KONSEP DISKRESI DALAM PERSPEKTIF HUKUM
Oleh : Turiman Fachturahman Nur
Prolog
Indonesia sebagai negara hukum
modern dalam arti materiil menganut paham negara kesejahteraan (welfare
state). Negara kesejahteraan dalam pengertian yang luas adalah negara yang
bukan hanya menjaga keamanan semata-mata namun juga aktif dalam mencampuri
urusan kemasyarakatan lainnya demi kesejahteraan rakyat. Negara kesejahteraan (walfare
state) itu negara hukum yang dinamis. Negara Indonesia menggunakan konsep
negara kesejahteraan. Suatu konsekuensi logis dari adanya negara yang bertipe welfare
state ini ada campur tangan yang cukup besar dari pihak pemerintah terhadap
aspek-aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Aspek
kehidupan masyarakat seperti aspek sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya
tidak terlepas dari campur tangan pemerintah. Di Indonesia hal ini jelas
tercantum di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
(UUDNRI) Tahun 1945 alinea keempat tentang tujuan negara Indonesia yang
menyatakan : “… untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”
Di dalam pembukan alinea keempat
itu jelas dinyatakan tujuan Negara Indonesia ialah salah satunya kesejahteraan
umum atau kesejahteraan sosial dimana ini sesuai dengan tipe Negara hukum yang
bertujuan untuk kesejahteraan. Tentunya dalam mencapai itu merupakan tugas
pemerintah Negara Indonesia yang menyelenggarakan negara yang akan mewujudkan
kemakmuran bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Sehingga pemerintah diberi
kekuasaan didalam UUDNRI untuk menguasai kekayaan dan segala hal yang
bermanfaat bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Kemudian hal itu dituangkan di
dalam pasal-pasal UUDNRI yang salah satunya terdapat didalam pasal 33 dan 34
tentang perekonomian dan kesejahteran sosial yang berbunyi : Pasal 33 ayat (1)
: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Ayat (2) : Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Ayat (3) : Bumi dan air dan kekayaan
alam serta yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 34 ayat (1) : Fakir miskin dan
anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Ayat (2) : Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Ayat
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak.
Di atas sudah jelas bahwa
pemerintah negara Indonesia memiliki tugas yang cukup berat dan luas.
Pemerintah dituntut untuk melindungi dan menguasai kekuasaan negara demi
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia ,mencerdaskan kehidupan bangsa,
melindungi rakyat dan memberikan pelayanan pada rakyat. Maka dari itu
pemerintah mendapat freies ermessen/diskresi, atau kewenangan untuk
turut campur dalam berbagai bidang kegiatan hukum tata perintahan.
Pemilihan Indonesia sebagai
Negara kesejahteraan, negara hukum yang dinamis dengan freies ermessen/diskresi,
menurut E.Utrecht mengundang konsekuensi sendiri dalam bidang
perundang-undangan, yakni diberikannya kewenangan bagi pemerintahan membuat
peraturan perundangan baik atas inisiatif sendiri maupun atas delegasi yang
diterima dari UUDNRI serta menafsirkannya sendiri.
Dalam hukum tata pemerintahan
penggunaan asas diskresi atau freies ermessen sering dilakukan oleh aparat
pemerintah karena beberapa faktor-faktor yang mendukung dilakukannya diskresi.
Contohnya ialah peraturan gubernur Jawa Timur (Pak de Karwo) yang melarang
kerapan sapi di Madura dengan kekerasan atau alat yang membahayakan sapi
tersebut. Kemudian keputusan walikota solo (Pak Jokowi) yang menolak
dibangunnya pasar modern dikawasan budaya. Contoh contoh lainnya banyak sekali.
Penggunaan asas diskresi dalam praktet-praktek tata pemerintahan juga tidak
sembarangan karena juga harus berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang
baik. Dalam tulisan ini , penulis memaparkan
mengenai penggunaan asas diskresi dalam perpektif hukum di Indonesia
A.
Pengertian Diskresi
Pengertian discretion (Inggris) secara
bahasa: freedom or authority to make dicisions and choises power to judge or
act [1]. Alvina
Treut Burrows (ed) menyatakan discreation: ability to choose wisely or to jugde
one self (kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi
diri sendiri)[2]. Prajudi
Atmosoedirdjo menerjemahkan discreation sebagai kebebasan bertindak atau
mengambil keputusan menurut pendapat sendiri[3].
Ada pun secara istilah, berikut ini
penulis kutipkan beberapa pendapat:
1. Yan
Pramadya Puspa dalam Kamus Hukum, menyatakan discretionair (Bel) berarti
kebijaksanaan; memutuskan sesuatu tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan
peraturan, undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar
kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan[4].
2. Indarti
Erlyn mendefinisikan diskresi sebagai kemerdekaan dan atau otoritas/ kewenangan
untuk membuat keputusan serta kemudian mengambil tindakan yang dianggap tepat/
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, yang dilakukan secara
bijaksana dan dengan memperhatikan segala pertimbangan maupun pilihan yang
memungkinkan[6].
Dari beberapa
definisi di atas dapat dinyatakan bahwa pengertian diskresi itu mencakup
kewenangan yang bersifat merdeka untuk mengambil keputusan yang tepat/ sesuai
dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan
peraturan, undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar
kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan.
Selain dalam bidang
hukum, diskresi juga dikenal dalam institusi yang lain. Misalnya juga ditemukan
dalam bidang administrasi negara dan institusi kepolisian.
Diskresi dalam bidang
administrasi negara dikenal dengan istilah freis ermessen. Freis Ermessen
berarti salah satu sarana yang memberikan ruang gerak bagi pejabat atau badan
administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya
pada undang-undang[7].
Diskresi (freies ermessen) adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan
pada pejabat publik yang berwenang berdasarkan pendapat sendiri. Diskresi
diperlukan sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan
bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan
ketentuan undang-undang, akan tetapi tidak mungkin bagi undang-undang untuk
mengatur segala macam hal dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu
diperlukan adanya kebebasan atau diskresi pada pejabat publik dalam
melaksanakan tugas, fungsi dan kewajiban yang dibebankan kepadanya [8].
Kebijakan yang
berdasarkan kewenangan freis ermessen disebut peraturan kebijakan; adalah
peraturan yang semata-mata berkaitan dengan doelmatigheid sehingga tidak
terkait dengan unsur rechmatigheid, bahkan dapat menyimpangi rechmatigheid.
Kesan seperti ini adalah keliru. Unsur doelmatigheid sebagai landasan
kewenangan freis ermessen haruslah suatu tujuan atau manfaat yang dibenarkan
hukum[9].
Tindakan yang
termasuk kategori freis esmessen ini—setiap tindakan administrasi negara di
luar wewenang yang telah ditetapkan secara hukum—antara lain: tindakan yang
melampaui wewenang (detournement de pouvoir), bahkan dapat melawan hukum
(onrechmatigover-heidsdaad), atau penyalahgunaan wewenang (misbruik van recht)[10].
Dalam institusi
kepolisian RI juga dikenal adanya kewenangan diskresi. Diskresi kepolisian
merupakan realisasi dari azas kewajiban (salah satu azas yang melandasi
penggunaan wewenang polri dalam menjalankan tugas). Azas kewajiban ini bersifat
preventif dan represif non yustisiil (pemeliharaan ketertiban) dalam menghadapi
pencegahan suatu tindak pidana yang akan terjadi.
Konsep mengenai
diskresi Kepolisian terdapat dalam pasal 18 Undang-undang Kepolisian Nomor 2
tahun 2002, yang berbunyi :
1.
Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak
menurut penilaiannya sendiri.
2. Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dlam
keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan,
serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Rumusan kewenangan
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pasal 18 ayat (1) Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban
umum Kepolisian (plichtmatigheids beginsel) yaitu suatu asas yang memberikan
kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak
menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya menjaga,
memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.
Secara umum,
kewenangan ini dikenal sebagai diskresi kepolisian yang keabsahannya didasarkan
pada pertimbangan keperluannya untuk tugas kewajiban (Pflichtmassiges
Ermessen). Substansi Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun
2002 merupakan konsep kewenangan kepolisian yang baru diperkenalkan walaupun
dalam kenyataan sehari-hari selalu digunakan. Oleh karena itu, pemahaman
tentang “diskresi kepolisian” dalam pasal 18 ayat (1) harus dikaitkan juga
dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam pasal 1, 32, dan 33
Undang-undang Nomor 2 tahun 2002, akan mampu mengambil tindakan secara tepat
dan professional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka pelaksanaan
tugasnya.
Rumusan dalam pasal
18 ayat (2) merupakan rambu-rambu bagi pelaksanaan diskresi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yaitu selain asas keperluan, tindakan diskresi tetap
harus sesuai dan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik
profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia[11].
Latar Belakang Munculnya Penerapan Kewenangan Diskresi
Jika kita melihat peradilan dalam dinamika
masyarakat dari waktu ke waktu, dan kita berhenti pada peralihan abad ke-19 ke
abad 20, maka kita akan menyaksikan terjadinya perubahan dari peran pengadilan
sebagai institusi hukum yang sempit dan terisolasi menjadi pengadilan (untuk)
rakyat.
Pengadilan
yang terisolasi ini dinyatakan sebagai pengadilan sebagai corong undang-undang.
Semangat liberal dan legisme-positivistik memberikan landasan teori bagi
peradilan terisolasi dari masyarakat di mana pengadilan berada, yang
selanjutnya mengundang asosiasi ke arah kediktatoran pengadilan (judicial
dictatorship). Karena ia memutus semata-mata menurut tafsiran hukum terlepas
dari dinamika masyarakat. Sehingga secara sosiologis pengadilan itu menjadi
benda asing di tubuh masyarakat[12].
Sementara itu dinamika masyarakat
menampakkan era baru seperti perkembangan demokrasi, bangkitnya kekuatan baru
seperti buruh yang kemudian mengubah peta sosial politik secara mendalam. Dan
berlalunya era kaum borjuis yang banyak dikaitkan dengan hukum liberal, menjadi
hukum (untuk) rakyat.
Pada masa peralihan dari orde hukum liberal
ke orde dinamika masyarakat, terjadi “pembangkangan-pembangkangan” oleh
pengadilan. Lebih mendengarkan gejolak dalam masyarakat alih-alih mengikuti
bunyi peraturan. Aliran legalistik-positivistik digantikan realisme
hukum—realisme Skandinavia dan realisme Amerika, dengan tokohnya Benjamin
Cardozo dan Oliver Wendell Holmes. Misalnya hakim membuat putusan yang
sebetulnya melampaui peran pengadilan yang hanya mengkongkritkan undang-undang [13].
Diasumsikan bahwa praktek diskresi ini
berkembang pada sistem hukum Common Law yang menganut aliran Realisme hukum.
Aliran Realisme hukum dikenal dengan konsep yang radikal tentang proses
peradilan. Mereka menyatakan bahwa hakim tidak hanya menentukan hukum, akan
tetapi membentuk hukum. Hakim harus memilih, menentukan prinsip-prinsip mana
yang akan dipakai dan pihak mana yang dimenangkan[14].
Keputusan hakim sering kali mendahului
penggunaan prinsip-prinsip hukum yang formal. Keputusan pengadilan dan doktrin
hukum selalu dapat dikembangkan untuk menunjang perkembangan atau hasil-hasil
proses hukum. Keputusan pengadilan dibuat berdasarkan konsepsi-konsepsi hakim
yang bersangkutan tentang keadilan dan dirasionalisasikan dalam pendapat
tertulis. Ahli-ahli hukum dari aliran ini menaruh perhatian yang sangat besar
tentang keadilan walaupun mereka berpendapat secara ilmiah tidak dapat
ditentukan apa yang dinamakan hukum yang adil [15].
Adapun dalam sistem hukum Civil Law,
diskresi ini muncul sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan
dalam penerapan azas legalitas. Bagi negara yang bersifat welfare state, azas
legalitas saja tidak cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani kepentingan
masyarakat, yang berkembang pesat sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pertimbangan lainnya adalah adanya realitas bahwa suatu kebijakan
atau peraturan tidak mungkin mampu merespons banyak aspek dan kepentingan semua
pihak sebagai akibat adanya keterbatasan prediksi para aktor atau stakeholders
dalam proses perumusan suatu kebijakan atau peraturan [16].
Dalam konteks Indonesia, secara historis
kita adalah jajahan Belanda dan mewarisi sistem hukum mereka. Di sisi lain kita
tidak bisa terlepas dari pengaruh global sistem hukum yang ada di dunia ini.
Indonesia dikatakan tidak mutlak lagi menganut sistem hukum Civil Law tapi bagi
Indonesia berjalan juga dengan dasar-dasar lain yang mewarnai berhukumnya[17].
Kelaziman di Indonesia, hakim yang satu
memakai undang-undang sebagai dasar keputusannya, hakim yang lain memakai
“rasa” sebagai dasar keputusannya, yang lain memakai hukum Adat sebagai dasar
keputusannya, dan ada lagi yang mendasarkannya kepada yurisprudensi. Hal
tersebut di atas mengingat undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman no
35 tahun 1999 perubahan dari undang-undang no 14 tahun 1970 secara jelas
menyatakan bahwa hakim dan juga semua penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai yang hidup dalam masyarakat. Ini memberi
peluang kepada hakim di Indonesia untuk memperbaiki citra miring terhadap
berhukumnya bagi sistem yang berkembang di Indonesia[18].
Menurut Sabian Utsman, sistem hukum
Indonesia sekarang lebih didominasi oleh aliran Legal Realism dengan cara dan
karakteristik budaya bangsa Indonesia. Dengan tidak mengabaikan kenyataan saat
ini dengan beberapa perundang-undangan, maka Indonesia sesungguhnya lebih dekat
dengan sistem hukum Common Law. Alasannya, karena masyarakat Indonesia dan
hukum Kebiasaan (Customary Law) tumbuh dan mengakar di masyarakat sehingga
menjadi Living Law yang ada bersama-sama dengan budaya dan agama (terlebih
agama Islam). Ini membuat semakin dekatnya kita dengan sistem Common Law
ketimbang sistem hukum Roman Law[19].
Diskresi dalam Masalah Hukum
Pemikiran (mind-set) positif-tekstual kurang
lebih hanya akan "mengeja" suatu peraturan, menerapkan undang-undang
dan prosedur. Cara berpikir hukum seperti itu disebut "linier".
Memang itu mudah, tetapi dangkal, menggunakan kecerdasan rasional semata. Kita
bisa diingatkan kembali pada pendapat Paul Scholten, seorang pemikir hukum
Belanda, yang mengatakan "hukum itu ada dalam UU, tetapi masih harus
ditemukan". Maka menjadi salah sekaligus dangkal bila orang hanya
"mengeja" peraturan[20].
Perlu untuk melakukan perenungan
(contemplation) dan mencari makna lebih dalam dari suatu peraturan. Ini sesuai
gagasan Paul Scholten. Apabila "pintu perenungan makna" dibuka,
terbentanglah panorama baru di hadapan hakim. Perenungan tidak akan berhenti
pada dimensi subyektif, tetapi juga sosial. Hakim tidak hanya mendengarkan
dengan telinga subyektif, tetapi juga dengan "telinga sosial” dan
menggunakan kecerdasan spritual sehingga dapat menyelami kaedah yang merupakan
roh yang menjadi landasan suatu hukum[21].
Jika pendefinisian diskresi dikaitkan dengan
masalah penetapan hukum tentu saja muaranya kebijaksanaan yang diambil oleh
hakim dalam memutuskan perkara di antara para pihak yang bersengketa.
Berikut ini berapa contoh perkara hukum
yang terkait dengan kewenangan diskresi:
1.
Keputusan kontroversial Bismar, hukuman pidana bagi
pengedar ganja ketika dia menjabat Ketua Pengadilan Tinggi di Medan. Seorang
terdakwa yang dituntut jaksa 10 bulan penjara, Bismar melipatgandakannya
menjadi 10 tahun. Yang 15 bulan menjadi 15 tahun. Karena itu, dia sangat
prihatin dengan keputusan hakim yang menjatuhkan hukuman hanya 4 tahun penjara
kepada ratu ekstasi Zarima. Padahal, Zarima tertangkap membawa 29 ribu pil
setan. Apakah hakim itu tidak mengetahui dan merasakan akibat dari perbuatan
Zarima. Jika Bismar yang jadi hakimnya, Zarima layak dihukum mati. Mestinya
bikin shock therapy buat pengedar narkoba[22].
2. Kasus
Cut Mariana dan Bachtiar Tahir yang oleh Pengadilan Negeri Medan dihukum 10
bulan penjara karena dituduh memperdagangkan 161 kg ganja. Vonis ini kemudian
diubah Bismar yang waktu itu menjabat Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara,
menjadi 15 dan 10 tahun penjara [23].
3. Kemudian
hukuman 7 bulan penjara yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Tanjung Balai
terhadap kepala sebuah SMP Negeri di Kisaran, Sumatera Utara, yang dituduh
berbuat cabul dengan anak didiknya, diubah Bismar menjadi 3 tahun penjara.
Statusnya sebagai pegawai negeri juga dicabut. Bismar sebagai Ketua Pengadilan
Tinggi Sumatera Utara, menafsirkan kata
barang dalam Pasal 378 KUHP yang dituduhkan dilanggar oleh terdakwa bisa
berarti "jasa". Ini dikaitkannya dengan istilah “bonda” (barang)
dalam bahasa Tapanuli, yang juga bisa berarti alat kelamin. Jadi, bila Saksi
menyerahkan kehormatannya kepada terdakwa sama dengan menyerahkan “bonda”, ujar
Bismar berdalih[24].
4. Kasus
kendaraan pribadi yang diperbolehkan masuk jalur
busway pada jalur lalu lintas yang padat atau jika pebaikan
jalan pada lintasan tersebut [25].
6. Putusan
hakim Agung Adi Andojo Soetjipto adalah salah satu contoh, yaitu saat mengadili
kasasi Muchtar Pakpahan di masa pemerintahan Soeharto. Oleh pengadilan di
bawah, Pakpahan dijatuhi pidana atas tuduhan berbuat makar, yaitu kejahatan
terhadap negara. Dalam tingkat kasasi MA mengatakan, Pakpahan tidak melakukan
perbuatan makar. Menurut MA, para hakim di bawah telah melakukan penerapan
hukum yang salah dengan menggunakan yurisprudensi yang sudah ada sejak zaman
kolonial. Itu secara sosiologis tidak benar karena Indonesia sudah menjadi negara
merdeka dan sudah mulai menjalankan demokrasi dan memperhatikan hak asasi
manusia.
Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto boleh
dimasukkan kategori hakim yang "meletakkan telinganya ke jantung
masyarakat". Putusan itu juga bisa disebut progresif, bila mengingat
Indonesia saat itu masih dalam pemerintahan Soeharto yang kita tahu wataknya.
Seorang hakim agung berani melawan arus dominan kekuasaan otoriter di zamannya.
Inilah yang ingin dimaknai sebagai hakim independen dan progresif. Mungkin
hakim seperti ini amat sulit dibengkokkan dan dibeli. Ia hanya bisa dibeli oleh
rakyatnya[27].
Penerapan kewenangan diskresi dalam instansi
Kepala Kepolisian RI dapat kita contohkan dengan memberikan diskresi kepada
anak-anak yang mengonsumsi narkoba. Penyebutan anak pengguna narkoba sebagai
tersangka tidak/ kurang tepat, dan lebih baik diganti dengan istilah korban.
Anak-anak korban narkoba ini dikembalikan kepada orang tuanya untuk selajutnya
direhabilitasi. Orang tua mengambil peran penting dalam membentengi anak dari
pengaruh buruk perkembangan zaman khususnya dari narkoba sangat penting. Orang
tua harus lebih komunikatif dengan anak bisa memahami dan mengikuti setiap
perkembangan anak.
Contoh penerapan
kewenangan diskresi dalam bidang administrasi pemerintahan adalah surat edaran,
juklak dan juknis yang dikeluarkan oleh lembaga administrasi negara[28].
Tolok Ukur Pemberlakuan Diskresi
Dikatakan bahwa untuk mengatur hal-hal yang
lebih rinci dari pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang, hakim, pelaksana
administrasi negara, juga kepolisian diberikan kebebasan untuk mengambil
keputusan berdasarkan pendapat sendiri, namun ini tidak berarti tidak ada
rambu-rambu atau koridor-koridor hukum yang membatasinya.
Menurut
Muchsan pembatasan penggunaan diskresi adalah :
1.
Tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang
berlaku (kaedah hukum positif).
2.
Ditujukan untuk
kepentingan umum
Sjachran
Basah mengemukakan unsur-unsur diskresi[29] adalah:
1.
Tindakan itu untuk kepentingan publik
2.
Tindakan itu dimungkinkan oleh hukum
3.
Tindakan itu diambil untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang dianggap krusial.
Lebih lanjut Prajudi
Atmosudirdjo mengemukakan bahwa pembuatan keputusan pemerintah yang dibuat oleh
pejabat publik terikat kepada 3 (tiga) asas hukum, yaitu :
1.
Asas yuridikitas (rechtsmatigheid), artinya keputusan
pemerintah tidak boleh melanggar hukum;
2.
Asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan
pemerintah harus diambil berdasarkan suatu ketentuan perundang-undangan;
3.
Asas diskresi (freies ermessen), artinya pejabat
publik tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada
peraturannya, dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan
menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridikitas dan asas
legalitas tersebut di atas[31]
Pemerintah atau dalam
hal ini pejabat publik diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan
berdasarkan pendapat sendiri, namun ini tidak berarti tidak ada rambu-rambu
atau koridor-koridor hukum yang membatasinya. Pendapat pribadinya tersebut
tetap harus merupakan pengejawantahan undang-undang yang melandasinya tersebut,
kemudian asas moralitas dan rasa keadilan masyarakat seharusnya tetap menjiwai
kewenangan diskresinya[32].
Penerapan kewenangan diskresi ini berdasarkan
: demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak
melanggar Asas hukum yang belaku[33]
(caplang.wordpress.com). Mungkin secara hukum mungkin ia melanggar, tetapi
secara asas ia tidak melanggar kepentingan umum dan hal ini merupakan instant
decision (tanpa rencana) dan itu bukan pelanggaran tindak pidana[34].
Satjipto Rahardjo menyatakan seorang pejabat
publik tidak melaksanakan peraturan tertulis secara “hitam putih”, melainkan
selalu bertanya, apakah yang dilakukannya sudah baik untuk masyarakat. Penegak
hukum bukan mesin otomat undang-undang dan prosedur. Tetapi selalu dihantui
keinginan untuk memberikan keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the
people) sehingga pengadilan menjadi pengadilan yang murni, memiliki nurani
(court with conscience). Dengan kata lain ketika memutuskan suatu perkara
selain menggunakan logika peraturan, hakim juga mempertimbangkan logika
kepautan sosial (social reasonableness) dan logika keadilan[35].
Dalam bahasa yang
senada dinyatakan pendapat pribadi dalam penerapan kewenangan diskresi tersebut
tetap harus merupakan pengejawantahan atau sekurang-kurangnya sejiwa dengan
undang-undang yang melandasinya tersebut, kemudian asas moralitas dan rasa
keadilan masyarakat[36].
Dari uraian-uraian di
atas dapat digarisbawahi pemberlakuan diskresi bahwa tolok ukur kewenangan
tersebut:
1. Tidak
bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaedah hukum positif)
2. Ditujukan
untuk kepentingan umum.
3. Tindakan
itu diambil untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dianggap krusial.
4. Tindakan
ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan maupun secara hukum.
5. Asas
moralitas
6. Rasa
keadilan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat
Penyimpangan Kewenangan Diskresi
Diskresi
secara teoritis adalah penyimpangan. Tindakan diskresi apakah dianggap baik
atau buruk sebenarnya bukanlah substansi yang perlu dipersoalkan. Sisi positif
diskresi apabila diterapkan pada konteks masyarakat yang dinamis akan sangat
membantu untuk melakukan berbagai penyesuaian. Sehingga peraturan yang ada
tetap mampu menjawab tuntutan aspirasi dan dinamika masyarakat yang berkembang[37].
Diskresi
itu ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi bersifat positif apabila diterapkan
pada konteks masyarakat yang dinamis akan sangat membantu untuk melakukan
berbagai penyesuaian.
Diharapkan peraturan yang ada tetap mampu
menjawab tuntutan aspirasi dan dinamika masyarakat yang berkembang. Namun di
sisi lain, ia bisa menjadi bumerang bagi hakim. Karena kewenangan ini sangat
terkait dengan subjektifitas dan kebebasan hakim sehingga rentan pada
penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang. Hakim dimungkinkan memutuskan suatu
perkara dengan tidak memenuhi rasa keadilan dan kemudian mereka berlindung di
belakang kewenangan diskresi yang dimilikinya.
Luasnya diskresi membuka peluang untuk
penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran. Hal ini jelas perlu diantisipasi
dengan pengaturan yang lebih rinci, limitatif, dan memiliki tolok ukur yang
obyektif untuk menilai bagaimana aparat penegak hukum dan hakim harus
menjalankan tugas dan wewenangnya.
Kelemahannya adalah selama ini diskresi
aparat penegak hukum dan hakim masih besar dan belum disertai tolok ukur yang
obyektif dalam pelaksanaannya. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam diskresi
yang luas dan subyektif bagi penyelidik/ penyidik/penuntut/hakim untuk
mengartikan “bukti yang cukup, ada kekhawatiran tersangka/terdakwa melarikan
diri, atau menghilangkan alat bukti” sebagai dasar penahanan tersangka atau
terdakwa. Selain itu masalah diskresi ini pun dapat dilihat dalam aturan MA,
dimana tidak ada batas waktu yang jelas bagi hakim agung untuk menyelesaikan
suatu perkara. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu pembatasan atas penggunaan
diskresi bagi aparat penegak hukum dan hakim. Selain itu, untuk menutup peluang
penyalahgunaan wewenang, pengaturan tentang diskresi yang teknis, baik itu
standard operation procedure (SOP), buku pedoman, Prosedur Tetap atau istilah
lainnya, penting sebagai dasar untuk menilai performance dan perilaku aparat
penegak hukum dan hakim[38].
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya
bahwa kewenangan diskresi ini juga terdapat pada lembaga adminstrasi negara
maupun institusi kepolisian negara. Sehingga penyelewengan penggunaan
kewenangan diskresi ini terjadi pada lini ini, seperti kasus:
1. Proyek
mobil nasional yang dicanangkan di masa rezim orde baru merupakan contoh nyata
terjadinya penyalahgunaan diskresi dalam praktek penyelenggaraan negara.
Dalih untuk memajukan industri otomotif di Indonesia
agar setaraf dengan negara maju, Soeharto sebagai seorang pejabat publik telah
dengan sengaja melakukan pelanggaran beberapa asas hukum yang seharusnya
dipedomani, sekalipun kebijakan yang dibuatnya tersebut dikategorikan kedalam
suatu bentuk diskresi, yaitu:
a. Keputusan pemerintah untuk memberikan keistimewan
pembebasan pajak kepada PT. Timor Putra Nasional telah melanggar asas legalitas
terhadap undang-undang Perpajakan yang seharusnya dikenakan secara sama pada
pengusaha;
b.
Saat diberlakukannya keputusan pemerintah tersebut,
reaksi pasar baik dalam negeri maupun luar negerif tetapi pemerintah tetap
memaksakan kebijakannya sehingga dapat dikatakan bahwa dengan reaksi tidak
diterimanya kebijaksanaan pemerintah tersebut oleh masyarakat Indonesia dan
masyarakat internasional maka legitimitas keputusan pemerintah tersebut sangat
kurang dan oleh karenanya tidak layak untuk tetap pertahankan;
c.
Telah dilanggarnya prinsip moralitas atau rasa
keadilan masyarakat yang seharusnya senantiasa diperhatikan dan dijunjung
tinggi oleh pembuat kebijakan. Masyarakat Indonesia pasti mengetahui bahwa
kebijakan yang dibuat oleh Soeharto adalah upaya memperkaya diri sendiri,
keluarga atau kroni-kroninya.
Jika kita
merujuk kepada asas-asas suatu pemerintahan good governance, maka dalam kasus
Proyek Mobil
Nasional, Soeharto sebagai seorang pejabat publik pada saat itu dinilai telah
melakukan penyalahgunaan jabatan dan wewenang, yaitu dengan ditegakkannya
asas-asas:
a.
Orang-orang yang ikut menentukan terjadinya keputusan
tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi (vested interest) di dalam keputusan
tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung;Jika kita merujuk kepada
prinsip ini, maka kebijakan proyek mobil nasional harus batal demi hukum tanpa
memeriksa lagi kasusnya, oleh karena bukan hanya vested interest yang telah
terjadi disini melainkan hal yang lebih parah,yaitu unsur-unsur korupsi, kolusi
dan nepotisme;
b. Asas larangan kesewenang-wenangan, dalam kasus Proyek
Mobil Nasional tersebut Soeharto telah melakukan suatu kebijakan tanpa
mempertimbangkan semua faktor yang relevan secara lengkap dan wajar, sehingga
secara logika tampak atau terasa adanya ketimpangan. Sikap sewenang-wenang
tersebut dikategorikan telah terjadi oleh karena ia menolak untuk meninjau
kembali keputusannya yang oleh masyarakat yang bersangkutan dianggap tidak
wajar. Keputusan tersebut dapat digugat pada pengadilan perdata sebagai
perbuatan penguasa yang melawan hukum.
c.
Asas larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de
pouvoir), yaitu Soeharto menyalahgunakan wewenang diskresi yang diberikan
kepadanya.
d. Asas
larangan melakukan diskriminasi hukum, dalam kasus Proyek Mobil Nasional ini
Soeharto dinilai bahwa tidak mampu untuk berpikir, mempertimbangkan segala
sesuatunya, dan melakukan evaluasi sedemikian rupa sehingga memperlakukan
anggota masyarakat lain (dalam hal ini para pengusaha) secara sama dan
sebanding [39].
Terdapat
istilah- istilah yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang ini seperti discretionery corruption: koprupsi
yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan,
sekalipun nampaknya bersifat sah [40]. Salah
satu kasus terkait adalah perkara korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran.
Pusaran kasus ini adalah Radiogram
Depdagri yang ditandatangani Dirjen Otonomi Daerah Oentarto
Sindung Mawardi. Dalam sidang, ahli Emin Adi Muhaimin dari Bappenas menegaskan kedudukan
Radiogram itu lebih rendah dari Keppres pengadaan barang dan
jasa. Karena itu, Radiogram tidak boleh bertentangan dengan Keppres tersebut [41].
Denny Indrayana Ahli
Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa penyelenggara
negara berwenang mengeluarkan diskresi atau kebijakan yang menyimpangi
peraturan dalam kondisi tertentu. Misalnya dalam keadaan darurat atau dalam
keadaan mendesak. Sayang, diskresi yang dibuat kerap hanya menguntungkan
penguasa dan kroni-kroni. Diskresi semacam itu harus diproses melalui hukum
pidana. ”Sudah memenuhi unsur tindak pidana korupsi,” kata Denny[42].
Selain memenuhi unsur
‘menguntungkan’, diskresi semacam ini juga masuk kualifikasi unsur melawan
hukum. Biasanya diskresi yang ditelurkan bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi. Misalnya Peraturan Pemerintah (PP) 37/2007 tentang insentif DPR.
PP itu bertentangan dengan UU No. 10/2004 . Dalam UU 10/2004 peraturan
perundang-undangan dilarang untuk berlaku surut. Sementara PP itu malah
melegalkan pemberian insentif secara surut. “Itu merupakan bentuk
penyalahgunaan kewenang,” tegas Denny[43].
Dalam institusi
kepolisian negara, kita juga sering mendengar dan menyaksikan tindakan polisi
yang dianggap “menyimpang” ketika menangani tindak kejahatan ditengah-tengah
masyarakat. Dan ketika ditanyai oleh wartawan mereka lalu berlindung di bawah
“payung” diskresi.
Misalnya Penembakan
Nia Sari. Banyak pihak mengecam keras aksi anggota Satuan Intelijen Keamanan
Kepolisian Resor Bogor, Brigadir (Pol) Suwandi, yang menembak mati seorang anak
perempuan berusia 15 tahun, Nia Sari, di bagian kepalanya. Jenazah Nia,
ditemukan di belakang Kantor Desa Tengah, Cibinong, Bogor. Tidak hanya itu,
kronologis versi Polres Bogor soal kejadian itu pun dinilai mengada-ada dan
sekadar menjadi alibi yang sengaja dibuat untuk melindungi pelaku. Peristiwa
seperti itu menunjukkan adanya penyalahgunaan serius kewenangan diskresi yang
dimiliki polisi[44].
Diskresi dalam Wacana Hukum Islam
Dalam wacana hukum Islam dikenal adanya
istilah ijtihad [45] (proses
penggalian hukum Islam). Ijtihad ini dilakukan oleh seorang yang dikategorikan
sebagai mujtahid (ahli hukum Islam) dalam menjawab problematika hukum Islam
yang terjadi di tengah- tengah masyarakat. Proses kreatif ini dapat
dianalogikan dengan proses seorang hakim dalam tugasnya dalam memutuskan
perkara hukum.
Ada beberapa metode
ijtihad yang dapat ditempuh oleh para mujtahid dalam proses penggalian hukum
Islam. Terkait dengan bahasan kita tentang diskresi hukum, maka yang akan
disinggung berikut ini dibatasi pada metode ijtihad yang memungkinkan
terjadinya diskresi hukum.
Menurut penelusuran
yang penulis lakukan, dalam beberapa metode ijtihad dimungkinkan terdapat
kasus-kasus yang diputuskan dengan diskresi. Ini adalah sebuah indikasi awal
bahwa para mujtahid itu tidak terpaku begitu saja terhadap ayat al-Qur’an dan
hadis nabi secara literalis. Tetapi mereka juga mempertimbangkan azas-azas,
maksud dan tujuan dibalik teks nash tersebut. Sehingga ketika menetapkan suatu
hukum, boleh jadi mereka “keluar” dari ketentuan yang secara eksplisit terdapat
dalam al-Qur’an dan Sunah. Pada dasarnya ijtihad itu dilakukan oleh para ulama
mujtahid berlandaskan maqshid asy-syari’ah; yaitu memelihara agama, jiwa,
harta, kehormatan, dan keturunan pada tataran dharuri, haji dan tahsini.
Diskresi dalam wacana
hukum Islam menurut penilaian penulis bukan saja dipraktekkan oleh para
mujtahid di era keemasan ilmu-ilmu keislaman; di masa imam mazhab yang empat
dan kemudian diteruskan oleh para pengikut mereka. Tapi jauh sebelumnya pada
masa tabi’in dan sahabat. Bahkan nabi pun selaku seorang yang bertugas
menyampaikan wahyu Allah berupa al-Qur’an kepada umatnya pernah memaknai suatu
hukum berbeda dengan yang dijelaskan dalam al-Qur’an [46].
Berikut akan
diuraikan metode - metode ijtihad yang memungkinkan terjadinya diskresi hukum.
Dalam penjelasannya penulis mencoba menyajikan contoh – contohnya.
1.
Istihsan
Istihsan adalah
beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain dari padanya (qiyas
pertama). Dalam hal ini mujtahid tidak menggunakan qiyas zhahir dalam
memutuskan permasalahan hukum yang dihadapinya tapi beralih menggunakan qiyas
khafi. Karena menurut pertimbangannya cara itulah yang paling tepat[47].
Dalam Istihsan ini seorang mujtahid tidak menggunakan
ketentuan yang telah secara jelas yang terdapat dalam al-Qur’an dan atau hadis.
Tapi ia beralih menggunakan ketentuan lain yang dianggap lebih kuat.
Berikut ini beberapa contoh kasus penetapan hukum
dengan menggunakan Istihsan:
a.
Sanksi hukum terhadap pencuri.
Menurut ketentuan umum berdasarkan ketentuan dalam
al-Qur’an, sanksi bagi orang yang mencuri adalah potong tangan sebagaimana
firman Allah:
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah
tangan-tangan keduanya… QS al-Maidah/5: 37
Berdasarkan ayat di atas, bila seseorang
itu mencuri dan jika telah memenuhi ketentuan pemberlakuan hukuman potong
tangan, maka diberlakukanlah hukuman potong tangan.
Namun bila pencurian
tersebut dilakukan pada masa pacelik; kelaparan dan dilakukan dalam keadaan
terpaksa untuk mempertahankan hidup, maka hukum potong tangan yang bersifat
umum itu tidak diberlakukan. Hal ini karena dalam kasus ini berlaku hukum
khusus. Peralihan dari hukum umum kepada hukum khusus ini dalam ilmu Ushul Fiqh
disebut dengan Istihsan. Praktek ini pernah dicontohkan oleh Umar ibn Khattab
di masa pemerintahannya[48]
b. Orang
yang makan dan minum karena lupa ketika ia sedang berpuasa
Pada hakikatnya ibadah puasa adalah menahan makan,
minum dan segala hal yang membatalkannya mulai terbit fajar hingga terbenam
Matahari. Maka ibadah puasa seseorang itu batal ketika ia makan minum sedang
berpuasa. Namun hukum itu dikecualikan oleh hadis nabi yang menyatakan: Siapa
yang makan dan minum karena lupa tidak batal puasanya. Karena hal itu merupakan
rizki yang diturunkan Allah kepadanya (HR. at-Tirmidzi)[49]
c.
Dokter melihat aurat pasien wanita pada saat
pemeriksaan kesehatan
Secara umum seseorang dilarang melihat aurat orang
lain. Tetapi dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka pakaiannya untuk
dilakukan pemeriksaan dan pendiagnosaan penyakitnya. Berdasarkan pertimbangan
kemashlahatan orang tersebut, maka menurut kaedah Istihsan seorang dokter
laki-laki diperbolehkan melihat aurat pasiennya yang perempuan[50]
2.
Mashlahah Mursalah
Mashlahah Mursalah
adalah apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum; namun tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan
tidak ada pula petunjuk syara’ yang menolaknya[51]
Berdasarkan metode
mashlahah mursalah ini dimungkinkan terjadinya suatu hukum yang telah
digariskan secara jelas oleh al-Qur’an dan atau hadis kemudian “diabaikan” dan
beralih mengambil ketentuan hukum lain yang sebenarnya lebih sesuai dengan
kemaslahat umum. Berikut ini diuraikan beberapa kasus diskresi hukum yang
terjadi pada metode mashlahah mursalah:
a.
Memerangi mani’ az-zakah pada masa pemerintahan Abu
Bakar Shiddiq
Kewajiban membayar zakat merupakan salah satu
kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap muslim yang mampu dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan. Kewajiban ini merupakan salah satu ajaran
dasar dalam Islam, sebagai rukun Islam yang ketiga.
b.
Setelah Rasulullah wafat; pada masa pemerintahan Abu
Bakar Shiddiq sebagian masyarakat muslim enggan mengeluarkan kewajiban ini.
Mungkin mereka menyangka zakat semacam “upeti” kepada Rasulullah. Dan setelah
beliau wafat, maka gugurlah kewajiban tersebut. Abu Bakar dengan pertimbangan
untuk kemashlahat umat, kemudian memerintahkan untuk memerangi mereka.
c.
Tidak memberikan hak zakat untuk para muallaf pada
masa Umar ibn Khattab
Dalam QS at-Taubah/9: 60 ditegaskan bahwa salah satu
ashnaf (kelompok) yang berhak atas harta zakat adalah para muallaf (mereka yang
baru masuk Islam). Pada masa pemerintahannya Umar tidak mengeluarkan bagian
para muallaf ini. Menurut Umar kondisi umat Islam telah kuat sehingga tidak
perlu lagi memberikan reward kepada orang yang baru masuk Islam melalui harta
zakat. Hal ini merupakan ujian kepada para muallaf atas keyakinannya untuk
masuk Islam—masuk Islam bukan karena iming-iming materi.
d.
Penanganan onta-onta yang tersesat pada masa Usman ibn
Affan
Nabi telah memberikan petunjuk dalam menangani onta
yang tersesat; terpisah dari pemiliknya. Di masa Nabi, onta-onta tersebut
dibiarkan lepas untuk mencari makan sendiri dan tidak boleh ditangkap.
Kebijakan ini lalu
dirobah oleh khalifah Usman ibn Affan. Pada masa pemerintahan khalifah Usman
ibn Affan keadaan masyarat telah mulai pengalami pergeseran. Di tengah-tengah
masyarakat ternyata telah mulai banyak orang yang kurang baik akhlaknya dan
tangan jahil yang suka mengambil milik orang lain dengan cara yang tidak
dibenarkan agama. Dengan ijtihadnya Usman menetapkan bahwa onta yang tersesat
itu harus ditangkap lalu dijual. Kemudian hasil penjualannya akan diserahkan
kepada pemilik onta yang sah nantinya. Ketentuan ini diberlakukan Usman
berdasarkan pertimbangan kalau onta tersebut tidak ditangkap—dibiarkan lepas
mencari makan sendiri, maka akan dicuri orang dan hilanglah hak pemiliknya.
Sedang kalau onta tersebut dijual, hak si pemilik akan terpelihara[52].
e.
Kebijakan Umar ibn Khattab tidak membagikan ghanimah
(harta pampasan perang) berupa tanah pertanian di Irak. Meski pun di dalam
al-Qur'an terdapat tentang pembagian ghanimah, namun Umar mengambil kebijakan
setelah ia berijtihad untuk tidak membagikan pampasan perang yang berupa tanah
kepada para prajuritnya setelah penaklukan Irak. Tetapi tanah-tanah tersebut
tetap digarap oleh para pemiliknya lalu mereka dikenakan pajak (kharaj).
Umar melihat cara
inilah yang terbaik untuk kepentingan umum. Sementara jika tanah-tanah tersebut
dibagikan kepada para tentaranya yang telah ikut berperang, maka kemungkinan
tanah tersebut akan tidak produktif dan terlantar karena mereka prajurit itu
sibuk berperang, memelihara wilayah kekuasaan Islam.
3.
Sad adz-Dzari’ah
Sad adz-dzari’ah
menutup jalan terjadinya kerusakan. Dasar pegangan para Ulama dalam penggunaan
sa adz-dzari’ah adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi benturan
antara mashlahat dan mafsadat. Jika faktor mashlahatnya yang dominan maka
perbuatan itu boleh dilakukan. Namun jika sebaliknya; mafsadatnya yang dominan
maka perbuatan itu harus ditinggalkan. Dan jika sama kuat antara keduanya maka
untuk ihtiyath diambil prinsip yang berlaku,” dar-u al-mafasid muqaddam ‘ala
jalb al-mashalih”.
Dalam metode ijtihad
ini akan kita lihat permasalahan yang pada dasarnya dibolehkan dalam syari’at
Islam. Namun kemudian dipalingkan dari ketentuan dasar yang memperbolehkan
permasalahan tersebut karena ternyata terdapat kemafsadatan besar yang akan
terjadi dibaliknya. Di sini letak diskresi dalam metode ijtihad ini. Berikut
ini dipaparkan beberapa contoh:
a.
Pernikahan Tahlil
Pada dasarnya syari’at Islam menganjurkan
seseorang untuk menikah. Banyak sekali ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang
menegaskan hal tersebut. Ditinjau dari segi motivasi melakukan suatu pekerjaan,
suatu pekerjaan yang awalnya dianjurkan oleh syara’ menjadi terlarang ketika
dilakukan berdasarkan motivasi yang tidak benar seperti kasus nikah Tahlil.
Nikah Tahlil adalah pernikahan “bohong-bohongan” seorang laki-laki dengan seorang
janda yang telah bercerai talak tiga dengan suami sebelumnya. Ini adalah
sebagai syarat bagi sang janda untuk menikah kembali dengan mantan suaminya
yang telah menjatuhkan talak tiga tersebut [53].
Larangan laki-laki muslim menikahi wanita ahl al-kitab
Di dalam al-Qur’an dinyatakan tentang kebolehan
seorang laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahl al-kitab. Namun para
ulama termasuk di dalamnya Majlis Ulama Indonesia (MUI) lalu melarang
(mengharamkan) bentuk pernikahan tersebut. Pertimbangan pengharaman ini adalah
sad adz-dzari’ah; dalam kondisi masyarakat sekarang ini dikhawatirkan sang pria
muslim dengan rayuan dan pengaruh istrinya dapat saja melakukan konversi agama.
Tentu saja hal ini kontra produktif dengan alasan pembolehan awal bentuk
pernikahan ini yakni; dalam rangka dakwah islamiyah untuk mengajak istri yang
ahl kitab untuk memeluk agama Islam[54].
KESIMPULAN
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Diskresi
adalah kewenangan mencakup kewenangan yang bersifat merdeka untuk mengambil
keputusan yang tepat/ sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, tidak
berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undang-undang atau hukum yang
berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan.
2.
Pemberlakuan diskresi dalam masalah hukum berlandaskan
pada:
a. Tidak
bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaedah hukum positif)
b. Ditujukan
untuk kepentingan umum.
c. Tindakan
itu diambil untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dianggap krusial.
d. Tindakan
ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan maupun secara hukum.
e. Asas
moralitas
f. Rasa
keadilan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat
3. Latar
belakang pemberlakuan kewenangan diskresi dalam sistem hukum kita yang menganut
sistem Civil Law sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan
dalam penerapan azas legalitas. Bagi negara yang bersifat welfare state, azas
legalitas saja tidak cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani
kepentingan masyarakat, yang berkembang pesat sejalan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pertimbangan lainnya adalah adanya realitas bahwa
suatu kebijakan atau peraturan tidak mungkin mampu merespons banyak aspek dan
kepentingan semua pihak sebagai akibat adanya keterbatasan prediksi para aktor atau
stakeholders dalam proses perumusan suatu kebijakan atau peraturan.
4. Dalam
wacana hukum Islam, ijtihad—proses penggalian hukum dari al-Qur’an dan Sunnah--
yang dilakukan seorang mujtahid itu tidak terpaku begitu saja terhadap ayat
al-Qur’an dan hadis nabi secara literalis. Tetapi mereka juga mempertimbangkan
azas-azas, maksud dan tujuan dibalik teks nash tersebut. Sehingga ketika
menetapkan suatu hukum, boleh jadi mereka “keluar” dari ketentuan yang secara
eksplisit terdapat dalam al-Qur’an dan Sunah. Pada dasarnya ijtihad itu
dilakukan oleh para ulama mujtahid berlandaskan maqshid asy-syari’ah. Metode -
metode ijtihad yang memungkinkan terjadinya diskresi hukum antara lain:
Istihsan, mashlahah mursalah, dan sad adz-dzri’ah.
Daftar Pustaka
Ariadi, Toni, Kepolisian dalam Perspektif Penegakan
Hukum, http://polair-riau.com Powered by Joomla! Bismar Siregar, www.ghabo.com
Bismar Siregar (02) Pendekar Hukum Jalan Lurus, http://www.tokohindonesia.com/
Diskresi Jalanan, caplang.wordpress.com
Diskresi Terhadap Anak Pengguna Narkoba Disambut
Positif, www2.kompas.com
Dwiyanto, Agus, dkk, 2002, Reformasi Birokrasi Publik
di Indonesia, Yogyakarta; Galang Pritika
Erlyn, Indarti, 2002, Diskresi Polisi, Semarang: Badan
Penerbit Undip.
Rahardjo, Satjipto, 2008, Membedah Hukum Progresif,
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, cet.ke-3
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara
Soekanto, Soerjono, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Syarifuddin, Amir, 2001, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu
[1]
Neufeldt [ed], tt, Webster New World, USA: Macmillan, h.99
[2]
Prakoso, Djoko, 1987, Polri Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum, Jakarta: PT
Bina Aksara,h. 180
[3]
Ibid, h.181
[4]
Puspa, Yan Pramadya, 2004, Kamus Hukum, Semarang: Aneka Ilmu, h.84
[5]
Gifis, Steven H, 1975, Law Dictionary, New York: Barron’s Educational Series,
Inc, h.61
[6]
Erlyn, Indarti, 2002, Diskresi Polisi, Semarang: Badan Penerbit Undip, h.120
[7]
Ridwan HR, 2007, Hukum Administrasi Negara, h. 177
[8]Penyalahgunaan
Diskresi pada kebijakan Mobil Nasional, zuryawanisvandiarzoebir.blogspot.com
[9]
Manan, Bagir, 2004, Hukum Positif Indonesia(Satu Kajian Teoritik), Yogyakarta:
FH UUI Press, h. 16
[10]
Ibid
[11]
Kewenangan Diskresi Kepolisian dan Pertanggungjawabannya secara Hukum www.contohskripsitesis.com
[12]
Rahardjo, Satjipto, 2008, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, cet.ke-3, h. 38
[13] Ibid.
H. 39
[14]
Soekanto, Soerjono, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, h. 44
[15]
Ibid, h. 45
[16]
Dwiyanto, Agus, dkk, 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia,
Yogyakartaa; Galang Pritika
9 komentar:
NAMA : BARANISO RITONGA
NIM : A01111216
MATA KULIAH : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
KELAS : B
Penggunaaa asas diskresi diatas merupakan sarana bagi aparat pemerintah untuk melakukan terobosan-terobosan serta pemecahan-pemecahan masalah yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan belum ada aturan yang mengatur tentang hal tersebut. Tepapi Tindakan diskresi dapat dianggap sebagai tindak pidana korupsi apabila Pejabat bersangkutan mendapatkan atau menjanjikan akan mendapatkan hadiah atau keuntungan yang berupa uang ataupun barang yang berkaitan dengan tugas, jabatan ataupun kewenangannya. Maka dengan keluarnya diskresi akan menibulkan pro kontra terhadap diskresi tersebut apakah ada permainan di balik diskresi tersebut atau memang tepat adanya penggunaan diskresi terhadap suatu permasalahan yang belum di atur oleh undang-undang. Pengambilan diskresi menurut saya haruslah dilakukan dengan beberapa pertimbangan karena bukan tidak mungkin diskresi terhadap satu permasalahan akan dipergunakan untuk permasalahan yang sama untuk selanjutnya sebelum dibuat dalam bentuk undang-undang. Maka harus ada kekuatan hukum yang jelas terhadap penggunaan asas diskresi ini agar tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang sudah ada.
NAMA :ERADON SONATA
NIM : A1011131046
KELAS : B
M. KULIAH : PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada penulis karena berkatnya saya mendapat ilmu dan wawasan baru dari wacana ini.
Menurut pendapat saya diskresi yang dilakukan oleh pihak yang berwenang merupakan suatu kebijakan yang di ambil oleh pemerintah demi kesejahteraan, keamanan, dan keadilan dalam masyarakat.
Diskresi sendiri mencakup kewenangan yang bersifat merdeka untuk mengambil keputusan yang tepat/ sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan.
Kaitan diskresi dengan masalah hukum yaitu tindakan kebijaksanaan yang diambil oleh hakim dalam memutuskan perkara di antara para pihak yang bersengketa.
Diskresi akan berguna apabila diterapkan pada konteks masyarakat yang dinamis dan sangat membantu untuk melakukan berbagai penyesuaian. Sehingga peraturan yang ada tetap mampu menjawab tuntutan aspirasi dan dinamika masyarakat yang berkembang.
Kita berharap agar peraturan yang ada tetap mampu menjawab tuntutan aspirasi dan dinamika masyarakat yang berkembang.kewenangan ini berkaitan dengan subjektifitas dan kebebasan hakim sehingga rentan pada penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang karena dimungkinkan memutuskan suatu perkara dengan tidak memenuhi rasa keadilan dan kemudian mereka berlindung di belakang kewenangan diskresi yang dimilikinya.Jadi, dalam hal ini kita sebagai anggota masyarakat juga harus aktif dalam kegiatan dan perkembangan negara.
NAMA : MAMURI
NIM : A01111082
MATA KULIAH : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
KELAS : B
Menurut pendapat saya : Penggunaan konsep diskresi dalam perspektif hukum yang dikemukakan di atas menjadi sumber hukum dalam penerapan diskresi apabila pelaksanaanya mengandung kepastian hukum,kemanfaatan hukum dan keadialan. Selama ini, diskresi sering disamakan dengan kebijakan yang berarti kebebasan yang sebebas-bebasnya bagi pemerintah untuk bertindak. Pada Era Orde Lama dan Orde Baru, diskresi yang disamakan dengan kebijakan itu sering berlindung pada norma yang tidak jelas batasan dan syarat-syaratnya. Norma-norma itu antara lain, kepentingan umum, ketertiban umum, dan lain-lain. Pemerintah sering berlindung pada kondisi abstrak untuk menjustifikasi keabsahan tindakan pemerintahan yang nyatanya tidak didasarkan pada kepentingan masyarakat.
Pemerintah dituntut untuk memenuhi kepentingan masyarakat terutama berbagai kebutuhan dasar. Tuntutan ini sebagai bagian dari tugas penyelenggaraan negara dalam negara hukum yang tidak saja sebagai penjaga untuk menjaga ketertiban dan ketentraman. Adanya tuntutan terpenuhinya kesejahteraan masyarakat merupakan yang harus dilakukan oleh pemerintah . Negara hukum dengan tujuan pemenuhan kesejahteraan masyarakat ini sangatlah penting.
Diskresi sebagai wewenang pemerintahan merupakan wewenang bebas yang dimiliki oleh aparatur pemerintahan sekaligus sebagai lawan dari wewenang terikat. Sifat dan karakter hukum tindakan pemerintah ini mengharuskan kekuasaan pemerintah tidaklah sekedar melaksanakan undang-undang saja, tetapi harus lebih mengedepankan tujuan dan kebijakan dalam penyelenggarannya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
Untuk itu agar diskresi itu mendapatkan kepastian hukum,kemanfaatan hukum dan keadilan hukum maka perlulah ketegasan dari pemerintahan agar peraturan itu takut untuk dilanggar dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan agar tidak terjadi lagi masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan baik.
NAMA : FERIANTO
NIM : A01111049
MAKUL : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
KELAS : B
Dalam sistem pemerintahan sekarang ini memang dibutuhkan diskresi karena pentingnya untuk mengambil tindakan atau kebijakan menurut keyakinan para pemerinta atau pejabat berwenang, karena kita ketahui peraturan yang ada di Indonesia belum sepenuhnya bisa memenuhi kebutuhan dan demi kepentingan masyarakat, maka dari itu dibutuhkanlah kebijakan-kebijakan demi memenuhi kebutuhana tersebut. Penggunaan asas diskresi dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan, hendaknya digunakan secara proporsional oleh aparat pemerintahan dan tidak merugikan rakyat dengan dalih untuk kepentingan umum. Dalam mengambil kebijakan ini juga bisa menimbulakan permasalahan-permasalah tetapi apabila demi kepentingan masyarakat maka permasalah tersebut bisa di atasi.
Nama : Fransmini Ora Rudini
Nim : A01111008
Makul : Pendidikan Kewarganegaraan
Kelas : B
Terhadap penggunaan asas diskresi dalam pembentukan
produk hukum di Indonesia, yaitu pada dasarnya diskresi
muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara yang
harus dicapai, tujuan bernegara dari faham negara
kesejahteraan adalah untuk menciptakan kesejahteraan
rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun
merupakan bentuk negara kesejahteraan modern yang
tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Dalam paragraf
keempat dari pembukaan UUD 1945 tersebut tergambarkan
secara tegas tujuan bernegara yang hendak dicapai. Untuk
mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah
berkewajiaban memperhatikan dan memaksimalkan upaya
keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya. Hal tersebut
mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri
bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat ( public service )
yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak
untuk mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih
ketiadaan peraturan perundang-undangan (rechtsvacuum ).
Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak, diberikan
kepada administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan
bertindak yang seringkali disebut fries ermessen (Jerman)
ataupun pouvoir discretionnaire (Perancis).
Kebebasan bertindak sudah tentu akan menimbulkan
kompleksitas masalah karena sifatnya menyimpangi asas
legalitas dalam arti sifat ”pengecualian” jenis ini berpeluang
lebih besar untuk menimbulkan kerugian kepada warga
masyarakat. Oleh karena itu terhadap diskresi perlu
ditetapkan adanya batas toleransi. Batasan toleransi dari
diskresi ini dapat disimpulkan dari pemahaman yang
diberikan oleh Prof. Muchsan, S.H.,yaitu : Diskresi bisa
digunakan apabila terjadi kekosongan hukum, adanya
kebebasan penafsiran / intrepretasi, diskresi bisa digunakan
apabila ada delegasi perundang – undangan ( delegatie van
wetgeving), dan diskresi bisa digunakan demi pemenuhan
kepentingan umum.
Nama : Karina Eka Sakti
NIM : A1011131154
Mata Kuliah : Hukum Administrasi Negara
Dosen Pengampu : Dr. H. M. Syafe’i, SH.,MH; Turiman, SH.,M.Hum
Kelas : E
Reguler : A
Angkatan : 2013
Peraturan yang ada pada zaman dahulu, belum tentu relevan dengan kehidupan pada zaman sekarang. Oleh karena kehidupan manusia bersifat dinamis. Maka dari itu, diskresi memang sangat diperlukan, agar kebijakan-kebijakan/ aturan-aturan yang dilahirkan oleh pemerintah dapat sejalan dengan perkembangan zaman, sehingga tercapailah satu diantara tujuan Negara ini, yaitu Kesejahteraan.
Indonesia menganut azas legalitas. Itu artinya bahwa penegakan hukum serta penyelengaraan pemerintahan haruslah berpijak pada aturan yang telah ada. Hal ini merupakan bentuk perwujudan dari tujuan hukum, yang mana satu diantaranya adalah kepastian hukum. Namun di sisi lain, jika hanya berpedoman kepada aturan-aturan yang telah ada, bisa saja aturan-aturan tersebut justru mencederai rasa keadilan. Oleh karena aturan tersebut tidak sesuai dengan keadaan saat ini. Di sinilah diskresi hadir untuk memberi jawaban atas persoalan tersebut. Demi terjaminnya keadilan dan kepastian di dalam kehidupan hukum.
Selain itu, sebagaimana yang kita ketahui bahwa hukum yang kita (Indonesia) gunakan merupakan warisan dari kolonial Belanda, bahkan beberapa peraturan dari Negeri Belanda sampai saat ini masih digunakan sebagai peraturan untuk penegakan hukum di Indonesia. Bagaimanapun juga peraturan-peraturan tersebut dijiwai oleh jiwa bangsa Belanda, yang bisa saja tidak relevan dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Melihat hal ini, diskresi menjadi solusi demi tegaknya hukum berdasarkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, dan menjiwai Pancasila sebagai hukum tertinggi di Indonesia.
Namun, tidak bisa ditampik pula bahwa, diskresi memberikan kewenangan yang tidak terbatas kepada penegak hukum dan pemerintah dalam menjalankan kekuasaaannya. Hal ini yang kemudian menimbulkan permasalahan dalam kehidupan bernegara. Permasalahan itu timbul, karena para penerima kewenangan, menggunakan diskresi sebagai tameng untuk melegalkan segala kebijakan atau peraturan yang mereka buat. Yang mana kebijakan/peraturan tersebut telah melanggar azas-azas hukum dan pemerintahan yang baik. Dengan mengatasnamakan diskresi, mereka menggunakannya demi kepentingan mereka sendiri. Dengan penyelahgunaan wewenang seperti ini, sangat sulit untuk bisa mewujudkan Kesejahteraan rakyat Indonesia.
Maka dari itu, sebaik apa pun diskresi tersebut, sebagai kewenangan pemerintah atau penegak hukum dalam membentuk kebijakan atau peraturan yang dapat sejalan dengan perkembangan zaman dan kehidupan masyarakat, perlu adanya batasan yang tegas dan nyata terhadap diskresi itu sendiri, Selain itu perlu juga adanya pengawasan dan kontrol terhadap pemerintah dan penegak hukum dalam melakukan diskresi dari masyarakat, agar para pemegang diskresi tidak sewenang-wenang menggunakan diskresi nya. Sehingga kebijakan ataupun peraturan yang dibuat, dapat memenuhi rasa keadilan, serta memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dan pada akhirnya peraturan atau kebijakan tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat. Sehingga terwujudlah tujuan hukum. Serta cita-cita bangsa untuk memajukan kesejahteraan umum, sebagaimana telah disebutkan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea ke-4, juga dapat terwujud.
Nama : Reni Rahmawati
NIM : A1011131108
Mata Kuliah : Hukum Administrasi Negara
Dosen Pengampu : Dr. H. M. Syafe’i, SH.,MH; Turiman, SH.,M.Hum
Kelas : E
Reguler : A
Angkatan : 2013
Menurut saya diskresi sebagai wewenang pemerintahan merupakan wewenang bebas yang dimiliki oleh aparatur pemerintahan sekaligus sebagai lawan dari wewenang terikat. Sifat dan karakter hukum tindakan pemerintah ini mengharuskan kekuasaan pemerintah tidaklah sekedar melaksanakan undang-undang, tetapi harus lebih mengedepankan penetapan tujuan dan kebijakan.
Selama ini yang saya ketahui, diskresi sering disamakan dengan kebijakan yang berarti kebebasan yang sebebas-bebasnya bagi pemerintah untuk bertindak. diskresi yang disamakan dengan kebijakan itu sering berlindung pada norma yang tidak jelas batasan dan syarat-syaratnya. Norma-norma itu antara lain, kepentingan umum, ketertiban umum, dan lain-lain. Pemerintah sering berlindung pada kondisi abstrak untuk mengarahkan keabsahan tindakan pemerintahan yang nyatanya tidak didasarkan pada kepentingan masyarakat.
Diskresi sebagai wewenang bebas tidak berarti sebebas-bebasnya. Setiap kewenangan dalam negara hukum tidak dikenal adanya wewenang yang sebebas-bebasnya. Wewenang termasuk wewenang terikat dan wewenang bebas selalu memiliki batasan yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. Diskresi sebagai wewenang bebas pun tidak dapat dilakukan tanpa adanya kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Selain itu, asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) menjadi norma tidak tertulis sekaligus sebagai norma perilaku bagi aparatur dalam melakukan tindakan pemerintahan.
Tujuan diskresi pada hakekatnya merupakan tujuan dari wewenang itu sendiri. Pembentuk hukum tentunya dalam memberikan wewenang pemerintahan didasari pada tujuan yang Tujuan pemberian diskresi bagi pemerintah oleh pembentuk undang-undang mengandung makna yang tidak jelas atas suatu diskresi pemerintahan. Rasionalitas dan pertimbangan dengan memperhatikan kondisi faktual merupakan suatu tuntutan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dengan senantiasa memperhatikan prinsip good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan.
NAMA : NURAINI SUSANTI
NIM : A1011131106
Mata Kuliah : Hukum Administrasi Negara
Dosen Pengampu : Dr. H. M. Syafe’i, SH.,MH; Turiman, SH.,M.Hum
Kelas : E
Reguler : A
Angkatan : 2013
Secara yuridis, pemerintah (eksekutif) maupun struktur pemerintahan negara lainnya tidak lagi memiliki kekuasaan apapun dalam negara hukum. Kekuasaan yang sebelumnya terjelma sebagai kedaulatan rakyat telah termanifestasi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) yang menyebutkan bahwa ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”dan “Negara Indonesia adalah negara hukum”.Undang-Undang Dasar sebagai hukum tertinggi yang memberikan wewenang kepada pemerintah (eksekutif) dan struktur pemerintahan negara lainnya untuk bertindak sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh hukum. Wewenang pemerintahan ini sekaligus menjadi fungsi kontrol rakyat terhadap pemerintah dalam bertindak.
Dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan, tindakan pemerintahan harus didasarkan pada wewenang yang dimiliki dan bukan pada kekuasaan. Tentunya penggunaan diskresi pun tidak harus didasarkan pada wewenang yang memberikan kebebasan bertindak bagi aparatur pemerintahan untuk menggunakan diskresi dan bukan kekuasaan pemerintahan. Penggunaan diskresi harus didasarkan pada wewenang yang dimiliki oleh aparatur pemerintahan.
Diskresi muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari faham negara kesejahteraan adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Jadi dalam mengeluarkan diskresi, yang terpenting bukanlah masalah pengambilan kebijakan, melainkan masalah manfaat yang hendak dicapai, yaitu demi kepentingan masyarakat umum.
NAMA : YULIANI ULI ROTUA SIAHAAN
NIM : A1012131230
Reguler : B
Angkatan : 2013
Menurut pendapat saya diskresi yang dilakukan oleh pihak yang berwenang merupakan suatu kebijakan yang di ambil oleh pemerintah demi kesejahteraan, keamanan, dan keadilan dalam masyarakat.Diskresi sendiri mencakup kewenangan yang bersifat merdeka untuk mengambil keputusan yang tepat atau sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan.
Diskresi sebagai kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para pejabat administrasi Negara yang berwenang dan berwajib menurut pendapat sendiri. Selanjutnya dijelaskan bahwa diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindakan hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi Negara harus berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
Akan tetapi tidak mungkin bagi Undang-Undang untuk mengatur segala macam kasus posisi dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu perlu adanya kebebasan atau diskresi administrasi Negara yang terdiri atas diskresi bebas dan diskresi terikat. Pada diskresi bebas, Undang-Undang hanya menetapkan batas-batas dan administrasi Negara bebas mengambil keputusan apa saja asalkan tidak melampaui/melanggar batas-batas tersebut, sedangkan pada diskresi terikat, Undang-Undang menetapkan bebarapa alternatif keputusan dan administrasi Negara bebas memilih salah satu alternatif keputusan yang disediakan oleh Undang-Undang.
Posting Komentar