat yang duduk di kursi pemerintah umumnya melihat setiap masalah hak penguasaan atas tanah dari sudut hukum positif dan hak-hak yuridis (yang terelasisasi  ipso jure).
Sementara itu, orang-orang awam kebanyakan melihat dari sudut tradisi bahwa hak menguasai tanah ditentukan oleh ketekunan dan jerih orang ( ipso facto ) menggarap dan/atau merawat tanahnya itu.
Perbedaan metodologi yang tak dapat dielakkan – sehubungan dengan perbedaan  paradigmatis dalam hal mengkonsepkan masalah sebagaimana dipaparkan berulangkali di muka – kini telah banyak disadari orang. Orang pun menyadari pula bahwa sehubungan dengan kenyataan itu dua metode yang pada prinsipnya memiliki asumsi, strategi dan prosedur berbeda, haruslah dikembangkan secara tersendiri; yaitu metode kuantitatif yang  theory testing untuk meneliti dan memecahkan masalah-masalah yang dikonsepkan pada tingkat analisa yang makro sebagai realitas empiris, dan metode kualitatif yang  theory building untuk meneliti dan memecahkan masalah-masalah yang dikonsepkan pada tingkat analisis mikro sebagai realitas simbolis.
Metode kuantitatif adalah metode yang klasik dan konvensional, dikenal orang sejak masa silam yakni semasa orang menganalogkan sistem kehidupan manusia ke sistem kehidupan non manusia, yang alami atau kodrati dan yang hayati maupun yang non hayati (anorganik). Metode ini semula memang terbukti efektif untuk meneliti fenomena alam yang “tak memiliki kehendak bebas” di dalam berbagai cabang ilmu alam kodrat dan ilmu hayat.
Penerapan metode ini tanpa  reserve juga untuk memahami liku-liku dan permasalahan kehidupan manusia pada mulanya juga disambut dengan baik dan dipandang efektif juga, namun di bawah kondisi bahwa manusia-manusia boleh diasumsikan sebagai oknum-oknum yang tak akan mengembangkan kemauan pribadi yang  berkebebasan untuk melawan kodrati dan sistem kehidupan.
Metode kuantitatif yang klasik itu bukannya tak mampu mengungkapkan pola-pola yang  berkepanggahan tingi dalam tatanan perilaku dan kehidupan manusia – juga perilaku dan kehidupan hukumnya – di tengah masyarakatnya, dan kemudian daripada itu juga melahirkan asa-asas, dalil-dalil, atau teori-teori. Akan tetapi, ketika studi-studi tentang masyarakat manusia hendak mengungkapkan pula aspek-aspek nilai, ide, makna, kepercayaan dan keyakinan (dan hukum itu sesungguhnya tak cuma berupa realitas struktural melainkan juga nilai, ide, makna dan keyakinan yang individualized ), dan apa pun pula yang tersembunyi di dalam benak dan relung-relung perasaan para warga yang menjadi partisipan-partisipan budaya dan subjek-subjek hukum di dalam masyarakat, dan pula ketika studi-studi sosial kian banyak yang bersifat lintas-kultural atau lintas-etnis, metode kuantitatif yang klasik itu terbukti tidak lagi dapat banyak membantu.
Untuk mengkompensasikannya orang pun serta merta mulai mencoba mengembangkan metode-metode penelitian yang baru, yakni metode penelitian yang kini dikenal dengan nama metode penelian kualitatif. Berbeda dengan metode kuantitatif yang telah mulai lebih awal, metode penelitian kualitatif umumnya merupakan inovasi baru, yang baru memperoleh kemapanannya pada akhir tahun 1970-an, dan belum begitu banyak dipelajari dan dikenal orang. Membedakan diri dari metode kuantitaif yang efektif untuk mereduksi gejala kehidupan manusia ke dalam angka-angka untuk kemudian digarap dalam analisis-analisis statistikal, metode kualitatif dikembangkan untuk mengkaji kehidupan manusia dalam kasu-kasus terbatas, kasuistis sifatnya, namun mendalam ( in depth) dan total/menyeluruh (holistik). Dalam arti tak mengenal pemilahan-pemilahan gejala secara konseptual ke dalam aspek-aspeknya yang eksklusif, yang kita kenali dengan sebutan variabel. Dalam hubungan ini, metode kualitatif juga dikembangkan untuk mengungkap gejala-gejala kehidupan masyarakat seperti yang dipersepsi oleh warga-warga masyarakat dan dari kondisi mereka sendiri yang tak diintervensi oleh pengamat penelitinya (naturalistis).
Metode  kualitatif ini tak sekali-kali menganjurkan dikembangkannya perspektif konseptual dari sudut amatan para pakar penelitian, atau dari sudut penglihatan/kepentingan para elite pengendali struktur, yang dikhawatirkan sekali akan selalu mengandung bias teoretis dan mungkin juga asumsi-asumsi pemecahan masalah secara  a priori.
Karena memiliki kegunaan sendiri-sendiri, dengan keefektifan masing-masing yang digantungkan dari asumsi paradigmatis teori-teori, yang dipilih dan dipakai, temuan-temuan kedua  jenis metode itu tentu saja akan mensugestikan jawaban permasalahan yang terkonsepkan secara  berbeda pula. Maka apabila langkah yang pertama bersifat teknokratis dan penuh intervensi  perekayasaan secara sepihak terhadap objek, langkah yang kedua lebih cenderung bersifat kondusif dan “cuma” bermaksud menginputkan faktor-faktor yang diduga akan menimbulkan keberdayaan yang mandiri dalam diri “si objek”.
Langkah kedua ini berkesan lebih partisipatif dan mengundang partisipasi pelaku-pelaku sosial secara berkerelaan (volunter).
Manakah dari dua  pilihan itu yang paling tepat diambil – khususnya di dalam ranah kehidupan hukum yang telah  berformat nasional dewasa ini – tentulah akan amat bergantung tidak hanya pada paradigma awal yang kita pilih, akan tetapi juga pada pemihakan moral kita. Dalam alam kehidupan yang kian demokratis dan  people centered  ini, kiranya kajian-kajian yang kualitatif tentang berbagai  permasalahan sosial dan kehidupan manusia – agar dapat lebih mengungkap alam pikiran dan isi nurani massa awam – pantaslah kalau lebih banyak dicoba. Penelitian-penelitian hukum yang nondoktrinal-kualitatif dengan ancangan paradigmatisnya yang beranjak dari teori yang mikro dan  pro populus , dapatlah kiranya banyak memberikan sumbangannya yang berarti.
Ada Tidaknya Hubungan Berdasarkan Logika Induksi Analisis  Telah kita ketahui dari kajian-kajian terdahulu mengenai penelitian hukum, bahwa ada berbagai aliran paham dalam ilmu hukum, masing-masing dengan metode kajiannya sendiri yang khusus.
Aliran positivisme mengembangkan pemahamannya tentang hukum dengan metode khusus, yang oleh alam kepustakaan internasional disebut metode doktrinal. Metode ini bertumpu pada kebenaran-kebenaran formal yang diproses melalui hukum logika deduksi. Tak pelak ilmu hukum  begini ini hanya mungkin berkembang kalau proses pengkajinya bersedia berasumsi secara menyebelah bahwa hukum positif adalah premis nonmetif yang kebenarannya tak boleh dibantah, dan keputusan-keputusan hukum hanya dapat disimpulkan melalui silogisme deduksi dari premis tersebut.
Perbincangan kita hari ini tidak berkaitan dengan seluk-beluk pendekatan positivistis dengan metodenya yang doktrinal itu. Kita akan sedikit keluar dari tradisi materi dan metode kajian hukum aliran positivisme ini, untuk juga mempelajari hukum sebagai kenyataan sosial dan "bermain" sebagai salah satu kekuatan yang dipakai dalam berbagai proses interaksi dalam masyarakat (ekonomi, politik, sosial, ataupun budaya).
Sebagai kenyataan, hukum adalah suatu variabel (suatu gejala dengan nilai yang bisa bervariasi) dengan keefektifan yang tentu saja belum tentu bisa dipastikan. Keniscayaan menurut logika formal (deduksi) acap kali tidak terbukti demikian adanya berdasarkan amatan dan penyimpulan menurut logika materiil (induksi) yang  berangkat dari penyimakan ke alam kenyataan



[1] Arthur Asa Berger,2010, Semiotika Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kotemporer, Yogyakarta, Tiara Wacana, halaman 1.
[2] C.F.Pierce, 1958, The Collected Paper of C.S Pierce, vol 1-6, Charles And Paul Weiss (eds), 1931-5-8.A.W., Burks, (ed), Cambridge: Harvard University Press, halaman 228.
[3] Charles Sanders Peirce, Logic and Semiotics The Theory Of Signs,1955,p.102, The Fhilosophy Of Peirce; Selected Writing, Ed.J.Buchler, London Routledge and Kegan Paul, 1956.p 99-275 lihat juga Robert Sibarani, Hakekat Bahasa,  Bandung : PT Aditya Bakti,  1992, halaman 15.
[4] C.S Pierce dikutip oleh  J.Jay Zenon, “Pierce’s Theory of Sign” dalam T.Siboek, A Perfusin of Sign,1977, halaman 36
[5] Hoed, Benny H., “Strukturalisme, Pragmatik dan Semiotik dalam Kajian Budaya,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak , Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002, halaman 1
[6] De de Saussure, F. 1988. Course in General Linguistics.Yogyakarta: Gajah Mada University, halaman 26
[7] De de Saussure, F, 1988, ibid, halaman 10.
[8] Ibid.
[9] Hoed, Benny H,“Strukturalisme, Pragmatik dan Semiotik dalam Kajian Budaya,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak .Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002, halaman 21.
[10] Hoed, 2002, ibid, halaman 25
[11] Tim Kajian Semiotika. (2008, February 19). Teori-teori Semiotika, Sebuah Pengantar. Diakses pada 15 November 2013, dari Komunikasiana: www.komunikasiana.com.htm
[12] Ferdinand De Sausure, 1966, A Course In General Linguistic, New York, McGraw Hill, halaman 68 dalam Arthur Asa Berger,2010,  Semiotika  Tanda-Tanda Kebudayan Kotemporer, Yogyakarta, Tiara Wacana, halaman 27
[13] Effendy, O. U. (1985). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: Remadja Karya CV,halaman 15
[14] Suwito, U. (1989). Komunikasi untuk Pembangunan. Jakarta: Depdikbud, halaman. 29.
[15]. Soetandyo Wignjosoebroto, 2010, Hukum Paradigma, Metode dan Masalah, Jakarta: ELSAM dan HUMA, halaman 55-76

0 komentar:

Posting Komentar