MEMAHAMI KEDUDUKAN PERDA DALAM TATARAN ILMU PERUNDANG-UNDANGAN DAN CITA HUKUM INDONESIA
Oleh Turiman Fachturahman Nur
Abstrak
Di era otonomi daerah sekarang ini ada kegamangan memahami Peraturan Daerah sebagai regulasi untuk mengimplementasi pelaksanaan otonomi daerah, sehingga terjadilah “over dosis“ produk hukum daerah yang namanya PERDA, sedangkan PERDA hanyalah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan di daerah disamping itu tidak semua masalah di daerah harus dibuat PERDA dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah, karena fungsi Peraturan Daerah mempunyai berbagai fungsi yaitu: sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Dan merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kemudian sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah, oleh karena itu materi muatan PERDA disamping menampung keragaman daerah tetapi materi muatannya tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, hanya masalah mewujudlkan nilai-nilai dari tataran abstrak ke ketataran kongkrit, disini perlu adanya reaktualisasi pembacaan Pancasila yang selaras kontektual saat ini dan perlunya naskah akademik ketika merancang PERDA.
Kata Kunci : Peraturan Daerah, Peraturan Perundang-Undangan, Cita Hukum: Pancasila.
A. Kedudukan PERDA sebagai Produk Hukum Daerah
Ketika kita membahas kedudukan PERATURAN DAERAH atau PERDA sebagai produk hukum daerah dalam struktur hirarki peraturan perundang-undangan, maka yang patut dipahami secara konsepsional adalah bahwa PERDA adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan, oleh untuk tidak bias pemahaman perlu kita ketahui apa yang dimaksud peraturan perundang-undangan, dan apa pengertian PERDA itu sendiri sebagai produk hukum daerah, apakah ada jenis produk daerah lain yang juga jenis peraturan perundang-undangan, karena ada pandangan di birokrasi pemerintahan di daerah bagaimana jika PERDA materi muatan mengacu kepada peraturan menteri sedangkan peraturan menteri tidak muncul dalam hirarki peraturan perundang-undangan, kemudian bagaimana mengacunya ketika kita merancang sebuah PERDA agar tidak menabrak peraturan menteri, mengapa demikian karena tidak dipungkiri banyak Peraturan Menteri yang harus diacu, bahkan Peraturan Presiden atau lebih tinggi lagi Peraturan Pemerintah atau lebih tinggi Undang-Undang, yang jadi masalah kadangkala para pemangku kepentingan (birokrasi pemerintahan) mendapatkan antar jenis peraturan perundang belum sinkron baik secara vertical maupun horizontal, oleh karena bahan ini membantu para peserta bimbingan teknis dalam merancang sebuah produk hukum daerah yang nama PERDA.
Untuk memahami secara holistik dan komprehensif, maka perlu disamakan persepsi apakah yang dimaksud peraturan perundang-undangan itu ? mengacu pada ketentuan normatif dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan aturan teknisnya, yaitu Permendagri No 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Berdasarkan pasal 1 angka 2 Peraturan Perundangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum (Pasal 1 angka 2 UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan LN RI TAHUN 2004 Nomor 53)
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No 10 Tahun 2004 ada dua subtansi yang perlu digaris bawahi, yaitu bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, hal ini berarti secara konsepsional peraturan perundang bisa terbit dari lembaga negara pada satu sisi atau dari pejabat yang berwenang, kata kuncinya adalah kewenangan.
Berkaitan dengan kewenangan tentunya berdasarkan struktur tata pemerintahan daerah kewenangan yang bersumber pada asas dekonsentrasi, desentralisasi dan medebewin tugas pembantun, pertanyaannya adalah PERDA sebagai produk hukum daerah bersumber dari kewenangannya yang mana dari ketiga asas tersebut ?
Berdasarkan Permendagri No 16 Tahun 2006 memberikan batasan normatif apa yang dimaksud Produk Hukum Daerah yaitu adalah peraturarn daerah yang diterbitkan oleh kepala daerah dalam rangka pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah (Pasal 1 angka 2 ) jelas kepala daerah adalah pejabat yang berwenang yang kewenangannya sudah jelas dalam UU No 32 Tahun 2004 pada Paragraf Kedua bagian keempat menyatakan secara jelas bahwa Tugas dan Wewenang serta Kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada Pasal 25 Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang: a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; b. mengajukan rancangan Perda; c.menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; d menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama; e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; g. dan melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ketika melaknakan tugas dan wewenang tersebut Kepala Daerah terdapat kewajiban yaitu pada Pasal 27 (1) UU No 32 Tahun 2004, bahwa "Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b meningkatkan kesejahteraan rakyat; b memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; c. melaksanakan kehidupan demokrasi; d. menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundangundangan; e. menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; f.memajukan dan mengembangkan daya saing daerah; g melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik. h. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah; i. menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah; j menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD.
Pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud dengan PERDA untuk memahami ini pertanyaan bisa dipertajam bagaimana kedudukan PERDA Kedudukan Peraturan Daerah, yaitu bahwa Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.Pada saat ini Peraturan Daerah mempunyai kedudukan yang sangat strategis karena diberikan landasan konstitusional yang jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Fungsi Peraturan Daerah Peraturan Daerah mempunyai berbagai fungsi yaitu: sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada ketentuan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah
Pertanyaan bagaimana secara normatifnya ? disini kita berbicara SUBTANSI PERDA, bahwa Peraturan Daerah (PERDA) : Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Persetujuan Bersama Kepala Daerah (Pasal 1 Angka 7 UU No 10 Tahun 2004) dan Materi Muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi (Pasal 12 UU No 10 Tahun 2004) Dengan demikian esensi PERDA ada empat hal : 1. Penyelenggaraan otonomi daerah 2. Tugas pembantuan, dan 3. Menampung kondisi khusus daerah serta 4. Penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang - Undangan yang lebih tinggi.
Pada tataran penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan disinilah kita berbicara tentang hirarki peraturan perundang-undangan pertanyaannya secara konsepsional ada landasan akademisnya (teoritis) tentang hirarki norma hukum (tertulis) itu ?
Untuk memberikan pemahaman kita eksplorasi apakah sebenarnya peraturan perundangan secara akademis? sedikit sebagai bahan rujukan, Peraturan perundang-undangan, menurut Bagir Manan adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum.[1]
Yang dimaksud dengan “yang berwenang” adalah “yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif” sebagaimana terungkapkan dalam pengertian peraturan perundang-undangan yang dikemukakan Bagir Manan dan Kuntana Magnar, bahwa peraturan perundang-undangan adalah setiap putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga dan atau Pejabat Negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku.[2] Dari pengertian peraturan perundang-undangan yang dikemukakan Bagir Manan dan Bagir Manan bersana dengan Kuntana Magnar mengemukan sejumlah unsur yakni:
1. keputusan tertulis;
2. yang dikeluarkan oleh lembaga dan atau pejabat negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif;
3. yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum;
4. sesuai dengan tata cara yang berlaku.
Pengertian peraturan perundang-undangan secara otentik dapat ditemukan dalam UU Nomor 10 tahun 2004, Pasal 1 angka 2, bahwa Peraturan Perundang- undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian tersebut adalah:
1. peraturan tertulis;
2. mengikat secara umum; dan
3. yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang.
Lembaga negara atau pejabat yang berwenang tersebut baik di pusat maupun di daerah. Sehingga peraturan perundang-undangan daerah dapat dimengerti sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang di daerah. Salah satu jenis peraturan perundang-undangan daerah adalah Peraturan Daerah, yang menurut Pasal 1 angka 7 UU Nomor 10 Tahun 2004 adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah. Yang lainnya adalah peraturan kepala daerah yakni peraturan Gubernur dan peraturan bupati/walikota (Pasal 1 angka 11 UU Pemda).
Mengacu pada kepustakaan Belanda, A. Hamid. S. Attamimi mengemukakan, pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakekatnya ialah pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum.[3] Norma hukum berlaku keluar berarti berlaku baik bagi jajaran pemerintahan maupun bagi rakyat.[4] Sedangkan norma hukum bersifat umum, menurut FR. Bohtlingk dan JHA. Logeman, mengandung pengertian berhubungan dengan ruang berlaku, yakni berlaku di seluruh wilayah, berhubungan dengan waktu berlaku, yakni berlaku terus-menerus, berhubungan dengan subyek hukum yang terkena norma hukum, yakni berlaku untuk semua orang, dan berhubungan dengan fakta yang terulang.[5]
Dalam perkembangannya, kriteria yang lazim digunakan adalah dari segi subyek dan obyek. Dari segi subyek, apabila yang terkena norma hukum itu adalah orang atau orang-orang tidak tertentu disebut norma umum, sedangkan bila yang terkena itu adalah orang atau orang-orang tertentu disebut norma individual. Dari segi obyek, apabila norma hukum itu mengenai hal tidak tertentu disebut disebut norma abstrak, sedangkan jika mengenai hal tertentu disebut norma konkrit. Keempat macam norma hukum itu dapat dikombinasikan menjadi 4 (empat) kategori norma hukum, yakni: norma hukum umum-abstrak, norma hukum umum-konkrit, norma hukum individual-abstrak, dan norma hukum individual-konkrit.[6]
Peraturan perundang-undangan seyogyanya mengandung norma hukum yang umum-abstrak, atau sekurang-kurangnya yang umum-konkrit, demikian A. Hamid. S. Attamimi, sedangkan norma hukum lain-lainnya, yaitu yang individual-abstrak, dan lebih-lebih yang individual-konkrit, lebih mendekati penetapan (beschikking) daripada peraturan (regeling).[7]
Secara otentik pengertian pembentukan peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 10 Tahun 2004, “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.”
Dalam pengertian tersebut penyebarluasan peraturan perundang-undangan dimasukan sebagai salah satu bagian proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Padahal penyebarluasan peraturan perundang-undangan dilakukan setelah peraturan perundang-undangan dibentuk atau dibuat. Jadi, berada di luar proses pembuatan peraturan perundang-undangan, tetapi saat ini itu menjadi penting karena berkaitan dengan program sosialiasi..
Mengaitkan pengertian otentik tentang peraturan perundang-undangan berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 dengan pengertian secara teoritik, maka diperoleh pemahaman mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan mengandung unsur-unsur pengertian sebagai berikut:
1. proses pembuatan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum;
2. dilakukan oleh badan atau pejabat yang berwenang; dan
3. yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan.
Dengan demikian pembentukan peraturan perundang-undangan daerah dapat dimengerti sebagai proses pembuatan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum yang dilakukan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang di daerah, yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Oleh karena Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan perundang-undangan daerah, maka pembentukan Peraturan Daerah yang dapat dimengerti sebagai berikut:
1. proses pembuatan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum;
2. dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah; dan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan.
Kemudian bagaimana tentang Hierarki peraturan perundang-undangan yang diterapkan di Indonesia sebenarnya didasarkan pada Stufentheorie dari Hans Kelsen. Menurut Hans Kelsen yang merupakan teori abad 19, tatanan hukum, terutama tatanan hukum yang dipersonifikasikan dalam bentuk negara, bukanlah sistem norma yang satu sama lain hanya dikoordinasikan, yang berdiri sejajar atau sederajat, melainkan suatu tatanan urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda.
Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu − yakni norma yang lebih rendah − ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh suatu norma dasar.[8]
Stufentheorie dari Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl. Kemudian oleh Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen, mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Teori yang dikembangkan Hans Nawiasky ini dikenal sebagai die Theorie vom Stufenordnung der Rechtnormen, yakni Suatu norma hukum dari negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang; suatu norma hukum yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi; norma hukum yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi lagi; sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut, yaitu staatsfundamentalnorm. Selain norma hukum itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, juga berkelompok-kelompok. Kelompok-kelompok norma hukum dalam suatu negara terdiri atas 4 kelompok besar[9]:
Kelompok I | : | Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara). |
Kelompok II | : | Staatsgrundgesezt (Aturan Dasar Negara). |
Kelompok III | : | Formell Gesezt (Undang-Undang Formal). |
Kelompok IV | : | Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan Otonom). |
Asas preferensi yang berlaku dalam konteks ini adalah lex superior derogate legi inferior, yakni peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan (menderogasi) peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
Hierarki Peraturan Perundang-undangan yang berlaku sekarang adalah sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Pengaturan sebelumnya mengenai hierarki itu dapat dilacak sampai pada tahun 1950. Berikut ini dipaparkan perkembangan pengaturan mengenai hierarki tersebut dari tahun 1950 sampai dengan tahun 2004 dalam upaya mendapatkan pemahaman yang lebih memadai mengenai kedudukan peraturan perundang-undangan daerah, khususnya Peraturan Daerah, dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Dalam UU No. 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, Pasal 1, diatur bahwa jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah:
a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
b. Peraturan Pemerintah,
c. Peraturan Menteri.
Pasal 2 diatur, tingkat kekuatan peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah menurut urutannya pada Pasal 1. Kedua ketentuan tersebut menunjukkan politik perundang-undangan mengenai jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan pusat yang berlaku saat itu.
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI. Bentuk-bentuk Peraturan Perundangan RI ialah:
- UUD RI 1945,
- Ketetapan MPR (S),
- Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
- Peraturan Pemerintah,
- Keputusan Presiden,
- Peraturan pelaksanaan lainnya seperti:
- Peraturan Menteri,
- Instruksi Menteri,
- dan lain-lainnya.
Sesuai dengan sistem konstitusi seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan authentik UUD 1945, UUD RI adalah bentuk peraturan perundangan yang tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan-peraturan bawahan dalam Negara. Sesuai pula dengan prinsip Negara Hukum, maka setiap peraturan perundangan harus bersumber dan berdasar dengan tegas pada peraturan perundangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatannya (Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966).
Ketetapan MPRS tersebut menegaskan politik perundang-undangan mengenai bentuk (baca: jenis) dan tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku sejak saat itu. Sekalipun tidak tegas keberadaan peraturan perundang-undangan daerah dalam tata urutan itu, namun keberadaannya dapat diinterpretasikan dari kata “dan lain-lainnya.” Artinya, baik Peraturan Daerah maupun Peraturan Kepala Daerah (Keputusan Kepala Daerah saat itu) berada di bawah Instruksi Menteri.
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Ketetapan MPR ini ditentukan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata urutan peraturan perundang-undangan RI adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. UU;
4. PERPU;
5. PP;
6. Keppres;
7. Perda (Pasal 2).
a. Perda provinsi.
b. Perda kabupaten/kota.
c. Perdes (ayat (7) Pasal 3).
Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi (ayat (1) Pasal 4). Peraturan atau keputusan MA, BPK, menteri, BI, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan (ayat (2) Pasal 4).
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 menunjukkan politik perundang-undangan mengenai:
1. Jenis peraturan perundang-undangan yang terdiri dari jenis jenis peraturan perundang-undangan di dalam tata urutan dan jenis peraturan perundang-undangan di luar tata urutan.
2. Peraturan Daerah merupakan jenis peraturan perundang-undangan di dalam tata urutan, yang membawa implikasi hukum bahwa jenis peraturan perundang-undangan di luar tata urutan (Peraturan atau keputusan MA, BPK, menteri, BI, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah) tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, termasuk tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Daerah.
3. Peraturan perundang-undangan yang berada dalam jenis Peraturan Daerah, yakni Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, dan Perdes, tidaklah berada dalam tata urutan berdasarkan Ketetapan MPR tersebut.
Dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 diatur bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah (ayat (1) Pasal 7), meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi.
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota.
c. Peraturan Desa.
Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi di Daerah Provinsi Papua (Penjelasan ayat (2) huruf a Pasal 7).
Dalam ayat (5) diatur, kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Penjelasan ayat (5) Pasal 7).
Seperti halnya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, UU Nomor 10 Tahun 2004 juga mengenal jenis peraturan perundang-undangan di luar tata urutan (di luar hierarki). Ini diatur dalam Pasal 7 ayat (4), jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Selanjutnya dalam penjelasannya diterangkan, bahwa jenis peraturan perundang-undangan dimaksud antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh:
a. MPR, dan
b. DPR,
c. DPD,
d. MA,
e. MK,
f. BPK,ubernur BI,
g. Menteri,
h. Kepala badan, lembaga, atau lomisi yang setingkat yang dibentuk oleh UU atau pemerintah atas perintah UU,
i. DPRD Provinsi,
j. Gubernur,
k. DPRD Kabupaten/Kota,
l. Bupati/Walikota,
m. Kepala Desa atau yang setingkat.
UU Nomor 10 Tahun 2004 tersebut menunjukkan politik perundang-undangan mengenai:
1. Jenis peraturan perundang-undangan yang terdiri dari jenis jenis peraturan perundang-undangan di dalam hierarki dan jenis peraturan perundang-undangan di luar hierarki.
2. Jenis peraturan perundang-undangan daerah meliputi Peraturan Daerah (Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa), Peraturan DPRD (Peraturan DPRD Provinsi dan Peraturan DPRD Kabupaten/Kota), Peraturan Kepala Daerah (Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota), dan Peraturan Kepala Desa.
3. Peraturan Daerah merupakan jenis peraturan perundang-undangan di dalam hierarki, yang mempunyai kekuatan hukum sesuai dengan hierarkinya.
Hubungan antara Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa, tidaklah hubungan hierarki. Peraturan DPRD (Peraturan DPRD Provinsi dan Peraturan DPRD Kabupaten/Kota), Peraturan Kepala Daerah (Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota), dan Peraturan Kepala Desa berada di luar hierarki, yang mempunyai kekuatan hukum sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kemudian bagaimana tentang Jenis dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Daerah ?
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka jenis peraturan perundang-undangan daerah meliputi:
1. Peraturan Daerah, yang meliputi:
a. Peraturan Daerah Provinsi,
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan
c. Peraturan Desa.
2. Peraturan DPRD, yang meliputi:
a. Peraturan DPRD Provinsi, dan
b. Peraturan DPRD Kabupaten/Kota.
3. Peraturan Kepala Daerah, yang meliputi:
a. Peraturan Gubernur, dan
b. Peraturan Bupati/Walikota.
4. Peraturan Kepala Desa.
Sesuai dengan asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan (Pasal 5 huruf c UU Nomor 10 Tahun 2004), maka jenis-jenis peraturan perundang-undangan daerah itu haruslah berisi materi muatan yang tepat.
Penggunaan istilah ”materi muatan” diperkenalkan oleh Abdul Hamid Saleh Attamimi sebagai pengganti kata Belanda ”het onderwerp” dalam ungkapan Thorbecke ”het eigenaardig onderwerp der wet”, diterjemahkan dengan ”materi muatan yang khas dari undang-undang”, yakni materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat dalam undang-undang dan oleh karena itu menjadi materi muatan UU. (Attamimi 1979, 1982, dan 1990). Dalam UU P3, istilah materi muatan peraturan perundang-undangan diartikan sebagai materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan (Pasal 1 angka 12).
Berdasarkan pengertian tersebut, maka materi muatan peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat dalam jenis peraturan perundang-undangan tertentu, yang tidak menjadi materi muatan jenis peraturan perundang-undangan lainnya. Khususnya, mengenai materi muatan Perda, maka berarti materi pengaturan yang khas yang dimuat dalam Perda, yang tidak dimuat baik dalam peraturan perundang-undangan daerah lainnya maupun peraturan perundang-undangan pusat.[10]
Mengenai materi muatan peraturan perundang-undangan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 secara tegas diatur dalam Bab III yang bertajuk Materi Muatan, yakni
1. Materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi hal-hal yang:
a. mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang meliputi:
1. hak-hak asasi manusia;
2. hak dan kewajiban warga negara;
3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;
4. wilayah negara dan pembagian daerah;
5. kewarganegaraan dan kependudukan;
6. keuangan negara.
b. diperintahkan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU (Pasal 8).
2. Materi muatan PERPU sama dengan materi muatan UU (Pasal 9), yang ditetapkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa (Pasal 1 angka 4).
3. Materi muatan PP berisi materi muatan untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya (Pasal 10).
4. Materi muatan Perpres berisi materi yang diperintahkan oleh UU atau materi untuk melaksanakan PP ([Pasal 11).
Materi muatan tersebut adalah materi muatan peraturan perundang-undangan pusat. Hal tersebut penting dipahami dalam upaya memperjelas pemahaman mengenai materi muatan peraturan perundang-undangan daerah.
Materi muatan peraturan perundang-undangan daerah adalah sebagai berikut:
1. Materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 12).
2. Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 13).
3. Materi muatan Peraturan Kepala Daerah adalah materi untuk melaksanakan Peraturan Daerah atau atas kuasa peraturan perundang-undangan ((Pasal 146 ayat (1) UU Pemda).
4. Peraturan DPRD, masih perlu diadakan kajian mengenai materi muatannya. Contoh materi muatan Peraturan DPRD adalah Peraturan Tata Tertib DPRD (Pasal 54 ayat (6) UU Pemda).
Khusus mengenai materi muatan Perda dapat dikemukakan kembali, bahwa materi muatannya pada dasarnya adalah:
1. Seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah (termasuk di dalamnya seluruh materi muatan dalam rangka menampung kondisi khusus daerah, sebab kondisi khusus daerah merupakan salah satu karakter dari otonomi daerah, yakni karakter “nyata” dan yang lainnya adalah seluas-luasnya dan bertanggung jawab).
2. Seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan tugas pembantuan, dan
3. Penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Khususnya mengenai materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah harus merujuk pada ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 UU No 32 Tahun 2004, yang masing mengatur urusan wajib dan urusan pilihan daerah provinsi dan urusan wajib dan urusan pilihan daerah kabuipaten/kota. Pembagian urusan ini lebih lanjut diatur dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yang penetapan masing-masing urusan itu oleh Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerah.
Selanjutnya apapun jenis peraturan perundang-undangan akhir bersumber pada Rects Idee Indonesia yang telah disepakati yaitu Pancasila, tetapi bagaimana menjabarkan Pancasila sebagai sumber hukum negara dalam struktur peraturan perundang-undangan. Mengacu pada konsep negara hukum Indonesia telah disepakati bahwa Pancasila adalah cita hukum (recht idee) Indonesia dan secara konstitusional telah diformulasikan oleh para pendiri negara ini pada alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 kemudian telah dijabarkan lanjut kedalam peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang No 10 Tahun 2004 pada Pasal 2 menyatakan : "Pancasila merupakan sumber dari sumber hukum negara dan Penjelasan Pasal 2: Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah sesuai dengan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap MATERI MUATAN Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam PANCASILA.
B. Mewujudkan Nilai Pancasila dalam Materi Muatan PERDA.
Permasalahannya adalah bagaimana mewujudkan Pancasila sebagai recht idee/cita hukum tersebut ke dalam materi muatan PERDA berdasarkan konsep bernegara hukum yang khas Indonesia, tentunya secara teoritis paparannya pada satu sisi tentunya kita memasuki sebuah konsep tentang pembaharuan hukum yang merupakan bagian dari politik hukum nasional, pada sisi lain dalam hal ini pada sisi kenegaraan tentunya perlu ada kesamaan komitmen, visi dan misi, yaitu menjadikan negara hukum Indonesia sebagai “rumah yang nyaman dan membahagiakan bagi segenap komponen bangsa.“ berdasarkan kepada cita hukum, yaitu Pancasila.
Saat ini orang mulai sedikit-demi sedikit membicarakan kembali Pancasila dan menjadikannya sebagai wacana publik. Beberapa istilah baru diperkenalkan untuk melihat kembali Pancasila. Kuntowijoyo memberikan pemahaman baru yang dinamakan radikalisasi Pancasila[11]. Azyumardi Azra menggunakan istilah rejuvenasi Pancasila[12]. Koento Wibisono mengatakan perlunya reposisi dan reorientasi Pancasila (Makalah Pelatihan Nasional Dosen Pancasila . 2004). Simposium Hari Lahir Pancasila di Kampus FISIP UI Depok tanggal 31 Mei 2006 menggunakan istilah restorasi Pancasila. Ada pula yang menggunakan istilah “dekontruksi” Pancasila[13]
Jika menyimak istilah-istilah yang dipakai di atas, nampaknya Pancasila ingin diberlakukan “kembali” (re/de) tetapi dengan pemahaman yang boleh dikatakan baru atau tidak lagi seperti masa lalu. Wacana ini menjadi penanda bahwa Pancasila bukanlah yang pantas ikut disalahkan tetapi lumrah untuk terus dibicarakan. Sekaligus pula mengimplikasikan adanya kesamaan pandangan bahwa Pancasila dengan pemaknaan baru itu perlu dilaksanakan dalam kehidupan bernegara. Istilah lain yang muncul adalah bagaimana selanjutnya Pancasila itu dioperasionalkan, dipraktekkan, difungsikan atau dikebumikan.
Sesungguhnya jika dikatakan bahwa rezim sekarang alergi terhadap Pancasila tidak sepenuhnya benar. Pernyataan tegas dari negara mengenai Pancasila menurut penulis dewasa ini adalah dikeluarkannya ketetapan MPR No XVIII/ MPR /1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No II / MPR / 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai dasar Negara. Pada pasal 1 Ketetapan tersebut dinyatakan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
Dokumen kenegaraan lainnya adalah Peraturan Presiden No 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Salah satu kutipan dari dokumen tersebut menyatakan bahwa dalam rangka Strategi Penataan Kembali Indonesia, bangsa Indonesia ke depan perlu secara bersama-sama memastikan Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak lagi diperdebatkan. Untuk memperkuat pernyataan ini, Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada salah satu bagian pidatonya yang bertajuk "Menata Kembali Kerangka Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila" dalam rangka 61 tahun hari lahir Pancasila meminta semua pihak untuk menghentikan perdebatan tentang Pancasila sebagai dasar negara, karena berdasarkan Tap MPR No XVIII/MPR/1998, telah menetapkan secara prinsip Pancasila sebagai dasar negara.[14]
Berdasar uraian di atas menunjukkan bahwa di era reformasi ini elemen masyarakat bangsa tetap menginginkan Pancasila meskipun dalam pemaknaan yang berbeda dari orde sebelumnya. Demikian pula negara atau rezim yang berkuasa tetap menempatkan Pancasila dalam bangunan negara Indonesia. Selanjutnya juga keinginan menjalankan Pancasila ini dalam praktek kehidupan bernegara atau lazim dinyatakan dengan istilah melaksanakan Pancasila. Justru dengan demikian memunculkan masalah yang menarik yaitu bagaimana melaksanakan Pancasila itu dalam kehidupan bernegara ini khusus ketika merancang PERDA.
Permasalahan-permasalahan yang ada di depan mata dan masih terus mengganggu kenyamanan kita bernegara hukum, antara lain:
Pertama, sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah lahir, sampai dengan diakui kedaulatan negara Republik Indonesia 27 Desember 1949 oleh Belanda. Sejak kelahirannya itu telah diumumkan mengenai bentuk negara adalah kesatuan dan bentuk pemerintahannya yaitu republik. Di samping itu secara konstitusional dengan tegas diumumkan pula bahwa Indonesia adalah Negara Hukum (Pasal 1 ayat (3) amandemen UUD 1945. Jadi secara formal Indonesia adalah Negara Hukum. Akan tetapi, bernegara hukum tidak cukup pada tataran formal saja, melainkan harus diikuti dengan upaya-upaya mengisi negara hukum tersebut dengan berbagai perangkat dan perilaku agar benar-benar menjadi negara hukum materiil atau substansial. Pada tataran ini, masih terdapat perbedaan-perbedaan tajam mengenai pemikiran negara hukum yang berimbas pada konsep/model pembaharuan hukum nasional; sebagian ingin berkiblat ke Barat baik ke Eropah Kontinental (Civil law) dan Anglo Saxon atau kombinasi keduanya dan ada juga mengacu ke sistem hukum Islam, dan sebagian lain ingin membumi pada nilai-nilai kultural Indonesia asli. Paparan ini merupakan bagian dari analisis ke arah menjadikan negara hukum substansial itu kedalam tataran konsep. Dapatkah di antara perbedaan pemikiran tersebut diperoleh titik temu sehingga memudahkan model pembaharuan pembentukan hukum nasional?
Kedua, rechtstaat sebenarnya merupakan konsep negara modern yang khas Eropa. Konsep modern ini dibawa masuk ke Indonesia oleh Belanda melalui penjajahan. Belanda sendiri mengalami kesulitan untuk memberlakukannya secara konsisten. Tindakan maksimal yang dapat dilakukan sekedar pencangkokan (transplantasi) hukum modern ke dalam sistem hukum adat yang telah berlaku mapan bagi golongan pribumi. hukum modern tersebut diberlakukan bagi golongan Eropa dan Timur Asing, sementara itu bagi golongan pribumi tetap berlaku hukum adatnya masing-masing. Sebenarnya sekarang kita masih berada dalam masa pencarian, konsep negara hukum seperti apa yang cocok untuk Indonesia itu. Dengan kata lain, konsep Negara hukum itu masih belum jelas, karena masih berada dalam proses pencarian. Kiranya wajar saja apabila kondisi sistem hukum saat ini masih tergolong buruk, bahkan lebih tepat kita belum memiliki blue print sistem hukum. Apakah kita ingin mengoper-alih konsep rechtstaat, memodifikasi atau sekedar mempelajari sebagai perbandingan untuk mendapatkan konsep Negara Hukum[15] khas Indonesia ?
Ketiga, secara ideologis kita sepakat untuk membangun Negara hukum versi Indonesia yaitu Negara hukum berdasarkan Pancasila. Pancasila kita jadikan sebagai sumber dari sumber hukum negara[16]. Nilai-nilai Pancasila harus mewarnai secara dominan setiap produk hukum, baik pada tataran pembentukan, pelaksanaan maupun penegakannya. Apabila Negara hukum Pancasila nanti telah terbentuk, tidaklah menjadi persoalan ketika ternyata Negara hukum tersebut berbeda dengan rechtstaat di Eropa atau Amerika. Hal terpenting adalah konsep Negara hukum Pancasila itu harus mampu menjadi sarana dan tempat yang nyaman bagi kehidupan bangsa Indonesia. Bagaimana supaya posisi dan peran Pancasila dalam bernegara hukum yang kini meredup dapat disegarkan kembali , inilah yang penulis sebut pembaharuan makna Pancasila dalam pembaharuan hukum nasional, yaitu penjabaran nilai-nilai Pancasila kedalam perancangan materi muatan peraturan perundang-undangan?
Keempat, penyegaran Pancasila dalam tataran bernegara hukum yang khas Indonesia sesungguhnya berbanding lurus dengan pembaharuan hukum dalam memberikan makna Pancasila pada penjabarannya sebagai recht ide pada struktur peraturan perundang-undangan baik pada materi muatan yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan atau dpahami sebagai peraturan perundang-undangan organik ataupun karena kebutuhan untuk menyesuaikan kepentingan global serta mengakomodasi kearifan lokal sebagai apresiasi keaneka ragaman daerah sebagai implementasi otonomi daerah atau dipahami sebagai peraturan perundang-undangan non organik.
Kelima, mengapa tidak mengganti Piramida dengan sesuatu yang lebih cair? Seperti lingkaran, sebuah piramida adalah kaku dan membatasi sebuah lingkaran dipenuhi dengan berbagai kemungkinan (Ricardo Semler; Maverick)[17] oleh karena itu secara analisis pendekatan semiologi dalam hal ini semiotika hukum Pancasila dalam Lambang Negara Rajawali-Garuda Pancasila, pembacaan Pancasila masih belum selaras dengan simbolisasi ideologi Pancasila dalam lambang negara di negara hukum Republik Indonesia yang kemudian menjadi amandemen kedua UUD 1945, Pasal 36 A Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika[18] (Lihat tulisan penulis Pancasila Berthawaf dalam blok ini).
C. PERDA dan Globalisasi
Untuk memahami "benang merah itu" terhadap kelima masalah di atas dalam kaitannya dengan kedudukan PERDA di era Globalisasi, maka perlu dianalisis dua konsep terlebih dahulu, yaitu HAM dan Globalisasi. Istilah Hak Azasi Manusia merupakan istilah yang relatif baru, khususnya semenjak perang dunia ke II dan melakukan perjalanan panjang dan menarik rangkuman yang disampaikan Prof Paulus Hadisuprapto[19], bahwa secara singkat dapat dinyatakan: (1) Konsep HAM berkembang melalui jalan panjang hingga terbentuknya konsep HAM sekarang ini; (2) Konsep HAM bermula dari "Natural rights". Hak-hal alam yang bersumber dari hukum alam, (3) Konsep HAM berkembang mulai dari konsep-konsep yang berlandaskan hukum alam, dengan segala aspek pemahaman dan penjabarannya menuju konsep-konsep yang lebih kongkrit berdasarkan hukum buatan manusia.(4) Konsep HAM pada alhirnya mengkristal menjadi berbagai dokumen HAM –Bill of Right – Universal Declaration of Human Right. (5) Konsep HAM yang sudah mengkristal itu ternyata dalam penerapannya masih harus menghadapi dua kutup pandang teori universalisme dan teori relatifvisme budaya.
Menarik dipaparkan pada butir kelima rangkuman tersebut, beliau menyimpulkan bahwa salah satu perbantahan sekitar universalisme versus cultular relalitifvisme merupakan kenyataan yang tak dapat dibantah. Hal terpenting yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal ini ialah, bagaimana upaya merekonsialisasi perbedaan-perbedaan antara universalisme dan relativisme budaya[20]
Pada sisi lain Globalisasi lebih dekat ke arah universalisme, tetapi apa sebenarnya Globalisasi, jika kita terjemahkan dengan konsep Indonesia, mungkin yang paling mendekati adalah diartikan "mendunia" dan bila dicermati, maka globalisasi ternyata memiliki karakteristik yang secara tidak langsung dapat dijadikan para meter kapan telah terjadi globalisasi. Adapun ciri-ciri atau karakterstik globalisasi adalah: [21]
a. Perubahan konsep ruang dan waktu- internet komunikasi global super cepat.
b. Pasar dan Produk ekonomi saling bergantung akibat pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional & dominasi World Trade Organization (WTO).
c. Peningkatan interaksi kultural, perkembangan media massa (berkat teknologi komunikasi) melintas ragam budaya (Fashion, literatus, kuliner)
d. Peningkatan masalah bersama, lingkungan hidup (Global warming), krisis multi nasional (krisis keuangan Amerika dampaknya kemana-mana), Peter Duker menyatakan " Globalisasi adalah jaman transformasi sosial"
Kemudian dalam rangkuman Prof Paulus menyatakan beberapa pokok pikiran: (1) Globalisasi merupakan fakta sekaligus proses, (2) Fakta karena orang penghuni bumi dan bangsa-bangsa di bumi merasa saling ketergantungan satu sama lain dibandingkan era-era sebelumnya, (3) Proses, karena diera Globalisasi terjadi proses teknologi dan kemanusiaan, (4) Teknologi, sistem informasi global dan komunikasi global membentuk dan menghubungkan agen-agen globalisasi, (5) Kemansian, globalisasi ditarik oleh kehendak konsumen dan didorong oleh kehendak manager untuk melayanani pelanggannya dan memperoleh kekuasaan (6) Globalisasi memberikan janji-janji efisiensi dalam penyebarluasan barang-barang kebutuhan hidup bagi mereka yang dulunya sulit menjangkaunya. (7) Penghayatan dan pengamalan nilai-nilai etika global perlu karena pada hakekatnya globalisasi memiliki dua wajah sekaligus "convergence" and "integration" namun juga "conflik and integration"
Konsep Pancasila dalam bernegara hukum tentunya difungsikan sebagai Paradigma Reformasi Pelaksanaan Hukum tentunya harus didasarkan pada suatu nilai sebagai landasan operasionalnya, Landasan aksiologis (sumber nilai) bagi bangsa Indonesia bagi sistem kenegaraan adalah sebagaimana terkandung dalam Deklarasi Bangsa Indonesia, yaitu Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang berbunyi : "......maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang Berkedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia."
Rumusan pada pembukaan itulah kemudian dipahami sebagai konteks tatanan nilai paradigmatik ideologis Pancasila yang penulis tawarkan dengan konsep "Thawaf"[22] bukan hirarkis piramida seperti pandangan Hans Kelsen yang banyak diacu oleh para penstudi hukum di Indonesia, konsep ini dipertegas dalam penjabaran nilai-nilai Pancasila dalam peraturan perundang-undangan, bahwa Pancasila merupakan sumber dari sumber hukum negara, Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah sesuai dengan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.[23]
Ada tiga konsep Pertama, Pancasila sebagai dasar negara, kedua, Pancasila sebagai ideologi negara, Pancasila sebagai dasar filosofis bangsa dan negara. Terhadap ketiga konsep Pancasila ini diharapkan materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. teks hukum kenegaraan diatas masih terpengaruh pada pola pikir positivisme, masih perlu merekonstruksi kembali agar membumi.
Mengapa dalam wacana publik sejarang ini, orang leluasa untuk memaknai kembali Pancasila dengan sudut pandangnya masing-masing tetapi kemudian berhenti ketika sampai pada bagaimana Pancasila itu dilaksanakan? Ternyata sebagai suatu konsep teoritik, Pancasila seakan tiada habis untuk dibicarakan, namun selanjutnya dalam tataran praktis, publik sulit untuk melanjutkan. Akhirnya timbul kesan bahwa Pancasila memang hanya untuk disuarakan, bergema sebatas dalam wacana saja yang ujung-ujungnya menjadi retorika ulangan.
Menanggapi hal ini, Saafroedin Bahar[24] mengakui bahwa tidaklah mudah menjabarkan serta menindaklanjuti Pancasila di era globalisasi. Menurutnya ada tiga hal yang menyebabkan kesukaran penjabaran Pancasila itu. Pertama, oleh karena selama ini elaborasi tentang Pancasila itu bukan saja cenderung dibawa ke hulu, yaitu ke tataran filsafat, bahkan ke tataran metafisika dan agama yang lumayan abstrak dan sukar dicarikan titik temunya. Kedua, oleh karena terdapat kesimpangsiuran serta kebingungan tentang apa sesungguhnya core value dari lima sila Pancasila itu. Ketiga, justru oleh karena memang tidak demikian banyak perhatian diberikan kepada bagaimana cara melaksanakan Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut secara fungsional ke arah yaitu ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebab pertama dapat kita telusuri pada pengalaman Orde Baru dalam memaknai Pancasila. Telah terjadi proses ideologisasi terhadap Pancasila selama masa Orde baru. Pancasila yang pada mulanya adalah sebuah kesepakatan politik atau platform demokratis bagi semua golongan di Indonesia berubah menjadi ideologi yang benar-benar komprehensif integral yang khas yang berbeda dengan ideologi lain[25]. Dalam masa Orde Baru terjadi mistifikasi Pancasila [26] atau Pancasila dipahami sebagai sebuah mitos.[27]
Sebab kedua, adalah dengan dijadikannya Pancasila sebagai wacana publik maka pemaknaan Pancasila itu sendiri menjadi amat terbuka lengkap dengan argumentasi akademiknya masing- masing. Pancasila bagi para ahli filsafat misal Notonagoro, Abdulkadir Besar, dan Driyakarya dikatakan sebagai konsepsi filsafatnya bangsa Indonesia. Pemaknaan ini yang digunakan selama masa Orde Baru. Pancasila telah dilepaskan dari sejarah kelahirannya serta keterikatannya dengan bangunan kenegaraaan Indonesia.
Sebab ketiga adalah benar adanya bahwa banyak sekali wacana publik terutama akademik yang berbicara tentang Pancasila akhir-akhir ini, namun sayang sekali pembicaraan mereka tidak banyak memberi perhatian tentang bagaimana cara melaksanakan Pancasila itu. Pembicaraan hanya berkutat pada masalah isi makna Pancasila, keprihatinan akan Pancasila, atau perlunya Pancasila dalam kehidupan bernegara.
Sebab pertama dan kedua saling bertautan. Dengan menjadikan Pancasila sebagai konsep filsafat sesungguhnya telah membawa Pancasila pada tataran filsafati, metafisika, teologis bahkan tataran mitos yang semakin abstrak dan tidak ada titik temu. Pancasila semakin terpisah dari bangun negara Indonesia dan sulit dicarikan core value sesungguhnya dalam konteks bernegara. Akibatnya muncul sebab yang ketiga yaitu orang menikmati saja perdebatan dalam makna Pancasila yang berbeda-beda itu dan segan untuk membicarakan cara pelaksanaannya karena hal yang abstrak itu memang sulit untuk diturunkan. Oleh karena itu Saafroedin Bahar[28] menyarankan bahwa upaya menemukan konsepsi dasar dari Pancasila dan penjabarannya tidak dapat dan tidak boleh dilepaskan dari keterkaitannya dengan keseluruhan substansi dan proses perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta pasal-pasal yang tercantum dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian lima sila Pancasila tetap terkait langsung dengan konteks kehidupan bernegara Indonesia. Berdasar hal itu maka pemaknaan Pancasila tidak bisa lepas dari pemaknaan sejarah (interpretasi historis) yaitu pada kata “proses perumusan” dan pemaknaan secara yuridis (interpretasi yuridis) merujuk pada kata “pasal-pasal yang tercantum”.
Dari sisi historis, Pancasila berisikan gagasan atau ide untuk menjawab sejumlah persoalan dasar sebuah bangsa yang hendak merdeka.Sekaligus pula gagasan yang berhasil dirumuskan ini menjadi gagasan bersama dalam arti diterima sebagai bentuk kesepakatan di atas gagasan-gagasan lain tentang kehidupan berbangsa. Dalam kaitan ini oleh sebagian kalangan, Pancasila merupakan suatu common platform atau platform bersama bagi berbagai ideologi politik yang berkembang saat itu di Indonesia atau titik temu seluruh segmen masyarakat Indonesia untuk saling bertemu dan bekerjasama, Ismail 1999. Pancasila merupakan kontrak sosial[29].Pancasila merupakan konsepsi politik[30]
Isi dari gagasan atau ide mengenai Pancasila sesungguhnya merupakan jawaban prinsipal atas persoalan dasar kebangsaan Indonesia kala itu sebagai berikut:
1. Masalah pertama apa negara itu?. Masalah ini dijawab dengan prinsip kebangsaan Indonesia
2. Masalah kedua, bagaimana hubungan antar bangsa – antar negara ? Masalah ini dijawab dengan prinsip perikemanusiaan
3. Masalah ketiga siapakah sumber dan pemegang kekuasaan negara ? Masalah ini dijawab dengan prinsip demokrasi.
4. Masalah keempat, apa tujuan negara ? Masalah ini dijawab dengan prinsip negara kesejahteraan.
5. Masalah kelima, bagaimana hubungan antar agama dan negara ? Masalah ini dijawab dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.[31]
Pancasila dalam interpretasi yuridis merupakan norma-norma dasar bernegara. Dalam ilmu hukum disebut Grundnorm atau Staatfundamentalnorm. Dan selalu dihubungkan dengan teori jenjang norma (stufentheorie) dari Hans Nawiasky, norma-norma dasar tentang kehidupan bernegara itu dijabarkan secara konsisten dan koheren ke dalam konstitusi, ditindaklanjuti dalam undang-undang , peraturan pelaksanaan serta kebijakan pemerintahan lainnya. Dengan demikian penjabaran Pancasila dan upaya menjabarkan gagasan dasar Pancasila secara yuridis adalah kedalam konstitusi negara dalam hal ini pasal-pasal dalam UUD 1945. Pasal-pasal itu selanjutnya dijabarkan ke dalam pelbagai undang-undang termasuk di dalamnya PERDA. Jadi norma dasar Pancasila dijabarkan ke dalam norma hukum negara yaitu UUD 1945. Oleh karena pada tataran ini seharus perancangan PERDA jangan sampai menimbulkan primordial daerah dan menghambat investasi sehingga tugas negara yang dijalankan oleh pemerintah daerah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat di daerahnya menjadi terhambat, karena semua masalah yang sebenarnya sudah jelas dalam berbagai peraturan perundang-undangan tetapi masih dijabarkan lebih lanjut dengan PERDA dan akhirnya secara subtansi menabrak berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, oleh karena itu perlu naskah akademik rancangan PERDA sebelum dibahas di DPRD bersama eksekutif, tentunya ini perlu pelibatan perguruan tinggi setempat dalam pembuatan naskah akademik, sehingga tidak terkesan PERDA copy paste dari daerah lain sebagai output hasil studi banding, walaupun ada yang berpendapat, bahwa naskah akademik tidak wajib tetapi akan lebih baik ada panduan ketika merancang PERDA.
[1] Bagir Manan, 1994, “Ketentuan-Ketentuan Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembangunan Hukum Nasional”, makalah, disajikan pada pertemuan ilmiah tentang Kedudukan Biro-Biro Hukum/Unit Kerja Departemen/LPND dalam Pembangunan Hukum, diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, di Jakarta. Selanjutnya disebut Bagir Manan (II), hlm. 1.
[2] Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1987, Peranan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, Penerbit Armico, Bandung, hlm. 13.
[3] A. Hamid. S. Attamimi, Op.Cit., hlm. 314.
[4] Indroharto, Op.Cit., hlm. 105.
[5] A. Hamid S. Attamimi dalam Padmo Wahjono, ed., Op.Cit, hlm. 135.
[6] Indroharto, Op. Cit., hlm. 82, 144. A. Hamid S. Attamimi, Ibid., hlm. 316
[7] A. Hamid. S. Attamimi, Ibid., hlm. 317.
[8] Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, terjemahan dari General Theory of Law and State, Penerbit Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hal. 179. Lihat pula Hans Kelsen, 2006,Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, terjemahan dari Pure Theory of Law, Penerbit Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hal. 244.
[9] Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal. 41, 44-45.
[10] Gede Marhaendra Wija Atmaja, 1995, “Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar)”, Tesis Magister, Program Pascasarjana, Bandung, hlm. 13-14.
[11] Koento Wibisono, Kompas. 20 Februari 2001. "Radikalisasi Pancasila"
[12] Azyumardi Azra Kompas. 17 Juni 2004. "Rejuvenasi" Pancasila dan Kepemimpinan Nasional".
[13] Listiyono Santoso & Heri Santoso . 2003. (De) Konstruksi Indoeologi Negara: Upaya Membaca Ulang Pancasila. Yogyakarta : Penerbit Ning-Rat Press.
[14] Pendidikan Pancasila dan Kewiraan Gagal Sosialisasikan Demokrasi Kompas, 1 Juni 2006. Pidato Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono ”Menata Kembali Kerangka Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila” Dalam Rangka Memperingati Hari Lahir Pancasila.
[15] Dalam Naskah Akademik Amandemen UUD 1945 kedua menyatakan: "Meskipun tidak sepenuhnya menganut paham negara hukum dari Eropah Kontinental, karena warisan hukum Belanda. Indonesia menerima dan melembagakan adanya peradilan tata usaha negara didalam sistem peradilannya. Sementera itu penggunaan istilah rechsstaat dihapus dari Undang-Undang Dasar negara kita sejalan dengan peniadaan unsur "penjelasan" setelah Undang-Undang dasar negara itu dilakukan empat kali perubahan. Istilah resmi yang dipakai sekarang seperti yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (3) adalah "negara hukum" yang bisa menyerap subtansi rechtsstaat dan the rule of law sekaligus. Unsur konsepsi negara hukum yang berasal dari Anglo Saxon (the rule of law) didalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 terlihat dari bunyi Pasal 27 ayat (1) yang menegaskan bahwa " Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya"….Paham negara hukum tercantum dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) terkait erat erat dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau paham negara hukum mareiil sesuai bunyi alinea keempat Pembukaan dan ketentuan pasak 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pelaksanaan paham negara hukum materiil akan mendukung dan mempercepat terwujudnya negara kesejahteraan di Indonesia. Sekretariat Jenderal MPR-RI , 2007, hal 47.
[16] Pasal 1 ayat (1) dan Penjelasan UU No 10 Tahun 2004 yang menyatakan : "Pancasila merupakan sumber dari sumber hukum negara .Penjelasan Pasal 2: Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah sesuai dengan Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap MATERI MUATAN Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam PANCASILA.
[17] Anthon F Susanto, "Menggugat Fondasi Filsafat Ilmu Hukum Indonesia" dalam Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum, Refika Aditama, 2008, halaman
[18] Masuknya ketentuan menngenai lambang negara ….kedalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang melengkapi pengaturan mengenai bendera negara dan bahasa negara yang telah ada sebelum merupakan ikhtiar untuk memperkukuh kedudukan dan makna atribut kenegaraan ditengah kehidupan global dan hubungan internasional yang terus berubah. Dengan Kata lain, kendatipun atribut itu tampaknya simbolis, hal tersebut tetap penting karena menunjukkan identitas dan kedaulatan suatu negara dalam pergaulan internasional. Atribut kenegaraan itu menjadi simbol pemersatu seluruh bangsa Indonesia ditengah perubahan dunia yang tidak jarang berpotensi mengancam keutuhan dan kebersamaan sebuah negara dan bangsa, tak terkecuali bangsa dan negara Indonesia, Sekretrariat Jenderal MPR-RI, 2007, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, halaman 128-129.
[19] Paulus Hadisuprapto, "Hak Azasi Manusia, Pembaharuan Hukum dan Era Globalisasi". 2010, hlm 10.
[20] Ibid, hal 10.
[21] Paulus Hadisuprapto, "Globalisasi Nilai-Nilai dan Etikanya", 2010, hlm 12.
[22]UU No 24 Tahun 2009 Pasal 48 ayat (2) dan Simbolisasi Pancasila dalam Lambang Negara Republik Indonesia, menggunakan konsep thawaf, seperti Rancangan Sultan Hamid II, 1950
[23] Pasal 2 UU No 10 Tahun 2004 dan Penjelasannya.
[24] Saafroedin Bahar . 2007. "Bagaimana Melaksanakan Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional". www.setwapres.go.id diunduh 1 Juni 2010.
[25] Adnan Buyung Nasution. 1993. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia : Studi Sosio Legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta; Pustaka Utama Grafiti
[26] Gumilar Rusliwa Somantri. 2006. Pancasila dalam Perubahan Sosial Politik Indonesia Modern. Makalah dalam Simposium Nasional Restorasi Pancasila : Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas . Jakarta : FISIP UI
[27] Listiyono Santoso & Heri Santoso . 2003. (De) Konstruksi Indoeologi Negara : Upaya Membaca Ulang Pancasila. Yogyakarta : Penerbit Ning-Rat Press.
[28] Saafroedin Bahar . 2007. Bagaimana Melaksanakan Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional. www.setwapres.go.id
[29] Onghokham, Kompas. 6 Desember 2001: Pancasila sebagai Kontrak Sosial.
[30] Agus Wahyudi . Ideologi Pancasila: Doktrin yang Komprehensif atau Konsepsi Politis? dalam http://filsafat.ugm.ac.id/aw
[31] Syahrial Syarbaini. 2003. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta; Ghalia Indonesia
1 komentar:
Nama : Yayu Muliani
Nim : A01112229
Kelas : C
MK : Hukum Pemerintahan daerah
Reg : A
Peraturan daerah (Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Pasal 1 angka 7 UU No. 10/2004). Melalui amandemen UUD 1945 yang kedua, Perda mendapatkan landasan konstitusionalnya di dalam konstitusi yang keberadaannya digunakan untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (6) UUD 1945). Selanjutnya Pasal 12 UU No. 10/2004 menggariskan materimuatan Perda adalah seluruh materimuatan dalam rangka: a] penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan; b] menampung kondisi khusus daerah; serta c] penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan Daerah merupakan sarana yuridis untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Peraturan Daerah menempati urutan terbawah dalam hirarki peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam rangka executive review, ada dua bentuk pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif. Pengawasan preventif dilakukan terhadap rancangan Perda yang bermuatan APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta Perda tata ruang. Pengawasan preventif terhadap rancangan Perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata ruang kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur, sedangkan Pengawasan preventif terhadap rancangan Perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata ruang provinsi dilakukan oleh pemerintah (pusat). Selanjutnya pengawasan represif dilakukan terhadap seluruh Perda yang sudah dibuat oleh pemerintah daerah, termasuk Perda yang pada dasarnya sudah dilakukan pengawasan preventif.
Posting Komentar