Masalah Desentralisasi Pengelolaan Lingkungan
Hidup
(“Tarik Menarik Kewenangan Antara Pusat Dengan
Daerah Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup”)
Oleh: Turiman Fachturahman Nur
Hp 081310651414
Web: Rajawali Garuda Pancasila
Email: turiman_fachturahmannur@yahoo.com
A.Konstruksi
Kewenangan Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014
Ada
tiga pertanyaan kunci dalam TOR yang disampaikan kepada nara sumber, dalam kegiatan FGD dengan tema Diksusi Para PihakLegal
Review UU No. 23 Tahun 2014 dengan berangkat dari identikasi permasalahan,
yaitu pada satu sisi Sementara itu diberlakukannya UU No. 23/2014
tentang Pemerintahan Daerah telah menyebabkan beberapa ketidakpastian hukum
dalam pengelolaan sumber daya alam sehubungan dengan bagaimana pembagian
kewenangan fungsi dalam hukum antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten.
Salah satu fitur yang berani dari undang-undang baru itu adalah mengambil alih
kewenangan pemerintah kabupaten dalam mengelola urusan kehutanan, kelautan,
energi dan sumber daya alam lainnya. Wewenang itu kemudian ditransfer ke
pemerintah pusat dan provinsi (Pasal 14 dan Pasal 16). Di sisi lain, karena Indonesia memulai
pemerintahan desentralisasi sebagai bagian dari proyek demokratisasi pada 1999,
sebagian besar dari peraturan perundang-undangan, seperti UU Kehutanan No. 41/1999
dan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengatur otoritas yang berbeda dalam
mengelola sumber daya alam. Menganut prinsip dekonsentrasi kewenangan dalam
perlindungan lingkungan dan sistem manajemen dalam hukum lingkungan, oleh karena itu diajukan tiga pertanyaan kunci
berikut ini:
1.
Bagaimana implementasi UU
No. 23/2014 di tingkat lokal?
2.
Bagaimana tata cara
pengelolaan sumber daya alam menurut peraturan UU No. 23/2014?
3.
Bagaimana upaya untuk
memperkuat tatanan pemerintah lokal dalam rangka memperkuat masyarakat dalam
mengakses sumber daya alam?
Jika kita memetakan subtansi UU
Nomor 23 tahun 2004 tentang Pemerintah daerah secara komprehensif, maka konsep
hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah
dapat dirunut dari alinea ketiga dan keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pernyataan pada alinea ketiga memuat
pernyataan, bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia. Sedangkan alinea keempat memuat
pernyataan bahwa setelah menyatakan kemerdekaan, yang pertama kali dibentuk
adalah Pemerintah Negara Indonesia yaitu Pemerintah Nasional yang bertanggung
jawab mengatur dan mengurus bangsa Indonesia.
Lebih
lanjut pernyataan pada alinea keempat dinyatakan bahwa tugas Pemerintah Negara
Indonesia adalah melindungi seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut
memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
Selanjutnya Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai
Negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah Negara Indonesia sebagai
pemerintah nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional
tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Kemudian
Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan
mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan
dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.
Untuk
apa pemberian otonomi daerah kepada daerah otonom ? Secara
konsepsional pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui
otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Apa
yang menjadi prinsip pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah? Otonomi
Daerah dalam konteks hukum kenegaraan sebenarnya dilaksanakan berdasarkan
prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada
pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada
Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah,
tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada
ditangan Pemerintah Pusat.
Untuk itu Pemerintahan Daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan
dengan Pemerintahan Nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan
dilaksanakan oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional.
Pertanyaan
dimana letak pembedanya ? Pembedanya adalah terletak pada bagaimana
memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas Daerah
untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya
akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.
Konsekuensi
Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum tentunya mempunyai otonomi, yakni
berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan
masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan
kepentingan umum.
Apakah
Pemerintah pusat memberikan ruang gerak bagi daerah ketika menerapkan
otonomi daerah? Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada
Daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah Pusat
dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya
Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik dalam bentuk Perda maupun
kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional.
Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang
sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
Siapakah
yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan otonomi daerah? Pada
hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu kesatuan
masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri
Urusan Pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah dan
dalam pelaksanaannya dilakukan oleh kepala daerah dan DPRD dengan dibantu oleh
Perangkat Daerah.
Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berasal dari kekuasaan
pemerintahan yang ada ditangan Presiden. Konsekuensi dari negara kesatuan
adalah tanggung jawab akhir pemerintahan ada ditangan Presiden. Agar
pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berjalan sesuai
dengan kebijakan nasional maka Presiden berkewajiban untuk melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Kemudian siapa yang
membina dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah? Presiden sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh menteri negara dan setiap menteri
bertanggung atas Urusan Pemerintahan tertentu dalam pemerintahan. Sebagian
Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri tersebut yang
sesungguhnya diotonomikan ke Daerah. Konsekuensi menteri sebagai pembantu
Presiden adalah kewajiban menteri atas nama Presiden untuk melakukan pembinaan
dan pengawasan agar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berjalan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagaimana
caranya agar tercapai sinergi Penyelenggaraan Pemerintahan daerah antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah? Agar tercipta sinergi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian
berkewajiban membuat norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) untuk
dijadikan pedoman bagi Daerah dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang
diserahkan ke Daerah dan menjadi pedoman bagi kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
Apakah
Presiden dapat melimpahkam kewenangan kepada menteri pembinaan penyelenggaraan
dan pembinaan perintahan daerah ? Presiden melimpahkan
kewenangan kepada Menteri sebagai koordinator pembinaan dan pengawasan yang
dilakukan oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Artinya Kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian melakukan pembinaan dan pengawasan yang bersifat
teknis, sedangkan Kementerian melaksanakan pembinaan dan pengawasan yang
bersifat umum. Mekanisme tersebut diharapkan mampu menciptakan harmonisasi
antar kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dalam melakukan pembinaan
dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah secara keseluruhan.
Apa perbedaan struktur
antara Penyelenggaran Pemerintah Pusat dengan Penyelenggaraan Pemerintah daerah
? Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berbeda dengan penyelenggaraan
pemerintahan di pusat yang terdiri atas lembaga eksekutif, legislatif, dan
yudikatif, penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh DPRD dan
kepala daerah. Pemahaman ini memberikan cara pandang, bahwa DPRD dan kepala
daerah berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi
mandat rakyat untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada
Daerah. Dengan demikian maka DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai mitra
sejajar yang mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai fungsi
pembentukan Perda, anggaran dan pengawasan, sedangkan kepala daerah
melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Perda dan kebijakan Daerah.
Konsekuensi
hukum sebagai mitra sejajar, maka dalam mengatur dan mengurus Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut, DPRD dan kepala daerah
dibantu oleh Perangkat Daerah. Sebagai konsekuensi posisi DPRD sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah maka susunan, kedudukan, peran, hak, kewajiban,
tugas, wewenang, dan fungsi DPRD tidak diatur dalam beberapa undang-undang
namun cukup diatur dalam Undang-Undang ini secara keseluruhan guna memudahkan
pengaturannya secara terintegrasi.
Konstruksi
hukum terhadap Urusan Pemerintahan Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dipetakan sebagai berikut ada
Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan
konkuren. Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib
dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah
provinsi, dan Daerah kabupaten/kota.
Bagaimana
model pembagiannya di dalam UU No 23 tahun 2014 ? Urusan
Pemerintahan Wajib dibagi dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait
Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan
Dasar. Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hakhak konstitusional
masyarakat. Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi
dengan Daerah kabupaten/kota walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya
akan nampak dari skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut.
Walaupun Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan
Pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan
terdapat hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang dibuat oleh
Pemerintah Pusat. Di samping urusan pemerintahan absolut dan urusan
pemerintahan konkuren, dalam UndangUndang ini dikenal adanya urusan
pemerintahan umum.
Mengapa Urusan
pemerintahan umum menjadi kewenangan Presiden? karena Presiden
sebagai kepala pemerintahan yang terkait pemeliharaan ideologi Pancasila,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika,
menjamin hubungan yang serasi berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan
sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara serta memfasilitasi kehidupan
demokratis. Presiden dalam pelaksanaan urusan pemerintahan umum di Daerah
melimpahkan kepada gubernur sebagai kepala pemerintahan provinsi dan kepada
bupati/wali kota sebagai kepala pemerintahan kabupaten/kota.
Kemudian
bagaimana Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah ? Mengingat
kondisi geografis yang sangat luas, maka untuk efektifitas dan efisiensi
pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah kabupaten/kota, Presiden sebagai penanggung jawab akhir
pemerintahan secara keseluruhan melimpahkan kewenangannya kepada gubernur untuk
bertindak atas nama Pemerintah Pusat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan
kepada Daerah kabupaten/kota agar melaksanakan otonominya dalam koridor NSPK
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Untuk efektifitas pelaksanaan tugasnya
selaku wakil Pemerintah Pusat, gubernur dibantu oleh perangkat gubernur sebagai
Wakil Pemerintah Pusat. Karena perannya sebagai Wakil Pemerintah Pusat maka
hubungan gubernur dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota bersifat
hierarkis.
Bagaimana
karakteristik Perda Dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah ? kepala daerah dan DPRD selaku penyelenggara Pemerintahan
Daerah membuat Perda sebagai dasar hukum bagi Daerah dalam menyelenggarakan
Otonomi Daerah sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat serta kekhasan
dari Daerah tersebut. Perda yang dibuat oleh Daerah hanya berlaku dalam
batas-batas yurisdiksi Daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian Perda yang
ditetapkan oleh Daerah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya sesuai dengan hierarki
peraturan perundang-undangan. Disamping itu Perda sebagai bagian dari sistem
peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum
sebagaimana diatur dalam kaidah penyusunan Perda.
Apa
kata kunci dari paradigma dan keberhasilan penerapan UU No 23 tahun 2014 ? Inovasi
Daerah Majunya suatu bangsa sangat ditentukan oleh inovasi yang dilakukan
bangsa tersebut. Untuk itu maka diperlukan adanya perlindungan terhadap
kegiatan yang bersifat inovatif yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di
Daerah dalam memajukan Daerahnya. Perlu adanya upaya memacu kreativitas Daerah
untuk meningkatkan daya saing Daerah. Untuk itu perlu adanya kriteria yang
obyektif yang dapat dijadikan pegangan bagi pejabat Daerah untuk melakukan kegiatan
yang bersifat inovatif.
Artinya dengan cara tersebut inovasi akan terpacu dan berkembang tanpa ada
kekhawatiran menjadi obyek pelanggaran hukum. Pada dasarnya perubahan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditujukan untuk
mendorong lebih terciptanya daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah dalam menyejahterakan masyarakat, baik melalui peningkatan
pelayanan publik maupun melalui peningkatan daya saing Daerah. Perubahan ini
bertujuan untuk memacu sinergi dalam berbagai aspek dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah dengan Pemerintah Pusat.
Melalui
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 bagaimana model pembagian urusan pemerintahan
yang akan menjadi prioritas bagi daerah? dilakukan pengaturan yang bersifat
afirmatif yang dimulai dari pemetaan Urusan Pemerintahan yang akan menjadi
prioritas Daerah dalam pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya. Melalui
pemetaan tersebut akan tercipta sinergi kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian yang Urusan Pemerintahannya di desentralisasikan ke Daerah.
Sinergi Urusan Pemerintahan akan melahirkan sinergi kelembagaan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah karena setiap kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian akan tahu siapa pemangku kepentingan (stakeholder) dari
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian tersebut di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota secara nasional.
Sinergi Urusan Pemerintahan dan kelembagaan tersebut akan menciptakan sinergi
dalam perencanaan pembangunan antara kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian dengan Daerah untuk mencapai target nasional. Manfaat
lanjutannya adalah akan tercipta penyaluran bantuan yang terarah dari
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terhadap Daerah-Daerah yang menjadi
stakeholder utamanya untuk akselerasi realisasi target nasional tersebut.
Sinergi
Pemerintah Pusat dan Daerah akan sulit tercapai tanpa adanya dukungan
personel yang memadai baik dalam jumlah maupun standar kompetensi yang
diperlukan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah. Dengan cara tersebut Pemerintah Daerah akan mempunyai birokrasi
karir yang kuat dan memadai dalam aspek jumlah dan kompetensinya.
Upaya
apa untuk memperkuat otonomi daerah ? Upaya akhir untuk memperkuat
Otonomi Daerah adalah adanya mekanisme pembinaan, pengawasan, pemberdayaan,
serta sanksi yang jelas dan tegas.
Artinya adanya
pembinaan dan pengawasan serta sanksi yang tegas dan jelas tersebut memerlukan
adanya kejelasan tugas pembinaan, pengawasan dari Kementerian yang melakukan
pembinaan dan pengawasan umum serta kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian yang melaksanakan pembinaan teknis.
Sinergi antara pembinaan dan pengawasan umum dengan pembinaan dan pengawasan
teknis akan memberdayakan Daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Untuk pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah kabupaten/kota memerlukan peran
dan kewenangan yang jelas dan tegas dari gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat untuk melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap
Daerah kabupaten/kota.
B.Desentralisasi dan Dekonsentrasi Pengelolaan Sumber Daya Alam & Lingkungan
Hidup
Pasal 14 (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dalam hal Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang
kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi. (2) Urusan Pemerintahan bidang kehutanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman
hutan raya kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.
Pasal 16 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) berwenang
untuk:
a.menetapkan norma, standar, prosedur, dan
kriteria dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; dan
b.melaksanakan pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
(2) Norma, standar, prosedur, dan kriteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai pedoman dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan
konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan yang menjadi kewenangan Daerah.
3) Kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga pemerintah
nonkementerian.
(4) Pelaksanaan kewenangan yang dilakukan
oleh lembaga pemerintah non kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus dikoordinasikan dengan kementerian
terkait.
(5) Penetapan norma, standar, prosedur, dan
kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan
pemerintah mengenai pelaksanaan urusan
pemerintahan konkuren diundangkan.
Setelah ditetapkannya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah berimbas pada kewenangan pengelolaan sumber daya alam di daerah, dimana kini
kewenangannya lebih besar di tangan pemerintah pusat dan provinsi terutama di
sektor kehutanan, pertambangan dan perikanan-kelautan.
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah dari perspektif hukum tata negara; mengidentifikasi implikasi dan
pandangan pemerintah daerah, kabupaten/kota dalam pengelolaan sumberdaya alam
di daerah pada kontek urusan, tata organisasi daerah, keuangan dan program;
membahas implementasi UU 23/14 terkait dengan inisiatif-inisiatif pengelolaan
SDA yang telah dikembangkan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota; serta
memberi masukan bagi pemerintah provinsi dan kabupaten dalam masa transisi
pengalihan kewenangan atas pengelolaan sumberdaya alam serta pemerintah pusat
dalam proses pembentukan peraturan pelaksanaan UU 23/14.
UU 23/14 telah memberikan dasar-dasar yang sangat
berbeda bagi kewenangan kabupaten/kota dalam urusan tata kelola sumberdaya
alam. Sektor Kehutanan merupakan salah satu sektor yang paling banyak berubah.
Banyak kegiatan yang selama ini didesentralisasikan ke tingkat kabupaten/kota,
kemudian di tarik ke tingkat provinsi.
Kabupaten/kota telah memiliki
sejumlah inisiatif dalam melaksanakan kebijakan nasional di sektor pengelolaan
hutan, mulai dari pengelolaan hutan lindung, hutan kota, pemberdayaan
masyarakat dalam pengelolaan hutan, pengembangan kesatuan pengelolaan hutan
(KPH), hingga mendukung pelaksanaan program pembangunan hijau seperti DA REDD+,
Program Karbon Hutan Berau (PKHB), pembangunan hijau, review perijinan dalam
tata kelola sumberdaya alam, hingga pembentukan sistem informasi terpadu dalam
pengelolaan sumberdaya alam.
Di sektor kehutanan, beban provinsi dalam pengelolaan
hutan akan semakin berat. Good forest governance ditantang
oleh kemampuan provinsi dalam merencanakan, mengelola, menyediakan sumber daya
dan mengatur tata kelola hutan termasuk memenuhi berbagai harapan terhadap
kontribusi sumber daya hutan terhadap isu-isu perubahan iklim, dan
lain-lain.
Tantangannya bagaimana provinsi dapat meneruskan
inisiatif-inisatif tersebut seraya juga mengembangkan program yang lebih besar
dan menyeluruh. Tantangan lain bagaimana alokasi sumber daya (termasuk
keuangan) yang bisa dialokasikan pemerintah provinsi untuk memenuhi tuntutan
tugas yang baru ini.
Hanya
saja imbas ditetapkannya UU 23/14 upaya pengelolaan wilayah pesisir dan laut
berkelanjutan yang telah diinisiasi oleh kabupaten/kota menjadi tidak dapat
dilanjutkan.
Kebijakan desentralisasi diawali dengan UU Nomor 22 Tahun
1992 yang direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
kemudian terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Perubahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi
diharapkan menjadi momentum yang dapat menumbuh kembangkan proses reformasi
pada tingkat lokal dan memberikan ruang gerak pada bidang politik dan
pemanfaatan sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat lokal, sehingga
tercipta corak pembangunan baru di daerah terutama dalam
Perlindungan dan PengelolaanLingkungan Hidup (PPLH).
Namun demikian, masih terdapat permasalahan yang dialami selama
pelaksanaan otonomi daerah dibidang lingkungan hidup seperti:
1) Kebijakan/Peraturan
PPLH daerah yang belum jelas, termasuk didalamnya visi dan misi Kepala Daerah
yang kurang terhadap lingkungan;
2) Sarana
dan prasarana/infrastruktur daerah (kantor, laboratorium dan sebagainya) yang
belum memadai;
3) Ketersediaan
SDM lingkungan hidup secara kualitas dan kuantitas yang belum memadai;
4) Pengalokasian
anggaran yang sangat terbatas;
5) Iklim
politik yang masih kurang berpihak kepada lingkungan.
Secara
prinsip kebijakan desentralisasi ditujukan untuk memperkuat kapasitas
pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan publik
dan memperkuat demokrasi ditingkat lokal. Desentralisasi PPLH diharapkan dapat
meningkatkan kualitas lingkungan dengan memberikan pelayanan prima bagi
masyarakat, kemudahan dalam mengakses informasi, peningkatan peran serta
masyarakat serta penegakan hukum lingkungan.
Untuk
mencapai hal tersebut tentunya pemerintah daerah harus mempunyai kapasitas yang
memadai dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik dalam
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan
hukum.
Realitasnya desentralisasi pengelolaan lingkungan hidup belum berjalan
sesuai harapan bersama, hal ini
dijelaskan Dr. Henry Bastaman, MES,
Deputi Pembinaan Sarana Teknis Lingkungan dan Peningkatan Kapasitas KLH,
menyampaikan “Kementerian Lingkungan Hidup sesuai tugas dan fungsinya telah
melakukan berbagai upaya peningkatan kapasitas kelembagaan LH daerah baik dari
sudut (i) kelembagaan (ii) sumber daya manusia dan (iii) sarana prasarananya.
Hal pertama yang dilakukan adalah mendorong kabupaten/kota untuk memperkuat
bentuk kelembagaannya setingkat eselon II, sesuai tugas dan wewenangnya dalam pasal
63 ayat (3) UU 32/2009 tentang PPLH”.
Lebih lanjut dikatakan “Peningkatan kapasitas SDM dilakukan melalui
pendidikan dan pelatihan, pembentukan jabatan fungsional, penyusunan pedoman
uji kompetensi juga pembinaan laboratorium lingkungan. Rapat Kerja Teknis
Peningkatan Kapasitas Kelembagaan LH Daerah digelar setiap tahun mengundang
kelembagaan LH daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka pembinaan teknis
terkait dengan kelembagaan, standar pelayanan minimal (SPM) dan jabatan
fungsional.”
Dalam kurun waktu 9 (sembilan) tahun berjalannya proses desentralisasi,
pengelolaan lingkungan hidup belum
berjalan secara optimal bahkan cenderung mengalami kemerosotan. Hal ini
menunjukkan bahwa belum optimalnya kinerja aparat pemerintah daerah dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Mencermati Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan LH (RPPLH) Nasional sebagai Acuan Pembangunan
Nasional.
I. Urgensi Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) dalam Pembangunan Nasional
Sebelum terbitnya UU 32/2009, praktek penyelenggaran perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup seringkali difokuskan pada upaya pengendalian
kerusakan dan pencemaran yang sifatnya pada tingkat di hilir saja, tanpa
melihat akar permasalahan yang lebih mendasar di tingkat kebijakan, rencana
maupun program. Sementara terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan
hidup sangat dipengaruhi oleh pengelolaan sumber daya alam yang kurang
berkelanjutan. UU Nomor 32/2009 memberi peluang besar untuk mengelola
lingkungan hidup dan sumberdaya alam secara lebih efektif sejak perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, dan pengawasan serta penegakan hukum.
Dalam hal perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, fokus muatan
yang akan dicakup, yaitu: (1) pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya
alam; (2) pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan
hidup; (3) pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber
daya alam; dan (4) adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Untuk memperkuat perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup tersebut, UU Nomor 32/2009 memandatkan bahwa untuk menyusun rencana
perlindungan dan pengelolaan LH harus berbasis ekoregion yang mempertimbangkan
keragaman dan karakteristik wilayah.
Peta ekoregion skala 1:500.000 untuk mendukung
RPPLH Nasional telah dilaunching pada Juni 2013
yang akan ditindaklanjuti dengan peta ekoregion skala minimal 1:250.000
untuk mendukung RPPLH tingkat provinsi dan skala minimal 1:50.000 untuk
mendukung RPPLH kabupaten/kota. Dengan demikian, ekoregion merupakan kekuatan
RPPLH yang dapat mewujudkan arah Kebijakan Perencanaan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup sesuai dengan karakteristik ekoregion yang
mempertimbangkan aspek darat danlaut.
Bencana
yang sering terjadi akhir-akhir ini, seperti banjir, longsor, kekeringan,
pencemaran sungai dan laut, kekurangan air bersih, kerusakan tanah, dan polusi
udara mengindikasikan bahwa daya dukung lingkungan hidup telah terlampui.
Peningkatan frekuensi bencana lingkungan hidup tersebut terjadi seiring dengan
pembangunan yang terus berlangsung. Untuk itu, sangat penting melakukan
perbaikan kebijakan, rencana, maupun program pembangunan secara terus menerus
dengan mempertimbangkan semua aspek, termasuk lingkungan hidup. UU Nomor
32/2009 mengamanatkan bahwa RPPLH dijadikan dasar dan dimuat dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM). Dalam hal ini, RPPLH Nasional menjadi sangat penting dalam mengarahkan
pembangunan nasional agar fungsi lingkungan hidup tetap terjaga.
II. Masalah dan Isu Strategis
Lingkungan Hidup Nasional
Gejala peningkatan frekuensi dan luas bencana lingkungan hidup secara fisik disebabkan oleh beberapa faktor yang terjadi secara bersamaan atau tidak bersamaan di suatu wilayah, antara lain:
a) kerusakan hutan;
b) terjadinya lahan kritis;
c) besarnya beban pencemar;
d)pelanggaran tata ruang dan perijinan. Tidak
hanya bencana lingkungan yang cenderung semakin meningkat, namun juga terjadi
semakin maraknya konflik sosial, adanya kesenjangan kondisi antar
ekoregion/pulau, ketimpangan terhadap pemanfaatan SD Alam.
Berbagai situasi tersebut sesungguhnya merupakan produk kumulatif dari
pembangunan berbagai sektor antara lain:
a) belum terselesaikannya persoalan hak-hak
atas SDA dan pengelolaannya secara adil (mis. antar nelayan tradisional dengan
nelayan trawl / menangkap krumunan ikan dgn jaring
yang sangat besar, tidak memandang ikan kecil dan besar ikut terjaring);
b)kebijakan pembangunan yang masih kuat
diimplementasikan pada tataran produksi dan eksploitasi SDA, sedangkan
pengendalian daya dukung LH melalui kerjasama antar wilayah administrasi belum
kuat;
c) kebijakan anggaran berbasis lingkungan
yang belum terwujud dengan baik, termasuk juga internalisasi biaya lingkungan
dan dampaknya ke dalam biaya produksi;
d) belum efektifnya upaya konservasi dan
rehabilitasi dari berbagai aspek seperti : rendahnya insentif dan disinsentif,
ketepatan ukuran kinerja, pendekatan yang hanya berbasis proyek;
e) kapasitas dan tata kelola lingkungan
hidup. Penyelesaian persoalan tersebut tidak dapat hanya dilakukan pada bagian
hilir dari proses pembangunan saja, namun penyelesaiannya perlu diperkuat untuk
masuk ke hulu atau akar masalah.
Isu
strategis untuk mengatasi permasalahan PPLH yang nantinya perlu dituangkan
dalam RPPLH Nasional antara lain:
a) Informasi
dan Manajemen Pengetahuan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Informasi dan pengetahuan sangat penting untuk selalu diperbarui untuk menjadi dasar bagi pengendalian pembangunan agar tidak melampaui daya dukung lingkungan. Keterbukaan informasi bagi stakeholders, termasuk status LH dan transparansi perizinan pemanfaatan SDA, akan menjadi sumber pengetahuan dan pengawasan LH oleh publik.
Informasi dan pengetahuan sangat penting untuk selalu diperbarui untuk menjadi dasar bagi pengendalian pembangunan agar tidak melampaui daya dukung lingkungan. Keterbukaan informasi bagi stakeholders, termasuk status LH dan transparansi perizinan pemanfaatan SDA, akan menjadi sumber pengetahuan dan pengawasan LH oleh publik.
b) Kapasitas
Lembaga dan Pengorganisasian dalam Implementasi Kebijakan
Kepemimpinan dan kapasitas jaringan kerja yang kuat pada seluruh stakeholder dalam arti luas di pusat maupun daerah yang terkait dengan penguatan dan implementasi sesara efektif kebijakan PPLH termasuk PSDA. Dengan pemahaman bahwa kinerja perlindungan dan pengelolaan LH sangat ditentukan oleh perilaku seluruh stakeholder. Perbaikan kinerja LH yang menuntut visi jangka panjang cenderung kurang harmonis dengan arah pembangunan ekonomi dan politik eksploitasi SDA jangka pendek sehingga kerusakan lingkungan terus terjadi. Dampak kerusakan lingkungan hidup tidak dapat dibatasi oleh batas administrasi ataupun batas yurisdiksi sektoral. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sangat tergantung pada kerjasama antar wilayah administrasi maupun antar sektor. Penetapan program pembangunan bersama antar wilayah administrasi dan antar sektor dengan mempertahankan daya dukung lingkungan menjadi keniscayaan. Untuk menghindari konflik kepentingan antar pihak dalam membangun program pembangunan bersama tersebut, perlu dibangun leadership LH yang antara lain mengembangkan jejaring LH termasuk dengan para pihak di luar pemerintah (LSM, Media, PerguruanTinggi, Organisasi Masyarakat, DPR/D, dll).
Kepemimpinan dan kapasitas jaringan kerja yang kuat pada seluruh stakeholder dalam arti luas di pusat maupun daerah yang terkait dengan penguatan dan implementasi sesara efektif kebijakan PPLH termasuk PSDA. Dengan pemahaman bahwa kinerja perlindungan dan pengelolaan LH sangat ditentukan oleh perilaku seluruh stakeholder. Perbaikan kinerja LH yang menuntut visi jangka panjang cenderung kurang harmonis dengan arah pembangunan ekonomi dan politik eksploitasi SDA jangka pendek sehingga kerusakan lingkungan terus terjadi. Dampak kerusakan lingkungan hidup tidak dapat dibatasi oleh batas administrasi ataupun batas yurisdiksi sektoral. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sangat tergantung pada kerjasama antar wilayah administrasi maupun antar sektor. Penetapan program pembangunan bersama antar wilayah administrasi dan antar sektor dengan mempertahankan daya dukung lingkungan menjadi keniscayaan. Untuk menghindari konflik kepentingan antar pihak dalam membangun program pembangunan bersama tersebut, perlu dibangun leadership LH yang antara lain mengembangkan jejaring LH termasuk dengan para pihak di luar pemerintah (LSM, Media, PerguruanTinggi, Organisasi Masyarakat, DPR/D, dll).
c) Pemanfaatan
dan/atau Pencadangan Sumber Daya Alam (SDA)
SDA yang terkait dengan penggunaan lahan, seperti hutan, tambang, dan kebun sudah sampai pada kondisi kritis, bukan hanya menjadi penyebab kerusakan dan pencemaran lingkungan, termasuk hilangnya sumber-sumber air bersih, tetapi juga menjadi sumber konflik dan ketidakadilan pemanfaatannya. Di sisi lainnya, sumberdaya perairan/laut masih belum optimal pemanfaatannya, terjadi kemiskinan nelayan di satu sisi dan di sisi lain telah terjadi kerusakan habitat dan over eksploitasi beberapa jenis ikan. untuk melakukan penghematan dan pencadangan pemanfaatan SDA secara umum.
SDA yang terkait dengan penggunaan lahan, seperti hutan, tambang, dan kebun sudah sampai pada kondisi kritis, bukan hanya menjadi penyebab kerusakan dan pencemaran lingkungan, termasuk hilangnya sumber-sumber air bersih, tetapi juga menjadi sumber konflik dan ketidakadilan pemanfaatannya. Di sisi lainnya, sumberdaya perairan/laut masih belum optimal pemanfaatannya, terjadi kemiskinan nelayan di satu sisi dan di sisi lain telah terjadi kerusakan habitat dan over eksploitasi beberapa jenis ikan. untuk melakukan penghematan dan pencadangan pemanfaatan SDA secara umum.
d) Perlindungan
dan pemulihan daya dukung Terkait dengan upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, pemulihan daya dukung, termasuk pemulihan masalah sosial,
merupakan hal yang sangat penting. Untuk mencapai tujuan tersebut, penguatan
kelembagaan untuk perlindungan dan konservasi SDA, terutama di kawasan
lindung, perlu mendapat prioritas antara lain melalui penerapan kebijakan
ekonomi, regulasi dan insentif LH.
e) Pengendalian
beban lingkungan hidup Kapasitas pengendalian beban lingkungan hidup di
Indonesia tidak sebanding dengan sebaran lokasi sumber pencemar yang sangat
luas. Sementara itu kebijakan penataan ruang dan kebijakan lainnya belum mampu
menanggulangi semakin terkonsentrasinya beban lingkungan hidup di
wilayah-wilayah perkotaan, pelabuhan dan industri. Terkait dengan pengendalian
beban lingkungan hidup diperlukan prioritas pada kawasan khusus seperti
urban-perkotaan, pelabuhan, industri, dll sebagai wilayah target pengendalian
beban lingkungan.
f) Kebijakan
Penegakan hukum Disamping itu, peningkatan kapasitas tersebut perlu pula diwujudkan
melalui pengembangan jejaring hukum lingkungan Kapasitas yustisia dalam
penegakan hukum lingkungan perlu diperluas dengan mengkaitkan pelanggaran hukum
lingkungan hidup dengan penataan ruang, pencegahan perusakan hutan, pencucian
uang, tindak pidana korupsi, dll. sehingga terwujud kluster-kluster di setiap
wilayah ekoregion.
III. Tantangan harmonisasi dan
sinergi RPPLH Nasional dengan perencanaan pembangunan.
RPPLH bersifat kompleks dan saling terkait dengan berbagai peraturan-perundangan lain. Apabila mengacu pada UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan LH, terlihat bahwa RPPLH merupakan peraturan-perundangan yang berdiri sendiri, namun di lain pihak dalam mandatnya juga harus menjadi dasar dan sekaligus harus dimuat dalam RPJP dan RPJM, baik di tingkat nasional maupun daerah, serta muatannya terkait dengan pengelolaan SDA. Oleh karena itu, karena sifatnya yang cross-cutting, maka RPPLH akan terkait dengan berbagai peraturan-perundangan yang telah ada maupun yang sedang dalam proses penyusunan, baik secara horizontal maupun vertikal. Dengan demikian, menjadi penting dan merupakan tantangan agar dalam penyusunan RPPLH harus harmoni dan sinergi dengan perencanaan pembangunan nasional yang sudah berjalan dan dengan berbagai perencanaan pemanfaatan sumber daya alam. Apabila dicermati perkembangan perencanaan, saat ini banyak bermunculan dokumen-dokumen perencanaan yang mungkin mempunyai level perencanaan yang berbeda-beda. Penguatan anggaran berbasis lingkungan juga menjadi tantangan untuk merealisasikan secara efisien dan efektif penanganan isu PPLH yang cross cutting.
RPPLH bersifat kompleks dan saling terkait dengan berbagai peraturan-perundangan lain. Apabila mengacu pada UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan LH, terlihat bahwa RPPLH merupakan peraturan-perundangan yang berdiri sendiri, namun di lain pihak dalam mandatnya juga harus menjadi dasar dan sekaligus harus dimuat dalam RPJP dan RPJM, baik di tingkat nasional maupun daerah, serta muatannya terkait dengan pengelolaan SDA. Oleh karena itu, karena sifatnya yang cross-cutting, maka RPPLH akan terkait dengan berbagai peraturan-perundangan yang telah ada maupun yang sedang dalam proses penyusunan, baik secara horizontal maupun vertikal. Dengan demikian, menjadi penting dan merupakan tantangan agar dalam penyusunan RPPLH harus harmoni dan sinergi dengan perencanaan pembangunan nasional yang sudah berjalan dan dengan berbagai perencanaan pemanfaatan sumber daya alam. Apabila dicermati perkembangan perencanaan, saat ini banyak bermunculan dokumen-dokumen perencanaan yang mungkin mempunyai level perencanaan yang berbeda-beda. Penguatan anggaran berbasis lingkungan juga menjadi tantangan untuk merealisasikan secara efisien dan efektif penanganan isu PPLH yang cross cutting.
Penyusunan RPPLH menghendaki kehati-hatian,
agar peraturan yang baru tidak menambah kerumitan dan tumpang tindih pengaturan
terhadap objek yang sama. Meskipun RPPLH merupakan peraturan yang baru, skema
disainnya harus dapat mengisi gap perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan LH
yang ada, dapat mengatasi akar permasalahan PPLH, serta agar dapat
diimplementasikan secara efektif.
Untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut
dan tercapainya RPPLH yang efektif, diperlukan strategi yang tepat antara lain:
1) membangun
pemahaman yang sama terhadap RPPLH;
2) meningkatkan
komunikasi dan interaksi yang efektif dengan stakeholder strategis;
3) menetapkan
masalah, isu strategis, solusi dan ukuran keberhasilan yang tepat;
4) membangun
kesepakatan terhadap substansi, kelembagaan termasuk prosedur dan mekanisme,
pendanaan, pengaturannya serta monitoring dan evaluasinya untuk menuju
perbaikan yang berkelanjutan.
Persoalan di Regional kalimantan masalah lingkungan hidup bisa kita
petakan dari Rapat Koordinasi Ekoregion (RAKOREG) untuk wilayah Kalimantan pada
tanggal 27 – 28 Februari 2013 di Hotel Kapuas Palace, Kota Pontianak, Provinsi
Kalimantan Barat yang dibuka oleh Gubernur Kalimantan Barat, Cornellius. Rapat
Koordinasi Ekoregion (RAKOREG) yang diselenggarakan di 6 (enam) Pusat
Pengelolaan Lingkungan Hidup Ekoregion yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali Nusra, Sulawesi dan
Maluku serta Papua, untuk menetapkan Rencana Kerja Bidang Lingkungan Hidup
sebagai dasar penyusunan Kerangka Kebijakan Lingkungan Hidup Indonesia dalam
pembangunan SDA dan LH pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
RAKOREG
Kalimantan tahun 2013 ketika itu mengambil tema “Meningkatkan Sinergi
Pencapaian Indikator Kinerja Utama Lingkungan Hidup di Kalimantan” yang
dihadiri oleh Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, Gubernur
Kalimantan Barat, Cornellius, institusi lingkungan hidup
kota/kabupaten, dan provinsi serta institusi perencanaan pembangunan daerah
atau institusi sektoral daerah terkait lainnya.
Rapat
koordinasi ini berupaya maksimal dalam mewujudkan 3 (tiga) Indikator Kinerja
Utama bidang lingkungan hidup yaitu penurunan beban pencemaran, pengendalian
kerusakan dan peningkatan kapasitas.
Menteri
Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar
Kambuaya ketika itu dalam arahannya menyatakan, ”Tantangan institusi
lingkungan hidup yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan dengan serius adalah
segera mengejar ketertinggalan pencapaian sasaran nasional pengelolaan
lingkungan hidup yang dinilai masih harus kerja keras, memastikan seluruh
penyelenggaraan kegiatan efisien dan anggaran dibelanjakan dengan baik dan
benar, memastikan tidak terjadi policy failure dan memastikan prinsip
kepemerintahan yang baik berjalan, serta bebas dari isu korupsi dan pungutan
liar”. Untuk itu perlu segera dipetakan
kembali proses bisnis keseluruhan pengelolaan PSDA dan LH dan reposisi KLH,
instansi LH di daerah, dan mitra-mitra strategis yang ada.
C. Konstruksi
Hukum Pembagian Kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup Berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2009
Menyadari potensi dampak negatif
yang ditimbulkan sebagai konsekuensi dari pembangunan, terus dikembangkan upaya
pengendalian dampak secara dini. Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal)
adalah salah satu perangkat preemtif pengelolaan lingkungan hidup yang terus
diperkuat melalui peningkatkan akuntabilitas dalam pelaksanaan penyusunan amdal
dengan mempersyaratkan lisensi bagi penilai amdal dan diterapkannya sertifikasi
bagi penyusun dokumen amdal, serta dengan memperjelas sanksi hukum bagi
pelanggar di bidang amdal.Amdal juga menjadi salah satu persyaratan utama dalam
memperoleh izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum diperoleh izin usaha.
Kebijakan Pengelolaan
Ligkungan hidup secara normatif adalah
sebagai berikut:
1.
Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup
perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan
dan perizinan. Dalam hal
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang
efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup yang sudah terjadi.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu
dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai
landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan
pembangunan lain.
Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2009 juga mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum
administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana. Ketentuan hukum perdata
meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di
dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi
lingkungan, ataupun hak gugat pemerintah. Melalui cara tersebut diharapkan
selain akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh
pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.
2.
Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang 39 Tahun 2009 memperkenalkan
ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan
bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan
tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium
yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah
penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas
ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu
pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.
3.
Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang ini adalah adanya
penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola
pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan
instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta
penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek
transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan.
4.
Selain itu, Undang-Undang 39 Tahun 2009 juga mengatur:
a. keutuhan
unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
b. kejelasan
kewenangan antara pusat dan daerah;
c. penguatan
pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
d. penguatan
instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang
meliputi instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu
lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal, upaya
pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan,
instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis
lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko
lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
e. pendayagunaan
perizinan sebagai instrumen pengendalian;
f. pendayagunaan pendekatan ekosistem;
g. kepastian
dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
h. penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses
partisipasi, dan akses keadilan serta
penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
i. penegakan
hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
j. penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang lebih efektif dan responsif; dan
k. penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik
pegawai negeri sipil lingkungan hidup.
5.
Undang-Undang 39 Tahun 2009 memberikan kewenangan yang luas kepada
Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan
instansi lain. Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan
yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh
karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan Undang-Undang ini
tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi
pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio
menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang
lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan konservasi.
Untuk menjamin terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan
dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai
untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang memadai untuk
pemerintah daerah.
Konstruksi
Hukum Pembagian Kewenangan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Undang-Uundang Nomor
39 Tahun 2009 Tentang PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP sudah
secara jelas diatur dalam BAB IX TUGAS DAN
WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH dari pasal 63 ayat (1),(2),(3):
Pasal 63
(1)
Dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang:
a.
menetapkan
kebijakan nasional;
b. menetapkan norma, standar, prosedur,
dan kriteria;
c.
menetapkan
dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional;
d.
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai KLHS;
e.
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
f.
menyelenggarakan
inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas rumah kaca;
g. mengembangkan standar kerja sama;
h. mengoordinasikan dan melaksanakan
pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
i.
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati dan nonhayati,
keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa
genetik;
j.
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian dampak perubahan iklim dan
perlindungan lapisan ozon;
k.
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah B3;
l.
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan laut;
m.
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara;
n. melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala
daerah;
o. melakukan pembinaan dan pengawasan
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan
lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
p. mengembangkan dan menerapkan instrumen
lingkungan hidup;
q. mengoordinasikan dan memfasilitasi
kerja sama dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian
sengketa;
r. mengembangkan dan melaksanakan
kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat;
s. menetapkan standar pelayanan minimal;
t. menetapkan kebijakan mengenai tata
cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak
masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
u. mengelola
informasi lingkungan hidup nasional;
v. mengoordinasikan, mengembangkan, dan
menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup;
w.
memberikan
pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
x.
mengembangkan
sarana dan standar laboratorium lingkungan hidup;
y. menerbitkan izin lingkungan;
z. menetapkan wilayah ekoregion; dan
aa. melakukan penegakan hukum
lingkungan hidup.
(2)
Dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah provinsi bertugas dan berwenang:
a.
menetapkan kebijakan tingkat provinsi;
b.
menetapkan
dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi;
c.
menetapkan
dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH provinsi;
d.
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
e.
menyelenggarakan
inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat provinsi;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja
sama dan kemitraan;
g. mengoordinasikan dan melaksanakan
pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas
kabupaten/kota;
h.
melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, peraturan daerah, dan
peraturan kepala daerah kabupaten/kota;
i.
melakukan
pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
j. mengembangkan dan menerapkan instrumen
lingkungan hidup;
k. mengoordinasikan dan memfasilitasi
kerja sama dan penyelesaian perselisihan antarkabupaten/antarkota serta
penyelesaian sengketa;
l. melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan pengawasan
kepada kabupaten/kota di bidang
program dan kegiatan;
m.
melaksanakan standar pelayanan minimal;
n. menetapkan kebijakan mengenai tata
cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak
masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup pada tingkat provinsi;
o. mengelola
informasi lingkungan hidup tingkat provinsi;
p. mengembangkan dan menyosialisasikan
pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup;
q.
memberikan
pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
r. menerbitkan izin lingkungan pada
tingkat provinsi; dan
s.
melakukan
penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat provinsi.
(3)
Dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang:
a.
menetapkan
kebijakan tingkat kabupaten/kota;
b.
menetapkan
dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai RPPLH kabupaten/kota;
d.
menetapkan dan
melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
e.
menyelenggarakan
inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat
kabupaten/kota;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja
sama dan kemitraan;
g. mengembangkan dan menerapkan instrumen
lingkungan hidup;
h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan
lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
j. melaksanakan standar pelayanan
minimal;
k. melaksanakan kebijakan mengenai tata
cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak
masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota;
l. mengelola
informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
m.
mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi
lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan
penghargaan;
o. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat
kabupaten/kota; dan
p. melakukan
penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.
IV Rekonstruksi Pengelolaan Sumber Daya Alam di Daerah.
Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
dikatakan bahwa peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya diarahkan dan digerakan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan
yang berdaya guna dan hasil guna. Konservasi sumber daya alam hayati (KSDAH)
adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara
bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya tetap terpelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman hayati.
Konservasi sumber daya
alam hayati dapat dikatakan berhasil apabila dapat mewujudkan tiga sasaran
konservasi, yaitu:
- Perlindungan sistem penyangga kehidupan yaitu menjamin terpeliharanya
proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi
kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia.
- Pengawetan sumber plasma nutfah
yaitu menjamin terpeliharanya keanekaragaman genetik dan tipe-tipe
ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan
teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan
sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan masyarakat.
- Pemanfaatan secara lestari,
yaitu mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga
menjamin kelestariannya.
Pada
tataran ini, maka perlu ditempuh beberapa kebijakan yang berkaitan dengan
sumber daya alam dalam hal ini kehutanan yang perlu diperhatikan ketika
mengambil kebijakan pengelolaan sumber daya kehutanan, yakni :
1. Penetapan
kriteria dan standar pengurusan hutan, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian
alam, taman buru, dan areal perkebunan.
2. Penetapan
kriteria dan standar inventarisasi, pengukuhan, dan penatagunaan kawasan hutan,
kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru.
3. Penetapan
kawasan hutan, perubahan status dan fungsinya.
4. Penetapan
kriteria dan standar pembentukan wilayah pengelolaan hutan, kawasan suaka alam,
kawasan pelestarian alam, dan taman buru.
5. Penyelenggaraan
pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru termasuk
daerah aliran sungai di dalamnya.
6. Penyusunan
rencana makro kehutanan dan perkebunan nasional, serta pola umum rehabilitasi
lahan, konservasi tanah, dan penyusunan perwilayahan, desain, pengendalian
lahan, dan industri primer perkebunan.
7. Penetapan kriteria dan
standar tarif iuran izin usaha pemanfaatan hutan, provisi sumber daya hutan,
dana reboisasi, dan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan.
8. Penetapan kriteria dan
standar produksi, pengolahan, pengendalian mutu, pemasaran dan peredaran hasil
hutan dan perkebunan termasuk perbenihan, pupuk dan pestisida tanaman kehutanan
dan perkebunan.
9. Penetapan
kriteria dan standar perizinan usaha pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan dan
pemungutan hasil, pemanfaatan jasa lingkungan, pengusahaan pariwisata alam,
pengusahaan taman buru, usaha perburuan, penangkaran flora dan fauna, lembaga
konservasi dan usaha perkebunan.
10. Penyelenggaraan izin usaha pengusahaan
taman buru, usaha perburuan, penangkaran flora dan fauna yang dilindungi, dan
lembaga konservasi, serta penyeleng-garaan pengelolaan kawasan suaka alam,
kawasan pelestarian alam taman buru, termasuk daerah aliran sungai di dalamnya.
11. Penyelenggaraan
izin usaha pemanfaatan hasil hutan produksi dan pengusahaan pariwisata alam
lintas Propinsi.
12. Penetapan
kriteria dan standar pengelolaan yang meliputi tata hutan dan rencana
pengelolaan, pemanfaatan, pemeliharaan, rehabilitasi, reklamasi, pemulihan,
pengawasan dan pengendalian kawasan hutan dan areal perkebunan.
13. Penetapan kriteria dan standar
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang meliputi perlindungan,
pengawetan dan pemanfaatan secara lestari di bidang kehutanan dan perkebunan.
14. Penetapan
norma, prosedur, kriteria dan standar peredaran tumbuhan dan satwa liar
termasuk pembinaan habitat satwa migrasi jarak jauh.
15. Penyelenggaraan izin pemanfaatan dan peredaran
flora dan fauna yang dilindungi dan yang terdaftar dalam apendiks Convention on
International Trade in Endangered Species (CITES) of Wild Fauna and Flora.
16. Penetapan kriteria dan standar dan
penyelenggaraan pengamanan dan penanggulangan bencana pada kawasan hutan, dan
areal perkebunan.
D. Sinergisitas Program Pengembangan dan
Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Tujuan program ini
adalah untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap dan handal
mengenai potensi dan produktivitas sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui
kegiatan inventarisasi, evaluasi, valuasi, dan penguatan sistem informasi yang
menjamin terbukanya akses masyarakat terhadap informasi yang ada.
Dalam pengembangan
informasi lingkungan hidup diperlukan data yang akurat, konsisten, dan terkini.
Disamping itu, demi kemudahan interpretasi dan pemahaman diperlukan
standarisasi data yang dapat digunakan secara nasional. Untuk itu dalam tahun
2000 telah dikembangkan disain global basis data pengendalian pencemaran air,
peta dasar lingkungan se-Indonesia, dan aplikasi profil lingkungan untuk media
air.
Dalam rangka pelaksanaan
kegiatan-kegiatan tersebut telah dihasilkan antara lain penyempurnaan data dan
informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, melalui pemanfaatan teknologi
penginderaan jauh yang sangat berguna untuk pemantauan ekosistem bumi. Sejalan
dengan itu, telah dilakukan pula peningkatan akses masyarakat terhadap
informasi kegiatan dan kasus-kasus lingkungan melalui media internet yang
didukung sistem layanan kesiagaan dan tanggap darurat bencana lingkungan.
Untuk mendukung
peningkatan kualitas pelayanan informasi lingkungan dilakukan penyusunan
Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia 2000 (State of the Environment Report,
SoER) sebagai salah satu pelaksanaan Agenda 21. Kegiatan lain yang
dilakukan adalah upaya untuk mengembangkan Neraca Kependudukan dan Lingkungan
Hidup Daerah berdasarkan basis data setahun sebelumnya; pengembangan Pusat
Layanan Informasi di kantor Bapedal, Jakarta, dan tiga kantor Bapedal Regional
I; II; dan III, masing-masing berpusat di Pekanbaru, Denpasar, dan Makassar.
Sedangkan untuk memperkaya dan mengelola berbagai jenis informasi lingkungan,
dilaksanakan kegiatan untuk mendukung Pusat Layanan Informasi yang terdiri dari
perpustakaan modern yang dilengkapi dengan koleksi sumber informasi dan sarana
audio visual.
Dalam pengkajian ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang informasi, dilakukan upaya untuk
mendapatkan model atau metode pemanfaatan teknologi dirgantara untuk mendukung
pelayanan teknis kepada masyarakat. Pada tahun 2000 dan 2001, telah dilakukan
beberapa usaha antara lain adalah: peningkatan dan pengembangan kemampuan
sistem penerima dan pengolah data satelit penginderaan jauh, melalui
peningkatan kemampuan stasiun bumi satelit penginderaan jauh di Parepare dan
Biak, sehingga stasiun-stasiun bumi tersebut dapat menyajikan data satelit
penginderaan jauh dan informasi yang diturunkan dari data tersebut.
I. Tindak Lanjut yang
Diperlukan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Untuk mencapai sasaran
pembangunan di bidang sumber daya alam yang telah ditetapkan dan sekaligus
mengatasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi, maka strategi yang ditempuh
diarahkan pada upaya: mengelola sumber daya alam, baik yang dapat diperbarui
maupun yang tidak dapat diperbarui; menegakkan hukum secara adil dan konsisten
untuk menghindari perusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan;
mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah dalam
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara bertahap;
memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal; serta memelihara kawasan
konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi baru di wilayah
tertentu.
Strategi tersebut
dijabarkan kedalam langkah-langkah tindak lanjut berupa program-program
pembangunan yang berisikan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan dalam tahun
mendatang. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain ditujukan untuk mendukung
upaya pengembangan dan peningkatan akses informasi sumber daya alam dan
lingkungan hidup melalui: penyempurnaan data potensi sumber daya alam;
pembentukan mekanisme jaringan informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup
di pusat dan daerah; pengembangan sistem informasi dan data monitoring kualitas
lingkungan hidup yang sahih dan berkesinambungan; pengukuhan kawasan hutan dan
penetapan kawasan-kawasan tertentu yang dilindungi.
Kegiatan penyempurnaan
data dan informasi tersebut dibutuhkan untuk mendukung upaya peningkatan
efektivitas pengelolaan, konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam. Untuk
itu diperlukan: penyusunan rencana pengelolaan sumber daya hutan dan air
berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS) prioritas dan tata ruang; penyediaan
insentif untuk daerah konservasi sumber daya alam dan penyusunan peraturan
disinsentif dalam bentuk tarif dan user fee bagi penggunaan
sumber daya alam yang tidak terkendali; penyusunan mekanisme pemeliharaan
kawasan konservasi yang melibatkan masyarakat, pemerintah daerah dan swasta;
pemulihan lingkungan hidup yang kritis akibat kerusakan ekosistem.
Dalam
rangka mendukung program pencegahan dan pengendalian kerusakan serta pencemaran
lingkungan hidup akan dilakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya
pengembangan teknologi yang berwawasan lingkungan; pengembangan teknologi
pengelolaan limbah rumah tangga dan komunal; pengembangan dan sosialisasi
teknologi produksi bersih; pengendalian pencemaran air, tanah, dan udara;
pengawasan dan pengelolaan keselamatan radiasi dan limbah nuklir.
Dalam
bidang penataan kelembagaan dan penegakan hukum dalam pengelolaan sumber daya
alam dan pelestarian lingkungan hidup, akan dilakukan langkah-langkah yang
bertujuan untuk mendukung upaya: penetapan peraturan yang mengatur kewenangan
dan tanggung jawab daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup; penyusunan Undang-undang dan perangkat hukum di bidang pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup; pembinaan terhadap industri yang
menerapkan standar barang dan/atau jasa (ISO-14000, ekolabeling dan
hutan lestari) agar dapat bersaing di pasar global; penegakan hukum yang tegas
dan konsisten dalam kasus pelanggaran ketentuan AMDAL, eksploitasi sumber daya
alam tanpa izin, dan perusakan sumber daya alam lainnya.
Sementara itu,
peningkatan peranan dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam
dan pelestarian lingkungan hidup harus terus ditingkatkan. Kegiatan-kegiatan
yang dilakukan akan diarahkan kepada upaya: peningkatan dan pengakuan atas
peran dan kepemilikan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup; penyusunan pedoman mekanisme konsultasi publik dalam
penetapan kebijakan dan peraturan dalam rangka pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup; pengembangan pola kemitraan dengan masyarakat lokal dalam
pengawasan pengelolaan sumber daya alam dan pengendalian kualitas lingkungan
hidup.
II. Stressing Kebijakan
Pengelolaan Sumber Daya Alam
Sebagai kita ketahui,
bhawa Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya dengan sumber daya alam Sumber
daya alam yang terbarukan (renewable) maupun yang tak
terbarukan (non renewable) serta yang berbentuk modal alam (natural
resources stock),seperti daerah aliran sungai, danau, kawasan lindung,
pesisir, dll. atau dalam bentuk komoditas seperti kayu, rotan, mineral dan gas
bumi, ikan, dll. terdapat merata hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan
data hutan tropis (tropical rain forest) Indonesia adalah
terluas kedua di dunia. Hutan yang diperkirakan luasnya mencapai 144 juta
hektar, atau sekitar 74 % dari luas daratan Indonesia (Kantor MENLH, 1990;
Nurjaya, 1993). Hutan tropis Indonesia menyimpan keanekaragaman hayati (biodiversity) terkaya
di dunia, yang melipufi 1500 jenis burung, 500 jenis mamalia, 21 jenis repril,
65 jenis ikan air tawar, dan 10 ribu jenis terumbuhan tropis (More, 1994).
Garis pantai Indonesia sepanjang 81 ribu kilometer menjadikan Indonesia sebagai
negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Perairan yang luas
menyediakan wadah yang nyaman bagi pertumbuhan populasi ikan. Potensi maksimum
perikanan laut Indonesia berkisar antara 6,7 sampai 7,7 metrik ton. Terumbu
karang dengan 70 genus yang ada merupakan wujud keanekaragaman koral terbesar
di dunia (Choi & Hutagalung, 1998). Demikian pula, sumber daya mineral yang
terkandung di dalam perut bumi Indonesia, seperti emas, tembaga, baru bara,
perak, nikel, timah, bauksit, dll. Merupakan kekayaan alam bumi Nusantara
(Kantor MENLH, 2000; Bachriadi, 1998).
Kekayaan
sumber daya alam Indonesia yang demikian itu dipahami pemerintah sebagai modal
penting dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Karena itu, atas nama
pembangunan yang diabdikan pada pengejaran target pertumbuhan
ekonomi(economic growth development), demi peningkatan pendapatan
dan devisa negara (state revenue), maka pemanfaatan sumberdaya
alam dilakukan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, demokratis, dan
keberlanjutan fungsi sumberdaya alam.
Tentunya
dalam tahap implementasi kebijakan, tentunya menimbulkan
implikasi. Implikasi yang ditimbulkan dari praktik-praktik pemanfaatan
sumber daya alam yang mengedepankan pencapaian pertumbuhan ekonomi semata
adalah secara perlahan tetapi pasti menirnbulkan kerusakan dan degradasi
kuantitas maupun kualitas,, sumberdaya alam, yang meliputi : (a) laju kerusakan
hutan mencapai 1,8 juta hektar per tahun dan sejumlah spesies hutan tropis
terancam punah akibat eksploitasi sumberdaya hutan yang tak terkendali; (b)
sekitar 70 % terumbu karang mengalami kerusakan serius akibat endapan erosi.
pengambilan batu karang, penangkapan ikan yang menggunakan bom atau racun
(sianida), dan pencemaran air laut oleh limbah industri; (c) sekitar 64 % dari
total hutan mangrove seluas 3 juta hektar mengalami kerusakan yang serius
akibat penebangan liar untuk kayu bakar dan dikonversi menjadi areal
pertambakan; (d) kegiatan pertambangan yang dilakukan secara besar-besaran
telah mengubah bentang alam, yang selain merusak tanah juga menghilangkan
vegetasi yang berada diatasnya.
Lahan-lahan bekas
pertambangan membentuk kubangan-kubangan raksasa, sehingga hamparan tanah
menjadi gersang dan bersifat asam akibat limbah tailing dan
batuan limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan (Nurjaya, 1993; Choi
& Huiagalung, 1998; More, 1994; Bchahriadi, 1998; Kantor MENLH, 2000).
Realitas yang terjadi
bahwa, pemanfaatan sumber daya alam yang semata-mata mementingkan target
peningkatan pendapatan dan devisa negara juga menimbulkan implika sosial dan
budaya yang cukup memperihatinkan. Banyak konflik mengenai hak penguasaan dan
pemanfaatan sumberdaya alam antara masyarakat adat/lokal dengan pemerintah atau
pemegang konsesi hutan dan pertambangan terjadi di berbagai kawasan Indonesia.
Kemiskinan juga mewarnai kehidupan masyarakat adat/lokal di tempat-tempat di
mana berlangsung kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam. Demikian pula,
berbagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia, terutama hak-hak masyarakat
adat/lokal mengiringi praktik-praktik pemanfaatan sumber daya alam selama tiga
dekade terakhir ini (Bodley, 1982; Poffenberger, 1990; Peluso, 1992; Reppeto
& Gillis, 1982; Bachriadi, 1998; Nurjaya, 2000).
Jika
kita dicermati secara substansial, persoalan-persoalan yang muncul dalam
pemanfaatan sumber daya dalam seperti diuraikan di atas sesungguhnya bersumber
dari anutan paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang bercorak sentralistik,
berpusat pada negara (state-based resource management), mengedepankan
pendekatan sektoral dan mengabaikan perlindungan hak-hak asasi manusia.
III.Karakteristik Peraturan
Perundang-Undangan Tentang Sumber Daya Alam
Instrumen
hukum yang berkaitan dengan sumber daya alam dalam sistem hukum hukum Indonesia
pada dasarnya memiliki karakteristik dan kelemahan-kelemahan substansial seperti
berikut:
- Berorientasi pada eksploitasi
sumber daya alam (resources use-oriented) sehingga
mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya
alam, karena hukum semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum (legal
instrument) untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi (economic
growth) dan peningkatan pendapatan dan devisa negara;
- Berorientasi dan berpihak pada
pemodal-pemodal besar (capital oriented), sehingga
mengabaikan akses dan kepentingan serta mematikan potensi-potensi
perekonomian masyarakat adat/lokal;
- Menganut ideologi penguasaan
dan pemanfaatan sumber daya alam yang berpusat pada negara/pemerintah (state-based
resource management), sehingga orientasi pengelolaan sumberdaya
alam bercorak sentralistik;
- Manajemen pengelolaan sumber
daya alam menggunakan pendekatan sektoral, sehingga sumber daya alam tidak
dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi (ecosystem);
- Corak sektoral dalam kewenangan
dan kelembagaan mennyebabkan tidak adanya koordinasi dan keterpaduan antar
sektor dalam pengelolaan sumber daya alam; dan
- Tidak diakui dan dilindunginya
hak-hak asasi manusia secara utuh, terutama hak-hak masyarakat adat/lokal
dan kemajemukan hukum dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Dalam
perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah menyadari adanya berbagai
kelemahan substansial di atas, maka sejumlah upaya perbaikan dilakukan dengan
membuat undang-undang baru dalam mengelola sumber daya alam, namun demikian,
persoalan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya alam masih belum terjawab dalam
substansi maupun implementasi dari undang-undang tersebut, karena masih
ditemukan kelemahan-kelemahan seperti berikut:
- Pemerintah masih mendominasi
peran dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam (state-dominated
resource management);
- Keterpaduan dan koordinasi
antar sektor masih lemali; ketiga, pendekatan dalam pengelolaan tidak
komprehensif;
- Hak-hak masyarakat adat/lokal
atas penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam belum diakui secara utuh;
- Ruang bagi partisipasi
masyarakat dalam pengeloaan sumberdaya alam masih diatur secara terbatas;
dan
- Transparansi dan akuntabilitas
pemerintah kepada publik dalam pengelolaan sumber daya alam belum
diatur secara tegas.
Sementara
itu, beberapa undang-undang seperti : (1) UU No. 5 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati; (2) UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah; dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi
Manusia, mengatur prinsip-prinsin penting yang mendukung pengelolaan sumber
daya alam yang adil, demokratis, dan berkelanjutan. Tetapi, prinsip-prinsip
global pengelolaan sumber daya alam antara lain seperti : konservasi dan
keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, transparansi dan partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan sumberdaya alam, desentralisasi, dan pengakuan dan
perlindungan atas hak-hak masyarakat adat/lokal, belum terakomodasi dan
terintegrasi dalam undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya
alam yang telah ada.
Oleh
karena itu, persoalan-persoalan mendasar dalam pengaturan mengenai pengelolaan
sumber daya alam yang berpotensi mengancam keberlanjutan fungsi sumberdaya alam
dan kelangsungan hidup bangsa perlu segera diselesaikan. Salah satu agenda
nasional yang mendesak untuk direalisasikan untuk menjamin kelestarian dan
keberlanjutan fungsi sumber daya alam, meningkatkan partisipasi masyarakat,
transparansi dan mendukung proses demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya
alam, menciptakan koordinasi dan keterpaduan antar sektor, serta mendukung
terwujudnya good environmental governance, adalah membentuk
undang-undang pengelolaan sumber daya alam yang mencerminkan prinsip-pnnsip
keadilan, demokratis, dan keberlanjutan fiingsi sumber daya alam.
Landasan
konstitusional untuk mewujudkan agenda nasional membentuk undang-undang
pengelolaan sumber daya alam pada dasarnya adalah :
- Alinea IV Pembukaan UUD 1945
yang menyatakan : "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
.............".
- Ketetapan MPR RI Nomor
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,
khususnya Pasal 6 yang pada pokoknya menyatakan: "Menugaskan kepada
DPR RI bersama Presiden untuk mengatur pelaksanaan agraria dan pengelolaan
sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua
undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan
Ketetapan MPR RI ini".
IV.Prinsip –Prinsip Pengelolaan Sumber
Daya Alam
Seiring dengan
berkembangnya isu hak asasi manusia, demokrasi, lingkungan hidup, dan
kesetaraan gender dalam pergaulan hidup dunia internasional, maka sedikit
banyak telah mempengaruhi pemikiran pemenntah dan kalangan organisasi non
pemerintah (ornop) di negara-negara maju maupun negara-negara sedang
berkembang, untuk meningkatkan manajemen pengeiolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, dan
keberlanjutan fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Prinsip
keadilan merujuk pada kebijakan pengelolaan sumber daya alam harus
direncanakan, dilaksanakan, dimonitoring, dan dievaluasi secara berkelanjutan,
agar dapat memenuhi kepentingan pelestarian dan keberlanjutan fiugsi
sumber daya alam dan lingkungan hidup dan juga kepentingan
inter-antar generasi maupun untuk keadilan gender.
Prinsip
demokrasi mengacu pada kebijakan pengelolaan sumber daya alam harus
mengakomodasi kewenangan pengelolaan antar pusat dan daerah, akses informasi
bagi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, partisipasi semua pihak
terkait(stakeholders), transparansi dan tidak diskriminatif dalam
pembuatan dan implementasi kebijakan, pertanggungjawaban kepada publik (public
acountability), koordinasi dan keterpaduan antar sektor, penyelesaian
konflik secara bijaksana, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia serta
pengakuan atas kemajemukan hukum (legal pluralism) dalam
pengelolaan sumber daya alam.
Dalam
kaitan ini, akses infonnasi (information access) memberi
jaminan kepada masyarakat untuk memberi kepada dan menerima informasi dari
pemerintah mengenai kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Transparansi (transparancy) memberi
jaminan adanya keterbukaan pemerintah dalam proses pengambilan keputusan serta
membuka ruang bagi peningkatan partisipasi dan pengawasan publik dalam
pengelolaan sumber daya alam. Partisipasi publik yang sejati (genuine
public participation) memberi kesempatan seluas-luasnya kepada
masyarakat dan semua pemangku kepentingan (stakeholders)untuk
mengambil bagian secara aktif, mulai dari tahapan idenrifikasi dan
inventarisasi, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai kegiatan evaluasi
implementasi kebijakan pengelolaan sumber daya alam.
Akuntabilitas
publik (public accountability) menegaskan pentingnya arti
pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelola sumber daya alam kepada rakyat,
khususnya pada tahapan perencanaan dan implementasi kebijakan yang menyangkut
kepentingan publik, atas segala tindakan yang dilakukan dalam pengelolaan
sumberdaya alam. Koordinasi dan keterpaduan antar sektor memberi ruang bagi
pengelolaan sumberdaya alam secara terintegrasi dengan saling memperhatikan
kepentingan antar sektor, sehingga dapat dibangun hubungan dan kerjasama yang
saling mendukung, dengan menempatkan kepentingan kelestarian dan keberlanjutan
fungsi sumber daya alam di atas kepentingan sektoral.
Desentralisasi
merujuk pada penyerahan
kewenangan dan tanggungjawab pengelolaan
sumber daya alam oleh pemerintah kepada daerah otonom,
sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan sesuai dengan karakteristik
wilayah masing-masing daerah otonom.
Perlindungan hak-hak
asasi manusia dan pengakuan atas kemajemukan hukum memberi jaminan bagi
pengakuan dan perlindungan pemerintah atas hak-hak masyarakat adat/lokal serta
kemajemukan sistem hukum mengenai penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Sedangkan, prinsip keberlanjutan
fungsi sumber daya alam adalah kebijakan pengelolaan sumberdaya alam harus
mampu menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya alam, baik manfaat
bagi negara maupun masyarakat secara seimbang dan proporsional serta manfaat
bagi generasi sekarang dan mendatang secara berkelanjutan.
Jika
dicermati dari karakteristik peraruran perundang-undangan yang berkaitan dengan
sumber daya alam seperti diuraikan pada bagian terdahulu, maka dapat dikritisi
bahwa prinsip-prinsip global pengelolaan sumber daya alam yang bernuansa adil,
demokratis, dan berkelanjutan belum secara utuh dan tegas diakomodasi dan
diintegrasikan dalam kaidah-kaidah hukum pengelolaan sumber daya alam yang ada.
Ideologi
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang tercermin dalam peraturan
perundang-undangan masih bercorak sentralisrik dengan mengacu pada manajemen
yang berpusat pada negara/pemerintah (state-based resource management).mengedepankan
pendekatan sektoral, berorientasi pada eksploitasi dengan mengabaikan
kepentingan konservasi dan keberlanjutan sumber daya alam demi pencapaian
target pertumbuhan ekonomi (economic oriented), mengutamakan
kepentingan pemodal-pemodal besar (capital oriented), hak-hak
asasi masyarakat belum diakui dan dilindungi secara utuh, membatasi ruang bagi
partisipasi masyarakat dan transparansi dalam pembuatan kebijakan, tidak
mengatur secara tegas mengenai akuntabilitas publik dalam pengelolaan surnber
daya alam, dan juga mengabaikan fakta kemajemukan hukum (legal
pluralism)yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
V.Rekonstruksi Ulang UU Nomor 5 Tahun 1960
(UUPA)
UUPA
adalah produk hukum nasional pertama yang mengatur tentang sumber daya alam.
UUPA mengartikan sumber daya alam (agraria) sebagai bumi, air, ruang angkasa
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa
"seluruh bumi, air dan ruang angkasa lermasuk kekavaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan
YME adalah bumi, air dan niang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan
national".
Berkaitan
dengan cakupan agraria ini, maka muncul pertanyaan, apakah sumber daya alam
yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu harus dipandang sebagai kesatuan ekologi yang utuh dan saling
terkait (ekosistem), atau dapat dipandang sebagai jenis-jenis sumber daya alam
yang bisa dikuasai dan dikelola secara terpisah? Dalam hubungan ini, UUPA
memang tidak secara tegas membahas mengenai keutuhan dan kesalingterkaitan
antara sumber daya alam ini, namun pengaturan tentang penguasaan tanah
membenkan jawaban pada pertanyaan itu. Pasal 4 ayat 2 UUPA menyatakan bahwa
hak-hak atas tanah memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah, tubuh bumi,
air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah dan dalam batas-batas yang diatur
oleh undang-undang.
UUPA
lebih banyak mengatur tentang dasar-dasar penguasaan sumber daya alam. Hanya
ada safu pasal yang mengatur tentang pengalokasian pemanfaatan sumber daya
alam. Pasai 14 yang menjadi dasar bagi perencanaan pengalokasian dan
pemanfaatan sumber daya alam (agraria) menyatakan bahwa perencanaan pemanfataan
sumber daya alam (agrana) dilakukan untuk keperluan negara, peribadatan, pusat
kehidupan sosial budaya dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan produksi
pertanian, peternakan, perikanan serta pengembangan industri, transmigrasi dan
pertambangan.
Sementara itu, berkaitan
dengan kelestarian pengelolaan sumber daya alam, UUPA hanya menyebutkan di
pasal 15 bahwa "memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya
serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-liap orang, badan hukum, atau
instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak
yang ekonominya lemah. "
Namun
demikian, realitas selama ini kebijakan pertanahan selama
pemerintahan orde reformasi ternyata masih bercorak sentralistik dan
telah menimbulkan dampak bagi sumber-sumber agraria, terutama degradasi kualitas
tanah pertanian yang banyak dialihfungsikan menjadi areal perumahan mewah (real
astate), kawasan industri, dan bahkan menjadi komoditi untuk investasi
dan spekulasi para pemilik modal yang mengakibatkan tanah diterlantarkan dalam
jangka waktu yang tidak tertentu.
Implikasi sosial-budaya
yang ditimbulkan adalah terjadinya berbagai konflik vertikal maupun horisontal
di daerah antara masyarakat dengan pemerintah atau masyarakat dengan pemodal
besar, karena terjadi penggusuran atau pengabaian atas hak-hak masyarakat
adat/Iokal dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria.
UUPA
yang secara tegas menyatakan berlandaskan hukum adat, memberikan batasan pada
hukum adat. Dalam pasal 5 disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas
bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan pada persatuan bangsa,
dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum
dalam UUPA dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, serta segala
sesuatu yang mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama.
Pilihan
untuk menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional dilakukan
mengingat UUPA dimaksudkan sebagai undang-undang yang bersumber dan kesadaran
hukum rakyat banyak. Dalam kenyataannya bagian terbesar dan rakyat Indonesia
tunduk pada hukum adat. Namun, UUPA memandang bahwa hukum adat perlu
disempurnakan karena dalam perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kolonial
yang kapitalistik dan masyarakat swapraja yang feodal.
Penyempurnaan hukum adat
dilakukan melalui penyesuaian dengan kepentingan masyarakat dalam konteks
negara moderen dan hubungan negara dengan dunia internasional serta sosialisme
Indonesia (penjelasan umum III angka 1).
Dalam
kenyataannya, tanpa kriteria yang jelas. kepentingan bangsa dan negara acapkali
ditafsirkan sama dengan kepentingan beberapa kelompok orang yang sedang
memegang kekuasaan (pemerintah). Dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa dan
negara maka hak-hak rakyat atas sumber daya agraria yang bersumber dari hukum
adat sering diabaikan. Hak-hak rakyat yang dalam bahasa UUPA dikatakan sebagai
hak ulayat dan hak serupa itu diberikan dalam konteks kesesuaiaannya dengan
kepentingan nasional dan kepentingan negara yang tidak terdefinisikan secara
jelas serta kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan lain yang pada
kenyataannya justru mengingkari hak-hak masyarakat adat.
Meskipun
UUPA memberikan pengakuan yang mendua pada masyarakat adat, namun untuk
perorangan warga negara Indonesia, cukup diberikan peluang untuk mendapatkan
hak individual atas tanah. Pasal 16 UUPA memberikan berbagai peluang untuk
menguasai tanah dengan berbagai alas hak: hak milik, hak guna bangunan. hak
guna usaha. hak pakai, hak sewa, dan sebagainya.
UUPA
menganut pandangan bahwa urusan agraria pada dasar-nya adalah urusan pemerintah
pusat. UUPA tidak mengatur secara ricni tentang kewenangan dan peran pemerintah
daerah. Kewenangan pemenntah daerah adalah pelaksanaan dan" tugas
pembantuan.
Pemerintah,
atau lebih khusus lagi pemerintah pusat menempati peran srrategis dalam UUPA.
Dengan demikian dapat dipahami jika partisipasi publik tidak mendapat ruang
dalam undang-undang ini.
Penegakan
hukum dalam UUPA utamanya diarahkan pada pelanggaran kewajiban memelihara tanah
dari para pemegang hak atas tanah, pendaftaran tanah pelanggaran berkaitan
dengan hak milik adat, penggunaan tanah bukan oleh pemilik, dan pelanggaran
ketentuan peralihan hak atas tanah.
UUPA tidak memberikan
penjelasan mengapa penegakan hukum hanya diberikan pada hal-hal tersebut,
tetapi tidak pada hal lain, seperti halnya pelanggaran dalam prosedur
pencabutan hak atas tanah atau tidak terpenuhinya berbagai kewajiban pemerintah
yang ditetapkan dalam UUPA.
Jika
prinsip-prinsip global pengelolaan sumber daya alam seperti dimaksud pada
uraian terdahulu diakomodasi dan diintegrasikan ke dalam instrumen hukum
nasional, maka substansi peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup harus mengandung ciri-ciri seperti
berikut:
- Orientasi pengelolaan ditujukan
pada konservasi sumber daya alam (resources oriented)untuk
menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam bagi kepentingan
inter dan antar generasi.
- Pendekatan yang digunakan
bercorak komprehensif dan terintegrasi (komprehensif-integral), karena
sumber daya alam merupakan satu kesatuan ekologi (ecosystem).
- Mengatur mekanisme koordinasi
dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam.
- Menganut ideologi pengelolaan
sumber daya alam yang berbasis masyarakat (community-based
resource management).
- Menyediakan ruang bagi
partisipasi publik yang sejati (genuine public participation) dan
transparansi pembuatan kebijakan sebagai wujud demokratisasi dalam
pengelolaan sumberdaya alam.
- Memberi ruang bagi pengakuan
dan perlindungan hak-hak asasi manusia, terutama hak-hak masyarakat
adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam.
- Menyerahkan wewenang
pengelolaan sumber daya alam kepada daerah berdasarkan prinsip
desentralisasi (decentralisation principle), sehingga
pengelolaan sumber daya alam dapat dilakukan sesuai dengan karakteristik
wilayah.
- Mengatur mekanisme pengawasan
dan akuntabilitas pengelola sumber daya alam kepada publik (public
accountability)
- Mengakui dan mengakomodasi
secara utuh kemajemukan hukum (legal pluralism}pengelolaan
sumber daya alam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Untuk
mencapai tujuan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang adil,
demokratis, dan berkelanjutan dengan karakteristik perundang-undangan yang
mencerminkan prinsip-prinsip di atas, maka direkomendasikan tahapan-tahapan kegiatan
akademik seperti berikut:
- Melakukan inventarisasi
terhadap perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya
alam;
- Melakukan kaji-ulang (review)
atas perundang-undangan yang telah diinventarisasi dengan mengacu pada
variabel-variabel keadilan, demokratis, dan berkelanjutan seperti
diuraikan pada bagian terdahulu;
- Menyampaikan hasil kaji-ulang
kepada pemerintah dan lembaga legislatif untuk melakukan revisi dan/atau
penggantian terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak mencerminkan
prinsip-prinsip keadilan, demokratis, dan berkelanjutan;
- Menyusun background
paper dan naskah akademik untuk penyusunan rancangan
undang-undang tentang pengelolaan sumber daya alam dengan melibatkan stakeholdersdari
masyarakat adat, organisasi nonpemerintah, organisasi pelaku dunia usaha,
pemerintah (daerah), dan perguruan tinggi;
- Menyampaikan naskah akademik
dan rancangan undang-undang tersebut kepada pemerintah dan legislatif
untuk memperoleh bahasan, persetujuan dan pengesahan inenjadi produk hukum
nasional di bidang pengelolaan sumber daya alam.
2 komentar:
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Play Free Slot Machine Games at JTG Hub
For instance, it 당진 출장마사지 was a 영천 출장샵 free game developed by Big Time 속초 출장샵 Gaming, the company responsible for creating the free spins and 경산 출장마사지 multipliers 서울특별 출장샵 games. However,
Posting Komentar