KONSEP
DISKRESI DALAM BIDANG HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
(ANTARA DISKRESI DAN
PENYALAHGUNAAN WEWENANG)
Oleh : Turiman Fachturahman Nur
A.
Pengertian Diskresi
Apakah diskresi itu ? pengertian
discretion (Inggris) secara bahasa: freedom or authority to make dicisions and
choises power to judge or act [1]. Alvina
Treut Burrows (ed) menyatakan discreation: ability to choose wisely or to jugde
one self (kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi
diri sendiri)[2]. Prajudi
Atmosoedirdjo menerjemahkan discreation sebagai kebebasan bertindak atau
mengambil keputusan menurut pendapat sendiri[3].
Ada pun secara istilah, berikut ini
penulis kutipkan beberapa pendapat:
1. Yan
Pramadya Puspa dalam Kamus Hukum, menyatakan discretionair (Bel) berarti
kebijaksanaan; memutuskan sesuatu tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan
peraturan, undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar
kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan[4].
2. Indarti
Erlyn mendefinisikan diskresi sebagai kemerdekaan dan atau otoritas/ kewenangan
untuk membuat keputusan serta kemudian mengambil tindakan yang dianggap tepat/
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, yang dilakukan secara
bijaksana dan dengan memperhatikan segala pertimbangan maupun pilihan yang
memungkinkan[6].
Dari beberapa
definisi di atas dapat dinyatakan bahwa pengertian diskresi itu mencakup
kewenangan yang bersifat merdeka untuk mengambil keputusan yang tepat/ sesuai
dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan
peraturan, undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar
kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan.
Selain dalam bidang
hukum, diskresi juga dikenal dalam institusi yang lain. Misalnya juga ditemukan
dalam bidang administrasi negara dan institusi kepolisian.
Diskresi dalam bidang administrasi negara
dikenal dengan istilah freis ermessen. Freis Ermessen berarti salah satu sarana
yang memberikan ruang gerak bagi pejabat atau badan administrasi negara untuk melakukan
tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang[7].
Diskresi (freies ermessen) adalah kebebasan
bertindak atau mengambil keputusan pada pejabat publik yang berwenang
berdasarkan pendapat sendiri. Diskresi diperlukan sebagai pelengkap asas
legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan
administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang, akan tetapi
tidak mungkin bagi undang-undang untuk mengatur segala macam hal dalam praktek
kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu diperlukan adanya kebebasan atau diskresi
pada pejabat publik dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewajiban yang
dibebankan kepadanya [8].
Kebijakan yang
berdasarkan kewenangan freis ermessen disebut peraturan kebijakan; adalah
peraturan yang semata-mata berkaitan dengan doelmatigheid sehingga tidak
terkait dengan unsur rechmatigheid, bahkan dapat menyimpangi rechmatigheid.
Kesan seperti ini adalah keliru. Unsur doelmatigheid sebagai landasan
kewenangan freis ermessen haruslah suatu tujuan atau manfaat yang dibenarkan
hukum[9].
Tindakan yang
termasuk kategori freis esmessen ini—setiap tindakan administrasi negara di
luar wewenang yang telah ditetapkan secara hukum—antara lain: tindakan yang
melampaui wewenang (detournement de pouvoir), bahkan dapat melawan hukum
(onrechmatigover-heidsdaad), atau penyalahgunaan wewenang (misbruik van recht)[10].
Berikut ini contoh dalam institusi kepolisian
RI juga dikenal adanya kewenangan diskresi. Diskresi kepolisian merupakan
realisasi dari azas kewajiban (salah satu azas yang melandasi penggunaan
wewenang polri dalam menjalankan tugas). Azas kewajiban ini bersifat preventif
dan represif non yustisiil (pemeliharaan ketertiban) dalam menghadapi
pencegahan suatu tindak pidana yang akan terjadi.
Konsep mengenai
diskresi Kepolisian terdapat dalam pasal 18 Undang-undang Kepolisian Nomor 2
tahun 2002, yang berbunyi :
1.
Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak
menurut penilaiannya sendiri.
2. Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dlam keadaan
yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode
Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Rumusan kewenangan
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pasal 18 ayat (1) Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban
umum Kepolisian (plichtmatigheids beginsel) yaitu suatu asas yang memberikan
kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak
menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya menjaga,
memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.
Secara umum,
kewenangan ini dikenal sebagai diskresi kepolisian yang keabsahannya didasarkan
pada pertimbangan keperluannya untuk tugas kewajiban (Pflichtmassiges
Ermessen). Substansi Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun
2002 merupakan konsep kewenangan kepolisian yang baru diperkenalkan walaupun
dalam kenyataan sehari-hari selalu digunakan. Oleh karena itu, pemahaman
tentang “diskresi kepolisian” dalam pasal 18 ayat (1) harus dikaitkan juga
dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam pasal 1, 32, dan 33
Undang-undang Nomor 2 tahun 2002, akan mampu mengambil tindakan secara tepat
dan professional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
Rumusan dalam pasal
18 ayat (2) merupakan rambu-rambu bagi pelaksanaan diskresi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yaitu selain asas keperluan, tindakan diskresi tetap
harus sesuai dan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik
profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia[11].
B.Latar Belakang Munculnya Penerapan Kewenangan
Diskresi
Untuk mengetahui lebih jelas lagi tentang
konsep diskresi dalam bidang HAN, maka melihat kembali perkembangan kebelakang.
Jika kita melihat peradilan dalam dinamika masyarakat dari waktu ke waktu, dan
kita berhenti pada peralihan abad ke-19 ke abad 20, maka kita akan menyaksikan
terjadinya perubahan dari peran pengadilan sebagai institusi hukum yang sempit
dan terisolasi menjadi pengadilan (untuk) rakyat.
Pengadilan
yang terisolasi ini dinyatakan sebagai pengadilan sebagai corong undang-undang.
Semangat liberal dan legisme-positivistik memberikan landasan teori bagi
peradilan terisolasi dari masyarakat di mana pengadilan berada, yang
selanjutnya mengundang asosiasi ke arah kediktatoran pengadilan (judicial
dictatorship). Karena ia memutus semata-mata menurut tafsiran hukum terlepas
dari dinamika masyarakat. Sehingga secara sosiologis pengadilan itu menjadi
benda asing di tubuh masyarakat[12].
Pada
sisi lain dinamika masyarakat menampakkan era baru seperti perkembangan
demokrasi, bangkitnya kekuatan baru seperti buruh yang kemudian mengubah peta
sosial politik secara mendalam. Dan berlalunya era kaum borjuis yang banyak
dikaitkan dengan hukum liberal, menjadi hukum (untuk) rakyat.
Penelusuran kebelakang secara historis,
bahwa pada masa peralihan dari orde hukum liberal ke orde dinamika masyarakat,
terjadi “pembangkangan-pembangkangan” oleh pengadilan. Lebih mendengarkan
gejolak dalam masyarakat alih-alih mengikuti bunyi peraturan. Aliran legalistik-positivistik
digantikan realisme hukum—realisme Skandinavia dan realisme Amerika, dengan
tokohnya Benjamin Cardozo dan Oliver Wendell Holmes. Misalnya hakim membuat
putusan yang sebetulnya melampaui peran pengadilan yang hanya mengkongkritkan
undang-undang [13].
Pada tataran tersebut diasumsikan bahwa
praktek diskresi ini berkembang pada sistem hukum Common Law yang menganut
aliran Realisme hukum. Aliran Realisme hukum dikenal dengan konsep yang radikal
tentang proses peradilan. Mereka menyatakan bahwa hakim tidak hanya menentukan
hukum, akan tetapi membentuk hukum. Hakim harus memilih, menentukan
prinsip-prinsip mana yang akan dipakai dan pihak mana yang dimenangkan[14].
Realitasnya bahwa keputusan hakim sering
kali mendahului penggunaan prinsip-prinsip hukum yang formal. Keputusan
pengadilan dan doktrin hukum selalu dapat dikembangkan untuk menunjang
perkembangan atau hasil-hasil proses hukum. Keputusan pengadilan dibuat
berdasarkan konsepsi-konsepsi hakim yang bersangkutan tentang keadilan dan
dirasionalisasikan dalam pendapat tertulis. Ahli-ahli hukum dari aliran ini
menaruh perhatian yang sangat besar tentang keadilan walaupun mereka
berpendapat secara ilmiah tidak dapat ditentukan apa yang dinamakan hukum yang
adil [15].
Bagaimana dengan diskresi dalam sistem hukum Civil Law?, diskresi ini
muncul sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan dalam
penerapan azas legalitas. Bagi negara yang bersifat welfare state, azas
legalitas saja tidak cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani
kepentingan masyarakat, yang berkembang pesat sejalan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pertimbangan lainnya adalah adanya realitas bahwa
suatu kebijakan atau peraturan tidak mungkin mampu merespons banyak aspek dan
kepentingan semua pihak sebagai akibat adanya keterbatasan prediksi para aktor
atau stakeholders dalam proses perumusan suatu kebijakan atau peraturan [16].
Kemudian bagaimana dalam konteks Indonesia,
secara historis kita adalah jajahan Belanda dan mewarisi sistem hukum mereka.
Di sisi lain kita tidak bisa terlepas dari pengaruh global sistem hukum yang
ada di dunia ini. Indonesia dikatakan tidak mutlak lagi menganut sistem hukum
Civil Law tapi bagi Indonesia berjalan juga dengan dasar-dasar lain yang
mewarnai berhukumnya[17].
Realitasnya kelaziman di Indonesia, hakim yang satu memakai
undang-undang sebagai dasar keputusannya, hakim yang lain memakai “rasa”
sebagai dasar keputusannya, yang lain memakai hukum Adat sebagai dasar
keputusannya, dan ada lagi yang mendasarkannya kepada yurisprudensi. Hal
tersebut di atas mengingat undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman no
35 tahun 1999 perubahan dari undang-undang no 14 tahun 1970 secara jelas
menyatakan bahwa hakim dan juga semua penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai yang hidup dalam masyarakat. Ini memberi peluang
kepada hakim di Indonesia untuk memperbaiki citra miring terhadap berhukumnya
bagi sistem yang berkembang di Indonesia[18].
Ada beberapa pandangan tentang hal tersebut
d atas menurut Sabian Utsman, sistem hukum Indonesia sekarang lebih didominasi
oleh aliran Legal Realism dengan cara dan karakteristik budaya bangsa
Indonesia. Dengan tidak mengabaikan kenyataan saat ini dengan beberapa
perundang-undangan, maka Indonesia sesungguhnya lebih dekat dengan sistem hukum
Common Law. Alasannya, karena masyarakat Indonesia dan hukum Kebiasaan
(Customary Law) tumbuh dan mengakar di masyarakat sehingga menjadi Living Law
yang ada bersama-sama dengan budaya dan agama (terlebih agama Islam). Ini
membuat semakin dekatnya kita dengan sistem Common Law ketimbang sistem hukum
Roman Law[19].
C.Diskresi dalam Masalah Hukum
Untuk memahami diskresi dalam problematika
hukum, ternyata realitasnya , bahwa pemikiran (mind-set) positif-tekstual
kurang lebih hanya akan "mengeja" suatu peraturan, menerapkan undang-undang
dan prosedur. Cara berpikir hukum seperti itu disebut "linier".
Memang itu mudah, tetapi dangkal, menggunakan kecerdasan rasional semata. Kita
bisa diingatkan kembali pada pendapat Paul Scholten, seorang pemikir hukum
Belanda, yang mengatakan "hukum itu ada dalam UU, tetapi masih harus
ditemukan". Maka menjadi salah sekaligus dangkal bila orang hanya
"mengeja" peraturan[20].
Secara ontologi konsep diskesi, perlu untuk
melakukan perenungan (contemplation) dan mencari makna lebih dalam dari suatu
peraturan. Ini sesuai gagasan Paul Scholten. Apabila "pintu perenungan
makna" dibuka, terbentanglah panorama baru di hadapan hakim. Perenungan
tidak akan berhenti pada dimensi subyektif, tetapi juga sosial. Hakim tidak
hanya mendengarkan dengan telinga subyektif, tetapi juga dengan "telinga
sosial” dan menggunakan kecerdasan spritual sehingga dapat menyelami kaedah
yang merupakan roh yang menjadi landasan suatu hukum[21].
Berdasarkan berbagai penelusuran, bahwa secara
realitas hukum, bahwa pendefinisian diskresi dikaitkan dengan masalah penetapan
hukum tentu saja muaranya kebijaksanaan yang diambil oleh hakim dalam
memutuskan perkara di antara para pihak yang bersengketa.
Berikut ini berapa contoh perkara hukum yang
terkait dengan kewenangan diskresi:
1. Keputusan
kontroversial Bismar, hukuman pidana bagi pengedar ganja ketika dia menjabat
Ketua Pengadilan Tinggi di Medan. Seorang terdakwa yang dituntut jaksa 10 bulan
penjara, Bismar melipatgandakannya menjadi 10 tahun. Yang 15 bulan menjadi 15
tahun. Karena itu, dia sangat prihatin dengan keputusan hakim yang menjatuhkan hukuman
hanya 4 tahun penjara kepada ratu ekstasi Zarima. Padahal, Zarima tertangkap
membawa 29 ribu pil setan. Apakah hakim itu tidak mengetahui dan merasakan
akibat dari perbuatan Zarima. Jika Bismar yang jadi hakimnya, Zarima layak
dihukum mati. Mestinya bikin shock therapy buat pengedar narkoba[22].
2. Kasus
Cut Mariana dan Bachtiar Tahir yang oleh Pengadilan Negeri Medan dihukum 10
bulan penjara karena dituduh memperdagangkan 161 kg ganja. Vonis ini kemudian
diubah Bismar yang waktu itu menjabat Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara,
menjadi 15 dan 10 tahun penjara [23].
3. Kemudian
hukuman 7 bulan penjara yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Tanjung Balai
terhadap kepala sebuah SMP Negeri di Kisaran, Sumatera Utara, yang dituduh
berbuat cabul dengan anak didiknya, diubah Bismar menjadi 3 tahun penjara.
Statusnya sebagai pegawai negeri juga dicabut. Bismar sebagai Ketua Pengadilan
Tinggi Sumatera Utara, menafsirkan kata
barang dalam Pasal 378 KUHP yang dituduhkan dilanggar oleh terdakwa bisa
berarti "jasa". Ini dikaitkannya dengan istilah “bonda” (barang)
dalam bahasa Tapanuli, yang juga bisa berarti alat kelamin. Jadi, bila Saksi
menyerahkan kehormatannya kepada terdakwa sama dengan menyerahkan “bonda”, ujar
Bismar berdalih[24].
4. Kasus
kendaraan pribadi yang diperbolehkan masuk jalur
busway pada jalur lalu lintas yang padat atau jika pebaikan
jalan pada lintasan tersebut [25].
6. Putusan
hakim Agung Adi Andojo Soetjipto adalah salah satu contoh, yaitu saat mengadili
kasasi Muchtar Pakpahan di masa pemerintahan Soeharto. Oleh pengadilan di
bawah, Pakpahan dijatuhi pidana atas tuduhan berbuat makar, yaitu kejahatan
terhadap negara. Dalam tingkat kasasi MA mengatakan, Pakpahan tidak melakukan
perbuatan makar. Menurut MA, para hakim di bawah telah melakukan penerapan
hukum yang salah dengan menggunakan yurisprudensi yang sudah ada sejak zaman
kolonial. Itu secara sosiologis tidak benar karena Indonesia sudah menjadi
negara merdeka dan sudah mulai menjalankan demokrasi dan memperhatikan hak
asasi manusia.
Dalam cacatan hukum Hakim
Agung Adi Andojo Soetjipto boleh dimasukkan kategori hakim yang
"meletakkan telinganya ke jantung masyarakat". Putusan itu juga bisa
disebut progresif, bila mengingat Indonesia saat itu masih dalam pemerintahan
Soeharto yang kita tahu wataknya. Seorang hakim agung berani melawan arus
dominan kekuasaan otoriter di zamannya. Inilah yang ingin dimaknai sebagai
hakim independen dan progresif. Mungkin hakim seperti ini amat sulit
dibengkokkan dan dibeli. Ia hanya bisa dibeli oleh rakyatnya[27].
Konsep diskresi dalam
penerapan kewenangan diskresi dalam instansi Kepala Kepolisian RI dapat kita
contohkan dengan memberikan diskresi kepada anak-anak yang mengonsumsi narkoba.
Penyebutan anak pengguna narkoba sebagai tersangka tidak/ kurang tepat, dan
lebih baik diganti dengan istilah korban. Anak-anak korban narkoba ini
dikembalikan kepada orang tuanya untuk selajutnya direhabilitasi. Orang tua
mengambil peran penting dalam membentengi anak dari pengaruh buruk perkembangan
zaman khususnya dari narkoba sangat penting. Orang tua harus lebih komunikatif
dengan anak bisa memahami dan mengikuti setiap perkembangan anak.
Contoh penerapan
kewenangan diskresi dalam bidang administrasi pemerintahan adalah surat edaran,
juklak dan juknis yang dikeluarkan oleh lembaga administrasi negara[28].
C.Tolok Ukur Pemberlakuan Diskresi
Bagaimana tolok ukur pemberlakuan
diskresi ? Jawaban pertanyaan ini dapat dipaparkan,
bahwa dikatakan bahwa untuk mengatur hal-hal yang lebih rinci dari pelaksanaan
suatu ketentuan undang-undang, hakim, pelaksana administrasi negara, juga kepolisian
diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapat sendiri,
namun ini tidak berarti tidak ada rambu-rambu atau koridor-koridor hukum yang
membatasinya.
Menurut
Muchsan pembatasan penggunaan diskresi adalah :
1.
Tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang
berlaku (kaedah hukum positif).
2.
Ditujukan untuk kepentingan umum
Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur
diskresi[29] adalah:
1.
Tindakan itu untuk kepentingan publik
2.
Tindakan itu dimungkinkan oleh hukum
3.
Tindakan itu diambil untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang dianggap krusial.
Lebih lanjut Prajudi
Atmosudirdjo mengemukakan bahwa pembuatan keputusan pemerintah yang dibuat oleh
pejabat publik terikat kepada 3 (tiga) asas hukum, yaitu :
1.
Asas yuridikitas (rechtsmatigheid), artinya keputusan
pemerintah tidak boleh melanggar hukum;
2.
Asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan
pemerintah harus diambil berdasarkan suatu ketentuan perundang-undangan;
3.
Asas diskresi (freies ermessen), artinya pejabat
publik tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada
peraturannya, dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan
menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridikitas dan asas
legalitas tersebut di atas[31]
Pemerintah atau dalam
hal ini pejabat publik diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan
berdasarkan pendapat sendiri, namun ini tidak berarti tidak ada rambu-rambu
atau koridor-koridor hukum yang membatasinya. Pendapat pribadinya tersebut
tetap harus merupakan pengejawantahan undang-undang yang melandasinya tersebut,
kemudian asas moralitas dan rasa keadilan masyarakat seharusnya tetap menjiwai
kewenangan diskresinya[32].
Penerapan kewenangan diskresi ini berdasarkan
: demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak
melanggar Asas hukum yang belaku[33]
(caplang.wordpress.com). Mungkin secara hukum mungkin ia melanggar, tetapi
secara asas ia tidak melanggar kepentingan umum dan hal ini merupakan instant
decision (tanpa rencana) dan itu bukan pelanggaran tindak pidana[34].
Satjipto Rahardjo menyatakan seorang pejabat
publik tidak melaksanakan peraturan tertulis secara “hitam putih”, melainkan
selalu bertanya, apakah yang dilakukannya sudah baik untuk masyarakat. Penegak
hukum bukan mesin otomat undang-undang dan prosedur. Tetapi selalu dihantui
keinginan untuk memberikan keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the
people) sehingga pengadilan menjadi pengadilan yang murni, memiliki nurani
(court with conscience). Dengan kata lain ketika memutuskan suatu perkara
selain menggunakan logika peraturan, hakim juga mempertimbangkan logika
kepautan sosial (social reasonableness) dan logika keadilan[35].
Dalam bahasa yang
senada dinyatakan pendapat pribadi dalam penerapan kewenangan diskresi tersebut
tetap harus merupakan pengejawantahan atau sekurang-kurangnya sejiwa dengan
undang-undang yang melandasinya tersebut, kemudian asas moralitas dan rasa keadilan
masyarakat[36].
Dari uraian-uraian di atas dapat digarisbawahi
pemberlakuan diskresi bahwa tolok ukur kewenangan tersebut:
1. Tidak
bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaedah hukum positif)
2. Ditujukan
untuk kepentingan umum.
3. Tindakan
itu diambil untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dianggap krusial.
4. Tindakan
ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan maupun secara hukum.
5. Asas
moralitas
6. Rasa
keadilan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat
D.Penyimpangan Kewenangan Diskresi
Diskresi
secara teoritis adalah penyimpangan. Tindakan diskresi apakah dianggap baik atau
buruk sebenarnya bukanlah substansi yang perlu dipersoalkan. Sisi positif
diskresi apabila diterapkan pada konteks masyarakat yang dinamis akan sangat
membantu untuk melakukan berbagai penyesuaian. Sehingga peraturan yang ada
tetap mampu menjawab tuntutan aspirasi dan dinamika masyarakat yang berkembang[37].
Diskresi
itu ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi bersifat positif apabila diterapkan
pada konteks masyarakat yang dinamis akan sangat membantu untuk melakukan
berbagai penyesuaian.
Diharapkan peraturan yang ada tetap mampu
menjawab tuntutan aspirasi dan dinamika masyarakat yang berkembang. Namun di
sisi lain, ia bisa menjadi bumerang bagi hakim. Karena kewenangan ini sangat
terkait dengan subjektifitas dan kebebasan hakim sehingga rentan pada
penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang. Hakim dimungkinkan memutuskan suatu
perkara dengan tidak memenuhi rasa keadilan dan kemudian mereka berlindung di
belakang kewenangan diskresi yang dimilikinya.
Luasnya diskresi
membuka peluang untuk penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran. Hal ini jelas
perlu diantisipasi dengan pengaturan yang lebih rinci, limitatif, dan memiliki
tolok ukur yang obyektif untuk menilai bagaimana aparat penegak hukum dan hakim
harus menjalankan tugas dan wewenangnya.
Kelemahannya adalah selama ini diskresi aparat
penegak hukum dan hakim masih besar dan belum disertai tolok ukur yang obyektif
dalam pelaksanaannya. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam diskresi yang luas
dan subyektif bagi penyelidik/ penyidik/penuntut/hakim untuk mengartikan “bukti
yang cukup, ada kekhawatiran tersangka/terdakwa melarikan diri, atau
menghilangkan alat bukti” sebagai dasar penahanan tersangka atau terdakwa.
Selain itu masalah diskresi ini pun dapat dilihat dalam aturan MA, dimana tidak
ada batas waktu yang jelas bagi hakim agung untuk menyelesaikan suatu perkara.
Oleh karena itu, perlu dibuat suatu pembatasan atas penggunaan diskresi bagi
aparat penegak hukum dan hakim. Selain itu, untuk menutup peluang
penyalahgunaan wewenang, pengaturan tentang diskresi yang teknis, baik itu
standard operation procedure (SOP), buku pedoman, Prosedur Tetap atau istilah
lainnya, penting sebagai dasar untuk menilai performance dan perilaku aparat
penegak hukum dan hakim[38].
Sebagaimana telah
disinggung sebelumnya bahwa kewenangan diskresi ini juga terdapat pada lembaga
adminstrasi negara maupun institusi kepolisian negara. Sehingga penyelewengan
penggunaan kewenangan diskresi ini terjadi pada lini ini, seperti kasus:
1. Proyek
mobil nasional yang dicanangkan di masa rezim orde baru merupakan contoh nyata
terjadinya penyalahgunaan diskresi dalam praktek penyelenggaraan negara.
Dalih
untuk memajukan industri otomotif di Indonesia agar setaraf dengan negara maju,
Soeharto sebagai seorang pejabat publik telah dengan sengaja melakukan
pelanggaran beberapa asas hukum yang seharusnya dipedomani, sekalipun kebijakan
yang dibuatnya tersebut dikategorikan kedalam suatu bentuk diskresi, yaitu:
a.
Keputusan pemerintah untuk memberikan keistimewan
pembebasan pajak kepada PT. Timor Putra Nasional telah melanggar asas legalitas
terhadap undang-undang Perpajakan yang seharusnya dikenakan secara sama pada
pengusaha;
b.
Saat diberlakukannya keputusan pemerintah tersebut,
reaksi pasar baik dalam negeri maupun luar negerif tetapi pemerintah tetap
memaksakan kebijakannya sehingga dapat dikatakan bahwa dengan reaksi tidak
diterimanya kebijaksanaan pemerintah tersebut oleh masyarakat Indonesia dan
masyarakat internasional maka legitimitas keputusan pemerintah tersebut sangat
kurang dan oleh karenanya tidak layak untuk tetap pertahankan;
c.
Telah dilanggarnya prinsip moralitas atau rasa
keadilan masyarakat yang seharusnya senantiasa diperhatikan dan dijunjung
tinggi oleh pembuat kebijakan. Masyarakat Indonesia pasti mengetahui bahwa
kebijakan yang dibuat oleh Soeharto adalah upaya memperkaya diri sendiri,
keluarga atau kroni-kroninya.
Jika kita merujuk kepada asas-asas suatu pemerintahan
good governance, maka dalam kasus
Proyek Mobil
Nasional, Soeharto sebagai seorang pejabat publik pada saat itu dinilai telah
melakukan penyalahgunaan jabatan dan wewenang, yaitu dengan ditegakkannya
asas-asas:
a.
Orang-orang yang ikut menentukan terjadinya keputusan
tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi (vested interest) di dalam keputusan
tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung;Jika kita merujuk kepada
prinsip ini, maka kebijakan proyek mobil nasional harus batal demi hukum tanpa
memeriksa lagi kasusnya, oleh karena bukan hanya vested interest yang telah
terjadi disini melainkan hal yang lebih parah,yaitu unsur-unsur korupsi, kolusi
dan nepotisme;
b.
Asas larangan kesewenang-wenangan, dalam kasus Proyek
Mobil Nasional tersebut Soeharto telah melakukan suatu kebijakan tanpa
mempertimbangkan semua faktor yang relevan secara lengkap dan wajar, sehingga
secara logika tampak atau terasa adanya ketimpangan. Sikap sewenang-wenang
tersebut dikategorikan telah terjadi oleh karena ia menolak untuk meninjau
kembali keputusannya yang oleh masyarakat yang bersangkutan dianggap tidak
wajar. Keputusan tersebut dapat digugat pada pengadilan perdata sebagai
perbuatan penguasa yang melawan hukum.
c.
Asas larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de
pouvoir), yaitu Soeharto menyalahgunakan wewenang diskresi yang diberikan
kepadanya.
d. Asas
larangan melakukan diskriminasi hukum, dalam kasus Proyek Mobil Nasional ini
Soeharto dinilai bahwa tidak mampu untuk berpikir, mempertimbangkan segala
sesuatunya, dan melakukan evaluasi sedemikian rupa sehingga memperlakukan
anggota masyarakat lain (dalam hal ini para pengusaha) secara sama dan
sebanding [39].
Secara ilmiah terdapat
istilah- istilah yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang ini seperti discretionery corruption: koprupsi
yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan,
sekalipun nampaknya bersifat sah [40].
Salah satu kasus
terkait perkara korupsi pengadaan mobil
pemadam kebakaran. Pusaran kasus ini adalah Radiogram
Depdagri yang ditandatangani Dirjen Otonomi Daerah Oentarto
Sindung Mawardi. Dalam sidang, ahli Emin Adi Muhaimin dari Bappenas menegaskan kedudukan
Radiogram itu lebih rendah dari Keppres pengadaan barang dan
jasa. Karena itu, Radiogram tidak boleh bertentangan dengan Keppres tersebut [41].
Denny Indrayana Ahli
Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa penyelenggara
negara berwenang mengeluarkan diskresi atau kebijakan yang menyimpangi
peraturan dalam kondisi tertentu. Misalnya dalam keadaan darurat atau dalam
keadaan mendesak. Sayang, diskresi yang dibuat kerap hanya menguntungkan penguasa
dan kroni-kroni. Diskresi semacam itu harus diproses melalui hukum pidana.
”Sudah memenuhi unsur tindak pidana korupsi,” kata Denny[42].
Selain memenuhi unsur
‘menguntungkan’, diskresi semacam ini juga masuk kualifikasi unsur melawan
hukum. Biasanya diskresi yang ditelurkan bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi. Misalnya Peraturan Pemerintah (PP) 37/2007 tentang insentif DPR.
PP itu bertentangan dengan UU No. 10/2004 . Dalam UU 10/2004 peraturan
perundang-undangan dilarang untuk berlaku surut. Sementara PP itu malah
melegalkan pemberian insentif secara surut. “Itu merupakan bentuk
penyalahgunaan kewenang,” tegas Denny[43].
Realitasnya dalam
institusi kepolisian negara, kita juga sering mendengar dan menyaksikan
tindakan polisi yang dianggap “menyimpang” ketika menangani tindak kejahatan
ditengah-tengah masyarakat. Dan ketika ditanyai oleh wartawan mereka lalu
berlindung di bawah “payung” diskresi.
Misalnya Penembakan
Nia Sari. Banyak pihak mengecam keras aksi anggota Satuan Intelijen Keamanan
Kepolisian Resor Bogor, Brigadir (Pol) Suwandi, yang menembak mati seorang anak
perempuan berusia 15 tahun, Nia Sari, di bagian kepalanya. Jenazah Nia,
ditemukan di belakang Kantor Desa Tengah, Cibinong, Bogor. Tidak hanya itu,
kronologis versi Polres Bogor soal kejadian itu pun dinilai mengada-ada dan
sekadar menjadi alibi yang sengaja dibuat untuk melindungi pelaku. Peristiwa
seperti itu menunjukkan adanya penyalahgunaan serius kewenangan diskresi yang
dimiliki polisi[44].
E.Diskresi dalam Wacana Hukum Islam
Apakah Hukum Islam mengena
adanya konsep diskresi? dalam wacana hukum Islam dikenal adanya istilah ijtihad
[45] (proses
penggalian hukum Islam). Ijtihad ini dilakukan oleh seorang yang dikategorikan
sebagai mujtahid (ahli hukum Islam) dalam menjawab problematika hukum Islam
yang terjadi di tengah- tengah masyarakat. Proses kreatif ini dapat
dianalogikan dengan proses seorang hakim dalam tugasnya dalam memutuskan
perkara hukum.
Ada beberapa metode
ijtihad yang dapat ditempuh oleh para mujtahid dalam proses penggalian hukum
Islam. Terkait dengan bahasan kita tentang diskresi hukum, maka yang akan
disinggung berikut ini dibatasi pada metode ijtihad yang memungkinkan
terjadinya diskresi hukum.
Menurut penelusuran literatur,
dalam beberapa metode ijtihad dimungkinkan terdapat kasus-kasus yang diputuskan
dengan diskresi. Ini adalah sebuah indikasi awal bahwa para mujtahid itu tidak
terpaku begitu saja terhadap ayat al-Qur’an dan hadis nabi secara literalis.
Tetapi mereka juga mempertimbangkan azas-azas, maksud dan tujuan dibalik teks
nash tersebut. Sehingga ketika menetapkan suatu hukum, boleh jadi mereka
“keluar” dari ketentuan yang secara eksplisit terdapat dalam al-Qur’an dan
Sunah. Pada dasarnya ijtihad itu dilakukan oleh para ulama mujtahid
berlandaskan maqshid asy-syari’ah; yaitu memelihara agama, jiwa, harta,
kehormatan, dan keturunan pada tataran dharuri, haji dan tahsini.
Diskresi dalam wacana hukum Islam menurut
penilaian penulis bukan saja dipraktekkan oleh para mujtahid di era keemasan
ilmu-ilmu keislaman; di masa imam mazhab yang empat dan kemudian diteruskan
oleh para pengikut mereka. Tapi jauh sebelumnya pada masa tabi’in dan sahabat.
Bahkan nabi pun selaku seorang yang bertugas menyampaikan wahyu Allah berupa
al-Qur’an kepada umatnya pernah memaknai suatu hukum berbeda dengan yang
dijelaskan dalam al-Qur’an [46].
Berikut
ini akan diuraikan metode - metode ijtihad yang memungkinkan terjadinya
diskresi hukum. Dalam hukum Islam beberapa konsep yang
selaras dengan konsep diskresi contoh – contohnya, sebagai berikut:
1.
Istihsan
Istihsan adalah
beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain dari padanya (qiyas
pertama). Dalam hal ini mujtahid tidak menggunakan qiyas zhahir dalam
memutuskan permasalahan hukum yang dihadapinya tapi beralih menggunakan qiyas
khafi. Karena menurut pertimbangannya cara itulah yang paling tepat[47]. Dalam
Istihsan ini seorang mujtahid tidak menggunakan ketentuan yang telah secara
jelas yang terdapat dalam al-Qur’an dan atau hadis. Tapi ia beralih menggunakan
ketentuan lain yang dianggap lebih kuat.
Berikut ini beberapa contoh kasus penetapan hukum
dengan menggunakan Istihsan:
a.
Sanksi hukum terhadap pencuri.
Menurut
ketentuan umum berdasarkan ketentuan dalam al-Qur’an, sanksi bagi orang yang
mencuri adalah potong tangan sebagaimana firman Allah:
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah
tangan-tangan keduanya. QS al-Maidah/5: 37
Berdasarkan ayat di atas, bila seseorang
itu mencuri dan jika telah memenuhi ketentuan pemberlakuan hukuman potong
tangan, maka diberlakukanlah hukuman potong tangan.
Namun bila pencurian tersebut dilakukan
pada masa pacelik; kelaparan dan dilakukan dalam keadaan terpaksa untuk
mempertahankan hidup, maka hukum potong tangan yang bersifat umum itu tidak
diberlakukan. Hal ini karena dalam kasus ini berlaku hukum khusus. Peralihan
dari hukum umum kepada hukum khusus ini dalam ilmu Ushul Fiqh disebut dengan
Istihsan. Praktek ini pernah dicontohkan oleh Umar ibn Khattab di masa
pemerintahannya[48]
b. Orang
yang makan dan minum karena lupa ketika ia sedang berpuasa
Pada
hakikatnya ibadah puasa adalah menahan makan, minum dan segala hal yang
membatalkannya mulai terbit fajar hingga terbenam Matahari. Maka ibadah puasa
seseorang itu batal ketika ia makan minum sedang berpuasa. Namun hukum itu
dikecualikan oleh hadis nabi yang menyatakan: Siapa yang makan dan minum karena
lupa tidak batal puasanya. Karena hal itu merupakan rizki yang diturunkan Allah
kepadanya (HR. at-Tirmidzi)[49]
c.
Dokter melihat aurat pasien wanita pada saat
pemeriksaan kesehatan
Secara
umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tetapi dalam keadaan tertentu
seseorang harus membuka pakaiannya untuk dilakukan pemeriksaan dan
pendiagnosaan penyakitnya. Berdasarkan pertimbangan kemashlahatan orang
tersebut, maka menurut kaedah Istihsan seorang dokter laki-laki diperbolehkan
melihat aurat pasiennya yang perempuan[50]
2.
Mashlahah Mursalah
Mashlahah Mursalah
adalah apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum; namun tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan
tidak ada pula petunjuk syara’ yang menolaknya[51]
Berdasarkan metode
mashlahah mursalah ini dimungkinkan terjadinya suatu hukum yang telah
digariskan secara jelas oleh al-Qur’an dan atau hadis kemudian “diabaikan” dan
beralih mengambil ketentuan hukum lain yang sebenarnya lebih sesuai dengan
kemaslahat umum. Berikut ini diuraikan beberapa kasus diskresi hukum yang
terjadi pada metode mashlahah mursalah:
a.
Memerangi mani’ az-zakah pada masa pemerintahan Abu
Bakar Shiddiq
Kewajiban membayar zakat merupakan salah satu
kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap muslim yang mampu dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan. Kewajiban ini merupakan salah satu ajaran
dasar dalam Islam, sebagai rukun Islam yang ketiga.
b.
Setelah Rasulullah wafat; pada masa pemerintahan Abu
Bakar Shiddiq sebagian masyarakat muslim enggan mengeluarkan kewajiban ini.
Mungkin mereka menyangka zakat semacam “upeti” kepada Rasulullah. Dan setelah
beliau wafat, maka gugurlah kewajiban tersebut. Abu Bakar dengan pertimbangan
untuk kemashlahat umat, kemudian memerintahkan untuk memerangi mereka.
c. Tidak
memberikan hak zakat untuk para muallaf pada masa Umar ibn Khattab
Dalam QS at-Taubah/9: 60 ditegaskan bahwa
salah satu ashnaf (kelompok) yang berhak atas harta zakat adalah para muallaf
(mereka yang baru masuk Islam). Pada masa pemerintahannya Umar tidak
mengeluarkan bagian para muallaf ini. Menurut Umar kondisi umat Islam telah
kuat sehingga tidak perlu lagi memberikan reward kepada orang yang baru masuk
Islam melalui harta zakat. Hal ini merupakan ujian kepada para muallaf atas
keyakinannya untuk masuk Islam—masuk Islam bukan karena iming-iming materi.
d.
Penanganan onta-onta yang tersesat pada masa Usman ibn
Affan
Nabi telah memberikan petunjuk dalam menangani
onta yang tersesat; terpisah dari pemiliknya. Di masa Nabi, onta-onta tersebut
dibiarkan lepas untuk mencari makan sendiri dan tidak boleh ditangkap.
Kebijakan ini lalu
dirobah oleh khalifah Usman ibn Affan. Pada masa pemerintahan khalifah Usman
ibn Affan keadaan masyarat telah mulai pengalami pergeseran. Di tengah-tengah
masyarakat ternyata telah mulai banyak orang yang kurang baik akhlaknya dan
tangan jahil yang suka mengambil milik orang lain dengan cara yang tidak
dibenarkan agama. Dengan ijtihadnya Usman menetapkan bahwa onta yang tersesat
itu harus ditangkap lalu dijual. Kemudian hasil penjualannya akan diserahkan
kepada pemilik onta yang sah nantinya. Ketentuan ini diberlakukan Usman
berdasarkan pertimbangan kalau onta tersebut tidak ditangkap—dibiarkan lepas
mencari makan sendiri, maka akan dicuri orang dan hilanglah hak pemiliknya.
Sedang kalau onta tersebut dijual, hak si pemilik akan terpelihara[52].
e. Kebijakan
Umar ibn Khattab tidak membagikan ghanimah (harta pampasan perang) berupa tanah
pertanian di Irak. Meski pun di dalam al-Qur'an terdapat tentang pembagian
ghanimah, namun Umar mengambil kebijakan setelah ia berijtihad untuk tidak
membagikan pampasan perang yang berupa tanah kepada para prajuritnya setelah
penaklukan Irak. Tetapi tanah-tanah tersebut tetap digarap oleh para pemiliknya
lalu mereka dikenakan pajak (kharaj).
Umar melihat cara inilah yang terbaik untuk
kepentingan umum. Sementara jika tanah-tanah tersebut dibagikan kepada para
tentaranya yang telah ikut berperang, maka kemungkinan tanah tersebut akan
tidak produktif dan terlantar karena mereka prajurit itu sibuk berperang,
memelihara wilayah kekuasaan Islam.
3.
Sad adz-Dzari’ah
Sad adz-dzari’ah
menutup jalan terjadinya kerusakan. Dasar pegangan para Ulama dalam penggunaan
sa adz-dzari’ah adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi benturan
antara mashlahat dan mafsadat. Jika faktor mashlahatnya yang dominan maka
perbuatan itu boleh dilakukan. Namun jika sebaliknya; mafsadatnya yang dominan
maka perbuatan itu harus ditinggalkan. Dan jika sama kuat antara keduanya maka
untuk ihtiyath diambil prinsip yang berlaku,” dar-u al-mafasid muqaddam ‘ala
jalb al-mashalih”.
Dalam metode ijtihad
ini akan kita lihat permasalahan yang pada dasarnya dibolehkan dalam syari’at
Islam. Namun kemudian dipalingkan dari ketentuan dasar yang memperbolehkan
permasalahan tersebut karena ternyata terdapat kemafsadatan besar yang akan
terjadi dibaliknya. Di sini letak diskresi dalam metode ijtihad ini. Berikut
ini dipaparkan beberapa contoh:
a.
Pernikahan Tahlil
Pada dasarnya
syari’at Islam menganjurkan seseorang untuk menikah. Banyak sekali ayat
al-Qur’an dan Hadis Nabi yang menegaskan hal tersebut. Ditinjau dari segi
motivasi melakukan suatu pekerjaan, suatu pekerjaan yang awalnya dianjurkan
oleh syara’ menjadi terlarang ketika dilakukan berdasarkan motivasi yang tidak
benar seperti kasus nikah Tahlil. Nikah Tahlil adalah pernikahan
“bohong-bohongan” seorang laki-laki dengan seorang janda yang telah bercerai
talak tiga dengan suami sebelumnya. Ini adalah sebagai syarat bagi sang janda
untuk menikah kembali dengan mantan suaminya yang telah menjatuhkan talak tiga
tersebut [53].
Larangan
laki-laki muslim menikahi wanita ahl al-kitab
Di dalam
al-Qur’an dinyatakan tentang kebolehan seorang laki-laki muslim menikah dengan
perempuan ahl al-kitab. Namun para ulama termasuk di dalamnya Majlis Ulama
Indonesia (MUI) lalu melarang (mengharamkan) bentuk pernikahan tersebut.
Pertimbangan pengharaman ini adalah sad adz-dzari’ah; dalam kondisi masyarakat
sekarang ini dikhawatirkan sang pria muslim dengan rayuan dan pengaruh istrinya
dapat saja melakukan konversi agama. Tentu saja hal ini kontra produktif dengan
alasan pembolehan awal bentuk pernikahan ini yakni; dalam rangka dakwah
islamiyah untuk mengajak istri yang ahl kitab untuk memeluk agama Islam[54].
F.Penutup
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Diskresi
adalah kewenangan mencakup kewenangan yang bersifat merdeka untuk mengambil
keputusan yang tepat/ sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, tidak
berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undang-undang atau hukum yang
berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan.
2.
Pemberlakuan diskresi dalam masalah hukum berlandaskan
pada:
a. Tidak
bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaedah hukum positif)
b. Ditujukan
untuk kepentingan umum.
c. Tindakan
itu diambil untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dianggap krusial.
d. Tindakan
ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan maupun
secara
hukum.
e. Asas
moralitas
f. Rasa
keadilan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat
3.
Latar belakang pemberlakuan kewenangan diskresi dalam
sistem hukum kita yang menganut sistem Civil Law sebagai alternatif untuk
mengisi kekurangan dan kelemahan dalam penerapan azas legalitas. Bagi negara
yang bersifat welfare state, azas legalitas saja tidak cukup untuk dapat
berperan secara maksimal dalam melayani kepentingan masyarakat, yang berkembang
pesat sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pertimbangan
lainnya adalah adanya realitas bahwa suatu kebijakan atau peraturan tidak
mungkin mampu merespons banyak aspek dan kepentingan semua pihak sebagai akibat
adanya keterbatasan prediksi para aktor atau stakeholders dalam proses
perumusan suatu kebijakan atau peraturan.
4.
Dalam wacana hukum Islam, ijtihad—proses penggalian
hukum dari al-Qur’an dan Sunnah-- yang dilakukan seorang mujtahid itu tidak
terpaku begitu saja terhadap ayat al-Qur’an dan hadis nabi secara literalis.
Tetapi mereka juga mempertimbangkan azas-azas, maksud dan tujuan dibalik teks
nash tersebut. Sehingga ketika menetapkan suatu hukum, boleh jadi mereka
“keluar” dari ketentuan yang secara eksplisit terdapat dalam al-Qur’an dan
Sunah. Pada dasarnya ijtihad itu dilakukan oleh para ulama mujtahid
berlandaskan maqshid asy-syari’ah. Metode - metode ijtihad yang memungkinkan
terjadinya diskresi hukum antara lain: Istihsan, mashlahah mursalah, dan sad
adz-dzri’ah.
Daftar Pustaka
Ariadi, Toni, Kepolisian dalam Perspektif Penegakan
Hukum, http://polair-riau.com Powered by Joomla! Bismar Siregar, www.ghabo.com
Diskresi Jalanan, caplang.wordpress.com
Diskresi Terhadap Anak Pengguna Narkoba Disambut
Positif, www2.kompas.com
Dwiyanto, Agus, dkk, 2002, Reformasi Birokrasi Publik
di Indonesia, Yogyakarta; Galang Pritika
Erlyn, Indarti, 2002, Diskresi Polisi, Semarang: Badan
Penerbit Undip.
Rahardjo, Satjipto, 2008, Membedah Hukum Progresif,
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, cet.ke-3
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara
Soekanto, Soerjono, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Syarifuddin, Amir, 2001, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu
[1]
Neufeldt [ed], tt, Webster New World, USA: Macmillan, h.99
[2]
Prakoso, Djoko, 1987, Polri Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum, Jakarta: PT
Bina Aksara,h. 180
[3]
Ibid, h.181
[4]
Puspa, Yan Pramadya, 2004, Kamus Hukum, Semarang: Aneka Ilmu, h.84
[5]
Gifis, Steven H, 1975, Law Dictionary, New York: Barron’s Educational Series,
Inc, h.61
[6]
Erlyn, Indarti, 2002, Diskresi Polisi, Semarang: Badan Penerbit Undip, h.120
[7]
Ridwan HR, 2007, Hukum Administrasi Negara, h. 177
[8]Penyalahgunaan
Diskresi pada kebijakan Mobil Nasional, zuryawanisvandiarzoebir.blogspot.com
[9]
Manan, Bagir, 2004, Hukum Positif Indonesia(Satu Kajian Teoritik), Yogyakarta:
FH UUI Press, h. 16
[10]
Ibid
[11]
Kewenangan Diskresi Kepolisian dan Pertanggungjawabannya secara Hukum www.contohskripsitesis.com
[12]
Rahardjo, Satjipto, 2008, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, cet.ke-3, h. 38
[13]
Ibid. H. 39
[14]
Soekanto, Soerjono, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, h. 44
[15]
Ibid, h. 45
[16] Dwiyanto,
Agus, dkk, 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakartaa; Galang
Pritika
2 komentar:
NAMA : RAMALIAH T.A
NIM : A1011141243
MATA KULIAH : HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
KELAS : A (REGULER A )
SEMESTER : III (TIGA)
DOSEN : TURIMAN SH.M.Hum
ASSALAMUALAIKUM WR.WB
Sebelumnya saya ucapkan terimakasih kepada bapak Turiman SH.M.Hum selaku dosen mata kuliah Hukum Administrasi Negara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengomentari artikel yang berjudul "Antara Diskresi & Penyalahgunaan Wewenang".
Diskresi adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan berdasarkan pendapat sendiri. Selain dalam bidang hukum, diskresi juga ditemukan dalam bidang administrasi yang lain misalnya dalam bidang administrasi negara, institusi kepolisian, dll. Diskresi dalam bidang administrasi negara dikenal dengan sebutan freis ermessen. Freis ermessen berarti salah satu sarana yang memberikan ruang gerak kepada pejabat public atau badan administrasi negara untuk bertindak tanpa harus terikat sepenuhnya kepada undang-undang. Pemerintah atau pejabat public di berikan wewenang untuk mengambil keputusannya sediri, namnun ini tidak berarti tidak ada rambu-rambu atau koridor hokum yang membatasinya. Penerapan wewenang diskresi ini harus menyangkut kepentingan umum, masih dalam batas kewenangannya, untuk menyelesaikan masalah yang bersifat krusial, dapat dipertanggung jawabkan, asas moralitas, tidak melanggar asas hukum yang berlaku, menciptakan keadilan ditengah-tengah masyarakat.
Sekian tanggapan saya, mohon maaf apabila ada kesalahan kata ataupun huruf Sekiranya mohon dimaafkan. Terimakasih
WASSALAMUALAIKUM WR.WB
NAMA : muhammad rifqi fazlurrahman
NIM : A1011141120
MATA KULIAH : HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
KELAS : A (REGULER A )
SEMESTER : III
menurut saya diskresi ini sangat dibutuhkan oleh pejabat pejabat negara apalagi yang berkenaan dengan hal administrasi negara karena diskresi merupakan kebebasan bertindak atau mengambil keputusan berdasarkan keputusan sendiri. karena diskresi ini pejabat dapat bertindak leluasa dalam menjalankan wewenangnya tanpa harus terlalu terpaku pada undang-undang selama tidak menyalahi undang-undang tersebut.
akan tetapi pada realita kehidupan zaman sekarang banyak juga pejabat-pejabat yang menyalah gunakan diskresi ini.
Posting Komentar