Peranan Sultan Hamid II yang terlupakan Sejarah
Oleh Turiman Fachturahman Nur
Ada satu paparan yang menarik dari web di Internet, yaitu Pertanyaan bagaimana peristiwa sejarah Sultan Hamid II itu bagi Kalimantan Barat, berikut ini sebuah tulisan yang penulis akses dari Google, Sultan Hamid II, Federalisme dan Nasib Borneo Barat, Rabu, 10-12-2008 oleh: Rudy Handoko Wikimu Google pada Kanal: Opini , ia mengawali paparan dengan mencatat, bahwa Sultan Hamid II seorang Sultan Pontianak yang saya anggap paling berjaya meneguhkan keberadaan Kalimantan Barat sebagai daerah yang seharusnya diperhitungkan dan dihargai sebagai negeri yang bermarwah.
Sebagai seorang tokoh yang sudah kenyang asam garam perpolitikan pra kemerdekaan, semasa kemerdekaan dalam prosesi pembentukan identitas Negara Republik Indonesia ini dan turut menjadi tokoh yang mempunyai peran dalam periode awal kemerdekaan, maka eksistensi Sultan Hamid II tak pelak bagi saya menjadi percontohan yang mesti dibanggakan oleh masyarakat Kalimantan Barat.
Meskipun selama sejarah negara ini berkembang, penuh cerita yang manipulatif, sehingga peranan-peranan putra Kalimantan ini diabaikan dan tiada dianggap sebagai tokoh yang memainkan peranan dalam pembentukan negara-bangsa ini. Sultan Hamid II di-stereotipekan sebagai pemberontak, anti negara kesatuan, dalang APRA, dan sebagainya. Sehingga dengan gampangnya sejarah yang dimunculkan mentadbirkan Sultan Hamid II sebagai sosok antagonis dalam republik ini.
Boleh jadi sejarah dan pencatatan sejarah tidak berpihak kepada Sultan yang cerdas ini, inilah penyakit negara bangsa yang kerap dengan mudahnya menghilangkan jasa-jasa dan apa-apa yang telah diperbuat seseorang hanya karena adanya perbedaan pandangan, adanya perbedaan visi seperti mengenai ideologi dan model/bentuk negara, serta adanya pertentangan politik akibat perbedaan itu, terutama jika bertentangan dengan rezim yang berkuasa. Karena rezim yang berkuasalah yang menentukan seperti apa sejarah hendak dicatat dan diceritakan kepada generasi berikutnya.
Dalam hal tiadanya pengakuan negara, Sultan Hamid tiada sendiri, ada Tan Malaka tokoh Pergerakan yang Revolusioner nan berjasa, tapi mati karena bangsanya sendiri, ada Semaun yang tidak dihargai jasanya sebagai tokoh yang bergerak untuk memperjuangkan bangsanya, jauh sebelum 1945, tapi tak dianggap hanya karena Semaun seorang yang berfaham kiri marxis sama halnya dengan Tan Malaka. Ada Natsir, yang keluar masuk penjara oleh bangsa yang diperjuangkannya, ada Alex Evert Kawilarang seorang militer mumpuni yang hilang jejak sejarahnya hanya karena bermusuhan dan bermasalah dengan rezim Orba. Dan masih banyak yang lain lagi.
Sultan Hamid II, Sultan Pontianak seorang lulusan Akademi Militer Breda Belanda, menjadi perwira tentara KNIL (Koninklijk Nederland Indische Leger) dengan pangkat Major, Sultan Hamid II mempunyai jejaring diplomatik yang amat sangat berpengaruh dalam upaya mendapatkan pengakuan atas kedaulatan negeri ini. Namun kedekatannya dengan pemerintahan kolonial Belanda kerap dijadikan argumentasi bahwa Sultan Hamid II adalah pengkhianat.
Apalagi ketika tokoh ini menjadi ketua sebuah daerah federasi dengan nama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada awal tahun 1948 yang membawahi daerah swapraja dan neo-swapraja di Kalimantan Barat. Pemerintahan DIKB terdiri dari 40 orang anggota dewan legislatif yang terdiri daripada 15 orang wakil swapraja dan neo-Swapraja, 8 orang wakil golongan etnik Dayak, 5 orang wakil etnik Melayu, 8 orang wakil etnik Cina, 4 orang wakil daripada Indo Belanda. Sedangkan pemerintahan DIKB dipimpin Sultan Hamid II selaku kepala daerah dengan wakilnya yaitu Nieuwhusysen yang kemudian digantikan Masjhoer Rifai’i. Dalam menjalankan pemerintahan sehariannya, Sultan Hamid selaku kepala DIKB dibantu oleh sebuah Badan Pemerintah Harian (BPH) yang beranggota 5 orang, iaitu J.C Oevaang Oeray, A.F Korak, Mohamad Saleh, Lim Bak Meng, dan Nieuwhusysen.
Lantas kemudian memimpin delegasi BFO yang lebih setuju negara ini sebagai negara federal pada Konferensi Meja Bundar (KMB) Den Haag. Maka cukup sudah alasan untuk menyingkirkan dan mengubur dalam-dalam jasa-jasa Sultan Hamid II.
Sultan Hamid II adalah seorang federalis, namun bukan berarti beliau seorang yang tidak nasionalis. Ia mendukung pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), tetapi ia tetap menolak keinginan pemerintah Belanda untuk menjadikan Kalimantan Barat sebagai sebuah negara bagiannya. Hal ini yang dihilangkan dari sejarah! Padahal, kalau Sultan Hamid II dengan kecakapan dan keluasan jaringan diplomasinya pada saat itu, jika memang menginginkan DIKB menjadi negara bagian Belanda, maka boleh jadi Kalimantan Barat sekarang bukan bagian dari Republik ini.
Cita-cita Sultan Hamid II bersama-sama ketua-ketua daerah swapraja dan neo-swapraja lainnya sederhana sekali, bahwa dengan egara federalis, mereka menginginkan kesepakatan seperti yang telah mereka buat yakni untuk membentuk pemerintahan Kalimantan Barat sebagai sebuah daerah istimewa, sebagaimana kedudukan Kesultanan Yogyakarta yang berstatus sebagai provinsi daerah istimewa yang masih wujud sampai saat ini. Tapi karena federalisnya ini Sultan Hamid menjadi korban perjuangan politiknya bahkan seumur hidup jatuh dalam fitnah ‘pemberontak.
Sultan Hamid II dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag, sebagai wakil negara-negara bagian dan daerah federasi dengan gigihnya memperjuangkan agar negara Indonesia tetap menjadi sebuah negara federal dengan Republik Indonesia Serikat (RIS). Selaku ketua DIKB, Sultan Hamid II berusaha agar status Kalimantan Barat sebagai daerah istimewa mendapat pengakuan resmi dalam perundingan dengan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pemerintah Belanda.
Secara singkat perjuangan tersebut tidak sia-sia, kedudukan Kalimantan Barat sebagai daerah istimewa dan negara-negara bagian serta daerah federasi kemudian mendapat pengakuan dalam konstitusi negara RIS (Republik Indonesia Serikat). Pengakuan terhadap daerah istimewa Kalimantan Barat itu sesuai dengan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditanda tangani di Den Haag tentang pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), serta persetujuan pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan pada tahun 1949 kepada pemerintahan RIS.
Namun apa daya, dalam pemerintahan RIS di bawah Perdana Menteri Muhammad Hatta, Sultan Hamid II hanya dilantik menjadi Menteri Negara Porto Folio, suatu jabatan penghibur atau mungkin sekedar pelengkap penderita. Pengangkatannya sebagai Menteri Negara tanpa tugas khusus itu, tentu membuat Sultan Hamid II kecewa, karena tidak setimpal dengan peranan yang telah dilakukannya dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag (kasusnya hampir sama meskipun berbeda konteks ketika Natsir kecewa, Alex Evert Kawilarang kecewa, atau ketika Kahar Mudzakar kecewa dengan pemerintahan sehingga melahirkan protes).
Jasa lainnya yang dihilangkan begitu saja adalah peranan Sultan Hamid II dalam KMB tidaklah semata-mata memperjuangan BFO dan Federalisme, tapi…kesediaan Belanda menyetujui penyerahan kedaulatan seluruh wilayah bekas jajahannya di Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, tidak terlepas daripada jasa Sultan Hamid II yang mampu berjaya membujuk Ratu Yuliana selaku Ratu Belanda. Ini bukti kelihaian diplomasi dan karena kedekatan Sultan Hamid II yang pernah menjadi Ajudan/Pengawal Ratu Yuliana Belanda.
Kemudian, hal lain yang juga yang dilakukan untuk menghilangkan eksistensi Sultan Hamid II adalah perihal siapa yang menjadi Desainer dari Lambang Kenegaraan yang masih terpakai hingga saat ini yakni Burung Garuda tersebut. Meski sejarah menutup-nutupi, hasil karya Sultan Hamid II selaku perancang Lambang Kenegaraan tersebut tak boleh dilupakan.
Sebuah Beban Psikologi Hukum mewujudkan Wasiat Sultan Hamid II
Jika kita tanyakan kepada pelajar dan mahasiswa Indonesia, siapa perancang lagu Indonesia Raya, maka serentak akan menjawab W.R Supratman, tetapi ketika ditanya siapa perancang lambang negara republik Indonesia, dapat dipastikan ”kebingungan” itulah sebuah gambaran beban psikologis, catatan sejarah itu sudah lama terpendam, bahkan seorang penulis buku berjudul ”Mencari Telur Garuda” Nanang R.Hidayat, menyatakan sebuah pernyataan menarik pada halaman 30 ”Bila berpedoman pada Tesis Turiman, 1999 maka hingga 2008 berarti 57 tahun kemudian setelah ditetapkannya Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara Republik Indonesia pada 17 Agustus 1951 di Jakarta, baru ditemukan secara akademik bahwa Sultan Hamid II-lah penciptanya, Waktu yang cukup lama bagi sebuah bangsa untuk mendiamkan terpendamnya bagian sejarah yang teramat penting, Cukup lama bagi sebuah bangsa yang bercita-cita menjadikan semua rakyatnya menjadi Pancasilais sejati, untuk bungkam tentang siapa perancangnya”.
Itulah yang penulis maksudkan beban psikologis hukum, karena sampai hari ini belum ada pernyataan resmi dari negara siapa sebenarnya perancang lambang negara, bagaimana tidak mungkin lambang negara itu ’tahu-tahu” ada disekitar kita, siapa perancangnya, masih adakah yang peduli dengan catatan sejarah yang tercecer ini ?, bangsa ini seharusnya prihatin lambang negara itu sering menempel dibaju pejabat dan terpampangkan di gedung lembaga negara dan pemerintahan bahkan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tetapi hanya sekedar sebuah simbol yang ”kosong makna” bagaikan ”kepompong”.
Pada hal salah satu bagian dari lambang negara itu adalah sebuah prinsip kenegaraan, Bhinneka Tunggal Ika yang dicengkram kuat oleh kaki Garuda Rajawali, disamping lambang-lambang yang terdapat di perisai sebagai simbolisasi sila Pancasila, mari kita kaji lebih dalam untuk mencari jawaban mengapa bangsaku ”sakit” atau ada penyakit psikologis yang sedang berjangkit dibangsaku.
Berkaitan dengan ini peneliti menyarankan, bahwa Pemerintah Republik Indonesia melalui usulan DPR untuk memberikan penghargaan kepada Sultan Hamid II melalui ahli warisnya memberikan penghargaan dan menyatakan bahwa benar Sultan Hamid II adalah perancang gambar resmi Lambang negara yang berbentuk Rajawali-Garuda Pancasila dan sekaligus memenuhi wasiat Sultan Hamid II yang menyatakan : "Mungkin ini adalah yang dapat saya sumbangkan kepada bangsa saya, kamu jangan pasang lambang negara dirumah sebelum diakui bahwa gambar itu rancangan Hamid dan mudah-mudahan sumbangan pertama saya (buku-buku dan dokumen file lambang negara) ini bermanfaat bagi negara yang dicintai oleh kita."
Dan mewujudkan wasiat seseorang secara hukum (Islam) adalah wajib dan juga sebagai bangsa berkesadaran sejarah wajiblah menegakan kebenaran dan keadilan sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an: Sesungguhnya Allah telah menyuruhmu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. Dan bila kamu menetapkan hukum antara manusia, maka penetapan hukum itu hendaklah adil, bahwa dengan itu Allah telah memberikan pengajaran sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Melihat (Surah Anisa ayat 58), Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu berdiri tegak di atas kebenaran yang adil semata-mata karena Allah dalam memberikan kesaksian, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum sampai mempengaruhi dirimu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Karena itu bertaqwalah kamu kepada Allah ! Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (Surah Al Maidah ayat 8). (Pemapar adalah Expert Hukum Tata Negara UNTAN dan pernah menulis Sejarah Hukum Lambang Negara RI sebagai Tesis UI, 1999).
1 komentar:
Sudah waktunya sejarah ditulis lurus, bukan bengkak bengkok, jika tidak ingin kita membenarkan apa yang dikatakan Jamaluddin Al Afghani,:" Sejarah adalah kumpulan kebohongan kebohongan yang dibukukan!"*Apakah sebagai bangsa, kita ingin mewariskan sejarah yang bengkok?
Posting Komentar