Pentingnya “visum et repertum” Dalam Membantu Proses
Peradilan Perkara Pidana Dalam Perspektif
Penegakan Hukum
Oleh:
Turiman Fachturahman Nur
A.Pentingnya “visum et repertum”
Suau pemeriksaan suatu
perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan
untuk mencari kebenaran materiil terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat
dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara
baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan
maupun pada tahap persidangan perkara tersebut.
Upaya-upaya yang dilakukan
untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk
menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang,
hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa: “Tidak
seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat
pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang
yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang
didakwakan atas dirinya”.
Berdasarkan adanya
ketentuan perundang-undangan tersebut di atas, maka dalam proses penyelesaian
perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta
mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Di dalam usaha
memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu
perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah
atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah
tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian, maka
bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran
materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.
Menurut ketentuan
hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur
dan disebutkan di dalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap
penyidikan disebutkan pada Pasal 120 ayat (1) KUHAP. Sedangkan untuk permintaan
bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan diatur dalam Pasal 180 ayat (1) KUHAP.
Mengenai keterangan
ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP di atas, diberikan
pengertiannya pada Pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan bahwa: “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
Terkait dengan bantuan
keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana,
maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting
untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya
menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan
penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh
suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana
seperti pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana
penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau
dokter ahli lainnya untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban
yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap
lebih lanjut kasus tersebut.
Keterangan ahli yang
dimaksud yaitu keterangan dari dokter yang telah diangkat sumpah berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter, yang
dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti. Bukti tersebut berupa
keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan
korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda kekerasan.
Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam
bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum.
Visum et repertum diartikan sebagai laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro
yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap
segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti,
berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan
pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Visum et repertum juga memuat
keterangan atau pendapat dokter mengenai
hasil pemeriksaan medik tersebut.
Kewajiban dokter
sehubungan dengan pembuatan visum et repertum
dalam membantu proses peradilan diatur dalam Pasal 133 KUHAP dan Pasal 179
KUHAP, yang menentukan sebagai berikut:
Pasal 133 KUHAP
(1)
Dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani seorang korban baik luka,keracunan ataupun mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan ahli lainnya.
(2)
Permintaan keterangan ahli sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu
disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau
pemeriksaan bedah mayat.
Pasal 179 KUHAP
(1)
Setiap orang yang diminta pendapatnya
sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib
memberikan keterangan ahli demi kebaikan.
(2)
Semua ketentuan tersebut di atas untuk
saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan
ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan
yang sebaik-baiknya dan yang sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang
keahliannya.
Dari penjabaran diatas
jelas bahwa seorang dokter yang kapasitasnya sebagai ahli wajib memberikan
keterangan jika sewaktu-waktu dimintai keterangan ahli oleh penyidik.
Dalam pengungkapan
suatu kasus, visum et repertum memiliki
peranan yang cukup penting bagi tindakan pihak kepolisian selaku aparat
penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana dari hasil pemeriksaan yang
termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak
kepolisian dalam mengusut suatu kasus.
Sebuah visum et
repertum yang baik harus mampu membuat terang perkara tindak pidana yang
terjadi dengan melibatkan bukti-bukti forensik yang cukup. Visum et repertum
adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam Pasal 184
KUHAP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu
perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan
segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian
pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.
Dengan demikian,
visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan
ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum dapat diketahui
dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang dan para praktisi hukum
dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut
tubuh/jiwa manusia
B.Konsep Penegakan Hukum Pidana
Teori penegakan hukum, tentunya
perlu dipersepsikan dalam makalah ini,
bahwa hukum disini dapat dimaknai dalam
kaitannya dengan konsep penegakan hukum adalah sebagai sistem. Makna sistem disini tidak hanya mengacu pada aturan (codes
of rules) dan peraturan (regulations),
namun mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living
law) dan budaya hukum (legal
structure).
Menurut Lawrence Friedman, sebagai dalam kerangka teori pada BAB I dijelaskan bahwa unsur-unsur
sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).[1]
Tiga hal tersebut adalah merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan, atau tiga faktor yang berpengaruh terhadap
penegakan hukum.
Struktur hukum meliputi
badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga terkait,
seperti Hakim, Kejaksaan,
Kepolisian, Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
lain-lain yang bergerakan dalam penegakan hukum.
Sedangkan substansi hukum
adalah mengenai norma, peraturan maupun undang-undang. Sedangkan budaya hukum adalah meliputi
pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran
nilai-nilai dan pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan perkataan
lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana
hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.
Tanpa budaya hukum sistem
hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di
keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya (without legal culture, the legal system is
inert, a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea).[2]
Setiap masyarakat, negara
dan komunitas mempunyai budaya hukum. Selalu ada sikap dan pendapat mengenai
hukum. Hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dalam satu komunitas memberikan
pemikiran yang sama.
Banyak sub budaya dari
suku-suku yang ada, agama, kaya, miskin, penjahat dan polisi mempunyai budaya
yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Yang paling menonjol adalah
budaya hukum dari orang dalam, yaitu hakim dan penasehat hukum yang bekerja di
dalam sistem hukum itu sendiri, karena sikap mereka membentuk banyak keragaman
dalam sistem hukum. Setidak-tidaknya kesan ini akan mempengaruhi penegakan
hukum dalam masyarakat.
Hukum adalah kontrol
sosial dari pemerintah (law is
governmental social control), sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba
mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku yang buruk.[3]
Di sisi lain kontrol
sosial adalah jaringan atau aturan dan proses yang menyeluruh yang membawa
akibat hukum terhadap perilaku tertentu, misalnya aturan umum perbuatan melawan
hukum.[4]
Tidak ada cara lain untuk
memahami sistem hukum selain melihat perilaku hukum yang dipengaruhi oleh
aturan keputusan pemerintah atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang. Jika seseorang berperilaku secara khusus adalah karena
diperintahkan hukum atau karena tindakan pemerintah atau pejabat lainnya atau
dalam sistem hukum.
Hukum akan menjadi berarti
apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan
hukum menuruti perilakunya, sedangkan di lain pihak efektivitas hukum berkaitan
erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan
kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada nilai universal dari
tujuan dan alasan pembentukan undang-undang.
Dalam praktek kita melihat
ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada undang-undang yang tidak
dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh
jika setiap orang tidak mematuhi undang-undang dan undang-undang itu akan
kehilangan maknanya.
Ketidakefektifan
undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan kuantitas ketidakpatuhan
serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum, termasuk perilaku pelanggar
hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan hukum yang menjamin kepastian hukum dan keadilan hukum dalam masyarakat.Karena dua hal itulah yang menjadi tujuan hukum dalam penegakan hukum.
Kepastian hukum dapat kita
lihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian
karena hukum. “Kepastian dalam hukum” dimaksudkan bahwa setiap norma hukum itu
harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di dalamnya tidak mengandung
penafsiran yang berbeda-beda.
Akibatnya akan membawa
perilaku patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam praktek banyak timbul
peristiwa-peristiwa hukum, di mana ketika dihadapkan dengan substansi norma
hukum yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau kurang sempurna sehingga
timbul penafsiran yang berbeda-beda yang akibatnya akan membawa kepada
ketidakpastian hukum.
Sedangkan “kepastian
karena hukum” dimaksudkan, bahwa karena hukum itu sendirilah adanya kepastian,
misalnya hukum menentukan adanya lembaga daluarsa, dengan lewat waktu seseorang
akan mendapatkan hak atau kehilangan hak. Berarti hukum dapat menjamin adanya
kepastian bagi seseorang dengan lembaga daluarsa akan mendapatkan sesuatu hak
tertentu atau akan kehilangan sesuatu hak tertentu.
Hukum tidak identik dengan
undang-undang, jika hukum diidentikkan dengan perundang-undangan, maka salah
satu akibatnya dapat dirasakan, adalah kalau ada bidang kehidupan yang belum
diatur dalam perundang-undangan, maka dikatakan hukum tertinggal oleh
perkembangan masyarakat.
Demikian juga kepastian
hukum tidak identik dengan dengan kepastian undang-undang. Apabila kepastian
hukum diidentikkan dengan kepastian undang-undang, maka dalam proses penegakan
hukum dilakukan tanpa memperhatikan kenyataan hukum (Werkelijkheid) yang berlaku.
Para penegak
hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil yang ada
dalam undang-undang (law in book’s),
akan cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat.
Seyogyanya
penekanannya di sini, harus juga bertitik tolak pada hukum yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak
hukum harus memperhatikan budaya hukum (legal
culture), untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta
pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam sistim hukum yang berlaku.
C.Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau
berdaya guna (utility) bagi
masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan
hukum untuk mencapai suatu keadilan.
Kendatipun
demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara
sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil
(secara filosofis), belum tentu berguna bagi masyarakat.
Secara
teoritis, bahwa penegakan hukum dapat dilihat dari sudut subyek dan obyek,
sebagaimana pandangan berikut ini. Ditinjau dari sudut subyek, penegakan hukum
dapat dilakukan oleh subyek yang lebih luas dan dapat pula diartikan sebagai
upaya penegakan hukum oleh subyek hukum
dalam arti terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum
itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum.
Siapa
saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau melakukan
sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum. Dalam arti sempit,
dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya
aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur
penegak itu diperkenan untuk menggunakan
dayak paksa.
Pengertian
penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi
hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan
sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan
yang terkandung didalam bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya
menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.[5]
Secara
pragmatis dalam kondisi yang
demikian saat ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat
mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak.
Kenyataan
sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara
praktis dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai
dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan
peraturan-peraturan yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan
lama. Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam
masyarakat.
Sebaiknya
mekanisme dan prosedur untuk menentukan prioritas revisi atau pembentukan
undang-undang baru, masyarakat harus mengetahui sedini mungkin dan tidak
memancing adanya resistensi dari masyarakat, maka setidak-tidaknya dilakukan
dua macam pendekatan yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.
Melalui
pendekatan sistem prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, harus
dilihat secara konstekstual dan konseptual yang bertalian erat dengan
dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik,
demopolitik, sosiopolitik dan
kratopolitik.
Dengan kata
lain politik hukum tidak berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik lainnya,
apalagi jika hukum diharapkan mampu berperan sebagai sarana rekayasa sosial.
Kepicikan
pandangan yang hanya melihat hukum sebagai alat pengatur dan penertib saja,
tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan dimensi-dimensi lain, akan
melahirkan produk dan konsep yang kaku tanpa cakrawala wawasan dan pandangan
sistemik yang lebih luas dalam menerjemahkan perasaan keadilan hukum
masyarakat.[6]
Hal
di atas adalah berkaitan dengan masalah efektivitas
penegakan hukum, Soerjono Soekanto
mengemukakan bahwa :
Efektif tidaknya penegakan hukum
tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut :
1.
harapan masyarakat :
penegakan hukum tersebut sesuai
dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
2.
adanya motivasi warga masyarakat untuk melaporkan terjadinya
pelanggaran hukum kepada aparat penegak hukum.
3.
kemampuan dan kewibawaan aparat penegak hukum.[7]
Pada taraf dan
situasi seperti ini
ketiga faktor di atas adalah berkaitan dengan, yakni kesadaran moral warga masyarakat tentu saja tidak akan lagi selalu
sama dan sebangun dengan kesadaran hukum rakyat. Hukum yang dikembangkan dari
cita pembaharuan dan pembangunan negara-negara nasionalpun karenanya akan
memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak selamanya dipungut begitu saja dari
legitimasi moral rakyat yang telah ada selama ini. Hukum-hukum yang mendasarkan
diri maksud-maksud pragmatis jelaslah kalau terlepas dari kesadaran moral
tradisional.[8]
Dalam
pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak
identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang,
bersifat menyamaratakan.
Setiap orang
yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya
keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.[9] Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.
Aristoteles
dalam buah pikirannya “Ethica Nicomacea”
dan “Rhetorica” mengatakan, hukum
mempunyai tugas yang suci, yakni memberikan
pada setiap orang apa yang berhak ia terima.
Anggapan ini
berdasarkan etika dan berpendapat bahwa hukum bertugas hanya membuat adanya
keadilan saja (Ethische theorie).
Tetapi anggapan semacam ini tidak mudah dipraktekkan, maklum tidak mungkin
orang membuat peraturan hukum sendiri bagi tiap-tiap manusia, sebab apabila itu
dilakukan maka tentu tak akan habis-habisnya.
Sebab itu pula
hukum harus membuat peraturan umum, kaedah hukum tidak diadakan untuk
menyelesaikan suatu perkara tertentu. Kaedah hukum tidak menyebut suatu nama
seseorang tertentu, kaedah hukum hanya membuat suatu kualifikasi tertentu.[10] Kualifikasi tertentu itu sesuatu yang abstrak. Pertimbangan
tentang hal-hal yang konkrit diserahkan pada hakim.
Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor tersebut,
adalah sebagai berikut:
1.
Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan
dibatasi pada Undang-Undang saja.
2.
Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3.
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor
masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.[11]
Keempat
faktor tersebut sebenarnya berkaitan dengan nilai-Nilai
Dasar Dalam Penegakan Hukum. Artinya
berdasarkan anggapan tersebut di atas maka
hukum tidak dapat kita tekankan pada suatu nilai tertentu saja, tetapi harus
berisikan berbagai nilai, misalnya kita tidak dapat menilai sahnya suatu hukum
dari sudut peraturannya atau kepastian hukumnya, tetapi juga harus
memperhatikan nilai-nilai yang lain.
Radbruch mengatakan bahwa hukum itu harus memenuhi berbagai karya disebut
sebagai nilai dasar dari hukum. Nilai dasar hukum tersebut adalah: keadilan, kegunaan dan kepastian hukum..[12] Sekalipun ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum,
namun di antara mereka terdapat suatu Spannungsverhaltnis
(ketegangan), oleh karena di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut
masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu sama lainnya, sehingga
ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan
Seandainya
kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau dari sudut
peraturannya, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan
kegunaan. Karena yang penting pada nilai kepastian itu adalah peraturan itu
sendiri. Tentang apakah peraturan itu telah memenuhi rasa keadilan dan berguna
bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.
Begitu juga
jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kegunaan saja, maka sebagai
nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena
yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut
bermanfaat atau berguna bagi masyarakat.
Demikian juga
halnya jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai
ia akan menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut
tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh
karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan
kepastian hukum.[13]
Dengan
demikian kita harus dapat membuat kesebandingan di antara ketiga nilai itu atau
dapat mengusahakan adanya kompromi secara proporsional serasi, seimbang dan selaras antara ketiga nilai tersebut.
Keabsahan
berlakunya hukum dari segi peraturannya barulah merupakan satu segi, bukan
merupakan satu-satunya penilaian, tetapi lebih dari itu sesuai dengan potensi
ketiga nilai-nilai dasar yang saling bertentangan. Apa yang sudah dinilai sah
atas dasar persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu peraturannya, bisa saja
dinilai tidak sah dari kegunaan atau manfaat bagi masyarakat.
Dalam
menyesuaikan peraturan hukum dengan peristiwa konkrit atau kenyataan yang
berlaku dalam masyarakat (Werkelijkheid),
bukanlah merupakan hal yang mudah, karena hal ini melibatkan ketiga nilai dari
hukum itu. Oleh karena itu dalam praktek tidak selalu mudah untuk mengusahakan
kesebandingan antara ketiga nilai tersebut. Keadaan yang demikian ini akan memberikan
pengaruh tersendiri terhadap efektivitas bekerjanya peraturan hukum dalam
masyarakat.
Adalah lazim
bahwa kita melihat efektifitas bekerjanya hukum itu dari sudut peraturan
hukumnya, sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah dan hubungan hukum
antara para pihak yang mengadakan perjanjian itu, didasarkan kepada peraturan
hukumnya. Tetapi sebagaimana dicontohkan di atas, jika nilai kepastian hukum
itu terlalu dipertahankan, maka ia akan menggeser nilai keadilan.
Kalau kita
bicara tentang nilai kepastian hukum, maka sebagai nilai tuntutannya adalah
semata-mata peraturan hukum positif atau peraturan perundang-undangan. Pada
umumnya bagi praktisi hanya melihat pada peraturan perundang-undangan saja atau
melihat dari sumber hukum yang formil.
Sebagaimana
diketahui undang-undang itu, tidak selamanya sempurna dan tidak mungkin
undang-undang itu dapat mengatur segala kebutuhan hukum dalam masyarakat secara
tuntas.
Adakalanya
undang-undang itu tidak lengkap dan adakalanya undang-undang itu tidak ada ataupun tidak sempurna. Keadaan ini tentunya
menyulitkan bagi hakim untuk mengadili perkara yang dihadapinya. Namun, dalam
menjalankan fungsinya untuk menegakkan keadilan, maka hakim tentunya tidak
dapat membiarkan perkara tersebut terbengkalai atau tidak diselesaikan sama
sekali.
Berdasarkan asasnya sebuah proses pengadilan menegaskan,
bahwa “pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa
dan mengadilinya”.
Di samping itu
pula dapat kita lihat Pasal 22 AB yang menegaskan “bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan
alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutnya, tidak
jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut karena menolak mengadili”.
Berdasarkan
ketentuan tersebut di atas, maka hakim dipaksa atau wajib turut serta
menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak. Bilamana
undang-undang tidak mengatur suatu perkara, maka hakim harus bertindak atas
inisiatif sendiri untuk menemukan dan menggali nilai-nilai hukum yang tidak
tertulis yang hidup di kalangan rakyat (living
law).
Untuk itu, ia
harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Penemuan hukum
lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau
petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap
peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses konkritisasi dan
individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa
konkrit.
Sementara
orang lebih suka menggunakan istilah “pembentukan
hukum” dari pada “penemuan hukum”,
oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah
ada.[14]
Lembaga
penemuan hukum ini akan membawa kita kepada lembaga interpretasi hukum dan
konstruksi hukum. Karena dalam melakukan penyesuaian peraturan
perundang-undangan dengan peristiwa konkrit yang terjadi dalam masyarakat,
tidak selalu dapat diselesaikan dengan jalan menghadapkan fakta dengan
peraturannya saja melalui interpretasi, tetapi lebih jauh dari itu kadangkala
hakim terpaksa mencari dan membentuk hukumnya sendirinya melalui konstruksi
dengan cara Analogi, Rechtsverfijning dan Argumentum a contrario.
Sebagai contoh
dapat dikemukakan bahwa dalam hukum adat Indonesia menganut sistim partriar chaat, segala harta yang timbul
dalam perkawinan adalah milik suami, janda tidak berhak mewarisi harta peninggalan
suaminya.
Kedudukan
janda dalam hukum adat ini dianggap tidak sesuai dengan rasa keadilan, karena
itu janda harus diberikan kedudukan yang pantas di samping kedudukan keturunan
anak-anak keturunan sipeninggal warisan.[15]
Tugas hakim
adalah menyelesaikan tiap perkara, meskipun bertentangan dengan undang-undang
atau undang-undang tinggal diam. Hakim wajib membuat penyelesaian yang
diinginkan oleh masyarakat pencari keadilan itu, berdasarkan hukum yang
ditemukan atau dibentuknya sendiri.
Konstruksi
hukum dapat dilakukan apabila suatu perkara yang dimajukan kepada hakim, tetapi
tidak ada ketentuan yang dapat dijalankan untuk menyelesaikan perkara tersebut,
meskipun telah dilakukan penafsiran hukum. Begitu juga setelah dicari dalam
hukum kebiasaan atau hukum adat, namun tidak ada peraturan yang dapat membawa
penyelesaian terhadap kasus tersebut.
Dalam hal
demikian hakim harus memeriksa lagi sistim hukum yang menjadi dasar lembaga
hukum yang bersangkutan. Apabila dalam beberapa ketentuan ada mengandung kesamaan,
maka hakim membuat suatu pengertian hukum (rechtsbegrip)
sesuai dengan pendapatnya.
Hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat dan dalam mempertimbangkan berat ringannya
pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan jahat dari
tertuduh.[16]
Semua
masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa
pergelokan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai
hukum yang hidup di kalangan rakyat.
Untuk itu ia
harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan
demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat. Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh
wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan.
Keadaan-keadaan
pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal
dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan
orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan
sebagainya.[17]
Hakim harus
menyesuaikan undang-undang dengan hal yang konkrit, karena undang-undang tidak
meliputi segala kejadian yang timbul dalam masyarakat. Bukankah pembuat
undang-undang hanya menetapkan suatu petunjuk hidup yang umum saja?
Pertimbangan mengenai hal-hal yang konkrit, yaitu menyesuaikan undang-undang
dengan hal-hal yang konrit diserahkan kepada hakim.[18]
Keputusan
hakim dapat memuat suatu hukum dalam suasana “werkelijkheid” yang menyimpang dari hukum dalam suasana “positiviteit”. Hakim menambah
undang-undang karena pembuat undang-undang senantiasa tertinggal pada
kejadian-kejadian yang baru yang timbul di masyarakat.
Undang-undang
itu merupakan suatu “momentopname”
saja, yaitu suatu “momentopname” dari
keadaan di waktu pembuatannya. Berdasarkan dua kenyataan tadi, maka dapat
dikatakan bahwa hakim pun turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan
mana yang tidak atau dengan kata lain hakim menjalankan rechtsvinding. Scholten menyatakan bahwa menjalankan undang-undang
itu selalu “rechtsvinding”.[19]
Kemandirian
hakim dalam menemukan dan pembentukan hukum itu, serta dapat menentukan mana
yang merupakan hukum dan mana yang tidak atau dalam mengisi ruangan yang kosong
dalam undang-undang, adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, karena
keputusan hakim yang demikian itu hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara
saja dan tidak berlaku sebagai peraturan
umum.
Namun
keputusan hakim yang didasarkan oleh hukum yang ditemukannya itu, dalam
keadaan dan waktu tertentu, dapat
diikuti oleh hakim-hakim yang lain dalam hal perkara yang sama dan akhirnya
menjadi suatu yurisprudensi yang tetap dan sekaligus menjadi sumber hukum yang
formil.
Kedudukan
yurisprudensi di Indonesia sangat berbeda dengan keputusan hakim yang merupakan
“Preseden” sebagaimana yang terdapat
di Inggris dan Amerika, seperti apa yang dikemukakan oleh Gray.
Teori Gray
dikenal dengan nama teori mengenai All
the law is judge made law. Suatu peraturan barulah menjadi peraturan hukum
apabila peraturan itu telah dimasukan dalam putusan hakim. Anggapan Gray ini
berdasarkan peradilan dilaksanakan di negeri Inggris, di Amerika Serikat dan di
Afrika Selatan dan disebut sebagai peradilan preseden (Presedenten rechts praak).
Hakim wajib
mengikuti keputusan hakim yang kedudukannya menurut hirarki pengadilan lebih
tinggi, wajib mengikuti keputusan hakim yang lain yang kedudukannya sederajat,
tetapi telah lebih dahulu membuat penyelesaian suatu perkara semacam, bahkan
wajib mengikuti keputusan sendiri yang dibuatnya lebih dahulu dalam perkara
semacam (stare desicis).
Hukum yang
berasal dari pengadilan preseden disebut
“judge made law” atau “judiciary law” . Terutama di negeri
Inggris sering “judge made law” itu
dianggap lebih penting dari pada “Statute
law” (hukum yang ada di dalam peraturan perundang-undangan). Pentingnya “judge made law” itu diperbesar oleh Gray
dalam rumusannya “All the law is judge
made law”.[20]
Fungsi hakim
yang bebas untuk mencari dan merumuskan nilai hukum dalam masyarakat,
diharapkan dapat memfungsikan hukum untuk merekayasa masyarakat dalam seluruh
aspek kehidupan dengan memenuhi rasa keadilan, kegunaan dan kepastian hukum
secara serasi, seimbang dan selaras. Dewasa ini di Indonesia telah berkembang
faham untuk mengfungsikan hukum sebagai rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) terutama dalam bidang hukum
privat adat menjadi hukum privat nasional.
Berbekalkan konsep dan rancangan kebijakan seperti itu,
tak pelak para pendukung hukum adat tak dapat bertindak lain selain
mengandalkan kemampuan para hakim untuk mengembangkan pendayagunaan hukum dalam
masyarakat, atas dasar prinsip-prinsip kontigensi yang harus benar-benar
kreatif.
Sekalipun dalam era orde baru badan-badan kehakiman diidealkan
akan menjadi hakim yang bebas dan pembagian kekuasaan dalam pemerintah akan
dihormati dengan penuh komitmen, akan tetapi harapan-harapan kepada badan-badan
ini sebagai badan yang mandiri dan kreatif untuk merintis pembaharuan
hukum-lewat pengartikulasian hukum dan moral rakyat agaknya terlampau
berkelebihan.[21]
Salah satu
aspek dalam kehidupan hukum adalah kepastian, artinya, hukum berkehendak untuk
menciptakan kepastian dalam hubungan antar orang dalam masyarakat. Salah satu
yang berhubungan erat dengan masalah kepastian tersebut adalah masalah dari
mana hukum itu berasal.
Kepastian
mengenai asal atau sumber hukum menjadi penting sejak hukum menjadi lembaga
semakin formal. Dalam konteks perkembangan yang demikian itu, pertanyaan
mengenai “sumber yang manakah yang
dianggap sah?” menjadi penting.[22]
Tentang
masalah dari mana hukum itu berasal atau bersumber yang dapat kita anggap sah,
dalam ilmu hukum hal ini dapat ditinjau dari dalam arti kata formil dan dalam
arti kata material.
Sumber hukum
dalam arti kata formil adalah dapat dilihat dari cara dan bentuk terjadinya
hukum positif (ius constitutum) yang
mempunyai daya laku yang mengikat para hakim dan penduduk warga masyarakat,
dengan tidak mempersoalkan asal-usul isi dari peraturan hukum tersebut.
Sumber hukum
dalam arti kata material, dapat dilihat dari pandangan hidup dan nilai-nilai (values waarden) yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat dan keyakinan serta kesadaran hukum bangsa
Indonesia (ius contituendum).
Kemampuan para
hakim kita agaknya dihadapkan dengan suatu dilema, antara harapan dan
kenyataan, terlebih lagi dalam era globalisasi ini. Kebutuhan hukum dalam
masyarakat dengan cepat berkembang, sehingga para hakim “diharapkan” dapat menyesuaikan hukum dengan peristiwa yang konkrit
dan mengambil keputusan berdasarkan hukum yang ditemukannya sendiri dan
akhirnya dapat menjadi yurisrpudensi yang tetap dan berwibawa.
Doktrin dan
tradisi yang dianut dalam badan-badan pengadilan di Indonesia, telah
mengkonsepkan hakim sebatas sebagai corong undang-undang yang mereka temukan
dari sumber-sumber formal yang telah ditetapkan terlebih dahulu secara
doktrinal. Pendidikan hukum dan kehakiman di Indonesia telah terlanjur sangat
menekankan cara berfikir deduktif lewat silogisme logika formal, tanpa pernah
mencoba mendedah mahasiswa juga ke cara berfikir induktif yang diperlukan untuk
menganalisis kasus-kasus dan beranjak dari kasus-kasus untuk mengembangkan case laws.[23]
Secara formil
yang menjadi sumber hukum bagi seorang hakim pada hakekatnya adalah: segala
peristiwa-peristiwa bagaimana timbulnya hukum yang berlaku, atau dengan kata
lain dari mana peraturan-peraturan yang dapat mengikat para hakim dan penduduk
warga masyarakat yaitu terdiri dari: undang-undang, adat, kebiasaan, yurisprudensi, traktat dan doktrina.
Namun demikian
hakim dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran, terpaksa harus melihat
sumber-sumber hukum dalam arti kata material, apabila sumber-sumber hukum dalam
arti formil tidak dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu perkara yang
sedang diperiksanya. Di sini perlu adanya kemandirian hakim dalam proses
menyesuaikan undang-undang dengan peristiwa yang konkrit, mefungsikan hakim untuk turut serta menentukan mana yang
merupakan hukum dan mana yang tidak, atau bertindak sebagai penemu hukum dalam
upaya menegakkan keadilan dan kepastian hukum.
Menurut Von Savigny hukum itu berdasarkan sistem asas-asas hukum dan pengertian dasar
dari mana untuk setiap peristiwa dapat diterapkan kaedah yang cocok (Begriffsjurisprudenz). Hakim bebas dalam
menerapkan undang-undang, tetapi ia tetap bergerak dalam sistem yang tertutup.[24]
Anggapan
bahwa hukum itu merupakan suatu kesatuan
yang tertutup (logische Geschlos senheit),
pada saat sekarang sudah tidak lagi dapat diterima. Scholten mengatakan bahwa,
hukum itu merupakan suatu sistim yang terbuka (open systeem), kita menyadari bahwa hukum itu dinamis yaitu
terus-menerus dalam suatu proses perkembangan.
Hal ini
membawa konsekuensi, bahwa hakim dapat bahkan harus memenuhi ruang kosong yang
ada dalam sistim hukum, asal saja penambahan itu tidak mengubah sistim
tersebut. Namun hakim tidak dapat menentukan secara sewenang-wenang hal-hal
yang baru, tetapi ia harus mencari hubungan dengan apa yang telah ada.
Setiap
undang-undang pada dasarnya dibentuk secara in
abstracto atau dalam keadaan abstrak, yakni pembentuk undang-undang hanya
merumuskan aturan-aturan umum yang berlaku untuk semua orang yang berada di
bawah penguasaannya, sedangkan hakim menjalankan undang-undang itu secara in concreto atau dalam keadaan konkrit,
yaitu yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu perkara tertentu.
Hakim dalam menyesuaikan peraturan perundang-undangan
dengan suasana konkrit untuk menegakkan keadilan dan kebenaran serta kepastian
hukum (rechts zekerheid), harus dapat
memberi makna dari isi ketentuan undang-undang serta mencari kejelasan dengan
melakukan penafsiran yang disesuaikan dengan kenyataan, sehingga undang-undang
itu dapat berlaku konkrit jika dihadapkan dengan peristiwanya.
D.Kedudukan Alat Bukti Dalam Hukum Pidana
Berkaitan dengan peristiwa hukum dalam konsep
penegakan hukum dalam suatu tindakan hukum khususnya hukum pidana, maka salah
satunya berbicara
mengenai dasar hukum pembuktian, maka konteks pembicaraan kita adalah apa yang
menjadi landasan yuridis dari pembuktian tersebut.
Dasar hukumnya terdapat
dalam Pasal 183 KUHAP yang tertulis bahwa : Hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Selanjutnya dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP tertulis :
Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah
terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Kedua Pasal inilah yang menjadi
dasar hukum dari pembuktian tersebut.
Selain Pasal 183 dan Pasal 185, maka dapat juga
dilihat mengenai dasar hukum pembuktian yaitu pada Pasal 184 tentang alat bukti
dan Pasal 186-189 tentang pengertian dari masing-masing alat bukti.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP, yang
mengatur tentang alat bukti yang sah, di dalam Pasal tersebut tertulis bahwa
ada 5 (lima) macam alat bukti yang sah, yaitu :
1. Keterangan Saksi
2. Keterangan
Ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa.
Pertanyaan yang perlu diajukan dimana letak visum et
revertum, apakah masuk dalam keterangan ahli atau hanya bukti petunjuk atau
dikatagorikan sebagai surat saja. Karena keterangan yang ada didalam
subtansi visum et refertum diformat
standar seperti surat dari dokter dalam realitas prateknya.
Dari kelima
alat bukti yang dikenal dalam KUHAP, maka selanjutnya penulis akan memberikan
penjelasan dari masing-masing alat bukti tersebut, baik dari pengertian KUHAP
itu sendiri maupun pendapat dari beberapa pakar.
Keterangan Saksi (Verklaringen
van getuige) pengertian umum dari keterangan saksi dicantumkan dalam Pasal
1 butir 27, yang menyatakan keterangan saksi ialah salah satu alat bukti dalam
perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Sedangkan keterangan saksi yang
bernilai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
Jika
diteliti KUHAP, maka mengenai keterangan saksi ini diatur oleh beberapa pasal
diantaranya, Pasal 108, 116, 160 sampai dengan 165, Pasal 167, 168, 169, 170,
173, 174 dan Pasal 185, dari pasal-pasal tersebut di atas yang terutama di
ketahui adalah orang yang dapat menjadi saksi. Harus diingat bahwa keterangan
saksi ini harus memenuhi 2 (dua) syarat yaitu syarat formil dan materiil.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 160 ayat (3) bahwa
“keterangan seorang saksi dianggap sah jika diberikan di bawah sumpah dan
mengenai saksi yang tidak disumpah berdasarkan Pasal 185 ayat (7), maka tidak
merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari
saksi yang disumpah, maka dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah
yang lain.
Keterangan Ahli (Verklaringen van een Deskundige), ialah apa yang seorang ahli
nyatakan di sidang pengadilan, keterangan ahli ini merupakan keterangan yang
diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus atau tertentu tentang
hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara tindak pidana guna
kepentingan pemeriksaan atau keterangan yang berdasarkan keahlian dan
pendidikan yang diperlukan untuk itu dan sangat relevan dengan perkara yang
akan diterangkannya.
Disamping
keterangan saksi seperti telah diuraikan pada poin sebelumnya, maka dalam
rangka pembuktian ini ada saksi yang mempunyai kedudukan khusus yaitu para ahli. Termasuklah salah satunya
profesi dokter, karena mereka disumpah sesuai keahliannya.
Berdasarkan uraian di atas menurut penulis, bahwa saksi dapat
bertindak sebagai :
a. Seorang ahli yang ditanya pendapatnya mengenai sesuatu
soal. Orang ini hanya mengemukakan pendapatnya tentang suatu persoalan yang
ditanyakan kepadanya tanpa melakukan suatu pemeriksaan. Contohnya adalah dokter
spesialis ilmu kebidanan dan penyakit kandungan yang diminta pendapatnya tentang
obat A yang dipersoalkan dapat menimbulkan abortus atau tidak.
b. Seorang saksi ahli (getuige
deskundige), yang ditanya pengetahuannya mengenai sesuatu perkara. Orang ini
menyaksikan barang bukti atau saksi diam, melakukan pemeriksaan dan
mengemukakan pendapatnya, misalnya seorang dokter yang melakukan pemeriksaan
mayat. Jadi ia menjadi saksi karena menyaksikan barang bukti itu dan kemudian
menjadi ahli karena mengemukakan pendapatnya tentang sebab kematian korban.
Menurut Yahya Harahap[25], bahwa
ada 2 (dua) cara yang dapat digunakan dalam meminta keterangan ahli tersebut
yaitu : (1) keterangan langsung di hadapan penyidik, dalam hal ini ahli
dipanggil menghadap penyidik untuk memberi keterangan langsung di hadapan
pemeriksaan penyidik, sesuai dengan keahlian khusus yang dimilikinya.
Keterangan langsung di
hadapan penyidik ini juga mempunyai 3 (tiga) bentuk yaitu :
a. Sifat
keterangan yang diberikan menurut pengetahuan. Jadi berbeda dengan keterangan
saksi. Keterangan saksi berupa apa yang ia lihat, ia dengar atau ia alami
sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya. Sedang sifat keterangan ahli
semata-mata didasarkan pada pengetahuan yang khusus dimiliki sesuai dengan
bidang keahliannya.
b. Sebelum
dilakukan pemeriksaan mengucap sumpah atau janji mengangkat sumpah atau
mengucapkan janji di muka penyidik, yang berisi bahwa ia akan memberi
keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya (Pasal 120 ayat (2)
KUHAP). Sumpah atau janji merupakan perbedaan antara ahli dengan saksi. Jika
ahli harus bersumpah atau mengucapkan janji sebelum memberi keterangan,
sebaliknya prinsip pemeriksaan saksi si muka penyidik tidak disumpah.
c. Ahli
dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta apabila harkat martabat,
pekerjaan atau jabatannya mewajibkannya menyimpan rahasia. Yang agak sulit
untuk dipahami dalam Pasal 120 ayat (2) ini, ialah mengenai arti harkat
martabatnya tidak dijelaskan apa dan siapa orang yang memiliki harkat dan
martabat yang dapat menolak untuk memberi keterangan sebagai ahli. Barangkali
orang yang dapat dikelompokkan ke dalamnya seperti ulama, pendeta, para guru,
dan sebagainya.
Keterangan dalam bentuk
keterangan tertulis, jika pada bentuk pertama seperti yang diatur dalam Pasal
120, pendapat ahli yang diperlukan penyidik langsung diberi dalam pemeriksaan
di hadapan penyidik. Pada bentuk kedua diatur dalam Pasal 133, pendapat ahli
yang dimintakan penyidik dituangkan dalam bentuk tertulis. Keterangan bentuk tertulis dari seorang ahli inilah yang lazim disebut
dalam praktek hukum sebagai Visum et Repertum.
Adapun tata cara yang
ditempuh penyidik untuk mendapat keterangan tertulis seorang ahli seperti yang
diatur dalam Pasal 133 KUHAP adalah :
a.
Dalam hal penyidikan mengenai seorang korban luka, keracunan, ataupun
kematian yang diduga sebagai akibat dari suatu peristiwa pidana maka demi untuk
kepentingan peradilan, penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan
tertulis kepada ahli.
b.
Pengajuan permintaan dimaksud diajukan kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter atau ahli lainnya. Memperhatikan dengan saksama ketentuan di atas,
pembuat Undang-Undang sangat cenderung untuk menetapkan suatu ketentuan, agar
semua keterangan yang menyangkut kejahatan terhadap nyawa dan penganiayaan,
yang boleh diminta keterangannya adalah ahli kedokteran kehakiman namun
barangkali pembuat Undang-Undang sendiri menyadari, bagaimana langkanya ahli
kedokteran kehakiman di Indonesia.
c.
Terpaksa di ujung kalimat Pasal 133 ditambah dengan atau dokter dan atau
ahli lainnya, sehingga dengan demikian langkahnya ahli kedokteran kehakiman
dapat diatasi dengan cara memberi kemungkinan bagi aparat penyidik untuk
meminta keterangan dari dokter umum ataupun ahli lainnya.
d.
Siapa yang dimaksud dengan ahli lainnya, pembuat Undang-Undang tidak
menjelaskan kalau dokter, semua orang tahu tetapi siapakah ahli lainnya jika
masalahnya dihubungkan dengan kepentingan peradilan dalam menangani korban
luka, keracunan, atau kematian. Siapa orangnya yang dianggap sejajar keahliannya
dengan seorang ahli kedokteran kehakiman atau dokter. Apakah seorang mantri
kesehatan dapat digolongkan ke dalam pengertian ahli lainnya yang disebut Pasal
133 tersebut. Dalam keadaan yang darurat sekali, mantri kesehatan dapat
disejajarkan dalam pengertian ahli lainnya. Terutama di daerah yang sangat
terpencil, di mana Puskesmas dan dokter tidak ada, sedang yang ada hanya mantri
kesehatan, penyidik dapat mengajukan permintaan keterangan
kepadanya.
e.
Cara meminta keterangan kepada ahli dengan tertulis. Dalam surat permintaan
keterangan, penyidik menyebut dengan tegas pemeriksaan apa yang dikehendaki
penyidik kepada ahli. Dari permintaan itu ahli melakukan pemeriksaan luka,
pemeriksaan mayat, ataupun pemeriksaan bedah mayat. Adapun kualitas surat keterangan
yang dikeluarkan berdasar ketentuan Pasal 133 ayat (1) dan (2), dijelaskan
lebih lanjut dalam penjelasan
f.
Pasal tersebut, yang menegaskan bahwa keterangan yang diberikan oleh ahli
kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli sedangkan keterangan yang
diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan saja.
Memang hal ini sangat perlu untuk dibedakan, guna kepentingan pemeriksaan di
depan persidangan. Sebab menurut ketentuan Pasal 184 ayat 1 huruf b, keterangan
ahli termasuk salah satu alat bukti yang sah menurut hukum dengan demikian
keterangan ahli kedokteran kehakiman termasuk kategori alat bukti yang sah,
sedang keterangan dokter bukan alat bukti yang sah, tetapi dapat dimasukkan
kepada klasifikasi alat bukti surat (Pasal 184 ayat (1) huruf c)
Surat (schriftelijke bescheiden), sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf C, dibuat atas sumpah jabatan atau
dilakukan dengan sumpah, adalah :
a.
berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri,
disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
b.
surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang
menjadi tanggung jawabnya dan atau sesuatu keadaan;
c.
surat keterangan dari seorang
ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau
sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d.
surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian yang lain.
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang
karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana
dan siapa pelakunya. Tetapi harus diingat bahwa petunjuk tidak berdiri sendiri
sebagai pembuktian, tetapi mengarah kepada pembuktian atau pelaku perbuatan (materiil).
Petunjuk
ini dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah diadakan
pemeriksaan.
Menurut Kuffal[26], bahwa kekuatan pembuktian dari alat bukti
petunjuk sangat ditentukan oleh unsur-unsur subjektif (arif bijaksana,
kecermatan, keseksamaan dalam hati nurani) dari hakim.
Berdasarkan pengalaman dalam kehidupan
sehari-hari dan menurut pengalaman dalam pelaksanaan penegakan hukum pada
tataran praktek dapat diketahui atau dirasakan bahwa unsur-unsur subjektif
antara hakim yang satu dengan yang lain pada umumnya tidak sama atau berbeda.
Keterangan Terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan
di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau
alami sendiri, keterangan terdakwalah yang sangat menentukan suatu perkara
karena dialah sebagai atau merupakan pelaku perbuatan (materiil).Tetapi
harus diingat menurut, bahwa : Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.
E.Tugas dan
Tanggung Jawab Dokter Dalam Hukum Pidana
Tugas dan tanggung jawab dokter
sangat besar dalam kaitannya dengan hukum pidana, untuk memberikan gambaran
tentang tanggung jawab dokter, maka perlu digambarkan apa yang dimaksud dengan
tangung jawab.
Tanggung jawab adalah
tanggung jawab yang diakui dan ditegakan
oleh seseorang seseorang yang dibebankan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Secara operasional definisi “dokter” adalah seorang tenaga kesehatan (dokter) yang menjadi tempat
kontak pertama pasien atau klien dengan dokternya untuk menyelesaikan semua
masalah kesehatan yang dihadapi tanpa memandang jenis penyakit.
Tugas dan tanggung
jawab seorang dokter secara umum berkaitan dengan kompetensi yang harus dicapai
seorang dokter meliputi tujuh area atau kompetisi utama, yaitu:
1.
Ketrampilan komunikasi efektif
2.
Ketrampilan Klinik dasar
3.
Ketrampilan menerapkan dasar-dasar ilmu biomedik, ilmu klinik, ilmu
prilaku dan epidemologi dalam praktek kedokteran.
4.
Ketrampilan pengelolaan masalah kesehatan individu, keluarga ataupun
masyarakat dengan cara yang komprehensif, holistik, bersinambung, terkoordinasi
dan bekerja sama dalam kontek Pelayanan kesehatan primer.
5.
Memanfaat, menilai secara kritis dan mengelola infornasi.
6.
Mawas diri dan mengembangkan diri/belajar sepanjang hajat.
7.
Menjunjung tinggi etika moral dan profesionalisme dalam praktik.
Ketujuh area kompetensi itu
sebenarnya adalah kemampuan dasar seorang dokter. Sedangkan tugas Dokter
meliputi hal-hal sebagai berikut:[27]
a.
Melakukan pemeriksaan pada pasien untuk mendiagnosa penyakit pasien
secara cepat dan memberikan terapi secara tepat.
b.
Memberikan terapi untuk kesembuhan penyakit pasien
c.
Memberikan pelayanan kedokteran secara aktif pada saat sehat dan sakit.
d.
Menangani penyakit akut dan kronik.
e.
Menyelenggarakan rekam medis yang memenuhi standar
f.
Melakukan tindakan tahap awal kasus berat agar siap dikirim ke RS.
g.
Tetap bertanggung jawab atas pasien yang ditujukan ke Dokter spesialis
atau dirawat di RS dan membantu pasien yang telah dirujuk atau dikonsultasikan.
h.
Bertindak sebagai mitra, penasehat dan konsultan bagi pasiennya.
i.
Memberikan nasehat untuk perawatan dan pemeliharaan sebagai pencegahan
sakit.
j.
Seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran, pengobatan pasien sekarang
harus komprehensif, mencakup promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
k.
Membina keluarga pasien untuk berpartisipasi dalam upaya peningkatan
taraf kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan rehabilitasi.
l.
Mawas diri dan mengembangkan diri/belajar sepanjang hayat dan melakukan
penelitian untuk mengembangkanb ilmu kesehatan.
m.
Tugas dan hak eklusif dokter untuk
memberikan surat keterangan sakit dan surat keterangan berbadan sehat setelah
melakukan pemeriksaan pada pasien.
Berdasarkan tugas dokter secara umum, dapat diambil kesimpulan, bahwa
tugas dokter di atas belum ada kaitannya dengan aspek hukum atau lebih khusus
hukum pidana. Dari sisi tanggung jawab dokter dalam sisi hukum baru muncul
ketika ada kasus perdata maupun pidana. Khusus dalam bidang hukum pidana, maka
tugas dan tanggung jawab dokter adalah berkaitan dengan kompetensi dokter, yang
selanjutnya disebut dokter porensik.
Dokter porensik adalah berkaitan dengan
kompetensi, maka tanggung jawabnya dikaitkan dengan penerapan atau pemanfaatan
ilmu kedokteran untuk penegakan hukum dan dalam kaitannya dengan fokus
penelitian tesis ini adalah berkaitan dengan Visum et Repertum.
Tanggung
jawab dokter dalam hukum pidana, secara
hukum dikaitkan dengan “laporan tertulis yang dibuat dokter berdassarkan
sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan tahapan penegakan hukum
yang berkaitan dengan segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan
yang sebaik-baiknya.
Esensi
laporan tertulis mengenai apa yang dilihat dan ditemukan pada orang yang sudah
meninggal atau orang yang hidup (untuk mengetahui sebab kematian dan atayu
sebab luka) yang dilakukan atas permintaan polisi demi kepentingan peradilan
dan membuat pendapat dari sudut pandang
kedokteran forensik. Hasil analisisnya itulah yang kemudian dikenal dengan
Visum Et Repertum (VER).
Sebagaimana
diatur dalam KUHAP pasal 333 ayat (1) menegaskan dalam penyidik untuk
kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun
mati yang diduga peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter atau ahli lainnya. Selanjutnya dalam ayat (2) Pemintaan ahli sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu
disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaanb luka atau pemeriksaan mayat dan atau
pemeriksaan bedah mayat.
Ketentuan
Pasal 333 ayat (1),(2) ini biasa dikenal
dengan permintaan keterangan ahli dalam laporan atau “visum et repertum” yang
meskipun dalam ketentuan KUHAP tidak menjelaskan tentang kata “visum et repertum”, hanya didalam
Lembaran Negara tahun 1973 No 350 Pasal 1 dan pasal 2 yang menyatakan Visum Et
Revertum adalah dibuat suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas
sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya yang
mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana.
Berkaitan
dengan tanggung jawab dokter porensik dalam hukum pidana, maka ada ketentuan
yang mengikat dokter porensik, yakni:
1.
Dokter forensik menyerahkan VER kepada polisi yang meminta. Yang
berwenang mengemukan isi VER itu adalah polisi yang bersangkutan dan bukan
dokter yang melakukan pemeriksaan. Sedangkan dokter forensik tidak berwenang
sehingga tidak diperkenankan untuk mengungkapkan isi VER kepada siapapun
(misalnya kepada Pers) apalagi sampai pada detail-detailnya.
2.
Dokter forensik hanya diperkenankan untuk mengemukakan isi VER kepada
majelis hakim dalam sidang pengadilan apabila ia dipanggil oleh pengadilan
sebagai saksi ahli (kedokteran forensik). Hal ini sedikit banyak berkaitan juga
dengan sumpah dokter yang diucapkannya sewaktu dilantik sebagai dokter untuk
menjaga kerahasian dalam profesinya maupun korban yang sudah meninggal sebagai
benda bukti..
3.
Dokter forensi tidak pernah berkewajiban atau perlu merasa berkewajiban
membuka rahasia mengenai suatu kasus, tetapi ia berkewajiban melaporkan dengan
sejujur-jujurnya atas sumpah jabatan bahwa ia akan berkewajiban melaporkan
dalam VER semua hal yang dilihat dan ditemukan pada jenazah yang diperiksanya.
4.
Seorang dokter ahli forensik pada dasarnya adalah seorang dokter, ia
telah diangkat dan diambil sumpahnya sebagai dokter, sedangkan sebagai ahli
ilmu kedokteran forensik ia tidak mengucapkan sumpah lain.
5.
Tanggung jawab dokter forensik sampai sebatas memberikan keterangan
didepan pengadilan, dan tidak ada alasan untuk kepentingan publik/umum, dokter
forensik diperkenankan memberikan keterangan kepada media masa.
Berdasarkan lima point diatas,
maka dapat disimpulkan, bahwa dokter forensik yang menerima permintaan dari
kepolisian untuk melakukan pemeriksaan dan menjadi saksi ahli dalam perkara.
Kesaksian ahli diberkan dalam bentuk laporan hasil analisis yang kemudian
disebut Visum, Et Revertum. Artinya jika pada tingkat penyidikan, maka VER
masih bersifat rahasia, namun jika perkara sudah sampai ke pengadilan maka
informasi tersebut bisa diakses oleh pihak lain, termasuk pihak tersangka atau
keluarga.
F.Visum et Repertum
sebagai salah satu alat Bukti dalam hukum Pidana
1. Pengertian Visum
et Repertum
Visum et Repertum adalah istilah yang dikenal dalam ilmu kedokteran
forensik, biasanya dikenal dengan nama “visum”. Visum berasal dari bahasa
latin, bentuk tunggalnya adalah “visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata
bahasa, kata “visum” atau “visa” berarti tanda melihat atau melihat yang
artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang
ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan “revertum” berarti laporan yang artinya apa yang telah didapat
dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Jadi secara etimologi visum et
revertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan.
Visum et Repertum atau disingkat VeR adalah laporan
tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan pemeriksaan terhadap orang atau yang
diduga orang, berdasarkan permintaan tertulis dari pihak yang berwenang, dan
dibuat dengan mengingat sumpah jabatan dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana).
Menurut Staatsblad 1937 Nomor 350 Visum et Revertum adalah laporan tertulis untuk kepentingan
peradilan (pro justitia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh
dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan
barang bukti, berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya.
Esensinya
adalah laporan tertulis mengenai apa yang dilihat dan ditemukan pada orang yang
sudah meninggal atau orang hidup (untuk mengetahui sebab kematian dan/atau
sebab luka) yang dilakukan atas permintaan polisi demi kepentingan peradilan
dan membuat pendapat dari sudut pandang kedokteran forensik.
Berdasarkan pengertian visum et
repertum tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa visum et repertum adalah keterangan dokter tentang apa yang dilihat
dan ditemukan dalam melakukan pemeriksaan barang bukti guna kepentingan
peradilan. Jadi dalam hal ini visum et repertum merupakan kesaksian
tertulis dalam proses peradilan. Pada sisi ini bisa dikatagorikan sebagai bukti
surat yang berisi keterangan tertulis, tetapi dilihat dari sisi orang yang
memberikannya maka visum et revertum dapat dikatagorikan sebagai keterangan
ahli.
Dikatagorikan sebagai surat, karena surat
permintaan VeR
ditujukan kepada Kepala Bagian Kedokteran Forensik. Dokter yang sedang mendapat
giliran melakukan pemeriksaan jenazah pada hari itu adalah yang melakukan
pemeriksaan jenazah tersebut.
Jenazah
yang bersangkutan disita sementara waktu untuk pemeriksaan. Selesai
pemeriksaan, jenazah dikembalikan dan sepenuhnya menjadi milik keluarga
kembali.
Surat
permintaan pemeriksaan jenazah ditandatangani oleh polisi berpangkat serendah-rendahnya Inspektur Dua.
Namun, bila polisi berpangkat sedemikian tidak ada di tempat, maka surat
permintaan itu ditandatangani oleh polisi berpangkat lebih rendah namun dengan
catatan "atas nama".
Dalam praktek Polisi tidak mempunyai
wewenang menunjuk dokter tertentu untuk memeriksa jenazah tertentu. Dan untuk
pemeriksaan jenazah tersebut, dokter yang memeriksa tidak boleh menerima balas
jasa dalam bentuk materi atau dalam bentuk apa pun (uang dan lain sebagainya).
Dokter
forensik menyerahkan VeR
kepada polisi yang meminta. Yang berwenang mengemukakan isi VeR itu adalah polisi
yang bersangkutan dan bukan dokter yang melakukan pemeriksaan.
Adalah
hak polisi untuk memberikan keterangan atau menolak memberikan keterangan yang
diminta kepada khalayak ramai/wartawan, sedangkan dokter forensik tidak
berwenang sehingga tidak diperkenankan untuk mengungkapkan isi VER kepada siapa
pun juga (misalnya pers)- apalagi sampai pada detail-detailnya-yang dapat
menyinggung pihak-pihak tertentu (misalnya pihak keluarga korban yang
diotopsi).
Dokter forensik hanya diperkenankan untuk
mengemukakan isi VER kepada majelis hakim dalam sidang pengadilan apabila ia
dipanggil oleh pengadilan sebagai saksi ahli (kedokteran forensik).
Hal ini sedikit banyak berkaitan juga dengan sumpah dokter yang diucapkannya
sewaktu dilantik sebagai dokter untuk menjaga kerahasiaan dalam profesinya
maupun korban yang sudah meninggal sebagai benda bukti seperti yang akan
diuraikan di bawah.
Dokter
forensik tidak pernah berkewajiban ataupun perlu merasa berkewajiban membuka
rahasia mengenai suatu kasus, tetapi ia berkewajiban melaporkan dengan
sejujur-jujurnya atas sumpah jabatan bahwa ia akan melaporkan dalam VeR semua hal yang
dilihat dan ditemukan pada jenazah yang diperiksanya.
Seorang
dokter ahli forensik pada dasarnya adalah seorang dokter. Ia telah diangkat dan
telah diambil sumpahnya sebagai dokter, sedangkan sebagai ahli Ilmu Kedokteran
Forensik ia tidak mengucapkan sumpah lain.
Pendapat
yang menyatakan bahwa dasar Ilmu Kedokteran Forensik ialah Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sangat keliru. KUHAP adalah peraturan hukum,
bukan sumpah.
Dokter
forensik tidak diperkenankan memberikan informasi apa pun kepada pihak lain
(misalnya media massa kecuali dalam sidang pengadilan) karena tetap saja dokter
forensik adalah seorang dokter yang pernah mengucapkan sumpah dokter dan sesuai
sumpah dokter, ia harus menyimpan rahasia kedokteran (dalam hal ini termasuk
apa yang dilihat dan ditemukannya dalam pemeriksaan forensik). Yang berwenang adalah
polisi yang meminta VeR.
Dan
tidak jelas pula pendapat ahli kedokteran forensik yang menyatakan bahwa demi
kepentingan umum, dokter forensik diperkenankan memberikan keterangan apabila
diperlukan kepada media massa (kepentingan pribadi demi popularitas atau
sensasi).
Jenazah
tidak dapat disamakan dengan benda bukti lainnya, misalnya sepotong kayu yang
telah dipakai untuk membunuh, karena sebelumnya ia adalah seorang manusia hidup
yang bernyawa, yang mempunyai riwayat kehidupan tertentu, dan dengan demikian
juga terdapat ikatan-ikatan tertentu, seperti hubungan dengan anggota
keluarganya yang masih hidup maupun dengan kaum kerabat lainnya. Oleh karena
itu, hal-hal tertentu yang ditemukan dalam pemeriksaan yang dapat mencemarkan
nama baik orang yang sudah meninggal-juga keluarga serta kawan-kawannya yang
masih hidup-itu tidak dapat dibeberkan kepada pihak lain, apalagi untuk
dikemukakan kepada publik. Sesuatu yang memburukkan nama baik orang yang sudah
meninggal (jenazah) itu pasti akan berakibat aib bagi pihak keluarga yang
ditinggalkan.
Secara historis dalam
undang-undang ada satu ketentuan hukum yang menuliskan langsung tentang visum
et repertum, yaitu pada staatsblad (Lembaran Negara) Tahun 1937 No.
350.
Ketentuan
dalam Staatsblad ini sebetulnya merupakan terobosan untuk mengatasi masalah
yang dihadapi dokter dalam membuat visum, yaitu mereka tidak perlu disumpah
tiap kali sebelum membuat visum.
Seperti
diketahui setiap keterangan yang akan disampaikan untuk pengadilan haruslah
keterangan dibawah sumpah. Dengan adanya ketentuan ini, maka sumpah yang telah diikrarkan dokter waktu menamatkan
pendidikannya, dianggap sebagai sumpah yang syah untuk kepentingan membuat
VeR, biarpun lafal dan maksudnya berbeda.
Visum
et repertum (VeR) adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik
yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup ataupun
mati, ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan
di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.
Visum
et repertum berperan sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam proses
pembuktian perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Dalam VeR
terdapat uraian hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian pemberitaan,
yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. VeR juga memuat
keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medis yang tertuang
dalam bagian kesimpulan.
Bila
VeR belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan, hakim dapat
meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memberi kemungkinan
dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila
timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap
suatu hasil pemeriksaan.
Dalam tataran praktek yang menjadi
pertanyaan adalah apa Perbedaan
VeR dengan Catatan Medis dan Surat Keterangan Medis Lain. Catatan medis adalah
catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medis beserta tindakan
pengobatan/perawatannya yang merupakan milik pasien, meskipun dipegang oleh
dokter/institusi kesehatan. Catatan medis ini terikat pada rahasia pekerjaan
dokter yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1966 tentang
rahasia kedokteran dengan sanksi hukum seperti pasal 322 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP).
Dokter
boleh membuka isi catatan medis kepada pihak ketiga, misalnya dalam bentuk
keterangan medik, hanya setelah memperoleh izin dari pasien, baik langsung
maupun berupa perjanjuan yang dibuat sebelumnya antara pasien dengan pihak
ketiga tertentu, misalnya pada klaim asuransi.
Karena
Visum et repertum dibuat berdasarkan undang-undang yaitu pasal 120, 179, dan
133 ayat 1 KUHAP, maka dokter tidak dapat dituntut karena membuka rahasia
pekerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 322 KUHP, meskipun dokter membuatnya
tanpa seizin pasien. Pasal 50 KUHP mengatakan bahwa barangsiapa melakukan
perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana, sepanjang
visum et repertum tersebut hanya diberikan kepada instansi penyidik yang memintanya, untuk selanjutnya
dipergunakan dalam proses pengadilan.
2.Jenis dan Bentuk Visum et Repertum
Dalam tataran praktek ada
beberapa jenis visum et repertum, yaitu visum et repertum perlukaan (termasuk
keracunan), visum et repertum kejahatan susila, visum et repertum jenazah, dan
visum et repertum psikiatrik. Tiga jenis visum yang pertama adalah visum et
repertum mengenai tubuh/raga manusia yang dalam hal ini berstatus sebagai
korban tindak pidana, sedangkan jenis terakhir adalah mengenai jiwa/mental
tersangka atau terdakwa atau saksi lain dari suatu tindak pidana.
Visum
et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya di atas sebuah kertas putih
dengan kepala surat institusi kesehatan yang melakukan pemeriksaan, dalam
bahasa Indonesia, tanpa memuat singkatan dan sedapat mungkin tanpa istilah
asing, bila terpaksa digunakan agar diberi penjelasan bahasa Indonesia.
- Visum et
Repertum pada Kasus Perlukaan.
Terhadap
setiap pasien yang diduga korban tindak pidana meskipun belum ada surat
permintaan visum et repertum dari polisi, dokter harus membuat catatan medis
atas semua hasil pemeriksaan medisnya secara lengkap dan jelas sehingga dapat
digunakan untuk pembuatan visum et repertum. Umumnya, korban dengan luka ringan
datang ke dokter setelah melapor ke penyidik, sehingga membawa surat permintaan
visum et repertum. Sedangkan korban dengan luka sedang/berat akan datang ke
dokter sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan datang terlambat.
Keterlambatan dapat diperkecil dengan komunikasi dan kerjasama antara institusi
kesehatan dengan penyidik.
Di
dalam bagian pemberitaa biasanya disebutkan keadaan umum korban sewaktu datang,
luka-luka atau cedera atau penyakit yang diketemukan pada pemeriksaan fisik
berikut uraian tentang letak, jenis dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan
khusus/penunjang, tindakan medis yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit
selama perawatan, dan keadaan akhir saat perawatan selesai. Gejala yang dapat
dibuktikan secara obyektif dapat dimasukkan, sedangkan yang subyektif dan tidak
dapat dibuktikan tidak dimasukkan ke dalam visum et repertum.
2. Visum
et Repertum Korban Kejahatan Susila
Umumnya
korban kejahatan susila yang dimintakan visum et repertumnya pada dokter adalah
kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP (meliputi
perzinahan, perkosaan, persetubuhan dengan wanita yang tidak berdaya,
persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur, serta perbuatan cabul).
Untuk
kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan adanya
persetubuhan atau perbuatan cabul, adanya kekerasan (termasuk keracunan), serta
usia korban. Selain itu juga diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan
seksual, kehamilan, dan kelainan psikiatrik sebagai akibat dari tindakan pidana
tersebut. Dokter tidak dibebani pembuktian adanya pemerkosaan, karena istilah
pemerkosaan adalah istilah hukum yang harus dibuktikan di depan sidang
pengadilan.
Dalam
kesimpulan diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau
tidaknya tanda persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan
terjadinya, dan ada atau tidaknya tanda kekerasan.
Bila
ditemukan adanya tanda-tanda ejakulasi atau adanya tanda-tanda perlawanan
berupa darah pada kuku korban, dokter berkewajiban mencari identitas tersangka
melalui pemeriksaan golongan darah serta DNA dari benda-benda bukti tersebut.
3. Visum et Repertum
Jenazah
Jenazah
yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang memuat
identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki
atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum harus jelas
tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan
jenazah) atau pemeriksaan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah jenazah).
Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi :
Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi :
1. Pemeriksaan luar jenazah yang berupa
tindakan yang tidak merusak keutuhan jaringan jenazah secara teliti dan
sistematik.
2. Pemeriksaan bedah jenazah,
pemeriksaan secara menyeluruh dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada,
perut, dan panggul. Kadangkala dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan
seperti pemeriksaan histopatologi, toksikologi, serologi, dan sebagainya.
Dari
pemeriksaan dapat disimpulkan sebab, jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan
penyebabnya, sebab dan mekanisme kematian, serta saat kematian seperti tersebut
di atas.
4.Visum et Repertum
Psikiatrik
Visum et
repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44 (1) KUHP
yang berbunyi ”Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya
atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. Jadi selain orang yang menderita
penyakit jiwa, orang yang retardasi mental juga terkena pasal ini.
Visum ini
diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi
korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini juga menguraikan tentang
segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Karena menyangkut
masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak pidana yang
dilakukannya, maka adalah lebih baik bila pembuat visum ini hanya dokter
spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.
Dalam Keadaan
tertentu di mana kesaksian seseorang amat diperlukan sedangkan ia diragukan
kondisi kejiwaannya jika ia bersaksi di depan pengadilan maka kadangkala hakim
juga meminta evaluasi kejiwaan saksi tersebut dalam bentuk visum et repertum
psikiatrik.
Sebagai suatu hasil pemerikan dokter terhadap
barang bukti yang diperuntukan untuk kepentingan peradilan visum et repertum digolongkan menurut obyek
yang diperiksa sebagai berikut:
1.Visum et repertum untuk orang hidup
Jenis ini dibedkan lagi dalam;
1.1 Visum et repertum biasa. Visum et repertum ini diberikan
kepada pihak peminta (penyidik) untuk korban yang tidak memerlukan perawatan
lebih lanjut.
1.2 Visum et repertum sementara. Visum et repertum sementara
diberikan apabila korban memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum dapat
membuat diagnosis dan derajat lukanya. Apabila sembuh dibuatkan Visum et
repertum lanjutan.
1.3 Visum et repertum lanjutan. Dalam hal ini korban tidak
memerlukan perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pidah dirawat dokter
lain, atau meninggal dunia.
2.Visum et
repertum untuk orang mati jenazah
Pada pembuatan Visum et repertum ini, dalam korban mai
maka penyidik mengajukan permintaan tertulis kepada pihak kedokteran Forensik
untuk dilakukan (outopsi).
Visum et repertum ini terbagi lagi sebagai berikut:
2.1 Visum et repertum Tempat kejadian Perkara (TKP).
Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan pemeriksaaan di TKP.
2.2 Visum et
repertm penggalian jenazah. Visum ini dibuat setelah dokter selesai
melaksanakan penggalian jenazah.
2.3 Visum et repertum psikiatri yaitu visum pada terdakwa
yang pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala sakit
jiwa.
2.4 Visum et
repertum barang bukti, misalmnya visum terhadap barang bukti yang ditemukan
yang ada hubungannya dengan tidak pidana, contohnya darah, bercak mani,
selonsong peluru, pisau.
3.Aspek Hukum Pidana
Dalam Pengadaan
Visum et
Repertum
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa pejabat
yang dapat meminta visum et repertum atas seseorang korban tindak pidana
kejahatan terhadap kesehatan dan nyawa manusia adalah penyidik dan penyidik
pembantu polisi, baik POLRI maupun Polisi Militer, sesuai dengan jurisdiksinya
masing-masing. Selain itu jaksa penyidik berwenang pula meminta visum et
repertum pada perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hakim juga dapat meminta
visum et repertum (psikiatrik) sesuai dengan pasal 180 jo pasal 187 KUHAP,
biasanya melalui jaksa penuntut umum.
Penasehat
hukum tersangka tidak diberi kewenangan
untuk meminta visum et repertum kepada dokter, demikian pula tidak boleh
meminta salinan visum et repertum langsung dari dokter. Penasehat hukum
tersangka dapat meminta salinan visum et repertum dari penyidik atau dari
pengadilan pada masa menjelang persidangan.
Korban atau keluarga korban juga tidak memiliki
kewenangan untuk meminta visum et repertum langsung dari dokter.
Akan tetapi mereka berhak memperoleh informasi tentang korban pada saat yang
tepat dari penyidik, dan mereka juga dapat memperoleh salinan visum et repertum
dari penyidik atau dari pengadilan pada masa menjelang persidangan.
Dalam
hal visum et repertum tersebut merupakan hasil pemeriksaan atas seseorang
korban hidup, maka dokter pemeriksa berhak untuk memberitahukan hasil
pemeriksaannya kepada korban. Sikap ini masih dapat dibenarkan dari segi etika
kedokteran, dan berkaitan dengan hak pasien atas informasi medis dirinya.
Berbeda dengan prosedur pemeriksaan
korban mati yang telah mempunyai ketentuan yang mengaturnya dan bahkan
mempunyai ancaman hukuman bagi pelanggarnya, prosedur permintaan visum et
repertum korban hidup (luka, keracunan dan kejahatan seksual / abortus) tidak
diatur secara rinci di dalam KUHAP.
Tidak ada
ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan boleh
dilakukan oleh dokter (dalam pasal 133 hanya tertulis pemeriksaan luka). Hal
ini berarti bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan diserahkan
sepenuhnya kepada dokter dengan mengandalkan tanggung-jawab profesi kedokteran.
KUHAP juga tidak
memuat ketentuan tentang bagaimana menjamin keabsahan seseorang korban sebagai
"barang bukti". Ketentuan tentang perlakuan terhadap korban hidup
tidak menunjukkan bahwa ia adalah barang bukti; ia tidak diberi label dan tidak
disegel, apalagi disita oleh negara. Situasi tersebut membawa kita kepada
keadaan, dimana dokter turut bertanggung-jawab atas pemastian kesesuaian antara
identitas yang tertera di dalam surat permintaan visum et repertum dengan
identitas korban yang diperiksa.
Dalam praktek
sehari-hari, orang dengan luka-luka akan dibawa langsung ke dokter, baru
kemudian dilaporkan ke penyidik. Hanya korban dengan luka ringan atau tampak
ringan saja yang akan lebih dahulu melapor ke penyidik sebelum pergi ke dokter.
Hal ini membawa kemungkinan bahwa surat permintaan visum et repertum korban
luka akan datang "terlambat" dibandingkan dengan pemeriksaan
korbannya.
Sepanjang
keterlambatan ini masih cukup beralasan dan dapat diterima, maka keterlambatan
ini tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan visum et repertum. Sebagai
contoh keterlambatan seperti ini adalah keterlambatan pelaporan kepada penyidik
seperti yang dimaksud di atas, kesulitan komunikasi dan sarana perhubungan,
overmacht (berat lawan) dan noodtoestand (keadaan darurat).
Syarat pembuatan
visum et repertum sebagai alat bukti surat sebagaimana tercantum dalam pasal
187 butir c sudah terpenuhi dengan adanya surat permintaan resmi dari penyidik.
Tidak ada alasan bagi dokter untuk menolak permintaan resmi tersebut.
Konsep visum
yang digunakan selama ini merupakan karya pakar bidang kedokteran kehakiman
yaitu Prof. Muller, Prof. Mas Sutejo
Mertodidjojo dan Prof. Sutomo Tjokronegoro sejak puluhan tahun yang lalu.
Konsep
visum ini disusun dalam kerangka dasar yang terdiri dari :[28]
1.
Pro Yustitia.
Menyadari bahwa semua surat baru sah di
pengadilan bila dibuat di atas kertas materai dan hal ini akan menyulitkan bagi
dokter bila setiap visum yang dibuat harus memakai kertas materai. Berpedoman
kepada Peraturan Pos, maka bila dokter menulis Pro Yustitia di bagian atas
visum maka ini sudah dianggap sama dengan kertas materai.
Penulisan
kata Pro Yustitia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar pembuat
maupun pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi
keadilan (Pro Yustitia). Hal ini sering terabaikan oleh pembuat maupun pemakan
tentang arti sebenarnya kata Pro yustitia ini. Bila dokter sejak semula
memahami bahwa laporan yang dibuatnya tersebut adalah sebagai partisipasinya
secara tidak langsung dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka saat mulai
memeriksa korban ia telah menyadari bantuan yang diberikan akan dipakai sebagai
salah satu alat bukti yang sah dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena
biarpun Pro Yustitia hanya kata-kata biasa, tetapi kalau dokter menyadari arti
dan makna yang terkandung di dalamnya maka kata-kata atau tulisan ini menjadi
sangat penting artinya.
2.
Pendahuluan
Bagian
pendahuluan berisi tentang siapa yang memeriksa, siapa yang diperiksa, saat
pemeriksa (tanggal, hari dan jam), di mana diperiksa, mengapa diperiksa dan
atas permintaan siapa visum itu dibuat. Data diri korban diisi sesuai dengan
yang tercantum dalam permintaan visum.
3. Pemeriksaan.
Bagian
terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa yang
dilihat dan ditemukan dokter sebagai terjemahan dari visum et repertum itu
terdapat pada bagian ini. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil
pemeriksaannya secara objektif. Biasanya pada bagian ini dokter menuliskan
luka, cedera dan kelainan pada tubuh korban seperti apa adanya, misalnya
didapati suatu luka, dokter menuliskan pada visum suatu luka berbentuk panjang,
dengan panjang 10 cm, lebar luka 2 cm dan dalam luka 4 cm, pinggir luka rata,
jaringan dalam luka terputus tanpa menyebutkan jenis luka. Sebagai tambahan
pada bagian pemeriksaan ini, bila dokter mendapatkan kelainan yang banyak atau
luas dan akan sulit menjelaskannya dengan kata-kata, maka sebaiknya penjelasan
ini disertai dengan lampiran foto atau sketsa.
4.
Kesimpulan.
Untuk
pemakai visum, ini adalah bagian yang penting, karena diharapkan dokter dapat
menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya. Pada korban
luka perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab akibat dari
kelainan, tentang derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan
bagaimana harapan kesembuhan.
Pada
korban perkosaan atau pelanggaran kesusilaan perlu penjelasan tentang
tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, kesadaran korban serta bila
perlu umur korban (terutama pada anak belum cukup umur atau belum mampu untuk
dikawini).
Pada kebanyakan
visum yang dibuat dokter, bagian kesimpulan ini perlu mendapat perhatian agar
visum lebih berdaya guna dan lebih informatif.
5.
Penutup.
Bagian
ini mengingatkan pembuat dan pemakai visum bahwa laporan tersebut dibuat
sejujur-jujurnya dan mengingat sumpah. Untuk menguatkan pernyataan itu dokter
mencantumkan Staatsblad 1937 No.350 atau dalam konsep visum yang
Berdasarkan uraian di atas, maka bentuk
umum Visum et repertum sebenarnya dapat diseragamkan, maka ditetapkamn
ketentuan yang lazim mengenai susunan visum et revertum sebagai berikut:
1.Pada sudut kiri atas dituliskan “PRO
JUSTITIA”, artinya bahwa Visum et repertum hanya untuk kepentingan peradilan.
2.Ditengah atas dituliskan Visum et
repertum serta nomor visum et revertum tersebut.
3.Bagian
Pendahuluan, merupsakan pendahuluan yang berisikan:
3.1.Identitas peminta Visum et repertum
3.2.Identitas surat Permintaan Visum et
repertum
3.4.Identias Dokter pemnbuat Visum et
repertum
3.5.Indentitas korban/barang bukti yang
dimintakan Visum et repertum
3.6.Keterangan kejadian sebagaimana
tercantum didalam surat permintaan Visum
et repertum
4.Bagian pemberitaan merupakan hasil
pemeriksaan dokter terhadap apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti.
5.Bagian Kesimpulan, merupakan
kesimpulan dokter bahwa Visum et repertum atas analisa yang dilakukan terhadap
hasil pemeriksaan barang bukti.
6.Bagian Penutup, merupakan
pernyataaan dari dokter bahwa Visum et repertum ini dibuat atas dasar sumpah
dan janji pada waktu menerima jabatan.
7.Disebelah kanan bawah diberikan Nama
dan Tanda Tangan serta Cap Dinas dokter pemeriksa.
Dari bagian Visum et repertum Visum et repertum sebagaimana tersebut di
atas, keterangan yang merupakan barang bukti, yaitu pada bagian pemberitaan. Sedangkan Pada Bagaian
Kesimpulan dapat dikatakanb merupakan subyektif dari dokter pemeriksa.
4.Kedudukan Hukum Terhadap Visum et repertum Dalam Hukum Pidana
Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat dokter
atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis
terhadap manusia . hidup atau mati, atau bagian/diduiga bagian tubuh manusia
berdasarkan keilmuannya dan dibawah sumpah untuk kepentingan peradilan.
Penegak hukum mengartikan Visum et
repertum sebagai laporan tertulis yang
dibuat dokter berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan
peradilan tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan
yang sebaik-baiknya.
Visum et repertum turut berberan dalam
proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum
et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang
tertuang didalam Pemberitaan, yang karenanya dianggap sebagai benda bukti. Visum
et repertum juga memuat keterangan hasil pemeriksaan medik tersebut yang
tertuang dibagian kesimpulan.
Dengan demikian Visum et repertum
secara utuh menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan
membaca Visum et repertum dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi
pada seseorang dan praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara
pidana yang menyangkut tubuh/jiwa manusia.
Artinya secara perspektif hukum
tugas pokok seorang dokter dalam membantu pengusutan tindak pidana terhadap
kesehatan dan nyawa manusia ialah pembuatan Visum et repertum sehingga
bekerjanya harus obyektif dengan mengumpulkan kenyataan-kenyataan dan
menghubungkan satu sama lain secara logis untuk kemudian mengambil kesimpulan,
maka oleh karenanya pada waktu memberi laporan pemberitaaan dari Visum et
repertum itu harus yang
sesungguh-sesungguhnya dan seobyektif-obyektinya tentang apa yang
dilihat dan ditemukannya pada waktu pemeriksaan.
Dengan demikian Visum et repertum
sebagai pengganti peristiwa yang terjadi dan harus mengganti sepenuhnya barang
bukti yang telah diperiksa dengan memuat semua kenyataan sehingga akhirnya
dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat. Selain dari pada itu Visum et
repertum mungkin dipakai pula sebagai dokumen dengan mana dapat ditanyakan pada
dokter lain tentang barang bukti yang telah diperiksa apabila bersangkutan
(jaksa –hakim) tidak menyetujui hasil pemeriksaan tersebut.
Visum et repertum merupakan hal
penting dalam pembuktian karena menggantikan sepenuhnya Corpus Delicti (tanda bukti). Seperti diketahui dalam suatu perkara
pidana menyangkutr perusakan tubuh dalam tindak pidana pembunuhan misalnya dan
kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka situbuh korban merupakan Corpus Delicti, maka oleh karenanya Corpus Delicti yang demikian tidak
mungkin disediakan atau diajukan pada sidang pengadilan dan secara mutlak harus
diganti oleh Visum et repertum. Dan tentunya kedudukan seorang dokter didalam
penanganan korban kejahatan dengan menerbitkan Visum et repertum seharusnya disadari dan dijamin realitasnya,
karena bantuan profesi dokter akan sangat menentukan ada kebenaran.
Sehubungan
dengan peran Visum et repertum
yang semakin penting dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan misalnya
pengaduan atau laporan kepada pihak kepolisian
baru akan dilakkan setelah tindak
pidana perkosaan berlansung lama, sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda
kekerasan pada diri korban.
Apabila Visum et repertum belum dapat menjernihkan persoalan disidang
pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukan bahan baru
seperti yang tercantum dalam KUHAP yang memberi kemungkinan dilakukannya
pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti apabila timbul keberatan
yang beralasan bagi terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil
pemeriksaan (pasal 180 KUHAP)
Berkaitan
dengan tatacara permintaan Visum Et Repertum. Seperti
tercantum dalam KUHAP pasal 133 ayat 1, dimana dalam hal penyidik atau
kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun
mati, yang diduga karena peristiwa tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau Dokter lainnya, adapun
tata cara permintaannya sabagai berikut :
a. Surat permintaan Visum et Repertum kepada Dokter, Dokter ahli Kedokteran Kehakiman
atau Dokter dan atau Dokter lainnya, harus diajukan secara tertulis dengan
menggunakan formulir sesuai dengan kasusnya dan ditanda tangani oleh penyidik
yang berwenang.
b. Syarat kepangkatan Penyidik seperti
ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1983,
tentang pelaksanaan KUHAP pasal 2 yang berbunyi : (Penyidik adalah Pejabat Polri yang
sekurang-kurang berpangkat Pelda Polisi. Penyidik
Pembantu adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya berpangkat Serda Polisi;
(2) Kapolsek
yang berpangkat Bintara dibawah Pelda Polisi karena
(3). Jabatannya adalah Penyidik. Catatan : Kapolsek yang dijabat oleh Bintara berpangkat Serda Polisi, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1983 Pasal 2 ayat (2), maka Kapolsek yang berpangkat Serda tersebut karena Jabatannya adalah Penyidik
(3). Jabatannya adalah Penyidik. Catatan : Kapolsek yang dijabat oleh Bintara berpangkat Serda Polisi, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1983 Pasal 2 ayat (2), maka Kapolsek yang berpangkat Serda tersebut karena Jabatannya adalah Penyidik
c. Barang bukti yang dimintakan Visum et
Repertum dapat merupakan :
1) Korban Mati.
Dalam hal korban
mati jenis Visum et Repertum yang
diminta merupakan Visum et Repertum
Jenazah. Untuk keperluan ini penyidik harus memperlakukan mayat dengan penuh
penghormatan, menaruh label yang memuat identitas mayat, di lak dengan diberi
cap jabatan , diletakkan pada ibu Mayat selanjutnya dikirim ke Rumah Sakit
(Kamar Jenazah) bersama surat permintaan Visum
et Repertum yang dibawa oleh petugas Penyidik yang melakukan pemeriksaan
TKP. Petugas penyidik selanjutnya memberi informasi yang diperlukan
Dokter dan
mengikuti pemeriksaan badan mayat untuk memperoleh barang-barang bukti lain
yang ada pada korban serta keterangan segera tentang sebab dan cara
kematiannya.
2) Korban Hidup.
Dalam
hal korban luka, keracunan, luka akibat kejahatan kesusilaan menjadi sakit,
memerlukan perawatan/berobat jalan, penyidik perlu memintakan Visum et Repertum sementara tentang
keadaan korban.
Penilaian
keadaan korban ini dapat digunakan untuk mempertimbangkan perlu atau tidaknya
tersangka ditahan. Bila korban memerlukan/meminta pindah perawatan ke Rumah
Sakit lain, permintaan Visum et Repertum
lanjutan perlu dimintakan lagi. Dalam perawatan ini dapat terjadi dua
kemungkinan, korban menjadi sembuh atau meninggal dunia.
Bila
korban sembuh Visum et Repertum
definitif perlu diminta lagi karena Visum
et Repertum ini akan memberikan kesimpulan tentang hasil akhir keadaan
korban. Khusus bagi korban kecelakaan lalu lintas, Visum et Repertum ini akan berguna bagi santunan kecelakaan.
Kemungkinan
yang lain adalah korban meninggal dunia, untuk itu permintaan Visum et Repertum Jenazah diperlukan
guna mengetahui secara pasti apakah luka paksa yang terjadi pada korban
merupakan penyebab kematian langsung atau adakah penyebab kematian lainnya.
d. Dalam surat permintaan Visum et Repertum, kelangkapan data-data
jalannya peristiwa dan data lain yang tercantum dalam formulir, agar diisi
selengkapnya, karena data-data itu dapat membantu Dokter mengarahkan
pemeriksaan mayat yang sedang diperiksa.
Contoh :
1)
Pada kecelakaan lalu
lintas perlu dicantumkan apakah korban pejalan kaki/pengemudi/penumpang dan jenis
kendaraan yang menabrak.
2)
Gambaran luka-luka dan
tempat luka pada tubuh dapat menggambarkan bagaimana posisi korban pada waktu
terjadi kecelakaan
3)
Dalam kasus pembunuhan
jangan hanya diisi, korban diduga meninggal karena pembunuhan atau penganiayaan
saja. sebutkan keterangan tentang jenis senjata yang diduga dipergunakan
pelaku, senjata tajam, senjata api, racun.
Sebaiknya jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku diikut sertakan sebagai barang bukti, sehingga dapat diperiksa apakah senjata / alat yang ditemukan sesuai dengan luka-luka yang terdapat pada tubuh korban
Sebaiknya jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku diikut sertakan sebagai barang bukti, sehingga dapat diperiksa apakah senjata / alat yang ditemukan sesuai dengan luka-luka yang terdapat pada tubuh korban
4)
Pada kasus keracunan
atau yang diduga mati karena keracunan, cantumkan keterangan tentang
tanda-tanda atau gejala-gejala keracunan (dari saksi serta perkiraan racun yang
dipergunakan.) Bersama dengan korban perlu dikirim sisa-sisa makanan/racun yang
dicurigai sebagai penyebab
5)
Pada kasus diduga bunuh
diri data-data tentang alat ataupun racun yang dipergunakan korban agar diisi
slengkapnya. Apabila korban dirawat, sertakan salinan rekaman medis pada waktu
perawatan
g.
Permintaan Visum et Repertum ini diajukan kepada
Dokter ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau ahli lainnya. Catatan :
Dokter ahli Kedokteran
Kehakiman biasanya hanya ada di Ibu Kota Propinsi yang terdapat Fakultas
Kedokterannya. Ditempat-tempat
dimana tidak ada Dokter ahli Kedokteran Kehakiman maka biasanya surat
permintaan Visum et Repertum ini ditujukan kepada Dokter.
Dalam pelaksanaannya
maka sebaiknya :
1)
Prioritas Dokter Pemerintah, ditempat dinasnya (bukan tempat praktek
partikelir)
2)
Ditempat yang ada fasilitas rumah sakit umum / Fakultas Kedokteran, permintaan
ditujukan kepada bagian yang sesuai yaitu :
Untuk
korban hidup :
a)
Terluka dan kecelakaan lalu lintas : kebagian bedah
b)
Kejahatan susila / perkosaan : ke bagian kebidanan
c)Untuk
korban mati : bagian Kedokteran Kehakiman
3)
Korban, baik hidup ataupun mati harus diantar sendiri oleh petugas Polri,
disertai surat permintaannya
4)
Ditempat yang tidak
memiliki fasilitas tersebut, permintaan ditujukan kepada Dokter pemerintah di
Puskesmas atau Dokter ABRI/ khususnya Dokter Polri. Bila hal ini tidak
memungkinkan, baru dimintakan ke Dokter swasta
f.
Sebaiknya petugas yang meminta Visum / petugas penyidik hadir ditempat otopsi
dilakukan untuk dapat memberikan informasi kepada Dokter yang membedah mayat
tentang situasi TKP, barang-barang bukti relevan yang ditemukan, keadaan korban
di TKP hal-hal lain yang diperlukan, agar memudahkan Dokter mencari sebab dan
cara kematian korban.
g.
Sebaiknya petugas penyidik dapat segera memperoleh informasi yang perlu tentang
korban seperti :
1)
Berapa lama korban hidup setelah terjadi serangan yang fatal.
2) Sejauh mana korban
masih dapat berlari / jalan.
3)Apakah
korban dipindah
4)Senjata/alat
jenis apa yang melukai korban
5)
Apakah jenis alat/ senjata yang ditemukan di TKP sesuai dengan bentuk luka yang
ada pada tubuh korban
6)
Bagaimana caranya alat /senjata tersebut mengenai tubuh korban
7)
Apakah ada tanda-tanda perlawanan
8)
Apakah luka-luka yang ada pada tubuh korban terjadi sebelum atau sesudah kematian
9) Kapan kira-kira korban
meninggal
10)
Apakah korban minum obat-obatan atau minuman keras sebelum meninggal
Apakah Visum etReprtum dapat
dicabut?. Pencabutan permintaan Visum et Repertum
pada prinsipnya tidak dibenarkan, namun kadang kala dijumpai hambatan dari
keluarga korban yang keberatan untuk dilaksanakan bedah mayat dengan alasan
larangan Agama, adat dan lain-lain.
Bila
timbul keberatan dari pihak keluarga, sesuai dengan ketentuan KUHAP Pasal 134
ayat 2, maka penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan
bedah jenazah tersebut.
Disamping
itu perlu pula dijelaskan bahwa bedah mayat Forensik :
1)
Menurut Agama Islam hukumnya Mubah Fatwa Majelis Kesehatan dan Syurat Nomor 4 /
1955.
2)
Bila keluarga tetap menghalangi bedah mayat penyidik dapat memberi penjelasan
tentang ketentuan KUHP Pasal 2 yang tertulis : Barang siapa dengan sengaja
mencegah menghalangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan,
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda paling
banyak tiga ratus rupiah.
3)
Bilamana permintaan Visum et Repertum terpaksa harus dibatalkan, maka
pelaksanaan pencabutan harus diajukan tertulis secara resmi dengan menggunakan
formulir pencabutan dan ditanda tangani oleh Pejabat, petugas yang berwenang
dimana pangkatnya satu tingkat diatas peminta, serta terlebih dahulu
membahasnya secara mendalam.
4)
Dengan pencabutan permintaan Visum et Repertum maka penyidik harus menyadari
sepenuhnya bahwa tidak ada sesuatu yang jelas dapat diharapkan lagi sebagai
keterangan dari barang bukti berupa manusia sebagai corpus delicti yang berkaian erat dengan masalah penyidikan yang
sedang ditangani.
[3]Donald Black, “Behavior of Law”, (New York, San
Fransisco, London: Academic Press, 1976), hal. 2.
[4] Lawrence Friedman, Op.cit, hal. 3.
[6] Selanjutnya
dijelaskan bahwa faktor utama: (1) kesatuan wilayah sebagai subsistimnya adalah
geopolitik; (2) kesatuan masyarakat sebagai subsistemnya adalah sosiopolitik;
(3) kesatuan cita, perjuangan dan tujuan sebagai subsistimnya adalah
ekopolitik; (4) kesatuan sumber moral sebagai subsistimnya adalah demopolitik;
dan (5) kesatuan sistim hukum dan sistim pemerintahan sebagai subsistimnya
adalah kratopolitik. M. Solly Lubis, “Serba-serbi
Politik dan Hukum”, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal. 48 dan 94-96.
[8] Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum,
Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya”, Cetakan Pertama, (Jakarta:
ELSAM dan HUMA, 2002), hal. 380.
[9] Sudikno Mertokusumo,
“Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”,
(Yoyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 2.
[10]Hakim diberi
kesempatan menggolongkan peristiwa-peristiwa hukum sebanyak-banyaknya di dalam
suatu golongan, yakni golongan peraturan hukum itu. Yakni, hukum yang berlaku
pada saat ini atau hukum yang berlaku pada saat yang tertentu. Misalnya,
peraturan-peraturan hukum dalam KUH Pidana, peraturan-peraturan pemerintah
daerah yang berlaku sekarang atau yang berlaku pada masa lalu sebagai hukum
positif dan hukum alam serta hukum tidak tertulis lainnya. Peraturan hukum
sebagai peraturan yang abstrak dan hypotetis,
dengan demikian hukum itu harus tetap berguna (doelmatig). Agar tetap berguna hukum itu harus sedikit mengorbankan
keadilan. E. Utrecht, “Pengantar Dalam
Hukum Indonesia”, (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1962), hal. 24-28.
[11]Soerjono
Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), halaman 5-6.
[12] Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, (Bandung : Alumni, 1986),
hal. 21.
[13] Ibid.
[14] Van
Eikema Hommes, “Logika en Rechtsvinding”,
(Tanpa kota: Vrije Universiteit, tanpa tahun), hal. 32.
[15]Lihat,
Mahkamah Agung dalam
Putusan tanggal 2 Nopember 1960, Reg. No.302 K/Sip/1960, berkesimpulan bahwa:
“hukum adat di seluruh Indonesia perihal warisan mengenai seorang janda
perempuan selalu merupakan ahli waris terhadap barang asal suaminya dalam arti,
bahwa sekurang-kurangnya dari barang asal itu sebagian harus tetap berada di
tangan janda, sepanjang perlu untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal
dunia atau kawin lagi, sedang di berapa daerah Indonesai di samping menentukan
ini mungkin dalam hal barang-barang warisan adalah berupa amat banyak kekayaan,
sijanda perempuan berhak atas bagian dari barang-barang warisan seperti seorang
anak kandung dari sipeninggal warisan”. Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut,
tidak dapat berlaku sebagai peraturan hukum yang mengikat secara umum, tetapi
hanyalah mengikat para pihak yang berperkara saja atau lebih jauh dapat diikuti
oleh hakim lain dalam hal perkara yang sama. Namun sebagai penemuan hukum dari
hakim yurisprudensi ini cukup berharga sebagai faktor pembentukan hukum
nasional.
[20] Ibid, hal. 263.
[21] Soetandyo Wignjosoebroto, “Dari
Hukum Kolonial ke Hukum Nasional Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum
di Indonesia”, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1994), hal. 244.
[22] Satjipto Rahardjo, Op.cit, hal. 111.
[23] Soetandyo Wignjosoebroto, “Dari
Hukum Kolonial ke Hukum Nasional Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan
Hukum di Indonesia”, Op.cit, hal.
244.
[25] Yahya Harahap, Keterangan Ahli berdasarkan KUHAP, Makalah
Seminar Nasional Pengakan Hukum Pidana, 2011, UI, halaman 7
4 komentar:
keberadaan Visum et Repertum sungguh sangat penting.Hal ini dikarenakan ada bagian-bagian dalam hal pembuktian yang tidak dapat dilakukan oleh penyidik khususnya penyidik Polri tanpa bantuan dari orang yang ahli di bidangnya terutama bidang kedokteran. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bidang kedokteran forensik sangat diperlukan dalam hal tindak pidana yang berkaitan dengan tubuh,kesehatan dan nyawa manusia. Tujuan utamanya tentu saja selaras dengan fungsi utama proses peradilan pidana yaitu mencari kebenaran sejauh yang dapat dilakukan oleh manusia dengan tetap menjaga dan menghormati hak dari tersangka maupun hak dari seorang terdakwa.
nama : Anastasia
nim : A11112016
fakultas hukum untan
keberadaan Visum et Repertum sungguh sangat penting.Hal ini dikarenakan ada bagian-bagian dalam hal pembuktian yang tidak dapat dilakukan oleh penyidik khususnya penyidik Polri tanpa bantuan dari orang yang ahli di bidangnya terutama bidang kedokteran. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bidang kedokteran forensik sangat diperlukan dalam hal tindak pidana yang berkaitan dengan tubuh,kesehatan dan nyawa manusia. Tujuan utamanya tentu saja selaras dengan fungsi utama proses peradilan pidana yaitu mencari kebenaran sejauh yang dapat dilakukan oleh manusia dengan tetap menjaga dan menghormati hak dari tersangka maupun hak dari seorang terdakwa.
nama : Anastasia
nim : A11112016
fakultas hukum untan
nama : Ricardo Pascalis Hertian Utomo
NIM : A01112089
Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak
Komentar :
visum et repertum sangat penting dalam membantu pengungkapan kasus yang terjadi. Karena visum et repertum dianggap sebagai salah satu barang bukti yang keakurtan hampir dikatakan sempurna. Tetapi sayang nya di era sekarang ini dan fakta yang terjadi dilapangan adalah visum et repertum sering disalahgunakan oleh pihak - pihak tertentu demi mendapatkan keuntungan. Dalam hal pengungkapan kasus, bahkan pihak kepolisian pun dapat menyalahgunakan maksud dan tujuan visum et repertum itu sendiri.
Dengan tulisan ini dapat memperjelas apa maksud dan tujuan dari visum et repertum itu. dan dengan ada nya tulisan ini diharapkan baik pihak penegak hukum maupun masyarakat awam dapat memahami dan mengerti apa maksud dari tujuan visum et repertum itu. Saya sebagai komentator disini berterima aksih kepada penulis karena dengan ada nya tulisan ini sangat membantu pemahaman saya secara pribadi mengenai apa itu visum et repertum. Terus berkarya bagi penulis.
keterangan ahli sangat penting sekali untuk menerangkan suatu tindak pidana karena untuk menguatkan penyidikan yang dilakukan penyidik di persidangan tidak mungkin hanya membutuhkan keterangan saksi ataupun korban, contohnya Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut.
semoga dengan tulisan ini para penyidik maupun masyarakat umum mengerti akan pentingnya Visum et Repertum dilampirkan atau dimintakan pada saat melakukan penyidikan.
NAMA : DARA APRILA YUSLYANI
NIM : A11112287
MAKUL : ILMU PERUNDANG-UNDANGAN
FAKULTAS HUKUM UNTAN (REG A)
Posting Komentar