ANALISIS SUBTANSI UU
NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG ASN PELUANG DAN TANTANGAN
(Sebuah Analisis Yuridis Normatif Tentang UU Nomor 5 Tahun 2014)
Oleh: Turiman Fachturahman Nur
Abtract
As is understood,
that the 21st century strategic environment exposes
the different national and international
strategic challenges faced in the 20th
Century In the late 20th century
and the early
decades of the 21st century, Indonesia
faces severe challenges in all areas; multi-dimensional crisis,
the threat of disintegration, and the economic downturn.
Development indicators show that the position of Indonesia
is in the lowest group in the map
of construction progress of
nations, in terms of human
development index, the resilience of
the economy, industrial structure,
agricultural development, legal and judicial system, the implementation
of clean government, good
governance and the implementation
of good in the public sector like any business.
In addition, Indonesia is still regarded as a country with
high risk, the
level of corruption among the highest, as well as on the level of debt. And
political developments in Indonesia, which was marked by political roughness and
number of the largest political party
in the world, showing
the political culture and democratic life that
has not been steady, is a
phenomenon that requires serious
attention from any leaders bangsa.Namun understand
how the various
dimensions if we
look the new paradigm
Law ASN exposure
following describes normative juridical, whether to provide a positive impact
to the development of government
bureaucracy, of course, to
understand this new
paradigm needs to be understood ASN law,
namely Law No.
5 Year 2014
In an interesting side to the substance
described is related
to the rank and position, such ASN Law has established an ideal
mechanism for creating
professional government organizations.
Placement of employees based on qualifications, competence, morality and
integrity of employees and the needs of the
organization is the one form of idealism. The
division of position based on technical
competence, characteristics and work patterns is
another form of government
efforts to create a state of
"right man on the right place"
that has been such a dream only. In
addition, the provision of
career development and pattern must be clearly
drawn by all
government agencies integrated nationally
as well is something
that has been Didam cherished by the
officials on the implementation level. Didukukung with KASN
presence and performance
assessment team as a supervisory agency personnel policies
and institutions measure
employee performance effectiveness of
the staffing system then I think this is quite ideal.
However, among the various advantages of the most
important is the level of implementation. Consistency in the implementation of the rules will be drawn up
to the front, the
right translation of the
substance of the law and consistent implementation of all stakeholders pelaksanalah
that will determine
the level of effectiveness of this Act to the improvement of performance of civil servants in the future.
Keywords: New Paradigm of
Law ASN, KASN, Rank and Position
Abstrak
Sebagaimana
dipahami, bahwa abad 21 menghadapkan lingkungan strategis nasional
dan internasional yang berbeda dengan tantangan
strategis yang dihadapi pada
Abad 20. Di akhir Abad 20 dan dalam
dekade-dekade awal Abad 21, Indonesia menghadapi tantangan-tantangan berat di
segala bidang; krisis multi dimensi, ancaman desintegrasi, dan keterpurukan
ekonomi. Indikator-indikator pembangunan menunjukan bahwa posisi Indonesia
berada dalam kelompok terendah dalam peta kemajuan pembangunan bangsa-bangsa,
baik dilihat dari indeks pembangunan manusia, ketahanan ekonomi, struktur
industri, perkembangan pertanian, sistem hukum dan peradilan, penyelenggaraan clean government, dan penyelenggaraan good governance baik pada sektor publik
mau pun bisnis. Selain itu, Indonesia
masih dipandang sebagai negara dengan resiko tinggi, dengan tingkat korupsi
termasuk tertinggi, demikian pula dari besarnya hutang luar negeri. Dan
perkembangan politik di Indonesia yang ditandai dengan kekasaran politik dan
jumlah partai politik terbesar di dunia, menunjukan kultur politik dan
kehidupan demokrasi yang belum mantap, merupakan fenomena yang memerlukan
perhatian sungguh-sungguh dari setiap
pemimpin bangsa.Namun bagaimanakah memahami berbagai dimensi tersebut
jika kita melihat paradigma baru UU ASN
paparan berikut ini memaparkan secara yuridis normatif, apakah akan memberikan
dampak positif bagi perkembangan birokrasi pemerintahan, tentunya untuk
memahami ini perlu dipahami paradigma baru UU ASN, yakni UU Nomor 5 Tahun 2014.
Pada sisi subtansi yang menarik untuk dipaparkan adalah berkaitan dengan Pangkat dan
Jabatan, UU ASN sedemikian rupa telah membentuk sebuah mekanisme ideal untuk
menciptakan organisasi pemerintah yang profesional. Penempatan pegawai
berdasarkan kualifikasi, kompetensi, moralitas dan integritas pegawai serta
kebutuhan organisasi adalah salah satu bentuk idealisme tersebut. Pembagian jabatan
berdasarkan kompetensi teknis, karakteristik dan pola kerja juga merupakan
bentuk lain dari upaya pemerintah menciptakan kondisi “right man on the right
place” yang selama ini seperti hanya mimpi belaka. Selain itu ketentuan
tentang pengembangan dan pola karier yang harus disusun secara jelas oleh
seluruh instansi pemerintah yang terintegrasi secara nasional juga adalah
sesuatu yang selama ini didam-idamkan oleh para pegawai pada tataran
implementasi. Didukukung dengan
keberadaan KASN dan Tim penilai kinerja sebagai lembaga pengawas kebijakan
kepegawaian dan lembaga pengukur efektifitas kinerja pegawai maka menurut saya
sistem kepegawaian ini sudah cukup ideal. Akan tetapi diantara
berbagai keunggulan tersebut yang terpenting adalah tataran pelaksanaan.
Konsistensi dalam aturan pelaksanaan yang akan disusun ke depan, penjabaran
yang tepat terhadap substansi undang-undang serta pelaksanaan konsisten dari
seluruh stakeholder pelaksanalah yang akan menentukan tingkat efektifitas
Undang-Undang ini terhadap peningkatan mutu kinerja pegawai negeri di masa yang
akan datang.
Kata Kunci: Paradigma Baru UU ASN, KASN, Pangkat dan Jabatan
Prolog
Salah satu hal penting dalam UU ASN adalah
tentang Merit System atau dengan kata lain memahami sistem merit dalam
kaitannya dengan promosi jabatan secara terbuka didalam UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN, tentu
perlu dipahami dahulu hakekat reformasi birokrasi, karena promosi jabatan
saecara terbuka adalah bagi dari agenda reformasi birokrasi. Patut
dipahami, bahwa reformasi birokrasi merupakan konsep yang luas ruang lingkupnya, mencakup
pembenahan struktural dan kultural. Secara lebih rinci meliputi reformasi
struktural (kelembagaan), prosedural, kultural, dan etika birokrasi.
Reformasi birokrasi pemerintahan diartikan sebagai
penggunaan wewenang untuk melakukan pembenahan dalam bentuk penerapan peraturan
baru terhadap sistem administrasi pemerintahan untuk mengubah tujuan, struktur
maupun prosedur yang dimaksudkan untuk mempermudah pencapaian tujuan pembangunan.
Secara normatif
didalam Peraturan
MENPAN No. PER/15/M.PAN/7/2009, Tentang: Pedoman Umum Reformasi
Birokrasi. Reformasi Birokrasi adalah upaya untuk melakukan pembaruan
dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama
menyangkut aspek-aspek kelembagaan, ketatalaksanaan dan SDM aparatur.
Disebutkan pula
bahwa : Reformasi Birokrasi adalah langkah-langkah strategis untuk
membangun aparatur Negara agar lebih berdayaguna dan berhasilguna dalam
mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional.
Di dalam
konteks Indonesia, dengan budaya paternalistik yang masih kuat, keberhasilan
pembenahan birokrasi akan sangat ditentukan oleh peran pemimpin atau pejabat
tinggi birokrasi. Jadi pembenahan tersebut seyogianya dilakukan dari level
atas, karena pemimpin birokrasi kerapkali berperan sebagai ’patron’ sehingga
akan lebih mudah menjadi contoh bagi para bawahannya.
Pembenahan
birokrasi mengarah pada penataan ulang aspek internal maupun eksternal
birokrasi. Dalam tataran internal, pembenahan birokrasi harus diterapkan baik
pada level puncak (top level bureaucrats),
level menengah (middle level bureaucrats),
maupun level pelaksana (street level
bureaucrats).
Pembenahan
pada top level harus didahulukan
karena posisi strategis para birokrat di tingkat puncak adalah sebagai pembuat
keputusan strategis. Pada tataran menengah, keputusan strategis yang dibuat
oleh pemimpin harus dijabarkan dalam keputusan-keputusan operasional dan
selanjutnya ke dalam keputusan-keputusan teknis bagi para pelaksana di lapangan
(street level bureaucrats).
Reformsi Birokrasi di Indonesia sebenarnya
tidak terelepas dariperjuangan untuk mewujudkan
cita-cita dan tujuan suatu bangsa dalam bernegara, pengembangan sistem administrasi negara termasuk birokrasi di dalamnya senantiasa
didasarkan pada konstitusi negara bangsa bersangkutan. Demikian pula Indonesia.
Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia didasarkan pada dan merupakan penjabaran dari
UUD 1945. Pada Pembukaan UUD 1945 terdapat ungkapan para founding fathers negara bangsa ini yang mendeklarasikan “the Spiritual Dimensions of the Indonesian
Public Administration” yang sangat mendasar.
Makna spiritual
dalam konteks Indonesia ini mengandung dimensi “psiko religius dan kultural”
yang kental dengan dimensi ketuhanan dan pengakuan bangsa Indonesia akan
keberadaan dan peran Allah Yang Maha Kuasa dalam perjuangan mewujudkan
cita-cita dan tujuan luhur bangsa dan negara, yang sepenuhnya merefleksikan
nilai-nilai kemanusiaan yang fitri, yang murni dan universal.
Pembukaan UUD
1945 menegaskan dimensi spiritual dari sistem administrasi negara kita, berupa
pernyataan keimanan dan pengakuaan kemaha kekuasaan Allah SWT dalam perjuangan
bangsa (pada alinea tiga); serta cita-cita dan tujuan bernegara, dan sistem
pemerintahan negara (alinea empat).
Keseluruhan iitu
mengandung makna, nilai, dan prinsip
masyarakat madani dan kepemerintahan yang baik. Hal ini tak boleh diabaikan
lagi dalam pengembangan sistem dan
proses pemerintahan dan pembangunan bangsa dewasa ini dan di masa datang,
apabila generasi ini dan generasi-generasi mendatang benar-benar ingin
membangun Indonesia seperti yang dideklarasikan, Indonesia yang dicitakan,
sosok Indonesia yang diamanatkan. Pertanyaannya
adalah bagaiman Birokrasi Indonesia menghadapi abad 21?
Sebagaimana dipahami, bahwa abad 21 menghadapkan lingkungan strategis
nasional dan internasional yang berbeda dengan tantangan strategis yang dihadapi pada Abad
20. Di akhir Abad 20 dan dalam dekade-dekade awal Abad 21, Indonesia
menghadapi tantangan-tantangan berat di segala bidang; krisis multi dimensi,
ancaman desintegrasi, dan keterpurukan ekonomi. Indikator-indikator pembangunan
menunjukan bahwa posisi Indonesia berada dalam kelompok terendah dalam peta
kemajuan pembangunan bangsa-bangsa, baik dilihat dari indeks pembangunan
manusia, ketahanan ekonomi, struktur industri, perkembangan pertanian, sistem
hukum dan peradilan, penyelenggaraan clean
government, dan penyelenggaraan good
governance baik pada sektor publik mau pun bisnis. Selain itu, Indonesia masih dipandang sebagai
negara dengan resiko tinggi, dengan tingkat korupsi termasuk tertinggi,
demikian pula dari besarnya hutang luar negeri. Dan perkembangan politik di
Indonesia yang ditandai dengan kekasaran politik dan jumlah partai politik
terbesar di dunia, menunjukan kultur politik dan kehidupan demokrasi yang belum
mantap, merupakan fenomena yang memerlukan perhatian sungguh-sungguh dari setiap pemimpin bangsa.Namun bagaimanakah memahami berbagai dimensi tersebut jika kita melihat paradigma baru UU ASN paparan berikut ini memaparkan
secara yuridis normatif, apakah akan memberikan dampak positif bagi
perkembangan birokrasi pemerintahan, tentunuya untuk memahami ini perlu
dipahami paradigma baru UU ASN, yakni UU Nomor 5 Tahun 2014.
1.
Paradigma Baru Manajemen ASN Dalam UU ASN
Salah satu paradigma baru UU ASN (UU Nomor 5
Tahun 2014) adalah berkaitan dengan Manajemen ASN diselenggarakan berdasarkan
Sistem Merit, yang berdasarkan pada kualifkasi, kompetensi, dan kinerja secara
adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang poltik, ras, warna kulit,
agama, asal-usul, jenis kelamin, status pernikahan, umum, atau kondisi
kecacatan. Manajemen ASN ini meliputi Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan
Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 itu, Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pembinaan Manajemen
ASN kepada Pejabat yang Berwenang di kementerian, sekretariat
jendral/sekretariat lembaga negara, sekretariat lembaga nonstruktural,
sekretaris daerah/provinsi dan kabupaten/kota.
Pejabat yang berwenang
sebagaimana dimaksud memberikan rekomendasi usulan kepada Pejabat Pembina
Kepegawaian (PPK) di instansi masing-masing. “Pejabat yang Berwenang
mengusulkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pejabat Administrasi
dan Pejabat Fungsional kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi
masing-masing,” bunyi Pasal 54 Ayat (4) UU ini. Manajemen PNS pada Instansi
Pusat, menurut UU No. 5/2014 ini, dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sementara
Manajemen PNS pada Instansi Daerah dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Pasal 56 UU ini
menegaskan, setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS berdasarkan analisis
jabatan dan analisis beban kerja. Penyusunan kebutuhan sebagaimana dimaksud
dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun
berdasarkan prioritas kebutuhan. Berdasarkan penyusunan kebutuhan ini, Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) menetapkan
kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS secara nasional. Adapun dalam hal
pengadaan, ditegaskan Pasal 58 UU No.5/2014 ini, bahwa pengadaan PNS merupakan
kegiatan untuk mengisi kebutuhan Jabatan Administrasi dan/atau Jabatan
Fungsional dalam suatu Instansi Pemeirntah, yang dilakukan berdasarkan
penetapan kebutuhan yang ditetapkan oleh Menteri PAN-RB. “Pengadaan PNS
sebagaimana dimaksud dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman
lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, masa percobaan, dan
pengangkatan menjadi PNS,” bunyi Pasal 58 Ayat (4) UU No. 5/2014 ini.
Disebutkan dalam UU ini, setiap
Instansi Pemerintah mengumumkan secara terbuka kepada masyarakat adanya
kebutuhan jabatan untuk diisi dari calon PNS, dan setiap Warga Negara Indonesia
mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS setelah memenuhi
persyaratan.
Adapun penyelenggaraan seleksi pengadaan PNS harus dilakukan melalui
penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan
lain yang dibutuhkan oleh jabatan. Penyelenggaraan seleksi sebagaimana dimaksud
terdiri dari 3 (tiga) tahap, meliputi seleksi administrasi, seleksi kompetensi
dasar, dan seleksi kompetensi bidang “Peserta yang lolos seleksi diangkat
menjadi calon PNS, dan pengangkatan calon PNS ditetapkan dengan keputusan
Pejabat Pembina Kepegawaian,” bunyi Pasal 63 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014.
Selain itu UU ini
menegaskan, calon PNS wajib menjalani masa percobaan, yang dilaksanakan melalui
proses pendidikan dan pelatihan terintegrasi, untuk membangunan integritas
moral, kejujuran, semangat dan motivasi nasionalisme dan kebangsaan, karakter
kepribadian yang unggul dan bertanggung jawab, dan memperkuat profesionalisme
serta kompetenti bidang.“Masa percobaan sebagaimana dimaksud bagi calon PNS
dilaksanakan selama 1 (satu) tahun, dan selama masa percobaan, Instansi
Pemerintah wajib memberikan pendidikan dan pelatihan kepada calon PNS,” b unyi
Pasal 64 Ayat (1,2) UU ini.
Menurut UU No. 5/2014 ini,
Calon PNS yang diangkat menjadi PNS harus memenuhi persyaratan: a. Lulus
pendidikan dan pelatihan; dan b. Sehat jasmani dan rohani. Calon PNS yang telah
memenuhi persyaratan diangkat menjadi PNS oleh Pejabat Pembina Kepegawaian, dan
calon PNS yang tidak memenuhi
diberhentikan sebagai calon PNS.
Berkaitan dengan Pangkat dan Jabatan
Pasal 68 UU ini menegaskan, PNS diangkat dalam pangkat dan jabatan tertentu
pada Instansi Pemerintah berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi,
kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi,
kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh yang bersangkutan. PNS juga
dapat diangkat dalam jabatan tertentu pada lingkungan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dengan pangkat atau
jabatan yang disesuaikan dengan pangkat dan jabatan di lingkungan instansi
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Adapun pengembangan karier
PNS dilakukan berdasarkan kulifikasi, kompetensi, penilaian kinerja, dan
kebutuhan Instansi Pemerintah, yang dilakukan dengan mempertimbangkan
integritas dan moralitas. Sementara promosi PNS dilakukan berdasarkan
perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang
dibutuhkan oleh jabatan, penilaian atas prestasi kerja, kepemimpinan,
kerjasama, kreativitas, dan pertimbangan dari tim penilai kinerja PNS pada
Instansi Pemerintah, tanpa membedakan jender, suku, agama, ras, dan golongan. “Setiap PNS yang memenuhi
syarat mempunyai hak yang sama untuk dipromosikan ke jenjang jabatan yang lebih
tinggi, yang dilakukan oleh Pejabat pembina Kepegawaian setelah mendapat
pertimbangan tim penilai kinerja PNS pada Instansi Pemerintah,” bunyi Pasal 72
Ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 itu.
Patut disadari, bahwa UU ASN merupakan produk hukum
yang cukup kompleks dan membutuhkan penafsiran yang komprehensif. Oleh karena itu dengan terbitnya UU
ASN, yakni UU No 5 Tahun 2014 diharapkan.dalam penjabaran peraturan
pelaksanaannya jangan sampai multitafsir, oleh karena
itulah, dibutuhkan banyak masukan dari berbagai pihak agar penafsiran UU ASN,
yang nantinya termanifestasi dalam PP/Perpres-nya, tidak menjadi salah sasaran
atau jauh dari harapan kolektif atas perubahan dalam manajemen SDM aparatur.
Jika kita membaca nomenklatur judul UU ini adalah, yaitu aparatur sipil negara. Dalam Pasal 1 butir 1
disebutkan bahwa aparatur sipil negara adalah “profesi bagi
pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja
(PPPK) yang bekerja pada instansi pemerintah”. Sementara itu, pada butir 2
disebutkan bahwa pegawai ASN adalah "PNS dan PPPK yang
diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan
pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan
peraturan perundang-undangan”.
Pada ketentuan umumnya
secara umum peraturan perundang-undangan memuat definisi umum dan sebuah definisi terdiri dari definiendum (objek yang dijelaskan, yang
dalam definisi di atas saya cetak miring dan bergaris bawah) dan definiens
(penjelasan dari objek tersebut). Definisi haruslah memenuhi kaidah 1)
kecukupan penjelasan; 2) ditulis dalam format baku; 3) memuat karakteristik
esensial dari objek yang didefinisikan; 4) tidak berbentuk metafora; 5) tidak
bersifat sirkuler (dapat dibalik-balik antara definiendum dan definiens);
dan umumnya 6) tidak dalam bentuk kalimat negatif. Dari hal ini, dapat dilihat
bahwa definisi yang diberikan pada konsep “ASN” dan “pegawai ASN” belum
memenuhi kecukupan penjelasan dan kurang memberikan karakteristik esensial dari
objek yang didefinisikan.
Mengacu pada definisi konsep “ASN” akan semakin membingungkan apabila dihadapkan dengan
konsep “aparatur negara” yang dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia yang didefinisikan sebagai ‘alat
kelengkapan negara, terutama yang meliputi bidang kelembagaan,
ketatalaksanaan, dan kepegawaian, yang mempunyai tanggung jawab melaksanakan
roda pemerintahan sehari-hari’. Hanya dengan penyelipan kata “sipil” di
tengah-tengah frasa “aparatur negara”, objek alat kelengkapan negara
berubah menjadi profesi dan penjelasan yang meliputi aspek yang
luas (kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian) tiba-tiba berubah menjadi
sangat sempit berupa hanya kepegawaian (PNS dan PPPK). Penjelasan atas hal ini
tentu sangat rumit dan hanya dapat ditelusuri dari risalah rapat-rapat
pembahasan UU ASN.
Sebuah kata
kunci dari subtansi UU ASN ini adalah “kinerja”. Inilah yang
harus menjadi benang merah dari keseluruhan fungsi dalam manajemen SDM aparatur
pascadiberlakukannya UU ASN kelak. Meskipun terminologi ini tidak muncul secara eksplisit dalam bagian awal UU ASN, namun semangat
“kinerja” dapat ditangkap dari asas kebijakan dan manajemen ASN (Pasal 2),
prinsip dasar ASN (Pasal 3), nilai dasar ASN (Pasal 4), dan perilaku pegawai
ASN (Pasal 5 ayat 2). Ini merupakan hal yang positif karena hampir semua best
practices manajemen SDM aparatur di negara lain juga dibangun dalam
kerangka manajemen kinerja. Oleh karena itu, manajemen ASN juga selayaknya
dibangun atas dasar manajemen kinerja. Penjabaran masukan saya adalah sebagai
berikut dan ringkasan atas masukan tersebut dapat dilihat pada akhir tulisan.
Yang menjadi menarik adalah hubungan antara Jabatan
Administrasi dan Jabatan Fungsional
Dan mari kita perhatikan adanya tingkatan dalam jabatan
administrasi (Pasal 14) dan hubungannya kelak dengan jabatan fungsional (Pasal
18). Memisahkan antara alur tugas dan alur akuntabilitas antara pejabat
struktural eselon III ke bawah dengan pejabat fungsional tertentu (JFT). Oleh
karena itu diharapkan, bahwa kedua PP
yang diamanatkan pada Pasal 17 dan Pasal 18 ayat (4) harus dapat memberikan
gambaran peta hubungan yang jelas antara jabatan administrasi dan jabatan
fungsional dalam sebuah organisasi. Meskipun nantinya kedua jenis jabatan
tersebut diatur dalam PP terpisah, kerancuan hubungan antara keduanya harus
dapat diminimasi. Jangan sampai kedua PP seakan berdiri sendiri dan kembali
membiarkan instansi menerjemahkannya dalam organigram masing-masing. Untuk itu,
pembangunan jiwa fungsional menjadi wajib dilakukan oleh setiap instansi.
Dengan jiwa fungsional, maka mutasi jabatan fungsional ke administrasi dan
sebaliknya bukan menjadi persoalan pelik. Hubungan antara pemangku kedua jenis
jabatan juga akan berlangsung lebih profesional karena pemangku jabatan
administrasi (terutama di tingkat administrator dan pengawas) juga memahami
pola kerja para pemangku jabatan fungsional.
Secara teoretik, bahwa filosofi awal pembentukan
jabatan pimpinan tinggi adalah mengadaptasi (jika enggan disebut mengadopsi)
pola senior executive services (SES) yang banyak diterapkan oleh
negara-negara maju terutama sejak berkembangnya paradigma New Public
Management (NPM). Di Amerika Serikat, pembentukan sistem SES adalah untuk menjembatani
pola dualisme jabatan karir dan jabatan politik yang telah mereka adopsi sejak
akhir abad ke-19. Di Australia, pembentukan sistem SES dilakukan sebagai bagian dari
paket reformasi sektor publik yang dilakukan Perdana Menteri Bob
Hawke pada tahun 1984. Pola ini juga kemudian diikuti banyak negara lainnya
termasuk Korea Selatan karena dianggap mampu menjadi katalisator kinerja
birokrasi. Kesamaan praktik SES di kedua negara adalah bahwa setiap pemangku
SES berperan sebagai penasihat utama (senior advisor) kepada pejabat politik
(menteri dan kepala pemerintahan), penghubung antara sistem politik murni dan
sistem birokrasi murni, pemersatu (aktor utama) dalam koordinasi antarinstansi,
dan panutan (role model) bagi birokrat dalam hal kode etik birokrat.
Kesamaan lain adalah dibutuhkannya keahlian tertentu untuk dan selama
menjadi SES (melalui diklat), diberikannya tunjangan khusus SES, dan
diterapkannya sanksi yang lebih berat bagi SES yang melakukan pelanggaran
dan/atau berkinerja buruk. Dalam UU ASN, sebagian besar karakteristik ini tidak
muncul secara eksplisit, sehingga saya katakan bahwa JPT sebenarnya hanya
perubahan nama saja dari eselon I dan II yang berlaku saat ini. Oleh karena
itu, untuk menjadikan JPT sebagai sebuah katalisator kinerja birokrasi, maka
RPP yang diamanatkan Pasal 19 ayat 4 perlu mengatur tidak hanya syarat untuk
menduduki JPT, namun juga syarat selama menduduki JPT. Sebagian syarat
dalam kelompok kedua ini sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 116-118, namun
masih belum sepenuhnya menggambarkan sebuah sistem SES yang utuh. RPP mengenai
JPT perlu mengatur adanya pendidikan dan pelatihan (diklat) yang wajib diikuti
oleh setiap pemangku JPT (dapat dibuat bergiliran sesuai capaian kinerja). Hal
ini bisa diintegrasikan dengan diklat yang disebutkan dalam Pasal 70 ayat 5 dan
6, yaitu diklat yang berupa kesempatan magang di instansi lain atau di
perusahaan swasta selama paling lama 1 (satu) tahun. Diklat lainnya juga dapat
dibuat dengan pola yang inovatif
(misalnya pendekatan 70/20/10 yang digunakan SES Australia) dan berbasis target
kinerja masing-masing pemangku JPT.[1]
Selain
diklat, setiap pemangku JPT juga perlu diberikan tanggung jawab khusus berupa
pembangunan manajemen pengetahuan (knowledge management) lintas unit
organisasi. Sebagai contoh, setiap JPT pratama di Kementerian X diwajibkan
memaparkan progres kerjanya kepada unit-unit kerja lain di kementerian tersebut
melalui sebuah forum semi-formal secara bergiliran setiap bulan. Sementara itu,
setiap JPT madya diwajibkan melakukan hal yang sama dalam forum JPT madya
setiap bulan secara bergiliran. Dengan demikian, fungsi JPT sebagai aktor utama
dalam koordinasi antarinstansi dapat berjalan secara sistemis. Ini juga akan
mendorong organisasi pemerintah menjadi organisasi pembelajar (learning
organisation).
Tentunya bagi banyak pemangku JPT (atau eselon I dan II) saat ini, mengikuti diklat
atau melakukan diskusi semacam itu dianggap sebagai kegiatan sia-sia. Pola
pikir ini perlu diubah dengan merancang diklat dan pembangunan knowledge
management sebagai bagian dari penilaian kelayakan setiap JPT. Tentu saja
harus diiringi dengan catatan agar diklat tersebut tidak menjadi “proyek
mainan” instansi yang bertanggung jawab dalam bidang diklat ini. Dengan
sistem yang terbangun sedemikian rupa, maka setiap JPT akan memiliki kesadaran
akan pentingnya koordinasi dan organisasi pembelajar, selain juga kinerja yang
tentunya akan mengiringi kedua hal tersebut.
Yang sangat penting adalah
tidak kalah penting adalah RPP mengenai JPT ini nanti perlu pula mengatur
sanksi kepada pemangku JPT. Pasal 118 ayat 4 sudah memfasilitasi sebagian dari
hal ini dengan adanya ketentuan bahwa pegawai JPT yang gagal memenuhi
kompetensi jabatannya dapat dipindahkan pada jabatan yang lebih rendah. Istilah
“jabatan yang lebih rendah” dapat diartikan sebagai “JPT madya turun menjadi
JPT pratama”, sementara “JPT pratama turun menjadi jabatan fungsional”. Tentu
ini tidak dimaksudkan untuk menekankan pada pendekatan sanksi, namun menjadi
penting untuk memastikan elemen diklat dan pembangunan organisasi pembelajar
sebagai pendamping dari kinerja dalam uji kompetensi JPT, dan sanksi dapat
mendorong itu. Akan tetapi, tanpa adanya penghargaan, sistem ini akan menjadi tidak adil.
Oleh karenanya, RPP nanti juga sebaiknya memberikan sistem penghargaan (finansial
maupun non-finansial) kepada JPT yang berhasil memenuhi persyaratan yang
dibutuhkan dan mencapai kinerja yang baik. Hanya dengan pembangunan sistem JPT
yang komprehensif-lah maka filosofi dasar pembentukan JPT dapat terlaksana
dengan baik.
Berkaitan dengan Pengembangan, Pola
Karier, Promosi, Mutasi, dan Penilaian Kinerja. Keempat hal
pertama yang menjadi subjudul di atas sebenarnya harus jalin berkelindan dengan
perencanaan dan pengadaan PNS. Seluruh aktivitas ini disatukan oleh manajemen
kinerja yang menjadi simpulnya. Artinya, keputusan untuk merencanakan,
mengadakan, mengembangkan membentuk pola karier, mempromosi/mutasi PNS di
setiap organisasi harus berlandaskan kebutuhan manajemen kinerja organisasi dan
individu. Hal ini untuk menghindari adanya rekrutmen pegawai atas dasar
kepentingan politik atau pengembangan pegawai dan promosi yang berdasarkan
kekerabatan. RPP yang diamanatkan Pasal 57, Pasal 67, dan Pasal 74 harus
disusun dengan mempertautkannya pada RPP yang diamanatkan pada Pasal 78.
Manajemen
kinerja sendiri tidak semata-mata penilaian kinerja. Manajemen kinerja meliputi
keseluruhan siklus kinerja yang setidaknya terdiri dari perencanaan kinerja,
pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, dan evaluasi kinerja. Keempat fungsi
manajemen kinerja ini harus pula didesain selaras antara level organisasi, unit
organisasi, dan individu. Ilustrasi
sederhana dari prinsip tersebut adalah sebagai berikut. Setiap organisasi
seharusnya tidak hanya diwajibkan menyusun rencana pengembangan kompetensi
tahunan (Pasal 70 ayat 4), tetapi itu harus menjadi bagian dari rencana jangka
menengah pengembangan SDM aparatur, misalnya selama 5 tahun atau sama dengan
rentang waktu perencanaan kebutuhan SDM. Kedua perencanaan ini dibangun dengan
berpedoman pada tujuan dan sasaran organisasi selama rentang waktu tersebut,
yang didapat dari dokumen renstra kementerian/lembaga atau RPJMD untuk
pemerintah daerah.
Artinya, PNS
yang akan direkrut selama periode tersebut adalah yang diharapkan dapat
mendukung pencapaian kinerja organisasi. Demikian pula dengan pengembangan
kompetensi PNS, dilakukan untuk mendukung pencapaian dan perbaikan
berkelanjutan dari kinerja organisasi. Bagaimana jika diperlukan perbaikan yang
bersifat mendesak? Dalam hal ini, organisasi dapat melakukan mutasi pegawai,
baik lintas unit organisasi maupun lintas organisasi lainnya. Apabila tidak
dimungkinkan, maka dapat dilakukan rekrutmen pegawai pemerintah dengan
perjanjian kerja (PPPK) pada posisi yang dibutuhkan untuk mendukung pencapaian
kinerja sampai dengan PNS yang ada siap untuk mengisi peran tersebut melalui
promosi. Semua ini tetap berdasarkan pada manajemen kinerja. Perlu menjadi
catatan, bahwa khusus untuk penilaian kinerja adalah agar RPP
yang disusun kelak bukan hanya memberikan baseline, tetapi juga
mendorong inovasi dalam penilaian kinerja pegawai. Apabila ada instansi yang
berinisiatif menerapkan sistem penilaian 360° (penilaian diri sendiri, atasan,
rekan setingkat, dan bawahan) misalnya, maka RPP tersebut harus dapat
memberikan apresiasi. Jika perlu, inovasi semacam itu dapat difasilitasi
dalam RPP tersebut.
Secara subtansi yang menarik adalah
adanya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Patut diketahui, bahwa keberadaan aturan mengenai PPPK
dalam UU ASN merupakan angin segar karena membuka pintu kepastian hukum atas
praktik pegawai kontrak atau honorer yang selama ini banyak diterapkan di
instansi pemerintah. Dengan adanya pengaturan terkait PPPK, maka pegawai
dimaksud tidak diatur dalam rezim UU Ketenagakerjaan tetapi dalam UU ASN dan
peraturan pelaksananya kelak. Oleh karena ini menyangkut hubungan industrial
yang tidak sederhana, maka PP yang diamanatkan dalam Pasal 107 haruslah
merupakan PP yang komprehensif agar tidak menimbulkan persoalan hukum di
kemudian hari. Saya belum memiliki keahlian dalam bidang hubungan industrial,
sehingga tidak bisa memberikan banyak masukan di bidang tersebut. Akan tetapi,
seperti halnya manajemen PNS, manajemen PPPK juga harus dibangun atas dasar
manajemen kinerja, baik pada tingkat organisasi, unit organisasi, maupun
individu.
Juga ada catatan lain adalah RPP tentang PPPK ini harus secara tegas memuat masa
kontrak maksimum seorang PPPK, karena dalam Pasal 98 hanya memuat durasi
minimum kontrak, yaitu 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Terkait ini,
sebaiknya ditetapkan durasi maksimum kontrak adalah 2 (tahun) untuk kemudian
dapat diperpanjang lagi. Hal ini untuk meminimasi potensi politisasi rekrutmen
PPPK oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, terutama pejabat pembina
kepegawaian (PPK) dan pejabat yang berwenang. Meskipun telah ada KASN sebagai
pengawas sistem merit nasional, namun dengan banyaknya jumlah PNS (saat ini
sekitar 4,7 juta) dan belum dapat diprediksinya kebutuhan atas PPPK di kemudian
hari, tentu akan lebih baik apabila celah penyelewengan dapat ditutup sejak
dini.
Selain itu,
diperlukan pula pengaturan perihal jabatan apa saja yang dapat diisi oleh PPPK.
Sebagai sebuah UU yang memiliki semangat perubahan, sebenarnya UU ASN dapat
saja memberikan peluang agar PPPK dapat mengisi seluruh jenis jabatan administrasi,
termasuk administrator (alias eselon III saat ini). Tentunya dengan catatan
bahwa posisi tersebut memang tidak dapat diisi secara optimal oleh PNS yang
ada. Yang tidak kalah penting adalah pengaturan perihal siapa yang dapat
menjadi PPPK. Saya pikir peluang rekrutmen PNS yang sudah pensiun untuk bekerja
kembali sebagai PPPK patut diminimasi karena akan menghambat regenerasi di
tubuh instansi maupun PNS secara keseluruhan.
2.Analisis Yuridis
Normatif Beberaopa Pasal UU Nomor 5 Tahun 2014
Jika dibaca secara cermat
subtansi Pasal 108-110 disusun sedemikian rupa sehingga menunjukkan bahwa JPT memang
didesain sebagai mesin utama penggerak perubahan birokrasi secara nasional
melalui proses pengisiannya yang dilakukan terbuka dan nasional (bisa
lintasinstansi). Akan tetapi, saya sesali juga karena Pasal 111 kemudian
memberikan pengecualian proses pengisian yang terbuka itu bagi “instansi yang
telah menerapkan sistem merit”. Frasa “telah menerapkan sistem merit” ini akan
menimbulkan dualisme dalam sistem pengisian JPT, karena instansi yang tidak
menyukai pengisian JPT secara nasional akan berusaha “terlihat merit” untuk
memperoleh pengecualian yang dimungkinkan oleh Pasal 111.
Yang menjadi persoalan menjadi dalam JPT, karena tidak ada atribusi dari UU ASN untuk
menyusun PP khusus mengenai pengisian JPT. Oleh karena itu, terkait hal ini perlu dimasukkan dalam PP mengenai JPT yang diamanatkan dalam Pasal 19 ayat 4
dan/atau pengaturan lebih lanjut mengenai KASN melalui Perpres sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal 42. Dalam PP yang menjadi amanat Pasal 19 ayat 4,
kiranya perlu diatur agar meskipun instansi tidak melakukan seleksi terbuka
secara nasional, namun seluruh proses yang dilakukan di internal organisasinya
tetap harus diumumkan kepada publik dan memperoleh masukan publik. Pada sisi lain
sementara itu, dalam Perpres yang menjadi amanat Pasal 42, saya berpendapat
bahwa diperlukan adanya prasyarat yang ketat bagi sebuah organisasi untuk dapat
dikatakan “telah menerapkan sistem merit”. Prasyarat ini tidak boleh sekadar
kelengkapan dokumen semata, karena ini akan mereduksi makna sistem merit. Hal
yang dapat dijadikan prasyarat misalnya instansi diharuskan untuk melakukan
survey internal kepada para pegawai dan eksternal kepada pengguna layanan.
Selain itu, KASN juga melakukan verifikasi lapangan dan pengumpulan data primer
ke instansi yang bersangkutan. Bahkan, dapat pula dilakukan audit oleh pihak
ketiga yang disetujui oleh KASN.
Berkaitan dengan keterbukaan dan cakupan nasional
dalam pengisian JPT, salah satu catatan yang menjadi kekhawatiran sebagian PNS
adalah aturan dalam Pasal 109 ayat 1 yang membolehkan JPT diisi oleh non-PNS
dengan persetujuan Presiden. Secara pribadi saya menyetujui bunyi pasal
tersebut, namun kekhawatiran adanya politisasi dengan masuknya calon pemangku
JPT yang memiliki afiliasi politik harus dapat diantisipasi dengan membuat
syarat yang tegas, misalnya calon non-PNS tidak boleh menjadi kader parpol
apapun selama 5 tahun sebelum melamar posisi JPT. Contoh lainnya adalah agar
keluarga inti hingga tingkat ke-2 dari pejabat pembina kepegawaian dan pejabat
yang berwenang dilarang melamar posisi JPT non-PNS. Di sisi hilir, manajemen
kinerja tentu juga harus diterapkan kepada setiap JPT, sehingga apabila
pemangku JPT non-PNS ini tidak berkinerja baik, maka mereka dapat dikenakan sanksi
yang tegas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk itulah
diperlukan kerangka manajemen kinerja yang andal, sehingga potensi politisasi
seperti ini dapat dimitigasi.
Secara historis, bahwa Undang-undang ini berawal dari adanya harapan untuk melakukan
perubahan pada sistem kepegawaian yang berlaku, yaitu yang diatur dalam UU
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 43 Tahun 1999. Harapan ini diapungkan pada masa Kabinet Indonesia
Bersatu I (2004-2009) oleh Menneg PAN saat itu Taufiq Efendy dan telah
disampaikan kepada Presiden agar menjadi RUU inisiatif pemerintah. Namun, atas
sejumlah pertimbangan, Presiden saat itu memutuskan untuk menunda pembahasan
RUU tersebut. Pada saat Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014) terbentuk,
dengan penambahan nomenklatur “reformasi birokrasi” bagi Kementerian PAN, usul
ini semakin tenggelam karena dianggap tidak diperlukan. Taufiq Efendy yang
ketika itu menjadi Wakil Ketua Komisi II DPR justru berpandangan bahwa jika
pemerintah tidak ingin membahas RUU tersebut sebagai inisiatif pemerintah, maka
biarkan itu menjadi inisiatif DPR.
Maka, pada
akhir 2010, dibentuklah tim pakar yang terdiri atas beberapa guru besar di
bidang ilmu administrasi publik dan Ekonomi, yaitu Mifthah Thoha, Sofian
Effendi (UGM), Prijono Tjiptoherijanto, dan Eko Prasojo (UI), untuk membantu
DPR merumuskan RUU yang kemudian dikenal sebagai UU ASN ini. Sejak saat
itu, RUU ASN bergulir seperti bola panas, terutama kepada pemerintah, karena
terdapat sejumlah ide progresif yang dianggap kontroversial, seperti
pembentukan Komisi Aparatur Sipil Negara yang berwenang melakukan seleksi
pejabat eselon I dan II, pengisian jabatan eselon I dan II dari non-PNS,
pengalihan peran Pejabat Pembina Kepegawaian kepada pejabat karir tertinggi,
penghapusan eselon III ke bawah, pemberhentian PNS atas dasar kinerja yang
buruk, hingga sanksi pidana bagi pihak-pihak yang melakukan kecurangan dalam
pengadaan CPNS dan promosi PNS.3.Bagaimana Subtansi Perubahan Dalam UU ASN dari UU Kepegawaian yang lama ?
Pertama, UU ASN memberikan koridor yang cukup baik dalam pengaturan pegawai
pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Sudah menjadi rahasia umum bahwa
pengelolaan pegawai pemerintah non-PNS alias honorer telah menjadi masalah yang
mengemuka sejak awal KIB I.
Setelahnya, banyak
pula instansi yang merekrut pegawai kontrak dengan mekanisme yang terkesan
mengada-ada (seperti seakan-akan dari perusahaan alih daya/outsourcing atau dengan
manuver melalui manipulasi anggaran untuk membayarkan honornya) untuk mengakali
ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. Penegasan aturan soal PPPK ini merupakan
jalan keluar yang patut diapresiasi, karena ini akan memisahkan PPPK dari
ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan karena UU ASN akan menjadi lex specialis
dari masalah ini.
Kedua, secara filosofis UU ASN hanya mengenal eselonisasi hingga tingkat
ke-2, yang disebut sebagai Jabatan Pimpinan Tinggi. Meskipun demikian, secara
implisit, eselonisasi tetap dipertahankan dalam nama Jabatan Administrasi.
Jabatan Administrasi terdiri atas administrator (ekuivalen dengan eselon III
dalam sistem sebelumnya), pengawas (ekuivalen dengan eselon IV dalam sistem
sebelumnya), dan pelaksana (ekuivalen dengan eselon V dan fungsional umum dalam
sistem sebelumnya).
Pesan implisit ini
membuka ruang penafsiran yang sangat luas dan berpotensi ambigu. Misalnya,
apakah seluruh jabatan eselon III memang akan dialihkan sebagai administrator?
Jika demikian, bagaimana dengan wacana pengalihan jabatan eselon III di
sejumlah instansi yang sebetulnya berkarakteristik fungsional? Hal ini baru
akan terjawab dalam peraturan pemerintah (PP) yang menjadi pelaksana UU ini
nantinya.
Ketiga, UU ini memberi pengakuan dan tanggung jawab kehormatan kepada
pejabat tinggi (high rank officials) di birokrasi, yang disebut
sebagai Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Pada dasarnya, ini merupakan manifestasi
dari gagasan senior executive service (SES) yang dulu diperkenalkan
RUU ASN versi awal. SES merupakan praktik yang lazim di negara-negara yang
telah menganut New Public Management (NPM).
Pada umumnya,
setiap SES akan memiliki tanggung jawab yang tinggi karena dia akan menjadi
penghubung antara birokrasi dengan politisi, panutan (role model) bagi
birokrat, dan penasihat utama (senior advisor) bagi pejabat politik.
Dengan tanggung jawab itu, umumnya SES akan menerima tunjangan tambahan,
pendidikan dan pelatihan khusus, dan tentunya sanksi yang lebih berat apabila
melanggar. Namun demikian, dalam UU ASN, tidak ada penjelasan terkait ketiga
hal tersebut bagi pemangku JPT. Tanpa adanya penjelasan ini, sebenarnya JPT
tidak dapat dikategorikan sebagai praktik SES.
Keempat, UU ASN mengatur tentang kelembagaan dalam manajemen SDM aparatur.
Hal ini patut diapresiasi karena potensi tumpang-tindih kewenangan antara
menteri di bidang pendayagunaan aparatur negara (sebut saja Menpan J) dan
menteri di bidang dalam negeri (sebut saja Mendagri J) sudah dapat diminimasi,
bahkan mungkin hilang.
Kewenangan penuh
berada pada Menpan, karena UU ini sekaligus menghapuskan Bab V “Kepegawaian”
dari UU 32/2004. Pengaturan kewenangan juga terdapat antara Kementerian PANRB,
Badan Kepegawaian Negara (BKN), Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan sebuah
komisi yang akan dibentuk yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Pengaturan
ini sudah cukup rapi, meskipun potensi tumpang-tindih masih bisa terjadi
terutama antara Kemenpanrb dengan BKN (Pasal 26 dan Pasal 48 huruf e). Hal ini
sangat mungkin terjadi apabila kedua instansi tidak bekerja sama dalam
pelaksanaan tugas tersebut.
Kelima, UU ini menjadi dasar pembentukan KASN. Bagi sebagian orang, ini
mungkin dianggap sebagai titik lemah UU ASN, namun bagi saya pribadi,
pembentukan KASN adalah manifestasi dari praktik governance di bidang pendayagunaan
aparatur negara. Prinsip dasar dari governance adalah perluasan pelaksana
pemerintahan dari pemerintah kepada aktor lain di negara, yaitu masyarakat
sipil (civil society) dan sektor swasta.
Di Indonesia, hal
ini terejawantahkan dalam bentuk Lembaga Non Struktural (LNS). Saya sadar bahwa
sejumlah LNS tidak berfungsi secara efektif dan cenderung mengakibatkan
inefisiensi anggaran negara, namun saya pikir tidak untuk KASN. PNS adalah
unsur yang penting dalam penyelenggaraan negara, bahkan seringkali PNS lebih
berkuasa dibandingkan pejabat politik karena memiliki budaya organisasi dan
pengalaman yang lebih dibandingkan sebagian pejabat politik.
Oleh karena itu,
tidak jarang pejabat politik (misalnya menteri atau kepala daerah) gagal
menjalankan organisasinya karena tidak memiliki PNS yang berkualitas baik.
Apabila seluruh proses terkait manajemen PNS diserahkan hanya kepada PNS
(Kemenpanrb, BKN, LAN), maka terdapat potensi “saling melindungi” yang
berakibat tidak efektifnya manajemen PNS tersebut. Oleh karenanya, dibutuhkan
KASN yang keanggotannya dapat diisi oleh PNS maupun non-PNS.
Namun demikian,
tentunya dibutuhkan pengaturan yang lebih komprehensif agar KASN dapat
berfungsi efektif. Hal ini terkait dengan tugas dan kewenangan yang dimiliki KASN,
salah satunya mengawasi proses pengisian JPT. Dengan perkiraan jumlah eselon I
dan II (setara JPT) di Indonesia yang per Agustus 2013 mencapai 15.726 jabatan
(3.318 pegawai instansi pusat dan sisanya pegawai pemerintah daerah), mekanisme
pengawasan seperti apa yang dapat dibangun oleh KASN untuk memastikan pengisian
jabatan ini berjalan efektif?
Apabila 15.000-an
jabatan ini dapat dipastikan terisi oleh orang-orang yang berkualitas dan
berintegritas, maka sebetulnya ini bukan angka yang tinggi, karena mereka ini
nantinya akan memimpin sekitar 4,4 juta PNS di seluruh Indonesia. Tentu ini
merupakan pengungkit yang luar biasa bagi perbaikan birokrasi Indonesia. Inilah
yang kiranya patut menjadi perhatian lebih lanjut, agar KASN tidak bernasib
sama dengan sejumlah LNS lain yang seakan sia-sia.
Keenam, UU ASN secara eksplisit menyebutkan bentuk pengembangan karier PNS
dengan pemberian kesempatan praktik kerja di instansi lain termasuk perusahaan
swasta paling lama selama satu tahun (Pasal 70 ayat 5 dan 6). Ketentuan ini
mengingatkan saya pada gagasan reform leaders academy yang dicetuskan
oleh Philia Wibowo, partner McKinsey Indonesia yang juga salah seorang anggota
Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional.
Dalam penjelasan
ayat 6, disebutkan pula bahwa pemerintah dapat membuka kesempatan kepada
pegawai swasta untuk menduduki jabatan ASN sesuai persyaratan kompetensi paling
lama satu tahun. Ini merupakan terobosan yang patut diapresiasi. Saya cukup
terkejut membaca adanya ketentuan ini dalam versi akhir RUU ASN. Namun
demikian, pengaturan tentang “dapat” ini harus disusun dengan seksama agar
tidak menjadi sia-sia karena di lapangan nanti pelaksana menganggap hal
tersebut tidak dibutuhkan.
Ketujuh, UU ASN membuka peluang diberhentikannya PNS atas alasan kinerja
(Pasal 77 ayat 6). Hal ini tentu patut diapresiasi karena memberikan nuansa
baru dalam birokrasi terutama dalam hal penilaian kinerja PNS. Namun demikian,
patut dinanti bagaimana pengaturan lanjutannya dalam PP yang diamanatkan
kemudian. Kedelapan, atas penilaian kinerja PNS tersebut juga akan diberikan
tunjangan kinerja (Pasal 80 ayat 3). Kedua hal ini tentu menjadi tantangan
tersendiri bagi birokrasi untuk membangun sistem manajemen kinerja yang
komprehensif.
Kedelapan, UU ASN menjadikan pengisian JPT terbuka secara nasional. JPT
sendiri terdiri dari tiga tingkatan, yaitu JPT utama (yang kini ekuivalen
dengan Kepala LPNK), JPT madya (yang kini ekuivalen dengan eselon I), dan JPT
pratama (yang kini ekuivalen dengan eselon II).
Pengisian JPT
utama dan madya dilakukan secara nasional. Artinya, setiap PNS yang memenuhi
kriteria yang dibutuhkan akan dapat melamar pada lowongan JPT yang dibuka pada
setiap instansi. Sebagai contoh, seorang PNS dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan dapat melamar sebagai Sekretaris Daerah Provinsi X. Ketentuan lain
adalah dimungkinkannya pengisian JPT utama dan madya dari kalangan non-PNS atas
persetujuan Presiden (Pasal 109 ayat 1). Seluruh proses pengisian JPT dilakukan
melalui tim seleksi yang dibentuk oleh masing-masing instansi dengan anggota
tim seleksi terdiri dari internal dan eksternal instansi.Namun demikian,
gagasan yang cukup baik ini menimbulkan ambivalensi ketika disebutkan dalam
Pasal 111 bahwa aturan ini “dikecualikan bagi instansi pemerintah yang telah
menerapkan sistem merit dalam pembinaan pegawai ASN dengan persetujuan KASN”. Pengecualian
ini dapat dilihat dari kacamata positif maupun negatif. Dari sisi positif, ini
memberi ruang bagi pejabat pembina kepegawaian di instansi untuk mengembangkan
sistem manajemen SDM aparaturnya sendiri, atau dalam istilah populernya let
the manager manages. Namun demikian, pengecualian ini juga akan
memunculkan ambivalensi manakala instansi yang dikatakan sudah menerapkan
“sistem merit” ini tidak ingin membuka diri kepada PNS dari instansi lain. Dualisme ini
dapat mengarah pada kesia-siaan karena nantinya instansi akan cenderung
melakukan penutupan diri tersebut dengan bungkus “sistem merit” yang izinnya
dapat diperpanjang layaknya SIM (Surat Izin Mengemudi, atau dalam hal ini mungkin
lebih tepat sebagai Surat Izin Merit). Pengecualian ini juga sejatinya
menunjukkan bahwa dalam birokrasi pemerintah masih terdapat ego sektoral,
karena saya dapat menangkap instansi mana yang akan mengajukan pengecualian ini
nantinya. Oleh karena itu, pengecualian sebaiknya terbatas pada detail
mekanismenya semata, tapi tidak boleh menutup kesempatan yang dimiliki setiap
pegawai di penjuru NKRI untuk menduduki JPT. Jangan sampai fungsi ASN sebagai
perekat dan pemersatu bangsa menjadi pudar dengan pengecualian atas nama
“sistem merit”, karena sistem merit tidak berarti menutup kemungkinan pegawai
daerah menduduki JPT di pusat dan sebaliknya.
Kesembilan,
UU ASN memperkenalkan sistem kontrak pada JPT,
yang berlaku per lima tahun. Hal ini mirip dengan yang dilakukan Australia,
yaitu jabatan secretary di setiap kementerian hanya dapat diisi selama
lima tahun dan selanjutnya harus dipilih kembali. Dengan demikian, diharapkan
terjadi penyegaran dan tidak ada “pengkaplingan” jabatan oleh seseorang atau
sekelompok orang. Bahkan, pemangku JPT yang gagal memenuhi target kinerja
selama 1 tahun akan diberi kesempatan 6 bulan untuk ditinjau ulang. Artinya,
kinerja kembali menjadi kata kunci dalam manajemen SDM aparatur. Tentu saja hal
ini masih harus dipersenjatai dengan peraturan pelaksananya nanti.
Sembilan butir
tersebut kiranya yang patut menjadi perhatian karena memberikan nuansa baru
dalam manajemen SDM aparatur. Sebenarnya masih ada sejumlah hal lain seperti
pensiun, korps pegawai, dan lain-lain, namun dalam pandangan saya pribadi tidak
terlalu signifikan dibandingkan kesepuluh hal di atas.
4.Peluang dan Tatangan UU ASN Dalam
Rangka Reformasi Birokrasi
Berdasarkan sembilan
masalah krusial dalam UU ASN, namun bagaimanapun, UU ASN merupakan UU yang cukup fleksibel karena
sebagian besar ketentuan di dalamnya bersifat multiinterpretasi. Oleh karena
itu, dibutuhkan kontrol publik yang ketat dalam proses penyusunan peraturan
pelaksana dari UU ASN (yang dalam perhitungan sederhana saya terdapat 3
Perpres, 19 PP, dan 1 Permenpan, dengan jumlah PP bisa saja lebih tergantung
pemisahan materinya).
Adakah sebuah diskriminasi dalam UU
ASN ? [3]
bahwasannya Pegawai Negeri Sipil, adalah sebuah profesi dan sebuah pekerjaan.
PNS sama halnya dengan profesi lainnya seperti pengacara, akuntan publik,
notaris, pengusaha, konsultan, artis, wartawan, petani, buruh pabrik dan
sebagainya.
Sebagaimana pengertian ASN yang termaktub
dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, bahwasanya ASN itu adalah
sebuah profesi yang menyatakan bahwa : “Aparatur Sipil Negara yang
selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah
dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.”
Karena PNS adalah profesi maka PNS selaku warga negara
berhak untuk mendapatkan perlindungan profesi dari negara, dan ini dijamin oleh
konstitusi UUD 1945 yakni; pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “Tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Pasal 28 D ayat (2) yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Oleh
sebab itu, PNS sebagai sebuah profesi, maka segala hak dan kewajiban
PNS haruslah sama, adil dan setara dengan segala macam jenis pekerjaan dan
profesi yang ada di Indonesia.
Profesi PNS dalam kaitannya dengan pengejewantahan UUD
1945 yakni hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan hak untuk memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan, sebagaimana yang dijamin dalam Pasal
27 ayat (1) “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.” Dan Pasal 28 (D) ayat (3) yang berbunyi “Setiap warga negara
berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Maka profesi
PNS untuk menduduki jabatan negara adalah hak azazi mereka yang tidak
boleh dibatasi dan diamputasi.
Namun akibat pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 pasal 119 dan 123 ayat (3) tersebut, menimbulkan konsekuensi diskriminasi
terhadap persamaan hak didepan hukum dan pemerintahan bagi PNS. Dimana PNS jika
mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menduduki jabatan negara (sebagaimana
yang disebutkan diawal), mereka diwajibkan menyatakan pengunduran
diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar bagi
keberadaan profesi PNS, mengapa bagiPNS jika mereka mencalonkan diri atau
dicalonkan untuk menduduki jabatan negara tersebut, mereka harus mengundurkan
diri sejak pencalonannya ? disini sangat kentara terlihat perlakuan yang tidak
adil dan tidak sama perlakuannya dengan profesi lainnya. Mengapa hak azazi
mereka untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan diamputasi
dan didiskriminasi ?
Jika kita bandingkan dengan profesi lainnya, maka
sangat terlihat dengan jelas betapa diskriminasi profesi sangat kentara
dililitkan pada profesi PNS. Diantaranya dapat kita bandingkan dengan beberapa
profesi yang telah memiliki kekuatan hukum, seperti profesi advokat yang diatur
dalam UU Nomor 18 Tahun 2003, bagi advokat jika mereka menjabat dalam jabatan
negara sebagaimana yang diatur dalam pasal (20) ayat (3) bahwa
“Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi advokat
selama memangku jabatan tersebut.”
Dalam UU ini jika advokat mencalonkan diri atau
dicalonkan menjadi pejabat negara tidak ada aturan yang mewajibkan advokat
untuk berhenti dari profesi keadvokatannya. Hanya tidak boleh melaksanakan
tugas profesi advokat selama memangku jabatan negara, artinya jika tidak
menjadi pejabat negara lagi mereka bisa otomatis kembali menjadi advokat.
Begitupun halnya dengan profesi notaris, yang
dikuatkan dengan UU nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 11 ayat
(1) “Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara wajib mengambil cuti.”Ayat
(2) “Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama Notaris memangku
jabatan sebagai pejabat negara.” Ayat (6) “Notaris yang tidak lagi menjabat
sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan
kembali jabatan Notaris dan Protokol Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diserahkan kembali kepadanya.”
Dalam UU tentang jabatan notaris ini, diakui dan
dilindungi hak warga negara dalam menjalankan profesinya dan hak politiknya
untuk menduduki jabatan negara. Tidak ada klausal yang mewajibkan profesi
notaris untuk menyatakan pengunduran diri dari profesinya secara tertulis jika
mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menduduki jabatan negara. Tetapi
diwajibkan cuti selama memangku jabatan negara, dan dipulihkan kembali profesi
notarisnya jika sudah tidak mengabdi lagi di jabatan negara, sangat adil dan
fair.
Begitupun dengan profesi lainya, seperti profesi
akuntan publik, profesi dokter, profesi guru dan dosen yang bukan PNS dan
berbagai profesi lainnya.
Beberapa contoh perbandingan profesi diatas yang ada
di Indonesia, yang sudah jelas diatur dalam UU, berbeda sekali
perlakuan yang disematkan bagi profesi PNS yang mana jenis, materi dan subjek
hukumnya sangat sama yakni untuk menduduki jabatan negara.
Perbandingan jenis profesi ini akan sangat panjang dan
akan semakin kelihatan diskriminasinya jika kita tambah perbandingannya dengan
berbagai macam jenis profesi lainnya yang tidak atau belum diatur oleh Undang
Undang, seperti profesi pengusaha, profesi buruh, profesi petani, profesi
wartawan, profesi artis dan sebagainya. Mereka bebas mencalonkan dirinya dalam
jabatan negara apapun dan apabila tidak terpilih atau telah selesai
pengabdiannya sebagai pejabat negara mereka bisa kembali menekuni profesi
awalnya. Sehingga hak azazi mereka untuk kembali beraktifitas pada jenis
pekerjaan/profesi mereka semula tidak hilang dan dilindungi.
Adanya diskriminasi terhadap jenis profesi ini, maka
bagi PNS menimbulkan akibat hukum yakni terjadinya pelanggaran dan pengingkaran
terhadap hak azazi PNS sebagai warga negara sebagaimana yang dijamin oleh UUD
1945 yakni, Pasal 28 I ayat (2) yang berbunyi : “Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Karena itu seyogyanya UU ASN ini dikaji kembali oleh
segenap elemen bangsa terutama PNS sendiri jika ingin membangun bangsa ini
dalam koridor keadilan, kesetaraan dan kebersamaan.
Matriks Ringkasan Masukan atas PP/Perpres UU ASN
Nomor Pasal
|
Perihal
|
Masukan
|
Keterkaitan dengan Pasal Lain
|
17
|
Jabatan administrasi dan
jabatan fungsional
|
Perlu memuat hubungan antara jabatan fungsional dan
jabatan administrasi
Perlu mendorong uji kompetensi jabatan fungsional
bagi seluruh pemangku jabatan eselon III dan IV saat ini
Perlu mendorong pola kerja gugus tugas (cluster/task
force), pertukarang pengetahuan (knowledge sharing), dan rotasi
subkelompok dalam kelompok jabatan fungsional
|
|
19 ayat 4
|
Jabatan pimpinan tinggi
|
Perlu mengatur peran pemangku JPT sebagai senior
advisor, penghubung antara birokrasi dan politik, pemersatu dalam
koordinasi lintas instansi, dan role model dalam penerapan kode etik
dan kode perilaku.
Perlu mengatur bukan hanya syarat untuk
menjadi JPT, tetapi juga syarat selama menjadi JPT, termasuk diklat
khusus dan pengembangan manajemen pengetahuan.
Perlu dibangun sistem sanksi bagi JPT yang gagal
memenuhi syarat jabatannya.
Perlu aturan untuk meminimasi peluang seleksi
internal dalam pengisian JPT, yaitu dengan mengharuskan “instansi yang telah
menerapkan sistem merit” mengumumkan kepada publik setiap proses seleksi
JPT-nya dan membuka kesempatan publik memberi masukan.
Perlu ada pembatasan non-PNS yang akan menduduki
JPT, misalnya berupa:
o Minimal 5 tahun terakhir tidak menjadi kader parpol
o Bukan merupakan keluarga inti dan tingkatan kedua
dari pejabat pembina kepegawaian atau pejabat yang berwenang
o Manajemen kinerja yang jelas dan tegas untuk JPT
non-PNS yang tidak berkinerja baik.
|
Pasal 70 ayat 5 dan 6
(terkait diklat khusus)
Pasal 118 ayat 4 (terkait
sanksi)
Pasal 111 (terkait pengisian
JPT)
Pasal 109 ayat 1 (terkait
JPT non-PNS)
|
Pasal 42
|
KASN à Pengisian
JPT
|
· Perlu ada prasyarat yang ketat bagi instansi untuk dikatakan “telah
menerapkan sistem merit”
· Contoh prasyarat:
o Melakukan
survey internal dan eksternal
o Verifikasi
lapangan dari KASN
o Audit oleh
pihak ketiga yang ditunjuk atau disetujui KASN
|
Pasal 111 (pengecualian dalam pengisian JPT)
|
Pasal 57
Pasal 67
Pasal 74
Pasal 78
|
Penyusunan kebutuhan CPNS
Pengadaan CPNS
Pengembangan karier, pengembangan kompetensi, pola karier, promosi,
mutasi
Penilaian kinerja
|
· Keempat PP perlu memiliki benang merah berupa manajemen kinerja
· Perencanaan pengembangan pegawai sebaiknya selaras dengan perencanaan
kebutuhan pegawai yaitu 5 tahun. Keduanya merupakan turunan dari renstra K/L
atau RPJMD Pemda
· PP terkait penilaian kinerja perlu mendorong inovasi dalam manajemen
kinerja, sehingga tidak semata-mata menjadi baseline
|
Seluruh pasal terkait PPPK dan JPT
|
Pasal 107
|
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)
|
· Perlu memerhatikan komprehensivitas hubungan industrial (dapat mencontoh
pola yang dikembangkan dalam UU Ketenagakerjaan tapi tidak sepenuhnya meniru)
· Keberadaan PPPK tetap dalam koridor manajemen kinerja, sehingga
perencanaan kebutuhan PPPK juga terintegrasi dengan perencanaan kebutuhan PNS
dan perencanaan pengembangan pegawai, yaitu berlandaskan renstra K/L dan
RPJMD pemda.
· Perlu ada penegasan durasi maksimum setiap termin kontrak, misalnya 2
(dua) tahun
· Perlu memuat jenis jabatan yang dapat diduduki PPPK (sebaiknya bukan fungsional
keahlian)
· Perlu dipertimbangkan agar PPPK dapat menduduki jabatan administrator
dengan syarat tertentu
· Perlu diatur agar PNS yang telah pensiun tidak dapat menjadi PPPK
|
Salah satu
yang paling menarik dalam substansi UU ASN adalah berkenaan dengan Pangkat dan
Jabatan., Pengembangan Karier, Pola Karier dan Promosi. Pembahasan terhadap
keempat materi tersebut disusun secara berurutan yakni pasal 68, 69, 70 dan 71
UU Aparatur Sipil Negara.
Jabatan pemerintahan adalah salah
satu poin penting yang sangat diperhatikan dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.
permasalahan jabatan yang kerap kali ditemukan dalam praktek penyelenggaraan
pemerintahan sebelumnya sepertinya memberikan sudut pandang yang berbeda dari
pemerintah dan DPR untuk dapat lebih mengoptimalkan kinerja dan efektifitas
para pejabat pemerintah. Permasalahan seperti penempatan
pegawai ke dalam jabatan yang tidak sesuai dengan kompetensi dan latar belakang
pendidikan, sitem merit yang belum sepenuhnya berjalan secara obyektif serta
lekatnya kepentingan para pejabat politik dalam penempatan pegawai dalam
jabatan terutama jabatan struktural terbukti sangat mempengaruhi materi
penyusunan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara ini.
Pakta-pakta
seperti jabatan pengelola keuangan yang diisi oleh pegawai dengan latar
belakang pendidikan non keuangan, pejabat bidang pemerintahan yang berasal dari
seorang sarjana ekonomi, atau bahkan seorang dokter gigi yang ditempatkan untuk
mengelola bidang ketentraman dan ketertiban adalah beberapa contoh nyata carut
marut mutasi dan promosi jabatan pada instansi pemerintahan.
Hal ini
menyebabkan dalam UU terbaru ini ditegaskan keharusan jabatan disesuaikan
dengan kompetensi, kualifikasi dan persyaratan yang dimiliki seorang pegawai,
Pasal 68 ayat 2 yang berbunyi : “Pengangkatan PNS dalam jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi,
dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi,
dan persyaratan yang dimiliki oleh pegawai.”
Pasal tersebut
mengisyarakat bahwa ketentuan pertama dalam menempatkan pegawai ke dalam
jabatan tertentu adalah dengan membandingkan antara kompetensi, kualifikasi dan
persyaratan pegawai dengan komptensi, kualifikasi dan persyaratan jabatan. Jika kompetensi,
kualifikasi dan peryaratan saya artikan sebagai mutu pegawai dan kompetensi,
kualifikasi dan peryaratan saya artikan sebagai standar jabatan maka tabelnya
adalah sebagai berikut
Perbandingan
|
Hasil
|
Mutu pegawai =
standar jabatan
|
Layak
|
Mutu pegawai >
standar jabatan
|
Layak
|
Mutu pegawai <
standar jabatan
|
Tidak Layak
|
Selain
ketentuan tersebut di atas Pasal 68 ayat 3 berbunyi :“Setiap jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikelompokkan dalam klasifikasi jabatan PNS yang menunjukkan kesamaan
karakteristik, mekanisme, dan pola kerja.” Ketentuan tersebut
menunjukkan bahwa sebelum menentukan pengangkatan pegawai dalam jabatan
tertentu maka perlu disusun sebuah pedoman tentang klasifikasi jabatan yang
disesuaikan dengan karakteristik, mekanisme dan pola kerja.
Hal ini menurut penulis adalah nilai plus dan merupakan langkah yang cemerlang,
karena dengan melakukan pengklasifikasian jabatan maka pegawai akan memiliki
kepastian apakah ia sesuai dengan jabatan tertentu atau sebaliknya. Dengan
kepastian ini maka ia memiliki jaminan terhadap masa depan karirnya yang akan
menuntut dia ke dalam proses pelaksanaan tugas yang efektif. Hanya yang perlu
diperhatikan di sini adalah akurasi pengklasifikasian. Dengan pengklasifikasian
yang tepat maka penempatan pegawai dalam jabatan tertentu akan sesuai dengan
kompetensinya, akan tetapi jika pengklasifikasian tersebut tidak tepat maka
masih akan tetap terjadi penempatan yang orang salah dalam jabatan yang salah “wrong man in the wrong place”.
Selain berkenaan
dengan beberapa hal di atas ketentuan tentang pangkat dan jabatan dalam UU ASN
ini juga memberikan peluang bagi pegawai untuk dapat berpindah antara instansi
daerah, propinsi maupun pusat, juga dimungkinkan adanya pengisian jabatan TNI
dan Polri dari aparatur sipil.
Lebih lanjut berkenaan
dengan pangkat dan jabatan ini akan kita lihat dalam peraturan pelaksanaannya
yang akan disusun kemudian, semoga peraturan pelaksanaannya nanti mampu
menjabarkan secara tepat substansi pasal 68 ini, sehingga tercipta mekanisme
penempatan pegawai dalam jabatan yang lebih obyektif yang mampu memacu kinerja
pegawai sipil negara.
Dengan akurasi yang
optimal dalam pengklasifikasian maka saya yakin akan membawa perubahan nyata
terhadap kinerja pegawai dan organisasi karena
Lebih dari itu kita
juga berharap dengan kehadiran KASN mampu mengawasi pelaksanaan ketentuan ini
secara optimal sehingga kedepan tidak lagi kita temukan penempatan pegawai yang
tidak sesuai dengan latar belakang dan kompetensinya.
2.Pengembangan
Karir
Pengembangan karier
dapat kita artikan sebagai sebuah pergerakan vertikal dari jabatan pegawai
negara atau aparatur sipil, yakni naik atau turunnya seorang pegawai dalam
pangkat maupun jabatannya. Berkenaan dengan pengambangan karier ini UU ASN
memberikan isyarat untuk diperhatikannya enam hal sebagaimana tercantum dalam
Pasal 69 Ayat 1 dan 2 yakni
1.
Kualifikasi:
2.
Kompetensi:
3.
Kinerja;
4.
Kebutuhan organisasi;
5.
Mempertimbangkan
Integritas;
6.
Mempertimbangkan
Moralitas.
Kualifikasi yang
dimaksud meskipun tidak dijelaskan dalam ketentuan undang-undang ini, saya
memandangnya sangat berkaitan erat dengan pengklasifikasian yang diamanatkan
dalam Pasal 68. Setelah dilakukan pengklasifikasi jabatan maka tentunya akan
mengerucut pada ketentuan jabatan tertentu yang hanya dapat diisi oleh pegawai
dengan kualifikasi tertentu. Pegawai yang tidak sesuai dengan kualifikasi
jabatan tersebut otomatis gugur dan tak dapat menempati jabatan tersebut.
Kualifikasi ini dapat dilihat dari senioritas dan dafatar urut kepangkatan.
Kompetensi yang
dimaksud di atas dijelaskan dalam ayat selanjutnya yakni ayat 3 pasal 69 berupa
kompetensi teknis (pendidikan, diklat teknis dan pengalaman), kompetensi
manajerial (tingkat pendidikan, diklat struktural dan pengalaman) dan
kompetensi sosiokultural tentunya kompetensi terakhir ini sangat berkaitan
dengan kemampuan pegawai dalam memahami kondisi masyarakat yang dilayani.
Berkenaan dengan
kompetensi memang ada beberapa yang absurd seperti kompetensi sosiokultural
yang memang sulit untuk diukur serta indikatornyapun akan dapat kita artikan
secara berbeda antara satu pegawai dengan pegawai lainnya. Perbedaan pandangan
terhadap komptensi ini akan sangat mungkin terjadi. Akan tetapi untuk kompetensi teknis dan manajerial sesungguhnya kita dapat
menyusun sebuah indikator yang terukur dan disepakati bersama, misal tentang
pendidikan teknis ini tentunya dapat dilihat dari latar belakang pendidikan,
diklat teknis dan kursus-kursus yang pernah diikuti. Pun dengan kemampuan
Manajerial ia dapat diukur dengan melihat pengalaman bekerja atau pengalaman
menduduki jabatan tertentu, diklat struktural yang telah diikuti dan lain
sebagainya. Akan tetapi yang perlu
diperhatikan di sini tataran pelaksanaan. jika saat ini masih banyak terjadi
pegawai yang melaksanakan pendidikan setelah ia duduk dalam jabatan, maka
sebaiknya hal tersebut tidak boleh terjadi lagi. Disinilah penting ketentuan
pelaksanaan yang secara tepat menjabarkan substansi pasal ini dengan tegas.
Jangan ada peluang untuk kemungkinan hal itu terjadi. Misalnya kenaikan pangkat
pilihan dan istimewa, ini adalah beberapa peluang yang membuat ketentuan
terdahulu tidak tegas. Jikapun harus ada kenaikan pangkat seperti itu maka
indikatornya harus jelas dan terukur.
Berkenaan dengan
kinerja, saya sangat konsern terhadap hal ini. Organisasi pemerintah tentunya
bukanlah organisasi privat yang dapat relatif lebih mudah mengukur kinerja
pegawainya. Jika dalam organisasi privat kita dapat mengukur kinerja dengan
membandingkan input dengan output, melihat keuntungan perusahaan yang meningkat
maka dalam organisasi pemerintah yang nirlaba maka kinerja tidak dapat diukur
dari jumlah uang atau materi yang dihasilkan.
Oleh Karena itu perlu
disusun sebuah indikator jelas dan terukur berkaitan dengan kinerja pegawai.
Kehadiran Tim Penilai Kinerja sebagaimana amanat Pasal 72 Undang-Undang ini
adalah merupakan langkah positif. Tentunya denga ketentuan pelaksanaan Tim ini
harus obyektif. Tim harus mampu melaksanakan tugasnya secara profesional, jujur
dan transfaran melalui indikator pengukuran yang terukur.
Jangan sampai
keberadaan tim Penilai ini serupa dengan keberadaan Baperjakat saat ini yang
sarat dengan kepentingan politik. Penempatan pegawai sesuai dengan kompetensi tentunya bukan tanpa resiko, permasalahan
yang akan muncul dengan penempatan pegawai sesuai dengan kompetensi adalah
kemungkinan terjadinya ketidak seimbangan jumlah pegawai.
Kita menyadari bahwa
kondisi pegawai pemerintah saat ini berdasarkan kemampuan atau komeptensi
sangatlah tidak seimbang. Pegawai dalam beberapa sektor yang bersifat teknis
seperti sektor kesehatan, sektor keuangan serta sektor teknis lainya dirasakan
masih jauh dari memadai baik kuantitas maupun kualitanyas.
Kebanyakan pegawai
negeri saat ini memiliki latar belakang sarjana pemerintahan, manajemen maupun
sarjana administrasi negara. sehingga jika kebijakan penempatan pegawai harus
disesuaikan denga latar belakang pendidikan dan kompetensi maka kemungkinan
Instansi pada bidang pemerintahan umum akan over kapasitas sementara pegawai
pada instansi teknis akan kekurangan pegawai. Akan tetapi hal
tersebut saya kira akan mampu kita selesaikan dengan merancang sebuah metode
pendidikan khusus untuk meningkatkan kompetensi pegawai dalam bidang tertentu.
Pelaksanakan pendidikan pelatihan formal semisal pra jabatan, diklat pim serta
kursus-kursus spesialisasi haruslah segera dirancang disesuaikan dengan bidang
tugas pegawai masing-masing.
Pembagian jurusan
ketika Prajabatan, diklat kepemimpinan maupun kursus-kursus yang dilaksanakan
oleh pemerintah kedepan perlu disusun sedemikian rupa. Sehingga tentunya selain
kemampuan manajerial yang coba ditanamkan dalam pendidikan tersebut
pengetahuan-pengetahuan teknispun tidak luput untuk disampaikan sebagai bagian
dari mata pelajaran pendidikan. Dengan begitu meskipun latar belakang pendidikan tidak
sesuai dengan lingkungan pekerjaan akan tetapi akselerasi melalui diklat akan
dapat membuat pegawai mengejar ketertinggalannya dari para pegawai yang
memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang penugasannya
tersebut. Hal ini adalah
tanggung jawab Lembaga Administrasi Negara sebagai lembaga yang memiliki
kewenangan dalam upaya pengembangan kompetensi pegawai sebagaiman tercantum
dalam Pasal 43 dan 44 huruf b yakni “membina dan menyelenggarakan pendidikan
dan pelatihan Pegawai ASN berbasis kompetensi”.
Pelatihan berbasis
kompetensi ini saya maknai sebagai sebuah pendidikan yang dirancang untuk
mengambangkan kemampuan pegawai disesuaikan dengan komptensi yang dimilikinya.
Sehingga mengadakan jurusan dalam jenjang pendidikan karir serta pendidikan
khusus harus senatiasa dilakukan secara terprogram sistematis dan baku. Untuk mewujudkan hal tersebut tentunya Lembaga
Administasi Negara perlu menyusun sebuah metode baku tentang jenjang pengembangan
kompetensi pegawai yang terprogram, sistematis, berbasis kompetensi, serta
mendukung pengembangan karir para pegawai. Jabatan bagaimanapun
juga merupakan idaman dan keinginan dari setiap pegawai, oleh karena itu
jaminan yang jelas terhadap pengembangan karir seorang pegawai adalah sebuah
keniscayaan bagi terciptanya organisasi yang efektif.
Menciptakan organisasi
yang efektif haruslah dimulai dari meningkatkan efektifitas pegawai. Tanpa ada
jaminan terhadap pengembangan karir seorang pegawai maka peningkatan
efektifitas organisasi adalah sebuah kemustahilan. Hal itulah yang selama ini terjadi, tidak adanya pola pengembangan karir
yang jelas menyebabkan pegawai tidak memiliki motivasi untuk berprestasi, hal
ini menyebabkan organisasi berjalan di tempat atau paling tidak berjalan
lambat. Oleh karena itu pengembangan karier yang jelas dan
terukur sangatlah penting untuk disusun.
Masih berkenaan dengan
pengembangan Karir, UU ASN ini juga menciptakan sebuah terubusan baru dalam hal
peningkatan Komptensi Pegawai Negeri yakni sebagaimana tercantum dalam Pasal 70
Ayat 2, yang pada intinya adalah tentang perlunya disusun sebuah rencana
pengembangan kompetensi pegawai negeri per tahun Anggaran. Pelaksanaan
pengembangan potensi tersebut lebih rinci dijelaskan dalam pasal 70 ayat 3 dan
4 yakni melalui penempatan sementara (magang) di beberapa instansi baik pusat
maupun daerah paling lama 1 tahun serta melalui pertukaran dengan instansi
swasta dengan jangka waktu paling lama satu Tahun.Seluruh kegiatan tersebut dilakukan melalui koordinasi dengan Lembaga
Administrasi Negara (LAN) Meskipun ini terobosan yang sangat baik akan tetapi
memang menjadi sebuah pertanyaan. Apakah cara lain dapat digunakan? Karena
dengan ketentuan pasal 70 ayat 3 dan 4, maka seolah-olah upaya pengembangan
kompetensi pegawai dibatasi kepada dua cara tersebut. Padahal sesungguhnya
masih banyak upaya lain untuk mengembangkan kompetensi pegawai, seperti melalui
kursus dan pelatihan oleh lembaga-lembaga profesional.
3.Pola Karier
ASN
Pola Karier seyogyanya sangat berhubungan erat dengan
pengembangan Karier. Isi Pasal 71 Ayat 1 dan 2 UU ASN yang membahas tentang pola karier menunjukkan
tentang pentingnya disusun sebuah pola karier yang terintegrasi dan bersifat
nasional (Pasal 1) dan penyusunan tersebut dilaksanakan oleh masing-masing
instansi pemerintah (2). Ketentuan tersebut
dapat diartikan bahwa pola karier meskipun disusun oleh masing-masing instansi
baik pemerintah pusat (kementerian, non kementerian dan lembaga negara lainnya)
pemerintah provinsi dan Kabupaten/kota, akan tetapi harus terintegrasi secara
nasional.
Jika Pengembangan karier menunjuk pada pegawai, yakni
upaya meningkatkan karier pegawai, maka pola karier adalah cetak biru atau
pedoman terhadap kemungkinan jenjang karier yang akan dilalui oleh seorang
pegawai. Pola karier ini juga
selain berfungsi untuk sebagai pedoman penjenganjang karir pegawai berfungsi
juga sebagai alat memotovasi pegawai dalam bekerja. Pola karir yang baik akan
memberikan kepastian kepada pegawai tentang pelaksanaan tugasnya yang akan
menentukan masa depannya dalam organisasi.
Kepastian seperti promosi dalam jabatan, sanksi
terhadap pelanggaran sebagai akibat dari pekerjaanya akan memacu pegawai untuk
senantiasa bekerja secara maksimal. Oleh karena itu pola karir yang jelas
sangatlah dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja pegawai yang akan berujung
kepada kinerja pemerintah secara keseluruhan.
Pola karier ini meskipun belum dijelaskan dalam
Undang-Undang ini, menurut saya di dalamnya harus mencakup pembagian jabatan
berdasarkan kompetensi, karakteristik, mekanisme dan pola kerja sebagaimana
ketentuan pasal 68, persyaratan untuk mendudukinya berdasarkan kualifikasi,
kompetensi, Moralitas dan integritas pegawai serta kebutuhan instansi
sebagaimana ketentuan pasal 69, Alur promosi, mutasi dan demosi pegawai yang
pasti serta rewards dan punishment yang konsisten bagi pegawai.
Selain berkenaan dengan jabatan pola karier juga harus
mencakup tentang kemungkinan peningkatan dan penurunan pangkat baik reguler,
pilihan maupun istimewa yang dilaksanakan secara terukur dan dengan indikator
yang jelas dan disepakati bersama oleh pegawai.
Pola karier ini harus disusun secara transparan dan
diketahui oleh khalayak umum terutama para pegawai. Sehingga setiap pegawai
memahami konsekuensi dari setiap pelaksanaan pekerjaan terhadap karier
organisasinya di masa yang akan datang. Lebih lanjut dari itu semua pedoman pola karier yang
telah disusun tersebut harus dilaksanakan secara konsisten dan ditegakkan
setegak-tegaknya.
Berkenaan dengan Badan Pertimbangan Jabatan dan
Pangkat (Baperjakat) yang ada berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999,
tidak sedikitpun pasal yang membahasnya. Penulis belum bisa menarik kesimpulan
karena tidak adanya ketentuan yang secara jelas membubarkan atau menetapkan
keberadaan organisasi ini. Hal tersebut kemungkinan akan lebih jelas dijabarkan
dalam peraturan pelaksana karena dalam undang-undang sebelumnya tersebut
Baperjakat dibentuk berdasarkan PP Nomor 100 Tahun 2002. Tapi jika kita
mengambil kesimpulan sementara maka Fungsi Baperjakat ini telah diambil alih
oleh tim penilai kinerja pegawai yang dibentuk oleh pejabat berwenang.
4. Promosi ASN (Pasal 71)
Promosi sesungguhnya
sangat terkait erat dengan jabatan, pengembangan karier dan pola karier
sehingga pembahasannyapun saya kira telah secara komprehensif tersampaikan pada
pembahasan di atas.Mungkin yang dapat ditambahkan disini adalah berkenaan
dengan amanat dibentuknya Tim Penilai Kinerja PNS, yang bertugas memberikan
pertimbangan terhadap usulan penempatan pegawai dalam sebuah jabatan promosi. Tim Penilai ini dibentuk oleh Pejabat Berwenang.
Pejabat berwenang adalah Sekretaris Daerah di lingkungan Pemerintah daerah dan
untuk instansi pemerintah lainnya silahkan lihat artikel saya sebelumnya
tentang Substansi UU ASN (1).
5. Persepsi Dini Tentang Jabatan Dalam UU ASN
Sebelum UU ASN ini disetujui bersama oleh DPR dan
pemerintah yang kemudian akan disahkan sebagai Undang-Undang, terdapat beberapa
persepsi yang berkembang di kalangan pegawai negeri terutama menyangkut jabatan
pegawai. Persepsi tersebut diantaranya :
1. Hilangnya Jabatan Struktural setingkat Esselon III ke bawah;
2.
Jabatan Esselon III ke
bawah berubah menjadi jabatan fungsional;
3.
Adanya kemungkinan
jabatan struktural yang diisi oleh Pegawai dengan Perjanjian Kontrak.
Berdasarkan analisis penulis yang serba terbatas
terhadap substansi Pasal 68 – 71 Undang-Undang ASN ini maka beberapa persepsi
tersebut dapat dikatakan tidak sepenuhnya benar.
Berkenaan dengan hilangnya jabatan struktural esselon
III ke bawah, maka persepsi tersebut dapat dikatakan benar jika yang kita
bicarakan adalah nomenklatur esselonering. Akan tetapi hal tersebut tidak
berarti hilangnya jabatan struktural itu. Jabatan esselon III ke bawah akan
tetap ada hanya yang berubah adalah nomenklaturnya yakni :
No
|
Jabatan struktural Menurut UU 43 Tahun 1999
|
Jabatan Struktural Menurut UU ASN 5 Tahun 2014
|
1.
|
Esselon I dan II
|
Pejabat Pimpinan Tinggi
|
2
|
Esselon III
|
Administrator
|
3.
|
Esselon IV
|
Pengawas
|
4.
|
Esselon V dan Pelaksana
|
Pelaksana
|
Pasal (131) yakni berkenaan dengan Persepsi bahwa jabatan esselon III ke
bawah berubah menjadi jabatan fungsional hal ini juga terbukti tidak tepat,
karena UU ASN tidak mengkelompokkan jabatan administrator, pengawas dan
pelaksana ke dalam golongan jabatan fungsional melainkan mengkategorikannya
sebagai jabatan administrasi.(Pasal 13) Berkenaan dengan
persepsi bahwa jabatan ASN dapat diisi oleh PPPK (pegawai kontrak) itu juga
relatif tidak benar karena sebagaimana ketentuan Pasal 93, yakni bahwa
manajemen PPPK hanya meliputi:
·
penetapan kebutuhan;
·
pengadaan;
·
penilaian kinerja;
·
gaji dan tunjangan;
·
pengembangan
kompetensi;
·
pemberian penghargaan;
·
disiplin;
·
pemutusan hubungan
perjanjian kerja; dan
·
perlindungan.
Sehingga di dalamnya tidak meliputi kemungkinan
pangkat dan jabatan, pengembangan karier serta promosi dan mutasi sebagaimana
ditemukan dalam manajemen PNS.
5.Simpulan
Berkenaan dengan Pangkat dan Jabatan, UU ASN
sedemikian rupa telah membentuk sebuah mekanisme ideal untuk menciptakan
organisasi pemerintah yang profesional. Penempatan pegawai berdasarkan
kualifikasi, kompetensi, moralitas dan integritas pegawai serta kebutuhan
organisasi adalah salah satu bentuk idealisme tersebut. Pembagian jabatan
berdasarkan kompetensi teknis, karakteristik dan pola kerja juga merupakan
bentuk lain dari upaya pemerintah menciptakan kondisi “right man on the right
place” yang selama ini seperti hanya mimpi belaka. Selain itu ketentuan
tentang pengembangan dan pola karier yang harus disusun secara jelas oleh
seluruh instansi pemerintah yang terintegrasi secara nasional juga adalah
sesuatu yang selama ini didam-idamkan oleh para pegawai pada tataran
implementasi. Didukukung dengan
keberadaan KASN dan Tim penilai kinerja sebagai lembaga pengawas kebijakan
kepegawaian dan lembaga pengukur efektifitas kinerja pegawai maka menurut saya
sistem kepegawaian ini sudah cukup ideal. Akan tetapi diantara
berbagai keunggulan tersebut yang terpenting adalah tataran pelaksanaan.
Konsistensi dalam aturan pelaksanaan yang akan disusun ke depan, penjabaran
yang tepat terhadap substansi undang-undang serta pelaksanaan konsisten dari
seluruh stakeholder pelaksanalah yang akan menentukan tingkat efektifitas
Undang-Undang ini terhadap peningkatan mutu kinerja pegawai negeri di masa yang
akan datang.
Pengalaman empirik membuktikan berbagai upaya penciptaan kondisi efektif organisasi pemerintah
terbentur pada dua hal yakni mindset pegawai
negeri yang masih terbelakang (negatif) dan budaya organisasi yang negatif. Mindset pegawai negeri
sebagai pekerjaan aman tanpa resiko pemecatan, PHK dan lain sebagainya begitu
mendarah daging dalam diri pegawai negeri dan budaya organisasi yang masih
permisif terhadap berbagai pelanggaran adalah dua hal penting yang harus segera
diperhatikan. Dan menurut saya
Undang-Undang ini belum menyentuh ke arah sana. Semoga saja pandangan saya ini
salah. Tapi tak mengapa
karena menurut saya upaya ke arah sana masih dapat dilakukan dalam tataran
operasional. Melakukan perubahan terhadap mindset
dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan pra jabatan dan dalam jabatan.
Bisa pula dilakukan melalui “magang” di instansi swasta dan lain sebagainya dan
hal tersebut bisa dijabarkan dalam aturan operasional seperti PP dan peraturan
menteri.
Tentu Reformasi birokrasi perlu didukung adanya peningkatan budaya
organisasi positif dapat dilakukan melalui penegakan rewards dan punishment
yang konsisten. Dalam tataran operasional dapat diwujudkan dengan disertai political will pimpinan. Penegakan aturan
haruslah dimulai dari level pejabat pimpinan tinggi karena itu akan menciptakan
efek domino terhadap seluruh pegawai di bawahnya. Berbeda halnya dengan jika
itu dimulai dari bawah karena sangat kecil kemungkinan dapat mempengaruhi level
yang lebih tinggi.
[1]Alfie Syarien, Memastikan Perubahan yang Nyata dari UU ASN, imamalfie.blogspot.com, diakses 10 Januari 2014
[3] Empi Muslin,
Diskriminasi Profesi Dalam UU ASN, PNS
pada Setjen DPD RI, Purna Praja, Alumnus Universitas Lumiere Lyon 2 dan ENTPE
Perancis, www.catatan Pamong.blog.com,
diakses 10 April 2014.
[4] Muhammad Badar, Substansi UU ASN tentang Pangkat, Jabatan, Pengembangan Karier,
Pola Karier dan Promosi, menujupnsparipurna.blogspot.com.diakses 8 Mei 2014
0 komentar:
Posting Komentar