Memahami
Pancasila sebagai Cita Hukum Dalam Kaitannya Dengan Reformasi Hukum
Oleh: Turiman Facturahman Nur
1.Penempatan Pancasila sebagai
sumber Hukum Negara
Untuk memberikan kesepahaman
tentang Pancasila sebagai sumber hukum negara dalam kapasitas sebagai cita
hukum, maka kita menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, terpaparkan dengan jelas pada pasal 2 yang
menyatakan Pancasila merupakan sumber
segala sumber hukum Negara.
Kemudian penjelasan pasal 2
tersebut menyatakan, bahwa penempatan Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Berdasarkan
pernyataan di atas yang perlu dipahami adalah apakah yang dimaksud dengan materi muatan peraturan perundang-undangan
? Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan
Perundang-undangan sesuai dengan jenis,
fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.(Pasal 1 angka 13 UU
Nomor 12 Tahun 2011). Dari jawaban atas pertanyaan di
atas, maka perlu dipahami bersama apa yang dimaksud dengan peraturan
perundang-undangan?
Berdasarkan Pasal 4 UU No 12 Tahun 2011 Peraturan
Perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang
dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya. Peraturan
Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan. (Pasal 1 angka 2 UU
No 12 Tahun 2011)
Mengacu pada Pasal 4 di atas
dibedakan antara undang-undang dan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang adalah Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
persetujuan bersama Presiden (pasal 1 angka 3 UU Nomor 12 Tahun 2011. Walaupun
dibedakan keduanya namun secara bentuk dan materi muatan, maka undang-undang
termasuk jenis peraturan perundang-undangan.
Hal ini juga sejalan dengan
pengertian peraturan perundangan-undangan berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Nomor
5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, peraturan perundang-undangan
adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkab
oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama
pemerintah, baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah, serta semua semua
keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik ditingkat pusat maupun
daerah, yang juga mengikat secara umum.
Untuk memahami pernyataan, bahwa “sehingga setiap
materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila”. Berikut ini pula dipahami, bahwa nilai nilai Pancasila
secara normatif haruslah dihubungkan antara asas-asas materi muatan peraturan
perundang-undangan dengan sila-sila dari Pancasila.
2.Memahami Pancasila sebagai Cita Hukum Dalam
Perspektif Lambang Negara
Dengan kata lain klasul tersebut
bisa dipahami melalui hubungan antara Pancasila dengan asas-asas materi muatan
peraturan perundang-undangan atau pertanyaannya adalah apa hubungan antara
Pancasila dengan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan ?
Sebagaimana diketahui, bahwa sila-sila Pancasila divisualisasikan secara
semiotika hukum didalam lambang negara, yakni pada perisai Pancasila, maka
diperlukan satu pemahaman terhadap pembacaan Pancasila sebagai cita hukum atau
sebagai sumber segala sumber hukum negara berdasarkan lambang negara dengan
pendekatan semiotika hukum.
Berkaitan dengan ini teks hukum
negara pada pasal 48 ayat (2)
Undang-Undang Nomo 24 Tahun 2009, yang menyatakan “Pada perisai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut: a.
dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah
perisai berbentuk bintang yang bersudut lima; b. dasar Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai; c. dasar
Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai; d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas
perisai; dan e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
dilambangkan dengan kapas dan padi di
bagian kanan bawah perisai.
Terhadap
konsep “berthawaf” diatas penafsiran
Sultan Hamid II menyatakan : [1]
".. lima sila Pantja Sila jang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini
menurut beliau adalah sila pertama Ketoehanan Yang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa bertahan madju
kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pedjuang bangsa
jang bermartabat/ berprikemanusiaan jang disimbolkan dengan sila kedua
kemanusian jang adil dan beradab, setelah itu membangun persatuan Indonesia
sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam
RIS (baca NKRI) inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat, pada langkah berikutnja
baru membangun parlemen negara RIS jang demokratis dalam
permusyawaratan/perwakilan, karena dengan djalan itulah bisa bersama-sama
mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia, jakni dari rakjat,
untuk rakjat oleh rakjat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Jang Maha Esa.
Atas pendjelasan Perdana Menteri RIS itu, kemudian perisai ketjil ditengah saja
masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur Tjahaya bintang bersudut segilima.
Berdasarkan penjelasan Sultan
Hamid II diatas, bahwa Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
terpenting sebagai pertahanan bangsa, mengapa karena dengan sila kesatu, bangsa
Indonesia bisa bertahan maju kedepan, makna yang tersirat dan tersurat, adalah
landasan moral relegius, artinya: Pancasila pada hakekatnya adalah negara
kebangsaan yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Landasan pokok sebagai pangkal
tolak, paham tersebut adalah Tuhan adalah Sang Pencipta segala sesuatu Kodrat
alam semesta, keselarasan antara mikro
kosmos dan makro kosmos, keteraturan segala ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
kesatuan saling ketergantungan antara satu dengan lainnya, atau dengan lain
perkataan kesatuan integral. [2]
Mengapa Sultan Hamid II
menggunakan konsep thawaf dalam membaca Pancasila, Kemudian pada bagian lain Sultan Hamid II menyatakan:[3]
"...
patut diketahui arah simbolisasi ide Pantja-Sila itu saja mengikuti gerak arah
ketika orang "berthawaf"/ berlawanan arah djarum
djam/"gilirbalik" kata bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke
simbol sila kedua dan seterusnja, karena seharusnja seperti itulah sebagai
bangsa menelusuri/ menampak tilas kembali akar sedjarahnja dan mau kemana arah
bangsa Indonesia ini dibawa kedepan agar tidak kehilangan makna semangat dan
"djatidiri"-nja ketika mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang
berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanja, seperti berbagai pesan pidato
Paduka Jang Mulia disetiap kesempatan. Itulah kemudian saja membuat gambar
simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep berputar-gerak "thawaf"/gilir
balik kata bahasa Kalimantan sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun
kedepan perdjalanan bangsa Indonesia yang kita tjintai ini.
Selanjutnya pada bagian lain Sultan
Hamid II menjelaskan tentang konsep thawaf pada perisai Pancasila :[4]
" ... Falsafah "thawaf" mengandung pesan, bahwa idee
Pantja-Sila itu bisa didjabarkan bersama dalam membangun negara, karena
ber"thawaf" atau gilir balik menurut bahasa Kalimantannja, artinja
membuat kembali-membangun/vermogen
jang ada tudjuannja pada sasaran jang djelas, jakni masjarakat adil dan makmur
jang berdampingan dengan rukun dan damai, begitulah menurut Paduka Jang Mulia Presiden Soerkarno,
arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja, jakni
membangun negara jang bermoral tetapi tetap mendjunjung tinggi
nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada sanubari rakjat bangsa
di belahan wilajah negara RIS serta tetap memiliki karakter asli bangsanja
sesuai dengan "djatidiri" bangsa/adanja pembangunan "nation character building" demikian
pendjelasan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja”.
Kemudian menurut Sultan Hamid II dengan
bertahan maju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pejuang
bangsa yang bermartabat/ berprikemanusiaan yang adil dan beradab disimbolkan
dengan sila kedua kemanusian yang adil dan beradab, pada langkah berikutnya
jika sila kesatu dan kedua bisa diselaraskan, maka setelah itu membangun
persatuan Indonesia, yaitu sila ketiga, mengapa demikian, karena hanya dengan
bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS (baca antar daerah dalam
Republik Indonesia) inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat dan pada langkah berikutnya baru membangun
parlemen negara RIS (baca DPR, DPRD) jang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan,
karena dengan jalan itulah bisa bersama-sama mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, yakni dari rakyat, untuk rakyat oleh rakyat karena
berbakti kepada bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa. Atas penjelasan Perdana Menteri
RIS (baca Mohammad Hatta) itu, kemudian perisai kecil ditengah saya masukan
simbol sila kesatu berbentuk Nur cahaya bintang bersudut segilima.
Hal demikian apa artinya? bahwa setiap individu yang hidup dalam suatu
bangsa adalah sebagai mahluk Tuhan, maka bangsa dan negara sebagai totalitas yang integral adalah
Berketuhanan, demikian pula setiap warga negara juga Berketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata lain negara kebangsaan Indonesia adalah negara
yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa menurut
dasar kemanusian yang adil dan
beradab, yaitu Negara Kebangsaan yang membangun generasi penerus/kader-kader
pejuang bangsa yang bermartabat/ berprikemanusiaan atau generasi penerus/kader-kader pejuang
bangsa yang memelihara budi pekerti kemanusian yang luhur dan memegang teguh cita-cita rakyat yang luhur,
yang berarti bahwa negara menjunjung tinggi manusia sebagai mahluk Tuhan,
dengan segala hak dan kewajibannya.
Jika sudah ada kesadaran akan hak dan
kewajibannya menjadi sebuah kesadaran setiap warga negaranya, maka akan mampu
membangun persatuan Indonesia, karena hanya dengan bersatulah dan perpaduan
antar antar daerah dalam Republik Indonesia,
tentunya mendjadi kuat dan pada
langkah berikutnya baru membangun parlemen DPR, DPRD yang demokratis dalam
permusyawaratan/perwakilan, karena dengan jalan itulah bisa bersama-sama
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yakni dari rakyat,
untuk rakyat oleh rakyat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa.
artinya setiap umat beragama memiliki kebebasan untuk menggali dan meningkatkan
kehidupan spiritualnya dalam masing-masing agama, dan para pemimpin negara
wajib memelihara budi pekerti yang luhur serta menjadi teladan bagi setiap
warga negara berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Pada
tataran yang demikian itu, berarti Sila Pertama Pancasila sebagai dasar
filsafat negara: Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena itu pada simbolisasi
didalam perisai ditempatkan ditengah berupa Nur Cahaya berbentuk bintang yang bersudut lima, maknanya adalah
bahwa Sila pertama ini menerangi semua empat sila yang lain atau menurut
Mohammad Hatta, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar yang
memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan yang baik bagi
masyarakat dan penyelenggara negara. Dengan dasar sila Ketuhanan Yang Maha Esa
ini, maka politik negara mendapat dasar moral yang kuat, sila ini yang menjadi
dasar yang memimpin ke arah jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan
persaudaraan [5]
Hakekat Ketuhanan Yang Maha Esa secara ilmiah filosofis mengandung makna
terdapat kesesuaian hubungan antara Tuhan, Manusia dengan negara. Hubungan
tersebut baik bersifat langsung maupun tidak langsung. Manusia kedudukan
kodratnya adalah sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu harus
mampu membangun tiga hubungan yang sinergis, yaitu antara Manusia dengan
Tuhannya, antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan alam semesta
sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Berkaitan dengan konsep Pancasila dalam penjabaran
kedalam peraturan perundang-undangan, maka secara material nilai Ketuhanan Yang
Maha Esa merupakan sumber bahan dan sumber nilai bagi hukum positif Indonesia,
dalam pengertian ini Pembukaan UUD 1945
terdapat nilai-nilai hukum Tuhan (alinea III), hukum kodrat (alinea I), hukum
etis III) nilai-nilai hukum itu merupakan inspirasi dalam memformulasikan
materi muatan peraturan perundang-undangan.
Pembacaan
Pancasila berthawaf atau selaras dengan semiotika hukum pembacaan Pancasila
berdasarkan Lambang Negara rancangan Sultan Hamid II. Transformasinya pembacaan
Pancasila berhawaf dapat menselaraskan dengan subtansi Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya ketika
penerapan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan (Pasal 6
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), sebagaimana paparan berikut ini.
Filsafat Hukum (Pancasila) dengan
konsep pembacaan Pancasila "berthawaf" secara ontologi adalah berdasarkan hukum alam/yang berbasis
spiritualis menawarkan cara-cara untuk melengkapi pandangan ilmuwan hukum yang
ada sebelumnya yang membaca Pancasila dengan konsep hirarkis piramida, dengan
menunjukan cara baru bagaimana sejarah,
semiotika dan filsafat perkembangan pemikiran hukum dapat saling berhubungan
secara harmonis. Mendialogkan antara iman dan sains, hukum wahyu dan hukum
dunia menjadi penting, sekalipun barangkali pada satu titik tertentu masih
belum diperoleh titik temu. Dialog nilai merupakan sumbangan pemikiran yang
amat menjanjikan di masa mendatang itulah ilmuwan perlu merekonstruksi
konsep-konsep yang ditawarkan dalam tataran keilmuan, termasuk didalamnya ilmu
hukum dan sekaligus termasuklah didalamnya adalah ilmu hukum tata negara
Indonesia.
Pada tataran yang demikian itu,
maka model pembacaan Pancasila dengan konsep pembacaan melingkar dengan gerak
yang berlawanan dengan arah jarum jam
atau gerakan “berthawaf” berdasarkan semiotika pada perisai Pancasila
dalam lambang negara Republik Indonesia adalah selaras dengan analisis sejarah
hukum dan analisis semiotika hukum yang kemudian disebut sebagai konsep
semiotika hukum pembacaan Pancasila berdasarkan lambang negara Republik
Indonesia sebagai hasil rancangan yang dibuat oleh Sultan Hamid II atau selaras dengan pasal 48 UU No 24 Tahun
2009.
Adapun rumusannya adalah Sila
Kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa merupakan sila yang menjadi basis utama
yang menerangi/nur cahaya keempat sila lainnya. Paham ke Tuhanan itu diwujudkan
dalam paham kemanusian yang adil dan beradab. Dorongan keimanan dan ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu menentukan kualitas dan derajad kemanusiaan
seseorang diantara sesama manusia, sehingga peri kehidupan bermasyarakat dan
bernegara dapat tumbuh sehat dalam struktur kehidupan yang adil, dan dengan demikian
kualitas peradaban bangsa dapat berkembang secara terhormat diantara
bangsa–bangsa di dunia. Semangat Ketuhanan Yang
Maha Esa itu hendaklah pula meyakinkan segenap bangsa Indonesia untuk
bersatu padu dibawah tali Tuhan Yang Maha Esa. Perbedaan-perbedaan diantara
sesama warga negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Dalam wadah negara, rakyatnya
adalah warga negara. Karena itu, dalam rangka dalam kehidupan kenegaraan,
berbangsa dan bermasyarakat tidak perlu dipersoalkan mengenai etnisitas, anutan
agama,warna kulit, dan bahkan status sosial seseorang, karena setiap warga
negara adalah rakyat, dan rakyat itulah yang berdaulat dalam negara Indonesia,
dimana kedaulatannya itu diwujudkan melalui mekanisme permusyawaratan dan
dilembagakan melalui sistem perwakilan, karena kedaulatan yang berada di tangan
rakyat itu dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar dalam bingkai negara hukum
dan pada akhirnya ditujukan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Inilah konsep negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29 ayat (1) UUD Neg RI 1945) yang
berkedaulatan rakyat menurut paham konstitusionalisme (Pasal 1 ayat (2) UUD Neg
RI 1945) dalam wadah negara hukum (Pasal
1 ayat (3) UUD Neg RI 1945) berdasarkan Pancasila (Alinea Keempat Pembukaan UUD
Neg RI 1945) yang menjunjung tinggi nilai-nilai relegiositas yang berasal dari
sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa yang bersifat universal (asmaul husna) yang
diupayakan oleh manusia yang beraneka ragam suku bangsa tetapi berasal dari
diri yang satu atau satu diri, yaitu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.(Qur’an
Al Hujurat (49) ayat (13) dan Surah ke 4 Anisa ayat (1) atau dalam bahasa
semiotika lambang negara adalah Bhinneka Tunggal Ika. Bhina Ika, Tunggal Ika,
Beranekaragam itu dan satu itu beraneka ragam. Keragaman dalam persatuan dan
persatuan dalam keragaman.
Adapun konsepnya secara
epistemologinya adalah sebagai berikut, bahwa nilai Sila ke I dasar Ketuhanan
Yang Maha Esa yang dilambangkan dengan cahaya dibagian tengah perisai Pancasila
berbentuk bintang yang bersudut lima. Pada tataran kenegaraan atau hukum tata
Negara, yaitu ilmu perundang-undangan saat ini realitas semiotika hukumnya
adalah diwujudkan/dijabarkan sebagai “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”
(Penjelasan
Pasal 6 Ayat (1) huruf j
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011), yaitu, bahwa setiap
materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan
bangsa dan negara dan asas ini secara semiotika hukum tetap menjadi
basis sentral, oleh karena itu secara semiotika sila ke I diletakan ditengah
perisai merah putih dan ditempatkan pada perisai tersendiri berwarna hitam
sebagai warna alam dan Sila I yang dilambang dengan cahaya dibagian tengah
berbentuk bintang bersudut lima ini menyinari semua nilai-nilai ke empat sila
lainnya atau menjadi cahaya, yakni kepada sila II, III, IV dan V atau menjadi
“bintang pemandu” bagi keempat sila lainnya.
Secara teoritik atau konsepsional dapat
dijelaskan konstruksi model semiotika hukumnya, yakni sila I menjadi cahaya
sila II dasar Kemanusian Yang Adil dan Beradab yang dilambangkan dengan tali
rantai bermata bulatan dan persagi dibagian kiri bawah perisai Pancasila. Maknanya
bahwa hukum yang bersifat progresif mencerminkan HAM atau taat pada asas
kemanusian (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011), artinya
bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat martabat
setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional dan taat pula
pada asas Bhinneka Tunggal Ika (Penjelasan
Pasal 6 Ayat (1) huruf f Undang- Undang Nomor 12 Tahun
2011),
artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh
berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara
lain; agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial serta setiap
materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan
kepentingan bangsa dan negara serta taat pula pada asas Kesamaan Kedudukan
Dalam Hukum Dan Pemerintahan (Penjelasan
Pasal 6 Ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011), artinya
setiap materi muatan Peraturan perundang-undangan harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya
khususnya menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Kemudian sila I menjadi cahaya Sila ke III dasar Persatuan Indonesia yang
dilambangkan dengan pohon beringin dibagian kiri atas perisai Pancasila, maknanya hukum yang bersifat progresif
taat kepada asas Kebangsaan Penjelasan (Pasal 6 Ayat (1) huruf c Undang -Undang Nomor 12 Tahun
2011), artinya bahwa
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan
watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga
prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
Kemudian Sila I menjadi cahaya sila IV dasar Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
dilambangkan dengan kepala banteng dibagian kanan atas perisai Pancasila,
karena produk hukum dalam hal ini peraturan perundang-undangan adalah hasil
dari sebuah hikmah kebijaksanaan sebagai perwujudan esensi semnagat demokrasi
untuk menterjemahkan suara rakyat tanpa mengenyampingkan suara kepentingan
pemerintah (negara), maknanya, bahwa hukum yang
bersifat Progresif haruslah taat kepada asas kekeluargaan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan dan taat
kepada asas Pengayoman (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011), artinya bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat.
Kemudian Sila I menjadi cahaya
sila ke V dasar Keadilan Bagi seluruh rakyat Indonesia dilambangkan dengan
kapas dan padi dibagian kanan bawah perisai Pancasila. Maknanya bahwa hukum
yang bersifat progresif harus mewujudkan rasa keadilan masyarakat, atau
taat pada asas Keadilan (Penjelasan
Pasal 6 Ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011), artinya
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali dan taat pula pada
asas Kenusantaraan (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf e Undang –Undang Nomor 12 Tahun
2011),
artinya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan
Perundang-Undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila serta taat pula pada asas
Ketertiban dan Kepastian Hukum (Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) huruf i Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011), artinya bahwa setiap materi Muatan Peraturan
Perundang-Undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan adanya kepastian hukum..
Dengan demikian pada
tataran perencanaan penyusunan UndangUndang dalam prolegnas sebagai skala
prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam kerangka sistem hukum
nasional[6]
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Artinya Penempatan Pancasila sebagai cita hukum dengan menempatkan
Pancasila merupakan sumber segala sumber
hukum negara adalah sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alinea keempat dan sekaligus menempatkan Pancasila sebagai
dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga
materi muatan Peraturan perundang-Undangan tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang konsep pembacaan selaras
dengan semiotika hukum pembacaan Pancasila berdasarkan Lambang Negara Republik
Indonesia (Pasal 48 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009), yaitu pembacaan Pancasila dengan
logosentrisme berthawaf.
Konstruksi hukum, bahwa Pancasila bukan hanya staatfundalmentalnorm (kaidah fundamental negara), sebagai cita hukum (rechtidee) yang dijadikan sumber segala
sumber hukum negara yang keberadaannya tidak hanya diluar konstitusi negara
(UUD Negara RI) 1945, tetapi menjadi bagian UUD Negara RI, 1945, sehingga
Pancasila tidak menjadi mitos, terlalu abstrak dan tidak cair, sebagaimana
Pembacaan Pancasila secara hirarkis piramida menurut pandangan Notonagoro dan
dianut oleh para penstudi hukum di Indonesia ketika memberikan penafsiran
filsafat hukum Pancasila.
Konsep Pembacaan
Pancasila secara hirarkis Piramida secara semiotika hukum harus diselaraskan
dengan pembacaan Pancasila berdasarkan Perisai Pancasila dalam Lambang Negara
Republik Indonesia (Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009).
Sedangkan Penjabaran Pancasila sebagai cita hukum atau Pancasila merupakan
sumber segala sumber hukum negara, dapat
dijabarkan atau diwujudkan secara semiotika hukum dengan menghubungkan
dengan penerapan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan,
sebagaimana dimaksud Pasal 6 dan Penjelasannya dari Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011. Artinya antara Pasal 2 jo Pasal 6 dan Penjelasannya dari
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 selaras dan korelasi yang jelas dengan Pasal
48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.
Untuk menerapkan
konsep Pembacaan Pancasila “berthawaf” berdasarkan Lambang Negara Republik
Indonesia kedalam pemetaan suatu undang-undang akan lebih mudah untuk memetakan
materi muatannya dengan cara menstruktur pasal-pasal dalam sebuah Undang-Undang
sesuai jenis peraturan perundang-undangan yang diperintahkan/imperatif ke dalam
bentuk peraturan perundangan dari sisi penjabarannya, misalnya dari
Undang-Undang ke bentuk peraturan presiden. Memang kelihatan tidak hirarkis
sesuai Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tetapi dengan
bantuan model pembacaan Pancasila berthawaf bisa dilacak keberadaannya, karena
selama ini dalam hukum tata negara, bahwa undang-undang harus dijabarkan
kedalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 12 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011, tetapi bisa saja keberadaan Peraturan Presiden untuk
menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah dari undang-undang, atau dari peraturan pemerintah yang secara tegas maupun
tidak tegas diperintahkan pembentukannya (pasal 13 Undang-undang Nomor 12 Tahun
2011). Artinya bisa jadi dalam satu Undang-Undang bisa dipetakan sekian konsep
pembacaan dengan struktur pola pembacaan Pancasila “berthawaf”.
3. Memahami
Konsep Hirarki Norma Hukum
Kemudian untuk memahami hirarki
peraturan perundang-undangan, maka secara teks hukum negara, pertanyaan yang
perlu diajukan adalah apa yang dimaksud dengan hirarki ? Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 menyatakan pada penjelasan pasal 7 ayat (2) menyatakan, bahwa dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang
didasarkan pada asas bahwa Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan pengertian
hirarki diatas, maka dimana pengaturan tentang hirarki peraturan
perundang-undangan dirumuskan secara teks hukum negara ?
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 mengatur jenis dan hirarki sebagai berikut:
(1)Jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
c.Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.Peraturan Pemerintah;
e.Peraturan Presiden;
f.Peraturan Daerah
Provinsi; dan
g.Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
(2)Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pertanyaan apakah jenis peraturan perundangan hanya yang
terpaparkan dalam hirarki sebagaimana dimaksud pasal 7 Ayat (1) saja ? UU Nomor 12 Tahun 2011 secara tegas
menyatakan pada Pasal 8
(1)
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,
Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.
Pasal 8 ayat (2) di atas memberikan penegasan tentang kekuatan
hukum terhadap peraturan
perundang-undangan yang selain dalam hirarki peraturan perundang-undangan pada
Pasal 7 ayat (1), yakni pertama sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pernyataan ini memberikan pemahaman, bahwa apabila
didalam peraturan perundang-undangan apakah berbentuk Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah terdapat pasal yang
teks normatifnya terdapat klasul, misalnya “lebih lanjut diatur atau ditetapkan
dengan peraturan menteri”, maka keberadaan peraturan menteri tersebut mengikat
secara hukum. Artinya keberadaannya diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Apakah
yang dimaksud peraturan menteri?, penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12
Tahun 2011 menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan
“Peraturan Menteri” adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.
Yang menjadi persoalan
dalam tataran pratek selama ini setelah terbitnya UU nomor 12 Tahun 2011 masih
ada Ketetapan Menteri tetapi materi muatannya bersifat mengatur, bagaimana
kekuatan hukumnya. Pasal 100 UU
Nomor 12 menyatakan, bahwa Semua
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan
Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini
berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan,
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Kemudian pada pasal 8 ayat (2) UU
Nomor 12 Tahun 2011 kedua menyatakan atau
dibentuk berdasarkan kewenangan. Pertanyaannya apa yang dimaksudkan berdasarkan
kewenangan ? Penjelasan pasal 8 ayat (2) menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan
“berdasarkan kewenangan” adalah penyelenggaraan
urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
4.Memahami Pancasila sebagai Cita Hukum Dalam Era
Reformasi
Berkaitan Pancasila sebagai cita
hukum dalam reformasi, maka perlu dibahas terlebih dahulu apakah sesungguhnya
yang dimaksudkan dengan ‘reformasi’ ? mengapa harus ada reformasi, dan apakah
tujuan reformasi tersebut? Secara hafiah reformasi berasal dari bahasa latin;
re + formare (forma = ‘bentuk’, sedangkan formare berarti ‘membentuk’ dengan
demikian dapat didefinisikan reformasi sebagai “usaha untuk membentuk ulang
atau memformat ulang’. berdasarkan pengertian tersebut istilah reformasi
mengimplikasikan adanya suatu unsur yaitu unsur korektif di dalamnya.
Pengertian reformasi sebagai tindakan korektif itu mengasumsikan bahwa telah
terdapat kesalahan pada masa lalu dalam pengelolaan sistem atau struktur ,
dalam konteks ini struktur dan sistem kehidupan berbangsa, dan bernegara, yang
mana koreksi yg diharapkan dapat memperbaiki kinerja sistem tersebut.
Ketika agenda reformasi
digulirkan, satu hal yang menarik adalah kenyataan hampir tidak ada yang
mempersoalkan pancasila atau mengusulkannya untuk dijadikan bagian dari agenda
reformasi. Tidak ada yang menginginkan Pancasila diganti, semuanya bersepakat
bahwa Pancasila masih harus dijadikan dasar dan ideologi negara. Tidak satupun
dari gagasan-gagasan reformasi politik, hukum, ekonomi dan lain-lain yang
mengusulkan reformasi Pancasila. Bahkan hampir semua usul menyatakan bahwa
reformasi diorientasikan pada upaya mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila
dalam berbagai bidang kehidupan. Kritikan terhadap penataran P4 yang banyak
muncul tidak dapat dikatakan sebagai penolakan atas Pancasila sebagai dasar,
idiologi, cita hukum, norma fundamental Negara, melainkan merupakan kritisi
terhadap pengistimewaan penafsiran. dan pelaksanaan Pancasila yang makna-makna
luhurnya telah direduksi atau dikecilkan sehingga membelenggu Pancasila yang
sebenarnya merupakan idiologi terbuka. Jika Pancasila diberi tafsir resmi
seperti P4 maka aktualisasinya akan terbatas oleh waktu dan tempat yang sempit.
Dengan kata lain ketika masyarakat menyatakan menolak P4, hal itu bukan berarti
penolakan terhadap Pancasila tapi sebaliknya justru keinginan untuk
mempertahankan Pancasila sebagai ideologi terbuka yang dapat terus dipakai
dalam Negara Republik Indonesia dalam situasi apapun.
Cita hukum yang dimaksudkan
adalah cita hukum (rechts-idee) dari Negara republik Indonesia. Negara
yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah menyepakati bersama
bahwa dasar dan ideologi Negara adalah Pancasila. Oleh sebab itu, satu hari
setelah proklamasi yakni pada tanggal 18 agustus 1945, pendiri Negara
memberikan bentuk hukum dengan menetapkan dan memberlakukan Undang-Undang Dasar
1945 (UUD 1945) sebagai konstitusi Negara Indonesia. Dalam pembukaan UUD 1945
itu dirumuskan kefilsafatan dan tujuan Negara. Landasan kefilsafatannya
dirumuskan dalam bentuk kesatuan lima asas pokok yang dinamakan PANCASILA.
Tujuan Negara dalam Pembukaan UUD 1945 dirumuskan bahwa pembentukan
pemerintahan Negara Indonesia bertujuan untuk ‘:…. Melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,…’ Dengan
demikian Negara Indonesia yang diperjuangkan untuk diwujudkan adalah Negara
Pancasila.
Negara Pancasila yang dimaksudkan
adalah pertama ; Negara Pancasila adalah Negara hukum, yang di dalamnya
semua penggunaan kekuasaan harus selalu ada landasan hukumnya dan dalam
kerangka batas-batas yang ditetapkan oleh hukum, dengan kata lain pemerintahan
yang dikehendaki adalah pemerintahan berdasarkan dengan dan oleh hukum (rule
by law dan rule of law). Kedua ; Negara Pancasila itu adalah
Negara demokrasi yang dalam keseluruhan kegiatan negaranya selalu terbuka bagi
partisipasi seluruh rakyat, yang di dalamnya pelaksanaan kewenangan dan
penggunaan kekuasaan publik harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat dan harus
selalu terbuka bagi pengkajian rasional oleh semua pihak dalam kerangka tata
nilai dan tata hukum yang berlaku. Ketiga :Negara Pancasila adalah
organisasi seluruh rakyat yang menata diri secara rasional untuk dalam
kebersamaan berusaha dalam kerangka dan melalui tatanan kaidah hukum yang
berlaku, mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dengan selalu mengacu
pada nilai-nilai martabat manusia dan ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam konsepsi
Negara Pancasila ini maka Negara dan pemerintah lebih merupakan koordinasi
berbagai pusat pengambilan keputusan rasional yang berintikan asas
rasionalitas-efisiensi, rasionalitas-kewajaran, asas rasionalitas berkaidah dan
asas rasionalitas nilai, jadi Negara bukan organisasi kekuasaan semata. Negara
Pancasila yang dicita-citakan adalah Negara Hukum Demokratis Kesejahteraan.
5. Konsep Negara
Hukum Indonesia
Istilah
negara hukum dalam berbagai literatur tidak bermakna tunggal, tetapi dimaknai
berbeda dalam tempus dan locus yang berbeda, sangat tergantung pada idiologi
dan sistem politik suatu negara. Karena itu Tahir Azhary[7],
dalam penelitiannya sampai pada kesimpulan bahwa istilah negara hukum adalah
suatu genus begrip yang terdiri dari dari lima konsep, yaitu konsep negara
hukum menurut Al Qur’an dan Sunnah yang diistilahkannya dengan nomokrasi Islam,
negara hukum menurut konsep Eropa kontinental yang disebut rechtstaat, konsep
rule of law, konsep socialist legality serta konsep negara hukum Pancasila.
Begitu juga Oemar Seno Adji [8]
menemukan tiga bentuk negara hukum yaitu rechtstaat dan rule of law, socialist
legality dan negara hukum Pancasila.
Menurut
Seno Adji antara rechtstaat dan rule of law memiliki basis yang sama. Menurut Seno Adji, konsep rule of law hanya pengembangan
semata dari konsep rechtstaats. Sedangkan antara konsep rule of law dengan
socialist legality mengalami perkembangan sejarah dan idiologi yang berbeda,
dimana rechtstaat dan rule of law berkembang di negara Inggris, Eropa
kontinental dan Amerika Serikat sedangkan socialist legality berkembang di
negara-negara komunis dan sosialis.
Namun
ketiga konsep itu lahir dari akar yang sama, yaitu manusia sebagai titik sentral
(antropocentric) yang menempatkan rasionalisme, humanisme serta sekularisme
sebagai nilai dasar yang menjadi sumber nilai
Pada
sisi lain konsep nomokrasi Islam dan konsep negara hukum Pancasila menempatkan
nilai-nilai yang sudah terumuskan sebagai nilai standar atau ukuran nilai.
Konsep nomokrasi Islam mendasarkan pada nilai-nilai yang terkandung pada Al
Qur’an dan Sunnah sedangkan negara hukum Pancasila menjadikan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila sebagai standar atau ukuran nilai sehingga kedua
konsep ini memiliki similiaritas yang berpadu pada pengakuan adanya nilai
standar yang sudah terumuskan dalam naskah tertulis. Disamping itu kedua konsep
ini menempatkan manusia, Tuhan, agama dan negara dalam hubungan yang tidak
dapat dipisahkan.
Sedangkan
dari sisi waktu ternyata konsep negara hukum berkembang dinamis dan tidak
statis. Tamanaha[9]
mengemukakan dua versi negara hukum yang berkembang yaitu versi formal dan
versi substantif yang masing-masing tumbuh berkembang dalam tiga bentuk. Konsep
negara hukum versi formal dimulai dengan konsep rule by law dimana hukum
dimaknai sebagai instrument tindakan pemerintah. Kemudian berkembang dalam
bentuk formal legality, dimana konsep hukum diartikan sebagai norma yang umum, jelas,
prospektif dan pasti. Sedangkan perkembangan terakhir dari konsep negara hukum
versi formal adalah democracy and legality, dimana kesepakatanlah yang
menentukan isi atau substansi hukum.
Sedangkan
versi substantif konsep negara hukum berkembang dari individual rights, dimana
privacy dan otonomi individu serta kontrak sebagai landasan yang paling pokok.
Kemudian berkembang pada prinsip hak-hak atas kebebasan pribadi dan atau
keadilan (dignity of man) serta berkembang menjadi konsep social welfare yang mengandung
prinsip-prinsip substantif, persamaan, kesejahteraan serta kelangsungan
komunitas.
Menurut
Tamanaha konsepsi formal dari negara hukum ditujukan pada cara dimana hukum
diumumkan (oleh yang berwenang), kejelasan norma dan dimensi temporal dari pengundangan
norma tersebut. Konsepsi formal negara hukum tidak ditujukan kepada
penyelesaian putusan hukum atas kenyataan hukum itu sendiri, dan tidak
berkaitan dengan apakah hukum itu hukum yang baik atau jelek. Sedangkan
konsepsi substantif dari negara hukum bergerak lebih dari itu, dengan tetap
mengakui atribut formal yang disebut di atas. Konsepsi negara hukum substantif
ingin bergerak lebih jauh dari itu.
Hak-hak
dasar atau derivasinya adalah menjadi dasarnya konsep negara hukum substantif.
Konsep tersebut dijadikan sebagai fondasi yang kemudian digunakan untuk
membedakan antara hukum yang baik yang memenuhi hak-hak dasar tersebut dan
hukum yang buruk yang mengabaikan hak-hak dasar. Konsep formal negara hukum
fokus pada kelayakan sumber hukum dan bentuk legalitasnya sementara konsep
substantif juga termasuk persyaratan tentang isi dari norma hukum.
Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) setelah perubahan
menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Semula istilah negara
hukum hanya dimuat pada Penjelasan UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara
Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaats), tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (machtstaat). Persoalannya apakah yang dimaksud dengan rechtstaat dalam
konsepsi UUD 1945 dan bagaimana impelementasinya dalam kehidupan negara. Dengan
dasar kerangka berpikir di atas dalam kajian singkat ini, hendak menguraikan
secara ringkas bagimana konsep negara hukum Indonesia dan perbedaannya dengan
konsep rechtstaat atapun rule of law serta perkembangan pemahaman dan konsepnya
pada tingkat implementasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan
hukum dalam praktik (law in action).
Pada
awalnya konsep negara hukum sangat lekat dengan tradisi politik negara-negara
Barat, yaitu freedom under the rule of law. Karena itu menurut Tamanaha[10] liberalisme
yang lahir pada akhir abad ke-17 awal abad ke-18 menempati ruang yang sangat
esensial bagi konsep negara hukum dan negara hukum pada masa kini secara
keseluruhan dipahami dalam istilah liberalisme. Tamanaha menulis “… every
version of liberalism reserve and essential place for the rule of law, and the
rule of law today is thoroughly understood in the terms of liberalism.” Akan
tetapi di atas segala-galanya dari liberalisme dalam tradisi politik Barat
adalah kebebasan individu, seperti dalam terminologi klasik yang dikemukakan
oleh John Stuart Mill “.. the only freedom which divers the name, is that of
pursuing our own good in our own way, so long as we do not attempt to deprive
others of theirs or impede their efforts to obtain it”,[11]
Dibawah
hakekat kebebasan setiap individu adalah merdeka untuk mengejar cita-citanya
tentang kebaikan. Setiap orang juga mempunyai hak untuk diberi hukuman dan
mendapatkan penggantian atas pelanggaran hak-hak dasarnya oleh orang lain. Akan
tetapi kebebasan bukanlah berarti melakukan apa saja yang disukainya, sehingga
kemudian setiap orang berada di bawah ancaman yang sama yang dilakukan oleh
orang lain. Oleh karena itu Immanuel Kant berkesimpulan kebebasan adalah hak
untuk melakukana apapun yang sesuai hukum.
Menurut
Tamanaha[12],
ada empat tema pokok yang menjadi landasan liberalisme Barat, yaitu pertama;
setiap orang bebas dalam lingkup dimana hukum dibuat secara demokratis, dimana
setiap orang adalah pengatur sekaligus yang diatur, tentunya mereka wajib taat
hukum, kedua; setiap orang bebas dalam lingkup dimana pejabat pemerintah
diharuskan bertindak berdasarkan hukum yang berlaku, ketiga; setiap orang bebas
sepanjang pemerintahan dibatasi dari pelanggaran atas diganggunya otonomi
individu, serta keempat; kebebasan mengalami kemajuan ketika kekuasaan
dipisahkan dalam beberapa kompartemen dengan tipe legislatif–eksekutif dan
yudikatif.
Dari
landasan pemikiran itulah yang melahirkan konsep negara hukum Barat seperti
yang dikemukakan oleh Julius Stahl [13] yang
mengemukakan empat elemen penting dari negara hukum yang diistilahkannya dengan
rechtstaat, yaitu perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan
pemerintahan negara, pemerintahan dilaksanakan berdasarkan undang-undang serta
peradilan tata usaha negara. Kemudian Dicey[14] yang
dianggap sebagai teoretisi pertama yang mengembangkan istilah rule of law dalam
tradisi hukum Anglo-Amerika, rule of law mengandung tiga elemen penting yang
secara ringkas dapat dikemukakan, yaitu absolute supremacy of law, equality
before the law dan due process of law, dimana ketiga konsep ini sangat terkait
dengan kebebasan individu dan hak-hak asasi manusia.
Kesemua
konsep negara hukum Barat tersebut bermuara pada perlindungan atas hak-hak dan
kebebasan individu yang dapat diringkas dalam istilah “dignity of man” dan
pembatasan kekuasan serta tindakan negara untuk menghormati hak-hak individu
yang harus diperlakukan sama. Karena itulah harus ada pemisahan kekuasaan
negara untuk menghindari absolutisme satu cabang kekuasaan terhadap cabang
kekuasaan lainnya serta perlunya lembaga peradilan yang independen untuk
mengawasi dan jaminan dihormatinya aturan-aturan hukum yang berlaku, yang dalam
praktik negara-negara Eropa kontinental memerlukan peradilan administrasi
negara untuk mengawasi tindakan pemerintah agar tetap sesuai dan konsisten
dengan ketentuan hukum. \
Pandangan
negara hukum Barat didasari oleh semangat pembatasan kekuasaan negara terhadap
hak-hak indivu. Pada sisi lain konsep rule of law ditentang oleh para ahli
hukum yang menganut paham Marxis yang memperkenalkan istilah socialist
legality. Jika konsep rule of law ditujukan pada satu titik sentral, yaitu
dignity of man sehingga kekuasaan negara harus dibatasi maka dalam konsep
sosialist legality, hukum sebagai guiding principles yang meliputi segala
aktivitas dari organ-organ negara, pemerintahnya, pejabat-pejabatnya serta
warga-warganya.
Setelah
mengkaji perkembangan praktik negara-negara hukum moderen Jimly Asshiddieqie
sampai pada kesimpulan bahwa ada 12 prinsip pokok negara hukum (rechtstaat)
yang berlaku di zaman sekarang, yaitu sumpremasi hukum (supremacy of law),
persamaan dalam hukum (equality before the law), asas legalitas (due process of
law), pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, peradilan bebas
dan tidak memihak, peradilan tata uasaha negara, peradilan tata negara,
perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis, berfungsi sebagai sarana
mewujudkan tujuan negara serta trasnparansi dan kontrol sosial.
Keduabelas
prinsip pokok itu merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya
satu negara hukum moderen dalam arti yang sebenarnya.
Negara hukum Indonesia yang dapat juga diistilahkan sebagai negara hukum Pancasila, memiliki latar belakang kelahiran yang berbeda dengan konsep negara hukum yang dikenal di Barat walaupun negara hukum sebagai genus begrip yang tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 terinspirasi oleh konsep negara hukum yang dikenal di Barat.
Negara hukum Indonesia yang dapat juga diistilahkan sebagai negara hukum Pancasila, memiliki latar belakang kelahiran yang berbeda dengan konsep negara hukum yang dikenal di Barat walaupun negara hukum sebagai genus begrip yang tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 terinspirasi oleh konsep negara hukum yang dikenal di Barat.
Jika
membaca dan memahami apa yang dibayangkan oleh Soepomo ketika menulis
Penjelasan UUD 1945 jelas merujuk pada konsep rechtstaat. Karena negara hukum
dipahami sebagai konsep Barat, Satjipto Raharjo sampai pada kesimpulan bahwa
negara hukum adalah konsep moderen yang tidak tumbuh dari dalam masyarakat
Indonesia sendiri, tetapi “barang impor”. Negara hukum adalah bangunan yang
“dipaksakan dari luar”.
Lebih
lanjut menurut Satjipto, proses menjadi negara hukum bukan menjadi bagian dari
sejarah sosial politik bangsa kita di masa lalu seperti terjadi di Eropa.
Akan tetapi apa yang dikehendaki oleh keseluruhan jiwa yang tertuang dalam Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945, demikian juga rumusan terakhir negara hukum dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah suatu yang berbeda dengan konsep negara hukum Barat dalam arti rechtstaat maupun rule of law. Dalam banyak hal konsep negara hukum Indonesia lebih mendekati konsep socialist legality, sehingga ketika Indonesia lebih mendekat pada sosialisme, Wirjono Prodjodikoro berkesimpulan negara bahwa Indonesia menganut “Indonesia socialist legality”. Akan tetapi istilah tersebut ditentang oleh Oemar Seno Adji yang berpandangan bahwa negara hukum Indonesia bersifat spesifik dan banyak berbeda dengan yang dimaksud socialist legality.
Akan tetapi apa yang dikehendaki oleh keseluruhan jiwa yang tertuang dalam Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945, demikian juga rumusan terakhir negara hukum dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah suatu yang berbeda dengan konsep negara hukum Barat dalam arti rechtstaat maupun rule of law. Dalam banyak hal konsep negara hukum Indonesia lebih mendekati konsep socialist legality, sehingga ketika Indonesia lebih mendekat pada sosialisme, Wirjono Prodjodikoro berkesimpulan negara bahwa Indonesia menganut “Indonesia socialist legality”. Akan tetapi istilah tersebut ditentang oleh Oemar Seno Adji yang berpandangan bahwa negara hukum Indonesia bersifat spesifik dan banyak berbeda dengan yang dimaksud socialist legality.
Karena
terinspirasi dari konsep negara hukum Barat dalam hal ini rechtstaat maka UUD
1945 menghendaki elemen-elemen rechtstaat maupun rule of law menjadi bagian
dari prinsip-prinsip negara Indonesia. Bahkan secara tegas rumusan penjelasan
UUD 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas
hukum (rechtstaat) bukan negara yang berdasar atas kekuasaan belaka
(machtstaat).
Rumusan
Penjelasan UUD mencerminkan bahwa UUD 1945 menghendaki pembatasan kekuasaan
negara oleh hukum.
Untuk
mendapatkan pemahaman utuh terhadap negara hukum Pancasila harus dilihat dan
diselami ke dalam proses dan latar belakang lahirnya rumusan Pembukaan UUD 1945
sebagai pernyataan kehendak lahirnya negara Indonesia serta sebagai dasar
filosofis dan tujuan negara. Dari kajian dan pemahaman itu, kita akan sampai
pada suatu kesimpulan bahwa konsep negara hukum Pancasila disamping memiliki
kesamaan tetapi juga memiliki perbedaan dengan konsep negara hukum Barat baik
rechtstaat, rule of law maupun socialist legality. Seperti disimpulkan oleh
Oemar Seno Adji, antara konsep negara hukum Barat dengan negara hukum Pancasila
memiliki “similarity” dan “divergency”.
Jika
konsep negara hukum dalam pengertian – rechtstaat dan rule of law – berpangkal
pada “dignity of man” yaitu liberalisme, kebebasan dan hak-hak individu
(individualisme) serta prinsip pemisahan antara agama dan negara (sekularisme),
maka latar belakang lahirnya negara hukum Pancasila didasari oleh semangat
kebersamaan untuk bebas dari penjajahan dengan cita-cita terbentuknya Indonesia
merdeka yang bersatu berdaulat adil dan makmur dengan pengakuan tegas adanya
kekuasaan Tuhan. Karena itu prinsip Ketuhanan adalah elemen paling utama dari
elemen negara hukum Indonesia.
Lahirnya
negara hukum Pancasila menurut Padmo Wahyono berbeda dengan cara pandang
liberal yang melihat negara sebagai suatu status tertentu yang dihasilkan oleh
suatu perjanjian bermasyarakat dari individu-individu yang bebas atau dari
status “naturalis” ke status “civis” dengan perlindungan terhadap civil rights.
Tetapi dalam negara hukum Pancasila terdapat anggapan bahwa manusia dilahirkan
dalam hubungannya atau keberadaanya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu
negara tidak terbentuk karena perjanjian atau “vertrag yang dualistis”
melainkan “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas…”.
Jadi
posisi Tuhan dalam negara hukum Pancasila menjadi satu elemen utama bahkan
menurut Oemar Seno Adji merupakan “causa
prima”. Begitu pentingnya prinsip Ketuhanan ini dalam negara Indonesia
menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai prinsip pertama dari dasar
negara Indonesia. Begitu pentingnya dasar Ketuhanan ketika dirumuskan oleh para
founding fathers negara kita dapat dibaca pada pidato Soekarno pada 1 Juni
1945, ketika berbicara mengenai dasar negara (philosophische grondslag) yang
menyatakan :“Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang
kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam menurut
petunjuk Nabi Muhammad s.a.w, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut
kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya
negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya
dengan leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan. Secara kebudayaan yakni
dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang
ber-Tuhan”.
Pidato
Soekarno ini, nampaknya merupakan rangkuman pernyataan dan pendapat dari para
anggota BPUPK dalam pemandangan umum mengenai dasar negara yang dimulai sejak
tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni itu. Kesemuanya mengemukakan pentingnya
dasar Ketuhanan ini menjadi dasar negara, terutama pandangan dan tuntutan dari
para tokoh Islam yang menghendaki negara berdasarkan Islam. Dengan demikian
negara hukum Indonesia berbeda dengan konsep negara hukum Barat yang menganut
hak asasi dan kebebasan untuk ber-Tuhan maupun tidak ber-Tuhan, serta tidak
memungkinkan kampanye anti Tuhan maupun anti agama dalam konsep socialist
legality.
Demikian
juga posisi agama dalam hubungannya dengan negara yang tidak terpisahkan.
Walaupun terdapat sebahagian para founding fathers menghendaki agar agama
dipisahkan dengan negara akan tetapi pada tanggal 22 Juni 1945 disepakati
secara bulat oleh panitia kecil hukum dasar dan diterima penuh dalam Pleno
BPUPK mengenai Mukaddimah UUD atau yang disebut Piagam Jakarta, dasar negara
yang pertama adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
para pemeluk-pemeluknya”. Artinya sejak awal para founding fathers menyadari
betul betapa ajaran agama ini menjadi dasar negara yang pokok, khususnya ajaran
Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dalam perkembangannya Pembukaan UUD 1945 yang
disahkan tanggal 18 Agustus 1945, mengadopsi Piagam Jakarta dikurangi tujuh
kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk-pemeluknya”
dan tujuh kata ini diganti dengan kata-kata: “Yang Maha Esa” yang dimaknai
sebagai Tauhid. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa naskah Piagam Jakarta
merupakan materi utama Pembukaan UUD 1945. Piagam Jakarta kembali memperoleh
tempat ketika Dektrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali
UUD 1945 menempatkan kedudukan Piagam Jakarta sebagai “menjiwai UUD 1945 dan
merupakan suatu rangkaian-kesatuan dengan konstitusi tersebut”.
Dengan
demkian posisi agama dalam negara hukum Pancasila tidak bisa dipisahkan dengan
negara dan pemerintahan. Agama menjadi satu elemen yang sangat penting dalam
negara hukum Pancasila. Negara hukum Indonesia tidak mengenal doktrin
“separation of state and Curch”. Bahkan dalam UUD 1945 setelah perubahan
nilai-nilai agama menjadi ukuran untuk dapat membatasi hak-hak asasi manusia
(lihat Pasal 28J UUD 1945). Negara hukum Indonesia tidak memberikan kemungkinan
untuk adanya kebebasan untuk tidak beragama, kebebasan untuk promosi anti agama
serta tidak memungkinkan untuk menghina atau mengotori ajaran agama atau
kitab-kitab yang menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori nama Tuhan.
Elemen inilah yang merupakan salah satu elemen yang menandakan perbedaan pokok
antara negara hukum Indonesia dengan hukum Barat. Sehingga dalam pelaksanaan
pemerintahan negara, pembentukan hukum, pelaksanaan pemerintahan serta
peradilan, dasar ketuhanan dan ajaran serta nilai-nilai agama menjadi alat ukur
untuk menentukan hukum yang baik atau hukum buruk bahkan untuk menentukan hukum
yang konstitusional atau hukum yang tidak konstitusional.
Di
samping kedua perbedaan di atas negara hukum Indonesia memiliki perbedaan yang
lain dengan negara hukum Barat, yaitu adanya prinsip musyawarah, keadilan
sosial serta hukum yang tuntuk pada kepentingan nasional dan persatuan
Indonesia yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Prinsip musyawarah
dan keadilan sosial nampak sederhana, tetapi mengandung makna yang dalam bagi
elemen negara hukum Indonesia.
Prinsip
musyawarah merupakan salah satu dasar yang pokok bagi hukum tata negara
Indonesia sehingga merupakan salah satu elemen negara hukum Indonesia. Apa yang
nampak dalam praktik dan budaya politik ketatanegaraan Indonesia dalam hubungan
antara lembaga-lembaga negara terlihat jelas bagaimana prinsip musyawarah ini
dihormati. Pembahasan undang-undang antara pemerintah dan DPR yang dirumuskan
sebagai pembahasan bersama dan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden
merupakan implementasi prinsip musyawarah dalam hukum tata negara Indonesia.
Demikian
juga dalam budaya politik di DPR, perdebatan dalam usaha mendapatkan keputusan
melalui musyawarah adalah suatu kenyataan politik yang betul-betul diterapkan.
Prinsip musyawarah memberikan warna kekhususan dalam hubungan antarlembaga
negara dalam struktur ketatanegaraan Indonesia jika dikaitkan dengan teori
pemisahan kekuasaan dan checks and balances. Artinya pemisahan kekuasaan yang
kaku, dapat dicairkan dengan prinsip musyawarah. Rusaknya hubungan antara Presiden
dan DPR serta MPR seperti tercermin dalam pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid
dan Presiden Soekarno adalah akibat telah buntunya musyawarah.
Prinsp
keadilan sosial menjadi elemen penting berikutnya dari negara hukum Indonesia.
Atas dasar prinsip itu, kepentingan umum, kepentingan sosial pada tingkat
tertentu dapat menjadi pembatasan terhadap dignity of man dalam elemen negara
hukum Barat.
Dalam
perdebatan di BPUPK, prinsip keadilan sosial didasari oleh pandangan tentang
kesejahteraan sosial dan sifat kekeluargaan serta gotong royong dari masyarakat
Indonesia, bahkan menurut Soekarno jika diperas lima sila itu menjadi eka sila
maka prinsip gotong royong itulah yang menjadi eka sila itu. Dalam hal ini
Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 berkata: “sebagai tadi telah saya
katakan, kita mendirikan negara Indonesia yang kita semua harus mendukungnya.
Semua buat semua. Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat
Indonesia, bukan Hadikoesumo buat Indonesia bukan Van Eck buat Indonesia, bukan
Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia – semua
buat semua. Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, yang tiga menjadi satu
maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen yaitu perkataan “gotong
royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan adalah negara gotong royong”.
Prinsip
terakhir negara hukum Indonesia adalah elemen dimana hukum mengabdi pada
kepentingan Indonesia yang satu dan berdaulat yang melindungi seluruh tumpah
darah Indonesia. Indonesia dari Sabang sampai Merauku yang masing-masing
memiliki adat dan istiadat serta budaya yang berbeda. Hukum harus mengayomi
seluruh rakyat Indonesia yang beragam sebagai satu kesatuan.
Dengan
dasar-dasar dan elemen negara hukum yang spesifik itulah dapat dipahami perubahan
UUD 1945 ketika mengadopsi hak-hak asasi manusia, diadopsi pula pembatasan
hak-hak asasi yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, kemanan serta
ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.
Dengan
demikian dapatlah disimpulkan bahwa elemen negara hukum Indonesia disamping
mengandung elemen negara hukum dalam arti rechtstaat maupun rule of law, juga
mengandung elemen-emelemen yang spesifik yaitu elemen Ketuhanan serta tidak ada
pemisahan antara agama dan negara, elemen musyawarah, keadilan sosial serta
persatuan Indonesia.
Unsur-unsur
negara hukum Indonesia sebagai sebuah konsep seperti telah diuraikan di atas
adalah nilai yang dipetik dari seluruh proses lahirnya negara Indonesia, dasar
falsafah serta cita hukum negara Indonesia. Dengan demikian posisi Pembukaan
ini menjadi sumber hukum yang tertinggi bagi negara hukum Indonesia. Perubahan
UUD 1945 (dalam Perubahan Keempat) mempertegas perbedaan posisi dan kedudukan
antara Pembukaan dengan pasal-pasal UUD 1945. Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945
menegaskan bahwa UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal.
Hanya
pasal-pasal saja yang dapat menjadi objek perubahan sedangkan Pembukaan tidak
dapat menjadi objek perubahan. Pembukaan UUD 1945 memiliki nilai abstraksi yang
sangat tinggi sehingga kita hanya dapat menimba elemen-elemen yang sangat mendasar
bagi arah pembangunan negara hukum Indonesia. Nilai yang terkandung dalam
pembukaan itulah yang menjadi kaedah penuntun bagi penyusunan pasal-pasal UUD
1945 sehinga tidak menyimpang dari nilai-nilai yang menjadi dasar falsafah dan
cita negara Indonesia. Dalam tingkat implementatif, bagaimana kongkritnya
negara hukum Indonesia dalam kehidupan bernegara harus dilihat pada pasal-pasal
Undang-Undang Dasar. Kaedah-kaedah yang terkandung dalam pasal-pasal UUD-lah
yang menjadi kaedah penuntun bagi pelaksanaan pemerintahan negara yang lebih
operasional. Konsistensi melaksanakan ketentuan-ketentuan konstitusi itulah
yang dikenal dengan prinsip konstitusionalisme. Karena itu, jika konsep negara
hukum bersifat abstrak maka konsep konstitusionalisme menjadi lebih nyata dan
jelas.
Konstitusionalisme
merupakan faham pembatasan kekuasaan negara dalam tingkat yang lebih nyata dan
operasional. Pasal undang-undang dasar mengatur lebih jelas mengenai jaminan
untuk tidak terjadinya monopoli satu lembaga kekuasaan negara atas lembaga
kekuasaan negara yang lainnya, kewenangan masing masing lembaga negara,
mekanisme pengisian jabatan-jabatan bagi lembaga negara, hubungan antarlembaga
negara serta hubngan antara negara dengan warga negara yang mengandung jaminan
kebebasan dasar manusia yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara. Konstitusi
dimaksudkan untuk mengatur tiga hal penting, yaitu menentukan pembatasan
kekuasaan organ negara, mengatur hubungan antara lembaga-lembaga yang satu
dengan yang lain serta mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga
negara dengan warga negara.
Pada
tingkat implementasi pelaksanaan kekuasaan negara baik dalam pembentukan
undang-undang, pengujian undang-undang maupun pelaksanaan wewenang
lembaga-lembaga negara dengan dasar prinsip konstitusionalisme harus selalu
merujuk pada ketentuan-ketentuan UUD. Karena pasal-pasal UUD tidak mungkin
mengatur segala hal mengenai kehidupan negara yang sangat dinamis, maka pelaksanaan
dan penafsiran UUDi dalam tingkat implementatif harus dilihat pada kerangka
dasar konsep dan elemen-elemen negara hukum Indonesia yang terkandung pada
Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya mengandung Pancasila. Sehingga pasal-pasal
UUD 1945 menjadi lebih hidup dan dinamis. Pembentuk undang-undang maupun
Mahkamah Konstitusi memliki ruang penafsiran yang luas terhadap pasal-pasal UUD
1945 dalam frame prinsip-prinsip negara hukum Indonesia yang terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945.
Pembentukan
hukum baik yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang yang terdiri dari DPR
dan Presiden maupun Mahkamah Konstitusi – dalam makna legislasi negatif seperti
istilah Jimly Asshiddiqie – dilakukan melalui proses yang panjang dan berliku.
Pada praktiknya pembentukan hukum, paling tidak melibatkan proses dan sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
- ketentuan-ketentuan UUD 1945
- situasi dan kekuatan politik berpengaruh pada saat undang-undang itu dibuat
- pandangan dan masukan dari masyarakat
- perkembangan internasional dan perbandingan dengan negara lain
- kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pada saat itu, serta
- cara pandang para pembentuk undang-undang terhadap dasar dan falsafah negara
- Pengaruh teori dan akademisi.
- situasi dan kekuatan politik berpengaruh pada saat undang-undang itu dibuat
- pandangan dan masukan dari masyarakat
- perkembangan internasional dan perbandingan dengan negara lain
- kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pada saat itu, serta
- cara pandang para pembentuk undang-undang terhadap dasar dan falsafah negara
- Pengaruh teori dan akademisi.
Titik rawan dari pembentukan hukum agar sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum Indonesia adalah pada pengaruh dan perkembangan ketentuan dari negara lain serta pandangan akademisi yang sangat dipengaruhi oleh kerangka teori yang hanya bersumber dari negara lain. Pengaruh itu dapat diperoleh dari studi banding ke negara lain maupun pandangan akademisi baik dari dalam maupun luar negeri. Pernyataan ini tidak dimaksudkan sebagai keengganan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan negara-negara lain atau perkembangan internasional atau teori yang berkembang dari luar, akan tetapi lebih dimaksudkan sebagai kehati-hatian dan kecermatan agar hukum yang dibuat sesuai dengan kondisi Indonesia dan cita negara hukum Indonesia. Karena itu alat ukur dan verifikasi terakhir atas seluruh pembentukan hukum harus dilihat dalam kerangka elemen prinsip-prinsip negara hukum Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan disamping pasal-pasal UUD 1945. Di sinilah kita letakkan nilai Pancasila dalam Pembukaan sebagai norma standar bagi negara hukum Indonesia .
Negara
hukum dalam perspektif Pancasila yang dapat diistilahkan sebagai negara hukum
Indonesia atau negara hukum Pancasila disamping memiliki elemen-elemen yang
sama dengan elemen negara hukum dalam rechtstaat mauapun rule of law, juga
memiliki elemen-elemen yang spesifik yang menjadikan negara hukum Indonesia
berbeda dengan konsep negara hukum yang dikenal secara umum. Perbedaan itu
terletak pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya
mengandung Pancasila dengan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta tidak
adanya pemisahan antara negara dan agama, prinsip musyawarah dalam pelaksanaan
kekuasaan pemerintahan negara, prinsip keadilan sosial, kekeluargaan dan gotong
royong serta hukum yang mengabdi pada keutuhan negara kesatuan Indonesia.
Pembentukan
hukum baik oleh pembentuk undang-undang maupun oleh Mahkamah Konstitusi harus
menjadikan keseluruhan elemen negara hukum itu dalam satu kesatuan sebagai
nilai standar dalam pembentukan maupun pengujian undang-undang. Mengakhiri
tulisan ini saya ingin mengemukakan pandangan Prof. Dr. Satjipto Raharjo (mengenai
keresahannya terhadap negara hukum Indonesia dengan suatu harapan bahwa hukum
hendaknya membuat rakyat bahagia, tidak menyulitkan serta tidak menyakitkan. Di
atas segalanya dari perdebatan tentang negara hukum, menurut Prof. Satjipto
kita perlu menegaskan suatu cara pandang bahwa negara hukum itu adalah untuk
kesejahteraan dan kebahagiaan bangsa Indonesia, bukan sebaliknya. Hukum tidak
boleh menjadikan kehidupan lebih sulit. Inilah yang sebaiknya menjadi ukuran
penampilan dan keberhasilan (standard of performance and result) negara hukum
Indonesia.
Cita hukum (Rechtsidee)
mengandung arti bahwa pada hakekatnya hukum sebagai aturan tingkah laku
masyarakat berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta dan pikiran masyarakat itu
sendiri. Jadi cita hukum adalah gagasan, karsa, cipta dan pikiran berkenaan
dengan hukum atau persepsi tentang makna hukum, yang dalam intinya terdiri atas
tiga unsur; yaitu keadilan, kehasilgunaan (doelmatigheid) dan kepastian
hukum. Cita hukum itu terbentuk sebagai produk berpadunya pandangan hidup,
keyakinan keagamaan dan kenyataan kemasyarakatan yang diproyeksikan pada proses
pengkaedahan perilaku warga masyarakat yang mewujudkan tiga unsur tadi. Dalam
dinamika kehidupan kemasyarakatan, cita hukum itu akan mempengaruhi dan
berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani, norma kritik (kaedah evaluasi)
dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan,
penerapan hukum) dan perilaku hukum. Dirumuskan dan didipahaminya cita hukum
akan memudahkan penjabarannya ke dalam berbagai perangkat aturan kewenangan dan
aturan perilaku dan memudahkan terjaganya konsistensi dalam penyelenggaraan
hukum.
Pancasila dirumuskan dalam
kesatuan lima sila yang masing – masing mengungkapkan nilai fundamental dan
sekaligus juga menjadi lima asas operasional dalam menjalani kehidupan dan
bernegara serta pengembanan hukum. Kesatuan lima nilai fundamental itu
bersama-sama dengan berbagai nilai yang dijabarkan atau diderivasi mewujudkan
sebuah system nilai dan dijawantahkan kedalam berbagai asas hukum dan kaedah
hukum yang keseluruhannya mewujudkan sebuah system hukum (tata hukum). Tiap
kaedah hukum mencerminkan atau dijiwai sebuah nilai, dengan demikian tata hukum
itu mencerminkan atau bermuatan sistem nilai. Dalam esensinya sistem nilai itu
dapat dibedakan ke dalam nilai dasar (base-values) sebagai landasan dan
acuan untuk mencapai atau memperjuangkan sesuatu, dan nilai tujuan (goal-values)
sebagai sesuatu yang harus dan layak untuk diperjuangkan atau diwujudkan.
Sebagai sistem nilai Pancasila merupakan Base values sekaligus Goal
Values
Keseluruhan nilai-nilai dalam
sistem nilai Pancasila itu dipersatukan oleh prinsip “kesatuan dalam perbedaan”
dan “perbedaan dalam kesatuan” yang menjiwai struktur dasar keberadaan manusia
dalam kebersamaan itu. Prinsip yang mempersatukan itu dalam lambang Negara
Indonesia dirumuskan dalam ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika”. Dalam ungkapan
tersebut terkandung pengakuan serta penghormatan terhadap martabat manusia,
kekhasan kelompok-kelompok etnis-kedaerahan yang ada serta keyakinan keagamaan
dalam kesatuan berbangsa dan bernegara.
Dalam perspektif tersebut di
atas, maka cita hukum Pancasila berintikan: Ketuhanan YME, Penghormatan atas
martabat manusia, wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara, persamaan, keadilan
sosial, moral dan budi pekerti yang luhur, partisipasi dan transparansi dalam
proses pengambilan keputusan publik.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi
Pemerintahan konstitusional Indonesia, Studi Sosio-Legal atas Konstituante 195
-1959, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, Cet.2, 2001, Terjemahan dari judul asli
The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: a Socio-Legal Study
of the Indonesia Konstituante
——-,
Arus Pemikiran Konstitusionalisme, Hukum Tata Negara, Kataharta Pustaka, Jakarta,
Azhary,
Tahir., Negara Hukum, Suatu Study tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Edisi
Kedua, Kencana, Jakarta, 2003.
Bagir Manan, Pemikiran Negara
Berkonstitusi di Indonesia, Makalah, 1999.
Dicey, A.V., Introduction to the
study of the Law and the Constitution, Ninth Edition, MacMilland and CO, London
1952
Douglas Greenberg, Stanley N.
Katz, at.al., (Editor), Constitutionalism and Democracy, Transition in the
Contemporary World, (The American Councel of Learned Sociaties Comparative
Constitutionalism Papers), Oxford University Press, New York, 1993
Dyzenhaus, David, Legality and
Legitimacy, Carl Schmith, Hans Kelsen and Hermann Heller in Weimar, Oxord University
Press, New York, 1999.
Fleming, James, E., Securing
Constitutional Democracy, The Case of Autonomy, The University of Chicago
Press, USA, 2006
Harahap, Krisna, Konstitusi
Republik Indonesia, Grafitri Budi Utami, 2004.
Hart, H.L.A., The Concept of Law, Clarendon Law Series, Second Edition, Oxford University Press, New York, 1997
Hart, H.L.A., The Concept of Law, Clarendon Law Series, Second Edition, Oxford University Press, New York, 1997
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi
& Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi
RI, Jakarta, 2006
Laica Marzuki, Berjalan-Jalan di
Ranah Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006
Kelsen, Hans, General Theory of
Law and State, the Presiden of Fellows of Harvard College, Russel & Russel,
1961
Melvin J.Vrofsky, Introduction:
The Prinsiples of Democracy, dalam Democracy Papers. 2001.
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas,
Negara Hukum, Erlangga Jakarta, 1980
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakulats Hukum Universitas Indonesia, 2004.
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakulats Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum
Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006.
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan Hukum Indonesia, Cet. Kedua, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1976.
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan Hukum Indonesia, Cet. Kedua, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1976.
Strong, C.F.,
Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Kajian tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk
Konstitusi di Dunia, Penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusamedia, Jakarta 2004,
Diterjemahkan dari Modern Political Constitution: An Introduction to the
Comparative Study of Their Hystory and Existing Form, karya J.F.Strong,
O.B.E.,M.A.Ph.D., The English Book Society and Sidgwick & Jackson Limited,
Lonon, 1966.
Tamanaha, Brian Z, On The Rule of
Law, History, Politics, Theory, Cambridge University Press, Edisi Keempat, 2006
Wittington, Keith, E.,
Constitutional Construction, Divided Powers and Constitutional Meaning, Harvard
University Press, USA, 2001.
Zoelva, Hamdan, Impeachment
Presiden. Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945,
Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
[2]
Ensiklopedia Pancasila, 1995, halaman 274.
[6]
Yang dimaksud dengan “sistem hukum nasional adalah suatu sistem hukum yang
berlaku di Indonesia dengan semua elemennya serta saling menunjang satu dengan
yang lain dalam rangka mengantisipasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Penjelasan Pasal 17
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
[7]
Azhary, Tahir., Negara
Hukum, Suatu Study tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Edisi Kedua,
Kencana, Jakarta, 2003.halaman 8
[8] Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas, Negara Hukum,
Erlangga Jakarta, 1980
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakulats Hukum Universitas Indonesia, 2004.
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakulats Hukum Universitas Indonesia, 2004.
[9]
Tamanaha,
Brian Z, On The Rule of Law, History, Politics, Theory, Cambridge University
Press, Edisi Keempat, 2006, halaman 91-100.
[10]
Ibid, halaman 10
[11]
Ibid halaman 32
[12]
Ibid, halamanm 32-35
[13] Jimly Asshiddiqi, Konstitusi &
Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI,
Jakarta, 2006
[14]Dicey, A.V.,
Introduction to the study of the Law and the Constitution, Ninth Edition,
MacMilland and CO, London 1952, halaman 14
12 komentar:
Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia, merupakan Maha karya pendahulu bangsa yang tergali dari jati diri dan nilai-nilai adi luhur bangsa yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Dengan berbagai kajian ternyata di dapat beberapa kandungan dan keterkaitan antara sila tersebut sebagai sebuah satu kesatuan yang tidak bisa di pisahkan dikarenakan antar sila tersebut saling menjiwai satu dengan yang lain. Ini dengan sendirinya menjadi ciri khas dari semua kegiatan serta aktivitas desah nafas dan jatuh bangunnya perjalanan sejarah bangsa yang telah melewati masa-masa sulit dari jaman penjajahan sampai pada saat mengisi kemerdekaan.Ironisnya bahwa ternyata banyak sekarang warga Indonesia sendiri lupa dan sudah asingdengan pancasila itu sendiri. Ini tentu menjadi tanda tanya besar kenapa dan ada apa dengan kitasebagai anak bangsa yang justru besar dan mengalami pasang surut masalah negari ini belum bisa mengoptimalkan tentang pengamalan nilai-nilai Pancasila tersebut. Terlebih lagi saat inidengan jaman yang disepakati dengan nama Era Reformasi yang terlahir dengan semangat untuk mengembalikan tata negara ini dari penyelewengan-penyelewengan sebelumnya.
Arah dan tujuan reformasi yang utama adalah untuk menanggulangi dan menghilangkan dengan cara mengurangi secara bertahap dan terus-menerus krisis yang berkepanjangan di segala bidang kehidupan, serta menata kembali ke arah kondisi yang lebih baik atas system ketatanegaraan Republik Indonesia yang telah hancur, menuju Indonesia baru.
TUGAS MATA KULIAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS HUKUM UNTAN
REGULER B
RUANG 15
NAMA : ANGGIA ANGGRAINI
NIM : A1012131121
Nama :Rudi santoso
Nim : A1011131327
Kelas : B
Reguler : A
Mata kuliah : PENDIDIKAN PANCASILA & KEWARGANEGARAAN
Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.
Meskipun terjadi perubahan kandungan dan urutan lima sila Pancasila yang berlangsung dalam beberapa tahap selama masa perumusan Pancasila pada tahun 1945, tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.
Pancasila merupakan dasar negara serta falsafah bangsa dan negara Republik Indonesia yang terdiri atas lima sila dan mempunyai arti yaitu panca yang berarti “lima” dan sila yang berarti “dasar”. Dengan demikian pancasila artinya lima dasar.
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum indonesia, yang berwujud di dalam tertib hukumnya. Yang dimaksud dengan tertib hukum, ialah keseluruhan dari pada peraturan-peraturan hukum, yang memenuhi syarat-syarat:
a. Kesatuan subyek yang mengadakan peraturan-peraturan hukum tersebut, yang untuk Indonesia ialah Pemerintahan Republik Indonesia.
b. Kesatuan asas kerohanian yang meliputi keseluruhan peraturan-peraturan hukum itu, yang untuk indonesia ialah Pancasila.
c. Kesatuan waktu yang menetapkan saat berlaku peraturan-peraturan tersebut, yang untuk indonesia ialah sejak tanggal 18 Agustus 1945.
d. Kesatuan daerah, sebagai batas wilayah berlaku bagi peraturan-peraturan tersebut, yang untuk Indonesia ialah seluruh wilayah bekas daerah Hindia Belanda, mulai dari Sabang sampai Merauke.
Sebagai sumber hukum disini maksudnya ialah Pancasila sebagai asal, tempat setiap pembentuk hukum di Indonesia mengambil atau menimba unsur-unsur dasar yang diperlukan untuk tugasnya itu, dan merupakan tempat untuk menemukan ketentuan-ketentuan yang akan menjadi sisi dari peraturan hukum yang akan di buat, serta sebagai dasar-ukuran (maatstaf), untuk menguji apakah isi suatu peraturan hukum yang berlaku sungguh-sungguh merupakan suatu hukum yang mengarah kepada tujuan hukum negara Republik Indonesia.
Karena pertumbuhan kesadaran dan pengertian manusia Indonesia terhadap kedudukan Pancasila bagi kehidupan bernegara dan bermasyarakat serta pengalaman-pengalaman selama ini, maka dirasa perlu suatu pemantapan dan penertiban dalam masalah tertib hukum indonesia. Untuk maksud tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-royong (DPRGR), telah menyampaikan sebuah memorandum mengenai Sumber Tertib Hukum Indonesia pada tanggal 9 Juni 1996, kepada Majelis Permusyawaratan Sementara. Adapun menurut isi maksud dari memorandum tersebut dinyatakan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum bagi Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
2. Dekrit 5 Juli 1959.
3. Undang-undang Dasar Proklamasi.
4. Surat perintah 11 Maret 1966.
Pancasila dalam kedudukannya sebagai sumber dari segala sumber hukum sering disebut sebagai dasar filsafat atau ideologi Negara. Dalam pengertiannya ini pancasila merupakan suatu dasar niala serta norma untuk mengatur pemerintahan Negara. Pancasila merupakan suatu dasar untuk mengatur penyelengaraan Negara. Konsekuensinya selurh pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara terutama segala peraturan perundang=undangan termasuk proses reformasi dalam segala bidang dewasa ini dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila. Maka Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, Pancasila merupakan kaidah hukum Negara yang secara konstitusional mengatur Negara beserta seluruh unsur-unsurnya.
Nama :SUHARIYANTO
Nim : A1011131301
Kelas : B
Reguler : A
Mata kuliah : PENDIDIKAN PANCASILA & KEWARGANEGARAAN
Pancasila yang merupakan lima aksioma yang disarikan dari kehidupan masyarakat Indonesia jelas akan mantap jika diwadahi dalam sistem politik yang demokratis, yang dengan sendirinya menghormati kemajemukan masyarakat Indonesia. Pemilihan umum, salah satu sarana demokrasi yang penting, baru dipandang bebas apabila dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Peranan Pancasila dalam era reformasi harus nampak sebagai paradigma ketatanegaraan, artinya Pancasila menjadi kerangka pikir atau pola pikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai Dasar Negara. Pancasila sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini berarti bahwa setiap gerak langkah bangsa dan negara Indonesia haru selalu dilandasi oleh sila-sila yang terdapat dalam Pancasila. Sebagai negara hukum setiap perbuatan, baik dari warga masyarakat, maupun dari pejabat-pejabat dan jabatan-jabatan harus berdasarkan hukum yang jelas. Jadi hukum yang dibentuk tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Nama : Zulhaidhah Pajari
NIM : A1011141137
Kelas : C
Mata Kuliah : Ilmu Negara
Semester : 1
Mahasiswi Reguler A FH UNTAN
Hukum dalam hubungannya dengan Cita Hukum (rechtsidee) mengandung pula suatu pedoman dan suatu ukuran umum tentang apa yang harus dilihat sebagai hukum di dalam budaya yang bersangkutan. Cita Hukum dalam dirinya adalah merupakan sesuatu yang di dalamnya mengandung unsur-unsur yang emosional – ideal, yang batasan rasionalnya tidak pasti. Pengertian dari konsepsi hukum yang berusaha mewujudkan Cita Hukum harus memenuhi tuntutan bahwa hal tersebut dapat dikerjakan. Untuk itu diperlukan unsur-unsur dari konsepsi hukum yang dapat dinilai dan merupakan sesuatu yang rasional.
Unsur-unsur yang rasionil dari Cita Hukum tersebut, mengendap menjadi suatu konsepsi hukum, yang memungkinkan disusun suatu pengertian hukum umum (allgemein Rechtsbegriff) menurut apa yang dikandung dan dimaksud oleh Cita Hukum yang bersangkutan. Unsur-unsur konsepsi hukum ini, adalah merupakan unsur-unsur yang di dalam mengandung bahan-bahan dasar idiil tentang aturan-aturan hukum selanjutnya yang diperlukan. Bahan-bahan idiil yang tersimpan di dalam unsur-unsur konsepsi hukum tersebut merupakan apa yang disebut dengan asas-asas hukum, yaitu pikiran dasar atau yang fundamentil dari hukum yang bersangkutan.
Dengan dan dari asas-asas hukum ini selanjutnya disusun segala aturan-aturan hukum yang diperlukan secara tertib dan tetap dalam hubungan persenyawaan dengan Cita Hukum. Kemudian dalam menyusun aturan selanjutnya dari dan di atas asas-asas tersebut, masih harus melalui suatu ide yang merupakan kerangka dari aturan-aturan yang akan disusun selanjutnya. Ide tersebut adalah ide yang dapat terbentuk sebagai endapan dari asas-asas hukum yang bersangkutan. Ide yang mendasari tersebut dapat dibedakan dalam dua ide. Yang pertama ialah ide sosial dan yang kedua ialah ide negara (Staatsidee).
Salah satu dari staatsidee ini adalah yang perlu disebutkan yaitu adanya ide negara hukum rechtstaat, seperti yang dimiliki Indonesia melalui UUD 1945. Artinya semua badan-badan Negara yang menjalankan kekuasaan pemerintahan harus dibentuk berdasarkan hukum yang berlaku dan dalam menjalankan kekuasaannya pun semua badan-badan tersebut harus berpedoman kepada aturan hukum. Dalam Negara hukum Indonesia maka semua aturan yang dibuat itu harus bersumber dari dan menggambarkan cita hukum Pancasila tadi. Dengan begitu segala perangkat aturan yang dikeluarkan negara hukum berarti harus berada dalam persenyawaan dengan isi Cita Hukum Pancasila yang membentuknya itu.
Cita hukum Pancasila secara gamblang dapat dilihat dalam pasal 33 UUD yang berbunyi:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
NAMA:MAHESA ARYO BIMO
NIM:A1011171049
KELAS:A (REGULER)
SEMESTER:1
bismilahirrahmanirrohim
Berbicara mengenai Pancasila sebagai Cita Hukum,kita harus ingat kembali bahwa negara kita adalah negara hukum,negara yang menjunjung tiggi Hukum.Dan dari hal itu Pancasila lah yang menjadi dasar segala sumber hukum negara.
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara berarti segala bentuk hukum di Indonesia harus diukur menurut nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, dan didalam aturan hukum itu harus tercermin kesadaran dan rasa keadilan yang sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup bangsa. Hukum di Indonesia harus menjamin dan menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan pencerminan Pancasila dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam batang tubuh UUD 1945 serta penjelasannya. Dengan demikian ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari UUD 1945.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Pembukaan UUD sebagai nilai-nilai yang sudah mengakar dalam kehidupan bangsa Indonesia dan harus menjadi landasan dalam menetukan arah kebijakan dan aturan dalam menjalankan pemerintahan. Penentuan arah dan kebijakan tersebut harus dikawal oleh produk hukum yang berlandaskan kepada Pancasila. Pembentukan produk hukum merupakan konsekwensi logis dari prinsip negara hukum yang disandang Indonesia.
Apabila penjelasan UUD 1945 menggariskan, bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan mewujudkan cita hukum , dan pokok-pokok pikiran dalam
Pembukaan itu ialah persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial atau disingkat persatuan, keadilan bagi seluruh rakyat, kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan, dan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, maka pokok-pokok pikiran itu tidak lain melainkan Pancasila. Dengan demikian maka pokok-pokok pikiran yang mewujudkan Cita Hukum itu ialah Pancasila.
Hukum dalam hubungannya dengan Cita Hukum (rechtsidee) mengandung pula suatu pedoman dan suatu ukuran umum tentang apa yang harus dilihat sebagai hukum di dalam budaya yang bersangkutan. Cita Hukum dalam dirinya adalah merupakan sesuatu yang di dalamnya mengandung unsur-unsur yang emosional , yang batasan rasionalnya tidak pasti. konsepsi hukum yang berusaha mewujudkan Cita Hukum harus memenuhi tuntutan bahwa hal tersebut dapat dikerjakan.
Adapun Indonesia sebagai negara hukum setiap perbuatan, baik dari warga masyarakat, maupun dari pejabat-pejabat dan jabatan-jabatan harus berdasarkan hukum yang jelas. Jadi hukum yang dibentuk tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Terimakasih
NAMA : DWI ARNIZA
NIM : A1011171027
KELAS : A (REG A)
SEMESTER: 1
MATA KULIAH : PENDIDIKAN PANCASILA
assalamualaikum wr. wb
Pancasila sebagai cita hokum dalam kaitannya dengan reformasi yang berarti pancasila sebagai paradigma reformasi atau adalah dimana apabila terjadi suatu perubahan kedepannya maka asumsi-asumsi dasar atau nilai-nilai yang mendukung perubahan tersebut haruslah selalu berlandaskan pada pancasila.
Bangsa Indonesia ingin mengadakan suatu perubahan, yaitu menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara demi terwujudnya masyarakat madani yang bermatabat kemanusiaan yang menghargai hak-hak asasi manusia, masyarakat yang demokratis yang bermoral religius serta masyarakat yang bermoral kemanusiaan dan beradab.
Berbagai gerakan muncul disertai dengan akibat tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan dan menelan banyak korban jiwa dari anak-anak bangsa sebagai rakyat kecil yang tidak berdosa dan mendambakan perdamaian ketenteraman serta kesejahteraan.
Namun demikian di balik berbagai macam keterpurukan bangsa Indonesia tersebut masih tersisa satu keyakinan akan nilai yang memilikinya yaitu nilai-nilai yang terakar dari pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri yaitu nilai-nilai Pancasila. Reformasi adalah menata kehidupan bangsa dan negara dalam system Negara di bawah nilai-nilai Pancasila, bukan menghancurkan dan membubarkan bangsa dan negara Indonesia.
Bahkan pada hakikatnya reformasi itu sendiri adalah mengembalikan tatanan kebenaraan kearah sumber nilai yang merupakan Platform kehidupan bersama bangsa Indonesia, yangselama ini diselewengkan demi kekuasaan sekelompok orang baik pada masa orde lama maupun orde baru. Oleh karena itu proses reformasi walaupun dalam lingkup pengertian reformasi total harus memiliki platform dan sumber nilai yang jelas merupakan arah, tujuan, serta cita-cita yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Reformasi dengan melakukan perubahan dalam berbagai bidang yang sering diteriakkan dengan jargon reformasi total tidak mungkin melakukan perubahan terhadap sumbernya itu sendiri. Oleh karena itu justru sebaliknya reformasi itu harus memiliki tujuan, dasar, cita-cita serta platform yang jelas dan bagi bangsa Indonesia Nilai-nilai Pancasila itulah yang merupakan paradigma Reformasi Total tesebut.
sekian dari saya
terimakasih, assalamualaikum. wr. wb
Nama : ADEA WALDUANDA
Nim : A1011171054
Kelas: A ( Reguler A )
Prodi: Ilmu Hukum
Fakultas : Hukum
Mata kuliah : Pendidikan Pancasila
Semester : 1
Assalamualaikum wr. wb.
Terima kasih sebelumnya kepada bapak Turiman SH, M.Hum yang telah memposting artikel ini dan juga bersedia mengungkap fakta dibalik peristiwa sejarah. Saya terkesan dengan artikel ini,setelah saya baca keseluruhan artikel ini sangat bermanfaat bagi saya selaku mahasiswa semeseter 1 dan teman pembaca yang lainnya.
Berdasarkan artikel tentang "Memahami Pancasila sebagai Cita Hukum Dalam Kaitannya Dengan Reformasi Hukum " yang saya baca di atas, saya menarik kesimpulan serta mendapat pengertian baru tentang pancasila yaitu;
Penempatan Pancasila sebagai sumber Hukum Negara untuk memberikan kesepahaman tentang Pancasila sebagai sumber hukum negara dalam kapasitas sebagai cita hukum, maka kita menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terpaparkan dengan jelas pada pasal 2 yang menyatakan Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum Negara.
Memahami Pancasila sebagai Cita Hukum Dalam Perspektif Lambang Negara
Dapat dipahami melalui hubungan antara Pancasila dengan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan atau pertanyaannya adalah apa hubungan antara Pancasila dengan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan Seperti yang sebagaimana kita ketahui, bahwa sila-sila Pancasila divisualisasikan secara semiotika hukum didalam lambang negara, yakni pada perisai Pancasila, maka diperlukan satu pemahaman terhadap pembacaan Pancasila sebagai cita hukum atau sebagai sumber segala sumber hukum negara berdasarkan lambang negara dengan pendekatan semiotika hukum.
Memahami Konsep Hirarki Norma Hukum
kita dapat memahami hirarki peraturan perundang-undangan, maka secara teks hukum negara yang dimaksud dengan hirarki. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan pada penjelasan pasal 7 ayat (2) menyatakan, bahwa dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pancasila sebagai Cita Hukum Dalam Era Reformasi merupakan sebuah cita bangsa Indonesia serta Konsep Negara Hukum Indonesia yang berkeadilan dan mengepentingkan kepentingan rakyat.
Itulah pancasila, negara kita yang penuh keragaman disatukan oleh Sebuah Dasar Negara yaitu Pancasila yang menjadi cikal bakal terbentuknya Bangsa yang besar ini. Sesuai dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" boleh berbeda tapi tetap satu, negara kita adalah negara dengan berbagai keberagaman yang disatukan oleh PANCASILA. Negara kita Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang penuh dengan kekayaan serta keragaman budaya, ras, suku bangsa, kepercayaan, agama, bahasa daerah, dan masih banyak lainnya. Meskipun penuh dengan keragaman budaya, Indonesia tetap satu sesuai dengan semboyan nya, Bhineka Tunggal Ika yang artinya "boleh berbeda tapi tetap satu". Keragaman budaya turut serta didukung oleh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah wilayah-wilayahnya oleh lautan.
Sekian dan Terimakasih
Wassalamualaikum wr. wb.
NAMA :HERI SURAHMAN
NIM :A1011171022
KELAS :A (REGULER)
SEMESTER :1
MATA KULIAH :PENDIDIKAN PANCASILA
Assalamualaikum wr, wb.
memebaca artikel ini memeberikan pandangan baru terhadap saya mengenai pancasila dan kaitannya dengan reformasi, dalam masa reformasi seperti saat ini pancasila sebagai cita hukum hukum bangsa indonesia yang memeiliki berbagai fungsi yang dapat di jdikan pedoman oleh pemerintahan dalam penegakan hukum. kerena pancasila pada hakekatnya sebagai sumber dari segala hukum yang berlaku di indonesia dan juga berarti segala bentuk hukum di Indonesia harus diukur menurut nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, dan didalam aturan hukum itu harus tercermin kesadaran dan rasa keadilan yang sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup bangsa. hukum di indonesia harus menjamin dan menegakan dari nilai nilai pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan cerminan dari pancasila.
Dalam artikel tersebut saya menyimpulkan bahwa pancasila sebagai paradigma hukum indonesia untuk mendapatkan cita hukum yang di dinginkan. hukum dalam hubungannya dengan rechtsidee (cita hukum) mengandung pula suatu pedoman dan suatu tolak ukur tentang apa yang harus dilihat oleh hukum di dalam budaya yang bersangkutan. Cita Hukum dalam dirinya adalah merupakan sesuatu yang di dalamnya mengandung unsur-unsur yang ideal dan rasional, yang batasan rasionalnya tidak pasti. Pengertian dari konsepsi hukum yang berusaha mewujudkan Cita Hukum harus memenuhi tuntutan bahwa hal tersebut dapat dilaksanakan. Untuk itu diperlukan unsur-unsur dari konsepsi hukum yang dapat dinilai dan merupakan sesuatu hal yang rasional. pancasila akan selalu beriringan dngan hukum yang ebrlaku karena dalam hukum atau aturan harus sesuai dengan nilai-nialai pancasila, kita sebagai henerasi penerus bangsa sudah searusnya gara menjunjung tinggi pancasila dan menaati aturan-aturan hukum yang berlaku, dan sudah sepantasnya kita semua selalu bercermin terhdap nilai nilai pancasila.
Sekian dan Terimakasih
Wassalamualaikum wr. wb.
Nama : Dewi
Nim : A1011181002
Kelas: A(reguler)
Semester : 1
Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila
Assalammualaikum wr wb
Sebelum nya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pak turiman sebagai dosen pendidikan pancasila yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan bagi saya. Dengan membaca artikel ini saya mengetahui banyak tentang lambang dan pancasila sebagai dasar atau cita hukim negara. Pancasila dibuat dengan penuh ketelitian, karena pancasila diambil dari tujuan dan budaya bangsa digali dari nilai luhur bangsa indonesia. Kita tahu bahwa pancasila yang berisikan 5 sila yang saling berhubungan. Berdasarkan penjelasan Sultan Hamid II, bahwa Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah terpenting sebagai pertahanan bangsa, mengapa karena dengan sila kesatu, bangsa Indonesia bisa bertahan maju kedepan, makna yang tersirat dan tersurat, adalah landasan moral relegius, artinya: Pancasila pada hakikatnya adalah negara kebangsaan yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Landasan pokok sebagai pangkal tolak, paham tersebut adalah Tuhan adalah Sang Pencipta segala sesuatu kodrat alam semesta, keselarasan antara mikro kosmos dan makro kosmos, keteraturan segala ciptaan Tuhan Yang Maha Esa kesatuan saling ketergantungan antara satu dengan lainnya, atau dengan lain perkataan kesatuan integral.
Mengapa Sultan Hamid II menggunakan konsep thawaf dalam membaca Pancasila,itu juga merupakan pengetahuan yang tidak didapatkan dari artikel yang lain,namun didalam artikel ini dijelaskan dari sudut pandang negara agama dan lain nya, kemudian pada bagian lain Sultan Hamid II menyatakan: patut diketahui arah simbolisasi ide Pancasila itu saja mengikuti gerak arah ketika orang "berthawaf"/berlawanan arah jarum jam/"gilir balik" kata bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke simbol sila kedua dan seterusnya, karena seharusnya seperti itulah sebagai bangsa menelusuri/menampak tilas kembali akar sejarahnya dan mau kemana arah bangsa Indonesia ini dibawa kedepan agar tidak kehilangan makna semangat dan jati dirinya ketika menjabarkan nilai-nilai Pancasila yang berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanya, seperti berbagai pesan pidato Paduka yang Mulia disetiap kesempatan. Itulah kemudian saja membuat gambar simbolisasi Pancasila dengan konsep berputar-gerak "thawaf"/gilir balik kata bahasa Kalimantan sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun kedepan perjalanan bangsa Indonesia yang kita inginkan.Saya mengambil kesimpulan dari artikel tersebut bahwa Cita hukum (Rechtsidee) mengandung arti bahwa pada hakekatnya hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta dan pikiran masyarakat itu sendiri. Jadi cita hukum adalah gagasan, karsa, cipta dan pikiran berkenaan dengan hukum atau persepsi tentang makna hukum, yang dalam intinya terdiri atas tiga unsur; yaitu keadilan, kehasilgunaan (doelmatigheid) dan kepastian hukum. Cita hukum itu terbentuk sebagai produk berpadunya pandangan hidup, keyakinan keagamaan dan kenyataan kemasyarakatan yang diproyeksikan pada proses pengkaedahan perilaku warga masyarakat yang mewujudkan tiga unsur tadi. Dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan, cita hukum itu akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani, norma kritik (kaedah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan, penerapan hukum) dan perilaku hukum. Dirumuskan dan didipahaminya cita hukum akan memudahkan penjabarannya ke dalam berbagai perangkat aturan kewenangan dan aturan perilaku dan memudahkan terjaganya konsistensi dalam penyelenggaraan hukum.
Mungkin hanya itu yang dapat saya sampaikan semoga bapak dapat membuat artikel yang lebih baik lagi dan dapat bermanfaat untuk seluruh pembaca
Terima Kasih
Wassalammualaikum wr wb
Data pribadi
negara Indonesia
Nama: Susilowati efi
Alamat: jl.kincir 2 no.20 rt 8 rw 6
Telepon: +6282385590743
WhatsApp: +6282385590743
e_mail: susilowatinov79@gmail.com
Sudah dua tahun sekarang saya telah memberikan kesaksian tentang bagaimana saya meminjam 800 juta dari Perusahaan Pinjaman rossa stanley dan beberapa orang meragukan saya karena tingkat kegembiraan saya dapat membuktikan kepada Anda semua bahwa Bunda rossa stanley bukan pemberi pinjaman yang curang. Ia memiliki memberi saya satu hal lagi untuk tersenyum karena setelah menyelesaikan angsuran pinjaman bulanan yang saya pinjam sebelum saya memohon ibu saya bahwa saya ingin pergi untuk ekspansi bisnis lebih lanjut sehingga saya menyerah 2,8 miliar setelah melalui proses hukum transaksi saya disetujui oleh pihak berwenang dan dalam tiga hari proses hukum untuk menyalurkan pinjaman saya ke rekening Bank Central Asia saya mudah dicapai. Saya tidak memiliki tantangan dengan Bank Indonesia karena Mrs. rossa dan tim Manajemen rossastanleyloancompany@gmail.com telah dianggap sebagai pemberi pinjaman yang sah sehingga tidak ada masalah sama sekali untuk bantuan keuangan, hubungi Pemberi Pinjaman rossastanleyloan hari ini
e_mail: [rossastanleyloancompany@gmail.com]
Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.
Dengan adanya video tersebut membuat kita sadar bahwa sebuah perbedaan bukan halangan untuk mencapai persatuan justru dengan adanya perbedaan menjadi sebuah kebanggan bagi diri kita sendiri bahwa Negara Republik Indonesia ini amat kaya dengan berbagai kultur budaya dan bahasa sehingga kita dapat menunjukkan kepada negara lain bahwa Indonesia merupakan Negara yang besar serta mampu bersaing dengan Negara lainnya. Kita sebagai penerus bangsa harus tetap menjunjung tinggi persatuan Indonesia dan mengantisipasi segala bentuk perpecahan demi tercapainya keinginan bersama, Meskipun tantangan yang akan datang bermacam - macam tetapi kita harus yakin bangsa Indonesia mampu untuk melewatinya bersama karena dengan adanya persatuan diantara satu dengan yang lainnya dapat menunjang di segala aspek kehidupan baik dalam bidang ekonomi, politik maupun sosial agar Indonesia menjadi Negara yang maju dan mampu mencapai cita - cita bangsa
#MajuBersamaHebatSemua
nama :toni
nim:A1011201051
Nama : Dewi Anjelita
Nim : A101120139
Kelas: A(reguler)
Semester : 1
Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila
Assalammualaikum wr wb
Sebelumnya saya ucapkan terimakasih kepada bapak yang telah memberikan materi tentang pendidikan Pancasila ini,kami sebagai mahasiswa sangat memerlukan pendidikan Pancasila ini karena Pancasila merupakan dasar negara Indonesia,kita sebagai warga negara Indonesia patut bangga kepada negara kita yang kaya akan kamajemu kan nya yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu, Indonesia merupakan negara yang kaya akan alamnya tinggal kita sebagai sumber daya manusia melestarikan kan nya dan memanfaatkan kan dengan baik dan benar agar Indonesia bisa menjadi negara yang maju, keberadaan budaya ras,etnis dan agama itu lah yang merupakan salah satu keunggulan Indonesia,maka dari itu kita harus mempunyai sikap toleransi antar umat beragama dan lain nya bisa saling hormat dan menghormati agar Indonesia bisa tetap damai dan jaya, politik di Indonesia juga harus di tingkatkan keadilan nya jangan sampai melakukan hal yang kotor karena kita sudah mempunyai undang-undang dan Pancasila yang sudah tertuang semua nilai Agama dan keadilan nya.
Saya ucapkan terimakasih.
Posting Komentar