Selasa, 07 Oktober 2014

Menggunakan Paradigma Konstruktivisme Dalam Penelitian Hukum


Menggunakan Paradigma Konstruktivisme
Dalam Penelitian Hukum

Oleh: Turiman Fachturahman Nur


             Ada satu pertanyaan yang sering diajukan, adalah bagaimana mennggunakan paradigma konstruktivisme dalam Penelitian Hukum, apakah penelitian dengan menggunakan paradigma konstruktivisme kemudian mengabaikan prinsip-prinsip penelitian hukum, atau memperkuat analisis penelitian hukum, kemudian apa sebenarnya yang dimaksud dengan paradigma konstruktvisme, seberapa jauh dapat digunakan untuk menganalisis masalah hukum , masihkah kita berdebat tentang pilihan paradigma penelitian hukum, karena esensi yang terpenting dari penggunaan paradigma sebenarnya hanya pemandu bagi peneliti untuk melakukan persepsi yang jelas terhadap  fokus studi dalam penelitian saja atau memang ada fungsi lain dari paradigma penelitian, sejumlah pertanyaan di atas tidak mudah untuk dijawab, tetapi dnegan memahami konsep dan esensi paradigma konstruktivisme akan memudahkan kita menggunakan dalam penelitian. Berikut ini dipaparkan dengan menelusurin”jejak” paradigma konstruktivisme dan penggunaannya didalam penelitian hukum baik pada tataran S2 maupun S3, berdasarkan pengalaman penulis ketika menggunakan paradigma penelitian hukum.

1.Menelusuri Teori Konstruktivisme
             Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis pada awalnya untuk ilmu komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui bagaimana cara seseorang melihat sesuatu[1].
Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang terhadap realitas tersebut.  
Paradigma konstruktivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada dalam perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik.
Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretative, Peter L.Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada diantara teori fakta sosial dan defenisi sosial.[2]  
Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Max Weber[3], menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna maupun pemahaman perilaku menurut Weber, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorang yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa tiap individu akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya.
Paradigma konstruktivis dipengaruhi oleh perspektif interaksi simbolis dan perspektif strukturan fungsional. Perspektif interaksi simbolis ini mengatakan bahwa manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan respons terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya. Realitas sosial itu memiliki makna manakala realitas sosial tersebut dikonstruksikan dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain, sehingga memantapkan realitas itu secara objektif.


2.Interaksionisme Simbolik
Interaksi simbolik pada awalnya merupakan suatu gerakan pemikiran dalam ilmu sosiologi yang dibangun oleh George Herbert Mead. Mead yang dikenal sebagai bapak Teori Interaksionisme Simbolik ini menekankan sebuah pemahaman dunia sosial berdasarkan pentingnya makna yang diproduksi dan diinterpretasikan melalui simbol-simbol dalam interaksi sosial.[4]
Para pemikir dalam tradisi teori interaksionisme simbolik dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran Iowa dan Chicago. Aliran Iowa meskipun mengacu pada prinsip-prinsip dasar pemikiran teori interaksionisme simbolik, kalangan pemikir aliran Iowa banyak yang menganut tradisi epistemologi dan metodologi post-positivis. Sedangkan Aliran Chicago banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan pemikiran George Herbert Mead. George Herbert Mead mengemukakan bahwa makna muncul sebagai hasil interaksi diantara manusia, baik secara verbal maupun nonverbal. Melalui aksi dan respons yang terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanya kita dapat memahami suatu peristiwa dengan cara-cara tertentu.[5] .
Dalam deskripsi Mead, proses “pengambilan peran” menduduki tempat yang penting. Interaksi berarti bahwa para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain. Dengan berbuat demikian, mereka mencoba mencari maksud dari aksi yang diberikan oleh pihak lain, sehingga komunikasi dan interaksi dimungkinkan. Jadi interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak saja, melainkan terutama melalui simbol-simbol yang perlu dipahami dan dimengerti maknanya. Artinya, tanda yang menentukan. Dalam interaksi simbolik, orang mengartikan dan menafsirkan tanda dan orang lain atau masyarakat  bertindak sesuai dengan makna tanda itu.
Interaksi simbolik mendasarkan gagasannya atas enam hal berikut ini :
a. Manusia membuat keputusan dan bertindak pada situasi yang dihadapinya sesuai dengan pengertian subjektifnya. b. Kehidupan sosial merupakan proses interaksi, kehidupan sosial bukanlah struktur atau bersifat struktural dan karena itu akan terus berubah. c. Manusia memahami pengalamannya melalui makna dari simbol yang digunakan di lingkungan terdekatnya (primary group), dan bahasa merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan sosial. d. Dunia terdiri atas berbagai objek sosial yang memiliki nama dan makna yang ditentukan secara sosial. e. Manusia mendasarkan tindakannya atas interpretasi mereka, dengan mempertimbangkan dan mendefenisikan objek-objek dan tindakan yang relevan pada situasi saat itu. f. Diri seseorang adalah objek signifikan dan sebagaimana objek sosial lainnya, diri didefenisikan melalui interaksi sosial dengan orang lain.
Karya Mead yang paling terkenal yang berjudul Mind, Self, and Society, menggaris bawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Ketiga konsep ini saling memengaruhi satu sama lain dalam teori interaksionisme simbolik.
Ketiga konsep tersebut adalah pikiran manusia (mind), diri (self), dan masyarakat (society). Pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial diri (self) dengan yang lain digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) dimana kita hidup. Ketiga konsep tersebut memiliki aspek-aspek yang berbeda, namun berasal dari proses umum yang sama, yang disebut ‘tindakan sosial’ (social act). Tindakan sosial (social act) adalah suatu unit tingkah laku lengkap yang tidak dapat dianalisis ke dalam subbagian tertentu.[6]
Mead mendefenisikan pikiran (mind) sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama. Mead percaya bahwa manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Bayi tidak dapat benar-benar berinteraksi dengan orang lainnya sampai ia mempelajari bahasa (language), atau sebuah sistem simbol verbal dan nonverbal yang diatur dalam pola-pola untuk mengekspresikan pemikiran dan perasaan.
              Bahasa bergantung pada apa yang disebut Mead sebagai simbol signifikan (significant symbol), atau simbol-simbol yang memunculkan makna yang sama bagi banyak orang [7]. Contohnya, ketika orangtua berbicara dengan lembut kepada bayinya, bayi itu mungkin akan memberikan respons, tetapi dia tidak seutuhnya memahami makna dari kata-kata yang digunakan orangtuanya. Namun ketika bayi tersebut mulai mempelajari bahasa, bayi itu melakukan pertukaran makna atau simbol-simbol signifikan dan dapat mengantisipasi respons orang lain terhadap simbol-simbol yang digunakan. Hal ini, menurut Mead adalah bagaimana suatu kesadaran berkembang.
Dengan menggunakan bahasa dan berinteraksi dengan orang lain, kita mengembangkan pikiran dan ini membuat kita mampu menciptakan setting interior bagi masyarakat yang kita lihat beroperasi di luar diri kita. Jadi, pikiran dapat digambarkan sebagai cara orang menginternalisasi masyarakat. Namun, pikiran tidak hanya bergantung pada masyarakat. Mead menyatakan bahwa keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Pikiran merefleksikan dan menciptakan dunia sosial. Ketika seseorang belajar bahasa, ia belajar berbagai norma sosial dan aturan budaya yang mengikatnya. Selain itu, ia juga mempelajari cara-cara untuk membentuk dan mengubah dunia sosial melalui interaksi.
Menurut Mead, salah satu dari aktivitas penting yang diselesaikan orang melalui pemikiran adalah pengambilan peran (role taking), atau kemampuan untuk secara simbolik menempatkan dirinya sendiri dalam diri khayalan dari orang lain. Proses ini juga disebut pengambilan perspektif karena kondisi ini mensyaratkan bahwa seseorang menghentikan perspektifnya sendiri terhadap sebuah pengalaman dan sebaliknya membayangkannya dari perspektif orang lain.
Mead menyatakan bahwa pengambilan peran adalah sebuah tindakan simbolis yang dapat membantu menjelaskan perasaan kita mengenai diri dan juga memungkinkan kita untuk mengembangkan kapasitas untuk berempati dengan orang lain.
Mendefenisikan diri (self) sebagai kemampuan untuk merefleksikan diri kita sendiri dari perspektif orang lain. Mead meyakini bahwa diri tidak berasal dari introspeksi atau dari pemikiran sendiri yang sederhana, melainkan dari bagaimana kita dilihat oleh orang lain. Meminjam konsep yang berasal dari sosiologis Charles Cooley, Mead menyebut hal tersebut sebagai cermin diri (looking-glass self), atau kemampuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam pantulan dari pandangan orang lain. Cooley (1972) meyakini tiga prinsip pengembangan yang dihubungkan dengan cermin diri, yaitu : pertama, kita membayangkan bagaimana kita terlihat di mata orang lain; Kedua, kita membayangkan penilaian mereka mengenai penampilan kita; ketiga, kita merasa tersakiti atau bangga berdasarkan perasaan pribadi ini. Pemikiran Mead mengenai cermin diri ini mengimplikasikan kekuatan yang dimiliki label terhadap konsep diri dan perilaku. Label menggambarkan prediksi pemenuhan diri, yaitu harapan pribadi yang memengaruhi perilaku.
Ketika Mead berteori mengenai diri, ia mengamati bahwa melalui bahasa orang mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi dirinya sendiri. Sebagai subjek, kita bertindak, dan sebagai objek, kita mengamati diri kita sendiri bertindak. Mead menyebut subjek, atau diri yang bertindak sebagai I, dan objek atau diri yang mengamati sebagai Me. I bersifat spontan, impulsif, dan kreatif, sedangkan Me lebih reflektif dan peka secara sosial. Mead melihat diri sebagai sebuah proses yang mengintegrasikan antara I dan Me.
Mead mendefenisikan masyarakat (society) sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu-individu terlibat di dalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Jadi, masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi juga tetapi juga diciptakan dan dibentuk oleh individu, dengan melakukan tindakan sejalan dengan orang lain.
Mead berbicara mengenai dua bagian penting masyarakat yang memengaruhi pikiran dan diri. Pemikiran Mead mengenai orang lain secara khusus (particular others) merujuk pada individu-individu dalam masyarakat yang signifikan bagi kita. Orang-orang ini biasanya adalah anggota keluarga, teman, dan kolega di tempat kerja. Identitas dari orang lain secara khusus dan konteksnya memengaruhi perasaan akan penerimaan sosial kita dan rasa mengenai diri kita.
Orang lain secara umum (generalized other) merujuk pada cara pandang dari sebuah kelompok sosial atau budaya sebagai suatu keseluruhan. Hal ini diberikan oleh masyarakat kepada kita, dan “sikap dari orang lain secara umum adalah sikap dari keseluruhan komunitas”[8]. Orang lain secara umum menyediakan informasi mengenai peranan, aturan, dan sikap yang dimiliki bersama oleh komunitas. Orang lain secara umum juga memberikan kita perasaan mengenai bagaimana orang lain bereaksi kepada kita dan harapan sosial secara umum. Perasaan ini berpengaruh dalam mengembangkan kesadaran sosial.
Herbert Blumer, mahaguru Universitas California di Berkeley, seperti dikutip Veeger (1993), telah berusaha memadukan konsep-konsep Mead ke dalam suatu teori sosiologi yang sekarang dikenal dengan nama interaksionisme simbolik, sebuah ekspresi yang tidak pernah digunakan Mead sendiri. Blumer menyebutnya istilah tersebut sebagai, “a somewhat barbaric neologism that I coined in an offhand way... The term somehow caught on” (sebuah kata baru kasar yang aku peroleh tanpa pemikiran... Istilah yang terjadi begitu saja)[9] Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.

3.Paradigma Konstrutivisme Dalam Penelitian Hukum
  Berkaitan dengan Paradigma Konstruktivisme dalam kaitan dengan penelitian terdapat pandangan FX Adji Samekto dalam salah satu tulisan “Menempatkan Paradigma Penelitian Dalam Pendekatan Hukum Non Doktrinal dan Penelitian dalam Ranah Sosio Legal” menyatakan:[10]
              Setiap mahasiswa S3 Ilmu Hukum UNDIP dalam melakukan penelitian, kecuali penelitian hukum doktrinal, dianjurkan untuk menggunakan sebuah paradigma tertentu. Hal ini menuntut pemahaman tentang beberapa teori yang dipergunakan dalam penelitiannya. Paradigma adalah serangkaian panduan yang membimbing bagaimana peneliti melihat realitas (ontologis), melihat hubungan peneliti dengan objek penelitian (epistemologis) dan bagaimana seharusnya penelitian itu harus dilakukan (metodologis). Tentu saja metode yang lahir dari penelitian dalam paradigma tertentu harus berbasis pada konsistensi ontologis dan epistemologis. Oleh karena itu sekali kita memilih paradigma tertentu, maka kita harus konsisten secara ontologi, epistemologi dan metodologinya. Uraian yang didasarkan pada berbagai sumber terkemuka seperti dari Guba dan Lincoln, Sarantakos, Unger, Neuman lalu B.Arief Sidharta, Sidharta serta Sulistyowati Irianto ini ditulis untuk sekedar menjelaskan bagaimana sesungguhnya yang dimaksud dengan paradigma penelitian serta apa hubungannya dengan penelitian dalam kajian sosio-legal.
Paradigma digunakan untuk mencapai akurasi dalam penelitian sosial. Bukan penelitian hukum. Penelitian sosial adalah penelitian yang bertujuan mengkaji perilaku manusia. Di dalam ilmu sosial, sudah dikenal 3 (tiga) paradigma besar : Positivisme, Interpretivisme dan Kritikal.  Sebenarnya ada paradigma baru yaitu Post-Modernisme, tetapi banyak ahli berpendapat bahwa Post-Modernisme belum bisa disejajarkan dengan ketiga paradigma sebelumnya (Lihat Sarantakos,1997). Berdasarkan hal ini tulisan ini mengikuti pendapat bahwa ada 3 paradigma besar yaitu Positivisme, Interpretivisme dan Kritikal.
Pada bagian lain FX. Adji Samekto menguraikan perbedaan paradigma Positivisme dengan Paradigma Konstruktivisme.
a.      Paradigma Positivisme
Paradigma Positivisme berangkat dari ajaran-ajaran yang dibangun dalam filsafat positivisme dalam ilmu pengetahuan alam. Filsafat positivisme berangkat dari ajaran Auguste Comte (1798-1857). Untuk memahami paradigma positivisme, maka harus dipahami filsafat positivisme tersebut. Filsafat positivisme berangkat dari keyakinan-keyakinan :
(1)   Logiko-empirik ;
Kebenaran hanya mungkin diverifikasi melalui pembuktian empiris. Jadi memerlukan pembuktian terlebih dahulu (perlu bukti terlebih dahulu) Ini yang disebut : dalam positivisme pengetahuan diperoleh secara aposteriore (setelah ada pembuktian dahulu).
(2)   Realitas objektif ;
Realitas yang benar adalah realitas yang berasal dari objek telaah (apa adanya, objektif, tanpa prasangka, berbasis hal yang tampak kasat mata). Realitas selalu dinilai sebagai apa adanya karena antara subjek (peneliti) dengan objek (yang diteliti) selalu ada “jarak” atau terpisah. Adanya jarak ini menyebabkan objek dapat dikaji oleh siapa pun dengan kesimpulan yang sama. Jadi paradigma positivisme ini akan melihat hukum sebagai realitas. Artinya hukum dimaknai sebagai seperangkat aturan tertulis yang dikeluarkan oleh subjek yang berkuasa, mengandung perintah. Itu saja, dan tidak berurusan dengan nilai-nilai intrinsik di dalam hukum. Artinya hukum dilihat oleh manusia (masyarakat) sebagai fakta, tidak dilihat apakah ia mengandung nilai-nilai. Paradigma positivisme tidak berbicara tentang nilai-nilai atau esensi. Positivisme tidak berbicara tentang metafisik. Apakah hukum itu buruk atau baik, bukan urusan paradigma positivisme.
(3)   Reduksionis ;
Objek penelitian selalu dapat dipahami dengan cara memecahnya,ke dalam satuan yang lebih kecil. Fenomena yang kompleks dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur kecil. Pengamatan terhadap satuan-satuan yang terukur inilah yang kemudian dapat digeneralisasi untuk memahami keseluruhan utuh atas suatu objek penelitian. Jadi cara pandangnya sangat matematis. Objek penelitian dilihat sebagai satu kesatuan unsur yang bisa dipecah-pecah dan bila disatukan kembali bisa membentuk satu kesatuan unsur. Inilah yang melahirkan teori struktural fungsional yang digagas oleh Talcott Parson.
(4)   Netral /Bebas Nilai ;
Realitas yang benar adalah realitas yang berasal dari objek telaah (apa adanya, objektif, tanpa prasangka, berbasis hal yang tampak kasat mata). Dengan demikian antara peneliti dengan objek penelitian kedudukannya terpisah. Peneliti mengamati sebagai pihak di luar objek, yang tidak dilandasi asumsi-asumsi subjektif seperti nilai-nilai, keyakinan, aliran politik dan lain-lain.

(5)   Deterministik ;
Istilah deterministik menunjukkan pengertian “sebab-akibat”, saling tergantung. Kejadian satu tidak akan terjadi kalau tidak didahului kejadian lain. Filsafat positivisme, yang menjadi acuan paradigma positivisme ini, meyakini adanya hubungan sebab-akibat (kausal) yang bersifat linear. Hubungan sebab-akibat ini dirumuskan dalam bentuk dalil-dalil. Kumpulan dari dalil-dalil ini memiliki kaitan sistemik untuk membangun teori. Oleh karena itu di dalam paradigma positivisme, kegunaan teori adalah untuk meramalkan, mengendalikan,tidak sekedar menjelaskan suatu fakta.

b.      Paradigma Interpretivisme
Paradigma interpretivisme atau konstruktivisme boleh disebut sebagai penyangkalan terhadap paradigma positivisme. Apabila di dalam paradigma positivisme diyakini bahwa realitas itu bisa diamati berulang-ulang dan hasilnya sama dan bisa digeneralisasikan, maka paradigma interpretive atau konstruktivisme menyangkalnya. Konstruktivisme memahami kebenaran realitas bersifat relatif, berlaku sesuai dengan konteks spesifik yang relevan dengan pelaku sosial. Konstruktivisme, dengan demikian menolak generalisasi untuk berupaya menghasilkan deskripsi yang unik.
Paradigma konstruktivisme berangkat dari keyakinan bahwa realitas itu beragam. Realitas berada dalam beragam konstruksi mental yang bersifat subjektif pada diri manusia (masyarakat), yang didasarkan pada pengalaman sosial, agama, budaya, sistem nilai-nilai lainnya dan bersifat lokal. Oleh karena itu di dalam paradigma interpretivism atau konstruktivisme ini, realitas yang diamati oleh peneliti tidak bisa digeneralisasikan. Hal ini karena tiap fenomena sesungguhnya merupakan hasil konstruksi (persepsi) masing-masing individu atau masyarakat, dimana konstruksi (persepsi) itu muncul sebagai “resultante” dari pengalaman sosial, agama, budaya, sistem nilai-nilai lainnya dan bersifat lokal.
Jadi peneliti yang menggunakan paradigma konstruktivisme ini harus bisa mengungkap hal-hal yang tidak kasat mata. Penelitinya harus mampu mengungkap pengalaman sosial, aspirasi atau apapun yang tidak kasat mata tetapi menentukan sikap-sikap,perilaku atau tindakan objek peneliti. Dengan demikian disini ada subjektivitas dari peneliti terutama untuk bisa menafsirkan hal-hal yang tidak kasat mata tadi. Jadi diperlukan adanya interaksi subjektif antar keduanya. Disinilah kemudian konstruktivisme (interpretivism) menerapkan metode hermeneutik dan dialektika dalam proses pencapaian kebenaran. Hermeneutik, dilakukan melalui identifikasi kebenaran/kontruksi pendapat orang per orang. Akan tetapi ini butuh waktu yang lama. Dialektika, dilakukan dengan membandingkan pendapat untuk memperoleh suatu konsensus.

4.Paradigma Postivisme, Pospostivisme, Konstruktivisme
       Untuk memahami lebih komprehensif tentang Paradigma Konstruktivime, perlu paradigma ilmu, karena pembahasan tentang paradigma ilmu termasuk bagian dari materi filsafat ilmu. Sedangkan filsafat ilmu merupakan salah satu cabang kajian filsafat yang membahas tentang hakikat ilmu.[11]
Sebelum membahas aliran-aliran paradigma ilmu, lebih dulu penulis kemukakan hasil penulusuran asal-usul filsafat. Ach. Maimun Syamsuddin menyatakan, pada umumnya para ilmuwan menganggap bahwa tanah tumpah darah filsafat adalah Yunani. Namun Al-Farabi dalam Tahsil al-Sa’adah mencatat bahwa orang-orang Kaldan (kawasan Mesopotamia) sejak zaman purba merupakan pemilik tradisi filsafat yang diwarisi orang-orang Mesir lalu turun ke Yunani. Di Yunani inilah memang tradisi mencari kearifan dilakukan lebih intensif, dengan metode yang kian teratur dan sistematis, berusaha melepaskan diri dari berbagai mitos.[12][2]
     Muhammad Al Bahi dalam Al-Janibul Ilahi minat afkiril Islami menerangkan pula adanya sumber-sumber filsafat termasuk dari kebudayaan Timur yakni dari agama-agama Aria, yaitu: Brahma, Budha, Zuruastra dan Manu, serta dari agama-agama Semit, yaitu: Yahudi dan Masehi (Kristen).[13]
Al Bahi menyatakan, filsafat Greek (Yunani) bukanlah ciptaan para filsuf Greek. Bukti dan argumen yang dikemukannya adalah bahwa di dalam filsafat Yunani terdapat hubungan dengan agama primitif Yunani yang menjadi unsur-unsur filsafatnya. Contohnya, filsafat Yunani menjadikan “api hiraqlith” sebagai asal alam, sebagai indikasi bahwa ada pengaruh agama Timur di dalamnya, sebab penyucian dengan api pada umumnya ada di agama-agama Timur. Selain itu dalam filsafat Yunani juga menjadikan “akal iliyah-i” sebagai asal alam, barangkali adalah konklusi penyucian jiwa, sebagai asal akidah agama primitif.[14]
 Martin Bernal dalam bukunya Black Athena, menyelidiki jalinan kesetaraan dan keserupaan kebudayaan dan intelektual antara peradaban Semit (Yahudi), Yunani dan Mesir. Ternyata Bahasa Yunani, walaupun termasuk rumpun bahasa Indo-Eropa, banyak meminjam perbendaharaan kata bahasa Kan’an dan bahasa Mesir. Peradaban Yunani banyak terpengaruh oleh peradaban Mesir dan Funesia, akibat penjajahan selama 1500 tahun oleh kedua bangsa itu. George Sarton menegaskan bahwa ’keajaiban’ Yunani dalam bidang sains sebenarnya telah didahului oleh ribuan tahun pencapaian sains di Mesir dan Mesopotamia, sehingga pandangan bahwa sains bermula dari Yunani adalah pemalsuan hakikat sejati yang merupakan sikap ’kekanak-kanakan’. Prof. George GM. James dalam bukunya Stolen Legacy: Greek Philosophy is Stolen Egyptian Philosophy memaparkan tesis bahwa para filosof Yunani seperti Thales, Pythagoras, Socrates, Plato dan sebagainya telah menerima pendidikan atau setidaknya meminjam buah pikiran para paderi dan pendeta Mesir.[15]
Dengan demikian, banyaknya literatur yang menuliskan bahwa asal-usul filsafat berasal dari Yunani hendaknya perlu diluruskan sebab pandangan tersebut hanya akan menyembunyikan sejarah filsafat.
           
Filsafat sendiri sebenarnya juga menjadi kajian ilmu. Namun, dalam definisi yang umumnya diakui ada perbedaan antara ilmu dengan filsafat.
Definisi ilmu ternyata beragam, berdasarkan pendapat para ahli yang berbeda. C.A. Peursen menyatakan bahwa ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.[16]
 Mohammad Hatta mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut hubungannya dari dalam. Ralp Ross dan Ernest van Den Haag menyatakan bahwa ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya serentak. Cambridge Dictionary 1995 mengartikan ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang benar, mempunyai objek dan tujuan  tertentu dengan sistim, metode untuk berkembang serta berlaku universal yang dapat diuji kebenarannya.
Begitu pula definisi filsafat ada bermacam-macam menurut pendapat para ahli filsafat dari waktu ke waktu. Plato memandang filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Plato juga menyatakan bahwa filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada. Aristoteles menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Aristoteles juga menyatakan bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu. Sementara itu Al Farabi mengartikan filsafat adalah ilmu tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya.[17]
Apabila diperhatikan berbagai definisi tentang ilmu tersebut, dapat dikatakan bahwa ilmu bukanlah sekadar pengetahuan, tetapi merupakan sekumpulan pengetahuan yang benar dan dapat secara sistematik diuji dengan suatu metode. Sedangkan penggunaan metode ilmiah akan bergantung pada paradigma ilmu yang akan dibahas selanjutnya dalam makalah ini, apakah suatu metode ilmiah bersifat tetap sebagai pedoman yang positivistik demi menentukan kepastian cara menguji kebenarannya, ataukah metode tersebut dapat berubah-ubah.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan, filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika.
Namun demikian, ketika filsafat dikaji dalam dan sebagai suatu studi ilmiah maka filsafat juga menjadi bagian dari ilmu itu sendiri, termasuk pula filsasat ilmu. Hal itu tampak pada bagaimana perbedaan ahli dalam memandang filsafat ilmu.
A. Cornelius Benjamin memandang filsafat ilmu sebagai berikut. ”That philosophic discipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual disciplines.”[18] Di sini Cornelius Benjamin memandang filsafat imu merupakan cabang dari filsafat.
Namun, Conny Semiawan dan kawan-kawan (at al) menyatakan bahwa filsafat ilmu pada dasarnya adalah ilmu yang berbicara tentang ilmu pengetahuan (science of sciences) yang kedudukannya di atas ilmu lainnya.[19][Di sini Conny Semiawan at al memandang filsafat ilmu sebagai ilmu tentang ilmu pengetahuan.
       Kajian  selanjutnya akan menelaah tentang beberapa paradigma ilmu yang saya batasi pada paradigma positivisme, pospositivisme dan konstruktivisme.
Pemikiran manusia dari zaman ke zaman selalu berubah, mengalami perkembangan. Kita dapat menelaah sejarah di mana ilmu pada zaman sebelum Masehi sudah berkembang, terutama yang terkenal di Mesopotamia, Babilonia, Mesir, India, Cina hingga zaman Yunani Kuno.
Perkembangan agama Kristen di Eropa pada zaman Masehi turut mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan pada waktu itu, di mana hegemoni tafsir ayat agama dalam pemerintahan yang sempat mengintervensi dan menghakimi pemikiran ilmiah seperti yang terkenal terjadi pada kasus Galileo yang melakukan falsifikasi terhadap pandangan geosentris, dengan mengemukakan teori baru bahwa matahari merupakan pusat tatasurya (heliosentris).
Namun demikian kesewenang-wenangan gereja tersebut tidak membuat para ilmuwan menyerah. Kondisi-kondisi masyarakat Eropa seperti itu justru memunculkan para ilmuwan dan filsuf yang peduli terhadap perubahan sosial, berusaha melakukan perubahan dengan mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga muncullah gagasan-gagasan atau paradigma tentang ilmu pengetahuan, di antaranya positivisme, pospositivisme, konstruktivisme.

4.1. Positivisme
         Pemikir Barat yang dianggap sebagai pencetus positivisme adalah Auguste Comte dengan nama lengkap Isidore Marie Auguste François Xavier Comte; lahir di Montpellier,  Perancis, 17 Januari 1798. Comte meninggal di Paris 5 September 1857 pada umur 59 tahun. Comte merupakan seorang ilmuwan Perancis yang dijuluki sebagai "bapak sosiologi". Dia dikenal sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial.[20]
Aguste Comte hidup pada zaman pasca Revolusi Perancis abad ke-19 yang karut-marut. Pada mulanya Comte merupakan seorang ahli fisika dan politeknik terkemuka zaman itu. Ia mencoba memberikan sebuah solusi tentang konsep masyarakat ideal yang disebutnya sebagai masyarakat positivistik. 
Auguste Comte saat itu menggambarkan masyarakat Perancis dalam tiga tahap, yaitu masyarakat teologis atau mitos, masyarakat metafisika, dan masyarakat positivis yang disebut oleh Aguste comte sebagai masyarakat yang mapan.
Comte melihat keadaan Perancis sama dengan keadaan di Eropa pada umumnya. Maka Comte menetapkan satu hukum universal dalam semua ilmu pengetahuan yang kemudian ia sebut sebagai 'hukum tiga fase'. Menurutnya, masyarakat berkembang melalui tiga fase: teologi, metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut "tahap ilmiah").
Fase teologi tersebut berada di permulaan abad pencerahan, dimana kedudukan seorang manusia dalam masyarakat dan pembatasan norma dan nilai manusia didapatkan didasari pada perintah Tuhan. Masa itu ditandai adanya dominasi hukum gereja. Ilmu pengetahuan yang berkembang dilarang berlawanan dengan ayat-ayat Injil. Tetapi, tentu saja ayat-ayat Injil tersebut ditafsirkan oleh otoritas agama yang tidak luput dari kekeliruan.
Fase berikutnya adalah fase metafisika, yaitu tahap di mana manusia dengan akal budinya mampu menjelaskan tentang realitas, fenomena, dan berbagai peristiwa dicari dari alam itu sendiri. Comte berpendapat bahwa metafisika belum bisa bersifat empirik, sehingga tidak akan menghasilkan pengetahuan baru tentang realitas dan belum dapat menjelaskan hukum alam, kodrat manusia dan keharusan mutlak tentang manusia.
Comte menyatakan bahwa cara berfikir manusia harus keluar dari dua tahap tersebut, yaitu dengan masuk pada fase berikutnya, yaitu tahap pengetahuan positivis yang dapat dijadikan sarana untuk memperoleh kebenaran dengan cara observasi untuk menemukan keteraturan dunia fisik maupun sosial.
Comte mengembangkan suatu penggolongan hirarkis dan sistematis dari semua ilmu pengetahuan, termasuk ilmu fisika tidak tersusun teratur ( ilmu perbintangan, ilmu pengetahuan bumi dan ilmu kimia) dan ilmu fisika organik (biologi) dan bentuk badan sosial yang dinamai sosiologi.
Dalam paradigma positivisme ini, C.A. van Peursen menilai bahwa positivisme logis memecahkan kendala yang dihadapi empirisisme berkaitan dengan kaidah-kaidah logika dan matematika yang berlaku umum. Positivisme logis menganggap ilmu formal (matematika, logika) bukan sebagai pengetahuan yang berhubungan dengan sesuatu di luar bahasa (kenyataan). Positivisme logis bertolak dari data empiris, seperti pengamatan dan fakta yang dinyatakan dengan memakai ungkapan pengamatan atau “kalimat protokol”. Sedangkan ilmu formal tidak mengenai data empiris (kenyataan) tapi menjalin hubungan antara lambang-lambang yang membuka kemungkinan memakai data observasi yang telah diperoleh untuk menghitung (menyusun penjabaran logis dan deduksi).[21][12]
Anis Chariri membuat pengertian paradigma positivisme secara lebih sederhana berdasarkan pendapat Neuman (2003), yaitu suatu pendekatan yang diadopsi dari ilmu alam yang menekankan pada kombinasi antara angka dan logika deduktif dan penggunaan alat-alat kuantitatif dalam menginterpretasikan suatu fenomena secara “objektif”. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa legitimasi sebuah ilmu dan penelitian berasal dari penggunaan data-data yang terukur secara tepat, yang diperoleh melalui survei/kuisioner dan dikombinasikan dengan statistik dan pengujian hipotesis yang bebas nilai/objektif.
Dengan cara itu, suatu fenomena dapat dianalisis untuk kemudian ditemukan hubungan di antara variabel-variabel yang terlibat di dalamnya. Hubungan tersebut adalah hubungan korelasi atau hubungan sebab akibat. Paradigma positivisme membuat parameter bahwa ilmu sosial dan ilmu alam menggunakan suatu dasar logika ilmu yang sama, sehingga seluruh aktivitas ilmiah pada kedua bidang ilmu tersebut harus menggunakan metode yang sama dalam mempelajari dan mencari jawaban serta mengembangkan teori. Dunia nyata berisi hal-hal yang bersifat berulang-ulang dalam aturan maupun urutan tertentu sehingga dapat dicari hukum sebab akibatnya.[22]
Paradigma positivisme berpandangan bahwa teori terbentuk dari seperangkat hukum universal yang berlaku. Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk menemukan hukum-hukum tersebut. Dalam pendekatan ini, seorang peneliti memulai dengan sebuah hubungan sebab akibat umum yang diperoleh dari teori umum. Kemudian, menggunakan idenya untuk memperbaiki penjelasan tentang hubungan tersebut dalam konteks yang lebih khusus.
Dengan demikian paradigma ilmu positivisme merupakan paradigma yang menggunakan metodologi kuantitatif. Paradigma tersebut selanjutnya mendapatkan kritik para ilmuwan, termasuk mereka yang berparadigma pospositivisme.

         2.   Pospositivisme
Salah satu bentuk paradigma pospositivisme adalah paradigma interpretatif. Pendekatan interpretif berasal dari filsafat Jerman yang menitikberatkan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman dalam ilmu sosial. Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari dunia social dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Manusia secara terus menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain (Schutz, 1967 dalam Ghozali dan Chariri, 2007). Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk (Ghozali dan Chariri, 2007).[23]
Salah satu pendiri pospositivisme adalah Karl Popper. Karl Popper lahir di   Vienna,  Austria,  28 Juli 1902 dan meninggal di London, Inggris, 17 September  1994 (umur 92 tahun). Popper merupakan salah satu dari sekian banyak filsuf ilmu dan pakar dalam bidang psikologi belajar. Popper dikenal dengan gagasan falsifikasi, sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmu.[24]
Falsifikasi adalah gagasan melihat suatu teori dari sudut pandang kesalahan. Dengan menganggap teori itu salah, dan dengan segala upaya dibuktikan kesalahan tersebut hingga mutlak salah, dibuatlah teori baru yang menggantikannya. Saya berpendapat bahwa tujuan falsifikasi dimungkinkan semata-mata untuk terus-menerus mencari kebenaran suatu teori, bukan sebagai sikap subyektif untuk mencari-cari kesalahan yang motif negatif. Falsifikasi ala Popper di sini mempunyai motif positif. Salah satu contoh falsifikasi telah disebutkan di depan pada kasus Galileo Galilei yang membantah atau melakukan falsifikasi terhadap teori geosentris dengan mengemukakan teori heliosentris.
Di zaman yang lebih modern Albert Einstein juga melakukan falsifikasi teori tentang relativitas dalam mekanika. Einstein pada tahun 1905 memaparkan teori elektrodinamika benda yang bergerak. Dia memanfaatkan teori elektro-dinamika dari Maxwell, untuk menemukan batasan dari mekanika Newton, membenturkan kedua teori, yakni mekanika klasik dengan teori elektro-magnetisme.
Einstein hendak menunjukan bahwa kerangka fisika dan mekanika klasik yang berbasis ruang dan waktu absolut, yang secara matematik dituliskan sebagai transformasi Galileo Galilei, tidak berlaku dalam kecepatan amat tinggi. Einstein sekaligus membantah teori dari Heinrich Hertz mengenai medium yang disebut ether pembawa cahaya, dimana gaya listrik dan gaya magnet tidak dapat melampaui batasan ruang.
Dengan teorinya yang dijuluki sebagai Teori Relativitas Khusus itu Einstein menunjukan ternyata tidak ada waktu absolut, akan tetapi hanya ada ruang- waktu yang tergantung dari relasi-sistem. Dengan kata lain, dalam ruang-waktu yang memuai secara cepat, pengukur waktu yang berdetik cepat-pun akan berjalan lebih lambat. Teori elektro-dinamika benda bergerak itu, kemudian terbukti dalam percobaan di laboratorium menggunakan jam atom, serta dalam pengamatan waktu paruh dari partikel yang bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya.[25][16]
Kembali pada pemikiran Karl Popper tentang gagasan prinsip falsifikasinya. Popper menggarisbawahi bahwa akal baru sungguh-sungguh bersifat kritis, apabila mau membuang parameter yang mula-mula dipaksakan (imposed regulaties). Pandangan ini disebut pula sebagai rasionalisme kritis di mana rasionalisme tidak berarti bahwa pengetahuan didasarkan pada nalar seperti dikatakan Descartes dan Leibniz, melainkan bahwa sifat rasional dibentuk lewat sikap yang selalu terbuka untuk kritik.[26]Inilah di antaranya prinsip falsifikasi yang diutarakan oleh Popper dalam melakukan kritik terhadap paradigma positivisme yang dianggap kaku dengan cara menggunakan serta hanya mengakui metoda ilmiah yang umumnya digunakan (bersifat positivistik).
Senada dengan Karl Popper adalah I. Lakatos dalam tulisannya berjudul History of Science and its Rational Reconstructions pada buku Boston Studies in the Phylosophy of Science (1971) yang juga menyetujui model deduktif dalam metode ilmiah. Namun Lakatos menyangkal adanya kemungkinan untuk experimentum crucis, yaitu keadaan bahwa satu falsifikasi saja bisa menghancurkan suatu teori. Ia berpendapat bahwa yang terjadi dalam pembaharuan suatu ilmu sebetulnya merupakan peralihan dari teori yang satu ke teori yang lain. Teori-teori beruntun atau berdampingan sebagai alternative. Jika itu menghasilkan teori yang lebih baik, itu disebut program penelitian progresif, kalau tidak dinamakan degeneratif. Van Peursen tidak menggolongkan kritik Lakatos ini ke dalam paradigma konstruktivisme, tapi dia mengistilahkannya pemikiran Lakatos tersebut sebagai “bentuk peralihan yang mendekati kelompok ini (konstruktivisme).[27]
           
         3.    Konstruktivisme
      Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan telah ditangkap manusia adalah konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri (Matthews, 1994 dalam Suparno, 1997). Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh yang dialaminya.
Proses konstruksi pengetahuan berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru (Piaget, 1971 dalam Suparno, 1997). Suatu ilmu pengetahuan setelah mengalami proses yang cukup lama menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang lazim bagi manusia untuk dijadikan landasan dalam menjalani kehidupan keseharian. Sebelum dilazimkan oleh manusia sebuah pengetahuan mengalami penyempurnaan akibat bertambahnya pengalaman baru manusia yang disebut proses reorganisasi ilmu pengetahuan yang berupa pendefinisian kembali, pemantapan konsep dan ilmu pengetahuan yang relatif baku.[28]
Ada pendapat yang menyatakan bahwa gagasan pokok konstruktivisme dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemologi dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’ Vico menyatakan bahwa pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya (Suparno: 2008).[29]
Namun demikian penelitian sejarah pemikiran konstruktivisme lainnya dapat memberikan gambaran bahwa konstruktivisme lahir sebelum tahun 1970-an. Kita bisa membaca pemikiran Charles S. Pierce yang juga dianggap sebagai salah satu pemikir konstruktivisme, yang hidup pada tahun 1839-1914.
Van Peursen membagi konstruktivisme dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama dinyatakannya sebagai kelompok yang paling dekat dengan positivisme logis sebab sangat mementingkan logis ilmu. Kelompok ini disebut juga sebagai tesis “Duhem-Quine” mengacu pada pendapat W.V.O Quine yang disebut sebagai bentuk holisme atau bertolak dari keseluruhan. Sedangkan P. Duhem mengajarkan bahwa suatu sistem ilmiah terdiri atas lambang-lambang (simbol), atas konstruksi simbolik melalui kaidah logis seakan-akan menyajikan suatu “terjemahan” mengenai data empiris. Oleh karenanya ilmu harus mengadakan kontak dengan pengalaman.
Apabila terjadi konflik antara ilmu dengan pengalaman maka hal itu menyangkut sistem sebagai keseluruhan. Namun demikian ini tidak berarti bahwa seluruh sistem harus dihapus, biasanya cukup memperbaharui terjemahan dengan mengganti lambang-lambang tertentu. Quine melawan pendapat yang dogmatis dalam empirisme.[30]
Kelompok kedua diberi nama “filsafat ilmu baru.” Para tokoh dalam kelompok ini di antaranya P.K. Feyeabend, N.R. Hansen, Thomas Kuhn, M. Polanyi, S. Toulmin. Kelompok ini melangkah lebih jauh lagi di mana sistem dan kenyataan empiris saling resap-meresapi. Perkembangan ilmu terjadi melalui aturan di luar ilmu lebih berperan, seperti misalnya anggapan susila dan sosial.
Kelompok ini menaruh perhatian besar terhadap upaya menyusun suatu teori ilmiah, sehingga heuristik juga diperhatikan. Setiap analisis ilmiah bertolak dari organisasi bahan yang mendahuluinya, bertitik tolak pada gambaran menyeluruh yang menentukan terbentuknya sistem ilmu. Kuhn berpendapat bahwa pembenaran suatu teori bergantung pada struktur menyeluruh yang baru (paradigma). Verifikasi dan falsifikasi bukanlah hal yang menentukan. Heuristik mulai memegang peranan penting bagi metode suatu ilmu, khususnya bagi pembaharuannya.[31]
Kelompok ketiga yang menganut paham konstruktivisme disebut aliran “genetis.” Kelompok ini berpendapat bahwa terjadinya sistem, genesis sistem, merupakan bagian dari sifat khas sistem semacam itu. Proses terjadinya (genesis) dan hasilnya tidak dapat dipisahkan. Aliran ini dipengaruhi oleh pragmatisme dan instrumentalisme dari Charles S. Pierce dan J. Dewey. Titik pangkalnya dari anggapan Pierce dengan ajarannya tentang abduksi. Selain deduksi dan induksi, Pierce menyampaikan metode abduksi.[32]
Pierce itu menyatakan bahwa abduksi sebagai logika yang menentukan pembentukan hipotesis apapun. Setiap pengamatan dan interpretasi merupakan hipotesis yang dibuat berdasarkan abduksi. Sebagai sebuah proses sadar, abduksi merupakan bentuk ke tiga kesimpulan logis (seni melakukan penyimpulan), sesudah induksi dan deduksi. Abduksi bisa dipandang sebagai pencarian akan penjelasan terbaik bagi fenomena apapun yang diamati yang memerlukan penjelasan: X (misalnya, penggunaan tak terduga sebuah kata tertentu) sungguh luar biasa; A, B, C merupakan kemungkinan penjelasan akan penggunaan ini; B (misalnya posisi sosial penutur, yang membedakannya dari interlokuter lain) tampaknya paling meyakinkan. Jika B memang benar, fenomena X tidak lagi luar biasa; dengan demikian B diterima sebagai satu hipotesis yang bisa menguraikan kejadian X.[33]
Berdasarkan paparan diatas, maka dapat dipahami , bahwa onstruktivisme merupakan suatu pendekan yang diletakkan di “middle ground” pada Hubungan Internasional. Middle ground disini dapat diartikan menghindari teori-teori ekstrem strukturalisme dan juga teori-teori universal seperti neo-realisme dan postmodernisme. Konstruktivisme sendiri berfokus pada interaksi dari struktur dan lembaga dalam politik internasional, dan berusaha untuk menemukan jawaban khusus pada tantangan postmodernisme terhadap pengetahuan ilmiah agar mampu melakukan pengetahuan empiris[34] (Jill et al. 2005,181).
Konstruktivisme juga memberi perhatian pada ide-ide serta dampak dari norma yang ada dalam suatu kancah politik internasional. Secara lebih spesifik konstruktivisme mempunyai tema khas diantaranya adalah konstruksi kepentingan nasional, penyebaran hak asasi manusia, dampak dari organisasi internasional pada identitas negara dan perkembangan perubahan bentuk dalam masyarakat internasional.[35] (Jill et al.2005,181). Konstruktivisme dapat diartikan secara sederhana bahwa penganutnya tidak menerima segala keadaan sosial merupakan suatu hal yang given. Mereka menganggap bahwa itu semua merupakan suatu konstruksi sosial yang telah sengaja diciptakan.  Konstruktivisme juga menganggap bahwa pengetahuan sosial tidak dapat dioperasikan sama dengan pengetahuan alam, namun walaupun begitu penggunaan teori dan analisa secara empiris masih tetap dapat dilakukan dalam realitas politik internasional.
Jika ditinjau dari sejarahnya konstruktivisme mulai muncul sejak 1997 ketika Emanuel Adler menulis artikel European Journal of International Relations. Pada saat itu konstruktivisme muncul sebagai penengah antara dua kutub radikal yaitu rasionalisme dan reflektivisme. Menurut Adler (1997) konstruktivisme terletak diantara individualis rasionalisme dan holisme strukturalisme, diantara penjelasan rasionalisme dan struktur rasionalisme serta diantara materialisme integral rasionalisme dan ideationalisme dalam pendekatan kognitif. Konstruktivisme juga dianggap sebagai via-media karena menerima beberapa pemikiran ontologis reflektivisme, namun tetap pada tujuannya untuk memahami dan menjelaskan politik internasional.
Ada beberapa asumsi dasar dari konstruktivisme (Jill et all. 2005) Yang pertama adalah ketika teori rasional neo-neo mencoba untuk menjelaskan berbagai keadaan politik internasional, konstruktivisme lebih cenderung mencoba untuk “memahami” politik internasional yang ada. Tindakan memahami disini tidak mengherankan karena teori konstruktivisme ini merupakan salah satu teori dari sosiologi dimana sosiologi lebih banyak membahas tentang memahami berbagai motif subjek dan pandangan mengenai aktor dunia, yang dianggap akan mempunyai dampak lebih dalam kehidupan sosial. Asumsi dasar yang kedua adalah konstruktivisme mencoba untuk menjembatani jarak antara strukturalis dan teori agency-centred dan mereka berpendapat bahwa struktur dan agen saling tergantung satu sama lain. Sebagai akibatnya, kebanyakan hubungan sosial akan relatif stabil. Tetapi kebutuhan untuk terus mereproduksi struktur akan selalu membawa potensi perubahan.[36].
Yang ketiga adalah konstruktivisme sering disebut juga “critical realism”. Kata realisme disini tidak ada hubungannya dengan realisme seperti yang ada pada Hubungan Internasional, namun titik pandang epistemologisnya, banyak disederhanakan, dan antara lain berpendapat bahwa kita dapat menyimpulkan adanya struktur karena efek mereka, yang mereka mempengaruhi namun tidak selalu menentukan (Jill et al.2005,185). Selanjutnya konstruktivisme juga menekankan peran norma dalam kebiasaan seseorang. Kebijakan luar negeri, bukan hanya merupakan kepentingan nasional, namun juga penerimaan kebiasaan dalam masyarakat internasional. Konstruktivisme juga menekankan pada peran institusi serta proses institusionalisasi. Proses-proses yang diamati oleh konstruktivisme disini adalah pengembangan pola praktek, dan sosialisasi. Konstruktivisme mengamati bagaimana norma dan pola yang berlaku dalam terbentuknya suatu institusi.
Walaupun konstruktivisme fokus pada norma dan institusi namun mereka tidak mengesampingkan peran dari interest. Ada dua cara bagaimana kepentingan masuk ke dalam penelitian konstruktivisme. Yang pertama adalah bahwa kepantingan tidak diterima begitu saja. Konstruktivisme tertarik pada bagaimana suatu kepentingan diformulasikan, dan khususnya peran lembaga,norma, dan ide-ide dalam proses[37] (Jill et al.2005, 188). Yang kedua adalah konstruktivisme menganalisis hubungan saling mempengaruhi antara kepentingan dan ide. Yang terakhir adalah bahwa konstruktivis menganggap wacana sebagai suatu hal yang penting dalam suatu konstruksi sosial. Wacana dianggap sebagai alat untuk mencapai “intersubjective dialogue”.
Konstruktivisme juga mendapat kritik dari rasionalis dan reflektivis. Kritik rasionalis berfokus pada bukti empiris argumen yang diajukan konstruktivis. Mereka berpendapat bahwa “teka-teki” yang diajukan oleh konstruktivisme dapat cukup dijelaskan oleh kepentingan dan faktor “material”, dan dampak dari hal-hal seperti norma, jika ada, hanya merupakan sebagian kecil variasi dari perilaku negara[38]
Beberapa juga berpandapat bahwa konstruktivisme tidak mempunyai kesiapan dalam mengamati gagasan identitas atau norma. Sebagian lagi berpendapat bahwa konstruktivisme dioperasikan dengan pendefinisian yang tidak jelas. Selain itu juga ada kritik dari reflektivisme. Mereka menganggap bahwa konstruktivisme terlalu state-centrism. Negara diperlakukan sebagai aktor utama dalam hubungan internasional. Postmodernisme juga mengkritik bahwa konstruktivisme tidak menganggap bahasa secara serius. Ketika mereka mengakui pentingnya wacana, namun pemahaman mereka oleh kaum postmodernisme masih dianggap rendah.



[1] Morissan. 2009. Teori Komunikasi Organisasi. Jakarta : Ghalia Indonesia, halaman 7
[2]  Eryanto, 2004Analisis Wacana, Pengantar Analisis Isi Media. Yogyakarta : LKIS, halaman 13.
[3] Weber, 1958, Max. The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalisme. New York, halaman 56

[4] Ardianto, Elvinaro & Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Azra, Azyumardi. Halaman 135.
[5] [5] Morissan, opcit, halaman  75
[6]Morissan  Ibid, halaman 144
[7]West, Richard, dan Lynn H. Turner. 200). Mass Communication Theory,. Foundation, Ferment, and Future F ifth Edition. Boston:  Pustaka Utama.halaman 109
[8] Mead, George Herbert Mead, 1934/1962, Mind, Self an Society: From The Stand Point of Social Behaviorist, Chicago, University of Chicago Press.halaman 154.
[9] Steplen W. Littlejohn, (1996), Theories Of Human Communication, diterjemahkan oleh Tim BKU Komunikasi FPS UNPAD, tahun1997, di Bandung, Aubrey Fisher, (1996),halaman 160.
[10] FX Adji Samekto, Menempatkan Paradigma Penelitian Dalam Pendekatan Hukum Non Doktrinal dan Penelitian dalam Ranah Sosio Legal” http://adjisamekto.com, diakses 4 Juni 2014.
[11]Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008, hal. 20.
[12][Seyyed Hossein Nasr, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam (terjemahan), IRCiSoD, Jogjakarta, 2006, hal. 9.
[13]Muhammad Al Bahi, Aljanibul Ilahi (saduran Dja’far Soedjarwo), Il-Ikhlas, Surabaya, 1993, hal. 61.
[14][4] Ibid, hal. 101-102.
[15]Akar Permasalahan Filsafat Yunani,  http://www.averroes.or.id, 15 Mei 2014.
[16] B. Arief Sidharta, Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu Itu?, Pustaka Sutra, Bandung 2008, hal. 7-11.
[17] Ibid
[18] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu,  Liberty, Yogyakarta, 1991, hal. 58
[19] Semiawan, Conny et al., Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, CV Remaja Karya, Bandung, 1998, hal. 45.
 [20] ibid  
[21] C.A. van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, (terjemahan J. Drost), PT. Gramedia, Jakarta, 1989, halaman 82.
[22]Anis Chariri, Landasan Filsafat dan Metode Penelitian Kualitatif, Paper disajikan pada Workshop MetodologiPenelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Laboratorium Pengembangan Akuntansi (LPA), Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang, 31 Juli – 1 Agustus 2009, halaman 5.

[23] Ibid
[24] Ibid
[25]www.fisika.undip.ac.id, Seratus Tahun Karya Jenius Einstein, artikel diposting tanggal 26 Pebruari 2009.

[26]C.A. Peursen, op cit, hal. 84-85.
[27] Ibid, hal. 86.
[28][19]Suwandi, Filsafat Konstruktivisme Dalam Ilmu Pengetahuan, http://suwandi-sosialbudaya.blogspot.com, 27 Oktober 2013.

[29]Markus Basuki, Aliran-aliran Dalam Filsafat Ilmu: Filsafat Konstruktivisme, http://cor-amorem.blogspot.com
[30]CA. Peursen, op cit, hal. 87.
[31]Ibid, hal.88-89.
[32] Ibid, hal. 91.
[33]http://babang-juwanto.blogspot.com dikutip dari  Metode  Analisis Teks dan Wacana, Stefan Titscher; Michael Meyer; Ruth Wodak; Eva Vetter.
[34] Steans, Jill and Pettiford, Lloyd & Diez, Thomas, 2005. Introduction to International Relations, Perspectives & Themes, 2nd edition, Pearson & Longman, Chap. 7, halaman 181.
[35] Ibid.
[36] Ibid.halaman 185.
[37] Ibid, halaman 188.
[38] Ibid. Halaman 200

1 komentar:

Musonif mengatakan...

Mohon ijin copas untuk refferensi Makalah.
Wassalam.Terima kasih

Posting Komentar