ANALISIS
SEMIOTIKA SEBAGAI METODE MEMBACA TEKS HUKUM DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(Studi Terhadap
Pemahaman Teori Semiotika)
Oleh : Turiman
Fachturahman Nur
Abstrak
Pointer-pointer
dalam tulisan ini adalah merupakan hasil eksplorasi dari berbagai sumber literatur
yang membahas semiotika dan penerapannya sebagai metode dalam kajian semiotika,
karena saat ini analisis semiotika sudah merambah ke bidang lintas keilmuan,
termasuk perkembangan dalam penelitian hukum dengan genre semiotika hukum.
Namun ada kesulitan para penstudi hukum memahami apa sebenarnya yang dimaksud
dengan analisis semiotika dan penggunaannya sebagai metode untuk membongkar apa
yang “tersembunyi” dibalik teks hukum, khususnya teks hukum negara didalam
peraturan perundang-undangan yang secara struktur terdiri dari rumusan
pasal-pasal dan ayat-ayat pasal serta penjelasan. Dari keduanya, yaitu teks dan
konteks formulasi pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan ternyata
secara empirik dibalik teks hukum tertulis tersebut ada sesuatu yang tersirat
dan tersurat. Untuk mengkaji sebuah makna dan tersirat yang tersurat dibalik
teks hukum, maka dibutuhkan metode. Apabila dianalisis dengan meminjam metode
semiotika apalagi dibantu dengan metode hermenuetika atau penulis menyebut
semiotika hukum berbasis hermenuetika, maka akan jelaslah makna hukum dibalik
teks hukum tersebut. Untuk meminjam metode dari disiplin kajian keilmuan diluar
ilmu hukum, tentunya dibutuhkan pemahaman mendalam dari metode yang digunakan
sebagai sarana bantu itu sendiri. Pada konteks tulisan ini adalah metode semiotika
dan penggunaan metode semiotika sebagai penerapannya dalam kajian hukum menjadi penting untuk dipaparkan ketika
memahami teks hukum negara dalam peraturan perundang-undangan.
Pendahuluan
Menghadapi seluruh realitas atau kenyataan empirik dalam kehidupan
manusia biasanya kagum atas apa yang dilihatnya, dibaca dan didengarnya,
manusia-manusia kemudian ragu-garu apakah ia tidak ditipu oleh panca indranya
maupun penalarannya, dan manusia ketika itu mulai menyadari keterbatasannya.
Para penstudi keilmuan, seperti mahasiswa baik tataran S1,S2,S3 dalam
kehidupan sehari-hari bergelut dengan informasi, hanya kadang-kadang informasi
yang didapatkan bersifat parsial atau sebagian-bagian saja. Dalam aktivitas
menelaah informasi, kadang-kadang belum terdokumentasikan secara sistimatik.
Terlebih pada zaman digital dan globalisasi sekarang ini, hampir semua
informasi materi perkuliahan dapat diakses oleh mahasiswa. Persoalannya adalah
untuk meneliti pesan informasi pesan yang terdapat dalam dokumen atau sumber
informasi terdapat dalam media digital seperti internet cq Google dibutuhkan
pemetaan yang khusus, karena biasanya informasi tersebut hasil dari copy paste dari sumber informasi
aslinya. Apalagi informasi tersebut akan dijadikan bahan analisis dalam bentuk
analisis ilmiah tentunya harus difokuskan dahulu bidang keilmuan apa yang akan
menjadi bahan analisis atau fokus analisis, atau mungkin akan menjadi bahan referensi
penelitian bidang keilmuan yang dipilih oleh peneliti atau mahasiswa.
Berkaitan dengan studi semiotika
patut dipahami, bahwa dalam teori komunikasi hal yang paling mendasar untuk
diperhatikan adalah pemahaman sifat informasi dalam perspektif semiotika. Guna mengetahui atau menentukan
suatu informasi, biasanya orang mengaitkan dengan kesepuluh sifat-sifat berikut
ini :[1]
1. Mudah diperoleh. Suatu informasi makin bernilai jika dia dapat diperoleh
dalam waktu yang cepat secara mudah. Ukuran kecepatan memperolehnya dikaitkan
dengan kegunaannya dalam rangka mengambil keputusan, sehingga sukar diukur
secara pasti.
2. Luas dan lengkapnya informasi. Hal ini menyangkut selain isi/volume
informasi juga kegunaan dalam pengambilam keputusan. Sifat ini sangat kabur
sehingga sulit mengukurnya.
3. Ketelitian. Berhubungan dengan tingkat kesalahan pengolahan informasi.
Maksudnya apakah informasi yang diterima dapat benar seluruhnya atau sebagian
atau tidak benar sama sekali
4. Kecocokan. Mengaitkan informasi dengan masalah yang dihadapi. Artinya,
kalau informasi yang masuk dapat berguna dalam menyelesaikan masalah yang ada
maka dikatakan informasi itu cocok.
5. Ketepatan waktu. Berkaitan dengan lamanya waktu yang harus dilalui sebelum
suatu data menjadi informasi
6. Kejelasan. Menunjukkan sifat mudahnya informasi dipahami, dalam arti
informasi perlu dibersihkan dari istilah-istilah yang kurang jelas, terutama
yang mempunyai arti ambivalen
7. Keluwesan. Berkaitan dengan kegunaan informasi untuk berbagai pengambilan
keputusan. Makin banyak keputusan yang diambil dari suatu informasi makin luwes
informasi tersebut.
8. Dapat dibuktikan. Berkaitan dengan tepat tidaknya informasi itu diuji
kebenarannya oleh beberapa orang sehingga dapat memperoleh kesimpulan yang
sama.
9. Bebas dari prasangka. Informasi semakin bernilai jika didalamnya tidak
dimasukkan unsur opini, sebab dengan memasukkan unsur opini maka informasi
bersifat bias
10. Dapat dilacak kebenarannya. Sifat mengacu pada keinginan agar informasi
berasal dari kenyataan riel, bukan kabar angin, desas-desus, dan sebagainya,
yang tidak dapat digali
kebenarannya dan sumbernya.
Patut disadari terhadap sifat-sifat informasi
di atas yang didapat oleh para penstudi keilmuan sekarang ini bidang keilmuan
yang didalami khususnya oleh mahasiswa bisa didekati dengan berbagai disiplin
keilmuan, contohnya para penstudi hukum
tidak bisa bertahan hanya menggunakan metode analisis yang terdapat didalam
ilmu hukum saja. Mereka harus berani membuka diri atau out of the box /keluar dari kotak hitam keilmuannya sendiri. Jika
tidak akan sulit menganalisis atau memaknai teks hukum yang dalam perumusannya
oleh negara sering tidak jelas, atau tertulis dalam penjelasan “cukup jelas”
seperti tersedia dalam materi muatan peraturan perundang-undangan, karena saat
ini tidak ada bidang kehidupan kenegaraan yang tidak diatur/diregulasi oleh
negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Tentunya dalam
memetakan sebuah subtansi sebuah naskah hukum yang dibuat oleh manusia dalam
kehidupan kenegaraan, maka dibutuhkan analisis dan metode dan salah satunya
adalah analisis semiotika dan metode semiotika. Untuk memahami apa yang
dimaksud semiotika dan metode serta teori-teori semiotika, juga siapa
tokoh-tokohnya dan menjadi penting bagi mahasiswa untuk memetakan informasi
seluas mungkin dari studi keilmuan yang dinamakan semiotika itu sendiri.
Sebagaimana
diketahui, bahwa dalam proses komunikasi secara primer, lambang atau simbol
digunakan sebagai media dalam penyampaian gagasan atau perasaan seseorang
kepada orang lain. Lambang di dalam proses komunikasi meliputi bahasa, gestur,
isyarat, gambar, warna, dan tanda-tanda lainnya yang dapat menerjemahkan suatu
gagasan atau perasaan seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan)
secara langsung.[2] Dari
berbagai lambang yang dapat digunakan di dalam proses komunikasi, bahasa
merupakan media yang paling banyak dipakai karena paling memungkinkan untuk
menjelaskan pemikiran seseorang, dan dengan bahasa pula segala kejadian masa
lalu, masa kini, maupun ramalan masa depan dapat dijelaskan.
Fungsi bahasa yang sedemikian rupa
menyebabkan ilmu pengetahuan dapat berkembang dan hanya dengan kemampuan
berbahasa, manusia dapat mempelajari ilmu pengetahuan. Kegagalan dalam proses
komunikasi banyak disebabkan oleh kesalahan berbahasa atau ketidakmampuan
memahami bahasa. Apalagi bahasa hukum yang terformulasikan dalam teks
pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, perlu dieksplore secara mendalam terhadap makna yang tersirat dan tersurat
sebagai teks hukum.
Semiotika merupakan ilmu atau metode
ilmiah untuk melakukan analisis terhadap tanda dan segala hal yang berhubungan
dengan tanda. Tanda merupakan bagian yang penting dari bahasa, karena bahasa
itu sendiri terdiri dari kumpulan lambang-lambang, dimana di dalam
lambang-lambang itu terdapat tanda-tanda.[3]
Oleh karenanya tentu ada kaitan yang erat antara semiotika dengan proses
komunikasi, mengingat semiotika merupakan unsur pembangun bahasa dan bahasa
merupakan media dalam proses komunikasi.
Pentingnya semiotika dalam
komunikasi khususnya dibidang komunikasi hukum mendorong para ahli dan ilmuwan
semiotik untuk merumuskan berbagai macam teori semiotika. Teori-teori tersebut
terus berkembang dan saling melengkapi. Berangkat dari hal tersebut,
perkembangan teori semiotika menjadi menarik untuk dibahas lebih dalam.
Dalam paparan sebagai reference
kajian ini, untuk membahas lebih dalam
mengenai perkembangan teori semiotika, maka pada bagian pertama akan dipaparkan
penjelasan mengenai definisi semiotika. Pada bagian kedua akan dijelaskan
mengenai teori-teori semiotika berikut dengan contoh aplikasinya di dalam
kehidupan sehari-hari. Setelah pembahasan tiap-tiap teori, akan ditarik
kesimpulan seperti apakah perkembangan teori-teori semiotika.
Berikut ini dipaparkan
secara sistimatika hal-hal pokok yang berkaitan dengan semiotika dari berbagai
sumber literatur yang penulis baca dan dieksplorasi dari konsep dan kerangka
teoritiknya, sebagaimana paparan berikut ini.
1.Istilah
Semiotika
Kata Semiotika berasal dari kata Yunani
semeon; semeiotikos; penafsir tanda; yang berarti ‘tanda’, ‘sign’ dalam
bahasa Inggris. Semiotik ialah ilmu yang mempelajari sistem tanda, seperti
bahasa, kode, sinyal, simbol dan sebagainya; dan merupakan suatu ilmu analisis
tanda/studi tentang bagaimana sistem penandaaan berfungsi.
Istilah semeion tampaknya diturunkan dari ilmu kedokteran hipokratik
atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik
inferensial. Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada
adanya hal lain[4]
Semiotika didefinisikan sebagai studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu
bekerja.[5] Dengan kata
lain secara terminologis, semiotika adalah cabang ilmu yang mengkaji tentang
tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dengan tanda[6].
2.Pengertian Semiotika
Semiotika berasal dari kata
Yunani: semeion, yang berarti tanda. Semieon adalah istilah yang digunakan
oleh orang Greek untuk merujuk kepada sains yang mengkaji sistem perlambangan
atau sistem tanda dalam kehidupan manusia. Dari akar kata inilah terbentuknya
istilah semiotika, yaitu kajian yang bersifat saintifik yang meneliti sistem perlambangan yang
berhubung dengan tanggapan dalam karya yang dihasilkan manusia, namun
dalam perkembangnya semiotika tidak hanya digunakan dalam kajian karya dibidang
ilmu bahasa tetapi sudah meluas ke bidang keilmuan lain, seperti ilmu hukum,
lalu tahun 1980 an dikenal dengan istilah semiotika hukum.
Secara terminologis,
semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses
yang berlaku bagi tanda.[7]
Semiotik adalah
sebuah disiplin ilmu sains umum yang mengkaji sistem perlambangan di setiap
bidang kehidupan manusia. Ia bukan saja
merangkum sistem bahasa, tetapi juga merangkum lukisan, ukiran,
simbol-simbol didalam peradaban manusia/atau lambang-lambang yang dihasilkan
oleh manusia, seperti lambang negara, lambang pemerintah daerah atau dalam
istilah semiotika termasuk kategori semiotika sosial, bahkan naskah-naskah yang
meliputi berbagai bidang keilmuan yang berkembang saat ini.
Semiotika mewujudkan dirinya sebagai teori membaca dan menilai karya dan merupakan satu
disiplin yang bukan sempit ruang
lingkupnya. Justru itu ia boleh diapikasikan ke dalam pelbagai bidang ilmu dan
boleh dijadikan asas kajian sebuah kebudayaan. Oleh karena sosiologi dan linguistik merupakan bidang kajian yang mempunyai hubungan
di antara satu sama lain, semiotik yang mengkaji sistem tanda dalam bahasa juga
berupaya mengkaji wacana yang mencerminkan budaya dan pemikiran. Justru, yang
menjadi perhatian semiotika adalah
mengkaji dan mencari tanda-tanda dalam wacana serta menerangkan maksud daripada
tanda-tanda tersebut dan mencari hubungannya dengan ciri-ciri tanda itu untuk
mendapatkan makna signifikasinya/makna tersirat dan tersurat dibalik
tanda.
Tanda adalah
sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran,
perasaan, gagasan dan lain-lain. Jadi, yang dapat menjadi tanda sebenarnya
bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan ini, walaupun harus diakui
bahwa bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap dan sempurna. Tanda-tanda
itu dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata, mulut, bentuk tulisan,
warna, bendera, bentuk dan potongan rumah, pakaian, karya seni: sastra, lukis,
patung, film, tari, musik dan lain-lain yang berada di sekitar kehidupan kita.
Dengan
demikian, teori semiotik bersifat multidisiplin, sebagaimana diharapkan oleh Pierce agar teorinya bersifat umum dan dapat
diterapkan pada segala macam tanda, termasuk dalam teks hukum sebagai
formulasi yang terdapat dalam bunyi pasal-pasal dalam naskah hukum tertulis
(peraturan perundang-undangan) dengan menggunakan bahasa hukum.
Semiotika merupakan ilmu yang
mempelajari sederetan luas obyek - obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh
kebudayaan sebagai tanda. Ahli sastra Teew
mendefinisikan semiotika adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian
disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor
dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang
khas di dalam masyarakat mana pun. Semiotik merupakan cabang ilmu yang relatif
masih baru.[8]
3.Obyek Semiotika
Pertanyaannya adalah apa yang
menjadi obyek kajian semiotika ? Obyek
semiotika adalah tanda yang dihasilkan oleh manusia. Penggunaan tanda dan
segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis
pada abad kedua puluh. Para ahli semiotika modern mengatakan bahwa analisis
semiotika modern telah di warnai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang
berasal dari Swiss bernama Ferdinand De Saussure (1857 - 1913) dan seorang
filsuf Amerika yang bernama Charles
Sanders Peirce (1839 - 1914). Peirce menyebut model sistem analisisnya
dengan semiotika dan istilah tersebut telah menjadi istilah yang dominan
digunakan untuk ilmu tentang tanda. Semiologi de Saussure berbeda dengan
semiotika Peirce dalam beberapa hal, tetapi keduanya berfokus pada tanda.
Seperti telah disebutkan di depan bahwa de Saussure menerbitkan bukunya yang
berjudul A Course in General Linguistics (1913).
Dalam pandangan Yasraf Piliang salah satu ahli semiotika Indonesia, bahwa penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang
keilmuan ini dimungkinkan, karena ada
kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial.
Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik sosial dapat dianggap
sebagai fenomena bahasa, semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini
dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri.
Semiotika
menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand
de Saussure dan Charles Sander
Peirce. Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah
dan di antara keduanya tidak saling mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa
dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah
linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang
dikembangkannya semiologi (semiology).
Semiologi
menurut Saussure didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah
laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di
belakangnya sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana
ada tanda di sana ada sistem.Sedangkan Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya
semiotika (semiotics).
Bagi Peirce
yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat
tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya,
logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat diterapkan pada segala macam
tanda. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer daripada
semiologi.
Semiotika
adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign),
berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi
seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang
dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda
tidaklah terbatas pada benda.
Adanya
peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu
kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat
tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala
mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu,
letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam
membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih,
bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran,
kelengahan, semuanya itu dianggap sebagai tanda.
Menurut
Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan,
seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada
sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek
yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang
disebut signified, bidang petanda
atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi
petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa
penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level
of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti
bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek dan sebagainya. Petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau
gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan.
Hubungan antara kedua unsur
melahirkan makna. Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal (benda)
yang lain yang disebut referent. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti. Wajah
cerah mengacu pada kebahagiaan. Air mata mengacu pada kesedihan. Apabila hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak
orang yang melihat atau mendengar akan timbul pengertian..
Menurut Pierce,
tanda (representamen) ialah sesuatu
yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda akan
selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut objek (denotatum).
Mengacu berarti
mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan
dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretant ialah
pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru
dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat
ground, yaitu pengetahuan tentang
sistem tanda dalam suatu masyarakat.
Hubungan ketiga
unsur yang dikemukakan Pierce terkenal dengan nama segitiga semiotik.
Selanjutnya dikatakan, tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi
tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol.
Ikon adalah
tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa
disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan kedekatan
eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda seperti ini disebut metonimi.
Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa di sekitar tempat itu ada
bangunan tertentu. Langit berawan tanda hari akan hujan. Simbol adalah tanda
yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah
bahasa tulisan.
Ikon, indeks,
simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar (bentuk), objek (referent) dan
konsep (interpretan atau reference). Bentuk biasanya menimbulkan persepsi dan
setelah dihubungkan dengan objek akan menimbulkan interpretan. Proses ini
merupakan proses kognitif dan terjadi dalam memahami pesan iklan.
Rangkaian
pemahaman akan berkembang terus seiring dengan rangkaian semiosis yang tidak
kunjung berakhir. Selanjutnya terjadi tingkatan rangkaian semiosis. Interpretan
pada rangkaian semiosis lapisan pertama, akan menjadi dasar untuk mengacu pada
objek baru dan dari sini terjadi rangkaian semiosis lapisan kedua. Jadi, apa
yang berstatus sebagai tanda pada lapisan pertama berfungsi sebagai penanda
pada lapisan kedua, dan demikian seterusnya.
Terkait dengan
itu, Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat
bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda
dalam tatanan pertandaan kedua.
Konotasi
menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan
atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna
bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semuanya itu
berlangsung ketika interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan
objek atau tanda.
Bagi Barthes, faktor
penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. penanda tatanan
pertama merupakan tanda konotasi. Jika teori itu dikaitkan dengan bekerjanya
sebuah iklan layanan masyarakat, maka setiap pesan merupakan pertemuan antara
signifier (lapisan ungkapan) dan signified (lapisan makna).
Lewat unsur
verbal dan visual (nonverbal), diperoleh dua tingkatan makna, yakni makna
denotatif yang didapat pada semiosis tingkat pertama dan makna konotatif yang
didapat dari semiosis tingkat berikutnya. Pendekatan semiotik terletak pada
tingkat kedua atau pada tingkat signified, makna pesan dapat dipahami secara
utuh.
4. Sejarah Semiotika
Semiotik adalah sains yang mengkaji sistem perlambangan yang telah bermula
sejak zaman Greek, yaitu; zaman Plato dan Aristoteles. Kedua-dua tokoh tersebut telah merintis sebuah teori bahasa dan makna. Namun tidak lama selepas itu, teori ini
dirasakan tidak wajar, lalu kegunaan dan keunggulannya mula menjadi lemah.
Namun, pada abad ke 17, pendekatan semiotik mula mendapat perhatian John Locke,
seorang ahli falsafah Inggris untuk menjelaskan doktrin perlambangan ketika
itu. Kali ini, kemunculan pendekatan semiotik beransur-ansur mendapat perhatian
sehingga ia mendapat tempat di kalangan tokoh-tokoh yang terkemuka seperti
Ferdinand de Saussure (1875-1913), seorang ahli linguistik Eropah dan Charles
Sander Pierce (1839-1914), seorang ahli falsafah Amerika pada abad ke 19.
Kedua-duanya telah merintis jalan bagi
mengkaji dan menilai karya manusia melalui
pendekatan semiotik. Oleh karena semiotik merupakan gabungan daripada disiplin-disiplin lain, telah ada
usaha dari Saussure untuk memantapkan kedudukannya agar dapat mandiri dan
berdiri sebagai satu disiplin yang autonomous.
Sedikit demi
sedikit, semiotika pada awalnya mendapat tempat melalui tulisan-tulisan Roland Barthes. Ia tidak lagi
dilihat sebagai sebuah teori yang bersifat khusus yang hanya dibataskan kegunaannya untuk kajian bahasa dalam kesusasteraan
saja. Dalam
perkembangnya, ia dapat diaplikasikan dalam semua
persoalan hidup manusia yang penuh
dengan lambang dan perlambangan.
Barthes telah
memperluaskan ruanglingkup serta peranan semiotik dengan
mengkaitkannya tidak hanya dengan bahasa dan kesusasteraan.
Menurut Barthes, bahasa berpengaruh dalam semua aspek kehidupan dan paparan
dapat ditinjau melalui karya-karya yang monumental. Karya merupakan cerminan realitas sebenarnya yang diungkap dalam bentuk
tulisan.
Selain Barthes,
semiotik merupakan satu bidang yang telah mengapresiasi tokoh-tokoh serta ahli falsafah seperti Umberto Eco, Algirdas Julien
Greimas, Louis Hjelmslev, Julia Kristeva, Charles Sander Pierce dan Tzvetan
Todorov. Tokoh-tokoh tersebut menggunakan pendekatan semiotik untuk mengkaji
karya dari berbagai aspek, yaitu aspek
perlambangan, ekspresi sampai ke aspek
hermeneutik. Dari pendekatan itu, dapat
dilihat bahwa pendekatan semiotik telah mendapat tempat dalam kajian-kajian
yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh tersebut sehingga analisisnya terbukti apabila dapat digunakan secara meluas di kalangan para pengkaji semiotika.
Semiotika telah lama dikenal. Dalam Handbook
Of Semeotics Karya Winfried Noth, ada beberapa pembagian zaman dalam
pengenalan istilah semiotika, yaitu zaman kuno, abad pertengahan, zaman renaissance,
dan zaman modern.
Pada zaman kuno ada beberapa ahli
semiotika yang dikenal, antara lain Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322
SM), kaum Stoic (300-200 SM), dan kaum Epicureans (300 SM-abad
pertama Masehi). Menurut Plato, semiotika adalah tanda-tanda verbal alami atau
yang bersifat konvensional di antara masyarakat tertentu, hanyalah berupa
representasi tidak sempurna dari sebuah ide, kajian tentang kata-kata tidak
mengungkap hakikat objek yang sebenarnya, karena dunia gagasan tidak berkaitan
erat dari representasinya yang berbentuk kata-kata, dan pengetahuan yang
dimediasi oleh tanda-tanda bersifat tidak langsung dan lebih rendah
mutunya dari pengetahuan yang langsung.
Semiotika menurut Aristoteles adalah
tanda-tanda yang ditulis berupa lambang dari apa yang diucapkan, bunyi yang
diucapkan adalah tanda dan lambang dari gambaran atau impresi mental. Gambaran
atau impresi mental adalah kemiripan dari objek yang sebenarnya, dan gambaran
mental tentang kejadian atau objek sama bagi semua manusia tetapi ujaran tidak.
Pada abad pertengahan, perkembangan
filsafat bahasa menuju pada dua arah, yaitu dengan ditentukannya
gramatika sebagai pilar pendidikan bahasa latin serta bahasa latin
sebagai titik pusat seluruh pendidikan ; sistem pemikiran dan pendidikan
filosofis pada saat itu sangat akrab dengan Teologi, maka analisis filosofis
diungkapkan melalui analisis bahasa. Ciri utama pada zaman abad pertengahan
adalah masa keemasannya filosof Kristiani, terutama Kaum Patristik dan
Skolastik.
Pendidikan abad pertengahan dibangun
dalam tujuh sistem sebagai pilar utamanya dan bersifat liberal.Ketujuh dasar
pendidikan liberal tersebut dibedakan atas Trivium (tata bahasa, logika,
serta retorik) dan Quadrivium (aritmatika, geometrika, astronomi, dan
musik).
Pada masaRenaissance
keberadaan teori mengenai tanda tidak mengalami inovasi yang berarti.Hal ini
dikarenakan bahwa sebagian besar penelitian mengenai semiotika masih merupakan
bagian dari perkembangan linguistik pada masa sebelumnya.
Pada zaman modern, menurut Zoest,
ada dua tokoh yang dikenal sebagai bapak semiotik modern, yaitu Charles Sanders
Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913). Keduanya
berlatar belakang berbeda.
Peirce adalah ahli filsafat,
sedangkan Saussure adalah ahli Linguistik. Ketidaksamaan latar belakang itulah
yang menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan penting, terutama dalam penerapan
konsep-konsep. Hal itu menjadikan ada dua kubu di kalangan pakar dengan
pemahaman serta konsep yang berbeda. Pertama, yang bergabung dengan Peirce dan
tidak mengambil contoh dari ilmu bahasa; dan kedua, yang bergabung dengan
Saussure dan menganggap ilmu bahasa sebagai pemandu[9].
Sebetulnya sebelum Pierce dan de
Saussure memperkenalkan istilah semiotik, pada akhir abad XVIII seorang
filsuf Jerman Lambert telah menggunakan kata semiotika[10].
Namun dapatlah dikatakan, bahwa semiotika merupakan cabang ilmu yang
relatif muda. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya
baru lebih sering dan lebih sistematis dipelajari pada abad XX.
Menurut Zoest ada beberapa penyebab
yang dapat dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah Peirce telah menuliskan
pemikirannya dalam bidang semiotika pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Baru
pada tahun 1930-an Charles Morris dan Max Bense memperkenalkan secara luas
tulisan Peirce. Pada saat itu orang sudah menyadari betapa berharganya bahan
teoritis tersebut, dan betapa besar kegunaan instrumen pengertian yang
dipaparkan dalam tulisan Peirce[11].
Pierce mengusulkan kata Semiotika
sebagai sinonim dari kata logika. Menurutnya Logika harus harus mempelajari
bagaimana orang yang bernalar. Penalaran itu, menurut hipotesis teori Pierce
yang mendasar, dilakukan melalui tanda-tanda.
Tanda-tanda memungkinkan kita
berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang
ditampilkan oleh alam semesta. Dengan mengembangkan teori semiotika, Peirce
memusatkan perhatiannya pada berfungsinya tanda pada umumnya. Peirce telah
menciptakan teori umum untuk tanda-tanda. Secara lebih tepat, ia telah
memberikan dasar-dasar yang kuat pada teori tersebut.
Penemuan Saussure tentang semiotik
sebetulnya lebih dulu daripada Peirce. Dia dikenal sebagai peletak dasar ilmu
bahasa. Salah satu titik tolak Saussure adalah bahwa bahasa harus dipelajari
sebagai salah satu sistem tanda. Kubu Saussure menamainya dengan Semiologi, istilah
pinjaman dari linguistik. Namun gagasan Saussure untuk sampai pada ilmu tanda
umum, baru mendapatkan perhatian beberapa puluhan tahun setelah dikemukakan.
Di Prancis pengaruh Saussurelah yang
telah menandai kerja kaum semiotika. Pierce kurang dikenal disana. Beberapa
teksnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Namun secara umum,
gagasan-gagasan Pierce belum mendapatkan perhatian yang sepantasnya di Prancis.
Baru setelah penerbitan Oeuvres Completes dan disebarluaskan oleh
Charles Morris, teori semiotika aliran Pierce menjanjikan harapan.
Di Eropa suksesnya pemikiran
semiotik Pierce terasa secara lebih jelas dan efektif dalam karya Umberto Eco
(Italia). Dalam Eco, penggunaan konsep-konsep Pierce untuk penelitian di
berbagai bidang, yaitu arsitektur, musik, teater, iklan, kebudayaan, dan lain
lain, dikemukakan, didiskusikan, dan dibahas.
Sayang, ketika Saussure memberikan
kuliah-kuliahnya yang terkenal tentang linguistik umum, ia belum mengenal studi
yang telah ditulis pierce pada masa itu. Tulisan Pierce selama setengah abad
akan memberikan pengaruh-pengaruh khas pada perkembangan teori linguistik
internasional.
5.Mengenal Tokoh-Tokoh semiotika
Kalau kita telusuri dalam
buku-buku semiotik yang ada, hampir sebagian besar menyebutkan bahwa ilmu
semiotika bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand De Saussure (1857 - 1913). De Saussure tidak hanya
dikenal sebagai bapak linguistik, tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh
semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916).
Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik
adalah Charles Sanders Peirce (1839
-1914) seorang filsuf Amerika beraliran fragmatis yang dikenal bapak semiotika,
Charles Williams Morris (1901 - 1979) yang mengembangkan behaviourist
semiotics. Kemudian yang mengembangkan teori-teori semiotik modern adalah
Roland Barthes (1915 - 1980), Algirdas Greimas (1917 - 1992), Yuri Lotman (1922
- 1993), Christian Metz (1933 - 1993), Umberco Eco (1932),dan Julia Kristeva
(1941). Linguis selain de Saussure yang bekerja dengan semiotics framework adalah
Louis Hjlemslev (1899 - 1966) dan Roman Jakobson (1896 - 1982). Dalam ilmu
antropologi ada Claude Levi Strauss (1980) dan Jacues Lacan (1901 - 1981) dalam
psikoanalisis.
Tokoh yang tersebut
di atas sebagian besar menggunakan metode strukturalisme, yakni sebuah
metode yang telah diacu oleh banyak ahli semiotik, hal itu didasarkan pada
model linguistik struktural de Saussure.
Strukturalis mencoba mendeskripsikan sistem tanda sebagai bahasa-bahasa, Strauss dengan mith, kinship dan
totemisme, Lacan dengan unconcious, Barthes dan Greimas dengan grammar
of narrative. Mereka bekerja mencari struktur dalam (deep structure)
dari bentuk struktur luar (surface structure) sebuah fenomena. Semiotik
sosial kontemporer telah bergerak di luar perhatian struktural yaitu
menganalisis hubungan - hubungan internal bagian-bagian dengan a self
contained system, dan mencoba mengembangkan penggunaan tanda dalam situasi
sosial yang spesifik.
Melihat kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa
pembicaraan tentang strukturalisme dalam konteks perkembangan kajian budaya
harus dilakukan dalam konteks perkembangannya ke semiotik yang seolah-olah
lahir sesudahnya. Sebenarnya bibitnya telah lahir bersama dalam kuliah-kuliah Ferdinad
de Saussure yang sekaligus melahirkan strukturalisme dan semiotika (oleh de
Saussure disebut semiologi yaitu ilmu tentang kehidupan tanda-tanda dalam
masyarakat)[12].
Jadi tidak dapat disangkal lagi bahwa lahirnya semiotika khususnya di Eropa
tidak dapat dilepaskan dari bayangan strukturalisme yang mendahuluinya dalam
perkembangan ilmu pengetahuan budaya.
Perkembangan dari strukturalis ke semiotika dapat
dibagi dua, yakni yang sifatnya melanjutkan sehingga ciri -ciri
strukturalismenya masih sangat kelihatan (kontinuitas) dan yang sifatnya mulai
meninggalkan sifat strukturalisme untuk lebih menonjolkan kebudayaan sebagai
sistem tanda (evolusi).
Berikut ini masing-masing tokoh semiotika dan berbagai
teorinya:
5.1 Ferdinand
de Saussure (1857 – 1913)
Ferdinand
de Sausure lahir di Jenewa 26 November 1857, meninggal di Vufflens-le Chateau,
22 Februari 1913 dikenal sebagai bapak linguis Swedia dan dikenal sebagai
baopak linguistik modern dalam semiotika atau semiologi Sausure berpendapat,
bahwa bahasa sebagai suatu sistem tanda yang mewujudkan menjadi dua unsur langue (bahasa) sistem
abstrak yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat yang digunakan sebagai alat
komunikasi dan parole (ujaran), realisasi individu atas sistem bahasa. Oleh
karena itu basis semiotika F.de Sausure
adalah bahasa sebagai sarana analisis.
Konsep semiologi diperkenalkan oleh Ferdinand
de Saussure (1857 – 1913) dari Swiss yang dahulu mengajar linguistik
sejarah. Pendekatan Saussure tentang bahasa berbeda dari pendekatan filolog
abad 19, dimana ia mengkaji linguistik secara sinkronik bukan secara diakronik.
Saussure mendefinsikan tanda linguistik sebagai entitas dua sisi (dyad). Sisi
pertama disebut penanda (signifier) dan sisi kedua adalah petanda (signified).
Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”.
Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”.
Penanda adalah aspek material dari
bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca.
Sedangkan, Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi,
petanda adalah aspek mental dari bahasa.
Tanda linguistik (antara penanda dan
petanda) bersifat arbitrer (terserah pengguna) contoh di Indonesia bintang
berkaki empat dan yang bisa menggongong disebut anjing, dan di Inggris disebut
dog. Konsep tantang anjing tidak harus dibangkitkan oleh penanda dalam bentuk
bunyi a/n/j/i/n/g; karena bagi orang Ingris pengertian anjing diperoleh melalui
kata “dog”.
Terhubungnya sebuah penanda dan petanda
hanya dapat dimungkinkan oleh bekerjanya sistem relasi atas kesepakatan
(konvensi). Tanda dapat bekerja karena ada difference,
artinya dia dapat dibedakan dengan tanda – tanda lainnya.
Fenomena
bahasa dibentuk oleh dua faktor; parole – ekspresi kebahasaan dan langue
– sistem pembedaan di antara tanda – tanda. Struktur konsepsi dasar tentang
langue berkaitan dengan kombinasi dan substitusi elemen–elemen bahasa (hubungan
paradigmatik-sintagmatik).
Dalam buku-buku de Saussure membayangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda -tanda dalam masyarakat. Ia juga menjelaskan konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda). Ia menulis… the linguistics sign unites not a thing and a name,but a concept and a sound image a sign .
Dalam buku-buku de Saussure membayangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda -tanda dalam masyarakat. Ia juga menjelaskan konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda). Ia menulis… the linguistics sign unites not a thing and a name,but a concept and a sound image a sign .
Kombinasi antara konsep dan citra
bunyi adalah tanda ( sign). Jadi de Saussure membagi tanda menjadi dua
yaitu komponen, signifier (atau citra bunyi) dan signified (atau
konsep) dan dikatakannya bahwa hubungan antara keduanya adalah arbitrer.
Semiologi didasarkan pada anggapan
bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama
berfung si sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi
yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem. Sekalipun
hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat berperan
sebagai model untuk semiologi.[13]
Makna Kata ‘Tanda’ Bagi
de Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu
jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda
dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua
halaman pada selembar kertas. de Saussure memberikan contoh kata arbor
dalam bahasa Latin yang maknanya ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang
terdiri atas dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant
/arbor/ disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai relasi
dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu) yakni signifie. Tidak ada hubungan
langsung dan alamiah antara penanda ( signifier) dan petanda (signified).
Hubungan ini disebut hubungan yang arbitrer.
Hal yang mengabsahkan hubungan itu adalah mufakat (konvensi) …’a body of
necessary conventions adopted by society to enable members of society to
use their language faculty. Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem
dapat dikatakan lahir dari kemufakatan (konvensi) di atas dasar yang tak
beralasan ( unreasonable) atau sewenang-wenang[14].
Sebagai contoh, kata kupersembahkan sekuntum bunga
ini kepadamu” yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa
Indonesia berkorespondensi dengan konsep tentang bunga dalam benak orang tersebut
tidak menunjukkan adanya batas-batas (boundaries)
yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang
mendemonstrasikan “perasaan cinta” itu, sedangkan bagi seorang penutur bahasa
Inggris bunyi bunga itu tidak berarti apa-apa.
Petanda selalu akan lepas dari jangkauan dan
konsekuensinya, makna pun tidak pernah dapat sepenuhnya ditangkap, karena ia
berserakan seperti jigsaw puzzles disepanjang rantai penanda lain yang
pernah hadir sebelumnya dan akan hadir sesudahnya, baik dalam tataran paradigmatik.
Ini dimungkinkan karena operasi sebuah sistem bahasa menurut de Saussure
dilandasi oleh prinsip negative difference, yakni bahwa makna sebuah
tanda tidak diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan what is it,
melainkan melalui penemuan akan what is not. Kucing adalah kucing
karena ia bukan anjing atau bajing. Dengan demikian ilmu yang mempelajari
tentang tanda-tanda adalah semiotik. Semiotics is concerned with
everything that can be taken as a sign.
Semiotika
adalah studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam
percakapan sehari -hari, tetapi juga segala sesuatu yang merujuk pada
bentuk-bentuk lain seperti words, images, sounds, gesture, dan objects.
Sementara de Saussure menyebut ilmu ini dengan semiologi yakni sebuah
studi tentang aturan tanda–tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial ( a
science which studies the role of signs as a part of social life).
Bagi
Peirce (1931), semiotics was formal doctrine of signs which was closely
related to logic. Tanda menurut Peirce adalah something which stands to
somebody for something in some respect or capacity. Kemudian ia juga
mengatakan bahwa every thought is a sign.
Van
Zoest (1993) memberikan lima ciri dari tanda. Pertama, tanda harus dapat
diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. Sebagai contoh van Zoest
menggambarkan bahwa di pantai ada orang-orang duduk dalam kubangan
pasir, di sekitar kubangan di buat semacam dinding pengaman (lekuk) dari
pasir dan pada dinding itu diletakkan kerang-kerang yang sedemikian rupa sehingga
membentuk kata ‘Duisburg’ maka kita mengambil kesimpulan bahwa di sana duduk
orang-orang Jerman dari Duisburg. Kita bisa sampai pada kesimpulan itu,
karena kita tahu bahwa kata tersebut menandakan sebuah kota di Republik
Bond. Kita menganggap dan menginterpretasikannya sebagai tanda.
Kedua,
tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat mutlak. Kata Duisburg dapat
ditangkap, tidak penting apakah tanda itu diwujudkan dengan pasir, kerang atau
ditulis di bendera kecil atau kita dengar dari orang lain.
Ketiga, merujuk pada sesuatu yang lain,
sesuatu yang tidak hadir. Dalam hal ini Duisburg merujuk kesatu kota di Jerman.
Kata Duisburg merupakan tanda karena ia ‘merujuk pada’, ‘menggantikan’,
‘mewakili‘ dan ‘menyajikan’.
Keempat, tanda memiliki sifat
representatif dan sifat ini mempunyai hubungan langsung dengan sifat
interpretatif, karena pada kata Duisburg di kubangan itu bukannya hanya
terlihat adanya pengacauan pada suatu kota di Jerman, tetapi juga penafsiran
‘di sana duduk -duduk orang Jerman’.
Kelima, sesuatu hanya dapat merupakan tanda
atas dasar satu dan lain. Peirce menyebutnya dengan ground (dasar,
latar) dari tanda. Kita menganggap Duisburg sebagai sebuah tanda karena kita
dapat membaca huruf-huruf itu, mengetahui bahwa sebagai suatu kesatuan
huruf-huruf itu membentuk sebuah kata, bahwa kata itu merupakan sebuah nama
yakni sebuah nama kota di Jerman.
Dengan perkataan lain, tanda Duisburg merupakan
bagian dari suatu keseluruhan peraturan, perjanjian dan kebiasaan yang
dilembagakan yang disebut kode. Kode yang dimaksud dalam hal ini adalah kode
bahasa. Walaupun demikian ada juga tanda yang bukan hanya atas dasar kode. Ada
tanda jenis lain yang berdasarkan interpretasi individual dan insidental atau
berdasarkan pengalaman pribadi.
Jadi secara ringkas teori Teori F. Saussure, bahwa Saussure mengemukakan bahwa tanda terdiri dari bunyi-bunyian dan
gambar. Bunyi-bunyian dan gambar itu sendiri disebut signifier atau
penanda, sedangkan konsep dari bunyi-bunyian dan gambar itu disebut signified
atau tertanda. Dalam berkomunikasi, seseorang menyampaikan makna tentang objek
dengan menggunakan tanda, dan orang lain akan menginterpretasikan tanda
tersebut. Saussure juga mengistilahkan interpretant untuk signified
dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai
referent dan menjadikannya sebagai unsur tambahan dalam proses
penandaan.[15] Contoh: jika ada orang yang berkata “anjing”
(signifier) dengan nada mengumpat maka kata itu adalah tanda kesialan
(signified).
5.2. Charles Sanders Peirce (1839 –
1914)
Seorang filsuf berkebangsaan Amerika nama
lengkapnya Charles
Sanders Peirce (1839 - 1914). Kajian Peirce jauh lebih
terperinci daripada tulisan de Saussure yang lebih programatis. Oleh karena itu
istilah semiotika lebih lazim dalam dunia Anglo-Saxon, dan istilah semiologi
lebih dikenal di Eropa Kontinental.
Siapakah Peirce? Charles Sanders Peirce
adalah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan multidimensional. Bagi
teman-teman sejamannya ia terlalu orisional. Dalam kehidupan bermasyarakat,
teman-temannya membiarkannya dalam kesusahan dan meninggal dalam kemiskinan.
Perhatian untuk karya-karyanya tidak banyak diberikan oleh teman -temannya.
Peirce banyak menulis, tetapi kebanyakan
tulisannya bersifat pendahuluan, sketsa dan sebagian besar tidak diterbitkan
sampai ajalnya. Baru pada tahun 1931 - 1935 Charles Hartshorne dan Paul Weiss
menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul Collected Papers of
Charles Sanders Pierce. Pada tahun 1957, terbit jilid 7 dan 8 yang
dikerjakan oleh Arthur W Burks. Jilid yang terakhir berisi bibliografi tulisan
Pierce.
Peirce
selain seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce memahami bagaimana
manusia itu bernalar. Peirce akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia berpikir
dalam tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotika.
Semiotika baginya sinonim dengan logika. Secara harfiah ia mengatakan “Kita
hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur
dalam komunikasi.
Ia mengembangkan filsafat pragmatisme melalui
kajian semiotic, dan teori tanda yang dibentuk oleh tiga sisi: a. Representamen
(tanda) b. Objek (sesuatu yang dirujuk oleh tanda) c.
Interpretant (efek yang ditimbulkan;hasil)
Selain itu terdapat immediate interpretant (makna pertama), dynamic interpretant (makna dinamis), final interpretant (makna akhir). Peirce memperkenalkan sifat
dinamisme internal dalam tanda. Interpretant yang tersamar memungkinkan ia
menjelma menjadi tanda baru (rantai semiosis).
Representamen:
the form which the signt Interpretant: not an interpreter but rather the Sense
made of the sign Object:
to which the sign refers Contoh: Kata “Kucing" sebagai penanda,
Konsep dalam otak kita tentang bentuk kucing ialah interpretant, sedangkan gambar
atau binatang asli kucing ialah objeknya
a.Level Tanda
Tanda yang dikaitkan dengan ground/representamen dibaginya menjadi:
1. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda (mis. warna hijau);
1. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda (mis. warna hijau);
2. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa/realitas
fisik yang nyata. (mis. rambu lalu lintas);
3. Legisign adalah norma/hukum yang dikandung
oleh tanda (mis. suara pluit wasit).
b.Level objek
b.Level objek
Tanda yang dikaitkan dengan jenis dibagi
menjadi tiga kategori, Ikon, Indek dan Simbol.
Ikon
adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan
bentuk alamiah. Dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek
atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya foto;
Indeks
adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda
yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung
mengacu pada kenyataan; misalnya asap sebagai tanda adanya api.;
Simbol adalah
tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya.
Hubungan di antaranya bersifat arbitrer, hubungan berdasarkan konvensi
masyarakat, misalnya kata, bendera.
c.Level Interpretan
Tanda yang dikaitkan dengan subtansi makna,
dibagi menjadi tiga, Rheme, Disensign, Argument.
Rheme adalah
tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Tanda tampak
bagi interpretant sebagai sebuah keungkinan, misalnya: konsep;
Dicent
sign atau dicisign adalah tanda sesuai dengan kenyataan. Tanda bagi
interpretant sebagai sebuah fakta, misalnya: pernyataan deskriptif;
Argument adalah yang langsung
memberikan alasan tentang sesuatu. Tanda bagi interpretant sebagai sebuah
nalar, misalnya : preposisi.
d.Konsep dasar semiotika
Peirce
membedakan tiga konsep dasar semiotik, yaitu:
1. Sintaksis mempelajari
hubungan antartanda. Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama. Contoh:
teks dan gambar dalam wacana iklan merupakan dua sistem tanda yang berlainan,
akan tetapi keduanya saling bekerja sama dalam membentuk keutuhan wacana iklan.
2. Semantik mempelajari
hubungan antara tanda, objek, dan interpretannya. Ketiganya membentuk hubungan
dalam melakukan proses semiotis. Konsep semiotik ini akan digunakan untuk
melihat hubungan tanda-tanda dalam iklan (dalam hal ini tanda non-bahasa) yang
mendukung keutuhan wacana.
3. Pragmatik mempelajari
hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda.
Semakin
lama ia semakin yakin bahwa segala sesuatu adalah tanda artinya setidaknya
sesuai cara eksistensi dari apa yang mungkin. Dalam analisis semiotiknya Peirce
membagi tanda berdasarkan sifat ground menjadi tiga kelompok yakni qualisigns,
sinsigns dan legisigns. Qualisigns adalah tanda-tanda yang
merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh, sifat merah merupakan qualisgins
karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Sinsigns adalah
tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilannya dalam kenyataan.
Semua pernyataan individual yang tidak
dilembagakan merupakan sinsigns. Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan,
keheranan atau kegembiraan. Legisigns adalah tanda-tanda yang merupakan
tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah
kode. Tanda lalu lintas adalah sebuah legisigns. Begitu juga dengan
mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan dan sebagainya.
Untuk
tanda dan denotatumnya Peirce memfokuskan diri pada tiga aspek tanda yaitu ikon,
indeksikal dan simbol. Ikon adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai
penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya (terlihat pada gambar atau
lukisan). Indeks adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda
yang mengisyaratkan petandanya, sedangkan simbol adalah penanda yang
melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara kovensi telah lazim
digunakan dalam masyarakat.
Model
tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak
memiliki ciri-ciri struktural sama sekali.Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda
bersifat representatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain
( something that represents something else)[16].
Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti
hubungan antara tiga titik yaitu representamen (R) - Object (O) -
Interpretant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara
fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O). Kemudian
I adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara R dan O. Oleh
karena itu bagi Pierce, tanda tidak hanya representatif, tetapi juga interpretattif.
Teori Peirce tentang tanda mem-perlihatkan pemaknaan tanda seagai suatu proses
kognitif dan bukan sebuah struktur. Proses seperti itu disebut semiosis. Peirce
membedakan tanda menjadi tiga yaitu indeks, ikon dan simbol.
Bagaimanakah hubungan ikon, indeks dan
simbol? Seperti yang dicontohkan Hoed, apabila dalam perjalanan pulang dari
luar kota seseorang melihat asap mengepul di kejauhan, maka ia melihat R. Apa
yang dilihatnya itu membuatnya merujuk pada sumber asap itu yaitu cerobong
pabrik (O). Setelah itu ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebuah pabrik
ban mobil. Tanda seperti itu disebut indeks, yakni hubungan antara R dan O
bersifat langsung dan terkadang kausal. Dalam pada itu apabila seseorang
melihat potret sebuah mobil, maka ia melihat sebuah R yang membuatnya merujuk
pada suatu O yakni mobil yang bersangkutan.
Proses selanjutnya adalah menafsirkan, misalnya
sebagai mobil sedan berwarna hijau miliknya (I). Tanda seperti itu disebut ikon
yakni hubungan antara R dan O menunjukkan identitas. Akhirnya apabila di tepi
pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam kognisinya ia merujuk
pada ‘larangan untuk berenang’ (O). Selanjutnya ia menafsirkan bahwa ‘adalah
berbahaya untuk berenang disitu’ (I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni
hubungan antara R dan O bersifat konvensional.[17]
Peirce
juga mengemukakan bahwa pemaknaan suatu tanda bertahap -tahap. Ada tahap
kepertamaan (firstness) yakni saat tanda dikenali pada tahap awal secara
prinsip saja. Firstness adalah keberadaan seperti apa adanya tanpa menunjuk
ke sesuatu yang lain , keberadaan dari kemungkinan yang potensial.
Kemudian tahap ‘kekeduaan’ ( secondness) saat
tanda dimaknai secara individual, dan kemudian ‘keketigaan’ ( thirdness) saat
tanda dimaknai secara tetap sebagai kovensi. Konsep tiga tahap ini penting
untuk memahami bahwa dalam suatu kebudayaan kadar pemahaman tanda tidak sama
pada semua anggota kebudayaan tersebut.
Jadi secara ringkas C.S Peirce yang dikenal nama teorinya sebagai Teori Segitiga Makna (Triangle Meaning), yakni dalam teori tersebut terdiri dari tiga elemen utama,
yaitu tanda (sign), objek, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu berbentuk
fisik yang dapat diindera dan menunjukkan hal lain di luar tanda itu sendiri.
Objek adalah acuan tanda, yaitu konteks yang ditunjukkan oleh tanda, sedangkan
interpretant adalah pengguna tanda, yaitu konsep yang diberikan oleh pengguna
tanda terhadap suatu objek yang ditunjukkan oleh tanda, berupa sebuah makna
tertentu.[18]
Contoh:
seorang pria memakai kemeja lengan panjang dan dimasukkan, celana bahan, serta
sepatu pantofel, maka pria itu ingin mengomunikasikan mengenai dirinya kepada
orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol kerapihan dan wibawa.
5.3 Roland Barthes
Roland Barthes adalah penerus pemikiran
Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara
bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan
bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang
yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran
tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan
kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang
dialami dan diharapkan oleh penggunanya.
Gagasan
Barthes ini dikenal dengan “order of
signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan
konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di
sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap
mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan
yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak
pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem
sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang
kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu
tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi,
maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan
lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para
makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum
yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat
bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan
tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap
sebagai sebuah Mitos.
Jadi secara ringkas teori Roland Barthes mengemukakan gagasan
yang dikenal sebagai “order of signification”, yang
terdiri dari makna denotasi (makna sesungguhnya yang sesuai dengan kamus dan
realitas), serta makna konotasi (makna ganda yang muncul dari pengalaman secara
personal dan kultural). Inilah yang membedakan teori Barthes dengan Saussure,
dimana Barthes ingin menunjukkan bahwa adanya interaksi antara teks dengan
pengalaman personal dan cultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam
teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Teori ini
berdasar pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja dimaknai secara
berbeda oleh orang yang berbeda situasi dan kondisinya.[19]
Contoh: rumah tua akan menimbulkan
konotasi “berhantu” karena dianggap sebagai tempat tinggal para makhluk halus
atau roh penghuni rumah yang sudah meninggal. Konotasi “berhantu” ini lalu
melekat pada simbol rumah tua, sehingga rumah tua yang berhantu bukan lagi
merupakan konotasi, melainkan sudah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat
kedua. Akhirnya “rumah tua yang berhantu” menjadi sebuah mitos
5.4
Baudrillard
Baudrillard memperkenalkan teori
simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas,
tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas
yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang
disebutnya hiperrealitas (hyper-reality).
Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu
tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).
Sebuah iklan menampilkan seorang
pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil multivitamin, seketika pria
tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek sebuah truk, tentu
hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang
dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan
pesan produk sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk
beraktivitas sehari-hari agar tidak mudah capek. Namun, cerita iklan dibuat
‘luar biasa’ agar konsumen percaya. Inilah tipuan realitas atau hiperealitas
yang merupakan hasil konstruksi pembuat iklan.
Barangkali kita masih teringat
dengan pengalaman masa kecil (entah sekarang masih ada atau sudah lenyap) di
pasar-pasar tradisional melihat atraksi seorang penjual obat yang memamerkan
hiburan sulap kemudian mendemokan khasiat obat di hadapan penonton? Padahal
sesungguhnya atraksi tersebut telah ‘direkayasa’ agar terlihat benar-benar
manjur di hadapan penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli
obatnya.
Jadi secara ringkas teori Baudrillard yang menyebut teorinya
sebagai Teori Simulasi. Teori ini menyatakan, bahwa suatu peristiwa tampil tanpa asal-usul
yang jelas dan tidak sesuai dengan realitas yang ada. Sehingga menurut
Baudrillard, manusia hidup dalam hiperrealitas (hyper-reality), semuanya
merupakan tiruan, yang palsu terlihat lebih asli dari sesuatu yang nyata.[20]
Contoh yang
paling nyata untuk menggambarkan teori ini adalah iklan produk di televisi.
Sebuah iklan menampilkan seorang anak yang tertinggal bus jemputan menuju
sekolahnya, kemudian anak tersebut memakan sebuah biskuit, dan setelah
memakannya, anak itu mampu mengejar bus jemputannya. Secara logika tentu saja
tidak mungkin seorang anak dapat mengejar bus hanya dengan memakan biskuit,
namun iklan itu dibuat mengada-ada dan terlihat luar biasa agar konsumen
tertarik untuk memberli produknya. Inilah yang disebut dengan tipuan realitas
atau hiperrealitas.
5.5. Jacques
Derrida
Derrida terkenal dengan model semiotika
Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif
untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang
baku. Konsep Dekonstruksi yang dimulai dengan konsep demistifikasi,
pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas pada
dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier)
melalui penyusunan konsep (signified).
Dalam teori Grammatology, Derrida
menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena
semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam
Sobur, 2006: 100).
Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha
membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan
bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip,
diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi
prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan
yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di
depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Ke-gothic-annya bisa
merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan.
Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut
cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru
bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan
persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.
Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat
ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya.
Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji
zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer.
Di
lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan
sebagai ‘fokus ke atas’ yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja
tersebut menawarkan kekhidmatan yang indah yang ‘mempertemukan’ jemaat dan
Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang
utuh dan istimewa.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah
tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda
tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau
mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan
puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.
Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda
sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda
sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk
atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar
melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat
bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.
Jadi
secara ringkas Teori Jacques Derrida, dapat
dipaparkan, bahwa Derrida memperkenalkan model semiotika dekonstruksi. Dekonstruksi
ini merupakan sebuah alternatif untuk menghilangkan segala keterbatasan
penafsiran atau penyimpulan yang baku. Konsep ini membongkar produk pemikiran
rasional yang mempercayai kemurnian realitas. Dekonstruksi memungkinkan sebuah
tanda untuk ditafsirkan seperti apa saja, tidak ada batasan dalam pemaknaan.
Luasnya pemaknaan sebuah tanda membuka peluang bagi lahirnya makna-makna dan
ideologi baru yang tidak terbatas dari sebuah tanda[21].
Baju
kotak-kotak yang dikenakan oleh pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama
pada kampanye pilkada DKI Jakarta dapat dimaknai dengan sangat beragam.
Kotak-kotak bagi sebagian orang dapat dimaknai sebagai mengotak-kotakkan
masyarakat, baju kotak-kotak itu melambangkan Jokowi dan Ahok yang hanya
mempedulikan masyarakat tertentu dengan mengotak-kotakkan masyarakat. Di sisi
lain, baju kotak-kotak bisa juga diartikan sebagai keberagaman yang ditampung
dalam satu wadah persatuan, karena setiap kotak berada berdekatan dengan kotak
yang lainnya, dengan beragam warna pula, tetapi masih dalam satu bingkai baju
yang sama, sehingga itu melambangkan persatuan dalam keberagaman yang akan
diwujudkan oleh Jokowi dan Ahok. Makna yang lain lagi dari baju kotak-kotak itu
bisa juga menggambarkan figur Jokowi dan Ahok yang santai dan mengikuti
perkembangan jaman, mengingat baju kotak-kotak banyak dipakai oleh anak muda.
Inilah contoh dari model dekonstruksi Derrida.
5.6 Umberto
Eco
Stephen W. Littlejohn (1996)
menyebut Umberto Eco sebagai ahli
semiotika yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling
komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia
mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara
lebih mendalam
Eco menganggap tugas ahli semiotika
bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi
sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda.
Eco menyimpulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar,
melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari
dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan
bertemu atas dasar hubungan pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk
menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa.
Tanpa kode, tanda-tanda suara atau
grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal
tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu
pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode
lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan
karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s
yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di
samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.
Jadi secara ringkas Teori Umberto Eco, dapat dipaparkan, bahwa Umberto Eco membawa sebuah perubahan
pada semiotika. Ia mengubah konsep tanda menjadi fungsi tanda. Menurutnya,
pemaknaan terhadap suatu tanda tidak bisa dilakukan hanya dengan pendekatan
secara tekstual, karena tanda merupakan pertemuan dari unsur ungkapan dan isi,
dimana dalam hubungan itu diperlukan sebuah pengkodean yang terdiri dari kode
dan subkode.
Kode dan
subkode ini merefleksikan beberapa nilai, perilaku, asumsi, kebiasaan,
kepercayaan, dan praktek. Umberto Eco menyebut ini sebagai kode-s untuk
menunjukkan kode yang sesuai dengan struktur bahasa, dimana kode ini dapat
bersifat denotatif apabila diartikan secara harfiah, dan dapat bersifat
konotatif apabila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama.
Mudahnya,
kode ini merupakan konteks yang menyertai sebuah tanda. Tanpa kode, tanda-tanda
tidak memiliki arti apapun, atau kasarnya tidak dapat berfungsi secara
linguistik. Teori yang dikemukakan oleh Umberto Eco ini dinilai sebagai teori
yang paling komprehensif dan sesuai dengan linguistik masa kini.[22]
Kata motor
di Medan digunakan untuk menyebut mobil, sedangkan sepeda motor
itu sendiri disebut kereta. Oleh karenanya untuk menyebut “kereta” yang
berjalan di rel, itu harus lengkap disebutkan sebagai kereta api.[23]
Sama halnya dengan kata semboyan dalam bahasa Indonesia yang umum
diartikan sebagai sebuah slogan atau jargon, namun dalam istilah perkeretaapian
diartikan sebagai kode yang berisi perintah tertentu. Kedua contoh tersebut
memberikan gambaran bahwa satu kata memiliki makna yang berbeda apabila
ditempatkan pada konteks yang berbeda, namun ketika kata itu tidak dirangkaikan
dengan kode berupa kata-kata lain dalam kalimat yang menunjukkan konteks, maka
kata tersebut sulit untuk diartikan. Kedua contoh tadi dapat menggambarkan
teori yang dikemukakan oleh Umberto Eco.
5.7. C. K. Ogden dan I.A Richard
Teori
Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard merupakan teori semiotika
trikotomi yang dikembangkan dari Teori Saussure dan Teori Barthes yang
didalamnya terdapat perkembangan hubungan antara Petanda (signified) dengan
Penanda (signifier) dimana Penanda kemudian dibagi menjadi dua yaitu Peranti
(Actual Function/Object Properties) dan Penanda (signifier) itu sendiri.
Petanda
merupakan Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti merupakan Denotasi dari
Penanda. Pada teori ini Petanda merupakan makna, konsep, gagasan, sedang
Penanda merupakan gambaran yang menjelaskan peranti, penjelasan fisik obyek
benda, kondisi obyek/benda, dan cenderung (tetapi tidak selalu) berupa
ciri-ciri bentuk, ruang, permukaan dan volume yang memiliki suprasegmen
tertentu (irama, warna, tekstur, dsb) dan Peranti merupakan wujud obyek/benda/fungsi
aktual.
6. Klasifikasi Jenis Analisis Semiotika
Sampai
saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal
sekarang. Jenis -jenis semiotik ini antara lain semiotik analitik, diskriptif, faunal
zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural.[24]
(1)
Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce
mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide,
obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah
beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu. (2) Semiotik
deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita
alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang
disaksikan sekarang.(3) Semiotik faunal
zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memper hatikan sistem tanda yang
dihasilkan oleh hewan. (4) Semiotik
kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang ada dalam kebudayaan
masyarakat. (5) Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda
dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). (6)
Semiotik natural atau semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dihasilkan oleh alam. (7) Semiotik normatif merupakan semiotik yang khusus
membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma.(8)
Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambang
rangkaian kata berupa kalimat. (9) Semiotik struktural adalah semiotik yang
khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
7.Bahasa
Sebagai Sistem Semiotika
Bahasa
dalam pemakaiannya bersifat bidimensional. Disebut dengan demikian, karena keberadaan
makna selain ditentukan oleh kehadiran dan hubungan antarn lambang kebahasaan
itu msendiri, juga ditentukan oleh pemeran serta konteks sosial dan situasional
yang melatarinya. Dihubungkan dengan fungsi yang dimiliki, bahasa memiliki
fungsi eksternal juga fungsi internal. Oleh sebab itu selain dapat digunakan
untuk menyampaikan informasi dan menciptakan komunikasi, juga untuk mengolah
informasi dan dialog antar -diri sendiri.
Kajian
bahasa sebagai suatu kode dalam pemakaian berfokus pada (1) karakteristik
hubungan antara bentuk, lambang atau kata satu dengan yang lainnya, (2)
hubungan antar –bentuk kebahasaan dengan dunia luar yang di -acunya, (3)
hubungan antara kode dengan pemakainya.
Studi
tentang sistem tanda sehubungan dengan ketiga butir tersebut baik berupa tanda
kebahasaan maupun bentuk tanda lain yang digunakan manusia dalam komunikasi
masuk dalam ruang lingkup semiotik.[25].
Sejalan
dengan adanya tiga pusat kajian kebahasaan dalam pemakaian, maka bahasa dalam
sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem. Tiga komponen tersebut
adalah: (1) sintaktik, yakni komponen yang be rkaitan dengan lambang atau sign
serta bentuk hubungan-nya, (2) semantik, yakni unsur yang berkaitan dengan
masalah hubungan antara lambang dengan dunia luar yang diacunya, (3) pragmatik,
yakni unsur ataupun bidang kajian yang berkaitan dengan hubungan antara pemakai
dengan lambang dalam pemakaian.
Ditinjau dari sudut pemakaian, telah diketahui
bahwa alat komunikasi manusia dapat dibedakan antara media berupa bahasa atau
media verbal dengan media non -bahasa atau nonverbal. Sementara media
kebahasaan itu, ditinjau dari alat pemunculannya atau chanel dibedakan
pula antara media lisan dengan media tulis. Dalam media lisan misalnya, wujud
kalimat perintah dan kalimat tanya dengan mudah dapat dibedakan lewat pemakaian
bunyi suprasegmental atau pemunculan kinesik, yakni gerak bagian tubuh yang
menuansakan makna tertentu.
Kaidah penataan kalimat selalu dilatari
tendesius semantis tertentu. Dengan kata lain sistem kaidah penataan lambang
secara gramatis selalu berkaitan dengan dengan strata makna dalam suatu bahasa.
Pada sisi lain makna sebagai label yang mengacu realitas tertentu juga memiliki
sistem hubungannya sendiri.[26]
Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda
dengan pemakai ( user atau interpreter), menjadi bagian dari
sistem semiotik sehi ngga juga menjadi salah satu cabang kajiannya karena
keberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya. Bahkan lebih luas lagi
keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu ke
dalam masyarakat pemakainya, ke dalam konteks sosial budaya yang dimiliki. Hal
itu sesuai dengan pernyataan bahwa bahasa adalah cermin kepribadian dan budaya
bangsa. Sehubungan dengan itu Abram’s mengungkapkan bahwa the focus of
semiotic interest is on the underlying system of language, not on the
parole.[27]
Bahasa
merupakan alat komunikasi yang terpenting dalam kehidupan manusia. Kata-kata yang
dibentuk dalam bahasa diungkap melalui satu sistem perlambangan yang dapat
difahami secara lisan mahupun tulisan. Kesemua ini terungkap dalam perututuran,
gerak laku mahupun perbuatan. Kadang-kala, lambang-lambang yang digunakan dalam
bahasa agak sukar difahami sehingga ianya memerlukan satu bentuk kajian melalui
disiplin yang tertentu. Maka, disiplin inilah yang diterapkan melalui
pendekatan semiotik. Ia adalah disiplin yang terbentuk hasil daripada gabungan
beberapa bidang ilmu lain termasuk antropologi, lingusitik, psikologi,
sosiologi dan beberapa lagi. Semiotik kemudiannya berkembang menjadi satu
bentuk kajian yang bersifat saintifik.
Teori semiotik
adalah di antara teori kritikan pascamodern yang penting dan banyak digunakan
kini. Ia memahami karya sastera melalui tanda-tanda atau
perlambangan-perlambangan yang ditemui di dalam teks. Teori ini berpendapat
bahawa dalam sesebuah teks itu terdapat banyak tanda dan pembaca atau
penganalisis harus memahami apa yang dimaksudkan dengan tanda-tanda tersebut.
Dalam pandangan
semiotik – yang berasal dari teori Saussure – bahasa merupakan sebuah sistem
tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut
makna. Bahasa sebagai suatu sistem tanda dalam teks kesastraan tidak hanya
menyaran pada sistem (tataran) makna tingkat pertama (first-order semiotic
system), melainkan terlebih pada sistem makna tingkat kedua (second-semiotic
system). Hal ini sejalan dengan proses pembacaan teks kesastraan yang
bersifat heuristik dan hermeneutik.
Teori
struktural dan semiotik pada dewasa ini merupakan salah satu teori sastra
(kritik sastra) yang terbaru di samping teori estetika resepsi dan
dekonstruksi. Akan tetapi, teori ini belum banyak dimanfaatkan dalam bidang
kritik sastra di Indonesia. Pada umumnya kritik sastra atau apa yang dinamakan
kritik sastra di Indonesia dewasa ini, yang sudah ketinggalan dalam
perkembangan kemajuan studi sastra pada umumnya. Oleh karena itu, dalam pembicaraan ini dicoba untuk menerapkan teori
tersebut dalam menganalisis sajak Indonesia untuk turut memperkembangkan studi
sastra dalam kesusastraan Indonesia.
8. Analisis Semiotika sebagai metode
Penelitian
Analisis semiotika adalah metode
penelitian untuk menafsirkan makna dari suatu pesan komunikasi baik yang
tersirat (tertulis) maupun yang tersurat (tidak tertulis). Makna yang dimaksud
mulai dari parsial hingga makna komprehensif. Sehingga dapat diketahui motif
komunikasi dari komunikatornya.
Metode semiotika dikembangkan untuk menafsirkan simbol komunikasi sehingga
dapat diketahui bagaimana komunikator mengkontruksi pesan untuk maksud-maksud
tertentu
Analisis semiotika adalah metode penelitian untuk
menafsirkan makna dari suatu pesan komunikasi baik yang tersirat (tertulis)
maupun yang tersurat (tidak tertulis/teruap). Makna yang dimaksud mulai dari
parsial hingga makna komprehensif. Sehingga dapat diketahui motif komunikasi
dari komunikatornya.
Pemaknaan
simbol dapat menggunakan denotatif dan konotatif atau nilai-nilai ideologis
atau mitologis dalam istilah Roland Barthes dan kulutural. Dengan perkataan
lain metode semiotika dikembangkan untuk menafsirkan simbol komunikasi sehingga
dapat diketahui bagaimana komunikator mengkontruksi pesan untuk maksud-maksud
tertentu
Melalui analisis semiotika dapat dikupas tanda dan makna yang diterapkan
pada sebuah naskah sebagai bahan penelitian. Yang dimaksud naskah dalam
penelitian semiotika adalah seluruh teks yang ada didalam naskah. Naskah dapat
berupa karya manusia, seperti, novel, film, iklan, pidato, simbol/lambang
kenegaraan-lambang-lambang pemerintahan daerah, lukisa, teks hukum dalam naskah
peraturan perundang-undangan suatu negara.
Hasil
analisis rangkaian tanda itu dapat menggambarkan konsep pemikiran, dan
rangkaian tanda yang terinterpretasikan dari hasil analisis kemudian menjadi
jawaban atas pertanyaan nilai-nilai ideologi dan kukltural yang berda dibaklik
sebuah naskah.
Merujuk teorinya Pierce, maka tanda-tanda dalam gambar dapat dilihat dari
jenis tanda yang digolongkan dalam semiotik. Di antaranya: ikon, indeks dan
simbol. Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat pula
dikatakan, tanda yang memiliki ciri-ciri sama dengan apa yang dimaksudkan.
Misalnya, foto Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat adalah ikon dari Pak Sultan. Peta Yogyakarta adalah ikon dari
wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam peta tersebut. Cap jempol Pak Sultan adalah ikon dari ibu jari Pak Sultan.
Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang
diwakilinya. Atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya: asap dan api,
asap menunjukkan adanya api. Jejak telapak
kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat itu. Tanda
tangan (signature) adalah indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan
tanda tangan itu.
Simbol
merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian yang
disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti
arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya: Rajawali Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki
perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki latar budaya
berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya, Rajawali Garuda Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa.
Kode, merujuk terminologi sosiolinguistik ialah variasi tutur yang memiliki
bentuk yang khas, serta makna yang khas pula. Sementara itu, kode menurut
Piliang, adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk
memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang ke orang lainnya. Di dalam
praktik bahasa, sebuah pesan yang dikirim kepada penerima pesan diatur melalui
seperangkat konvensi atau kode. Umberto Eco menyebut kode sebagai aturan yang
menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret dalam sistem komunikasi.
Fungsi
teks-teks yang menunjukkan pada sesuatu (mengacu pada sesuatu) dilaksanakan
berkat sejumlah kaidah, janji, dan kaidah-kaidah alami yang merupakan dasar dan
alasan mengapa tanda-tanda itu menunjukkan pada isinya. Tanda-tanda ini menurut
Jakobson merupakan sebuah sistem yang dinamakan kode.
Kode pertama yang berlaku pada
teks-teks ialah kode bahasa yang digunakan untuk mengutarakan teks yang
bersangkutan. Kode bahasa itu dicantumkan dalam kamus dan tata bahasa. Selain
itu, teks-teks tersusun menurut kode-kode lain yang disebut kode sekunder,
karena bahannya ialah sebuah sistem lambang primer, yaitu bahasa. Sedangkan struktur cerita, prinsip-prinsip drama, bentuk-bentuk
argumentasi, sistem metrik, itu semua merupakan kode-kode sekunder yang
digunakan dalam teks-teks untuk mengalihkan arti.
Roland Barthes
dalam bukunya S/Z mengelompokkan kode-kode tersebut menjadi lima kisi-kisi
kode, yakni kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan
kode kultural atau kode kebudayaan. Uraian kode-kode tersebut dijelaskan
Pradopo sebagai berikut:
Kode
Hermeneutik, yaitu artikulasi berbagai cara pertanyaan, teka-teki, respons,
enigma, penangguhan jawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau dengan kata
lain, Kode Hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah
wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul?
Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda jawaban lain.
Kode Semantik,
yaitu kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi
feminitas, maskulinitas. Atau dengan kata lain Kode Semantik adalah tanda-tanda
yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminin, kebangsaan,
kesukuan, loyalitas.
Kode Simbolik, yaitu kode yang
berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur,
skizofrenia.
Kode Narasi atau Proairetik yaitu
kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi.
Kode Kebudayaan atau Kultural, yaitu
suara-suara yang bersifat kolektif, anomin, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan,
pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, legenda.
Pertanyaannya bagaimana lingkup
analisisnya ?Lingkup analisis dalam analisis semiotika terbagi dua, yakni (1)
struktur makrfo, merupakan makna global dari suatu teks yang dapat dianalisis
dari topik/tema yang diangkat, oleh suatu teks. Jadi bersifat tematik
(tema/topik dalam suatu teks dan bersifat sintaksis, bagaimana bentuk dan
struktur kalimat yang dipilih didalam teks. (2) struktur mikro merupakan makna
lokal dari suatu teks yang bersifat semantik (makna yang ditekankan dalam suatu
teks) dan retoris (bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan).Struktur
mikro dapat dianalisis dari pilihan kata, kalimat, gaya yang dipakai oleh suatu
teks.
Pertanyaannya selanjutnya bagaimana
unit analisis dalam penelitian semiotika ? Contoh dalam teks hukum, bagaimana
historis perumusannya, rumusan yang disepakati, bagaimana penjelasannya (jenis
penafsiran hukumnya), simiotika yang ditonjolkan dibalik teks hukum, fungsi
serta maknanya secara hermenuetika hukum atau makna representasi dibalik teks
hukum secara bahasa hukum yang terformulasikan dalam rumusan pasal-pasal,
ayat-ayat dari teks hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan.
Bagaimana
keabsahannya atau validitas sebuah teks dalam penelitian semiotika. Mengenai
validitasnya dapat ditinjau dari : (1) keterlibatan, artinya seberapa besar
keterlibatan peneliti pada obyek yang diteliti sesuai fokus penelitian yang
dipilih. Sebanyak apa pengalaman penelitian sesuai naska yang dianalisis.
Apabila keterlibatan dan pengalaman yang cukup dapat diduga penafsiran didukung oleh data dan deskriptip,
narasi serta argumentatif yang kuat. (2) Ketekunan, artinya memperkirakan semua
aspek dalam proses pemaknaan teks. Memperhatikan semua aspek dan konteks,
kontektualisasi dari suatu teks. Pemaknaan dapat dilakukan berdasarkan
perspektif dari berbagai bidang keilmuan yang dipilih peneliti dengan berbagai
multi pendekatan penelitian biasa lebih khusus pada tipe penelitian
kualitatif.(3) Peneliti apakah melakukan tringgulasi data, baik trianggulasi
metode maupun tringgulasi sumber data, misalnya dengan menggunakan teks lain
yang obyeknya sama, membandingkan penafsiran dengan penafsiran lain dari berbagai
sumber penafsiran. Mengeksplorasi teks dengan sejumlah keterangan verbal dalam
berbagain literatur penelitian yang berkaitan dengan obyek penelitian atau
fokus penelitian yang dipilih oleh peneliti. Jika hasil analisisnya berbeda,
maka ajukan pertanyaan selanjutnya mengapa terjadi perbedaan dan mencari
penjelasan pembanding yang mungkin ada penjelasan lain atau penjelasan baru,
jika ada seberapa sahih penjelasan baru tersebut didukung data. (4) Uraian
rinci, artinya seberapa rinci teks dianalisis. Semakin rinci dan
sistimatis paparan hasil analisis, yaitu
deskriptif, naratif, argumentatif serta menghasilkan pernyataan baru, maka
semakin berkualitas penelitian semiotikanya.
9. Teori Kajian Semiotika
Semiotik boleh
berhadapan dengan genre apa pun. Ia boleh untuk memberikan penilaian yang adil
dan saksama. Teori Semiotika beranggapan
bahwa sebuah karya itu mempunyai sistemnya yang tersendiri, di mana, ia dapat
diperlihatkan melalui sistem tanda dan kode yang terjelma di dalamnya. Oleh
yang demikian, proses penciptaan yang melahirkan sistem karya itu juga menjadi
penelitian. Ini termasuk sistem di luar karya yang dibawa masuk ke dalam karya;
atau lebih tepat lagi kebudayaan seluruh masyarakat yang menjadi sumber
inspirasi pengkaryaan tersebut.
Terdapat beberapa
pengertian asas tentang perlambangan yang dikemukakan di kalangan ahli
tokoh-tokoh semiotik terutama dalam bidang linguistik dan kesusasteraan umum.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelum ini, teori semiotik ini sangat luas
dan dipelopori oleh beberapa tokoh dengan ruang lingkup yang berbeda-beda. Maka, dalam dalam penelitian konsep semiotika Charles Sansder Pierce akan mudah digunakan.
Dengan itu, prinsip-prinsip yang seperti ikon, indeks dan simbol mudah
dibedakan antara yang satu dengan lain.
Pengertian simbol atau lambang adalah sesuatu yang dapat
melambangkan mewakili ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara
arbitrer, conventional, dan representatif-interpretatif. Dalam hal ini, tidak
ada hubungan langsung dan alamiah antara yang melambangkan (menyimbolkan)
dengan yang dilambangkan (disimbolkan). Dengan demikian, baik yang batiniah (inner) seperti perasaan, pikiran, ide
maupun yang lahiriah (outer) seperti
benda dan tindakan dapat dilambangkan atau diwakili simbol.[28]
Secara konstruksi
teoritik, konsep
simbol menurut Charles Sanders Peirce, seorang filosof pragmatis dan sekaligus
ahli logika Amerika. Tanda diklasifikasikan ke dalam tiga jenis berdasarkan
relasi antara tanda sebagai representan dengan denotatumnya yaitu :[29]
1.
Simbol yaitu tanda yang dapat melambangkan atau mewakili sesuatu (ide,
pikiran, perasaan, benda, dan tindakan) secara arbitrer dan konvensional.
Misalnya, warna merah dan putih dalam bendera kebangsaan Indonesia
masing-masing melambangkan keberanian dan kesucian.
2.
Indeks yaitu tanda yang dapat menunjukkan sesuatu (ide, pikiran, perasaan,
benda, dan tindakan) secara kausal atau faktual. Misalnya, asap menunjukkan
adanya api.
3.
Ikon yaitu tanda yang dapat menggambarkan sesuatu (ide, pikiran, perasaan,
benda, dan tindakan) berdasarkan persamaan atau perbandingan. Misalnya, potret
menggambarkan orangnya.
Relasi antara tanda sebagai representan dengan
denotatum di atas didasarkan pada sifat hubungan itu sendiri. Apabila hubungan
antara tanda atau representan dengan denotatum atau objek melambangkan atau
mewakili secara arbitrer dan konvensional, tanda itu disebut simbol; apabila
menunjukkan secara kausal dan faktual, tanda itu disebut indeks; dan apabila
menggambarkan berdasarkan persamaan atau perbandingan, tanda itu disebut ikon.
Proses penyampaian simbol itu disebut tindak
komunikasi. Dengan kata lain, tanda (simbol, indeks, dan ikon) adalah media
komunikasi (mediums of communication)
yang berpijak dalam bidang semiotika. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar
di bawah ini. Lingkaran pertama (paling dalam) menyatakan isi atau kandungan
tanda, lingkaran kedua menunjukkan bahwa isi tanda itu dapat ditransformasikan
ke dalam tiga jenis tanda, lingkaran ketiga menunjukkan bahwa tanda-tanda itu
dapat juga diklasifikasikan ke dalam jenis tanda pada lingkaran kedua, dan
lingkaran keempat menunjukkan bahwa tanda yang terdiri atas simbol, indeks, dan
ikon merupakan bidang semiotik dan dapat digunakan dalam komunikasi
Pendekatan semiotika memerlukan
penganalisis mencari penggunaan tanda-tanda dalam sesebuah karya. Tanda-tanda
tersebut diungkap melalui penanda, mengikut paradoks dan kontradisksi
penggunaan stail dan mekanisme penciptaan sesebuah karya yang dikuasai oleh
pengarang. Maka, penganalisis menggunakan semiotik untuk memberikan makna bagi
tanda-tanda dalam teks yang dikaji.
Semiotika melihat karya dalam perspektif yang lebih luas.
Prinsip kedua daripada pendekatan semiotik menuntut penganalisis memperhatikan
hubungan sistem sesebuah teks yang dikaji dengan sistem yang ada di luar teks
tersebut; iaitu segala perkara yang membawa kepada lahirnya teks tersebut. Ini
merangkumi sistem hidup dan kebudayaan masyarakat yang menjadi sumber inspirasi
penghasilan teks yang dikaji.
Segala ungkapan
atau tanda-tanda yang dicerakinkan dari dalam teks memainkan peranan yang
penting bagi kewujudan satu bentuk sistem dalam pembinaan teks tersebut. Maka,
prinsip ketiga dalam pendekatan semiotik memberi penghargaan terhadap pengarang
dan keperangannya. Ini menjelaskan bahwa terdapat sebab bagi penggunaan setiap
ungkapan yang dihasilkan dalam teks karena segalanya mempunyai pengertiannya yang tersendiri. Hingga saat ini dalam perkembangan
keilmuan semiotika hingga saat ini terdapat 9 (sembilan) macam jenis kajian
semiotika,yakni:
a. Semiotika
analitik merupakan semiotika yang menganalisis sistem tanda. Charles Sander
Pierce mengatakan bahwa semiotika
berobyekkan tanda dan menganalisisnya menjadi uide, obyek dan makna. Isde dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban
yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu.
b. Semiotika
faunal zoosemiotic merupakan semiotika yang khusus memperhatikan sistem tanada
yang dihasilkan oleh hewan.
c. Semiotika
kultural merupakan semiotika yang khusus menelaah sistem tanda yang ada dalam
kebudayaan masyarakat.
d. Semiotika
naratoif adalah semiotika yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud
mitos dan cerita lisan (folkore)
e. Semniotika
Natural atau semiotika yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh
alam.
f. Semiotika
normatiof merupkan semiotika yang khusus
membahas sistem tabda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma.
(norma agama, norma dalam etika, norma hukum dll)
g. Semiotika
sosial merupakan semiotika yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan
manusia yang berwujud lambang-lambang, baik lambang kata maupun lambang
rangkaian kata /kalimat atau dalam semiotika dikategorikan sebagai semiotika
struktural, yaitu semiotika yang khusus menelaah sistem tabda yang
dimanifestasikan melalui struktur bahasa. Juga lambang-lambang yang disepakati
oleh masyarakat atau negara/pemerintah seperti lambang negara, lambang-lambang
daerah atau lambang-lambang suatu lemnbaga/organisasi yang didalamnya
merepresentasikan ide, pikiran, benda dan tindakan.
10. Konsep Semiotika
sebagai Disiplin Keilmuan
Sebagai
penutup pointer ini diajukan pertanyaan apakah pengertian semiotika?
terminologi semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang berasal dari
kata Yunani, “semeion”/ Tanda”/Simbol, karena secara sederhana semiotika sering
disebut sebagai “study of sign”
(suatu pengkajian tanda-tanda), yang oleh Kris
Budiman dan Scholes dijelaskan
sebagai studi atas kode-kode atau simbol-simbol, yaitu sistem apapun yang memungkinkan seseorang
memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu
yang bermakna[30].
Pandangan
lain seperti Saussure menyebutnya sebagai ilmu umum tentang tanda, suatu ilmu yang mengkaji kehidupan
tanda-tanda didalam masyarakat (a science
that studies the life of sign within society)[31]
pandangan lain adalah menurut Rahayu
Surtiati Hidayat, menurutnya semiotika adalah teori dan analisis berbagai
tanda (sign)/simbol (simbolic) dan pemaknaan (signification)[32]
Pertanyaannya berikutnya adalah apa yang menjadi studi
utama Semiotika? Dengan mendasarkan pada pandangan dari Charles Moris, yaitu seorang filsuf yang menaruh perhatian atas
ilmu tentang-tanda-tanda sebagaimana disitir oleh Kris Budiman menjelaskan bahwa, semiotika pada dasarnya dapat
dibedakan dalam tiga cabang penyelidikan (branches
of inquery), yakni sintaksis, semantik, dan pragmatik, yang dapat
dipaparkan sebagai berikut:[33]
1. Sintaktik atau sintaksis, suatu cabang penyelidikan
semiotika yang mengkaji “hubungan formal diantara suatu tanda dengan tanda yang
lain”, dengan perkataan lain, karena hubungan-hubungan formal ini merupakan
kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi.
Pengertian sintaktik kurang lebih
adalah semacam metode penafsiran Gramatikal (bahasa) dalam Ilmu hukum, yaitu
penafsiran yang menekan pada makna teks yang didalamnya kaidah hukum
dinyatakan. Penafsiran dengan cara demikian bertolak dari makna menurut
pemakaian bahasa sehari-hari atau makna teknis yuridis yang sudah dilazimkan.
Menurut Vissert Hoft, dinegara-negara yang menganut tertib hukum
kodifikasi, teks harfiah undang-undang dinilai sangat penting. Namun penafsiran
gramatikal saja tidak cukup jika tentang hal yang ditafsirkan itu sudah menjadi
perdebatan[34];
2. Semantik,
yaitu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan diantara
tanda-tanda dengan degsinata atau objek-objek yang diacunya”. Bagi Vissert Hoft yang dimaksudkan dengan
degsinata adalah makna tanda-tanda sebelum digunakan didalam tuturan tertentu;
3. Pragmatik,
suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan diantara
tanda-tanda dengan interpreter atau para
pemakainya-pemaknaan tanda-tanda. Pragmatik secara khusus berurusan dengan
aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari
tuturan.
Menurut John
Fiske, studi semiotika dapat dibagi kedalam bagian sebagai berikut:[35]
1. Tanda/simbol
itu sendiri, hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda/simbol yang
berbeda, cara tanda/simbol yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara
tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda/simbol adalah
konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian yang menggunakannya.
Menurut penukis jika dikaitkan dengan lambang negara, misalnya maka
simbol-simbol yang ada pada lambang negara itu dapat dipahami dengan pemaknaan
yang diberikan oleh negara terhadap makna simbol-simbol yang ada dalam lambang
negara.
2. Kode
atau sistem yang mengorganisasikan tanda/simbol, Studi ini mencakup cara
berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya
atau mengekploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.
3. Kebudayaan
atau tempat kode dan tanda/simbol bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada
penggunaan kode-kode dan tanda-tanda/simbol-simbol itu untuk keberadaan dan
bentuknya sendiri.
Untuk memahami studi semiotika lebih mendalam, maka Yasraf Amir Pialang menjelaskan tentang
beberapa elemen penting dari semiotika yang meliputi beberapa hal sebagai
berikut:[36]
1. Komponen tanda/simbol; Apabila praktik
sosial, politik, ekonomi, budaya, dan seni sebagai fenomena bahasa, maka ia
dapat pula dipandang sebagai tanda/simbol. Hal ini dimungkinkan karena luasnya
pengertian tanda/simbol. Meskipun demikian, didalam masyarakat informasi saat ini terjadi perubahan
mendasar bagaimana “tanda/simbol” dipandang dan digunakan. Ini disebabkan
karena arus pertukaran tanda/simbol tidak lagi berpusat didalam suatu komunitas
tertutup, akan tetapi melibatkan persinggungan di antara berbagai komunitas,
kebudayaan dan ideologi.
2.
Aksis Tanda; Analisis tanda berdasarkan
sistem atau kombinasi yang lebih besar melibatkan apa yang disebut aturan
pengkombinasian yang terdiri dari dua aksis, yaitu aksis paradigmatik, yaitu
perbendaharaan tanda atau kata serta
askis sintagmatik, yaitu cara pemilihan dan pengkombinasian
tanda-tanda/simbol/simbol , berdasarkan aturan (rule) atau kode tertentu, sehingga dapat menghasilkan sebuah
ekspresi yang bermakna.
3.
Tingkatan Tanda; Barthes mengembangkan dua tingkatan penandaan, yang memungkinkan
untuk dihasilkan makna yang juga bertingkat-tingkat. “Denotasi”, yaitu
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda, atau antara tanda dan
rujukan pada realitas yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan
pasti. Konotasi, tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda
dan petanda, yang didalamnya beroperasi makna yang tidak ekspilisit, tidak
langsung dan tidak pasti artinya;
4. Relasi antar Tanda: Selain kombinasi
tanda analisis semiotika juga berupa berupaya untuk mengungkapkan interaksi
diantara tanda-tand/simbol-simbol. Meskipun bentuk interaksi antar
tanda-tanda/simbol-simbol itu sangat terbuka, akan tetapi ada dua interaksi
utama yang dikenal yaitu “metafora”, sebuah model interaksi tanda/simbol, yang
didalamnya sebuah tanda/simbol dari sebuah sistem digunakan untuk menjelaskan
makna untuk sebuah sistem yang lainnya, misalnya didalam lambang negara
Indonesia ada perisai besar dan perisai kecil
yang kesemuanya dibagi menjadi lima ruang yang didalamnya ada
simbol-simbol yang mensimbolisasikan Pancasila, tetapi struktur letaknya dan
cara membacanya dapat digunakan untuk menjelaskan sebuah sistem yang lainnya,
misalnya sistem norma hukum dan keduanya ada bentuk interaksi “metafora”, yaitu
antara cita hukum Pancasila dan sistem norma hukum yang seharus mengacu pada
metafora pembacaan cita hukum dalam dalam lambang negara.
11.Memahami
Naskah Hukum Melalui Metode Semiotika
Menginterpretasikan
suatu naskah hukum dalam hal ini peraturan perundang-undangan merupakan
suatu yang niscaya, karena gagasan dan semangat yang terkandung dalam suatu peraturan
perundang-undangan selalu terkait dengan ruang dan waktu dalam arti sangat erat
kaitannya dengan situasi dimana dan ketika peraturan perundang-undangan
dirumuskan dan ditetapkan. Dalam konteks waktu, situasi seringkali mengalami
perubahan karena tuntutan perkembangan masyarakat,dan karena itu sering
dikatakan bahwa hukum peraturan perundang-undangan
kerap mengalami ketertinggalan dimakan oleh waktu.
Menginterpretasi peraturan perundang-undangan
tentu saja harus menginterpretasi atau menafsir bunyi teks-teks peraturan perundang-undangan
itu sendiri, karena teks belum tentu jelas dengan sendirinya. Untuk dapat
memahami teks peraturan perundang-undangan, maka harus dipelajari latar
belakang sejarah terjadinya (memorie van
toelichting) bunyi teks peraturan perundang-undangan tersebut. Dengan
mempeljari sejarah terjadinya akan dapat dipahami maksud bunyi teks oleh
orang-orang yang hidup dalam konteks sejarah yang berbeda.
Dalam studi ilmu hukum, memahami teks hukum atau peraturan perundang-undangan
melalui sejarah terjadinya teks peraturan perundang-undangan tersebut merupakan
salah satu cara penafsiran saja, karena masih ada beberapa teori tentang
penafsiran (interpretasi) hukum lengkapnya, sebagai berikut:
1. Teori
penafsiran “letterlijk” (what does the
word mean) penafsiran ini menitik beratkan pada maksud dari teks-teks yang
tertulis dari sebuah naskah hukum atau undang-undang;
2. Teori
penafsiran gramatikal ( what does it
linguistically mean?) Ketentuan
atau kaidah hukum yang tertulis dalam undang-undang diberi arti menurut kalimat
atau bahasa sehari-hari. Metode interpretasi ini disebut interpretasi gramatikal
karena untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan cara
menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Dalam interpretasi
bahasa ini biasanya digunakan kamus bahasa atau dimintakan keterangan ahli
bahasa sebagai narasumber.
3. Teori
penafsiran historis (what is
historical background of the formulation of the text) Untuk mengetahui makna suatu kaidah dalam perundang-undangan sering pula
dilakukan dengan meneliti sejarah, atau riwayat peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan. Ada 2 (dua) jenis interpretasi historis yaitu
a.
Interpretasi menurut sejarah hukum (rechts historische-interpretatie)
b. Interpretasi menurut sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan (wet
historische-interpretatie).
4. Teori
penafsiran komparatif: Interpretasi
komparatif dilakukan dengan jalan memberi penjelasan dari suatu ketentuan
perundang-undangan dengan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan
memperbandingkan hukum yang berlaku di beberapa negara atau beberapa konvensi
internasional, menyangkut masalah tertentu yang sama, akan dicari kejelasan
mengenai makna suatu ketentuan perundang-undangan. Menurut Sudikno Mertokusumo,
metode penafsiran ini penting terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian
internasional, karena dengan pelaksanaan yang seragam akan dapat direalisir
kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum obyektif
atau kaedah hukum untuk beberapa negara. Di luar hukum perjanjian
internasional, kegunaan metode ini terbatas
5. Teori
penafsiran Futuristis: Intepretasi
ini merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif. Metode ini
dilakukan dengan menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan berpedoman
pada kaedah-kaedah perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan hukum,
Contohnya pada saat undang- undang tentang pemberantasan tindak subversi yang
pada saat itu sedang di bahas di DPR akan mencabut berlakunya undang-undang
tersebut, maka jaksa berdasarkan interpretasi futuristik, menghentikan
penuntutan terhadap orang yang di sidik berdasarkan undang-undang pemberantasan
tindak pidana subversi.
6. Teori
penafsiran Restrictif & Ekstensif
Penafsiran restriktif : Cara
penafsiran yang mempersempit arti suatu istilah atau pengertian dalam (pasal)
undang-undang;
Penafsiran ekstensif : Menafsirkan
dengan memperluas arti suatu istilah atau pengertian dalam (pasal)
undang-undang
7. Teori
penafsiran Teleologis : yaitu
menafsirkan undang-undang dengan menyelidiki maksud pembuatan dan tujuan
dibuatkannya undang-undang tersebut. Dengan interpretasi teleologis ini,
undang-undang yang masih berlaku (tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai
lagi) diterapkan terhadap suatu peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan
pada masa kini. Di sini, peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan
dan situasi sosial yang baru.
8. Teori
penafsiran Sistematis atau Dogmatis : Setiap peristiwa hukum senantiasa terjadi interdependensi (saling
ketergantungan atau saling berhubungan) dengan peristiwa yang lain. Suatu
peraturan hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling terkait dengan peraturan
hukum yang lain. Beberapa peraturan hukum yang mengandung beberapa persamaan
baik mengenai unsur-unsurnya maupun tujuan untuk mencapai suatu obyeknya,
merupakan suatu himpunan peraturan-peraturan tertentu, akan tetapi antara
peraturan-peraturan itu saling berhubungan intern. Menafsirkan undang-undang
yang menjadi bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan cara
menghubungkan dengan undang-undang lain itulah yang dinamakan interpretasi
sistematis. Dengan metode penafsiran sistematis ini hendak dikatakan bahwa
dalam menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang dari sistem
perundang-undangan.
Persoalan
penting dalam proses penafsiran adalah persoalan metode, metode yang baik
adalah yang menempatkan seorang peneliti atau penafsir ambil bagian dalam
peristiwa atau pengalaman orang lain sebagai objek penafsirannya, dengan
kata lain seorang penafsir menempatkan diri dalam situasi orang lain. Ada dua
tahapan dari metode ini, yaitu: Tahap pertama, metode perbandingan
dan analisi psikologis, yaitu melihat persamaan dan perbedaan antara pengalaman
sendiri dengan orang lain. Jika orang lain itu teks maka teks tersebut harus
ditafsir berdasarkan bentuk gramatikal, analisis bahasa, konteks sosiologis historis
dari bahasa. Tahap kedua, penafsiran yang mencoba menerka dan mendalami
perasaan dan pikiran orang lain yang terungkap dalam teks, penafsiran ini
merupakan rekonstruksi atas perasaan dan pikiran orsinal suatu teks.
Perbedaan
interpretasi sangat mungkin terjadi karena perbedaan metodologi pemahaman,
yaitu dimana disatu sisi seharusnya seorang peneliti / penafsir harus melihat
teks sebagai suatu realitas objektif apa adanya, penafsir harus memiliki
sikap open-minded dan bebas
prasangka. Disisi yang lain peneliti / penafsir telah memiliki prasangka atau
prapemahaman yang dibentuk berdasarkan pemahaman sosial dan pengalaman historis
sebelumnya
Dengan
perbedaan perspektif ini maka akan terjadi perbedaan penafsiran terhadap suatu
teks.Dalam rangka menemukan interpretasi yang dapat diterima sebagai suatu
kebenaran, maka harus dilakukan studi kritis tentang situasi sosial dari suatu
teks. Studi dimaksud untuk lebih memahami secara tepat makna orsinal dari teks
tersebut. Tujuan dan pendekatan ini dimaksudkan untuk mencapai pemahaman
yang jelas dan jernih tentang makna orisnal suatu teks, karenanya “orsinalitas”
lah menjadi penentu untuk menetapkan suatu interpretasi diterima sebagai suatu
kebenaran.
Berdasarkan pengertian semiotika dan obyek studi semiotika
dan elemen penting dari semiotika, maka dapat ditarik pengertian
semiotika, yaitu ada dua pengertian: Pertama ilmu yang mempelajari/mengkaji
tentang tanda-tanda/simbol-simbol beserta pemaknaan yang terdapat didalam
simbol-simbol itu sendiri. Kedua sebuah teori dan analisis berbagai tanda (sign)/simbol
(simbolic) dan pemaknaan (signification) didalamnya serta tata cara
penggunaannya dalam kehidupan manusia.
Berkaitan dengan pengertian
semiotika diatas, maka pengertian kedua lebih representatif untuk menjelaskan
semiotika hukum, karena salah satu pengertian hukum, yaitu hukum sebagai
simbol yang didalamnya ada nilai-nilai sesuatu yang dapat melambangkan
dan mewakili ide, pikiran, perasaan, dan tindakan secara arbriter,
konvensional, representatif, interpretatif baik makna yang batiniah (inear)
maupun yang lahiriah (outer) yang dilambangkan atau diwakili simbol.
Untuk menjelaskan secara rasional,
maka perlu dipahami lebih dahulu apa yang dimaksud dengan simbol itu sendiri
? Simbol atau lambang adalah sesuatu
yang dapat melambangkan mewakili ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan
secara arbitrer, conventional, dan representatif-interpretatif. Dalam hal ini,
tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara yang melambangkan (menyimbolkan)
dengan yang dilambangkan (disimbolkan). Dengan demikian, baik yang batiniah
(inner) seperti perasaan, pikiran, ide maupun yang lahiriah (outer) seperti
benda dan tindakan dapat dilambangkan atau diwakili simbol[37].
Contohnya
adalah lambang-lambang dari pemerintah daerah di Indonesia, pada tataran
semiotic sebenarnya memaparkan karakteristik masing-masing daerah yang
gambarnya (ikon)-nya diambil dari benda-benda fisik yang bisa melambang atau
mewakili ide, perasaan dan karakteristik daerah itu sendiri, pertanyaan mengapa
selalu mengambil ikon dari daerah yang bersangkutan?.
Alasan pertama
adalah karena simbol itu dibentuk secara arbitrer. Pemakai simbol tidak perlu
banyak berpikir untuk menentukan tanda apa yang akan dia gunakan untuk
menyimbolkan sesuatu benda, tindakan, perasaan, pikiran atau ide. Simbol apapun
dapat digunakan untuk melambangkan yang dilambangkan. Hanya saja, alasan kedua
perlu diperhatikan untuk mengesahkan simbol yang arbitrer. Untuk itu perlu ada konvensi yaitu suatu kesepakatan, perjanjian atau
pemufakatan masyarakat pemakai simbol. Apabila dalam proses penciptaan secara
arbitrer dapat dikatakan simbol bersifat individual, maka dalam proses
pemufakatan masyarakat pemakai simbol, maka dalam proses pemufakatan ia
bersifat sosial.
Berdasarkan
kedua alasan di atas, maka alasan berikutnya simbol itu harus dirasionalisasi,
yaitu simbol itu mampu merepresentasikan yang diwakilinya secara tepat.
Kemampuan representatif simbol itu dapat diuji dengan alasan berikutnya yaitu
interpretasi dari individu atau kelompok masyarakat pemakai simbol itu. Dengan
kata lain, sebuah simbol adalah simbol apabila mampu merepresentasikan yang
dilambangkannya berdasarkan interpretasi penafsiran simbol itu.
Hubungan
interpretasi dengan representasi tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan
yang lain sebagaimana yang dikatakan oleh Zoest [38], bahwa
hubungan yang tidak dapat dilepaskan dari sifat representatif tanda (dalam hal
ini juga simbol) adalah sifat interpretatif. Untuk memperoleh gambaran
bagaimana sebuah simbol itu diinterpretasikan tentulah ditelusuri bagaimana
simbol itu dirancang dan pada ranah ini dibutuhkan sebuah pendekatan akademis
yaitu menggunakan pendekatan historisitas.
Tampaknya,
representasi lebih fundamental daripada interpretasi. representasi mendahului
interpretasi. Interpretasi tidak akan ada tanpa representasi, tetapi apakah
mungkin ada representasi tanpa interpretasi? Mungkin hal itu bisa terjadi
meskipun konsepnya kurang hidup. Akan tetapi, tidak dapat disangkal bahwa
interpretasi menuruti representasi simbol.
Ketika ide,
pemikiran, konsep, perasaan dan tindakan itu diverbalkan, maka sebuah simbol
yang telah termaknakan tersebut diformulasikan kedalam bahasa teks hukum dan
jika teks hukum itu dikonstruksi dalam sebuah bentuk hukum, misalnya yang
dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang atau pejabat yang berwenang, maka
selanjutnya dinamakan peraturan perundang-undangan.
Pada tataran
inilah peraturan perundang-undangan pada studi semiotika hukum bukan hanya
dibaca secara teks an sic, tetapi harus dieksplanasi ide, pemikiran,
konsep, perasaan dan tindakan apa yang menyelinap kedalam rumusan teks
peraturan perundang-undangan atau ide, pemikiran, konsep, perasaan dan tindakan
yang tersurat dan tersirat dibalik teks hukum dalam formulasi materi muatan
peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian
teks hukum telah dikonsepkan kedalam beberapa ragam makna yang kemudian pada
tataran realitas, teks hukum akan dipersepsi dari berbagai perspektif, dan
kemudian daripada itu akan menghasilkan pemahaman, pemaknaan, dan konsep yang
tak bisa tunggal. “Hukum bukanlah lagi sebatas gejala atau realitas; melainkan
sebuah konsep yang dapat dieksplanasi dari berbagai cara pandang pemikir dan
penstudi hukum sesuai dengan paradigma yang diacu oleh pemikir dan penstudi
hukum bersangkutan.
Mengapa
demikian ?, karena sejak hukum membuat tradisi untuk dituliskkan (written
law), maka pembacaan terhadap teks hukum menjadi masalah yang penting
sekali. Sejak pembacaan teks menjadi penting, maka penafsiran terhadap
teks hukum tak dapat dihindarkan. Bahkan menurut Satjipto Rahardjo
mengatakan, bahwa penafsiran hukum itu merupakan jantungnya hukum. Hampir tidak
mungkin hukum bisa dijalankan tanpa membuka pintu penafsiran.
Penafsiran
hukum merupakan aktivitas yang mutlak terbuka untuk dilakukan, sejak hukum
berbentuk tertulis. Diajukan sebaih adagium “membaca hukum adalah menafsirkan
hukum “ Jadi jika ada yang menyatakan bahwa teks hukum sudah jelas ketika
diverbalkan kedalam bentuk hukum tertulis, misalnya dalam formulasi peraturan
perundang-undangan menurut Satjipto Rahardjo adalah satu cara saja bagi pembuat
hukum untuk bertindak pragmatis seraya diam-diam mengaku bahwa ia mengalami
kesulitan untuk memberikan penjelasan.[39]
Pada tataran
penafsiran inilah studi semiotika hukum memerlukan pendekatan disiplin lain,
yaitu hermeuetika hukum, mengapa demikian ? karena salah satu fungsi dan tujuan
mempelajari hermenuetika menurut James Robinson[40] adalah untuk “bringing the unclear
into clarity” (memperjelas sesuatu yang tidak jelas supaya lebih jelas),
sedangkan Leyh, tujuan dari pada “hermenuetika hukum “ adalah untuk menempatkan
perdebatan kontemporer tentang interprestasi hukum didalam kerangka
hermenuetika pada umumnya. Upaya mengkontektualisasikan teori hukum dengan cara
ini serta mengasumsikan bahwa hermenuetika memiliki korelasi pemikiran dengan
ilmu hukum atau yurisprudensi.[41]
Salah satu
kajian hermenuetika hukum untuk membaca ide, pemikiran, konsep dibalik hukum
sebagai simbol yang telah diverbalkan ke dalam teks hukum, maka konsep
hermenuetika filosofis dari Gadamer sangatlah relevan, mengapa demikian,
karena hermenuetika filosofis Gadamer adalah sebuah usaha untuk
mengidentifikasi kondisi pemahaman manusia terhadap teks hukum. Hal ini
dikarenakan hermenuetika filosofis mempunyai tugas ontologis, yaitu menggambarkan
hubungan yang tidak dapat dihindari antara teks dan pembaca masa lalu dan
sekarang, yang memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (genuin).
Sedangkan pada
tataran konsepsional tugas hermenuetika secara epistemologi hakekatnya dimaknakan
sebagai teori atau filsafat tentang interprestasi makna (Bleicher, 1980)
atau sebagai suatu teori tentang aturan-aturan yang digunakan dalam eksegese
(ilmu tafsir) ataupun suatu interprestasi atas teks atau kumpulan tanda-tanda
tertentu yang dipandang sebagai teks (Ricoeur) dan secara etimologis, istilah
hermenuetika mengandung tiga lapisan makna, yakni pertama, adanya suatu tanda
atau teks itu sendiri dari sebuah sumber tertentu.
Tanda, pesan
atau teks itu sendiri merupakan satu kesatuan yang terangkat dalam suatu pola
tertentu, dan diandaikan menyimpan makna dan intensi yang tersembunyi. Kedua,
adanya seorang perantara atau seorang penafsir untuk memberikan pemahaman
terhadap tanda, pesan atau teks yang memiliki makna dan intensi tersumbunyi
tersebut. Ketiga penafsir itu menyampaikan pemahamannya atau interprestasinya
mengenai makna dari tanda, pesan atau teks kepada kelompok pendengar tertentu.[42]
Ketiga lapisan
makna tersebut dapat digunakan sebagai basis studi semiotika hukum,
mengapa demikian, karena harus diakui bahwa perkembangan studi hukum dewasa ini
telah maju seiring dengan perubahan atau pergeseran perspektif atau cara
pandang pemikir dan penstudi hukum yang memandang hukum tidak semata-mata
dilihat dan diberlakukan sebagai sebuah bangunan norma, melainkan lebih jauh
dari sebagai sebuah sistem hukum yang didalamnya terdapat sub sistem lainnya,
seperti politik, budaya, ekonomi dan lain sebagaimnya.
Perubahan
terhadap cara pandang itupun menuntut perubahan pada metode atau cara-cara yang
ditempuh untuk memahami dan menjelaskan secara lebih memadai tentang yang kita
sebut dengan hukum itu, artinya kehadiran metode semiotika hukum dengan
berbasiskan hermeutika hukum dalam studi hukum juga sebetulnya juga sebagai
salah satu alternatif untuk memahami dan menjelaskan ide, pemikiran, konsep,
tindakan bahkan nilai-nilai yang menerobos masuk kedalam aspek-aspek yang
berada dibalik tanda/simbol, pesan atau teks-teks hukum yang tampak kasat mata
baik secara tersirat maupun tersurat.
Dengan demikian
jika semiotika hukum itu pada satu sisi digunakan untuk memahami konsep atau
model dari sistem hukum berdasarkan paradigma apa yang menyelinap dibalik
bangunan hukum yang sedang diberlakukan dalam suatu masyarakat hukum, misalnya
negara, maka pada sisi lainnya hermenuetika hukum membaca teks hukum dalam hal
ini kata teks dalam pengertian hermenuetika hukum adalah berupa “teks
hukum atau peraturan perundang-undangan”, dan ia kapasitasnya menjadi “objek”
yang ditafsirkan secara semiotika hukum berbasis hermenuetika hukum, dengan
kata lain Kata teks yang dimaksudkan disini, bisa berupa teks hukum, peristiwa
hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, simbol-simbol kenegaraan atau berupa
pendapat dan hasil ijtihad para pemikir dan penstudi hukum (doktrin).
Pertanyaannya
adalah apa relevansi semiotika hukum dari kajian hermenuetika hukum ? penulis
sependapat dengan pandangan E. Sumaryono, bahwa relevansi kajian
hermenuetika hukum itu mempunyai dua makna sekaligus: Pertama, hermenuetika
hukum dapat dipahami sebagai “metode interprestasi atas teks-teks hukum” atau
metode memahami terhadap suatu naskah normatif” Di mana, interprestasi yang
benar terhadap teks hukum harus selalu berhubungan dengan isi (kaidah
hukumnya), baik yang tersurat maupun tersirat, atau antara bunyi hukum dengan
semangat hukum.
Pada tataran
ini menurut Gadamer, ada tiga persyaratan yang harus dipenenuhi oleh
seorang penafsir/interpreter, yaitu memenuhi subtilitas intelegendi
(ketepatan pemahman), subtilitas explicandi (ketepatan penjabaran), dan subtilitas
applicandi (ketepatan penerapan).[43] Kedua, hermenuetika hukum juga
mempunyai pengaruuh besar atau relevansi dengan “teori penemuan
hukum”. Hal ini ditampilkan dalam kerangka pemahaman “;ingkaran spiral
hermenuetika (cyrcel hermenuetics), yaitu proses timbal balik antara
kaidah-kaidah dan fakta-fakta. Karena dalil hermemenuetika menjelaskan bahwa
orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah termasuk
dalam paradigma dari teori penemuan hukum modern dewasa ini.[44]
Berdasarkan
paparan di atas, maka secara akademis, bahwa yang dimaksud dengan semiotika
hukum adalah metode yang mengkaji simbol-simbol yang didalamnya berisi ide,
pemikiran, konsep, perasaan, dan tindakan serta nilai-nilai yang dibaca secara
hermenutika hukum baik sebagai metode maupun sebagai teori penemuan hukum
terhadap teks hukum dan kata teks hukum dalam pengertian hermenuetika hukum
adalah berupa “teks hukum atau peraturan perundang-undangan”, dan teks
hukum ini dalam kapasitasnya menjadi “objek” yang ditafsirkan secara semiotika
hukum berbasis hermenuetika hukum, dengan kata lain Kata teks yang dimaksudkan
disini, bisa berupa teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi
negara, simbol-simbol kenegaraan atau berupa pendapat dan hasil ijtihad para
pemikir dan penstudi hukum (doktrin).
Kesimpulan
Berdasarkan
pengertian semiotika dan obyek studi semiotika
serta elemen penting dari
semiotika di atas, maka dapat ditarik pengertian semiotika, bahwa ada dua
pengertian: Pertama ilmu yang
mempelajari/mengkaji tentang tanda-tanda/simbol-simbol beserta pemaknaan yang
terdapat didalam simbol-simbol itu sendiri. Kedua sebuah teori dan analisis berbagai tanda (sign)/simbol (simbolic)
dan pemaknaan (signification)
didalamnya serta tata cara penggunaannya dalam kehidupan manusia.
Semiotika adalah ilmu yang
mempelajari tentang tanda (sign), fungsi tanda, dan produksi makna.
Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Semiotik
mengkaji tanda, penggunaan tanda dan segala sesuatu yang bertalian dengan
tanda. Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotik (tanda, pemaknaan, denotatum
dan interpretan) dapat diterapkan pada semua bidang kehidupan
asalkan ada prasyaratnya dipenuhi, yaitu ada arti yang diberikan, ada pemaknaan
dan ada interpretasi.
Manusia mempunyai kecendrungan untuk
mencari makna dan arti serta berusaha memahami segala sesuatu yang ada
disekelilingnya. Seluruh hal yang ada disekelilingnya disebut sebagai tanda,
tanda tersebutlah yang kemudian akan diungkapkan melalui metode
penelitian menggunakan teori semiotika.
Ada dua konsep semiotika, yaitu: Konsep
Mitos Roland Barthes. Mitos Rolan Barthes muncul dikarenakan adanya
persepsi dari Roland sendiri bahawa dibalik tanda-tanda tersebut terdapat makna
yang misterius yang akhirnya dapat melahirkan sebuah mitos. Jadi intinya bahwa
mitos-mitos yang dimaksud oleh Roland Barthes tersebut muncul dari balik
tanda-tanda dalam komunikasi sehari kita, baik tertulis maupun melalui media
cetak.
Untuk mendapat pemahaman secara detail berikut sedikit
diuraiakan konsep semiotik dari Roland Barthes, yakni bahwa tanda denotatif
terdiri atas penanda dan petanda . Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda
denotatif adalah juga penanda konotatif. Jadi, dalam konsep
Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga
mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada
dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara
umum serta denotasi dan konotasi yang dipahami oleh Barthes.
Di dalam semiologi Barthes dan para pengikutnya, denotasi
merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan
tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan
ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan keharfiahan denotasi yang
bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya.
Baginya yang ada hanyalah konotasi. Ia lebih lanjut
mengatakan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah. Dalam
kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya
sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran
bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam
mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun
sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang
telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem
pemaknaan tataran ke-dua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki
beberapa penanda.
Kemudian teori semiotika, yakni Teori Semiotika Charles Sanders Pierce.
Charles Sanders Pierce lahir pada 10 September 1839 di
Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat. Dia adalah seorang ilmuwan, filsuf
yang berperan besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan baik ilmu eksakta
maupun ilmu sosial. Teori-teori dan konsep-konsep yang ia gagas banyak
dijadikan rujukan bagi para akademisi untuk menganalisis berbagai
fenomena yang ada di masyarakat.
Dalam ilmu sosial sendiri, Peirce adalah salah satu tokoh
yang turut mengembangkan ilmu semiotika. Konsepnya mengenai tanda
seringkali dijadikan rujukan dalam menginterpretasikan semua tanda yang ada
didunia ini.
Menurut Peirce, Semiotika bersinonim dengan logika, manusia
hanya berpikir dalam tanda. Tanda dapat dimaknai sebagai tanda hanya apabila ia
berfungsi sebagai tanda. Fungsi esensial tanda menjadikan relasi yang tidak
efisien menjadi efisien baik dalam komunikasi orang dengan orang lain dalam
pemikiran dan pemahaman manusia tentang dunia. Tanda menurut Pierce kemudian
adalah sesuatu yang dapat ditangkap, representatif, dan interpretatif.
Theori dari Peirce menjadi grand theory dalam
semiotik. Gagasannya bersifat menyeluruh, deskripsi structural dari semua
sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan
menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Semiotik ingin
membongkar bahasa secara keseluruhan seperti ahli fisika membongkar suatu zat
dan kemudian menyediakan model teoritis untuk menunjukkan bagaimana semuanya
bertemu dalam sebuah struktur.
Pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar yang tidak
bisa ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme. Seorang
penafsir adalah yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji
objek yang dipahaminya. Dalam mengkaji objek yang dipahaminya, seorang penafsir
yang jeli dan cermat, segala sesuatunya akan dilihat dari jalur logika.
Ada beberapa konsep menarik yang dikemukakan oleh Pierce
terkait dengan tanda dan interpretasi terhadap tanda yang selalu dihubungkannya
dengan logika. Yakni segitiga tanda antara ground, denotatum, dan interpretant.
Ground adalah dasar atau latar dari tanda, umumnya berbentuk sebuah kata.
Denotatum adalah unsur kenyataan tanda. Interpretant adalah
interpretasi terhadap kenyataan yang ada dalam tanda. Dimana dari ketiga konsep
tersebut dilogikakan lagi kedalam beberapa bagian yang masing-masing
pemaknaannya syarat akan logika.
Dalam Ground terdapat konsep mengenai Qualisigns, Sinsigns, dan
Legisigns. Qualisigns adalah penanda yang bertalian
dengan kualitas, Sinsigns adalah penanda yang bertalian dengan
kenyataan dan legisigns adalah penanda yang bertalian dengan
kaidah. Qualisigns adalah tanda yang dapat ditandai
berdasarkan sifat yanga ada dalam tanda tersebut.
Contoh dalan kata ‘merah’ terdapat suatu qualisigns karena
merupakan tanda pada suatu bidang yang mungkin. Kata merah apabila dikaitkan
dengan bunga mawar merah bermakan perasaan cinta terhadap seseorang. Sinsign
adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Semua
pernyataan individual makhluk hidup (manusia, hewan, dll) yang tidak
dilembagakan merupakan suatu sinsign. Contoh: suara jeritan, suara tawa. Legisign
adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku
umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Contoh : tanda-tanda lalu lintas.
Tanda-tanda yang bersifat tradisional (sudah menjadi sebuah tradisi).
Dalam Denotatum terdapat konsep berupa icon, index, symbol. Icon
adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan
bentuk objeknya (terlihat pada gambar atau lukisan), Index
adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan
petandanya. Simbol adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi
sebagai penanda yang oleh kaidah secara konvensi telah lazim digunakan dalam
masyarakat.
Dalam interpretant terdapat konsep berupa Rheme, decisign,
dan argument. Rheme adalah penanda yang
bertalian dengan mungkin terpahaminya objek petanda bagi penafsir. Decisign
adalah penanda yang menampilkan informasi tentang petandanya. Argument
adalah penanda yang petandanya akhir bukan suatu benda tetapi kaidah.
Perkembangan semiotika, sebagaimana umum dipahami adalah studi tentang
tanda. Ada dua pionir studi kesemiotikaan, Ferdinan De Saussure, seorang
linguis asal Eropa dan Charles Sander Pierce yang notabene seorang filosof di
Amerika. Teori mereka berdua the signified-signifier and the Icon-index-symbol
theories oleh Saussure dan Pierce saling berdialektika satu sama lain walaupun
mereka tidak pernah bertemu secara langsung. Orang-orang setelahnya lah yang
mengkonstraskan pemikiran mereka berdua yang berujung pada dikotomi dan
trikotomi tanda.
Saussure menekankan hubungan
dualitas antara “penanda” dan “petanda”. Dengan kata lain penanda adalah “bunyi
atau coretan yang bermakna” (aspek material bahasa) sedangkan petanda adalah
konsep ide dari penanda atau apa yang ada dipikiran kita tentang penanda.
Dikotomi ini dilatarbelakangi oleh
background Saussure sebagai seorang strukturalis yang “hobi” akan
pengoposisibineran terhadap sesuatu hal, contohnya kalau ada siang pasti ada
malam, lemah lawanya kuat dan lain lain sebagainya.
Konsepsi tanda ala Pierce terbagi
atas tiga yaitu tanda ikonik, simbolik, dan indeksikal. Adanya kesenjangan
antara konsep dan realitas membuat Pierce mencoba menjembatani kemelut dunia
perlambangan dengan konsep trikotomisnya yang boleh dikatakan selaras dengan
ajaran trinitas yang dia percayai sebagai seorang kristiani.
Menurut Pierce tanda itu
menghasilkan hubungan ikonik atau hubungan kesamaan seperti ujung pensil dengan
geometri. Hubungan indeksikal dapat kita lihat yaitu awan gelap di langit yang
dengan otomatis menunjukkan pikiran kita untuk berkesimpulan bahwa sebentar
lagi hujan akan turun. Sedangkan simbol adalah hubungan tanda dengan tanda
lainnya sebagai hubungan kesepatakan atau konvensi seperti terlihat dalam
traffic light yaitu lampu merah adalah tanda berhenti, kuning tanda untuk
berhati-hati/pelan dan hijau tanda sebagai instruksi untuk jalan.
Bagaimanapun juga semiotika adalah
bidang ilmu yang kompleks dan sangat tidak matematis seperti dalam konsep
tersebut diatas oleh Saussure dan Pierce bahwa tidak selamanya “merah” adalah
tanda berhenti dan sebagainya.
Pengaplikasian semiotika secara
parsial memang mudah kita pahami dalam contoh yang sederhana seperti tanda lalu
lintas tersebut diatas namun apabila kita aplikasikan dalam kehidupan
bermasyarakat yang menuntut kita untuk memahami tanda secara kompleks, tidak
secara terpisah atau parsial seperti ikon, indeks, simbol maupun tanda maupun
petanda versi Saussure.
Sifat tanda yang selalu berubah
adalah faktor yang berkontribusi dalam kompleksitas ini. Sebagai contoh
mitos-mitos lokal yang “awetkan” oleh orang-orang tua terdahulu melalui tradisi
lisan, tidaklah akan memadai analisnya dengan analisis parsial tersebut diatas.
Namun sebagai alternatif perlu kita pertimbangakan dalam memahami kompleksitas
tanda dalam suatu masyarakat yaitu dengan melihatnya dalam perspektif
fungsionalitas elemen tanda.
Fungsionalitas elemen tanda bisa
kita pahami dengan melihat apa fungsi tanda tersebut dalam kehidupan
bermasyarakat. Berikut adalah contohnya: Fungsi Pemersatu atau fungsi
integritas. Tanda-tanda kebudayaan yang khas dalam setiap wilayah atau
kebudayaan adalah tanda-tanda yang berfungsi untuk mengikat orang-orang yang
berkecimpung dalam sebuah kebudayaan. Contohnya ketegasan dalam berbicara
orang-orang bugis Makassar adalah tanda linguistik yang mengikat seseorang
dimanapun dia pergi sekalipun berada jauh dari arenanya. Mitos-mitos “tobarani”
atau mitos-mitos penggambaran sebagai orang berani dan tegas dalam literatur
bugis Makassar akan secara otomatis mengintegrasikan antara kata dan perbuatan
orang-orang yang merasa dirinya bugis Makassar.
Contoh lain adalah kerusuhan yang
terjadi antar dua kelompok mahasiswa dikarenakan pembakaran lambang kampus dari
salah satu pihak yang berusuh. Dari analisis Pierce “lambang universitas” hanya
akan diketahui dengan pendekatan simboliknya bahwa suatu lambang adalah simbol
dari universitas tertentu contohnya universitas Hasanuddin yang lambangnya ayam
jantan.
Tetapi dengan melihat fungsi
perlambangan dapat kita ketahui bahwa analisis ala Pierce tersebut sangat
dangkal karena ada aspek penting lain yang perlu untuk kita ketahui dari
sekedar tahu bahwa sebuah lambang tertentu adalah lambang dari sesuatu. Sangat
jelas bahwa alasan kedua kelompok mahasiswa rusuh satu sama lain adalah karena
adanya fungsi integritas dari lambang yang menyatukan mahasiswa dan lambang
universitasnya bahwa siapapun yang menghina (membakar) lambang persatuan mereka
maka akan mendapatkan perlawanan. Jadi ada aspek psikologis yang diciptakan
oleh sebuah lambang untuk mengikat sebuah komunitas untuk bersatu.
Tentunya dalam konteks kehidupan
bermasyarakat lebih baik memahami fenomena semiotis dengan pendekatan
fungsionalisme lambang karena pendekatan teoritik ala Saussure dan Pierce akan
kurang memadai untuk mengcover fenomana kebudayaan yang kompleks. Selain
fungsionalitas elemen tanda ada juga relativisme lambang yang bisa dijadikan
sebagai alat untuk menjelaskan fenomena semiotik dalam tingkat kebudayaan oleh
karena itu kajian semiotika budaya sangat menarik dalam kajian semitik dewasa
in
Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari segala hal tentang tanda atau
yang berhubungan dengan tanda. Dalam perkembangan ilmu semiotik, terdapat 6
teori semiotika yang ditemukan oleh para ilmuwan semiotik, yaitu Peirce dengan
teori segitiga makna, teori Saussure, teori Barthes yang dikenal sebagai “order
of signification”, teori simulasi yang diperkenalkan oleh Baudrillard, Derrida
dengan model semiotika dekonstruksinya, dan teori yang dikemukakan oleh Umberto
Eco berupa pengkodean. Dilihat dari fokus perhatian tiap-tiap teori terhadap
semiotika, tampak bahwa teori-teori tersebut terus berkembang, teori yang lebih
baru melengkapi dan menyempurnakan teori sebelumnya, sampai pada teori terakhir
yang dikemukakan oleh Eco, dinyatakan sebagai teori semiotik yang paling
komprehensif dan terkini. Tidak menutup kemungkinan akan muncul lagi teori
semiotika yang baru, seperti perkembangan teori semiotika yang telah terjadi dan
sudah dibahas di dalam paparan ini.
Dengan demikian semiotika hukum adalah metode yang mengkaji simbol-simbol yang didalamnya
berisi ide, pemikiran, konsep, perasaan, dan tindakan serta nilai-nilai yang
dibaca secara hermenutika hukum baik sebagai metode maupun sebagai teori
penemuan hukum terhadap teks hukum dan kata teks hukum dalam pengertian
hermenuetika hukum adalah berupa “teks hukum atau peraturan
perundang-undangan”, dan teks hukum ini dalam kapasitasnya menjadi “objek” yang
ditafsirkan secara semiotika hukum berbasis hermenuetika hukum, dengan kata
lain Kata teks yang dimaksudkan disini, bisa berupa teks hukum, peristiwa
hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, simbol-simbol kenegaraan atau berupa
pendapat dan hasil ijtihad para pemikir dan penstudi hukum (doktrin).
DAFTAR PUSTAKA
Arief Sidharta, Penalaran Hukum, Bandung : Laboraturium Hukum FH Univ, Parahiayangan, 2001.
Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum dari
Dekontruksi Teks menuju Progresivitas Makna, Refika Pratama, Bandung, 2005
Chandler, D. (1994). Semiotics for
Beginners. Aberystwyth: UWA.
E, Sumaryono, Hermenuetik Sebuah Metode Filsafat,
Kanisius, Yogyakarta, 1999.
Effendy, O. U. (1985). Ilmu
Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: Remadja Karya CV.
Ferdinand D . Saussure, Course in General
Linguistic, McGraw-Hill, New York University, 1996.
Fromm, Erich. 1951."The Nature of Symbolic
Language". Dalam Arthur M. Eastman (Ed.). The Norton Reader.
An Anthology of Expository Prose. New York: Norton and Company, 1978
John Fiske, Cuktural and Communication Studies,
Jalasutra, Yogyakarta, 2004.
Jazim Hamidi, “Mengenal Lebih Dekat Hermenuetika Hukum
(Persfektif Falsafati dan Merode Interprestasi) dalam Butir-Butir Pemikiran
Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2008
J.J Bruggink, “Recht- Reflecties, Grondbegrippen
uit de rechtheorie, Terjemahan oleh
Benard Arief Sidharta,
Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
James Robinso.M.Robinson, “Hermenuetika Since Barth”
dalam New Frontiers in Theology” , dimuat dalam Gregory Leyh, Legal
Hermeneutics
Kris Budiman, Semiotika Visual, Yayasan Seni Cemeti,
Yogyakarta, 2003
Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, seri
pemikiran tokoh, Ar Ruzz Media, Yogyakarta,2006
Muhammad Taufik Ishak, M. M. (2005).
Pembacaan Kode Semiotika Roland Barthes
terhadap Bangunan Arsitektur Katedral Evry di Perancis Karya Mario Botta.
terhadap Bangunan Arsitektur Katedral Evry di Perancis Karya Mario Botta.
RONA Jurnal Arsitektur FT-Unhas , 2,
Mohammad A Syuropati,Teori Sastra Kotemporer dan 13
Tokohnya, In azna Books, Yogyakarta, 2011
Mulyana, D. (2000). Ilmu Komunikasi:
Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rahayu Surtiati Hidayat, Semiotik dan Bidang Ilmu,
dalam semiotika Budaya, yang disunting Christomy & Untung Yuwono, Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya.
Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas
Indonesia, Jakarta, 2004
Sartini, N. W. (2012). Tinjauan
Teoritik tentang Semiotik. Jurnal Ilmiah Unair , 3.
Suwito, U. (1989). Komunikasi untuk Pembangunan.
Jakarta: Depdikbu
Tim Kajian Semiotika. (2008,
February 19). Teori-teori Semiotika, Sebuah Pengantar.
Dipetik 11 15, 2013, dari Komunikasiana: www.komunikasiana.com.htm
Dipetik 11 15, 2013, dari Komunikasiana: www.komunikasiana.com.htm
Visser’t Hoft,Penemuan Hukum, judul
asli Rechtsvinding, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Bandung :
Laboraturium Hukum FH Univ, Parahiayangan, 2001
Yasraf Amir Piliang, Hiper semiotika; Tafsir Cultural
Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003.
Zoest, Aart van, Semiotiek. Belgia:
Basisboeken/Ambo/Baarn,1978.
Zoest Art van, 1993. Semiotika, Jakarta: Yayasan sumber agung.
Zumri
Bestado Syamsuar, “Pandangan Paul Ricoeur Mengenai Ideologi dan Kritik Ideologi
Atas Teori Kritis Masyarakat, Tesis Magister Ilmu Filsafat, Jakarta: Program
Pascasarajana Ilmu Filsafat Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2004.
[1]
Siagian, 1994 dalam Sobur,
alek. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung :PT Remaja Rosdakarya, halaman 33
[2]
Effendy, O. U. (1985). Ilmu
Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: Remadja Karya CV,halaman 15
[3] Suwito, U. (1989). Komunikasi
untuk Pembangunan. Jakarta: Depdikbud, halaman. 29.
[5] Sobur, ibid, halaman 16.
[7]
Van Zoest,
Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan
Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993, halaman 1
[9]
Van Zoest,
Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan
Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993, halaman 1.
[10] Van Zoest.ibid halaman 1
[11] Van Zoest, 1993, ibid, halaman 1
[12]
Hoed,
Benny H., “Strukturalisme, Pragmatik dan Semiotik dalam Kajian Budaya,” dalam Indonesia:
Tanda yang Retak , Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002, halaman 1
[13]
De de Saussure, F. 1988. Course in General Linguistics.Yogyakarta: Gajah Mada University, halaman 26
[14] De de Saussure, F, 1988, ibid, halaman 10.
[15] Ibid.
[16]
Hoed, Benny H,“Strukturalisme,
Pragmatik dan Semiotik dalam Kajian Budaya,” dalam Indonesia: Tanda yang
Retak .Jakarta: Wedatama Widya Sastra,
2002, halaman 21.
[17] Hoed, 2002, ibid, halaman 25
[18]
Tim Kajian Semiotika. (2008,
February 19). Teori-teori Semiotika, Sebuah Pengantar. Diakses pada 15
November 2013, dari Komunikasiana: www.komunikasiana.com.htm
[19]
Muhammad Taufik Ishak, M. M. (2005).
Pembacaan Kode Semiotika Roland Barthes terhadap Bangunan Arsitektur Katedral
Evry di Perancis Karya Mario Botta. RONA Jurnal Arsitektur FT-Unhas ,
2, halaman 85-92.
[20] Tim Kajian Semiotika, loc.cit.
[21] Ibid.
[22] Chandler, D. (1994). Semiotics
for Beginners. Aberystwyth: UWA, hal. 205.
[23]
Mulyana, D. (2000). Ilmu
Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya, halaman. 285.
[25]Aminuddin, Semantik:
Pengantar Studi tentang Makna, Bandung: Sinar Baru, 1988, halaman 37.
[26] Aminuddin, 1988 ibid, halaman 38
[27]Abrams, M.H., A
Glosary of Literary Term ,New York: Holt, Rinehart and Wiston, 1981,
halaman 171.
[28] Fromm,
Erich. 1951."The Nature of Symbolic
Language". Dalam Arthur
M. Eastman
(Ed.). The Norton Reader. An Anthology of Expository Prose. New York: Norton and
Company, 1978, halaman.194-195
[29]
Charles Sanders Peirce, Logic and Semiotics The Theory Of Signs,1955,p.102, The Fhilosophy Of
Peirce; Selected Writing, Ed.J.Buchler, London Routledge and Kegan Paul,
1956.p 99-275 lihat juga Robert Sibarani, Hakekat Bahasa, Bandung : PT Aditya
Bakti, 1992, halaman 15.
[30] Kris Budiman, Semiotika Visual,
Yogyakarta : Yayasan Seni Cemeti, 2003,
halaman 3.
[31]
Ferdinand D . Saussure, Course in General Linguistic,
McGraw-Hill, New York University, 1996, halaman 16.
[32]Rahayu Surtiati Hidayat, Semiotik
dan Bidang Ilmu, dalam semiotika Budaya, yang disunting T. Christomy &
Untung Yuwono, Jakarta : Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat
Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia, 2004, halaman 77.
[33] Kris Budiman, op cit, halaman
4-5
[34]Visser’t Hoft, Penemuan Hukum,
judul asli Rechtsvinding,
diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Bandung : Laboraturium Hukum FH Univ,
Parahiayangan, 2001, halaman 25
[35] John Fiske, Cultural and
Communication Studies, Yogyakrata : Jalasutra, 2004, halaman 60-61.
[36] Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika; Tafsir Cultural
Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta : Jalasutra, 2003, halaman 257
[37]
Fromm, Erich.
1951."The Nature of Symbolic Language". Dalam Arthur M. Eastman
(Ed.). The Norton Reader. An Anthology of Expository Prose. New York:
Norton and Company, 1978 halaman 195
[38] Zoest, Aart van, 1978.
Semiotiek. Belgia: Basisboeken/Ambo/Baarn, Halaman . 22
[39]
Satjipto Rahardjo,
Penafsiran Hukum Yang Progresif, Pra wacana dalam Anthon Freddy Susanto,
Semiotika Hukum dari Dekontruksi Teks menuju Progresivitas Makna, Refika
Pratama, Bandung, 2005, halaman 1
[40]
James Robinso.M.Robinson,
“Hermenuetika Since Barth” dalam New Frontiers in Theology” , dimuat dalam
Gregory Leyh, Legal Hermeneutics, halaman 103 dalam Jazim Hamidi, “Mengenal
Lebih Dekat Hermenuetika Hukum (Persfektif Falsafatai dan Merode Interprestasi)
dalam Butir-Butir Pemikiran Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2008, halaman 82.
[41] Lihat dalam Gregory Leyh, ibid,
halaman xi.
[42]
Zumri Bestado Syamsuar,
“Pandangan Paul Ricoeur Mengenai Ideologi dan Kritik Ideologi Atas Teori Kritis
Masyarakat, Tesis Magister Ilmu Filsafat, Jakarta: Program Pascasarajana Ilmu
Filsafat Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2004, halaman 346.
[43] E, Sumaryono, Hermenuetik Sebuah
Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1999, halaman 29
[44]
J.J Bruggink, “Recht-
Reflecties, Grondbegrippen uit de rechtheorie, Terjemahan oleh Benard Arief
Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996,
halaman . 209.
0 komentar:
Posting Komentar