Mengapresiasi RUU Wawasan Nusantara Untuk Memperkuat Prinsip Bhinneka Tunggal Ika
Oleh Turiman Fachturahman Nur
(Moderator FGD RUU Wawasan Nusantara PPUU DPD RI dan UNTAN
Pusat Kajian Hukum Dan
Pemerintahan Daerah UNTAN) ,Pontianak 11 Mei 2015)
1.Kronologis Lahirnya
RUU Wawasan Nusantara
Sebenarnya kita pahami bersama bahwa subtansi
atau materi muatan Rancangan Undang-Undang (RUU) Wawasan Nusantara hakekatnya
memberikan tawaran solusi masalah-masalah kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat. RUU Wawasan Nusantara dalam peraturan perundang-undangan
posisinya sebagai undang-undang pokok. Dimana letak fokusnya, yaitu
"Fokusnya inward looking, bukan outward looking,"
Jika kita mengulas kembali Pengertian
Wawasan Nusantara ada dua referensi Prof.Dr. Wan Usman.Wawasan Nusantara adalah
cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah airnya sebagai negara
kepulauan dengan semua aspek kehidupan yang beragam
Kelompok kerja LEMHANAS 1999.Wawasan
Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan
lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan
persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan
nasional. Sedangkan pengertian yang digunakan sebagai acuan pokok
ajaran dasar Wawasan Nusantara sebagai geopolitik Indonesia adalah: cara
pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba
beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan
wilayah dengan tetap menghargai dan menghormati kebhinekaan dalam setiap aspek
kehidupan nasional untuk mencapai tujuan nasional
Berdasarkan pandangan di atas, bahwa latar
belakang wawasan nusantara adalah, bahwa bentuk pembangunan sebuah
bangsa dalam membina dan menyelenggarakan tata hidup bangsa dan negara yang
meliputi baik tata negara (sistem pembinaan negara dan bangsa) maupun tata
budaya (sistem pembinaan budi pekerti masyarakat bangsa), dan tata hukum
(sistem pembinaan hukum dan Peraturan Perundang-undangan), sebenarnya merupakam
cermin dari Wawasan Nusantara. Dengan demikian, Wawasan Nusantara merupakan
paradigma suatu Bangsa dalam merancang seluruh aspek tatanan hidup dan
kehidupan dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional.
Bagi bangsa Indonesia pemikiran tentang Wawasan Nusantara, mula pertama
terasa penting dan mendesak dalam rangka usaha mengembangkan konsepsi Ketahanan
Nasional. Oleh sebab itulah pengkajian dan pembahasan serta perumusan
konsep-konsep Wawasan Nusantara perlu mendapat penguatan dan kepastian hukum
guna diimplementasikan dalam setiap ruang gerak masyarakat, bangsa, dan negara
guna mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945.
Pembahasan dan pengkajian mengenai Wawasan
Nusantara secara konseptual akan menunjukkan bahwa untuk dapat menyelenggarakan
dan meningkatkan kelangsungan hidup bangsa Indonesia memerlukan suatu konsepsi
nasional yang merupakan ajaran tentang Wawasan Nusantara. Ajaran inilah yang
akan menjadi landasan dan pedoman kebijakan nasional disegala segi kehidupan,
yang lebih jelas terumuskan dari apa yang bersifat asas-asas filosofis dalam
kelima sila Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta tidak kalah
pentingnya adalah jiwa yang terkandung dalam lambang Bhinneka Tunggal Ika.
Wawasan Nusantara sebagai cara pandang bangsa
Indonesia dalam melihat diri dan lingkungannya sebenarnya pernah dirumuskan
dalam konteks hukum dan Peraturan Perundang-undangan ketika UUD 1945 belum
diamandemen. Konsepsi Wawasan Nusantara pada waktu itu telah diterima dan
dirumuskan dalam konstruksi hukum sebagai konsepsi politik ketatanegaraan
melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 dan dinyatakan kembali dalam Tap MPR
Nomor IV/MPR/1978, serta yang terakhir dalam Tap MPR Nomor II/MPR/1983 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara.
Setelah proses tahapan
amandemen UUD 1945 dilakukan sebanyak 4 (empat) pasca reformasi 1998 kewenangan
MPR untuk menetapkan GBHN telah dipangkas, sehingga konsepsi Wawasan Nusantara
tersebut menjadi tidak jelas perumusannya dalam produk hukum sehingga
implementasinya tidak memiliki kekuatan hukum. Hal ini tentu mengakibatkan
Konsepsi Wawasan Nusantara yang masih relevan dalam rangka mewujudkan cita-cita
dan tujuan nasional menjadi tidak jelas lagi keberadaannya. Suatu bangsa akan
mengalami kegagalan manakala tidak memiliki wawasan dalam bersikap dan
bertindak. Oleh sebab itu perumusan dan/atau pembentukan RUU tentang Wawasan
Nusantara yang menjadi relevan untuk segera dilaksanakan.
Tujuan RUU wawasan
nusantara adalah a.Sebagai pengganti ketiadaan Ketetapan MPR yang di dalamnya
merumuskan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai landasan bagi sikap dan tindak
negara dan bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional
sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945; b Memperkuat dan
mengintegrasikan cara pandang bangsa Indonesia yang secara sosiologis memiliki
keberagaman; c.Memberikan landasan bagi bangsa dan negara Indonesia dalam
menentukan kebijakan-kebijakan nasional; d. Memperkuat ketahanan nasional
melalui penguatan dan perumusan norma-norma hukum yang merangkum nilai-nilai
Pencasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika (empat Pilar); dan
e.Memperkuat asas nasionalitas bagi rakyat Indonesia.
Latar belakang yang relevan terhadap RUU
ini adalah mengingat negara Republik Indonesia mengalami perubahan yang
dinamis, termasuk penyelenggaraan pemerintahannya serta dari sentralisasi ke
desentralisasi, maka konsepsi wawasan nusantara mulai memudar. Perubahan
tersebut berpengaruh terhadap cara pandang. Oleh karena itu perlu adanya
rekonstruksi wawasan nusantara yang komprehensif untuk diterjemahkan dalam
materi muatan RUU Wawasan Nusantara sebagai cara pandang yang utuh.
Sesungguhnya secara konsepsional konsep wawasan nusantara dikenal sebagai
geopolitik, yaitu Republik Indonesia sebagai negara kepulauan, di antara dua
benua dan samudera yang selanjutnya disebut nusantara, serta keunikan
wilayahnya di khatulistiwa. Jika ditarik secara filosofis ke dalam kedaulatan
dan nasionalisme dalam keragaman atau kebhinnekaan, maka wawasan nusantara
menjadi keniscayaan. Jika ditarik secara sosiologis, penghilangan
garis-garis besar haluan negara (GBHN) menyebabkan wawasan nusantara tidak
mempunyai landasan, maka wawasan nusantara menjadi instrumen hukum.
Kita sebenarnya sudah memiliki sejumlah
paradigma nasional, yaitu Pancasila landasan ideal, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) landasan konstitusional, wawasan
nusantara landasan visional, ketahanan nasional landasan konsepsional, dan
pembangunanan nasional landasan operasional.
Secara akademis sebenarnya
"Umat manusia memiliki sense of place yang bervariasi. Makin luhur tingkat
kebudayaan dan peradaban umat manusia makin peka sense of place, yaitu
territorial awarness, territorial atttitute, dan behaviour territoriality.
Mengapa? Karena tanah, bumi, dan ruang hidup manusia secara alamiah tidak
bertambah," . Jika kita mengutip ucapan Sukarno ketika pendirian Lembaga
Ketahanan Nasional (Lemhannas) tanggal 20 Mei 1965 bahwa "Orang tidak bisa
menyusun pertahanan yang kuat, tidak bisa membangun bangsa yang kuat, kalau
tidak berdasarkan pengetahuan geopolitik", maka, menurutnya, "Wawasan
nusantara adalah konsepsi geopolitik Indonesia,”
RUU ini lahir dan menjadi
agenda DPD RI, yakni dari ke-37 RUU yang menjadi agenda legislasi Tahun 2015,
RUU tentang Wawasan Nusantara merupakan satu-satunya RUU yang menjadi penjuru
dalam pembahasan legislasi antara DPR, DPD, dan Pemerintah.
PPUU DPD RI sebagai Alat
Kelengkapan yang disepakati untuk menyusun RUU tentang Wawasan Nusantara akan
menitikberatkan fokus pembahasan menyusun RUU tersebut. Setelah melakukan
kajian maka diantara 13 RUU Usul Inisiatif dalam list Prolegnas
Prioritas Tahun 2015, RUU Wawasan Nusantara termasuk RUU Prioritas yang sangat
penting keberadaannya demi integritas bangsa. Dan, Lemhanas dianggap sebagai
lembaga strategis dalam menyusun naskah akademik, sehingga DPD RI mengupayakan
lembaga pertahanan nasional mampu berdiri sebagai lembaga pengawas kebijakan di
Indonesia.
PUU DPD RI berpandangan bahwa sebagai bangsa
Indonesia yang berdaulat dan mempunyai keanekaragaman budaya, perlu mengangkat
nilai-nilai lokal. Dan untuk memantapkan sikap nasionalisme yang tinggi maka
pengetahuan tentang wawasan nusantara perlu dinormakan ke dalam bentuk
peraturan perundang-undangan,” sebagai bangsa yang besar Indonesia memiliki
keanekaragaman budaya yang menjadi identitas dari bangsa Indonesia, sehingga
diperlukan pemahaman atas Wawasan Nusantara sebagai nilai dasar Ketahanan
Nasional serta sebagai pemersatu keragaman budaya bangsa.
RUU Wawasan Nusantara sangat penting dalam
kehidupan berbangsa karena tidak sekadar cara pandang bangsa Indonesia tentang
diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis, tapi juga
berdasarkan ideologi nasionalnya yang harus dapat diimplementasikan dalam satu
kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Sehingga wawasan
nusantara terejawantahkan ke dalam dan keluar.
Pandangan tersebut selaras dengan
pandangan Rubaeti Erlita (Senator Perwakilan Prov. Kalimantan Barat),
mengharapkan bahwa RUU Wawasan Nusantara bisa menjadi payung hukum dalam
mensinergikan kedaulatan bangsa dalam khazanah keragaman sebagai bagian dari
perjuangan menyatukan bangsa dalam visi yang sama dengan kerangka Wawasan
Nusantara. Sementara, pandangan Sekretaris Utama Lemhanas RI, Suhardi Alius
menyambut baik kerjasama Komite II DPD RI dengan Lemhanas, dan akan menyiapkan
Tim untuk menyusun naskah akademik disertai dengan penjadwalan rapat-rapat
koordinasi serta konsultasi.
Jika kita petakan secara seksama
sebenarnya ada sejumlah pakar komitmen untuk mendukung penyusunan Rancangan
Undang-Undang tentang Wawasan Nusantara yang merupakan inisiatif Panitia
Perancang Undang-Undang (PPUU) Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD
RI).
Dukungan itu terungkap dalam rapat
dengar pendapat umum (RDPU) bersama staf pendidik Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada (FH UGM) Prof Dr Sudjito SH Msi, staf pendidik Fakultas Ilmu Sosial
Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Prof Dr Burhan Djabir Magenda MA,
dan Rektor Universitas Pertahanan (Unhan) Laksamana Madya TNI Dr Desi Albert
Mamahit MSc. Burhan Djabir Magenda mengatakan, Deklarasi Djuanda tanggal 13
Desember 1957, yang dicetuskan Perdana Menteri (PM) Djuanda Kartawidjaja,
menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan
(archipelagic state). Sebelum Deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik
Indonesia mengacu pada ordonansi Hindia Belanda tahun 1939, yaitu Teritoriale
Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939).
"Dengan prinsip negara kepulauan,
tercakup pula wawasan Nusantara sebagai wawasan nasional yang melandasi
kehidupan dan penghidupan kita. Wawasan ini dasar bagi program pembangunan Orde
Baru dan Orde Lama," katanya dalam rapat yang diketuai oleh Ketua PPUU DPD
I Wayan Gede Pasek Suardika di Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta,
Selasa (27/1), seperti rilis yang diterima NU Online. “Prinsip
wawasan Nusantara ini, tambahnya, masih dan akan tetap relevan. Maka, usulan
PPUU DPD untuk mengajukan RUU Wawasan Nusantara adalah masih memiliki relevansi
saat ini. “Dengan begitu, diharapkan ada landasan hukum yang memberikan arah
kehidupan dan penghidupan kita kini dan nanti,"
Wawasan Nusantara sebagai wawasan
nasional untuk mencapai tujuan pembangunan nasional tersebut merupakan dasar
program Pembangunan Nasional Semesta Berencana melalui Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tap MPRS) Nomor II/MPRS/1960 tentang
Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana zaman Presiden
Soekarno serta Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor
II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara zaman Presiden
Soeharto.
Dia mengusulkan agar ruang lingkup RUU
Wawasan Nusantara, yang mencakup kesatuan politik, kesatuan sosial budaya,
kesatuan ekonomi, kesatuan pertahanan keamanan, kesatuan wilayah, kesatuan
bangsa, serta kesatuan ideologi.
Pakar lain seperti Sudjito pun
menyatakan dukungannya. Kepala Pusat Studi Pancasila UGM ini beralasan, dalam
konteks bernegara, wawasan Nusantara dikonsepkan sebagai cara pandang terhadap
bangsa sendiri. Dasar filosofisnya ialah setiap negara harus memiliki wawasan
nasional dalam menyelenggarakan kehidupan dan penghidupannya.
Desi Albert Mamahit sepaham dengan
Sudjito. Dia menekankan pada sikap bangsa Indonesia mengenai dirinya
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945). "Wawasan Nusantara merupakan pedoman bagi proses
pembangunan nasional menuju tujuan nasional. Oleh karenanya, wawasan nusantara
harus mendapat penguatan dan kepastian dalam implementasinya."
Menurut DR Hc
Turiman Fachturahman Nur Pakar hukum Tata Negara UNTAN Kalau urgensi dari
konsep Wawasan Nusantara dilatar belakangi oleh berbagai kenyataan yang terjadi
di dalam (internal) maupun di luar (eksternal atau lingkungan) diri dari Bangsa
Indonesia. “maka cita-cita untuk lebih mengenal diri, lebih mencintai negeri
serta sadar dan siap akan perubahan lingkungan (regional maupun global) dengan
berpegang atau berpedoman pada landasan filosofis (Pancasila), landasan
konstitusional (UUD NRI 1945) juga landasan yuridis (berupa peraturan
perundang-undangan yang berlaku) akan tercapai dan mengantarkan kita sebagai
bangsa yang benar-benar merdeka, berdaulat, bermartabat dan mensejahterakan
segenap bangsa dan negara.Wawasan Nusantara yang benar harus fokus dengan inward
looking tetapi harus pula tetap memperhatikan outward looking (melihat
keluar),”
Yang terpenting dalam rumusan
tentang konsideran. Khususnya dalam konsideran RUU bagian “Menimbang” Saya
berpendapat memandang bahwa landasan filosofis dan landasan sosiologis yang
mendorong dibentuknya RUU Wawasan Nusantara ini, Wawasan Nusantara di bidang
hukum merupakan perwujudan NKRI sebagai sebuah Negara Hukum yang khas Indonesia
dengan satu kesatuan sistem hukum nasional yang mencirikan suatu Negara
Nusantara yang berkebhinekaan agama, hukum adat dan budaya,
sehingga merupakan hukum nasional yang modern sesuai dengan perkembangan global
yang berkearifan lokal,” itulah makna sebenarnya kebhinekaan tunggal Ika
“keragaman dalam persatuan dan persatuan dalam keragaman.
Saya sebagai
pemerhati kehidupan hukum dan kenegaraan sangat setuju dan mendukung upaya
membentuk undang-undang Wawasan Nusantara ini. “Adanya upaya Pemerintah untuk
membentuk undang-undang tentang Wawasan Nusantara, menurut saya sangat tepat,”
Mengapa karena urgensi RUU Wawasan Nusantara ini terlihat bukan hanya
karena masalah letak geografis strategis Indonesia tetapi juga karena situasi
dunia global yang sangat rentan. Aspek filosofis, Ideologi, budaya hingga
kondisi sosio ekonomi juga jadi faktor yang harus diperhitungkan.
2.RUU Wawasan Nusantar
Memperkuat Prinsip Bhinneka Tunggal Ika
Berkaitan dengan aspek filosofis maka
perlu dipertanyakan apakah relevansi RUU Wawasan Nusantara dengan Prinsip
Bhinneka Tunggal Ika. Untuk memahami ini perlu diulas lebih dahulu makna
bhinneka tunggal ika sebagaimana paparan berikut ini.
Semboyan atau seloka Bhinneka
Tunggal Ika yang tertulis didalam
pita berwarna
dasar putih yang dicengkram oleh cakar Elang Garuda
Pancasila adalah semboyan yang berasal bahasa Jawa Kuno. Perkataan Bhinneka itu
adalah gabungan dua perkataan: Bhinnadan Ika.
Kalimat itu seluruhnya dapat disalin: Keragaman dalam persatuan dan Persatuan
dalam keragaman. Frase ini sangat dalam makna artinya, karena
menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, walaupun keluar
memperlihatkan perbedaan atau keragaman. Kalimat itu telah tua dan pernah
dipakai oleh pujangga ternama Empu Tantular dalam buku Sutasoma dan
negarawan Prabu Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada di zaman
peradapanMajapahit pada abad XIV.
Prase Bhinneka Tunggal Ika telah
sama-sama diakui dan dirasakan mempunyai "kekuatan" untuk
menyatukan, mengutuhkan dan meneguhkan bangsa Indonesia yang majemuk atau
disebut sebagai salah satu sarana pengintegrasi bangsa Indonesia atau sebagai
jatidiri bangsa Indonesia.
Berhasilnya pemimpin bangsa kita untuk menggali dan menetapkan sebagai
semboyan di dalam bagian lambang negara adalah karya besar yang tak ternilai,
tetapi ada pertanyaan yang perlu diajukan, siapakah yang menempatkan semboyan
tersebut pada bagian lambang negara dan apa latar belakang pemikirannya?
Merujuk kepada keterangan Mohammad Hatta dalam
bukunya Bung Hatta Menjawab, 1979, disebutkan bahwa semboyan
"Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno, setelah merdeka semboyan
itu diperkuat dengan lambang yang dibuat Sultan Abdul Hamid
Pontianak dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11
Pebruari 1950".[1]
Istilah "ciptaan Bung
Karno" dalam pernyataan Mohammad Hattadi atas menurut hemat penulis kurang tepat, karena
dengan pernyataan itu
memberikan pengertian, bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno.
Pernyataan ini juga akan bertentangan dengan pidato Presiden Soekarno sendiri pada tanggal
22 Juli 1958 di Istana
Negara yang menyatakan bahwa "di bawahnya tertulis seloka buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika, Bhina
ika tunggal ika – berjenis-jenis tetapi tunggal".
Berdasarkan
isi pidato Presiden Soekarno di atas, semboyan ituadalah buatan Empu Tantular.
Pernyataan ini sejalan dengan hasil penyelidikan Mohammad Yamin, seperti
yang dikemukakan dalam buku 6000 Tahun Sang Merah Putih, 1954 yang
menyatakan, bahwa semboyan itu dinamai seloka Tantular karena kalimat yang
tertulis dengan huruf yang jumlah aksaranya 17 itu berasal dari pujangga
Tantular yang mengarang kitab Sutasoma pada masa Madjapahit pada abad XIV.
Adapun arti seloka Jawa lama itu adalah walaupun berbeda-beda ataupun
berlainan agama, keyakinan dan tinjauan tetapi tinggal bersatu atau dalam,
bahasa latin: e pluribus unum[2].
Pertanyaan lebih lanjut adalah
bagaimana seloka itu menjadibagian dari lambang
negara yang dibuat Sultan Hamid II?
Berdasarkan hasil wawancara penulis
dengan sekretaris pribadiSultan Hamid II (Max Yusuf Alkadrie)[3], bahwa semboyan itu menjadi
bagian dari lambang negara adalah merupakan kesepakatan antara Sultan
Hamid II dengan Mohammad Hatta, Soekarno yaitu atas
usul Presiden Soekarno untuk mengganti pita yang dicengkram Garuda, yang semula
direncanakan berwarna merah putih kemudian diganti menjadi warna putih dan
Presiden Soekarno mengusulkan supaya di atas pita warna putih
tersebutdimasukan seloka Bhinneka Tunggal Ika. Sebab warna merah putihdianggap
sudah terwakili dalam warna dasar perisai Pancasila.[4]
Dengan
demikian yang dimaksudkan oleh Mohammad Hatta dengan pernyataan bahwa
"Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno". Dalam buku Bung
Hatta Menjawab tahun 1978 itu maksudnya semboyan itu adalah usulan
Presiden Soekarno.
Sekalipun demikian kita
dapat mengetahui asal usul semboyan tersebut, namun apakah arti yang sebenarnya
dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam kitab Sutasoma dan bagaimana
semboyan itu disebutkan?
Menelusuri
arti sebenarnya dari Bhinneka Tunggal Ika, maka semboyan ini terdapat pada wirama ke-139 bait ke lima
dari kitab Sutasoma yang bahasa aslinya: [5]
"Rwaneka dahtu winuwus wars buddha wisma/
Bhinneka rakwa ring spa kena parwanosen/
Mangka Wing Jinatwa kalawan Siwatwa Tunggal/
Bhinneka Tunggal Ika tan
hana dharma mangrawa/
(disebutkan dua
perwujudan Beliau yaitu Siwa dan Buddha/
Berbeda konon, tapi
kapan dapat dibagi dua/
Demikianlah kebenaran
Buddha dan kebenaran Siwa itu satu/
Berbeda itu satu tidak
ada kebenaran yang mendua)"
Arti Bhinneka Tunggal Ika
dalam kitab Sutasoma itu artinya berbeda
itu tetapi satulah itu atau menurut terjemahan Muhammad Yamin:[6]
“…berbedalah itu, tetapi
satulah itu. Seloka ini falsafah awalnya berasal dari tinjauan hidup untuk
memperkuat persatuan dalam kerajaan Keprabuan Majapahit, karena pada waktu itu
aliran agama sangat banyak dan aliran fikiran demikian juga. Untuk maksud
itu seloka itu disusun oleh Empu Tantular
dengan tujuan untuk menyatukan segala aliran dengan mengemukakan
persamaan. Persamaan inilah yang mengikat segalanya, yaitu Bhinneka Tunggal
Ika…”
Falsafah Bhinneka Tunggal
Ika ini di zaman Keprabuan Majapahit dilaksanakan oleh Kepala Negara Putri
Buana dan oleh Prabu Hayam Wuruk dan kemudian diteruskan oleh negarawan
Menteri Sepuh Aditiawarman. Patut pula untuk diketahui, bahwa semboyan
Bhinneka Tunggal Ika, pertama kali diselidiki oleh Prof. H. Kern pada
tahun 1888 Verspreide Geschriften 1916. IV, hal 172 dalam lontar
Purusadacanta atau lebih dikenal dengan Sutasoma (lembar 120) yang
disimpan diperpustakaan Kota Leiden, dan kemudian diselidiki kembali
olehMuhammad Yamin.
Kemudian semboyan itu
menempuh proses kristalisasi mulai pergerakan nasional 1928 sampai
berdirinya negara Republik Indonesia 1945 dan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam lambang negara sejak 8 Februari 1950.
Latar belakang pemikiran Bhinneka Tunggal
Ika dapat dijelaskan melalui keterangan Mohammad Hatta dalam Bukunya Bung
Hatta Menjawab, 1979menyatakan[7],
bahwa Ke Ika-an di dalam Bhinneka Tunggal Ika, adalah berujud unsur-unsur
kesatuan dalam kehidupan bangsa, dalam arti adanya segi-segi kehidupan
politik, ekonomi, kebudayaan dan kejiwaan yang bersatu dan dipegang
bersama oleh segala unsur-unsur ke-Bhinneka-an itu. Unsur
keanekaragaman tetap ada pada daerah-daerah dari berbagai adat dan suku.
Akan tetapi, makin sempurna alat-alat perhubungan, semakin pesat pembauran
putra putri bangsa dan semakin bijak pegawai Pemerintah dan
Pemimpin Rakyat melakukan pimpinan, bimbingan dan pengayoman terhadap
rakyat seluruhnya, maka akan pastilah pula bahwa unsur-unsur ke Bhinneka
itu lambat laun akan cenderung meleburkan diri dan semangatnya kepadaunsur
ke-lka-an. Bhinneka Tunggal Ika ini menegaskan pula, betapa pentingnya
dihubungkan dengan Pancasila sebagai tali pengikat untuk memperkuat unsur ke-lka-an
dari adanya unsur-unsur ke-Bhinneka-an itu, dengan kenyataan bahwa dalam
lambang negara kita dimana jelas tergambar Pancasila dengan Ketuhanan
terletak dipusatnya, maka satu-satunya tulisan yang dilekatkan jadi satu
dengan lambang itu adalah perkataan Bhinneka Tunggal Ika itu.
Seloka Bhinneka Tunggal
Ika yang tertera didalam lambang negara itu memberikan makna tersirat dan
tersurat, bahwa bangsa Indonesia menghargai akan kemajemukan, tetapi
kemajukan itu bukanlah ancaman tetapi
dijadikan sarana mempersatukan dengan tetap menghargai kemajemukan
bangsa.[8]
Akar
sejarah dari falsafah Bhinneka Tunggal Ika adalah seloka dari Empu
Tantular, 1350 M, sebagaimana telah diteliti oleh Muhammad Yamin,
hasil penelitian yang dibukukan dalam buku: 6000 Tahun Sang Merah Putih, beliau
menyatakan :[9]
"Apabila kita
pelajari buah fikiran ahli filsafah Indonesia sesudah abad ke-XIV sampai kini,
maka kagumlah kita kepada pertjikan otak ahli pemikir Empu Tantular, seperti
dijelaskan dalam kitab Sutasoma yang dikarangnya dalam jaman kentiana
keperabuan Majapahid pada pertengahan abad ke-XIV. Hal itu bukanlah suatu hal
yang sudah mati. Dari ahli filsafah Tantular yang ulung itu berasal
kalimat Bhineka Tunggal Ika, dan tanhana dharma mangrwa. Artinya
seluruh kalimat seloka Tantular itu : berbedalah itu, tetapi satulah itu ; dan
didalam peraturan undang-undang tidak adalah diskriminasi atau dualisme. Seloka
filsafah itu berasal dari pada tinjauan hidup untuk memperkuat persatuan dalam
negara keperabuan Majapahit dizaman emas. Aliran agama pada waktu itu
memang banyak dan aliran pikiranpun demikian juga. Begitu pula aliran
kebudayaan.
Kehidupan rohani yang
meriah itu disebabkan karena perkembangan kelahiran dan kebathinan yang
bergelora. Bagaimana jalannya untuk menyatukan berbagai aliran fikiran, supaya
jangan timbul perpecahan? Seloka itu dapat menyatukan segala aliran dengan
mengemukakan persamaan, dengan pengertian bahwa diantara berbagai fikiran,
perbedaan agama dan perbedaan filsafah ada jugalah persamaan yang menyatukan.
Dan persamaan inilah yang mengingkat segalanya, yaitu Bhineka Tunggal Ika
berjenis-jenis, tetapi tetap tinggal bersatu. Dan dalam perbedaan fikiran dan
pendapat adalah persamaan yang dapat mengikat dalam pokok kesatuan.
Satu agama tidaklah
lebih atau kurang daripada agama lain. Demikian pula dengan aliran politik dan
aliran kebudayaan. Itu ditegaskan oleh Empu Tantular. Janganlah segala aliran
itu dinilai berbagai-bagai, dan jangan diadakan diskriminasi dan dualisme,
melainkan sungguh sama nilai dan sama harganya. Rasa toleransi dapat menyatukan
segala aliran.
Itu adalah filsafah
Bhineka Tunggal Ika dizaman kencana Indonesia di dalam abad ke-XIV, seperti
dilaksanakan oleh Kepala Negara Puteri Teribuana dan oleh Perabu Ajam Wuruk,
seperti dilancarkan oleh negarawa Menteri Sepuh Aditiawarman yang arif
bijaksana dan Patih Mangkubumi Gadjah Mada yang dinamis. Demikianlah akibatnya
filsafah pemersatu bagi berbagai agama, aliran fikiran politik dan kebudayaan,
sehingga negara Majapahit oleh adanya alat mempersatu itu menjadi bertambah
besar dan mendapat corak yang sebenar-benarnya sesuai dengan watak dan
peribadinya. 232 tahun lamanya negara Majapahit berkembang dari 1293 sampai
1525. seperti susunan fikiran ahli pemikir Indonesia Empu Tantular dalam abad
XIV itu dapat memberi dasar bagi berbagai fikiran yang beraneka ragam dan
menghindarkan masyarakt serta negara dari perpecahan yang meruntuhkan, begitu
pulalah ajaran Panca Sila itu mengandung maksud untuk memberi dasar bagi
perjuangan negara Indonesia yang dilahirkan atas persatuan dan kemerdekaan yang
berdaulat. Dan sudah ternyata pula Panca Sila itu dapat mempersatukan Bangsa
Indonesia sejak hari Proklamasi sampai waktu kini.
Jadi seperti filsafah
Tantular, maka ajaran Panca Sila ialah sistem filsafah yang mengandung daya
pengikat atau alat pemersatu dalamnya untuk memperkuat persatuan Bangsa, yang
menjadi sarat mutlak bagi kemerdekaan. Hal itu dapat difahamkan. Ajaran Panca
Sila sebagai alat mempersatu tidaklah saja menjadi faktor azasi dalam
memperkuat kemerdekaan yang bersemangat, tetapi juga sangatlah penting bagi
pelaksanaan pembinaan Bangsa Indonesia yang telah berdiri sejak tahun 1928 dan
menjadi Nation Indonesia sejak tahun Proklamasi 1945.
Jadi tegaslah, bahwa ajaran Panca Sila itu
benar-benar suatu sistem falsafah untuk mempersatukan berbagai aliran, dan
diatasnya dibentuk Negara Indonesia yang meliputi daerah Indonesia yang menjadi
dukungan Bangsa Indonesia yang bersatu".
Keterangan Muhammad Yamin di atas semakin membuktikan, bahwa seloka
Bhinneka Tunggal Ika yang menurut keterangan Presiden Soekarno adalah masukan
dari seorang ahli bahasa, maka bisa dipastikan yang dimaksudkan adalah Muhammad
Yamin, hal inipun dikuatkan ketika terminologi Pancasila dinyatakan oleh
Presiden Soekarno, juga atas usulan ahli bahasa, "Namanya bukan Panca
Darma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa,
namanya ialah Panca Sila, Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar
itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi"[10],
maka yang dimaksudkan oleh Soekarno dengan teman kita seorang ahli bahasa itu
tidak lain adalah Muhammad Yamin.
Berdasarkan paparan diatas
pertanyaan akademisnya apa sebenarnya seloka Bhinneka Tunggal Ika dalam konsep
lambang negara, apakah seperti yang dipahami saat ini, yaitu berbeda-beda
tetapi satu jua, transkrip Sultan Hamid II , 15 April 1967 menjawab
perspektiftentang Bhinneka Tunggal Ika itu secara jelas:[11]
"……ternjata
masih ada keberatan dari beliau, jakni bentuk tjakar kaki jang mentjekram
seloka Bhinneka Tunggal Ika dari arah belakang sepertinja terbalik, saja
mentjoba mendjelaskan kepada Paduka Jang Mulia, memang begitu burung terbang
membawa sesuatu seperti keadaan alamiahnja, tetapi menurut Paduka Jang Mulia
Seloka ini adalah hal jang sangat prinsip, karena memang sedjak semula
merupakan usulan beliau sebagai ganti rentjana pita merah putih jang menurut
beliau sudah terwakili pada warna perisai, selandjutnja meminta saja untuk
mengubah bagian tjakar kaki mendjadi mentjekram pita/mendjadi kearah depan pita
agar tidak "terbalik" dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip
"djatidiri" bangsa Indonesia, karena merupakan perpaduan antara
pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" dalam negara
RIS, mengertilah saja pesan filosofis Paduka Jang Mulia itu, djadi djika
"bhinneka" jang ditondjolkan itu maknanja perbedaan jang menondjol
dan djika "keikaan" jang ditondjolkan itulah kesatuan republik jang
menondjol, djadi keduanja harus disatukan, karena ini lambang negara RIS jang
didalamnja merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan
pandangan "kesatuan" haruslah dipegang teguh sebagai
"djatidiri" dan prinsip berbeda-beda pandangan tapi satu djua,
"e pluribus unum".
Berdasarkan
transkrip Sultan Hamid II di atas, bahwa masuknya seloka
Bhinneka Tunggal Ika pada pita yang dicengkram cakar Elang Rajawali Garuda
Pancasila adalah sebuah sinergisitas atau perpaduan terhadap pandangan
kenegaraan ketika itu, yaitu antara paham federalis (kebhinnekaan) dengan paham
kesatuan/Unitaris (Tunggal), sebagaimana kita ketahui Sultan Hamid II adalah
tokoh berpandangan federalisme yang mengutamakan prinsip keragaman dalam
persatuan, sedangkan Soekarno adalah tokoh berpandangan unitaris yang
mengutamakan prinsip persatuan dalam keragaman, hal ini memberikan makna secara
semiotika hukum, bahwa pembacaan Bhinneka Tunggal Ika yang tepat seharusnya
adalah keragaman dalam persatuan dan persatuan dalam keragaman, karena kata
Bhinneka artinya keragaman, sedangkan Tunggal artinya satu, dan Ika artinya
itu, maknanya yang beragam-ragam satu itu dan yang satu itu beragam-ragam,
apakah yang satu itu, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukankah
sebuah paham multikulturisme modern dan itulah jati diri bangsa Indonesia serta
salah satu pilar kebangsaan Indonesia yang bernama Bhinneka Tunggal Ika.
Menelusuri sejarah terbentuknya RIS 1949 dalam kaitannya dengan lambang
negara Elang Rajawali Garuda Pancasila bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika yang
ditetapkan menjadi Lambang Negara RIS, pada tanggal 11 Februari 1950 memberikan
penegasan, bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah merupakan frase jati diri
kebangsaan Indonesia yang tepat untuk menyatukan dua paham kenegaraan ketika
itu, yaitu federalis yang diwakili oleh Sultan Hamid II dan unitaris yang
diwakili oleh Soekarmo, mengapa demikian ? karena secara historisitas yuridis
sebenarnya lambang negara dengan mengambil figur Elang Rajawali Garuda
Pancasila yang dirancang oleh Sultan Hamid II Tahun 1950 adalah dimaksudkan
sebagai Lambang Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan perintah
konstitusional pada Pasal 3 ayat (3) Konstitusi RIS 1949 yang
menyatakan: “Pemerintah menetapkan materai dan Lambang Negara”,
hanya kemudian gambar Lambang Negara yang ditetapkan 11 Februari 1950 oleh
Kabinet dan Parlemen RIS tersebut berdasarkan Pasal 3 Jo Pasal 6 Peraturan
Pemerintah No 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara yang diundangkan pada
Lembaran Negara No 111 Tahun 1951 Tanggal 17 Oktober 1951 menyatakan: “Warna Perbandingan-perbandingan
Ukuran dan Bentuk Garuda adalah seperti dilukiskan dalam gambar tersebut dalam
pasal 6, sedangkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951
menyatakan: “Bentuk warna dan perbandingan ukuran Lambang Negara Republik
Indonesia adalah seperti terlukis dalam lampiran pada Peraturan Pemerintah ini.”Selanjutnya
sejak saat itulah yaitu sejak tanggal 17 Oktober 1951 menjadi Lambang Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang –Undang Dasar Sementara (UUDS)
Tahun 1950 sebagaimana ditegaskan pada Bagian III Pasal 3 ayat
(3) yang menyatakan: Materai dan Lambang Negara ditetapkan oleh Pemerintah.
Pertanyaannya secara historis yuridis atau secara akademis, gambar atau lukisan
lambang negara siapakah yang dilampirkan secara resmi dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 sebagaimana dimaksud Pasal 3 jo Pasal 6 tersebut
di atas ? bukankah secara historis yuridis adalah gambar lambang negara
yang dirancang dan diperbaiki untuk terakhir kalinya oleh Sultan Hamid II pada
masa RIS sebagaimana telah ditetapkan pada tanggal 11 Februari 1950 oleh
Kabinet dan Parlemen RIS dan dokumen otentik gambar/lukisannya saat ini berada
di ruang pribadi almarhum H. Mas Agung pada Yayasan Mas Agung jalan Kwitang
Senen Jakarta Pusat, artinya gambar/lukisan Lambang Negara yang dilampirkan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 berdasarkan Pasal 3 jo Pasal
6 sebagai pelaksanaan atau perintah Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS) Tahun 1950 adalah gambar Lambang Negara rancangan Sultan Hamid
II, yaitu Elang Rajawali Garuda Pancasila yang berasal dari Lambang Negara
Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1950, sebagaimana disempurnakan untuk
terakhir kalinya sejak ditetapkan pada tanggal 11 Februari 1950 atau dengan
kata lain secara de fakto dan de jure adalah
Lambang Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Pasal 3 ayat (3)
Konstitusi RIS 1949 yang kemudian secara de jure ditetaplan kembali
menjadi Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak 17 Oktober 1951
berdasarkan Pasal 3 Jo Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 sebagai
pelaksanaan perintah (imperatif) pada Pasal 3 ayat (3) UUDS 1950.
Kemudian pernyataan teks hukum-normatif yang sama juga
pada pasal 46 jo Pasal 50 Undang- Undang Nomor
24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan
sebagaimana diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 109 Tahun 2009 dan Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5035 Tahun 2009, pada tanggal 9 Juli 2009 menyatakan :
Pasal
46 : Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda Pancasila yang
kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung
dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditulis di
atas pita yang dicengkeram oleh Garuda”
Pasal 47 (1) : Garuda dengan perisai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 memiliki
paruh, sayap, ekor, dan cakar yang mewujudkan lambang tenaga
pembangunan. (2) Garuda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki sayap yang masing-masing berbulu 17, ekor berbulu 8,
pangkal ekor berbulu 19, dan leher berbulu 45.
Pasal
48 (1) Di tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat
sebuah garis hitam tebal yang melukiskan khatulistiwa. (2) Pada perisai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah ruang yang mewujudkan
dasar Pancasila sebagai berikut: a. dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan
dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang
yang bersudut lima;b. dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan
dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian
kiri bawah perisai; c. dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon
beringin di bagian kiri atas perisai; d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dilambangkan dengan
kepala banteng di bagian kanan atas perisai; dan e. dasar Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan
kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai.
Pasal
49: Lambang Negara menggunakan warna pokok yang terdiri atas: a. warna
merah di bagian kanan atas dan kiri bawah perisai; b. warna putih di bagian
kiri atas dan kanan bawah perisai; c. warna kuning emas untuk seluruh burung
Garuda; d. warna hitam di tengah-tengah perisai yang berbentuk jantung; dan e.
warna alam untuk seluruh gambar lambang
Selanjutnya pada Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2009 menyatakan :
Bentuk,
warna, dan perbandingan ukuran Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 sampai dengan Pasal 49 tercantumdalam lampiran yang tidak terpisahkan
dari Undang-Undang ini.
Berdasarkan
Pasal 46 s/d 49 jo Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 di atas
sebagai pelaksanaan perintah (imperatif) Pasal 36 C Undang-Undang
Dasar tahun 1945 amendemen kedua, maka sejak tahun 2000 secara konstitusional
ditegaskan menjadi Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD
1945 amendemen kedua sebagaimana ditegaskan pada Pasal 36 A : Lambang
Negara ialah Garuda Pancasila dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Patut
diketahui bersama oleh publik dan para pembaca, bahwa masuknya rumusan Pasal 36
A UUD 1945 amandemen kedua tersebut adalahmerupakan rekomendasi hasil
penelitian Tesis penulis (Turiman Fachturahman Nur) tentang ”Sejarah hukum
Lambang Negara Republik Indonesia” pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Indonesia bagian hukum dan kehidupan kenegaraan yang telah dipertahankan secara
ilmiah dihadapan dewan penguji: Prof Dr Dimyati Hartono, Prof Dr H. Azhary,SH,
Prof Dr Koesnadi Hardjoseomantri,SH pada hari Rabu tanggal 11
Agustus 1999 yang kemudian ditindak lanjuti dengan Seminar Nasional
Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia yang dilaksanakan di Pontianak
Kalimantan-Barat pada tanggal 3-4 Juni 2000 yang dihadiri oleh berbagai elemen
tokoh masyarakat, mahasiswa, jurnalis, guru sejarah berbagai sekolah dan
akademisi berbagai perguruan tinggi, pemerintah daerah (Gubernur, Bupati) se
kalimantan Barat serta anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat, anggota DPR RI
yang berasal dari Kalimantan Barat dengan menghadirkan para anggota PAH I
MPR-RI Amandemen Kedua UUD 1945, Ketua MPR-DPR RI Ir .Akbar Tanjung, Prof
Dr Dimyati Hartono dari UI Jakarta, Prof Dr Sri Soemantri Martosoewigyo
dariUNPAD Bandung dan telah merekomendasikan, bahwa kesimpulan hasil Seminar
Nasional tersebut yang dirumuskan oleh tim perumus seminar: Garuda Wiko, SH,Msi
dan Firdaus, SH, Msi untuk dijadikan kesepakatan bersama para peserta seminar
sebagai rumusan amandemen kedua UUD 1945 tahun 2000 dengan menambah ketentuan
Pasal 36 UUD 1945, yaitu ketentuan tentang Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan
Indonesia yang sebelumnya secara konstitusional belum diatur dalam UUD
1945 dan rumusan dimaksud dari hasil amademen kedua UUD 1945 adalah sebagaimana
rumusan Pasal 36 A, yaitu Lambang Negara Ialah Garuda Pancasila dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika dan Pasal 36 B: Lagu Kebangsaaan ialah Indonesia
Raya.
Menurut
risalah sidang MPR tahun 2000, bahwa masuknya ketentuan mengenai lambang
negara dan lagu kebangsaan kedalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 yang melengkapi pengaturan mengenai bendera negara dan
bahasa negara yang telah ada sebelumnya merupakan ikhtiar untuk memperkukuh
kedudukan dan makna atribut kenegaraan ditengah kehidupan global dan
hubungan internasional yang terus berubah. Dengan kata lain, kendatipun atribut itu tampaknya
simbolis, hal tersebut tetap penting, karena menunjukkan identitas dan
kedaulatan suatu negara dalam pergaulan internasional.
Atribut
kenegaraan itu menjadi simbol pemersatu seluruh bangsa Indonesia ditengah
perubahan dunia yang tidak jarang berpotensi mengancam keutuhan dan kebersamaan
sebuah negara dan bangsa tak terkecuali bangsa dan negara Indonesia.[12] oleh
karena itu RUU Wawasan Nusantara sebenarnya selaras dengan makna filosofis
dalam lambang negara Indonesia yakni Elang Rajawali Garuda Pancasila disingkat
Garuda Pancasila. Dengan in demikian keberadaan materi muatan RUU Wawasan
Nusantara adalah implementasi dari prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
3.Sistimatika RUU Wawasan Nusantara:
BAB I Ketentuan
Umum:
1. Pancasila;
2. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3. Wawasan Nusantara
4. Negara Nusantara
5. Penyelenggara Negara
6. Presiden
7. Dewan Perwakilan Rakyat
8. Dewan Perwakilan Daerah
9. Lembaga Ketahanan
Nasional
10. Laporan
11. Rekomendasi
BAB II Ideologi
Negara:
1. Penegasan ideologi
Pancasila
2. Sifat ideologi Pancasila
3. Ladasan ideologi dan
paham yang bertentangan dengan Pancasila dan
4. Pembudayaan Pancasila
BAB III Asas, Fungsi, dan Tujuan Wawasan Nusantara:
a. Bagian Kesatu
Asas
b. Bagian Kedua
Fungsi
c. Bagian Ketiga
Tujuan
BAB IV Ruang
Lingkup Wawasan Nusantara:
a. Wawasan Nusantara
Bidang Hukum;
b. Wawasan Nusantara Bidang
Politik dan Ketatanegaraan:
c. Wawasan Nusantara
Bidang Ekonomi;
d. Wawasan Nusantara Bidang
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Kelautan;
e. Wawasan Nusantara
Bidang Sosial dan Budaya; dan
f. Wawasan Nusantara
Bidang Pertahanan dan Keamanan.
BAB V Wawasan Nusantara Bidang
Hukum:
a. Bagian Kesatu
Umum
b. Bagian Kedua
Negara Hukum Indonesia
c. Bagian Ketiga
Sistem Hukum Nasional
d. Bagian Keempat
Pembentukan Hukum
e. Bagian Kelima
Penerapan dan Pelayanan Hukum
f. Bagian Keenam
Penegakan Hukum
g. Bagian Ketujuh
Pengembangan Hukum
BAB VI Wawasan Nusantara
Bidang Politi dan Ketatanegaraan
a. Bagian
Kesatu
Umum
b. Bagian Kedua
Sistem Politik Nasional
b. Bagian Ketiga
Politik
Luar Negeri
c. Bagian
Keempat
Sistem Ketatanegaraan Indonesia
d. Bagian Kelima
Pengembangan Sistem Politik Nasional
e. Begian
keenam
Pengembangan Sistem Ketatanegaraan
BAB VII Wawasan Nusantara
Bidang Ekonomi:
a. Bagian
Kesatu
Umum
b. Bagian Kedua
Sistem Ekonomi Nasional
c. Bagian
Ketiga
Pengembangan Sistem Ekonomi Nasional
BAB VIII Wawasan Nusantara
Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam
a. Bagian
Kesatu
Umum
b. Bagian Kedua
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kelautan
c. Bagian
Ketiga
Pengembangan
Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kelautan
d. Bagian Keempat
Bagi Hasil
Pengelolaan Sumber Daya Alam Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah
BAB XI Wawasan Nusantara
Bidang Sosial dan Budaya:
a. Bagian
Kesatu
Umum
b. Bagian
Kedua
Sistem Sosial
c. Bagian
Ketiga
Pengembangan Sistem Sosial
d. Bagian
Keempat
Sistem Budaya
e. Bagian
Kelima
Pengembangan Sistem Budaya
BAB X Wawasan Nusantara Bidang
Pertahanan dan Kemanan:
a. Bagian
Kesatu
Umum
b. Bagian
Kedua
Sistem Pertahanan
c. Bagian
Ketiga
Pengembangan Sistem Pertahanan
d. Bagian
Keempat
Sistem Keamanan
e. Bagian
Kelima
Pengembangan Sistem Keamanan
BAB XI Kelembagaan:
a. Bagian
Kesatu
Umum
b. Bagian
Kedua
Fungsi, Tugas dan Wewenang
Paragraf 1
Fungsi dan Tugas
Paragraf 2
Wewenang
c. Bagian
Ketiga
Paragraf 1
Susunan
Paragraf 2
Ketua dan Wakil Ketua Lemhannas
Paragraf 3
pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Lemhannas
Paragraf 4
Sekretaris Jenderal
BAB XII Pemantauan dan
Evaluasi Pelaksanan Wawasan Nusantara:
1. Pemberian wewenang
pemantauan pelaksanaan wawasan nusantara kepada pimpinan lembaga Negara
2. Pemberian wewenang evaluasi kinerja
pelaksanaan wawasan nusantara kepada Lemhannas
3. Pengaturan tindak lanjut
evaluasi kinerja wawasan nusantara dengan pembuatan rekomendasi
4. Pengaturan penyampaian
rekomendasi kepada DPR, DPD dan atasan penyelenggara negara.
5. Pengaturan pelaksanaan
rekomendasi
6. Pendelegasian pengaturan
lebih lanjut mengenai tata cara pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Wawasan
Nusantara diatur dengan Peraturan Lemhannas.
BAB XIII Partisipasi
Masyarakat:
a. konsultasi publik;
b. musyawarah;
c. kemitraan;
d. penyampaian
aspirasi;
e. pengawasan;
dan/atau
f. keterlibatan
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XIV
Pengawasan:
BAB XIVtentang
Pengawasan pada pokoknya mengatur mengenai pengawasan pelaksanaan wawasan
nusantara yang dilakukan oleh DPR dan DPD. Selain itu BAB XIVtentang Pengawasan
juga mengatur mengenai tindak lanjut hasil pengawasan yang digunakan sebagai
bahan penyusunan Program Legislasi
Nasional, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, rancangan undang-undang, dan
kebijakan negara lainnya bersama Presiden.
BAB XV Ketentuan
Peralihan:
1. Lemhannas yang dibentuk
berdasar UU 67/2006 dinyatakan sebagai Lemhannas berdasar UU Wawasan Nusantara
2. Pengaturan mengenai internal
organisasi Lemhannas seperti masa jabatan gubernur Lemhannas saat ini.
3. Pengaturan mengenai batasan
waktu penyesuaian organisasi Lemhannas berdasar UU Wawasan Nusantara
BAB XVI Ketentuan
Penutup:
1. Batasan
waktu pembuatan peraturan pelaksana UU Wawasan Nusantara; dan
2. Pensingkronisasian dan pengharmonisan
peraturan perundang-undangan dengan UU Wawasan Nusantara.
4.Dinamika FGD di Universitas Tanjungpura
FGD terhadap RUU Wawasan Nusantara di
Untan yang dilaksanakan oleh PPUU DPD RI dan Pusat Kajian Hukum dan Pemerintahan
Daerah yang dihadiri berbagai elemen, yakni Mahasiswa S2 Magister Ilmu Hukum
dan Mahasiswa S1 Fakultas Hukum dan sejumlah LSM antara Lain Yayasan Sultan
Hamid II langsung oleh ketuanya Amsyari Dimyati,SH MH dan Yayasan Top
Indonesia, dan para avokad Ibu Dwi Syafarian ,SH, MH, dan para doktor muda
antara DR H Safei
SH MH, dari magister ilmu hukum, DR Romy Patra alumni UNDIP dosen FH UNTAN,
Dr Martoyo dan DR Ngusmanto dari Magister Ilmu Sosial Politik serta Prof
Kamarullah yang juga di hadiri Dekan FH UNTAN DR Syarif Hasyim Azizurahman
yang dipandu oleh moderator kawakan kal bar DR HC Turiman Fachturahman
Nur SH,MH berlangsung seru.
Acara dibuka oleh sambutan PPUU DPD RI karena
nara sumber dari Staf Ahli DPD RI terlambat datang karena teknis pesawat,
sehingga tepat pukul 10.45 kita buka dengan acara pertama sambutan pembacaan
doa oleh Pak Subiyano,SH dosen fak hukum, kemudian menyanyikan lagu Indonesia
Raya, kemudian sambutan PPUU DPD RI serta dibuka resmi oleh Prof DR Kamarullah
SH MHum Ketua PMIH Fakultas Hukum UNTAN sekaligus membuka secara resmi,
Dalam Sambutan DPD RI bahwa kegiatan ini
dalam rangka kegiatan empirik merespon RUU Wawasan Nusantara dan meminta untuk
mengkritisi pandangan elemen masyarakat dalam hal ini Univ Tanjungpura dan
tujuan kegiatan ini, kemudian dilanjutkan oleh Ketua PMIH Prof Kamarullah yang
dalam sambutan mengucapkan terima kasih atas apresiasinya dari PPUU DPD RI yang
bermitra dengan UNTAN dalam hal ini Pusat Kajian Hukum dan Pemerintahan Daerah
UNTAN yang sekretrariatnya di PMIH UNTAN. Dalam sambutan Ketua PMIH, bahwa RUU
ini sangat siginmifikan dan perlu diapresiasi khususnya dalam memperkuat
kebhinekaan dan wawasan nusantara adalah sebuah ide berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat yang saat ini terabaikan namun saat ini digagas kembali menjadi
sebuan RUU yang bernomenklatur wawasan nusantara.
Kemudian istirahat, dalam
suasana istirahat para mahasiswa sudah berdiskusi kira kira arah kemana FGD
ini, 15 Menit istirahat pembawa acara memangggil nara sumber dari UNTAN Drs
Arif Rahmah Msi,MH yang merupakan alumni UI bidang ketahanan Nasional dibawah
bimbingan Prof Wan Usman salah satu penggagasa konsep ketahanan nasional yang
dikaitkan dengan wawasan nusantara.
Untuk memudaha FGD tepat
sasaran maka dua perumusan masalah dan empat tujuan dalam TOR PPUU sengaja di
buat powert point, yakni :
- Bagaimana mengakomodir
konsepWawasan Nusantara sebagai wawasan dalam mencapai pembangunan nasional dalam bentuk rumusan sebuah undang-undang?
- Bagaimana implementasi dari pelaksanaan konsep wawasan nusantara dalam sistem ketatanegaraan
yang juga telah menempatkan DPD sebagai lembaga representasi daerah? sedangkan Tujuan FGD : 1) Melakukan inventarisasi
materi-materi terkait permasalahan dalam materi wawasan nusantara serta cara-cara mengatasinya dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. 2) Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alas an pembentukan Rancangan Undang-Undang tentangWawasan
Nusantara sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara,
dan bermasyarakat. 3) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis,
yuridis pembentukan RancanganUndang-Undang tentangWawasan
Nusantara. 4) Merumuskansasaran yang
akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam RancanganUndang-Undang tentangWawasan
Nusantara.
Berdasarkan TOR PPUU DPD RI dan panduan
tersebut maka oleh Moderator menangantarkan FGD dengan paparan, bahwa FGD ini
adalah merespon program legislasi nasional yang diinisiatid DPD RI dalam hal
ini PPUU DPD RI bahwa ada 13 RUU yang diinisiasi dan salah satunya adalah RUU
Wawasan Nusantara, Moderator sengaja melemparkan dua permasalahan dengan
membahasakan secara akademik, yaitu apakah bisa sebuah dogma, doktrin wawasan
nusantara bisa dikemas kedalam materi muatan Undang-Undang, lalu apakah
nomenklatur sudah tepat , apakah semacam UU payung atau UU Pokok, kemudian bisakah
mewakili representasi daerah, karena setiap daerah memiliki kebhinekaan?
Moderator Turiman Fachturahman
Nur,SH MH, lalu mempersilahkan nara
sumber dan Drs Arief Rahman Msi MH,
memaparkan pemikirannya dan yang menarik dari proposisi nara sumber, bahwa
wawasan nusantara sudah terlalu lama diabaikan bahkan dilupakan. Berdasarkan
hasil penelitiannya tahun 1999 setelah reformasi, sepertinya wawasan nusantara
secara dogma dikaikkan dengan sebuah orde, namun nara sumber juga merasa cemas
jika RUU ini tidak matang dipersiapkan bisa akan menjadi sekedar dogma yang
dinormatifkan, Kemudian bagian lain bahwa konsep wawasan nusantara harus
dikaitkan dengan ketahanan nasional, pada bagian akhir paparannya ada dua
rekomendasi yang ditawarkan, namun yang menarik adalah bahwa jangan sampai RUU
ini hanya sebuah pandangan dogma berbangsa yang dinormatifkan saja, harus ada
kajian yang mendalam.
Ketika 20 menit nara sumber lokal,
tiba tiba HP moderator ada pesan masuk bahwa nara sumber dari Staf ahli DPD RI
belum terbang dari Jakarta karena pesawat mengalami keterlambatan, mhn diperpanjang,
baigaimana cara moderator menggiring peserta dan menghidupkan FGD.
Moderator yang piawi, maka
diulaslah sedikit paparan nara sumber dan dikaitkan dengan masalah dalam TOR,
kemudian memberikan kesempatan dan diluar dugaan tiga doktor, yakni DR Martoyo
dan DR Ngusmanto langsung respon angkat tangan darai serambi kanan moderator
dan dua juga angkat tangan dari serambi kiri moderator DR Romy Patra yang mirip
wajah seperti DR Sayta Arinanto, dan Ketua Yayasan Sultan Hamid II Amsyari Dimyati,SH
MH yang dikenal vokal juga angkat tangan.
Dr Martoyo dari Program magister Ilmu Sosial dan Politik UNTAN
menanggapi FGD, bahwa wawasan nusantar perlu digagas kembali, tetapi beliau
kwatir dengan paradigma lama dan lebih kwatir jika dijadikan materi muatan RUU,
karena saat ini negara ini sudah terlalu banyak UU dan lembaga lebih kuatir
jika tidak dilakukan kajian yang mendalam karena berbicara wawasan nusantara
itu bisa dilihat dari berbagai dimensi, jadi kesannya pesimis. Sesuatu yang sudah
lama dilupakan namun dibutuhkan pada saat kehidupan bangsa ini "carut
marut". Penanggap lain DR Ngusmanto lebih tajam lagi bahwa nomenklatur RUU
ini kurang tepat , namun sayang tak memberikan nomenklatur alternatif, dan
harus sesuai dengan pemahaman sejarah atau fakta sejarah bukan sekedar dogma,
dan mempertanyakan siapa yang akan menjadi pemandunya jika RUU ini menajadi UU.
Dua DR ini seperti masih "pesimis" terhadap RUU ini seperti ada
kesan menolak.
Dua
penanggap satu dari Magister ilmu hukum UNTAN Dr Romy Patra, bahwa sebuah dogma
bisa saja diangkat menjadi norma UU. namun yang terpenting kewibawaan negara
dipulih kembali dan khusus BAB II harus ada paradigma baru ketika memasukan
materi, yakni : 1. Penegasan ideologi Pancasila , 2. Sifat
ideologi Pancasila 3 Landasan ideologi dan paham yang bertentangan dengan Pancasila
dan 4. Pembudayaan Pancasila. Perlu dikaitan dengan konsep bhinneka
Tunggal Ika, karena hari ini ada sebagaian warga negara menggagas ideologin
lain, misalnya khilafah yang menyatakan idologi Pancasila dan hukum adalah
toghut atau produk setan. Dan gerakan itu sekarang ini sudah memasuk dunia
kampus. Jadi RUU ini perlu ada rekonstruksi apa itu Pancasila sebagai cita
hukum atau sebagai ideologi bangsa harus jelas dulu. karena didalam UU No 12
Tahun 2011 penempatan Pancasila itu Pasal 2 Pancasila merupakan
sumber segala sumber hukum negara. Pada Penjelasan pasal 2
menyatakan Pasal 2 menyatakan Penempatan Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis
negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Ada tiga konsep tentang Pancasila dasar
dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara, BAB II UU ini harus
menjabarkan lebih lanjut tiga konsepsi tersebut dan ini merupakan paradigma baru
tentang Pancasila.
Menanggapi tiga penanggap, maka giliran
ketua Yayasan Sultan Hamid II Amsyari Dimyati bahwa perlu ada rekontruksi apa
sebenarnya wawasan nusantara ketika dikaitkan dengan tanggap Dr Romy tentang
Pancasila harus dikaitkan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika dan apa
sebenarnya Indonesia hari ini berdasarkan fakta sejarah. Masihkan negara ini
hadir ditengah dinamika kehidupan bangsa, harus ada keteladaan pemimpin, norma
UU bukan sekedar teks normatif tetapi harus bisa diimplementasikan dalam
tataran empiri., oleh karena itu sudah tepat jika penelitian empirik perlu
dilakukan tanpa mengenyampingkan metode normatif.
Bangsa ini sudah terlalu lama kehilangan
pegangan, contoh saja kami yang 14 berjuang untuk sebuah pengakuan sultan Hamid
II negara masih diskriminasi terhadap Sultan Hamid II padahal fakta sejarah
sudah membuktikan, oleh karena itu merancang RUU harus juga perlu ada
rekonstruksi sejarah jangan menyembunyikan faka sejarah jadi wawasan nusantara
bukan hanya dikaitkan dengan ketahanan nasional saja tetapi harus memperkuat
bhinneka tunggal ika. Tetapi apakah paham yang dimaksudkan konsep bhinneka
tunggal ika yang dimaksudkan oleh pemimpin negara, kal bar merasa negara belum
hadir di daerah ini.
Sebuah dinamika FGD yang mencengangkan PPUU DPD RI ini
perlu cepat dijelaskanoleh nara sumber, kemudian moderator mempersilahkan nara
sumber lokal untuk menanggapi, nara sumber sangat setuju.
Ada beberapa catatan tanggan nara sumber
1. Menanggapi DR Ngusmanto Program Magister Ilmu Sosial dan Politik UNTAN, bahwa
harus tetap melihat kondisi
masyarakat Indonesia khususnya kondisi SDA. Kondisi politik daerah
berkembang sesuai dengankondisi di daerahnya dan saat ini terjadi
pergeseran dari berbagaiaspek.
2. Menanggapi DR Martoyo Program Magister
Ilmu Sosial dan Politik UNTAN, bahwa Kesadaran ego
sector yang harus direkonstruksi ulang dan perlu
ada lembaga paling bertanggungjawab terhadap RUU ketika menjadi UU atau
menstressing lembaga yang sudah ada. Menanggap Dr Ngusmanto menurut nara sumber
perlu dipertimbangkan oleh kemendagri. Siapa penanggungjawab implementasi
ruu wawasannusantara. Bagaimana kondisi bangsa Indonesia ini bias
bersatu? 17.508 pulau ini tetapberlaku itu yang perlu dipertahankan . Dalam
implementasi dibagi menjadi wawasannu santara dalampolitik dan hokum.
Nara sumber sependapat, bahwa dari segibudaya, maka semboyan Bhinneka Tunggal
Ika menjadi roh untuk menjadi pemersatu bangsadan dan negara. Wawasan
nusantara selama ini baru berhenti pada dogma atau doktrin semata.
Implemantasi diperlukan keteladanan pemimpin dan menjadikunci,
karena.Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang paternalistik. Cara
pandang ini Menempatkan kepentingan berbangsa dan bernegara diatas kepentingan
pribadi.
3. Dr. Rommy Patra Program Magister Ilmu
Hukum UNTAN ditanggapi nara sumber dengan mengulas kembali
fakta sejarah, bahwa Berbicara mengenai wawasan nusantara sepagai cara
pandang tentu ketika melihat mengenai geo politic kemudian tidak
terpisakan ketika wawasan nusantara diwujudkan menjadikan sebagai geo
strategis. Nara sumber tidak menutup mata, bahwa adanya khawatiran yang
pragmatis mengenai system hukum. Pandangan wawasannusantara sebagai uu. “ini
berkaitandengan wibawa bangsa demikian juga ketika BAB II membahas Pancasila ,
yakni ”Berbicara mengenai Pancasila masih dalam ranah doktrin karena pada
implementasinya pemimpin sendiri sebaga ikuncinya belum dapat memberikan contoh
bagaimana konsepPancasila tersebut. Demikian pada tataran lain ketia berrbicara
mengenai demoktrasimaka Negara yang harusdikuatkanterlebihdahulu (kekuatan
Negara). Maka akan dipertanyakan kembali mengenai
kekuatan/ketahanan Negara. kusus Mengenai RUU menjamin pluralitas
berbangsa dan bernegara. Lemhannas dijdikan sebagai pengawas saja, coba
membentuk lembaga baru dalam mengawasi implementasi uuwawasan nusantara
yang dapat menjamin kebebasan konsep yang selaras dengan pluralism dalam
suatu Negara. BAGAIMANA MENJADIKAN SEBAGAI SATU KONTEKS WAWASAN BERNEGARA.
4.
Menanggapi Amsyari Dimyati, SH,MH,
Ketua Yayasan Sultan Hamid II Mengenai Nasionalis
memenji dipolitik atau boomerang dalam bernegara. JIka kembali membuka
GBHN yang dikeluarkan dengan TAP MPR . Apakah apa kita tahu apa arti dari
kata Indonesia itu? Nara sumber menangapi dengan menyatakan bahwa berbicara
mengenai sejarah Indonesia.Apakah pantas menempatkan kata Nusantara
dalamhalpembentukanperaturanini. Harus ada kajian yang lebih mendalam berbicara
mengenai berbangsa dan bernegara.
5. Menanggapi masukan dari semua penanggap, bahwa masukan yang
berarti adalah berapa besar urgensi uu ini untuk
memupuk rasa nasionalis dalam kehdupan berbangsa dan bernegara.
Multi kulturalisme yang belum ada. Mengenai filosofis, sosiologis dan yuridis.
Harus dikaji ulang bukan hanya mengenai filosofis, sosiologis dan yuridis
tetapi harus mengkaji juga dari segi historis. PERLU MEREKONTRUSKSI KEMBALI
BAGAIMANA MENGENAI WAWASAN NUSANTARA TERUTAMA DARI SEGI HISTORIS.NOMEKLATUR
WAWASAN NUSANTARA DIJADIKAN SEBAGAI UNDANG-UNDANG
6. Perlu adanya disposisi, melihat mengenai tata nilai masyarakat
yang ada sekarang. Sisimateri Aspek
keluarnya adalah fisik dan diplomasi. Undang-undang wawasan nusantara
adalah payung dari undang-undang yang lain. Yang harus mengeluarkan
adalah MPR bukan DPR karena ini ruang lingkupnya lebih tinggi,
apabila dibawa kembali ke DPR maka kepentingan partai atau golongan akan lebih
menonjol dibanding dengan kepentingan nasinonal. (mengapresiasi adanya RUU wawasan
nusantara dan dijadikan sebaga iundang-undang pokok). Rancangan uu memperkuat perinsipmakna
dari Bhinneka Tunggal Ika.
7. Urgensi terhadap wawasan
nusantara bagaimana cara menang kalah dan jajahan budaya. Mengenai kelembagaan,
korelasi dengan Lemhannas kurang tepat bila diberikan
kepada lembaga tersebut.
Dinamika pada bagian kedua,
ketika nara sumber PPUU DPD RI yang disampaikan Eko WidiantoSH,MH staf ahli DPD RI lebih memaparkan kronologis
lahir RUU wawsan nusantara dan ditanggapi dari peserta FGD sangat apresiasi
jika DPD memiliki pola pemikiran tersendiri yang keluar dari mainstream tidak
sama dengan cara pandang ketika merancang sebuah RUU dan sependapat jika
nomenklatur akan dicarikan yang tepat, tetapi dasar hukumnya ada pasal 25 UUD
Neg RI 1945 dan yang terpenting bahawa kehadiran RUU wawasan Nusantara ini
adalah memperluat landasan dan pedoman kebijakan nasional disegala
segi kehidupan, yang lebih jelas terumuskan dari apa yang bersifat asas-asas
filosofis dalam kelima sila Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta tidak
kalah pentingnya adalah jiwa yang terkandung dalam lambang Bhinneka Tunggal
Ika.
Penutup
Rekomendasi FGD di UNTAN 11 Mei 2015, yakni:
Pertama, Bahwa RUU Wawasan Nusantara sangat diperlukan namun khusus BAB II
perlu dilakukan rekonstruksi disesuaikan dengan Kedudukan Pancasila berdasarkan
UU Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 2 dan perlu konsepi wawasan nusantara dikaji ulang
dengan paradigma baru yang didukung dengan fakta sejarah atau historis empirik.
Kedua, BAB IV Ruang Lingkup Wawasan Nusantara:
a. Wawasan Nusantara
Bidang Hukum;
b. Wawasan Nusantara
Bidang Politik dan Ketatanegaraan:
c. Wawasan Nusantara
Bidang Ekonomi;
d. Wawasan Nusantara
Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Kelautan;
e. Wawasan Nusantara
Bidang Sosial dan Budaya; dan
f. Wawasan Nusantara
Bidang Pertahanan dan Keamanan
Konsep Pada BAB IV perlu ada kajian
tersendiri yang komprehensif, namun bukan pada tataran doktrin/dogma tetapi
cara pandang berbagai kementerian, karena hari ini terdapat sekian UU yang
masih belum sinkronisasi demikian harapan kemenhunkam Kal Bar
Ketiga, Perlu ada kajian yang
komprehensif ketika RUU ini dikaitkan dengan penguatan prinsip bhinneka tunggal
Ika, karena sebuah dogma harus dikaitkan dengan fakta sejarah tentang
keberadaan negara ini oleh karena itu sebaiknya menjadi UU POKOK WAWASAN
NUSANTARA INDONESIAa, Kata nusantara ditambah kata Indonesia jelas, bahwa
nusantara adalah wilayah nusantara yang dinamakan INDONESIA, karena faktanya
wilayah nusantara ini sampai ke tanah melayu malaysia dan Fhilipina sehingga
menjadi tegas dasar konstitusionalnya, yaitu Pasal 25A UUD Neg RI yang
menyatakan "Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
sebuah Negara Kepulauan yang bercirikan Nusantara dengan wilayah yang
batas-batas dan hak -haknya ditetapkan dengan Undang-Undang"
nomenklatur Negara Kesatuan Republik Indonesia harus muncul dnegan
nomenklaur UU POKOK WAWASAN NUSANTARA INDONESIA.
Keempat, pada bagian BAB XII Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanan Wawasan
Nusantara:
1. Pemberian wewenang
pemantauan pelaksanaan wawasan nusantara kepada pimpinan lembaga Negara
2. Pemberian wewenang evaluasi
kinerja pelaksanaan wawasan nusantara kepada Lemhannas
3. Pengaturan tindak lanjut
evaluasi kinerja wawasan nusantara dengan pembuatan rekomendasi
4. Pengaturan penyampaian
rekomendasi kepada DPR, DPD dan atasan penyelenggara negara.
5. Pengaturan pelaksanaan
rekomendasi
6. Pendelegasian pengaturan
lebih lanjut mengenai tata cara pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Wawasan
Nusantara diatur dengan Peraturan Lemhannas.
Kata diatur dengan Peraturan Lemhanas perlu diluruskan kembali
diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan Peraturan Presiden, karena harus sesuai
dengan Pasal 7 UU No 12 Tahun 2011.
Kelima, Penguatan RUU
Wawasan Nusantara bukanlah doktrin tetapi sebuah konsepsi berberbangsa,
bernegara dan bermasyarakat dengan paradigma baru, yaitu bahwa Wawasan Nusantara adalah
cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang
serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan
bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila
dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika serta UUD Neg RI 1945 dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Oleh karena itu konstruksi hukumnya harus senapas dengan Pasal 25 A
UUD Neg RI 1945
[1] Transkrip Sultan Hamid
II 5 April 1967 halaman 6
[2] Muhammad Yamin 6000 Tahun
Merah Putih, 1954, halaman 570
[3] Wawancara Peneliti dengan Max Yusuf Alkadrie pada hari Selasa, 6
Januari 1999, jam 10:53 s/d 11.00 WIB di sekretariat Yayasan Sultan Hamid II,
Jeruk Purut. Jakarta Selatan.
[4] Transkrip Sultan Hamid II pada Solichim Salam, 15 April 1967 halaman 5
menyatakan: " menurut Paduka Jang Mulia Seloka ini adalah hal jang
sangat prinsip, karena memang sedjak semula merupakan usulan beliau sebagai
ganti rentjana pita merah putih jang menurut beliau sudah terwakili pada warna
perisai, selandjutnja meminta saja untuk mengubah bagian tjakar kaki
mendjadi mentjekram pita/mendjadi kearah depan pita agar tidak "terbalik"
dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip "djatidiri" bangsa
Indonesia, karena merupakan perpaduan antara pandangan "federalis"
dan pandangan "kesatuan" dalam negara RIS, mengertilah saja pesan
filosofis Paduka Jang Mulia itu, djadi djika "bhinneka" jang ditondjolkan
itu maknanja perbedaan jang menondjol dan djika "keikaan" jang
ditondjolkan itulah kesatuan republik jang menondjol, djadi keduanja harus
disatukan, karena ini lambang negara RIS jang didalamnja merupakan perpaduan
antara pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan"
haruslah dipegang teguh sebagai "djatidiri" dan prinsip berbeda-beda
pandangan tapi satu djua, "e pluribus unum".
[5] Muhammad Yamin, ibid ,
hal.165
[6] Muhammad Yamin, ibid ,
hal 169
[7] Bung Hatta Menjawab ,
wawancara Mohammat Hatta dengan Z Yasni, Cetakan ketiga, Gunung Agung ,
Jakarta, 1978 , ahal 107.
[10] Pidato Soekarno, 1 Juni
1945 dalam rapat BPUPKI, Sejarah Pancasila, 1947.
[11] Transkrip Sultan Hamid
II yang dijelaskan kepada Solichim Salam, 15 April 1967.
[12] MPR RI, Panduan
Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai
dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat., 2007, Sekretariat Jenderal MPR.RI.
0 komentar:
Posting Komentar