Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara Republik Indonesia
Oleh:
Turiman Fachturahman Nur ,SH,MH
Prolog
“Saudara-saudara, lihatlah Lambang Negara
kita di belakang ini. Alangkah megahnya. Alangkah hebatnya dan cantiknya.
Burung Elang Rajawali, Garuda yang
sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 buah, dengan ekor yang berelar 8 buah,
tanggal 17 bulan 8, dan yang berkalungkan perisai yang di atas perisai itu
tergambar Pancasila,” demikian pidato Persiden Soekarno di Istana Negara, Jakata, 22 Juli 1958.
Republik
Indonesia Serikat (RIS) menetapkan Elang Rajawali-Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara terhitung 11 Februari 1950. Empat
hari kemudian pada 15 Februari 1950, Presiden
Soekarno memperkenalkan untuk pertama kali lambang negara tersebut kepada
khalayak umum di Hotel Des Indes, (sekarang Pertokoan Duta Merlin, Jalan Gajah
Mada, Jakarta Pusat). Inilah karya terbesar Sultan Hamid II yang ditugaskan secara khusus
oleh Presiden Soekarno untuk merancang lambang negara republik Indonesia,
setelah diangkat menjadi
Menteri Negara Zonder Portofolio,
terhitung 20 Desember 1949.
Dalam
kaitan penetapan Lambang Negara tersebut dilaksanakan pameran di Hotel des Indes, Jakarta. Pameran itu digagas langsung
Presiden Soekarno sebagai rasa puas yang
teramat dalam dari Presiden terhadap proses pembuatan Lambang Negara Elang Rajawali - Garuda Pancasila oleh Sultan Hamid II, Sultan Pontianak - Kalimantan Barat. Hotel des Indes dipilih sebagai tempat pameran karena
pada masa itu dikenal sebagai hotel paling mewah dan bergengsi di
Jakarta. Beroperasi mulai tahun 1856 sampai 1960 di Weltevreden, Batavia (Jakarta). Banyak peristiwa penting yang dilaksanakan di
Hotel de Indes, antara lain
sebagai tempat ditandatangani Perjanjian Roem - Roijen, pada 7 Mei 1949.
Tanah
lokasi Hotel des Indes
pada mulanya dimiliki oleh Reinier de Klerk sejak tahun 1760. Tanah dan
rumahnya dijual
de Klerk kepada C. Postmans pada tahun 1774. Pada tahun 1824, tanah dan bangunan dibeli pemerintah untuk sekolah
asrama putri. Pada tahun 1829, tanah dan bangunan di lokasi tersebut dibeli orang Perancis
bernama Antoine Surleon Chaulan yang mendirikan sebuah hotel yang diberi nama Hotel de Provence.[1]
Pada tahun 1845,
putranya, Etienne Chaulan mengambil alih pengelolaan hotel tersebut dari tangan ayahnya.
Di bawah manajemen Cornelis Denning Hoff, Hotel de Provence berganti nama menjadi
Rotterdamsch Hotel pada tahun 1851,
dan setahun
kemudian
(1852), dijual kepada
orang Swiss bernama François Auguste Emile Wijss yang menikah dengan keponakan
perempuan dari Etienne Chaulan. Pada 1 Mei 1856, Wijjs mengganti nama hotel ini menjadii Hotel des Indes, atas usulan Douwes Dekker.
Pada tahun 1860, hotel ini
dijual lagi kepada seorang Perancis bernama Louis George Cressonnier. Setelah
Louis George Cressonnier meninggal
pada tahun 1870,
keluarganya menjual Hotel Des Indes kepada Theodoor Gallas. Pada tahun 1886, Gallas menjual hotel ini
kepada Jacob Lugt yang meperluas hotel
secara
besar-besaran dengan cara membeli tanah di sekeliling hotel. Setelah Lugt
mendapat masalah keuangan, Hotel des Indes dijadikan perseroan terbatas N.V
Hotel des Indes pada tahun 1897. Pada tahun 1903, hotel ini berada di bawah
manajemen J.M. Gantvoort sebelum dikelola oleh Nieuwenhuys.
Menurut
Alfred Russel Wallace yang berada di Batavia pada tahun 1861, “Hotel des Indes sangat
nyaman, setiap tamu disediakan kamar duduk dan kamar tidur menghadap ke beranda. Di
beranda, tamu dapat menikmati kopi pagi dan kopi sore. Pada pukul sepuluh
disediakan sarapan table d'hôte,
dan makan malam
mulai pukul enam, semuanya dengan harga per-hari yang pantas.” Salah seorang tamu yang selalu tinggal di hotel ini
adalah Sultan Hamid II, Menteri Negara Zonder Portofolio RIS. Meskipun jabatannya seorang menteri
Negara, Sultan Hamid II tidak menerima fasilitas layaknya seorang menteri
seperti rumah dan kendaraan dinas.
John
T. McCutcheon menulis,
pada tahun 1910 bahwa bila dibandingkan dengan Hotel des Indes, semua hotel di
Asia berada di bawahnya. John T. McCutcheon bercerita tentang kemewahan riijsttafel di hotel ini, “Anda harus
makan siang lebih awal agar ada cukup waktu untuk menikmatinya sebelum makan
malam. Makan siang disajikan oleh 24 orang pelayan yang berbaris memanjang,
mulai dari dapur hingga ke meja, dan kembali ke dapur dengan berbaris. Setiap
pelayan membawa sepiring makanan berisi salah satu lauk dari keseluruhan 57
lauk pauk untuk rijsttafel. Anda mengambil sendiri lauk dengan sebelah tangan
hingga lelah, lalu bergantian dengan tangan yang sebelah lagi. Ketika Anda
sudah siap makan, piring anda terlihat seperti bunker di padang golf yang
dipenuhi nasi.”
Tempat bersejarah yang mempunyai kaitan erat dengan
lambang Negara Garuda Pancasila itu kini tinggal sebuah
nama. Pada tahun 1960 pemerintah Indonesia mengambil alih Hotel
Des Indes,
dan diganti namanya menjadi Hotel Duta Indonesia. Pada tahun 1971, bangunan
Hotel Duta Indonesia (d/h:
Hotel Des
Indes) yang bersejarah
itu dibongkar
untuk didirikan Pertokoan Duta Merlin, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat.
Kementerian
Luar Negeri
Karena alasan politik, cukup
lama Sultan Hamid II tidak diakui sebagai perancang Lambang Negara Indonesia (Elang
Rajawali - Garuda Pancasila). Pengakuan
resmi Pemerintah Republik Indonesia terhadap karya Sultan Hamid II sebagai
Perancang Lambang Negara Indonesia, ditandai dengan langkah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dan Museum Konferensi Asia Afrika, di Bandung, Provinsi Jawa Barat, menerbitkan buku kecil
berwarna yang meramu berbagai bahan dari penelitian tesis Turiman Fachturahman
Nur dan dokumen yang berada di Yayasan Sultan Hamid II, ukuran 11 centimeter x
20 centimeter, setebal 48 halaman di awal tahun 2012. Di dalam buku saku itu,
disebutkan dari berbagai rancangan yang dibuat, rancangan dibuat oleh Sultan Hamid II yang dipilih Presiden Soekarno sebagai Lambang Negara yang kemudian dikenal
dengan Garuda Pancasila.
Penerbitan buku Sejarah Lambang Negara Indonesia,
setelah digelar Diskusi Ilmiah di
Sekretariat Negara, Jalan Veteran Nomor 17, Jakarta pada Rabu, 29 Februari 2012, yang dibuka oleh Sekretaris
Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, Lambock V Nahattand. Diskusi Ilmiah tersebut menghadirkan Tiga Narasumber (Pemateri). Narasumber pertama adalah Prof. DR. Dadan Wildan, M.Hum, yaitu sebagai Ketua Penyusun buku: Garuda Lambang Negara Republik Indonesia, Proses Penciptaan,
Simbolisasi Makna, Serta Penggunaan Lambaga Negara.
Narasumber kedua adalah Turiman Fachturrahman Nur, S.H., M.H., Peneliti Sejarah
Hukum Lambang Negara Republik Indonesia dari Fakultas Hukum Universitas
Tanjungpura, Pontianak - Kalimantan
Barat, dan Narasumber ketiga adalah Anshari
Dimyati, S.H., M.H., Peneliti dari Yayasan Sultan Hamid II (Sultan Hamid II
Foundation), Jakarta. Diskusi Ilmiah tersebut dihadiri juga oleh Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II, yaitu Max Yusuf Al-Qadrie yang sekarang bertindak sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Sultan Hamid II (Sultan Hamid II Foundation), Dekan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Prof. DR. H. Garuda Wiko, S.H., Msi, dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura DR. Firdaus, S.H., M.Msi
Dalam buku saku 48 halaman dicantumkan pula Biodata Panita Lambang Negara, yakni Sultan Hamid II, Muhammad Yamin, Ki
Hajar Dewantara, Mohammad Natsir, M. A. Pellaupessy, Poerbatjaraka. Dilukiskan pula didalamnya detik-detik perancangan
Lambang Negara di halaman 33. Sedangkan di halaman 37 – 42, dilansir kegiatan
ulang tahun Lambang Negara Garuda Pancasila di Gedung Merdeka, Jakarta, satu
tahun sebelumnya, yakni tepatnya pada Jum’at, 11 Februari 2011.
Masyarakat antusias menyaksikan kegiatan ulang tahun Garuda Pancasila yang digelar pada Jum’at, 11 Februari 2011 di Museum Gedung Konferensi
Asia Afrika, Bandung. Pada halaman 38 ada foto tarian seorang laki-laki
berkostum Suku Dayak memegang mandau di tangan kanan, perisai di tangan kiri,
telanjang dada dan hiasan manik-manik serta bulu burung di kepala. Sementara di
halaman 42, tampak Ketua Dewan Pembina Yayasan Sultan Hamid II (Sultan Hamid II Foundation) Max Yusuf Al-Qadrie menghampiri Narasumber kegiatan ulang tahun ke-60 Lambang Negara Garuda Pancasila
tahun 2011, yakni DR. Asvi Warman Adam, APU, Sejarawan senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Turiman Fachturrahman
Nur, S.H., M.Hum., (Peneliti Lambang Negara dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura),
hadir
pula Hilarion Widyatmoko dan Nanang Rakhmat Hidayat.
“Pameran Lambang Negara Garuda Pancasila di Gedung Pancasila
oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia selama tiga pekan, 19 Juli - 14
Agustus 2012, menjelaskan
kaitan historis Lambang Negara Garuda dengan Gedung Pancasila,” demikian Kepala Subdirektorat Isu Aktual dan
Strategis Direktorat Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, Eni Hartati sebagaimana dilansir Detik.com, 26 Juli 2012. Pameran
digelar di Gedung Pancasila, Jalan Pejambon, Jakarta, dibuka secara
resmi oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Budi
Bowoleksono, Kamis, 19 Juli 2012.
Ketika
membuka pameran, Budi Bowoleksono
menekankan tujuan penyelenggaraan pameran ini sebagai bagian dari upaya
mengajak masyarakat umum lebih mengenal lingkungan Kementerian Luar Negeri,
terutama Gedung Pancasila yang dibangun pada 1830, serta fungsinya pada masa
sekarang. Sejarah lahirnya Lambang Negara Burung Garuda Pancasila, yang juga terkait dengan perjalanan
sejarah Gedung Pancasila, tentu penting untuk melengkapi pemahaman mengenai
gedung ini.
Direktur
Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia, Abdurrahman Mohammad Fachir, menyampaikan bahwa pameran
menampilkan 20 panel yang menjelaskan proses perancangan lambang negara, serta
biografi para perancang lambang negara; antara lain Sultan Hamid II, Muhammad Yamin, dan Ki Hajar Dewantara. Selama pameran
diputar film dokumenter mengenai proses awal kegiatan perancangan lambang negara ini.
Ada
empat pihak yang paling berperan dalam
memperkuat bukti sejarah bahwa Sultan Hamid II sebagai Perancang Lambang Negara Garuda Pancasila. Pertama,
Ketua Dewan Pembina Yayasan Sultan
Hamid II (Sultan Hamid II Foundation) yang juga seorang Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II yaitu Max Yusuf Al-Qadrie yang masih sangat rapi menyimpan Data dan Dokumen-dokumen pendukung peninggalan almarhum Sultan Hamid II. Kedua,
Solichin Salam, seorang Wartawan Harian Pagi
Berita Buana, Jakarta, yang mendapat dokumen penting dari Sultan Hamid II.
Sultan Hamid II meminta Solichin Salam agar bahan yang dikirim dapat
dipublikasikan di Harian Berita Buana. “Djangan pasang lambang negara di rumahmu sebelum
diakui lambang itu oleh negara gambar rantjangan saja,” tulis surat Sultan Hamid II kepada Solichim Salam
di Jakarta, 15 April 1967.
Sultan
Hamid II di dalam suratnya kepada
Solichin Salam, menyebutkan bahwa contoh gambar burung dari Kerajaan Sintang - Kalimantan Barat sebagai salah satu referensi selama
perancangan. Kemudian pemuka masyarakat Suku Dayak dari Kalimantan Barat
diundang Sultan Hamid II secara khusus ke Hotel Des Indes, Jakarta, yakni
Burung yang dikenal dengan sebutan Panglima Burung, lalu Masuka Djanting dan
J.C. Oevang Oeray. Khusus Kepala Burung Garuda Pancasila sekarang, menurut
Sultan Hamid II, diilhami masukan dari Masuka Djanting, Panglima Burung dan
J.C. Oevaang Oeray.
Ketiga, transkrip percakapan Sultan Hamid II dengan
Tijo Wie Taj alias Mas Agung tahun 1974, agar hasil karyanya bisa diterbitkan di
dalam bentuk buku, jika situasinya memang memungkinkan. Tijo Wie Taj adalah seorang pengusaha yang salah satu unit
usahanya bergerak di bidang penerbitan buku.
Sultan Hamid II juga menyerahkan berbagai dokumen penting kepada Tijo
Wie Taj tahun 1974. Dokumen yang
diserahkan kepada, Tijo Wie Taj berupa file proses
perancangan lambang negara.
Keempat, Turiman Fachturrahman
Nur, S.H., M.Hum, secara ilmiah membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah orang yang merancang Lambang Negara Garuda Pancasila,
dengan memperlihatkan berbagai data otentik yang diperolehnya dari berbagai sumber. Di hadapan Tim Penguji Tesisnya: Prof. Dr. M. Dimyati
Hartono, S.H., dan Prof. Dr. H. Azhary, S.H.
Staf Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Tanjungpura - Pontianak itu berhasil mempertahankan Tesis Master berjudul: “Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia” di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Salemba Jakarta Pusat, Rabu, 11
Agustus 1999. Tesis Turiman Fachturrahman tersebut merupakan kajian
ilmiah pertama di Indonesia dalam bentuk
Tesis tentang Sejarah Hukum penciptaan Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila oleh Sultan Hamid II, Menteri Negara Republik Indonesia
Serikat (RIS).
Panitia Lambang Negara
Selaku
Menteri Negara, Sultan Hamid II teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa
hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara
Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila, divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10
Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lambang Negara di bawah Koordinator Menteri Negara Zonder Portofolio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin
sebagai ketua, Ki Hajar Dewantara, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ng. Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas
menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada
pemerintah.
Merujuk
keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab”, untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut
Menteri Prijono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara
terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya Muhammad Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima Pemerintah (Eksekutif) dan Parlemen (Senat dan DPR) RIS adalah
rancangan Sultan Hamid II. Karya Muhammad Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan
menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog
intensif antara perancang yaitu Sultan
Hamid II, dengan Presiden RIS Soekarno dan
Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta[2],
terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi
kesepakatan antara mereka bertiga, untuk mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula
adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara
yang dibuat Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden
Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)
untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda
dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai Pancasila dan dianggap
bersifat mitologis yang menyimpang dari kepercayaan umat Islam sebagai penduduk mayoritas
Indonesia.
Sultan
Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah
disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang dan setelah melakukan
perbandingan negara-negara di dunia, sehingga tercipta bentuk Elang Rajawali - Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden
Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui
Mohammad Hatta sebagai perdana menteri. A.G. Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Departemen
Pertahanan dan Keamanan (DepHankam), Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI) menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan
Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS 11 Februari
1950.
Ketika
itu gambar bentuk kepala Elang Rajawali - Garuda Pancasila masih “gundul” dan “tidak berjambul”
seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang
diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa,
Sultan Hamid II - Menteri Negara RIS.
Presiden
Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu
kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.
Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Elang Rajawali - Garuda
Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang
mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan
juga diperbaiki, atas permintaan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang
negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang
kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan
tersebut sesuai bentuk final rancangan Sultan Hamid II yang dipergunakan secara
resmi sampai saat ini.
Lambang
Negara Indonesia
Sejak
|
11
Februari 1950 (RIS –
Republik Indonesia Serikat)
|
Perisai
|
Di
bagian tengah Elang Rajawali Garuda,
melambangkan Pancasila, ideologi nasional Indonesia
|
Penopang
|
Elang Rajawali Garuda
(penopang tunggal)
|
Semboyan
|
Bhinneka
Tunggal Ika
|
Elemen
|
Jumlah
bulu Elang Rajawali Garuda Pancasila
melambangkan tanggal 17 Agustus 1945, hari kemerdekaan Republik Indonesia
|
Penggunaan
|
(a)
Lambang Negara (contoh pada
Paspor dan dokumen resmi kenegaraan)
(b)
sebagai lambang kenegaraan dan
ideologi nasional
(c)
Penggunaan resmi kenegaraan
lainnya
|
Sudut Pandang Elang Rajawali Garuda
Lambang negara Indonesia adalah Elang Rajawali - Garuda Pancasila, kemudian disingkat menjadi Garuda Pancasila dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Lambang Negara Indonesia berbentuk burung Elang Rajawali Garuda yang kepalanya menoleh ke sebelah
kanan (dari sudut pandang Elang Rajawali Garuda), perisai berbentuk menyerupai
jantung yang digantung dengan rantai pada leher Elang Rajawali Garuda, dan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “Beraneka Ragam satu itu” ditulis di
atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Lambang ini dirancang oleh Sultan Hamid
II dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan, dan diresmikan pemakaiannya
sebagai lambang negara pertama kali pada Sidang Kabinet Republik Indonesia
Serikat (RIS), 11 Februari 1950. PenggunaanLambang Negara diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor
43 Tahun 1958.
Presiden Soekarno pernah menyitir tentang
mitologi Garuda “Aku adalah Garuda, burung milik Wisnu yang membentangkan sayapnya
menjulang tinggi di atas kepulauanmu.” Bait sajak karya Raden Mas
Noto Soeroto dalam buku Wayang-liederen yang dikutip oleh Presiden
Soekarno ketika diminta memberikan nama untuk maskapai penerbangan Indonesia.[3]
Menelusuri asal muasal istilah garuda
di Indonesia akan membawa kita pada sekitar abad pertama masehi, ketika pelaut dan
pedagang dari India Selatan mendarat di kepulauan Nusantara. Semenjak itu,
pertukaran hasil bumi dan barang-barang mulai dilaksanakan. Asimilasi
kebudayaan juga mulai terjadi, termasuk kesusastraan di dalamnya.
Dalam bidang kesusastraan, terdapat kisah-kisah dulu (purana) dengan kisah garuda di dalamnya. Lambat laun, masyarakat setempat membuat sendiri kisah garuda dalam bahasa turunan, Sanskerta yakni bahasa Kawi. Kisah itu dituangkan dalam teks kesusastraan awal, yakni kitab Adiparwa yang ditulis sekitar abad ke-10 Masehi. Dalam kisah Adiparwa, garuda digambarkan bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah. Paruh dan sayapnya mirip elang, tetapi tubuhnya seperti manusia. Ukurannya besar sehingga dapat menghalangi matahari. Menururt mitologi Hindu, garuda merupakan wahana Dewa Wisnu, salah satu Trimurti atau manifestasi bentuk Tuhan dalam agama Hindu, sinar garuda sangat terang sehingga para dewa mengiranya Agni (Dewa Api) dan memujanya. Garuda sering dilukiskan memiliki kepala, sayap, ekor, dan moncong burung elang, tetapi tubuh, tangan, dan kaki manusia. Mukanya putih, sayapnya merah, dan tubuhnya berwarna keemasan.
Dalam bidang kesusastraan, terdapat kisah-kisah dulu (purana) dengan kisah garuda di dalamnya. Lambat laun, masyarakat setempat membuat sendiri kisah garuda dalam bahasa turunan, Sanskerta yakni bahasa Kawi. Kisah itu dituangkan dalam teks kesusastraan awal, yakni kitab Adiparwa yang ditulis sekitar abad ke-10 Masehi. Dalam kisah Adiparwa, garuda digambarkan bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah. Paruh dan sayapnya mirip elang, tetapi tubuhnya seperti manusia. Ukurannya besar sehingga dapat menghalangi matahari. Menururt mitologi Hindu, garuda merupakan wahana Dewa Wisnu, salah satu Trimurti atau manifestasi bentuk Tuhan dalam agama Hindu, sinar garuda sangat terang sehingga para dewa mengiranya Agni (Dewa Api) dan memujanya. Garuda sering dilukiskan memiliki kepala, sayap, ekor, dan moncong burung elang, tetapi tubuh, tangan, dan kaki manusia. Mukanya putih, sayapnya merah, dan tubuhnya berwarna keemasan.
Kitab Mahabharata dijelaskan
bahwa garuda adalah keturunan dari Bangawan Kasyapa dan sang Winata.
Ketika garuda lahir (menetas), ia mendapatkan ibunya, sang Winata, diperbudak
Sang Kadru.
Garuda harus mampu membawa Tirta Amerta ke hadapan Sang Kadru dan para naga untuk
membebaskan ibunya. Dalam mitologi Buddha, tokoh garuda merupakan salah satu dari
delapan golongan makhluk-makhluk naga langit, yaitu makhlul-makhluk hidup yang
tidak tampak dengan mata biasa.
Makhluk-makhluk itu bertugas untuk
menjaga Buddha Dharma, atau agama Buddha, beserta para Buddha dan
pemeluk-pemeluk agama Buddha. Garuda digambarkan memiliki bulu sayap yang
dijalin dari intan dan berlian sehingga garuda itu juga dinamai “Burung yang
sayap-sayapnya berwarna kuning keemasan, atau burung yang bersayap sangat menakjubkan”. Garuda juga
digambarkan memiliki badan yang luar biasa besarnya. Dalam
khasanah peradaban Hindu kisah mitologi
Garuda sebagai kendaraan Raja Air Langga
dapat dipaparkan sebagai berikut:[4]
“Sebelum Airlangga naik tahta dan menikahi Sri
Sanggramawijaya, mertuanya yakni Raja Dharmawangsa diperintahkan para pujangga
Kerajaan Kahuripan menyadur Kitab Mahabharata berbahasa Sanskerta ke bahasa
Jawa Kuno dalam 18 parwa. Kisah Dewa Wisnu menunggang Garuda diarcakan di Candi Belahan, Kabupaten
Pasuruan; Jawa Timur. Dewa Wisnu menunggang Garuda itu sebagai penggambaran
kebesaran Prabu Airlangga, putra asal Bali yang adil dan bijaksana dalam
mengemban roda pemerintahan Kerajaan Kadiri atau Kahuripan, JawaTimur
(1009-1042). Prabu Airlangga sendiri merupakan putra dari penguasa Bali Dwipa:
Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni. Setelah mengembara ke
Tanah Jawi sejak usia 16 tahun, Airlangga kemudian diambil menantu oleh Raja
Kadiri, Dharmawangsa, saat dinikahkan dengan putrinya, Sri
Sanggramawijaya Dharmaprasadotunggadewi. Kemudian, Airlangga dinobatkan sebagai
raja.
Sebagai Raja Kahuripan, Airlangga bukan saja
memajukan bidang politik, sosial ekonomi teknologi, dan pertanian denan proyek
monumentalnya berupa bendungan Waringin Sapta (Prasasti Kamalagyan). Namun, Raja Airlangga
juga mencerdaskan rakyatnya, terutama di bidang. sastra dan budaya. Memajukan
sektor sastra dan budaya ini, tidaklah aneh, karena rnertuanya yakni
Darmawangsa. dulunya juga dikenal sebagai raja yang memperhatikan kehidupan
sastra dan budaya. Atas perintah Dharmawangsa, para pujangga menyadur Kitab
Mahabharata berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa Kuno dalam 18 parwa.
Gubahan dalam bentuk seloka dan palawakya itu keadaanya disesuaikan dengan alam
Indonesia, di antaranya Serat Adiparwa.
Di zaman Raja Airlangga, hiduplah seorang
pujangga kerajaan ternama, Empu Kanwa. Pujangga besar ini berhasil menggubah
Kitab Arjunawiwaha dalam bentuk kakawin. Cerita yang dalam pewayangan dikenal
dengan lakon Begawan Witaraga itu termuat di Serat Mahabharata dari India,
episode Niwatakawacayuddhaparwa. Di Jawa, oleh Empu Kanwa, naskah itu digubah
dalam bahasa Jawa Kuna berupa Serat Arjunawiwaha. Isi singkatnya seperti
berikut. Sebagai golongan raksasa, Prabu Niwatakawaca, raja di Manimantaka,
sudah mendapatkan istri seorang bidadari, Dewi Prabasini. Perkawinan ini
sebenarnya menyalahi aturan. Tapi, Niwatakawaca alias Prabu Nirbita yang
serakah masih menginginkan istri bidadari lagi. Dengan mengutus
Sudirgapati, Niwatakawaca melamar Dewi Supraba di Kahyangan. Karena ditolak,
Suralaya akan dijarah, sehingga Batara Indra perlu mencari jago di marcapada.
Saat itu, Raden Arjuna, penengab Panca Pandawa, sedang bertapa di sebuah gunung
atau Wukir Indrakila, dipanggil Begawan Ciptaning, memohon Dewa agar
Yudhistira, sulung dari Panca Pandawa, bisa menjadi Raja Amerta kembali Di gua
Witaraga, Arjuna bersemadi. Witaraga sendiri artinya suatu tempat untuk menahan
hawa nafsu. Maka, Batara Indra mengutus tujuh bidadari untuk menggoda tapa
Arjuna. Tujuh bidadari itu ada- lab Dewi Supraba, Tilotama, Warsiki, Surendra,
Gagarmayang, Tunjungbiru, dan Lenglengmulat. Tetapi, bukannya Arjuna yang
tergiur godaan asmara, melainkan justru para bidadari itu yang terbius
kegantengan Arjuna. Baru setelah Batara Indra turun tangan sendiri di tengah hujan
dengan menyamar sebagai Resi Padya, hati Arjuna menjadi luluh. Setelah
menyanggupi permintaan resi untuk menjadi jago para dewa, Arjuna meneruskan
tapanya. Saat itulah, Patih Mamangmurka, utusan Niwatakawaca, datang untuk
menggagalkan semadi Arjuna. Begitu bangun dari tapanya, Arjuna membunuh
penggodanya. Akibat semua itu, Arjuna memperoleh hadiah senjata Pasupati dan
Batara Siwa. Hadiah lainnya, berupa langkap (perentang panah) dan makutha
(mahkota). Ketika hendak pulang ke Amerta, utusan dewa memberi hadiah lagi
kotang antrakusuma, trumpah pinatik manik nawa retna, dan nawala (surat) dan
Batara Indra, agar Arjuna pergi ke Kahyangan karena diminta jasanya untuk
membunuh Prabu Niwatakawaca. Dengan kotang dan terumpah itu, akhirnya Arjuna
terbang menuju Kaindran untuk menjalankan tugas mengenyahkan keangkaramurkaan
Niwatakawaca. Dengan menggunakan Seorang mata-mata bidadari yakni Dewi Supraba, Arjuna
berhasil membunuh Niwatakawaca dengan mengarahkan panah Pasupati mengenai
lidahnya. Dengan upacara kebesaran, sang pahlawan Arjuna akhirnya diarak ke
Suralaya. Sebagai hadiahnya, Arjuna diberi dispensasi bermukim di surga selama
lima tahun. Sebuah kisah legendaris tentang ketegaran seorang anak manusia dalam
mengendalikan diri, tarak brata, berolah samadi, mesu budi mbesut raga, yang
tak tergoyahkan oleh berbagai cobaan dan godaan. Arjunawiwaha bukan
sekadar terjemahan dari gita bahasa Sanskerta, melainkan suatu gubahan baru
yang menceritakan suatu peristiwa di dalam Mahabharata. Kakawin Arjunawiwaha
rupanya mengibaratkan riwayat kehidupan Airlangga dengan permaisurinya, Sri
Sangramnawijaya. Kakawin Arjunawiwaha ini digubah sang pujangga Empu Kanwa pada
penobatan dan pernikahan Airlangga dengan Sangramawijaya, dan baru selesai
tahun 942 Saka atau 1020 M. Pada akhir Kakawin Arjunawiwaha, tersebut nama
pengarang dan tahunnya. “Sampun keketaning katharjuna wiwaha pan garanike,
saksat tambayi empu kanwa tumaha metu-metu kakawin, bharantapan tehera ngharep
samara katya pangiringi haji, Cri Airlangghya namostu sang penikelan tana
hanganumata.” (Sudah digubah tetang cerita perkawinan Arjuna namanya, sebagai
permulaan beliau Empu Kanwa mencoba mengeluarkan! menggubah kakawin,
bingung/beliau oleh karena terus menghadapi kerja perkawinan mengiring Raja,
Sri Airlangga, mudah-mudahan kesampaian sang diupacarai tak sedikit menganugerahi). Isi Arjunawiwaha mengisahkan perjalanan spiritual Begawan Witaraga
atau Mintaraga. Oleh sarjana Belanda, Prof Dr Krom, Arjunawiwaha karya Empu
Kanwa ini dinilai bahasanya cukup baik, demikian pula rangkaian bait kidungnya.
Tahun 1850, serat ini dicetak dalam aksara Jawa oleh Dr Friedderich. Tahun
1926, dicetak lagi dalam aksara Latin dengan salman bahasa BN, bahkan sebagian
lagi diterjemahkan dalam bahasa Belanda oleh Prof Dr Poerbatjaraka.
Atas jasanya memajukan bidang sastra dan budaya
inilah, Raja Airlangga dimitoskan sebagai Dewa Wisnu yang menunggang Garuda.
Wisnu dan Garuda sama-sama dipercayai sabagai tokoh yang kharismatik. Dewa
Wisnu adalah juru selamat pelbagai persoalan dunia. Sedangkan Garuda dipandang
sebagai makhluk kharismatik, karena Selain jadi kendaraan Dewa Wisnu, dalam
mitologi Hindu, Garuda juga dianggap sebagai lambang pembebasan. Lambang
pembebasan ini digambarkan dalam adegan Garudeya pada Adiparwa, yang
membebaskan Dewi Kadru, ibunya, dan belenggu perbudakan.
Selain Wisnu-Garuda didapatkan dalam manuskrip
kuno, secara visual, kisah Wisnu menunggang Garuda (Garudeya) juga dijumpai
dalam bentuk
relief di Candi Dieng dan Candi Prambanan, di Jawa Tengab. Relief Garuda juga
dipahatkan lengkap terdapat di Candi Sukuh, lereng Gunung Lawu, Kabupaten
Karanganyar, Jateng, pada obelisk di bidang utara.
Di Jawa Timur pun, relief Garudeya bisa dijumpai di Candi Penataran (Blitar) dan Candi Kedaton. Dalam bentuk patung, dijumpai di Candi Kidal Tumpang Malang). Sedang visual Garudeya secara utuh dan berdiri sendiri sebagai arca Wisnu-Garuda, didapatkan di Candi (Petiran) Belahan, Gunung Penanggungan, Kab Pasuruan, Jatim. Arca ini melambangkan kejayaan Prabu Airlangga berdiri di atas punggung Garuda.”
Di Jawa Timur pun, relief Garudeya bisa dijumpai di Candi Penataran (Blitar) dan Candi Kedaton. Dalam bentuk patung, dijumpai di Candi Kidal Tumpang Malang). Sedang visual Garudeya secara utuh dan berdiri sendiri sebagai arca Wisnu-Garuda, didapatkan di Candi (Petiran) Belahan, Gunung Penanggungan, Kab Pasuruan, Jatim. Arca ini melambangkan kejayaan Prabu Airlangga berdiri di atas punggung Garuda.”
Berdasarkan kisah di atas
mitologi Garuda adalah sebagai lambang kebebasan, pada masa kedatangan Islam di
Indonesia, garuda telah sampai pada akhir perjalanan, telah jauh dari
keasliannya. Mulanya dia sebagai manifestasi Tuhan dan alat kepercayaan. Namun,
ketika Islam datang, lambat laun garuda kehilangan kualitas ketuhanannya dan
hanya menyisakan fungsi sakralnya sebagai pelindung dan kekuatan serta
dijadikan lambang-lambang kerajaan. Misalnya
kerajaan Sintang di Kalimantan Barat yang erat kaitannya dengan kerajaan Hindu
Majapahit.
Setelah keberatan dan dikritisi
serta ditolak oleh anggota Panitia Lambang Negara (Mohammadt Natsir) dalam
rapat panitia lambang negara: 8 Februari 1950, maka Sultan Hamid II sebagai
perancang gambar lambang negara kemudian memperbaiki hasil rancangan tahap
pertama tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam transkrip Sultan Hamid II:[5]
Akhirnya setelah
penolakan itu saja mengambil inisiatif pribadi untuk memperbandingkan dengan
lambang-lambang negara luar, khususnja negara-negara Arab, seperti Yaman, Irak, Iran, Mesir, ternjata
menggunakan figur burung Elang Radjawali, djuga seperti Negara Polandia jang
sudah sejak ratusan tahun djuga menggunakan burung
Elang Radjawali seperti jang saja jelaskan di atas dalam kemeliterannya.
Karena sosoknja
lebih besar/gagah dari burung elang jang ada di Djawa dan ini simbolisasi
lambang tenaga pembangunan/creatif vermogen negara dengan harapan Negara
Republik Indonesia Serikat (RIS) mendjadi negara jang besar dan setara dengan
negara-negara di dunia, sudah mendjadi kewadjarawan dan demikian seharusnya.
Selandjutnya
gambar lambang negara saja bisa diterima oleh anggota Panitia Lambang Negara,
demikian djuga lambang negara rantjangan Mr Mohammad Jamin jang kemudian kami
serahkan bersama kepada Perdana Menteri Mohammad Hatta, untuk dibawa ke
Pemerintah dan sidang Parlemen RIS untuk dipilih. Alhamdulillah gambar
rantjangan saja jang diterima, 10 Februari 1950 dan esoknja untuk pertama kali
diperkenalkan kepada chalajak ramai di Hotel Des Indes, jang kemudian pada
rapat Parlemen RIS bersama Pemerintah ditetapkan Parlemen RIS sebagai Lambang
Negara RIS, pada tanggal 11 Februari 1950.
Walaupun demikian, ada masukan
beberapa waktu kemudian dari Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno ketika beliau
sedang berpidato kenegaraan, 20 Februari 1950 melihat lambang negara tersebut
jang tergantung di belakang podium Parlemen Istana Merdeka Pedjambon, karena
kepala burung Radjawali tidak ‘berdjambul’ dan terlihat ‘gundul’. Paduka Jang
Mulia meminta saja untuk memperbaiki bentuk kepala, kemudian saja mengubah
bagian kepala mendjadi berdjambul, kemudian oleh Kementerian Penerangan RIS
atas perintah Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada pelukis Dullah[6],
untuk melukis kembali lambang negara tersebut.
Kemudian lukisan
itu saja potret dalam bentuk hitam putih untuk dikoreksi kembali oleh Paduka
Jang Mulia Presiden Soekarno dan ternjata masih ada keberatan dari beliau,
jakni bentuk tjakar kaki masih ada jang mentjengkram seloka Bhinneka Tunggal
Ika dari arah belakang sepertinya terbalik, saja mentjoba mendjelaskan kepada
Paduka Jang Mulia, memang begitu burung terbang membawa sesuatu seperti keadaan
alamiahnja.
Tetapi menurut Paduka Jang Mulia,
seloka ini adalah hal jang sangat prinsip, karena memang sedjak semula
merupakan usulan beliau sebagai ganti rentjana pita merah putih jang menurut
beliau sudah terwakili pada warna perisai. Selandjutnya meminta saja untuk
mengubah bagian tjakar kaki mendjadi mentjengkram pita/mendjadi ke arah depan
pita agar tidak ‘terbalik’ dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip
‘djatidiri’ bangsa Indonesia, karena merupakan perpaduan antara pandangan
‘federalis’ dan pandangan “kesatuan’ dalam Negara RIS.
Mengertilah saja
pesan filosofis Paduka Jang Mulia itu, djadi djika ‘bhinneka’ jang ditondjolkan
itu maknanja perbedaan jang menondjol dan djika ‘keikaan’ jang ditondjolkan
itulah kesatuan repulbik jang menondjol, djadi keduanja harus disatukan, karena
ini lambang Negara RIS jang di dalamnja merupakan perpaduan antara pandangan
‘federalis’ dan pandangan ‘kesatuan’ haruslah dipegang teguh sebagai
‘djatidiri’ dan prinsip berbeda-beda pandangan tanpai satu djua’ e-pluribus
unum’.
Walaupun saja harus sudah pajah membuat sketsa
kembali untuk pembetulan badan tjakar kaki itu, tetap saja mengerti ini hal
bagian jang sangat penting dalam lambang Negara RIS. Karena mengandung tiga konsep lambang
sekaligus, jakni pertama, burung Radjawali-Garuda Pantja-Sila jang menurut
perasaan Bangsa Indonesia berdekatan dengan Burung Garuda dalam mitologi, kedua
perisai ide Pantja-Sila ber-thawaf’’/gilir balik, dan ketiga, seloka Bhinneka
Tunggal Ika jang tertulis dalam pita warna putih.
Setelah transisi Kemerdekaan Indonesia
1945 - 1949, disusul penyerahan
dan pengakuan
kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949,
dirasakan perlunya Indonesia (saat itu Republik Indonesia Serikat) memiliki
lambang negara. Tanggal
10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lambang Negara di bawah
koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan
panitia teknis Muhammad Yamin
sebagai ketua, Ki Hajar Dewantara[7],
M A Pellaupessy[8],
Mohammad Natsir[9],
dan R.M. Ng. Poerbatjacaraka[10]
sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang
negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam
buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet Menteri
Prijono[11]
melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu
karya Sultan Hamid II dan karya Muhammad
Yamin[12].
Pada proses selanjutnya yang diterima Pemerintah (Eksekutif) dan Parlemen (Legislatif: Senat dan DPR) RIS
adalah rancangan Sultan Hamid II,
Elang Rajawali – Garuda Pancasila. Rancangan Lambang Negara buatan
Muhammad
Yamin (Lambang Banteng
Matahari) ditolak,
karena menyertakan sinar-sinar matahari yang telalu menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah
rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II) dengan Presiden RIS Soekarno
dan Perdana Menteri RIS Mohammad
Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Mereka
bertiga sepakat mengganti pita yang dicengkeram Elang Rajawali Garuda Pancasila,
yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan
semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan
lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada
Presiden Soekarno. Rancangan lambang negara tersebut mendapat masukan dari
Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) untuk dipertimbangkan
kembali, karena adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan
dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap terlalu bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan
rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi
yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Elang Rajawali - Garuda Pancasila. Kemudian disingkat menjadi Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian
menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Mohammad Hatta
sebagai perdana menteri. A.G. Pringgodigdo[13] dalam bukunya “Sekitar Pancasila”
terbitan Departemen Pertahanan
dan Keamanan (DepHankam), Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI) menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya
diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950.
Ketika itu gambar bentuk kepala Elang Rajawali - Garuda Pancasila masih “gundul” dan tidak berjambul seperti bentuk
sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian
memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di
Hotel Des Indes, Jakarta, 15 Februari 1950[14].
Dilukis
Ulang Pelukis Istana
Presiden Soekarno terus ingin menyempurnakan bentuk Elang
Rajawali Garuda Pancasila. Pada tanggal 20 Maret 1950 Presiden
Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis kembali rancangan
tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain penambahan “jambul” pada kepala Elang Rajawali Garuda
Pancasila, serta mengubah posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula
di belakang pita menjadi di depan pita, atas masukan Presiden Soekarno kepada Sultan Hamid II. Alasan
Soekarno meminta Sultan
Hamid II untuk menambahkan jambul karena kepala Garuda
gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, Lambang Negara Amerika Serikat (United States
of America).
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid
II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan
menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan Elang Rajawali Garuda Pancasila
terakhir ini dibuatkan patung besar dari bahan perunggu berlapis emas yang
disimpan dalam ruang
Kemerdekaan Monumen Nasional sebagai acuan sebagai lambang negara Republik
Indonesia.
Desain lambang negara tidak berubah hingga dengan sekarang ini.
Deskripsi gambar lambang Negara burung Elang Rajawali Garuda Pancasila yang dirancang Sultan Hamid II
mempunyai arti filosofis
sebagai berikut:
a.
Elang Rajawali Garuda Pancasila sendiri
adalah Burung Garuda yang sudah dikenal melalui mitologi kuno hindu dalam sejarah bangsa
Indonesia, yaitu kendaraan
Dewa Wishnu
yang menyerupai burung Elang
Rajawali.
Garuda digunakan sebagai Lambang Negara untuk menggambarkan bahwa Indonesia
adalah bangsa yang Besar
dan negara yang Kuat.
b.
Warna keemasan pada burung Elang
Rajawali Garuda melambangkan Keagungan
dan Kejayaan (Warna Kebesaran Bangsa Melayu, Indonesia).
c.
Elang Rajawali Garuda memiliki paruh,
sayap, ekor, dan cakar yang melambangkan Kekuatan dan Tenaga Pembangunan.
d.
Jumlah bulu Elang Rajawali Garuda
Pancasila melambangkan hari
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, antara lain:
17
(tujuh belas) helai bulu pada masing-masing sayap
8
(delapan) helai bulu pada ekor
19
(sembilan belas) helai bulu di bawah perisai atau pada pangkal ekor
45
(empat puluh lima) helai bulu di leher
Perisai:
a.
Perisai adalah tameng yang telah
lama dikenal dalam kebudayaan dan peradaban Indonesia sebagai bagian senjata
yang melambangkan perjuangan, pertahanan, dan perlindungan diri untuk mencapai
tujuan.
b.
Di tengah-tengah perisai terdapat sebuah
garis hitam tebal yang melukiskan garis khatulistiwa yang menggambarkan lokasi
Negara Indonesia, yaitu negara tropis yang
dilintasi garis khatulistiwa membentang dari timur ke barat.
c.
Warna dasar pada ruang perisai adalah
warna bendera Negara
Indonesia “Merah-Putih”. Sedangkan pada bagian
tengahnya berwarna dasar hitam.
d.
Pada perisai terdapat lima buah ruang
yang mewujudkan Dasar Negara Pancasila.
Pengaturan
lambang pada ruang perisai adalah sebagai berikut:
Arti
Sila-sila dari Pancasila:
1.
Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan
dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima
berlatar hitam;
2.
Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian
kiri bawah perisai berlatar merah;
3.
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia
dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai berlatar putih;
4.
Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai berlatar merah;
dan
5.
Sila Kelima:
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan
padi di bagian kanan bawah perisai berlatar putih.
Pita
bertuliskan semboyan Bhinneka Tunggal Ika:
a.
Kedua cakar Elang Rajawali Garuda
Pancasila mencengkeram sehelai pita putih bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika” berwarna hitam.
b.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah
kutipan dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Kata “bhinneka” berarti beraneka ragam atau
berbeda-beda, kata “tunggal” berarti satu, kata “ika” berarti itu. Secara harfiah
Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan “Beraneka
Satu Itu”,
yang bermakna meskipun beraneka ragam tetapi pada hakikatnya tetap adalah bersatu (persatuan), bahwa di antara puspa ragam bangsa Indonesia adalah tetap bersatu. Semboyan ini
digunakan untuk menggambarkan persatuan Bangsa dan Negara Indonesia yang
terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan
kepercayaan.
Aturan Penggunaan
Lambang Negara
Lambang
negara diatur dalam UUD 1945
pasal 36A dan Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan. (LN 2009 Nomor 109, TLN 5035). Sebelumnya lambang negara diatur
dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, dan Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 1958. Lambang Negara menggunakan warna pokok yang terdiri atas:
1.
Warna merah di bagian kanan atas dan
kiri bawah perisai;
2.
Warna putih di bagian kiri atas dan
kanan bawah perisai;
3.
Warna kuning emas untuk seluruh burung
Garuda;
4.
Warna hitam di tengah-tengah perisai
yang berbentuk jantung;
5.
Warna alam untuk seluruh gambar lambang.
Lambang
Negara wajib digunakan di:
a.
Dalam gedung, kantor, atau ruang kelas
satuan pendidikan;
b.
Luar gedung atau kantor;
c.
Lembaran negara, tambahan lembaran
negara, berita negara, dan tambahan berita negara;
d.
Paspor, ijazah, dan dokumen resmi yang
diterbitkan pemerintah;
e.
Uang logam dan uang kertas; atau
f.
Materai.
Dalam hal Lambang Negara ditempatkan
bersama-sama dengan Bendera Negara, gambar Presiden dan/atau gambar Wakil
Presiden, penggunaannya diatur dengan ketentuan:
a.
Lambang Negara ditempatkan di sebelah
kiri dan lebih tinggi daripada Bendera Negara; dan,
b.
Gambar resmi Presiden dan/atau gambar
Wakil Presiden ditempatkan sejajar dan dipasang lebih rendah daripada Lambang
Negara.
Setiap
orang dilarang:
1.
Mencoret, menulisi, menggambari, atau
membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan
kehormatan Lambang Negara;
2.
Menggunakan Lambang Negara yang rusak
dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
3.
Membuat lambang untuk perseorangan,
partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau
menyerupai Lambang Negara;
4.
dan menggunakan Lambang Negara
untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-undang ini.
Lagu Garuda
Pancasila
Garuda Pancasila juga merupakan nama
sebuah Lagu Nasional Indonesia yang lagu dan liriknya diciptakan oleh Sudharmono. Sya’ir lagu
Garuda Pancasila sebagai berikut.
Garuda Pancasila/
Akulah pendukungmu/
Patriot proklamasi/
Sedia berkorban untukmu/
Akulah pendukungmu/
Patriot proklamasi/
Sedia berkorban untukmu/
Pancasila dasar negara/
Rakyat adil makmur sentausa/
Pribadi bangsaku/
Ayo maju maju/
Ayo maju maju/
Ayo maju maju ***
Surat
Sultan Hamid II
Isi surat Sultan Hamid II kepada Solichin Salam, Wartawan Harian Pagi Berita Buana, Jakarta, 15 April 1967, tentang: Sejarah
Lambang Negara Indonesia, menjadi sangat membantu di dalam memperoleh pengakuan
Republik Indonesia tahun 2012. Di dalam surat yang masih menggunakan ejaan
lama, dan disalin sesuai aslinya oleh Max Yusuf Al-Qadrie, Ketua Dewan Pembina Yayasan Sultan Hamid II (Sultan Hamid II
Foundation), banyak
diulas berbagai langkah yang mengilhami Sultan Hamid II selama merancang
Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila.
Berikut
petikan utuh surat Sultan Hamid II kepada Solichin Salam, Wartawan Harian Pagi
Berita Buana, Jakarta, 14 April 1967, sebagaimana termuat di halaman 6 sampai
halaman 20 buku: Sejarah Lambang Negara Indonesia, terbitan
Kementerian Luar Negeri dan Museum Konferensi Asia Afrika, Jakarta, 2012,
sebagai berikut:
Bung Solichin dan djuga kerabat saja!
Djangan
pasang lambang negara di rumahmu sebelum diakui lambang itu oleh negara rantjangan saja!
Bersama
ini perlu didjelaskan di sini berkenaan pertanjaan tentang file lambang negara jang saja buat sebagaimana saudara adjukan kepada
saja, tanggal 13 April 1967.
Sedjak
awal saja selaku Menteri Negara RIS jang ditugaskan Paduka Jang Mulia Presiden
Soekarno untuk membuat gambar lambang negara sesuai perintah Konstitusi RIS
1949, pasal 3, Pemerintah menetapkan lambang negara, saja telah berupaja untuk
mengangkat kembali lambang-lambang/simbol-simbol dalam peradaban bangsa
Indonesia. Untuk itulah kemudian saja dipertjajakan
Paduka Jang Mulia merentjanakan – mempersiapkan lambang negara dan menjiapkan
rentjana gedung parlemen/lihat pledooi saja pada Sidang Mahkamah Agung 1953[15],
setelah memperhatikan berbagai hasil sajembara dari para pelukis jang memenuhi
prinsip-prinsip hukum pembuatan lambang menurut semiologi untuk didjadikan sebagai lambang Negara RIS demikian pendjelasan
Menteri Prijono, oleh karena itu saja selaku pribadi mempersiapkan gambar
lambang negara dengan berkonsultasi seorang ahli
lambang/semiologi berkebangsaan Perantjis jang kebetulan sahabat saja Saudara D. Ruhl Jr, dan
beliau juga saja perkenalkan dengan Mr. M. Jamin selaku Ketua Panitia Lambang Negara ketika RIS drkijst pertengahan Djanuari 1950, untuk memberikan
masukan djuga.
Paduka
Jang Mulia Presiden Soekarno memerintahkan kepada saja agar melambangkan ide
Pantja-Sila ke dalam gambar pada lambang negara dan berkali-kali utjapan beliau
kepada saja, tetapi pesan beliau djuga gambar itu haruslah mengangkat
simbol-simbol jang ada pada peradaban
bangsa Indonesia agar setara dan gambarnja seharmonis mungkin, seperti lambang-lambang
negara besar lain di dunia, karena Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno jakinkan
kepada saja, menurutnja karena saja pernah mengambil
Jurusan Teknik Sipil satu tahun di T.H.S[16]
Bandung, walaupun akhirnja saja tidak
menjelesaikan kuliah itu, berhubung saja diterima di
K.M.A Breda[17]
Negeri Belanda.
Terus-menerus
beliau mejakinkan saja, bahwa pasti saja paham dalam hal ini menggambar
struktur lambang. Untuk itu kemudian saja mengadjukan kepada Paduka Jang Mulia
pada agenda sidang kedua Kabinet RIS tanggal 10 Januari 1950 untuk membentuk
kepanitiaan teknis lambang negara RIS jang diketuai oleh Mr. M. Jamin, dan jang lain Ki Hadjar Dewantara (anggota), M.A. Pellaupesi (anggota),
Moh.
Natsir (anggota) dan R.M. Ng. Purbatjaraka
(anggota). Kepanitiaan ini di bawah koordinator saja jang bertugas menjeleksi/ memilih usulan-usulan
rantjangan lambang negara untuk dipilih dan diadjukan kepada Pemerintah untuk
ditetapkan oleh Parlemen RIS setjepatnja, karena memang selama 5 tahun sedjak Negara RI
merdeka, 17 Agustus 1945, sampai dengan terbentuknja RIS tahun 1949, belum ada memiliki lambang
negara.
Untuk
memberikan pemikiran teknis saja selaku
Menteri Negara Zonder portofolio RIS 1949 –
1950 dan Koordinator Panitia Lambang Negara meminta Ki Hadjar Dewantara untuk
memberikan sumbangan pemikiran tentang hasil-hasil penelitian lambang-lambang
negara.
Untuk
memberikan pemikiran teknis saja selaku Menteri Negara Zonder portofolio RIS 1949 –
1950 dan Koordinator Panitia Lambang Negara, meminta Ki Hadjar Dewantara untuk memberikan sumbangan
pemikiran tentang hasil-hasil penelitian lambang-lambang di peradaban bangsa
Indonesia, karena menurut Mr. M. Jamin selaku Ketua Panitia Lambang Negara,
beliau lebih mengetahui dan pernah mendjadi Ketua Panitia Lagu Indonesia Raja
tahun 1945 bersama Mr. Jamin jang berkedudukan sekretaris umum, untuk itulah
saja mengirim telegram kawat kepada Ki Hadjar Dewantara di Djogjakarta dan
telah dibalas kepada saja 26 Djanuari 1950 jang intinja saja agar berkonsultasi kembali dengan
Mr. M. Jamin mengenai hasil penjelidikan lambang-lambang dimaksud, kemudian
berdasarkan hasil kesepakatan rapat Panitia Lambang Negara RIS, ada dua
rentjana gambar rantjangan lambang negara jang dipersiapkan Panitia Lambang Negara
ketika itu jang pertama dari saja sendiri dan kedua dari Mr. M. Jamin.
Saja
membuat sketsa berdasarkan masukan Ki Hadjar
Dewantara dengan figur Garuda dalam mitologi jang dikumpulkan oleh beliau dari
beberapa tjandi di Pulau Djawa dikirim beliau dari Djogjakarta, dan tidak lupa
saja djuga membandingkan salah satu simbol Garuda jang dipakai sebagai Lambang
Kerajaan Sintang, Kalimantan Barat, tetapi hanja merupakan salah satu bahan
perbandingan antara bentuk Burung Garuda jang berada di tjandi-tjandi di
Djawa dengan luar Djawa.
Karena
setjara historis Kerajaan Sintang masih ada hubungan
dengan Keradjaan Madjapahit, seperti
di dalam Legenda Daradjuanti dengan Patih Lohgender, demikian keterangan
Panglima Burung[18] mendjelaskan kepada saja di Hotel Des Indes awal Februari 1950. Di samping itu,
saja djuga mempergunakan bahan-bahan lambang negara lain jang djuga figurnja burung elang/jang mendekati burung Garuda dan
saja tertarik dengan gambar-gambar lambang
negara dan militer negara Polandia, karena latar belakang pendidikan saja
ketika di K.M.A Breda djuga mempeladjari makna lambang-lambang militer berbagai negara dan lambang-lambang negara di Eropa dan
negara-negara Arab, serta Amerika djuga di kawasan Asia jang memakai figur
burung.
Di
samping itu, Mr. M. Jamin djuga mempersiapkan tersendiri lambang negara,
walaupun demikian djuga beberapa hal beliau memberikan masukan kepada saja
tentang makna bunga teratai, jang kemudian saja buat gambar untuk dasar dudukan
burung garuda pada sketsa awal saja, karena menurut beliau itu djuga mitologi
Bangsa Indonesia dari peradaban Agama Budha.
Perlu
saja jelaskan, bahwa jang paling sulit ketika mencarikan simbol-simbol jang
tetap untuk melambangkan ide Pantja-Sila, saja awali dengan mentjoba untuk membuat rentjana tameng/perisai jang menempel pada figur burung garuda, karena
lambang-lambang pada negara lain jang mempergunakan figur burung selalu ada
tameng/perisai di tengahnja. Pertama saja membuat sketsa awal perisai jang saja
bagi mendjadi lima ruang dan sebagai tanda perisai jang membedakan dari Perisai
jang dibuat Mr. M. Jamin, kemudian saja buat dua
buah perisai di dalam dan di luar dengan garis agak tebal jang membelah perisai
untuk melambangkan garis equator (khatulistiwa) di perisai itu.
Walaupun
demikian, saja djuga meminta anggota dalam Panitia Lambang Negara untuk
menjumbangkan pemikiran jang berhubungan dengan simbol-simbol ide Pantja-Sila, seperti pesan Paduka Jang Mulia
Presiden Soekarno, ada jang menjarankan simbol keris, banteng, padi kapas, kemudian saja menambahkan
Nur Tjahaja berbentuk bintang persegi lima atas masukan M. Natsir sebagai
simbol ke-satu Pantja-Sila, djuga masukan dari R.M. Ng. Purbatjaraka, jakni
Pohon Astana jang menurut keterangannja pohon besar sejenis pohon beringin jang hidup di depan Istana sebagai
lambang pengajoman dan perlindungan untuk melambangkankan sila ke-tiga, karena
menurut beliau Pohon Astana memaknai simbol menjatunja rakjat dengan Astana itulah djuga hakekat Negara RIS jang sebagian besar ketika itu
didirikan di luar Negara Proklamasi RI, 17
Agustus 1945. Oleh keradjaan-keradjaan dan simbol selanjutnja tali rantai bermata bulatan melambangkan
perempuan dan bermata persegi melambangkan laki-laki jang sambung menjambung
berjumlah 17 sebagai simbol regenerasi jang terus menerus. Mengenai simbol ini
inspirasinya saja ambil dari tanah Kalimantan (Borneo), jakni kalung dari Suku Dajak, demikian djuga untuk perisainja, setelah
bertukar pikiran dengan para Panglima Suku Dajak di Hotel Des Indes, awal Februari 1950 jang saja
ajak ke Djakarta ketika itu.
Salah
satunja Panglima Burung, Masuka
Djanting[19],
J.C. Oevaang Oeraj[20], sahabat saja di DIKB, lambang lain kepala
banteng, sebagai sila keempat ini, sumbangan sebagai lambang dasar
kerakjatan/tenaga rakjat padi-kapas lambang sila-kelima sumbangan dari Ki Hadjar Dewantara sebagai perlambang
ketersediaan sandang pangan dan papan/simbol tudjuan kemakmuran, semua itu saja bitjarakan di Hotel
Des Indes jang merupakan tempat saja
membuat gambar lambang negara sekaligus saja tinggal sementara di Djakarta
sebagai Menteri Negara RIS sampai dengan 5 April 1950, saja ditangkap atas Perintah Jaksa Agung jang akhirnja saja
‘terseok’ dalam perdjalanan. Itu
mungkin tjiptaan saja terpendam mudah-mudahan pendjelasan kepada Saudara Salam,
mendjadi terang adanja.
Saja
putuskan tjiptaan pertama berbentuk figur burung Garuda jang memegang
Pantja-Sila, seperti masukan Ki Hajar Dewantara jang diambil dari mitologi
garuda pada peradaban Bangsa Indonesia, tetapi ketika gambar lambang negara ini
saja bawa ke dalam Rapat Panitia Lambang Negara, 8 Februari 1950, ternjata
ditolak oleh anggota Panitia Lambang Negara RIS lain, karena ada keberatan dari M. Natsir ada tangan manusia jang
memegang perisai berkesan terlalu mitologi dan feodal, djuga keberatan anggota
lain R. M. Ng. Purbatjaraka terhadap djumlah bulu ekor tudjuh helai, terus
terang jang mengusulkan tudjuh helai ini adalah Mr. M. Jamin.
Untuk
itu saja mintakan dalam rapat, Mr. M. Jamin ketika itu mendjelaskan makna
tudjuh helai bulu ekor selaku Ketua Panitia Lambang Negara, dan ada kesepakatan
untuk diubah mendjadi 8 helai bulu ekor, sebagai tjandra sengkala/identitas
negara proklamasi 17 Agustus 1945 atas usulan M. A. Pellaupessy jang menurut beliau tak boleh dilupakan.
Akhirnja setelah penolakan itu saja mengambil inisiatif
pribadi untuk memperbandingkan dengan lambang-lambang negara luar, khususnja
negara-negara Arab, seperti Jaman,
Irak, Iran, Mesir, ternjata menggunakan figur burung Elang Radjawali, djuga
seperti Negara Polandia jang sudah sejak ratusan tahun djuga menggunakan burung Elang Radjawali seperti jang
saja jelaskan di atas dalam kemeliterannja.
Karena
sosoknja lebih besar/gagah dari burung elang jang ada di Djawa dan ini
simbolisasi lambang tenaga pembangunan/creatif vermogen negara dengan harapan
Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) mendjadi negara jang besar dan setara
dengan negara-negara di dunia, sudah mendjadi kewadjarawan dan demikian
seharusnja.
Selandjutnja gambar lambang negara saja bisa diterima oleh
anggota Panitia Lambang Negara, demikian djuga lambang negara rantjangan Mr. Mohammad Jamin jang kemudian kami serahkan bersama
kepada Perdana Menteri Mohammad Hatta, untuk dibawa ke Pemerintah dan sidang
Parlemen RIS untuk dipilih. Alhamdulillah gambar rantjangan saja jang diterima,
10 Februari 1950 dan esoknja untuk pertama kali diperkenalkan kepada chalajak
ramai di Hotel Des Indes, jang kemudian pada rapat Parlemen RIS bersama
Pemerintah ditetapkan Parlemen RIS sebagai Lambang Negara RIS, pada tanggal 11
Februari 1950.
Walaupun
demikian, ada masukan beberapa waktu kemudian dari Paduka Jang Mulia Presiden
Soekarno ketika beliau sedang berpidato kenegaraan, 20 Februari 1950 melihat
lambang negara tersebut jang tergantung di belakang podium Parlemen Istana Merdeka Pedjambon,
karena kepala burung Radjawali tidak ‘berdjambul’ dan terlihat ‘gundul’. Paduka
Jang Mulia meminta saja untuk memperbaiki bentuk kepala, kemudian saja mengubah
bagian kepala mendjadi berdjambul, kemudian oleh Kementerian Penerangan RIS
atas perintah Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada pelukis Dullah[21],
untuk melukis kembali lambang negara tersebut.
Kemudian
lukisan itu saja potret dalam bentuk hitam putih untuk dikoreksi kembali oleh
Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno dan ternjata masih ada keberatan dari
beliau, jakni bentuk tjakar kaki masih ada jang mentjengkram seloka Bhinneka
Tunggal Ika dari arah belakang sepertinja terbalik, saja mentjoba mendjelaskan kepada
Paduka Jang Mulia, memang begitu burung terbang membawa sesuatu seperti keadaan
alamiahnja.
Tetapi
menurut Paduka Jang Mulia, seloka ini adalah hal jang sangat prinsip, karena
memang sedjak semula merupakan usulan beliau sebagai ganti rentjana pita merah
putih jang menurut beliau sudah terwakili pada warna perisai. Selandjutnja meminta saja untuk mengubah bagian tjakar kaki
mendjadi mentjengkram pita/mendjadi ke arah depan pita agar tidak ‘terbalik’
dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip ‘djatidiri’ bangsa Indonesia, karena
merupakan perpaduan antara pandangan ‘federalis’ dan pandangan “kesatuan’ dalam
Negara RIS.
Mengertilah
saja pesan filosofis Paduka Jang Mulia itu, djadi djika ‘bhinneka’ jang
ditondjolkan itu maknanja perbedaan jang menondjol dan djika ‘keikaan’ jang
ditondjolkan itulah kesatuan republik jang menondjol, djadi keduanja harus
disatukan, karena ini lambang Negara RIS jang di dalamnja merupakan perpaduan
antara pandangan ‘federalis’ dan pandangan ‘kesatuan’ haruslah dipegang teguh
sebagai ‘djati diri’ dan prinsip berbeda-beda pandangan tetapi satu djua ‘e-pluribus unum’.
Walaupun
saja harus susah pajah membuat sketsa
kembali untuk pembetulan badan tjakar kaki itu, tetap saja mengerti ini hal
bagian jang sangat penting dalam lambang Negara RIS. Karena mengandung tiga konsep lambang
sekaligus, jakni pertama, burung Radjawali-Garuda Pantja-Sila jang menurut
perasaan Bangsa Indonesia berdekatan dengan Burung Garuda dalam mitologi, kedua
perisai ide Pantja-Sila ber-thawaf’’/gilir balik, dan ketiga, seloka Bhinneka
Tunggal Ika jang tertulis dalam pita warna merah putih.
Untuk
itu saja meminta bantuan R. Ruhl untuk
membuat sketsa dari lambang negara jang saja buat dengan membawa potret lukisan
lambang negara jang dilukis oleh Dullah, karena lukisan Dullah jang gambar
rantjangannnja semua tjengkeraman kakinja
menghadap ke belakang telah diserahkan kepada Kementerian Penerangan RIS jang
ketika itu masih berada di Djogdjakarta.
Kemudian
dimintakan kepada saja oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno untuk tidak
disebarkan dahulu ke pelosok Negara RIS. Setelah itu sketsa transkrip/outwerp
jang dilukis D. Ruhl Jr saja adjukan kembali
ke Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ternjata beliau langsung mendisposisi sebagai Wapen Negara. Waktu itu tanggal 20 Maret 1950, kemudian
beliau memerintahkan untuk memanggil Dullah, sang pelukis Istana/pelukis
kesajangan Bung Karno untuk melukis kembali berdasarkan sketsa perbaikan R. Ruhl tersebut, walaupun ketika itu kita harus merugi
beberapa ribu rupiah lagu untuk membajar pelukis Dullah.
Hasil
lukisan Dullah jang kemudian oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno
diperintahkan kepada Kementerian Penerangan RIS jang ketika itu saja lihat banjak warga bangsa memasang di rumah-rumah, sedangkan
saja selaku pembuat gambar rantjangan lambang negara jang saja
namakan Radjawali Garuda Pantja-Sila diperintahkan Paduka Jang Mulia untuk memperbaiki seperlunja, jakni
membuat skala ukuran, bentuk dan tata warna, serta keterangan gambar jang ada
pada simbol-simbol itu, karena mendjadi tanggung djawab saja selaku Koordinator Panitia Lambang Negara dan Menteri
Negara dalam perentjanaan Lambang Negara RIS.
Patut
saja sedikit djelaskan, mengapa burung itu menoleh ke arah kanan, hal ini
sebenarnja perlambang pandangan negara ke arah kebaikan ke depan, karena kanan
dalam tradisi masjarakat selalu diartikan dengan arah kebaikan. Demikian salam
menoleh ke kanan ketika shalat
orang Islam hukumannja wajib/fardhua’in. Untuk itu dengan terbentuknja RIS
diharapkan bangsa ini bisa madju ke arah kemadjuan sebagai bangsa jang lebih
baik, sedangkan mengapa diberi nama Burung Elang Radjawali Garuda Pantja-Sila,
karena saja menghargai latar belakang gambar jang saja tjiptakan pertama
mengambil figur burung Garuda memegang perisai Pantja-Sila, berubah mendjadi
figur Burung Elang Radjawali jang dikalungkan perisai Pantja-Sila agar proses
bangsa ini djangan melupakan peradaban bangsanja dari mana dia berasal/djangan
sampai melupakan sedjarah puntjak-puntjak peradabannja, seperti pesan Paduka
Jang Mulia.
Jang
unik dan penting untuk saja djelaskan, karena banyak jang menanjakan kepada
saja, mengapa harus ada dua perisai pada perisai Pantja-Sila, sebenarnya saja
hanja mendjabarkan ide Pantja-Sila dari Bung Karno, 1 Djuni 1945 dalam rapat
Panitia Sembilan, karena saja teringat pada pesan utjapan Paduka Jang Mulia Presiden
Soekarno kepada saja berkali-kali, jakni Lambang Negara haruslah bisa
melambangkan ide Pantja-Sila. Mengenai ide Pantja-Sila itu terus terang saja
banjak masukan dari pendjelasan Mr. Mohammad Hatta selaku Perdana Menteri RIS
ketika saja konsultasi terus-menerus pada waktu itu.
Adanja
dua lambang perisai besar di luar dan perisai jang ketjil di tengah, karena
menurut pendjelasan Mr. Mohammad Hatta jang terlibat dalam Panitia Sembilan
Perumusan Pantja-Sila 1945 ketika pertukaran pikiran dalam Panitia Sembilan
pada pertengahan Juni 1945, dari lima sila Pantja-Sila jang terpenting sebagai
pertahanan bangsa ini menurut beliau adalah sila pertama Ketuhanan Jang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa
bertahan madju ke depan untuk membangun generasi-generasi penerus/kader-kader
pedjuang bangsa jang bermartabat/berperikemanusiaan jang disimbolkan dengan
sila kedua: kemanusiaan jang adil dan beradab.
Setelah
itu, membangun persatuan Indonesia sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah
dan perpaduan antar negara dalam RIS inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat,
pada langkah berikutnja, baru membangun parlemen Negara RIS jang demokratis dalam
permusjawaratan/perwakilan, karena dengan djalan
itulah bisa bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia, jakni dari rakjat, untuk rakjat oleh
rakjat, karena berbakti kepada bangsa
dan Tuhan Jang Masa Esa.
Atas
pendjelasan Perdana Menteri RIS
itu, kemudian perisai ketjil di tengah saja masukkan simbol sila ke satu
berbentuk Nur Tjahja Bintang
bersudut segilima, patut diketahui arah simbolisasi ide Pantja-Sila itu saja
mengikuti gerak arah ketika orang ‘berthawaf’/berlawanan arah djarum
djam/’gilirbalik’ kata Bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke simbol
sila kedua dan seterusnja.
Karena
seharusnja seperti itulah sebagai bangsa menelusuri kembali akar sedjarahnja dan mau ke mana arah
Bangsa Indonesia ini dibawa ke depan, agar tidak kehilangan makna semangat dan
‘djatidiri’-nja ketika mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanja, seperti
berbagai pesan pidato Paduka Jang Mulia di setiap kesempatan. Itulah kemudian
saja membuat gambar simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep berputar-gerak
simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep berputar-gerak ‘thawaf’/gilirbalik kata Bahasa
Kalimantan sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun ke depan
perdjalanan Bangsa Indonesia jang kita tjintai ini.
Perisai
ide Pantja-Sila itu dibawa terbang tinggi oleh Sang Radjawali Garuda
Pantja-Sila jang dikalungkan dengan rantai di lehernja dengan tetap
mentjengkeram kuat prinsip jang dipegang teguh para pemimpin dalam Negara RIS,
namanja “Bhinneka Tunggal Ika” sebagaimana dikehendaki bersama itulah simbol
kedaulatan RIS seperti telah diperdjuangkan bersama di KMB[22]
1949 dan telah dituangkan dalam Piagam Penjerahan Kedaulatan oleh Ratu Juliana
pada 27 Desember 1949 dan diperintahkan dalam Konstitusi RIS itu, jakni
Pemerintah untuk menetapkan Lambang Negara RIS.
Pertanjaan
lain yang sering ditanjakan kepada saja, bahkan oleh Sekretaris Pribadi saja
sendiri, Max Jusuf Al-Qadrie, setelah keluarnja saja dari pendjara, djuga
pertanjaan jang sama oleh Saudara Salam, jakni mengapa ada garis tebal di
tengah perisai Pantja-Sila? Apakah sebagai tanda jang membuatnja dari anak
bangsa jang berasal Ibukota Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), Pontianak?
Saja djawab hal ini sebenarnja ingin
membanggakan/ menjimbolkan letak Negara RIS dilewati garis equator/khatulistiwa
jang kebetulan tugunja ada di negeri kelahiran saja sendiri, Pontianak, jang didirikan tahun 1928 djauh
sebelum negara proklamasi Republik Indonesia merdeka dan Negara RIS terbentuk
sampai dengan tahun 1938 disempurnakan oleh opsiter Silaban, sahabat saja,
seperti bentuk tugunja sekarang ini, garis itu melewati Daerah Istimewa
Kalimantan Barat (DIKB) jang merupakan bagian kesatuan kenegaraan, seperti
dinjatakan dalam konstitusi sebelum RIS, 17 Agustus 1945 sampai dengan 26
Desember 1945, agar kelak generasi mengetahui, gambar Lambang Negara RIS ini adalah tjiptaan saja untuk
membedakan dengan apa jang dibuat oleh Mr. Mohammad Jamin jang djuga berbentuk
perisai hanja gambarannja ada
sinar-sinar matahari.
Falsafah
‘thawaf’ mengandung pesan, bahwa ide Pantja-Sila itu bisa didjabarkan bersama
dalam membangun negara, karena ber’thawaf’ atau gilir balik menurut Bahasa Kalimantan, artinya membuat kembali
membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada sasaran jang djelas, jakni
masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan rukun dan damai.
Begitulah
menurut Paduka Jang mulia Presiden Soekarno, arah falsafahnja dimaksud pada
udjungnja, jakni membangun negara jang bermoral tetapi tetap mendjundjung
tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada sanubari rakjat
bangsa di belahan wilajah
negara RIS, serta tetap memiliki karakter asli bangsanja sesuai dengan
‘djatidiri’ bangsa/adanja pembangunan nation character building demikian pendjelasan Paduka Jang Mulia
Presiden Soekarno kepada saja.
Saja
sedjudjurnja hanja berupaja mengangkat kembali lambang-lambang/simbol-simbol
jang ada di peradaban klasik bangsa Indonesia bersama anggota Panitia Lambang
Negara itu sebenarnja semangat gotong-rojong lewat perentjanaan gambar Lambang Negara RIS sebagaimana ditugaskan kepada saja selaku Menteri Negara Zonder Portofolio. Karena memang tidak ada tugas lain untuk saja sebagai Menteri Selain merentjanakan lambang negara dan menjiapkan gedung
parlemen RIS, saja berharap agar kelak bangsa ini ditjintai oleh kita semua
bertekad untuk memadjukan-membangun bersama.
Itulah
jang dapat saja sumbangkan kepada bangsa ini jang ditjintai oleh kita, hanya
sadja saja ‘ketjewa’ dengan kabar di luar jang menerka-nerka Mr. Mohammad Jamin
jang membuat lambang Negara RIS, sedangkan file-file serta transkrip lambang
negara Mr. Mohammad Jamin jang pernah ditolak oleh Pemerintah dan Parlemen RIS
ada di tangan Panitia lambang Negara jang kemudian file-file lambang negara itu
saja simpan dengan baik, sampai kemudian sekitar akhir tahun 1966 saja
selamatkan ke Istana Qadrijah, Pontianak.
Kemudian
saja bawa kembali ke Djakarta sekitar awal tahun 1967, saja titipkan kepada
Nona K. Irawati, anak Sjamsuddin Sutan Makmur/pernah Menteri Penerangan periode
30 Djuni – 12 Maret 1956 jang ketika itu satu ruangan pendjara bersama saja
mendjadi tahanan politik, di rumah beliaulah di Djalan Radio Dalam, Djakarta
Selatan, tempat sementara saja tinggal setelah keluar dari pendjara, jang
akhirnja semua file saja bersama file Mr. Mohammad Jamin saja serahkan kepada Sekretaris Pribadi jang kebetulan
tjutju saja, Max Jusuf Al-Qadrie,
hingga saat ini agar terselamatkan bagi bangsa ini.
Sajapun tidak tau saat ini apakah ide Pantja-Sila itu hasil rumusan
dari Mr Mohammad Jamin dalam Panitia Sembilan seperti jang berkembang di
masjarakat seperti jang Saudara tanjakan kepada saja, karena terus-terang saja
tidak mengikuti perkembangan di luar. Itu saja meminta Saudara sebagai Wartawan
djuga menanjakan langsung kepada Mr Mohammad Hatta sebagai saksi sedjarah dalam
ke Panitiaan Sembilan 1945, sebelum sedjarah ide Pantja-Sila itu dibelokkan
atau ‘dipalsukan’ orang jang
tidak bertanggjungdjawab.
Dan
saja berharap transkrip hasil wawantjara itu bisa dikirim kepada saja, sungguh
berterimakasih kepada Saudara djika Saudara mau menanjakan hal ini kepada Mr.
Mohammad Hatta.
Pendjelasan
lain atas file transkrip pembuatan gambar lambang negara jang saja buat ini
sudah pernah saja djlelaskan kepada Sekretaris Pribadi saja, Max Jusuf Al-Qadrie. Dan pendjelasan ini hanya untuk melengkapi
apa jang sudah didjelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 jang
tidak memuat setjara djelas dan rintji pokok-pokok pikiran tentang lambang negara Radjawali Garuda Pantja-Sila dalam
transkrip saja.
Demikianlah
djawaban saja atas pertanjaan Saudara Solichin Salam dan semoga mendjadi pendjelasan jang objektif mendjawab surat
Saudara. Jikalau kurang djelas,
harap Saudara berkundjung ke kediaman saja kembali setiap saat, terimakasih
atas hal yang sudah dipertanjakan kepada saja mendjadikan sesuatu jang
bermanfaat bagi bangsa jang ditjintai oleh kita.
Djakarta, 15 April 1967
Hamid
Disalin kembali sesuai aslinya oleh Sekretaris
Pribadi Sultan Hamid II, tanggal 1 Djuni 1971
Max Yusuf Al-Qadrie (Cucu dan Sekretaris Pribadi Sultan
Hamid II). ■
[1] Het beroemde Hotel des Indes in Batavia heette ooit
Hotel Rotterdam, maar dankzij Multatuli...".
Engelfriet.net. Diakses pada 3 Desember
2009.
[2] Lihat: Tesis Turiman Fachturrahman Nur,
berjudul: Sejarah
Hukum Lambang Negara Republik Indonesia; suatu Analisis Yuridis Normatif tentang Pengaturan
Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan, di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Depok, Provinsi Jawa Barat, Rabu, 11 Agustus 1999.
[3]Zaini
Rakhman/pemerhati elang, penulis buku “Garuda, Mitos dan Faktanya di
Indonesia”/Pikiran rakyat http://archive.blogspot.com/2012/09/kisah-sang-lambang-negara-burung-garuda
[4]
Majalah Parisada
Hindu Dharma Indonesia Pusat , Jl. Anggrek Neli Murni
, Blok A No. 3 Slipi, Jakarta Barat, Putu Nugat, Jumat 15 Mei 2009 “Raja
Airlangga 3 Saat Penobatan Airlangga, Empu Kanwa Gubah Arjunawiwaha”, Jawaban dari
email, sekretariat[at]parisada.org kepada peneliti, 10 November 2011.
[5]Transkrip
Sultan Hamid II, kepada wartawan Solichin
Salam, yang disalin kembali oleh sekretaris pribadi Sultan Hamid II Max
Yusuf Al-Kadrie, 15 April
1967,
halaman 4
[6]
Dullah, adalah pelukis di Istana Kepresidenan selama Soekarno menjadi Presiden.
[7] Ki Hajar Dewantara, pendiri
Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi
para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para
priyayi
maupun orang-orang Belanda.
[8] M.A. Pellaupessy, kelak menjadi
Menteri Penerangan, setelah Kabinet Mohammad Natsir dibentuk periode 6
September 1950 – 20 Maret 1951.
[9] Mohammad Natsir menjadi Perdana
Menteri setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) berubah menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), periode 6 September 1950 – 20 Maret 1951.
Di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim se-Dunia
(World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
[10] Prof.
Dr. Raden Mas Ngabehi (Lesya) Poerbatjaraka (lahir di Surakarta tahun 1884 – meninggal dunia di
Jakarta tahun 1964 pada umur 80 tahun) adalah seorang Budayawan, Ilmuwan Jawa
dan terutama Pakar Sastra Jawa Kuno.
[11] Prijono (lahir di Yogyakarta, 20
Juli 1905 – meninggal 6 Maret 1969 pada umur 63 tahun) adalah Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia periode 1957 hingga tahun 1966.
[12] Mr Prof.
Mohammad Yamin S.H. (lahir di Tawali, Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus
1903 – meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun)
adalah sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum yang telah
dihormati sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu perintis
puisi modern Indonesia dan pelopor Sumpah Pemuda sekaligus "pencipta imaji
keindonesiaan" yang mempengaruhi sejarah persatuan Indonesia.
[13] Prof. Mr. Abdoel Gaffar Pringgodigdo adalah mantan Menteri Kehakiman
Indonesia dari tanggal 21 Januari sampai 6 September 1950, menggantikan Prof.
Mr. Soepomo.
[14] Kementerian Luar Negeri &
Museum Konferensi Asia Afrika, Jakarta, 2012, Sejarah Lambang Negara Indonesia
[15] Dimaksudkan
adalah materi Pledooi dibacakan Sultan Hamid II atas
tuduhan makar di hadapan sidang Mahkamah Agung di Jakarta, 25 Maret 1953.
Salinan utuh pledoi Sultan Hamid II, ada di hal. 162 – 189 buku: Peristiwa Sultan Hamid II,
Djakarta, Persadja, 1953.
[16] T.H.S singkatan dari Technisch Hoogeschool yang
sekarang dikenal dengan Institut Teknologi Bandung (ITB).
[17] K.M.A singkatan dari: Koninklijk Militaire Academie
yang berada di Kota Breda, Belanda. K.M.A Breda, adalah Akademi Militer milik
Kerajaan Belanda.
[18] Panglima Burung, adalah tokoh
Adat Suku Dayak asal Kecamatan Meliau, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan
Barat. Panglima Burung terlibat di dalam Perang
Majang Desa Melawan Jepang. Peran Panglima Burung dalam berperang melawan
Jepang, bisa dibaca di buku: Sejarah
Perang Majang Desa Melawan Jepang, ditulis S. Jacobus E Frans L. BA, terbitan Kantor Wilayah Pendidikan dan
Kebudayaan Daerah Tingkat I Kalimantan Barat tahun 1981.
[19] Masuka Djanting, anggota Dewan
Pemerintahan Peralihan Kalimantan Barat berdasarkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri, Nomor 17 Tahun 1956, tanggal 28 Agustus 1956.
[20] Johanes Chrisostomus Oevaang
Oeray, anggota Badan Pemerintahan Harian Daerah Istimewa Kalimantan Barat (BPH
DIKB), 1946 – 1949, anggota Badan Konstituante, 1956 – 1959 dan Gubernur
Kalimantan Barat, 1960 – 1966.
[22] K.M.B singkatan dari
Konferensi Meja
Bundar. Delegasi Republik Indonesia (RI), Badan Permusyawaratan Federal
atau Bijeenkomst Voor
Federaal Overleg (BFO) dan Kerajaan Belanda menggelar KMB di Den
Haag,
Belanda, 23 Agustus
– 2 Nopember 1949. KMB menghasilkan Penyerahan dan
Pengakuan Kedaulatan
kepada Republik
Indonesia Serikat (RIS) pada
tanggal 27 Desember 1949.
12 komentar:
Nama : EDI TULUS WIANTO
NIM : A 11112012
REG : B
SMTR : VII
MK : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
ASS.WR.WB.
sebelum saya berkomentar di artikel bapak ini, saya mengucapkan banyak terima kasih karena dengan artikel ini sudah menambah pengetahuan dan mengenal lebih dekat seorang sultan hamid II yang merupakan pencipta lambang negara GARUDA PANCASILA.. yang ternyata masih keturunan bangsawan pendiri kota pontianak kalbar, hebat sungguh hebat... ternyata kalimantan barat memiliki putra daerah yang sangat - sangat hebat.. membuat sejarah besar dalam negara indonesia sampai saat sekarang ini... namun mau berkata apa seorang sultan hamid II sungguh tidak terkenal dari sabang sampai marauke hanya di kalbar ini aja sangat di sanjung.. karna apa sultan hamid II bukan merupakan pahlawan nasional... saya pernah membaca sebuah karya tulis yang dituangkan dalam skripsi... seorang mahasiswa yang mengambil master hukum.. ternyata bapak sendiri yang mengangkat materi ini dengan judul " Sejarah Hukum Lambang Negara RI – Suatu Analisis Yuridis Normatif tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan "
negara pantas memberikan penghargaan terbaik kepada almarhum Sultan Hamid Alkadrie II atas jasanya menciptakan lambang negara Burung Garuda. Penghargaan yang tepat adalah pemberian gelar pahlawan nasional kepada Sultan Hamid Alkadrie II.
Untuk mengembalikan fakta sejarah yang sebenar-benarnya mengenai pencipta lambang negara Burung Garuda, pihak ahli waris dan pemerintah Kalimantan Barat serta Universitas Tanjungpura pernah menyelenggarakan seminar nasional di Pontianak. Ketua DPR Akbar Tandjung juga hadir dalam acara yang berlangsung pada 2 Juni 2000.
Saat itu, Akbar Tandjung, yang juga ketua umum Partai Golongan Karya, juga mengusulkan agar nama baik Sultan Hamid Alkadrie II dipulihkan dan diakui sebagai pencipta lambang negara. Sayangnya, usulan itu tak ada tindak lanjutnya hingga sekarang.
besar harapan saya... semoga Pemerintah yang berkuasa memberikan penghargaan yang berarti buat putra kalbar ini yang menciptakan lambang negara pancasila... dan menjadi pahlawan nasional hingga dikenang selama sejarah indonesia ada di negara tercinta INDONESIA.
NAMA : SITI AKBARI FITRIANTY
NIM : A1011171006
KELAS : A/PAGI
SEMESTER : 1
MAKUL : PENDIDIKAN PANCASILA
DOSEN : TURIMAN FACHTURAHMAN NUR, S.H, M.Hum
Assalamualaikum Wr.Wb
Salam sejahtera untuk kita semua. Saya ucapkan terima kasih kepada bapak Turiman Fachturahman Nur, S.H, M.Hum yang telah menulis artikel mengenai “Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara Republik Indonesia” yang sangat berguna untuk masyarakat mengatahui hal yang sebenarnya.
Kita sebagai masyarakat/ pemuda-pemudi kalimantan barat patut berbangga diri karena salah satu pemuda kita berhasil menyumbangkan suatu hal yang sangat berharga dan penting untuk negara yaitu lambang negara. Tapi sayangnya hal tersebut tidak terlihat, Sultan Hamid II selaku pembuat lambang negara seolah tak dikenal. Jasanya yang sungguh besar tidak mendapat apreasiasi yang seharusnya dari negara dan masyarakat.
Saya berharap negara dapat merespon fakta sejarah yang sebenarnya dan memberikan penghargaan terbaik kepada Sultan Hamid II yang telah menciptakan lambang negara dan menjadikan pahlawan nasional Indonesia.
Terima kasih
Wassalamualaikum Wr.Wb
NAMA :Dapot Sinaga
NIM : A1011171014
KELAS : A/PAGI
SEMESTER : 1
MAKUL : PENDIDIKAN PANCASILA
DOSEN : TURIMAN FACHTURAHMAN NUR, S.H, M.Hum
Salam sejahtera untuk kita semua.saya sangat berterima kasih kepada bapak turiman yang dimana atas adanya materi ini sangat lah membantu saya dalam belajar.sebagaimana yang kita tahu dan kita pelajari sebelum nya di sekolah itu,diajarkan bahwa perancang lambang negara Indonesia sendiri adalah moh.yamin.dan pada kesempatan ini melalui materi dan artikel ini.sudah terbukti bahwa sultan Hamid lah yang berjasa akan hal tersebut. Hal ini sudah menyadarkan kita tentang siapa yang merancang lambang negara itu.pada dasarnya ternyata sejarah kita sudah dibolak balik sehingga apa yang diterima masyarakat itu bukan lah sesuai dengan fakta yang ada.jadi saya sangat berterima kasih sekali atas adanya materi ini.sudah selayaknya dilakukan pembenaran tentang hal tersebut agar tidak terjadi suatu kejanggalan dan tentunya setiap orang yang telah berjasa demi negara ini sudah patut untuk dihormati dan dihargai.sekian terima kasih.
Salam sejahtera.
NAMA : DIKI APRIYANDHA
NIM : A1011171050
KELAS : A/PAGI
SEMESTER : 1
MAKUL : PENDIDIKAN PANCASILA
DOSEN : TURIMAN FACHTURAHMAN NUR, S.H, M.Hum
Assalamualaikum Wr.Wb
Salam sejahtera untuk kita semua. Saya ucapkan terima kasih kepada bapak Turiman Fachturahman Nur, S.H, M.Hum yang telah menulis artikel mengenai “Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara Republik Indonesia” yang sangat berguna untuk masyarakat dan mengatahui hal yang sebenarnya.
Kita masyarakat Indonesia/ terutama pemuda-pemudi khususnya di Kalimantan Barat berbangga karena salah satu pemuda kita Sultan Hamid II berhasil menyumbangkan suatu hal yang tak akan pernah dilupakan, sangat berharga dan penting untuk negara.Yaitu lambang negara. Tapi sayangnya hal tersebut tidak terlihat, Sultan Hamid II selaku pembuat lambang negara,tatkala ini menjadi seperti kacang yang lupa pada kulit nya seolah-olah tak dikenal. Jasanya yang sungguh besar tidak mendapat apreasiasi yang seharusnya dari negara dan masyarakat.
Seperti yang kita ketahui bahwasannya Ir.Soekarno berkata "Bangsa yang besar ialah Bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah". Tapi dalam hal ini bertolak belakang dan tidak didapati oleh Sultan Hamid II.
Saya Selaku Pemuda Kalimantan Barat berharap negara dapat merespon fakta sejarah yang sebenarnya dan memberikan penghargaan terbaik kepada Sultan Hamid II yang telah menciptakan lambang negara dan menjadikan juga Sultan Hamid sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Terima kasih
Wassalamualaikum Wr.Wb
NAMA : DIKI APRIYANDHA
NIM : A1011171050
KELAS : A/PAGI
SEMESTER : 1
MAKUL : PENDIDIKAN PANCASILA
DOSEN : TURIMAN FACHTURAHMAN NUR, S.H, M.Hum
Assalamualaikum Wr.Wb
Salam sejahtera untuk kita semua. Saya ucapkan terima kasih kepada bapak Turiman Fachturahman Nur, S.H, M.Hum yang telah menulis artikel mengenai “Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara Republik Indonesia” yang sangat berguna untuk masyarakat dan mengatahui hal yang sebenarnya.
Kita masyarakat Indonesia/ terutama pemuda-pemudi khususnya di Kalimantan Barat berbangga karena salah satu pemuda kita Sultan Hamid II berhasil menyumbangkan suatu hal yang tak akan pernah dilupakan, sangat berharga dan penting untuk negara.Yaitu lambang negara. Tapi sayangnya hal tersebut tidak terlihat, Sultan Hamid II selaku pembuat lambang negara,tatkala ini menjadi seperti kacang yang lupa pada kulit nya seolah-olah tak dikenal. Jasanya yang sungguh besar tidak mendapat apreasiasi yang seharusnya dari negara dan masyarakat.
Seperti yang kita ketahui bahwasannya Ir.Soekarno berkata "Bangsa yang besar ialah Bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah". Tapi dalam hal ini bertolak belakang dan tidak didapati oleh Sultan Hamid II.
Saya Selaku Pemuda Kalimantan Barat berharap negara dapat merespon fakta sejarah yang sebenarnya dan memberikan penghargaan terbaik kepada Sultan Hamid II yang telah menciptakan lambang negara dan menjadikan juga Sultan Hamid sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Terima kasih
Wassalamualaikum Wr.Wb
NAMA : DIKI APRIYANDHA
NIM : A1011171050
KELAS : A/PAGI
SEMESTER : 1
MAKUL : PENDIDIKAN PANCASILA
DOSEN : TURIMAN FACHTURAHMAN NUR, S.H, M.Hum
Assalamualaikum Wr.Wb
Salam sejahtera untuk kita semua. Saya ucapkan terima kasih kepada bapak Turiman Fachturahman Nur, S.H, M.Hum yang telah menulis artikel mengenai “Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara Republik Indonesia” yang sangat berguna untuk masyarakat dan mengatahui hal yang sebenarnya.
Kita masyarakat Indonesia/ terutama pemuda-pemudi khususnya di Kalimantan Barat berbangga karena salah satu pemuda kita Sultan Hamid II berhasil menyumbangkan suatu hal yang tak akan pernah dilupakan, sangat berharga dan penting untuk negara.Yaitu lambang negara. Tapi sayangnya hal tersebut tidak terlihat, Sultan Hamid II selaku pembuat lambang negara,tatkala ini menjadi seperti kacang yang lupa pada kulit nya seolah-olah tak dikenal. Jasanya yang sungguh besar tidak mendapat apreasiasi yang seharusnya dari negara dan masyarakat.
Seperti yang kita ketahui bahwasannya Ir.Soekarno berkata "Bangsa yang besar ialah Bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah". Tapi dalam hal ini bertolak belakang dan tidak didapati oleh Sultan Hamid II.
Saya Selaku Pemuda Kalimantan Barat berharap negara dapat merespon fakta sejarah yang sebenarnya dan memberikan penghargaan terbaik kepada Sultan Hamid II yang telah menciptakan lambang negara dan menjadikan juga Sultan Hamid sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Terima kasih
Wassalamualaikum Wr.Wb
NAMA :AZRUL SAPUTRA
NIM : A1011171038
FAKULTAS : HUKUM UNTAN
KELAS : A REGULER A
MATA KULIAH : PENDIDIKAN PANCASILA
Assalamualaikum Wr.Wb
Salam sejahtera untuk kita semua. Saya ucapkan terima kasih kepada bapak Turiman Fachturahman Nur, S.H, M.Hum yang telah menulis artikel mengenai “Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara Republik Indonesia” yang sangat berguna untuk masyarakat mengatahui hal yang sebenarnya.
Kita sebagai masyarakat/ pemuda-pemudi kalimantan barat patut berbangga diri karena salah satu pemuda kita berhasil menyumbangkan suatu hal yang sangat berharga dan penting untuk negara yaitu lambang negara.Namun hal ini sangat disayangkan karena tidak banyak orang yang mengetahui hal tersebut karena kurangnya perhatian dari pemerintah untuk mempublikasikanya kepada masyarakat umum, namun saatnya lh kita ntuk memberi tahukan kepada mereka yang belum tahu tersebut dengan cara menyebarkan artikel ini kdi berbagai media sosial.
sekian komentar yang dapat saya sampaikan, kurang dan lebihnya saya mohon maaf.
terima kasih, assalamualaikum.
Nama : Juni markus
Nim : A1011171013
Kelas : A Reg (A)
Fakultas : Ilmu Hukum
Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila
Dosen Pengampu: Turiman Fachturahman,S.H,M.Hum.
Selamat malam dan salam sejahtera, sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada bapak Turiman Fachturahman,S.H,M.Hum yang mana telah mempublikasikan sejarah lambang negara Repoblik Indonesia yang berupa burung elang raja wali atau di sebut burung garuda, sepeti yang kita ketahui bahwasnya orang yang merancang lambang negara tersebut adalah Moh.Yamin tetapi yang sebenarnya bukanlah beliau melain Sultan Hamid ll yang berasal dari Kalimantan Baratlah yang merancang lambang negara tersebut.
Dalam artikel inilah kami dapat mengetahui yang sebenar-benarnya tentang lambang negara Repoblik Indonesia yang di rancang oleh Sultan Hamid ll dari hasil pemikiran beliau Indonesia mempunyai lambang negara yang penuh dengan makna, tapai sayangnya karya beliau hanya sekelintir orang saja yang tau tentang perancang negara tersebut bukan hanya itu beliau juga sempat beberapa tahun tidak di akui oleh negara sebagi seorang pahlawan padahal hasil dari pemikiran beliau tersebut sangat berguna bagi negara Repoblik Indonesia namun sangat di sayangkan hasil karya beliau tersebut tidak di hargai sama sekali puji tuhan beberapa tahun yang lalu nama beliau sebagai perancang lambang negara mulai di kenal oleh banyak masyarakat khususnya mahasiswa fakultas Hukum Universitas Tanjungpura.
Dengan artikel dan penjelasan dari pak turiman baik lewat belok internet maupun di dalam kelas saat kuliah sangat membuat saya yakin bahwa yang membuat lambang negara tersebut memang benar di lakukan oleh Sultan Hamid ll karena artikel yang di buat oleh pak Turiman Fachturahman tersebut bukan hanya sekedar pendapat atau opini dari beliau saja melainkan dengan bukti-bukti yang ril dan nyata tentang proses pembentukan lambang negara yang di lakukan oleh Sultan Hamid ll tersebut.
Demikian komentar saya,selamat malam dan salam sejahtera.
Nama:Dhea wardianti utari
Nim:A1011171034
Dosen:Turiman fachturahman S.H,M.Hum
Mata kuliah:pendidikan pancasila
kelas A ruang 5
assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh saya ucapkan terima kasih kepada bapak turiman yang mana telah mempublikasihkan tentang sejarah lambang Negara Indonesia. Seperti yang banyak kita ketahui yang merancang lambang Negara adalah M. Yamin, tetapi berkat bapak saya jadi tahu lebih jelas bahwa sebenarnya perancang lambang Negara Indonesia ialah Sultan Hamid II. Dan dari sini juga saya dapat mengetahui bagaimana susahnya Sultan Hamid II dalam merancang lambang Negara Indonesia.
Kita sebagai pemuda-pemudi yang berasal dari pontianak harusnya berbangga dan berbahagia karena sang perancang lambang Negara Sultan HAMID II berasal dari Pontianak Kalimantan Barat.
Mungkin hanya ini yang dapat saya sampaikan, kurang dan lebihnya saya ucapkan terimakasih banyak.
Nama: Sonia fitriwati
Nim : A1011171032
Kelas : A
Reg : A
Mata kuliah: pendidikan pancasila
Sebelum saya berkomentar, saya mengucapkan terima kasih untuk artikel yang telah bapak lampirkan di blog bapak ini, isi artikel yg berjudul "Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara Republik Indonesia" sangat bermanfaat sekali bagi pembaca khususnya saya, disini saya akan memberi pendapat saya mengenai artikel bapak, di dalam artikel ini saya dapat mengetahui penjelasan tentang Republik Indonesia Serikat (RIS) menetapkan elang rajawali Garuda Pancasila sebagai lambang negara terhitung 11 Februari 1950. Empat hari kemudian pada tggl 15 Februari 1950, presiden Soekarno memperkenalkan untuk pertama kali lambang negara tersebut kepada khalayak umum di hotel Des indes, (sekarang pertokoan duta Merlin, jalan gajah Mada Jakarta pusat) ini merupakan karya terbesar Sultan Hamid II yg ditugaskan secara khusus oleh presiden Soekarno untuk merancang lambang republik Indonesia, setelah diangkat menjadi menteri negara zonder portofolio, terhitung 20 di tahun 1949. Di dalam artikel bapak juga dipaparkan penjelasan tentang panitia lambang garuda, aturan penggunaan lambang negara, dan saya mendapatkan pemahaman yang baru dari isi artikel ini, di dalam artikel juga dipaparkan surat Sultan Hamid II, dari berbagai isi yg ada di dalam artikel sangat bermanfaat bagi saya, sekian komentar dari saya mohon maaf jika ada kesalahan , sekian terima kasih..
Nama: Sonia fitriwati
Nim : A1011171032
Kelas : A
Reg : A
Mata kuliah: pendidikan pancasila
Sebelum saya berkomentar, saya mengucapkan terima kasih untuk artikel yang telah bapak lampirkan di blog bapak ini, isi artikel yg berjudul "Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara Republik Indonesia" sangat bermanfaat sekali bagi pembaca khususnya saya, disini saya akan memberi pendapat saya mengenai artikel bapak, di dalam artikel ini saya dapat mengetahui penjelasan tentang Republik Indonesia Serikat (RIS) menetapkan elang rajawali Garuda Pancasila sebagai lambang negara terhitung 11 Februari 1950. Empat hari kemudian pada tggl 15 Februari 1950, presiden Soekarno memperkenalkan untuk pertama kali lambang negara tersebut kepada khalayak umum di hotel Des indes, (sekarang pertokoan duta Merlin, jalan gajah Mada Jakarta pusat) ini merupakan karya terbesar Sultan Hamid II yg ditugaskan secara khusus oleh presiden Soekarno untuk merancang lambang republik Indonesia, setelah diangkat menjadi menteri negara zonder portofolio, terhitung 20 di tahun 1949. Di dalam artikel bapak juga dipaparkan penjelasan tentang panitia lambang garuda, aturan penggunaan lambang negara, dan saya mendapatkan pemahaman yang baru dari isi artikel ini, di dalam artikel juga dipaparkan surat Sultan Hamid II, dari berbagai isi yg ada di dalam artikel sangat bermanfaat bagi saya, sekian komentar dari saya mohon maaf jika ada kesalahan , sekian terima kasih..
NAMA : MASDIANA WATI
NIM : A1011171001
KELAS : A/PAGI
SEMESTER : 1
MAKUL : PENDIDIKAN PANCASILA
Assalamualaikum warahmatullahi wabaraktuh, sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada pak Turiman yang telah bersedia memaparkan secara gamblang mengenai kiprah sultan Hamid II dalam penemuan lambang garuda pancasila, dimana dengan adanya artikel bapak saya jadi mengetahui beberapa hal diantaranya :
1. Pada 15 februari 1950 presiden soekarno memperkenalkan pertama kali lambang neagra tersebut kepada kkalayak umum dihotel des indes,jakarta , banyak peristiwa penting yang dilaksanakan di hotel des indes , anatar lain sebagai tempat ditandatangani perjanjian roem rojien 7 mei 1949 .Sayang , tempat bersejarah yang mempunyai kaitan erat dengan lambang negara garuda pancasila itu kini tinggallah sebuah nama, pada tahun 1960 pemerintah indonesia mengambil alih hotel des indes dan diganti namanya menjadi hotel duta indonesia. Pada tahun 1971, bangunan hotel duta indonesia dibongkar untuk kemudian didirkan pertokoan duta merlin,jalan gajahmada , jakarta pusat. mengapa hal itu bisa terjadi? saya harap bapak bisa juga menjelaskan alasan dibongkarnya hotel duta tersebut. Kemudian yang kedua Karena alasan politik , cukup lama sultan hamid tidak diakui sebagai perancang lambang negara indonesia, nah disini saya juga berharap bapak dapat mengupas tuntas apa alasan politik dari
2. Masyarakat antusias menyaksikan kegiatan ulang tahuan garuda pancasila yang digelar jumat,11 februari 2011 di museum gedung konferensi asia afrika , bandung. Nah seperti yang kita ketahui sekarang sudah sangat jarang masyarakat memperingati hari ulang tahun garuda pancasila , seharusnya instansi pendidikan juga memperingati hari ulang tahun garuda pancasila tersbeut agar masyarajat lebih memahami lambang negaar elang rajawlai garuda pancasila seacra kkeseluruhan, saya berharap dengan artikel bapak ini semoga dapat menggugah semangat bangsa ndonesia untuk terus mencintai lambang negaranya.
3. Kemudian dari artikel bapak juga saya jadi mengetahui proses pengajuan lambang negara diamanaAda dua rancangan lambang negara terbaik yaitu karya sultan hamid II dan karya muhammad yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan parlemen adalah rancangan sultan hamid II. Karya muhammad yamin ditolak karena menyertakan sinar sinar matahari dan menampakkan pengaruh jepang.Setelah rancnagan terpilih, dialog intensif antara sultan hamid II (perancnag lambang negara) dengan presidfen RIS soekarno dan perdana menteri RIS mohammad hatta=) membahasa penyemprnaan rancnagan tersebut =) mengganti pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan bhineka tunggla ika,kemudiaj saya beraharap bapak bisa menjelaskan juga mengapa warnanya diganti.
4. Selanjutnya pada 8 februari 1950 rancagan final lambang negara ke presiden soekarno mendapat masukan dari partai Masyumi dimana mereka keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai pancasila dan dianggap bersifat mitologis yang menyimpang dari kepercayaan umat islam sebagai penduduk mayoritas indonesia. Sultan hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang dan setelah melakukan perbandingan negara negara dunia.
Sekian tanggapan saya atas artikel menarik dari bapak ,terima kasih Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Posting Komentar