Minggu, 06 Maret 2011

Penguatan DPD

MENUJU PERUBAHAN UUD 1945 KELIMA SECARA KOMPREHENSIF DAN PROGRESIF DALAM STRUKTUR PARLEMEN INDONESIA
Oleh : Turiman Fachturahman Nur
Membaca topik besar penguatan lembaga Perwakilan, Sistem Presidensil dan Otonomi Daerah melalui perubahan UUD 1945 komprehensif dan lima isu strategis didalamnya antara lain : kekuasaan legislatif yang entri pointnya adanya bikameral yang efektif antara kekuasaan legislatif di DPR dan DPD, kedudukan MPR, sebagai joint session: fungsi DPR dan DPD: legalisasi, pengawasan, anggaran, rekruetmen (pengisian) jabatan publik, dan representasi ; fungsi legilasi DPR dan DPD sama semua bidang. Hak DPR dan DPD: Interplasi, angket, dan menyatakan pendapat: pembentukan UU oleh DPR dan DPD.
Kemudian lebih merucut isu setrategis, yaitu kekuasaan eksekutif mempertegas sistem presidensil: Presiden mempunyai hak veto; dibolehkan calon presiden dari calon perseorangan; Presiden dan wakil presiden bersumpah dihadapan Mahkamah Konstitusi dengan pemahaman kalau Mahkamah konstitusi sebagai pemegang supremasi konstitusi dan Presiden sebagai pelaksana dari konstitusi; Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR dan DPD (tetapi tidak ikut dalam pembahasan). Dalam hal kepentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan perpu. DPR dan DPD dapat menyetujui atau menolak perpu.
Isu strategis diatas entri pointnya adalah :
Pertama, Hakekat Perwakilan DPD
Kedua, Gagasan Bikameral ke Tricameralisme
Ketiga membentuk DPD yang mendukung penguatan sistem presidensil
Hakekat Perwakilan
Berdasarkan Perubahan ketiga UUD 1945, gagasan pembentukan Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka restrukturisasi parlemen Indonesia menjadi dua kamar telah diadopsikan. Jika ketentuan mengenai DPR diatur dalam Pasal 20, maka keberadaan DPD diatur dalam Pasal 22 C dan Pasal 22 D, Perubahan terhadap ketentuan Pasal 20 diadopsikan kedalam naskah perubahan pertama dan kedua, sedangkan perubahan pasal 22 diadopsikan dalam naskah Peruabahan ketiga UUD 1945. Dengan demikian resmilah, pengertian dewan perwakilan di Indonesia mencakup DPR dan DPD, yang kedua-keduanya secara bersama-sama disebut sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat atau logika konstitusinya X = A +B (X MPR, A DPR, B DPD) tetapi B tidak sama dengan A, sedangkan A dan B adalah bagian dari X, mengapa B tidak sama A, jika kedua sama-sama bagian dari X ?, seharusnya A dan B sama, karena kedua sama-sama bagian dari X.
Jawaban atas pertanyaan itu, bahwa perbedaan antara keduanya terletak pada hakekat kepentingan yang diwakilinya masing-masing DPR dimaksudkan untuk mewakili rakyat, sedangka DPD dimaksudkan untuk mewakili daerah-daerah. Pembedaan hakekat perwakilan ini penting, untuk menghindari pengertian double represatation atau perwakilan ganda mengartikan fungsi parlemen yang dijalankan oleh kedua dewan tersebut, Misalnya , rakyat yang hidup di daerah-daerah yang sudah mengikuti pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, dianggap telah diwakili kepentingannya oleh wakil rakyat yang terpilih untuk menduduki kursi di DPR, baik tingkat kabupaten/kota, ditingkat propinsi maupun DPR ditingkat pusat. Oleh karena itu, meskipun anggota DPD juga dipilih melalui pemilihan umum, proses rekruetmennya itu seharusnya tetap dibedakan dari sistem yang diterapkan untuk merekrut anggota DPR. Dengan demikian, dapat dihindari adanya pengertian keterwakilan ganda tersebut.
Kepentingan yang lebih diutamakan dalam rangka perwakilan daerah (DPD) adalah kepentingan daerah secara keseluruhan, terlepas dari kepentingan individu-individu rakyat yang kepentingannya seharusnya disalurkan melalui DPR. Namun dalam pengertian kepentingan daerah itu, tentunya tidak terlepas adanya kepentingan setiap individu rakyat yang hidup di daerah-daerah itu. Misalnya penyelenggaraan kebijakan otonomi daerah tidak boleh dipersempit maknanya hanya dalam kaitannya dengan otonomi pemerintah daerah . Harus dibedakan antara pengertian local outonomy (otonomi daerah) dengan local goverment atau local administration (pemerintah daerah) . Kebijakan otonomi daerah tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, tetapi yang lebih penting pada akhirnya adalah otonomi rakyat daerah dalam berhadapan dengan birokrasi pemerintahan secara keseluruhan.
Dengan demikian, kepentingan daerah yang diperjuangkan oleh DPD sudah sendirinya berkaitan pula dengan kepentinngan seluruh rakyat di daerah-daerah yang bersangkutan. Hanya saja, dalam bentuk teknisnya dilapangan, prinsip keterwakilan rakyat melalui DPR memang harus dibedakan secara tegas dari pengertian keterwakilan daerah melalui DPD. Jika keduanya tidak dibedakan, orang tidak dapat mengetahui secara pasti hakekat keberadaan kedua kamar yang hendak dikembangkan dimasa depan. Pembedaan itu juga berkaitan dengan sistem rekruitmen keanggotaan keduanya yang sudah tentu seharusnya dibedakan satu sama lain. Kalaupun kedua anggotanya, misalnya, sama-sama ditentukan dipilih melalui pemilihan umum, pelaksanaan pemilihan keanggotaan kedua dewan itu sudah seharusnya dibedakan, baik dalam persyaratannya maupun dalam soal sistem pemilihannya. Dengan begitu, perbedaan kedua lembaga perwakilan tersebut dapat terus dipertahankan sesuai dengan hakekat keberadaannya.
Untuk lebih memantapkan perekrutan anggota DPD hanya berbekalkan fhoto copy KTP menurut penulis tidaklah cukup selama administrasi kependudukan belum tertib, tetapi harus dipersyaratkan dengan Surat Pernyataan bermaterai, mengapa karena dengan cara demikian ada tiga keuntungan, (1) tidak ada dua dukungan yang double (2) negara mendapatkan masukan dari materi, bayangkan jika diperlukan 40 ribu anggota tentunya dikalikan Rp 6000 (3) jika ketahuan memberikan dukungan dua kali, maka yang bersangkutan telah memberikan keterangan palsu dan dapat dipidanakan, hal tentunya sebuah pembelajaran kepada rakyat di daerah untuk berdemokrasi yang sehat dan taat hukum.
Bikameral ke tricameralism
Semula reformasi struktur parlemen Indonesia yang disarankan oleh banyak kalangan ahli hukum dan politik supaya dikembangkan menurut sistem bikameral yang kuat (strong bicameralism) dalam arti kedua kamar dilengkapi dengan kewenangan yang sama-sama kuat dan saling mengimbangi satu sama lain. Untuk itu, masing-masing kamar diusulkan, dilengkapi dengan hak veto. Usulan semacam ini berkaitan erat dengan kebijakan otonomi daerah yang cenderung sangat luas dan hampir mendekati sistem federal. Hal itu dianggap sesuai kecenderungan umum di dunia. Di mana negara-negara federal yang memiliki parlamen dua kamar selalu mengembangkan tradisi strong bicameralism, sedangkan di lingkungan negara-negara kesatuan bikameralism yang dipraktekan adalah soft bicameralism. Kebijakan otonomi daerah di Indonesia dimasa depan dinilai oleh sebagian besan ilmuwan politik dan hukum cenderung bersifat federalistis dan karena itu lebih tepat mengembangkan struktur parlemen yang bersifat strong bicameralism.
Pada tataran tersebut patut direnungkan, bahwa namun demikian, Perubahan Ketiga UUD 1945 hasil sidang Tahunan MPR tahun 2001 justru mengadopsi gagasan parlemen yang bersifat soft. Kedua kamar dewan perwakilan tersebut tidak dilengkapi dengan kewenangan yang sama kuat. Yang lebih kuat tetap DPR, sedangkan kewenangan DPD hanya bersifat tambahan dan terbatas pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Dalam Pasal 22 D ayat (1),(2) dan (3) dinyatakan:
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada DPR rancangan Undang-Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan dan agama, serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti.
Membentuk DPD yang mendukung penguatan sistem presidensil
Bahwa kewenangan DPD yang bersifat terbatas dan dalam kaitannya dengan fungsi legislatif, misalnya, DPD hanya memberikan pertimbangan terhadap DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif yang sesungguhnya. Seperti yang ditentukan dalam Pasal 22 C ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945, jumlah anggota DPD itu hanya sepertiga jumlah anggota DPR. Karena banyak orang berpendapat bahwa struktur parlemen Indonesia berdasarkan hasil perubahan Ketiga UUD 1945 tersebut bersifat soft bicameralism atau bikameral yang sederhana. Akan tetapi, jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh, seperti telah dipaparkan diatas, struktur parlemen Indonesia pasca perubahan Keempat UUD 1945 sama sekali tidak dapat disebut sebagai sistem bikameral, mengapa, Pertama, ternyata bahwa DPD sama sekali tidak berwenang mengambil keputusan apa-apa dibidang legislatif. Kedua, Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menyatakan "MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang, tidak seperti Konggres Amerika Serikat yang dikatakan terdiri atas DPR dan Senat, atau Staten General Belanda yang terdiri atas Eerte Kamer dan Tweede Kamer. Ketiga, ternyata lembaga MPR juga mempunyai kewenangan-kewenangan dan Pimpinan tersendiri, sehingga struktur parlemen Indonesia seperti yang dipaparkan di atas dapat disebut parlemen tiga kamar (trikamerlalisme).
Kaitannya dengan penguatan DPD dan sistem Presidensiil, maka memang paling ideal presiden membangun kemitraan dengan DPD namun hal ini belum terjabarkan dengan dengan jelas dalam konstitusi seharusnya ada pasal yang memberikan mekanisme hubungan antara Presiden dan DPD dalam perubahan Konstitusi barulah dikatakan perubahan yang komprehensif bahkan progresif.






Makalah disampaikan pada Diskusi Kelompok Terarah : Perubahan UUD 1945 Komprehensif dan Penguatan Lembawa Perwakial, Sistem Presidensil dan Otonomi Daerah

0 komentar:

Posting Komentar