Minggu, 06 Maret 2011

Mengenal Postivisme Hukum John Austin


Mengenal Positivisme Hukum John Austin (1790-1859)
Oleh ; Turiman Fachturahman Nur
Email : qitriaincenter@yahoo.co.id

Para penstudi hukum tidak asing nama ahli hukum yang satu ini yaitu John Austin dan pada ranah kajian hukum dikenal sebagai peletak dasar Positivisme Hukum dan sampai saat ini pendapatnya selalu disitir ketika membahas teori hukum baik di strata 2 maupun S 3 tetapi ada satu pertanyaan mendasar mengapa pandangannya sampai saat ini mempengaruhi sebagian besar para penstudi hukum di Indonesia, adakah hal yang mendasar dan penting dalam membangun teori hukum di Indonesia, berikut ini sedikit mengenal pandangan John Austin dimaksud.
John Austin dilahirkan pada tahun 1790, di Sufflok, dari keluarga kaum pedagang. Austin pernah berdinas di tentara, dan ditugaskan di Sisilia dan Malta. Namun ia juga mempelajari hukum. Pada tahun 1818, ia bekerja sebagai advokat. Tapi ia tidak menjalaninya secara serius. Ia belakangan meninggalkan pekerjaan itu, pindah menjadi seorang ilmuwan hukum. Pada tahun 1826 hingga 1832, ia bekerja sebagai guru besar bidang jurisprudence di London University. Sesaat setelah mengundurkan diri sebagai profesor, ia banyak menjabat jabatan-jabatan penting di lembaga-lembaga kerajaan. Misalnya ia pernah bekerja di Criminal Law Commission dan Royal Commisioner untuk Malta.
Walaupun ia seorang jurist Inggris, kuliah-kuliahnya di Bonn Jerman, telah memberikan bukti yang penting tentang pengaruh pemikiran politik dan hukum Eropa Kontinental dalam diri Austin. Kumpulan kuliah ini yang kemudian diterbitkan sebagai buku, berjudul The Province of Jurisprudence Determined (1832). Karyanya yanglain adalah Lectures on Jurisprudence, diterbitkan atas upaya keras dari istrinya, Sarah, pasca Austin tutup usia pada 1859 (Antonius Cahyadi dan E Fernando M. Malullang, 2007: 65).
John Austin secara umum diakui sebagai ahli hukum pertama yang memperkenalkan positivisme hukum sebagai sistem. Pemikiran pokoknya tentang hukum dituangkan terutama dalam karyanya berjudul The Province of Jurisprudence Determined (1832). Menurutnya, filsafat hukum memiliki dua tugas penting. Kegagalan membedakan keduanya, demikian keyakinan Austin sebagaimana dikutip oleh Murphy & Coleman, akan menimbulkan kekaburan baik intelektual maupun moral. Kedua tugas ini berkaitan dengan dua dimensi dari hukum yakni yurisprudensi analitis dan yurisprudensi normatif (Murphy & Coleman, 1990: 19-21; Ronald Dworkin, 1977:18-19). Berkaitan dengan dimensi yang pertama, tugas filsafat hukum adalah melakukan analisis tentang konsep dasar dalam hukum dan struktur hukum bagaimana adanya. Pertanyaan tentang apa itu hukum, tanggungjawab hukum, hak dan kewajiban hukum, misalnya adalah contoh pertanyaan-pertanyaan khas yang diajukan filsuf atau pemikir hukum sebagai titik tolak dalam menganalis dan mencoba memahami konsep dasar tersebut.
Sementara itu, yurisprudensi normatif berusaha mengevaluasi atau mengkritik hukum dengan berangkat dari konsep hukum sebagaimana seharusnya. Pertanyaan-pertanyaan pokok yang diajukan antara lain mengapa hukum disebut hukum, mengapa kita wajib mentaati hukum, manakah basis validitas hukum, dan sebagainya. Dengan demikian, dimensi yang kedua ini berurusan dengan dimensi ideal dari hukum (Andre Ata Ujan, 2009: 67).
Dengan distingsi di atas Austin menolak pandangan teori hukum kodrat tentang hukum dan dengan itu menarik garis pembatas yang tegas antara hukum dan moral. Dengan pemisahan ini Austin berusaha menekankan sisi utilitarian dari hukum tanpa mengabaikan pertanyaan tentang konsep dasar hukum yang berpusat pada apa yang ia sebut yurisprudensi analitis. Austin menyebut “hukum sebagaimana adanya” sebagai hukum positif karena hukum dilihatnya sebagai sekumpulan peraturan yang eksistensi dan kedudukannya tergantung pada otoritas manusia. Dalam arti ini positivisme legal sesungguhnya merupakan reaksi terhadap teori hukum kodrat (natural theory of law), yang mendasarkan eksistensi dan kedudukan hukum pada otoritas yang melampaui otoritas manusia.
Karakteristik hukum yang terpenting menurut Austin terletak pada karakter imperatifnya. Hukum dipahami sebagai suatu perintah dari penguasa. Akan tetapi tidak semua perintah oleh Austin dianggap sebagai sebagai hukum, menurut pandangannya hanya oleh perintah-perintah umum yang mengharuskan seseorang atau orang-orang untuk bertindak atau bersabar dari suatu kelas pantas mendapat atribut hukum (Bodenheimer, 1967:85)
Kata kunci dalam hukum menurut Austin adalah perintah – hukum dalam masyarakat adalah perintah umum dari entitas politik yang memiliki kedaulatan, yakni otoritas politik yang paling tinggi (the supreme political authority), yang berfungsi mengatur perilaku anggota masyarakat. Yang memiliki kedaulatan ini mungkin individu atau juga sekelompok individu. Syaratnya : (1) individu atau kelompok individu merupakan orang atau sekelompok orang yang dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat; dan (2) individu atau kelompok individu yang berdaulat ini tidak patuh pada siapa pun juga di atasnya. Jadi sumber hukum menurut Austin, adalah penguasa teringgi yang de facto dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat sementara ia sendiri tidak tunduk pada siapa pun. Dengan demikian,Austin mempertanggungjawabkan validitas hukum dengan merujuk pada asal usul atau sumber yang secara faktual empiris diakui memiliki otoritas untuk menciptakan hukum (Andre Ata Ujan, 2009: 70).
Hukum menurut Austin harus dipahami dalam arti perintah karena hukum seharusnya tidak memberi ruang untuk memilih (apakah mematuhi atau tidak mematuhi). Hukum bersifat non optional. Karena itu, mengkritik para penganut teori hukum kodrat Austin menegaskan bahwa hukum bukan setumpuk peraturan atau nasihat moral. Hukum dalam arti terakhir ini tidak punya implikasi hukuman apapun. Ketika hukum tidak lagi dapat dipaksakan , yakni pelanggarannya dikenai hukuman atau sanksi hukum, maka hukum tidak lagi dapat disebut hukum; atau hukum kehilangan esensinya sebagai perintah. Dengan demikian, kepatuhan pada hukum adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar. Menyebut perintah sebagai hukum tetapi dalam praktek tidak dapat ditegakkan melalui penerapan sanksi hukum adalah absurd, karena hukumyang demikian tidak mampu memenuhi fungsi sosialnya sebagai alat kontrol terhadap tingkah laku masyarakat. Padahal, demikian Austin, mengontrol perilaku masyarakat adalah fungsi utama hukum. Dalam arti ini, sebetulnya Austin sepakat dengan Aquinas yang juga melihat hukum sebagai alat kontrol sosial. Akan tetapi, berbeda dengan Aquinas yang melihat hukum tertuma sebagai hasil kerja rasio, Austin justru menekankan watak perintah hukum yang bersumber pada kedaulatan penguasa. Dalam arti ini, pandangan hukum Aquinas lebih lunak dibandingkan dengan pandangan Austin (Thomas Aquinas, Summa Theologica, dalam W.Ebenstein & A. Ebenstein, 1992: 151-158).
Hukum sebagai perintah, menurut Austin, memuat dua elemen dasar. PertamaI, hukum sebagai perintah mengandung pentingnya keinginan, yakni keinginan dari seorang penguasa bahwa seseorang harus melakukan atau menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu. Tentu saja, tidak semua keinginan mempunyai kekuatan sebagai hukum. Kalau saya ingin makan, misalnya, keinginan seperti ini pasti bukan hukum sifatnya. Karena itu, keinginan dalam arti hukum memiliki kekhususan, yakni bahwa “pihak yang terkena hukum harus menanggung akibat yang tidak menyenangkan atau membahayakan dari yang lain apabila gagal memenuhi hukum yang berlaku.” Dengan demikian, hukum dalam arti perintah yang mengungkapkan keinginan penguasa pada dasarnya memuat ancaman hukuman bagi siapa pun yang berada di bawah hukum yang berlaku. Karena itu elemen hukum yang kedua ialah bahwa hukum memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang tidak menyenangkan atau bahkan membahayakan subjek yang melanggarnya. Individu yang terkena perintah dengan sendirinya terikat, wajib berada dibawah keharusan untuk melakukan apa yang diperintahkan. Kegagalan memenuhi tuntutan perintah akan berakibat bahwa subjek yang terkena perintah mendapat sanksi hukum (Andre Ata Ujan, 2009: 71).
Austin mengungkapkan tiga pembedaan besar berkaitan dengan hukum,
Hukum Tuhan: hukum yang diciptakan Tuhan untuk makhluk ciptaanNya. Hukum ini merupakan suatu moral hidup manusia dalam arti sejati.
Hukum manusia: hukum yang dibuat manusia untuk manusia. Ada dua kategaori hukum yang dibuat manusia yakni:
Hukum yang sebenarnya (properly so called). Hukum ini sebagai superior politik atau dalam melaksanakan hak-hak yang diberikan oleh otoritas politik. Hukum yang sebenarnya bukan hukum (improperly so called). Hukum ini dibuat oleh manusia tetapi tidak sebagai yang memiliki otoritas politik atau dalam melaksanakan hak yang dimiliki. Hal ini mencakup oleh Austin disebut sebagai hukum-hukum yang ada karena analogi, misalnya aturan-aturan yang menyangkut keanggotaan seseorang dalam kelompok tertentu.
Jika mengacu pada apa yang dikatakan oleh Austin maka menurut Huijbers (1995:41) ada tiga hal yang patut dicatat:
Bidang yuridis mendapat tempat yang terbatas, yaitu menjadi unsur negara. Wilayah hukum bertepatan dengan wilayah suatu negara.
Hukum mengandung arti kemajemukan sebab terdapat beberapa bidang hukum di samping negara, walaupun bidang-bidang itu tidak mempunyai arti hukum dalam arti yang penuh. Hukum dalam arti yang sesungguhnya adalah hukum yang berasal dari negara dan yang dikukuhkan oleh negara. Hukum-hukum lain dapat disebut hukum, tetapi tidak memiliki arti yuridis yang sesungguhnya.
3. Hukum sebagai Komando (Law is Command of a Sovereign)
Berkaitan pandangan hukum, sebagai komando, maka menurut Austin, hukum harus dipahami sebagai ‘komando.’ Hukum selalu merupakan kumpulan perintah yang bersifat komando (laws are commands). Hukum selalu berwatak komando. Dengan demikian, menurut Austin, yang menjadi kata kunci dalam yurisprudensi adalah komando. Hukum yang berlaku dalam masyarakat adalah komando umum dari entitas politik yang memiliki kedaulatan, yakni otoritas politik yang paling tinggi (the supreme political authority). Atau, Austin menyebutnya sebagai sovereign: penguasa yang berdaulat atas warganya. Otoritas ini berfungsi mengatur perilaku setiap anggota masyarakatnya. Pemegang otoritas tertinggi ini bisa saja oleh sekelompok orang maupun hanya satu orang. Syarat bagi pemegang otoritas tertinggi ini antara lain: pertama, pemegang otoritas ini haruslah seorang atau sekelompok orang yang dipatuhi oleh segenap warganya tanpa kecuali. Kedua, pemegang otoritas ini (baik satu orang maupun sekelompok orang) tidak patuh kepada siapapun. Artinya, pemegang otoritas ini adalah penguasa mutlak, menguasai semua, tidak berada di bawah penguasa lain. Dia adalah penguasa tertinggi.
Berangkat dari pemikiran Austin ini, kita dapat melihat bahwa yang menjadi sumber hokum adalah penguasa tertinggi tersebut yang de facto dipatuhi oleh semua warga atau anggota masyarakat yang berada dalam wilayah kekuasaannya. Ia tidak tunduk kepada siapapun. Dengan demikian, perintah (hukum) merupakan imperatif dari penguasa. Di sini, Austin berusaha mempertanggungjawabkan validitas hokum dengan merujuk pada ‘asal usul’ atau ‘sumber’ yang secara faktual empiris diakui memiliki otoritas untuk menciptakan hukum.
Lebih lanjut, Austin mengatakan bahwa hukum harus dipahami dalam arti komando karena hukum seharusnya tidak memberi ruang untuk memilih: apakah mematuhi atau tidak mematuhi. Hukum bersifat non-optional. Arinya, perintah yang keluarkan oleh sovereign harus ditaati oleh semua warganya tanpa kecuali dan tanpa pilihan.
Dengan pemikiran seperti ini Austin mau menegaskan bahwa hokum bukanlah setumpuk peraturan atau nasihat moral. Jika hukum hanyalah setumpuk peraturan atau nasihat moral, maka hukum tidak memiliki implikasi hukuman apapun. Ketika hokum tidak lagi dapat dipakasakan, yakni pelanggarannya dikenai hukuman atau sanksi hokum, maka hokum tidak lagi dapat disebut hokum. Hukum kehilangan esensinya sebagai komando. Maka, kepatuhan pada hokum adalah kewajiban yang tak dapat ditawar-tawar.
Hal lain yang patut menjadi tekanan penting di sini adalah bahwa hukum tidak hanya bersifat komando saja tetapi dibarengi dengan sanksi bagi yang tidak mentaatinya. Konamdo dari sovereign diafirmasi dengan sanksi. Austin menjelaskan bahwa ketika kita menyebut perintah sebagai hokum tetapi dalam praktek tidak dapat ditegakkan mealalui sanksi hokum adalah absurd. Hukum yang demikian tidak mampu memenuhi fungsi sosialnya sebagai alat control terhadap tingkah laku masyarakat. Padahal fungsi utama dari hukum adalah mengontrol perilaku masyarakat.
Hukum sebagai komando dalam perspektif Austin ini memuat dua elemen dasar, yakni: pertama, hukum sebagai komando mengandung pentingnya keinginan, yaitu keinginan dari seorang penguasa bahwa seseorang harus melakukan atau menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu. Tentu saja, semua keinginan tidak mempunyai kekuatan sebagai hukum. Austin memberi canto: jika saya ingin makan, keinginan seperti ini tidak dapat dijadikan sebagai sebuah hokum. Karena itu keinginan dalam arti hokum memiliki kekhususan, yakni pihak yang terekena hokum harus menanggung akibat yang tidak menyenagkan atau membahayakan dari yang lain apabila memenuhi hokum yang berlaku.
Dengan demikian hukum dalam arti komando mengungkapkan keinginan penguasa. Pada dasarnya memuat pula ancaman hukuman bagi siapapun yang berada di bawah hukum yang berlaku. Kedua, bahwa hukum memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang menyenangkan atau bahkan mengancam subjek yang melanggarnya. Setiap orang yang menjadi sasaran atau tujuan dari komando tersebut dengan sendirinya terikat, wajib berada di bawah keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan apa yang dikomandokan. Kegagalan memenuhi komando akan berakibat buruk atau secara pasti akan mendatangkan sanksi bagi subjek yang terkena komando.
Dari pandangan Austin ini jelas bahwa dalam teori hukum sebagai komando terdapat relasi tak terpisahkan atara komando dan hukuman, yang memperlihatkan adanya kewajiban yang tak terelakkan pada pihak yang diatur oleh hokum. Di sini tampak bahwa situasi komando merefleksikan relasi antara yang superior dan inferior, di mana yang superior memiliki kedaulatan mutlak terhadap yang inferior. Bahkan semua hukum yang berasal dari penguasa yang superior ini dipandang oleh Austin sebagai kebnaran niscaya, karenanya tidak memerlukan tanggapan, apabila ada unsure-unsur kebenaran yang dikemukakan oleh pihak bawahan. Selain itu, penguasa dengan sendirinya berada di luar hokum, dia tidak terkena hukum. Karena jika dia sendiri berada dalam hokum dalam arti bahwa masih memiliki kewajiban untuk mentaati suatu hokum, sekalipun hokum itu dikeluarkan olehnya, maka dia bukanlah sovereign. Dengan pandangan seperti ini, Austin manarik satu garis pemisah yang tegas antara penguasa dan rakyat biasa dan mendasarkan validitas keseluruhan hokum pada kenyataan faktual empiris kedaulatan seorang penguasa.
Catatan kritis terhadap konsepsi Austin tentang teori perintah mendapat kritikan antara lain oleh Hans Kelsen dan H.L.A. Hart. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apabila hukum hanya dipahami sebagai perintah, sementara perintah selalu dikaitkan dengan keinginan dan sanksi.
Hans Kelsen, sebagaimana dikutip oleh Murphy dan Coleman sepakat bahwa sanksi memang penting dalam hukum. Perintah sebagai hukum harus memiliki kemampuan memaksa. Meskipun begitu, bagi Kelsen, konsep sanksi bukanlah suatu yang esensial untuk memberi status bagi perintah (Murphy & Coleman, 1990: 21). Menurutnya sanksi hukum hanya relevan dalam konteks hukum pidana (criminal law) tetapi tidak pada jenis hukum lainnya. Apabila konsep sanksi dipaksakan menjadi esensi hukum, demikian Kelsen, maka hukum direduksi menjadi melulu hukum pidna. Padahal disamping hukum pidana masih terdapat hukum perdata (private law)
Kritik yang cukup penting diberikan oleh H.L.A Hart terhadap pemikiran Austin. Hart mencatat tiga kelemahan pokok dari teori perintah Austin. Semua kesulitan dalam teori Austin, menurut Hart, terletak pada pandangan Austin yang melihat hukum sebagai emanasi atau jelmaan diri dari penguasa absolut.
Pertama, hukum harus memiliki keberlangsungan hukum, tidak boleh tergantung seluruhnya pada person tertentu (Morawetz, 1980: 21-22). Dalam bahasa Morawetz, hukum harus memiliki kemampuan bertahan melampaui person-person yang menciptakannya (transpersonal continuity). Mengasalkan hukum pada pribadi tertentu, dalam hal ini penguasa absolut, akan menimbulkan problem kekosongan hukum ketika yang bersangkutan meninggal dunia.
Kedua, hukum seharusnya berlaku bagi segenap anggota masyarakat termasuk penguasa. Dengan menjadikan hukum sebagai jelmaan keinginan penguasa, tidak jelas apakah penguasa sendiri tunduk pada hukum yang berlaku. Teori kedaulatan Austin tidak tegas membuka kemungkinan bagi penguasa untuk tunduk pada hukum buatannya sendiri. Dengan demikian, teori kedaulatan Austin menciptakan, menurut istilah Morawetz, problem of self-limitation karena tidak mudah seorang penguasa memerintah dirinya sendiri. Tentu saja ini membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan penguasa.
Ketiga, Austin gagal membedakan dengan tepat konsep “konsep berada di bawah kewajiban” dan “berada di bawah paksaan”. Menurut Hart tunduk pada kewajiban (under a duty) dan dipaksa (being obliged atau being forced) mengikuti kemauan adalah dua hal yang berbeda (H.L.A. Hart, 1972: 47-49). Bertolak dari kritik ini Hart membangun teorinya dengan merujuk bahwa validitas hukum tidak pada individu atau kelompok individu yang berdaulat, melainkan pada sistem. Hukum tidak bergantung pada orang tetapi pada sistem (Lembaga peraturan).


DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji, Shidarta, M. Hum, 1999, Pokok-pokok Filsafat Hukum. Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Hart, H. L. A, 1994, The Concept of Law, New York: Oxford University Press Inc.
Huijbers, Theo, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius

0 komentar:

Posting Komentar