Menggunakan Paradigma Konstruktivisme
Dalam Penelitian Hukum
Oleh: Turiman Fachturahman Nur
Ada satu pertanyaan yang sering
diajukan, adalah bagaimana mennggunakan paradigma konstruktivisme dalam
Penelitian Hukum, apakah penelitian dengan menggunakan paradigma
konstruktivisme kemudian mengabaikan prinsip-prinsip penelitian hukum, atau
memperkuat analisis penelitian hukum, kemudian apa sebenarnya yang dimaksud
dengan paradigma konstruktvisme, seberapa jauh dapat digunakan untuk menganalisis
masalah hukum , masihkah kita berdebat tentang pilihan paradigma penelitian
hukum, karena esensi yang terpenting dari penggunaan paradigma sebenarnya hanya
pemandu bagi peneliti untuk melakukan persepsi yang jelas terhadap fokus studi dalam penelitian saja atau memang
ada fungsi lain dari paradigma penelitian, sejumlah pertanyaan di atas tidak
mudah untuk dijawab, tetapi dnegan memahami konsep dan esensi paradigma
konstruktivisme akan memudahkan kita menggunakan dalam penelitian. Berikut ini
dipaparkan dengan menelusurin”jejak” paradigma konstruktivisme dan
penggunaannya didalam penelitian hukum baik pada tataran S2 maupun S3,
berdasarkan pengalaman penulis ketika menggunakan paradigma penelitian hukum.
1.Menelusuri Teori Konstruktivisme
Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara
teoritis pada awalnya untuk ilmu komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an
oleh Jesse Deli dan rekan-rekan
sejawatnya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan
interpretasi dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam
pikirannya. Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam
bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui bagaimana
cara seseorang melihat sesuatu[1].
Konstruktivisme
menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi.
Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat
untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai
penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor
sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek
memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam
setiap wacana. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan
dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak
menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang
terhadap realitas tersebut.
Paradigma konstruktivisme ialah
paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil
konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif.
Paradigma konstruktivisme ini berada dalam perspektif interpretivisme
(penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis
dan hermeneutik.
Paradigma konstruktivisme dalam ilmu
sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma
konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat
digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum
positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretative,
Peter L.Berger bersama Thomas
Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut
berada diantara teori fakta sosial dan defenisi sosial.[2]
Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari
pemikiran Max Weber[3],
menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam,
karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial
mereka, baik itu melalui pemberian makna maupun pemahaman perilaku menurut
Weber, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya
dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorang
yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa tiap
individu akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya.
Paradigma konstruktivis dipengaruhi oleh perspektif
interaksi simbolis dan perspektif strukturan fungsional. Perspektif interaksi
simbolis ini mengatakan bahwa manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan
respons terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial,
individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas
di dalam dunia sosialnya. Realitas sosial itu memiliki makna manakala realitas
sosial tersebut dikonstruksikan dan dimaknakan secara subjektif oleh individu
lain, sehingga memantapkan realitas itu secara objektif.
2.Interaksionisme
Simbolik
Interaksi simbolik pada awalnya merupakan suatu
gerakan pemikiran dalam ilmu sosiologi yang dibangun oleh George Herbert Mead.
Mead yang dikenal sebagai bapak Teori Interaksionisme Simbolik ini menekankan
sebuah pemahaman dunia sosial berdasarkan pentingnya makna yang diproduksi dan
diinterpretasikan melalui simbol-simbol dalam interaksi sosial.[4]
Para pemikir dalam tradisi teori interaksionisme
simbolik dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran Iowa dan Chicago. Aliran
Iowa meskipun mengacu pada prinsip-prinsip dasar pemikiran teori
interaksionisme simbolik, kalangan pemikir aliran Iowa banyak yang menganut
tradisi epistemologi dan metodologi post-positivis. Sedangkan Aliran Chicago
banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan pemikiran
George Herbert Mead. George Herbert Mead mengemukakan bahwa makna muncul
sebagai hasil interaksi diantara manusia, baik secara verbal maupun nonverbal.
Melalui aksi dan respons yang terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata
atau tindakan, dan karenanya kita dapat memahami suatu peristiwa dengan
cara-cara tertentu.[5]
.
Dalam deskripsi Mead, proses “pengambilan peran”
menduduki tempat yang penting. Interaksi berarti bahwa para peserta
masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain.
Dengan berbuat demikian, mereka mencoba mencari maksud dari aksi yang diberikan
oleh pihak lain, sehingga komunikasi dan interaksi dimungkinkan. Jadi interaksi
tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak saja, melainkan terutama melalui
simbol-simbol yang perlu dipahami dan dimengerti maknanya. Artinya, tanda yang
menentukan. Dalam interaksi simbolik, orang mengartikan dan menafsirkan tanda
dan orang lain atau masyarakat bertindak
sesuai dengan makna tanda itu.
Interaksi simbolik mendasarkan gagasannya atas enam
hal berikut ini :
a.
Manusia membuat keputusan dan bertindak pada situasi yang dihadapinya sesuai
dengan pengertian subjektifnya. b. Kehidupan sosial merupakan proses interaksi,
kehidupan sosial bukanlah struktur atau bersifat struktural dan karena itu akan
terus berubah. c. Manusia memahami pengalamannya melalui makna dari simbol yang
digunakan di lingkungan terdekatnya (primary group), dan bahasa
merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan sosial. d. Dunia terdiri
atas berbagai objek sosial yang memiliki nama dan makna yang ditentukan secara
sosial. e. Manusia mendasarkan tindakannya atas interpretasi mereka, dengan
mempertimbangkan dan mendefenisikan objek-objek dan tindakan yang relevan pada
situasi saat itu. f. Diri seseorang adalah objek signifikan dan sebagaimana
objek sosial lainnya, diri didefenisikan
melalui interaksi sosial dengan orang lain.
Karya Mead yang paling terkenal yang
berjudul Mind, Self, and Society, menggaris bawahi tiga konsep kritis
yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme
simbolik. Ketiga konsep ini saling memengaruhi satu sama lain dalam teori
interaksionisme simbolik.
Ketiga konsep tersebut adalah pikiran
manusia (mind), diri (self), dan masyarakat (society).
Pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial diri (self) dengan
yang lain digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society)
dimana kita hidup. Ketiga konsep tersebut memiliki aspek-aspek yang berbeda,
namun berasal dari proses umum yang sama, yang disebut ‘tindakan sosial’ (social
act). Tindakan sosial (social act) adalah suatu unit tingkah laku
lengkap yang tidak dapat dianalisis ke dalam subbagian tertentu.[6]
Mead mendefenisikan pikiran (mind)
sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang
sama. Mead percaya bahwa manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi
dengan orang lain. Bayi tidak dapat benar-benar berinteraksi dengan orang
lainnya sampai ia mempelajari bahasa (language), atau sebuah sistem
simbol verbal dan nonverbal yang diatur dalam pola-pola untuk mengekspresikan
pemikiran dan perasaan.
Bahasa bergantung pada apa yang
disebut Mead sebagai simbol signifikan (significant symbol), atau
simbol-simbol yang memunculkan makna yang sama bagi banyak orang [7].
Contohnya, ketika orangtua berbicara dengan lembut kepada bayinya, bayi itu
mungkin akan memberikan respons, tetapi dia tidak seutuhnya memahami makna dari
kata-kata yang digunakan orangtuanya. Namun ketika bayi tersebut mulai
mempelajari bahasa, bayi itu melakukan pertukaran makna atau simbol-simbol
signifikan dan dapat mengantisipasi respons orang lain terhadap simbol-simbol
yang digunakan. Hal ini, menurut Mead adalah bagaimana suatu kesadaran
berkembang.
Dengan menggunakan bahasa dan berinteraksi dengan
orang lain, kita mengembangkan pikiran dan ini membuat kita mampu menciptakan setting
interior bagi masyarakat yang kita lihat beroperasi di luar diri kita.
Jadi, pikiran dapat digambarkan sebagai cara orang menginternalisasi
masyarakat. Namun, pikiran tidak hanya bergantung pada masyarakat. Mead
menyatakan bahwa keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Pikiran
merefleksikan dan menciptakan dunia sosial. Ketika seseorang belajar bahasa, ia
belajar berbagai norma sosial dan aturan budaya yang mengikatnya. Selain itu,
ia juga mempelajari cara-cara untuk membentuk dan mengubah dunia sosial melalui
interaksi.
Menurut Mead, salah satu dari aktivitas penting yang
diselesaikan orang melalui pemikiran adalah pengambilan peran (role taking),
atau kemampuan untuk secara simbolik menempatkan dirinya sendiri dalam diri
khayalan dari orang lain. Proses ini juga disebut pengambilan perspektif karena
kondisi ini mensyaratkan bahwa seseorang menghentikan perspektifnya sendiri
terhadap sebuah pengalaman dan sebaliknya membayangkannya dari perspektif orang
lain.
Mead menyatakan bahwa pengambilan peran adalah sebuah
tindakan simbolis yang dapat membantu menjelaskan perasaan kita mengenai diri
dan juga memungkinkan kita untuk mengembangkan kapasitas untuk berempati dengan
orang lain.
Mendefenisikan diri (self) sebagai
kemampuan untuk merefleksikan diri kita sendiri dari perspektif orang lain.
Mead meyakini bahwa diri tidak berasal dari introspeksi atau dari
pemikiran sendiri yang sederhana, melainkan dari bagaimana kita dilihat oleh
orang lain. Meminjam konsep yang berasal dari sosiologis Charles Cooley, Mead
menyebut hal tersebut sebagai cermin diri (looking-glass self), atau
kemampuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam pantulan dari pandangan
orang lain. Cooley (1972) meyakini tiga prinsip pengembangan yang dihubungkan
dengan cermin diri, yaitu : pertama, kita membayangkan bagaimana kita terlihat
di mata orang lain; Kedua, kita membayangkan penilaian mereka mengenai
penampilan kita; ketiga, kita merasa tersakiti atau bangga berdasarkan perasaan
pribadi ini. Pemikiran Mead mengenai cermin diri ini mengimplikasikan kekuatan
yang dimiliki label terhadap konsep diri dan perilaku. Label menggambarkan
prediksi pemenuhan diri, yaitu harapan pribadi yang memengaruhi perilaku.
Ketika Mead berteori mengenai diri, ia mengamati bahwa
melalui bahasa orang mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi
dirinya sendiri. Sebagai subjek, kita bertindak, dan sebagai objek, kita
mengamati diri kita sendiri bertindak. Mead menyebut subjek, atau diri yang
bertindak sebagai I, dan objek atau diri yang mengamati sebagai Me.
I bersifat spontan, impulsif, dan kreatif, sedangkan Me lebih
reflektif dan peka secara sosial. Mead melihat diri sebagai sebuah proses yang
mengintegrasikan antara I dan Me.
Mead mendefenisikan masyarakat (society) sebagai
jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu-individu terlibat di
dalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela.
Jadi, masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku yang
terus disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu
tetapi juga tetapi juga diciptakan dan dibentuk oleh individu, dengan melakukan
tindakan sejalan dengan orang lain.
Mead berbicara mengenai dua bagian penting masyarakat
yang memengaruhi pikiran dan diri. Pemikiran Mead mengenai orang lain
secara khusus (particular others) merujuk pada individu-individu
dalam masyarakat yang signifikan bagi kita. Orang-orang ini biasanya adalah
anggota keluarga, teman, dan kolega di tempat kerja. Identitas dari orang
lain secara khusus dan konteksnya memengaruhi perasaan akan penerimaan sosial
kita dan rasa mengenai diri kita.
Orang lain secara umum (generalized
other) merujuk
pada cara pandang dari sebuah kelompok sosial atau budaya sebagai suatu
keseluruhan. Hal ini diberikan oleh masyarakat kepada kita, dan “sikap dari
orang lain secara umum adalah sikap dari keseluruhan komunitas”[8].
Orang lain secara umum menyediakan informasi mengenai peranan, aturan, dan
sikap yang dimiliki bersama oleh komunitas. Orang lain secara umum juga
memberikan kita perasaan mengenai bagaimana orang lain bereaksi kepada kita dan
harapan sosial secara umum. Perasaan ini berpengaruh dalam mengembangkan
kesadaran sosial.
Herbert Blumer, mahaguru Universitas California di
Berkeley, seperti dikutip Veeger (1993), telah berusaha memadukan konsep-konsep
Mead ke dalam suatu teori sosiologi yang sekarang dikenal dengan nama interaksionisme
simbolik, sebuah ekspresi yang tidak pernah digunakan Mead sendiri. Blumer
menyebutnya istilah tersebut sebagai, “a somewhat barbaric neologism that I
coined in an offhand way... The term somehow caught on” (sebuah kata baru
kasar yang aku peroleh tanpa pemikiran... Istilah yang terjadi begitu saja)[9] Esensi
interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia,
yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.
3.Paradigma Konstrutivisme Dalam
Penelitian Hukum
Berkaitan dengan Paradigma Konstruktivisme
dalam kaitan dengan penelitian terdapat pandangan FX Adji Samekto dalam salah satu
tulisan “Menempatkan Paradigma Penelitian Dalam Pendekatan Hukum Non Doktrinal
dan Penelitian dalam Ranah Sosio Legal” menyatakan:[10]
Setiap mahasiswa
S3 Ilmu Hukum UNDIP dalam melakukan penelitian, kecuali penelitian hukum doktrinal, dianjurkan untuk menggunakan
sebuah paradigma tertentu. Hal ini menuntut pemahaman tentang beberapa teori
yang dipergunakan dalam penelitiannya. Paradigma adalah serangkaian panduan
yang membimbing bagaimana peneliti melihat realitas (ontologis), melihat hubungan
peneliti dengan objek penelitian (epistemologis) dan bagaimana seharusnya
penelitian itu harus dilakukan (metodologis). Tentu saja metode yang lahir dari
penelitian dalam paradigma tertentu harus berbasis pada konsistensi ontologis
dan epistemologis. Oleh karena itu sekali kita memilih paradigma tertentu, maka
kita harus konsisten secara ontologi, epistemologi dan metodologinya. Uraian
yang didasarkan pada berbagai sumber terkemuka seperti dari Guba dan Lincoln,
Sarantakos, Unger, Neuman lalu B.Arief Sidharta, Sidharta serta Sulistyowati
Irianto ini ditulis untuk sekedar menjelaskan bagaimana sesungguhnya yang
dimaksud dengan paradigma penelitian serta apa hubungannya dengan penelitian
dalam kajian sosio-legal.
Paradigma digunakan untuk mencapai
akurasi dalam penelitian sosial. Bukan penelitian hukum. Penelitian sosial
adalah penelitian yang bertujuan mengkaji perilaku manusia. Di dalam ilmu
sosial, sudah dikenal 3 (tiga) paradigma besar : Positivisme, Interpretivisme
dan Kritikal. Sebenarnya ada paradigma
baru yaitu Post-Modernisme, tetapi banyak ahli berpendapat bahwa
Post-Modernisme belum bisa disejajarkan dengan ketiga paradigma sebelumnya
(Lihat Sarantakos,1997). Berdasarkan hal ini tulisan ini mengikuti pendapat
bahwa ada 3 paradigma besar yaitu Positivisme, Interpretivisme dan Kritikal.
Pada bagian lain FX. Adji Samekto
menguraikan perbedaan paradigma Positivisme dengan Paradigma Konstruktivisme.
a.
Paradigma Positivisme
Paradigma
Positivisme berangkat dari ajaran-ajaran yang dibangun dalam filsafat positivisme
dalam ilmu pengetahuan alam. Filsafat positivisme berangkat dari ajaran Auguste
Comte (1798-1857). Untuk memahami paradigma positivisme, maka harus dipahami
filsafat positivisme tersebut. Filsafat positivisme berangkat dari
keyakinan-keyakinan :
(1)
Logiko-empirik ;
Kebenaran hanya
mungkin diverifikasi melalui pembuktian empiris. Jadi memerlukan pembuktian
terlebih dahulu (perlu bukti terlebih dahulu) Ini yang disebut : dalam
positivisme pengetahuan diperoleh secara aposteriore
(setelah ada pembuktian dahulu).
(2)
Realitas
objektif ;
Realitas yang
benar adalah realitas yang berasal dari objek telaah (apa adanya, objektif,
tanpa prasangka, berbasis hal yang tampak kasat mata). Realitas selalu dinilai
sebagai apa adanya karena antara subjek (peneliti) dengan objek (yang diteliti)
selalu ada “jarak” atau terpisah. Adanya jarak ini menyebabkan objek dapat
dikaji oleh siapa pun dengan kesimpulan yang sama. Jadi paradigma positivisme
ini akan melihat hukum sebagai realitas. Artinya hukum dimaknai sebagai seperangkat
aturan tertulis yang dikeluarkan oleh subjek yang berkuasa, mengandung
perintah. Itu saja, dan tidak berurusan dengan nilai-nilai intrinsik di dalam
hukum. Artinya hukum dilihat oleh manusia (masyarakat) sebagai fakta, tidak
dilihat apakah ia mengandung nilai-nilai. Paradigma positivisme tidak berbicara
tentang nilai-nilai atau esensi. Positivisme tidak berbicara tentang metafisik.
Apakah hukum itu buruk atau baik, bukan urusan paradigma positivisme.
(3)
Reduksionis ;
Objek penelitian
selalu dapat dipahami dengan cara memecahnya,ke dalam satuan yang lebih kecil.
Fenomena yang kompleks dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur kecil.
Pengamatan terhadap satuan-satuan yang terukur inilah yang kemudian dapat
digeneralisasi untuk memahami keseluruhan utuh atas suatu objek penelitian.
Jadi cara pandangnya sangat matematis. Objek penelitian dilihat sebagai satu
kesatuan unsur yang bisa dipecah-pecah dan bila disatukan kembali bisa
membentuk satu kesatuan unsur. Inilah yang melahirkan teori struktural
fungsional yang digagas oleh Talcott Parson.
(4)
Netral /Bebas
Nilai ;
Realitas yang
benar adalah realitas yang berasal dari objek telaah (apa adanya, objektif,
tanpa prasangka, berbasis hal yang tampak kasat mata). Dengan demikian antara
peneliti dengan objek penelitian kedudukannya terpisah. Peneliti mengamati
sebagai pihak di luar objek, yang tidak dilandasi asumsi-asumsi subjektif
seperti nilai-nilai, keyakinan, aliran politik dan lain-lain.
(5)
Deterministik ;
Istilah
deterministik menunjukkan pengertian “sebab-akibat”, saling tergantung.
Kejadian satu tidak akan terjadi kalau tidak didahului kejadian lain. Filsafat
positivisme, yang menjadi acuan paradigma positivisme ini, meyakini adanya
hubungan sebab-akibat (kausal) yang bersifat linear. Hubungan sebab-akibat ini
dirumuskan dalam bentuk dalil-dalil. Kumpulan dari dalil-dalil ini memiliki
kaitan sistemik untuk membangun teori. Oleh karena itu di dalam paradigma
positivisme, kegunaan teori adalah untuk meramalkan, mengendalikan,tidak
sekedar menjelaskan suatu fakta.
b.
Paradigma Interpretivisme
Paradigma
interpretivisme atau konstruktivisme boleh disebut sebagai penyangkalan
terhadap paradigma positivisme. Apabila di dalam paradigma positivisme diyakini
bahwa realitas itu bisa diamati berulang-ulang dan hasilnya sama dan bisa
digeneralisasikan, maka paradigma interpretive atau konstruktivisme
menyangkalnya. Konstruktivisme memahami kebenaran realitas bersifat relatif,
berlaku sesuai dengan konteks spesifik yang relevan dengan pelaku sosial.
Konstruktivisme, dengan demikian menolak generalisasi untuk berupaya
menghasilkan deskripsi yang unik.
Paradigma
konstruktivisme berangkat dari keyakinan bahwa realitas itu beragam. Realitas
berada dalam beragam konstruksi mental yang bersifat subjektif pada diri
manusia (masyarakat), yang didasarkan pada pengalaman sosial, agama, budaya,
sistem nilai-nilai lainnya dan bersifat lokal. Oleh karena itu di dalam
paradigma interpretivism atau konstruktivisme ini, realitas yang diamati oleh
peneliti tidak bisa digeneralisasikan. Hal ini karena tiap fenomena
sesungguhnya merupakan hasil konstruksi (persepsi) masing-masing individu atau
masyarakat, dimana konstruksi (persepsi) itu muncul sebagai “resultante” dari
pengalaman sosial, agama, budaya, sistem nilai-nilai lainnya dan bersifat
lokal.
Jadi peneliti
yang menggunakan paradigma konstruktivisme ini harus bisa mengungkap hal-hal
yang tidak kasat mata. Penelitinya harus mampu mengungkap pengalaman sosial,
aspirasi atau apapun yang tidak kasat mata tetapi menentukan
sikap-sikap,perilaku atau tindakan objek peneliti. Dengan demikian disini ada
subjektivitas dari peneliti terutama untuk bisa menafsirkan hal-hal yang tidak
kasat mata tadi. Jadi diperlukan adanya interaksi subjektif antar keduanya.
Disinilah kemudian konstruktivisme (interpretivism) menerapkan metode
hermeneutik dan dialektika dalam proses pencapaian kebenaran. Hermeneutik,
dilakukan melalui identifikasi kebenaran/kontruksi pendapat orang per orang.
Akan tetapi ini butuh waktu yang lama. Dialektika, dilakukan dengan
membandingkan pendapat untuk memperoleh suatu konsensus.
4.Paradigma
Postivisme, Pospostivisme, Konstruktivisme
Untuk memahami lebih komprehensif tentang Paradigma Konstruktivime,
perlu paradigma ilmu, karena pembahasan tentang paradigma ilmu termasuk bagian
dari materi filsafat ilmu. Sedangkan filsafat ilmu merupakan salah satu cabang
kajian filsafat yang membahas tentang hakikat ilmu.[11]
Sebelum membahas aliran-aliran paradigma
ilmu, lebih dulu penulis kemukakan hasil penulusuran asal-usul filsafat. Ach.
Maimun Syamsuddin menyatakan, pada umumnya para ilmuwan menganggap bahwa tanah
tumpah darah filsafat adalah Yunani. Namun Al-Farabi dalam Tahsil al-Sa’adah
mencatat bahwa orang-orang Kaldan (kawasan Mesopotamia) sejak zaman purba
merupakan pemilik tradisi filsafat yang diwarisi orang-orang Mesir lalu turun
ke Yunani. Di Yunani inilah memang tradisi mencari kearifan dilakukan lebih
intensif, dengan metode yang kian teratur dan sistematis, berusaha melepaskan
diri dari berbagai mitos.[12][2]
Muhammad Al Bahi dalam Al-Janibul Ilahi minat afkiril Islami
menerangkan pula adanya sumber-sumber filsafat termasuk dari kebudayaan Timur
yakni dari agama-agama Aria, yaitu: Brahma, Budha, Zuruastra dan Manu, serta
dari agama-agama Semit, yaitu: Yahudi dan Masehi (Kristen).[13]
Al Bahi menyatakan, filsafat Greek
(Yunani) bukanlah ciptaan para filsuf Greek. Bukti dan argumen yang
dikemukannya adalah bahwa di dalam filsafat Yunani terdapat hubungan dengan
agama primitif Yunani yang menjadi unsur-unsur filsafatnya. Contohnya, filsafat
Yunani menjadikan “api hiraqlith” sebagai asal alam, sebagai indikasi bahwa ada
pengaruh agama Timur di dalamnya, sebab penyucian dengan api pada umumnya ada
di agama-agama Timur. Selain itu dalam filsafat Yunani juga menjadikan “akal
iliyah-i” sebagai asal alam, barangkali adalah konklusi penyucian jiwa, sebagai
asal akidah agama primitif.[14]
Martin Bernal dalam bukunya Black Athena,
menyelidiki jalinan kesetaraan dan keserupaan kebudayaan dan intelektual antara
peradaban Semit (Yahudi), Yunani dan Mesir. Ternyata Bahasa Yunani, walaupun
termasuk rumpun bahasa Indo-Eropa, banyak meminjam perbendaharaan kata bahasa
Kan’an dan bahasa Mesir. Peradaban Yunani banyak terpengaruh oleh peradaban
Mesir dan Funesia, akibat penjajahan selama 1500 tahun oleh kedua bangsa itu.
George Sarton menegaskan bahwa ’keajaiban’ Yunani dalam bidang sains sebenarnya
telah didahului oleh ribuan tahun pencapaian sains di Mesir dan Mesopotamia,
sehingga pandangan bahwa sains bermula dari Yunani adalah pemalsuan hakikat
sejati yang merupakan sikap ’kekanak-kanakan’. Prof. George GM. James dalam
bukunya Stolen Legacy: Greek Philosophy is Stolen Egyptian Philosophy
memaparkan tesis bahwa para filosof Yunani seperti Thales, Pythagoras,
Socrates, Plato dan sebagainya telah menerima pendidikan atau setidaknya
meminjam buah pikiran para paderi dan pendeta Mesir.[15]
Dengan demikian, banyaknya literatur
yang menuliskan bahwa asal-usul filsafat berasal dari Yunani hendaknya perlu
diluruskan sebab pandangan tersebut hanya akan menyembunyikan sejarah filsafat.
Filsafat sendiri sebenarnya juga menjadi
kajian ilmu. Namun, dalam definisi yang umumnya diakui ada perbedaan antara
ilmu dengan filsafat.
Definisi ilmu ternyata beragam,
berdasarkan pendapat para ahli yang berbeda. C.A. Peursen menyatakan bahwa ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk
menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam
manusia.[16]
Mohammad Hatta mendefinisikan
ilmu sebagai pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam
suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak
dari luar, maupun menurut hubungannya dari dalam. Ralp Ross dan Ernest van Den Haag
menyatakan bahwa ilmu
adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya serentak. Cambridge Dictionary 1995 mengartikan ilmu
pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang benar, mempunyai objek dan
tujuan tertentu dengan sistim, metode untuk berkembang serta berlaku
universal yang dapat diuji kebenarannya.
Begitu pula
definisi filsafat ada bermacam-macam menurut pendapat para ahli filsafat dari
waktu ke waktu. Plato memandang filsafat adalah pengetahuan yang berminat
mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Plato juga menyatakan bahwa filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang
ada. Aristoteles menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi
kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika,
etika, ekonomi, politik, dan estetika. Aristoteles juga menyatakan bahwa
kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan
demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab
telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu. Sementara itu Al Farabi
mengartikan filsafat adalah ilmu tentang alam maujud
bagaimana hakikat yang sebenarnya.[17]
Apabila
diperhatikan berbagai definisi tentang ilmu tersebut, dapat dikatakan bahwa
ilmu bukanlah sekadar
pengetahuan, tetapi merupakan sekumpulan pengetahuan yang benar dan dapat
secara sistematik diuji dengan suatu metode. Sedangkan penggunaan metode ilmiah akan
bergantung pada paradigma ilmu yang akan dibahas selanjutnya dalam makalah ini,
apakah suatu metode ilmiah bersifat tetap sebagai pedoman yang positivistik
demi menentukan kepastian cara menguji kebenarannya, ataukah metode tersebut
dapat berubah-ubah.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan, filsafat tidak didalami
dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan masalah, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan
alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika.
Namun demikian,
ketika filsafat dikaji dalam dan sebagai suatu studi ilmiah maka filsafat juga
menjadi bagian dari ilmu itu sendiri, termasuk pula filsasat ilmu. Hal itu
tampak pada bagaimana perbedaan ahli dalam memandang filsafat ilmu.
A. Cornelius Benjamin memandang filsafat ilmu sebagai berikut. ”That
philosophic discipline which is the systematic study of the nature of science,
especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in
the general scheme of intellectual disciplines.”[18]
Di sini Cornelius Benjamin memandang filsafat imu merupakan cabang dari
filsafat.
Namun, Conny Semiawan dan kawan-kawan (at al) menyatakan bahwa
filsafat ilmu pada dasarnya adalah ilmu yang berbicara tentang ilmu pengetahuan
(science of sciences) yang kedudukannya di atas ilmu lainnya.[19][Di
sini Conny Semiawan at al memandang filsafat ilmu sebagai ilmu tentang ilmu
pengetahuan.
Kajian selanjutnya
akan menelaah tentang beberapa paradigma ilmu yang saya batasi pada paradigma
positivisme, pospositivisme dan konstruktivisme.
Pemikiran manusia dari zaman ke zaman
selalu berubah, mengalami perkembangan. Kita dapat menelaah sejarah di mana
ilmu pada zaman sebelum Masehi sudah berkembang, terutama yang terkenal di
Mesopotamia, Babilonia, Mesir, India, Cina hingga zaman Yunani Kuno.
Perkembangan agama Kristen di Eropa pada
zaman Masehi turut mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan pada waktu itu,
di mana hegemoni tafsir ayat agama dalam pemerintahan yang sempat
mengintervensi dan menghakimi pemikiran ilmiah seperti yang terkenal terjadi
pada kasus Galileo yang melakukan falsifikasi terhadap pandangan geosentris,
dengan mengemukakan teori baru bahwa matahari merupakan pusat tatasurya
(heliosentris).
Namun demikian kesewenang-wenangan
gereja tersebut tidak membuat para ilmuwan menyerah. Kondisi-kondisi masyarakat
Eropa seperti itu justru memunculkan para ilmuwan dan filsuf yang peduli
terhadap perubahan sosial, berusaha melakukan perubahan dengan mengembangkan
ilmu pengetahuan, sehingga muncullah gagasan-gagasan atau paradigma tentang
ilmu pengetahuan, di antaranya positivisme, pospositivisme, konstruktivisme.
4.1. Positivisme
Pemikir
Barat yang dianggap sebagai pencetus positivisme adalah Auguste Comte dengan
nama lengkap Isidore Marie Auguste François Xavier
Comte; lahir di Montpellier, Perancis, 17 Januari 1798. Comte meninggal di Paris 5 September 1857 pada umur 59 tahun. Comte merupakan seorang
ilmuwan Perancis yang dijuluki sebagai "bapak sosiologi". Dia dikenal sebagai orang pertama
yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial.[20]
Aguste
Comte hidup
pada zaman pasca Revolusi Perancis abad ke-19 yang karut-marut. Pada mulanya
Comte merupakan seorang ahli fisika dan politeknik terkemuka zaman itu. Ia
mencoba memberikan sebuah solusi tentang konsep masyarakat ideal yang
disebutnya sebagai masyarakat positivistik.
Auguste Comte saat itu menggambarkan
masyarakat Perancis dalam tiga tahap, yaitu masyarakat teologis atau mitos,
masyarakat metafisika, dan masyarakat positivis yang disebut oleh Aguste comte
sebagai masyarakat yang mapan.
Comte melihat keadaan Perancis sama
dengan keadaan di Eropa pada umumnya. Maka Comte menetapkan satu hukum universal
dalam semua ilmu pengetahuan yang kemudian ia sebut sebagai 'hukum tiga fase'.
Menurutnya, masyarakat berkembang melalui tiga fase: teologi, metafisika, dan
tahap positif (atau sering juga disebut "tahap ilmiah").
Fase teologi tersebut berada di permulaan
abad pencerahan, dimana kedudukan seorang manusia dalam masyarakat dan
pembatasan norma dan nilai manusia didapatkan didasari pada perintah Tuhan.
Masa itu ditandai adanya dominasi hukum gereja. Ilmu pengetahuan yang
berkembang dilarang berlawanan dengan ayat-ayat Injil. Tetapi, tentu saja
ayat-ayat Injil tersebut ditafsirkan oleh otoritas agama yang tidak luput dari
kekeliruan.
Fase berikutnya adalah fase metafisika,
yaitu tahap di mana manusia dengan akal budinya mampu menjelaskan tentang
realitas, fenomena, dan berbagai peristiwa dicari dari alam itu sendiri. Comte
berpendapat bahwa metafisika belum bisa bersifat empirik, sehingga tidak akan
menghasilkan pengetahuan baru tentang realitas dan belum dapat menjelaskan
hukum alam, kodrat manusia dan keharusan mutlak tentang manusia.
Comte menyatakan bahwa cara berfikir
manusia harus keluar dari dua tahap tersebut, yaitu dengan masuk pada fase
berikutnya, yaitu tahap pengetahuan positivis yang dapat dijadikan sarana untuk
memperoleh kebenaran dengan cara observasi untuk menemukan keteraturan dunia
fisik maupun sosial.
Comte
mengembangkan suatu penggolongan hirarkis dan sistematis dari semua ilmu
pengetahuan, termasuk ilmu fisika tidak tersusun teratur ( ilmu perbintangan, ilmu pengetahuan bumi dan ilmu kimia) dan ilmu fisika organik (biologi) dan
bentuk badan sosial yang dinamai sosiologi.
Dalam paradigma positivisme ini, C.A.
van Peursen menilai bahwa positivisme logis memecahkan kendala yang dihadapi
empirisisme berkaitan dengan kaidah-kaidah logika dan matematika yang berlaku
umum. Positivisme logis menganggap ilmu formal (matematika, logika) bukan
sebagai pengetahuan yang berhubungan dengan sesuatu di luar bahasa (kenyataan).
Positivisme logis bertolak dari data empiris, seperti pengamatan dan fakta yang
dinyatakan dengan memakai ungkapan pengamatan atau “kalimat protokol”. Sedangkan
ilmu formal tidak mengenai data empiris (kenyataan) tapi menjalin hubungan
antara lambang-lambang yang membuka kemungkinan memakai data observasi yang
telah diperoleh untuk menghitung (menyusun penjabaran logis dan deduksi).[21][12]
Anis Chariri membuat pengertian paradigma positivisme secara lebih
sederhana berdasarkan pendapat Neuman (2003), yaitu suatu pendekatan yang
diadopsi dari ilmu alam yang menekankan pada kombinasi antara angka dan logika
deduktif dan penggunaan alat-alat kuantitatif dalam menginterpretasikan suatu
fenomena secara “objektif”. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa
legitimasi sebuah ilmu dan penelitian berasal dari penggunaan data-data yang
terukur secara tepat, yang diperoleh melalui survei/kuisioner dan
dikombinasikan dengan statistik dan pengujian hipotesis yang bebas
nilai/objektif.
Dengan cara itu, suatu fenomena dapat dianalisis untuk kemudian
ditemukan hubungan di antara variabel-variabel yang terlibat di dalamnya.
Hubungan tersebut adalah hubungan korelasi atau hubungan sebab akibat.
Paradigma positivisme membuat parameter bahwa ilmu sosial dan ilmu alam
menggunakan suatu dasar logika ilmu yang sama, sehingga seluruh aktivitas
ilmiah pada kedua bidang ilmu tersebut harus menggunakan metode yang sama dalam
mempelajari dan mencari jawaban serta mengembangkan teori. Dunia nyata berisi
hal-hal yang bersifat berulang-ulang dalam aturan maupun urutan tertentu
sehingga dapat dicari hukum sebab akibatnya.[22]
Paradigma positivisme berpandangan bahwa teori terbentuk dari seperangkat
hukum universal yang berlaku. Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk
menemukan hukum-hukum tersebut. Dalam pendekatan ini, seorang peneliti memulai
dengan sebuah hubungan sebab akibat umum yang diperoleh dari teori umum.
Kemudian, menggunakan idenya untuk memperbaiki penjelasan tentang hubungan
tersebut dalam konteks yang lebih khusus.
Dengan demikian paradigma ilmu
positivisme merupakan paradigma yang menggunakan metodologi kuantitatif.
Paradigma tersebut selanjutnya mendapatkan kritik para ilmuwan, termasuk mereka
yang berparadigma pospositivisme.
2. Pospositivisme
Salah
satu bentuk paradigma pospositivisme adalah paradigma interpretatif. Pendekatan interpretif berasal dari filsafat Jerman
yang menitikberatkan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman dalam ilmu
sosial. Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari dunia social dan
berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya.
Manusia secara terus menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi
dengan yang lain (Schutz, 1967 dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Tujuan
pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana realita
sosial itu terbentuk (Ghozali dan Chariri, 2007).[23]
Salah satu pendiri pospositivisme
adalah Karl Popper. Karl
Popper lahir di Vienna, Austria, 28 Juli 1902 dan meninggal di London, Inggris, 17 September 1994 (umur 92 tahun). Popper merupakan salah satu
dari sekian banyak filsuf ilmu dan pakar dalam bidang psikologi
belajar. Popper dikenal dengan gagasan falsifikasi, sebagai lawan dari
verifikasi terhadap ilmu.[24]
Falsifikasi
adalah gagasan melihat suatu teori dari sudut pandang kesalahan. Dengan
menganggap teori itu salah, dan dengan segala upaya dibuktikan kesalahan
tersebut hingga mutlak salah, dibuatlah teori baru yang menggantikannya. Saya
berpendapat bahwa tujuan
falsifikasi dimungkinkan semata-mata untuk terus-menerus mencari kebenaran
suatu teori, bukan sebagai sikap subyektif untuk mencari-cari kesalahan yang
motif negatif. Falsifikasi ala Popper di sini mempunyai motif positif. Salah
satu contoh falsifikasi telah disebutkan di depan pada kasus Galileo Galilei
yang membantah atau melakukan falsifikasi terhadap teori geosentris dengan
mengemukakan teori heliosentris.
Di zaman yang lebih modern Albert
Einstein juga melakukan falsifikasi teori tentang relativitas dalam mekanika.
Einstein pada tahun 1905 memaparkan teori elektrodinamika benda yang bergerak.
Dia memanfaatkan teori elektro-dinamika dari Maxwell,
untuk menemukan batasan dari mekanika Newton, membenturkan kedua teori, yakni
mekanika klasik dengan teori elektro-magnetisme.
Einstein hendak menunjukan
bahwa kerangka fisika dan mekanika klasik yang berbasis ruang dan waktu
absolut, yang secara matematik dituliskan sebagai transformasi Galileo Galilei,
tidak berlaku dalam kecepatan amat tinggi. Einstein
sekaligus membantah teori dari Heinrich Hertz
mengenai medium yang disebut ether pembawa cahaya, dimana gaya listrik dan gaya
magnet tidak dapat melampaui batasan ruang.
Dengan teorinya yang dijuluki sebagai
Teori Relativitas Khusus itu Einstein menunjukan
ternyata tidak ada waktu absolut, akan tetapi hanya ada ruang- waktu yang
tergantung dari relasi-sistem. Dengan kata lain, dalam ruang-waktu yang
memuai secara cepat, pengukur waktu yang berdetik cepat-pun akan berjalan lebih
lambat. Teori elektro-dinamika benda bergerak itu, kemudian terbukti dalam
percobaan di laboratorium menggunakan jam atom, serta dalam pengamatan waktu
paruh dari partikel yang bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya.[25][16]
Kembali pada pemikiran Karl Popper
tentang gagasan prinsip falsifikasinya. Popper menggarisbawahi bahwa akal baru
sungguh-sungguh bersifat kritis, apabila mau membuang parameter yang mula-mula
dipaksakan (imposed regulaties). Pandangan ini disebut pula sebagai
rasionalisme kritis di mana rasionalisme tidak berarti bahwa pengetahuan
didasarkan pada nalar seperti dikatakan Descartes dan Leibniz, melainkan bahwa
sifat rasional dibentuk lewat sikap yang selalu terbuka untuk kritik.[26]Inilah
di antaranya prinsip falsifikasi yang diutarakan oleh Popper dalam melakukan
kritik terhadap paradigma positivisme yang dianggap kaku dengan cara
menggunakan serta hanya mengakui metoda ilmiah yang umumnya digunakan (bersifat
positivistik).
Senada dengan Karl Popper adalah I. Lakatos dalam
tulisannya berjudul History of Science and its Rational Reconstructions
pada buku Boston Studies in the Phylosophy of Science (1971) yang juga
menyetujui model deduktif dalam metode ilmiah. Namun Lakatos menyangkal adanya
kemungkinan untuk experimentum crucis, yaitu keadaan bahwa satu
falsifikasi saja bisa menghancurkan suatu teori. Ia berpendapat bahwa yang
terjadi dalam pembaharuan suatu ilmu sebetulnya merupakan peralihan dari teori
yang satu ke teori yang lain. Teori-teori beruntun atau berdampingan sebagai
alternative. Jika itu menghasilkan teori yang lebih baik, itu disebut program
penelitian progresif, kalau tidak dinamakan degeneratif. Van Peursen tidak
menggolongkan kritik Lakatos ini ke dalam paradigma konstruktivisme, tapi dia
mengistilahkannya pemikiran Lakatos tersebut sebagai “bentuk peralihan yang
mendekati kelompok ini (konstruktivisme).[27]
3. Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah suatu filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan telah ditangkap manusia adalah
konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri (Matthews, 1994 dalam Suparno, 1997).
Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan tetapi merupakan
ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh yang
dialaminya.
Proses konstruksi pengetahuan berjalan
terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu
pemahaman yang baru (Piaget, 1971 dalam Suparno, 1997). Suatu ilmu pengetahuan
setelah mengalami proses yang cukup lama menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang
lazim bagi manusia untuk dijadikan landasan dalam menjalani kehidupan
keseharian. Sebelum dilazimkan oleh manusia sebuah pengetahuan mengalami penyempurnaan
akibat bertambahnya pengalaman baru manusia yang disebut proses reorganisasi
ilmu pengetahuan yang berupa pendefinisian kembali, pemantapan konsep dan ilmu
pengetahuan yang relatif baku.[28]
Ada pendapat yang menyatakan bahwa
gagasan pokok konstruktivisme dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemologi dari
Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De
Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata,
“Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia
menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’
Vico menyatakan bahwa pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep yang
dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan
itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico
tidak membuktikan teorinya (Suparno: 2008).[29]
Namun demikian penelitian sejarah
pemikiran konstruktivisme lainnya dapat memberikan gambaran bahwa
konstruktivisme lahir sebelum tahun 1970-an. Kita bisa membaca pemikiran
Charles S. Pierce yang juga dianggap sebagai salah satu pemikir
konstruktivisme, yang hidup pada tahun 1839-1914.
Van Peursen membagi konstruktivisme
dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama dinyatakannya sebagai kelompok yang
paling dekat dengan positivisme logis sebab sangat mementingkan logis ilmu.
Kelompok ini disebut juga sebagai tesis “Duhem-Quine” mengacu pada pendapat
W.V.O Quine yang disebut sebagai bentuk holisme atau bertolak dari keseluruhan.
Sedangkan P. Duhem mengajarkan bahwa suatu sistem ilmiah terdiri atas
lambang-lambang (simbol), atas konstruksi simbolik melalui kaidah logis
seakan-akan menyajikan suatu “terjemahan” mengenai data empiris. Oleh karenanya
ilmu harus mengadakan kontak dengan pengalaman.
Apabila terjadi konflik antara ilmu
dengan pengalaman maka hal itu menyangkut sistem sebagai keseluruhan. Namun
demikian ini tidak berarti bahwa seluruh sistem harus dihapus, biasanya cukup
memperbaharui terjemahan dengan mengganti lambang-lambang tertentu. Quine
melawan pendapat yang dogmatis dalam empirisme.[30]
Kelompok kedua diberi nama “filsafat
ilmu baru.” Para tokoh dalam kelompok ini di antaranya P.K. Feyeabend, N.R.
Hansen, Thomas Kuhn, M. Polanyi, S. Toulmin. Kelompok ini melangkah lebih jauh
lagi di mana sistem dan kenyataan empiris saling resap-meresapi. Perkembangan
ilmu terjadi melalui aturan di luar ilmu lebih berperan, seperti misalnya
anggapan susila dan sosial.
Kelompok ini menaruh perhatian besar
terhadap upaya menyusun suatu teori ilmiah, sehingga heuristik juga
diperhatikan. Setiap analisis ilmiah bertolak dari organisasi bahan yang
mendahuluinya, bertitik tolak pada gambaran menyeluruh yang menentukan
terbentuknya sistem ilmu. Kuhn berpendapat bahwa pembenaran suatu teori bergantung
pada struktur menyeluruh yang baru (paradigma). Verifikasi dan falsifikasi
bukanlah hal yang menentukan. Heuristik mulai memegang peranan penting bagi
metode suatu ilmu, khususnya bagi pembaharuannya.[31]
Kelompok ketiga yang menganut paham
konstruktivisme disebut aliran “genetis.” Kelompok ini berpendapat bahwa
terjadinya sistem, genesis sistem, merupakan bagian dari sifat khas sistem
semacam itu. Proses terjadinya (genesis) dan hasilnya tidak dapat dipisahkan.
Aliran ini dipengaruhi oleh pragmatisme dan instrumentalisme dari Charles S.
Pierce dan J. Dewey. Titik pangkalnya dari anggapan Pierce dengan ajarannya
tentang abduksi. Selain deduksi dan induksi, Pierce menyampaikan metode
abduksi.[32]
Pierce itu
menyatakan bahwa abduksi sebagai
logika yang menentukan pembentukan hipotesis apapun. Setiap pengamatan dan
interpretasi merupakan hipotesis yang dibuat berdasarkan abduksi. Sebagai
sebuah proses sadar, abduksi merupakan bentuk
ke tiga kesimpulan logis (seni melakukan penyimpulan), sesudah induksi dan
deduksi. Abduksi
bisa dipandang sebagai pencarian
akan penjelasan terbaik bagi fenomena apapun yang diamati yang memerlukan
penjelasan: X (misalnya, penggunaan tak terduga sebuah kata tertentu) sungguh
luar biasa; A, B, C merupakan kemungkinan penjelasan akan penggunaan ini; B
(misalnya posisi sosial penutur, yang membedakannya dari interlokuter lain)
tampaknya paling meyakinkan. Jika B memang benar, fenomena X tidak lagi luar
biasa; dengan demikian B diterima sebagai satu hipotesis yang bisa menguraikan
kejadian X.[33]
Berdasarkan paparan diatas, maka dapat
dipahami , bahwa onstruktivisme merupakan suatu pendekan yang diletakkan di
“middle ground” pada Hubungan Internasional. Middle ground disini dapat
diartikan menghindari teori-teori ekstrem strukturalisme dan juga teori-teori
universal seperti neo-realisme dan postmodernisme. Konstruktivisme sendiri
berfokus pada interaksi dari struktur dan lembaga dalam politik internasional,
dan berusaha untuk menemukan jawaban khusus pada tantangan postmodernisme
terhadap pengetahuan ilmiah agar mampu melakukan pengetahuan empiris[34]
(Jill et al. 2005,181).
Konstruktivisme juga memberi perhatian
pada ide-ide serta dampak dari norma yang ada dalam suatu kancah politik
internasional. Secara lebih spesifik konstruktivisme mempunyai tema khas
diantaranya adalah konstruksi kepentingan nasional, penyebaran hak asasi
manusia, dampak dari organisasi internasional pada identitas negara dan
perkembangan perubahan bentuk dalam masyarakat internasional.[35]
(Jill et al.2005,181). Konstruktivisme dapat diartikan secara sederhana bahwa
penganutnya tidak menerima segala keadaan sosial merupakan suatu hal yang
given. Mereka menganggap bahwa itu semua merupakan suatu konstruksi sosial yang
telah sengaja diciptakan. Konstruktivisme juga menganggap bahwa
pengetahuan sosial tidak dapat dioperasikan sama dengan pengetahuan alam, namun
walaupun begitu penggunaan teori dan analisa secara empiris masih tetap dapat
dilakukan dalam realitas politik internasional.
Jika ditinjau dari sejarahnya
konstruktivisme mulai muncul sejak 1997 ketika Emanuel Adler menulis artikel European
Journal of International Relations. Pada saat itu konstruktivisme muncul
sebagai penengah antara dua kutub radikal yaitu rasionalisme dan reflektivisme.
Menurut Adler (1997) konstruktivisme terletak diantara individualis
rasionalisme dan holisme strukturalisme, diantara penjelasan rasionalisme dan
struktur rasionalisme serta diantara materialisme integral rasionalisme dan
ideationalisme dalam pendekatan kognitif. Konstruktivisme juga dianggap sebagai
via-media karena menerima beberapa pemikiran ontologis reflektivisme,
namun tetap pada tujuannya untuk memahami dan menjelaskan politik
internasional.
Ada
beberapa asumsi dasar dari konstruktivisme (Jill et all. 2005) Yang pertama
adalah ketika teori rasional neo-neo mencoba untuk menjelaskan berbagai keadaan
politik internasional, konstruktivisme lebih cenderung mencoba untuk “memahami”
politik internasional yang ada. Tindakan memahami disini tidak mengherankan
karena teori konstruktivisme ini merupakan salah satu teori dari sosiologi
dimana sosiologi lebih banyak membahas tentang memahami berbagai motif subjek
dan pandangan mengenai aktor dunia, yang dianggap akan mempunyai dampak lebih
dalam kehidupan sosial. Asumsi dasar yang kedua adalah konstruktivisme mencoba
untuk menjembatani jarak antara strukturalis dan teori agency-centred
dan mereka berpendapat bahwa struktur dan agen saling tergantung satu sama
lain. Sebagai akibatnya, kebanyakan hubungan sosial akan relatif stabil. Tetapi
kebutuhan untuk terus mereproduksi struktur akan selalu membawa potensi
perubahan.[36].
Yang
ketiga adalah konstruktivisme sering disebut juga “critical realism”.
Kata realisme disini tidak ada hubungannya dengan realisme seperti yang ada
pada Hubungan Internasional, namun titik pandang epistemologisnya, banyak
disederhanakan, dan antara lain berpendapat bahwa kita dapat menyimpulkan
adanya struktur karena efek mereka, yang mereka mempengaruhi namun tidak selalu
menentukan (Jill et al.2005,185). Selanjutnya konstruktivisme juga menekankan
peran norma dalam kebiasaan seseorang. Kebijakan luar negeri, bukan hanya
merupakan kepentingan nasional, namun juga penerimaan kebiasaan dalam
masyarakat internasional. Konstruktivisme juga menekankan pada peran institusi
serta proses institusionalisasi. Proses-proses yang diamati oleh
konstruktivisme disini adalah pengembangan pola praktek, dan sosialisasi.
Konstruktivisme mengamati bagaimana norma dan pola yang berlaku dalam
terbentuknya suatu institusi.
Walaupun
konstruktivisme fokus pada norma dan institusi namun mereka tidak
mengesampingkan peran dari interest. Ada dua cara bagaimana kepentingan masuk
ke dalam penelitian konstruktivisme. Yang pertama adalah bahwa kepantingan
tidak diterima begitu saja. Konstruktivisme tertarik pada bagaimana suatu
kepentingan diformulasikan, dan khususnya peran lembaga,norma, dan ide-ide
dalam proses[37]
(Jill et al.2005, 188). Yang kedua adalah konstruktivisme menganalisis hubungan
saling mempengaruhi antara kepentingan dan ide. Yang terakhir adalah bahwa
konstruktivis menganggap wacana sebagai suatu hal yang penting dalam suatu
konstruksi sosial. Wacana dianggap sebagai alat untuk mencapai “intersubjective
dialogue”.
Konstruktivisme
juga mendapat kritik dari rasionalis dan reflektivis. Kritik rasionalis
berfokus pada bukti empiris argumen yang diajukan konstruktivis. Mereka
berpendapat bahwa “teka-teki” yang diajukan oleh konstruktivisme dapat cukup
dijelaskan oleh kepentingan dan faktor “material”, dan dampak dari hal-hal
seperti norma, jika ada, hanya merupakan sebagian kecil variasi dari perilaku
negara[38]
Beberapa
juga berpandapat bahwa konstruktivisme tidak mempunyai kesiapan dalam mengamati
gagasan identitas atau norma. Sebagian lagi berpendapat bahwa konstruktivisme
dioperasikan dengan pendefinisian yang tidak jelas. Selain itu juga ada kritik
dari reflektivisme. Mereka menganggap bahwa konstruktivisme terlalu
state-centrism. Negara diperlakukan sebagai aktor utama dalam hubungan
internasional. Postmodernisme juga mengkritik bahwa konstruktivisme tidak
menganggap bahasa secara serius. Ketika mereka mengakui pentingnya wacana,
namun pemahaman mereka oleh kaum postmodernisme masih dianggap rendah.
[1] Morissan. 2009. Teori Komunikasi Organisasi. Jakarta :
Ghalia Indonesia, halaman 7
[4]
Ardianto,
Elvinaro & Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu
Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Azra, Azyumardi. Halaman 135.
[6]Morissan Ibid, halaman 144
[7]West, Richard, dan
Lynn H. Turner.
200). Mass Communication Theory,. Foundation, Ferment,
and Future F ifth Edition. Boston:
Pustaka Utama.halaman 109
[8]
Mead, George Herbert Mead, 1934/1962, Mind,
Self an Society: From The Stand Point of Social Behaviorist, Chicago,
University of Chicago Press.halaman 154.
[9] Steplen W.
Littlejohn, (1996), Theories Of Human Communication, diterjemahkan oleh
Tim BKU Komunikasi FPS UNPAD, tahun1997, di Bandung, Aubrey Fisher,
(1996),halaman 160.
[10]
FX Adji Samekto,
Menempatkan Paradigma Penelitian Dalam Pendekatan Hukum Non Doktrinal dan
Penelitian dalam Ranah Sosio Legal” http://adjisamekto.com, diakses 4 Juni 2014.
[11]Vardiansyah,
Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008,
hal. 20.
[12][Seyyed Hossein
Nasr, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam (terjemahan), IRCiSoD,
Jogjakarta, 2006, hal. 9.
[13]Muhammad
Al Bahi, Aljanibul Ilahi (saduran Dja’far Soedjarwo), Il-Ikhlas,
Surabaya, 1993, hal. 61.
[16] B. Arief Sidharta, Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu Itu?,
Pustaka Sutra, Bandung 2008, hal. 7-11.
[19] Semiawan, Conny et al., Dimensi Kreatif dalam
Filsafat Ilmu, CV Remaja Karya, Bandung, 1998, hal. 45.
[21] C.A. van
Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu,
(terjemahan J. Drost), PT. Gramedia, Jakarta, 1989, halaman 82.
[22]Anis Chariri, Landasan Filsafat dan Metode Penelitian Kualitatif,
Paper disajikan pada Workshop MetodologiPenelitian Kuantitatif dan Kualitatif,
Laboratorium Pengembangan Akuntansi (LPA), Fakultas Ekonomi Universitas
Diponegoro Semarang, 31 Juli – 1 Agustus 2009, halaman 5.
[25]www.fisika.undip.ac.id,
Seratus Tahun Karya Jenius Einstein, artikel diposting tanggal 26
Pebruari 2009.
[26]C.A. Peursen, op
cit, hal. 84-85.
[28][19]Suwandi, Filsafat
Konstruktivisme Dalam Ilmu Pengetahuan, http://suwandi-sosialbudaya.blogspot.com, 27 Oktober
2013.
[29]Markus Basuki,
Aliran-aliran Dalam Filsafat Ilmu: Filsafat Konstruktivisme, http://cor-amorem.blogspot.com
[31]Ibid, hal.88-89.
[33]http://babang-juwanto.blogspot.com
dikutip dari Metode Analisis Teks dan Wacana, Stefan
Titscher; Michael Meyer; Ruth Wodak; Eva Vetter.
[34] Steans, Jill and Pettiford,
Lloyd & Diez, Thomas, 2005. Introduction to International Relations,
Perspectives & Themes, 2nd edition, Pearson & Longman,
Chap. 7, halaman 181.
[35] Ibid.
[36]
Ibid.halaman 185.
[37] Ibid,
halaman 188.
[38] Ibid.
Halaman 200
1 komentar:
Mohon ijin copas untuk refferensi Makalah.
Wassalam.Terima kasih
Posting Komentar