SEJARAH HUKUM LAMBANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA
(Membaca Semiotika Hukum Pancasila Dalam Lambang Negara "Elang Rajawali Garuda Pancasila")*
Oleh: Turiman Fachturahman Nur
Email qitriaincenter@yahoo.co.idAbstrak
Sesungguhnya setiap negara modern di dunia ini memiliki atribut kenegaraan dan salah satunya adalah lambang negara dan bagi negara hukum Republik Indonesia yang telah memilih lambang negara berbentuk Rajawali–Garuda Pancasila sesungguhnya disadari atau tidak bukan hanya sekedar suatu simbol kenegaraan atau atribut negara, tetapi lambang negara tersebut adalah simbolisasi identitas negara, dasar negara: Pancasila dan jatidiri bangsa Indonesia.Berdasarkan sejarah hukum perancangannya merupakan rancangan terbaik dari anak bangsa Sultan Hamid II melalui proses yang panjang dimasa RIS 1949-1950 sebagai amanah Konstitusi RIS 1949[1] yang telah diteliti secara ilmiah dalam bentuk tesis di S2 UI tahun 1999 dan merupakan penelitian pertama dan satu-satunya di Indonesia[2], namun demikian pada sisi ontologi, epistemologi, aksiologi masih meninggalkan permasalahan akademis: mengapa, karena secara analisis semiologi terjadi pergeseran lambang dari figur burung Garuda ke figur burung Elang Rajawali, kemudian bagaimana kronologis sejarah penciptaa/perancangannya dan mengapa ideologi Pancasila disimbolisasikan dengan konsep "thawaf' oleh Sultan Hamid II. Analisis inilah kemudian disebut sebagai semiotika hukum Pancasila baik sebagai dasar negara, filosofis bangsa, dan sumber hukum dari sumber hukum negara
Kata Kunci : Pembacaan Pancasila, Kronologis Sejarah Lambang Negara, Konsep Pancasila Thawaf
A. Pembacaan Pancasila selama ini terbelenggu Konsep Logosentrisme ke"hirarkis Piramida"
Sesungguhnya setiap negara modern di dunia ini memiliki atribut kenegaraan dan salah satunya adalah lambang negara dan bagi negara hukum Republik Indonesia yang telah memilih lambang negara berbentuk Rajawali–Garuda Pancasila sesungguhnya disadari atau tidak bukan hanya sekedar suatu simbol kenegaraan atau atribut negara, tetapi lambang negara tersebut adalah simbolisasi identitas negara, dasar negara: Pancasila dan jatidiri bangsa Indonesia.[3]
Berdasarkan sejarah hukum perancangannya merupakan rancangan terbaik dari anak bangsa Sultan Hamid II melalui proses yang panjang dimasa RIS 1949-1950 sebagai amanah Konstitusi RIS 1949[4] yang telah diteliti secara ilmiah dalam bentuk tesis di S2 UI tahun 1999 dan merupakan penelitian pertama dan satu-satunya di Indonesia[5], namun demikian pada sisi ontologi, epistemologi, aksiologi masih meninggalkan permasalahan akademis: mengapa, karena secara analisis semiologi terjadi pergeseran lambang dari figur burung Garuda ke figur burung Elang Rajawali, kemudian bagaimana kronologis sejarah penciptaa/perancangannya dan mengapa ideologi Pancasila disimbolisasikan dengan konsep "thawaf' oleh Sultan Hamid II. Analisis inilah kemudian disebut sebagai semiotika hukum Pancasila baik sebagai dasar negara, filosofis bangsa, dan sumber hukum dari sumber hukum negara[6].
Secara teoretik selama ini secara akademik belum ada analisis paparan mengkritiksi secara teoretik doktrin filsafat hukumnya terhadap pemahaman-pembacaan Pancasila berstruktur hirarkis piramida dalam kaitannya dengan sejarah hukum perancangan lambang negara, karena berdasarkan teks normatif Pasal 3 PP No 66 Tahun 1951 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU No 24 Tahun 2009 menyatakan Garuda yang digantungi perisai dengan memakai paruh, sayap, ekor dan cakar mewujudkan lambang tenaga pembangun (creatief vermogen) dan berdasarkan secara historis penjelasan Pasal 3 PP No 66 Tahun 1951 tersebut dijelaskan lambang tersebut dikenal pada peradaban Indonesia-Burung Garuda dari mytologi menurut perasaan Indonesia berdekatan dengan burung elang Rajawali, umumnya garuda terkenal baik oleh archeologi, kesusasteraan dan mitologi Indonesia, kemudian ditengah-tengah perisai yang berbentuk jantung itu terdapat lima buah ruang pada perisai itu masing-masing mewujudkan dasar Pancasila selanjutnya dijelaskan, bahwa perisai atau tameng dikenal oleh kebudayaan dan peradaban Indonesia sebagai senjata dalam perjuangan mencapai tujuan dengan melindungi diri. Perkakas perjuangan yang sedemikian dijadikan lambang, wujud artinya tetap tidak berubah-rubah, yaitu lambang-perjuangan dan perlindungan, dengan mengambil bentuk perisai itu, maka Republik Indonesia berhubungan langsung dengan peradaban Indonesia asli.[7]
Secara ontologi[8] yang menarik untuk dianalisis dengan pendekatan semiologi adalah jika benar burung garuda diangkat dari mitologi bangsa Indonesia, mengapa bentuk lambangnya terjadi pergeseran dari figur burung Garuda menjadi burung elang Rajawali, apakah terjadi pergeseran filosofis dan latar belakang filosofis apa yang hendak disampaikan oleh Sultan Hamid II dan, Presiden Soekarno serta bagaimana latar belakang sejarah (kronologis) hukum proses perancangannya.
Secara epistemologi[9] adalah menarik karena lambang pada perisai pada lambang negara sesungguhnya merupakan simbolisasi Pancasila[10], baik sebagai ideologi, dasar negara maupun filosofis bangsa Indonesia serta sumber hukum dari sumber hukum negara, sehingga secara teoritis lambang negara dalam konsep bernegara hukum Indonesia adalah mempresentasikan ide, perasaan, pikiran dan tindakan bangsa Indonesia dalam bernegara hukum, pertanyaannya apakah dengan telah menetapkan Pancasila sebagai cita hukum, dan apakah dengan pernyataan identitas sebagai negara hukum segala sesuatu sudah selesai ? apakah tidak ada hal lain yang masih perlu dijawab melampaui konsep bernegara hukum yang berdasarkan Pancasila khsususnya dalam pemaknaan –pembacaan Pancasila dalam Lambang Negara sebagai Rechtsidee/cita hukum bagi penstudi hukum dan khasanah Ilmu Hukum Tata Negara di Indonesia?.
Secara aksiologi, bahwa Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa negara hukum yang dibentuk pada Tahun 1945 itu ibarat rumah yang belum selesai benar. Negara hukum ada bukan untuk negara hukum itu sendiri, melainkan untuk menjadi rumah yang membahagiakan bagi penghuninya. Negara hukum Indonesia perlu terus menerus menegaskan identitasnya, yang belum tuntas dipikirkan oleh para bapak kemerdekaan kita dan menjadi tugas kitalah untuk lebih menegaskan identitas tersebut.[11]
Berdasarkan kegilasan Satjipto Rahardjo itulah identitas tersebut dicari, karena apabila benar lambang negara Garuda Pancasila khususnya simbol-simbol dalam lima buah pada ruang dalam perisai merupakan simbolisasi yang mewujudkan dasar Pancasila sebagaimana dinyatakan Presiden Soekarno pada pidato kenegaraan 22 Juli 1958, maka analisis semiotika hukum Pancasila pada lambang negara adalah merupakan konsep teoretis bernegara hukum berparadigma Pancasila yang penulis sebut Paradigma Pancasila ber"thawaf" dalam negara hukum yang demokrasi berdasarkan teokrasi, itulah sesungguhnya kekayaan rohani dan intelektual yang terkristalisasi dan menjadi pilihan sebagai Groundsnorm atau Rechtsidee/Cita Hukum bagi bernegara hukum Indonesia yang sudah semestinya menemukan jalan masuknya sendiri ke dalam bangunan hukum kita, sekalipun akan menyebabkan ketidak sesuaian dengan model, standar yang dominan di dunia atau doktrinal falsifikasi Pancasila yang dipahami selama ini yaitu struktur hirarkis piramida.
Realitas sejarah hukum das seinnya, bahwa teori Pancasila sejak diresmikan lambang negara sebagai simbolisasi Pancasila, 1950 pada masa konstitusi RIS 1949 (11 Februari 1950), sampai dengan amandemen ke kedua UUD 1945, tahun 2000, dipahami dengan Stufentheory Hans Kelsen, seperti yang direkonstruksi oleh Notonagoro, UNAIR,1955 pada Pidato Dies Natalis 10 November 1955 dengan menempatkan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm[12] yang diterima kalangan luas sudah diterima sebagai suatu communis opinio doctorum, kemudian pada perkembangan selanjutnya diformulasikan pada TAP MPRS NO XX/1966 dalam lampiran, bahwa Sumber dari segala Tertib Hukum Indonesia adalah Pandangan Hidup, kesadaran dan cita-cita hukum, serta cita-cita mengenai..........dan seterusnya – Pancasila, kemudian TAP MPR No XX Tahun 1966, diganti dengan TAP MPR NO III TAHUN 2000 –Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum, berkembang lagi pemahaman Pancasila sebagai Cita hukum konstitutif dan regulative A. Hamid S Attamimi 1993 dan pemahamannya masih bersandar pada paradigma Positivisme melalui teori muridnya Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky[13] dan dikembangkan seterusnya oleh Maria Farida Indrati Soeprapto[14] ketika membahas hirarki peraturan perundang-undangan (teori jenjang norma hukum), sedangkan secara das Sollen mengacu historisitas semiotika hukum dalam mewujudkan ideologi Pancasila pada Lambang Negara pada tahun 1950 atau simbolisasi Pancasila sebenarnya sudah melampaui jauh dari struktur hirarkis piramida Hans Kelsen, tetapi membentuk struktur ber"thawaf", yang kemudian dinamakan Pancasila "berthawaf"[15] selanjutnya diformulasikan secara verbal ke dalam amandemen UUD 1945 kedua dengan rumusan Lambang Negara Republik Indonesia ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, (Pasal 36 A) kemudian diformulasikan lebih lanjut kedalam UU No 24 Tahun 2009, pasal 48 sedang Pancasila dalam hubungannya dengan peraturan perundang-undangan ditegaskan dalam UU No 10 Tahun 2004 tentang Pedoman penyusunan Peraturan Perundang-undangan, pada Pasal 2 UU No 10 Tahun 2004 : Pancasila merupakan sumber dari sumber hukum negara. Penjelasan Pasal 2: Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah sesuai dengan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan[16] tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Rumusan teks kenegaraan (yuridis normatif) tentang Pancasila di atas yang menyatakan Pancasila sebagai sumber dari sumber hukum negara adalah sebuah pernyataan yang menurut peneliti tetap menimbulkan problematika ontologis dan merambat ke epistemologis serta aksiologis apabila pemaknaan dan atau pembacaan Pancasila masih strukturnya dipahami dengan struktur hirarkis piramida berdasarkan teori Hans Kelsen yang beraraskan positivisme[17], karena berdasarkan semiotika hukum Pancasila pada lambang negara sebagaimana gambar resminya menjadi lampiran PP No 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara kemudian dipertegas dalam UU No 24 Tahun 2009[18] sesungguhnya tidak lagi berkonsep hirarkis piramida tetapi berkonsep ber"thawaf'- Gilir balik sebagaimana dijelaskan oleh Sultan Hamid II dalam transkripnya 1967.[19].
Pemahaman atau pembacaan Pancasila yang hirarkis piramida membawa konsekuensi penjabaran nilai-nilai Pancasila secara yuridis harus diderivasikan ke dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia dan selanjutnya pada seluruh peraturan perundang-undangan lain. Dalam kedudukan seperti ini Pancasila telah memiliki legitimasi filosofis, yuridis, dan politis. Didalam kapasitas ini Pancasila telah diderivikasikan dalam norma-norma dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan[20] yang menutup pemaknaan-pembacaan Pancasila yang baru dari saat kelahirannya (sejarah perancangan Pancasila) sebagai satu-satunya penafsiran Pancasila.
Dengan demikian proses penafsiran atau pembacaan dan pemaknaan terhadap Pancasila secara hukum menjadi terpusat, dimana Pancasila sebagai pusat dipandang telah memiliki makna yang absolut atau dengan kata lain makna yang definitif. Makna setiap Pancasila kemudian menjadi pasti, dan kaku karena proses penafsiran atau pemaknaan mengarah kepada struktur hirarkis piramida yang sesungguhnya sudah tidak tepat lagi jika dipersandingkan dengan semiotika hukum simbolisasi perwujudan dasar Pancasila pada Lambang Negara yang dirancang oleh Sultan Hamid II sebagaimana gambar lambang negara resminya tercantum dalam lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 yang selanjutnya menjadi lampiran UU No 24 Tahun 2009[21], mengapa tidak mengganti Piramida dengan sesuatu yang lebih cair? Seperti lingkaran, sebuah piramida adalah kaku dan membatasi sebuah lingkaran dipenuhi dengan berbagai kemungkinan (Ricardo Semler; Maverick)[22] oleh karena itu secara analisis pendekatan semiologi dalam hal ini semiotika hukum Pancasila dalam Lambang Negara Rajawali-Garuda Pancasila adalah sebuah keniscayaan, terinspirasi hal tersebut, maka penulis sampai pada usulan kajian buku ini menawarkan sebuah teori[23] lingkaran dimaksud yang kemudian dinamakan Teori Pancasila berthawaf-Gilir Balik atau disingkat Teori Pancasila "berthawaf"[24] yang divisualisasikan secara simbolik oleh Sultan Hamid II dan termaknakan secara semiotika hukum pada Lambang Negara Rajawali Garuda Pancasila berserta aplikasinya dalam penjabaran nilai-nilai Pancasila dalam asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan struktur jenis peraturan perundang-undangan[25] dengan menggunakan konsep ber”thawaf” dengan dua pisau analisis, yaitu sejarah hukum perancangan lambang negara RIS sejak tahun 1950 dan analisis semiotika hukum Pancasila sebagai simbolisasi ideologi Pancasila dalam lambang negara di negara hukum Republik Indonesia yang kemudian menjadi amandemen kedua UUD 1945, Pasal 36 A Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika[26] dengan pendekatan utama semiotika hukum dalam ranah ilmu hukum tata negara.
Patut diketahui, bahwa Pembacaan Pancasila selama ini terpengaruh pola pikir Cartesian Newtonian dalam positivisme hukum[27] salah satunya adalah Pembacaan Pancasila dari Logosentrisme ke Relasi Hirarkhis, sebagaimana pandangan Anton F. Susanto:
"Saat ini kalau kita berbicara tentang Pancasila kaitannya dengan hukum maka selalu memiliki kecenderungan umum bahwa, Pancasila ditempatkan sebagai bagian yang paling tinggi dari model piramida hukum di Indonesia, sebagaimana dijelaskan oleh Shidarta ketika menggambarkan posisi para penstudi hukum di Indonesia, Pancasila menjadi "bintang Pemandu' atau leitstern, yang lapisan-lapisan materinya berisi subtansi hukum dan tiang kerankanya struktur hukum, serta lingkungannya adalah budaya hukum. Dardji Darmodihardjo menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dengan menggambarkan gagasan dari Hans Kelsen tentang Reine Rechtslehre, Grundnorm atau Unsprungnorm. Darji Darmodihardjo menjelaskan, Pancasila dibuat (dalam arti digali) oleh bangsa Indonesia yang merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri...Dilihat dari kedudukannya, Pancasila menempati kedudukan yang paling tinggi, yakni sebagai cita-cita serta pandangan hidup bangsa dan negara Republik Indonesia...Dengan menjadi Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, berarti kita menjadikan Pancasila sebagai ukuran dalam menilai hukum kita. Aturan-aturan hukum diterapkan dalam masyarakat harus mencerminkan kesadaran dan rasa keadilan sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila dan hal yang sama akan ditemukan dalam pandangan-pandangan pemikir hukum di Indonesia yang menempatkan Pancasila sebagai cita hukum yang bersifat hirarkis.[28]
Sebagaimana kita ketahui di Indonesia oleh sebagian besar para penstudi hukum, bahwa konsep pembacaan Pancasila sampai saat ini lebih banyak mengacu pada konsep hirarkis piramida Notonagoro yang dikemukakannya dalam Pidato Dies Natalis Universitas Air Langga pada 10 November 1955 dan menjadi sandaran ketika membahas filsafat Pancasila, sedangkan konsep yang dipaparkan Sultan Hamid II 1950 ketika memvisualisasikan Pancasila dalam perisai Lambang Negara jauh lebih visioner dan brilian, bahkan melampaui konsep hirarkis piramida Pancasila. Penulis menyebutnya pembacaan Pancasila dengan model ber"thawaf“ .
Notonagoro mengemukakan, dalam bukunya Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia, 1962 mengemukakan: "Susunan Pancasila adalah hierarchis dan mempunyai bentuk piramidal. Kalau dari inti sarinya, urut-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian singkat dalam luasnya ini, tiap-tiap sila yang dibelakang sila lainnya merupakan pengkhuususan dari pada sila-sila yang dimukanya.
Untuk memperjelas pandangan Notonagoro, maka berikut ini dipaparkan uraiannya lebih jelas sebagaimana disitir oleh Kaelan : "Pancasila yang terdiri atas lima sila yang merupakan suatu kesatuan yang bersifat majemuk tunggal tersebut pada hakikatnya kesatuan kelima sila tersebut adalah bersifat hirarki dan berbentuk piramida. Kesatuan sila-sila pancasila tersebut adalah merupakan suatu kesatuan yang bertingkat (hierarkies) dan berbentuk piramida.[29]
Pengertian matematika piramida dipergunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhi sila-sila pancasila dalam hal urut-urutan luas (kuantitas) dan juga dalam hal isi sifatnya (kualitas). Kalau dilihat dari intinya, maka urut-urutan kelima sila menunjukkan suatu rangkaian bertingkat dalam hal luasnya dan isi sifatnya, setiap sila yang dibelakang sila lainnya adalah lebih sempit luasnya akan tetapi lebih banyak isi sifatnya, merupakan pengkhususan dari sila-sila di mukanya.
Rumusan hubungan kesatuan sila-sila Pancasila yang bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal tersebut bilamana dirumuskan dengan diagram yang sederhana, adalah sebagai berikut: Penjelasan : Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila-sila 2, 3, 4 dan 5 Sila 2, diliputi, didasari dan dijiwai sila 1, serta mendasari dan menjiwai sila-sila 3,4, dan 5. Sila 3, diliputi, dijiwai sila 1 dan 2, serta meliputi, mendasari dan menjiwai sila-sila 4 dan 5. Sila 4, diliputi, didasari dan dijiwai sila 1,2 dan 3 serta meliputi, mendasari dan menjiwai sila 4 Sila 5, diliputi, didasari dan dijiwai sila-sila 1,2,3, dan 4.
Ilustrasi di atas memberikan konsep bahwa rumusan hubungan Kesatuan Sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi. Kesatuan sila-sila Pancasila yang "Majemuk Tunggal", "Hierarkhis Piramida;" juga memiliki sifat saling mengkualifikasi dan saling mengisi. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam setiap sila terkandung nilai-nilai keempat sila lainnya, atau dengan lain perkataan dalam setiap sila senantiasa dikualifikasi oleh keempat sila lainnya [30]
Berdasarkan paparan di atas, maka ada tiga paparan tematik yang akan diajukan dalam makalah ini, yaitu :
Pertama, Adanya Pergeseran semiotika Hukum terhadap Figur Burung yang dijadikan Lambang Negara Republik Indonesia.
Kedua, Kronologis Sejarah Hukum Penciptaan/Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia.
Ketiga, Pembacaan Pancasila secara semiotika hukum berdasarkan Lambang Negara Republik Indonesia.
B. Pergeseran Semiotika Hukum Figur Yang Dipilih Dari Lambang Negara Republik Indonesia
Pertanyaannya akademisnya adalah apakah sebuah lambang negara bisa dirancang dari sebuah mitos yang berkembang dalam suatu peradaban bangsa itu sendiri. Menurut Tommy F. Awuy,"akal budi kritis mitos memang bertentangan dengan tujuannya membangun cara berfikir akademis"[31] Mitos memiliki arti penting dia bukanlah sekedar legenda mengenai asal-usul terjadinya segala sesuatu dan ceritera tentang kesaktian para dewa-dewi atau para leluhur. Mitos membentuk cara berada manusia. Para filsuf yunani kuno sangat yakin bahwa dengan filsafat,manusia baru menemukan peradaban agung secara revolusioner sebagaimana Socrates dan Plato membuang mitos. Namun demikian mitos tidak serta merta berhenti sampai di sana ia terus memikat dan bertambah kaya pengertiannya.
Mitos bisa diartikan sebagai upaya rasio untuk keluar dari keterbatasan pengetahuannya atas dunia benda-benda dengan membangun narasi secara spekulatif, metafisika dalam hal ini tidak berbeda dengan mitos, mitos juga sering dipandang sebagai ceritera yang digunakan untuk kebudayaan guna menjelaskan atau memahami beberapa aspek dan realitas atau alam. Mitos primitif berkenan dengan hidup dan mati, manusia dan dewa,baik dan buruk. Mitos kita yang lebih bertakik-takik adalah tentang maskulinitas dan feminitas, tentang keluarga,tentang keberhasilan,tentang polisi Indonesia,atau tentang ilmu.
Barthes menjelaskan sesuatu yang berbeda tentang mitos, menurutnya mitos adalah tipe wicara[32],namun dia bukan sembarang tipe, tetapi lebih kepada yang dikenal dengan sistem komunikasi,yakni sebuah pesan .dalam pandangan Barthes mitos bukanlah segala sesuatu yang berkaitan dengan apa yang disebut diatas,tetapi mitos adalah segala sesuatu,sebagaimana dikatakan Barthes' Lantas benarkah segala sesuatu bisa menjadi mitos?'menurutnya 'Ya',saya percaya sebab alam semesta ini ditumbuhi begitu subur oleh berbagai nasehat, segala objek di dunia ini dapat lolos dari suatu eksistensi yang diam dan tertutup menjadi eksistensi oral yang terbuka untuk ditafsirkan oleh masyarakat, bagi Barthes mitos merupakan cara pikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu.Barthes memikirkan mitos sebagai matarantai dari konsep-konsep terkait,juga melihatnya sebagai satu bagian dengan apa yang diperkenalkan oleh Saussure,yaitu Semiology.
Menurut Barthes, cara kerja mitos adalah untuk menaturalisasikan sejarah,dan ini memperhatikan bahwa mitos sebenarnya merupakan produk kelas sosial yang telah mencapai dominasi melalui sejarah tertentu, maknanya sebagai alami,dan bukan bersifat historis atau sosial.para ahli mitologi mengungkapkan sejarah tersembunyi sehingga cara kerja sosial politik mitos adalah dengan melakukan 'demistifikasi'mitos.
Hanya yang menarik adalah bahwa Sultan Hamid II setelah rancangan lambang negara yang diserahkan tanggal 8 Februari 1950 direvisi oleh salah satu anggota Panitia Lambang Negara ; M Natsir karena keberatan terhadap gambar burung Garuda yang memegang perisai Pancasila, ternyata terjadi pergeseran ikon (gambar) bukan lagi menggunakan figur burung Garuda dalam mitologi tetapi bergeser kepada figur burung Elang Rajawali, pertanyaannya apa yang menjadi latar belakang Sultan Hamid II merubah gambar (ikon) dari figur burung Garuda ke figur burung Elang Rajawali ?
Jika kita mengacu pada keterangan Max Yusuf Al Kadrie, mantan sekretaris pribadi Sultan Hamid II menyatakan:[33] "...tetapi menurut Max Yusuf , Sultan Hamid II sama sekali tidak mengacu pada elang jawa ketika merancang, Ia menggunakan elang Rajawali yang berukuran jauh lebih besar seperti kebanyakan lambang yang dibuat negara lain dengan tujuan agar bangsa Indonesia bisa tumbuh sama besar dan sama kuat dengan negara-negara lain di dunia."
Keberatan M Natsir sebagai salah satu anggota Panitia Lambang Negara, 1950 yang berlatar belakang Masyumi terhadap unsur mitologis dengan penggambaran "manusia burung" sebagai lambang negara sangat berdampak pada bentuk rancangan selanjutnya. Rancangan Sultan Hamid II yang sejak semula mereferensi Lambang negara Eropa, khususnya Polandia serta beberapa lambang negara Timur Tengah dimana semua mengacu pada burung elang atau Rajawali, seakan menjadi solusi yang tepat.[34]
Berkaitan dengan lambang militer dan lambang negara Polandia sebagaimana dinyatakan oleh Sultan Hamid II dalam transkripnya: [35]
"..disamping itu saja djuga mempergunakan bahan-bahan lambang negara lain jang djuga figurnja burung elang/jang mendekati burung Garuda dan saja tertarik dengan gambar-gambar lambang negara dan militer negara Polandia, karena latar belakang pendidikan saja ketika di K.M.A Breda djuga mempeladjari makna-lambang-lambang militer berbagai negara dan lambang-lambang negara di Eropah dan negara-negara Arab serta Amerika djuga di kawasan Asia jang memakai figur burung.
Hal ini selaras dengan penelitian penulis sendiri ketika melakukan investigasi ke Konsulat kedutaan Negara Polandia, 1999, karena menurut hasil wawancara penulis dengan Max Yusuf ,1999 menyatakan, bahwa Sultan Hamid II juga tertarik dengan lambang-lambang negara Polandia yang memiliki akar sejarah mengacu kepada burung Elang Rajawali demikian juga negara-negara Arab.
Jika kita menelusuri sejarah mitologi burung elang Rajawali dalam sejarah perjalanan lambang-lambang militer Polandia dan membandingkan gambar (ikon)-nya dan kemudian dipersandingkan dengan coretan rancangan gambar yang dibuat oleh Sultan Hamid II, maka secara semiotika hukum lambang cukup terpengaruh, tetapi dari sisi semiotika dan pertanyaannya adalah seberapa miripkah sketsa awal rancangan Lambang Negara Sultan Hamid II dengan figur burung Elang Rajawali Putih negara Polandia?
Berikut ini semiotika lambang sebagaimana yang dijelaskan oleh Kryztof, Stefan Kuczynski. "Orzel Bialy-Herb Polski Iznak Polakow" Translation In English By Andezey. "The White Eagle-70 Years of the coat of Arms of the Polish State. Kedutaan Besar Negara Polandia, 1992.
Mengapa mengambil figur Burung Dalam Lambang Negara ? Berdasarkan pada mitologi sejarah baik Garuda maupun Elang Rajawali di atas, memberikan sebuah pemahaman, bahwa sebuah lambang negara ternyata berkaitan erat dengan idealisme bangsa, atau identitas nasional suatu negara, oleh karena pergeseran gambar dari figur burung garuda dalam mitologi kepada figur burung elang Rajawali yang dirancang Sultan Hamid II tentunya memiliki arti sendiri bagi bangsa Indonesia, jika kita mengajukan pertanyaan mengapa Sultan Hamid II memilih Burung Elang Rajawali sebagai ikon (gambar) Lambang Negara Indonesia, mengapa tidak figur burung Garuda seperti sketsa awal? Sesungguhnya dibalik simbol lambang negara, ada konsep pesan tersurat dan tersirat, mengapa demikian?, Pidato Presiden Soekarno memberikan paparan yang berkaitan dengan lambang negara di Istana Negara, tanggal 22 Juli 1958 yang intinya antara lain kegagahan Burung Rajawali Garuda Pancasila, dan kaitannya lambang negara dengan dasar negara Pancasila.
Adapun isi selengkapnya pidato tersebut sebagai berikut: [36]
“Saudara-saudara, lihatlah Lambang Negara kita di belakang ini, alangkah megahnya, alangkah hebat dan cantiknya. Burung Elang Rajawali, garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 buah, dengan ekor yang berelar 8 buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang berkalungkan perisai yang di atas perisai itu tergambar Pancasila. Yang di bawahnya tertulis seloka buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika", Bhina Ika Tunggal Ika, Berjenis-jenis tetapi tunggal. Pancasila yang tergambar di pusat bintang cermelang atas dasar hitam, sinar cermerlang abadi dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, pohon beringin lambang kebangsaan. Rantai yang terdiri dari pada gelang-gelangan dan persegi dan bundar yang bersambung satu sama lain dalam sambungan yang tiada putusnya, peri kemanusiaan.Banteng Indonesia lambang kedaulatan rakyat. Kapas dan padi lambang kecukupan sandang-pangan, keadilan sosial. Lihatlah sekali lagi, aku berkata indahnya Lambang Negara ini, yang menurut pendapat saya Lambang Negara Republik Indonesia ini adalah yang terindah dan terhebat dari pada seluruh lambang-lambang Negara di muka bumi ini. Saya telah melihat dan mempelajari lambang-lambang negara yang lain-lain. Tapi tidak ada satu yang sehebat, seharmonis seperti Lambang Negara Republik Indonesia. Lambang yang telah dicintai oleh rakyat kita sehingga jikalau kita masuk ke desa-desa sampai kepelosok-pelosok yang paling jauh dari dunian ramai, lambang ini sering dicoretkan orang di gardu-gardu, di tembok-tembok, di gerbang-gerbang, yang orang dirikan dikalau hendak menyatakan suatu ucapan selamat datang kepada seorang tamu.Lambang yang demikian telah terpaku di dalamnya kalbu Rakyat Indonesia, sehingga lambang ini telah menjadi darah daging rakyat Indonesia dalam kecintaannya kepada Republik, sehingga bencana batin akan amat besarlah jikalau dasar negara kita itu dirobah, jikalau Dasar Negara itu tidak ditetapkan dan dilangengkan: Pancasila. Sebab lambang negara sekarang yang telah dicintai oleh Rakyat Indonesia sampai ke pelosok-pelosok desa itu adalah lambang yang bersendikan kepada Pancasila. Sesuatu perobahan dari Dasar Negara membawa perobahan dari pada lambang negara. Saya mengetahui bahwa jikalau lambang negara ini dirobah, sebagian terbesar dari pada Rakyat Indonesia akan menolaknya. Cinta rakyat Indonesia kepada lambang ini telah terpaku sedalam-dalamnya di dalam jiwanya, berarti cinta sebagian terbesar dari pada Rakyat Indonesia kepada Pancasila. Lihatlah sekali lagi kepada Lambang Negara kita Pancasila, yang dilukiskan diatas burung garuda.”
Mengacu pada paparan di atas memberikan pemahaman, bahwa sisi perspektif teori semiologi[37], lambang atau simbol adalah sesuatu yang dapat melambangkan dan mewakili ide, pikiran perasaan, benda dan tindakan secara arbriter, konvensional dan representative, interpretative. Dalam hal ini, tidak ada hubungan langsung alamiah antara yang melambangkan dengan yang dilambangkan. Dengan demikian baik yang batiniah (inner) seperti perasaan, pikiran, ide maupun yang lahiriah (outer) seperti benda dan tindakan dapat dilambangkan atau diwakili simbol[38].
Untuk memberikan analisis teoritis yang tajam, maka secara teoritis dapat dikemukakan pendapat para pakar semiologi, seperti dalam kamus umum bahasa Indonesia[39], lambang diartikan sebagai suatu tanda (lukisan, lencana dan sebagainya) yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu, sebagai contoh gambar tunas kelapa adalah lambang pramuka, warna biru lambang kesetiaan.
Dengan demikian dalam bidang semiology simbol atau lambang merupakan bagian dari tanda yang bersifat konvensional dan alegoris. Untuk memahami kedua sifat ini, Charles Sanders Peirce, seorang filosof pragmatis dan sekaligus ahli logika Amerika mengemukakan pengklasifikasian tanda secara sistematis. Tanda diklasifikasikan ke dalam tiga jenis berdasarkan relasi antara representan dengan denotatum (objek) – nya yaitu:[40]
1. Simbol yaitu tanda yang dapat melambangkan atau mewakili sesuatu (ide, pikiran, perasaan benda, tindakan) secara arbriter dan konvensional. Misalnya, warna merah dan putih dalam bendera kebangsaan Indonesia masing-masing melambangkan keberanian dan kesucian.
2. Indeks yaitu tanda yang dapat menunjukkan sesuatu (ide pikiran, perasaan, benda dan tindakan) berdasarkan kausal atau faktual. Misalnya asap menunjukan adanya api.
3. Icon yaitu tanda yang dapat melambangkan sesuatu ide, pikiran, perasaan, benda dan tindakan, berdasarkan persamaan atau perbandingan. Misalnya potret menggambarkan orangnya.
Memperhatikan pengklasifikasian di atas, jelas bahwa apabila hubungan antara tanda atau representan dengan detonatumn (objek)-nya melambangkan atau mewakili secara arbitrer dan konvensional, alegoris[41], tanda itu disebut simbol dan apabila hubungannya kausal dan faktual, tanda tersebut disebut indeks, dan apabila menggambarkan berdasarkan persamaan atau perbandingan tanda itu disebut ikon.
Dengan demikian suatu tanda apakah ia disebut sebagai simbol, indeks, ikon yang jelas memiliki fungsi, yaitu melambangkan, menunjukkan dan menggambarkan sesuatu kepada penafsir (interpreter) atau penerima tanda, dengan perkataan lain tanda dalam arti simbol mampu sebagai media perantara untuk menyampaikan atau merepresentasikan pesan berupa ide, pikiran, perasaan, benda atau tindakan dalam kehidupan manusia kepada manusia lain secara arbitrer, konvensional dan alegoris.
Pertanyaan yang timbul adalah apakah hubungan simbol dengan kehidupan manusia? simbol atau lambang merupakan hasil karya manusia yang diciptakan untuk dipergunakan sebagai wadah atau alat mempresentasikan ide pikiran, perasaan, tindakan, benda didalam tindak komunikasi. Komunikasi itu dapat berlangsung antara seorang dengan orang lain dan dapat juga dengan dirinya secara internal maupun eksternal. Dalam tataran yang demikian itu simbol atau lambang merupakan alat komunikasi yang diciptakan manusia baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain dan melalui simbol atau lambang manusia memandang, memahami dan menghayati alam kehidupannya.
Simbol atau lambang sebenarnya merupakan tindakan batiniah, yang disimbolkan karena didalam simbol itu terkandung ide, pikiran, perasaan, dan tindakan manusia. Dalam hal yang demikian itu, simbol merupakan realitas lahir batin yang mempresentasikan misteri kehidupan manusia dan lewat interprestasi, simbol atau lambang dapat menghadirkan dan menunjukkan eksistensi manusia.[42]
Jika pengertian diatas dihubungkan dengan masyarakat nasional yang disebut negara atau bangsa, maka pada hakekatnya negara atau bangsa itu juga wadah berhimpunnya manusia-manusia yang memiliki pembawaan kodrati sifat dinamis[43] dan karena itu lambang negara yang berbentuk burung Rajawali Garuda Pancasila yang gambar resminya teriampir dalam Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 (Pasal 6) dan sekarang menjadi lampiran resmi UU No 24 Tahun 2009, (pasal 50) kiranya dapat dinyatakan, bahwa sebagai lambang yang dibuat oleh bangsa Indonesia, melalui lambang itu bangsa Indonesia mempresentasikan, memandang, memahami dan menghayati totalitas kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat atau dengan perkataan lain menjadikan simbol atau lambang negara itu sebagai wadah atau alat yang mampu melingkupi dan mempresentasikan, ide, perasaan, pikiran dan tindakan bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat sesuai jatidiri yang berdasarkan dasar negaranya Pancasila. Pembuatannya melalui proses yang dirancang secara konvensional dan alegoris berbentuk gambar (ikon) yang berfungsi sebagai lambang negara resmi negara Republik Indonesia yang digali berdasarkan simbol-simbol yang hidup dalam peradaban bangsa Indonesia.
Dirancang secara konvensional, artinya adanya suatu kesepakatan/ persetujuan dalam proses perancangannya oleh masyarakat dalam hal ini bangsa Indonesia melalui institusi (kelembagaan) dalam hal ini Presiden dan DPR. Persetujuan tersebut kemudian dituangkan dalam peraturan perundangundangan dalam hal ini Peraturan Pemerintah. Disebut alegoris, karena perancangannya yang disengaja sebagai hasil pemufakatan bersama dari perancang dan permufakatan dalam rapat Panitia Lambang Negara serta didalam rapat-rapat Dewan Menteri dibawah Konstitusi RIS 1950. Hal ini berarti lambang negara tersebut dibuat atas dasar perpaduan yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional.
Secara semiotik, R Rahmanto menjelaskan menurut Susanne K.Langger, simbol, dalam hal ini gambar, dibedakan menjadi dua macam, yaitu simbol presentational dan simbol diskursif. Simbol presentational yang dalam proses pengertiannya tidak memerlukan daya intelektual tinggi karena gambar menunjuk apa yang terlihat tanpa adanya bentuk-bentuk seperti penambahan, pengurangan, maupun pengkaitan, secara apa adanya menghadirkan apa yang dinakndungannya, sedangkan simbol discursive memerlukan daya intelektual pengamatnya. Karena untuk memahami seseorang harus memahami aturan yang berlaku pada simbol tersebut.[44]
Rajawali Garuda Pancasila sebagai lambang negara termasuk jenis simbol discursive, karena adanya beberapa penambahan beberapa atribut seperti perisai, pita seloka, serta manipulasi jumlah bulu maupun pengurangan dibeberapa hal yang melibatkan hal-hal yang berkaitan dengan referensi tertentu sebagai dasar acuan menuju pemahaman. Namun pada kenyataannya bentuknya masih cenderung realis terutama bagian kepala hingga dada, detail bulu sayap, bulu ekor dan cengkraman cakar garuda sehingga memungkinkan untuk dilihat sebagai simbol yang presentational sekaligus.
Berdasarkan gambaran burung garuda dalam mitologi dan sejarah lambang negara yang mengambil figur burung Elang Rajawali, pertanyaan yang perlu diajukan adalah: Apakah gambar (ikon) lambang negara Republik Indonesia yang sekarang ini, yaitu seperti bentuk gambar resminya terlampir dalam Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 1951 dan UU No 24 Tahun 2009 masih tepat disebut gambar (ikon) burung garuda ? Menurut hemat penulis adalah kurang tepat, karena menurut pandangan mitologi, garuda adalah makluk yang berbentuk setengah manusia setengah burung atau garuda digambarkan makluk dengan dada dan berlengan manusia dengan kaki dan cakar-cakarnya yang besar. Uraian di atas membuktikan bahwa gambar lambang negara dalam lampiran Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 1951, UU No 24 Tahun 2009 tersebut jelas bukan gambar burung garuda sebagaimana yang digambarkan dalam mitologi.
Menurut hemat penulis lebih tepat adalah gambar burung Elang Rajawali, tetapi apabila dikaitkan dengan konteks sejarah perancangan lambang negara kita, yaitu ide dasar gambarnya diambil dari bahan-bahan burung garuda yang dikenal dan hidup dalam peradaban bangsa Indonesia atau seperti tergambar diberbagai candi-candi di Jawa, lebih tepat lambang negara kita disebut sebagai Rajawali Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Rajawali adalah bentuk gambarnya, sedangkan garuda adalah latar belakang historis (sejarah) yang menjadi ide dasar gambar lambang negara tersebut. Istilah Pancasila adalah untuk menunjukan perbedaan dengan bentuk burung garuda baik dalam mitologi maupun dalam bentuk alamiahnya, artinya burung Rajawali Garuda Pancasila adalah burung yang dijadikan lambang negara.
Pergeseran gambar dari figur burung Garuda dalam mitologi menjadi di figur burung elang Rajawali yang ada dalam tataran realitas sejarah dapat dipastikan, bahwa proses perancangan gambar lambang negara itu juga melakukan penafsiran atas subyek yang dipilih sebagai lambang. Artinya perancang telah menyeleksi sudut pandang tertentu atas subyek pilihan, dan menggambarkan subyek itu dengan suatu cara yang paling mendekati imajinasinya, tentu saja disesuaikan dengan representatif subyeknya.
Penafsiran adalah salah satu proses berpikir yang sesungguhnya mengalir seperti air, selalu bergerak, senantiasa berubah, tak akan bisa terhalangi, demikian halnya keberadaan sebuah proses perancangan lambang negara adalah melalui proses yang panjang dan berupaya memadukan rasionalitas berbagai masukan dari berbagai pihak.
Jika kita kita menyitir kembali pernyataan Presiden Soekarno 22 Juli 1958 di atas, bahwa Burung Elang Rajawali, garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 buah, dengan ekor yang berelar 8 buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang berkalungkan perisai yang di atas perisai itu tergambar Pancasila. Yang di bawahnya tertulis seloka buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika", Bhina Ika Tunggal Ika, Berjenis-jenis tetapi tunggal atau keragaman dalam kesatuan dan kesatuan dalam keragaman. Pancasila yang tergambar di pusat bintang cermelang atas dasar hitam, sinar cermerlang abadi dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, pohon beringin lambang kebangsaan. Rantai yang terdiri dari pada gelang-gelangan dan persegi dan bundar yang bersambung satu sama lain dalam sambungan yang tiada putusnya, peri kemanusiaan.Banteng Indonesia lambang kedaulatan rakyat. Kapas dan padi lambang kecukupan sandang-pangan, keadilan sosial. Lihatlah sekali lagi, aku berkata indahnya Lambang Negara ini, yang menurut pendapat saya Lambang Negara Republik Indonesia ini adalah yang terindah dan terhebat dari pada seluruh lambang-lambang Negara di muka bumi ini. Saya telah melihat dan mempelajari lambang-lambang negara yang lain-lain. Tapi tidak ada satu yang sehebat, seharmonis seperti Lambang Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan terminologi (istilah) yang digunakan Presiden Soekarno, yang menyatakan" Burung Elang Rajawali, garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 buah, dengan ekor yang berelar 8 buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang berkalungkan perisai yang di atas perisai itu tergambar Pancasila. Sungguh jelas, bahwa gambar (ikon) Lambang Negara Republik Indonesia saat ini, bukan figur burung Garuda tetapi burung Elang Rajawali.
Pandangan Soekarno itupun diperjelas dengan pernyataan yang sama juga dinyatakan oleh Muhammad Yamin dalam bukunya Pembahasan Undang-Undang Dasar 1945, hal 144 yang menyatakan:
"Jadi Burung sakti Elang Rajawali sebagai lambang pembangunan dan pemelihara diseluruh bangsa Indonesia...."Seperti diperhatikan maka latar lambang itu terbagi atas tiga bagian, yaitu lukisan Elang Rajawali, perisai Pancasila dan seloka Empu Tantular.
Burung sakti Elang Rajawali dilukiskan dengan 17 sayap terbang, 8 helai sayap kemudi dan 45 helai buku sayap sisik pads tubuh. Perlambangan ketiga angka itu ialah lukisan cendra sengkala: 17 Agustus 1945, yaitu hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Pernyataan Soekarno dan M. Yamin di atas selaras dengan proses perancangan Lambang Negara yang gambarnya dibuat oleh Sultan Hamid II, mulai dari sketsa awal terlihat, bahwa Sultan Hamid II berupaya memadukan pandangan para anggota Panitia Lambang Negara dengan mengambil figur burung Garuda dalam mitologi bangsa Indonesia dan secara semiotika lambang dibuktikan dengan dokumen sejaman, 1950, yaitu sebagai berikut:[45]
(Membaca Semiotika Hukum Pancasila Dalam Lambang Negara "Elang Rajawali Garuda Pancasila")*
Oleh: Turiman Fachturahman Nur
Email qitriaincenter@yahoo.co.idAbstrak
Sesungguhnya setiap negara modern di dunia ini memiliki atribut kenegaraan dan salah satunya adalah lambang negara dan bagi negara hukum Republik Indonesia yang telah memilih lambang negara berbentuk Rajawali–Garuda Pancasila sesungguhnya disadari atau tidak bukan hanya sekedar suatu simbol kenegaraan atau atribut negara, tetapi lambang negara tersebut adalah simbolisasi identitas negara, dasar negara: Pancasila dan jatidiri bangsa Indonesia.Berdasarkan sejarah hukum perancangannya merupakan rancangan terbaik dari anak bangsa Sultan Hamid II melalui proses yang panjang dimasa RIS 1949-1950 sebagai amanah Konstitusi RIS 1949[1] yang telah diteliti secara ilmiah dalam bentuk tesis di S2 UI tahun 1999 dan merupakan penelitian pertama dan satu-satunya di Indonesia[2], namun demikian pada sisi ontologi, epistemologi, aksiologi masih meninggalkan permasalahan akademis: mengapa, karena secara analisis semiologi terjadi pergeseran lambang dari figur burung Garuda ke figur burung Elang Rajawali, kemudian bagaimana kronologis sejarah penciptaa/perancangannya dan mengapa ideologi Pancasila disimbolisasikan dengan konsep "thawaf' oleh Sultan Hamid II. Analisis inilah kemudian disebut sebagai semiotika hukum Pancasila baik sebagai dasar negara, filosofis bangsa, dan sumber hukum dari sumber hukum negara
Kata Kunci : Pembacaan Pancasila, Kronologis Sejarah Lambang Negara, Konsep Pancasila Thawaf
A. Pembacaan Pancasila selama ini terbelenggu Konsep Logosentrisme ke"hirarkis Piramida"
Sesungguhnya setiap negara modern di dunia ini memiliki atribut kenegaraan dan salah satunya adalah lambang negara dan bagi negara hukum Republik Indonesia yang telah memilih lambang negara berbentuk Rajawali–Garuda Pancasila sesungguhnya disadari atau tidak bukan hanya sekedar suatu simbol kenegaraan atau atribut negara, tetapi lambang negara tersebut adalah simbolisasi identitas negara, dasar negara: Pancasila dan jatidiri bangsa Indonesia.[3]
Berdasarkan sejarah hukum perancangannya merupakan rancangan terbaik dari anak bangsa Sultan Hamid II melalui proses yang panjang dimasa RIS 1949-1950 sebagai amanah Konstitusi RIS 1949[4] yang telah diteliti secara ilmiah dalam bentuk tesis di S2 UI tahun 1999 dan merupakan penelitian pertama dan satu-satunya di Indonesia[5], namun demikian pada sisi ontologi, epistemologi, aksiologi masih meninggalkan permasalahan akademis: mengapa, karena secara analisis semiologi terjadi pergeseran lambang dari figur burung Garuda ke figur burung Elang Rajawali, kemudian bagaimana kronologis sejarah penciptaa/perancangannya dan mengapa ideologi Pancasila disimbolisasikan dengan konsep "thawaf' oleh Sultan Hamid II. Analisis inilah kemudian disebut sebagai semiotika hukum Pancasila baik sebagai dasar negara, filosofis bangsa, dan sumber hukum dari sumber hukum negara[6].
Secara teoretik selama ini secara akademik belum ada analisis paparan mengkritiksi secara teoretik doktrin filsafat hukumnya terhadap pemahaman-pembacaan Pancasila berstruktur hirarkis piramida dalam kaitannya dengan sejarah hukum perancangan lambang negara, karena berdasarkan teks normatif Pasal 3 PP No 66 Tahun 1951 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU No 24 Tahun 2009 menyatakan Garuda yang digantungi perisai dengan memakai paruh, sayap, ekor dan cakar mewujudkan lambang tenaga pembangun (creatief vermogen) dan berdasarkan secara historis penjelasan Pasal 3 PP No 66 Tahun 1951 tersebut dijelaskan lambang tersebut dikenal pada peradaban Indonesia-Burung Garuda dari mytologi menurut perasaan Indonesia berdekatan dengan burung elang Rajawali, umumnya garuda terkenal baik oleh archeologi, kesusasteraan dan mitologi Indonesia, kemudian ditengah-tengah perisai yang berbentuk jantung itu terdapat lima buah ruang pada perisai itu masing-masing mewujudkan dasar Pancasila selanjutnya dijelaskan, bahwa perisai atau tameng dikenal oleh kebudayaan dan peradaban Indonesia sebagai senjata dalam perjuangan mencapai tujuan dengan melindungi diri. Perkakas perjuangan yang sedemikian dijadikan lambang, wujud artinya tetap tidak berubah-rubah, yaitu lambang-perjuangan dan perlindungan, dengan mengambil bentuk perisai itu, maka Republik Indonesia berhubungan langsung dengan peradaban Indonesia asli.[7]
Secara ontologi[8] yang menarik untuk dianalisis dengan pendekatan semiologi adalah jika benar burung garuda diangkat dari mitologi bangsa Indonesia, mengapa bentuk lambangnya terjadi pergeseran dari figur burung Garuda menjadi burung elang Rajawali, apakah terjadi pergeseran filosofis dan latar belakang filosofis apa yang hendak disampaikan oleh Sultan Hamid II dan, Presiden Soekarno serta bagaimana latar belakang sejarah (kronologis) hukum proses perancangannya.
Secara epistemologi[9] adalah menarik karena lambang pada perisai pada lambang negara sesungguhnya merupakan simbolisasi Pancasila[10], baik sebagai ideologi, dasar negara maupun filosofis bangsa Indonesia serta sumber hukum dari sumber hukum negara, sehingga secara teoritis lambang negara dalam konsep bernegara hukum Indonesia adalah mempresentasikan ide, perasaan, pikiran dan tindakan bangsa Indonesia dalam bernegara hukum, pertanyaannya apakah dengan telah menetapkan Pancasila sebagai cita hukum, dan apakah dengan pernyataan identitas sebagai negara hukum segala sesuatu sudah selesai ? apakah tidak ada hal lain yang masih perlu dijawab melampaui konsep bernegara hukum yang berdasarkan Pancasila khsususnya dalam pemaknaan –pembacaan Pancasila dalam Lambang Negara sebagai Rechtsidee/cita hukum bagi penstudi hukum dan khasanah Ilmu Hukum Tata Negara di Indonesia?.
Secara aksiologi, bahwa Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa negara hukum yang dibentuk pada Tahun 1945 itu ibarat rumah yang belum selesai benar. Negara hukum ada bukan untuk negara hukum itu sendiri, melainkan untuk menjadi rumah yang membahagiakan bagi penghuninya. Negara hukum Indonesia perlu terus menerus menegaskan identitasnya, yang belum tuntas dipikirkan oleh para bapak kemerdekaan kita dan menjadi tugas kitalah untuk lebih menegaskan identitas tersebut.[11]
Berdasarkan kegilasan Satjipto Rahardjo itulah identitas tersebut dicari, karena apabila benar lambang negara Garuda Pancasila khususnya simbol-simbol dalam lima buah pada ruang dalam perisai merupakan simbolisasi yang mewujudkan dasar Pancasila sebagaimana dinyatakan Presiden Soekarno pada pidato kenegaraan 22 Juli 1958, maka analisis semiotika hukum Pancasila pada lambang negara adalah merupakan konsep teoretis bernegara hukum berparadigma Pancasila yang penulis sebut Paradigma Pancasila ber"thawaf" dalam negara hukum yang demokrasi berdasarkan teokrasi, itulah sesungguhnya kekayaan rohani dan intelektual yang terkristalisasi dan menjadi pilihan sebagai Groundsnorm atau Rechtsidee/Cita Hukum bagi bernegara hukum Indonesia yang sudah semestinya menemukan jalan masuknya sendiri ke dalam bangunan hukum kita, sekalipun akan menyebabkan ketidak sesuaian dengan model, standar yang dominan di dunia atau doktrinal falsifikasi Pancasila yang dipahami selama ini yaitu struktur hirarkis piramida.
Realitas sejarah hukum das seinnya, bahwa teori Pancasila sejak diresmikan lambang negara sebagai simbolisasi Pancasila, 1950 pada masa konstitusi RIS 1949 (11 Februari 1950), sampai dengan amandemen ke kedua UUD 1945, tahun 2000, dipahami dengan Stufentheory Hans Kelsen, seperti yang direkonstruksi oleh Notonagoro, UNAIR,1955 pada Pidato Dies Natalis 10 November 1955 dengan menempatkan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm[12] yang diterima kalangan luas sudah diterima sebagai suatu communis opinio doctorum, kemudian pada perkembangan selanjutnya diformulasikan pada TAP MPRS NO XX/1966 dalam lampiran, bahwa Sumber dari segala Tertib Hukum Indonesia adalah Pandangan Hidup, kesadaran dan cita-cita hukum, serta cita-cita mengenai..........dan seterusnya – Pancasila, kemudian TAP MPR No XX Tahun 1966, diganti dengan TAP MPR NO III TAHUN 2000 –Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum, berkembang lagi pemahaman Pancasila sebagai Cita hukum konstitutif dan regulative A. Hamid S Attamimi 1993 dan pemahamannya masih bersandar pada paradigma Positivisme melalui teori muridnya Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky[13] dan dikembangkan seterusnya oleh Maria Farida Indrati Soeprapto[14] ketika membahas hirarki peraturan perundang-undangan (teori jenjang norma hukum), sedangkan secara das Sollen mengacu historisitas semiotika hukum dalam mewujudkan ideologi Pancasila pada Lambang Negara pada tahun 1950 atau simbolisasi Pancasila sebenarnya sudah melampaui jauh dari struktur hirarkis piramida Hans Kelsen, tetapi membentuk struktur ber"thawaf", yang kemudian dinamakan Pancasila "berthawaf"[15] selanjutnya diformulasikan secara verbal ke dalam amandemen UUD 1945 kedua dengan rumusan Lambang Negara Republik Indonesia ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, (Pasal 36 A) kemudian diformulasikan lebih lanjut kedalam UU No 24 Tahun 2009, pasal 48 sedang Pancasila dalam hubungannya dengan peraturan perundang-undangan ditegaskan dalam UU No 10 Tahun 2004 tentang Pedoman penyusunan Peraturan Perundang-undangan, pada Pasal 2 UU No 10 Tahun 2004 : Pancasila merupakan sumber dari sumber hukum negara. Penjelasan Pasal 2: Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah sesuai dengan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan[16] tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Rumusan teks kenegaraan (yuridis normatif) tentang Pancasila di atas yang menyatakan Pancasila sebagai sumber dari sumber hukum negara adalah sebuah pernyataan yang menurut peneliti tetap menimbulkan problematika ontologis dan merambat ke epistemologis serta aksiologis apabila pemaknaan dan atau pembacaan Pancasila masih strukturnya dipahami dengan struktur hirarkis piramida berdasarkan teori Hans Kelsen yang beraraskan positivisme[17], karena berdasarkan semiotika hukum Pancasila pada lambang negara sebagaimana gambar resminya menjadi lampiran PP No 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara kemudian dipertegas dalam UU No 24 Tahun 2009[18] sesungguhnya tidak lagi berkonsep hirarkis piramida tetapi berkonsep ber"thawaf'- Gilir balik sebagaimana dijelaskan oleh Sultan Hamid II dalam transkripnya 1967.[19].
Pemahaman atau pembacaan Pancasila yang hirarkis piramida membawa konsekuensi penjabaran nilai-nilai Pancasila secara yuridis harus diderivasikan ke dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia dan selanjutnya pada seluruh peraturan perundang-undangan lain. Dalam kedudukan seperti ini Pancasila telah memiliki legitimasi filosofis, yuridis, dan politis. Didalam kapasitas ini Pancasila telah diderivikasikan dalam norma-norma dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan[20] yang menutup pemaknaan-pembacaan Pancasila yang baru dari saat kelahirannya (sejarah perancangan Pancasila) sebagai satu-satunya penafsiran Pancasila.
Dengan demikian proses penafsiran atau pembacaan dan pemaknaan terhadap Pancasila secara hukum menjadi terpusat, dimana Pancasila sebagai pusat dipandang telah memiliki makna yang absolut atau dengan kata lain makna yang definitif. Makna setiap Pancasila kemudian menjadi pasti, dan kaku karena proses penafsiran atau pemaknaan mengarah kepada struktur hirarkis piramida yang sesungguhnya sudah tidak tepat lagi jika dipersandingkan dengan semiotika hukum simbolisasi perwujudan dasar Pancasila pada Lambang Negara yang dirancang oleh Sultan Hamid II sebagaimana gambar lambang negara resminya tercantum dalam lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 yang selanjutnya menjadi lampiran UU No 24 Tahun 2009[21], mengapa tidak mengganti Piramida dengan sesuatu yang lebih cair? Seperti lingkaran, sebuah piramida adalah kaku dan membatasi sebuah lingkaran dipenuhi dengan berbagai kemungkinan (Ricardo Semler; Maverick)[22] oleh karena itu secara analisis pendekatan semiologi dalam hal ini semiotika hukum Pancasila dalam Lambang Negara Rajawali-Garuda Pancasila adalah sebuah keniscayaan, terinspirasi hal tersebut, maka penulis sampai pada usulan kajian buku ini menawarkan sebuah teori[23] lingkaran dimaksud yang kemudian dinamakan Teori Pancasila berthawaf-Gilir Balik atau disingkat Teori Pancasila "berthawaf"[24] yang divisualisasikan secara simbolik oleh Sultan Hamid II dan termaknakan secara semiotika hukum pada Lambang Negara Rajawali Garuda Pancasila berserta aplikasinya dalam penjabaran nilai-nilai Pancasila dalam asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan struktur jenis peraturan perundang-undangan[25] dengan menggunakan konsep ber”thawaf” dengan dua pisau analisis, yaitu sejarah hukum perancangan lambang negara RIS sejak tahun 1950 dan analisis semiotika hukum Pancasila sebagai simbolisasi ideologi Pancasila dalam lambang negara di negara hukum Republik Indonesia yang kemudian menjadi amandemen kedua UUD 1945, Pasal 36 A Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika[26] dengan pendekatan utama semiotika hukum dalam ranah ilmu hukum tata negara.
Patut diketahui, bahwa Pembacaan Pancasila selama ini terpengaruh pola pikir Cartesian Newtonian dalam positivisme hukum[27] salah satunya adalah Pembacaan Pancasila dari Logosentrisme ke Relasi Hirarkhis, sebagaimana pandangan Anton F. Susanto:
"Saat ini kalau kita berbicara tentang Pancasila kaitannya dengan hukum maka selalu memiliki kecenderungan umum bahwa, Pancasila ditempatkan sebagai bagian yang paling tinggi dari model piramida hukum di Indonesia, sebagaimana dijelaskan oleh Shidarta ketika menggambarkan posisi para penstudi hukum di Indonesia, Pancasila menjadi "bintang Pemandu' atau leitstern, yang lapisan-lapisan materinya berisi subtansi hukum dan tiang kerankanya struktur hukum, serta lingkungannya adalah budaya hukum. Dardji Darmodihardjo menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dengan menggambarkan gagasan dari Hans Kelsen tentang Reine Rechtslehre, Grundnorm atau Unsprungnorm. Darji Darmodihardjo menjelaskan, Pancasila dibuat (dalam arti digali) oleh bangsa Indonesia yang merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri...Dilihat dari kedudukannya, Pancasila menempati kedudukan yang paling tinggi, yakni sebagai cita-cita serta pandangan hidup bangsa dan negara Republik Indonesia...Dengan menjadi Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, berarti kita menjadikan Pancasila sebagai ukuran dalam menilai hukum kita. Aturan-aturan hukum diterapkan dalam masyarakat harus mencerminkan kesadaran dan rasa keadilan sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila dan hal yang sama akan ditemukan dalam pandangan-pandangan pemikir hukum di Indonesia yang menempatkan Pancasila sebagai cita hukum yang bersifat hirarkis.[28]
Sebagaimana kita ketahui di Indonesia oleh sebagian besar para penstudi hukum, bahwa konsep pembacaan Pancasila sampai saat ini lebih banyak mengacu pada konsep hirarkis piramida Notonagoro yang dikemukakannya dalam Pidato Dies Natalis Universitas Air Langga pada 10 November 1955 dan menjadi sandaran ketika membahas filsafat Pancasila, sedangkan konsep yang dipaparkan Sultan Hamid II 1950 ketika memvisualisasikan Pancasila dalam perisai Lambang Negara jauh lebih visioner dan brilian, bahkan melampaui konsep hirarkis piramida Pancasila. Penulis menyebutnya pembacaan Pancasila dengan model ber"thawaf“ .
Notonagoro mengemukakan, dalam bukunya Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia, 1962 mengemukakan: "Susunan Pancasila adalah hierarchis dan mempunyai bentuk piramidal. Kalau dari inti sarinya, urut-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian singkat dalam luasnya ini, tiap-tiap sila yang dibelakang sila lainnya merupakan pengkhuususan dari pada sila-sila yang dimukanya.
Untuk memperjelas pandangan Notonagoro, maka berikut ini dipaparkan uraiannya lebih jelas sebagaimana disitir oleh Kaelan : "Pancasila yang terdiri atas lima sila yang merupakan suatu kesatuan yang bersifat majemuk tunggal tersebut pada hakikatnya kesatuan kelima sila tersebut adalah bersifat hirarki dan berbentuk piramida. Kesatuan sila-sila pancasila tersebut adalah merupakan suatu kesatuan yang bertingkat (hierarkies) dan berbentuk piramida.[29]
Pengertian matematika piramida dipergunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhi sila-sila pancasila dalam hal urut-urutan luas (kuantitas) dan juga dalam hal isi sifatnya (kualitas). Kalau dilihat dari intinya, maka urut-urutan kelima sila menunjukkan suatu rangkaian bertingkat dalam hal luasnya dan isi sifatnya, setiap sila yang dibelakang sila lainnya adalah lebih sempit luasnya akan tetapi lebih banyak isi sifatnya, merupakan pengkhususan dari sila-sila di mukanya.
Rumusan hubungan kesatuan sila-sila Pancasila yang bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal tersebut bilamana dirumuskan dengan diagram yang sederhana, adalah sebagai berikut: Penjelasan : Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila-sila 2, 3, 4 dan 5 Sila 2, diliputi, didasari dan dijiwai sila 1, serta mendasari dan menjiwai sila-sila 3,4, dan 5. Sila 3, diliputi, dijiwai sila 1 dan 2, serta meliputi, mendasari dan menjiwai sila-sila 4 dan 5. Sila 4, diliputi, didasari dan dijiwai sila 1,2 dan 3 serta meliputi, mendasari dan menjiwai sila 4 Sila 5, diliputi, didasari dan dijiwai sila-sila 1,2,3, dan 4.
Ilustrasi di atas memberikan konsep bahwa rumusan hubungan Kesatuan Sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi. Kesatuan sila-sila Pancasila yang "Majemuk Tunggal", "Hierarkhis Piramida;" juga memiliki sifat saling mengkualifikasi dan saling mengisi. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam setiap sila terkandung nilai-nilai keempat sila lainnya, atau dengan lain perkataan dalam setiap sila senantiasa dikualifikasi oleh keempat sila lainnya [30]
Berdasarkan paparan di atas, maka ada tiga paparan tematik yang akan diajukan dalam makalah ini, yaitu :
Pertama, Adanya Pergeseran semiotika Hukum terhadap Figur Burung yang dijadikan Lambang Negara Republik Indonesia.
Kedua, Kronologis Sejarah Hukum Penciptaan/Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia.
Ketiga, Pembacaan Pancasila secara semiotika hukum berdasarkan Lambang Negara Republik Indonesia.
B. Pergeseran Semiotika Hukum Figur Yang Dipilih Dari Lambang Negara Republik Indonesia
Pertanyaannya akademisnya adalah apakah sebuah lambang negara bisa dirancang dari sebuah mitos yang berkembang dalam suatu peradaban bangsa itu sendiri. Menurut Tommy F. Awuy,"akal budi kritis mitos memang bertentangan dengan tujuannya membangun cara berfikir akademis"[31] Mitos memiliki arti penting dia bukanlah sekedar legenda mengenai asal-usul terjadinya segala sesuatu dan ceritera tentang kesaktian para dewa-dewi atau para leluhur. Mitos membentuk cara berada manusia. Para filsuf yunani kuno sangat yakin bahwa dengan filsafat,manusia baru menemukan peradaban agung secara revolusioner sebagaimana Socrates dan Plato membuang mitos. Namun demikian mitos tidak serta merta berhenti sampai di sana ia terus memikat dan bertambah kaya pengertiannya.
Mitos bisa diartikan sebagai upaya rasio untuk keluar dari keterbatasan pengetahuannya atas dunia benda-benda dengan membangun narasi secara spekulatif, metafisika dalam hal ini tidak berbeda dengan mitos, mitos juga sering dipandang sebagai ceritera yang digunakan untuk kebudayaan guna menjelaskan atau memahami beberapa aspek dan realitas atau alam. Mitos primitif berkenan dengan hidup dan mati, manusia dan dewa,baik dan buruk. Mitos kita yang lebih bertakik-takik adalah tentang maskulinitas dan feminitas, tentang keluarga,tentang keberhasilan,tentang polisi Indonesia,atau tentang ilmu.
Barthes menjelaskan sesuatu yang berbeda tentang mitos, menurutnya mitos adalah tipe wicara[32],namun dia bukan sembarang tipe, tetapi lebih kepada yang dikenal dengan sistem komunikasi,yakni sebuah pesan .dalam pandangan Barthes mitos bukanlah segala sesuatu yang berkaitan dengan apa yang disebut diatas,tetapi mitos adalah segala sesuatu,sebagaimana dikatakan Barthes' Lantas benarkah segala sesuatu bisa menjadi mitos?'menurutnya 'Ya',saya percaya sebab alam semesta ini ditumbuhi begitu subur oleh berbagai nasehat, segala objek di dunia ini dapat lolos dari suatu eksistensi yang diam dan tertutup menjadi eksistensi oral yang terbuka untuk ditafsirkan oleh masyarakat, bagi Barthes mitos merupakan cara pikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu.Barthes memikirkan mitos sebagai matarantai dari konsep-konsep terkait,juga melihatnya sebagai satu bagian dengan apa yang diperkenalkan oleh Saussure,yaitu Semiology.
Menurut Barthes, cara kerja mitos adalah untuk menaturalisasikan sejarah,dan ini memperhatikan bahwa mitos sebenarnya merupakan produk kelas sosial yang telah mencapai dominasi melalui sejarah tertentu, maknanya sebagai alami,dan bukan bersifat historis atau sosial.para ahli mitologi mengungkapkan sejarah tersembunyi sehingga cara kerja sosial politik mitos adalah dengan melakukan 'demistifikasi'mitos.
Hanya yang menarik adalah bahwa Sultan Hamid II setelah rancangan lambang negara yang diserahkan tanggal 8 Februari 1950 direvisi oleh salah satu anggota Panitia Lambang Negara ; M Natsir karena keberatan terhadap gambar burung Garuda yang memegang perisai Pancasila, ternyata terjadi pergeseran ikon (gambar) bukan lagi menggunakan figur burung Garuda dalam mitologi tetapi bergeser kepada figur burung Elang Rajawali, pertanyaannya apa yang menjadi latar belakang Sultan Hamid II merubah gambar (ikon) dari figur burung Garuda ke figur burung Elang Rajawali ?
Jika kita mengacu pada keterangan Max Yusuf Al Kadrie, mantan sekretaris pribadi Sultan Hamid II menyatakan:[33] "...tetapi menurut Max Yusuf , Sultan Hamid II sama sekali tidak mengacu pada elang jawa ketika merancang, Ia menggunakan elang Rajawali yang berukuran jauh lebih besar seperti kebanyakan lambang yang dibuat negara lain dengan tujuan agar bangsa Indonesia bisa tumbuh sama besar dan sama kuat dengan negara-negara lain di dunia."
Keberatan M Natsir sebagai salah satu anggota Panitia Lambang Negara, 1950 yang berlatar belakang Masyumi terhadap unsur mitologis dengan penggambaran "manusia burung" sebagai lambang negara sangat berdampak pada bentuk rancangan selanjutnya. Rancangan Sultan Hamid II yang sejak semula mereferensi Lambang negara Eropa, khususnya Polandia serta beberapa lambang negara Timur Tengah dimana semua mengacu pada burung elang atau Rajawali, seakan menjadi solusi yang tepat.[34]
Berkaitan dengan lambang militer dan lambang negara Polandia sebagaimana dinyatakan oleh Sultan Hamid II dalam transkripnya: [35]
"..disamping itu saja djuga mempergunakan bahan-bahan lambang negara lain jang djuga figurnja burung elang/jang mendekati burung Garuda dan saja tertarik dengan gambar-gambar lambang negara dan militer negara Polandia, karena latar belakang pendidikan saja ketika di K.M.A Breda djuga mempeladjari makna-lambang-lambang militer berbagai negara dan lambang-lambang negara di Eropah dan negara-negara Arab serta Amerika djuga di kawasan Asia jang memakai figur burung.
Hal ini selaras dengan penelitian penulis sendiri ketika melakukan investigasi ke Konsulat kedutaan Negara Polandia, 1999, karena menurut hasil wawancara penulis dengan Max Yusuf ,1999 menyatakan, bahwa Sultan Hamid II juga tertarik dengan lambang-lambang negara Polandia yang memiliki akar sejarah mengacu kepada burung Elang Rajawali demikian juga negara-negara Arab.
Jika kita menelusuri sejarah mitologi burung elang Rajawali dalam sejarah perjalanan lambang-lambang militer Polandia dan membandingkan gambar (ikon)-nya dan kemudian dipersandingkan dengan coretan rancangan gambar yang dibuat oleh Sultan Hamid II, maka secara semiotika hukum lambang cukup terpengaruh, tetapi dari sisi semiotika dan pertanyaannya adalah seberapa miripkah sketsa awal rancangan Lambang Negara Sultan Hamid II dengan figur burung Elang Rajawali Putih negara Polandia?
Berikut ini semiotika lambang sebagaimana yang dijelaskan oleh Kryztof, Stefan Kuczynski. "Orzel Bialy-Herb Polski Iznak Polakow" Translation In English By Andezey. "The White Eagle-70 Years of the coat of Arms of the Polish State. Kedutaan Besar Negara Polandia, 1992.
Mengapa mengambil figur Burung Dalam Lambang Negara ? Berdasarkan pada mitologi sejarah baik Garuda maupun Elang Rajawali di atas, memberikan sebuah pemahaman, bahwa sebuah lambang negara ternyata berkaitan erat dengan idealisme bangsa, atau identitas nasional suatu negara, oleh karena pergeseran gambar dari figur burung garuda dalam mitologi kepada figur burung elang Rajawali yang dirancang Sultan Hamid II tentunya memiliki arti sendiri bagi bangsa Indonesia, jika kita mengajukan pertanyaan mengapa Sultan Hamid II memilih Burung Elang Rajawali sebagai ikon (gambar) Lambang Negara Indonesia, mengapa tidak figur burung Garuda seperti sketsa awal? Sesungguhnya dibalik simbol lambang negara, ada konsep pesan tersurat dan tersirat, mengapa demikian?, Pidato Presiden Soekarno memberikan paparan yang berkaitan dengan lambang negara di Istana Negara, tanggal 22 Juli 1958 yang intinya antara lain kegagahan Burung Rajawali Garuda Pancasila, dan kaitannya lambang negara dengan dasar negara Pancasila.
Adapun isi selengkapnya pidato tersebut sebagai berikut: [36]
“Saudara-saudara, lihatlah Lambang Negara kita di belakang ini, alangkah megahnya, alangkah hebat dan cantiknya. Burung Elang Rajawali, garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 buah, dengan ekor yang berelar 8 buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang berkalungkan perisai yang di atas perisai itu tergambar Pancasila. Yang di bawahnya tertulis seloka buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika", Bhina Ika Tunggal Ika, Berjenis-jenis tetapi tunggal. Pancasila yang tergambar di pusat bintang cermelang atas dasar hitam, sinar cermerlang abadi dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, pohon beringin lambang kebangsaan. Rantai yang terdiri dari pada gelang-gelangan dan persegi dan bundar yang bersambung satu sama lain dalam sambungan yang tiada putusnya, peri kemanusiaan.Banteng Indonesia lambang kedaulatan rakyat. Kapas dan padi lambang kecukupan sandang-pangan, keadilan sosial. Lihatlah sekali lagi, aku berkata indahnya Lambang Negara ini, yang menurut pendapat saya Lambang Negara Republik Indonesia ini adalah yang terindah dan terhebat dari pada seluruh lambang-lambang Negara di muka bumi ini. Saya telah melihat dan mempelajari lambang-lambang negara yang lain-lain. Tapi tidak ada satu yang sehebat, seharmonis seperti Lambang Negara Republik Indonesia. Lambang yang telah dicintai oleh rakyat kita sehingga jikalau kita masuk ke desa-desa sampai kepelosok-pelosok yang paling jauh dari dunian ramai, lambang ini sering dicoretkan orang di gardu-gardu, di tembok-tembok, di gerbang-gerbang, yang orang dirikan dikalau hendak menyatakan suatu ucapan selamat datang kepada seorang tamu.Lambang yang demikian telah terpaku di dalamnya kalbu Rakyat Indonesia, sehingga lambang ini telah menjadi darah daging rakyat Indonesia dalam kecintaannya kepada Republik, sehingga bencana batin akan amat besarlah jikalau dasar negara kita itu dirobah, jikalau Dasar Negara itu tidak ditetapkan dan dilangengkan: Pancasila. Sebab lambang negara sekarang yang telah dicintai oleh Rakyat Indonesia sampai ke pelosok-pelosok desa itu adalah lambang yang bersendikan kepada Pancasila. Sesuatu perobahan dari Dasar Negara membawa perobahan dari pada lambang negara. Saya mengetahui bahwa jikalau lambang negara ini dirobah, sebagian terbesar dari pada Rakyat Indonesia akan menolaknya. Cinta rakyat Indonesia kepada lambang ini telah terpaku sedalam-dalamnya di dalam jiwanya, berarti cinta sebagian terbesar dari pada Rakyat Indonesia kepada Pancasila. Lihatlah sekali lagi kepada Lambang Negara kita Pancasila, yang dilukiskan diatas burung garuda.”
Mengacu pada paparan di atas memberikan pemahaman, bahwa sisi perspektif teori semiologi[37], lambang atau simbol adalah sesuatu yang dapat melambangkan dan mewakili ide, pikiran perasaan, benda dan tindakan secara arbriter, konvensional dan representative, interpretative. Dalam hal ini, tidak ada hubungan langsung alamiah antara yang melambangkan dengan yang dilambangkan. Dengan demikian baik yang batiniah (inner) seperti perasaan, pikiran, ide maupun yang lahiriah (outer) seperti benda dan tindakan dapat dilambangkan atau diwakili simbol[38].
Untuk memberikan analisis teoritis yang tajam, maka secara teoritis dapat dikemukakan pendapat para pakar semiologi, seperti dalam kamus umum bahasa Indonesia[39], lambang diartikan sebagai suatu tanda (lukisan, lencana dan sebagainya) yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu, sebagai contoh gambar tunas kelapa adalah lambang pramuka, warna biru lambang kesetiaan.
Dengan demikian dalam bidang semiology simbol atau lambang merupakan bagian dari tanda yang bersifat konvensional dan alegoris. Untuk memahami kedua sifat ini, Charles Sanders Peirce, seorang filosof pragmatis dan sekaligus ahli logika Amerika mengemukakan pengklasifikasian tanda secara sistematis. Tanda diklasifikasikan ke dalam tiga jenis berdasarkan relasi antara representan dengan denotatum (objek) – nya yaitu:[40]
1. Simbol yaitu tanda yang dapat melambangkan atau mewakili sesuatu (ide, pikiran, perasaan benda, tindakan) secara arbriter dan konvensional. Misalnya, warna merah dan putih dalam bendera kebangsaan Indonesia masing-masing melambangkan keberanian dan kesucian.
2. Indeks yaitu tanda yang dapat menunjukkan sesuatu (ide pikiran, perasaan, benda dan tindakan) berdasarkan kausal atau faktual. Misalnya asap menunjukan adanya api.
3. Icon yaitu tanda yang dapat melambangkan sesuatu ide, pikiran, perasaan, benda dan tindakan, berdasarkan persamaan atau perbandingan. Misalnya potret menggambarkan orangnya.
Memperhatikan pengklasifikasian di atas, jelas bahwa apabila hubungan antara tanda atau representan dengan detonatumn (objek)-nya melambangkan atau mewakili secara arbitrer dan konvensional, alegoris[41], tanda itu disebut simbol dan apabila hubungannya kausal dan faktual, tanda tersebut disebut indeks, dan apabila menggambarkan berdasarkan persamaan atau perbandingan tanda itu disebut ikon.
Dengan demikian suatu tanda apakah ia disebut sebagai simbol, indeks, ikon yang jelas memiliki fungsi, yaitu melambangkan, menunjukkan dan menggambarkan sesuatu kepada penafsir (interpreter) atau penerima tanda, dengan perkataan lain tanda dalam arti simbol mampu sebagai media perantara untuk menyampaikan atau merepresentasikan pesan berupa ide, pikiran, perasaan, benda atau tindakan dalam kehidupan manusia kepada manusia lain secara arbitrer, konvensional dan alegoris.
Pertanyaan yang timbul adalah apakah hubungan simbol dengan kehidupan manusia? simbol atau lambang merupakan hasil karya manusia yang diciptakan untuk dipergunakan sebagai wadah atau alat mempresentasikan ide pikiran, perasaan, tindakan, benda didalam tindak komunikasi. Komunikasi itu dapat berlangsung antara seorang dengan orang lain dan dapat juga dengan dirinya secara internal maupun eksternal. Dalam tataran yang demikian itu simbol atau lambang merupakan alat komunikasi yang diciptakan manusia baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain dan melalui simbol atau lambang manusia memandang, memahami dan menghayati alam kehidupannya.
Simbol atau lambang sebenarnya merupakan tindakan batiniah, yang disimbolkan karena didalam simbol itu terkandung ide, pikiran, perasaan, dan tindakan manusia. Dalam hal yang demikian itu, simbol merupakan realitas lahir batin yang mempresentasikan misteri kehidupan manusia dan lewat interprestasi, simbol atau lambang dapat menghadirkan dan menunjukkan eksistensi manusia.[42]
Jika pengertian diatas dihubungkan dengan masyarakat nasional yang disebut negara atau bangsa, maka pada hakekatnya negara atau bangsa itu juga wadah berhimpunnya manusia-manusia yang memiliki pembawaan kodrati sifat dinamis[43] dan karena itu lambang negara yang berbentuk burung Rajawali Garuda Pancasila yang gambar resminya teriampir dalam Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 (Pasal 6) dan sekarang menjadi lampiran resmi UU No 24 Tahun 2009, (pasal 50) kiranya dapat dinyatakan, bahwa sebagai lambang yang dibuat oleh bangsa Indonesia, melalui lambang itu bangsa Indonesia mempresentasikan, memandang, memahami dan menghayati totalitas kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat atau dengan perkataan lain menjadikan simbol atau lambang negara itu sebagai wadah atau alat yang mampu melingkupi dan mempresentasikan, ide, perasaan, pikiran dan tindakan bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat sesuai jatidiri yang berdasarkan dasar negaranya Pancasila. Pembuatannya melalui proses yang dirancang secara konvensional dan alegoris berbentuk gambar (ikon) yang berfungsi sebagai lambang negara resmi negara Republik Indonesia yang digali berdasarkan simbol-simbol yang hidup dalam peradaban bangsa Indonesia.
Dirancang secara konvensional, artinya adanya suatu kesepakatan/ persetujuan dalam proses perancangannya oleh masyarakat dalam hal ini bangsa Indonesia melalui institusi (kelembagaan) dalam hal ini Presiden dan DPR. Persetujuan tersebut kemudian dituangkan dalam peraturan perundangundangan dalam hal ini Peraturan Pemerintah. Disebut alegoris, karena perancangannya yang disengaja sebagai hasil pemufakatan bersama dari perancang dan permufakatan dalam rapat Panitia Lambang Negara serta didalam rapat-rapat Dewan Menteri dibawah Konstitusi RIS 1950. Hal ini berarti lambang negara tersebut dibuat atas dasar perpaduan yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional.
Secara semiotik, R Rahmanto menjelaskan menurut Susanne K.Langger, simbol, dalam hal ini gambar, dibedakan menjadi dua macam, yaitu simbol presentational dan simbol diskursif. Simbol presentational yang dalam proses pengertiannya tidak memerlukan daya intelektual tinggi karena gambar menunjuk apa yang terlihat tanpa adanya bentuk-bentuk seperti penambahan, pengurangan, maupun pengkaitan, secara apa adanya menghadirkan apa yang dinakndungannya, sedangkan simbol discursive memerlukan daya intelektual pengamatnya. Karena untuk memahami seseorang harus memahami aturan yang berlaku pada simbol tersebut.[44]
Rajawali Garuda Pancasila sebagai lambang negara termasuk jenis simbol discursive, karena adanya beberapa penambahan beberapa atribut seperti perisai, pita seloka, serta manipulasi jumlah bulu maupun pengurangan dibeberapa hal yang melibatkan hal-hal yang berkaitan dengan referensi tertentu sebagai dasar acuan menuju pemahaman. Namun pada kenyataannya bentuknya masih cenderung realis terutama bagian kepala hingga dada, detail bulu sayap, bulu ekor dan cengkraman cakar garuda sehingga memungkinkan untuk dilihat sebagai simbol yang presentational sekaligus.
Berdasarkan gambaran burung garuda dalam mitologi dan sejarah lambang negara yang mengambil figur burung Elang Rajawali, pertanyaan yang perlu diajukan adalah: Apakah gambar (ikon) lambang negara Republik Indonesia yang sekarang ini, yaitu seperti bentuk gambar resminya terlampir dalam Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 1951 dan UU No 24 Tahun 2009 masih tepat disebut gambar (ikon) burung garuda ? Menurut hemat penulis adalah kurang tepat, karena menurut pandangan mitologi, garuda adalah makluk yang berbentuk setengah manusia setengah burung atau garuda digambarkan makluk dengan dada dan berlengan manusia dengan kaki dan cakar-cakarnya yang besar. Uraian di atas membuktikan bahwa gambar lambang negara dalam lampiran Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 1951, UU No 24 Tahun 2009 tersebut jelas bukan gambar burung garuda sebagaimana yang digambarkan dalam mitologi.
Menurut hemat penulis lebih tepat adalah gambar burung Elang Rajawali, tetapi apabila dikaitkan dengan konteks sejarah perancangan lambang negara kita, yaitu ide dasar gambarnya diambil dari bahan-bahan burung garuda yang dikenal dan hidup dalam peradaban bangsa Indonesia atau seperti tergambar diberbagai candi-candi di Jawa, lebih tepat lambang negara kita disebut sebagai Rajawali Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Rajawali adalah bentuk gambarnya, sedangkan garuda adalah latar belakang historis (sejarah) yang menjadi ide dasar gambar lambang negara tersebut. Istilah Pancasila adalah untuk menunjukan perbedaan dengan bentuk burung garuda baik dalam mitologi maupun dalam bentuk alamiahnya, artinya burung Rajawali Garuda Pancasila adalah burung yang dijadikan lambang negara.
Pergeseran gambar dari figur burung Garuda dalam mitologi menjadi di figur burung elang Rajawali yang ada dalam tataran realitas sejarah dapat dipastikan, bahwa proses perancangan gambar lambang negara itu juga melakukan penafsiran atas subyek yang dipilih sebagai lambang. Artinya perancang telah menyeleksi sudut pandang tertentu atas subyek pilihan, dan menggambarkan subyek itu dengan suatu cara yang paling mendekati imajinasinya, tentu saja disesuaikan dengan representatif subyeknya.
Penafsiran adalah salah satu proses berpikir yang sesungguhnya mengalir seperti air, selalu bergerak, senantiasa berubah, tak akan bisa terhalangi, demikian halnya keberadaan sebuah proses perancangan lambang negara adalah melalui proses yang panjang dan berupaya memadukan rasionalitas berbagai masukan dari berbagai pihak.
Jika kita kita menyitir kembali pernyataan Presiden Soekarno 22 Juli 1958 di atas, bahwa Burung Elang Rajawali, garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 buah, dengan ekor yang berelar 8 buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang berkalungkan perisai yang di atas perisai itu tergambar Pancasila. Yang di bawahnya tertulis seloka buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika", Bhina Ika Tunggal Ika, Berjenis-jenis tetapi tunggal atau keragaman dalam kesatuan dan kesatuan dalam keragaman. Pancasila yang tergambar di pusat bintang cermelang atas dasar hitam, sinar cermerlang abadi dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, pohon beringin lambang kebangsaan. Rantai yang terdiri dari pada gelang-gelangan dan persegi dan bundar yang bersambung satu sama lain dalam sambungan yang tiada putusnya, peri kemanusiaan.Banteng Indonesia lambang kedaulatan rakyat. Kapas dan padi lambang kecukupan sandang-pangan, keadilan sosial. Lihatlah sekali lagi, aku berkata indahnya Lambang Negara ini, yang menurut pendapat saya Lambang Negara Republik Indonesia ini adalah yang terindah dan terhebat dari pada seluruh lambang-lambang Negara di muka bumi ini. Saya telah melihat dan mempelajari lambang-lambang negara yang lain-lain. Tapi tidak ada satu yang sehebat, seharmonis seperti Lambang Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan terminologi (istilah) yang digunakan Presiden Soekarno, yang menyatakan" Burung Elang Rajawali, garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 buah, dengan ekor yang berelar 8 buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang berkalungkan perisai yang di atas perisai itu tergambar Pancasila. Sungguh jelas, bahwa gambar (ikon) Lambang Negara Republik Indonesia saat ini, bukan figur burung Garuda tetapi burung Elang Rajawali.
Pandangan Soekarno itupun diperjelas dengan pernyataan yang sama juga dinyatakan oleh Muhammad Yamin dalam bukunya Pembahasan Undang-Undang Dasar 1945, hal 144 yang menyatakan:
"Jadi Burung sakti Elang Rajawali sebagai lambang pembangunan dan pemelihara diseluruh bangsa Indonesia...."Seperti diperhatikan maka latar lambang itu terbagi atas tiga bagian, yaitu lukisan Elang Rajawali, perisai Pancasila dan seloka Empu Tantular.
Burung sakti Elang Rajawali dilukiskan dengan 17 sayap terbang, 8 helai sayap kemudi dan 45 helai buku sayap sisik pads tubuh. Perlambangan ketiga angka itu ialah lukisan cendra sengkala: 17 Agustus 1945, yaitu hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Pernyataan Soekarno dan M. Yamin di atas selaras dengan proses perancangan Lambang Negara yang gambarnya dibuat oleh Sultan Hamid II, mulai dari sketsa awal terlihat, bahwa Sultan Hamid II berupaya memadukan pandangan para anggota Panitia Lambang Negara dengan mengambil figur burung Garuda dalam mitologi bangsa Indonesia dan secara semiotika lambang dibuktikan dengan dokumen sejaman, 1950, yaitu sebagai berikut:[45]
Hasil akhir sketsa Sultan Hamid II pada tahap pertama yang menggunakan figur burung Garuda dalam mitologi bangsa Indonesia, dan menurut Sultan Hamid II, gambar ini ciptaan pertama yang ketika diajukan kepada rapat Panitia Lambang Negara direvisi oleh M Natsir, dari Partai Masyumi, karena keberatan dengan rancangan yang berdasarkan konsep mitologi, maka revisi berikutnya adalah lebih menampakan ciri figur burung elang Rajawali, patut juga diperhatikan, bahwa secara semiotika lambang negara rancangan pertama Sultan Hamid II ternyata jumlah bulu ekornya adalah tujuh helai dan menurut keterangan Sultan Hamid II, adalah usulan Muhammad Yamin yang direferensi oleh Ki Hajar Dewantoro, karena memang Sultan Hamid II ketika merancang gambar ini meminta masukan kepada Ki Hajar Dewantoro, sebagaimana dinyatakan dalam surat Ki Hajar Dewantara, tanggal 1 Februari 1950 No XXX/ 202, Perihal Panitia Lambang Negara: [46]
Yogyakarta, 26 Januari 1950
“Merdeka!
Menarik kawat paduka Tuan hari ini, yang bermaksud atas Nama Yang Mulia Menteri Negara R.I.S Sri Sultan Hamid ke II mengundang saya pergi ke Jakarta untuk keperluan "Panitia Lambang Negara", maka dengan ini saya memberitahukan kepada Paduka Tuan:
".......sebenarnya tentang rancangan membuat lambang itu sudah pemah dilakukan penyelidikan yang seksama oleh "Panitia Indonesia Raya", yang dulu dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia Raya, yang saya menjadi ketuanya, sedangkan saudara Mr Muhammad Yamin duduk menjadi sekretaris umum. Dalam penyelidikan itu saudara Mr Muhammad Yamin sendiri lebih mengetahui segala apa yang direncanakan oleh "Panitia Indonesia Raya " tersebut dari pada saya sendiri.
Bahwa kalau sungguh-sungguh diperlukan pendapat atau nasehat saya dalam Panitia lambang Negara R.I.S. sekarang ini, maka cukuplah kiranya ketua Panitia Mr Muhammad Yamin atau anggota lainnya pergi ke Yogya untuk bertukar pikir dengan saya, atau cukuplah barangkali, bisa saya hanya mengirimkan nasehat atau usul dengan tertulis kepada Panitia di Jakarta.
Mengenai jumlah bulu ekor garuda berjumlah 7 (tujuh) helai, alasan Muhammad Yamin, bahwa bulu ekor yang berjumlah 7 itu mengandung makna sebagaimana penjelasannya dikutip dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 6 hal 66:
"Angka 7 menyatakan kesempurnaan tata negara, seperti semenjak beribu tahun silan telah lazim dalam peradaban Indonesia, misalnya: Saptarajopa (Ramayana), Saptaperabu (Majapahit), Kraengpitu (Makasar), Rajo nail tigo selo bassa mpek (Minangkabau)" [47]
Rancangan lambang negara berbentuk Garuda yang memegang perisai ini menurut catatan Muhammad Yamin disebutkan bahwa rancangan ini telah dipersiapkan di Istana Gambir dalam rapat panitia lambang negara bersama PYM Presiden Soekarno dan YM Sultan Hamid II pada tanggal 8 Februari 1950[48].
Kemudian ketika gambar tersebut oleh H. Mas Agung dipertanyakan kepada Sultan Hamid II tahun 1974, beliau kemudian menulis dibawah dokumen lukisan itu sebagai berikut:[49]
"Maaf dik Mas Agung tetapi foto ini sebetulnya ciptaan pertama saya yang selanjutnya diperbaiki, foto ini tidak berharga" Hamid 17-7-74"
Pertanyaannya mengapa figur burung Garuda yang dipilih yang ketika diajukan oleh Sultan Hamid II sebagai ciptaan pertama kepada Panitia Lambang Negara tanggal 8 Februari 1950 direvisi dan selanjutnya diperbaiki ? karena memang pada awalnya lambang negara yang dibuat Sultan Hamid II terinspirasi oleh mitologi Garuda yang terdapat beberapa candi, baik dalam bentuk arca maupun relief yang dikumpulkan oleh Ki Hajar Dewantoro untuk dikirim kepada Sultan Hamid II akhir Januari 1950 dan sketsa tersebut masih dapat dilihat di ruang Pribadi Mas Agung di Yayasan Amas Agung Jakarta saat ini, sebagaimana fhoto dokumen berikut ini yang diprepo penulis, 1999 seperti terlihat pada bagian bawah:
Gambar 5
File Dokumen Lambang Negara Yang berada di Yayasan Mas Agung Kwitang Senen Jakarta yang diserahkan oleh Sultan Hamid II kepada H Mas Agung, 18 Juli 1974 (Repro oleh Penulis, 1999 dari Yayasan Mas Agung)
Menurut Aryandini[50] fragmen cerita tentang Garuda (Garudeya) terdapat pada Candi Kidal dan Candi Kedaton yang dibangun 1730. Dikomplek percandian Sukuh di lereng Gunung Lawu terdapat relief yang dengan jelas menggambarkan cerita Garudeya tersebut, Selain relief juga dapat ditemui arca Garudeya sedang terbang sambil mencengkram gajah dan kura-kura, oleh sebab itu beberapa alternatif wujud lambang negara kita ketika proses perancangan berbentuk manusia burung, seperti pada goresan Sultan Hamid II sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.
Arca berbentuk Wisnu mengendarai Garuda juga ditemukan di Candi Belahan yang merupakan makam Erlangga di Tirta, lereng Gunung Penanggungan, Jawa Timur.[51]
Jika mengacu secara historis pasal 3 Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951, disebutkan"Burung Garuda yang digantungi perisai itu ialah lambang, tenaga pembangun (creatif vermogen) seperti dikenal pada peradaban Indonesia. Burung Garuda dari mitologi menurut perasaan Indonesia berdekatan dengan Elang Rajawali...' atau ,menurut pasal Pasal 47 ayat (1) Garuda dengan perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang mewujudkan lambang tenaga pembangunan.
Menurut Akmal Sutja[52] menjelaskan bahwa garuda itu ialah istilah yang dipakai dalam mitologi untuk menunjuk elang Rajawali, sementara wujud asli atau alamiahnya adalah elang Rajawali. Orang bisa menggabungkan suatu mitos dengan fungsi ideologis tertentu. Penggabungan demikian terjadi dalam pandangan hidup (Weltanschauung) suatu masyarakat.[53]
Menurut Ismaun, beberapa alasan mengapa burung garuda terpilih menjadi lambang negara Indonesia, antara lain karena garuda atau elang Rajawali adalah burung terbesar, kuat dan mampu terbang tinggi, melambangkan cita-cita bangsa Indonesia yang tinggi dengan kekuatan sendiri, tanpa menggantungkan kekuatan bangsa lain.[54]
Sebuah buku berjudul "Des Conrad Gruenenberg, Ritters und burgers in Constanzwappenbuch, vollbarchtam nuenden Tag des Abrellen, do man zaelt tusend vier bundert drue und achtzzig jar" yang terbit tahun 1453 memuat lambang "Kaisar Jawa" yang memperlihatkan seekor phoeneix di atas api unggun. Sedangkan Kaisar Sumatera, memakai lambang Rajawali yang digambar dari samping dengan kedua cakarnya mengarah kedepan, artinya pilihan jenis hewan sebagai lambang sebuah negara sudah dilakukan oleh para leluhur kita.[55]
Secara historis teks kenegaraan menyatakan dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 pasal 1 menyatakan:
"Mengambil gambaran hewan untuk Lambang Negara bukanlah barang yang ganjil, Misalnya untuk Lambang Republik India diambil lukisan singa, lembu, kuda dan gajah, seperti tergambar pada tiang Maharaja Priyadarsi Asyoka berasal dari Sarnath dekat Benares. Lukisan garuda diambil dari benda peradaban Indonesia, seperti hidup dalam mytologi, symbologi dan kesusasteraan Indonesia dan seperti pula tergambar pada beberapa candi sejak abad ke 6 sampai ke abad 16.
Ada satu hal yang menarik untuk diungkapkan, bahwa Sultan Hamid II ketika merancang gambar Lambang Negara ia juga melakukan perbandingan dengan negara-negara lain baik Lambang Negara di Eropah Polandia, Jerman, Albania. Armenia, Austria, Rumania, Moldova, Serbia, maupun negara-negara Arab,seperti Emirat Arab, Yaman, Sudan, Irak, Suriah dan Libya, juga Amerika.
Bentuk burung pada lambang-lambang sedemikian dratis demi mewujudkan karakter negara yang dilambangkan. Jika dibandingkan antara lambang negara Indonesia dengan lambang negara Amerika tampak ada kemiripan antara keduanya, yaitu pada seloka Bhinneka Tunggal Ika untuk Lambang Negara Indonesia dicenkram oleh kedua cakar Elang Rajawali Garuda Pancasila, maka semboyan negara Amerika Serikat 'e pluribus unum digambarkan berupa selembar pita sedang melayang di atas kepala burung elang Bondol (blad eagle) burung khas yang hidup di Amerika, bandingkan pula bentuk kepala burung Lambang Negara RIS, 11 Februari 1950.
Penggambaran selembar pita sebagai bidang tulisan lambang negara adalah tradisi negara Arab, dan walaupun bentuknya berbeda-beda, semua lambang negara yang menggunakan figur burung Elang Rajawali hampir selalu memasangkan perisai dibagian dadanya, tetapi yang menarik adalah Sultan Hamid II ketika merancang sempat terpengaruh bentuk cakar kaki yang mengarah ke belakang selain itu bentuk pita juga ternyata mirip, tetapi rata-rata lambang negara di negara-negara Arab menggunakan pita dan berisi tulisan, seperti pada lambang negara Suriah dan Libya.
Menurut penulis kemiripan itu memberikan pertanda bahwa lambang negara Republik Indonesia bersifat universal atau dalam tataran filosofis adalah logosentrisme, yaitu kecenderungan sistem pemikiran yang mencari legitimasinya dengan mengacu pada dalil-dalil kebenaran universal atau jaminan makna sentral dan orisinalitas (mind, wahyu, dan sebagainya)[56], bahkan Presiden Soekarno menyatakan,: Lihatlah sekali lagi, aku berkata indahnya Lambang Negara ini, yang menurut pendapat saya Lambang Negara Republik Indonesia ini adalah yang terindah dan terhebat dari pada seluruh lambang-lambang Negara di muka bumi ini. Saya telah melihat dan mempelajari lambang-lambang negara yang lain-lain. Tapi tidak ada satu yang sehebat, seharmonis seperti Lambang Negara Republik Indonesia.[57]
Gambar 6
Lambang-Lambang Negara Arab Yang Mempergunakan Elang Rajawali Yang Menjadi Bahan Pembanding Rancangan Sultan Hamid II dan terlihat terpengaruh pada bagian cakar kaki dan pita (Repro oleh Penulis dari Ensiklopedia Ensiklopedia Indonesia Edisi Khusus, PT Ichtiar Van Hoeve, Jakarta 1986.Ensiklopedia Pancasila, 1994)
Mengapa figur jenis burung Elang Rajawali yang dipilih untuk Lambang Negara, karena kegagahan bentuknya, dan sudah diketahui secara umum telah digunakan di beberapa negara besar di dunia. Tentu saja dengan penambahan berbagai atribut yang terkait dengan aspek historis atau visi dan misi masing-masing negara, tetapi yang menarik untuk dianalisa secara semiotika hukum adalah, seperti pernyataan Presiden Soekarno, 22 Juli 1958 : [58]
"Pancasila yang tergambar di pusat bintang cermelang atas dasar hitam, sinar cermerlang abadi dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, pohon beringin lambang kebangsaan. Rantai yang terdiri dari pada gelang-gelangan dan persegi dan bundar yang bersambung satu sama lain dalam sambungan yang tiada putusnya, peri kemanusiaan.Banteng Indonesia lambang kedaulatan rakyat. Kapas dan padi lambang kecukupan sandang-pangan, keadilan sosial. Lihatlah sekali lagi, aku berkata indahnya Lambang Negara ini, yang menurut pendapat saya Lambang Negara Republik Indonesia ini adalah yang terindah dan terhebat dari pada seluruh lambang-lambang Negara di muka bumi ini. Saya telah melihat dan mempelajari lambang-lambang negara yang lain-lain. Tapi tidak ada satu yang sehebat, seharmonis seperti Lambang Negara Republik Indonesia....... Sesuatu perobahan dari Dasar Negara membawa perobahan dari pada lambang negara.Saya mengetahui bahwa jikalau lambang negara ini dirobah, sebagian terbesar dari pada Rakyat Indonesia akan menolaknya. Cinta rakyat Indonesia kepada lambang ini telah terpaku sedalam-dalamnya di dalam jiwanya, berarti cinta sebagian terbesar dari pada Rakyat Indonesia kepada Pancasila. Lihatlah sekali lagi kepada Lambang Negara kita Pancasila, yang dilukiskan diatas burung garuda"
Hal yang disampaikan Presiden Soekarno selaras dengan transkrip Sultan Hamid II pada Solichim Salam 15 April 1967:[59]
"..untuk itulah saja putuskan mengubah figur burung dari mitologi garuda ke figur burung elang Radjawali, karena sosoknja lebih besar/gagah dari burung elang jang ada di Djawa dan ini simbolisasi lambang tenaga pembangun/ creatif vermogen negara dengan harapan Negara Republik Indonesia Serikat/RIS mendjadi negara jang besar dan setara dengan negara-negara di dunia, sudah mendjadi kewadjaran dan demikian seharusnja.
Pertanyaannya secara akademis adalah bagaimana visualisasi Pancasila pada Lambang Negara oleh Sultan Hamid II dalam perancangan lambang negara, berdasarkan hasil penelitian penulis, bahwa semua simbol-simbol pada Lambang Negara tersebut sesungguhnya hasil perpaduan yang harmonis, khususnya pada simbol-simbol dalam perisai Pancasila khususnya simbol banteng adalah usulan M. Yamin sila keempat, kecuali rantai simbol sila kedua, perisai dan garis khatulistiwa adalah usulan Sultan hamid II, kapas dan padi dari Ki Hajar Dewantoro, Nur cahaya berbentuk Bintang bersudut lima adalah M Natsir, tetapi berdasarkan hasil penelitian penulis, bahwa yang tak pernah terungkap kepermukaan adalah konsep thawaf atau berputar berlawanan dengan arah jarum jam ketika memvisualisasi simbol-simbol yang mewujudkan dasar Pancasila dan mengapa harus ada dua perisai, inilah yang penulis akan analisis, karena berkaitan erat dengan filsafat hukum Pancasila dalam penjabaran ke dalam materi muatan peraturan perundang-undangan
Yang dimaksudkan filsafat hukum Pancasila pada kajian ini adalah pembacaan Pancasila sebagai rechtsidee (cita hukum) dengan mengacu pada semiotika Pancasila pada perisai Lambang Negara yang mempresentasikan ide Pancasila dan berikut ini penulis menganalisis lambang negara berkaitan dengan konsep Pancasila berdasarkan pendekataan sejarah hukum.
C. Historisitas Perancangan Lambang Negara Republik Indonesia
Adalah suatu kenyataan, bahwa sejarah urusan dengan masa silam, atau kejadian-kejadian yang telah lewat dan tidak mungkin diulang kembali. Penelusuran sejarah memerlukan bukti-bukti sejaman, sebagai suatu "recorded memory" yang sangat penting serta diperlukan dalam pembuktian sejarah. Untuk mengungkapkannya perlu adanya kejujuran dan "kesadaran sejarah", karena kesadaran sejarah itu sendiri adalah sikap kejiwaan atau mental attitude dan state of mind yang merupakan kekuatan moral untuk meneguhkan hati nurani kita sebagai bangsa dengan hikmah kearifan dan kebijaksanaan, dalam menghadapi masa kini dan masa depan dengan belajar dan bercermin kepada pengalamanpengalaman masa lampau.
Sebagaimana pernah dikutip oleh proklamator kita (Bung Karno) dari Sir Jhon Seely, seorang sejarahwan Inggris dalam buku "The Expansion Of England:
"History ought surely in some degree to anticipate the lesson of time. We shall all no doubt be wise after the event we study history that we may be wise before the event". Maknanya ialah "bahwa semua kejadian-kejadian di dalam sejarah itu mengandung pelajaran, dan bahwa kita semua selalu menjadi bijaksana setelah ada suatu peristiwa sejarah terjadi ", itu adalah logis dan terang. Kita tidak boleh akan tertumbuk dua kali kepada tiang yang sama. Tetapi justru untuk bijaksana lebih dulu sebelum suatu peristiwa terjadi. Itulah hikmah kearifan dari kesadaran sejarah. Pernyataan itu sejalan dengan ungkapan bersayap bahwa sejarah harus dijadikan motor penggerak bagi hari depan suatu bangsa, dan hanya bangsa yang besarlah yang man menghargai sejarah bangsanya, "Tanpa ingatan akan sejarahnya dimasa yang lampau setiap bangsa tidak mengerti arti sejarahnya hari sekarang dan tidak akan mempunyai pegangan untuk hari depannya [60]
Dengan persepsi yang demikian itu, tentunya dalam kajian akademis harus ada keberanian moral untuk mengungkapkan dengan jujur, kebenaran dan fakta sejarah secara transparan dan obyektif. Karena kajian akademis yang jujur pada hakekatnya adalah keberanian moral untuk membenahi yang masih terbengkalai, meluruskan yang bengkok, mengadakan koreksi dan penyegaran terus-menerus, secara gradual, beradab dan santun dalam koridor konstitusional serta kajian akademis yang dapat dipertanggungjawabkan.
Atas dasar pandangan yang demikian itu, secara arif apabila kita melihat fakta sejarah nasional khususnya sejarah kenegaraan Republik Indonesia tercatatlah dalam peristiwa masa lampau, andil seorang anak bangsa yang sekaligus orang daerah berasal dari Kalimantan Barat yang sementara ini terlupakan oleh sejarahnya bangsanya, Sultan Hamid II. Sementara ini apabila membicarakan Sultan Hamid II, maka anggapan yang terbentuk adalah bahwa ia adalah seorang yang pernah "terseok dalam kecelakaan sejarah" atau bahkan lebih ekstrim lagi seorang "mantan terpidana kasus politik" belaka. Namun benarkah demikian "cap sejarah" itu. Tidak adakah sisi positif dan sumbangsihnya yang patut diakui dan mendapat penghargaan secara jujur dalam perjalanan sejarah bangsanya, atau memang fakta-fakta sejarah karya kebangsaannya telah tenggelam bersama kemelut politik masa lalu sehingga tidak terangkat kepermukaan. Sebenarnya dengan merujuk kronologis fakta sejarah dapat disimak adanya karya kebangsaan Sultan Hamid II yang merupakan alat perekat nasionalisme Indonesia yang tak ternilai dalam perjalanan sejarah bangsa ini, yang menjadi kenangan masyarakat Indonesia dan secara inheren mengharumkan nama bumi kelahirannya; Kalimantan Barat. Sebagai gambaran singkat peristiwa sejarahnya sebagaimana paparan berikut ini.
Sewaktu menjabat Menteri Negara Zonder Porto Folio (1949-1950) beliau sepenuhnya aktif berperan dan memiliki konstribusi sejarah dalam merancang gambar lambang negara Republik Indonesia, seperti bentuk gambarnya sekarang ini, Rajawali Garuda Pancasila. Catatan serta dokumen proses perancangan lambang negara tersebut masih tersimpan dengan baik saat ini.
Peran dan kontribusi sejarah itu dalam wacana sejarah nasional dan daerah seharusnya terangkat kepermukaan secara obyektif dan transparan. adalah menjadi kewajiban kita untuk menegakan kebenaran dan keadilan sekaligus memahami amanah beliau sebagaimana pernah disampaikan oleh Sultan Hamid II (1974) sewaktu menyerahkan file arsip perancangan lambang negara kepada Mas Agung (Ketua Yayasan Idayu Jakarta) 18 Juli 1974: [61]
"Mungkin ini adalah yang dapat saya sumbangkan kepada bangsa saya, dan "Mudah-mudahan sumbangan pertama saya (buku-buku dan dokumen file mengenai lambang negara) ini bermanfaat bagi negara yang dicintai oleh kita".
Sebagai warga bangsa yang besar dan generasi penerus sejarah bangsanya, sekaligus umat beriman, sudah menjadi kewajiban kita untuk mengangkat kepermukaan fakta dan data sejarah secara jujur dan obyektif. Sebab kalau yang ingin kita inginkan adalah seseorang yang tidak pernah berbuat salah, maka kita tidak akan mempunyai tokoh sejarah secara utuh dan kita akan kesulitan menuliskan secara lengkap fakta sejarah perjuangan para tokoh bangsa di masa lampau. Padahal sejarah haruslah ditampilkan apa adanya sebagai pembawa warta kebenaran sejati dari peristiwa yang terjadi di masa lampau. Untuk itu perlu adanya kesadaran sejarah.
Sisi kesejarahan lambang negara itu dimulai pada tahun 1945 sebelum merdeka, tepatnya pada tanggal 13 Juli 1945 dalam rapat Panitia Perancang Undang-undang Dasar 1945, salah satu anggota Panitia bernama Parada Harahap mengusulkan tentang lambang negara. Usul tersebut disetujui oleh semua anggota, dan disepakati akan dibahas tersendiri kemudian, dalam bentuk Undang-undang istimewa yang mengatur secara khusus tentang lambang negara. Keterangan ini dapat ditemukan dalam naskah Persiapan Undang-Undang Dasar, 1945 jilid I yang disusun oleh Muhammad Yamin hal 263 dan lahirnya UndangUndang Dasar 1945 disusun oleh Soeripto yang menyatakan:[62]
"Anggota Parada Harahap: Mengusulkan supaya disamping bendera juga lambang negara (wapen). Semua setuju, tetapi dalam Undang-undang Istimewa."
Sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia kemudian dibentuk Panitia Indonesia Raya [63], yang bertugas menyelidiki arti lambang-lambang dalam peradaban bangsa Indonesia sebagai langkah awal untuk mempersiapkan bahan kajian tentang lambang negara. Panitia ini dikenal dengan nama Panitia Indonesia Raya yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantoro dan sekretaris umum Muhammad Yamin. Tetapi panitia tersebut belum dapat menyelesaikan tugas akibat terjadinya peristiwa 3 Juli 1946 yang melibatkan Muhammad Yamin.[64]
Patut diperhatikan, bahwa pada tahun 1947 pernah diadakan sayembara rancangan lambang negara oleh Pemerintah yang diadakan oleh kementrian penerangan melalui organisasi seni Lukis seperti SIM (Seniman Indonesia Muda) Pelukis Rakyat) dan dalam catalog pameran Haris Purnomo 2006, yang bertajuk “Dibawah Sayap Garuda” terdapat ulasan Hendro Wiyanto selaku kurator yang mengulas perihal sayembara tersebut dengan judul: Tanda Lambang Garuda” 1951 yang berisi komentarnya tentang hasil rancangan sejumlah pelukis yang telah menuangkan gagasannya kedalam bentuk lambang negara, namun sayang sekali, menurut Oesman kebanyakan pelukis kurang paham hukum-hukum kesejarahan dari tanda lambang negara. Hasilnya tidak satupun dari rancangan lambang negara Garuda Pancasila hasil lomba tersebut seperti yang kita kenal seperti sekarang ini.[65]
Pada tanggal 20 Desember 1949 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat No 2 Tahun 1949, Sultan Hamid II diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Forto Polio. Dalam Kedudukan tersebut Sultan Hamid II dipercayakan untuk merencanakan/membuat perancangan lambang negara.[66] Dalam melaksanakan tugas yang dipercayakan oleh Presiden Soekarno, Sultan Hamid II secara pribadi mempersiapkan rancangan lambang negara dengan bentuk dasar burung Garuda yang memegang perisai Pancasila.
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan H. Mas Agung (1974), sewaktu menyerahkan file dokumen proses perancangan lambang negara. Dapat dikemukakan "Ide Perisai Pancasila" itu muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Beliau (Sultan Hamid II) teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara tersebut melambangkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia/ide Pancasila. Inilah saat-saat moment bersejarah dalam proses perancangan lambang negara Indonesia, dimana sila-sila dari dasar negara yaitu Pancasila divisualisasikan dalam bentuk simbol-simbol yang tergambar dalam lambang negara.
Berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) 1949 Pasal 3 ayat 3: Pemerintah menetapkan meterai dan lambang negara. Pada Sidang kedua Kabinet RIS tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara (Lambang Negara) dibawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan Panitia teknis:[67] Muhammad Yamin (Ketua), Ki Hajar Dewantoro (anggota), M.A Pellaupessy, (anggota), Moh. Natsir (anggota), R.M. Ng Purbatjaraka (anggota). Panitia ini bertugas menyeleksi/ menilai usulan-usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Merujuk keterangan Mohammad Hatta (Buku Bung Hatta Menjawab) untuk melaksanakan keputusan sidang kabinet tersebut menteri Priyono melaksanakan sayembara lambang negara. Hasil sayembara lambang negara itu ada dua (2) gambar rancangan lambang negara yang terbaik yaitu dari Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin. Dalam proses selanjutnya yang diterima oleh pemerintah adalah hasil rancangan Sultan Hamid II. Adapun yang dari Muhammad Yamin ditolak, karena ada sinar-sinar matahari dan menampakan sedikit banyak disengaja atau tidak, pengaruh Jepang.
Keterangan Mohammad Hatta itu selengkapnya adalah: [68]
“..... Patut pula ditambahkan sebagai catatan bahwa lambang dengan tulisan yang mempunyai arti yang demikian mendalam itu, dipadukan menjadi seperti sekarang ini, dengan melalui sayembara waktu RIS dulu dan dilaksanakan oleh Menteri Priono, Banyak gambar yang masuk waktu itu, tetapi yang terbaik akhirnya ada dua buah, satu dari Muhammad Yamin dan yang satu lagi dari Sultan Hamid. Yang diterima oleh Pemerintah dan DPR adalah dari Sultan Hamid yakni seperti sekarang ini. Adapun dari Muhammad Yamin ditolak, karena disana ada gambar sinar-sinar matahari dan menampakan sedikit banyak disengaja atau tidak pengaruh Jepang. Saya berpendapat bahwa apa yang ada sekarang itu, seperti uraian saya tadi sudah tepat dan bernilai abadi bagi kehidupan negara dan bangsa Indonesia".
Setelah terpilihnya rancangan lambang negara rancangan Sultan Hamid II oleh pemerintah dan Parlemen RIS tersebut, proses selanjutnya adalah diadakan dialog intensif antara perancang lambang negara Sultan Hamid II dengan Presiden RIS: Soekarno dan Perdana Menteri RIS Moh. Hatta serta anggota Panitia Lambang Negara), untuk menyempurnakan rancangan tersebut.
Adapun masukan penyempurnaan pertama sebagaimana dinyatakan Mohammad Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab dan Sultan Hamid II (transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dan Mas Agung, 1974) ialah adanya kesepakatan beliau bertiga (Sultan Hamid II, Soekamo, Mohammad Hatta) memenuhi usulan Presiden Soekarno: Mengganti pita yang yang dicengkeram Garuda[69], yang semula adalah pita berwarna merah putih menjadi pita berwarna putih,karena merah putih sudah terwakili pada perisai Pancasila dengan tambahan seloka “Bhinneka Tunggal Ika”.
Untuk memberikan masukan perencanaan gambar lambang negara, Sultan Hamid II telah meminta Ki Hajar Dewantoro untuk memberikan masukan dan hal ini dibuktikan bahwa pada tanggal 26 Januari 1950 Ki Hajar Dewantoro dari Yogyakarta mengirimkan surat kepada Sultan Hamid II melalui sekretaris Dewan Menteri RIS Z. Yahya yang isinya menunjuk Muhammad Yamin untuk memberikan masukan mewakili beliau kepada Panitia Lambang Negara dan surat turunannya telah disampaikan kepada Menteri Negara Sultan Hamid II tanggal 1 Februari 1950 No XXX/ 202, Perihal Panitia Lambang Negara.
Isi surat balasan Ki Hajar Dewantoro kepada Sultan Hamid II itu sebagai berikut:[70]
Yogyakarta, 26 Januari 1950
“Merdeka!
Menarik kawat paduka Tuan hari ini, yang bermaksud atas Nama Yang Mulia Menteri Negara R.I.S Sri Sultan Hamid ke II mengundang saya pergi ke Jakarta untuk keperluan "Panitia Lambang Negara", maka dengan ini saya memberitahukan kepada Paduka Tuan:
1. Bahwa pada waktu ini ada beberapa keperluan serta pekerjaan yang penting bagi saya di Yogyakarta, sehingga sukariah bagi saya untuk pergi ke Jakarta.
2.Bahwa kalaulah benar saya diangkat menjadi anggota dari pada "Panitia Lambang Negara RIS" sebenarnya tentang rancangan membuat lambang itu sudah pemah dilakukan penyelidikan yang seksama oleh "Panitia Indonesia Raya", yang dulu dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia Raya, yang saya menjadi ketuanya, sedangkan saudara Mr Muhammad Yamin duduk menjadi sekretaris umum. Dalam penyelidikan itu saudara Mr Muhammad Yamin sendiri lebih mengetahui segala apa yang direncanakan oleh "Panitia Indonesia Raya " tersebut dari pada saya sendiri.
3.Bahwa kalau sungguh-sungguh diperlukan pendapat atau nasehat saya dalam Panitia lambang Negara R.I.S. sekarang ini, maka cukuplah kiranya ketua Panitia Mr Muhammad Yamin atau anggota lainnya pergi ke Yogya untuk bertukar pikir dengan saya, atau cukuplah barangkali, bisa saya hanya mengirimkan nasehat atau usul dengan tertulis kepada Panitia di Jakarta.Dalam hal ini alangkah baiknya, jika Panitia mengirimkan pertanyaan-pertanyaan yang tertentu kepada saya untuk saya jawab.
Demikianlah keterangan saya atas isi kawat, yang hari ini saya kirimkan kepada Paduka Tuan, sebagai balasan kawat Paduka Tuan kepada saya.
Hormat Salam....
Merdeka Dewantoro
Selanjutnya setelah mendengar berbagai masukan dari anggota Panitia Lambang Negara khususnya dari Ki Hajardewantoro dan Muhammad Yamin, yaitu mengenai figur burung Garuda, pada tanggal 8 Februari 1950 rancangan final gambar lambang negara yang dibuat Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Sukarno. Gambar rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari suatu Partai Islam (Masyumi) untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai, karena dianggap bersifat mitologis khayalan dan terkesan mitologi dan feodal, juga keberatan seperti dijelaskan selengkapnya dalam transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967 yang disampaikan kepada wartawan Solichim Salam, berikut ini: [71]
"Saja putuskan tjiptaan pertama berbentuk figur burung Garuda jang memegang perisai Pantja-Sila, seperti masukan Ki Hadjar Dewantara jang diambil dari mitologi garuda pada peradaban bangsa Indonesia, tetapi ketika gambar lambang negara ini saja bawa ke dalam Rapat Panitia Lambang Negara 8 Februari 1950, ternjata ditolak oleh anggota Panitia lambang Negara RIS lain, karena ada keberatan dari M Natsir ada tangan manusia jang memegang perisai berkesan terlalu mitologi dan feodal, djuga keberatan anggota lain R.M Ng Purbatjaraka terhadap djumlah bulu ekor tudjuh helai, terus terang jang mengusulkan tudjuh helai ini adalah Mr M.Yamin, untuk itu saja mintakan dalam rapat Mr.M. Yamin ketika itu mendjelaskan makna tudjuh helai bulu ekor selaku Ketua Panitia Lambang Negara, dan ada kesepakatan untuk dirubah mendjadi 8 helai bulu ekor, sebagai tjandra sengkala /identitas negara proklamasi 17-8-45 atas usulan M.A Pellaupessy yang menurut beliau tak boleh dilupakan."
"Burung Garuda itu memegang sebuah perisai yang terbagi atas lima bidang, yang keseluruhannya melukiskan ajaran Pancasila yang menjadi dasar filosofi kenegaraan sejak proklamasi: Peri Ketuhanan Yang Maha Esa, Peri Kebangsaan, Peri Kerakyatan, Peri Kemanusiaan dan Peri Keadilan. Semboyan yang banyaknya 17 aksara itu Bhinneka Tunggal Ika berasal dari pujangga Tantular yang mengarang kitab Sutasoma pads zaman emas sekeliling patih Gadjah Mada dan negara Hayam Wuruk pada pertengahan abad XIV. Adapun arti seloka Jawa lama itu: Walaupun berbeda-beda atau berlainan agama, keyakinan dan tinjauan, tetapi tetap tinggal bersatu atau dalam bahasa latin le pluribus unum"
Tanggal 10 Februari 1950 Sultan Hamid II mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Figur Elang Rajawali Garuda Pancasila[72], disingkat Garuda Pancasila. Disini burung Garuda digambar dalam bentuk alami menyerupai Elang Rajawali yang perkasa, (lihat gambar 8) dan perisai Pancasila digantungkan menempel pada leher Elang Rajawali Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Perdana Menteri RIS, yaitu Mohammad Hatta, 10 Februari 1950[73]
Tanggal 11 Februari 1950 rancangan lambang negara yang dibuat Sultan Hamid II ditetapkan oleh Pemerintah/Kabinet RIS[74] dan diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet dan Parlemens RIS yang dipimpin Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta. Inilah saat pertama bangsa Indonesia mempunyai lambang negara, yang merupakan karya kebangsaan yang diramu dari berbagai aspirasi, oleh seorang anak bangsa Indonesia Sultan Hamid II dan keterangan ini diperkuat oleh Bung Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab:[75]
"Semboyan Bhinneka, Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno, setelah kits merdeka, semboyan itu kemudian diperkuat dengan lambang yang dibuat oleh Sultan Abdul Hamid Pontianak dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Februari 1950"
Ketika diresmikan lambang negara khususnya gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul dan tidak berjambul" atau bentuk kepalanya belum seperti sekarang ini. Keterangan ini jugs diperkuat oleh A.G Pringgodigdo dalam Bukunya Sekitar Pancasila, yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI, 1978:[76]
“Berdasarkan atas pasal 3 Konstitusi itu (RIS) pads tanggal 11 Februari 1950 Pemerintah RIS telah menetapkan lambang negara, yang berupa lukisan burung Garuda dan Perisai, yang terbagi dalam 5 ruang yang mengingatkan kepada PANCASILA. Pada waktu itu burung Garuda kepala “gundul”, tidak pakai “jambul”. Hal ini berubah dalam Lambang Negara Republik Indonesia Kesatuan, yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah tanggal 17 Oktober 1951 No 66 Tahun 1951” .
Tanggal 15 Februari 1950 Presiden Soekarno memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara tersebut kepada khalayak umum di Hotel Des Indes (sekarang Duta Merlin) Jakarta dan pada tanggal 20 Februari 1950[77], lambang negara yang dibuat Sultan Hamid II sudah terpasang didalam ruang sidang Parlemen RIS di Istana Merdeka Penjambon yang dibuka oleh Presiden Soekarno.
"Selandjutnja gambar lambang negara saja bisa diterima oleh anggota Panitia Lambang Negara, demikian djuga lambang negara rantjangan Mr.M Yamin jang kemudian kami serahkan bersama kepada Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta untuk dibawa ke Pemerintah dan sidang Parlemen RIS untuk dipilih, alhamdulillah gambar rantjangan saja jang diterima 10 Februari 1950 dan esoknja untuk pertama kali diperkenalkan kepada halajat ramai di Hotel Des Indes, jang kemudian pada rapat parlemen RIS bersama Pemerintah ditetapkan oleh Parlemen RIS sebagai Lambang Negara RIS pada tanggal 11 Februari 1950, walaupun demikian ada masukan beberapa waktu kemudian dari Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno ketika beliau sedang berpidato kenegaraan 20 Februari 1950 melihat lambang negara tersebut jang tergantung dibelakang pondium di gedung parlemen Istana Merdeka Pedjambon, karena kepala burung Radjawalinja tidak "berjambul" dan terlihat "gundul", Paduka Jang Mulia meminta saja untuk memperbaiki bentuk kepala, kemudian saja mengubah bagian kepala menjadi berdjambul, kemudian oleh kementerian penerangan RIS atas perintah Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada pelukis Dullah untuk melukis kembali lambang negara tersebut, kemudian lukisan itu saja potret dalam bentuk hitam putih untuk dikoreksi kembali oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno dan ternjata masih ada keberatan dari beliau, jakni bentuk tjakar kaki jang mentjekram seloka Bhinneka Tunggal Ika dari arah belakang sepertinja terbalik, saja mentjoba mendjelaskan kepada Paduka Jang Mulia, memang begitu burung terbang membawa sesuatu seperti keadaan alamiahnja, tetapi menurut Paduka Jang Mulia Seloka ini adalah hal jang sangat prinsip, karena memang sedjak semula merupakan usulan beliau sebagai ganti rentjana pita merah putih jang menurut beliau sudah terwakili pada warna perisai, selandjutnja meminta saja untuk mengubah bagian tjakar kaki mendjadi mentjekram pita/mendjadi kearah depan pita agar tidak "terbalik" dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip "djatidiri" bangsa Indonesia, karena merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" dalam negara RIS, mengertilah saja pesan filosofis Paduka Jang Mulia itu, djadi djika "bhinneka" jang ditondjolkan itu maknanja perbedaan jang menondjol dan djika "keikaan" jang ditondjolkan itulah kesatuan republik jang menondjol, djadi keduanja harus disatukan, karena ini lambang negara RIS jang didalamnja merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" haruslah dipegang teguh sebagai "djatidiri" dan prinsip berbeda-beda pandangan tapi satu djua, "e pluribus unum".
Akhir Februari 1950 Sultan Hamid II mendapat saran dari Presiden Soekarno untuk menyempurnakan kembali bentuk kepala burung Rajawali Garuda Pancasila. Selanjutnya sekitar awal Maret 1950 Sultan Hamid II mengajukan lukisan lambang negara yang sudah diperbaiki (lihat gambar 9). Lambang Negara tersebut ternyata masih mendapat masukan dari Presiden Soekarno, yaitu pada bagian bentuk cakar kaki yang mencengkram pita yang terlihat menghadap ke belakang terkesan terbalik. Penyempurnaan yang dilakukan Sultan Hamid II hanya tinggal merubah bentuk cakar kaki sehingga menghadap ke depan, dan bagian lain sudah sama seperti gambar lambang negara sekarang ini.
Mengenai gambar lambang negara inipun dijelaskan dalam transkrip Sultan Hamid II , 15 April 1967 sebagai berikut : [78]
" Walapun saja harus susah pajah membuat sketsa kembali untuk pembentulan bagian tjakar kaki itu, tetapi saja mengerti ini hal bagian jang sangat penting dalam lambang negara RIS, karena mengandung tiga konsep lambang sekaligus, jakni pertama, burung Radjawali-Garuda Pantja-Sila jang menurut perasaan bangsa Indonesia berdekatan dengan burung garuda dalam mitologi, kedua perisai idee Pantja-Sila ber"thawaf"/gilir balik, dan ketiga, seloka Bhinneka Tunggal Ika jang tertulis dalam pita warna putih, untuk itu saja meminta bantuan R Ruhl untuk membuat sketsa dari lambang negara jang saja buat dengan membawa potret lukisan lambang negara jang dilukis oleh Dullah, karena lukisan Dullah jang gambar rantjangannja semula tjengkraman kakinja menghadap kebelakang telah diserahkan kepada kementerian penerangan RIS jang ketika itu masih berada di Yogjakarta, kemudian dimintakan kepada saja oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno untuk tidak disebarkan dahulu ke pelosok negara RIS, setelah itu sketsa transkrip/out werp jang dilukis R.Ruhl saja adjukan kembali ke Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ternjata beliau langsung mendisposisi sebagai wapen negara, waktu itu tanggal 20 Maret 1950, kemudian beliau memerintahkan untuk memanggil Dullah sang pelukis Istana/pelukis kesayangan bung Karno untuk melukis kembali berdasarkan sketsa perbaikan R.Ruhl tersebut, walaupun ketika itu kita harus merugi beberapa ribu rupiah lagi untuk membajar pelukis Dullah.
Tanggal 20 Maret 1950 bentuk final gambar lambang negara rancangan Sultan Hamid II yang telah diperbaiki tersebut diajukan kepada Presiden Soekarno dan mendapat disposisi persetujuan Presiden. Adapun isi disposisi tersebut berbunyi:[79]
"J.M Sultan Hamid menteri negara, menurut pendapat saya lukisan Ruhl ini membuat lambang negara kita lebih kuat, maka untuk itu saya tetapkan bahwa ontwerp Ruhl inilah yang harus dipakai. Lebih baik kita rugi beberapa ribu rupiah daripada mempunyai lambang negara yang kurang sempurna. Saya harap J.M mengambil tindakan seperlunya contoh kehendak saya. Merdeka!".
Mengenai kata-kata "Lukisan Ruhl, ontwerp Ruhl" ini pernah penulis tanyakan kepada lbu K. Irawati dan Max Yusuf Alkadrie dan menurut keterangan Sultan Hamid II, bahwa Ruhl itu sebenarnya adalah nama seorang berkebangsaan Perancis yang bernama D. Ruhl Jr. Dan Ruhl inilah semasa proses perancangan lambang negara adalah menjadi penasehat/konsultan pribadi yang membantu Sultan Hamid II dalam membuat lambang negara. D. Ruhl Jr. adalah seorang ahli semiologi (Ilmu Lambang-Iambang) dan D. Ruhl Jr. inilah yang memberi masukan kepada Sultan Hamid II mengenai bentuk penyempurnaan cakar kaki Elang Rajawali Garuda Pancasila. Dokumen lukisan D .Ruhl Jr sebagai mana dimaksud dijelaskan secara rinci dalam transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967: [85]
"untuk itu saja meminta bantuan D Ruhl Jr untuk membuat sketsa dari lambang negara jang saja buat dengan membawa potret lukisan lambang negara jang dilukis oleh Dullah, karena lukisan Dullah jang gambar rantjangannja semula tjengkraman kakinja menghadap kebelakang telah diserahkan kepada kementerian penerangan RIS jang ketika itu masih berada di Yogjakarta, kemudian dimintakan kepada saja oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno untuk tidak disebarkan dahulu ke pelosok negara RIS, setelah itu sketsa transkrip/out werp jang dilukis D.Ruhl Jr saja adjukan kembali ke Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ternjata beliau langsung mendisposisi sebagai wapen negara, waktu itu tanggal 20 Maret 1950.."
Yogyakarta, 26 Januari 1950
“Merdeka!
Menarik kawat paduka Tuan hari ini, yang bermaksud atas Nama Yang Mulia Menteri Negara R.I.S Sri Sultan Hamid ke II mengundang saya pergi ke Jakarta untuk keperluan "Panitia Lambang Negara", maka dengan ini saya memberitahukan kepada Paduka Tuan:
".......sebenarnya tentang rancangan membuat lambang itu sudah pemah dilakukan penyelidikan yang seksama oleh "Panitia Indonesia Raya", yang dulu dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia Raya, yang saya menjadi ketuanya, sedangkan saudara Mr Muhammad Yamin duduk menjadi sekretaris umum. Dalam penyelidikan itu saudara Mr Muhammad Yamin sendiri lebih mengetahui segala apa yang direncanakan oleh "Panitia Indonesia Raya " tersebut dari pada saya sendiri.
Bahwa kalau sungguh-sungguh diperlukan pendapat atau nasehat saya dalam Panitia lambang Negara R.I.S. sekarang ini, maka cukuplah kiranya ketua Panitia Mr Muhammad Yamin atau anggota lainnya pergi ke Yogya untuk bertukar pikir dengan saya, atau cukuplah barangkali, bisa saya hanya mengirimkan nasehat atau usul dengan tertulis kepada Panitia di Jakarta.
Mengenai jumlah bulu ekor garuda berjumlah 7 (tujuh) helai, alasan Muhammad Yamin, bahwa bulu ekor yang berjumlah 7 itu mengandung makna sebagaimana penjelasannya dikutip dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 6 hal 66:
"Angka 7 menyatakan kesempurnaan tata negara, seperti semenjak beribu tahun silan telah lazim dalam peradaban Indonesia, misalnya: Saptarajopa (Ramayana), Saptaperabu (Majapahit), Kraengpitu (Makasar), Rajo nail tigo selo bassa mpek (Minangkabau)" [47]
Rancangan lambang negara berbentuk Garuda yang memegang perisai ini menurut catatan Muhammad Yamin disebutkan bahwa rancangan ini telah dipersiapkan di Istana Gambir dalam rapat panitia lambang negara bersama PYM Presiden Soekarno dan YM Sultan Hamid II pada tanggal 8 Februari 1950[48].
Kemudian ketika gambar tersebut oleh H. Mas Agung dipertanyakan kepada Sultan Hamid II tahun 1974, beliau kemudian menulis dibawah dokumen lukisan itu sebagai berikut:[49]
"Maaf dik Mas Agung tetapi foto ini sebetulnya ciptaan pertama saya yang selanjutnya diperbaiki, foto ini tidak berharga" Hamid 17-7-74"
Pertanyaannya mengapa figur burung Garuda yang dipilih yang ketika diajukan oleh Sultan Hamid II sebagai ciptaan pertama kepada Panitia Lambang Negara tanggal 8 Februari 1950 direvisi dan selanjutnya diperbaiki ? karena memang pada awalnya lambang negara yang dibuat Sultan Hamid II terinspirasi oleh mitologi Garuda yang terdapat beberapa candi, baik dalam bentuk arca maupun relief yang dikumpulkan oleh Ki Hajar Dewantoro untuk dikirim kepada Sultan Hamid II akhir Januari 1950 dan sketsa tersebut masih dapat dilihat di ruang Pribadi Mas Agung di Yayasan Amas Agung Jakarta saat ini, sebagaimana fhoto dokumen berikut ini yang diprepo penulis, 1999 seperti terlihat pada bagian bawah:
Gambar 5
File Dokumen Lambang Negara Yang berada di Yayasan Mas Agung Kwitang Senen Jakarta yang diserahkan oleh Sultan Hamid II kepada H Mas Agung, 18 Juli 1974 (Repro oleh Penulis, 1999 dari Yayasan Mas Agung)
Menurut Aryandini[50] fragmen cerita tentang Garuda (Garudeya) terdapat pada Candi Kidal dan Candi Kedaton yang dibangun 1730. Dikomplek percandian Sukuh di lereng Gunung Lawu terdapat relief yang dengan jelas menggambarkan cerita Garudeya tersebut, Selain relief juga dapat ditemui arca Garudeya sedang terbang sambil mencengkram gajah dan kura-kura, oleh sebab itu beberapa alternatif wujud lambang negara kita ketika proses perancangan berbentuk manusia burung, seperti pada goresan Sultan Hamid II sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.
Arca berbentuk Wisnu mengendarai Garuda juga ditemukan di Candi Belahan yang merupakan makam Erlangga di Tirta, lereng Gunung Penanggungan, Jawa Timur.[51]
Jika mengacu secara historis pasal 3 Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951, disebutkan"Burung Garuda yang digantungi perisai itu ialah lambang, tenaga pembangun (creatif vermogen) seperti dikenal pada peradaban Indonesia. Burung Garuda dari mitologi menurut perasaan Indonesia berdekatan dengan Elang Rajawali...' atau ,menurut pasal Pasal 47 ayat (1) Garuda dengan perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang mewujudkan lambang tenaga pembangunan.
Menurut Akmal Sutja[52] menjelaskan bahwa garuda itu ialah istilah yang dipakai dalam mitologi untuk menunjuk elang Rajawali, sementara wujud asli atau alamiahnya adalah elang Rajawali. Orang bisa menggabungkan suatu mitos dengan fungsi ideologis tertentu. Penggabungan demikian terjadi dalam pandangan hidup (Weltanschauung) suatu masyarakat.[53]
Menurut Ismaun, beberapa alasan mengapa burung garuda terpilih menjadi lambang negara Indonesia, antara lain karena garuda atau elang Rajawali adalah burung terbesar, kuat dan mampu terbang tinggi, melambangkan cita-cita bangsa Indonesia yang tinggi dengan kekuatan sendiri, tanpa menggantungkan kekuatan bangsa lain.[54]
Sebuah buku berjudul "Des Conrad Gruenenberg, Ritters und burgers in Constanzwappenbuch, vollbarchtam nuenden Tag des Abrellen, do man zaelt tusend vier bundert drue und achtzzig jar" yang terbit tahun 1453 memuat lambang "Kaisar Jawa" yang memperlihatkan seekor phoeneix di atas api unggun. Sedangkan Kaisar Sumatera, memakai lambang Rajawali yang digambar dari samping dengan kedua cakarnya mengarah kedepan, artinya pilihan jenis hewan sebagai lambang sebuah negara sudah dilakukan oleh para leluhur kita.[55]
Secara historis teks kenegaraan menyatakan dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 pasal 1 menyatakan:
"Mengambil gambaran hewan untuk Lambang Negara bukanlah barang yang ganjil, Misalnya untuk Lambang Republik India diambil lukisan singa, lembu, kuda dan gajah, seperti tergambar pada tiang Maharaja Priyadarsi Asyoka berasal dari Sarnath dekat Benares. Lukisan garuda diambil dari benda peradaban Indonesia, seperti hidup dalam mytologi, symbologi dan kesusasteraan Indonesia dan seperti pula tergambar pada beberapa candi sejak abad ke 6 sampai ke abad 16.
Ada satu hal yang menarik untuk diungkapkan, bahwa Sultan Hamid II ketika merancang gambar Lambang Negara ia juga melakukan perbandingan dengan negara-negara lain baik Lambang Negara di Eropah Polandia, Jerman, Albania. Armenia, Austria, Rumania, Moldova, Serbia, maupun negara-negara Arab,seperti Emirat Arab, Yaman, Sudan, Irak, Suriah dan Libya, juga Amerika.
Bentuk burung pada lambang-lambang sedemikian dratis demi mewujudkan karakter negara yang dilambangkan. Jika dibandingkan antara lambang negara Indonesia dengan lambang negara Amerika tampak ada kemiripan antara keduanya, yaitu pada seloka Bhinneka Tunggal Ika untuk Lambang Negara Indonesia dicenkram oleh kedua cakar Elang Rajawali Garuda Pancasila, maka semboyan negara Amerika Serikat 'e pluribus unum digambarkan berupa selembar pita sedang melayang di atas kepala burung elang Bondol (blad eagle) burung khas yang hidup di Amerika, bandingkan pula bentuk kepala burung Lambang Negara RIS, 11 Februari 1950.
Penggambaran selembar pita sebagai bidang tulisan lambang negara adalah tradisi negara Arab, dan walaupun bentuknya berbeda-beda, semua lambang negara yang menggunakan figur burung Elang Rajawali hampir selalu memasangkan perisai dibagian dadanya, tetapi yang menarik adalah Sultan Hamid II ketika merancang sempat terpengaruh bentuk cakar kaki yang mengarah ke belakang selain itu bentuk pita juga ternyata mirip, tetapi rata-rata lambang negara di negara-negara Arab menggunakan pita dan berisi tulisan, seperti pada lambang negara Suriah dan Libya.
Menurut penulis kemiripan itu memberikan pertanda bahwa lambang negara Republik Indonesia bersifat universal atau dalam tataran filosofis adalah logosentrisme, yaitu kecenderungan sistem pemikiran yang mencari legitimasinya dengan mengacu pada dalil-dalil kebenaran universal atau jaminan makna sentral dan orisinalitas (mind, wahyu, dan sebagainya)[56], bahkan Presiden Soekarno menyatakan,: Lihatlah sekali lagi, aku berkata indahnya Lambang Negara ini, yang menurut pendapat saya Lambang Negara Republik Indonesia ini adalah yang terindah dan terhebat dari pada seluruh lambang-lambang Negara di muka bumi ini. Saya telah melihat dan mempelajari lambang-lambang negara yang lain-lain. Tapi tidak ada satu yang sehebat, seharmonis seperti Lambang Negara Republik Indonesia.[57]
Gambar 6
Lambang-Lambang Negara Arab Yang Mempergunakan Elang Rajawali Yang Menjadi Bahan Pembanding Rancangan Sultan Hamid II dan terlihat terpengaruh pada bagian cakar kaki dan pita (Repro oleh Penulis dari Ensiklopedia Ensiklopedia Indonesia Edisi Khusus, PT Ichtiar Van Hoeve, Jakarta 1986.Ensiklopedia Pancasila, 1994)
Mengapa figur jenis burung Elang Rajawali yang dipilih untuk Lambang Negara, karena kegagahan bentuknya, dan sudah diketahui secara umum telah digunakan di beberapa negara besar di dunia. Tentu saja dengan penambahan berbagai atribut yang terkait dengan aspek historis atau visi dan misi masing-masing negara, tetapi yang menarik untuk dianalisa secara semiotika hukum adalah, seperti pernyataan Presiden Soekarno, 22 Juli 1958 : [58]
"Pancasila yang tergambar di pusat bintang cermelang atas dasar hitam, sinar cermerlang abadi dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, pohon beringin lambang kebangsaan. Rantai yang terdiri dari pada gelang-gelangan dan persegi dan bundar yang bersambung satu sama lain dalam sambungan yang tiada putusnya, peri kemanusiaan.Banteng Indonesia lambang kedaulatan rakyat. Kapas dan padi lambang kecukupan sandang-pangan, keadilan sosial. Lihatlah sekali lagi, aku berkata indahnya Lambang Negara ini, yang menurut pendapat saya Lambang Negara Republik Indonesia ini adalah yang terindah dan terhebat dari pada seluruh lambang-lambang Negara di muka bumi ini. Saya telah melihat dan mempelajari lambang-lambang negara yang lain-lain. Tapi tidak ada satu yang sehebat, seharmonis seperti Lambang Negara Republik Indonesia....... Sesuatu perobahan dari Dasar Negara membawa perobahan dari pada lambang negara.Saya mengetahui bahwa jikalau lambang negara ini dirobah, sebagian terbesar dari pada Rakyat Indonesia akan menolaknya. Cinta rakyat Indonesia kepada lambang ini telah terpaku sedalam-dalamnya di dalam jiwanya, berarti cinta sebagian terbesar dari pada Rakyat Indonesia kepada Pancasila. Lihatlah sekali lagi kepada Lambang Negara kita Pancasila, yang dilukiskan diatas burung garuda"
Hal yang disampaikan Presiden Soekarno selaras dengan transkrip Sultan Hamid II pada Solichim Salam 15 April 1967:[59]
"..untuk itulah saja putuskan mengubah figur burung dari mitologi garuda ke figur burung elang Radjawali, karena sosoknja lebih besar/gagah dari burung elang jang ada di Djawa dan ini simbolisasi lambang tenaga pembangun/ creatif vermogen negara dengan harapan Negara Republik Indonesia Serikat/RIS mendjadi negara jang besar dan setara dengan negara-negara di dunia, sudah mendjadi kewadjaran dan demikian seharusnja.
Pertanyaannya secara akademis adalah bagaimana visualisasi Pancasila pada Lambang Negara oleh Sultan Hamid II dalam perancangan lambang negara, berdasarkan hasil penelitian penulis, bahwa semua simbol-simbol pada Lambang Negara tersebut sesungguhnya hasil perpaduan yang harmonis, khususnya pada simbol-simbol dalam perisai Pancasila khususnya simbol banteng adalah usulan M. Yamin sila keempat, kecuali rantai simbol sila kedua, perisai dan garis khatulistiwa adalah usulan Sultan hamid II, kapas dan padi dari Ki Hajar Dewantoro, Nur cahaya berbentuk Bintang bersudut lima adalah M Natsir, tetapi berdasarkan hasil penelitian penulis, bahwa yang tak pernah terungkap kepermukaan adalah konsep thawaf atau berputar berlawanan dengan arah jarum jam ketika memvisualisasi simbol-simbol yang mewujudkan dasar Pancasila dan mengapa harus ada dua perisai, inilah yang penulis akan analisis, karena berkaitan erat dengan filsafat hukum Pancasila dalam penjabaran ke dalam materi muatan peraturan perundang-undangan
Yang dimaksudkan filsafat hukum Pancasila pada kajian ini adalah pembacaan Pancasila sebagai rechtsidee (cita hukum) dengan mengacu pada semiotika Pancasila pada perisai Lambang Negara yang mempresentasikan ide Pancasila dan berikut ini penulis menganalisis lambang negara berkaitan dengan konsep Pancasila berdasarkan pendekataan sejarah hukum.
C. Historisitas Perancangan Lambang Negara Republik Indonesia
Adalah suatu kenyataan, bahwa sejarah urusan dengan masa silam, atau kejadian-kejadian yang telah lewat dan tidak mungkin diulang kembali. Penelusuran sejarah memerlukan bukti-bukti sejaman, sebagai suatu "recorded memory" yang sangat penting serta diperlukan dalam pembuktian sejarah. Untuk mengungkapkannya perlu adanya kejujuran dan "kesadaran sejarah", karena kesadaran sejarah itu sendiri adalah sikap kejiwaan atau mental attitude dan state of mind yang merupakan kekuatan moral untuk meneguhkan hati nurani kita sebagai bangsa dengan hikmah kearifan dan kebijaksanaan, dalam menghadapi masa kini dan masa depan dengan belajar dan bercermin kepada pengalamanpengalaman masa lampau.
Sebagaimana pernah dikutip oleh proklamator kita (Bung Karno) dari Sir Jhon Seely, seorang sejarahwan Inggris dalam buku "The Expansion Of England:
"History ought surely in some degree to anticipate the lesson of time. We shall all no doubt be wise after the event we study history that we may be wise before the event". Maknanya ialah "bahwa semua kejadian-kejadian di dalam sejarah itu mengandung pelajaran, dan bahwa kita semua selalu menjadi bijaksana setelah ada suatu peristiwa sejarah terjadi ", itu adalah logis dan terang. Kita tidak boleh akan tertumbuk dua kali kepada tiang yang sama. Tetapi justru untuk bijaksana lebih dulu sebelum suatu peristiwa terjadi. Itulah hikmah kearifan dari kesadaran sejarah. Pernyataan itu sejalan dengan ungkapan bersayap bahwa sejarah harus dijadikan motor penggerak bagi hari depan suatu bangsa, dan hanya bangsa yang besarlah yang man menghargai sejarah bangsanya, "Tanpa ingatan akan sejarahnya dimasa yang lampau setiap bangsa tidak mengerti arti sejarahnya hari sekarang dan tidak akan mempunyai pegangan untuk hari depannya [60]
Dengan persepsi yang demikian itu, tentunya dalam kajian akademis harus ada keberanian moral untuk mengungkapkan dengan jujur, kebenaran dan fakta sejarah secara transparan dan obyektif. Karena kajian akademis yang jujur pada hakekatnya adalah keberanian moral untuk membenahi yang masih terbengkalai, meluruskan yang bengkok, mengadakan koreksi dan penyegaran terus-menerus, secara gradual, beradab dan santun dalam koridor konstitusional serta kajian akademis yang dapat dipertanggungjawabkan.
Atas dasar pandangan yang demikian itu, secara arif apabila kita melihat fakta sejarah nasional khususnya sejarah kenegaraan Republik Indonesia tercatatlah dalam peristiwa masa lampau, andil seorang anak bangsa yang sekaligus orang daerah berasal dari Kalimantan Barat yang sementara ini terlupakan oleh sejarahnya bangsanya, Sultan Hamid II. Sementara ini apabila membicarakan Sultan Hamid II, maka anggapan yang terbentuk adalah bahwa ia adalah seorang yang pernah "terseok dalam kecelakaan sejarah" atau bahkan lebih ekstrim lagi seorang "mantan terpidana kasus politik" belaka. Namun benarkah demikian "cap sejarah" itu. Tidak adakah sisi positif dan sumbangsihnya yang patut diakui dan mendapat penghargaan secara jujur dalam perjalanan sejarah bangsanya, atau memang fakta-fakta sejarah karya kebangsaannya telah tenggelam bersama kemelut politik masa lalu sehingga tidak terangkat kepermukaan. Sebenarnya dengan merujuk kronologis fakta sejarah dapat disimak adanya karya kebangsaan Sultan Hamid II yang merupakan alat perekat nasionalisme Indonesia yang tak ternilai dalam perjalanan sejarah bangsa ini, yang menjadi kenangan masyarakat Indonesia dan secara inheren mengharumkan nama bumi kelahirannya; Kalimantan Barat. Sebagai gambaran singkat peristiwa sejarahnya sebagaimana paparan berikut ini.
Sewaktu menjabat Menteri Negara Zonder Porto Folio (1949-1950) beliau sepenuhnya aktif berperan dan memiliki konstribusi sejarah dalam merancang gambar lambang negara Republik Indonesia, seperti bentuk gambarnya sekarang ini, Rajawali Garuda Pancasila. Catatan serta dokumen proses perancangan lambang negara tersebut masih tersimpan dengan baik saat ini.
Peran dan kontribusi sejarah itu dalam wacana sejarah nasional dan daerah seharusnya terangkat kepermukaan secara obyektif dan transparan. adalah menjadi kewajiban kita untuk menegakan kebenaran dan keadilan sekaligus memahami amanah beliau sebagaimana pernah disampaikan oleh Sultan Hamid II (1974) sewaktu menyerahkan file arsip perancangan lambang negara kepada Mas Agung (Ketua Yayasan Idayu Jakarta) 18 Juli 1974: [61]
"Mungkin ini adalah yang dapat saya sumbangkan kepada bangsa saya, dan "Mudah-mudahan sumbangan pertama saya (buku-buku dan dokumen file mengenai lambang negara) ini bermanfaat bagi negara yang dicintai oleh kita".
Sebagai warga bangsa yang besar dan generasi penerus sejarah bangsanya, sekaligus umat beriman, sudah menjadi kewajiban kita untuk mengangkat kepermukaan fakta dan data sejarah secara jujur dan obyektif. Sebab kalau yang ingin kita inginkan adalah seseorang yang tidak pernah berbuat salah, maka kita tidak akan mempunyai tokoh sejarah secara utuh dan kita akan kesulitan menuliskan secara lengkap fakta sejarah perjuangan para tokoh bangsa di masa lampau. Padahal sejarah haruslah ditampilkan apa adanya sebagai pembawa warta kebenaran sejati dari peristiwa yang terjadi di masa lampau. Untuk itu perlu adanya kesadaran sejarah.
Sisi kesejarahan lambang negara itu dimulai pada tahun 1945 sebelum merdeka, tepatnya pada tanggal 13 Juli 1945 dalam rapat Panitia Perancang Undang-undang Dasar 1945, salah satu anggota Panitia bernama Parada Harahap mengusulkan tentang lambang negara. Usul tersebut disetujui oleh semua anggota, dan disepakati akan dibahas tersendiri kemudian, dalam bentuk Undang-undang istimewa yang mengatur secara khusus tentang lambang negara. Keterangan ini dapat ditemukan dalam naskah Persiapan Undang-Undang Dasar, 1945 jilid I yang disusun oleh Muhammad Yamin hal 263 dan lahirnya UndangUndang Dasar 1945 disusun oleh Soeripto yang menyatakan:[62]
"Anggota Parada Harahap: Mengusulkan supaya disamping bendera juga lambang negara (wapen). Semua setuju, tetapi dalam Undang-undang Istimewa."
Sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia kemudian dibentuk Panitia Indonesia Raya [63], yang bertugas menyelidiki arti lambang-lambang dalam peradaban bangsa Indonesia sebagai langkah awal untuk mempersiapkan bahan kajian tentang lambang negara. Panitia ini dikenal dengan nama Panitia Indonesia Raya yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantoro dan sekretaris umum Muhammad Yamin. Tetapi panitia tersebut belum dapat menyelesaikan tugas akibat terjadinya peristiwa 3 Juli 1946 yang melibatkan Muhammad Yamin.[64]
Patut diperhatikan, bahwa pada tahun 1947 pernah diadakan sayembara rancangan lambang negara oleh Pemerintah yang diadakan oleh kementrian penerangan melalui organisasi seni Lukis seperti SIM (Seniman Indonesia Muda) Pelukis Rakyat) dan dalam catalog pameran Haris Purnomo 2006, yang bertajuk “Dibawah Sayap Garuda” terdapat ulasan Hendro Wiyanto selaku kurator yang mengulas perihal sayembara tersebut dengan judul: Tanda Lambang Garuda” 1951 yang berisi komentarnya tentang hasil rancangan sejumlah pelukis yang telah menuangkan gagasannya kedalam bentuk lambang negara, namun sayang sekali, menurut Oesman kebanyakan pelukis kurang paham hukum-hukum kesejarahan dari tanda lambang negara. Hasilnya tidak satupun dari rancangan lambang negara Garuda Pancasila hasil lomba tersebut seperti yang kita kenal seperti sekarang ini.[65]
Pada tanggal 20 Desember 1949 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat No 2 Tahun 1949, Sultan Hamid II diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Forto Polio. Dalam Kedudukan tersebut Sultan Hamid II dipercayakan untuk merencanakan/membuat perancangan lambang negara.[66] Dalam melaksanakan tugas yang dipercayakan oleh Presiden Soekarno, Sultan Hamid II secara pribadi mempersiapkan rancangan lambang negara dengan bentuk dasar burung Garuda yang memegang perisai Pancasila.
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan H. Mas Agung (1974), sewaktu menyerahkan file dokumen proses perancangan lambang negara. Dapat dikemukakan "Ide Perisai Pancasila" itu muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Beliau (Sultan Hamid II) teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara tersebut melambangkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia/ide Pancasila. Inilah saat-saat moment bersejarah dalam proses perancangan lambang negara Indonesia, dimana sila-sila dari dasar negara yaitu Pancasila divisualisasikan dalam bentuk simbol-simbol yang tergambar dalam lambang negara.
Berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) 1949 Pasal 3 ayat 3: Pemerintah menetapkan meterai dan lambang negara. Pada Sidang kedua Kabinet RIS tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara (Lambang Negara) dibawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan Panitia teknis:[67] Muhammad Yamin (Ketua), Ki Hajar Dewantoro (anggota), M.A Pellaupessy, (anggota), Moh. Natsir (anggota), R.M. Ng Purbatjaraka (anggota). Panitia ini bertugas menyeleksi/ menilai usulan-usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Merujuk keterangan Mohammad Hatta (Buku Bung Hatta Menjawab) untuk melaksanakan keputusan sidang kabinet tersebut menteri Priyono melaksanakan sayembara lambang negara. Hasil sayembara lambang negara itu ada dua (2) gambar rancangan lambang negara yang terbaik yaitu dari Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin. Dalam proses selanjutnya yang diterima oleh pemerintah adalah hasil rancangan Sultan Hamid II. Adapun yang dari Muhammad Yamin ditolak, karena ada sinar-sinar matahari dan menampakan sedikit banyak disengaja atau tidak, pengaruh Jepang.
Keterangan Mohammad Hatta itu selengkapnya adalah: [68]
“..... Patut pula ditambahkan sebagai catatan bahwa lambang dengan tulisan yang mempunyai arti yang demikian mendalam itu, dipadukan menjadi seperti sekarang ini, dengan melalui sayembara waktu RIS dulu dan dilaksanakan oleh Menteri Priono, Banyak gambar yang masuk waktu itu, tetapi yang terbaik akhirnya ada dua buah, satu dari Muhammad Yamin dan yang satu lagi dari Sultan Hamid. Yang diterima oleh Pemerintah dan DPR adalah dari Sultan Hamid yakni seperti sekarang ini. Adapun dari Muhammad Yamin ditolak, karena disana ada gambar sinar-sinar matahari dan menampakan sedikit banyak disengaja atau tidak pengaruh Jepang. Saya berpendapat bahwa apa yang ada sekarang itu, seperti uraian saya tadi sudah tepat dan bernilai abadi bagi kehidupan negara dan bangsa Indonesia".
Setelah terpilihnya rancangan lambang negara rancangan Sultan Hamid II oleh pemerintah dan Parlemen RIS tersebut, proses selanjutnya adalah diadakan dialog intensif antara perancang lambang negara Sultan Hamid II dengan Presiden RIS: Soekarno dan Perdana Menteri RIS Moh. Hatta serta anggota Panitia Lambang Negara), untuk menyempurnakan rancangan tersebut.
Adapun masukan penyempurnaan pertama sebagaimana dinyatakan Mohammad Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab dan Sultan Hamid II (transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dan Mas Agung, 1974) ialah adanya kesepakatan beliau bertiga (Sultan Hamid II, Soekamo, Mohammad Hatta) memenuhi usulan Presiden Soekarno: Mengganti pita yang yang dicengkeram Garuda[69], yang semula adalah pita berwarna merah putih menjadi pita berwarna putih,karena merah putih sudah terwakili pada perisai Pancasila dengan tambahan seloka “Bhinneka Tunggal Ika”.
Untuk memberikan masukan perencanaan gambar lambang negara, Sultan Hamid II telah meminta Ki Hajar Dewantoro untuk memberikan masukan dan hal ini dibuktikan bahwa pada tanggal 26 Januari 1950 Ki Hajar Dewantoro dari Yogyakarta mengirimkan surat kepada Sultan Hamid II melalui sekretaris Dewan Menteri RIS Z. Yahya yang isinya menunjuk Muhammad Yamin untuk memberikan masukan mewakili beliau kepada Panitia Lambang Negara dan surat turunannya telah disampaikan kepada Menteri Negara Sultan Hamid II tanggal 1 Februari 1950 No XXX/ 202, Perihal Panitia Lambang Negara.
Isi surat balasan Ki Hajar Dewantoro kepada Sultan Hamid II itu sebagai berikut:[70]
Yogyakarta, 26 Januari 1950
“Merdeka!
Menarik kawat paduka Tuan hari ini, yang bermaksud atas Nama Yang Mulia Menteri Negara R.I.S Sri Sultan Hamid ke II mengundang saya pergi ke Jakarta untuk keperluan "Panitia Lambang Negara", maka dengan ini saya memberitahukan kepada Paduka Tuan:
1. Bahwa pada waktu ini ada beberapa keperluan serta pekerjaan yang penting bagi saya di Yogyakarta, sehingga sukariah bagi saya untuk pergi ke Jakarta.
2.Bahwa kalaulah benar saya diangkat menjadi anggota dari pada "Panitia Lambang Negara RIS" sebenarnya tentang rancangan membuat lambang itu sudah pemah dilakukan penyelidikan yang seksama oleh "Panitia Indonesia Raya", yang dulu dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia Raya, yang saya menjadi ketuanya, sedangkan saudara Mr Muhammad Yamin duduk menjadi sekretaris umum. Dalam penyelidikan itu saudara Mr Muhammad Yamin sendiri lebih mengetahui segala apa yang direncanakan oleh "Panitia Indonesia Raya " tersebut dari pada saya sendiri.
3.Bahwa kalau sungguh-sungguh diperlukan pendapat atau nasehat saya dalam Panitia lambang Negara R.I.S. sekarang ini, maka cukuplah kiranya ketua Panitia Mr Muhammad Yamin atau anggota lainnya pergi ke Yogya untuk bertukar pikir dengan saya, atau cukuplah barangkali, bisa saya hanya mengirimkan nasehat atau usul dengan tertulis kepada Panitia di Jakarta.Dalam hal ini alangkah baiknya, jika Panitia mengirimkan pertanyaan-pertanyaan yang tertentu kepada saya untuk saya jawab.
Demikianlah keterangan saya atas isi kawat, yang hari ini saya kirimkan kepada Paduka Tuan, sebagai balasan kawat Paduka Tuan kepada saya.
Hormat Salam....
Merdeka Dewantoro
Selanjutnya setelah mendengar berbagai masukan dari anggota Panitia Lambang Negara khususnya dari Ki Hajardewantoro dan Muhammad Yamin, yaitu mengenai figur burung Garuda, pada tanggal 8 Februari 1950 rancangan final gambar lambang negara yang dibuat Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Sukarno. Gambar rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari suatu Partai Islam (Masyumi) untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai, karena dianggap bersifat mitologis khayalan dan terkesan mitologi dan feodal, juga keberatan seperti dijelaskan selengkapnya dalam transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967 yang disampaikan kepada wartawan Solichim Salam, berikut ini: [71]
"Saja putuskan tjiptaan pertama berbentuk figur burung Garuda jang memegang perisai Pantja-Sila, seperti masukan Ki Hadjar Dewantara jang diambil dari mitologi garuda pada peradaban bangsa Indonesia, tetapi ketika gambar lambang negara ini saja bawa ke dalam Rapat Panitia Lambang Negara 8 Februari 1950, ternjata ditolak oleh anggota Panitia lambang Negara RIS lain, karena ada keberatan dari M Natsir ada tangan manusia jang memegang perisai berkesan terlalu mitologi dan feodal, djuga keberatan anggota lain R.M Ng Purbatjaraka terhadap djumlah bulu ekor tudjuh helai, terus terang jang mengusulkan tudjuh helai ini adalah Mr M.Yamin, untuk itu saja mintakan dalam rapat Mr.M. Yamin ketika itu mendjelaskan makna tudjuh helai bulu ekor selaku Ketua Panitia Lambang Negara, dan ada kesepakatan untuk dirubah mendjadi 8 helai bulu ekor, sebagai tjandra sengkala /identitas negara proklamasi 17-8-45 atas usulan M.A Pellaupessy yang menurut beliau tak boleh dilupakan."
"Burung Garuda itu memegang sebuah perisai yang terbagi atas lima bidang, yang keseluruhannya melukiskan ajaran Pancasila yang menjadi dasar filosofi kenegaraan sejak proklamasi: Peri Ketuhanan Yang Maha Esa, Peri Kebangsaan, Peri Kerakyatan, Peri Kemanusiaan dan Peri Keadilan. Semboyan yang banyaknya 17 aksara itu Bhinneka Tunggal Ika berasal dari pujangga Tantular yang mengarang kitab Sutasoma pads zaman emas sekeliling patih Gadjah Mada dan negara Hayam Wuruk pada pertengahan abad XIV. Adapun arti seloka Jawa lama itu: Walaupun berbeda-beda atau berlainan agama, keyakinan dan tinjauan, tetapi tetap tinggal bersatu atau dalam bahasa latin le pluribus unum"
Tanggal 10 Februari 1950 Sultan Hamid II mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Figur Elang Rajawali Garuda Pancasila[72], disingkat Garuda Pancasila. Disini burung Garuda digambar dalam bentuk alami menyerupai Elang Rajawali yang perkasa, (lihat gambar 8) dan perisai Pancasila digantungkan menempel pada leher Elang Rajawali Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Perdana Menteri RIS, yaitu Mohammad Hatta, 10 Februari 1950[73]
Tanggal 11 Februari 1950 rancangan lambang negara yang dibuat Sultan Hamid II ditetapkan oleh Pemerintah/Kabinet RIS[74] dan diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet dan Parlemens RIS yang dipimpin Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta. Inilah saat pertama bangsa Indonesia mempunyai lambang negara, yang merupakan karya kebangsaan yang diramu dari berbagai aspirasi, oleh seorang anak bangsa Indonesia Sultan Hamid II dan keterangan ini diperkuat oleh Bung Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab:[75]
"Semboyan Bhinneka, Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno, setelah kits merdeka, semboyan itu kemudian diperkuat dengan lambang yang dibuat oleh Sultan Abdul Hamid Pontianak dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Februari 1950"
Ketika diresmikan lambang negara khususnya gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul dan tidak berjambul" atau bentuk kepalanya belum seperti sekarang ini. Keterangan ini jugs diperkuat oleh A.G Pringgodigdo dalam Bukunya Sekitar Pancasila, yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI, 1978:[76]
“Berdasarkan atas pasal 3 Konstitusi itu (RIS) pads tanggal 11 Februari 1950 Pemerintah RIS telah menetapkan lambang negara, yang berupa lukisan burung Garuda dan Perisai, yang terbagi dalam 5 ruang yang mengingatkan kepada PANCASILA. Pada waktu itu burung Garuda kepala “gundul”, tidak pakai “jambul”. Hal ini berubah dalam Lambang Negara Republik Indonesia Kesatuan, yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah tanggal 17 Oktober 1951 No 66 Tahun 1951” .
Tanggal 15 Februari 1950 Presiden Soekarno memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara tersebut kepada khalayak umum di Hotel Des Indes (sekarang Duta Merlin) Jakarta dan pada tanggal 20 Februari 1950[77], lambang negara yang dibuat Sultan Hamid II sudah terpasang didalam ruang sidang Parlemen RIS di Istana Merdeka Penjambon yang dibuka oleh Presiden Soekarno.
"Selandjutnja gambar lambang negara saja bisa diterima oleh anggota Panitia Lambang Negara, demikian djuga lambang negara rantjangan Mr.M Yamin jang kemudian kami serahkan bersama kepada Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta untuk dibawa ke Pemerintah dan sidang Parlemen RIS untuk dipilih, alhamdulillah gambar rantjangan saja jang diterima 10 Februari 1950 dan esoknja untuk pertama kali diperkenalkan kepada halajat ramai di Hotel Des Indes, jang kemudian pada rapat parlemen RIS bersama Pemerintah ditetapkan oleh Parlemen RIS sebagai Lambang Negara RIS pada tanggal 11 Februari 1950, walaupun demikian ada masukan beberapa waktu kemudian dari Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno ketika beliau sedang berpidato kenegaraan 20 Februari 1950 melihat lambang negara tersebut jang tergantung dibelakang pondium di gedung parlemen Istana Merdeka Pedjambon, karena kepala burung Radjawalinja tidak "berjambul" dan terlihat "gundul", Paduka Jang Mulia meminta saja untuk memperbaiki bentuk kepala, kemudian saja mengubah bagian kepala menjadi berdjambul, kemudian oleh kementerian penerangan RIS atas perintah Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada pelukis Dullah untuk melukis kembali lambang negara tersebut, kemudian lukisan itu saja potret dalam bentuk hitam putih untuk dikoreksi kembali oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno dan ternjata masih ada keberatan dari beliau, jakni bentuk tjakar kaki jang mentjekram seloka Bhinneka Tunggal Ika dari arah belakang sepertinja terbalik, saja mentjoba mendjelaskan kepada Paduka Jang Mulia, memang begitu burung terbang membawa sesuatu seperti keadaan alamiahnja, tetapi menurut Paduka Jang Mulia Seloka ini adalah hal jang sangat prinsip, karena memang sedjak semula merupakan usulan beliau sebagai ganti rentjana pita merah putih jang menurut beliau sudah terwakili pada warna perisai, selandjutnja meminta saja untuk mengubah bagian tjakar kaki mendjadi mentjekram pita/mendjadi kearah depan pita agar tidak "terbalik" dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip "djatidiri" bangsa Indonesia, karena merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" dalam negara RIS, mengertilah saja pesan filosofis Paduka Jang Mulia itu, djadi djika "bhinneka" jang ditondjolkan itu maknanja perbedaan jang menondjol dan djika "keikaan" jang ditondjolkan itulah kesatuan republik jang menondjol, djadi keduanja harus disatukan, karena ini lambang negara RIS jang didalamnja merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" haruslah dipegang teguh sebagai "djatidiri" dan prinsip berbeda-beda pandangan tapi satu djua, "e pluribus unum".
Akhir Februari 1950 Sultan Hamid II mendapat saran dari Presiden Soekarno untuk menyempurnakan kembali bentuk kepala burung Rajawali Garuda Pancasila. Selanjutnya sekitar awal Maret 1950 Sultan Hamid II mengajukan lukisan lambang negara yang sudah diperbaiki (lihat gambar 9). Lambang Negara tersebut ternyata masih mendapat masukan dari Presiden Soekarno, yaitu pada bagian bentuk cakar kaki yang mencengkram pita yang terlihat menghadap ke belakang terkesan terbalik. Penyempurnaan yang dilakukan Sultan Hamid II hanya tinggal merubah bentuk cakar kaki sehingga menghadap ke depan, dan bagian lain sudah sama seperti gambar lambang negara sekarang ini.
Mengenai gambar lambang negara inipun dijelaskan dalam transkrip Sultan Hamid II , 15 April 1967 sebagai berikut : [78]
" Walapun saja harus susah pajah membuat sketsa kembali untuk pembentulan bagian tjakar kaki itu, tetapi saja mengerti ini hal bagian jang sangat penting dalam lambang negara RIS, karena mengandung tiga konsep lambang sekaligus, jakni pertama, burung Radjawali-Garuda Pantja-Sila jang menurut perasaan bangsa Indonesia berdekatan dengan burung garuda dalam mitologi, kedua perisai idee Pantja-Sila ber"thawaf"/gilir balik, dan ketiga, seloka Bhinneka Tunggal Ika jang tertulis dalam pita warna putih, untuk itu saja meminta bantuan R Ruhl untuk membuat sketsa dari lambang negara jang saja buat dengan membawa potret lukisan lambang negara jang dilukis oleh Dullah, karena lukisan Dullah jang gambar rantjangannja semula tjengkraman kakinja menghadap kebelakang telah diserahkan kepada kementerian penerangan RIS jang ketika itu masih berada di Yogjakarta, kemudian dimintakan kepada saja oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno untuk tidak disebarkan dahulu ke pelosok negara RIS, setelah itu sketsa transkrip/out werp jang dilukis R.Ruhl saja adjukan kembali ke Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ternjata beliau langsung mendisposisi sebagai wapen negara, waktu itu tanggal 20 Maret 1950, kemudian beliau memerintahkan untuk memanggil Dullah sang pelukis Istana/pelukis kesayangan bung Karno untuk melukis kembali berdasarkan sketsa perbaikan R.Ruhl tersebut, walaupun ketika itu kita harus merugi beberapa ribu rupiah lagi untuk membajar pelukis Dullah.
Tanggal 20 Maret 1950 bentuk final gambar lambang negara rancangan Sultan Hamid II yang telah diperbaiki tersebut diajukan kepada Presiden Soekarno dan mendapat disposisi persetujuan Presiden. Adapun isi disposisi tersebut berbunyi:[79]
"J.M Sultan Hamid menteri negara, menurut pendapat saya lukisan Ruhl ini membuat lambang negara kita lebih kuat, maka untuk itu saya tetapkan bahwa ontwerp Ruhl inilah yang harus dipakai. Lebih baik kita rugi beberapa ribu rupiah daripada mempunyai lambang negara yang kurang sempurna. Saya harap J.M mengambil tindakan seperlunya contoh kehendak saya. Merdeka!".
Mengenai kata-kata "Lukisan Ruhl, ontwerp Ruhl" ini pernah penulis tanyakan kepada lbu K. Irawati dan Max Yusuf Alkadrie dan menurut keterangan Sultan Hamid II, bahwa Ruhl itu sebenarnya adalah nama seorang berkebangsaan Perancis yang bernama D. Ruhl Jr. Dan Ruhl inilah semasa proses perancangan lambang negara adalah menjadi penasehat/konsultan pribadi yang membantu Sultan Hamid II dalam membuat lambang negara. D. Ruhl Jr. adalah seorang ahli semiologi (Ilmu Lambang-Iambang) dan D. Ruhl Jr. inilah yang memberi masukan kepada Sultan Hamid II mengenai bentuk penyempurnaan cakar kaki Elang Rajawali Garuda Pancasila. Dokumen lukisan D .Ruhl Jr sebagai mana dimaksud dijelaskan secara rinci dalam transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967: [85]
"untuk itu saja meminta bantuan D Ruhl Jr untuk membuat sketsa dari lambang negara jang saja buat dengan membawa potret lukisan lambang negara jang dilukis oleh Dullah, karena lukisan Dullah jang gambar rantjangannja semula tjengkraman kakinja menghadap kebelakang telah diserahkan kepada kementerian penerangan RIS jang ketika itu masih berada di Yogjakarta, kemudian dimintakan kepada saja oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno untuk tidak disebarkan dahulu ke pelosok negara RIS, setelah itu sketsa transkrip/out werp jang dilukis D.Ruhl Jr saja adjukan kembali ke Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ternjata beliau langsung mendisposisi sebagai wapen negara, waktu itu tanggal 20 Maret 1950.."
Kemudian Presiden Soekarno setelah memberikan disposisi itu memerintahkan pelukis Istana bernama Dullah (1950-1960) untuk melukiskan kembali gambar tersebut sesuai bentuk final sebagaimana yang telah dibuat oleh Sultan Hamid II, atau seperti dipergunakan secara resmi sekarang ini dan patut pula ditambahkan, bahwa Dullah hanya melukis kembali sesuai skesta gambar lambang negara yang telah diperbaiki oleh konsultan pribadi Sultan Hamid II (lihat gambar 10) atau sebagaimana telah disposisi oleh Presiden Soekarno tanggal 20 Maret 1950.
Adapun dokumen Lambang Negara Sultan Hamid II yang dilukis kembali oleh Dullah atas perintah Presiden Soekarno adalah sebagai berikut:[87]
Keterangan ini dapat dikemukakan dalam Majalah Gatra No 32 Tahun I, 25 Juni 1995, dalam judul "Bung Karno, Ikan dan Air", yang menyatakan:[88]
“ .... salah satu bentuk kepercayaan itu ialah permintaan bung Karno kepada Dullah untuk mengubah posisi kaki gambar Pancasila yang tadinya dirancang di Kementerian Penerangan. Dalam rancangan Kementerian Penerangan, kaki garuda dilukiskan seolah-olah menghadap ke belakang. Dan oleh Dullah dilukis kembali dengan membalik sehingga tampak menghadap kedepan... “.
Keterangan yang sama dinyatakan oleh Sultan Hamid II dalam transkripnya kepada Solichim Salam, 15 April 1967:[89]
"saja meminta bantuan D Ruhl Jr untuk membuat sketsa dari lambang negara jang saja buat dengan membawa potret lukisan lambang negara jang dilukis oleh Dullah, karena lukisan Dullah jang gambar rantjangannja semula tjengkraman kakinja menghadap kebelakang telah diserahkan kepada kementerian penerangan RIS jang ketika itu masih berada di Yogjakarta, kemudian dimintakan kepada saja oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno untuk tidak disebarkan dahulu ke pelosok negara RIS, setelah itu sketsa transkrip/out werp jang dilukis D.Ruhl Jr saja adjukan kembali ke Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ternjata beliau langsung mendisposisi sebagai wapen negara, waktu itu tanggal 20 Maret 1950, kemudian beliau memerintahkan untuk memanggil Dullah sang pelukis Istana/pelukis kesayangan bung Karno untuk melukis kembali berdasarkan sketsa perbaikan R.Ruhl tersebut, walaupun ketika itu kita harus merugi beberapa ribu rupiah lagi untuk membajar pelukis Dullah.
Hasil lukisan Dullah itulah jang kemudian oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno diperintahkan kepada kementerian penerangan untuk disebarkan luaskan ke seluruh pelosok negara RIS jang ketika itu saja lihat banjak warga bangsa memasang di rumah-rumah..."
Berdasarkan disposisi Presiden Soekarno (20 Maret 1950), untuk terakhir kalinya Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final lambang negara, yaitu dengan menambahkan skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara (lukisan otentiknya sudah diserahkan kepada Mas Agung, Yayasan Idayu Jakarta) (lihat gambar 12)
Adapun dokumen Lambang Negara Sultan Hamid II yang diperbaiki seperlunya untuk terakhir kalinya adalah sebagai berikut:[90]
Gambar 12
Gambar Lambang Negara RIS Rancangan Sultan Hamid hasil Penyempurnaan terakhir yang kemudian menjadi Lampiran Resmi PP No 66 Tahun 1951 (Pasal 6) dan UU No 24 Tahun 2009 (pasal 50) dan Gambar Asli Lambang Negara tersebut saat ini berada di Yayasan Mas Agung, Jln Kwitang Senen Jakarta yang telah diserahkan/ dititipkan oleh Sultan Hamid II kepada H. Mas Agung Ketua Yayasan Idayu, Jakarta 18 Juli 1974 (Repro oleh Penulis dari Yayasan Mas Agung, 1999)
Keterangan dokumen di atas juga dijelaskan dalam transkrip Sultan Hamid II, kepada Solichim Salam 15 April 1967:[91]
"...sedangkan saja selaku pembuat gambar rantjangan lambang negara jang saja namakan Radjawali Garuda Pantja-Sila diperintahkan Paduka Jang Mulia untuk memperbaiki seperlunja, jakni membuat skala ukuran, bentuk dan tata warna serta keterangan gambar jang ada pada simbol-simbol itu, karena mendjadi tanggungdjawab saja selaku Koordinator Panitia Lambang Negara dan Menteri Negara dalam perentjanaan lambang negara RIS.
Patut pula ditambahkan bahwa menurut keterangan Max Yusuf Alkadrie yang pernah mendengar langsung dari Sultan Hamid II ketika menjelaskan kepada H. Mas Agung tahun 1974 menerangkan bahwa lambang-lambang yang dirancang oleh Sultan Hamid II khususnya pada simbol-simbol perisai Pancasila sebelumnya tidak ada gambar bintang dan rantai serta padi kapas. Lambang ini baru ada pada tahun 1950 melalui berbagai masukan dari berbagai anggota Panitia Lambang Negara dengan maksud untuk mendapatkan lambang yang tepat untuk mensimbolisasikan sila pertama dan kedua dan penjelasan atas keterangan itu dijelaskan oleh Sultan Hamid II dalam transkripnya 15 April 1967:[92].
". saja djuga meminta anggota dalam Panitia Lambang Negara untuk menjumbangkan pemikiran jang berhubungan dengan simbol-simbol idee Pantja-Sila, seperti pesan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ada jang menjarankan simbol keris, banteng, padi kapas, kemudian saja menambahkan Nur Cahaya berbentuk bintang bersegi lima atas masukan M Natsir sebagai simbol sila ke satu Pantja-Sila, djuga masukan dari R.M Ng Purbatjaraka, jakni pohon astana jang menurut keterangannja pohon besar sejenis pohon beringin jang hidup di depan istana sebagai lambang pengajoman dan perlindungan untuk melambangkan sila ketiga, karena menurut beliau pohon astana memaknai simbol menjatunja rakjat dengan istana itulah djuga hakekat negara RIS jang sebagian besar ketika itu didirikan di luar negara proklamasi RI 17-8-45 oleh keradjaan-keradjaan dan simbol selanjutnja tali rantai bermata bulatan melambangkan perempuan dan bermata persegi melambangkan laki-laki jang sambung menjambung berdjumlah 17 sebagai simbol regenerasi jang terus menerus, mengenai simbol ini inspirasinja saja ambil dari tanah Kalimantan, jakni kalung dari suku Dajak demikian djuga bentuk perisainja, setelah bertukar pikiran dengan para panglima suku Dajak di Hotel Des Indes Jakarta awal Februari 1950 yang saja ajak ke Jakarta ketika itu, salah satunya panglima Burung dan Ma Suka Djanting bersama J.C Oevaang Oeray sahabat saja di Dewan Daerah DIKB,lambang lain kepala banteng sebagai sila ke empat ini sumbangan dari Mr. M Yamin sebagai lambang dasar kerakjatan/tenaga rakjat dan padi-kapas lambang sila kelima sumbangan dari Ki Hajardewantara sebagai perlambang ketersedian sandang dan papan/simbol tudjuan kemakmuran, semua itu saja bitjarakan di hotel Des Indes yang merupakan tempat saja membuat gambar lambang negara sekaligus tempat saja tinggal sementara di Djakarta sebagai menteri negara RIS sampai dengan 5 April 1950 saja ditangkap atas perintah Jaksa Agung jang akhirnja saja "terseok" dalam perdjalanan sedjarah sebagai anak bangsa. Itulah tjiptaan saja terpendam mudah-mudahan pendjelasan kepada saudara Salam mendjadi terang adanja."
Kemudian hal lain lebih menonjol dari gambar lambang negara rancangan Sultan Hamid II adalah garis tebal warna hitam lurus (horizontal) yang melambangkan garis khatulistiwa, seperti terlihat di dalam lambang perisai dan garis hitam inilah yang menjadi ciri utama rancangan lambang negara Sultan Hamid II. Ciri khas ini sejak awal sudah terlihat dalam sketsa rencana perisai (lihat gambar file rencana perisai) sebagaimana pada dokumen berikut ini:
Gambar 13
Rancangan Sketsa Perisai Pancasila oleh Sultan Hamid II, 1950 dan Terlihat sejak awal terdapat garis horizontal (garis Khatulistiwa) (Repro oleh Uun Mahdar Asmadi, 1985 dan oleh Penulis dari Yayasan Mas Agung, 1999)
Keterangan lain yang dapat dihimpun penulis, bahwa Sultan Hamid II dalam membuat gambar lambang negara itu beliau melakukan perbandingan dengan gambar-gambar lambang negara lain yang menggunakan burung elang rajawali, terutama negara-negara Arab, seperti Syria, Mesir, Libia, Yaman, Emirat Arab, Sudan, Irak hal ini terlihat bahwa gambar rancangan Sultan Hamid II sebelum didisposisi oleh Presiden Soekarno 20 Maret 1950, khususnya bentuk cakar kaki burung Rajawali terpengaruh dengan bentuk cakar kaki burung rajawali pada lambang-lambang negara tersebut di atas, yaitu terlihat menghadap ke belakang dan khusus bahan gambar skesta awalnya diambil dari bahan perbandingan gambar-gambar kesatuan militer Polandia tahun 1946-1947 yang pernah didapat ketika Sultan Hamid II belajar di K.M.A Breda Belanda. Untuk mendapatkan perbandingan terhadap keterangan itu, penulis melakukan investigasi ke kantor Kedutaan Polandia di Jakarta guna mendapatkan bentuk gambar kesatuan militer Polandia tahun 1946-1947 beserta literaturnya.[93]
Berdasarkan literatur dan bentuk gambar lambang kesatuan militer Polandia tahun 1946-1947 pada gambar di atas, apabila dipersandingkan dengan skesta awal yang dibuat Sultan Hamid II ternyata terdapat kesamaan dan di samping itu memperhatikan file dokumen lambang negara yang telah diserahkan oleh Sultan Hamid II kepada H. Mas Agung, 1974 terdapat kumpulan gambar-gambar burung garuda yang ada di berbagai candi di Jawa. Hal ini jelas bahwa membuktikan gambar yang dibuat oleh Sultan Hamid II mendapat masukan anggota Panitia Lambang Negara.
Hal yang dijelaskan di atas juga dijelaskan dalam transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967:[94]
"Akhirnya setelah penolakan itu saja mengambil inisiatif pribadi untuk memperbandingkan dengan lambang-lambang negara luar, khususnja negara negara Arab, seperti Yaman, Irak, Iran, Mesir ternjata menggunakan figur burung Elang Radjawali, djuga seperti negara Polandia jang sudah lama ratusan tahun djuga menggunakan burung Elang Radjawali seperti jang saja djelaskan di atas dalam kemiliterannja, setelah saja selidiki ternjata bendera perang Sadjina Ali r.a ternjata memakai pandji-pandji simbol burung Elang Radjawali, untuk itulah saja putuskan mengubah figur burung dari mitologi garuda ke figur burung elang Radjawali, karena sosoknja lebih besar/gagah dari burung elang jang ada di Djawa dan ini simbolisasi lambang tenaga pembangun/creatif vermogen negara dengan harapan Negara Republik Indonesia Serikat/RIS mendjadi negara jang besar dan setara dengan negara-negara di dunia, sudah mendjadi kewadjaran dan demikian seharusnja.
Pertanjaan lain jang sering ditanjakan kepada saja, bahkan oleh sekretaris pribadi saja sendiri Max, setelah keluarnya saja dari pendjara, djuga pertanjaan jang sama oleh saudara Salam, jakni mengapa ada garis tebal ditengah perisai Pantja-Sila apakah sebagai tanda jang membuatnja dari anak bangsa jang berasal ibukota Daerah Istimewa Kalimantan Barat/DIKB/Pontianak, saja jawab hal ini sebenarnja ingin melambangkan/menjimbolkan letak negara RIS dilewati garis equator/khatulistiwa jang kebetulan tugunja ada di kota kelahiran saja sendiri Pontianak jang dirikan tahun 1928 djauh sebelum negara proklamasi R.I merdeka dan negara RIS terbentuk sampai dengan tahun 1938 disempurnakan oleh opsiter Silaban sahabat saja seperti bentuk tugunja sekarang ini, garis itu melewati Daerah Istimewa Kalimantan Barat/DIKB jang merupakan bagian kesatuan kenegaraan, seperti dinjatakan dalam konstitusi RIS 1949, sebagaimana peta situasi sedjarah kedaulatan sebelum RIS 17 Agustus 1945 sampai dengan 26 Desember 1949, agar kelak generasi mengetahui, gambar lambang negara RIS ini adalah tjiptaan saja untuk membedakan dengan apa jang dibuat oleh Mr.M.Yamin jang djuga berbentuk perisai hanja gambarnja ada sinar-sinar matahari.
Tanggal 5 April 1950 Sultan Hamid II/ Menteri Negara Zonder Porto Folio dijemput untuk keperluan penyidikan oleh Jaksa Agung di Hotel Des Indes yang kemudian dikenal dengan “Peristiwa Sultan Hamid II”.
Tanggal 10 Juli 1951 Dewan Menteri mengadakan rapat mengenai pengaturan lambang negara, yaitu rancangan Peraturan Pemerintah yang mengatur lambang negara berdasarkan Pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Tanggal 17 Agustus 1951 lambang negara dimasyarakatkan pemakaiannya diseluruh negara kesatuan Republik Indonesia dan gambarnya disebar-luaskan keseluruh pelosok tanah air.
Tanggal 17 Agustus 1951 Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjoyo menetapkan Peraturan Pemerintah No 66 tahun 1951 tentang Lambang Negara, pada pasal 2, 3 ditetapkan, bahwa warna, perbandingan ukuran dan bentuk lambang negara adalah seperti ditentukan dalam Pasal 6, yaitu seperti terlampir dalam Peraturan Pemerintah tersebut.
Tanggal 28 November 1951 Peraturan Pemerintah No 66 tahun 1951 diundangkan oleh Menteri Kehakimaan: M. Nasroen dalam Lembaran Negara No 111 dan penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara No 176 tahun 1951. Sejak saat itu secara yuridis formal gambar lambang negara rancangan Sultan Hamid II seperti terlampir dalam Peraturan Pemeritah No 66 Tahun 1951 secara resmi menjadi lambang negara kesatuan republik Indonesia.
Tanggal 30 Mei 1958 Dewan Menteri mengadakan rapat yang ke 107 mengenai rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penggunaan Lambang Negara. Tanggal 5 Juni 1958 Muhammad Yamin dalam kapasitas sebagai mantan Panitia Lambang Negara, dalam suatu kesempatan Pidato di Istana Negara yang dihadiri para Menteri serta Dewan Nasional menjelaskan arti dan makna simbol-simbol dalam perisai Pancasila pada lambang negara yang dirancang Sultan Hamid II.
Tanggal 26 Juni 1958 Presiden Republik Indonesia Soekarno dan Perdana Menteri Juanda menetapkan Peraturan Pemeritahan No 43 Tahun 1958 Tentang penggunaan lambang negara diundangkan oleh menteri Kehakiman: G.A. Maengkom pada Lembaran Negara No 71 Tahun 1958 dan penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara No 1636 Tahun 1958.
Pada tanggal 22 Juli 1958 Presiden Soekarno memberikan pidato yang berkaitan dengan lambang negara di Istana Negara yang intinya antara lain kegagahan Burung Rajawali Garuda Pancasila, dan kaitannya lambang negara dengan dasar negara Pancasila. Adapun isi selengkapnya pidato tersebut sebagai berikut:[95]
“Saudara-saudara, lihatlah Lambang Negara kita di belakang ini, alangkah megahnya, alangkah hebat dan cantiknya.
Burung Elang Rajawali, garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 buah, dengan ekor yang berelar 8 buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang berkalungkan perisai yang di atas perisai itu tergambar Pancasila. Yang di bawahnya tertulis seloka buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika", Bhina Ika Tunggal Ika, Berjenis-jenis tetapi tunggal.
Pancasila yang tergambar di pusat bintang cermelang atas dasar hitam, sinar cermerlang abadi dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, pohon beringin lambang kebangsaan. Rantai yang terdiri dari pada gelang-gelangan dan persegi dan bundar yang bersambung satu sama lain dalam sambungan yang tiada putusnya, peri kemanusiaan.
Banteng Indonesia lambang kedaulatan rakyat. Kapas dan padi lambang kecukupan sandang-pangan, keadilan sosial.
Lihatlah sekali lagi, aku berkata indahnya Lambang Negara ini, yang menurut pendapat saya Lambang Negara Republik Indonesia ini adalah yang terindah dan terhebat dari pada seluruh lambang-lambang Negara di muka bumi ini. Saya telah melihat dan mempelajari lambang-lambang negara yang lain-lain. Tapi tidak ada satu yang sehebat, seharmonis seperti Lambang Negara Republik Indonesia. Lambang yang telah dicintai oleh rakyat kita sehingga jikalau kita masuk ke desa-desa sampai kepelosok-pelosok yang paling jauh dari dunian ramai, lambang ini sering dicoretkan orang di gardu-gardu, di tembok-tembok, di gerbang-gerbang, yang orang dirikan dikalau hendak menyatakan suatu ucapan selamat datang kepada seorang tamu.
Lambang yang demikian telah terpaku di dalamnya kalbu Rakyat Indonesia, sehingga lambang ini telah menjadi darah daging rakyat Indonesia dalam kecintaannya kepada Republik, sehingga bencana batin akan amat besarlah jikalau dasar negara kita itu dirobah, jikalau Dasar Negara itu tidak ditetapkan dan dilangengkan: Pancasila. Sebab lambang negara sekarang yang telah dicintai oleh Rakyat Indonesia sampai ke pelosok-pelosok desa itu adalah lambang yang bersendikan kepada Pancasila. Sesuatu perobahan dari Dasar Negara membawa perobahan dari pada lambang negara.
Saya mengetahui bahwa jikalau lambang negara ini dirobah, sebagian terbesar dari pada Rakyat Indonesia akan menolaknya. Cinta rakyat Indonesia kepada lambang ini telah terpaku sedalam-dalamnya di dalam jiwanya, berarti cinta sebagian terbesar dari pada Rakyat Indonesia kepada Pancasila. Lihatlah sekali lagi kepada Lambang Negara kita Pancasila, yang dilukiskan diatas burung garuda.”
Berdasarkan Pidato Presiden Soekarno di atas memberikan penegasan, bahwa ada korelasi antara lambang negara dengan Ideologi Pancasila, karena menurut Soekarno Lambang Negara tersebut adalah lambang yang bersendikan kepada Pancasila, dan beliau menyatakan, bahwa sesuatu perobahan dari dasar negara membawa perubahan dari Lambang Negara dan Presiden Soekarno menggunakan terminologi Burung Elang Rajawali Garuda, hal ini menandakan, bahwa figur lambang negara sekarang ini adalah figur burung Elang Rajawali dan secara teoretik, bahwa pemahaman Pancasila sebenarnya dapat juga dipahami melalui semiotika Pancasila yang tersimbolisasikan pada perisai Pancasila lambang negara yang gambar resminya terlampir dalam peraturan perundang-undangan dalam hal ini Lampiran PP No 66 Tahun 1951 (pasal 6) kemudian ditegaskan kembali dalam UU No 24 Tahun 2009 (pasal 50), tetapi analisis yang berkembang di Indonesia pemaknaan atau pembacaan Pancasila lebih menggunakan doktrin filsafat Pancasila yang berpaham positivisme dengan mengacu pada struktur hirarkis piramida dan ini ada kecenderungan terpengaruh dengan teori hirarkis piramida Hans Kelsen pada abad 19 kemudian diacu oleh Notonagoro yang kemudian cenderung juga menjadi acuan doktrin filsafat hukum berkaitan dengan Pancasila di Indonesia, sedangkan sejak 1950 Sultan Hamid II telah mempresentasikan semiotika hukum Pancasila berkonsep “Thawaf” berputar berlawanan dengan arah jarum jam dan saat sudah diacu pada UU No 24 Tahun 2009 (pasal 48), tetapi secara teoretik tidak pernah terangkat kepermukaan dalam kajian akademis ada kecenderungan terabaikan.
Kembali perjalanan sejarah konstitusi selanjutnya tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden, yaitu kembali ke Undang-undang Dasar 1945, dan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, maka Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara dan Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1958 Tentang Penggunaan Lambang Negara dengan dasar negara Pancasila tetap diberlakukan.
Berikut ini dikemukakan perjalanan dokumen lambang negara rancangan Sultan Hamid II, yaitu ketika Sulan Hamid II dibebaskan dari penjara oleh KAMI/ KAPI tahun 1966 Sultan Hamid II kembali ke Pontianak dan file dokumen sketsa dan gambar lambang negara tersebut diselamatkan kemudian dibawa ke Jakarta kembali dari Istana Kadriah Pontianak dan dititipkan kepada keluarga Syamsuddin Sutan Makmur (mantan Penerangan periode 30 Juni 1953-12 Maret 1956), kemudian disimpan dengan baik oleh lbu K Irawati salah satu putri Syamsuddin Sutan Makmur.
Tahun 1967 file dokumen lambang negara diambil kembali oleh Sultan Hamid II dari lbu K Irawati dan diserahkan kepada Max Yusuf Alkadrie yang pada waktu itu dipercayakan sebagai sekretaris pribadi Sultan Hamid II (1968-1978) dan Tahun 1967 tepatnya 13 April 1967 wartawan Istana dan Berita Buana berkorespondensi dengan Sultan Hamid II, kemudian dijawab secara tertulis 15 April 1967. Keterangan tentang perjalanan file lambang negara dimaksud juga dijelaskan dalam transkrip Sultan Hamid II kepada Solichim Salam 15 April 1967:[96]
"sedangkan file-file serta transkrip lambang negara Mr.M.Yamin jang pernah ditolak oleh pemerintah dan parlemen RIS ada ditangan Panitia Lambang Negara jang kemudian file-file lambang negara itu saja simpan dengan baik, sampai kemudian sekitar akhir 1966 saja selamatkan ke Istana Kadriah Pontianak, kemudian saja bawa kembali ke Djakarta sekitar awal 1967, saja titipkan kepada nona K.Irawati anak Syamsuddin Sutan Makmmur/pernah menteri penerangan periode 30 Djuni-12 Maret 1956 jang ketika itu satu ruangan pendjara bersama saja mendjadi tahanan politik, di rumah beliaulah di djalan Radio Dalam Djakarta Selatan tempat sementara saja tinggal setelah keluar dari pendjara, jang akhirnja semua file saja bersama file Mr.M Yamin diserahkan kepada sekretaris pribadi jang kebetulan tjutju saja Max Yusuf Al-Kadrie, hingga saat ini agar terselamatkan bagi bangsa ini.
Tanggal 18 Juli 1974 sebagian file dokumen gambar lambang negara yang dibuat Sultan Hamid II diserahkan kepada H. Mas Agung (Ketua Yayasan Idayu) Jakarta Jalan Kwitang Senen No. 24 Jakarta Pusat. Ketika menyerahkan file dokumen tersebut Sultan Hamid II menulis tanda penyerahan itu di atas kertas berlogo RTC bertahun 1949 yaitu:[97]
Gambar 15
Dokumen Penyerahan File Lambang Negara RIS dari Sultan Hamid II kepada Mas Agung, 18 Juli 1974 disaksikan notaris Albert Lauw dan Sultan Hamid II menulis di atas kertas berlogo RTC bertahun 1949 yang disediakan oleh Mas Agung (Repro oleh penulis 1999 dari Max Yusuf Alkadrie mantan Sekretaris pribadi Sultan Hamid II, 1975-1978)
Adapun tulisan pada dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
“Mas Agung yang saya hormati, mudah-mudahan sumbangan pertama saya ini bermanfaat bagi negara kita yang dicintai oleh kita. Selanjutnya saya persilahkan saudara untuk datang kerumah saya untuk pilih buku-buku saya yang saudara anggap panting bagi Idayu. Saudara Mas Agung! Apakah file dokumen lambang negara kita juga dihargai! Jika "Ya", harap diterima”.
Selanjutnya dilakukan acara penyerahan antara Sultan Hamid II dengan H. Mas Agung yang ketika itu disaksikan oleh Max Yusuf Alkadrie dan Albert Lauw (notaris) dan difoto oleh Pak Somarmo dan kemudian dokumen itu diserahkan kepada lbu Murtini S. Pandit, MSc (mantan sekretaris dan Ketua Badan Pelaksana Yayasan Idayu) untuk disimpan dan selanjutnya dirawat dengan baik oleh Ibu Mien Kotte dan Ibu Nur Enim Soebadrie (Pustakawati Idayu).[98] Saat ini dokumen tersebut ini disimpan dengan baik oleh anak H. Mas Agung, yaitu Ketut Mas Agung ruang pribadi almarhum H. Mas Agung di Gedung Idayu Jakarta.
Tanggal 12 Agustus 1978 terbit buku hasil wawacara Z. Yasni dengan Mohammad Hatta dengan judul Bung Hatta Menjawab pada halaman 108 dan 112 secara tegas Mohammad Hatta (mantan perdana menteri RIS) menyatakan bahwa Sultan Hamid II yang membuat lambang negara dan gambar rancangan Sultan Hamid II yang diterima oleh Pemerintah dan DPR.
Isi selengkapnya Buku Bung Hatta Menjawab hal 108 dan 112 itu adalah sebagai berikut: [99]
“Prinsip bersatu dalam keanekaragaman (Bhineka Tunggal Ika, Unity in Diversity) itu makin lama makin menjadi pegangan yang meluas dan mendalam ke segenap lingkup kehidupan bangsa dan negara, menyerap ke dalam bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan tats sikap pribadi pemimpin dan pemuka masyarakat. (Semboyan "Bhinneka Tunggal" adalah ciptaan bung Karno, setelah kita merdeka. Semboyan itu kemudian diperkuat dengan lambang yang dibuat oleh Sultan Abdul Hamid Pontianak dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Februari 1950.
Patut pula ditambahkan sebagai catatan bahwa lambang dengan tulisan yang mempunyai arti yang demikian mendalam itu, dipadukan menjadi seperti sekarang ini, dengan melalui suatu sayembara waktu RIS dulu dan dilaksanakan oleh Menteri Priyono. Banyak gambar yang masuk itu, tetapi yang terbaik akhirnya ada dua bush, satu dari Muhammad Yamin dan satu lagi dari Sultan Hamid, Yang diterima oleh Pemerintah dan DPR adalah yang dari Sultan Hamid yakni seperti sekarang ini. Adapun dari Muhammad Yamin ditolak, karena disana ada gambar sinar-sinar matahari dan menampakan sekikit banyak disengaja atau tidak pengaruh Jepang”.
Setelah terbitnya pernyataan Mohammad Hatta, tersebut berbagai pihak tertarik untuk melakukan penelitian akademis dan investigasi yang dapat dicatat pada paparan berikut ini.
Tahun 1985 U'un Mahdar Asmadi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pajajaran Bandung kemudian menyelidiki dan melakukan penelitian akademis tentang sejarah hokum proses penciptaan lambang negara dalam kaitannya dengan Undang-undang hak cipta, yang dibimbing oleh Sri Soemantri dan Hasil penelitian itu membuktikan kebenaran pernyatan bung Hatta, sepanjang tidak ada bukti yang menganulirnya.
Tahun 1986 terbit Buku berjudul “Sekitar Garuda Pancasila” yang ditulis oleh Akmal Sutja pada hal 79 beliau menyatakan, bahwa membenarkan pendapat Mohammad Hatta yang menyatakan, bahwa yang merancang gambar lambang negara adalah Sultan Hamid II, sampai dengan adanya penelitian lebih lanjut. Isi selengkapnya pernyataan itu adalah:[100]
“...sampai sampai ada penelitian yang dapat dipercaya mengenai hal ini, kiranya dapat diterima saja keterangan dari Bung Hatta, bahwa Sultan Hamid II yang telah mendapat ilham brilian untuk mengangkat kembali simbol-simbol asli bangsa Indonesia yang telah dimuliakan oleh Bangsa Indonesia sepanjang sejarahnya. Karena Bung Hatta salah seorang pemimpin yang cukup terpercaya yang saat itu menjadi wakil Presiders, membenarkan pendapat ini, ketimbang praduga berdasarkan atas latar belakang Muhammad Yamin saja”.
Tahun 1994 Universitas Tanjungpura Pontianak khususnya Mimbar Untan (salah satu terbitan Universitas Tanjungpura) yang diketuai oleh Syafaruddin M.H.D melakukan investigasi tentang perancangan lambang negara oleh Sultan Hamid II kepada keluarga Kraton Kadriyah Pontianak (kerabat Sultan Hamid II) dan para pemuka masyarakat setempat. Adapun hasil investigasi tersebut dapat diringkas: [101]
Haji Ya Achmad, Ketua 1 DHD Angkatan 1945, Kotamadya Pontianak, sejarahwan, mantan Kabid Permesiuman Dikbud Kal-Bar: “Saya sendiri mendengar langsung dari almarhum Sultan Hamid, bahwa beliaulah perancang lambang negara. Kita menyimpanarsipnya mengapa kita ragu dan takut untuk mengemukakannya. Mesti diingat ini sejarah bung”.
Husni Umberan, M.Ed, Kepala Dinas Peninggalan Sejarah Pontianak; Sejarahwan Kal-Bar: “Jangan hanya karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Saya rasa jangan hanya satu kesalahan yang membuat jasa besar seorang harus hilang, bahkan dihilangkan begitu saja" saya setuju kalau suatu pengungkapan dengan penelitian lebih lanjut”.
Ya Syarief Umar, mantan anggota MPRS RI, mantan anggota DPRD Tingkat I Kal-Bar pendiri KPMKB Yogyakarta dan salah satu tokoh pendiri Universitas Tanjungpura: “Mungkin karena keterseokan sejarah P.Y. Sultan Hamid, pengakuan seorang terhadap karya rancangannya menjadi kabur, padahal inilah sebuah keabsahan sejarah. Nah kalau memang benar Hamid II penggali lambang negara kita itu, mengapa sungkan untuk mengungkapkan ini sejarah, dan sejarah jangan dipungkiri dong. Saya menilai, kita hendaklah arif menilai sejarah pisahkan yang subyek dan obyek”.
Syarif Slamet Yusuf Alkadrie, Mantan anggota DPRD Kotamadya Pontlanak. Kerabat Keraton Kadriyah: “Saya mendengar langsung apa yang dikatakan Oom Hamid, dia bersumpah di atas nama Tuhan, dialah yang mengukir ide melahirkan lambang negara RI itu, saya sangat menyayangkan, orang-orang begitu mudahnya melupakan jasa Hamid. Mungkin lantaran la ada kaitannya dengan pembelokan sejarah tetapi kita harus mengatakan yang sebenarnya, walau secuil jasanya bagi Republik ini, itukan sebuah jasa, dan saya yakin itu akan tetap abadi”.
A. Rahman, tokoh Pejuang 1945 Pontianak: “Saya menilai Sultan Hamid H Sering dinilai yang terlampau jeleknya tindakan yang dilakukan Hamid, masih ada yang baiknya. Buktinya pelahiran lambang negara RI itu sumbangsih dirinya”.
Agus Sastrawan Nur, dosen sejarah Universitas Tanjungpura, pemerhati sejarah dan peneliti sejarah: “Boleh jadi Sultan Hamid II yang merancang lambang negara itu, sebab sebagai menteri negara zonder porto folio dalam kabinet RIS yang la sendiri merasa tidak puas dengan kedudukan itu dan tak ada pekerjaan lain, karena tugasnya hanya membikin dan merancang lambang negara”.
Tahun 1996 Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Hukum, Program Kekhususan, Hukum Kehidupan Kenegaraan Universitas Indonesia Turiman, asal Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak lebih lanjut meneliti dalam bentuk tesis berjudul Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suat Analisa Yuridis Normatif Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan) dan hasil penelitiannya telah dipresentasikan dihadapan MUBES V KPMKB se-Jawa dan para tokoh-tokoh Kal-Bar di Bandung 29 Nopember 1996.
Tanggal 2 – 3 Juni 2000 di Kota Pontianak Kalimantan Barat diadakan Dialog Nasional Lambang Negara bertempat di Hotel Kapuas Palace yang dihadiri oleh PAH I Amandemen UUD 1945 MPR-RI dan Ketua MPR,DPR RI Akbar Tanjung, elemen masyarakat Kalimantan Barat dan Pemerintah Daerah serta Universitas Tanjungpura berdasarkan dialog nasional Lambang Negara yang mengacu pada hasil penelitian Tesis tersebut diajukan menjadi rumusan amandemen kedua UUD 1945 kepada PAH I Amandemen MPR-RI dengan rumusan: Lambang Negara Ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Gambar 16
Fhoto Ketika Penulis (Turiman Fachturahman Nur) selaku Peneliti Menerangkan Hasil Penelitian Tesis serta Dokumen File Sketsa Awal Lambang Negara dan Rancangan Akhir Sultan Hamid II kepada Ketua DPR RI sebagai Bahan masukan untuk PAH I MRR RI terhadap amandemen kedua UUD 1945 Pasal 36 A (Repro oleh Penulis dari Harian Equator 5 Juni 2000)
Tanggal 9 Juli 2009 Presiden Republik Indonesia: Susilo Bambang Yudoyono melalui Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Andi Mattalatta mengundangkan UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5035 yang mengacu pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dipertegas pada Pasal 36 A: Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Merujuk kepada keterangan Mohammad Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab yang menyatakan bahwa, alasan ditolak rancangan lambang negara Muhammad Yamin, karena pada gambar lambang negara rancangannya terdapat sinar-sinar matahari dan menampakan sedikit banyak disengaja atau tidak pengaruh Jepang.
Apabila keterangan itu dihubungkan dengan dokumen gambar rancangan lambang negara dari Muhammad Yamin, ternyata benar adanya, karena gambar yang dimaksud itu adalah berupa perisai yang dinamainya Matahari-Bulan atau Syamsiah Kamariah (Arab), disebut juga Aditya Candra (Sangsekerta)[102]. Dalam gambar perisai itu terdapat gambar matahari terbit dengan lima sinar (artinya sumber kodrat Allah) yang menurunkan kebahagiaan pads tanah air clan bangsa Indonesia, ialah Pemerintahan berclasarkan Pancasila, dan 2 (dua) pohon kelapa lambang kesejahteraan dan kemakmuran di darat clan di laut. Sedangkan tujuh garis di air lautan (tujuh kepulauan Indonesia). Keseluruhan arti dan makna lambang ini menimbulkan kalimat matahari dilingkari kelapa dan bumi atau bulan yang merupakan cendra sengkala angka 1881 (tahun Masehi 1949), yaitu tahun kelahiran RIS, sebagaimana gambar dokumennya berikut ini:
Gambar 17
Gambar Lambang Negara Rancangan Mr Muhammad Yamin Yang ditolak Pemerintah sebagai dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam Buku Bung Hatta Menjawab, 1978 Hal 112 (Repro oleh Uun Mahdar Asmadi, 1985 dan oleh Penulis 1999 dan Rancangan Lambang Negara akhir oleh Mr Mohamma Yamin ini pernah diterbitkan oleh Majalah Intisari. No 205 "Garuda Pancasila Siapa Penciptanya" Agustus 1980. "Elang-Elang Lambang Negara", Intisari Cet I, Mei 1995.
Untuk melengkapi dokumen Gambar 12 diatas berikut ini file sketsa gambar lambang negara Muhammad Yamin hasil coretan tangan M. Yamin yang telah diserah ke Mas Agung 18 Juli 1974 yang direpro oleh U'Un Mahdar peneliti Lambang Negara dari sisi Undang-Undang Hak Cipta, tahun 1986 di Universitas Panjajaran Bandung dalam rangka makalah Hukum Tata Negara dibawah bimbingan Prof Dr Soemantri:
Gambar 18
Sketsa awal rancangan Lambang Negara RIS yang dirancang oleh Mr Mohammad Yamin, 1950 (Repro oleh U.un Mahdar Asmadi, 1985 UNPAD dan oleh Penulis, 1999)
Tersebar pendapat yang berkembang di masyarakat yang menyatakan Muhammad Yamin yang merancang Lambang Negara sebagaimana bentuknya seperti sekarang ini sempat mengecewakan Sultan Hamid II, sedangkan rancangan Muhammad Yamin tidaklah seperti bentuk gambarnya lambang negara pada saat ini, dokumen gambar diatas tentulah jauh dari bentuk lambang negara rancangan Sultan Hamid II, dan hal itu dijelaskan dalam transkripnya kepada Solichim Salam, 15 April 1967:[103]
" hanja sadja saja "kecewa" dengan kabar diluar jang menerka-menerka Mr.M.Yamin jang membuat lambang negara RIS, sedangkan file-file serta transkrip lambang negara Mr.M.Yamin jang pernah ditolak oleh pemerintah dan parlemen RIS ada ditangan Panitia Lambang Negara jang kemudian file-file lambang negara itu saja simpan dengan baik, sampai kemudian sekitar akhir 1966 saja selamatkan ke Istana Kadriah Pontianak, kemudian saja bawa kembali ke Djakarta sekitar awal 1967, saja titipkan kepada nona K.Irawati anak Syamsuddin Sutan Makmmur/pernah menteri penerangan periode 30 Djuni-12 Maret 1956 jang ketika itu satu ruangan pendjara bersama saja mendjadi tahanan politik, di rumah beliaulah di djalan Radio Dalam Djakarta Selatan tempat sementara saja tinggal setelah keluar dari pendjara, jang akhirnja semua file saja bersama file Mr.M Yamin diserahkan kepada sekretaris pribadi jang kebetulan tjutju saja Max Yusuf Al-Kadrie, hingga saat ini agar terselamatkan bagi bangsa ini.
Perlu dikemukakan, bahwa didalam Ensiklopedia Nasional Indonesia tidak ditegaskan secara tegas tentang siapa perancang lambang negara hanya disebutkan sebagai berikut: [104]
"Cikal bakal Garuda berawal ketika Muhammad Yamin menjadi Ketua Panitia Lencana Negara dengan anggota antara lain Sultan Hamid 11, yang pada waktu itu menjabat Menteri Negara dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat. Atas permintaan mereka dibuat beberapa lambang. Sebagian rencana gambar dan skesta lambang garuda dan lambang lain, yang menjadi cikal bakal lambang negara Republik Indonesia, kini masih tersimpan dengan balk. Sebuah rancangan menokohkan figur garuda dan agak mirip dengan lambang negara kita di dalam lingkaran sebelah atas tertulis dengan huruf latin perkataan Republik Indonesia Serikat. Burung garuda berdiri di atas sebuah bantalan bunga teratai (Padma). Kepala garuda digambarkan menurut contoh klasik dari candi-candi atau pahatan lain, kepala burung dengan rambut ikal, tangan garuda memegang perisai yang terbagi menjadi empat bidang. Di tengah perisai ada garis melintang yang menggambarkan khatulistiwa. Pada perisai, bidang kesatu, terlihat gambar banteng (lambang kekuatan, keberanian,dan keuletan) yang ke-2 (menurut arah jarum jam) pohon beringin (kekuataan hidup), ke-3 batang padi (lambang kemakmuran) dan ke-4 keris (lambang keadilan). Rancangan lain juga berbentuk bulat dengan garuda di atas bantalan teratai, hanya tak tampak jelas bahwa perisai itu dicengkram garuda sebab cengkramannya hanya sedikit menyembul di atas perisai. Garuda memakai mahkota, kalung dan anting-anting, sayap ke bawah, di tengah perisai terbagi empat bagian, dan di tengahnya masih ada tambahan satu perisai kecil bergambar banteng. Gambar dalam perisai adalah batang padi, pohon beringin, dan keris. Tulisan huruf Arab Melayu: berbunyi Republik Indonesia Serikat".
Jika mendasarkan keterangan Eksiklopedia Nasional Indonesia tersebut di atas, keterangan ini lebih merujuk kepada skesta awal lambang negara yang dibuat oleh Menteri Negara Sultan Hamid II berdasarkan dokumen yang diserahkan kepada H. Mas Agung 18 Juli 1974 dan ini semakin memperkuat, bahwa Sultan Hamid II sewaktu menjabat Menteri Negara tidak ada tugas lain yang dipercayakan oleh Presiders Soekarno selain membuat rencana lambang negara, seperti dinyatakan secara tegas oleh Sultan Hamid II dalam pleidoi yang dibacakannya pada Sidang Mahkamah Agung24) tanggal 23 Maret 1953:[105]
"Apakah yang harus kerjakan? Tindakan apa yang saya dapat ambil? Sebagai Menteri Negara saya hanya diserahi tugas menyiapkan Gedung Parlemen dan membikin rencana buat lambang negara. Sampai saya ditangkap (5 April 1950) dan kemudian ditahan tak ada tugas lain tugas saya!"
Berdasarkan hal yang dinyatakan oleh Sultan Hamid II dan kemudian dipertegas oleh Mohammad Hatta dalam Buku Bung Hatta Menjawab, 1978, hal 108 dan 112 dan kemudian juga dinyatakan oleh Akmal Sutja dalam buku sekitar Garuda Pancasila, 1986, hal 78-79 yang kemudian penulis teliti lebih lanjut dalam bentuk tesis pada program magister ilmu hukum UI, 1999 masih saat ini belum ada pengakuan resmi dari Pemerintah RI terhadap Sultan Hamid II sebagai perancang lambang negara dan ini merupakan salah satu agenda yang belum terwujud dalam Dialog Sejarah Hukum Lambang Negara yang diadakan oleh Pemda Prov Kal-Bar, Universitas Tanjungpura Pontianak, dan MPR, tahun 2000, walaupun dua agenda rekomendasi pada dialog nasional tersebut sudah terwujud, yaitu amandemen kedua Pasal 36 A UUD Negara RI dan materi muatan UU No 24 Tahun 2009, oleh karena itu kajian dalam makalah ini yang merupakan sebagian hasil penelitian yang mendalam dan melelahkan selalu disosialisasikan setiap moment kesejarahaan setiap tanggal 1 Juni dan 10 November oleh Peneliti dan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak.
Fakta sejarah sejarah hukum perancangan lambang negara masih sangat mungkin memancing berkembangmnya beragram perspektif sejarah, bahkan kontroversi sejarah, oleh karena itu penulis tidak menggunakan istilah "Pencipta" Lambang Negara, tetapi menggunakan istilah "Perancang" , karena istilah perancang lebih luas daripada pencipta, karena perancangan artinya sebuah kegiatan mendesain gambar lambang negara yang dirancang secara konvensional, artinya ada suatu kesepakatan/persetujuan dalam proses perancangannya walaupun sketsa awal hingga akhir dibuat oleh Sultan Hamid II tetapi gambarnya secara kenegaraan diajukan oleh Panitia Lambang Negara kepada Pemerintah RIS melalui Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta 10 Februari 1950 dan kemudian ditetapkan oleh Pemerintah dan Parlemen RIS pada tanggal 11 Februari 1950 berdasarkan pasal 3 ayat 3 Konstitusi RIS 1949: Pemerintah menetapkan materai dan Lambang Negara.
Proses selanjutnya kemudian oleh Dewan Menteri dibawah UUDS 1950 sebagai pelaksanaan pasal 3 ayat 3 Materai dan Lambang Negara ditetapkan oleh Pemerintah kemudian gambar tersebut menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 pasal 6 : Bentuk dan Warna perbandingan ukuran Lambang Negara Republik Indonesia adalah seperti terlukis dalam lampiran pada Peraturan Pemerintah ini serta selanjutnya berdasarkan perintah Pasal 36 C dijabarkan ke dalam UU No 24 Tahun 2009 (pasal 50) menjadi Lampiran resmi Undang-Undang tersebut, gambar dimaksud merupakan gambar yang dirancang secara alegoris, karena perancangannya sebagai hasil permufakatan yang dibuat atas dasar perpaduan simbol yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dengan syarat-syarat semiotika/semiologi oleh Sultan Hamid II selaku pribadi maupun dalam kapasitas Menteri Negara Zonder Forto Folio yang hanya mendapat dua tugas oleh Presiden Soerkarno, yaitu menyiapkan gedung parlemen dan membuat rencana lambang negara RIS.
Untuk melengkapi proses perancangan lambang negara rancangan Sultan Hamid II berikut ini file dokumen sketsa awal lambang negara coretan tangan dari Sultan Hamid II sebagai rencana gambar lambang negara yang meramu berbagai bahan masukan anggota Panitia Lambang Negara RIS, 1950:
Gambar 19
Sketsa awal Rancangan Lambang Negara Yang dibuat oleh Sultan Hamid II (Repro oleh Uun Mahdah Asmadi, 1985 dan oleh Penulis, 1999 dari Dokumen yang berada di Yayasan Mas Agung Jakarta, Tahun 2000 )
Coretan sketsa tangan Sultan Hamid II dan sketsa rencana perisai Pancasila adalah bukti sejarah atau file dokumen sejaman, bahwa lambang negara ini bukan hasil sayembara tetapi rancangan yang menggunakan berbagai bahan salah satunya adalah hasil-hasil sayembara tahun 1947[106] yang kemudian dirancang menghasilkan dua rancangan anak bangsa terbaik dan brilian, yaitu dari Sultan Hamid II yang bentuknya seperti gambar lambang negara sekarang ini dan diterima dan ditetapkan oleh Pemerintah dan Parlemen RIS kemudian satu lagi dari Muhammad Yamin yang ditolak oleh Pemerintah RIS karena terpengaruh Jepang, yaitu adanya sinar-sinar matahari.
Paparan ini sekaligus menanggapi pernyataan Asvi Warman Adam dalam bukunya Menguak Misteri Sejarah yang diterbitkan Kompas Juli 2010:[107]
"Kontrovesi berikutnya yang masih perlu dijelaskan ditengah masyarakat adalah siapa pencipta lambang negara Garuda Pancasila. Ada yang menyebutkan lambang ini dirancang Mohammad Yamin. Setelah era reformasi muncul klaim bahwa lambang negara itu diciptakan Sultan Hamid II. Ini terlihat pada tesis pascasarjana bidang hukum tata negara di UI, 1999 yang disusun Turiman Fachturahman Nur berjudul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara Dalam Peraturan Perundang-undangan) ...." Sebetulnya ada empat pihak yang berjasa dalam membuat lambang negara yang berasal dari gambar burung pada candi yang ada di Nusantara. Pertama, tentu Panitia Len cana Negara yang dibentuk 10 Januari 1950 dibawah koordinator Menteri Negara Zonder Fortio Folio Sultan Hamid II dengan susunan Panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki hajar Dewantaroro, M .A Pellapussy. M. Natsir, dan R.M Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah Menurut Bung Hatta untuk diadakan sayembara. Pelukis Lekra, Basuki Resobowo mengaku mengirimkan lukisannya dan menang dalam sayembara tersebut. Perlu diperiksa arsip gambar-gambar yang dikirimkan kepada Panitia tersebut. Jadi kelompok kedua yang berjasa adalah para peserta sayembara yang salah satunya mungkin Basuki Resobowo. Perlu diingat bahwa proses ini terjadi pada masa RIS (Republik Indonesia Serikat) dan kita ketahui bahwa sejak Agustus 1950 negara-negara bagian yang ada pada RIS itu telah melebur ke pangkuan ibu pertiwi RI (Republik Indonesia) Dalam usulan awal lambang itu tercantum kata Republik Indonesia Serikat pada lingkaran sekeliling Garuda. Pihak Ketiga tentulah Presiden Soekarno yang menilai dan memutuskan pada tahap akhir, gambar yang dipilih sebagai lambang negara. Kelompok empat adalah pelukis yang diminta bantuan sebagai konsultan oleh Presiden yakni D.Ruhr Jr dan pelukis istana Doellah yang menggambar kembali lambang tersebut sebagai diminta Soekarno. Lihat Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Sejarah, Kompas, Jakarta, Juli. 2010.hlm 211-213. lambang negara, sedangkan kajian sejarah secara metodologi harus dibuktikan dengan dokumen sejaman.
Pernyataan Asvi Warman Adam tersebut di atas menurut penulis adalah ketidak pahaman atau minim informasi tentang proses sejarah hukum perancangan lambang negara RIS, dan hal ini bertentangan dengan kronologis sejarah hukum lambang negara yang diteliti oleh penulis, karena Asvi Warman Adam pernyataannya tidak didukung dengan bukti-bukti file dokumen lambang negara baik rancangan Sultan Hamid II maupun rancangan Muhammad Yamin mulai dari sktesa awal hingga akhir gambar sebagai pernyataan Mohammad Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab, Gunung Agung, 1978, halaman 108 dan 112 yang telah dipaparkan penulis sebelumnya.
Penelitian sejarah harus dapat dibuktikan dengan dokumen file sejaman ,artinya ketika ada keterangan atau pernyataan dalam referensi/literatur/buku-buku yang berkaitan dengan proses sejarah hukum lambang negara, misalnya seperti pernyataan A.G Pringgodigdo dalam bukunya Sekitar Pancasila yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan keamanan, Pusat Sejarah ABRI, 1978 halaman 6, bahwa Lambang negara pada waktu diresmikan burung Garuda kepala "gundul", tidak pakai "jambul" yang ditetapkan 11 Februari 1950 dan kemudian berubah dalam lambang negara kesatuan Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 tanggal 17 Oktober 1951 dan atau pernyataan Mohammad Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab, 1978 halaman 108 bahwa lambang negara yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika itu kemudian diperkuat dengan lambang yang dibuat oleh Sultan Abdul Hamid Pontianak dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Februri 1950, dan atau pernyataan Mohammad Yamin dalam Buku 6000 Tahun Sang Merah Putih, 1954 pada halaman 168, maka pernyataan itu harus bisa dibuktikan dengan file dokumen lambang negara sejaman, oleh karena itu Asvi Warman Adam tidak dapat menyatakan bahwa sebetulnya ada empat pihak yang berjasa dalam membuat lambang negara yang berasal dari gambar burung garuda pada candi yang ada di Nusantara dan empat pihak dimaksud Asvi Warman Adam adalah pertama, Panitia Lambang Negara (Lencana negara), kedua para peserta sayembara yang salah satunya Basuki Resobowo, pihak ketiga Presiden Soekarno yang menilai dan memutuskan pada tahap akhir, gambar yang dipilih sebagai lambang negara, keempat adalah pelukis yang diminta bantuan sebagai konsultan oleh Presiden yakni D.Ruhr.Jr dan pelukis Dullah yang menggambar kembali lambang tersebut sebagaimana diminta Soekarno, karena semua yang dinyatakan itu merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam proses perancangan sejarah hukum lambang negara RIS.
Pernyataan Asvi Warman Adam sebagaimana dalam buku tersebut, menurut penulis perlu dibuktikan dengan berbagai file dokumen lambang negara, artinya selama belum ada penelitian yang dapat dipercaya, maka pernyataan Asvi Warman Adam adalah pernyataan yang justru "kontroversi" dan menurut penulis perlu dijelaskan ditengah masyarakat/publik dan para penstudi sejarah hukum, karena tidak didukung bukti sejaman. Mengapa demikian pembimbing utama tesis penulis sendiri Prof DR Dimyati Hartono, SH, sering mengingatkan pada penulis ketika menulis hasil penelitian tesis tersebut, bahwa jika pada sejarah itu tidak terdapat peran seseorang maka tak boleh dimasukan, begitu pula sebaliknya jika seseorang itu berperan maka tidak boleh dihilangkan perannya. Itulah saran beliau, bahwa dalam penulisan sejarah tidak boleh terjadi kesalahan karena berkaitan dengan kehidupan bangsa. "Karena ini menyangkut sejarah maka tidak boleh ada kesalahan"[108]
Berdasarkan peristiwa sejarah diatas, berikut ini disusun secara urutan atau kronologis historisitas perancangan lambang negara berdasarkan pendekatan sejarah hukum ketatanegaraan Indonesia dengan penelusuran dokumen dan literatur serta hasil wawancara berikut ini disusun kronologis sejarah hukum perancangan lambang negara:[109]
1. Sebelum Indonesia Merdeka tepatnya tanggal 13 Juli 1945 dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, salah satu Panitia (Parada Harahap) mengusulkan tentang lambang negara. Usul tersebut disetujui oleh semua anggota, dan sepakat akan dibahas tersendiri kemudian, dalam bentuk Undang-undang Istimewa yang mengatur tentang lambang negara.
2. Tahun 1945 sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, dibentuk Panitia Indonesia Raya, diketuai oleh Muhammad Yamin dan sekretaris Ki Hajar Dewantoro, panitia ini bertugas menyelidiki arti lambang-lambang dalam peradaban bangsa Indonesia sebagai langkah awal untuk mempersiapkan bahan kajian tentang lambang negara. Panitia ini sudah melakukan tugas, yaitu data lambang-lambang burung Baruda yang berada di candi-candi di pulau Jawa. Data-data inilah kemudian yang dipakai sebagai bahan dasar untuk menjawab permintaan Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara RIS yang ditunjuk untuk merencanakan lambang negara atas permintaan dan kepercayaan Presiden Soekarno kepada Sultan Hamid II.
3. Tahun 1947 diadakan sayembara rancangan lambang negara oleh Pemerintah yang diadakan oleh kementerian penerangan melalui organisasi seni Lukis seperti SIM (Seniman Indonesia Muda) Pelukis Rakyat) dalam catalog pameran Haris Purnomo 2006, yang bertajuk “Dibawah Sayap Garuda” terdapat ulasan Hendro Wiyanto selaku kurator yang mengulas perihal sayembara tersebut dengan judul: Tanda Lambang Garuda” 1951 yang berisi komentarnya tentang hasil rancangan sejumlah pelukis yang telah menuangkan gagasannya kedalam bentuk lambang negara, namun sayang sekali, menurut Oesman kebanyakan pelukis kurang paham hukum-hukum kesejarahan dari tanda lambang negara. Hasilnya tidak satupun dari rancangan lambang negara Garuda Pancasila hasil lomba tersebut seperti yang kita kenal seperti sekarang ini.
4. Tahun 1949 tepatnya tanggal 30 Desember 1949 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat No 2 Tahun 1949 Sultan Hamid II diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Forto Polio. Dalam kedudukan tersebut, Sultan Hamid II dipercayakan untuk melakukan perancangan gambar lambang negara.
5. Dalam melaksanakan tugas yang dipercayakan oleh Presiden Soekarno, Sultan Hamid II secara pribadi mempersiapkan rancangan lambang negara dengan bentuk dasar burung Garuda yang memegang perisai.
6. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Mas Agung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan: “Ide Perisai Pancasila” itu muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Beliau (Sultan Hamid II) teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara tersebut melambangkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia. Inilah saat momen bersejarah dalam proses perancangan lambang negara Indonesia, dimana sila-sila dari dasar negara yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.
7. Berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) 1949 Pasal 3 ayat 3: Pemerintah menetapkan meterai dan lambang negara. Pada sidang kabinet kedua tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara (Lambang Negara) di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan Panitia Teknis: Muhammad Yamin (Ketua), Ki Hajar Dewantoro (anggota), M.A. Pellaupessy (anggota), Moh. Natsir (anggota), R.M. Ng Purbatjaraka (anggota). Panitia ini bertugas menyeleksi/ menilai usulan-usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
8. Merujuk keterangan Mohammad Hatta (buku Bung Hatta Menjawab) untuk melaksanakan keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara lambang negara. Hasil sayembara itu ada 2 (dua) gambar rancangan lambang negara yang terbaik, yaitu dari Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin dalam proses selanjutnya yang diterima oleh Pemerintah dan DPR adalah hasil rancangan Sultan Hamid II. Adapun yang dari Muhammad Yamin ditolak, karena ada sinar-sinar matahari dan menampakkan sedikit banyak disengaja atau tidak, pengaruh Jepang.
9. Setelah terpilihnya rancangan lambang negara rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II oleh Pemerintah, proses selanjutnya adalah dialog intensif antara perancang lambang negara (Sultan Hamid II) dengan Presiden RIS: Soekarno dan Perdana Menteri: Mohammad Hatta untuk menyempurnakan rancangan tersebut.
7. Masukkan penyempurnaan pertama sebagaimana dinyatakan Mohammad Hatta (Buku Bung Hatta Menjawab) dan Sultan Hamid II (transkip rekaman dialog Sultan Hamid II dan Mas Agung, 1974) ialah adanya kesepakatan beliau bertiga (Sultan Hamid II, Presiden Soekarno, Mohammad Hatta) memenuhi usulan Presiden Soekarno: mengganti pita yang dicengram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan seloka “Bhinneka Tunggal Ika”, sebab warna merah putih dianggap sudah terwakili dalam warna dasar perisai Pancasila rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II tersebut.
8. Tanggal 26 Januari 1950 Ki Hajar Dewantoro (Dari Yogyakarta) mengirim surat kepada sekretaris dewan Menteri RIS (Z Yahya) yang isinya menunjuk Muhammad Yamin untuk memberikan masukan mewakili beliau kepada Panitia Lambang Negara dan surat turunannya telah disampaikan kepada Menteri Negara RIS Sultan Hamid II tanggal 1 Februari 1950 No. XXX/ 202, Perihal Panitia Lambang Negara.
9. Tanggal 8 Februari 1950 rancangan final lambang negara yang di buat Menteri Negara RIS Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari suatu Partai Islam (Masyumi) untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambaran burung Garuda dengan lengan dan bahu manusia yang memegang perisai, karena dianggap bersifat mitologis khayalan.
10. Tanggal 10 Februari 1950 mernteri negasra RIS Sultan Hamid II mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali- Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Di sini burung Garuda digambarkan dalam bentuk alami menyerupai Rajawali yang perkasa, dan Perisai Pancasila digantungkan menempel pada dada Rajawali Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Perdana Menteri RIS, yaitu Moh. Hatta.
11. Tanggal 11 Februari 1950 rancangan lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS Sultan Hamid II diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS yang dipimpin oleh Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta. Ketika itu gambar bentuk kepada Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul" dan "tidak berjambul" atau bentuk belum seperti sekarang ini, sebagaimana diterangkan oleh A.G Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI.
12. Tanggal 11 Februari 1950 inilah secara resmi saat pertama bangsa Indonesia mempunyai lambang negara, yang diberi nama Bhineka Tunggal Ika yang merupakan karya kebangsaan bersama dari anak-anak bangsa terbaik yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang dengan baik, oleh seorang anak bangsa Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.
13. Tanggal 15 Februari 1950, Presiden Soekarno memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta.
14. Tanggal 20 Februari 1950, lambang negara yang dirancang Menteri Negara RIS Sultan Hamid II dan juga sebagai Koordinator Panitia Lambang Negara, sudah terpasang di dalam ruang sidang Parlemen RIS Istana Merdeka Penjambon Jakarta yang dibuka oleh Presiden Soekarno.
15. Akhir Februari 1950, Sultan Hamid II mendapat saran dari Presiden Soekarno untuk menyempurnahkan kembali bentuk kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang terlihat “gundul” menjadi “berjambul” seperti bentuk alamiah burung Rajawali.
16. Sekitar awal Maret 1950, Sultan Hamid II mengajukan kembali lukisan lambang negara yang sudah diperbaiki. Gambar tersebut masih dapat masukan dari Presiden Soekarno tentang bentuk cakar kaki yang mencengkram pita yang menghadap ke belakang. Penyempurnaan yang dilakukan Sultan Hamid II hanya tinggal merubah bentuk cakar kaki sehingga menghadap ke depan, bagian lain sudah sama seperti gambar lambang negara sekarang ini.
17. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara rancangan Sultan Hamid II yang telah diperbaiki diajukan kepada Presiden Soekarno dan mendapat disposisi persetujuan Presiden Soekarno. Kemudian Presiden Soekarno memerintahkan pelukis istana bernama Dullah untuk melukis kembali gambar tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II, seperti yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini
18. Setelah mendapat disposisi persetujuan dari Presiden Soekarno (20 Maret 1950), untuk terakhir kalinya Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambahkan skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara (lukisan otentiknya sudah diserahkan kepada H. Mas Agung, Yayasan Idayu Jakarta).
19. Tanggal 5 April 1950, Sultan Hamid II Menteri Negara Zonder Forto Polio dijemput (untuk keperluan penyidikan) oleh Jaksa Agung di Hotel Des Indes yang kemudian dikenal dengan “Peristiwa Sultan Hamid II”.
20. Sejalan dengan semangat perjuangan Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Mosi M. Natsir, dkk (kembali ke Negara Kesatuan RI) diterima oleh Parlemen RIS. Bangsa Indonesia kembali kepada semangat sejati Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 melalui pernyataan konstitusional kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia terhitung sejak tanggal 17 Agustus 1950.
21. Tanggal 10 Juli 1951, Dewan Menteri mengadakan rapat mengenai pengaturan lambang negara, yaitu racangan Peraturan Pemerintah yang mengatur lambang negara berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
22. Tanggal 17 Agustus 1951, lambang negara dimasyarakatkan pemakaiannya di seluruh negara Kesatuan Republik Indonesia dan gambarnya disebarluaskan keseluruh pelosok tanah air.
23. Tanggal 17 Oktober 1951 Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjoyo menetapkan Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 tentang lambang negara, pada Pasal 2, 3 ditetapkan, bahwa warna, perbandingkan ukuran dan bentuk lambang negara adalah seperti ditentukan dalam Pasal 6, yaitu seperti terlampir dalam Peraturan Pemerintahan tersebut.
24. Tanggal 28 November 1951, Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 diundangkan oleh Menteri Kehakiman: M Nasroen dalam Lembaran Negara No 111 dan penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara No 176 Tahun 1951. Sejak saat itu secara yuridis formal gambar lambang negara rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II seperti terlampir dalam Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 secara resmi menjadi lambang negara kesatuan Republik Indonesia.
25. Tanggal 30 Mei 1958, Dewan Menteri mengadakan rapat yang ke 107 mengenai rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penggunaan Lambang Negara.
26. Tanggal 5 Juni 1958, Muhammad Yamin dalam kapasitas sebagai mantan Panitia Lambang Negara, dalam suatu kesempatan pidato di Istana Negara yang dihadiri para Menteri serta Dewan Nasional menjelaskan arti dan makna simbol-simbol dalam perisai Pancasila pada lambang negara rancangan Menetri Negara RIS Sultan Hamid II.
27. Tanggal 26 Juni 1958, Presiden Republik Indonesia Soekarno dan Perdana Menteri Juanda menetapkan Peraturan Pemerintah No 43 tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara.
28. Tanggal 19 Juli 1958, Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara diundangkan oleh Menteri Kehakiman : GA Maengkom pada Lembaran Negara No 71 Tahun 1958 dan penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara No 1636 Tahun 1958.
29. Tanggal 22 Juli 1958 Presiden Soekarno memberikan pidato yang berkaitan dengan lambang negara di istana Negara, yang intinya antara lain kegagahan Burung Rajawali Garuda Pancasila, dan berkaitan Lambang Negara dengan dasar negara Pancasila.
30. Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden yang isinya kembali ke UUD 1945. Berdasarkan Peraturan Peralihan Pasal II UUD 1945, Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 dan No 43 Tahun 1958 tetap diberlakukan.
31. Tahun 1966 file dokumen skesta dan gambar lambang negara rancangan Menteri Negara Sultan Hamid II diambil kembali dari Nyonya Rini (Isteri kedua Sultan Hamid II) kemudian dititipkan kepada keluarga Syamsuddin Sutan Makmur (mantan Menteri Penerangan Periode 30 Juni 1953-12 Maret 1956), Kemudian disimpan dengan balk oleh Ibu K. Irawati salah satu putri Syamsuddin Sutan Makmur.
32. Tahun 15 April 1967 Sultan Hamid II menjelaskan tentang perancangan Lambang Negara Rajawali Garuda Pancasila kepada Solichim Salam wartawan Berita Buana yang intinya adalah bahwa Lambang Negara yang dirancang adalah mempresentasikan ide Pancasila dan merupakan Lambang Negara RIS yang ditetapkan 11 Februari 1950 dan juga menjelaskan tentang perjalanan sejarah file lambang negara.
33. Tahun 1972 file dokumen Lambang Negara diambil oleh Sultan Hamid II dari lbu K. Irawati dan diserahkan kepada Max Yusuf Alkadrie yang pada waktu itu dipercayakan sebagai sekretaris pribadi Sultan Hamid II (1968-1978).
34. Tanggal 18 Juli 1974 sebagian file dokumen gambar lambang negara yang dibuat Sultan Hamid II diserahkan kepada H Mas Agung (Ketua Yayasan Idayu), Jln Kwitang No 24 Jakarta Pusat.
35. Tanggal 12 Agustus 1978 terbit hasil wawancara Z. Yasni dengan Mohammad Hatta dengan Judul "Bung Hatta menjawab". Pada hal 108, dan 112 secara tegas Mohammad Hatta (Mantan Perdana Menteri RIS) menyatakan bahwa Sultan Hamid II Menteri Negara RIS yang membuat lambang negara dan gambar rancangan menteri Negara Sultan Hamid II yang diterima oleh Pemerintah dan DPR.
36. Tahun 1985 U'Un Mandar Asmadi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung investigasi dan melakukan kajian akademis tentang sejarah hukum proses penciptaan lambang negara dalam kaitannya dengan undang-undang Hak Cipta, yang dibimbing oleh Sri Soemantri. Hasil investigas membuktikan kebenaran pernyataan Mohammad Hatta, sepanjang tidak ada bukti baru yang menganulirnya.
37. Tahun 1986 terbit buku berjudul ."Sekitar Garuda Pancasila" karangan Akmal Sutja yang mana pada halaman 79 beliau menyatakan bahwa membenarkan pendapat Mohammad Hatta, yang menyatakan, bahwa yang merancang gambar lambang negara adalah Sultan Hamid II, dalam kedudukan sebagai Menteri negara RIS sampai dengan adanya penelitian lebih lanjut
38. Tahun 1994 Universitas Tanjungpura Pontianak Khususnya Mimbar Untan yang diketuai oleh Syafaruddin MHD melakukan investigasi tentang perancangan lambang negara oleh Menteri Negara RIS Sultan Hamid II kepada keluarga Istana Kadriyah Pontianak (kerabat Sultan Hamid II) dan para pemuka masyarakat setempat dan mendapat repro dokumen file Lambang Negara rancangan Sultan Hamid II yang disposisi Presiden Soekarno, 20 Maret 1950.
39. Tahun 1996 Turiman Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, program kekhususan Hukum Dan Kehidupan Kenegaraan: asal Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak lebih lanjut melakukan penelitian lebih mendalam dalam bentuk tesis berjudul : SEJARAH HUKUM LAMBANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Suatu Analis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara Dalam Peraturan Peru ndang -undangan) di bawah bimbingan Prof, DR .H. Dimyati Hartono,SH
40. Tahun 1999 tepatnya hari Rabu Tanggal 11 Agustus 1999 dihadapan Sidang Penguji, Prof DR. Azhari, SH, Prof Dr Koesnadi Hardjasoemantri, SH,ML. Prof Dr Dimyati Hartono,SH,MH, berhasil mempertahankan tesisnya yang berjudul SEJARAH HUKUM LAMBANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Suatu Analis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara Dalam Peraturan Perundang-undangan).
41. Tanggal 2-3 Juni Tahun 2000 diadakan Dialog Nasional Lambang Negara di Kal-Bar di Hotel Kapuas Palace yang dihadiri oleh PAH I Amandemen UUD 1945 MPR-RI dan Ketua MPR,DPR RI Akbar Tanjung, elemen masyarakat Kalimantan Barat dan Pemerintah Daerah serta Universitas Tanjungpura berdasarkan dialog nasional Lambang Negara yang mengacu pada hasil penelitian Tesis tersebut diajukan menjadi rumusan amandemen kedua UUD 1945 dengan menambah pasal 36 menjadi pasal 36 A dengan rumusan: Lambang Negara Ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
42. Tanggal 9 Juli 2009 Presiden Republik Indonesia: Susilo Bambang Yudoyono melalui Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Andi Mattalatta mengundangkan UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5035 yang mengacu pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mempertegas pada Pasal 36 A: Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
D. Pembacaan Pancasila Berdasarkan Semiotika Hukum Pancasila Dalam Lambang Negara RI
Pembacaan Pancasila alternatif yang ditawarkan penulis adalah model Pancasila "berThawaf", yaitu memahami konsep Pancasila dengan pendekatan semiotika hukum pada simbolisasi Pancasila pada perisai Pancasila dalam Lambang Negara rancangan Sultan Hamid II, sehingga pemahaman konsep Pancasila memunculkan pluralisme pandangan, artinya tidak hanya pandangan hirarkis piramida yang cenderung beraraskan positivisme sebagaimana pola pikir sebagian besar para penstudi hukum pahami selama ini.
Pada sisi metodologi analisis kajian ini intuisi teoeritiknya dibangun dengan menangkap fenomena apa adanya dari alam dan secara menyeluruh tanpa campur tangan dan manipulasi dari pengamat atau periset. Dengan setting yang alamiah metode yang paling tepat digunakan adalah metode kualitatif. Artinya teori muncul berdasarkan data yang ada, bukan dibuat sebelumnya sebagaimana yang terdapat pada penelitian kuantitatif dalam bentuk hipotesis. Sedangkan metode pengumpulan data dilakukan melalui proses hermeunistik dan dialektis yang difokuskan pada analisis suatu konsep hukum alam rasional relegiositas. Dalam hal ini peneliti akan menggunakan proposisi ilahiah dengan menggunakan metode struktur dan format Al-Qur'an (MSFQ)[110] dalam memaparkan konsep Thawaf.
Implikasi aksiologisnya adalah pertama, bahwa konsep thawaf pada semiotika hukum Pancasila jelas akan berbeda dengan konsep Pancasila yang tersusun secara hirarkis piramida. Kedua, Penafsiran Pancasila tidak hanya dianalisis dari paradigma positivisme tetapi Penafsiran Pancasila tetapi bisa memilih pandangannya spiritualisme dan berdimen psikologis yang berakar pada jatidiri bangsa Indonesia, agar tidak berkesan sekuler. Kedua implikasi tersebut bermanfaat dalam menganalis bernegara hukum kebangsaan Indonesia yang bermoral, atau disingkat konsep negara hukum bermoral.
Berdasarkan paparan di atas, berikut ini kita kutip transkrip Sultan Hamid II ketika menjelaskan perisai Pancasila dalam lambang negara, Rajawali –Garuda Pancasila, menyatakan: [111]
Ada tiga konsep lambang sekaligus, jakni pertama, burung Radjawali-Garuda Pantja-Sila jang menurut perasaan bangsa Indonesia berdekatan dengan burung garuda dalam mitologi, kedua perisai idee Pantja-Sila ber"thawaf"/gilir balik, dan ketiga, seloka Bhinneka Tunggal Ika jang tertulis dalam pita warna putih
Kemudian pada bagian lain Sultan Hamid II menyatakan: [112]
"... patut diketahui arah simbolisasi ide Pantja-Sila itu saja mengikuti gerak arah ketika orang "berthawaf"/ berlawanan arah djarum djam/"gilirbalik" kata bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke simbol sila kedua dan seterusnja, karena seharusnja seperti itulah sebagai bangsa menelusuri/ menampak tilas kembali akar sedjarahnja dan mau kemana arah bangsa Indonesia ini dibawa kedepan agar tidak kehilangan makna semangat dan "djatidiri"-nja ketika mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanja, seperti berbagai pesan pidato Paduka Jang Mulia disetiap kesempatan. Itulah kemudian saja membuat gambar simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep berputar-gerak "thawaf"/gilir balik kata bahasa Kalimantan sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun kedepan perdjalanan bangsa Indonesia yang kita tjintai ini.
Selanjutnya pada bagian lain Sultan Hamid II menjelaskan tentang konsep thawaf pada perisai Pancasila :[113]
" ... Falsafah "thawaf" mengandung pesan, bahwa idee Pantja-Sila itu bisa didjabarkan bersama dalam membangun negara, karena ber"thawaf" atau gilir balik menurut bahasa Kalimantannja, artinja membuat kembali-membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada sasaran jang djelas, jakni masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan rukun dan damai, begitulah menurut Paduka Jang Mulia Presiden Soerkarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja, jakni membangun negara jang bermoral tetapi tetap mendjunjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada sanubari rakjat bangsa di belahan wilajah negara RIS serta tetap memiliki karakter asli bangsanja sesuai dengan "djatidiri" bangsa/adanja pembangunan "nation character building" demikian pendjelasan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja.
Berdasarkan tiga penjelasan Sultan Hamid II tentang konsep thawaf dalam perisai Pancasila dalam lambang negara di atas, maka secara tersirat dan tersurat, bahwa dari lima Sila pada konsep Pancasila menurut Sultan Hamid II berdasarkan pesan Presiden Soekarno, yaitu :[114]
"....Adanja dua lambang perisai besar diluar dan perisai jang ketjil ditengah, karena menurut pendjelasan Mr. Mohammad Hatta jang terlibat dalam panitia sembilan perumusan Pantja-Sila 1945 ketika pertukaran fikiran dalam Panitia Sembilan pada pertengahan Juni 1945, dari lima sila Pantja Sila jang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau adalah sila pertama Ketoehanan Yang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa bertahan madju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pedjuang bangsa jang bermartabat/ berprikemanusiaan jang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian jang adil dan beradab, setelah itu membangun persatuan Indonesia sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat, pada langkah berikutnja baru membangun parlemen negara RIS jang demokratis dalam permusyawaratan/ perwakilan, karena dengan djalan itulah bisa bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, jakni dari rakjat, untuk rakjat oleh rakjat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Jang Maha Esa. Atas pendjelasan Perdana Menteri RIS itu, kemudian perisai ketjil ditengah saja masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur Tjahaya bintang bersudut segilima
Mengacu pada penjelasan Sultan Hamid II diatas, jika kita hubungkan dengan simbolisasi Pancasila pada sila-sila dalam Perisai Pancasila pada lambang negara Rajawali –Garuda Pancasila baik pada ciptaan pertama 8 Februari 1950 maupun ciptaan kedua 10- 11 Februari 1950 dengan perbaikannya yang disposisi Presiden Soekarno dan kemudian dilukis kembali oleh Dullah, 20 Maret 1950 sampai dengan konsep lambang negara terakhir akhir Maret 1950 sebagaimana menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 dan UU No 24 Tahun 2009, terlihat bahwa perumusan simbolisasi sila-sila Pancasila menggunakan model arah thawaf itulah penulis sebut sebagai Paradigma Thawaf sebagai paradigma alternatif penafsiran semiotika hukum Pancasila.
Konsep semiotika hukum Pancasila ber"thawaf' berdasarkan transkrip Sultan Hamid II dimulai pada Sila Pertama, kemudian memancar kepada semua Sila, karena Sila pertama dimasukan kedalam perisai kecil yang ada ditengah perisai besar yang terbagi menjadi empat ruang yang dibelah oleh garis equator/khatulistiwa. Arah thawaf pada simbolisasi pada perisai Pancasila itu dimulai dari Sila kedua kanan bawah, yang disimbolisasikan dengan tali rantai yang terdiri dari 17, yaitu mata bulatan dalam rantai digambar berjumlah 9 sebagai simbolisai perempuan dan mata pesagi yang digambar berjumlah 8 simbolisasi laki-laki[115] kemudian berputar/thawaf arah kekanan atas Sila Ketiga dilukiskan pohon astana /pohon beringin simbolisasi tempat berlindung, kemudian berputar/thawaf ke arah kiri atas yaitu Sila Keempat yang disimbolkan kepala banteng sebagai simbolisasi tenaga rakyat, kemudian berputar/thawaf kearah kiri bawah ke Sila Kelima, yang dilukiskan dengan kapas dan padi sebagai tanda tujuan kemakmuran.[116]
Secara semiotika lambang dapat dilihat pada gambar berikut ini: [117]
Gambar 20
Konsep Semiotika Hukum Pancasila "Berthawaf" Dalam Lambang Negara
Terhadap konsep berthawaf diatas penafsiran Sultan Hamid II menyatakan:
".. lima sila Pantja Sila jang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau adalah sila pertama Ketoehanan Yang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa bertahan madju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pedjuang bangsa jang bermartabat/ berprikemanusiaan jang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian jang adil dan beradab, setelah itu membangun persatuan Indonesia sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat, pada langkah berikutnja baru membangun parlemen negara RIS jang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan djalan itulah bisa bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia, jakni dari rakjat, untuk rakjat oleh rakjat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Jang Maha Esa. Atas pendjelasan Perdana Menteri RIS itu, kemudian perisai ketjil ditengah saja masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur Tjahaya bintang bersudut segilima.[118]
Berdasarkan penjelasan Sultan Hamid II diatas, bahwa Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah terpenting sebagai pertahanan bangsa, mengapa karena dengan sila kesatu, bangsa Indonesia bisa bertahan maju kedepan, makna yang tersirat dan tersurat, adalah landasan moral relegius, artinya: Pancasila pada hakekatnya adalah negara kebangsaan yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Landasan pokok sebagai pangkal tolak., paham tersebut adalah Tuhan adalah Sang Pencipta segala sesuatu Kodrat alam semesta, keselarasan antara mikro kosmos dan makro kosmos, keteraturan segala ciptaan Tuhan Yang Maha Esa kesatuan saling ketergantungan antara satu dengan lainnya, atau dengan lain perkataan kesatuan integral [119] kemudian menurut Sultan Hamid II dengan bertahan maju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang bermartabat/ berprikemanusiaan yang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian yang adil dan beradab, pada langkah berikutnya jika sila kesatu dan kedua bisa diselaraskan, maka setelah itu membangun persatuan Indonesia, yaitu sila ketiga, mengapa demikian, karena hanya dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS (baca antar daerah dalam Republik Indonesia) inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat dan pada langkah berikutnya baru membangun parlemen negara RIS (baca DPR, DPRD) jang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan jalan itulah bisa bersama-sama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yakni dari rakyat, untuk rakyat oleh rakyat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa. Atas penjelasan Perdana Menteri RIS (baca Mohammad Hatta) itu, kemudian perisai kecil ditengah saya masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur cahaya bintang bersudut segilima.
Hal demikian apa artinya? bahwa setiap individu yang hidup dalam suatu bangsa adalah sebagai mahluk Tuhan, maka bangsa dan negara sebagai totalitas yang integral adalah Berketuhanan, demikian pula setiap warga negara juga Berketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata lain negara kebangsaan Indonesia adalah negara yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab, yaitu Negara Kebangsaan yang membangun generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang bermartabat/ berprikemanusiaan atau generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang memelihara budi pekerti kemanusian yang luhur dan memegang teguh cita-cita rakyat yang luhur, yang berarti bahwa negara menjunjung tinggi manusia sebagai mahluk Tuhan, dengan segala hak dan kewajibannya.
Dengan demikian jika sudah ada kesadaran akan hak dan kewajibannya menjadi sebuah kesadaran setiap warga negaranya, maka akan mampu membangun persatuan Indonesia, karena hanya dengan bersatulah dan perpaduan antar antar daerah dalam Republik Indonesia, tentunya mendjadi kuat dan pada langkah berikutnya baru membangun parlemen DPR, DPRD yang demokratis dalam permusyawaratan/ perwakilan, karena dengan jalan itulah bisa bersama-sama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yakni dari rakyat, untuk rakyat oleh rakyat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa. artinya setiap umat beragama memiliki kebebasan untuk menggali dan meningkatkan kehidupan spiritualnya dalam masing-masing agama, dan para pemimpin negara wajib memelihara budi pekerti yang luhur serta menjadi teladan bagi setiap warga negara berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Pada tataran yang demikian itu, berarti Sila Pertama Pancasila sebagai dasar filsafat negara: Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena itu pada simbolisasi didalam perisai ditempatkan ditengah berupa Nur Cahaya berbentuk bintang yang bersudut lima, maknanya adalah bahwa Sila pertama ini menerangi semua empat sila yang lain atau menurut Mohammad Hatta, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan yang baik bagi masyarakat dan penyelenggara negara. Dengan dasar sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini, maka politik negara mendapat dasar moral yang kuat, sila ini yang menjadi dasar yang memimpin ke arah jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan [120]
Hakekat Ketuhanan Yang Maha Esa secara ilmiah filosofis mengandung nakna terdapat kesesuaian hubungan antara Tuhan, Manusia dengan negara. Hubungan tersebut baik bersifat langsung maupun tidak langsung. Manusia kedudukan kodratnya adalah sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu harus mampu membangun tiga hubungan yang sinergis, yaitu antara Manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam kaitannya dengan konsep Pancasila dalam penjabaran kedalam peraturan perundang-undangan, maka secara material nilai Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sumber bahan dan sumber nilai bagi hukum positif Indonesia, dalam pengertian ini Pembukaan UUD 1945 terdapat nilai-nilai hukum Tuhan (alinea III), hukum kodrat (alinea I), hukum etis III) nilai-nilai hukum itu merupakan inspirasi dalam memformulasikan materi muatan peraturan perundang-undangan.[121]
Berdasarkan konsep thawaf Pancasila tersebut, maka Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sebuah perisai atau pertahanan sebuah bangsa, karena selaras makna perisai atau tameng itu sendiri yang sebenarnya dikenal oleh kebudayaan dan peradaban Indonesia sebagai senjata dalam perjuangan mencapai tujuan dengan melindungi diri dan perkakas perjuangan yang sedemikian dijadikan lambang, wujud dan artinya tetap tidak berubah-ubah, yaitu lambang perjuangan dan perlindungan, artinya dengan mengambil bentuk perisai, maka Republik Indonesia berhubungan langsung dengan peradaban Indonesia asli[122]
Secara semiologi perisai yang berbentuk jantung itu, ditengah terdapat sebuah garis hitam tebal yang maksudnya melukiskan khatulistiwa/equator. Lima buah ruang pada perisai itu mewujudkan masing-masing dasar Panca-Sila, dan apabila kita menggunakan semiotika teks hukum kenegaraan, maka secara semiotika lambang ada dua konsep thawaf/ atau berputar atau menurut Sultan Hamid II menggunakan istilah Berthawaf dan atau Gilir Balik.
Konsep Pancasila Berthawaf mengacu pada rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu seperti thawafnya manusia mengelilingi Ka'bah (Baitullah), yaitu dari kanan kekiri atau berlawanan dengan arah jarum jam, inilah simbolisasi tasbihnya manusia kepada Sang Pencipta manusia dan alam semesta, karena Ka’bah menurut Al-Qur’an dalam hal ini Qur'an sebagai hudalinas (QS 3 ayat 138) ada 6 (enam) istilah (1) Ka'bah, “Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai PUSAT (peribadatan dan urusan dunia) BAGI MANUSIA (QS 5 (Al-Maa’idah) Ayat 97) Al Bait “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk TEMPAT BERIBADAH MANUSIA, adalah Baitullah yang ada di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi PETUNJUK bagi MANUSIA (QS 3 (Al Imran) Ayat 96)(3) Baitulah “Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail,’bersihkan rumah-Ku UNTUK ORANG-ORANG YANG THAWAF ” (QS 2 Ayat 125) Ayat senada bisa didapatkan QS 14 (Ibrahim) Ayat 37 dan QS 22 (Al Hajj) Ayat 26) (4) Al Baitul al’Atiiq “…..Hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan THAWAF sekeliling RUMAH TUA (Baitullah) (QS 22 (Al Hajj) Ayat 29) (5) Kiblat “Dan dari mana saja kamu keluar maka PALINGKAN WAJAHMU KE ARAH MASJIDIL HARAM; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dan apa yang kamu kerjakan”. QS 2 (Al Baqarah ) Ayat 149 , Ayat senada dapat didapatkan QS 2 (Al Baqarah) 148,150. Al-Masjidil Haram ‘…Palingkan mukamu ke arah MASJIDIL HARAM. Dan dimana saja kamu berada, palingkan mukamu ke arahnya… QS 2 (Al Baqarah ) Ayat 144.
Pada tataran ini ada nilai universal[123], yaitu "tidakah kamu ketahui bahwasaannya Allah; kepada-Nya bertasbih (berthawaf) apa yang ada dilangit dan di bumi dan (juga-burung) dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengatahui (cara) sholat dan tasbihnya (thawafnya) dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan (QS 24 An Nuur ayat 41)
Tasbih yang disimbolisasi dengan berthawaf/berputar berlawanan dengan arah jarum jam sesungguhnya sudah dipahami, bahwa masing-masing mahluk mengetahui cara sholat dan tasbihnya kepada Allah dengan ilham dari Allah, dengan demikian manusia Indonesia yang Berketuhanan Yang Maha Esa apapun agamanya, bahwa kemerdekaan negaranya adalah berkat rahmat Allah Yang Maha kuasa, oleh karena itu negaranya berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.[124] seharusnya menjalankan atau mengimplementasikan sila I ini dalam masing-masing agamanya.
Dengan demikian Sila I Ketuhanan Yang Maha Esa yang disimbolkan dengan Nur Cahaya diruang tengah yang berbentuk Perisai dengan menggunakan warna alam (hitam) dengan mengambil bentuk simbol bintang yang bersegi lima, memberikan makna bahwa Sila I memancarkan Sinar (Nur Cahaya) kepada empat sila lainnya tanpa diskrimasi atau menjadi kiblat bagi empat sila lainnya dan ini berbeda yang dipahami secara struktur hirarki piramida sebagaimana pemahaman Notonagoro yang beraraskan pada teori Hirarklis Piramida Hukum Hans Kelsen.
Hal ini selaras apa yang dijelaskan oleh Sultan Hamid II ketika merancang simbolisasi pada Perisai Pancasila berdasarkan pesan Presiden Soekarno : bahwa dari lima sila Pancasila yang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau (baca Soekarno) adalah sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa[125]
Hal demikian selaras pula dengan pandangan Jimly Asshiddiqie:
"Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila pertama dan utama yang menerangi keempat sila lainnya. Paham ke Tuhanan itu diwujudkan dalam paham kemanusian yang adil dan beradab. Dorongan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu menentukan kualitas dan derajad kemanusiaan seseorang diantara sesama manusia, sehingga peri kehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat tumbuh sehat dalam struktur kehidupan yang adil, dan dengan demikian kualitas peradaban bangsa dapat berkembang secara terhormat diantara bangsa –bangsa. Semangat Ketuhanan Yang Maha Esa itu hendaklah pula meyakinkan segenap bangsa Indonesia untuk bersatu padu dibawah tali Tuhan Yang Maha Esa. Perbedaan-perbedaan diantara sesama warga negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dalam wadah negara, rakyatnya adalah warga negara. Karena itu, dalam rangka kewargaan (civility), tidak perlu dipersoalkan mengenai etnisitas, anutan agama,warna kulit, dan bahkan status sosial seseorang. Yang penting dilihat adalah status kewarga seorang dalam wadah negara. Setiap warga negara adalah rakyat, dan rakyat itulah yang berdaulat dalam negara Indonesia, dimana kedaulatannya itu diwujudkan melalui mekanisme permusyawaratan dan dilembagakan melalui sistem perwakilan. Keempat sila atau dasar negara tersebut, pada akhirnya ditujukan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[126]
Konsep Ketuhanan yang demikian itu memberikan sebuah konsep kosmologik, bahwa Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara telah mengajarkan agar setiap manusia Indonesia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing, karena hubungan antara manusia dengan Tuhan telah diatur oleh agama dan kepercayaan tersebut, artinya Pancasila yang menempatkan Sila I adalah pertama dan utama mengatur hubungan antara manusia Indonesia dengan berbagai agama dan kepercayaannya itu hidup sejahtera aman dan damai dalam menjalankan tugas dan agama serta kepercayaannya masing-masing, tepatlah apa yang dilakukan oleh Pemerintah (SK Menteri Agama R.I No 70/1978) dalam hal mengatur hubungan antara Pemerintah dengan umat beragama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan hubungan antara lingkungannya masing-masing.
Memang Sila I berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa sama halnya dengan sila-sila lainnya tidak menyebut istilah Indonesia. Meskipun demikian karena sila-sila Pancasila merupakan satu kesatuan, maka Sila pertama tidak dapat dipisahkan dari sila-sila lainnya walaupun dalam tataran analisis terbedakan. Ini berarti bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa juga mempunyai ruang lingkup berlaku di seluruh Indonesia.
Bung Karno (1945) antara lain mengatakan :[127]
"Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber Tuhan, tetapi masing masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al-Masih, yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadahnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan yakni dengan tiada "egoisme agama". Dan hendaknya negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan!".
Di dalam ceramahnya mengenai Pancasila Dasar Filsafat Negara (1960) antara lain juga ditegaskan :[128]
"Agama tidak memerlukan territoor, agama juga mengenai manusia. Tapi lihat orang yang beragama pun, - aku beragama, engkau beragama, orang Kristen di Roma beragama, orang Kristen di negeri Belanda beragama, orang Inggris yang duduk di London beragama, pendeknya orang yang beragama yang dalam agamanya tidak mengenal territoor, kalau ia memindahkan pikirannya kepada keperluan negara, ia tidak boleh harus berdiri di atas territoor, di atas wilayah. Tidak ada satu negara, meskipun negara itu dinamakan negara Islam, tanpa territoor.
Pakistan yang menamakan dirinya Negara Islam, Republik Islam Pakistan, toh mengakui territoor. Bahkan pendiri dari pada Republik Pakistan, yaitu Mohammad Ali Jinnah, ia berkata – historis ucapan ini - : "We are a nation". Ini salah satu argumen dari pada Mohammad Ali Jinnah tatkala ia mendirikan Pakistan. Bukan saja ia berkata "we are a religion", kita satu agama ia berkata "we are a nation", kita satu bangsa.
Dalam paparan ini penulis banyak menyitir pendapat Bung Karno karena itulah sumber pertama sebelum dibicarakan lebih lanjut baik oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia maupun oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Dari ucapan yang asli itulah terdapat nilai-nilai yang mengandung pengertian murni.
Rekomendasi :
Mengingat dua agenda telah terwujudkan dari seminar sejarah Proses Penciptaan/Perancangan Lambang Negara yang dilakukan oleh elemen Masyarakat Kal-Bar, Perguruan Tinggi Dan DPRD Prov, serta MPR dan DPR RI, yaitu sumbangan amandemen kedua UUD 1945 pada Tahun 2000 dan Penjabaran Lambang Negara dalam UU No 24 Tahun 2009, 9 Juli 2009 serta sosialisasi yang terus menerus setiap momen kenegaraan, maka sudah waktunya hari ini bertepatan dengan tanggal 11 Februari 2011, yaitu bertepatan 11 Februari 1950 dimana lambang Negara ditetapkan oleh Pemerintah, maka seharusnya ada satu pernyataan resmi kenegaraan dari negara, bahwa perancang Lambang Negara Republik Indonesia adalah anak Bangsa dari Kalimantan Barat, yaitu Sultan Hamid II demi mewujudkan wasiat seseorang yang telah wafat/meninggal dunia: artinya seluruh kristaliasi analis kajian sejarah hukum lambang negara dan analisis semiotika hukum Pancasila pada perisai Lambang Negara Elang Rajawali –garuda Pancasila diatas hanyalah diniatkan untuk mewujudkan wasiat seorang anak bangsa yaitu Sultan Hamid II yang mewasiatkan:
"mungkin ini adalah yang dapat saya sumbangkan kepada bangsa saya, kamu jangan pasang lambang negara dirumahmu sebelum diakui bahwa gambar itu rancangan Hamid dan mudah-mudaham sumbangan pertama saya (buku-buku dan dokumen file lambang negara) ini bermanfaat bagi negara yang dicintai oleh kita"
Dan mewujudkan wasiat seseorang yang sudah wafat secara hukum (Islam) adalah wajib dan juga sebagai bangsa yang berkesadaran sejarah wajiblah menegakan kebenaran dan keadilan sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa dalam Al-Qur'an:
"Sesungguhnya Allah telah menyuruhmu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. Dan apabila kamu menetapkan hukum antara manusia, maka penetapan hukum itu hendaklah adil, bahwa dengan itu Allah telah memberikan pengajaran sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Melihat (QS An Nisa (4) ayat 58), Hai orang-orang yang beriman ! Hendaklah kamu berdiri tegak di atas kebenaran yang adil semata-mata karena Allah dalam memberikan kesaksian, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum sampai mempengaruhi dirimu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Karena itu bertaqwalah kamu kepada Allah ! Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al Maidah (5) ayat 8).
"Tanpa ingatan akan sejarahnya dimasa yang lampau setiap bangsa tidak mengerti arti sejarahnya hari sekarang dan tidak akan mempunyai pegangan untuk hari depannya" .
Dengan persepsi yang demikian itu, tentunya dalam kajian akademis harus ada keberanian moral untuk mengungkapkan dengan jujur, kebenaran dan fakta sejarah secara transparan dan obyektif. Karena kajian akademis yang jujur pada hakekatnya adalah keberanian moral untuk membenahi yang masih terbengkalai, meluruskan yang bengkok, mengadakan koreksi dan penyegaran terus-menerus, secara gradual, beradab dan santun dalam koridor konstitusional serta kajian akademis yang dapat dipertanggungjawabkan. Atas dasar pandangan yang demikian itu, secara arif apabila kita melihat fakta sejarah nasional tercatatlah dalam peristiwa masa lampau, andil seorang anak bangsa yang sekaligus orang daerah berasal dari Kalimantan Barat yang sementara ini terlupakan oleh sejarahnya bangsanya, Sultan Hamid II. Sementara ini apabila membicarakan Sultan Hamid II, maka anggapan yang terbentuk adalah bahwa ia adalah seorang yang pernah "terseok dalam kecelakaan sejarah" atau bahkan lebih ekstrim lagi seorang "mantan terpidana kasus politik" belaka. Namun benarkah demikian "cap sejarah" itu. Tidak adakah sisi positif dan sumbangsihnya yang patut diakui dan mendapat penghargaan secara jujur dalam perjalanan sejarah bangsanya, atau memang fakta-fakta sejarah karya kebangsaannya telah tenggelam bersama kemelut politik masa lalu sehingga tidak terangkat kepermukaan.
Sebenarnya dengan merujuk kronologis fakta sejarah hukum dapat disimak adanya karya kebangsaan Sultan Hamid II yang merupakan alat perekat nasionalisme Indonesia yang tak ternilai dalam perjalanan sejarah bangsa ini, yang menjadi kenangan masyarakat Indonesia dan secara inheren mengharumkan nama bumi kelahirannya; Kalimantan Barat, yaitu Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila Dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Alangkah ironisnya ketika generasi bangsa ini ketika ditanyakan, siapakah pencipta lagu kebangsaan Indonesia semua menjawab: W.R Supratman, siapakah penjahit bendera Pusaka Sangsaka Merah Putih semua menjawab: Ibu Fatmawati, siapakah pencipta lagu Garuda Pancasila semua menjawab Sudharnoto, tetapi siapakah perancang Gambar Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila ? semua "diam membisu" dan "tak mampu menjawab", karena memang bangsa ini terlalu lama untuk menyatakan kebenaran sejarah perancangan lambang negara Republik Indonesia ataukah fakta sejarah tersebut "tersembunyikan" dirahim bumi pertiwi ini, mengapa demikian ? apakah karena fakta sejarah lambang negara ini ditetapkan oleh Pemerintah dan Parlemen RIS 11 Februari 1950 yang kemudian menjadi Lampiran Resmi Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara (pasal 3 jo Pasal 6) dan saat ini menjadi Lampiran Resmi Undang-Undang No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa Dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan sebagai Undang –Undang Organik/Pelaksanaan Pasal 36 C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 amandemen kedua, ataukah karena sang perancang gambar Lambang Negara RIS seorang anak bangsa Sultan Hamid II adalah seorang penganut Federalisme dan sang diplomat di KMB mewakili BFO-(Ketua), 1949 serta Menteri Negara RIS Zonder Forto Folio1949-1950 yang ditugaskan Presiden Soekarno untuk merencanakan dan membuat Lambang Negara RIS, ataukah karena seorang mantan terpidana "Politik" pada "Peristiwa Sultan Hamid II", 1950?, Mari wahai anak bangsa renungkan !,bahwa "Berpikir benar itu baik dan akan lebih baik berpikir tepat, akan tetapi akan sangat lebih baik berpikir benar dan tepat, karena berpikir benar dan tepat adalah berpikir dengan matahati"[129]
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Buku-Buku:
Adrian Cunningham, The Theory of Myth, Sheed and Ward, London, 1973
A.G Pringgodigdo, SekitarPancasila, Jakarta, Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI, 1978
Agus Salim, Bangunan Teori, Edisi Kedua, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2006
Akmal Sutja, Sekitar Garuda Pancasila, Bandung:Angkasa, 1986
Anthon F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik fondasi filsafat pengembangan Ilmu hukum Indonesia, Genta Publishing,Yogyakarta. 2010
Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Sejarah, Kompas, Jakarta, Juli 2010
Benyamin Akzin, Law State and International Order: Essays in Honor of Kelsen, Knoxville The University of Tenesse, 1964.
Departemen Penerangan Republik Indonesaia, Lukisan Revolusi Indonesia1945-1950.
Gus AA & Jiyad At Tubani, Membaca dan Memahami Konstruksi Al-Qur'an, Indomedia Group, Oktober 2006
Hans Nawiasky, Algemeinne Rechtslehre als System lichen Grundbegriffe, Ensiedenln/Zuric/ Koligern,Benziger, cet 2, 1948
Ismaun, Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia, edisi 6 Biro Pendidikan Pancasila- UUD –RI 1945 Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung, Carya Remaja, Bandung, 1981
Iwan Gayo, Buku Pintar Seri Senior, edisi 39, Pustaka Warga Negara, Jakarta, 2007
Joenarto, Sejarah Ketatanegaan Republik Indonesia, cet – ke 1, Jakarta, Bina Aksara, 1989
Jimly Asshiddigie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, MK dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, Prapanca, 1967.
-------------, 6000 Tahun Sang Merah Putih.Siguntang,1954
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, dasar-dasar dan pembentukannya, Penerbit Kanisius, Jakarta, 1996
Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, (Wawancara Muhammad Hatta dengan .Z.Yasni) Cetakan Ketiga Gunung Agung, Jakarta, 1978
Notonagoro, Pancasila dasar falsafah negara (kumpulan tiga uraian pokok-pokok persoalan tentang Pancasila) ,cet 7, Jakarta, Bina Aksara, 1989
-----------, Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia, 1962
Nanang Hidayat, Mencari Telur Garuda, Nalar, Jakarta, 2008
Persadja, Peristiwa Sultan Hamid II, Jakarta,1954
Robert Sibarani, Hakekat Bahasa, Bandung: PT Adtya Bakti, 1992
Roeslan Abdul Gani, "Arsip dan Kesadaran Sejarah', Jakarta, 1979
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang membahagiakan Rakyatnya, Genta Publising, cet II, 2009
Sekretrariat Jenderal MPR-RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta, 2007
Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila Pendekatan melalui Metafisika, Logika dan Etika , Edisi 3,Hanindita, Yogyakarta, 2000
Tomy Christomy, Pengantar Semiotik Pragmatik Peirce; Nonverbal dan Verbal, dalam Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Bahan Penelitian Semiotika, 2001
Umberto Eco, A Theory Of Semiotic, USA: Indian University Press,1979
Artikel :
Aryandini, Woro, Garuda sebagai Identitas Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003
F. Anton Freddy Susanto, Teks Dalam Realitias Hukum (Sintesis Pendekatan Chaos dan Hermeneutik Dekontruksi Sebagai Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum, Universitas Dipenogoro, Semarang, 2007
Dimyati Hartono, "Dinamisasi Stabilitas Nasional Bangsa", Suara Pembaharuan, Kamis, 30 Mei 1996
G Sunaryo, "Proses Terbentuknya Lambang Negara", Majalah Forum Keadilan No 19 Mei 1990
Kryztof Stefan Kuczynski, "Orzel Bialy-Herb Polski Iznak Polakow" Translation In English By Adezey. 'The White Eagle-70 Years of the coat of Arms of the Polis State. Kedutaan Besar Negara Polandia, 1992
Majalah Intisari No 205 tahun 1980 hal 9 " Kapan Lahirnya Garuda Pancasila ? Majalah Tempo, 1979 ." Garuda Pancasila Siapa Penciptanya"
Muslich Jasin , Fakultas Hukum UGM dalam Berita Buana, 13 Agustus 1981, "Siapakah Perancang Garuda Pancasila?"
Majalah Intisari No 205 tahun 1980, "Kapan Lahirnya Garuda Pancasila?"
Mimbar UNTAN: " Siapa Perancang Garuda Pancasila, Edisi No 11 & 12 Tahun X, 1994
Majalah Gatra: " Bung Karno, Ikan dan Air" Edisi No 32 Tahun I, 25 Juni 1995
Makalah:
Anton .F Susanto, Menggagas Penelitian Hukum Normatif Yang Lebih Terbuka, Makalah Seminar Nasional Metodologi Penelitian Dalam Ilmu Hukum, diselenggarakan oleh Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Dipenegoro, Semarang, 16 Desember 2010.
Bagir Manan, Fungsi Dan Materi Peraturan Perundang-Undangan". Makalah Pada Penataran Dosen Pendidikan Latihan Kemahiran Hukum BKS bidang Hukum Sewilayah Barat Fakultas Hukum Universitas Lampung, Tanggal 11 November 1994.
_______________"Sistem Perundang-Undangan Indonesia". Makalah Dalam Kursus Hukum Dan Teknik Penyusunan PerundangUndangan Dalam Lingkungan Departemen Kehakiman, Jakarta, 1993.
Esmi Warassih, Pendekatan Hermenuetik dalam Penelitian Hukum, Makalah pada Seminar Metodologi Penelitian Dalam Ilmu Hukum, diselenggarakan oleh Bagian Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum Unversitas Diponegoro, Semarang, 16 Desember 2010.
Kaelan, "Pancasila Sebagai Dasar Orientasi Pengembangan Ilmu Hukum", Seminar Nasional tentang nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Makalah. UGM-Universitas Pancasila, Jakarta 7 Desember, 2006
____________, "Pancasila Sebagai Dasar Orientasi Pengembangan Ilmu Hukum", Seminar Nasional tentang nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, UGM-Universitas Pancasila, Jakarta 7 Desember, 2006
Satjipto Rahardjo “Paradigma Hukum Indonesia dalam Perspektif Sejarah”, Makalah. Symposium Nasional Ilmu Hukum Tentang Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia, Program S3 Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 10 Pebruari 1998.
_______________. "Pendayagunaan Sosiologi Hukum Untuk Memahami Proses-Proses Sosial dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi, Makalah Seminar Nasional Sosiologi Hukum dan Pembentukan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 1998.
Soetandyo Wignyosoebroto, "Materi Tutorial Mata Kuliah Penulisan Disertasi untuk Program Doktor Olmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2001.
______________Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Hukum”, Makalah. Symposium Nasional Ilmu Hukum Tentang Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia, Program S3 Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 10 Pebruari 1998.
Suteki, Urgensi Tradisi Penelitian Dalam Proses Penelitian Ilmiah, Makalah Seminar Nasional Metodologi Penelitian Dalam Ilmu Hukum di selenggarakan oleh Bagian Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang 16 Desember 2010.
Sidharta, "Penelitian Dalam Perspektif Normatif, Makalah Seminar Nasional Metodologi Penelitian Dalam Ilmu Hukum, diselenggarakan oleh Bagian Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 16 Desember 2010.
Turiman, "Lambang Negara Suatu Deskripsi Analisis Dari Sudut Pandang Hukum Dan Kehidupan Kenegaraan". Makalah Diskusi Terbatas Dalam Program Pasca Sarjana Ul Tahun 1995
Kaelan, "Pancasila Sebagai Dasar Orientasi Pengembangan Ilmu Hukum", Seminar Nasional tentang nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, UGM-Universitas Pancasila, Jakarta 7 Desember, 2006
Tesis :
Turiman : Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara Dalam Peraturan Perundang_undangan),Tesis, 1999
Disertasi :
A Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu studi analisis mengenai Keputusan yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu Pelita 1 Pelita VI, Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1990
Esiklopedia:
Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1989
Ensiklopedia Indonesia Edisi Khusus, Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve, tahun 1986
* Makalah disampaikan didalam Seminar Sejarah Lambang Negara Republik Indonesia, di Musium Asia Afrika Bandung, 11 Februari 2011 yang dilaksanakan oleh Deplu RI.
[1] Pasal 3 ayat (3) Konstitusi RIS 1949: “Pemerintah menetapkan materai dan Lambang Negara.
[2] Penelitian Tesis oleh Turiman : Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara Dalam Peraturan Perundang_undangan), 1999 dan dalam penelitian itu telah membuktikan secara ilmiah, bahwa perancang gambar lambang negara RI adalah Sultan Hamid II seperti yang dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam buku Bung Hata Menjawab,,1986, halaman 108-112.
[3] Secara historis yuridis berdasarkan PP No 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara Lambang Negara Indonesia terbagi tiga bagian, yaitu (1) Burung Garuda yang menengok dengan kepalanya lurus kesebelah kanan, (2) Perisai berupa jantung yanag digantung dengan rantai pada leher Garuda (3) Semboyan diatas pita yang dicenkram oleh Garuda (Pasal 1 PP No 66 Tahun 1951) kemudian lebih lanjut dipertegas pada Pasal 46 UU No 24 Tahun 2009: "Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung dengan rantaipada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda", kemudian UU No 24 Tahun 2009 Pasal 47 ayat (1) Garuda dengan perisai sebagaimana dimaksud dalamPasal 46 memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang mewujudkan lambang tenaga pembangunan. (2) Garuda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki sayap yang masing-masing berbulu 17, ekor berbulu 8,pangkal ekor berbulu 19, dan leher berbulu 45. kemudian konsep berthawaf itu dipertegas Pasal 48 ayat (1) Di tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan katulistiwa. Ayat (2) Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut: a. dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima; b. dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai; c. dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai; d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai; dan e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai.
[4] Pasal 3 ayat (3) Konstitusi RIS 1949: “Pemerintah menetapkan materai dan Lambang Negara.
[5] Penelitian Tesis oleh Turiman : Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara Dalam Peraturan Perundang_undangan), 1999 dan dalam penelitian itu telah membuktikan secara ilmiah, bahwa perancang gambar lambang negara RI adalah Sultan Hamid II seperti yang dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam buku Bung Hata Menjawab,,1986, halaman 108-112.
[6] Pasal 2 UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan.
[7] Pasal 4 dan penjelasannya PP No 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara hal yang sama juga dipaparkan pada Pasal 46 UU No 24 tahun 2009 Yang dimaksud dengan “Garuda Pancasila” adalah lambang berupa burung garuda yang sudah dikenal melalui mitologi kuno yaitu burung yang menyerupai burung elang rajawali.
[8] Hakekat keilmuan ada tiga kelompok landasan dalam filsafat ilmu, yaitu salah satunya landasan ontologi, dan landasan ontologi mempersoalkan obyek kajian (telaah) ilmu, bagian ujud hakiki objek tersebut sehingga dapat ditangkap oleh manusia sehingga membuahkan pengetahuan ? (Berpikir, merasa, dan mengindra). Bidang telaa yang menggeluti pertanyaan ini adalah metafisika yang memberi beberapa tafsir tentang fenomena sosial yang dikaji, Lihat Agus Salim, Bangunan Teori, Edisi Kedua, Tiara Wacana, 2006, halaman 10, dalam kaitannya dengan penelitian disertasi ini adalah analisis holistik terhadap sketsa awal sampai dengan akhir dari dokumen lambang negara rancangan Sultan Hamid II dari sisi semiologi yaitu ilmu yang mempelajari lambang-lambang dengan pendekatan sejarah hukum lambang negara, berdasarkan hasil penelitian yang telah diteliti oleh penulis, 1999-2000 di UI Program Ilmu Hukum bagianj Hukum dan Kehidupan Kenegaraan.
[9] Epistemologi adalah landasan keilmuan yang merupakan kajian yang mempertanyakan proses ditemukan kebenaran ilmu, meliputi prosedur yang ditempuh, asas-asas yang harus diperhitungkan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Arti kebenaran, kreteria kebenaran dan cara apa yang membantu ilmuwan mencapai kebenaran. Cara mendapatkan kebenaran ilmiah jelas bukan merupakan tindakan pribadi tetapi interpersonal yang didukung oleh moral kerja (working judgement) dan kejujuran. Lihat Agus Salim, Bangunan Teori, Edisi Kedua, Tiara Wacana, 2006, halaman 12
[10] Pidato Presiden Soekarno; 22 Juli 1958: "Saudara-saudara lihatlah lambang negara kita dibelakang ini, Alangkah megahnya, alangkah hebatnya dan cantiknya. Burung Elang Rajawali Garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya 17 buah dengan ekor berelar 8 buah, tanggal17 bulan 8 dan yang berkalungkan perisai yang diatas perisai itu tergambar Pancasila, yang dibawahnya tertulis seloka buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika". Bhina Ika tunggal Ika "berjenis-jenis tetapi tunggal ". Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, Prapanca, 1967, hal. 444.
[11] Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang membahagiakan Rakyatnya, Genta Publising, cet II, 2009, halaman 3.
[12]Notonagoro, Pancasila dasar falsafah negara (kumpulan tiga uraian pokok-pokok persoalan tentang Pancasila,cet 7, Jakarta, Bina Aksara, 1988, hlm.27. Norma hukum yang tertinggi dan merupakan kelompok pertama adalah Staatsfundamentalnorm. Istilah Staatsfundamentalnorm ini diterjemahkan oleh Notonagoro dalam pidatonya pada Dies Natalis Universitas Airlangga yang pertama (10 November 1955) dengan "Pokok Kaidah Fundamentil Negara, kemudian oleh Joenarto, dalam bukunya yang berjudul sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, disebut dengan istilah "Norma Pertama" lihat Joenarto, Sejarah Ketatanegaan Republik Indonesia, cet – ke 1, Jakarta, Bina Aksara, 1982, hlm.6. sedangkan oleh A. Hamid S Attamimi disebut dengan istilah "Norma Fundamental Negara", lihat A Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu studi analisis mengenai Keputusan yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu Pelita 1 Pelita VI, Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm, 359 dst.
[13]Menurut Hans Nawiasky, isi Staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma perubahannya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ini ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar. Konstitusi menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau konsensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (eine Gesammtentshedung Uber Art und Form einer politischen Einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa, lihat Hamid Attamimi, ibid hlm .288.
[14]Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto, "…terlihat ada persamaan dan perbedaan antara teori jenjang norma (Stufentheorie) dari Hans Kelsen dan Teori Jenjang norma hukum (Die Theorie vom Stufennordnung der Rechtsnormen) dari Hans Nawiasky. Persamaannya adalah bahwa keduanya menyebutkan bahwa norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis –lapis: suatu norma itu berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang diatasnya lagi, demikian seterusnya sampai pada norma yang tertinggi dan tidak dapat ditelusuri lagi sumber dan asalnya, tetapi bersifat pre-supposed. Dan Hans Nawiaky berpendapat bahwa norma tertinggi itu disebut staatsfundamentalnorm, sedangkan Hans Kelsen Staatsgrundnorm, karena pengertian Grundnorm itu mempunyai kecenderungan untuk tidak diubah, atau bersifat tetap, sedangkan dalam negara Norma Dasar itu dapat berubah sewaktu-waktu, karena adanya suatu pemberontakan, kudeta, dan sebagainya. Pendapat Nawiasky ini diterjemahkan sebagai berikut: "Norma tertinggi dalam negara sebaiknya tidak disebut Staatsgrundnorm melainkan Staatsfundementalnorm, norma fundamental negara. Pertimbangannya adalah kaarena Grundnorm dari suatu tatanan norma pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi suatu negara mungkin berubah-ubah oleh pemberontakan, cou d'etat, Putsch, An schluss, dan sebagainya, A Hamid ibid .hlm. 359 atau lihat Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, dasar-dasar dan pembentukannya, Penerbit Kanisius, Jakarta, 1996.hlm.29-30.
[15] Istilah"berthawaf" penulis mengacu pada transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967 ketika menjawab klarivikasi dari Solichim Salam wartawan Istana kemudian menjadi wartawan Berita Buana. Dalam tataran ilahiah adalah "tasbihnya Malaikat atau thawafnya manusia mengelilingi Baitullah di Mekah yang membentuk lingkaran baik searah dengan jarum jam maupun berlawanan dengan arah jarum jam atau dari kanan ke kiri ataupun sebaliknya. Lihat Turiman, "Sesunguhnya Al-Quran Berthawaf Dalam Dirimu" QitriAin Center, Kal-Bar, 2008. hlm 30.
[16]Yang dimaksud Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai jenis, fungsi, dan hirarki Peraturan Peraturan Perundang-Undangan. (Pasal 1 angka 12 UU No 10 Tahun 2004), sedangkan yang dimakusd hirarki adalah perjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. (Penjelasan Pasal 7 Ayat 5 UU No 10 Tahun 2004) dan pengertian peraturan perundang-undangan disini adalah Peraturan Perundangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum (Pasal 1 angka 2 UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan LN RI Tahun No 53)
[17]Positivisme: Sebuah mazhab filsafat yang memiliki orientasi ilmiah pada warsa 30-an dan 40-an. Tujuannya adalah untuk menggusur sebagian besar filsafat dan agama sebagai sesuatu yang tidak bermakna dengan menetapkan kreteria verifikasi, dan untuk menegaskan kembali serta menyeleseaikan persoalan-persoalan yang tersisa dengan menggunakan bahasa formal yang ketat. Jadi "Tuhan ada" dan "Tuhan tidak ada" sama-sama tak bermakna karena tidak dapat diverifikasi. Dalam Tataran hukum kemudian dikenal dengan Positivisme Hukum: Aliran pemikiran dalam hukum yang membahas konsep hukum secara eksklusif dan berakar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Positivisme hukum dimaknai pula sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum hanya akan valid jika berbentuk norma-norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan ditetapkan oleh sebuah instrumen didalam sebuah negara, pandangan ini lebih lanjut dapat dibaca pada buku Anthon .F, Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik fondasi filsafat pengembangan Ilmu hukum Indonesia, Genta Publishing,Yogyakarta. 2010.hlm. xiii, atau lebih dalam lagi lihat halaman 70-88.
[18]Pasal 6 Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951Tentang Lambang Negara, kemudian dipertegas pada Pasal 48 jo Pasal 50 UU No 24 Tahun 2009. Patut diketahui, bahwa UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan ini disahkan pada 9 Juli 2009. UU 24/2009 ini secara umum memiliki 9 Bab dan 74 pasal yang pada pokoknya mengatur tentang praktik penetapan dan tata cara penggunaan bendera, bahasa dan lambang negara, serta lagu kebangsaan berikut ketentuan – ketentuan pidananya. Setidaknya ada tiga hal tujuan dari dibentuknya UU No 24 Tahun 2009 ini adalah untuk (a) memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (b) menjaga kehormatan yang menunjukkan kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (c) menciptakan ketertiban, kepastian, dan standarisasi penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. UUD 1945 sudah mengatur berbagai hal yang menyangkut tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan, yaitu dalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal 36ª, Pasal 36B.
[19] Sultan Hamid II, dalam transkrip yang dijelaskan kepada Solichim Salam, 15 April 1967 sebagaimana disalin oleh sekretaris Pribadi Sultan Hamid II: Max Yusuf Alkaderie, lihat juga transkrip yang dijelaskan kepada H Mas Agung, 18 Juli 1974 ketika menyerahkan file lambang negara untuk diselamatkan:. Falsafah "thawaf" mengandung pesan, bahwa idee Pantja-Sila itu bisa didjabarkan bersama dalam membangun negara, karena ber"thawaf" atau gilir balik menurut bahasa Kalimantannja, artinja membuat kembali-membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada sasaran jang djelas, jakni masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan rukun dan damai, begitulah menurut Paduka Jang Mulia Presiden Soerkarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja, jakni membangun negara jang bermoral tetapi tetap mendjunjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada sanubari rakjat bangsa di belahan wilajah negara RIS serta tetap memiliki karakter asli bangsanja sesuai dengan "djatidiri" bangsa/adanja pembangunan "nation character building" demikian pendjelasan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja.
[20] Kaelan, "Pancasila Sebagai Dasar Orientasi Pengembangan Ilmu Hukum", Seminar Nasional tentang nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, UGM-Universitas Pancasila, Jakarta 7 Desember, 2006, halaman 3.
[21]Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951: “Bentuk warna dan Perbandingan ukuran Lambang Negara Republik Indonesia adalah seperti terlukis dalam lampiran pada Peraturan Pemerintah ini.
[22]Anthon F Susanto, "Menggugat Fondasi Filsafat Ilmu Hukum Indonesia" dalam Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum, Refika Aditama, 2008.hlm.7.
[23]Yang dimaksudkan Teori disini adalah serangkaian proposisi atau kerangan yang saling berhubungan dan tersusun dalam sistem deduksi, yang mengemukakan penjenlasan atau suatu gejala, sedikitnya terdapat tiga unsur dalam suatu teorim pertama penjelasan tentang hubungan antara berbagai unsur dalam suatu teori.Kedua teori menganut sistem deduktif, yaitu bertolak dari suatu yang umum dan abstrak menuju suatu ysng khusus dan nyata.Aspek kunci yang ketiga adalah bahwa teori memberikan penjelasan atas gejala yang dikemukakannya. Fungsi dari suatu penelitian adalah untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang akan dilakukan, Duance.R.Monete. J.Sulivan,Cornell.R. Dejong, Applied Social Research, New York, Chicago,San Fransisco: Holt Rinehart and Winston,1986, p 27 et seg. Lihat Juga Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986. halaman 121-130.
[24]Teori Pancasila "berthawaf" adalah sebuah model pembacaan Pancasila sebagai rechtsidee/cita hukum yang pembacaan dan pemaknaan melalui proposisi semiotika hukum Pancasila pada perisai Lambang Negara – Rajawali Garuda Pancasila yang secara teks kenegaraan sudah dinormakan dalam PP No 66 Tahun 1951 (Pasal 4) dan Pasal 48 UU No 24 Tahun 2009 serta pada transkrip Sultan Hamid II 15 April 1967 juga sudah tersombolisasikan sejak 1950 dalam file dokumen lambang negara RIS 1950 yang ditetapkan pemerintah dan parlemen RIS, 11 Februari 1950.Yang dimaksudkan teori disini adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling berhubungan dan tersusun dalam sistem deduksi maun induksi, yang mengemukakan penjelasan atau suatu gejala. Sedikitnya terdapat tiga unsur dalam suatu teori (1) penjelasan tentang hubungan antara berbagai unsur dalam suatu teori, (2) teori menganut sistem deduksi, yaitu yang bertolak dari sesuaatu yang umum dan abstrak menuju sesuatu yang khusus dan nyata atau sebaliknya menganut sistem induksi, (3) aspek kuncinya adalah bahwa teori memberikan penjelasan atas gejala yang dikemukankannya. Fungsi teori dalam suatu kajian atau penelitian adalah memberikan pengarahan atau pemandu kepada kajian atau penelitian yang akan dilakukan, lihat Duance R. Monete J. Sullivaan, Cornell R. Dejong, Applied Social Research, New York, Chicago, San Fransisco: Holt Rinehart and Wiston, 1986.hlm. 27 et seg, lihat juga Soejono Soekanto, Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986.hlm 121-130.
[25]Struktur Jenis Peraturan Perundang-Undangan yang dimaksudkan adalah Susunan Jenis peraturan perundang-undangan yang secara teoretik bagian dari Struktur norma dan pembahasannya dihadapkan sebuah teori yang dikemukan oleh Benyamin Akzin yang ditulis dalam bukunya yang diberi judul Law, State, and International Legal Order. Benyamin mengemukan bahwa pembentukan norma-norma hukum publik itu berbeda dengan pembentukan norma-norma hukum privat, karena apabila kita lihat pada struktur norma (Norm Structure), maka susunan hukum publik itu berada diatas hukum privat. Hukum Tata Negara adalah hukum publik dan ketika hukum tata negara menyitir struktur jenis peraturan perundang-undangan, maka tata susunan norma hukum negara selalu mengacu pada Hans Nawiasky, salah seorang murid dari Hans Kelsen yang mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul Allgemeine Rechtslehre mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, dimana norma yang dibawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada norna yang tertinggi yang disebut Norma Dasar. Benyamin Akzin, Law State and International Order: Essays in Honor of Kelsen, Knoxville The University of Tenesse, 1964, hlm 3-5 dan Hans Nawiasky, Algemeinne Rechtslehre als System lichen Grundbegriffe, Ensiedenln/Zuric/ Koligern,Benziger, cet 2, 1948.hlm, 31 dst. Dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Jakarta, 1996, hlm 26-27.
[26]Masuknya ketentuan menngenai lambang negara ….kedalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang melengkapi pengaturan mengenai bendera negara dan bahasa negara yang telah ada sebelum merupakan ikhtiar untuk memperkukuh kedudukan dan makna atribut kenegaraan ditengah kehidupan global dan hubungan internasional yang terus berubah. Dengan Kata lain, kendatipun atribut itu tampaknya simbolis, hal tersebut tetap penting karena menunjukkan identitas dan kedaulatan suatu negara dalam pergaulan internasional. Atribut kenegaraan itu menjadi simbol pemersatu seluruh bangsa Indonesia ditengah perubahan dunia yang tidak jarang berpotensi mengancam keutuhan dan kebersamaan sebuah negara dan bangsa, tak terkecuali bangsa dan negara Indonesia, Sekretrariat Jenderal MPR-RI, 2007, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, halaman 128-129.
[27] Positivisme Hukum: Aliran pemikiran dalam hukum yang membahas konsep hukum secara eksklusif dan berakar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Positivisme hukum dimaknai pula sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum hanya akan valid jika berbentuk norma-norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan ditetapkan oleh sebuah instrumen didalam sebuah negara, Anton F Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Maret 2010, halaman xiii.
[28] Anton Freddy Susanto, Teks Dalam Realitias Hukum (Sintesis Pendekatan Chaos dan Hermeneutik Dekontruksi Sebagai Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum, Universitas Dipenogoro, Semarang, 2007, halaman 366-367.
[29] Kaelan, "Pancasila Sebagai Dasar Orientasi Pengembangan Ilmu Hukum", Seminar Nasional tentang nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, UGM-Universitas Pancasila, Jakarta 7 Desember, 2006
[30] Notonagoro, Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia, 1962 dalam Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila Pendekatan melalui Metafisika, Logika dan Etika, edisi 3, PT. Hanindita Graha Widya, Yogyakarta, 2000, halaman 91. Kaelan, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Paradigma, Yogyakarta, edisi ketiga, 1999, halaman 68-71 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tujuh, Jakarta, halaman 43-44
[31]Tomy Christomy, Pengantar Semiotik Pragmatik Peirce; Nonverbal dan Verbal, dalam Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Bahan Penelitian Semiotika, 2001, hal 71
[32] Roland Barthes, Mythologies, Hill and Wang, New York, 1983, hal 100.
[33] Nanang Hidayat, Mencari Telur Garuda, Nalar, Jakarta, 2008, halaman 37
[34] Nanang Hidayat , ibid halaman 37.
[35] Transkrip Sultan Hamid II kepada Solichim Salam, 15 April 1967.
[36] Muhammad Yamin, 6000 Tahun Sang Merah Putih (Siguntang : 1954), hal 168
[37] Semiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang seluk beluk lambang, Umberto Eco, A Theory Of Semiotic, (USA: Indian University Press,1979), dalam Robert Sibarani, Hakekat Bahasa (Bandung: PT Adtya Bakti, 1992), hal 7.
[38] Robert Sibarani, Hakekat Bahasa, (Bandung: PT Adtya Bakti, 1992), hal 7
[39]W.J.S Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1990, hal 490.
[40] Charles Sanders Peirce, dalam Robert Sibarani, op cit, hal 15.
[41]Alegoris, artinya diciptakan dan dilahirkan secara sengaja sebagai hasil permufakatan bersama sehingga mendapat bentuk penggambaran sekumpulan istilah-istilah yang dimufakati. Jadi disebut algoris adalah penciptaan yang disengaja atau disadari dari suatu pengertian kedalam wujud gambaran atas perpaduan yang dipertanggungjawabkan secara rasional. Suwaji Bastomi, Seni dan Budaya Jawa, (Semarang: IKIP Press, 1992), hal 54.
[42] Robert Sibarani, Ibid, hal 17.
[43]Dimyati Hartono, "Dinamisasi Stabilitas Nasional Bangsa", Suara Pembaharuan, Kamis, 30 Mei 1996, hal 2.
[44] Nanang R. Hidayat, Mencari Telur Garuda, Nalar,.Jakarta, 2008, hal 59.
[45] Dokumen Lambang Negara RIS sebelum berubah menjadi Burung Elang Rajawali 11 Februari 1950.
[46] Dokumen Surat Ki Hajar Dewantoro, kepada Sultan Hamid II selaku anggota Panitia Lambang Negara untuk memberikan masukan terhadap perancangan Lambang Negara, sumber U'un Mahdar, "Penelusuran Dokumen Lambang Negara, UNPAD, Bandung. 1995.
[47] Ensiklopedia Nasional Indonesia (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1989), hal 66. Keterangan yang sama jugs dikutip oleh Majalah Intisari No 205 tahun 1980 hal 9 " Kapan Lahirnya Garuda Pancasila ? Majalah Tempo, 1979 ." Garuda Pancasila Siapa Penciptanya" dan Muslich Jasin , Fakultas Hukum UGM dalam Berita Buana, 13 Agustus 1981, "Siapakah Perancang Garuda Pancasila?"
[48] Majalah Intisari No 205 tahun 1980 hal 11 "Kapan Lahirnya Garuda Pancasila?"
[49] Dokumen Lambang Negara dalam , Tesis Sejarah Hukum Lambang Negara, UI, 2000 yang bersumber dari U'un Mahdar, Penelusuran Dokumen Lambang Negara, UNPAD, Bandung. 1995.
[50]Aryandini, Woro, Garuda sebagai Identitas Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, halaman 5-11
[51]Aryandini, ibid, halaman 21
[52]Akmal Sutja, Sekitar Garuda Pancasila, Bandung:Angkasa, 1986, halaman 10.
[53]Adrian Cunningham, The Theory of Myth, Sheed and Ward, London, 1973, halaman 136.
[54]Ismaun, Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia, edisi 6 Biro Pendidikan Pancasila- UUD –RI 1945 Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung, Carya Remaja, Bandung, 1981, halaman 104.
[55] Iwan Gayo, Buku Pintar Seri Senior, edisi 39, Pustaka Warga Negara, Jakarta, 2007, halaman 652.
[56] Anton F ,Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematika Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm xii.
[57] Pidato Kenegaraan Presiden Soekarno, 22 Juli 1958 di Istana Merdeka.
[58] Pidato Presiden Soekarno 22 Juli 1958 , Arsip Nasional, 1999
[59] Transkrip Sultan Hamid II 15 April 1967 yang disampaikan kepada Solichim Salam.
[60] Roeslan Abdul Gani, "Arsip dan Kesadaran Sejarah', Jakarta, 1979, halaman 2
[61] Tulisan Sultan Hamid II di atas kertas berlogo RTC, 1949 yang ditulis dihadapan H.Mas Agung, 18 Juli 1974 ketika penyerahan file lambang negara di Yayasan Iadayu, Jakarta.
[62] Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I Cetakan Kedua, Jakarta, Prapanca, 1967, hal 263
[63] G Sunaryo, "Proses Terbentuknya Lambang Negara", Majalah Forum Keadilan No 19 Mei 1990, hal 64
[64]Peristiwa 3 Juli 1946 adalah peristiwa percobaan perebutan Kekuasaan di Yogyakarta yang dilakukan oleh kalangan persatuan perjuangan terhadap politik berunding clan menyerah (menurut anggapan oposisi) Kabinet Syahrir dan rencana kudeta itu rupanya diketahui pemerintah jauh sebelumnya. Akibatnya peristiwa itu seluruh Indonesia dinyatakan dalam bahaya (28 Juni 1946) clan seluruh Kekuasaan diserahkan kepada Presiden (29 Juni 1946). Pada Peristiwa itu 14 orang terdakwa diajukan kedepan Mahkamah Tentara Agung dan salah satunya adalah Muhammad Yamin yang dipersalahkan memimpin percobaan merobohkan Pemerintah yang sah dan dijatuhi hukuman 4 tahun penjara. Pada perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus 1948 Presiden Soekamo memberikan grasi dan membebaskan mereka yang terlibat dalam peristiwa itu. Lihat Ensiklopedia Indonesia Edisi Khusus, (Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve, tahun 1986) Hal 2671.
[65] Nanang R.Hidayat, Mencari Telur Garuda, Nalar, Jakarta, Nalar, 2008, Halaman 27.
[66] Lihat Buku Peristiwa Sultan Hamid II, Jakarta: Persaja, 1954, Hal 176. Sultan Hamid 11 menyatakan: "Sebagai Menteri Negara saya hanya diserahi tugas menyiapkan gedung Parlemen dan membikin rencana bust lambang negara. Sampai saya ditangkap dan kemudian ditahan tak ada lain tugas saya".
[67] G. Sunaryo, "Proses Terbentunya Lambang Negara", Forum Keadilan, No 19 (Mei 1990), hal 64, lihat juga transkrip penjelasan Sultan Hamid II kepada wartawan Solichim Salam, yang disalin kembali oleh sekretaris pribadi Sultan Hamid II Max Yusuf Al-Kadrie, 13 April 1967.
[68] Bung Hatta Menjawab, (Wawancara Muhammad Hatta dengan .Z.Yasni) Cetakan Ketiga Gunung Agung, Jakarta, 1978, halaman 108.
[69]Transkrip penjelasan Sultan Hamid II kepada wartawan Solichim Salam, yang disalin kembali oleh sekretaris pribadi Sultan Hamid II Max Yusuf Al-Kadrie, 15 April 1967.
[70]Dokumen Surat Dari Kj Hajar Dewantoro kepada Sultan Hamid II, tgl 26 Januari 1950, seperti yang dinyatakan juga oleh Sultan Hamid II dalam transkrip penjelasan Sultan Hamid II kepada wartawan Solichim Salam, yang disalin kembali oleh sekretaris pribadi Sultan Hamid II Max Yusuf Al-Kadrie, 15 April 1967.
[71] Transkrip penjelasan Sultan Hamid II kepada wartawan Solichim Salam, yang disalin kembali oleh sekretaris pribadi Sultan Hamid II Max Yusuf Al-Kadrie, 15 April 1967.
[72] Dokumen sktesa dari ciptaan Pertama Sultan Hamid II yang ditolak anggota Panitia Lambang Negara 8 Februari 1950, sumber dokumen repro oleh U'un Mahdar Asmadi, UNPAD, oleh penulis 1999 dari dokumen yang berada pada Yayasan Idayu Jakarta, 1976 dalam penelitian pertama lambang negara dari sisi hukum hak cipta sebuah makalah tugas Prof Sri Soemantri, Fakultas Hukum UNPAD, Bandung. Dalam dokumen itu terdapat tulisan tangan Sultan Hamid II kepada H. Mas Agung: "Maaf Dik Mas Agung tetapi foto ini sebetulnya ciptaan pertama saya yang selanjutnya diperbaiki.Foto ini tidak berharga , Hamid, 17 Juli 1974"
[73] Muhammad Yamin, 6000 Tahun Sang Merah Putih, Siguntang, 1954. hal 168.
[74] Nama Rajawali Garuda Pancasila, adalah nama yang sering disebut oleh Sultan Hamid II, dalam transkrip penjelasan Sultan Hamid II kepada wartawan Solichim Salam 15 April 1967, yang disalin kembali oleh sekretaris pribadi Sultan Hamid II Max Yusuf Al-Kadrie, 1 Juli 1970.
[75] Transkrip Sultan Hamid II, ibid halaman 4
[76] Penetapan Lambang Negara, dinyatakan ditetapkan, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan oleh Kabinet RIS menjadi Lambnag Negara, sebagaimana tertera pada Buku Lukisan Revolusi Indonesia 1945-1950, Kementrian Penerangan Republik Indonesia, halaman XXIII
[77] Bung Hatta Menjawab, op cit , hal 108
[78] A.G Pringgodigdo, SekitarPancasila, Jakarta, Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI, 1978, hal 6.
[79] Dokumen Lambang Negara perubahan/perbaikan Sultan Hamid II setelah ciptaan pertama ditolak dalam raapat Panitia Lambang Negara, sebagai juga diterangkan oleh Sultan Hamid II dalam transkrip penjelasan Sultan Hamid II kepada wartawan Solichim Salam, yang disalin kembali oleh sekretaris pribadi Sultan Hamid II Max Yusuf Al-Kadrie, 15 April 1967.
[80] Transkrip Sultan Hamid II, 15 Aril 1967, ibid halaman 8
[81] Transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967, ibid halaman 4-5
[82] Ibid , Transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967, halaman 5
[83] Dokumen Lukisan Lambang Negara Sultan Hamid II ini disimpan oleh Ibu K Irawati anak Syamsuddin Sutan Makmur, mantan, seperti dinyatakan Sultan Hamid II dalam transkrip 15 April 1967: "file-file lambang negara itu saja simpan dengan baik, sampai kemudian sekitar akhir 1966 saja selamatkan ke Istana Kadriah Pontianak, kemudian saja bawa kembali ke Djakarta sekitar awal 1967, saja titipkan kepada nona K.Irawati anak Syamsuddin Sutan Makmmur/pernah menteri penerangan periode 30 Djuni-12 Maret 1956 jang ketika itu satu ruangan pendjara bersama saja mendjadi tahanan politik, di rumah beliaulah di djalan Radio Dalam Djakarta Selatan tempat sementara saja tinggal setelah keluar dari pendjara, jang akhirnja semua file saja bersama file Mr.M Yamin diserahkan kepada sekretaris pribadi jang kebetulan tjutju saja Max Yusuf Al-Kadrie, hingga saat ini agar terselamatkan bagi bangsa ini".
[84] Disposisi Presiden Soekarno Kepada Sultan Hamid II, setelah sketsa Rancangan Lambang Negara Sultan Hamid II dikonsultasikan dengan Ruhl, seorang ahli Semiologi dari Perancis yang menjadi konsultan Sultan Hamid II dan Yamin ketika merancang gambar Lambang Negara, 1950.
[85] Transkrip Sultan Hamid II, kepada Solichim Salam, 15 April 1967, halaman 6.
[86] Dokumen Sketsa D Ruhl Jr sebagai perbaikan rancangan Sultan Hamid II sebelumnya, saat aslinya masih dipegang oleh kerabat Istana Kadriah Pontianak dan berada pada Yayasan Sultan Hamid II Jakarta, Max Yusuf Alkadrie, Jeruk Purut Jakarta Selatan, juga repronya dipasang di Istana Kadriah Pontianak, dokumen ini direpro oleh peneliti dari Syraif Said Al-Kadrie, mantan anggota DPR-RI asal Kalimantan Barat, 1999.
[87] Dokumen ini peneliti dapat dari sejarahwan Konstitusi UI, Prof .Dr A.B Kusuma,SH.MH dari Buku Lukisan Revolusi Indonesia1945-1950, terbitan Kementerian Penerangan yang direpro tahun 1999.
[88] Majalah Gatra: " Bung Karno, Ikan dan Air" Edisi No 32 Tahun I, 25 Juni 1995, hal 51 dan lihat juga Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jakarta, PT Cipta Adi Pustaka, 1989, hal 65-66.
[89] Transkrip Sultan Hamid II kepada Solichim Salam, 15 April 1967, halaman 6
[90] Dokumen lambang negara ini sudah diserahkan oleh Sultan Hamid II kepada H. Mas Agung, 18 Juli 1974 di Yayasan Idayu Jakarta dan saat ini masih tersimpan dengan baik di ruang pribadi Almarhum H. Mas Agung, Yayasan Mas Agung Jln Kwitang Jakarta dan gambar lambang negara ini kemudian menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan Pasal 6. ada sedikit perbedaan lambang negara yang menjadi lampiran resmi UU No 24 Tahun 2009, yaitu simboli sila kelima, khususnya kapas mengikuti warna alamiah, yaitu hijau putih yang sebelum berwarna kuning emas.
[91] Transkrip Sultan Hamid II pada Solichim Salam, 15 April 1967, halaman 6
[92] Transkrip Sultan Hamid II kepada Solichim Salam, 15 April 1967. ibid halaman 6
[93] Kryztof Stefan Kuczynski, "Orzel Bialy-Herb Polski Iznak Polakow" Translation In English By Adezey. 'The White Eagle-70 Years of the coat of Arms of the Polis State. Kedutaan Besar Negara Polandia, 1992
[94] Transkrip Sultan Hamid II kepada Solichim Salam , 15 April 1967, op cit, halamanan 4-5
[95] Pidato Presiden Soekarno 22 Juli 1958 , Arsip Nasional, 1999,
[96] Transkrip Sultan Hamid II kepada Solichim Salam, 15 April 1967, halaman 9.
[97] Tulisan Sultan Hamid II pada Kertas berlogo RTC 1949 ketika menyerahkan File Lambang Negara kepada H. Mas Agung , 18 Juli 1974, sumber dokumen dari Max Yusuf Al Kadrie, 1999,
[98] Keterangan dari kedua Pustakawi Idayu, diterangkan dalan surat keterangan di atas materai, tahun 1999 dan menyatakan, bahwa kedua pustakawati telah diperintah oleh Mas Agung untuk menyimpan dan merawat file dokumen lambang negara dari Sultan Hamid II dan file tersebut saat ini masih disimpan dengan baik oleh Yayasan Mas Agung di ruang pribadi Mas Agung, Jalan Kwitang Jakarta.
[99] Z Yasni, Bung Hatta Menjawab, Jakarta Gunung Agung, 1978 cetakan III, 108-112
[100] Akmal Sutja, Sekitar Garuda Pancasila, Bandung ,Angkasa, 1986, hal 78-79
[101] Mimbar UNTAN: " Siapa Perancang Garuda Pancasila, Edisi No 11 & 12 Tahun X, 1994, hal 2.
[102] Muhammad Yamin, 6000 Tahun Sang Merah Putih, (Siguntang, 1954), hal 183
[103] Transkrip Sultan Hamid II Kepada Solichim Salam, 15 April 1967, sebagaimana disalin kembali oleh Sekerataris Pribadi Sultan Hamid II, Max Yusuf Al Kadrie, halaman 9.
[104] Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jilid 17 (Jakarta : PT. Cipta Adi Pustaka, 1989), hal 365-366 atau lihat Ensiklopedia Indonesia Edisi Khusus, Aid 7 (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1986), hal 3970.
[105] Buku Proses Peristiwa Sultan Hamid II (Jakarta : Persaja, 1954), hal 176.
[106] Dalam katalog pameran Haris Purnomo 2006, yang bertajuk "Dibawah Sayap Garuda" ada tulisan Hendro Wiyanto selaku kurator yang mengulas perihal sayembara Lambang Negara 1947, bahkan di tahun 1951 sebuah artikel Oesman Effendi (1918-19850 pernah menulis sebuah artikel dengan judul "Tanda Lambang Garuda" yang berisi komentarnya tentang hasil rancangan sejumlah pelukis yang telah menuangkan gagasannya ke dalam bentuk lambang negara. Permintaan membuat rancangan lambang negara kepada para pelukis oleh pemerintah sudah dilakukan semenjak 1947, melalui organisasi seni lukis seperti SIM (Seniman Indonesia Muda), Pelukis Rakyat, PTPI, dan KPP bagian kesenian. Namun sayang sekali menurut Oesman kebanyakan pelukis kuran paham hukum-hukum kesejarahan dari tanda lambang negara...Ada jarak waktu yang cukup lama antara 1947, ketika lambang negara disayembarakan, konon hasilnya tidak satupun dari rancangan lambang negara hasil lomba tersebut yang kita kenal seperti sekarang, hingga 10 Januari 1950 ketika Panitia Lencana Negara (lambang Negara). Dalam waktu relatif singkat, tepatnya 10 Februari 1950, rancangan lambang negara sudah bisa diajukan Sultan Hamid II kepada Presiden Soekarno. Lihat Nanang Hidayat, Mencari Telur Garuda, Nalar, Jakarta 2008. hlm 27-28. Jadi jika tahun 1947 tak satupun hasil sayembara yang mememuhi syarat semiotika/semiologi, maka gambar lambang negara siapakah yang terlampirkan dalan PP No 66 Tahun 1951 (pasal 6) dan UU No 24 Tahun 2009 (pasal 50), secara sejarah hukum penulis tetap berkesimpulan bahwa gambar yang dilampirkan dalam peraturan perundang-undangan itu adalah rancangan terakhir Sultan Hamid II yang saat ini file dokumen aslinya ada di Yayasan Mas Agung- yang dahulu berada di Yayasan Idayu Jakarta sebagaimana diserahkan oleh Sultan Hamid II 18 Juli 1974.
[107] Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Sejarah, Kompas, Jakarta, Juli 2010. hlm 209-213
[108] Nanang Hidayat, Mencari Telur Garuda, Nalar Jakarta, 2008,hlm 30.
[109] Kronologis dalam disertasi ini lebih dipertajam untuk melengkapi kronologis berdasarkan kajian normatif dari penelitian tesis oleh Turiman: " Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara Dalam Peraturan Perundang-Undangan), 2000, UI, hal 65-75.
[110] Metode MSFQ adalah sebuah metode pemahaman Al-Qur'an yang dikembang oleh K.H Lukman AQ Soemabrata selama 13 Tahun dalam mengkaji Struktur Al-Qur'an yang kemudian sampai pada kesimpulan, bahwa sesungguhnya Struktur Al-Qur'an itu berthawaf, untuk memahami kajian keilmuan Struktur Al-Qur'an ini melalui pendekatan munasabah dengan menggunakan metode yang disebut MSFQ, di Indonesia sudah banyak diterbitkan buku yang membahas metode tersebut, yaitu: Konstruksi Al-Qur'an, salah satunya adalah Gus AA & Jiyad At Tubani, Membaca dan Memahami Konstruksi Al-Qur'an, Indomedia Group, Oktober 2006, hal 15- 41.
[111] Transkrip Sultan Hamid II yang dijelaskan kepada Solichim Salam, 15 April 1967 sebagaimana disalin oleh sekrataris peribadi Sultan Hamid II: Max Yusuf Al- Kadrie. Halaman 5-6
[112] Transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967, ibid halaman 7
[113] Transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967, ibid, halaman 8
[114] Transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967, ibid, halaman 7
[115] Penjelasan yang sama pada Pasal 4 angka romawi IV dan penjelasan pasal 4 PP No 66 Tahun 1951.
[116] Pasal 4 PP No 66 Tahun 1951 arah "thawafnya" searah dengan arah jarum jam atau kebalikan, dan arah putaran ini disebut dalam transkrip Sultan Hamid II 15 April 1967, yaiyu "Gilir Balik"
[117] Simbolisasi Lambang Negara diatas terdapat ilustrasi lingkaran yang dimaksudkan untuk menunjukan arah thawaf pada simbolisai sila-sila Pancasila pada Perisai dalam lambang negara Rajawali-Garuda Pancasila, dan arah semiotika hukum Pancasila berthawaf juga dirumuskan secara normatif dalam Pasal 48 UU No 24 Tahun 2009.
[118] Transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967, op cit, halaman 7
[119] Ensiklopedia Pancasila, 1995, halaman 274.
[120] Hatta, Panitia Lima, 1980 dalam Kaelan, Pancasila Yuridis Kenegaraaan, Paradigma, Yogyakarta, edisi ketiga, 1999, halaman 86.
[121] Pembahasan tentang ini dapat dilihat dalam Darji Darmodihardjo, Nyoman Dekker, M A.G Pringgodigdo, M Mardoyo, Kuntjoro Purbopranoto,J W Sulandra, Santiaji Pancasila,, Usaha Nasional, Surabaya ,1984.
[122] Penjelasan Pasal 4 PP No 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara.
[123] Istilah universal disini dalam tataran filsafat adalah Logosentrisme, yaitu kecenderungan pemikiran yang mencari legitimasi dengan mengacu pada dalil-dalil kebenaran universal atau jaminan makna sentral dan orisinal (mind, wahyu, dan sebagainya) lihat Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematika fondasi Filsafat Pegembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm xii.
[124] Alinea III Pembukaan UUD 1945 "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas rakyat Indonesia menyatakan dengan kemerdekaannya", Kalimat "…Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, adalah merupakan suatu pengakuan adanya Hukum Tuhan, Adapun kalimat " dengan didorong keinginan luhur.."adalah merupakan pengakuan adanya suatu Hukum Moral atau Hukum Etis, Pasal 29 Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan negara mengakui keberadaan Tuhan, karena esensi sila ke I adalah Tuhan.
[125] Transkrip Sultan Hamid II yang dijelaskan kepaada Solichim Salam, 13 April 1967.
[126]Jimly Asshiddigie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, MK dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, halaman 52-53.
[127]Soekarno dalam Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila Pendekatan melalui Metafisika, Logika dan Etika , Edisi 3,Hanindita, Yogyakarta, 2000, halaman 72.
[128]Soekarno Dalam Sunoto, Ibid halaman 73.
[129] Kata Pengantar Rancangan Buku Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Membaca Semiotika Hukum Pancasila Dalam Perisai Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila dengan seboyan Bhinneka Tunggal Ika yang akan diterbitkan oleh Mahkamah Konsitusi RI.
Adapun dokumen Lambang Negara Sultan Hamid II yang dilukis kembali oleh Dullah atas perintah Presiden Soekarno adalah sebagai berikut:[87]
Keterangan ini dapat dikemukakan dalam Majalah Gatra No 32 Tahun I, 25 Juni 1995, dalam judul "Bung Karno, Ikan dan Air", yang menyatakan:[88]
“ .... salah satu bentuk kepercayaan itu ialah permintaan bung Karno kepada Dullah untuk mengubah posisi kaki gambar Pancasila yang tadinya dirancang di Kementerian Penerangan. Dalam rancangan Kementerian Penerangan, kaki garuda dilukiskan seolah-olah menghadap ke belakang. Dan oleh Dullah dilukis kembali dengan membalik sehingga tampak menghadap kedepan... “.
Keterangan yang sama dinyatakan oleh Sultan Hamid II dalam transkripnya kepada Solichim Salam, 15 April 1967:[89]
"saja meminta bantuan D Ruhl Jr untuk membuat sketsa dari lambang negara jang saja buat dengan membawa potret lukisan lambang negara jang dilukis oleh Dullah, karena lukisan Dullah jang gambar rantjangannja semula tjengkraman kakinja menghadap kebelakang telah diserahkan kepada kementerian penerangan RIS jang ketika itu masih berada di Yogjakarta, kemudian dimintakan kepada saja oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno untuk tidak disebarkan dahulu ke pelosok negara RIS, setelah itu sketsa transkrip/out werp jang dilukis D.Ruhl Jr saja adjukan kembali ke Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ternjata beliau langsung mendisposisi sebagai wapen negara, waktu itu tanggal 20 Maret 1950, kemudian beliau memerintahkan untuk memanggil Dullah sang pelukis Istana/pelukis kesayangan bung Karno untuk melukis kembali berdasarkan sketsa perbaikan R.Ruhl tersebut, walaupun ketika itu kita harus merugi beberapa ribu rupiah lagi untuk membajar pelukis Dullah.
Hasil lukisan Dullah itulah jang kemudian oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno diperintahkan kepada kementerian penerangan untuk disebarkan luaskan ke seluruh pelosok negara RIS jang ketika itu saja lihat banjak warga bangsa memasang di rumah-rumah..."
Berdasarkan disposisi Presiden Soekarno (20 Maret 1950), untuk terakhir kalinya Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final lambang negara, yaitu dengan menambahkan skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara (lukisan otentiknya sudah diserahkan kepada Mas Agung, Yayasan Idayu Jakarta) (lihat gambar 12)
Adapun dokumen Lambang Negara Sultan Hamid II yang diperbaiki seperlunya untuk terakhir kalinya adalah sebagai berikut:[90]
Gambar 12
Gambar Lambang Negara RIS Rancangan Sultan Hamid hasil Penyempurnaan terakhir yang kemudian menjadi Lampiran Resmi PP No 66 Tahun 1951 (Pasal 6) dan UU No 24 Tahun 2009 (pasal 50) dan Gambar Asli Lambang Negara tersebut saat ini berada di Yayasan Mas Agung, Jln Kwitang Senen Jakarta yang telah diserahkan/ dititipkan oleh Sultan Hamid II kepada H. Mas Agung Ketua Yayasan Idayu, Jakarta 18 Juli 1974 (Repro oleh Penulis dari Yayasan Mas Agung, 1999)
Keterangan dokumen di atas juga dijelaskan dalam transkrip Sultan Hamid II, kepada Solichim Salam 15 April 1967:[91]
"...sedangkan saja selaku pembuat gambar rantjangan lambang negara jang saja namakan Radjawali Garuda Pantja-Sila diperintahkan Paduka Jang Mulia untuk memperbaiki seperlunja, jakni membuat skala ukuran, bentuk dan tata warna serta keterangan gambar jang ada pada simbol-simbol itu, karena mendjadi tanggungdjawab saja selaku Koordinator Panitia Lambang Negara dan Menteri Negara dalam perentjanaan lambang negara RIS.
Patut pula ditambahkan bahwa menurut keterangan Max Yusuf Alkadrie yang pernah mendengar langsung dari Sultan Hamid II ketika menjelaskan kepada H. Mas Agung tahun 1974 menerangkan bahwa lambang-lambang yang dirancang oleh Sultan Hamid II khususnya pada simbol-simbol perisai Pancasila sebelumnya tidak ada gambar bintang dan rantai serta padi kapas. Lambang ini baru ada pada tahun 1950 melalui berbagai masukan dari berbagai anggota Panitia Lambang Negara dengan maksud untuk mendapatkan lambang yang tepat untuk mensimbolisasikan sila pertama dan kedua dan penjelasan atas keterangan itu dijelaskan oleh Sultan Hamid II dalam transkripnya 15 April 1967:[92].
". saja djuga meminta anggota dalam Panitia Lambang Negara untuk menjumbangkan pemikiran jang berhubungan dengan simbol-simbol idee Pantja-Sila, seperti pesan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ada jang menjarankan simbol keris, banteng, padi kapas, kemudian saja menambahkan Nur Cahaya berbentuk bintang bersegi lima atas masukan M Natsir sebagai simbol sila ke satu Pantja-Sila, djuga masukan dari R.M Ng Purbatjaraka, jakni pohon astana jang menurut keterangannja pohon besar sejenis pohon beringin jang hidup di depan istana sebagai lambang pengajoman dan perlindungan untuk melambangkan sila ketiga, karena menurut beliau pohon astana memaknai simbol menjatunja rakjat dengan istana itulah djuga hakekat negara RIS jang sebagian besar ketika itu didirikan di luar negara proklamasi RI 17-8-45 oleh keradjaan-keradjaan dan simbol selanjutnja tali rantai bermata bulatan melambangkan perempuan dan bermata persegi melambangkan laki-laki jang sambung menjambung berdjumlah 17 sebagai simbol regenerasi jang terus menerus, mengenai simbol ini inspirasinja saja ambil dari tanah Kalimantan, jakni kalung dari suku Dajak demikian djuga bentuk perisainja, setelah bertukar pikiran dengan para panglima suku Dajak di Hotel Des Indes Jakarta awal Februari 1950 yang saja ajak ke Jakarta ketika itu, salah satunya panglima Burung dan Ma Suka Djanting bersama J.C Oevaang Oeray sahabat saja di Dewan Daerah DIKB,lambang lain kepala banteng sebagai sila ke empat ini sumbangan dari Mr. M Yamin sebagai lambang dasar kerakjatan/tenaga rakjat dan padi-kapas lambang sila kelima sumbangan dari Ki Hajardewantara sebagai perlambang ketersedian sandang dan papan/simbol tudjuan kemakmuran, semua itu saja bitjarakan di hotel Des Indes yang merupakan tempat saja membuat gambar lambang negara sekaligus tempat saja tinggal sementara di Djakarta sebagai menteri negara RIS sampai dengan 5 April 1950 saja ditangkap atas perintah Jaksa Agung jang akhirnja saja "terseok" dalam perdjalanan sedjarah sebagai anak bangsa. Itulah tjiptaan saja terpendam mudah-mudahan pendjelasan kepada saudara Salam mendjadi terang adanja."
Kemudian hal lain lebih menonjol dari gambar lambang negara rancangan Sultan Hamid II adalah garis tebal warna hitam lurus (horizontal) yang melambangkan garis khatulistiwa, seperti terlihat di dalam lambang perisai dan garis hitam inilah yang menjadi ciri utama rancangan lambang negara Sultan Hamid II. Ciri khas ini sejak awal sudah terlihat dalam sketsa rencana perisai (lihat gambar file rencana perisai) sebagaimana pada dokumen berikut ini:
Gambar 13
Rancangan Sketsa Perisai Pancasila oleh Sultan Hamid II, 1950 dan Terlihat sejak awal terdapat garis horizontal (garis Khatulistiwa) (Repro oleh Uun Mahdar Asmadi, 1985 dan oleh Penulis dari Yayasan Mas Agung, 1999)
Keterangan lain yang dapat dihimpun penulis, bahwa Sultan Hamid II dalam membuat gambar lambang negara itu beliau melakukan perbandingan dengan gambar-gambar lambang negara lain yang menggunakan burung elang rajawali, terutama negara-negara Arab, seperti Syria, Mesir, Libia, Yaman, Emirat Arab, Sudan, Irak hal ini terlihat bahwa gambar rancangan Sultan Hamid II sebelum didisposisi oleh Presiden Soekarno 20 Maret 1950, khususnya bentuk cakar kaki burung Rajawali terpengaruh dengan bentuk cakar kaki burung rajawali pada lambang-lambang negara tersebut di atas, yaitu terlihat menghadap ke belakang dan khusus bahan gambar skesta awalnya diambil dari bahan perbandingan gambar-gambar kesatuan militer Polandia tahun 1946-1947 yang pernah didapat ketika Sultan Hamid II belajar di K.M.A Breda Belanda. Untuk mendapatkan perbandingan terhadap keterangan itu, penulis melakukan investigasi ke kantor Kedutaan Polandia di Jakarta guna mendapatkan bentuk gambar kesatuan militer Polandia tahun 1946-1947 beserta literaturnya.[93]
Berdasarkan literatur dan bentuk gambar lambang kesatuan militer Polandia tahun 1946-1947 pada gambar di atas, apabila dipersandingkan dengan skesta awal yang dibuat Sultan Hamid II ternyata terdapat kesamaan dan di samping itu memperhatikan file dokumen lambang negara yang telah diserahkan oleh Sultan Hamid II kepada H. Mas Agung, 1974 terdapat kumpulan gambar-gambar burung garuda yang ada di berbagai candi di Jawa. Hal ini jelas bahwa membuktikan gambar yang dibuat oleh Sultan Hamid II mendapat masukan anggota Panitia Lambang Negara.
Hal yang dijelaskan di atas juga dijelaskan dalam transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967:[94]
"Akhirnya setelah penolakan itu saja mengambil inisiatif pribadi untuk memperbandingkan dengan lambang-lambang negara luar, khususnja negara negara Arab, seperti Yaman, Irak, Iran, Mesir ternjata menggunakan figur burung Elang Radjawali, djuga seperti negara Polandia jang sudah lama ratusan tahun djuga menggunakan burung Elang Radjawali seperti jang saja djelaskan di atas dalam kemiliterannja, setelah saja selidiki ternjata bendera perang Sadjina Ali r.a ternjata memakai pandji-pandji simbol burung Elang Radjawali, untuk itulah saja putuskan mengubah figur burung dari mitologi garuda ke figur burung elang Radjawali, karena sosoknja lebih besar/gagah dari burung elang jang ada di Djawa dan ini simbolisasi lambang tenaga pembangun/creatif vermogen negara dengan harapan Negara Republik Indonesia Serikat/RIS mendjadi negara jang besar dan setara dengan negara-negara di dunia, sudah mendjadi kewadjaran dan demikian seharusnja.
Pertanjaan lain jang sering ditanjakan kepada saja, bahkan oleh sekretaris pribadi saja sendiri Max, setelah keluarnya saja dari pendjara, djuga pertanjaan jang sama oleh saudara Salam, jakni mengapa ada garis tebal ditengah perisai Pantja-Sila apakah sebagai tanda jang membuatnja dari anak bangsa jang berasal ibukota Daerah Istimewa Kalimantan Barat/DIKB/Pontianak, saja jawab hal ini sebenarnja ingin melambangkan/menjimbolkan letak negara RIS dilewati garis equator/khatulistiwa jang kebetulan tugunja ada di kota kelahiran saja sendiri Pontianak jang dirikan tahun 1928 djauh sebelum negara proklamasi R.I merdeka dan negara RIS terbentuk sampai dengan tahun 1938 disempurnakan oleh opsiter Silaban sahabat saja seperti bentuk tugunja sekarang ini, garis itu melewati Daerah Istimewa Kalimantan Barat/DIKB jang merupakan bagian kesatuan kenegaraan, seperti dinjatakan dalam konstitusi RIS 1949, sebagaimana peta situasi sedjarah kedaulatan sebelum RIS 17 Agustus 1945 sampai dengan 26 Desember 1949, agar kelak generasi mengetahui, gambar lambang negara RIS ini adalah tjiptaan saja untuk membedakan dengan apa jang dibuat oleh Mr.M.Yamin jang djuga berbentuk perisai hanja gambarnja ada sinar-sinar matahari.
Tanggal 5 April 1950 Sultan Hamid II/ Menteri Negara Zonder Porto Folio dijemput untuk keperluan penyidikan oleh Jaksa Agung di Hotel Des Indes yang kemudian dikenal dengan “Peristiwa Sultan Hamid II”.
Tanggal 10 Juli 1951 Dewan Menteri mengadakan rapat mengenai pengaturan lambang negara, yaitu rancangan Peraturan Pemerintah yang mengatur lambang negara berdasarkan Pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Tanggal 17 Agustus 1951 lambang negara dimasyarakatkan pemakaiannya diseluruh negara kesatuan Republik Indonesia dan gambarnya disebar-luaskan keseluruh pelosok tanah air.
Tanggal 17 Agustus 1951 Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjoyo menetapkan Peraturan Pemerintah No 66 tahun 1951 tentang Lambang Negara, pada pasal 2, 3 ditetapkan, bahwa warna, perbandingan ukuran dan bentuk lambang negara adalah seperti ditentukan dalam Pasal 6, yaitu seperti terlampir dalam Peraturan Pemerintah tersebut.
Tanggal 28 November 1951 Peraturan Pemerintah No 66 tahun 1951 diundangkan oleh Menteri Kehakimaan: M. Nasroen dalam Lembaran Negara No 111 dan penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara No 176 tahun 1951. Sejak saat itu secara yuridis formal gambar lambang negara rancangan Sultan Hamid II seperti terlampir dalam Peraturan Pemeritah No 66 Tahun 1951 secara resmi menjadi lambang negara kesatuan republik Indonesia.
Tanggal 30 Mei 1958 Dewan Menteri mengadakan rapat yang ke 107 mengenai rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penggunaan Lambang Negara. Tanggal 5 Juni 1958 Muhammad Yamin dalam kapasitas sebagai mantan Panitia Lambang Negara, dalam suatu kesempatan Pidato di Istana Negara yang dihadiri para Menteri serta Dewan Nasional menjelaskan arti dan makna simbol-simbol dalam perisai Pancasila pada lambang negara yang dirancang Sultan Hamid II.
Tanggal 26 Juni 1958 Presiden Republik Indonesia Soekarno dan Perdana Menteri Juanda menetapkan Peraturan Pemeritahan No 43 Tahun 1958 Tentang penggunaan lambang negara diundangkan oleh menteri Kehakiman: G.A. Maengkom pada Lembaran Negara No 71 Tahun 1958 dan penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara No 1636 Tahun 1958.
Pada tanggal 22 Juli 1958 Presiden Soekarno memberikan pidato yang berkaitan dengan lambang negara di Istana Negara yang intinya antara lain kegagahan Burung Rajawali Garuda Pancasila, dan kaitannya lambang negara dengan dasar negara Pancasila. Adapun isi selengkapnya pidato tersebut sebagai berikut:[95]
“Saudara-saudara, lihatlah Lambang Negara kita di belakang ini, alangkah megahnya, alangkah hebat dan cantiknya.
Burung Elang Rajawali, garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 buah, dengan ekor yang berelar 8 buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang berkalungkan perisai yang di atas perisai itu tergambar Pancasila. Yang di bawahnya tertulis seloka buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika", Bhina Ika Tunggal Ika, Berjenis-jenis tetapi tunggal.
Pancasila yang tergambar di pusat bintang cermelang atas dasar hitam, sinar cermerlang abadi dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, pohon beringin lambang kebangsaan. Rantai yang terdiri dari pada gelang-gelangan dan persegi dan bundar yang bersambung satu sama lain dalam sambungan yang tiada putusnya, peri kemanusiaan.
Banteng Indonesia lambang kedaulatan rakyat. Kapas dan padi lambang kecukupan sandang-pangan, keadilan sosial.
Lihatlah sekali lagi, aku berkata indahnya Lambang Negara ini, yang menurut pendapat saya Lambang Negara Republik Indonesia ini adalah yang terindah dan terhebat dari pada seluruh lambang-lambang Negara di muka bumi ini. Saya telah melihat dan mempelajari lambang-lambang negara yang lain-lain. Tapi tidak ada satu yang sehebat, seharmonis seperti Lambang Negara Republik Indonesia. Lambang yang telah dicintai oleh rakyat kita sehingga jikalau kita masuk ke desa-desa sampai kepelosok-pelosok yang paling jauh dari dunian ramai, lambang ini sering dicoretkan orang di gardu-gardu, di tembok-tembok, di gerbang-gerbang, yang orang dirikan dikalau hendak menyatakan suatu ucapan selamat datang kepada seorang tamu.
Lambang yang demikian telah terpaku di dalamnya kalbu Rakyat Indonesia, sehingga lambang ini telah menjadi darah daging rakyat Indonesia dalam kecintaannya kepada Republik, sehingga bencana batin akan amat besarlah jikalau dasar negara kita itu dirobah, jikalau Dasar Negara itu tidak ditetapkan dan dilangengkan: Pancasila. Sebab lambang negara sekarang yang telah dicintai oleh Rakyat Indonesia sampai ke pelosok-pelosok desa itu adalah lambang yang bersendikan kepada Pancasila. Sesuatu perobahan dari Dasar Negara membawa perobahan dari pada lambang negara.
Saya mengetahui bahwa jikalau lambang negara ini dirobah, sebagian terbesar dari pada Rakyat Indonesia akan menolaknya. Cinta rakyat Indonesia kepada lambang ini telah terpaku sedalam-dalamnya di dalam jiwanya, berarti cinta sebagian terbesar dari pada Rakyat Indonesia kepada Pancasila. Lihatlah sekali lagi kepada Lambang Negara kita Pancasila, yang dilukiskan diatas burung garuda.”
Berdasarkan Pidato Presiden Soekarno di atas memberikan penegasan, bahwa ada korelasi antara lambang negara dengan Ideologi Pancasila, karena menurut Soekarno Lambang Negara tersebut adalah lambang yang bersendikan kepada Pancasila, dan beliau menyatakan, bahwa sesuatu perobahan dari dasar negara membawa perubahan dari Lambang Negara dan Presiden Soekarno menggunakan terminologi Burung Elang Rajawali Garuda, hal ini menandakan, bahwa figur lambang negara sekarang ini adalah figur burung Elang Rajawali dan secara teoretik, bahwa pemahaman Pancasila sebenarnya dapat juga dipahami melalui semiotika Pancasila yang tersimbolisasikan pada perisai Pancasila lambang negara yang gambar resminya terlampir dalam peraturan perundang-undangan dalam hal ini Lampiran PP No 66 Tahun 1951 (pasal 6) kemudian ditegaskan kembali dalam UU No 24 Tahun 2009 (pasal 50), tetapi analisis yang berkembang di Indonesia pemaknaan atau pembacaan Pancasila lebih menggunakan doktrin filsafat Pancasila yang berpaham positivisme dengan mengacu pada struktur hirarkis piramida dan ini ada kecenderungan terpengaruh dengan teori hirarkis piramida Hans Kelsen pada abad 19 kemudian diacu oleh Notonagoro yang kemudian cenderung juga menjadi acuan doktrin filsafat hukum berkaitan dengan Pancasila di Indonesia, sedangkan sejak 1950 Sultan Hamid II telah mempresentasikan semiotika hukum Pancasila berkonsep “Thawaf” berputar berlawanan dengan arah jarum jam dan saat sudah diacu pada UU No 24 Tahun 2009 (pasal 48), tetapi secara teoretik tidak pernah terangkat kepermukaan dalam kajian akademis ada kecenderungan terabaikan.
Kembali perjalanan sejarah konstitusi selanjutnya tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden, yaitu kembali ke Undang-undang Dasar 1945, dan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, maka Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara dan Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1958 Tentang Penggunaan Lambang Negara dengan dasar negara Pancasila tetap diberlakukan.
Berikut ini dikemukakan perjalanan dokumen lambang negara rancangan Sultan Hamid II, yaitu ketika Sulan Hamid II dibebaskan dari penjara oleh KAMI/ KAPI tahun 1966 Sultan Hamid II kembali ke Pontianak dan file dokumen sketsa dan gambar lambang negara tersebut diselamatkan kemudian dibawa ke Jakarta kembali dari Istana Kadriah Pontianak dan dititipkan kepada keluarga Syamsuddin Sutan Makmur (mantan Penerangan periode 30 Juni 1953-12 Maret 1956), kemudian disimpan dengan baik oleh lbu K Irawati salah satu putri Syamsuddin Sutan Makmur.
Tahun 1967 file dokumen lambang negara diambil kembali oleh Sultan Hamid II dari lbu K Irawati dan diserahkan kepada Max Yusuf Alkadrie yang pada waktu itu dipercayakan sebagai sekretaris pribadi Sultan Hamid II (1968-1978) dan Tahun 1967 tepatnya 13 April 1967 wartawan Istana dan Berita Buana berkorespondensi dengan Sultan Hamid II, kemudian dijawab secara tertulis 15 April 1967. Keterangan tentang perjalanan file lambang negara dimaksud juga dijelaskan dalam transkrip Sultan Hamid II kepada Solichim Salam 15 April 1967:[96]
"sedangkan file-file serta transkrip lambang negara Mr.M.Yamin jang pernah ditolak oleh pemerintah dan parlemen RIS ada ditangan Panitia Lambang Negara jang kemudian file-file lambang negara itu saja simpan dengan baik, sampai kemudian sekitar akhir 1966 saja selamatkan ke Istana Kadriah Pontianak, kemudian saja bawa kembali ke Djakarta sekitar awal 1967, saja titipkan kepada nona K.Irawati anak Syamsuddin Sutan Makmmur/pernah menteri penerangan periode 30 Djuni-12 Maret 1956 jang ketika itu satu ruangan pendjara bersama saja mendjadi tahanan politik, di rumah beliaulah di djalan Radio Dalam Djakarta Selatan tempat sementara saja tinggal setelah keluar dari pendjara, jang akhirnja semua file saja bersama file Mr.M Yamin diserahkan kepada sekretaris pribadi jang kebetulan tjutju saja Max Yusuf Al-Kadrie, hingga saat ini agar terselamatkan bagi bangsa ini.
Tanggal 18 Juli 1974 sebagian file dokumen gambar lambang negara yang dibuat Sultan Hamid II diserahkan kepada H. Mas Agung (Ketua Yayasan Idayu) Jakarta Jalan Kwitang Senen No. 24 Jakarta Pusat. Ketika menyerahkan file dokumen tersebut Sultan Hamid II menulis tanda penyerahan itu di atas kertas berlogo RTC bertahun 1949 yaitu:[97]
Gambar 15
Dokumen Penyerahan File Lambang Negara RIS dari Sultan Hamid II kepada Mas Agung, 18 Juli 1974 disaksikan notaris Albert Lauw dan Sultan Hamid II menulis di atas kertas berlogo RTC bertahun 1949 yang disediakan oleh Mas Agung (Repro oleh penulis 1999 dari Max Yusuf Alkadrie mantan Sekretaris pribadi Sultan Hamid II, 1975-1978)
Adapun tulisan pada dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
“Mas Agung yang saya hormati, mudah-mudahan sumbangan pertama saya ini bermanfaat bagi negara kita yang dicintai oleh kita. Selanjutnya saya persilahkan saudara untuk datang kerumah saya untuk pilih buku-buku saya yang saudara anggap panting bagi Idayu. Saudara Mas Agung! Apakah file dokumen lambang negara kita juga dihargai! Jika "Ya", harap diterima”.
Selanjutnya dilakukan acara penyerahan antara Sultan Hamid II dengan H. Mas Agung yang ketika itu disaksikan oleh Max Yusuf Alkadrie dan Albert Lauw (notaris) dan difoto oleh Pak Somarmo dan kemudian dokumen itu diserahkan kepada lbu Murtini S. Pandit, MSc (mantan sekretaris dan Ketua Badan Pelaksana Yayasan Idayu) untuk disimpan dan selanjutnya dirawat dengan baik oleh Ibu Mien Kotte dan Ibu Nur Enim Soebadrie (Pustakawati Idayu).[98] Saat ini dokumen tersebut ini disimpan dengan baik oleh anak H. Mas Agung, yaitu Ketut Mas Agung ruang pribadi almarhum H. Mas Agung di Gedung Idayu Jakarta.
Tanggal 12 Agustus 1978 terbit buku hasil wawacara Z. Yasni dengan Mohammad Hatta dengan judul Bung Hatta Menjawab pada halaman 108 dan 112 secara tegas Mohammad Hatta (mantan perdana menteri RIS) menyatakan bahwa Sultan Hamid II yang membuat lambang negara dan gambar rancangan Sultan Hamid II yang diterima oleh Pemerintah dan DPR.
Isi selengkapnya Buku Bung Hatta Menjawab hal 108 dan 112 itu adalah sebagai berikut: [99]
“Prinsip bersatu dalam keanekaragaman (Bhineka Tunggal Ika, Unity in Diversity) itu makin lama makin menjadi pegangan yang meluas dan mendalam ke segenap lingkup kehidupan bangsa dan negara, menyerap ke dalam bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan tats sikap pribadi pemimpin dan pemuka masyarakat. (Semboyan "Bhinneka Tunggal" adalah ciptaan bung Karno, setelah kita merdeka. Semboyan itu kemudian diperkuat dengan lambang yang dibuat oleh Sultan Abdul Hamid Pontianak dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Februari 1950.
Patut pula ditambahkan sebagai catatan bahwa lambang dengan tulisan yang mempunyai arti yang demikian mendalam itu, dipadukan menjadi seperti sekarang ini, dengan melalui suatu sayembara waktu RIS dulu dan dilaksanakan oleh Menteri Priyono. Banyak gambar yang masuk itu, tetapi yang terbaik akhirnya ada dua bush, satu dari Muhammad Yamin dan satu lagi dari Sultan Hamid, Yang diterima oleh Pemerintah dan DPR adalah yang dari Sultan Hamid yakni seperti sekarang ini. Adapun dari Muhammad Yamin ditolak, karena disana ada gambar sinar-sinar matahari dan menampakan sekikit banyak disengaja atau tidak pengaruh Jepang”.
Setelah terbitnya pernyataan Mohammad Hatta, tersebut berbagai pihak tertarik untuk melakukan penelitian akademis dan investigasi yang dapat dicatat pada paparan berikut ini.
Tahun 1985 U'un Mahdar Asmadi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pajajaran Bandung kemudian menyelidiki dan melakukan penelitian akademis tentang sejarah hokum proses penciptaan lambang negara dalam kaitannya dengan Undang-undang hak cipta, yang dibimbing oleh Sri Soemantri dan Hasil penelitian itu membuktikan kebenaran pernyatan bung Hatta, sepanjang tidak ada bukti yang menganulirnya.
Tahun 1986 terbit Buku berjudul “Sekitar Garuda Pancasila” yang ditulis oleh Akmal Sutja pada hal 79 beliau menyatakan, bahwa membenarkan pendapat Mohammad Hatta yang menyatakan, bahwa yang merancang gambar lambang negara adalah Sultan Hamid II, sampai dengan adanya penelitian lebih lanjut. Isi selengkapnya pernyataan itu adalah:[100]
“...sampai sampai ada penelitian yang dapat dipercaya mengenai hal ini, kiranya dapat diterima saja keterangan dari Bung Hatta, bahwa Sultan Hamid II yang telah mendapat ilham brilian untuk mengangkat kembali simbol-simbol asli bangsa Indonesia yang telah dimuliakan oleh Bangsa Indonesia sepanjang sejarahnya. Karena Bung Hatta salah seorang pemimpin yang cukup terpercaya yang saat itu menjadi wakil Presiders, membenarkan pendapat ini, ketimbang praduga berdasarkan atas latar belakang Muhammad Yamin saja”.
Tahun 1994 Universitas Tanjungpura Pontianak khususnya Mimbar Untan (salah satu terbitan Universitas Tanjungpura) yang diketuai oleh Syafaruddin M.H.D melakukan investigasi tentang perancangan lambang negara oleh Sultan Hamid II kepada keluarga Kraton Kadriyah Pontianak (kerabat Sultan Hamid II) dan para pemuka masyarakat setempat. Adapun hasil investigasi tersebut dapat diringkas: [101]
Haji Ya Achmad, Ketua 1 DHD Angkatan 1945, Kotamadya Pontianak, sejarahwan, mantan Kabid Permesiuman Dikbud Kal-Bar: “Saya sendiri mendengar langsung dari almarhum Sultan Hamid, bahwa beliaulah perancang lambang negara. Kita menyimpanarsipnya mengapa kita ragu dan takut untuk mengemukakannya. Mesti diingat ini sejarah bung”.
Husni Umberan, M.Ed, Kepala Dinas Peninggalan Sejarah Pontianak; Sejarahwan Kal-Bar: “Jangan hanya karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Saya rasa jangan hanya satu kesalahan yang membuat jasa besar seorang harus hilang, bahkan dihilangkan begitu saja" saya setuju kalau suatu pengungkapan dengan penelitian lebih lanjut”.
Ya Syarief Umar, mantan anggota MPRS RI, mantan anggota DPRD Tingkat I Kal-Bar pendiri KPMKB Yogyakarta dan salah satu tokoh pendiri Universitas Tanjungpura: “Mungkin karena keterseokan sejarah P.Y. Sultan Hamid, pengakuan seorang terhadap karya rancangannya menjadi kabur, padahal inilah sebuah keabsahan sejarah. Nah kalau memang benar Hamid II penggali lambang negara kita itu, mengapa sungkan untuk mengungkapkan ini sejarah, dan sejarah jangan dipungkiri dong. Saya menilai, kita hendaklah arif menilai sejarah pisahkan yang subyek dan obyek”.
Syarif Slamet Yusuf Alkadrie, Mantan anggota DPRD Kotamadya Pontlanak. Kerabat Keraton Kadriyah: “Saya mendengar langsung apa yang dikatakan Oom Hamid, dia bersumpah di atas nama Tuhan, dialah yang mengukir ide melahirkan lambang negara RI itu, saya sangat menyayangkan, orang-orang begitu mudahnya melupakan jasa Hamid. Mungkin lantaran la ada kaitannya dengan pembelokan sejarah tetapi kita harus mengatakan yang sebenarnya, walau secuil jasanya bagi Republik ini, itukan sebuah jasa, dan saya yakin itu akan tetap abadi”.
A. Rahman, tokoh Pejuang 1945 Pontianak: “Saya menilai Sultan Hamid H Sering dinilai yang terlampau jeleknya tindakan yang dilakukan Hamid, masih ada yang baiknya. Buktinya pelahiran lambang negara RI itu sumbangsih dirinya”.
Agus Sastrawan Nur, dosen sejarah Universitas Tanjungpura, pemerhati sejarah dan peneliti sejarah: “Boleh jadi Sultan Hamid II yang merancang lambang negara itu, sebab sebagai menteri negara zonder porto folio dalam kabinet RIS yang la sendiri merasa tidak puas dengan kedudukan itu dan tak ada pekerjaan lain, karena tugasnya hanya membikin dan merancang lambang negara”.
Tahun 1996 Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Hukum, Program Kekhususan, Hukum Kehidupan Kenegaraan Universitas Indonesia Turiman, asal Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak lebih lanjut meneliti dalam bentuk tesis berjudul Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suat Analisa Yuridis Normatif Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan) dan hasil penelitiannya telah dipresentasikan dihadapan MUBES V KPMKB se-Jawa dan para tokoh-tokoh Kal-Bar di Bandung 29 Nopember 1996.
Tanggal 2 – 3 Juni 2000 di Kota Pontianak Kalimantan Barat diadakan Dialog Nasional Lambang Negara bertempat di Hotel Kapuas Palace yang dihadiri oleh PAH I Amandemen UUD 1945 MPR-RI dan Ketua MPR,DPR RI Akbar Tanjung, elemen masyarakat Kalimantan Barat dan Pemerintah Daerah serta Universitas Tanjungpura berdasarkan dialog nasional Lambang Negara yang mengacu pada hasil penelitian Tesis tersebut diajukan menjadi rumusan amandemen kedua UUD 1945 kepada PAH I Amandemen MPR-RI dengan rumusan: Lambang Negara Ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Gambar 16
Fhoto Ketika Penulis (Turiman Fachturahman Nur) selaku Peneliti Menerangkan Hasil Penelitian Tesis serta Dokumen File Sketsa Awal Lambang Negara dan Rancangan Akhir Sultan Hamid II kepada Ketua DPR RI sebagai Bahan masukan untuk PAH I MRR RI terhadap amandemen kedua UUD 1945 Pasal 36 A (Repro oleh Penulis dari Harian Equator 5 Juni 2000)
Tanggal 9 Juli 2009 Presiden Republik Indonesia: Susilo Bambang Yudoyono melalui Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Andi Mattalatta mengundangkan UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5035 yang mengacu pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dipertegas pada Pasal 36 A: Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Merujuk kepada keterangan Mohammad Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab yang menyatakan bahwa, alasan ditolak rancangan lambang negara Muhammad Yamin, karena pada gambar lambang negara rancangannya terdapat sinar-sinar matahari dan menampakan sedikit banyak disengaja atau tidak pengaruh Jepang.
Apabila keterangan itu dihubungkan dengan dokumen gambar rancangan lambang negara dari Muhammad Yamin, ternyata benar adanya, karena gambar yang dimaksud itu adalah berupa perisai yang dinamainya Matahari-Bulan atau Syamsiah Kamariah (Arab), disebut juga Aditya Candra (Sangsekerta)[102]. Dalam gambar perisai itu terdapat gambar matahari terbit dengan lima sinar (artinya sumber kodrat Allah) yang menurunkan kebahagiaan pads tanah air clan bangsa Indonesia, ialah Pemerintahan berclasarkan Pancasila, dan 2 (dua) pohon kelapa lambang kesejahteraan dan kemakmuran di darat clan di laut. Sedangkan tujuh garis di air lautan (tujuh kepulauan Indonesia). Keseluruhan arti dan makna lambang ini menimbulkan kalimat matahari dilingkari kelapa dan bumi atau bulan yang merupakan cendra sengkala angka 1881 (tahun Masehi 1949), yaitu tahun kelahiran RIS, sebagaimana gambar dokumennya berikut ini:
Gambar 17
Gambar Lambang Negara Rancangan Mr Muhammad Yamin Yang ditolak Pemerintah sebagai dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam Buku Bung Hatta Menjawab, 1978 Hal 112 (Repro oleh Uun Mahdar Asmadi, 1985 dan oleh Penulis 1999 dan Rancangan Lambang Negara akhir oleh Mr Mohamma Yamin ini pernah diterbitkan oleh Majalah Intisari. No 205 "Garuda Pancasila Siapa Penciptanya" Agustus 1980. "Elang-Elang Lambang Negara", Intisari Cet I, Mei 1995.
Untuk melengkapi dokumen Gambar 12 diatas berikut ini file sketsa gambar lambang negara Muhammad Yamin hasil coretan tangan M. Yamin yang telah diserah ke Mas Agung 18 Juli 1974 yang direpro oleh U'Un Mahdar peneliti Lambang Negara dari sisi Undang-Undang Hak Cipta, tahun 1986 di Universitas Panjajaran Bandung dalam rangka makalah Hukum Tata Negara dibawah bimbingan Prof Dr Soemantri:
Gambar 18
Sketsa awal rancangan Lambang Negara RIS yang dirancang oleh Mr Mohammad Yamin, 1950 (Repro oleh U.un Mahdar Asmadi, 1985 UNPAD dan oleh Penulis, 1999)
Tersebar pendapat yang berkembang di masyarakat yang menyatakan Muhammad Yamin yang merancang Lambang Negara sebagaimana bentuknya seperti sekarang ini sempat mengecewakan Sultan Hamid II, sedangkan rancangan Muhammad Yamin tidaklah seperti bentuk gambarnya lambang negara pada saat ini, dokumen gambar diatas tentulah jauh dari bentuk lambang negara rancangan Sultan Hamid II, dan hal itu dijelaskan dalam transkripnya kepada Solichim Salam, 15 April 1967:[103]
" hanja sadja saja "kecewa" dengan kabar diluar jang menerka-menerka Mr.M.Yamin jang membuat lambang negara RIS, sedangkan file-file serta transkrip lambang negara Mr.M.Yamin jang pernah ditolak oleh pemerintah dan parlemen RIS ada ditangan Panitia Lambang Negara jang kemudian file-file lambang negara itu saja simpan dengan baik, sampai kemudian sekitar akhir 1966 saja selamatkan ke Istana Kadriah Pontianak, kemudian saja bawa kembali ke Djakarta sekitar awal 1967, saja titipkan kepada nona K.Irawati anak Syamsuddin Sutan Makmmur/pernah menteri penerangan periode 30 Djuni-12 Maret 1956 jang ketika itu satu ruangan pendjara bersama saja mendjadi tahanan politik, di rumah beliaulah di djalan Radio Dalam Djakarta Selatan tempat sementara saja tinggal setelah keluar dari pendjara, jang akhirnja semua file saja bersama file Mr.M Yamin diserahkan kepada sekretaris pribadi jang kebetulan tjutju saja Max Yusuf Al-Kadrie, hingga saat ini agar terselamatkan bagi bangsa ini.
Perlu dikemukakan, bahwa didalam Ensiklopedia Nasional Indonesia tidak ditegaskan secara tegas tentang siapa perancang lambang negara hanya disebutkan sebagai berikut: [104]
"Cikal bakal Garuda berawal ketika Muhammad Yamin menjadi Ketua Panitia Lencana Negara dengan anggota antara lain Sultan Hamid 11, yang pada waktu itu menjabat Menteri Negara dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat. Atas permintaan mereka dibuat beberapa lambang. Sebagian rencana gambar dan skesta lambang garuda dan lambang lain, yang menjadi cikal bakal lambang negara Republik Indonesia, kini masih tersimpan dengan balk. Sebuah rancangan menokohkan figur garuda dan agak mirip dengan lambang negara kita di dalam lingkaran sebelah atas tertulis dengan huruf latin perkataan Republik Indonesia Serikat. Burung garuda berdiri di atas sebuah bantalan bunga teratai (Padma). Kepala garuda digambarkan menurut contoh klasik dari candi-candi atau pahatan lain, kepala burung dengan rambut ikal, tangan garuda memegang perisai yang terbagi menjadi empat bidang. Di tengah perisai ada garis melintang yang menggambarkan khatulistiwa. Pada perisai, bidang kesatu, terlihat gambar banteng (lambang kekuatan, keberanian,dan keuletan) yang ke-2 (menurut arah jarum jam) pohon beringin (kekuataan hidup), ke-3 batang padi (lambang kemakmuran) dan ke-4 keris (lambang keadilan). Rancangan lain juga berbentuk bulat dengan garuda di atas bantalan teratai, hanya tak tampak jelas bahwa perisai itu dicengkram garuda sebab cengkramannya hanya sedikit menyembul di atas perisai. Garuda memakai mahkota, kalung dan anting-anting, sayap ke bawah, di tengah perisai terbagi empat bagian, dan di tengahnya masih ada tambahan satu perisai kecil bergambar banteng. Gambar dalam perisai adalah batang padi, pohon beringin, dan keris. Tulisan huruf Arab Melayu: berbunyi Republik Indonesia Serikat".
Jika mendasarkan keterangan Eksiklopedia Nasional Indonesia tersebut di atas, keterangan ini lebih merujuk kepada skesta awal lambang negara yang dibuat oleh Menteri Negara Sultan Hamid II berdasarkan dokumen yang diserahkan kepada H. Mas Agung 18 Juli 1974 dan ini semakin memperkuat, bahwa Sultan Hamid II sewaktu menjabat Menteri Negara tidak ada tugas lain yang dipercayakan oleh Presiders Soekarno selain membuat rencana lambang negara, seperti dinyatakan secara tegas oleh Sultan Hamid II dalam pleidoi yang dibacakannya pada Sidang Mahkamah Agung24) tanggal 23 Maret 1953:[105]
"Apakah yang harus kerjakan? Tindakan apa yang saya dapat ambil? Sebagai Menteri Negara saya hanya diserahi tugas menyiapkan Gedung Parlemen dan membikin rencana buat lambang negara. Sampai saya ditangkap (5 April 1950) dan kemudian ditahan tak ada tugas lain tugas saya!"
Berdasarkan hal yang dinyatakan oleh Sultan Hamid II dan kemudian dipertegas oleh Mohammad Hatta dalam Buku Bung Hatta Menjawab, 1978, hal 108 dan 112 dan kemudian juga dinyatakan oleh Akmal Sutja dalam buku sekitar Garuda Pancasila, 1986, hal 78-79 yang kemudian penulis teliti lebih lanjut dalam bentuk tesis pada program magister ilmu hukum UI, 1999 masih saat ini belum ada pengakuan resmi dari Pemerintah RI terhadap Sultan Hamid II sebagai perancang lambang negara dan ini merupakan salah satu agenda yang belum terwujud dalam Dialog Sejarah Hukum Lambang Negara yang diadakan oleh Pemda Prov Kal-Bar, Universitas Tanjungpura Pontianak, dan MPR, tahun 2000, walaupun dua agenda rekomendasi pada dialog nasional tersebut sudah terwujud, yaitu amandemen kedua Pasal 36 A UUD Negara RI dan materi muatan UU No 24 Tahun 2009, oleh karena itu kajian dalam makalah ini yang merupakan sebagian hasil penelitian yang mendalam dan melelahkan selalu disosialisasikan setiap moment kesejarahaan setiap tanggal 1 Juni dan 10 November oleh Peneliti dan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak.
Fakta sejarah sejarah hukum perancangan lambang negara masih sangat mungkin memancing berkembangmnya beragram perspektif sejarah, bahkan kontroversi sejarah, oleh karena itu penulis tidak menggunakan istilah "Pencipta" Lambang Negara, tetapi menggunakan istilah "Perancang" , karena istilah perancang lebih luas daripada pencipta, karena perancangan artinya sebuah kegiatan mendesain gambar lambang negara yang dirancang secara konvensional, artinya ada suatu kesepakatan/persetujuan dalam proses perancangannya walaupun sketsa awal hingga akhir dibuat oleh Sultan Hamid II tetapi gambarnya secara kenegaraan diajukan oleh Panitia Lambang Negara kepada Pemerintah RIS melalui Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta 10 Februari 1950 dan kemudian ditetapkan oleh Pemerintah dan Parlemen RIS pada tanggal 11 Februari 1950 berdasarkan pasal 3 ayat 3 Konstitusi RIS 1949: Pemerintah menetapkan materai dan Lambang Negara.
Proses selanjutnya kemudian oleh Dewan Menteri dibawah UUDS 1950 sebagai pelaksanaan pasal 3 ayat 3 Materai dan Lambang Negara ditetapkan oleh Pemerintah kemudian gambar tersebut menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 pasal 6 : Bentuk dan Warna perbandingan ukuran Lambang Negara Republik Indonesia adalah seperti terlukis dalam lampiran pada Peraturan Pemerintah ini serta selanjutnya berdasarkan perintah Pasal 36 C dijabarkan ke dalam UU No 24 Tahun 2009 (pasal 50) menjadi Lampiran resmi Undang-Undang tersebut, gambar dimaksud merupakan gambar yang dirancang secara alegoris, karena perancangannya sebagai hasil permufakatan yang dibuat atas dasar perpaduan simbol yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dengan syarat-syarat semiotika/semiologi oleh Sultan Hamid II selaku pribadi maupun dalam kapasitas Menteri Negara Zonder Forto Folio yang hanya mendapat dua tugas oleh Presiden Soerkarno, yaitu menyiapkan gedung parlemen dan membuat rencana lambang negara RIS.
Untuk melengkapi proses perancangan lambang negara rancangan Sultan Hamid II berikut ini file dokumen sketsa awal lambang negara coretan tangan dari Sultan Hamid II sebagai rencana gambar lambang negara yang meramu berbagai bahan masukan anggota Panitia Lambang Negara RIS, 1950:
Gambar 19
Sketsa awal Rancangan Lambang Negara Yang dibuat oleh Sultan Hamid II (Repro oleh Uun Mahdah Asmadi, 1985 dan oleh Penulis, 1999 dari Dokumen yang berada di Yayasan Mas Agung Jakarta, Tahun 2000 )
Coretan sketsa tangan Sultan Hamid II dan sketsa rencana perisai Pancasila adalah bukti sejarah atau file dokumen sejaman, bahwa lambang negara ini bukan hasil sayembara tetapi rancangan yang menggunakan berbagai bahan salah satunya adalah hasil-hasil sayembara tahun 1947[106] yang kemudian dirancang menghasilkan dua rancangan anak bangsa terbaik dan brilian, yaitu dari Sultan Hamid II yang bentuknya seperti gambar lambang negara sekarang ini dan diterima dan ditetapkan oleh Pemerintah dan Parlemen RIS kemudian satu lagi dari Muhammad Yamin yang ditolak oleh Pemerintah RIS karena terpengaruh Jepang, yaitu adanya sinar-sinar matahari.
Paparan ini sekaligus menanggapi pernyataan Asvi Warman Adam dalam bukunya Menguak Misteri Sejarah yang diterbitkan Kompas Juli 2010:[107]
"Kontrovesi berikutnya yang masih perlu dijelaskan ditengah masyarakat adalah siapa pencipta lambang negara Garuda Pancasila. Ada yang menyebutkan lambang ini dirancang Mohammad Yamin. Setelah era reformasi muncul klaim bahwa lambang negara itu diciptakan Sultan Hamid II. Ini terlihat pada tesis pascasarjana bidang hukum tata negara di UI, 1999 yang disusun Turiman Fachturahman Nur berjudul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara Dalam Peraturan Perundang-undangan) ...." Sebetulnya ada empat pihak yang berjasa dalam membuat lambang negara yang berasal dari gambar burung pada candi yang ada di Nusantara. Pertama, tentu Panitia Len cana Negara yang dibentuk 10 Januari 1950 dibawah koordinator Menteri Negara Zonder Fortio Folio Sultan Hamid II dengan susunan Panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki hajar Dewantaroro, M .A Pellapussy. M. Natsir, dan R.M Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah Menurut Bung Hatta untuk diadakan sayembara. Pelukis Lekra, Basuki Resobowo mengaku mengirimkan lukisannya dan menang dalam sayembara tersebut. Perlu diperiksa arsip gambar-gambar yang dikirimkan kepada Panitia tersebut. Jadi kelompok kedua yang berjasa adalah para peserta sayembara yang salah satunya mungkin Basuki Resobowo. Perlu diingat bahwa proses ini terjadi pada masa RIS (Republik Indonesia Serikat) dan kita ketahui bahwa sejak Agustus 1950 negara-negara bagian yang ada pada RIS itu telah melebur ke pangkuan ibu pertiwi RI (Republik Indonesia) Dalam usulan awal lambang itu tercantum kata Republik Indonesia Serikat pada lingkaran sekeliling Garuda. Pihak Ketiga tentulah Presiden Soekarno yang menilai dan memutuskan pada tahap akhir, gambar yang dipilih sebagai lambang negara. Kelompok empat adalah pelukis yang diminta bantuan sebagai konsultan oleh Presiden yakni D.Ruhr Jr dan pelukis istana Doellah yang menggambar kembali lambang tersebut sebagai diminta Soekarno. Lihat Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Sejarah, Kompas, Jakarta, Juli. 2010.hlm 211-213. lambang negara, sedangkan kajian sejarah secara metodologi harus dibuktikan dengan dokumen sejaman.
Pernyataan Asvi Warman Adam tersebut di atas menurut penulis adalah ketidak pahaman atau minim informasi tentang proses sejarah hukum perancangan lambang negara RIS, dan hal ini bertentangan dengan kronologis sejarah hukum lambang negara yang diteliti oleh penulis, karena Asvi Warman Adam pernyataannya tidak didukung dengan bukti-bukti file dokumen lambang negara baik rancangan Sultan Hamid II maupun rancangan Muhammad Yamin mulai dari sktesa awal hingga akhir gambar sebagai pernyataan Mohammad Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab, Gunung Agung, 1978, halaman 108 dan 112 yang telah dipaparkan penulis sebelumnya.
Penelitian sejarah harus dapat dibuktikan dengan dokumen file sejaman ,artinya ketika ada keterangan atau pernyataan dalam referensi/literatur/buku-buku yang berkaitan dengan proses sejarah hukum lambang negara, misalnya seperti pernyataan A.G Pringgodigdo dalam bukunya Sekitar Pancasila yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan keamanan, Pusat Sejarah ABRI, 1978 halaman 6, bahwa Lambang negara pada waktu diresmikan burung Garuda kepala "gundul", tidak pakai "jambul" yang ditetapkan 11 Februari 1950 dan kemudian berubah dalam lambang negara kesatuan Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 tanggal 17 Oktober 1951 dan atau pernyataan Mohammad Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab, 1978 halaman 108 bahwa lambang negara yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika itu kemudian diperkuat dengan lambang yang dibuat oleh Sultan Abdul Hamid Pontianak dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Februri 1950, dan atau pernyataan Mohammad Yamin dalam Buku 6000 Tahun Sang Merah Putih, 1954 pada halaman 168, maka pernyataan itu harus bisa dibuktikan dengan file dokumen lambang negara sejaman, oleh karena itu Asvi Warman Adam tidak dapat menyatakan bahwa sebetulnya ada empat pihak yang berjasa dalam membuat lambang negara yang berasal dari gambar burung garuda pada candi yang ada di Nusantara dan empat pihak dimaksud Asvi Warman Adam adalah pertama, Panitia Lambang Negara (Lencana negara), kedua para peserta sayembara yang salah satunya Basuki Resobowo, pihak ketiga Presiden Soekarno yang menilai dan memutuskan pada tahap akhir, gambar yang dipilih sebagai lambang negara, keempat adalah pelukis yang diminta bantuan sebagai konsultan oleh Presiden yakni D.Ruhr.Jr dan pelukis Dullah yang menggambar kembali lambang tersebut sebagaimana diminta Soekarno, karena semua yang dinyatakan itu merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam proses perancangan sejarah hukum lambang negara RIS.
Pernyataan Asvi Warman Adam sebagaimana dalam buku tersebut, menurut penulis perlu dibuktikan dengan berbagai file dokumen lambang negara, artinya selama belum ada penelitian yang dapat dipercaya, maka pernyataan Asvi Warman Adam adalah pernyataan yang justru "kontroversi" dan menurut penulis perlu dijelaskan ditengah masyarakat/publik dan para penstudi sejarah hukum, karena tidak didukung bukti sejaman. Mengapa demikian pembimbing utama tesis penulis sendiri Prof DR Dimyati Hartono, SH, sering mengingatkan pada penulis ketika menulis hasil penelitian tesis tersebut, bahwa jika pada sejarah itu tidak terdapat peran seseorang maka tak boleh dimasukan, begitu pula sebaliknya jika seseorang itu berperan maka tidak boleh dihilangkan perannya. Itulah saran beliau, bahwa dalam penulisan sejarah tidak boleh terjadi kesalahan karena berkaitan dengan kehidupan bangsa. "Karena ini menyangkut sejarah maka tidak boleh ada kesalahan"[108]
Berdasarkan peristiwa sejarah diatas, berikut ini disusun secara urutan atau kronologis historisitas perancangan lambang negara berdasarkan pendekatan sejarah hukum ketatanegaraan Indonesia dengan penelusuran dokumen dan literatur serta hasil wawancara berikut ini disusun kronologis sejarah hukum perancangan lambang negara:[109]
1. Sebelum Indonesia Merdeka tepatnya tanggal 13 Juli 1945 dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, salah satu Panitia (Parada Harahap) mengusulkan tentang lambang negara. Usul tersebut disetujui oleh semua anggota, dan sepakat akan dibahas tersendiri kemudian, dalam bentuk Undang-undang Istimewa yang mengatur tentang lambang negara.
2. Tahun 1945 sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, dibentuk Panitia Indonesia Raya, diketuai oleh Muhammad Yamin dan sekretaris Ki Hajar Dewantoro, panitia ini bertugas menyelidiki arti lambang-lambang dalam peradaban bangsa Indonesia sebagai langkah awal untuk mempersiapkan bahan kajian tentang lambang negara. Panitia ini sudah melakukan tugas, yaitu data lambang-lambang burung Baruda yang berada di candi-candi di pulau Jawa. Data-data inilah kemudian yang dipakai sebagai bahan dasar untuk menjawab permintaan Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara RIS yang ditunjuk untuk merencanakan lambang negara atas permintaan dan kepercayaan Presiden Soekarno kepada Sultan Hamid II.
3. Tahun 1947 diadakan sayembara rancangan lambang negara oleh Pemerintah yang diadakan oleh kementerian penerangan melalui organisasi seni Lukis seperti SIM (Seniman Indonesia Muda) Pelukis Rakyat) dalam catalog pameran Haris Purnomo 2006, yang bertajuk “Dibawah Sayap Garuda” terdapat ulasan Hendro Wiyanto selaku kurator yang mengulas perihal sayembara tersebut dengan judul: Tanda Lambang Garuda” 1951 yang berisi komentarnya tentang hasil rancangan sejumlah pelukis yang telah menuangkan gagasannya kedalam bentuk lambang negara, namun sayang sekali, menurut Oesman kebanyakan pelukis kurang paham hukum-hukum kesejarahan dari tanda lambang negara. Hasilnya tidak satupun dari rancangan lambang negara Garuda Pancasila hasil lomba tersebut seperti yang kita kenal seperti sekarang ini.
4. Tahun 1949 tepatnya tanggal 30 Desember 1949 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat No 2 Tahun 1949 Sultan Hamid II diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Forto Polio. Dalam kedudukan tersebut, Sultan Hamid II dipercayakan untuk melakukan perancangan gambar lambang negara.
5. Dalam melaksanakan tugas yang dipercayakan oleh Presiden Soekarno, Sultan Hamid II secara pribadi mempersiapkan rancangan lambang negara dengan bentuk dasar burung Garuda yang memegang perisai.
6. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Mas Agung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan: “Ide Perisai Pancasila” itu muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Beliau (Sultan Hamid II) teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara tersebut melambangkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia. Inilah saat momen bersejarah dalam proses perancangan lambang negara Indonesia, dimana sila-sila dari dasar negara yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.
7. Berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) 1949 Pasal 3 ayat 3: Pemerintah menetapkan meterai dan lambang negara. Pada sidang kabinet kedua tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara (Lambang Negara) di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan Panitia Teknis: Muhammad Yamin (Ketua), Ki Hajar Dewantoro (anggota), M.A. Pellaupessy (anggota), Moh. Natsir (anggota), R.M. Ng Purbatjaraka (anggota). Panitia ini bertugas menyeleksi/ menilai usulan-usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
8. Merujuk keterangan Mohammad Hatta (buku Bung Hatta Menjawab) untuk melaksanakan keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara lambang negara. Hasil sayembara itu ada 2 (dua) gambar rancangan lambang negara yang terbaik, yaitu dari Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin dalam proses selanjutnya yang diterima oleh Pemerintah dan DPR adalah hasil rancangan Sultan Hamid II. Adapun yang dari Muhammad Yamin ditolak, karena ada sinar-sinar matahari dan menampakkan sedikit banyak disengaja atau tidak, pengaruh Jepang.
9. Setelah terpilihnya rancangan lambang negara rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II oleh Pemerintah, proses selanjutnya adalah dialog intensif antara perancang lambang negara (Sultan Hamid II) dengan Presiden RIS: Soekarno dan Perdana Menteri: Mohammad Hatta untuk menyempurnakan rancangan tersebut.
7. Masukkan penyempurnaan pertama sebagaimana dinyatakan Mohammad Hatta (Buku Bung Hatta Menjawab) dan Sultan Hamid II (transkip rekaman dialog Sultan Hamid II dan Mas Agung, 1974) ialah adanya kesepakatan beliau bertiga (Sultan Hamid II, Presiden Soekarno, Mohammad Hatta) memenuhi usulan Presiden Soekarno: mengganti pita yang dicengram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan seloka “Bhinneka Tunggal Ika”, sebab warna merah putih dianggap sudah terwakili dalam warna dasar perisai Pancasila rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II tersebut.
8. Tanggal 26 Januari 1950 Ki Hajar Dewantoro (Dari Yogyakarta) mengirim surat kepada sekretaris dewan Menteri RIS (Z Yahya) yang isinya menunjuk Muhammad Yamin untuk memberikan masukan mewakili beliau kepada Panitia Lambang Negara dan surat turunannya telah disampaikan kepada Menteri Negara RIS Sultan Hamid II tanggal 1 Februari 1950 No. XXX/ 202, Perihal Panitia Lambang Negara.
9. Tanggal 8 Februari 1950 rancangan final lambang negara yang di buat Menteri Negara RIS Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari suatu Partai Islam (Masyumi) untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambaran burung Garuda dengan lengan dan bahu manusia yang memegang perisai, karena dianggap bersifat mitologis khayalan.
10. Tanggal 10 Februari 1950 mernteri negasra RIS Sultan Hamid II mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali- Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Di sini burung Garuda digambarkan dalam bentuk alami menyerupai Rajawali yang perkasa, dan Perisai Pancasila digantungkan menempel pada dada Rajawali Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Perdana Menteri RIS, yaitu Moh. Hatta.
11. Tanggal 11 Februari 1950 rancangan lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS Sultan Hamid II diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS yang dipimpin oleh Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta. Ketika itu gambar bentuk kepada Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul" dan "tidak berjambul" atau bentuk belum seperti sekarang ini, sebagaimana diterangkan oleh A.G Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI.
12. Tanggal 11 Februari 1950 inilah secara resmi saat pertama bangsa Indonesia mempunyai lambang negara, yang diberi nama Bhineka Tunggal Ika yang merupakan karya kebangsaan bersama dari anak-anak bangsa terbaik yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang dengan baik, oleh seorang anak bangsa Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.
13. Tanggal 15 Februari 1950, Presiden Soekarno memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta.
14. Tanggal 20 Februari 1950, lambang negara yang dirancang Menteri Negara RIS Sultan Hamid II dan juga sebagai Koordinator Panitia Lambang Negara, sudah terpasang di dalam ruang sidang Parlemen RIS Istana Merdeka Penjambon Jakarta yang dibuka oleh Presiden Soekarno.
15. Akhir Februari 1950, Sultan Hamid II mendapat saran dari Presiden Soekarno untuk menyempurnahkan kembali bentuk kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang terlihat “gundul” menjadi “berjambul” seperti bentuk alamiah burung Rajawali.
16. Sekitar awal Maret 1950, Sultan Hamid II mengajukan kembali lukisan lambang negara yang sudah diperbaiki. Gambar tersebut masih dapat masukan dari Presiden Soekarno tentang bentuk cakar kaki yang mencengkram pita yang menghadap ke belakang. Penyempurnaan yang dilakukan Sultan Hamid II hanya tinggal merubah bentuk cakar kaki sehingga menghadap ke depan, bagian lain sudah sama seperti gambar lambang negara sekarang ini.
17. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara rancangan Sultan Hamid II yang telah diperbaiki diajukan kepada Presiden Soekarno dan mendapat disposisi persetujuan Presiden Soekarno. Kemudian Presiden Soekarno memerintahkan pelukis istana bernama Dullah untuk melukis kembali gambar tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II, seperti yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini
18. Setelah mendapat disposisi persetujuan dari Presiden Soekarno (20 Maret 1950), untuk terakhir kalinya Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambahkan skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara (lukisan otentiknya sudah diserahkan kepada H. Mas Agung, Yayasan Idayu Jakarta).
19. Tanggal 5 April 1950, Sultan Hamid II Menteri Negara Zonder Forto Polio dijemput (untuk keperluan penyidikan) oleh Jaksa Agung di Hotel Des Indes yang kemudian dikenal dengan “Peristiwa Sultan Hamid II”.
20. Sejalan dengan semangat perjuangan Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Mosi M. Natsir, dkk (kembali ke Negara Kesatuan RI) diterima oleh Parlemen RIS. Bangsa Indonesia kembali kepada semangat sejati Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 melalui pernyataan konstitusional kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia terhitung sejak tanggal 17 Agustus 1950.
21. Tanggal 10 Juli 1951, Dewan Menteri mengadakan rapat mengenai pengaturan lambang negara, yaitu racangan Peraturan Pemerintah yang mengatur lambang negara berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
22. Tanggal 17 Agustus 1951, lambang negara dimasyarakatkan pemakaiannya di seluruh negara Kesatuan Republik Indonesia dan gambarnya disebarluaskan keseluruh pelosok tanah air.
23. Tanggal 17 Oktober 1951 Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjoyo menetapkan Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 tentang lambang negara, pada Pasal 2, 3 ditetapkan, bahwa warna, perbandingkan ukuran dan bentuk lambang negara adalah seperti ditentukan dalam Pasal 6, yaitu seperti terlampir dalam Peraturan Pemerintahan tersebut.
24. Tanggal 28 November 1951, Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 diundangkan oleh Menteri Kehakiman: M Nasroen dalam Lembaran Negara No 111 dan penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara No 176 Tahun 1951. Sejak saat itu secara yuridis formal gambar lambang negara rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II seperti terlampir dalam Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 secara resmi menjadi lambang negara kesatuan Republik Indonesia.
25. Tanggal 30 Mei 1958, Dewan Menteri mengadakan rapat yang ke 107 mengenai rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penggunaan Lambang Negara.
26. Tanggal 5 Juni 1958, Muhammad Yamin dalam kapasitas sebagai mantan Panitia Lambang Negara, dalam suatu kesempatan pidato di Istana Negara yang dihadiri para Menteri serta Dewan Nasional menjelaskan arti dan makna simbol-simbol dalam perisai Pancasila pada lambang negara rancangan Menetri Negara RIS Sultan Hamid II.
27. Tanggal 26 Juni 1958, Presiden Republik Indonesia Soekarno dan Perdana Menteri Juanda menetapkan Peraturan Pemerintah No 43 tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara.
28. Tanggal 19 Juli 1958, Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara diundangkan oleh Menteri Kehakiman : GA Maengkom pada Lembaran Negara No 71 Tahun 1958 dan penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara No 1636 Tahun 1958.
29. Tanggal 22 Juli 1958 Presiden Soekarno memberikan pidato yang berkaitan dengan lambang negara di istana Negara, yang intinya antara lain kegagahan Burung Rajawali Garuda Pancasila, dan berkaitan Lambang Negara dengan dasar negara Pancasila.
30. Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden yang isinya kembali ke UUD 1945. Berdasarkan Peraturan Peralihan Pasal II UUD 1945, Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 dan No 43 Tahun 1958 tetap diberlakukan.
31. Tahun 1966 file dokumen skesta dan gambar lambang negara rancangan Menteri Negara Sultan Hamid II diambil kembali dari Nyonya Rini (Isteri kedua Sultan Hamid II) kemudian dititipkan kepada keluarga Syamsuddin Sutan Makmur (mantan Menteri Penerangan Periode 30 Juni 1953-12 Maret 1956), Kemudian disimpan dengan balk oleh Ibu K. Irawati salah satu putri Syamsuddin Sutan Makmur.
32. Tahun 15 April 1967 Sultan Hamid II menjelaskan tentang perancangan Lambang Negara Rajawali Garuda Pancasila kepada Solichim Salam wartawan Berita Buana yang intinya adalah bahwa Lambang Negara yang dirancang adalah mempresentasikan ide Pancasila dan merupakan Lambang Negara RIS yang ditetapkan 11 Februari 1950 dan juga menjelaskan tentang perjalanan sejarah file lambang negara.
33. Tahun 1972 file dokumen Lambang Negara diambil oleh Sultan Hamid II dari lbu K. Irawati dan diserahkan kepada Max Yusuf Alkadrie yang pada waktu itu dipercayakan sebagai sekretaris pribadi Sultan Hamid II (1968-1978).
34. Tanggal 18 Juli 1974 sebagian file dokumen gambar lambang negara yang dibuat Sultan Hamid II diserahkan kepada H Mas Agung (Ketua Yayasan Idayu), Jln Kwitang No 24 Jakarta Pusat.
35. Tanggal 12 Agustus 1978 terbit hasil wawancara Z. Yasni dengan Mohammad Hatta dengan Judul "Bung Hatta menjawab". Pada hal 108, dan 112 secara tegas Mohammad Hatta (Mantan Perdana Menteri RIS) menyatakan bahwa Sultan Hamid II Menteri Negara RIS yang membuat lambang negara dan gambar rancangan menteri Negara Sultan Hamid II yang diterima oleh Pemerintah dan DPR.
36. Tahun 1985 U'Un Mandar Asmadi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung investigasi dan melakukan kajian akademis tentang sejarah hukum proses penciptaan lambang negara dalam kaitannya dengan undang-undang Hak Cipta, yang dibimbing oleh Sri Soemantri. Hasil investigas membuktikan kebenaran pernyataan Mohammad Hatta, sepanjang tidak ada bukti baru yang menganulirnya.
37. Tahun 1986 terbit buku berjudul ."Sekitar Garuda Pancasila" karangan Akmal Sutja yang mana pada halaman 79 beliau menyatakan bahwa membenarkan pendapat Mohammad Hatta, yang menyatakan, bahwa yang merancang gambar lambang negara adalah Sultan Hamid II, dalam kedudukan sebagai Menteri negara RIS sampai dengan adanya penelitian lebih lanjut
38. Tahun 1994 Universitas Tanjungpura Pontianak Khususnya Mimbar Untan yang diketuai oleh Syafaruddin MHD melakukan investigasi tentang perancangan lambang negara oleh Menteri Negara RIS Sultan Hamid II kepada keluarga Istana Kadriyah Pontianak (kerabat Sultan Hamid II) dan para pemuka masyarakat setempat dan mendapat repro dokumen file Lambang Negara rancangan Sultan Hamid II yang disposisi Presiden Soekarno, 20 Maret 1950.
39. Tahun 1996 Turiman Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, program kekhususan Hukum Dan Kehidupan Kenegaraan: asal Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak lebih lanjut melakukan penelitian lebih mendalam dalam bentuk tesis berjudul : SEJARAH HUKUM LAMBANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Suatu Analis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara Dalam Peraturan Peru ndang -undangan) di bawah bimbingan Prof, DR .H. Dimyati Hartono,SH
40. Tahun 1999 tepatnya hari Rabu Tanggal 11 Agustus 1999 dihadapan Sidang Penguji, Prof DR. Azhari, SH, Prof Dr Koesnadi Hardjasoemantri, SH,ML. Prof Dr Dimyati Hartono,SH,MH, berhasil mempertahankan tesisnya yang berjudul SEJARAH HUKUM LAMBANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Suatu Analis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara Dalam Peraturan Perundang-undangan).
41. Tanggal 2-3 Juni Tahun 2000 diadakan Dialog Nasional Lambang Negara di Kal-Bar di Hotel Kapuas Palace yang dihadiri oleh PAH I Amandemen UUD 1945 MPR-RI dan Ketua MPR,DPR RI Akbar Tanjung, elemen masyarakat Kalimantan Barat dan Pemerintah Daerah serta Universitas Tanjungpura berdasarkan dialog nasional Lambang Negara yang mengacu pada hasil penelitian Tesis tersebut diajukan menjadi rumusan amandemen kedua UUD 1945 dengan menambah pasal 36 menjadi pasal 36 A dengan rumusan: Lambang Negara Ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
42. Tanggal 9 Juli 2009 Presiden Republik Indonesia: Susilo Bambang Yudoyono melalui Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Andi Mattalatta mengundangkan UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5035 yang mengacu pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mempertegas pada Pasal 36 A: Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
D. Pembacaan Pancasila Berdasarkan Semiotika Hukum Pancasila Dalam Lambang Negara RI
Pembacaan Pancasila alternatif yang ditawarkan penulis adalah model Pancasila "berThawaf", yaitu memahami konsep Pancasila dengan pendekatan semiotika hukum pada simbolisasi Pancasila pada perisai Pancasila dalam Lambang Negara rancangan Sultan Hamid II, sehingga pemahaman konsep Pancasila memunculkan pluralisme pandangan, artinya tidak hanya pandangan hirarkis piramida yang cenderung beraraskan positivisme sebagaimana pola pikir sebagian besar para penstudi hukum pahami selama ini.
Pada sisi metodologi analisis kajian ini intuisi teoeritiknya dibangun dengan menangkap fenomena apa adanya dari alam dan secara menyeluruh tanpa campur tangan dan manipulasi dari pengamat atau periset. Dengan setting yang alamiah metode yang paling tepat digunakan adalah metode kualitatif. Artinya teori muncul berdasarkan data yang ada, bukan dibuat sebelumnya sebagaimana yang terdapat pada penelitian kuantitatif dalam bentuk hipotesis. Sedangkan metode pengumpulan data dilakukan melalui proses hermeunistik dan dialektis yang difokuskan pada analisis suatu konsep hukum alam rasional relegiositas. Dalam hal ini peneliti akan menggunakan proposisi ilahiah dengan menggunakan metode struktur dan format Al-Qur'an (MSFQ)[110] dalam memaparkan konsep Thawaf.
Implikasi aksiologisnya adalah pertama, bahwa konsep thawaf pada semiotika hukum Pancasila jelas akan berbeda dengan konsep Pancasila yang tersusun secara hirarkis piramida. Kedua, Penafsiran Pancasila tidak hanya dianalisis dari paradigma positivisme tetapi Penafsiran Pancasila tetapi bisa memilih pandangannya spiritualisme dan berdimen psikologis yang berakar pada jatidiri bangsa Indonesia, agar tidak berkesan sekuler. Kedua implikasi tersebut bermanfaat dalam menganalis bernegara hukum kebangsaan Indonesia yang bermoral, atau disingkat konsep negara hukum bermoral.
Berdasarkan paparan di atas, berikut ini kita kutip transkrip Sultan Hamid II ketika menjelaskan perisai Pancasila dalam lambang negara, Rajawali –Garuda Pancasila, menyatakan: [111]
Ada tiga konsep lambang sekaligus, jakni pertama, burung Radjawali-Garuda Pantja-Sila jang menurut perasaan bangsa Indonesia berdekatan dengan burung garuda dalam mitologi, kedua perisai idee Pantja-Sila ber"thawaf"/gilir balik, dan ketiga, seloka Bhinneka Tunggal Ika jang tertulis dalam pita warna putih
Kemudian pada bagian lain Sultan Hamid II menyatakan: [112]
"... patut diketahui arah simbolisasi ide Pantja-Sila itu saja mengikuti gerak arah ketika orang "berthawaf"/ berlawanan arah djarum djam/"gilirbalik" kata bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke simbol sila kedua dan seterusnja, karena seharusnja seperti itulah sebagai bangsa menelusuri/ menampak tilas kembali akar sedjarahnja dan mau kemana arah bangsa Indonesia ini dibawa kedepan agar tidak kehilangan makna semangat dan "djatidiri"-nja ketika mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanja, seperti berbagai pesan pidato Paduka Jang Mulia disetiap kesempatan. Itulah kemudian saja membuat gambar simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep berputar-gerak "thawaf"/gilir balik kata bahasa Kalimantan sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun kedepan perdjalanan bangsa Indonesia yang kita tjintai ini.
Selanjutnya pada bagian lain Sultan Hamid II menjelaskan tentang konsep thawaf pada perisai Pancasila :[113]
" ... Falsafah "thawaf" mengandung pesan, bahwa idee Pantja-Sila itu bisa didjabarkan bersama dalam membangun negara, karena ber"thawaf" atau gilir balik menurut bahasa Kalimantannja, artinja membuat kembali-membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada sasaran jang djelas, jakni masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan rukun dan damai, begitulah menurut Paduka Jang Mulia Presiden Soerkarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja, jakni membangun negara jang bermoral tetapi tetap mendjunjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada sanubari rakjat bangsa di belahan wilajah negara RIS serta tetap memiliki karakter asli bangsanja sesuai dengan "djatidiri" bangsa/adanja pembangunan "nation character building" demikian pendjelasan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja.
Berdasarkan tiga penjelasan Sultan Hamid II tentang konsep thawaf dalam perisai Pancasila dalam lambang negara di atas, maka secara tersirat dan tersurat, bahwa dari lima Sila pada konsep Pancasila menurut Sultan Hamid II berdasarkan pesan Presiden Soekarno, yaitu :[114]
"....Adanja dua lambang perisai besar diluar dan perisai jang ketjil ditengah, karena menurut pendjelasan Mr. Mohammad Hatta jang terlibat dalam panitia sembilan perumusan Pantja-Sila 1945 ketika pertukaran fikiran dalam Panitia Sembilan pada pertengahan Juni 1945, dari lima sila Pantja Sila jang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau adalah sila pertama Ketoehanan Yang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa bertahan madju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pedjuang bangsa jang bermartabat/ berprikemanusiaan jang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian jang adil dan beradab, setelah itu membangun persatuan Indonesia sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat, pada langkah berikutnja baru membangun parlemen negara RIS jang demokratis dalam permusyawaratan/ perwakilan, karena dengan djalan itulah bisa bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, jakni dari rakjat, untuk rakjat oleh rakjat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Jang Maha Esa. Atas pendjelasan Perdana Menteri RIS itu, kemudian perisai ketjil ditengah saja masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur Tjahaya bintang bersudut segilima
Mengacu pada penjelasan Sultan Hamid II diatas, jika kita hubungkan dengan simbolisasi Pancasila pada sila-sila dalam Perisai Pancasila pada lambang negara Rajawali –Garuda Pancasila baik pada ciptaan pertama 8 Februari 1950 maupun ciptaan kedua 10- 11 Februari 1950 dengan perbaikannya yang disposisi Presiden Soekarno dan kemudian dilukis kembali oleh Dullah, 20 Maret 1950 sampai dengan konsep lambang negara terakhir akhir Maret 1950 sebagaimana menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 dan UU No 24 Tahun 2009, terlihat bahwa perumusan simbolisasi sila-sila Pancasila menggunakan model arah thawaf itulah penulis sebut sebagai Paradigma Thawaf sebagai paradigma alternatif penafsiran semiotika hukum Pancasila.
Konsep semiotika hukum Pancasila ber"thawaf' berdasarkan transkrip Sultan Hamid II dimulai pada Sila Pertama, kemudian memancar kepada semua Sila, karena Sila pertama dimasukan kedalam perisai kecil yang ada ditengah perisai besar yang terbagi menjadi empat ruang yang dibelah oleh garis equator/khatulistiwa. Arah thawaf pada simbolisasi pada perisai Pancasila itu dimulai dari Sila kedua kanan bawah, yang disimbolisasikan dengan tali rantai yang terdiri dari 17, yaitu mata bulatan dalam rantai digambar berjumlah 9 sebagai simbolisai perempuan dan mata pesagi yang digambar berjumlah 8 simbolisasi laki-laki[115] kemudian berputar/thawaf arah kekanan atas Sila Ketiga dilukiskan pohon astana /pohon beringin simbolisasi tempat berlindung, kemudian berputar/thawaf ke arah kiri atas yaitu Sila Keempat yang disimbolkan kepala banteng sebagai simbolisasi tenaga rakyat, kemudian berputar/thawaf kearah kiri bawah ke Sila Kelima, yang dilukiskan dengan kapas dan padi sebagai tanda tujuan kemakmuran.[116]
Secara semiotika lambang dapat dilihat pada gambar berikut ini: [117]
Gambar 20
Konsep Semiotika Hukum Pancasila "Berthawaf" Dalam Lambang Negara
Terhadap konsep berthawaf diatas penafsiran Sultan Hamid II menyatakan:
".. lima sila Pantja Sila jang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau adalah sila pertama Ketoehanan Yang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa bertahan madju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pedjuang bangsa jang bermartabat/ berprikemanusiaan jang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian jang adil dan beradab, setelah itu membangun persatuan Indonesia sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat, pada langkah berikutnja baru membangun parlemen negara RIS jang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan djalan itulah bisa bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia, jakni dari rakjat, untuk rakjat oleh rakjat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Jang Maha Esa. Atas pendjelasan Perdana Menteri RIS itu, kemudian perisai ketjil ditengah saja masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur Tjahaya bintang bersudut segilima.[118]
Berdasarkan penjelasan Sultan Hamid II diatas, bahwa Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah terpenting sebagai pertahanan bangsa, mengapa karena dengan sila kesatu, bangsa Indonesia bisa bertahan maju kedepan, makna yang tersirat dan tersurat, adalah landasan moral relegius, artinya: Pancasila pada hakekatnya adalah negara kebangsaan yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Landasan pokok sebagai pangkal tolak., paham tersebut adalah Tuhan adalah Sang Pencipta segala sesuatu Kodrat alam semesta, keselarasan antara mikro kosmos dan makro kosmos, keteraturan segala ciptaan Tuhan Yang Maha Esa kesatuan saling ketergantungan antara satu dengan lainnya, atau dengan lain perkataan kesatuan integral [119] kemudian menurut Sultan Hamid II dengan bertahan maju kedepan untuk membangun generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang bermartabat/ berprikemanusiaan yang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian yang adil dan beradab, pada langkah berikutnya jika sila kesatu dan kedua bisa diselaraskan, maka setelah itu membangun persatuan Indonesia, yaitu sila ketiga, mengapa demikian, karena hanya dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS (baca antar daerah dalam Republik Indonesia) inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat dan pada langkah berikutnya baru membangun parlemen negara RIS (baca DPR, DPRD) jang demokratis dalam permusyawaratan/perwakilan, karena dengan jalan itulah bisa bersama-sama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yakni dari rakyat, untuk rakyat oleh rakyat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa. Atas penjelasan Perdana Menteri RIS (baca Mohammad Hatta) itu, kemudian perisai kecil ditengah saya masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur cahaya bintang bersudut segilima.
Hal demikian apa artinya? bahwa setiap individu yang hidup dalam suatu bangsa adalah sebagai mahluk Tuhan, maka bangsa dan negara sebagai totalitas yang integral adalah Berketuhanan, demikian pula setiap warga negara juga Berketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata lain negara kebangsaan Indonesia adalah negara yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab, yaitu Negara Kebangsaan yang membangun generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang bermartabat/ berprikemanusiaan atau generasi penerus/kader-kader pejuang bangsa yang memelihara budi pekerti kemanusian yang luhur dan memegang teguh cita-cita rakyat yang luhur, yang berarti bahwa negara menjunjung tinggi manusia sebagai mahluk Tuhan, dengan segala hak dan kewajibannya.
Dengan demikian jika sudah ada kesadaran akan hak dan kewajibannya menjadi sebuah kesadaran setiap warga negaranya, maka akan mampu membangun persatuan Indonesia, karena hanya dengan bersatulah dan perpaduan antar antar daerah dalam Republik Indonesia, tentunya mendjadi kuat dan pada langkah berikutnya baru membangun parlemen DPR, DPRD yang demokratis dalam permusyawaratan/ perwakilan, karena dengan jalan itulah bisa bersama-sama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yakni dari rakyat, untuk rakyat oleh rakyat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa. artinya setiap umat beragama memiliki kebebasan untuk menggali dan meningkatkan kehidupan spiritualnya dalam masing-masing agama, dan para pemimpin negara wajib memelihara budi pekerti yang luhur serta menjadi teladan bagi setiap warga negara berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Pada tataran yang demikian itu, berarti Sila Pertama Pancasila sebagai dasar filsafat negara: Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh karena itu pada simbolisasi didalam perisai ditempatkan ditengah berupa Nur Cahaya berbentuk bintang yang bersudut lima, maknanya adalah bahwa Sila pertama ini menerangi semua empat sila yang lain atau menurut Mohammad Hatta, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan yang baik bagi masyarakat dan penyelenggara negara. Dengan dasar sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini, maka politik negara mendapat dasar moral yang kuat, sila ini yang menjadi dasar yang memimpin ke arah jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan [120]
Hakekat Ketuhanan Yang Maha Esa secara ilmiah filosofis mengandung nakna terdapat kesesuaian hubungan antara Tuhan, Manusia dengan negara. Hubungan tersebut baik bersifat langsung maupun tidak langsung. Manusia kedudukan kodratnya adalah sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu harus mampu membangun tiga hubungan yang sinergis, yaitu antara Manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam kaitannya dengan konsep Pancasila dalam penjabaran kedalam peraturan perundang-undangan, maka secara material nilai Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sumber bahan dan sumber nilai bagi hukum positif Indonesia, dalam pengertian ini Pembukaan UUD 1945 terdapat nilai-nilai hukum Tuhan (alinea III), hukum kodrat (alinea I), hukum etis III) nilai-nilai hukum itu merupakan inspirasi dalam memformulasikan materi muatan peraturan perundang-undangan.[121]
Berdasarkan konsep thawaf Pancasila tersebut, maka Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sebuah perisai atau pertahanan sebuah bangsa, karena selaras makna perisai atau tameng itu sendiri yang sebenarnya dikenal oleh kebudayaan dan peradaban Indonesia sebagai senjata dalam perjuangan mencapai tujuan dengan melindungi diri dan perkakas perjuangan yang sedemikian dijadikan lambang, wujud dan artinya tetap tidak berubah-ubah, yaitu lambang perjuangan dan perlindungan, artinya dengan mengambil bentuk perisai, maka Republik Indonesia berhubungan langsung dengan peradaban Indonesia asli[122]
Secara semiologi perisai yang berbentuk jantung itu, ditengah terdapat sebuah garis hitam tebal yang maksudnya melukiskan khatulistiwa/equator. Lima buah ruang pada perisai itu mewujudkan masing-masing dasar Panca-Sila, dan apabila kita menggunakan semiotika teks hukum kenegaraan, maka secara semiotika lambang ada dua konsep thawaf/ atau berputar atau menurut Sultan Hamid II menggunakan istilah Berthawaf dan atau Gilir Balik.
Konsep Pancasila Berthawaf mengacu pada rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu seperti thawafnya manusia mengelilingi Ka'bah (Baitullah), yaitu dari kanan kekiri atau berlawanan dengan arah jarum jam, inilah simbolisasi tasbihnya manusia kepada Sang Pencipta manusia dan alam semesta, karena Ka’bah menurut Al-Qur’an dalam hal ini Qur'an sebagai hudalinas (QS 3 ayat 138) ada 6 (enam) istilah (1) Ka'bah, “Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai PUSAT (peribadatan dan urusan dunia) BAGI MANUSIA (QS 5 (Al-Maa’idah) Ayat 97) Al Bait “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk TEMPAT BERIBADAH MANUSIA, adalah Baitullah yang ada di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi PETUNJUK bagi MANUSIA (QS 3 (Al Imran) Ayat 96)(3) Baitulah “Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail,’bersihkan rumah-Ku UNTUK ORANG-ORANG YANG THAWAF ” (QS 2 Ayat 125) Ayat senada bisa didapatkan QS 14 (Ibrahim) Ayat 37 dan QS 22 (Al Hajj) Ayat 26) (4) Al Baitul al’Atiiq “…..Hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan THAWAF sekeliling RUMAH TUA (Baitullah) (QS 22 (Al Hajj) Ayat 29) (5) Kiblat “Dan dari mana saja kamu keluar maka PALINGKAN WAJAHMU KE ARAH MASJIDIL HARAM; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dan apa yang kamu kerjakan”. QS 2 (Al Baqarah ) Ayat 149 , Ayat senada dapat didapatkan QS 2 (Al Baqarah) 148,150. Al-Masjidil Haram ‘…Palingkan mukamu ke arah MASJIDIL HARAM. Dan dimana saja kamu berada, palingkan mukamu ke arahnya… QS 2 (Al Baqarah ) Ayat 144.
Pada tataran ini ada nilai universal[123], yaitu "tidakah kamu ketahui bahwasaannya Allah; kepada-Nya bertasbih (berthawaf) apa yang ada dilangit dan di bumi dan (juga-burung) dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengatahui (cara) sholat dan tasbihnya (thawafnya) dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan (QS 24 An Nuur ayat 41)
Tasbih yang disimbolisasi dengan berthawaf/berputar berlawanan dengan arah jarum jam sesungguhnya sudah dipahami, bahwa masing-masing mahluk mengetahui cara sholat dan tasbihnya kepada Allah dengan ilham dari Allah, dengan demikian manusia Indonesia yang Berketuhanan Yang Maha Esa apapun agamanya, bahwa kemerdekaan negaranya adalah berkat rahmat Allah Yang Maha kuasa, oleh karena itu negaranya berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.[124] seharusnya menjalankan atau mengimplementasikan sila I ini dalam masing-masing agamanya.
Dengan demikian Sila I Ketuhanan Yang Maha Esa yang disimbolkan dengan Nur Cahaya diruang tengah yang berbentuk Perisai dengan menggunakan warna alam (hitam) dengan mengambil bentuk simbol bintang yang bersegi lima, memberikan makna bahwa Sila I memancarkan Sinar (Nur Cahaya) kepada empat sila lainnya tanpa diskrimasi atau menjadi kiblat bagi empat sila lainnya dan ini berbeda yang dipahami secara struktur hirarki piramida sebagaimana pemahaman Notonagoro yang beraraskan pada teori Hirarklis Piramida Hukum Hans Kelsen.
Hal ini selaras apa yang dijelaskan oleh Sultan Hamid II ketika merancang simbolisasi pada Perisai Pancasila berdasarkan pesan Presiden Soekarno : bahwa dari lima sila Pancasila yang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau (baca Soekarno) adalah sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa[125]
Hal demikian selaras pula dengan pandangan Jimly Asshiddiqie:
"Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila pertama dan utama yang menerangi keempat sila lainnya. Paham ke Tuhanan itu diwujudkan dalam paham kemanusian yang adil dan beradab. Dorongan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu menentukan kualitas dan derajad kemanusiaan seseorang diantara sesama manusia, sehingga peri kehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat tumbuh sehat dalam struktur kehidupan yang adil, dan dengan demikian kualitas peradaban bangsa dapat berkembang secara terhormat diantara bangsa –bangsa. Semangat Ketuhanan Yang Maha Esa itu hendaklah pula meyakinkan segenap bangsa Indonesia untuk bersatu padu dibawah tali Tuhan Yang Maha Esa. Perbedaan-perbedaan diantara sesama warga negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dalam wadah negara, rakyatnya adalah warga negara. Karena itu, dalam rangka kewargaan (civility), tidak perlu dipersoalkan mengenai etnisitas, anutan agama,warna kulit, dan bahkan status sosial seseorang. Yang penting dilihat adalah status kewarga seorang dalam wadah negara. Setiap warga negara adalah rakyat, dan rakyat itulah yang berdaulat dalam negara Indonesia, dimana kedaulatannya itu diwujudkan melalui mekanisme permusyawaratan dan dilembagakan melalui sistem perwakilan. Keempat sila atau dasar negara tersebut, pada akhirnya ditujukan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[126]
Konsep Ketuhanan yang demikian itu memberikan sebuah konsep kosmologik, bahwa Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara telah mengajarkan agar setiap manusia Indonesia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing, karena hubungan antara manusia dengan Tuhan telah diatur oleh agama dan kepercayaan tersebut, artinya Pancasila yang menempatkan Sila I adalah pertama dan utama mengatur hubungan antara manusia Indonesia dengan berbagai agama dan kepercayaannya itu hidup sejahtera aman dan damai dalam menjalankan tugas dan agama serta kepercayaannya masing-masing, tepatlah apa yang dilakukan oleh Pemerintah (SK Menteri Agama R.I No 70/1978) dalam hal mengatur hubungan antara Pemerintah dengan umat beragama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan hubungan antara lingkungannya masing-masing.
Memang Sila I berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa sama halnya dengan sila-sila lainnya tidak menyebut istilah Indonesia. Meskipun demikian karena sila-sila Pancasila merupakan satu kesatuan, maka Sila pertama tidak dapat dipisahkan dari sila-sila lainnya walaupun dalam tataran analisis terbedakan. Ini berarti bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa juga mempunyai ruang lingkup berlaku di seluruh Indonesia.
Bung Karno (1945) antara lain mengatakan :[127]
"Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber Tuhan, tetapi masing masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al-Masih, yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadahnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan yakni dengan tiada "egoisme agama". Dan hendaknya negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan!".
Di dalam ceramahnya mengenai Pancasila Dasar Filsafat Negara (1960) antara lain juga ditegaskan :[128]
"Agama tidak memerlukan territoor, agama juga mengenai manusia. Tapi lihat orang yang beragama pun, - aku beragama, engkau beragama, orang Kristen di Roma beragama, orang Kristen di negeri Belanda beragama, orang Inggris yang duduk di London beragama, pendeknya orang yang beragama yang dalam agamanya tidak mengenal territoor, kalau ia memindahkan pikirannya kepada keperluan negara, ia tidak boleh harus berdiri di atas territoor, di atas wilayah. Tidak ada satu negara, meskipun negara itu dinamakan negara Islam, tanpa territoor.
Pakistan yang menamakan dirinya Negara Islam, Republik Islam Pakistan, toh mengakui territoor. Bahkan pendiri dari pada Republik Pakistan, yaitu Mohammad Ali Jinnah, ia berkata – historis ucapan ini - : "We are a nation". Ini salah satu argumen dari pada Mohammad Ali Jinnah tatkala ia mendirikan Pakistan. Bukan saja ia berkata "we are a religion", kita satu agama ia berkata "we are a nation", kita satu bangsa.
Dalam paparan ini penulis banyak menyitir pendapat Bung Karno karena itulah sumber pertama sebelum dibicarakan lebih lanjut baik oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia maupun oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Dari ucapan yang asli itulah terdapat nilai-nilai yang mengandung pengertian murni.
Rekomendasi :
Mengingat dua agenda telah terwujudkan dari seminar sejarah Proses Penciptaan/Perancangan Lambang Negara yang dilakukan oleh elemen Masyarakat Kal-Bar, Perguruan Tinggi Dan DPRD Prov, serta MPR dan DPR RI, yaitu sumbangan amandemen kedua UUD 1945 pada Tahun 2000 dan Penjabaran Lambang Negara dalam UU No 24 Tahun 2009, 9 Juli 2009 serta sosialisasi yang terus menerus setiap momen kenegaraan, maka sudah waktunya hari ini bertepatan dengan tanggal 11 Februari 2011, yaitu bertepatan 11 Februari 1950 dimana lambang Negara ditetapkan oleh Pemerintah, maka seharusnya ada satu pernyataan resmi kenegaraan dari negara, bahwa perancang Lambang Negara Republik Indonesia adalah anak Bangsa dari Kalimantan Barat, yaitu Sultan Hamid II demi mewujudkan wasiat seseorang yang telah wafat/meninggal dunia: artinya seluruh kristaliasi analis kajian sejarah hukum lambang negara dan analisis semiotika hukum Pancasila pada perisai Lambang Negara Elang Rajawali –garuda Pancasila diatas hanyalah diniatkan untuk mewujudkan wasiat seorang anak bangsa yaitu Sultan Hamid II yang mewasiatkan:
"mungkin ini adalah yang dapat saya sumbangkan kepada bangsa saya, kamu jangan pasang lambang negara dirumahmu sebelum diakui bahwa gambar itu rancangan Hamid dan mudah-mudaham sumbangan pertama saya (buku-buku dan dokumen file lambang negara) ini bermanfaat bagi negara yang dicintai oleh kita"
Dan mewujudkan wasiat seseorang yang sudah wafat secara hukum (Islam) adalah wajib dan juga sebagai bangsa yang berkesadaran sejarah wajiblah menegakan kebenaran dan keadilan sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa dalam Al-Qur'an:
"Sesungguhnya Allah telah menyuruhmu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. Dan apabila kamu menetapkan hukum antara manusia, maka penetapan hukum itu hendaklah adil, bahwa dengan itu Allah telah memberikan pengajaran sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Melihat (QS An Nisa (4) ayat 58), Hai orang-orang yang beriman ! Hendaklah kamu berdiri tegak di atas kebenaran yang adil semata-mata karena Allah dalam memberikan kesaksian, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum sampai mempengaruhi dirimu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Karena itu bertaqwalah kamu kepada Allah ! Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al Maidah (5) ayat 8).
"Tanpa ingatan akan sejarahnya dimasa yang lampau setiap bangsa tidak mengerti arti sejarahnya hari sekarang dan tidak akan mempunyai pegangan untuk hari depannya" .
Dengan persepsi yang demikian itu, tentunya dalam kajian akademis harus ada keberanian moral untuk mengungkapkan dengan jujur, kebenaran dan fakta sejarah secara transparan dan obyektif. Karena kajian akademis yang jujur pada hakekatnya adalah keberanian moral untuk membenahi yang masih terbengkalai, meluruskan yang bengkok, mengadakan koreksi dan penyegaran terus-menerus, secara gradual, beradab dan santun dalam koridor konstitusional serta kajian akademis yang dapat dipertanggungjawabkan. Atas dasar pandangan yang demikian itu, secara arif apabila kita melihat fakta sejarah nasional tercatatlah dalam peristiwa masa lampau, andil seorang anak bangsa yang sekaligus orang daerah berasal dari Kalimantan Barat yang sementara ini terlupakan oleh sejarahnya bangsanya, Sultan Hamid II. Sementara ini apabila membicarakan Sultan Hamid II, maka anggapan yang terbentuk adalah bahwa ia adalah seorang yang pernah "terseok dalam kecelakaan sejarah" atau bahkan lebih ekstrim lagi seorang "mantan terpidana kasus politik" belaka. Namun benarkah demikian "cap sejarah" itu. Tidak adakah sisi positif dan sumbangsihnya yang patut diakui dan mendapat penghargaan secara jujur dalam perjalanan sejarah bangsanya, atau memang fakta-fakta sejarah karya kebangsaannya telah tenggelam bersama kemelut politik masa lalu sehingga tidak terangkat kepermukaan.
Sebenarnya dengan merujuk kronologis fakta sejarah hukum dapat disimak adanya karya kebangsaan Sultan Hamid II yang merupakan alat perekat nasionalisme Indonesia yang tak ternilai dalam perjalanan sejarah bangsa ini, yang menjadi kenangan masyarakat Indonesia dan secara inheren mengharumkan nama bumi kelahirannya; Kalimantan Barat, yaitu Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila Dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Alangkah ironisnya ketika generasi bangsa ini ketika ditanyakan, siapakah pencipta lagu kebangsaan Indonesia semua menjawab: W.R Supratman, siapakah penjahit bendera Pusaka Sangsaka Merah Putih semua menjawab: Ibu Fatmawati, siapakah pencipta lagu Garuda Pancasila semua menjawab Sudharnoto, tetapi siapakah perancang Gambar Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila ? semua "diam membisu" dan "tak mampu menjawab", karena memang bangsa ini terlalu lama untuk menyatakan kebenaran sejarah perancangan lambang negara Republik Indonesia ataukah fakta sejarah tersebut "tersembunyikan" dirahim bumi pertiwi ini, mengapa demikian ? apakah karena fakta sejarah lambang negara ini ditetapkan oleh Pemerintah dan Parlemen RIS 11 Februari 1950 yang kemudian menjadi Lampiran Resmi Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara (pasal 3 jo Pasal 6) dan saat ini menjadi Lampiran Resmi Undang-Undang No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa Dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan sebagai Undang –Undang Organik/Pelaksanaan Pasal 36 C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 amandemen kedua, ataukah karena sang perancang gambar Lambang Negara RIS seorang anak bangsa Sultan Hamid II adalah seorang penganut Federalisme dan sang diplomat di KMB mewakili BFO-(Ketua), 1949 serta Menteri Negara RIS Zonder Forto Folio1949-1950 yang ditugaskan Presiden Soekarno untuk merencanakan dan membuat Lambang Negara RIS, ataukah karena seorang mantan terpidana "Politik" pada "Peristiwa Sultan Hamid II", 1950?, Mari wahai anak bangsa renungkan !,bahwa "Berpikir benar itu baik dan akan lebih baik berpikir tepat, akan tetapi akan sangat lebih baik berpikir benar dan tepat, karena berpikir benar dan tepat adalah berpikir dengan matahati"[129]
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Buku-Buku:
Adrian Cunningham, The Theory of Myth, Sheed and Ward, London, 1973
A.G Pringgodigdo, SekitarPancasila, Jakarta, Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI, 1978
Agus Salim, Bangunan Teori, Edisi Kedua, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2006
Akmal Sutja, Sekitar Garuda Pancasila, Bandung:Angkasa, 1986
Anthon F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik fondasi filsafat pengembangan Ilmu hukum Indonesia, Genta Publishing,Yogyakarta. 2010
Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Sejarah, Kompas, Jakarta, Juli 2010
Benyamin Akzin, Law State and International Order: Essays in Honor of Kelsen, Knoxville The University of Tenesse, 1964.
Departemen Penerangan Republik Indonesaia, Lukisan Revolusi Indonesia1945-1950.
Gus AA & Jiyad At Tubani, Membaca dan Memahami Konstruksi Al-Qur'an, Indomedia Group, Oktober 2006
Hans Nawiasky, Algemeinne Rechtslehre als System lichen Grundbegriffe, Ensiedenln/Zuric/ Koligern,Benziger, cet 2, 1948
Ismaun, Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia, edisi 6 Biro Pendidikan Pancasila- UUD –RI 1945 Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung, Carya Remaja, Bandung, 1981
Iwan Gayo, Buku Pintar Seri Senior, edisi 39, Pustaka Warga Negara, Jakarta, 2007
Joenarto, Sejarah Ketatanegaan Republik Indonesia, cet – ke 1, Jakarta, Bina Aksara, 1989
Jimly Asshiddigie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, MK dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, Prapanca, 1967.
-------------, 6000 Tahun Sang Merah Putih.Siguntang,1954
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, dasar-dasar dan pembentukannya, Penerbit Kanisius, Jakarta, 1996
Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, (Wawancara Muhammad Hatta dengan .Z.Yasni) Cetakan Ketiga Gunung Agung, Jakarta, 1978
Notonagoro, Pancasila dasar falsafah negara (kumpulan tiga uraian pokok-pokok persoalan tentang Pancasila) ,cet 7, Jakarta, Bina Aksara, 1989
-----------, Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia, 1962
Nanang Hidayat, Mencari Telur Garuda, Nalar, Jakarta, 2008
Persadja, Peristiwa Sultan Hamid II, Jakarta,1954
Robert Sibarani, Hakekat Bahasa, Bandung: PT Adtya Bakti, 1992
Roeslan Abdul Gani, "Arsip dan Kesadaran Sejarah', Jakarta, 1979
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang membahagiakan Rakyatnya, Genta Publising, cet II, 2009
Sekretrariat Jenderal MPR-RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta, 2007
Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila Pendekatan melalui Metafisika, Logika dan Etika , Edisi 3,Hanindita, Yogyakarta, 2000
Tomy Christomy, Pengantar Semiotik Pragmatik Peirce; Nonverbal dan Verbal, dalam Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Bahan Penelitian Semiotika, 2001
Umberto Eco, A Theory Of Semiotic, USA: Indian University Press,1979
Artikel :
Aryandini, Woro, Garuda sebagai Identitas Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003
F. Anton Freddy Susanto, Teks Dalam Realitias Hukum (Sintesis Pendekatan Chaos dan Hermeneutik Dekontruksi Sebagai Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum, Universitas Dipenogoro, Semarang, 2007
Dimyati Hartono, "Dinamisasi Stabilitas Nasional Bangsa", Suara Pembaharuan, Kamis, 30 Mei 1996
G Sunaryo, "Proses Terbentuknya Lambang Negara", Majalah Forum Keadilan No 19 Mei 1990
Kryztof Stefan Kuczynski, "Orzel Bialy-Herb Polski Iznak Polakow" Translation In English By Adezey. 'The White Eagle-70 Years of the coat of Arms of the Polis State. Kedutaan Besar Negara Polandia, 1992
Majalah Intisari No 205 tahun 1980 hal 9 " Kapan Lahirnya Garuda Pancasila ? Majalah Tempo, 1979 ." Garuda Pancasila Siapa Penciptanya"
Muslich Jasin , Fakultas Hukum UGM dalam Berita Buana, 13 Agustus 1981, "Siapakah Perancang Garuda Pancasila?"
Majalah Intisari No 205 tahun 1980, "Kapan Lahirnya Garuda Pancasila?"
Mimbar UNTAN: " Siapa Perancang Garuda Pancasila, Edisi No 11 & 12 Tahun X, 1994
Majalah Gatra: " Bung Karno, Ikan dan Air" Edisi No 32 Tahun I, 25 Juni 1995
Makalah:
Anton .F Susanto, Menggagas Penelitian Hukum Normatif Yang Lebih Terbuka, Makalah Seminar Nasional Metodologi Penelitian Dalam Ilmu Hukum, diselenggarakan oleh Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Dipenegoro, Semarang, 16 Desember 2010.
Bagir Manan, Fungsi Dan Materi Peraturan Perundang-Undangan". Makalah Pada Penataran Dosen Pendidikan Latihan Kemahiran Hukum BKS bidang Hukum Sewilayah Barat Fakultas Hukum Universitas Lampung, Tanggal 11 November 1994.
_______________"Sistem Perundang-Undangan Indonesia". Makalah Dalam Kursus Hukum Dan Teknik Penyusunan PerundangUndangan Dalam Lingkungan Departemen Kehakiman, Jakarta, 1993.
Esmi Warassih, Pendekatan Hermenuetik dalam Penelitian Hukum, Makalah pada Seminar Metodologi Penelitian Dalam Ilmu Hukum, diselenggarakan oleh Bagian Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum Unversitas Diponegoro, Semarang, 16 Desember 2010.
Kaelan, "Pancasila Sebagai Dasar Orientasi Pengembangan Ilmu Hukum", Seminar Nasional tentang nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Makalah. UGM-Universitas Pancasila, Jakarta 7 Desember, 2006
____________, "Pancasila Sebagai Dasar Orientasi Pengembangan Ilmu Hukum", Seminar Nasional tentang nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, UGM-Universitas Pancasila, Jakarta 7 Desember, 2006
Satjipto Rahardjo “Paradigma Hukum Indonesia dalam Perspektif Sejarah”, Makalah. Symposium Nasional Ilmu Hukum Tentang Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia, Program S3 Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 10 Pebruari 1998.
_______________. "Pendayagunaan Sosiologi Hukum Untuk Memahami Proses-Proses Sosial dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi, Makalah Seminar Nasional Sosiologi Hukum dan Pembentukan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 1998.
Soetandyo Wignyosoebroto, "Materi Tutorial Mata Kuliah Penulisan Disertasi untuk Program Doktor Olmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2001.
______________Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Hukum”, Makalah. Symposium Nasional Ilmu Hukum Tentang Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia, Program S3 Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 10 Pebruari 1998.
Suteki, Urgensi Tradisi Penelitian Dalam Proses Penelitian Ilmiah, Makalah Seminar Nasional Metodologi Penelitian Dalam Ilmu Hukum di selenggarakan oleh Bagian Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang 16 Desember 2010.
Sidharta, "Penelitian Dalam Perspektif Normatif, Makalah Seminar Nasional Metodologi Penelitian Dalam Ilmu Hukum, diselenggarakan oleh Bagian Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 16 Desember 2010.
Turiman, "Lambang Negara Suatu Deskripsi Analisis Dari Sudut Pandang Hukum Dan Kehidupan Kenegaraan". Makalah Diskusi Terbatas Dalam Program Pasca Sarjana Ul Tahun 1995
Kaelan, "Pancasila Sebagai Dasar Orientasi Pengembangan Ilmu Hukum", Seminar Nasional tentang nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, UGM-Universitas Pancasila, Jakarta 7 Desember, 2006
Tesis :
Turiman : Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara Dalam Peraturan Perundang_undangan),Tesis, 1999
Disertasi :
A Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu studi analisis mengenai Keputusan yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu Pelita 1 Pelita VI, Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1990
Esiklopedia:
Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1989
Ensiklopedia Indonesia Edisi Khusus, Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve, tahun 1986
* Makalah disampaikan didalam Seminar Sejarah Lambang Negara Republik Indonesia, di Musium Asia Afrika Bandung, 11 Februari 2011 yang dilaksanakan oleh Deplu RI.
[1] Pasal 3 ayat (3) Konstitusi RIS 1949: “Pemerintah menetapkan materai dan Lambang Negara.
[2] Penelitian Tesis oleh Turiman : Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara Dalam Peraturan Perundang_undangan), 1999 dan dalam penelitian itu telah membuktikan secara ilmiah, bahwa perancang gambar lambang negara RI adalah Sultan Hamid II seperti yang dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam buku Bung Hata Menjawab,,1986, halaman 108-112.
[3] Secara historis yuridis berdasarkan PP No 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara Lambang Negara Indonesia terbagi tiga bagian, yaitu (1) Burung Garuda yang menengok dengan kepalanya lurus kesebelah kanan, (2) Perisai berupa jantung yanag digantung dengan rantai pada leher Garuda (3) Semboyan diatas pita yang dicenkram oleh Garuda (Pasal 1 PP No 66 Tahun 1951) kemudian lebih lanjut dipertegas pada Pasal 46 UU No 24 Tahun 2009: "Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung dengan rantaipada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda", kemudian UU No 24 Tahun 2009 Pasal 47 ayat (1) Garuda dengan perisai sebagaimana dimaksud dalamPasal 46 memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang mewujudkan lambang tenaga pembangunan. (2) Garuda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki sayap yang masing-masing berbulu 17, ekor berbulu 8,pangkal ekor berbulu 19, dan leher berbulu 45. kemudian konsep berthawaf itu dipertegas Pasal 48 ayat (1) Di tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan katulistiwa. Ayat (2) Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut: a. dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima; b. dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai; c. dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai; d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai; dan e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai.
[4] Pasal 3 ayat (3) Konstitusi RIS 1949: “Pemerintah menetapkan materai dan Lambang Negara.
[5] Penelitian Tesis oleh Turiman : Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara Dalam Peraturan Perundang_undangan), 1999 dan dalam penelitian itu telah membuktikan secara ilmiah, bahwa perancang gambar lambang negara RI adalah Sultan Hamid II seperti yang dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam buku Bung Hata Menjawab,,1986, halaman 108-112.
[6] Pasal 2 UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan.
[7] Pasal 4 dan penjelasannya PP No 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara hal yang sama juga dipaparkan pada Pasal 46 UU No 24 tahun 2009 Yang dimaksud dengan “Garuda Pancasila” adalah lambang berupa burung garuda yang sudah dikenal melalui mitologi kuno yaitu burung yang menyerupai burung elang rajawali.
[8] Hakekat keilmuan ada tiga kelompok landasan dalam filsafat ilmu, yaitu salah satunya landasan ontologi, dan landasan ontologi mempersoalkan obyek kajian (telaah) ilmu, bagian ujud hakiki objek tersebut sehingga dapat ditangkap oleh manusia sehingga membuahkan pengetahuan ? (Berpikir, merasa, dan mengindra). Bidang telaa yang menggeluti pertanyaan ini adalah metafisika yang memberi beberapa tafsir tentang fenomena sosial yang dikaji, Lihat Agus Salim, Bangunan Teori, Edisi Kedua, Tiara Wacana, 2006, halaman 10, dalam kaitannya dengan penelitian disertasi ini adalah analisis holistik terhadap sketsa awal sampai dengan akhir dari dokumen lambang negara rancangan Sultan Hamid II dari sisi semiologi yaitu ilmu yang mempelajari lambang-lambang dengan pendekatan sejarah hukum lambang negara, berdasarkan hasil penelitian yang telah diteliti oleh penulis, 1999-2000 di UI Program Ilmu Hukum bagianj Hukum dan Kehidupan Kenegaraan.
[9] Epistemologi adalah landasan keilmuan yang merupakan kajian yang mempertanyakan proses ditemukan kebenaran ilmu, meliputi prosedur yang ditempuh, asas-asas yang harus diperhitungkan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Arti kebenaran, kreteria kebenaran dan cara apa yang membantu ilmuwan mencapai kebenaran. Cara mendapatkan kebenaran ilmiah jelas bukan merupakan tindakan pribadi tetapi interpersonal yang didukung oleh moral kerja (working judgement) dan kejujuran. Lihat Agus Salim, Bangunan Teori, Edisi Kedua, Tiara Wacana, 2006, halaman 12
[10] Pidato Presiden Soekarno; 22 Juli 1958: "Saudara-saudara lihatlah lambang negara kita dibelakang ini, Alangkah megahnya, alangkah hebatnya dan cantiknya. Burung Elang Rajawali Garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya 17 buah dengan ekor berelar 8 buah, tanggal17 bulan 8 dan yang berkalungkan perisai yang diatas perisai itu tergambar Pancasila, yang dibawahnya tertulis seloka buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika". Bhina Ika tunggal Ika "berjenis-jenis tetapi tunggal ". Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, Prapanca, 1967, hal. 444.
[11] Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang membahagiakan Rakyatnya, Genta Publising, cet II, 2009, halaman 3.
[12]Notonagoro, Pancasila dasar falsafah negara (kumpulan tiga uraian pokok-pokok persoalan tentang Pancasila,cet 7, Jakarta, Bina Aksara, 1988, hlm.27. Norma hukum yang tertinggi dan merupakan kelompok pertama adalah Staatsfundamentalnorm. Istilah Staatsfundamentalnorm ini diterjemahkan oleh Notonagoro dalam pidatonya pada Dies Natalis Universitas Airlangga yang pertama (10 November 1955) dengan "Pokok Kaidah Fundamentil Negara, kemudian oleh Joenarto, dalam bukunya yang berjudul sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, disebut dengan istilah "Norma Pertama" lihat Joenarto, Sejarah Ketatanegaan Republik Indonesia, cet – ke 1, Jakarta, Bina Aksara, 1982, hlm.6. sedangkan oleh A. Hamid S Attamimi disebut dengan istilah "Norma Fundamental Negara", lihat A Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu studi analisis mengenai Keputusan yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu Pelita 1 Pelita VI, Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm, 359 dst.
[13]Menurut Hans Nawiasky, isi Staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma perubahannya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ini ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar. Konstitusi menurut Carl Schmitt merupakan keputusan atau konsensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (eine Gesammtentshedung Uber Art und Form einer politischen Einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa, lihat Hamid Attamimi, ibid hlm .288.
[14]Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto, "…terlihat ada persamaan dan perbedaan antara teori jenjang norma (Stufentheorie) dari Hans Kelsen dan Teori Jenjang norma hukum (Die Theorie vom Stufennordnung der Rechtsnormen) dari Hans Nawiasky. Persamaannya adalah bahwa keduanya menyebutkan bahwa norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis –lapis: suatu norma itu berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang diatasnya lagi, demikian seterusnya sampai pada norma yang tertinggi dan tidak dapat ditelusuri lagi sumber dan asalnya, tetapi bersifat pre-supposed. Dan Hans Nawiaky berpendapat bahwa norma tertinggi itu disebut staatsfundamentalnorm, sedangkan Hans Kelsen Staatsgrundnorm, karena pengertian Grundnorm itu mempunyai kecenderungan untuk tidak diubah, atau bersifat tetap, sedangkan dalam negara Norma Dasar itu dapat berubah sewaktu-waktu, karena adanya suatu pemberontakan, kudeta, dan sebagainya. Pendapat Nawiasky ini diterjemahkan sebagai berikut: "Norma tertinggi dalam negara sebaiknya tidak disebut Staatsgrundnorm melainkan Staatsfundementalnorm, norma fundamental negara. Pertimbangannya adalah kaarena Grundnorm dari suatu tatanan norma pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi suatu negara mungkin berubah-ubah oleh pemberontakan, cou d'etat, Putsch, An schluss, dan sebagainya, A Hamid ibid .hlm. 359 atau lihat Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, dasar-dasar dan pembentukannya, Penerbit Kanisius, Jakarta, 1996.hlm.29-30.
[15] Istilah"berthawaf" penulis mengacu pada transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967 ketika menjawab klarivikasi dari Solichim Salam wartawan Istana kemudian menjadi wartawan Berita Buana. Dalam tataran ilahiah adalah "tasbihnya Malaikat atau thawafnya manusia mengelilingi Baitullah di Mekah yang membentuk lingkaran baik searah dengan jarum jam maupun berlawanan dengan arah jarum jam atau dari kanan ke kiri ataupun sebaliknya. Lihat Turiman, "Sesunguhnya Al-Quran Berthawaf Dalam Dirimu" QitriAin Center, Kal-Bar, 2008. hlm 30.
[16]Yang dimaksud Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai jenis, fungsi, dan hirarki Peraturan Peraturan Perundang-Undangan. (Pasal 1 angka 12 UU No 10 Tahun 2004), sedangkan yang dimakusd hirarki adalah perjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. (Penjelasan Pasal 7 Ayat 5 UU No 10 Tahun 2004) dan pengertian peraturan perundang-undangan disini adalah Peraturan Perundangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum (Pasal 1 angka 2 UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan LN RI Tahun No 53)
[17]Positivisme: Sebuah mazhab filsafat yang memiliki orientasi ilmiah pada warsa 30-an dan 40-an. Tujuannya adalah untuk menggusur sebagian besar filsafat dan agama sebagai sesuatu yang tidak bermakna dengan menetapkan kreteria verifikasi, dan untuk menegaskan kembali serta menyeleseaikan persoalan-persoalan yang tersisa dengan menggunakan bahasa formal yang ketat. Jadi "Tuhan ada" dan "Tuhan tidak ada" sama-sama tak bermakna karena tidak dapat diverifikasi. Dalam Tataran hukum kemudian dikenal dengan Positivisme Hukum: Aliran pemikiran dalam hukum yang membahas konsep hukum secara eksklusif dan berakar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Positivisme hukum dimaknai pula sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum hanya akan valid jika berbentuk norma-norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan ditetapkan oleh sebuah instrumen didalam sebuah negara, pandangan ini lebih lanjut dapat dibaca pada buku Anthon .F, Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik fondasi filsafat pengembangan Ilmu hukum Indonesia, Genta Publishing,Yogyakarta. 2010.hlm. xiii, atau lebih dalam lagi lihat halaman 70-88.
[18]Pasal 6 Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951Tentang Lambang Negara, kemudian dipertegas pada Pasal 48 jo Pasal 50 UU No 24 Tahun 2009. Patut diketahui, bahwa UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan ini disahkan pada 9 Juli 2009. UU 24/2009 ini secara umum memiliki 9 Bab dan 74 pasal yang pada pokoknya mengatur tentang praktik penetapan dan tata cara penggunaan bendera, bahasa dan lambang negara, serta lagu kebangsaan berikut ketentuan – ketentuan pidananya. Setidaknya ada tiga hal tujuan dari dibentuknya UU No 24 Tahun 2009 ini adalah untuk (a) memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (b) menjaga kehormatan yang menunjukkan kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (c) menciptakan ketertiban, kepastian, dan standarisasi penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. UUD 1945 sudah mengatur berbagai hal yang menyangkut tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan, yaitu dalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal 36ª, Pasal 36B.
[19] Sultan Hamid II, dalam transkrip yang dijelaskan kepada Solichim Salam, 15 April 1967 sebagaimana disalin oleh sekretaris Pribadi Sultan Hamid II: Max Yusuf Alkaderie, lihat juga transkrip yang dijelaskan kepada H Mas Agung, 18 Juli 1974 ketika menyerahkan file lambang negara untuk diselamatkan:. Falsafah "thawaf" mengandung pesan, bahwa idee Pantja-Sila itu bisa didjabarkan bersama dalam membangun negara, karena ber"thawaf" atau gilir balik menurut bahasa Kalimantannja, artinja membuat kembali-membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada sasaran jang djelas, jakni masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan rukun dan damai, begitulah menurut Paduka Jang Mulia Presiden Soerkarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja, jakni membangun negara jang bermoral tetapi tetap mendjunjung tinggi nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada sanubari rakjat bangsa di belahan wilajah negara RIS serta tetap memiliki karakter asli bangsanja sesuai dengan "djatidiri" bangsa/adanja pembangunan "nation character building" demikian pendjelasan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja.
[20] Kaelan, "Pancasila Sebagai Dasar Orientasi Pengembangan Ilmu Hukum", Seminar Nasional tentang nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, UGM-Universitas Pancasila, Jakarta 7 Desember, 2006, halaman 3.
[21]Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951: “Bentuk warna dan Perbandingan ukuran Lambang Negara Republik Indonesia adalah seperti terlukis dalam lampiran pada Peraturan Pemerintah ini.
[22]Anthon F Susanto, "Menggugat Fondasi Filsafat Ilmu Hukum Indonesia" dalam Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum, Refika Aditama, 2008.hlm.7.
[23]Yang dimaksudkan Teori disini adalah serangkaian proposisi atau kerangan yang saling berhubungan dan tersusun dalam sistem deduksi, yang mengemukakan penjenlasan atau suatu gejala, sedikitnya terdapat tiga unsur dalam suatu teorim pertama penjelasan tentang hubungan antara berbagai unsur dalam suatu teori.Kedua teori menganut sistem deduktif, yaitu bertolak dari suatu yang umum dan abstrak menuju suatu ysng khusus dan nyata.Aspek kunci yang ketiga adalah bahwa teori memberikan penjelasan atas gejala yang dikemukakannya. Fungsi dari suatu penelitian adalah untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang akan dilakukan, Duance.R.Monete. J.Sulivan,Cornell.R. Dejong, Applied Social Research, New York, Chicago,San Fransisco: Holt Rinehart and Winston,1986, p 27 et seg. Lihat Juga Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986. halaman 121-130.
[24]Teori Pancasila "berthawaf" adalah sebuah model pembacaan Pancasila sebagai rechtsidee/cita hukum yang pembacaan dan pemaknaan melalui proposisi semiotika hukum Pancasila pada perisai Lambang Negara – Rajawali Garuda Pancasila yang secara teks kenegaraan sudah dinormakan dalam PP No 66 Tahun 1951 (Pasal 4) dan Pasal 48 UU No 24 Tahun 2009 serta pada transkrip Sultan Hamid II 15 April 1967 juga sudah tersombolisasikan sejak 1950 dalam file dokumen lambang negara RIS 1950 yang ditetapkan pemerintah dan parlemen RIS, 11 Februari 1950.Yang dimaksudkan teori disini adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling berhubungan dan tersusun dalam sistem deduksi maun induksi, yang mengemukakan penjelasan atau suatu gejala. Sedikitnya terdapat tiga unsur dalam suatu teori (1) penjelasan tentang hubungan antara berbagai unsur dalam suatu teori, (2) teori menganut sistem deduksi, yaitu yang bertolak dari sesuaatu yang umum dan abstrak menuju sesuatu yang khusus dan nyata atau sebaliknya menganut sistem induksi, (3) aspek kuncinya adalah bahwa teori memberikan penjelasan atas gejala yang dikemukankannya. Fungsi teori dalam suatu kajian atau penelitian adalah memberikan pengarahan atau pemandu kepada kajian atau penelitian yang akan dilakukan, lihat Duance R. Monete J. Sullivaan, Cornell R. Dejong, Applied Social Research, New York, Chicago, San Fransisco: Holt Rinehart and Wiston, 1986.hlm. 27 et seg, lihat juga Soejono Soekanto, Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986.hlm 121-130.
[25]Struktur Jenis Peraturan Perundang-Undangan yang dimaksudkan adalah Susunan Jenis peraturan perundang-undangan yang secara teoretik bagian dari Struktur norma dan pembahasannya dihadapkan sebuah teori yang dikemukan oleh Benyamin Akzin yang ditulis dalam bukunya yang diberi judul Law, State, and International Legal Order. Benyamin mengemukan bahwa pembentukan norma-norma hukum publik itu berbeda dengan pembentukan norma-norma hukum privat, karena apabila kita lihat pada struktur norma (Norm Structure), maka susunan hukum publik itu berada diatas hukum privat. Hukum Tata Negara adalah hukum publik dan ketika hukum tata negara menyitir struktur jenis peraturan perundang-undangan, maka tata susunan norma hukum negara selalu mengacu pada Hans Nawiasky, salah seorang murid dari Hans Kelsen yang mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul Allgemeine Rechtslehre mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, dimana norma yang dibawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada norna yang tertinggi yang disebut Norma Dasar. Benyamin Akzin, Law State and International Order: Essays in Honor of Kelsen, Knoxville The University of Tenesse, 1964, hlm 3-5 dan Hans Nawiasky, Algemeinne Rechtslehre als System lichen Grundbegriffe, Ensiedenln/Zuric/ Koligern,Benziger, cet 2, 1948.hlm, 31 dst. Dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Jakarta, 1996, hlm 26-27.
[26]Masuknya ketentuan menngenai lambang negara ….kedalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang melengkapi pengaturan mengenai bendera negara dan bahasa negara yang telah ada sebelum merupakan ikhtiar untuk memperkukuh kedudukan dan makna atribut kenegaraan ditengah kehidupan global dan hubungan internasional yang terus berubah. Dengan Kata lain, kendatipun atribut itu tampaknya simbolis, hal tersebut tetap penting karena menunjukkan identitas dan kedaulatan suatu negara dalam pergaulan internasional. Atribut kenegaraan itu menjadi simbol pemersatu seluruh bangsa Indonesia ditengah perubahan dunia yang tidak jarang berpotensi mengancam keutuhan dan kebersamaan sebuah negara dan bangsa, tak terkecuali bangsa dan negara Indonesia, Sekretrariat Jenderal MPR-RI, 2007, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, halaman 128-129.
[27] Positivisme Hukum: Aliran pemikiran dalam hukum yang membahas konsep hukum secara eksklusif dan berakar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Positivisme hukum dimaknai pula sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum hanya akan valid jika berbentuk norma-norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan ditetapkan oleh sebuah instrumen didalam sebuah negara, Anton F Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Maret 2010, halaman xiii.
[28] Anton Freddy Susanto, Teks Dalam Realitias Hukum (Sintesis Pendekatan Chaos dan Hermeneutik Dekontruksi Sebagai Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum, Universitas Dipenogoro, Semarang, 2007, halaman 366-367.
[29] Kaelan, "Pancasila Sebagai Dasar Orientasi Pengembangan Ilmu Hukum", Seminar Nasional tentang nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, UGM-Universitas Pancasila, Jakarta 7 Desember, 2006
[30] Notonagoro, Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia, 1962 dalam Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila Pendekatan melalui Metafisika, Logika dan Etika, edisi 3, PT. Hanindita Graha Widya, Yogyakarta, 2000, halaman 91. Kaelan, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Paradigma, Yogyakarta, edisi ketiga, 1999, halaman 68-71 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tujuh, Jakarta, halaman 43-44
[31]Tomy Christomy, Pengantar Semiotik Pragmatik Peirce; Nonverbal dan Verbal, dalam Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Bahan Penelitian Semiotika, 2001, hal 71
[32] Roland Barthes, Mythologies, Hill and Wang, New York, 1983, hal 100.
[33] Nanang Hidayat, Mencari Telur Garuda, Nalar, Jakarta, 2008, halaman 37
[34] Nanang Hidayat , ibid halaman 37.
[35] Transkrip Sultan Hamid II kepada Solichim Salam, 15 April 1967.
[36] Muhammad Yamin, 6000 Tahun Sang Merah Putih (Siguntang : 1954), hal 168
[37] Semiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang seluk beluk lambang, Umberto Eco, A Theory Of Semiotic, (USA: Indian University Press,1979), dalam Robert Sibarani, Hakekat Bahasa (Bandung: PT Adtya Bakti, 1992), hal 7.
[38] Robert Sibarani, Hakekat Bahasa, (Bandung: PT Adtya Bakti, 1992), hal 7
[39]W.J.S Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1990, hal 490.
[40] Charles Sanders Peirce, dalam Robert Sibarani, op cit, hal 15.
[41]Alegoris, artinya diciptakan dan dilahirkan secara sengaja sebagai hasil permufakatan bersama sehingga mendapat bentuk penggambaran sekumpulan istilah-istilah yang dimufakati. Jadi disebut algoris adalah penciptaan yang disengaja atau disadari dari suatu pengertian kedalam wujud gambaran atas perpaduan yang dipertanggungjawabkan secara rasional. Suwaji Bastomi, Seni dan Budaya Jawa, (Semarang: IKIP Press, 1992), hal 54.
[42] Robert Sibarani, Ibid, hal 17.
[43]Dimyati Hartono, "Dinamisasi Stabilitas Nasional Bangsa", Suara Pembaharuan, Kamis, 30 Mei 1996, hal 2.
[44] Nanang R. Hidayat, Mencari Telur Garuda, Nalar,.Jakarta, 2008, hal 59.
[45] Dokumen Lambang Negara RIS sebelum berubah menjadi Burung Elang Rajawali 11 Februari 1950.
[46] Dokumen Surat Ki Hajar Dewantoro, kepada Sultan Hamid II selaku anggota Panitia Lambang Negara untuk memberikan masukan terhadap perancangan Lambang Negara, sumber U'un Mahdar, "Penelusuran Dokumen Lambang Negara, UNPAD, Bandung. 1995.
[47] Ensiklopedia Nasional Indonesia (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1989), hal 66. Keterangan yang sama jugs dikutip oleh Majalah Intisari No 205 tahun 1980 hal 9 " Kapan Lahirnya Garuda Pancasila ? Majalah Tempo, 1979 ." Garuda Pancasila Siapa Penciptanya" dan Muslich Jasin , Fakultas Hukum UGM dalam Berita Buana, 13 Agustus 1981, "Siapakah Perancang Garuda Pancasila?"
[48] Majalah Intisari No 205 tahun 1980 hal 11 "Kapan Lahirnya Garuda Pancasila?"
[49] Dokumen Lambang Negara dalam , Tesis Sejarah Hukum Lambang Negara, UI, 2000 yang bersumber dari U'un Mahdar, Penelusuran Dokumen Lambang Negara, UNPAD, Bandung. 1995.
[50]Aryandini, Woro, Garuda sebagai Identitas Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, halaman 5-11
[51]Aryandini, ibid, halaman 21
[52]Akmal Sutja, Sekitar Garuda Pancasila, Bandung:Angkasa, 1986, halaman 10.
[53]Adrian Cunningham, The Theory of Myth, Sheed and Ward, London, 1973, halaman 136.
[54]Ismaun, Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia, edisi 6 Biro Pendidikan Pancasila- UUD –RI 1945 Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung, Carya Remaja, Bandung, 1981, halaman 104.
[55] Iwan Gayo, Buku Pintar Seri Senior, edisi 39, Pustaka Warga Negara, Jakarta, 2007, halaman 652.
[56] Anton F ,Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematika Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm xii.
[57] Pidato Kenegaraan Presiden Soekarno, 22 Juli 1958 di Istana Merdeka.
[58] Pidato Presiden Soekarno 22 Juli 1958 , Arsip Nasional, 1999
[59] Transkrip Sultan Hamid II 15 April 1967 yang disampaikan kepada Solichim Salam.
[60] Roeslan Abdul Gani, "Arsip dan Kesadaran Sejarah', Jakarta, 1979, halaman 2
[61] Tulisan Sultan Hamid II di atas kertas berlogo RTC, 1949 yang ditulis dihadapan H.Mas Agung, 18 Juli 1974 ketika penyerahan file lambang negara di Yayasan Iadayu, Jakarta.
[62] Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I Cetakan Kedua, Jakarta, Prapanca, 1967, hal 263
[63] G Sunaryo, "Proses Terbentuknya Lambang Negara", Majalah Forum Keadilan No 19 Mei 1990, hal 64
[64]Peristiwa 3 Juli 1946 adalah peristiwa percobaan perebutan Kekuasaan di Yogyakarta yang dilakukan oleh kalangan persatuan perjuangan terhadap politik berunding clan menyerah (menurut anggapan oposisi) Kabinet Syahrir dan rencana kudeta itu rupanya diketahui pemerintah jauh sebelumnya. Akibatnya peristiwa itu seluruh Indonesia dinyatakan dalam bahaya (28 Juni 1946) clan seluruh Kekuasaan diserahkan kepada Presiden (29 Juni 1946). Pada Peristiwa itu 14 orang terdakwa diajukan kedepan Mahkamah Tentara Agung dan salah satunya adalah Muhammad Yamin yang dipersalahkan memimpin percobaan merobohkan Pemerintah yang sah dan dijatuhi hukuman 4 tahun penjara. Pada perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus 1948 Presiden Soekamo memberikan grasi dan membebaskan mereka yang terlibat dalam peristiwa itu. Lihat Ensiklopedia Indonesia Edisi Khusus, (Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve, tahun 1986) Hal 2671.
[65] Nanang R.Hidayat, Mencari Telur Garuda, Nalar, Jakarta, Nalar, 2008, Halaman 27.
[66] Lihat Buku Peristiwa Sultan Hamid II, Jakarta: Persaja, 1954, Hal 176. Sultan Hamid 11 menyatakan: "Sebagai Menteri Negara saya hanya diserahi tugas menyiapkan gedung Parlemen dan membikin rencana bust lambang negara. Sampai saya ditangkap dan kemudian ditahan tak ada lain tugas saya".
[67] G. Sunaryo, "Proses Terbentunya Lambang Negara", Forum Keadilan, No 19 (Mei 1990), hal 64, lihat juga transkrip penjelasan Sultan Hamid II kepada wartawan Solichim Salam, yang disalin kembali oleh sekretaris pribadi Sultan Hamid II Max Yusuf Al-Kadrie, 13 April 1967.
[68] Bung Hatta Menjawab, (Wawancara Muhammad Hatta dengan .Z.Yasni) Cetakan Ketiga Gunung Agung, Jakarta, 1978, halaman 108.
[69]Transkrip penjelasan Sultan Hamid II kepada wartawan Solichim Salam, yang disalin kembali oleh sekretaris pribadi Sultan Hamid II Max Yusuf Al-Kadrie, 15 April 1967.
[70]Dokumen Surat Dari Kj Hajar Dewantoro kepada Sultan Hamid II, tgl 26 Januari 1950, seperti yang dinyatakan juga oleh Sultan Hamid II dalam transkrip penjelasan Sultan Hamid II kepada wartawan Solichim Salam, yang disalin kembali oleh sekretaris pribadi Sultan Hamid II Max Yusuf Al-Kadrie, 15 April 1967.
[71] Transkrip penjelasan Sultan Hamid II kepada wartawan Solichim Salam, yang disalin kembali oleh sekretaris pribadi Sultan Hamid II Max Yusuf Al-Kadrie, 15 April 1967.
[72] Dokumen sktesa dari ciptaan Pertama Sultan Hamid II yang ditolak anggota Panitia Lambang Negara 8 Februari 1950, sumber dokumen repro oleh U'un Mahdar Asmadi, UNPAD, oleh penulis 1999 dari dokumen yang berada pada Yayasan Idayu Jakarta, 1976 dalam penelitian pertama lambang negara dari sisi hukum hak cipta sebuah makalah tugas Prof Sri Soemantri, Fakultas Hukum UNPAD, Bandung. Dalam dokumen itu terdapat tulisan tangan Sultan Hamid II kepada H. Mas Agung: "Maaf Dik Mas Agung tetapi foto ini sebetulnya ciptaan pertama saya yang selanjutnya diperbaiki.Foto ini tidak berharga , Hamid, 17 Juli 1974"
[73] Muhammad Yamin, 6000 Tahun Sang Merah Putih, Siguntang, 1954. hal 168.
[74] Nama Rajawali Garuda Pancasila, adalah nama yang sering disebut oleh Sultan Hamid II, dalam transkrip penjelasan Sultan Hamid II kepada wartawan Solichim Salam 15 April 1967, yang disalin kembali oleh sekretaris pribadi Sultan Hamid II Max Yusuf Al-Kadrie, 1 Juli 1970.
[75] Transkrip Sultan Hamid II, ibid halaman 4
[76] Penetapan Lambang Negara, dinyatakan ditetapkan, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan oleh Kabinet RIS menjadi Lambnag Negara, sebagaimana tertera pada Buku Lukisan Revolusi Indonesia 1945-1950, Kementrian Penerangan Republik Indonesia, halaman XXIII
[77] Bung Hatta Menjawab, op cit , hal 108
[78] A.G Pringgodigdo, SekitarPancasila, Jakarta, Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI, 1978, hal 6.
[79] Dokumen Lambang Negara perubahan/perbaikan Sultan Hamid II setelah ciptaan pertama ditolak dalam raapat Panitia Lambang Negara, sebagai juga diterangkan oleh Sultan Hamid II dalam transkrip penjelasan Sultan Hamid II kepada wartawan Solichim Salam, yang disalin kembali oleh sekretaris pribadi Sultan Hamid II Max Yusuf Al-Kadrie, 15 April 1967.
[80] Transkrip Sultan Hamid II, 15 Aril 1967, ibid halaman 8
[81] Transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967, ibid halaman 4-5
[82] Ibid , Transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967, halaman 5
[83] Dokumen Lukisan Lambang Negara Sultan Hamid II ini disimpan oleh Ibu K Irawati anak Syamsuddin Sutan Makmur, mantan, seperti dinyatakan Sultan Hamid II dalam transkrip 15 April 1967: "file-file lambang negara itu saja simpan dengan baik, sampai kemudian sekitar akhir 1966 saja selamatkan ke Istana Kadriah Pontianak, kemudian saja bawa kembali ke Djakarta sekitar awal 1967, saja titipkan kepada nona K.Irawati anak Syamsuddin Sutan Makmmur/pernah menteri penerangan periode 30 Djuni-12 Maret 1956 jang ketika itu satu ruangan pendjara bersama saja mendjadi tahanan politik, di rumah beliaulah di djalan Radio Dalam Djakarta Selatan tempat sementara saja tinggal setelah keluar dari pendjara, jang akhirnja semua file saja bersama file Mr.M Yamin diserahkan kepada sekretaris pribadi jang kebetulan tjutju saja Max Yusuf Al-Kadrie, hingga saat ini agar terselamatkan bagi bangsa ini".
[84] Disposisi Presiden Soekarno Kepada Sultan Hamid II, setelah sketsa Rancangan Lambang Negara Sultan Hamid II dikonsultasikan dengan Ruhl, seorang ahli Semiologi dari Perancis yang menjadi konsultan Sultan Hamid II dan Yamin ketika merancang gambar Lambang Negara, 1950.
[85] Transkrip Sultan Hamid II, kepada Solichim Salam, 15 April 1967, halaman 6.
[86] Dokumen Sketsa D Ruhl Jr sebagai perbaikan rancangan Sultan Hamid II sebelumnya, saat aslinya masih dipegang oleh kerabat Istana Kadriah Pontianak dan berada pada Yayasan Sultan Hamid II Jakarta, Max Yusuf Alkadrie, Jeruk Purut Jakarta Selatan, juga repronya dipasang di Istana Kadriah Pontianak, dokumen ini direpro oleh peneliti dari Syraif Said Al-Kadrie, mantan anggota DPR-RI asal Kalimantan Barat, 1999.
[87] Dokumen ini peneliti dapat dari sejarahwan Konstitusi UI, Prof .Dr A.B Kusuma,SH.MH dari Buku Lukisan Revolusi Indonesia1945-1950, terbitan Kementerian Penerangan yang direpro tahun 1999.
[88] Majalah Gatra: " Bung Karno, Ikan dan Air" Edisi No 32 Tahun I, 25 Juni 1995, hal 51 dan lihat juga Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jakarta, PT Cipta Adi Pustaka, 1989, hal 65-66.
[89] Transkrip Sultan Hamid II kepada Solichim Salam, 15 April 1967, halaman 6
[90] Dokumen lambang negara ini sudah diserahkan oleh Sultan Hamid II kepada H. Mas Agung, 18 Juli 1974 di Yayasan Idayu Jakarta dan saat ini masih tersimpan dengan baik di ruang pribadi Almarhum H. Mas Agung, Yayasan Mas Agung Jln Kwitang Jakarta dan gambar lambang negara ini kemudian menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan Pasal 6. ada sedikit perbedaan lambang negara yang menjadi lampiran resmi UU No 24 Tahun 2009, yaitu simboli sila kelima, khususnya kapas mengikuti warna alamiah, yaitu hijau putih yang sebelum berwarna kuning emas.
[91] Transkrip Sultan Hamid II pada Solichim Salam, 15 April 1967, halaman 6
[92] Transkrip Sultan Hamid II kepada Solichim Salam, 15 April 1967. ibid halaman 6
[93] Kryztof Stefan Kuczynski, "Orzel Bialy-Herb Polski Iznak Polakow" Translation In English By Adezey. 'The White Eagle-70 Years of the coat of Arms of the Polis State. Kedutaan Besar Negara Polandia, 1992
[94] Transkrip Sultan Hamid II kepada Solichim Salam , 15 April 1967, op cit, halamanan 4-5
[95] Pidato Presiden Soekarno 22 Juli 1958 , Arsip Nasional, 1999,
[96] Transkrip Sultan Hamid II kepada Solichim Salam, 15 April 1967, halaman 9.
[97] Tulisan Sultan Hamid II pada Kertas berlogo RTC 1949 ketika menyerahkan File Lambang Negara kepada H. Mas Agung , 18 Juli 1974, sumber dokumen dari Max Yusuf Al Kadrie, 1999,
[98] Keterangan dari kedua Pustakawi Idayu, diterangkan dalan surat keterangan di atas materai, tahun 1999 dan menyatakan, bahwa kedua pustakawati telah diperintah oleh Mas Agung untuk menyimpan dan merawat file dokumen lambang negara dari Sultan Hamid II dan file tersebut saat ini masih disimpan dengan baik oleh Yayasan Mas Agung di ruang pribadi Mas Agung, Jalan Kwitang Jakarta.
[99] Z Yasni, Bung Hatta Menjawab, Jakarta Gunung Agung, 1978 cetakan III, 108-112
[100] Akmal Sutja, Sekitar Garuda Pancasila, Bandung ,Angkasa, 1986, hal 78-79
[101] Mimbar UNTAN: " Siapa Perancang Garuda Pancasila, Edisi No 11 & 12 Tahun X, 1994, hal 2.
[102] Muhammad Yamin, 6000 Tahun Sang Merah Putih, (Siguntang, 1954), hal 183
[103] Transkrip Sultan Hamid II Kepada Solichim Salam, 15 April 1967, sebagaimana disalin kembali oleh Sekerataris Pribadi Sultan Hamid II, Max Yusuf Al Kadrie, halaman 9.
[104] Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jilid 17 (Jakarta : PT. Cipta Adi Pustaka, 1989), hal 365-366 atau lihat Ensiklopedia Indonesia Edisi Khusus, Aid 7 (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1986), hal 3970.
[105] Buku Proses Peristiwa Sultan Hamid II (Jakarta : Persaja, 1954), hal 176.
[106] Dalam katalog pameran Haris Purnomo 2006, yang bertajuk "Dibawah Sayap Garuda" ada tulisan Hendro Wiyanto selaku kurator yang mengulas perihal sayembara Lambang Negara 1947, bahkan di tahun 1951 sebuah artikel Oesman Effendi (1918-19850 pernah menulis sebuah artikel dengan judul "Tanda Lambang Garuda" yang berisi komentarnya tentang hasil rancangan sejumlah pelukis yang telah menuangkan gagasannya ke dalam bentuk lambang negara. Permintaan membuat rancangan lambang negara kepada para pelukis oleh pemerintah sudah dilakukan semenjak 1947, melalui organisasi seni lukis seperti SIM (Seniman Indonesia Muda), Pelukis Rakyat, PTPI, dan KPP bagian kesenian. Namun sayang sekali menurut Oesman kebanyakan pelukis kuran paham hukum-hukum kesejarahan dari tanda lambang negara...Ada jarak waktu yang cukup lama antara 1947, ketika lambang negara disayembarakan, konon hasilnya tidak satupun dari rancangan lambang negara hasil lomba tersebut yang kita kenal seperti sekarang, hingga 10 Januari 1950 ketika Panitia Lencana Negara (lambang Negara). Dalam waktu relatif singkat, tepatnya 10 Februari 1950, rancangan lambang negara sudah bisa diajukan Sultan Hamid II kepada Presiden Soekarno. Lihat Nanang Hidayat, Mencari Telur Garuda, Nalar, Jakarta 2008. hlm 27-28. Jadi jika tahun 1947 tak satupun hasil sayembara yang mememuhi syarat semiotika/semiologi, maka gambar lambang negara siapakah yang terlampirkan dalan PP No 66 Tahun 1951 (pasal 6) dan UU No 24 Tahun 2009 (pasal 50), secara sejarah hukum penulis tetap berkesimpulan bahwa gambar yang dilampirkan dalam peraturan perundang-undangan itu adalah rancangan terakhir Sultan Hamid II yang saat ini file dokumen aslinya ada di Yayasan Mas Agung- yang dahulu berada di Yayasan Idayu Jakarta sebagaimana diserahkan oleh Sultan Hamid II 18 Juli 1974.
[107] Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Sejarah, Kompas, Jakarta, Juli 2010. hlm 209-213
[108] Nanang Hidayat, Mencari Telur Garuda, Nalar Jakarta, 2008,hlm 30.
[109] Kronologis dalam disertasi ini lebih dipertajam untuk melengkapi kronologis berdasarkan kajian normatif dari penelitian tesis oleh Turiman: " Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara Dalam Peraturan Perundang-Undangan), 2000, UI, hal 65-75.
[110] Metode MSFQ adalah sebuah metode pemahaman Al-Qur'an yang dikembang oleh K.H Lukman AQ Soemabrata selama 13 Tahun dalam mengkaji Struktur Al-Qur'an yang kemudian sampai pada kesimpulan, bahwa sesungguhnya Struktur Al-Qur'an itu berthawaf, untuk memahami kajian keilmuan Struktur Al-Qur'an ini melalui pendekatan munasabah dengan menggunakan metode yang disebut MSFQ, di Indonesia sudah banyak diterbitkan buku yang membahas metode tersebut, yaitu: Konstruksi Al-Qur'an, salah satunya adalah Gus AA & Jiyad At Tubani, Membaca dan Memahami Konstruksi Al-Qur'an, Indomedia Group, Oktober 2006, hal 15- 41.
[111] Transkrip Sultan Hamid II yang dijelaskan kepada Solichim Salam, 15 April 1967 sebagaimana disalin oleh sekrataris peribadi Sultan Hamid II: Max Yusuf Al- Kadrie. Halaman 5-6
[112] Transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967, ibid halaman 7
[113] Transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967, ibid, halaman 8
[114] Transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967, ibid, halaman 7
[115] Penjelasan yang sama pada Pasal 4 angka romawi IV dan penjelasan pasal 4 PP No 66 Tahun 1951.
[116] Pasal 4 PP No 66 Tahun 1951 arah "thawafnya" searah dengan arah jarum jam atau kebalikan, dan arah putaran ini disebut dalam transkrip Sultan Hamid II 15 April 1967, yaiyu "Gilir Balik"
[117] Simbolisasi Lambang Negara diatas terdapat ilustrasi lingkaran yang dimaksudkan untuk menunjukan arah thawaf pada simbolisai sila-sila Pancasila pada Perisai dalam lambang negara Rajawali-Garuda Pancasila, dan arah semiotika hukum Pancasila berthawaf juga dirumuskan secara normatif dalam Pasal 48 UU No 24 Tahun 2009.
[118] Transkrip Sultan Hamid II, 15 April 1967, op cit, halaman 7
[119] Ensiklopedia Pancasila, 1995, halaman 274.
[120] Hatta, Panitia Lima, 1980 dalam Kaelan, Pancasila Yuridis Kenegaraaan, Paradigma, Yogyakarta, edisi ketiga, 1999, halaman 86.
[121] Pembahasan tentang ini dapat dilihat dalam Darji Darmodihardjo, Nyoman Dekker, M A.G Pringgodigdo, M Mardoyo, Kuntjoro Purbopranoto,J W Sulandra, Santiaji Pancasila,, Usaha Nasional, Surabaya ,1984.
[122] Penjelasan Pasal 4 PP No 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara.
[123] Istilah universal disini dalam tataran filsafat adalah Logosentrisme, yaitu kecenderungan pemikiran yang mencari legitimasi dengan mengacu pada dalil-dalil kebenaran universal atau jaminan makna sentral dan orisinal (mind, wahyu, dan sebagainya) lihat Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematika fondasi Filsafat Pegembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm xii.
[124] Alinea III Pembukaan UUD 1945 "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas rakyat Indonesia menyatakan dengan kemerdekaannya", Kalimat "…Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, adalah merupakan suatu pengakuan adanya Hukum Tuhan, Adapun kalimat " dengan didorong keinginan luhur.."adalah merupakan pengakuan adanya suatu Hukum Moral atau Hukum Etis, Pasal 29 Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan negara mengakui keberadaan Tuhan, karena esensi sila ke I adalah Tuhan.
[125] Transkrip Sultan Hamid II yang dijelaskan kepaada Solichim Salam, 13 April 1967.
[126]Jimly Asshiddigie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, MK dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, halaman 52-53.
[127]Soekarno dalam Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila Pendekatan melalui Metafisika, Logika dan Etika , Edisi 3,Hanindita, Yogyakarta, 2000, halaman 72.
[128]Soekarno Dalam Sunoto, Ibid halaman 73.
[129] Kata Pengantar Rancangan Buku Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia (Membaca Semiotika Hukum Pancasila Dalam Perisai Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila dengan seboyan Bhinneka Tunggal Ika yang akan diterbitkan oleh Mahkamah Konsitusi RI.
7 komentar:
NAMA : ORBI HILDIANTO
NIM : A1012131108
MATA KULIAH : ILMU NEGARA
FAKULTAS : HUKUM
KELAS : C/ REGULAR B
Saya sangat bangga dengan apa yang telah Bapak lakukan, setelah membaca artikel Bapak tentang Sejarah Hukum Lambang Negara RI
saya mengetahui kesalahan sejarah yang telah berlangsung selama in salah satunya mengenai lambang sila 1 dan pencipta Lambang Negara RI ,
selanjutnya yang timbul dibenak saya adalah
bagaimana tindakan kita selanjutnya sebagai orang yang telah mengetahui kebenaran sejarah mengenai hal di atas ?
Menurut saya harus ada tindakan kongkrit agar kebenaran sejarah dapat terungkap dan tidak tertutup seperti selama ini.
NAMA :JUANDA RKI
NIM :A1012131126
KELAS :C/REGULAR B
MATA KULIAH :ILMU NEGARA
FAKULTAS :HUKUM
Menurut saya sejarah yang ada di indonesia belum tepat karena terdapat berbagai kesalahan atau kekeliruan mengapa hal ini bisa terjadi? hal sangat berbeda dengan apa yang di pelajari selama ini sejak dulu sampai sekarang hal ini membuktikan bahwa indonesia hanya mementing kan diri sendiri tanpa memikirkan orang banyak atau rakyat indonesia.
NAMA :EDUARDUS RIO WINALDO
NIM :A1012131103
KELAS :C
MATA KULIAH :ILMU NEGARA
FAKULTAS :HUKUM
Menurut saya kesalahan atas rancangan lambang negara merupakan salahsatu kesalahan sejarah yang membodohkan rakyat indonesia untuk memahami sebuah arti dari lambang negara itu sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah kerja keras dari berbagai pihak salahsatunya adalah lembaga pendidikan untuk menanamkan ilmu kebenaran tentang sebuah lambang negara. Sehingga dapat membelok arahkan pembodohan sejarah yang tidak benar dimasa lalu.
NAMA : DEDI BARYANSAH
NIM : A1011141131
KELAS : C ( REGULER A )
MATA KULIA : ILMU NEGARA
FAKULTAS : HUKUM
TANGGAL : JUM’AT, 9 JANUARI 2015
WAKTU : 20.14 WIB
Ass. Wr. Wb.
Merujuk pada Pasal 57 huruf c UU No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan berbunyi:
Setiap orang dilarang membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara.
Adapun ancaman pidananya ada pasal 69 huruf b berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta setiap orang yang membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara.
Membuat saya bertanya – tanya, apakah penggunaan lambang Garuda yang menyerupai Lambang Negara RI yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 57 huruf c UU No 24/2009 sehingga bisa dikenakan pidana sesuai dengan ketentuan pasal 69 huruf b ?
Apakah perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana meskipun tidak bersifat melawan hukum, namun perbuatan tersebut memenuhi rumusan formal undang-undang yang berlaku ?
Sekian dari saya, mohon penjelasannya. Trims.
Wass. Wr. Wb.
Terima kasih atas informasi dan ilmunya Bapak,
saya sangat membutuhkan banyak infomasi tentang Burung Garuda karena sedang menyelesaikan peneliti Disertasi tentang Filsafat Lingkungan Burung Garuda. JIka bileh saya berasumsi;
kiranya berkenan saya berkonsultasi by email.
TErima kasih, Wassalam
Terima kasih atas informasi dan ilmunya Bapak,
saya sangat membutuhkan banyak infomasi tentang Burung Garuda karena sedang menyelesaikan peneliti Disertasi tentang Filsafat Lingkungan Burung Garuda. JIka bileh saya berasumsi;
kiranya berkenan saya berkonsultasi by email.
TErima kasih, Wassalam
assalamualaikum pak,,, saya ingin sedikit bertanya kepada bapak, tentang bagaimana cara mencari jumlah hitungan 4/5 atau 45 pada jumlah helai bulu pada leher burung garuda pada lambang garuda pancasila pak. terimakasih banyak sebelumnya pak, saya ucapkan terimakasih.
Posting Komentar