Rabu, 02 November 2016

SEMIOTIKA POLITIK “AHOK” MENJEMPUT HIDAYAH ALLAH SWT “Ahok yakin dengan Nabi Isa Almasih AS, tinggal ditanya siapakah TuhanNya Ahok???

SEMIOTIKA POLITIK “AHOK”  MENJEMPUT HIDAYAH ALLAH SWT
“Ahok yakin dengan Nabi Isa Almasih AS, tinggal ditanya siapakah TuhanNya Ahok???

Oleh: Turiman Fachturahman Nur
HP 081310651414

           Tiba tiba menjelang PILKADA di Ibu kota NKRI bermunculan tafsir Al-Quran terhadap semiotika PILKADA, padahal sesungguhnya hakekat pilkada adalah memilih kepala daerah sebagai implementasi pelaksanaan konstitusi untuk mengurus kepentingan daerah yang berhubungan dengan kepentingan umat ataupun masyarakat didaerah tersebut.
           Persoalannya muncul ketika peristiwa “Ahok” bertepatan dengan agenda Pilkada, menurut penulis bukanlah sebuah kebetulan tidak ada yang serba kebetulan di hadapan Allah SWT, namun dibalik ini ada sebuah keniscayaan yang sebenarnya mengkristal dari masalah yang “terpendam” di qalbunya “Ahok”, satu kesalahan yang mendasar dari “Ahok” adalah jika beliau sebagai penganut nasrani tidak menggunakan “Ilmunya pendeta” yang menyebarkan kasih sayang dalam beberapa prilakunya, sehingga “Ahok” dianggap penganut nasrani yang kurang berakhlak, namun yang menarik adalah “Ahok bersumpah berkali-kali penganut nabi Isa AS dalam rapat jajaran birokrasi Pemda DKI yang setia, namun sayangnya belum sempurna, karena Nabi Isa telah bernubuat akan adanya Nabi akhir zaman pembawa rahmat lil alamin, yakni Nabi Muhammad SAW, satu langkah lagi “Ahok” sedang digiring oleh Allah SWT atau Allah SWT sedang menyindir umat Islam lewat “prilaku manusia yang namanya Ahok” atau “Ahok sedang menjemput hidayah dari Allah SWT, sebagai muslim yang jernih pasti ada hakekat dibalik peristiwa ini, tinggal ditanya oleh para ulama, siapakah  TuhanNya Ahok?  Adakah yang berani menanyakan secara terbuka kepada Ahok, sebagai wujud tabayun ulama.
Pertanyaannya adalah tanggungjawab siapakah, jika “Ahok kurang berakhlak” kemudian menimbulan masalah yang mengkristal kearah dugaan penistaan agama. Namun yang menarik dari sisi semiotika politik adalah politik berbasis keagamaan muncul, seakan akan al-quran adalah mutlak hanya miliknya umat Islam, bukankah al-quran itu hudalinas  atau pedoman bagi manusia  dimuka bumi penyempurna kitab-kitab sebelumnya, “yang  kita prihatin adalah jangan-jangan kita sedang “menjual ayat ayat Al-Quran dengan harga murah”, jika ini yang terjadi pantaslah yang ditangisi oleh Rasulullah 1400 Tahun yang lalu,  ketika sakratul mautnya yang dipanggil “umati-umati, umati”, bukankah kita yang masih hidup saat ini. 
Begitu naibnya umat ini ketika situasi ketika kegiatan politik terlihat begitu religiusnya dan pemeluk agama sedemikian salehnya menjelang politik electoral, Saya sependapat dengan Teuku Kemal Fasya dosen antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe dalam Tulisan yang berjudul “Nalar Agama dan Nalar Pilkada” dalam situs http://www.satuharapan.com, 31 Oktober 2016 yang menyatakan, bahwa tak ada perasaan bersalah ketika agama dijadikan arsenal utama untuk merebut kuasa politik praktis dan pragmatis. Padahal yang dilakukan tak lebih sebuah politik pengicuhan dan penipuan rendahan (politic of deception).
Aforisme itu semakin menemukan bentuknya saat ini dan kita temukan di mana-mana. Anda jangan salah paham dulu, saya tidak bergegas untuk berbicara tentang situasi Pilkada Jakarta. Situasi ini terjadi di mana-mana, termasuk di tanah kelahiran saya sendiri menjelang Pilkada serentak 15 Februari 2017.
Tiba-tiba pasangan politik yang terkenal sekuler pun fasih menggunakan surban dan tasbih untuk politik pengicuhan itu. Di Aceh ada proses seleksi membaca Al Quran. Bagi pasangan calon yang mampu mengaji dengan irama yang baik serta-merta akan ditabalkan sebagai calon yang juga baik sebagai pemimpin. Demikian mitos beroperasi dan melupakan esensi bahwa menjadi kepala daerah yang dituntut adalah talenta kepemimpinan, integritas, dan manejerial, dan bukan menjadi pemuka agama.
Namun bukan saja di tempat di mana mayoritas penduduknya muslim, di tempat lain seperti Manado dan Kupang pun, politik agama kerap juga digunakan untuk memperkuat politik persuasi hingga provokasi. Upaya “memperdagangkan agama pada situasi pilkada memang lebih pekat konsentratnya. Ada pelbagai argumentasi yang kadang membenarkan fenomena itu.
Menurut Fachri Hamzah, mantan wakil ketua DPR RI asal PKS, agama adalah serum paling aktif untuk menghidupkan politik disamping serum-serum lainnya. Bahkan, agama hampir menjadi satu-satunya pengetahuan sosial publik yang lebih besar pengaruhnya dibandingkan rasionalitas pengetahuan (Vernunft) dan naluri intelektual (Verstand) - memakai istilah Immanuel Kant. Agama lebih mampu memacu perubahan, histeria, atau amuk massa. Agama sedemikian penuhnya menggetarkan sensori publik yang bisa memengaruhi kebijakan publik.
Apakah perspektif itu cukup tepat? Apakah agama memiliki rasionalitas dan nalar intelektual yang berbeda dengan nalar dan rasionalitas pengetahuan pada umumnya? Pandangan ini telah disanggah seribu tahun lalu dalam khazanah pemikiran Islam.
 Nalar Agama
Sebagaimana tercatat pada pemikiran Al Farabi atau Al Pharabius (Persia, 870-950), Ibnu Sina atau Avicenna (Uzbekistan/Persia, 980-1037), dan Ibnu Rusyd atau Averroes (Cordova, 1126-1198), nalar agama sesungguhnya tidak lepas dari nalar pengetahuan umumnya. Agama secara historis memang tidak hadir dari rahim filosofis dengan argumentasi sekularistik yang diuji dan dibantah secara bebas dan demokratis. Meskipun demikian, kemudian hari nalar agama berkembang dan ikut selaras dengan nalar pengetahuan. Hal itu karena agama dan pengetahuan sama-sama menapaki tujuan satu yaitu mendapatkan kebenaran.
Ibnu Sina yang terkenal dengan teori emanasinya menyebutkan bahwa nalar manusia sesungguhnya pancaran dari nalar Tuhan sebagai yang pertama (prima causa). Upaya manusia memecah misteri di dunia ini didasarkan pada bekerjanya akal aktif, termasuk memecah persoalan dan misteri di dalam ayat-ayat Al Quran. Jika dianggap Al Quran adalah pancaran nalar Tuhan, maka nalar Tuhan itu harus bisa bekerja di dalam nalar manusia untuk mendapatkan kebenaran. Tidak ada usaha lain mengaktifkannya kecuali dengan pengetahuan. Kita kerap menganggap istilah nalar murni dimunculkan pertama kali oleh Immanuel Kant (Critique of Pure Reason/Kritik der reinen Vernunft, 1781), padahal Ibnu Sina telah mengemukakannya 800 tahun sebelumnya.
Demikian pula penggunaan filsafat dan metodologi ilmiah bukan sesuatu yang harus diasingkan dari kitab suci. Al Quran sebagai kitab yang penuh metafora, alegori, historisia tanpa kronologia, dan frasa puitika hanya dapat dibedah jika menggunakan metodologi filsafat, termasuk filsafat Aristotelian. Apa yang secara filsafati bisa dibuktikan benar, maka benar pula dalam tafsir agama. 
Ibnu Rusyd bahkan mengkritik secara lugas buku Al Ghazali Thahafut al-Falasifah (Kekeliruan Filsafat) yang menyatakan nalar Islam terpisah dari pengetahuan filsafat Yunani. Al Ghazali (1058-1111) mengatakan filsafat Yunani memiliki inkoherensi jika digunakan memahami nalar Islam. Dalam bukunya Tahafut at-Tahafut (Kekeliruan dalam Kekeliruan), Ibnu Rusyd menemukan inkonsistensi pemikiran Al Ghazali, karena secara tak sadar ia malah menggunakan logika Aristotelian seperti silogisme dan analogi. Gagasan unifikasi pengetahuan agama dan pengetahuan umum ini dimunculkan secara monumental (meskipun bukan pertama) oleh Ibnu Rusyd, sebelum Thomas Aquinas mengemukakannya dalam Summae Theologiae.  Agama dan pengetahuan bukan oposisi biner yang tidak bertemu, tapi bisa saling bermesraan.
Demikianlah, akhirnya goncangan-goncangan terjadi di dalam agama ketika filsafat dan pengetahuan empirisme “menemukan” sesuatu yang secara literal “berbeda” dengan tafsir kitab suci. Dalam tradisi gereja goncangannya terjadi sejak “revolusi Copernicus” – mengutip istilah Thomas Kuhn. Dalam dunia Islam, goncangan pengetahuan terjadi sejak observasi astronomis Ibnu al-Shatir (1304-1375) tentang teori heliosentrisme menggantikan “teologi  geosentrisme” yang bertahan tujuh abad lamanya. Bahkan teori Ibnu Al Shatir lebih dahulu hadir daripada teori Nicolaus Copernicus (1473-1543). Jejak-jejak pengetahuan berdasarkan pendekatan observasi, filsafat empirisme, verifikasi, refutasi, dan falsifikasi akhirnya menggusur tafsir arkaik agama tentang kebenaran.
Sayangnya revolusi pengetahuan dunia Islam itu tidak menjadi arus utama. Yang berkembang di dunia Islam kontemporer adalah konservatisme warisan Al-Ghazalian-Ibnu Taymian, dan bukan progresivisme Farabian-Rusydian yang menjadikan gairah keilmuan sebagai nilai-nilai imanen dan promotif dalam Islam.
Nalar Pilkada
Demikian pula kehadiran pilkada sebagai konstruksi politik baru di Indonesia. Nalar pilkada harus dilihat sebagai pergulatan dialektis bangsa Indonesia pascareformasi dalam merumuskan demokrasi lokal. Pilkada adalah manifestasi politik dan etik lokal yang dimulai beroperasi melalui UU No. 23 tahun 2014 dan kini dalam UU No. 8 tahun 2015. Logika dan etika demokrasi, egaliterisme, kebangsaan, dan keberagamaan menjadi bagian yang sebelumnya muncul dalam wacana politik nasional kini turun menjadi praktik diskursif politik di tingkat lokal.
Namun aspek etik, moral, dan norma pilkada dalam turbulensi demokrasi itu masih kurang dipahami. Dalam banyak praktiknya, politik elektoral lokal kerap bersemi menjadi politik purba yang penuh sentimen tribalisme-etnisisme-agama. Akhirnya pilkada tidak berdialektika dengan kematangan politik partisipannya tapi menegang dan berkontraksi secara negatif. Tidak ada harmoni yang dihasilkan dengan semangat demokrasi lokal seperti itu. Anehnya, ketika nilai komunisme ditolak, praktik Stalinisme dengan politik kekejaman dan menghalalkan cara demi mencapai tujuan malah dilakukan, oleh kaum yang mengaku agamawan.
Dari catatan Jaringan Antar iman Indonesia (JAII) saat menyusun laporan tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan (Freedom of Religion or Belief) untuk Komisi HAM PBB (Universal Periodic Review), momentum pilkada kerap menjadi jalan memuluskan politik diskriminasi atas minoritas. Di Batuplat, Kupang, masalah pelarangan pembangunan mesjid masuk dalam isu pilkada. Di Manado juga terjadi persaingan antar denominasi Kristen dan privilese kepada umat tertentu. Di Singkil isu gereja selalu masuk dalam siklus lima tahunan sejak era reformasi. Dalam catatan riset Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, ditemukan fakta bahwa perda-perda bernuansa Syariat Islam dan diskriminatif kerap diproduksi petahana untuk mempertahankan kekuasaannya dan memenangkan histeria publik pada periode kedua.
Kasus paling hangat tentu saja menyangkut Ahok. Memang harus disadari, sikap Ahok ketika berdialog dengan masyarakat Pulau Seribu tentang QS Al Maidah ayat 51 adalah keliru dan tidak patut secara etika politik. Pertama ia bukan orang yang berkompeten untuk berbicara itu. Kedua, pola komunikasinya sangat rentan disalahtafsirkan, dan ketiga situasinya tidak dalam momentum kampanye, sehingga penyampaian hal-hal yang berbau politik persuasi-agitasi seharusnya dihindari, namun spontanitas Ahok itu saat ini menjadi rahmat bagi umat muslim untuk menyadari, bahwa Al-quran bukan hanya untuk umat Islam, tetapi sedang berproses dikalangan non muslim, karena sebenarnya merekag sedang mencari “keselamatan”, menurut penulis, Ahok menyebut Isa Almasih, adalah nabi Isa, tinggal ditanya sama Ahok siapakah TuhanNya Ahok.
Namun respons publik yang merasa terhina dengan pernyataan Ahok juga sudah keluar dari konteks gerakan demokrasi. Aksi-aksi massa yang terjadi telah menjurus pada kepentingan politik praktis, tidak murni sebuah anjuran moral agama. Yang terjadi malah politik ad homimem: menghina pribadi, etnisitas, dan pelecehan atas keyakinan agama lain. Bahkan berkembang totaliterisme tafsir atas ayat itu, padahal peradaban Islam telah tegak dengan pluralislistik tafsir.
Yang paling mengerikan dari situasi ini, bukan hanya cuplikan gambar yang telah menjadi viral tentang terjemahan kata awlia QS Al Maidah ayat 51 dengan kalimat “telah diubah dari pemimpin menjadi teman setia”, dan ternyata fitnah keji yang dilakukan kelompok orang tidak bertanggung-jawab, tapi penggusuran logika demokrasi dan konstitusi menuju logika teokrasi; sesuatu yang sejak awal bukan fondasi bangsa ini.
Seharusnya nalar agama tidak kontradiktif dengan nilai-nilai universal seperti keadilan, kesetaraan, kemanusiaan, demokrasi, dan keberagaman. Nalar agama seharusnya progresif dan proaktif dengan situasi yang berkembang dalam konteks historisitas masyarakat dan normativitas kebangsaan. Untuk konteks Indonesia, agama seharusnya tidak lagi dipertentangkan dengan konstitusionalisme Pancasila dan UUD 1945 dan kerangka nasionalisme Bhinneka Tunggal Ika.
Agama karenanya jangan menjadi kuda Troya yang dipacu oleh demagog untuk kepentingan sempit dan permusuhan. Demikian pula pilkada seharusnya menjadi momentum ekseminasi demokrasi lokal yang bersifat profan, produktif, dan menggembirakan. Pada sisi lain untuk Ahok, karena dia berkali-kali yakin dengan Nabi Isa Almasih AS ketika dalam rapat birokrasi di Pemda DKI lihat dalam youtube humas Pemda DKI, maka para Ulama yang mungkin masih punya qalbu tinggal ditanya kepada Ahok dimuka publik Indonesia atau dihadapan umat Islam, siapakah TuhanNya Ahok ??? jawaban atas pertanyaan inilah yang akan menghakimi Ahok, sepertinya Ahok sedang menjemput hidayah Allah SWT. Hanya umat ini sedang disindir oleh Allah SWT, namun tidak terasa atau belum mampuh merasakan sindiran Allah SWT kepada umat yang kebetulan mengaku berKetuhanan Yang Maha Esa.


Berikut ini artikel pembanding :

Kontroversi Mulut Ahok : Makna Dan Analisis Semiotika


Oleh : Ismail Giu (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Universitas Hasanuddin)

Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan. Dibohongin pakai surat al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak ibu, jadi bapak ibu perasaan nggak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya..” (Ahok).
Gubernur DKI Jakarta Basuki Cahaya Purnama atau masyhur dengan panggilan Ahok mungkin tidak menyangka kata katanya yang disampaikan saat haha-hihi dengan warga di Kepulauan Seribu berbuntut panjang. Alih alih ingin merebut simpati warga dengan tidak mempersoalkan muslim non muslim sebagai pemimpin Ahok justru mengundang kontroversi dan antipati. Mulut-nya kini menjadi harimau yang sewaktu waktu bisa menerkamnya di atas panggung politik.
Kegaduhan semakin menjadi tatkala Nusron Wahid representasi politik Ahok membuat geger dengan kalimat ; yang paling tahu tentang omongan ahok ya ahok sendiri. Yang paling tahu tentang Al-Quran ya Allah Subhanahu wa-Taala,. Omongan yang disampaikan Nusron dalam sebuah acara talkshow Indonesia Lawyer Club (ILC), Selasa (11/10). Spontan reaksi pun bermunculan dengan meme meme lucu yang beredar di media sosial. Besok kalau saya ketemu lampu merah, bablas (terobos) aja. Yang paling tahu warna merah itu saya bukan polisi kira kira begitu bunyi salah satu meme yang menjadi viral.
Tulisan ini ingin memeriksa kembali pertanya pertanyaan : Apakah Ahok berhak bicara apa saja karena makna pernyataannya sepenuhnya menjadi miliki dia sebagai pembuat pernyataan? Ataukah Ahok tidak punya hak memaknai pernyataan yang ia buat sendiri karena ini harus ditetapkan orang lain yang menerima pernyataan itu? Ataukah makna pernyataan Ahok tidak ditentukan niat dia atau pemahaman orang lain, tetapi sudah terpatok pada kalimat-kalimat pernyataan itu sendiri? Dan itu dapat diukur dan ditetapkan secara ilmiah oleh para ahli bahasa atau petugas pengadilan?
Istilah makna memang merupakan istilah yang membingungkan. Maka itu, batasannya pun bisa macam macam. Ogden dan Richards dalam bukunya The Meaning of Meaning mencatat tidak kurang dari 22 batasan mengenai makna (1972:186-187).
Para ahli linguistik pun berbeda pandangan tentang jenis atau tipe makna. Vergaar sebagaimana dikutip Pateda (2001:96-97) mengemukakan makna gramatikal dan makna leksikal, sedangkan Boomfield (1933) mengemukakan istilah makna sempit (narrowed meaning) dan makna luas (widened meaning) dan masih banyak lagi.
Bahasa manusia mempunyai suatu kekuatan untuk menjelaskan. Tetapi, menurut Van Peursen, ini tidak berarti bahwa pengetahuan dan makna dari apa yang terjadi telah diberikan sebelumnya. Hanya dengan menunjuk pada kejadian, dan dalam berbagai perwujudan peristiwa itu, kata memperoleh maknanya. Makna ini belum ada sebelum kata digunakan makna tersebut bukannya diberikan secara a priori melainkan mendapatkan bentuknya melalui penggunaan kata (Van Peursen dalam Sobur, 2009:28).
Untuk lebih memahami pernyataan Van Peursen, kita masuk kedalam kajian kajian tentang Semiotika atau ilmu tentang tanda. Banyak definisi para ahli tentang semiotika, namun secara umum Semiotika menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotika mempelajari sistem, aturan aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Charles Sanders Pierce (1834-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913) adalah dua ilmuan yang mempelopori kajian tentang semiotika.
Pemikiran Saussure yang paling penting dalam konteks semiotik adalah pandangannya mengenai tanda. Saussure meletakkan tanda dengan memilah apa yang disebut signifier (penanda) dan signified (pertanda). Signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberada fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam member makna terhadap dunia (Fiske, 1990:44).
Kata merah adalah signifier (penanda) sementara lampu merah adalah signified (pertanda). Hubungan antara merah dengan lampu merah menghasilkan signification yang bermakna stop atau berhenti. Lain halnya makna kata merah (signifier) ketika diletakkan pada bendera Merah-Putih {signified) yang bermakna (signification) keberanian, kekuatan, kegigihan dll.
Dalam konteks Ahok, kata dibohongi dan dibodohi tidak memperoleh makna apa apa ketika dia tidak merujuk pada kejadian atau peristiwa, gambaran mental atau konsep apapun. Lain ceritanya jika kata itu merujuk pada surat Al-Maidah 51. Terlepas seperti apa isi tafsiran Al-Maidah 51, publik sudah terlanjut memaknai bahwa kalimat “dibohongin pakai surat al Maidah 51 bermakna Al-Quran yang salah satunya berisi surat Al-Maidah adalah bohong, dan perilaku mengajak mematuhi Al-Quran adalah membodohi. Sesuatu yang sangat bertolak belakang dari akidah umat muslim. Pada titik ini kenapa publik bereaksi.
Lantas apa urgensinya kata dibohongi dan dibodohi jika merujuk pada analisis semiotik? Bukankah kata ini hanya sekali diucapkan? Jika kita menganalisis secara isi seharusnya makna kata ini tidak signifikan bila dibandingkan dengan kata kata lain yang diucapkan Ahok selama proses sosialisasi tersebut? Itulah yang membedakan antara analisis isi dan analisis semiotik. Jika analisis isi menekankan segi kuantitatif maka semiotik menolak pendekatan kuantitatif dan lebih menggunakan kualitatif.
Dalam semiotik, tidak ada alasan bahwa item yang paling sering muncul adalah yang paling penting atau paling signifikan terhadap teks, sudah tentu akan menstruktur secara keseluruhan. Tempat yang diduduki oleh unsur unsur yang berbeda jauh lebih penting ketimbang kemunculannya.
Menyentil pendapat Collin Summer sebagaimana dikutip Sobur (2009:145), analisis isi kuantitatif terlalu memberikan banyak penekanan pada pengulangan (repeatability) dari tanda (yakni berapa kali itu terjadi) dan hanya sedikit member perhatian pada signifikansinya bagi khalayak. Sebetulnya, tidak menjadi persoalan berapa kali sesuatu sering muncul dalam sistem pesan. Jika pembaca atau penonton tidak memahaminya, maka repetisi menjadi tidak relevan. Dengan kata lain, bukanlah signifikansi suatu repetisi yang penting, melainkan repetisi dari signifikansi.
Merunut dari analisis di atas maka bisa disimpulkan bahwa bahasa dan maknanya merupakan kerja kolektif. Komunikasi berlangsung hanya apabila ada kesepakatan bahasa dan makna dari semua pihak yang terlibat. Makna tidak dihasilkan oleh komunikator melainkan diinterpretasikan oleh komunikan berdasarkan kondisi mental, budaya dan nilai nilai yang melatar belakanginya. Itulah mengapa penting untuk menjaga lisan sebagaimana pepatah orang tua dahulu : Mulutmu, harimaumu.


Analisis Semiotika Video “Penistaan Agama” Ahok

 

Oleh : Yons Achmad

Video pernyataan Ahok yang termuat dalam pidatonya di hadapan warga Kepulauan Seribu, (27/9) menjadi sorotan. Durasinya memang agak panjang. Tapi, ada sepenggal tayangan video yang kemudian menjadi kontroversi. Ada pernyataan Ahok yang isinya begini “Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu enggak pilih saya. Dibohongin pakai surat Al Maidah ayat 51, macam-macam itu. Itu hak bapak ibu”. Atas pernyataan demikian, Ahok dinilai sudah menistakan agama. Tak hanya orang per orang yang tak sependapat. Tapi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sepakat kalau pernyataan tersebut sudah masuk penistaan agama.
Entah karena apa, rupanya ada beberapa yang masih saja ngotot tidak ada penistaan agama dalam kasus yang sudah terang benderang tersebut. Terutama bagi para pendukung setia Ahok. Atau kalau tidak, ada yang memilih bersikap netral. Untuk tidak menyebut mereka yang memang tidak jelas keberpihakannya. Alih-alih bersikap netral, yang ada sebenarnya hanya membiarkan kebiasaan pejabat omong “ngawur” dan serampangan. Bagi kaum akademisi dan intelektual yang hanya bisa diam dan bersikap netral saya kira juga sebuah ironi. Dalam dunia kampus, sikap netral mungkin dibangga-banggakan. Tapi di luar kampus, bagi saya sikap netral tetap saja ironi. Sebab seorang akademisi atau intelektual tetap saja harus jelas ke mana dia berpihak.
Dalam tafsir agama, sudah jelas pernyataan Ahok itu “Penistaan agama”. Dalam kajian media, saya kira pernyataan Ahok itu juga menarik sebagai studi kasus. Saya akan coba sedikit bedah melalui analisis wacana (semiotika sosial). Semiotika (ilmu tanda) sendiri, dalam kajian media merupakan salah satu perangkat analisis yang bisa digunakan dalam menganalisis “Fenomena Komunikasi”. Meminjam konsep Halliday, penulis buku “Language Structure and Language Function”, dalam semiotika sosial ada tiga unsur yang menjadi pusat perhatian dalam penafsiran teks secara kontekstual. Diantaranya:
Pertama, Medan Wacana (Field of Discourse). Menunjuk pada hal yang terjadi dan mengenai apa yang dijadikan wacana oleh pelaku. Dalam kasus video “Penistaan Agama” itu jelas. Ahok tidak suka pada orang-orang yang menggunakan agama, terutama yang menafsirkan surat Al-Maidah ayat 51 yang melarang seorang muslim memilih pemimpin non muslim. Yang kemudian oleh para pembela Ahok diklaim sebagai politisasi agama. Jelas, dengan ekspresi yang bisa kita tonton dalam video tersebut, Ahok sangat tidak suka. Menjadi problem ketika Ahok dengan seenaknya mengutip ayat suci agama lain (Islam) dan bilang “Dibohongin pakai Surat Al-Maidah ayat 51”. Dari kejadian ini, sebenarnya kita paham siapa yang sebenarnya menggunakan isu SARA dalam politik dan mengambil keuntungan politik darinya.
Kedua, Pelibat Wacana (Tenor of Discourse). Menunjuk pada orang-orang yang dicantumkan dalam teks, sifat orang-orang itu, kedudukan dan peran mereka. Kata “Dibohongin” berarti ada seseorang yang berbohong. Di sini, Ahok dengan serampangan menuduh orang-orang yang menafsirkan Surat Al-Maidah ayat 51 dan mengajak untuk tidak memilihnya sebagai orang-orang yang berbohong atas nama agama atau istilah lain dituduh mempolitisasi agama. Jelas, pernyataan tersebut provokatif, arogan dan memancing kontroversi. Di sini saya kira Ahok telah memulai perang wacana. Dan kita bisa lihat, salah satu kelompok, sebut saja kubu “Islam Liberal” berada di balik pembenaran setiap ucapan Ahok. Alih-alih menuduh orang melakukan poitisi agama, sayangnya kubu Ahok juga menggunakan agama sebagai pembelaan-pembelaan. Pertempuran wacana dan tafsir sampai saat ini masih berlangsung. Tapi, dalam kasus ini lagi-lagi pesan yang tampak, Ahok dengan serampangan menuduh mereka yang menafsirkan Surat Al-Maidah ayat 51 dengan “benar” dianggap mempolitisasi agama.
Ketiga, Sarana Wacana (Mode of Discourse). Menunjuk bagaimana komunikator menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat (orang-orang yang dikutip) apakah menggunakan bahasa yang hiperbolik, eufemistik atau vulgar. Sudah sangat jelas, bahasa yang digunakan Ahok sangat vulgar dengan memilih kata “Dibohongin” disandingkan dengan ayat suci pula. Maka sangat wajar, bagi orang Islam yang barangkali tidak pernah shalat sekalipun akan marah ketika agamanya dihina, dinistakan.
Sayangnya dengan beragam argumen yang jelas dan terang benderang, seperti yang saya sedikit singgung di atas, masih saja ada pembela-pembela Ahok yang memandang tidak ada masalah dengan pernyataan Ahok itu. Bahkan, Komisioner Badan Pengawas Pemilu RI, Nasrullah, (Detik.com/8/10/2016) angkat bicara soal pernyataan bakal calon gubernur petahana DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama terkait Al Maidah ayat 51 yang dianggap beberapa pihak telah menistakan agama. Nasrullah berpendapat pernyataan Ahok biasa saja. Tentu fenomena ini sangat aneh.
Tapi, pada akhirnya, kita memang tidak bisa memaksakan tafsir. Dalam ranah kajian media, saya berkesimpulan bahwa pernyataan Ahok jelas problematis dan memancing kegaduhan politik. Di ranah media, dalam kasus ini, saya kira tak elok kalau pemimpin (pejabat) bicara serampangan dengan tafsirnya sendiri, merasa benar sendiri. Kalau hal ini terus menerus terjadi, maka tak heran, seperti kata Romo Sandyawan “Rakyat akan membuat perhitungan”. (Yons Achmad/Pemerhati Media/Founder Kanetindonesia.com/WA:082123147969).



23 komentar:

Royal mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

Nama : Muhammad Riezki
Nim : A1011151100
Kelas : B
Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan

Menurut Saya, dari kasus Ahok ini, Majelis Ulama Indonesia harus merekomendasikan :
1. Pemerintah dan masyarakat wajib menjaga harmoni kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Pemerintah wajib mencegah setiap penodaan dan penistaan Al-Qur'an dan agama Islam dengan tidak melakukan pembiaran atas perbuatan tersebut.
3. Aparat penegak hukum wajib menindak tegas setiap orang yang melakukan penodaan dan penistaan Al-Qur'an dan ajaran agama Islam serta penghinaan terhadap ulama dan umat Islam sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku.
4. Aparat penegak hukum diminta proaktif melakukan penegakan hukum secara tegas,cepat, proporsional, dan profesional dengan memperhatikan rasa keadilan masyarakat, agar masyarakat memiliki kepercayaan terhadap penegakan hukum.
5. Masyarakat diminta untuk tetap tenang dan tidak melakukan aksi main hakim sendiri serta menyerahkan penanganannya kepada aparat penegak hukum, di samping tetap mengawasiaktivitas penistaan agama dan melaporkan kepada yang berwenang.

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

NAMA : MUHAMMAD WILLI SANJAYA
NIM : A1011151056
KELAS : B
MATA KULIAH : PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatu

Menurut saya memang tingkah Ahok ini tidak bisa di maafkan begitu saja, karena sudah mencoreng nama baik islam dan membuat warga muslim indonesia marah. Tingkah Ahok ini memang sudah tidak dapat dimaafkan lagi karna mencoreng nama baik islam dan terlihat seperti Ahok tidak perduli dengan umat islam. Tetapi siapa bilang Ahok tidak perduli umat islam ? Pertama, Masjid Fatahilah di Jakarta yang di gagas pada Era Jokowi dan di selesaikan di Era gubernur Ahok dengan total anggaran Rp. 18,8 M . Karna jakarta belum memiliki masjid raya provinsi, Ahok membangun masjid Raya Jakarta dengan biaya Rp. 170 M . belum lagi masjid-masjid yang ada di setiap rusun contoh nya masjid Al-Hijrah di Marunda dan masjid Al-Muhajirin di Pesakih. Kedua, Ahok juga memberikan bantuan dana ke Masjid, Musholah dan Majelis Taklim. Di tahun 2015 Musholah, Masjid maupun Majelis Taklim menerima bantuan dana sebesar Rp. 15jt sampai Rp. 75jt, di tahun 2016 Musholah, Masjid maupun Majelis Taklim menerima bantuan dana dengan jumlah yang meningkat sebesar Rp. 15jt sampai Rp. 100jt. Ketiga, mulai tahun 2016 KJP diberikan kepada pelajar-pelajar sekolah islam atau madrasah dengan total biaya KJP sebesar Rp. 2,5 T. Keempat, sejak tahun 2014 Ahok sudah mengumrohkan penjaga masjid sebaganyak 30 orang, di tahun 2015 40 orang, dan ditahun 2016 50 orang dan rencananya 100 orang ditahun 2017. Kelima, Ahok menggaji guru-guru ngaji dimasjid dengan UMR Rp. 3,1jt. Keenam, pada bulan ramadhan 2016 Ahok memajukan jam pulang PNS menjadi jam 14:00 WIB, agar bisa berbuka puasa bersama keluarga dirumah.

Sekian dari saya, mengenai kurang dan lebihnya saya minta maaf.
Wasalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatu

Artavela mengatakan...

Nama : Bella Ariesta Kalkhove
NIM : A1012151150
Kelas : B (Semester 3)
Dosen : Turiman,S.H. M.Hum.
Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila dan Kewargamegaraan

Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Turiman,S.H. M.Hum. yang telah mempublish artikel yang berjudul “SEMIOTIKA POLITIK ‘AHOK’ MENJEMPUT HIDAYAH ALLAH SWT”. Artikel ini menambah wawasan ilmu pengetahuan saya dan sangat berguna serta bermanfaat bagi para pembaca.

Menurut saya, dalam PILKADA seharusnya antara Politik dan Agama harus dipisahkan, agar tidak terjadi politik agama yang kerap kali dijadikan untuk merebut kuasa politik praktis dan pragmatis. Ini hanyalah sebagai politik pengicuhan dan penipuan rendahan, untuk memperkuat politik persuasi hingga provokasi. Agama hampir menjadi satu-satunya pengetahuan sosial publik yang lebih besar pengaruhnya dibandingkan rasionalitas pengetahuan maupun naluri intelektual. Dimana agama lebih mampu memacu perubahan, histeria atau amuk masa. Agama sedemikian penuhnya menggetarkan sensori publik yang mempengaruhi kebijakan publik. Nalar agama berkembang dan ikut selaras dengan nalar pengetahuan karena sama-sama menapaki tujuan satu yaitu mendapatkan kebenaran.

Dalam kasus Ahok, seperti pribahasa ‘mulutmu harimaumu’ yang artinya segala perkataan yang diucapkan apabila tidak dipikirkan dahulu dapat merugikan diri sendiri. Sikap Ahok ketika berdialog dengan masyarakat Kepulauan Seribu tentang QS. Al-Maidah ayat 51 adalah keliru dan tidak patut secara etika politik. Namun respon publik yang merasa terhiina dalam pernyataan Ahok sudah keluar dari konteks gerakan demokratis, yang terjadi malah menghina pribadi, etnisitas dan pelecehan atas keyakinan agama lain. Dan untuk itu MUI (Majelis Ulama Indonesia) sepakat pernyataan Ahok sudah termasuk penistaan agama.

Pilkada adalah manifestasi politik dan etik lokal yang mulai beroperasi pada UU Nomor 23 Tahun 2014 dan kini dalam UU Nomor 8 Tahun 2015. Pilkada juga sebagai konstruksi politik baru di Indonesia, dimana harus memiliki aspek etik, moral dan norma pilkada dalam demokrasi. Maka dari itu, Pilkada seharusnya menjadi momentum ekseminasi demokrasi lokal yang bersifat profan, produktif, dan menggembirakan, bukan untuk kepentingan sempit dan permusuhan. Sekian dan terima kasih.

Unknown mengatakan...

Nama : Mangihut Sagala
Nim : A1012151218
Mata kuliah : Hukum Administrasi Negara
Klas : E
Dosen :Dr.H.M.SyafeiSH, MH & TurimanSH, M.Hum
Sebelumnya saya mengucapkan terimaksih kepada Bapak Turiman, SH. M.Hum yang telah bersedia untuk mengangkat artikel ini Menurut pandangan saya, seperti yang telah ketahui kasus yang menimpa Ahok yang sekarang jadi tersangka atas dugaan penistaan Agama, bagi suadara yang beragama Islam. saya tidak berhak mengatakan beliau bersalah atau tidak bersalah, yang berhak mengatakan beliau bersalah atau tidak bersalah adalah tim penyelidik dan para penegak Hukum yang Sah menurut UU yang berlaku, Seperti yang kita tahu bahwa negara Indonesia adalah negara Hukum (Menurut Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ketiga), Agama adalah Bagian dari Negara Indonesia, Bukan Negara Indonesia bagian dari Agama, bila kita tidak percaya lagi sama Hukum berarti kita tidak menghargai UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), jika benar Ahok salah dan melanggar UU harus di tindak dan kita percayakan kepada penegak Hukum. Seperti bapak sampaikn dalam mata kuliah Hukum Adiministrasi Negara, bahwa Ahok melakun tugasnya Administrasi keadilan sosial, dalam Hukum Administrasi Negara Ahok telah melakukan Tugasnya dan menurut UU yang berlaku, dan menurut saya tindakan atau Upaya penegakan Hukum dilakukan Masyarakat DKI Jakarta sudah tepat, yaitu upaya penegakan HUkum yang dinilai lambat dan terkesan Pilih pilih, tapi menurut pandangan saya di balik upaya masyarakat ada oknum oknum yang berkepentingan memanfaatkan kondisi ini dan disinyalir oleh Oknum oknum para pelaku Politik. Politik yang mengadu domba antara Agama dan Hukum. NKRI tetap kita junjung Tinggi dan Bhineka Tunggal Ika Adalah semboyan kita yang perlu kita pertahankan, dan persamaan di hadapan hukum harus di wujudkan dan keberagaman suku agama dan Ras harus di jaga untuk Indonesia yang harmoni.
Demikian yang bisa saya sampaikan sebelumnya saya minta maaf bila ada tutur kata saya yang kurang berkenan, Akhir kata saya ucapkan terimakasih

Unknown mengatakan...

Nama : Damar Eridho Harestrinanda
NIM : A1012141226
Kelas : E (APK)
Mata kuliah : Hukum Administrasi Negara
Dosen : Turiman,S.H. M.Hum.

Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Turiman,S.H. M.Hum. karena dengan membaca artikel ini wawasan saya bertambah.
Menurut pendapat saya : Dalam pelaksanaannya, Pemilukada yang diatur dalam undang-undang No 32 tahun 2004 dan perubahannya yakni UU. No 12 tahun 2008 belum sepenuhnya memenuhi asas dan prinsip negara hukum demokratis, khususnya dalam pelaksanaan asas-asas politik, asas mayoritas dan perwakilan serta asas pertanggungjawaban publik. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya integrasi sistem dalam UU Pemilukada berupa proses pemilihan yang menyatu dengan hasil pemilihan. Sederhananya, sebuah proses pemilihan pemilukada dapat dinilai berkualitas apabila memperoleh hasil yang berkualitas, dalam hal ini pemimpin yang berkualitas. Artinya, ada mekanisme kontrol terhadap pemimpin yang terpilih dari hasil pilkada sebagai bagian pertangggung jawaban publik dan memenuhi asas publik. Apabila UU Pemilukada tidak mengatur soal mekanisme hukuman terhadap pemimpin yang bermasalah, maka kualitas pemilukada tidak memenuhi prinsip negara hukum demokratis. Akibatnya banyak kepala daerah yang menjadi tersangka setelah terpilih.
Dari segi norma apa pun, tidak ada celah bagi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk bisa lolos dari kasus penistaan agama yang dilakukannya. Bahkan tak ada kekuatan apapun yang bisa menahan Ahok dari kasus itu. Jadi ada empat norma yang ada yaitu norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kebiasaan. Penistaan yang dilakukan Ahok terhadap Alquran sudah memenuhi ke-empat norma tersebut. Jadi tidak ada celah dan tidak ada satupun kekuatan yang bisa melindungi Ahok dari kasus tersebut. Untuk norma hukum, Ahok jelas sudah melanggar mulai dari UUD 45, sampai KUHP terkait penistaan agama. Penghinaan terhadap Al-Quran yang terjerat dalam UU PNPS No.1 Th.1965, KUHP Pasal 156a dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun penjara. Bahkan dia juga melanggar hukum kesusilaan atau moral karena penistaan kepada satu agama adalah tidak bermoral. Juga norma kebiasaan karena sangat tidak mungkin seorang pejabat publik melakukan itu. Jadi baik dari hukum positif, politik, etika dan lain-lain dan dia tidak mungkin bisa lolos. Meskipun ada berbagai isu miring maupun fakta bahwa semua pihak berwenang terkesan melindungi Ahok, tetap tidak akan bisa menahan masyarakat untuk bisa mendapatkan keadilan sampai Ahok dihukum. Proses hukum yang harus diikuti Ahok tentu memberi pengaruh terhadap persepsi publik. Persepsi publik yang negatif terhadap Ahok, itulah yang memungkinkan makin rendahnya elektabilitas Ahok. Kemungkinan elektabilitas Ahok turun karena posisi pernyataannya memicu isu SARA. Apalagi hal itu disampaikan saat Ahok berbaju dinas di tengah sejumlah pejabat dan masyarakat setempat di Kepulauan Seribu. Jika terbukti melanggar hukum, maka konsentrasi Ahok akan terpecah-pecah; antara lain menghabiskan waktu untuk menyelesaikan kasusnya hingga berupaya mengembalikan kepercayaan masyarakat. Sebaiknya Ahok mengubah pola komunikasi politik di hadapan publik agar tidak perlu lagi melontarkan kalimat-kalimat yang justru menjerumuskan diri sendiri.
Demikian yang dapat saya sampaikan, mohon maaf apabila ada yang kurang berkenan. Akhir kata saya ucapkan terima kasih.

Unknown mengatakan...

Nama: Wegie Denanda
Nim: A1011131052
Kelas: B
Makul: Pendidikan Kewarganegaraan dan Pancasila
Dosen: Turiman, S.H.,M.Hum.



Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Terimakasih saya ucapkan kepada Bpk Turiman yg telah memposting postingan yg baik dan memberi tugas ini kepada kami untuk mengembangkan pola berpikir bagi para mahasiswa fakultas hukum Untan dalam memmpelajari ilmu hukum.
Dalam tema ini saya akan sedikit berkomentar tentang sensitifnya penggunaan ayat Al-Quran untuk berkampanye atau berpolitik. Sebenarnya, hal ini juga terjadi di dalam sejarah Islam, khususnya ketika terjadi pertempuran antara Khalifah Ali k.w. dengan Muawiyah, yang menyebabkan perisriwa tahkim dan berujung terbunuhnya Sayyidina Ali.
Di dalam masa Orde Baru sendiri kita tahu bersama. Ayat Al-Quran: …..walaa taqraba hadzihis sajarata fatakuunaa minal khaasirin (terjemahan Bebas: …jangan dekati pohon ini agar kalian berdua tidak menjadi orang yang merugi), disitir untuk menyerang Golkar (berlambang pohon beringin). Dan masih banyak lagi.
Hal ini, bukan berarti dalam berpolitik kita tidak boleh menggunakan Al-Quran, justru prinsip, nilai dan ajaran kitab suci itu yang harus dipegang, seperti keadilan, kejujuran, amanah dan membela rakyat kecil dengan membuat kebijakan yang maslahat. Hanya saja, perlu kehatihatian dalam mempelajarinya (tidak asal comot terjemahan) dan dalam penggunaan, mengingat hal itu sangatlah sensitif. Apalagi untuk saling berdebat, menyerang dan bertahan.
Kedua, berhati-hati dalam berkata-kata (termasuk menulis). Dalam hal ini, Nabi Muhammad telah mengingatkan: salamatul insaan fi hifdzillisan, selamatnya manusia itu tergantung bagaimana ia menjaga lisannya. Orang bijak mengatakan, berkata baik atau diamlah.
Dalam sebuah kitab syair Alala karya Muhammad bin Ahmad Nabhan dari PP Lirboyo, Kediri, dijelaskan: dene mlesete lisan, nekakke mbalang endas. Dene mlesete sikil, sue-sue biso waras (Terplesetnya mulut itu bisa menyebabkan melempar kepala. Adapun terplesetnya kaki, lama-kelamaan akan bisa sembuh).
Kasus video Ahok yang menyitir Surat Al-Maidah 51 tersebut, merupakan wilayah yang sensitif. Meski ia telah mengaku tidak berniat menghina umat muslim dan bahkan sudah meminta maaf, proses hukum tetap berjalan.
Selain berhati-hati dalam berkata, juga perlu berhati-hati dalam menulis. Perlu diketahui, bahwa riuhnya kasus Ahok sampai adanya gerakan bela islam yang diikuti ribuan orang tersebut berawal dari sebuah akun fesbuk. Buni Yani, memotong video Ahok di Pulau Seribu itu dan mengambil di bagian yang sensitifnya. Lalu ia unggah, kemudian diberi tulisan transkrip sedikit namun provokatif, salah satu yang paling fatal adalah menghilangkan kata “Pakai”, sehingga bagi orang yang masih punya logika waras tentu ini akan merubah artinya.
Ketiga, kembali mengkaji kalam ilahi. Tak bisa dipungkiri, meski statemen Ahok tersebut kemudian menjadi kontroversial, banyak yang spesifik mengkaji ayat tersebut, berikut tafsir dan asbabun-nuzulnya. Ini artinya, ada hikmah yang bisa di ambil, bahwa orang ramai-ramai mengaji kembali kitab sucinya. Semoga, untuk mempelajarinya, kedepan umat Islam tak perlu menunggu ayat yang disitir oleh orang yang kemudian menjadi kontroversial.
Keempat, kita belajar bahwa hari ini media online merupakan pilar kekuatan baru. Pilar kekuatan demokrasi yang mampu menggiring opini dan mempengaruhi. Kebenaran menjadi semakin absurd. Orang sudah banyak yang tidak percaya kepada “lembaga infornasi dan berita” yang kian hari kian terlihat polarisasinya mengikuti kepentingan politik dan kemauan juragannya. Media tak mau lagi netral. Ia terlalu masuk wilayah politik dan kepentingan.

Indah Yoelanda mengatakan...

Nama : Indah Yoelanda
NIM : A1011151061
Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Kelas : D

Bismillahirrahmanirrahim..
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sebelumnya saya ucapkan terimakasih kepada Bapak Turiman,S.H. M.Hum yang telah membuat artikel yang berjudul “SEMIOTIKA POLITIK “AHOK” MENJEMPUT HIDAYAH ALLAH SWT” dimana artikel ini memberikan banyak manfaat kepada pembaca, terutama untuk saya pribadi.
Menurut saya :
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang merupakan Gubernur non aktif DKI Jakarta, sudah mengucapkan atau melontarkan Pernyataan bernada “INSULTING”, (Menuduh, mengina atapun melecehkan), itu sudah sangat jelas terlihat dari mimik atau pun nadanya pada waktu bicara . Bangsa Indonesia ini terdiri dari berbagai Suku, Ras, Agama dan Keyakinan. Ada yang perlu dipahami, jangan memasuki urusan agama yang diyakini seseorang. Seperti terjemahan ayat terakhir dari surat Al-Kaafiruun, "Lakum diinukum waliyadiin" yang artinya “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Menanggapi kasus ini banyak yang mengatakan “Tentu akan indah jika kita saling memaafkan”. Namun harus diingat, dalam kasus ini kata-kata yang telah diucapkan Ahok didepan masyarakat di Kepulauan Seribu pada akhir September lalu telah menyakiti Ummat Islam..
Semoga keadilan masih bisa ditegakkan di Bumi Pertiwi, Indonesia. Jangan lagi ada Diskriminasi Hukum, tajam ke bawah tumpul ke atas. Semoga Pemimpin bangsa ini diberikan hidayah untuk mengambil keputusan yang tepat dengan rujukan yang tepat dan benar.

novtam mengatakan...

Nama : Debora Novita Tambunan
NIM : A1012151191
Kelas : B (Semester 3)
Dosen : Turiman,S.H. M.Hum.
Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila dan Kewargamegaraan

Selamat sore pak,pertama-tama saya ingin mengucapkan terimakasih karena bapak telah bersedia mengangkat topik ini,karena topik ini sangat viral diperbincangkan,sehingga pembaca dapat menambah wawasan tentang berpolitik yang baik. Dan saya ingin menyampaikan pendapat dan komentar saya tentang artikel yang tertulis diatas.
Terkait dengan Ahok yang diduga menistakan agama terutama bagi kaum Muslim,marilah kita serahkan kepada pihak yang berwenang untuk memutuskan apakah pak Ahok tersebut bersalah atau tidak bersalah sesusai dengan hukum yang telah berlaku di Negara Rebuplik Indonesia. Dan jika terbukti bersalah maka hendaklah di hukum sesuai dengan kesalahannya. Tidak ada agama manapun yang memperbolehkan untuk saling menghina, menjelekkan, atau bahkan menyalahkan suatu agama tertentu,karena Negara Indonesia terdiri dari berbagai macam suku,budaya,adat dan bahkan agama. Maka dari itu hendaknya lah kita saling menghormati perbedaan tersebut. Agar negara Indonesia ini aman dan tentram.
Begitupun didalam ber PILKADA. Pilkada sebagai konstruksi politik baru di Indonesia, dimana harus memiliki aspek etik, moral dan norma pilkada dalam demokrasi.Sehingga sangat jelas bahwa berpolitik tidak ada kaitannya dengan AGAMA. Begitupun didalam pemilihan Gubernur DKI,hendaknya kita melihat dari apa yang dapat ia hasilkan untuk negara ini,bagaimana kinerjanya,perubahan apa saja yang telah ia hasilkan demi membangun negara yang lebih baik lagi. Bukan karena kita memiliki kesamaan dalam hal suku,agama atau daerah yang sama. Dan sebaikanya sebagai calon pemimpin hendaknya lebih berpikir lagi sebelum mengeluarkan statement tertentu,apalagi yang berkaitan dengan unsur SARA. Open your mind before open your mouth. Thank you 

Unknown mengatakan...

Nama:Fitri Aryani
Nim:A1012151183
Kelas:B (Semester3)
Dosen:Turiman,S.H M.HUM
Mata kuliah:Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan
Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Turiman,S.H. M.Hum. yang telah memposting artikel ini yang berjudul “SEMIOTIKA POLITIK ‘AHOK’ MENJEMPUT HIDAYAH ALLAH SWT”. Artikel ini sangat bermanfaat untuk menambah wawasan saya, Menurut saya masalah ahok tentang penistaan agama tersebut memang membuat masyarakat yang lain ikut memanas apalagi para ulama yang juga ikut andil dalam masalah ini dan menjadi rumit di karnakan masalah tersebut menyangkut tentang agama islam,bagaimana pun kita hanya bisa "legowo" dan menyerahkan kasus tersebut kepada pihak yang berwenang,biarlah hukum yang menindak lanjuti masalah yang ahok hadapi saat ini,dan buat pelajaran juga terhadap ahok supaya tidak sembarangan berbicara mengenai agama untuk persaingan politiknya. karena menurut saya agama sangat rentan untuk kita kaitkan dalam masalah politik. boleh saja bersaing politik tapi tidak perlu melibatkan atau ikut menyertakan surah-surah atau hadis al-qur'an. bersainglah politik dengan sehat dalam pilkada gubernur 2017 mendatang. Sekian dan terima kasih.

Unknown mengatakan...

Nama:Fitri Aryani
Nim:A1012151183
Kelas:B (Semester3)
Dosen:Turiman,S.H M.HUM
Mata kuliah:Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan
Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Turiman,S.H. M.Hum. yang telah memposting artikel ini yang berjudul “SEMIOTIKA POLITIK ‘AHOK’ MENJEMPUT HIDAYAH ALLAH SWT”. Artikel ini sangat bermanfaat untuk menambah wawasan saya, Menurut saya masalah ahok tentang penistaan agama tersebut memang membuat masyarakat yang lain ikut memanas apalagi para ulama yang juga ikut andil dalam masalah ini dan menjadi rumit di karnakan masalah tersebut menyangkut tentang agama islam,bagaimana pun kita hanya bisa "legowo" dan menyerahkan kasus tersebut kepada pihak yang berwenang,biarlah hukum yang menindak lanjuti masalah yang ahok hadapi saat ini,dan buat pelajaran juga terhadap ahok supaya tidak sembarangan berbicara mengenai agama untuk persaingan politiknya. karena menurut saya agama sangat rentan untuk kita kaitkan dalam masalah politik. boleh saja bersaing politik tapi tidak perlu melibatkan atau ikut menyertakan surah-surah atau hadis al-qur'an. bersainglah politik dengan sehat dalam pilkada gubernur 2017 mendatang. Sekian dan terima kasih.

Unknown mengatakan...

Nama : DINA SEPTIANI
Nim : A1012151197
Kelas : E
Makul : Hukum Administrasi Negara


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Turiman,S.H. M.Hum. yang telah mempublish artikel yang berjudul “SEMIOTIKA POLITIK ‘AHOK’ MENJEMPUT HIDAYAH ALLAH SWT”. Artikel ini menambah wawasan ilmu pengetahuan saya dan sangat berguna serta bermanfaat bagi para pembaca.
Menurut pandangan saya mengenai “kasus” Ahok ini memang begitu kompleks dimana yang dibawa ini soal “Agama” dan untuk di Indonesia sendiri menganut kepercayaan dimana Agama adalah hal yang sangat tidak bisa di campuri dengan hal apapun dan tidak dapat di ganggu.
Jika dilihat dari sudut pandang Politik untuk “kasus” Ahok ini sebagai isu pengendali dimana bertepatan akan diberlangsungkannya Pemilihan Kepada Daerah. Hal ini merupakan “kesempatan” bagi para oknum oknum yang ingin memanfaatkan “kasus” tersebut. Terlebih dalam hal ini dilakukan oleh Pimpinan di DKI Jakarta yang merupakan ibu kota Indonesia. Ibarat Jakarta adalah cermin Indonesia. Maka dari cerminan Jakarta tersebut dapat berimbas ke daerah daerah se Indonesia. Dan sekali lagi untuk hal ini di bawa oleh oknum oknum yang berpolitik.
Namun jika dilihat dari sudut pandang awam. Dimana hal ini kehidupan sosial dan norma norma kita sebagai masyarakat yang hidup berdampingan satu dengan lainnya, apa yang disampaikan ahok tersebut sangatlah tidak layak, fatal, dan tidak dapat ditolerenasi karena membawa agama yg dalam hal itu bukan pada bidang atau kemampuan nya.
Demikian yang dapat saya sampaikan sebelumnya saya minta maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan . Akhir kata saya ucapkan terima kasih

Her Hiu mengatakan...

Nama : HERIYANA
Nim : A1012151202
Kelas : B(SEM 3)
Makul : ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
Dosen:Turiman,S.H M.HUM

Selamat Pagi dan salam sejahtera,

Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Turiman,S.H. M.Hum. yang telah mempublish artikel yang berjudul “SEMIOTIKA POLITIK ‘AHOK’ MENJEMPUT HIDAYAH ALLAH SWT”. Artikel ini sangat membantu menambah wawasan ilmu pengetahuan saya dan sangat berguna serta bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
Menurut pandangan saya mengenai “kasus” Ahok ini memang begitu rumit dimana yang dibawa ini soal “Agama” dan untuk di Indonesia sendiri menganut kepercayaan dimana Agama adalah kepercayaan yang dimiliki dan diimani oleh setiap masyarakat di Indonesia yang multikultural. Terkait kasus Ahok ini saya tidak berhak menentukan apakah Ahok merupakan penista agama, karena seperti yang kita ketahui bahwa Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang telah diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945, maka dalam hal permasalahan yang terjadi di Negara Indonesia sebaiknya melewati proses hukum yang telah ada di Negara ini. Meskipun bagi sebagian masyarakat menganggap bahwa kasus ini merupakan masalah yang sangat penting karena telah menyinggung Kitab Suci yang telah diimani, namun ada baiknya dikembalikan lagi kepada proses hukum yang berlaku. Agama adalah Bagian dari Negara Indonesia, Bukan Negara Indonesia bagian dari Agama, jadi jika kita tidak lagi percaya pada Hukum yang ada berarti kita tidak menghargai UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), jika benar Ahok salah dan melanggar UU harus di tindak dan kita percayakan kepada penegak Hukum.
Dalam halnya PILKADA seharusnya antara Politik dan Agama harus dipisahkan, agar tidak terjadi politik agama yang kerap kali dijadikan untuk merebut kuasa politik praktis dan pragmatis. Maka dapat disimpulkan bahwa agama dan politik tidak dapat dikaitan satu sama lainnya, karena mempunyai penafsiran makna yang berberda. Dalam kehidupan bermasyarakat ada baiknya jika Ahok yang ingin menjadi seorang pemimpin atau setiap orang yang sedang berbicara didepan publik hendaknya lebih berpikir lagi sebelum mengeluarkan statement tertentu,apalagi yang berkaitan dengan unsur SARA yang sangat sensitif untuk diperbincangkan dimasyarakat yang multikultural ini.
Demikian yang dapat saya sampaikan sebelumnya saya minta maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan . Sekian dan terima kasih.

Unknown mengatakan...

Nama: Bintang Olga Natalia Saragih
Nim : A1011151070
Kelas : B (Semester 3)
Dosen : Turiman,S.H M.HUM
Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Sebelumnya, saya mengucapkan terimakasih kepada Pak Turiman,S,H M.HUM yang tekah memposting artikel yang berjudul "SEMIOTIKA POLITIK AHOK MENJEMPUT HIDAYAH ALLAH SWT" yang menambah wawasan dan membuka pemikiran saya.
yang pertama, Menurut saya, kasus Ahok ini sudah terlalu dibesar-besarkan, karena ada pengaruh politik dalam kejadian ini. kita percaya pada hukum yang berlaku di Indonesia, walaupun dalam KUHP kita belum ada bab yang khusus mengatur tentang penistaan agama, biarlah kita mempercayai hukum yang ada di Indonesia, sehingga tidak perlu untuk melampaui batas kebebasan demokrasi Indonesia yang sempat menimbulkan aksi aksi yang dapat memecah persatuan bangsa kita.
yang kedua, Indonesia mempunyai konstitusinya sendiri, untuk semua umat beragama juga mempunyai kitab suci sendiri, dalam urusan bernegara, kita akan pecah jika menggunakan kitab suci masing-masing. sehingga dalam bernegara, kita tidak memakai kitab suci kita masing-masing tetapi kita disatukan dalam sebuah konstitusi, jadi kesimpulan dari pendapat saya adalah, biarlah kita percaya kepada hukum yang memproses kasus Ahok, dan tetaplah kita mempertahankan persatuan kita, bagaimanapun Indonesia ada karena keberagaman suku, ras, dan agamanya. demikian pendapat saya, maaf jika ada perkataan yang kurang berkenan, sekian dan terimakasih.

Unknown mengatakan...

NAMA : MUHAMMAD HAFIDZ
NIM : A1012151092
KELAS : B
REGULAR : B (MALAM)
MATKUL : PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


Ucapan terima kasih tidak lepas saya sampaikan kepada Bapak sebagai penulis artikel ini karena setelah membaca artikel diatas secara cermat dapat membuka pandangan / pemikiran saya terhadap kasus yang menimpa Mantan Gubernur Ibu Kota Negeri tercinta ini yaitu Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa dengan AHOK
Sebelum saya berpendapat saya ingin mengatakan bahwa saya setuju dengan isi artikel yang telah Bapak buat. Mungkin sebagian besar warga negara kita sudah sadar apa maksud atau tujuan dari pemidanaan yang disangkakan kepada AHOK dalam persangkaan pasal Penistaan Agama. Tidak lain dan tidak bukan hal ini ada kaitannya dengan Pemilihan Umum Kepala Daerah/Gubernur DKI Jakarta, terlihat miris ketika Negeri ini menggunakan politik yang tidak bersih seperti ini, mungkin sebagian warga negara kita sadar bahwa para politikus di Negeri ini selalu mementingkan bagaimana caranya agar bisa duduk di tempat yang sesuai dengan Jabatan yang diinginkan tanpa berfikir apakah cara tersebut merupakan cara yang benar dalam arti sudah sesuai dengan aturan dan prosedur yang ada ? nah ini yang menjadi permaslahan besar bagi Negeri kita, bagaimana negera ini bisa maju sedangkan untuk menduduki sebuah kedudukan politik masih menggunakan cara seperti ini atau menghalalkan segala cara untuk mendapatkan suatu Jabatan Poltik.

Unknown mengatakan...

Nama : Sintia Wulandari
Nim : A1011151136
Kelas : B (REG A)
Dosen : Turiman,S.H M.HUM
Matkul : Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Turiman,S.H. M.Hum. yang telah mempublish artikel yang berjudul “SEMIOTIKA POLITIK ‘AHOK’ MENJEMPUT HIDAYAH ALLAH SWT”. Artikel ini menambah wawasan ilmu pengetahuan saya dan sangat berguna serta bermanfaat bagi para pembaca.
Menurut pandangan saya mengenai “kasus dugaan penistaan agama oleh ahok” seharusnya ahok tidak melontarkan pernyataan yg jelas menjadi problematis dan memancing kegaduhan politik. Fenomena kemarahan umat Islam terhadap Ahok sejatinya tidak terkait dengan apa Agama Ahok. Namun, sebagai politisi dan pejabat publik, Ahok dinilai miskin etika dan rendah literasi keberagaman, karena berani masuk dalam tafsir kitab suci Agama lain. Dengan kata lain, berani “mempersalahkan keyakinan umat beragama lain” melalui ujaran “Membodohi pake Surat Al Maidah 51”. Sehingga, apa yang dilakukan dan diucapkan Ahok di Tanah Seribu beberapa waktu yang lalu adalah ancaman serius terhadap keberagaman dalam Islam dan keberagaman Indonesia. Maka, kehadiran negara melalui penegakan hukum penting dalam menyelesaikan kasus Ahok ini. Kesadaran kolektif publik memilih jalur hukum dengan melaporkan Ahok ke Polisi patut diapresiasi, sebagai bukti bahwa rakyat Indonesia menghormati Indonesia sebagai negara hukum. Oleh sebab itu, polisi harus bekerja secara professional untuk menghadirkan keadilan yang sedang dicari oleh rakyat Indonesia tersebut, khususnya umat Islam. Demikian yang bisa saya sampaikan sebelumnya saya minta maaf bila ada tutur kata saya yang kurang berkenan, Akhir kata saya ucapkan terimakasih

Unknown mengatakan...

Nama : Rifki Dwi Satria
Nim : A1011151049
Kelas : B (REG A)
Dosen : Turiman,S.H M.HUM
Matkul : Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Turiman,S.H. M.Hum. yang telah mempublish artikel yang berjudul “SEMIOTIKA POLITIK ‘AHOK’ MENJEMPUT HIDAYAH ALLAH SWT”. Artikel ini sangat membantu saya dalam menambah wawasan dalam bidang ilmu Hukum dan juga berguna bagi siapa saja yang membacanya. Menurut pandangan saya kasus Ahok ini adalah merupakan penistaan agama, karena terbukti dengan rekaman video yang menyatakan bahwa ahok telah menistakan surah Al-Maidah ayat 51. Terlihat dan terdengar jelas apa yang Ahok bicarakan pada rekaman video tersebut, seharusnya sebagai politisi dan pejabat negara ada baiknya lebih bertutur kata lebih sopan dan baik, di karenakan di Indonesia terdapat berbagai suku, RAS, dan agama. Tentu saja ini menimbulkan hal yang negatif terutama pada umat muslim (Indonesia masih saat ini pemeluk Islamnya paling tinggi). Harapan saya kasus ini cepat di selesaikan oleh pihak yang berwenang dan masyarakat ikut membantu dalam menciptakan kondisi yang kondusif karena itu sangat membantu alat-alat negara bekerja lebih efisien dan cepat. Yang terakhir, semoga pihak berwenang dapat dengan adil dan tepat dalam menyelesaikan kasus ini karena Hukum adalah Hukum yang harus di junjung tinggi, ditaati, dan di laksanakan tidak pandang bulu. Demikian yang bisa sampaikan mohon maaf apabila ada salah kata atau tutur kata yang kurang berkenan, Akhir kata saya ucapkan terima kasih.

Unknown mengatakan...

Nama : Herington Giam G.S
Nim : A1011141260
Kelas : B (REG A)
Dosen : Turiman,S.H M.HUM
Matkul : Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan

Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Turiman,S.H. M.Hum. yang telah mempublish artikel yang berjudul “SEMIOTIKA POLITIK ‘AHOK’ MENJEMPUT HIDAYAH ALLAH SWT”. Artikel ini sangat membantu saya dalam menambah wawasan dalam bidang ilmu Hukum dan juga berguna bagi siapa saja yang membacanya. Menurut saya mengenai kasus "penistaan agama" oleh saudara Ahok ini sebenarnya tidak akan menjadi permasalahan yang sangat besar yang sampai menyita pandangan hampir seluruh warga Indonesia, jika saja saudara Ahok tidak berkata seperti apa yang sudah diutarakan dipidatonya pada tanggal 27 September 2016 di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu "Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi (orang) pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu,"(dikutip dari BBC Indonesia "Pidato di Kepulauan Seribu dan hari-hari hingga Ahok menjadi tersangka" tanggal 17 November 2016).Menurut saya,beliau bermaksud untuk memberikan pandangan kepada warga tersebut untuk tidak memasukkan unsur agama ke dalam dunia politik (dalam hal ini Pilkada) serta tidak terpaku atau terikat dengan Surat Al Maidah 51 untuk memilih calon pemimpinnya.
Tetapi seharusnya saudara Ahok sebagai politisi dan pejabat negara ada baiknya lebih bertutur kata lebih sopan dan baik,seperti yang kita ketahui bahwa saudara Ahok dalam berbicara atau pun menyampaikan suatu perkataan memang sedikit kasar, apalagi dalam hal inini beliau mencampurnya dengan unsur agama ke dalam penyataannya tersebut.Saya beranggapan bahwa saudara Ahok memang salah, dan saat ini beliau sudah ditetapkan sebagai tersangka maka ia harus menerima dan mempertanggung jawabkan perbuatan,dan hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja karena Negara kita Negara hukum,dan hukum harus ditegakkan tidak memandang apapun itu.Demikian yang bisa sampaikan mohon maaf apabila ada salah kata atau tutur kata yang kurang berkenan
Saya akhiri terima kasih.

Unknown mengatakan...

Nama: Wahyu Israniar
Nim :A1011151026
Kelas: B semester 3
Makul : Pendidikan kewarganegaraan
Dosen:Turiman,S.H M.HUM
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Turiman,S.H. M.Hum. yang telah mempublish artikel yang berjudul “SEMIOTIKA POLITIK ‘AHOK’ MENJEMPUT HIDAYAH ALLAH SWT”. Artikel ini menambah wawasan ilmu pengetahuan saya dan sangat berguna serta bermanfaat bagi para pembaca.
Ini adalah kekhawatiran yang muncul belakangan, terutama setelah Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dituding melakukan penistaan agama - sebuah tuduhan masih diselidiki oleh kepolisian. Itu bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan secara berlebihan. Sekadar khawatir iya, makanya pemerintah harus bertindak, karena tetap saja masih bisa ada yang bisa termakan. Sebagai masyarakat yang bijak tentu kita harus cermat dalam memilah milih suatu informasi dalam media social. Ahok memang jelas bersalah namun dibalik ini tentu adanya aktor-aktor poitik yang berbanteng disini. Menurut saya, dalam kasus ini memang ada unsure politik. Dan ahok sendiri bukan orang yang layak membawa-bawa agama dalam hal ini. Dalam hal ini jelas membuat masyarakat muslim merasa geram, seingga melakukan aksi besar-besaran, namun sayangnya menurut saya hal ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum politik untuk menjatuhkan ahok dalam pemilihan gubenur yang akan dating.
Reaksi umat dan tokoh agama luar biasa sehingga MUI mengeluarkan fatwa bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama dan menghina ulama . Akhirnya Ahok sendiri minta maaf kepada umat Islam dan dua organisasi massa Islam di Indonesia Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah yang juga komponen MUI, juga telah menerima permintaan maaf Ahok. MUI juga menghimbau pemerintah untuk tetap menjalankan prosedur hukum terhadap Ahok untuk menjamin rasa keadilan dimasyarakat.

Akan tetapi reaksi pemerintah dan penegak hukum dirasa lamban maka komponen umat Islam melakukan Aksi Damai Bela Al-Qura'n pada 14/11/2016 (Aksi Damai 411) dengan penggalangan secara viral melalui media sosial dan telah berhasil mengumpulkan jutaan umat Islam.

Penistaan agama sebagai delik pidana telah diuji di MK dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pengujian Penistaan agama di MK pada putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 dan Nomor 84/PUU-X/2012 terkait pengujian Pasal 156 a Jo. Undang-Undang Nomor 1 /PNPS tahun 1965 pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.
Maraknya demo atas kasus ahok, bahwa kasus ahok harus dibawah ke ranah hukum, bukan wilayah politik. Secara konstitusional presiden juga tak bisa ditekan, apalagi dilengserkan hanya masalah ahok. Karena tidak sesuai dengan konstitusi.

Intinya bagaimana masyarakat menyerahkan proses hukum sebagaimana panglima untuk penyelesaian soal konflik-konflik sehingga terhindar dari upaya-upaya penyelesaian secara inkonstitusional.
Demikian yang bisa saya sampaikan sebelumnya saya minta maaf bila ada tutur kata saya yang kurang berkenan, Akhir kata saya ucapkan terimakasih

Muhammad Solihin mengatakan...

Nama: MUHAMMAD SOLIHIN
Nim : A1011151181
Kelas : B (Semester 3)
Dosen : Turiman,S.H M.HUM
Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Menurut saya, posisi kasus penistaan Alquran surah al-Maidah 51 ini sudah jelas terkait langsung kepada Ahok. Dan kasus ini tidak ada hubungannya dengan orang yang menyebarkan video. Jadi saya lihat sudah cukup bukti untuk dikatakan sebagai penodaan isi ajaran Islam dalam Alquran surah al-Maidah 51. Tidak ada hubungan dengan orang yang sebarkan video untuk minta maaf atau tidak. Yang kini harus diuji adalah video tersebut benar ada atau tidak. Hingga saat ini video tersebut dinyatakan ada dan perbuatan ahok tersebut benar-benar ada.
Memang Ahok boleh saja mengaku minta maaf atau salah tafsir. Namun itikad jahatnya jelas ada, yakni pada tujuan dari pernyataan yang dia omongkan.
Iktikad jahatnya ada pada tujuan dari Ahok ngomong surah al-Maidah 51 tersebut yang memuat ajaran Alquran soal bagaimana memilih pemimpin dan dengan kutip ayat tersebut sehingga orang-orang tidak pilih Ahok: Jangan percaya pada orang tersebut dan kamu dibohongin dengan Almaidah. Nah, di mana letak kebohongannya pakai Al Maidah 51? Jawabnya, isi surat Almaidah 51 merugikan kepentingan ahok dalam suatu pemilihan yang pemilihnya Muslim yang taat melaksanakan isi Almaidah 51. Hal inilah yang bisa merugikan kepentingan Ahok.
Ditanya soal peluang Ahok menjadi tersangka, Mudzakkir mengatakan semua itu tergantung pada kecukupan bukti dan alat bukti serta keyakinan penyidik. Namun, keyakinan penyidik pun jelas harus dibentuk berdasarkan  bukti dan alat bukti juga.
Dalam menyeleksi saksi dan ahli semua itu harus dilakukan juga secara objektif dan ilmiah berdasarkan ilmu hukum pidana. Memang, sebelum proses penyelidikan selesai kini telah ada pernyataan dari Kapolri yang sudah menentukan sikap bahwa perbuatan Ahok bukan perbuatan pudana. Untuk soal ini maka itu saya minta kepada para penyidik abaikan saja. Ini karena semua ditentukan oleh bukti dan alat bukti dan harus dianalisis secara objektif.

Unknown mengatakan...

Nama: RIZKY AGUNG MAHENDRA
Nim : A1011161041
Kelas : B (Semester 3)
Dosen : Turiman,S.H M.HUM
Mata Kuliah : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Bismillah.
Pernyataan yg terlontar dari mulut ahok tidak bisa di anggap angin lalu, pernyataan tersebut tidak bisa di lupakan oleh umat Islam. Sebagai seorang Pemimpin, sangat tidak pantas seorang Ahok mengucapkan perkataan yang kasar, menyinggung, tanpa dasar terhadap orang-orang.
Ada yg bilang, perkataan kita adalah cerminan ahklak diri kita. Dengan perkataan tersebut, selayaknya kita tau bagaimana karakter seorang ahok. Jika perkataan yg kotor semacam itu baru sekali ahok ucapkan, mungkin tindakan tersebut termasuk khilaf nya manusia biasa. Namun perkataan ahok yang kotor sering ahok lanturkan, seperti "maling kau", "bakar demonstran hidup-hidup" dan perkataan nama hewan maupun kata kotoran lainnya. Dari situ pasti kita bisa menyimpulkan akhlak ahok.
Kembali di kasus tsb, kasus tersebut menurut saya cukup lama di tindak. Namun pada akhirnya kasus tersebut telah di ketol palu walaupun hukuman ahok terasa tidak sesuai menurut kami.
Kabar buruknya, dengan di penjaranya ahok, muncul lah "ahok" lain. Ahok baru ini tak kalah kontroversial di banding ahok sesungguhnya. Oleh karena itu, dengan munculnya ahok baru ini, maka tak menutup kemungkinan kondisi Indonesia beberapa tahun kemungkinan lebih buruk dari sekarang.
Jadi tugas aparat negara dan umat Islam akan semakin besar, tapi niscaya kebenaran akan menang.

Posting Komentar