MEMAHAMI KOMITE SEKOLAH DARI ASPEK HUKUM
(Suatu Analisis Yuridis Normatif dan Sosiologis)
Oleh: Turiman Fachturahman Nur
Prolog:
Satjipto Rahardjo menulis tentang betapa pentingnya warga bangsa memiliki kemampuan membaca kaidah, bukan membaca peraturan. Saya kutip kata-kata Satjipto Rahardjo: “... Berhenti pada pembacaan undang-undang sebagai peraturan bisa menimbulkan kesalahan besar karena kaidah yang mendasari peraturan itu menjadi terluputkan. Kaidah itu adalah makna spiritual, roh. Sementara itu, peraturan adalah penerjemahan ke dalam kata-kata dan kalimat. Membaca undang-undang tidak salah, tetapi hanya berhenti sampai di situ saja bisa membawa malapetaka”. Pada bagian lain dikatakan: “... Logika peraturan hanya salah satu. Selain ada logika kepatutan sosial (social reasonableness) dan ada pula logika keadilan...”.
Jelas, yang ingin dikatakan adalah, ketika kita membaca undang-undang, seharusnya tidak hanya berhenti pada rumusan pasal demi pasal perpasal Kita harus bertanya lebih jauh, apakah “makna terdalam” peraturan ini? Apakah yang ingin saya lakukan tidak bertentangan dengan kepentingan orang banyak? Sudah benar dan adilkah bila saya berbuat begini dan begitu?
Sebagaimana diketahui, bahwa dasar Hukum keberadaan Komite Sekolah hanya berupa Keputusan Menteri Pendidikan, pertanyaan bagaimana memahaminya dari aspek hukum, karena yang diperintahkan oleh UU No 20 Tahun 2003 adalah dalam bentuk Peraturan Pemerintah, oleh karena itu perlu dianalisis sejarah dan Peran Komite Sekolah serta dasar hukumnya.
A. Menelusuri Jejak kelahiran Komite Sekolah dan Regulasinya
Komite Sekolah sebagai wadah peran serta masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan salah satu implikasi dari otonomi daerah pada umumnya dan otonomi pendidikan pada khususnya. Penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya dan penyelenggaraan pendidikan pada khususnya harus melibatkan peran serta masyarakat. Itulah sebabnya maka pelaksanaan otonomi daerah dalam bidang pendidikan telah melahirkan pula manajemen berbasis sekolah (MBS) atau school-based management (SBM).
Salah satu karakteristik manajemen berbasis sekolah tidak lain adalah pelibatan peran serta orangtua dan masyarakat dalam pengambilan kebijakan, program, dan kegiatan sekolah. Komite Sekolah memiliki landasan teoritis yang cukup kuat. Secara konseptual Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara bahkan telah mengemukakan konsep tripusat pendidikan, yang menegaskan bahwa keluarga, sekolah dan masyarakat merupakan satu kesatuan sinergis yang bertanggung jawab bukan saja hasil belajar peserta didik tetapi juga proses pendidikan itu sendiri. Dalam buku bertajuk ’How Communities Build Stronger Schools’, Anne Wescott dan Jean L. Konzal menggambarkan pola hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang berkembang menjadi paradigma baru yang bekerja sama secara sinergis.
Dewasa ini Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah telah terbentuk. Pelaksanaan peran dan fungsinya memang belum optimal dalam mendukung upaya peningkatan mutu layanan pendidikan. Itulah sebabnya upaya Komite Sekolah terus dilakukan oleh Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah melalui berbagai program dan kegiatan, seperti (1) workshop Dewan Pendidikan, (2) pemberian subsidi stimultan Dewan Pendidikan, (3) pemilihan Komite Sekolah Hibah Bersaing, (4) lokakarya Komite Sekolah Hibah Bersaing, dan kegiatan pendukung lainnya. Pelaksanaan program dan kegiatan tersebut tidak lain bertujuan untuk memberdayakan Komite Sekolah. Pelaksanaan program dan kegiatan pemberdayaan Komite Sekolah tersebut dilaksanakan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan dalam Renstra Departemen Pendidikan Nasional (key development milestones), yaitu: (1) 50% Dewan Pendidikan Pendidikan telah berfungsi dengan baik pada tahun 2009, (2) 50% Komite Sekolah telah berfungsi dengan baik pada tahun 2009, dan (3) Dewan Pendidikan Nasional telah terbentuk pada tahun 2009.
Untuk mencapai sasaran dalam Renstra tersebut, program pemberdayaannya perlu mengembangkan standar kinerja Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang akan digunakan sebagai indikator-indikator pelaksanaan peran dan fungsi dengan baik tersebut. Kata-kata kunci: Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, otonomi daerah, MBS, tripusat pendidikan, key development milestones, peran dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, kinerja Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, indikator pelaksanaan peran dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Kelahiran Komite Sekolah ibarat “bayi cantik” yang sedang ditimang-timang oleh banyak orang. Masyarakat, sebagai pihak konsumen pendidikan (customer), mempunyai harapan yang sangat besar terhadap pelaksanaan peran dan fungsi Komite Sekolah secara optimal untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sementara itu pemerintah, sebagai pihak penyedia layanan pendidikan (provider), mengharapkan kelahiran Komite Sekolah sebagai mitra yang diharapkan dapat bekerja sama secara sinergis untuk bersama-sama melaksanakan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ada beberapa pertanyaan yang kemudian muncul ketika membasa peran Komite Sekolah (Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2009 : 18):
Pertama, apakah keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah memiliki landasan yuridis formal yang kuat, atau lahir dari produk hukum dan perundang-undangan yang kuat sebagai amanat rakyat. Dengan kata lain, apakah kelahiran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah memang benar-benar menjadi bayi yang diharapkan kelahirannya oleh rakyat banyak?
Kedua, apakah kelahiran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah --- di sisi lain --- juga memiliki dasar argumentasi teoritis-ilmiah yang cukup kuat?
Ketiga, apakah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah pada saat ini sudah diterima sebagai mitra oleh pihak birokrasi dan legislatif, serta pemangku kepentingan (stakeholder) yang lain.
Keempat, apakah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah telah melaksanakan peran dan fungsinya secara optimal.
Kelima, kalau belum, apakah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah telah menyusun program dan kegiatan yang inovatif sehingga dapat mengoptimalkan peran dan fungsinya, agar benar-benar memiliki manfaat besar dalam upaya peningkatan mutu layanan pendidikan? Lima pertanyaan itulah yang akan akan dipaparkan lebih lanjut.
Sekolah tidak dapat lagi kita pikirkan sebagai suatu lembaga sosial yang berdiri sendiri, terlepas dari lembaga-lembaga sosial yang lain. Sekolah harus kita pandang sebagai suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang ada di sekitarnya, baik masyarakat lokal, maupun masyarakat daerah atau masyarakat nasional. Kemudian, pendidikan tidak dapat lagi kita bayangkan sebagai kegiatan yang hanya dilaksanakan oleh sekolah, dan bersifat terlepas dari kegiatan pembinaan anak yang terjadi di lingkungan keluarga serta kegiatan pengembangan diri yang dialami anak dalam lingkungan masyarakat (Mochtar Buchori) What can all of us together do to educate all children well. (Anne Wescott dan Jean L. Konzal)
Landasan Yuridis-Legalistik Komite Sekolah lahir sebagai amanat UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 – 2004. Amanat rakyat tersebut oleh Departemen Pendidikan Nasional dijabarkdan lebih lanjut ke dalam Kepmendiknas 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Kepmendiknas tersebut telah melahirkan Buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang digunakan sebagai acuan pembentukan dan pelaksanaan kegiatan operasional Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Ketika proses penyusunan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, substansi Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah kemudian menjadi salah satu bahan untuk substansi UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebagaimana kita ketahui, kelahiran UU Nomor 20 Tahun 2003 merupakan pengganti UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dinilai sudah tidak sepenuhnya sesuai dengan paradigma otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan. Sebagian besar substansi Kepmendiknas Nomor 044/U/ 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah kemudian dimasukkan (insert) utamanya ke dalam pasal 56 ayat 1 sampai dengan ayat 4 dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai berikut: Pasal 56 (1): Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Pasal 56 (2): Dewan Pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis. Pasal 56 (3): Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Pasal 56 (4): Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan Pasal 56 (4) tersebut pada saat ini masih sedang dirumuskan oleh Kelompok Kerja dalam bentuk RPP tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam waktu dekat RPP tersebut akan segera diterbitkan menjadi PP yang akan menjadi acuan operasional yang lebih rinci tentang proses pembentukan dan pelaksanaan organisasi dan manajemen Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Sekilas sejarah pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tersebut telah memberikan gambaran yang demikian jelas bahwa kelahiran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sesungguhnya telah memiliki landasan hukum yang amat kuat, bukan hanya dalam bentuk Kepmendiknas, tetapi dalam bentuk undang-undang, dan semua publik berharap dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat segera diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tetapi faktanya sampai tahun 2011 PP tersebut belum terbit.
B. Analisis Penyelenggaraan Program Pendidikan Secara Teoritis
Analisis tentang Program Penyelenggraan Pendidikan secara Landasan Teoritis-Ilmiah dalam buku bertajuk ’How Communities Build Stronger Schools’, Anne Wescott dan Jean L. Konzal menggambarkan pola hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam tiga paradigma yang mengalami perubahan dan perkembangan. Ketiga paradigma hubungan tripusat pendidikan dapat dijelaskan sebagai berikut: (Jean L Konzal, 2007: 81)
1. Paradigma lama
Orangtua dalam keluarga, warga sekolah, dan warga masyarakat serta warga masyarakat memiliki hubungan sesuai dengan kepentingan masing-masing dalam urusan pendidikan. Dalam paradigma lama ini, hubungan tripusat pendidikan ini berlangsung sebagai satuan pranata sosial yang berdiri sendiri dan berada dalam posisi yang terpisah-pisah. Menurut Anne Wescott dan Jean L. Konzal, paradigma ditandai dengan adanya beberapa karakteristik sebagai berikut: (1) menitikberatkan pada kecakapan akademik dan pengetahuan, (2) hubungan sekolah terkontrol, komunikasi satu arah, (3) birokratis, impersonal, dan terjadi komunikasi satu arah, (4) saling melindungi diri, defensif, (5) hirarkis, tidak semua orang dipandang sama, (6) perbedaan kultural dan sosial tidak mendapatkan perhatian secara wajar, (7) beberapa keluarga dan siswa termarjinalisasi, (8) orangtua dipandang sebagai sumber masalah dan kritik, dan (9) masyarakat dipandang sebagai orang lain, kecuali diperlukan.
Guru dan dan warga sekolah dalam paradigma lama ini pada umumnya masih berkutat pada pertanyaan, ”what can parents, community members, and organizations do for us?” atau “apa yang orangtua, warga masyarakat, dan organisasi masyarakat dapat lakukan untuk kami (sekolah)?” Jawaban yang ingin mereka dapatkan dari pihak orangtua dan masyarakat hannyalah hanya berupa uang transpor atau baju seragam atau honorarium kelebihanjam mengajar. Jadi, guru dan warga sekolah masih terfokus pada dukungan finansial dari keluarga dan masyarakat. Dengan demikian, keluarga dan warga masyarakat pun sudah merasa telah memberikan peran utamanya, jika ia telah memberikan dukungan finansial kepada sekolah. Masalah proses belajar mengajar, urusan belajar anak di rumah, pembinaan moral peserta didik, seluruhnya telah diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Orangtua dan masyarakat hanya ingin tahu bahwa anaknya lulus dengan nilai yang tinggi. Kalau kemudian ada anak yang perilakunya tidak baik, atau tidak dapat mencapai standar kelulusan, orangtua dan masyarakat akan segera mengembalikan tanggung jawab semua itu kepada sekolah.
2. Paradigma Transisional
Dalam paradigma transisional, hubungan antara sekolah dan orangtua telah berkembang sebagai hubungan kerja sama yang sudah interaktif. Pola hubungan dalam paradigma transisional ini memiliki beberapa karakteristik yang agak berbeda dengan karakteristik paradigma lama, antara lain adalah: (1) menitikberatkan pada penguasaan akademik dan perkembangan individual siswa, (2) hubungan sekolah diarahkan, (3) kurang birokratis lebih manusiawi, dan telah terjadi hubungan dua arah, (4) proaktif, (5) lebih inklusif, (6) perbedaan kultural dan sosial sudah memperoleh perhatian, (7) kerja sama dengan orangtua sudah terbentuk secara terbatas, (8) menjalin hubungan dengan masyarakat jika bermanfaat kepada sekolah, dan (9) guru mulai mengadakan penelitian tentang kegiatan belajar mengajar tetapi belum melibatkan orangtua dalam proses ini. Beberapa karakteristik paradigma lama sudah mulai mengalami perubahan, meski belum secara total. Sebagai contoh, perhatian orangtua dan masyarakat terhadap anak-anak dari keluarga tidak mampu sudah mulai tumbuh, misalnya dengan adanya program beasiswa atau program subsidi silang. Dengan demikian, lembaga pendidikan sekolah sudah tidak terlalu birokratis lagi. Sekolah sudah menjadi lebih inklusif. Dalam konteks paradigma transisional, sekolah dan keluarga menanyakan kepada diri dan masayakat ”how can parents, community members, organizations helps us do our job better” atau “bagaimana orangtua, warga masyarakat, organisasi sosial dapat membantu kita untuk melaksanakan tugas secara lebih baik”.
3. Paradigma Baru
Karatkteristik hubungan tripusat pendidikan dalam paradigma baru ini telah benar-benar berubah secara total, yang berbeda dengan paradigma sebelumnya, yakni: (1) menitikberatkan perhatian pada siswa secara keseluruhan, baik aspek akademis maupun perkembangan individualnya, (2) tidak ada batas hubungan antar keluarga, sekolah, dan masyarakat, (3) terjadi budaya menemukan, belajar, melindungi, dan membimbing; guru dan orangtua melaksanakan penelitian tindakan bersama-sama, (4) keikutsertaan secara personal, (5) tidak hirarkis, sepenuhnya inklusif, setiap orang merasa dirangkul, (6) perbedaan budaya dan sosial dihargai dan dipelihara dengan baik, (7) terdapat kerjasama antara orangtua dan masyarakat, (8) orangtua dan warga masyarakat sebagai patner, (9) menemukan manfaat bersama sebagai tujuan, (10) pilihan banyak dan cara untuk mencapainya juga banyak. Dalam paradigma baru ini, semua orang (orangtua dalam keluarga, kepala sekolah dan guru di sekolah, serta warga masyarakat) secara bersama-sama mengajukan pertanyaan tentang ”what can all of us together do to educate all children well” atau tentang ”apa yang kita dapat kerjakan bersama untuk mendidik semua anak dengan baik”. Dalam hal ini, pertanyaan tentang bagaimana cara mendidik peserta didik itu tidak lagi hanya menjadi tanggung jawab profesional para pendidik dan kepala sekolah dan tenaga administrasi di sekolah saja, melainkan telah melibatkan peran serta secara sinergis dari semua stakeholder pendidikan. Dengan kata lain, pemangku kepentingan pendidikan (stakeholder) tidak lagi pernah menyebut ”murid saya’, atau ”siswa saya”, atau ”siswa-siswa itu” atau ”anak-anak saya”, melainkan dengan sebutan kolektif ”anak-anak kita”. Dengan demikian, paradigma baru tentang hubungan tripusat pendidikan ini telah memandang lembaga pendidikan sekolah sebagai milik bersama. Dengan kata lain, tidak ada lagi ”single fighter” dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Berdasarkan kajian teoritis-ilmiah tersebut di atas, paradigma hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat di Indonesia masih dalam paradigma lama dan mulai berubah ke paradigma transisional. Beberapa indikasi utama dapat disebutkan sebagai berikut: (Jean , 2008 : 85)
1. Keluarga, sekolah, dan masyarakat masih memandang hasil belajar siswa lebih pada sisi kecakapan akademik dan pengetahuan.
Nuansa akademik masih lekat dalam pandangan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keberhasilan siswa dalam pendidikan lebih diukur dari aspek akademis semata-mata. Orangtua, sekolah, dan masyarakat merasa sudah melaksanakan tugas pendidikan jika anak-anak telah berhasil menggondol juara kelas atau menduduki peringat satu dalam aspek akademis. Aspek-aspek yang berkenaan dengan perkembangan kepribadian anak, disiplin, moralitas, dan berbagai macam kemampuan nonakademisnya seharusnya juga memperoleh perhatian yang sama. Kelahiran Kurikulum Berbasis Kompetensi pada hakikatnya bertujuan mengurangi orientasi akademis dengan menekankan aspek kompetensi dalam seluruh aspek kemampuan siswa.
2. Hubungan keluarga dan sekolah masih bersifat satu arah dan bersifat biokratis dan hierarkis
Hubungan seperti ini masih kental dalam kegiatan sekolah. Orangtua siswa akan datang ke sekolah dalam acara pengambilan rapor, pertemuan orang-tua siswa, penerimaan siswa baru, atau panggilan resmi dari kepala sekolah karena ada masalah yang berkenaan dengan kenakalan siswa masih bersifat birokratis. Dengan kata lain, hubungan sekolah dan orangtua siswa masih bersiifat satu arah, yakni dari sekolah kepada orangtua siswa. Belum banyak arah yang sebaliknya. Paling-paling surat pemberitahuan karena anaknya sakit, atau memintakan izin anak karena ada keperluan keluarga. Belum ada misalnya surat dari warga masyarakat atau orangtua yang berisi evaluasi atau masukan kepada sekolah. Dalam paradigma lama, sekolah dipandang sebagai unit birokratis yang terendah dalam satu hierarkis organisasi departemen pendidikan. Sebagai unit birokratis, maka pola layanan pendidikan kepada keluarga dan masyarakat menjadi kaku, karena adanya jalur-jalur birokrasi tertentu. Sebagai misal, untuk mengundang orangtua siswa perlu surat resmi dari sekolah. Sehingga kehadiran orangtua siswa ke sekolah yang tidak kerena surat panggilan seperti itu sering menimbulkan pertanyaan ’ada apa’ atau ’apakah Anda menerima surat panggilan dari sekolah’. Dalam hal ini sekolah lebih memosisikan dirinya lebih tinggi dari orangtua siswa. Posisi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat seharusnya setara.
3. Antara keluarga dan sekolah masih saling bersifat defensif
Merasa sebagai unit birokrasi terendah, maka hubungan antara sekolah dan keluarga lebih bersifatr defensif. Sekolah tidak merasa perlu berhubungan dengan keluarga dan masyarakat jika tidak ada keperluannya. Demikianjuga sebaliknya pandangan orangtua dan masyarakat terhadap sekolah. Kalau ada masalah kenakalan anak, prestasi belajar yang rendah, sebagai misal, orangtua akan menyalahkan sekolah. Sebaliknya, menurut keluarga dan masyarakat, kesalalahan itu terletak pada pundak sekolah. Masalah itu seharusnya menjadi tanggung jawab bersama.
4. Perbedaan kultural dan sosial masih kurang mendapatkan perhatian secara wajar dan beberapa siswa termarjinalisasi, misalnya karena faktor sosial ekonomi
Sebagaimana proses belajar mengajar yang berlaku secara klasikal, maka perbedaan kultural dan sosial peserta didik kurang memperoleh perhatian dari sekolah secara wajar. Sebagai contoh, seorang guru kelas atau wali kelas tidak secara dini mengetahui latar belakang keluarga siswa. Sang guru baru mengetahui kondisi keluarga seorang siswa ketika sang anak tidak membayar uang sekolah untuk sekian bulan. Setelah ia menanyakan kepada siswa tersebut barulah diketahui bahwa siswa tersebut ternyata berasal dari keluarga yang beban hidupnya ditopang dari pekerjaan ibunya sebagai tukang cuci untuk para tetangganya. Seharusnya masalah tersebut sejak dini telah menjadi kepedulian bersama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Mediator antara tripusat pendidikan ini dapat dilakukan oleh Komite Sekolah.
5. Sekolah masih sering memandang orangtua sebagai sumber masalah dan kritik
Ada kecenderungan saling menyalahkan antara keluarga, sekolah, dan masyarakat jika terjadi permasalahan peserta didik. Sekolah menganggap keluarga dan masyarakat hanya sebagai tukang kritik. Sebaliknya keluarga dan masyarakat menganggap sekolah kurang cakap dalam mendidik anak-anak mereka, tanpa memberikan masukan kepada sekolah.
6. Sekolah sering memandang masyarakat sebagai orang lain atau pihak yang berada di luar sekolah, kecuali diperlukan
Terkait dengan hubungan yang bersifat birokratis dan hierarkis tersebut, sekolah sering memandang masyarakat sebagai pihak yang berada di luar sekolah, kecuali diperlukan. Jadi keluarga, sekolah, dan masyarakat akan berhubungan jika diperlukan saja. Komitmen perlunya berkomunikasi dan bekerja sama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat hanya merupakan komitmen insidental, temporer, bukan komitmen abadi untuk kepentingan generasi muda bangsa. Berdasarkan gambaran singkat tentang pola hubungan tripusat pendidikan tersebut, maka kehadiran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah telah memiliki landasan teoritis-ilmiah yang cukup kuat.
Diharapkan kehadiran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dapat memperbaiki pola hubungan tripusat pendidikan menjadi lebih baik lagi di masa mendatang sesuai dengan paradigma baru. Beberapa karakteristik dalam paradigma lama memang masih melekat dalam hubungan tripusat pendidikan di Indonesia. Namun demikian, di beberapa sekolah swasta di Indonesia pola hubungan itu mungkin lebih maju dibandingkan dengan di sekolah negeri. Hal ini terjadi, karena sekolah negeri di masa lalu lebih banyak memperoleh perhatian dan bantuan yang lebih banyak dibandingkan dengan sekolah swasta.
Sementara kehidupan sekolah swasta amat ditentukan oleh peran serta orangtua dan masyarakatnya. Oleh karena itu, tidak boleh tidak sekolah swasta harus dapat menggandeng orangtua dan masyarakat untuk menyatu secara singergis dalam membangun sekolah dan meningkatkan mutu pendidikannya. Sekolah dan orangtua serta masyarakat dalam posisi yang saling memerlukan. Pola hubungan tripusat pendidikan diharapkan akan berubah menjadi lebih baik dengan pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, yang menjadi wadah peran serta masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Dengan catatan, lembaga itu tidak hanya sekedar menjadi stempel sekolah, seperti yang terjadi dengan BP3 atau POMG di masa lalu.
Sebagai contoh, inilah yang terjadi di satu Sekolah Dasar yang boleh disebut telah mulai menerapkan paradigma baru ini. Menjelang kegiatan ulangan semester, semua orangtua siswa diundang ke sekolah. Dalam arena pertemuan yang sengaja dibuat tidak formal itu, semua siswa dan didampingi oleh masing-masing orangtuanya bertatap muka dengan kepada sekolah dan semua guru. Kepala sekolah menjelaskan tentang rencana kegiatan ulangan semester itu, yang menurut jadwal kurang dua minggu lagi. Akan lebih baik lagi jika jadwal ini dapat dilihat setiap hari pada papan pengumuman di halaman sekolah.
Bunyinya ”Ulangan Semester kurang 14 hari lagi”. Setiap hari papan pengumuman ini akan diganti menjadi ’kurang 13 hari lagi’, ’kurang 12 hari lagi’ dan seterusnya. Sehari kemarin papan pengumuman itu masih tertulis ”Ulangan Semester kurang 15 hari lagi”. Pada saat papan pengumuman tersebut tertulis ”Ulangan Semester kurnag 14 hari lagi, semua orangtua telah diundang ke sekolah untuk memperoleh penjelasan dari kepala sekolah, tentang apa yang telah dilakukan sekolah selama ini, dan apa saja yang perlu dilakukan oleh orangtua, termasuk untuk mendorong anaknya untuk belajar, dan memberikan doa restu kepada anak-anak kita.
Acara diakhiri dengan acara permohonan doa restu anak-anak kepada orangtua dan kepada semua gurunya dengan cara saling berjabat tangan. Ini merupakan satu prosesi yang terjadi di satu sekolah dasar swasta terkenal di Yogyakarta. Contoh tersebut minimal dapat dijadikan satu model atau bahan diskusi lebih lanjut tentang apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hubungan dan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Semua itu dilakukan semata-mata untuk kepentingan pendidikan anak-anak kita, anak-anak pewaris masa depan bangsa.
C. Analisis Keberadaan Komite Sekolah Saat Ini
Apakah Komite Sekolah telah diterima oleh birokrasi dan legislatif, dan pemangku kepentingan lainnya? Jawabannya belum sepenuhnya. Belum semua lembaga eksekutif dan legislatif menerima dengan tangan terbuka untuk kemitraan yang akan dibangun oleh Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Setidaknya ada empat indikasi dapat diberikan dalam analisis ini:
Pertama, ada Bupati/walikota yang dengan cara yang arogan telah membubarkan Komite Sekolah.
Kedua, ada bupati yang baru terpilih dalam pilkada yang telah memecat Ketua Dewan Pendidikan, dengan alasan tertentu.
Ketiga, ada kepala sekolah yang telah memecat komite sekolah, karena tidak mau menandatangani laporan pertanggungjawaban BOS.
Keempat, masih ada beberapa gubernur belum memiliki respon dalam pembentukan Dewan Pendidikan Provinsi. Walaupun bagaimana, eksistensi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah telah cukup diterima di beberapa daerah.
Beberapa indikasi dapat disebutkan sebagai berikut:
Pertama, ada Ketua Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang secara kolegial dapat menggandeng bupati/walikota dam legislatif untuk menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Pendidikan.
Kedua, ada seorang ketua DPRD yang ternyata telah memiliki pemahaman komprehensif tentang kedudukan Dewan Pendidikan, yakni bukan sebagai subordinasi dari Dinas Pendidikan.
Ketiga, ada beberapa orang gubernur yang sangat akomodatif menerima rekomendasi dari Dewan Pendidikan setiap tahun.
Keempat, ada ketua Dewan Pendidikan yang dapat dengan mudah menggandeng walikota untuk meluncurkan program pemberian beasiswa bagi peserta didik yang berprestasi dan hadiah kepada guru-guru yang berprestasi. Jika eksistendi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sudah sepenuhnya dapat diterima oleh pihak-pihak birokasi, legislatif, dan pemangku kepentingan yang lain, atau jika semua pihak tersebut telah memiliki pemahaman yang benar tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, maka diharapkan akan terjadi peningkatan kinerja Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Pada gilirannya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah akan mampu melaksanakan peran dan fungsinya secara optimal.
Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peranserta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan. (Kepmendiknas Nomor 044/U/2002) Mengapa Perlu Diberdayakan? Dalam keadaan plus minus kondisi dan masalah yang telah dijelaskan dalam uraian di atas, secara kuantitatif Komite Sekolah dapat dijelaksan sebagai berikut.
Pertama, dewasa ini Komite Sekolah telah dibentuk hampir di semua satuan pendidikan sekolah/madrasah di Indonesia.
Kedua, Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota telah dibentuk hampir di seluruh kabupaten/kota di Indonesia.
Ketiga, meskipun PP yang mengatur tentang pembentukan Dewan Pendidikan Provinsi belum terbit, namun dewasa ini Dewan Pendidikan Provinsi telah dibentuk di dua puluh provinsi di Indonesia.
Keempat, proses pembentukan Dewan Pendidikan Nasional masih sedang dipersiapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Meskipun demikian, dari segi kualitatif kondisi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. proses pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah masih ada yang belum sepenuhnya dengan ketentuan yang berlaku.
2. beberapa Komite Sekolah dibentuk hanya untuk tujuan sesaat, yakni sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh subsidi.
3. ada beberapa Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah bahkan ada yang belum memiliki AD/ART. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa beberapa Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tersebut belum dapat melaksanakan peran dan fungsinya secara obtimal untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan nasional. Apakah Indikator Yang Menentukan Bahwa Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah Telah Berfungsi Dengan Baik?
Berbagai alasan itulah yang menyebabkan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah perlu diberdayakan, agar kinerja Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dapat meningkat lebih tinggi lagi.Dengan kata lain, Dewan Pendidikan dan Komite sekolah perlu diberdayakan agar dapat melaksanakan peran dan fungsinya secara optimal, yaitu melalui revitalisasi baik organisasinya, kebijakan programnya dan kegiatannya sehingga lembaga mandiri ini benar-benar berfunsi dengan baok sebagaimana diamanatkan dalam rencan strategis.
Berdasarkan penelitian Direktorat Jenderal Pendidikan dasar dan Menengah bahwa: (1) 50 % Dewan Pendidikan dan Komite sekolah telah berfungsi dengan baik pada tahun 2009 dari yang dibentuk di tingkat Kabupaten/Kota , pertanyaannya adalah apakah karaketeristik Komite Sekolah yang telah berfungsi dengan baik ? Beberapa indikatir Komite Sekolah yang dapat dijadikan bahan analisis:
1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu indikatornya: Memiliki AD/ART Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
2. Menyusun program kerja Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, indikatornya Menjalin komunikasi efektif dengan pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan.
3. Menyusun rencana, melaksanakan, dan melakukan evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat, indikatornya: Melaksanakan kerja sama (MOU) dengan institusi terkait.
4. Melakukan kerja sama dengan masyarakat (institusi terkait), indikatornya : Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kerja sama (MOU)
5. Melaksanakan kegiatan pendataan, survai, pemetaan masalah pendidikan, studi, kajian, seminar, dan sebagainya, serta mengumumkan, indikatornya : Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan dari masyarakat.
6. Melaksanakan inventarisasi aspirasi, ide, tuntutan, dan kebutuhan masyarakat tentang pendidikan, indikatiornya : Memberikan rekomendasi secara periodik, terutama secara tertulis, kepada pemerintah dan sekolah
7. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada pemerintah dan sekolah, indikatornya : Mengawasi pelaksanaan rekomendasi
Berdasarkan paparan diatas maka ada berapa strategi pemberdayaan Komite Seekolah menurut penulis:
Pertama, pemberdayaan Komite Sekolah dilakukan secara bottom up oleh Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota. Untuk dapat melaksanakan kegiatan pemberdayaan Komite Sekolah, Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota harus memiliki tenaga fasilitator yang mempunyai tugas untuk melakukan pendampingan kepada Komite Sekolah. Kegiatan pendampingan ini dikoordinasikan oleh fasilitator dari Dewan Pendidikan Provinsi. Konsep pemberdayaan Komite Sekolah ini merupakan peningkatan dari kegiatan sosialisasi yang biasanya telah dilakukan oleh Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota selama ini.
Kegiatan sosialisasi selama ini memang telah dilaksanakan oleh Dewan Pendidikan. Namun kegiatan itu lebih merupakan kegiatan pertemuan, yang isinya berupa ceramah dan tanya jawab. Peserta kegiatan ini biasanya bersifat massal, dan selepas pertemuan, peserta biasanya akan kembali kepada kebiasaan lama, tidak banyak mengubah pola pikir (mindset). Kegiatan sosialisasi seperti itu hanya berupa penyampaian informasi tanpa menimbulkan perubahan sikap dan kebiasaan dalam kinerja organisasi. Lalu, apakah pemberian informasi seperti itu memang tidak diperlukan lagi? Secara umum memang masih bisa dilaksanakan. Namun, pemberian informasi seperti itu, harus diikuti dengan penerapan pola-pola yang lebih bersifat pendampingan atau fasilitasi langsung kepada Komite Skeolah.
Dengan demikian, kegiatan sosialisasi itu perlu ditingkatkan menjadi kegiatan pemberdayaan, dengan titik berat sebagai kegiatan pendampingan kepada setiap kelompok Komite Sekolah, menyerap langsung masalah yang dihadapi, dan kemudian bersama-sama Komite Sekolah berusaha untuk memecahkannya. Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota perlu memiliki Tim Fasilitator tingkat kabupaten/kota, yang terjun langsung ke setiap Komite Sekolah, atau setidaknya ke berbagai forum kegiatan Komite Sekolah. Fasilitator bukanlah birokrat yang sedang turun ke lapangan atau sedang melakukan turba (turun ke bawah). Fasilitator adalah pendamping yang setia Komite Sekolah, yang bersama-sama ikut membentuk Komite Sekolah secara demokratis, transparan, dan akuntabel.
Kedua, pelaksanaan program pemberdayaan Komite Sekolah sekaligus mempunyai tujuan ibarat pisau bermata dua. Satu sisi memang untuk memberdayaan Komite Sekolah, di sisi lain sekaligus juga untuk memberdayaan Dewan Pendidikan. Untuk dapat melaksanakan program pemberdayaan Komite Sekolah dengan baik, maka Dewan Pendidikan harus dapat memberdayakan dirinya sendiri. Tahap awal mengirimkan master trainer untuk mengikuti training of trainer (TOT) di Jakarta, dan pada tahap berikutnya melakukan TOT mandiri dengan menggunakan master trainer yang telah dimilikinya.
Ketiga, untuk menghasilkan fasilitator pemberdayaan Komite Sekolah sebagaimana yang diharapkan tersebut, perlu diadakan TOT (training of trainer) fasilitator pemberdayaan Komite Sekolah, yang diikuti oleh calon-calon fasilitator yang dikirimkan oleh Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota dan Provinsi. Melalui kegiatan TOT Pemberdayaan Komite Sekolah ini, para peserta diharapkan dapat menjadi fasilitator pemberdayaan Komite Sekolah, dengan tugas antara lain: (1) memberikan fasilitasi Komite Sekolah, khususnya dalam proses pembentukan Komite Sekolah, (2) memberikan pendampingan dalam perumusan program dan kegiatan Komite Sekolah selaras dengan peran dan fungsi Komite Sekolah, (3) membentuk Komite Sekolah Inti (KSIn) dan Komite Sekolah Imbas (KSIm), (4) membangun forum komunikasi Komite Sekolah di daerah kabupaten/kota, dan (5) memberikan fasilitasi untuk menjalin hubungan yang tidak harmonis antara Komite Sekolah dengan pihak sekolah, serta dunia usaha dan industri (DUDI). Hasil kegiatan pemberdayaan Komite Sekolah tersebut dilaporkan kepada Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota dan Provinsi. Dengan demikian, Dewan PendidikanKabupaten/Kota dan Provinsi secara berkala memperoleh laporan tentang keadaan dan masalah Komite Sekolah di daerahnya
Keempat, kegiatan TOT tersebut memerlukan bahan atau materi pemberdayaan Komite Sekolah. Untuk menyiapkan materi dasar yang akan digunakan oleh tim fasilitator perlu dibuatkan beberapa modul pemberdayaan Komite Sekolah. Modul-modul tersebut bukan hanya akan diberikan sebagai materi yang akan diberikan dalam kegiataan TOT, tetapi akan menjadi bekal dasar yang akan digunakan oleh fasilitator untuk melaksanakan tugasnya di lapangan. Untuk tahap awal, tiga modul telah disusun oleh tim penulis yang ditunjuk oleh Direktroat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada tahun anggaran 2005 tiga modul pemberdayaan Komite Sekolah telah berhasil disusun. Pada tahun anggaran 2006, modul-modul tersebut digunakan sebagai materi TOT, dan kemudian dicetak untuk kemudian disebarluaskan kepada Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah seluruh Indonesia.
D. Beberapa Perbandingan Program Komite Sekolah di berbagai Daerah
Selain program pemberdayaan Komite Sekolah yang diharapkan akan menjadi program primadona Dewan Pendidikan, pada tahun-tahun sebelumnya Dewan Pendidikan telah didorong untuk mengembangkan program-program inovatif sesuai dengan kondisi dan masalah di daerahnya masing-masing. Sebagai contoh, beberapa program inovatif Dewan Pendidikan dapat dijelaskan sebagai berikut: (Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengag, 2009 : 112)
1. Program SABAS (Siap Aktif Bantu Sekolah). Program ini dikembangkan oleh Dewan Pendidikan Kota Batam. Dengan memanfaatkan banyaknya perusahaan yang ada di daerah ini, Dewan Pendidikan Kota Batam berhasil menggandeng perusahaan di daerahnya untuk membantu sekolah. Menteri Pendidikan Nasional, Bapak Abdul Malik Fadjar, ketika itu telah diminta untuk menandatangani piagam SABAS bersama dengan Wali Kota Batam dalam acara charity night di sebuah hotem berbintang yang dihadiri para pengusaha di Kota Batam. Mirip Program SABAS ini di Jawa Barat dikenal dengan GEMALA atau Gerakan Amal Alumni. Dalam rangka menggalang dana masyarakat untuk membantu pendidikan juga telah dilakukan oleh Dewan Pendidikan Kotamadya Jakarta Barat, dengan kegiatan pemberian beasiswa untuk siswa berprestasi dan guru berprestasi. Acara pemberian beasiswa ini dilaksanakan di Arena Taman Impian Jaya Ancol, dan beasiswa secara simbolis diberikan oleh Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta.
2. Sosialisasi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah melalui media radio dan televisi. Kegiatan ini telah dilakukan oleh beberapa Dewan Pendidikan, antara lain Dewan Pendidikan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Dewan Pendidikan Kabupaten Ponorogo.
3. Penyampaian rekomendasi pendidikan kepada pemerintah daerah telah dilakukan antara lain oleh Dewan Pendidikan Provinsi Bangka Belitung. Rekomendasi pendidikan disampaikan setiap tahun, dan pada tahun berikutnya pelaksanaan rekomendasi itu dievaluasi secara kritis oleh Dewan Pendidikan
4. Usulan Peraturan Daerah (Perda) tentang pendidikan. Beberapa Dewan Pendidikan telah secara aktif memberikan masukan tentang pentingnya peraturan daerah tentang pendidikan. Yang pertama kali memberikan usulan kepada pemerintah daerah dan DPRD adalah Dewan Pendidikan Kota Malang. Berkat Perda yang sudah diterbitkan tersebut, aset pendidikan di Kota Malang dapat diselamatkan dari proses tukar guling menjadi aset nonpendidikan. Meskipun PP yang mengatur tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan belum juga berhasil diterbitkan oleh pemerintah, beberapa daerah provinsi dan kabupaten/kota telah berhasil menerbitkan Perda tentang pendidikan di daerahnya. Semua itu antara lain berkat kerja keras Dewan Pendidikan di daerah tersebut.
5. Menjalin hubungan dan kerja sama antara Dewan Pendidikan dan birokrasi dan legislatif. Berkat jalinan hubungan dan kerja sama tersebut, beberapa masalah disharmoni antara pemerintah dan masyarakat dapat diselesaikan dengan baik. Masalah pembubaran Komite Sekolah yang terjadi di satu kota, berhasil diklarifikasi dengan baik oleh Dewan Pendidikan, dan akhirnya surat perintah pembubaran Komite Sekolah tersebut telah dicabut kembali oleh Walikota yang bersangkutan.
6. Kajian dan seminar untuk mengkaji berbagai masalah pendidikan. Beberapa Dewan Pendidikan telah secara aktif melakukan beberapa kajian, misalnya peran dunia usaha dan industri dalam peningkatan pendidikan. Kegiatan kajian dan seminar ini misalnya telah dilaksanakan oleh Dewan Pendidikan Kabupaten Wonogiri, Dewan Pendidikan Kabupaten Pasuruan, dan sebagainya.
Masih banyak program inovatif tersebut tidak dapat dipaparkan semua dalam tesis ini. Berbagai program inovatif didiseminasikan kepada Dewan Pendidikan lain melalui kegiatan workshop Dewan Pendidikan yang diselenggarakan setiap tahun. Untuk terus dapat meningkatkan program inovatifnya, Dewan Pendidikan telah memperolah subsidi stimulan yang diberikan dengan sistem evaluasi kinerjanya. Dengan sistem ini Dewan Pendidikan diberikan motivasi untuk melaksanakan peran dan fungsinya secara optimal. Melalui program inovatif tersebut, diharapkan Dewan Pendidikan dapat terus meningkat kinerjanya dari 26 waktu ke waktu, sejalan dengan sasaran milestone yang telah ditetapkan Depdiknas bahwa 50% Dewan Pendidikan telah berfungsi dengan baik pada tahun 2009.
Program pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dapat dinilai berhasil jika telah tercapai beberapa indikator sebagai berikut:
1. Proses pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah di masa depan tidak lagi dilakukan secara instan, melainkan melalui proses dan mekanisme yang demokratis, transparan, dan akuntabel sesuai dengan AD/ART.
2. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah di masa depan benar-benar telah menjadi lembaga masyarakat yang mandiri, dengan melaksanakan prinsip manajemen yang demokratis, transparan, dan akuntabel.
3. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah di masa depan benar-benar telah menjadi lembaga masyarakat yang diakui eksistensinya secara mantap oleh pemangku kepentingan (stakeholder).
4. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah di masa depan dapat menjalin hubungan dan kerja sama kemitraan dengan institusi terkait untuk melaksanakan peran dan fungsinya secara optimal.
5. Dengan kata lain, tidak ada lagi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah “stempel’ dan Komite Sekolah “eksekutor”. Dengan kata lain, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang berhasil dibentuk adalah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang memiliki semangat kemitraan dengan pemerintah daerah dan satuan pendidikan sekolah/madrasah.
6. Jika ada permasalahan antara pemerintah daerah dengan Dewan Pendidikan dan antara satuan pendidikan sekolah/madrasah dan Komite Sekolah dapat diselesaikan secara mandiri oleh Dewan Pendidikan dan satuan pendidikan sekolah/madrasah.
7. Secara bertahap diharapkan agar Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah segera dapat melaksanakan peran dan fungsinya secara optimal untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan di daerah dan satuan pendidikan sekolah/madrasah masing-masing. Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. RPP tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Hampir sewindu keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah hanya didasarkan keputusan Mendiknas. Kini, eksistensi wadah pemangku kepentingan sektor pendidikan tersebut seakan lebih kuat karena dipayungi peraturan pemerintah. Benarkah demikian? Berikut paparan peneliti The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi Nur Hidayat.
E. Analisis Yuridis Normatif Program Penyelenggaraan Pendidikan
Dari sisi momentum, kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan terbilang sangat terlambat. Sebab, pasal 75 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas mengamanatkan, semua peraturan pelaksanaan UU ini harus diselesaikan paling lambat dua tahun.
Sejarah mencatat, UU Sisdiknas disahkan pada era Presiden Megawati dan diundangkan sejak 8 Juli 2003. Sementara itu, PP yang dimaksudkan untuk mengatur pelaksanaan 24 pasal dalam UU Sisdiknas tersebut baru ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 28 Januari 2010. Dengan kata lain, PP tersebut terlambat terbit hampir lima tahun dari batas akhir yang ditetapkan dalam pasal 75 UU Sisdiknas.
Di sisi lain, peraturan yang memuat pilar-pilar penting pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan itu justru terbit saat semangat reformasi dan desentralisasi pendidikan menunjukkan gejala kelesuan dan cenderung tersesat di belantara komersialisasi. Tapi, seperti kata pepatah, pemerintah tampaknya menganut prinsip lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
PP 17/2010 terdiri atas 222 pasal yang terbagi ke dalam 18 bab. Klausul yang termaktub dalam peraturan ini berisi detail ketentuan mengenai pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, mulai pendidikan formal, pendidikan nonformal hingga pendidikan informal. Juga pendidikan jarak jauh, pendidikan khusus dan layanan pendidikan khusus serta pendidikan yang diselenggarakan satuan pendidikan asing.
Selain itu, diatur mengenai kewajiban peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, pendirian satuan pendidikan dan peran serta masyarakat. Pada bab peran serta masyarakat (Bab XIV) inilah keberadaan dewan pendidikan dan komite sekolah diatur.
Dalam PP ini, dewan pendidikan didefinisikan sebagai lembaga mandiri yang beranggota berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan. Sedangkan komite sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggota orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Dalam aspek kemandirian lembaga, tidak ada perbedaan substansial antara klausul dalam PP dan Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Secara umum, perbedaan antara PP 17/2010 dan Kepmendiknas 044 terletak pada kedudukan dewan pendidikan. Dalam Kepmendiknas 044, dewan pendidikan hanya berkedudukan di kabupaten/kota. Sementara itu, PP mengatur keberadaan dewan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Dalam konteks ini, Kepmendiknas 044 lebih selaras dengan semangat desentralisasi dan pengelolaan otonomi pendidikan.
Jika dicermati lebih jauh, ketentuan mengenai keberadaan dewan pendidikan dalam PP 17/2010 sebenarnya menyimpan paradoks. Pasalnya, di satu sisi, dasar hukum pembentukan dewan pendidikan telah "naik kelas" dari (sekadar) keputusan menteri menjadi peraturan pemerintah. Namun, di sisi lain, ketentuan mendetail yang termaktub di dalam peraturan tersebut justru berpotensi mengerdilkan peran dewan pendidikan di kemudian hari.
Penilaian tersebut didasarkan pada tiga indikasi berikut:
Pertama, terkait fungsi dan tugas dewan pendidikan. Pasal 192 PP 17/2010 mengatur fungsi dewan pendidikan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan. Dalam menjalankan fungsi tersebut, dewan pendidikan bertugas menghimpun, menganalisis, dan memberikan rekomendasi kepada menteri, gubernur, bupati/wali kota terhadap keluhan, saran, kritik, dan aspirasi masyarakat terhadap pendidikan.
Ketentuan tersebut jelas mempersempit domain dewan pendidikan dalam aturan sebelumnya. Sebab, Kepmendiknas 044 menempatkan dewan pendidikan sebagai: (1) pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan; (2) pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga; (3) pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan; serta (4) mediator antara eksekutif dan legislatif dengan masyarakat.
Kedua, terkait mekanisme pemilihan. Dalam Kepmendiknas 044, pembentukan dewan pendidikan kali pertama ditetapkan melalui panitia persiapan yang dibentuk bupati/wali kota dan/atau masyarakat. Dalam proses seleksinya, anggota dewan pendidikan ditetapkan berdasar usul masyarakat. Selanjutnya, mekanisme pembentukan dewan pendidikan diatur melalui anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Dalam PP 17/2010, anggota dewan pendidikan dipilih oleh menteri dan kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota) berdasar usul panitia pemilihan. Panitia diberi kewenangan mengusulkan sejumlah dua kali lipat nama yang akan dipilih menteri dan kepala daerah setelah mendapat usul dari organisasi profesi pendidik, organisasi profesi lain ,atau organisasi kemasyarakatan. Sayangnya, baik panitia pemilihan maupun anggota dewan pendidikan, masing-masing dibentuk oleh menteri dan kepala daerah tanpa melibatkan unsur legislatif (pasal 193-195).
Ketiga, Kepmendiknas 044 masih membuka peluang bagi unsur legislatif (DPRD) dan birokrasi pemerintah daerah menjadi anggota dewan pendidikan, sebanyak-banyaknya 4-5 orang. Hanya, unsur legislatif dan birokrasi tidak diperkenankan menjadi ketua. Tapi, PP 17/2010 hanya membatasi usul calon anggota dari tiga jalur di atas. Dengan pembatasan tersebut, dapat dipastikan posisi tawar (bargaining position) dewan pendidikan di depan pemerintah dan pemerintah daerah akan sangat lemah. Dengan mekanisme pemilihan seperti itu, sulit mengharapkan terpilihnya dewan pendidikan yang mampu bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah. (hidayat@jpip.or.id)
Dari sisi momentum, kehadiran Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan terbilang sangat terlambat. Sebab, pasal 75 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas mengamanatkan, semua peraturan pelaksanaan UU ini harus diselesaikan paling lambat dua tahun.
Sejarah mencatat, UU Sisdiknas disahkan pada era Presiden Megawati dan diundangkan sejak 8 Juli 2003. Sementara itu, Peratutran Pemerintah (PP) yang dimaksudkan untuk mengatur pelaksanaan 24 pasal dalam UU Sisdiknas tersebut baru ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 28 Januari 2010. Dengan kata lain, PP tersebut terlambat terbit hampir lima tahun dari batas akhir yang ditetapkan dalam pasal 75 UU Sisdiknas.
Di sisi lain, peraturan yang memuat pilar-pilar penting pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan itu justru terbit saat semangat reformasi dan desentralisasi pendidikan menunjukkan gejala kelesuan dan cenderung tersesat di belantara komersialisasi. Tapi, seperti kata pepatah, pemerintah tampaknya menganut prinsip lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
PP 17/2010 terdiri atas 222 pasal yang terbagi ke dalam 18 bab. Klausul yang termaktub dalam peraturan ini berisi detail ketentuan mengenai pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, mulai pendidikan formal, pendidikan nonformal hingga pendidikan informal. Juga pendidikan jarak jauh, pendidikan khusus dan layanan pendidikan khusus serta pendidikan yang diselenggarakan satuan pendidikan asing.
Selain itu, diatur mengenai kewajiban peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, pendirian satuan pendidikan dan peran serta masyarakat. Pada bab peran serta masyarakat (Bab XIV) inilah keberadaan dewan pendidikan dan komite sekolah diatur.
Dalam PP ini, dewan pendidikan didefinisikan sebagai lembaga mandiri yang beranggota berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan. Sedangkan komite sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggota orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Dalam aspek kemandirian lembaga, tidak ada perbedaan substansial antara klausul dalam PP dan Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Secara umum, perbedaan antara PP 17/2010 dan Kepmendiknas 044 terletak pada kedudukan dewan pendidikan. Dalam Kepmendiknas 044, dewan pendidikan hanya berkedudukan di kabupaten/kota. Sementara itu, PP mengatur keberadaan dewan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Dalam konteks ini, Kepmendiknas 044 lebih selaras dengan semangat desentralisasi dan pengelolaan otonomi pendidikan.
Jika dicermati lebih jauh, ketentuan mengenai keberadaan dewan pendidikan dalam PP 17/2010 sebenarnya menyimpan paradoks. Pasalnya, di satu sisi, dasar hukum pembentukan dewan pendidikan telah “naik kelas” dari (sekadar) keputusan menteri menjadi peraturan pemerintah. Namun, di sisi lain, ketentuan mendetail yang termaktub di dalam peraturan tersebut justru berpotensi mengerdilkan peran dewan pendidikan di kemudian hari.
Penilaian tersebut didasarkan pada tiga indikasi berikut:
Pertama, terkait fungsi dan tugas dewan pendidikan. Pasal 192 PP 17/2010 mengatur fungsi dewan pendidikan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan. Dalam menjalankan fungsi tersebut, dewan pendidikan bertugas menghimpun, menganalisis, dan memberikan rekomendasi kepada menteri, gubernur, bupati/wali kota terhadap keluhan, saran, kritik, dan aspirasi masyarakat terhadap pendidikan.
Ketentuan tersebut jelas mempersempit domain dewan pendidikan dalam aturan sebelumnya. Sebab, Kepmendiknas 044 menempatkan dewan pendidikan sebagai: (1) pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan; (2) pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga; (3) pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan; serta (4) mediator antara eksekutif dan legislatif dengan masyarakat.
Kedua, terkait mekanisme pemilihan. Dalam Kepmendiknas 044, pembentukan dewan pendidikan kali pertama ditetapkan melalui panitia persiapan yang dibentuk bupati/wali kota dan/atau masyarakat. Dalam proses seleksinya, anggota dewan pendidikan ditetapkan berdasar usul masyarakat. Selanjutnya, mekanisme pembentukan dewan pendidikan diatur melalui anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Dalam PP 17/2010, anggota dewan pendidikan dipilih oleh menteri dan kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota) berdasar usul panitia pemilihan. Panitia diberi kewenangan mengusulkan sejumlah dua kali lipat nama yang akan dipilih menteri dan kepala daerah setelah mendapat usul dari organisasi profesi pendidik, organisasi profesi lain ,atau organisasi kemasyarakatan. Sayangnya, baik panitia pemilihan maupun anggota dewan pendidikan, masing-masing dibentuk oleh menteri dan kepala daerah tanpa melibatkan unsur legislatif (pasal 193-195).
Ketiga, Kepmendiknas 044 masih membuka peluang bagi unsur legislatif (DPRD) dan birokrasi pemerintah daerah menjadi anggota dewan pendidikan, sebanyak-banyaknya 4-5 orang. Hanya, unsur legislatif dan birokrasi tidak diperkenankan menjadi ketua. Tapi, PP 17/2010 hanya membatasi usul calon anggota dari tiga jalur di atas. Dengan pembatasan tersebut, dapat dipastikan posisi tawar (bargaining position) dewan pendidikan di depan pemerintah dan pemerintah daerah akan sangat lemah. Dengan mekanisme pemilihan seperti itu, sulit mengharapkan terpilihnya dewan pendidikan yang mampu bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah
F. Beberapa Faktor Penyebab belum berfungsinya Komite Sekolah dalam Era Otonomi Daerah
Sebagaimana ditahui, bahwa Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-Undang untuk itu seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan Negara Indonesia.
Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada kandungan proses dan manajemen sistem pendidikan. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan, tuntutan tersebut termasuk pembaharuan sistem pendidikan. Dengan pembaharuan sistem pendidikan agar dapat memberdayakan semua warga Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan pro aktif menjawab tantangan zaman selalu berubah, dan dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta tanggung jawab.
Dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa baik ditingkat nasional maupun internasional, Pemerintah Daerah dan Masyarakat bertekad untuk menghasilkan sumber daya manusia berkualitas melalui pendidikan yang bermutu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (serta imtak), sehingga mampu menjawab berbagai tantangan zaman yang selalu berubah. Oleh karena itu upaya yang dilakukan adalah melalui peningkatan mutu pendidikan, pemerataan pendidikan, serta efisiensi penyelenggaraan pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, bahwa urusan pendidikan merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Sejalan dengan itu, sebagai pembanding Pemerintah Kabupaten Badung menetapkan Peraturan Daerah tentang Pendidikan sebagai komitmen untuk mencerdaskan kehidupan dan penghidupan masyarakat Badung menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Badung, adalah: (a) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh masyarakat Badung; (b) membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; (c) meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas nproses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian bangsa yang bermoral; (d) meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan internasional; (e) memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan sesuai dengan kedudukan Badung sebagai Daerah Pariwisata.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, strategis yang dilakukan dalam pembangunan di bidang pendidikan, adalah: (a) pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia; (b) pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi; (c) proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (d) evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan; (e) peningkatan keprofesionalan pendidikan dan tenaga kependidikan; (f) penyediaan sarana belajar yang mendidik (memadai); (g) pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan keadilan; (h) penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata; (i) pelaksanaan wajib belajar; (j) pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan; (k) pemberdayaan peran serta masyarakat; (l) pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; (m) pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.
Melalui strategis tersebut, diharapkan tujuan pendidikan dapat terwujud secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. Untuk mewujudkan tujuan dan strategis dalam penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan, diperlukan pengaturan agar terpenuhi hak-hak dan kewajiban yang mendasar bagi warga masyarakat di bidang pendidikan. Oleh sebab itu, diperlukan Peraturan daerah sebagai landasan hukum bagi semua unsur yang terkait dengan pendidikan, serta mengikat semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat.
Berikut ini dipaparkan beberapa faktor interen dan ekstern belum berfungsi Komite Sekolah di beberapa daerah:
1. Faktor Interen
Beberapa fakta tentang peran komite sekolah:
a. Di sebagian daerah, sosialisasi tentang Peran Komite Sekolah kepada masyarakat belum diefektifkan sehingga Komite belum berperan secara optimal
b. Di beberapa sekolah, Komite hanya berperan sebagai “alat kelengkapan” sekolah
c. Komite sekolah hanya difungsikan sebagai pengumpulan dana untuk membiayai program fisik sekolah dan kurang menyentuh program non fisik
d. Di beberapa sekolah, komposisi keanggotaan laki-laki dan perempuan dalam organisasi komite sekolah belum berimbang.
Komite Sekolah berperan sebagai:
1. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan;
2. Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan;
3. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan;
4. Mediator antara pemerintah (mediating agency) dengan masyarakat di satuan pendidikan.
Komite Sekolah berfungsi sebagai berikut:
1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu;
2. Melakukan kerjasama dengan masyarakat (perorangan/organisasi/dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu;
3. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutulhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat;
4. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai:
a. kebijakan dan program pendidikan;
b. Rencana Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS);
c. kriteria kinerja satuan pendidikan;
d. kriteria tenaga kependidikan;
e. kriteria fasilitas pendidikan; dan
f. hal hal lain yang terkait dengan pendidikan;
5. Mendorong orangtua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataaln pendidikan;
6. Menggalang dana masyarakat calam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan;
7. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan Otonomi daerah sebagai wahana untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan di masyarakat, lancar dan tidaknya realisasi pelaksanaan otonomi daerah tersebut, sangat dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat itu sendiri. Kemampuan yang dibutuhkan antaranya adalah kemampuan sumber daya manusia untuk mengelola dnamika masyarakat, kemampuan untuk mengalokasikan sumebr finansial daya alam, secara tepat, memotifasi lembaga-lembag pendukung pembangunan, serta keberanian untuk mengambil keputusan-keputusan untuk kemajuan daerah. Dalam rangka pelaksanaan otoniomi pendidikan sebagai salah satu bagian dari otonomi daerah, maka untuk meningkatkan peran serta masyarakat di bidang pendidikan, diperlukan suatu wadah yang dapat mengakomodasikan pandangan, aspirasi dan menggali potensi masyarakat untuk menjamin terciptanya demokratisasi, transparasi, dan akuntabilitas pendidikan.salah satu wadah tersebut adalah dewan pendidikan di tingkat Kabupaten/ Kota dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan.
Keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah ini telah mengacu kepada undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang Progam Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004, dan sebagai implementasi dari undang-undang tersebut telah diterbitkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
2. Faktor Extern
Adapun faktor ektern; Pertama, bahwa adanya perubahan paradigma system pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi telah membuka peluang bagi mmasyarakat utnuk dapat meningkatkan peran sertanya dalam pengelolaan pendidikan, Salah satunya upaya untuk mewujudkan peluang tersebut adalah melalui Dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten /Kota dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah merupakan amanat rakayat yang telah tertuang dalam UU RI No.25 tahun 2000 tentang Progam Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004. amanat rakyat ini selaras dengan kebijakan otonomi daerah, yang telah memposisikan Kabupaten/Kota sebagai pemegang kewenangan dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan pendidikan di daerah tidak hanya diserahkan kepada Kabupaten/Kota, melainkan juga dalam bebrapa hal telah diberikan kepada satuan pendidika, baik pada jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah. Dengan kata lain, keberhasilan dalam penyelenggaraan pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, melainkan juga pemerintah propinsi, Kabupaten/Kota, dan pihak sekolah orang tua, dan masyarakat atau stakeholder pendidikan. Hal ini sesuai dengan konsep partisipasi bebasis masyarakat (community based participation) dan Manajemen Berbasis Sekolah (school based management) yang kini tidak hanya menjadi wacana, tetapi mulai dilaksanakan di Indonesia. Inti dari penerapan kedua konsep tersebut adalah bagaimana agar sekolah dan semua yang berkompeten atau stakeholder penddikan dapat memberikan layanan pendidikan yang berkualitas. Untuk itu diperlukan kerjasama yang sinergis dari pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat atau stakeholder lainnya secara sitematik sebagai wujud peran serta dalam melakukan pengelolaan pendidikan melalui Dewan Pendidikan dan Komite sekolah.
Kedua, Sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang semakin meningkat dewasa ini, maka dalam era manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pengelolaan pendidikan perlu dibenahi selaras dengan tuntutan perubahan yang dilandasi oleh adanya kesepakatan, komitmen, kesadaran, kesiapan membangun budaya baru dan profesionalisme dalam mewujudkan "Masyarakat Sekolah" yang memiliki loyalitas terhadap peningkatan mutu sekolah, oleh karena itu ada beberapa masalah yang menjadi sebab-sebab mengapa otonomi pendidikan sangat penting dan perlu dalam meningkatkan mutu sekolah:
Kedua, Sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang semakin meningkat dewasa ini, maka dalam era manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pengelolaan pendidikan perlu dibenahi selaras dengan tuntutan perubahan yang dilandasi oleh adanya kesepakatan, komitmen, kesadaran, kesiapan membangun budaya baru dan profesionalisme dalam mewujudkan "Masyarakat Sekolah" yang memiliki loyalitas terhadap peningkatan mutu sekolah, oleh karena itu ada beberapa masalah yang menjadi sebab-sebab mengapa otonomi pendidikan sangat penting dan perlu dalam meningkatkan mutu sekolah:
1. Akuntabilitas sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyrakat masih sangat rendah;
2. Pengguna sumber daya tidak optimal, rendahnya anggran pendidikan merupakan kendala yang besar;
3. Partisipasi masyarakat terhadap pendidikan rendah;
4. Sekolah tidak mampu mengikuti perubahan yang terjadi di lingkungannnya;
5. Pendidikan dengan segala persoalannya tidak mungkin diatasi hanya oleh lembaga persekolahan. Untuk melaksanakan program-progamnya, sekolahan perlu mengundang berbagai pihak yaitu keluarga, masyarakat, dan dunia usaha/ industri untuk beraptisipasi secara aktif dalam berbagai program pendidikan. Paertisipasi ini perlu dikelola dan dikoordinasikan dengan baik agar lebih bermakna bagi sekolah, terutama dalam peningkatan mutu dan efektifitas pendidikan lewat suatu wadah yaitu Dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten/ Kota dan Komite Sekolah di setiap satuan pendidikan. Dengan demikian pelaksanaan MBS disatuan pendidikan dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan.
6. Keputusan Mendiknas No.044/2002 tentang pembentukan dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan belum berjalan sesuai dengan petunjuk teknis pelaksanaan. Dengan adanya kebijakan pembentukan komite sekolah di setiap satuan pendidikan merupakan konsekuensi logis dari upaya meletakkan landasan yang kuat bagi terselenggaranya pendidikan yang transparan, akuntabel dan demokratis, dengan pelibatan partisipasi masyarakat secara luas belum meberi persepsi yang sebenarnya dan harapan Komite Sekolah dapat bereperan meningkatkan mutu, pemerataan dan efisiensi pengelolaan pendidikan di setiap satuan pendidikan;
7. Keberhasilan Komite Sekolah dapat ditentukan dengan meningkatkanya partisipasi masyarakat, dengan mengakomodasi pandangan, aspirasi dan menggali potensi masyarakat untuk menjamin demokratisasi, transaparan dan akuntabilitas. Upaya ini dapat dilakukan melalui Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan/ sekolah. Komite Sekolah merupakan bentuk dari meningkatnya kompleksitas sekolah, sebagai akibat dari munculnya konsep Pendidikan yang berbasis masyarakat dan dilaksanakan oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, W. S. 1997. Analisis Kebijaksanaan Negara dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Edisi Kedua. Bumi Aksara, Jakarta.
Anonymous, 2005. Peningkatan Kesejahteraan Guru Baru Dimulai 2007.www. pml.ac.id
Anonymous, 2006. Kebijakan Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. www.portalphp.dit-php.display
Chan, S.M. & Sam, T.T. 2005. Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Depdiknas. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Penerbit: Cintra Umbara, Bandung.
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat Dikmenum.
Depdiknas. 2004. Undang-Undang Otonomi Daerah 2004. Bandung: Citra Umbara.
Depdiknas. 2004. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Qanon Publishing.
Depdiknas. 2005. Standar Nasional Pendidikan (SNP): Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005. Bandung: Fokusmedia.
Fasli, J. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Friedman, Lawrence, 2001, American Law an Introduction, Second Edition, diterjemahkan oleh Wisnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar,Cetakan Pertama, PT Tata Nusa, Jakarta.
Fattah, N. 2004. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Habermas, Jurgen, 1973, Legitimation Crisis, London: Deacon, Press.
Ghozali, A. 2004. Peranan Pendidikan terhadap Pertumbuhan Ekonom. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan oleh Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Mataram di Lombok, Nusa Tenggara Barat, tanggal 15 dan 16 September 2004.
Hamalik. 2004. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: PT. Pribumi Aksara)
Hasri, S. 2004. Manajemen Pendidikan: Pendekatan Nilai dan Budaya Organisasi. Makasar: YAPMA.
Jones, O.C.1996. Pengantar Kebijakan Publik . Diterjemahkan oleh Ricky Istamto. Jakarta:Raja Grafindo Persada
Komaruddin, 1972. Ensiklopedia Manajemen Pendidikan. Bandung: Alumni
Kydd, L. et. al. 2004. Professional Development for Educational Management: Pengembangan Profesional untuk Manajemen Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
Lincoln E.G. & Guba Y.S. 1985. Naturalisfic Inquiry. Bevery Hills. SAGE Publications. Inc.
Mazmanian, D.H. & Paul, A.S, 1987. Implementation and Public Policy, New York: Harper Collins.
Masruri, Siswanto. 2002. Kualitas Pribadi dan Keterampilan Supervisi. Jakarta: Panjimas
Muhadjir, N. 2000. Kebijakan dan Perencanaan Sosial: Pengembangan Sumber Daya Manusia. Edisi I. Yogyakarta: Rake Sarasin. Parsons, W. 1997. Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis. Edward Elgar,Cheltenham, UK Lyme, US.
Patton, V. Carl. & Sawicki, David. 1986. Basic Methodes of Policy Analysis and Planning, Prentice Hall, Cliffs, NJ. 07632.
Perry. L, James. 1996. Hand Book of Public Administration, Abson Book. Inc, USA.
Pusdiklat Spimnas. 2001. Kajian Kebijakan Publik. Lembaga Administrasi Republik Indonesia, Jakarta.
Putra, F. 2001.Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik .Pustaka Pelajar Yogyakarta bekerjasama Universitas Sunan Giri Surabaya
Sagala, S. 2000. Administrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung: Alfabeta.
Siagian, S.P. 1985. Analisis serta perumusan Kebijakan dan Strategi Organisasi. Jakarta: Gunung Agung.
Supriadi, D. 1999. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Adi Cita Katya Nusa.
Supriadi, D. 2004. Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah. Bandung: Rosdakarya.
Suryadi, A. & Tilaar, H.A.R., 1994. Analisis Kebijakan Pendidikan, Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.
Soenarko, 2000. Analisis Kebijakan Publik. Pusat Penerbit Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Supandi dan Sanusi A, 1998. Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan. (Jakarta : Depdikbud)
Satjipto Rahardjo, 1980, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Bandung:Alumni.
________, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru.
________, “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, dalam Kompas 15 Juni 2002.
________, “Bersatulah Kekuatan Hukum Progresif”, dalam Kompas 6 September 2002.
Thoha, M. 2002. Birokrasi dan Politik di Indonesia .Jakarta : Raja Grafindo Persada
Tilaar, H. A. R. 1995. Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995: Suatu Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Turang, J. 2001. Pengembangan Kebijakan Pendidikan Dan Sosio-Ekonomi Tingkat Kabupaten/Kota. Universitas Negeri Manado.
Umar, T. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Uzur, U.M. 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdyakarya
Wibawa, S. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. PT. Raja Grafindo, Jakarta
Zumwalt, K. 1989. Beginning Professional Teachers: the Need for a Curricular Vision for Teaching. Dalam M. C. Reynold (ed). Knowledge Base for Beginning Teachers. New York: Pergamon Press.
Makalah :
Laporan Bank Dunia: Education in Indonesia. (1998, September). From Crisis to Recovery.
Lembaga Pengembangan Manajemen Pendidikan. (1996). Model dan pedoman Peningkatan Partisipasi Masyarakat Untuk Pembangunan Pendidkan. Jakarta: LPPM
Makalah Konperensi Pendidikan Indonesia Mengatasi Krisis Menuju Pembaruan. (1999, February). Jalan Menuju Pembaruan Pendidikan: Sebuah Pendekatan Berdasarkan Kebutuhan Masyarakat, Jakarta
Media MNPK NO. 6 TH. XX. (April 2000-Mei 2000). Manajemen Berbasiskan Sekolah di tingkat Pendidikan Dasar; oleh Jiyono.
Regional Educational Development and Improvement Project (Redip). (1999, November): Interim Report 1. Jakarta.
Reports to Unesco of the Internatinal Commission on Education for the Twenyfirst
Century (1996). Learning The reasure Within.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan;
Peraturan Pemerintah No 17 Tentang Pengeloaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 118/M/2005 tentang Pengangkatan Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah;
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 14 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional;
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 25 Tahun 2006 tentang Rincian Tugas Unit Kerja di Lingkungan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Manajemen;
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi;
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan;
Peraturan Menteri Pendidikan nasional Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
Perabturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 34 tahun 2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik yang memiliki potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, tanggal 15 September 2006.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, tanggal 17 April 2007
Peraturan Menteri Pendidikan Nasionbal Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Tanggal 4 Mei 2007.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan;
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan;
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 43 Tahun 2007 tentang Koordinasi dan Pengendalian Program di Lingkungan Departemen Nasional Tahun Anggaran 2008.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 44 Tahun 2007 tentang Alokasi, Klasifikasi, Mekanisme Belanja, dan Pertanggungjawaban Anggaran Belanja Departemen Pendidikan Nasional.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2008 tentang Uji Kompetensi Bagi Peserta didik Kursus dan Pelatihan dari Satuan Pendidikan Nonformal dan Warga Masyarakat.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 60/U/2002 tentang Pedoman Pendirian Sekolah;
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah;
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 649/A.A3/KU/2008 tentang Pengangkatan Pejabat Perbendaharaan/Pengelola Keuangan pada Direktorat Pembinaan SMK, Ditjen Mandikdasmen tahun anggaran 2008;
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 118/1996 yang dirubah dengan Keputusan Menpan No. 91/2001 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya. Masyarakat yang Belajar Mandiri.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 87/2002 tentang Akreditasi Sekolah.
Keputusan Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, Direktorat Jenderal Manajemen Dikdasmen, Depdiknas Nomor 818a/C3/KEP/2007, tanggal 24 April 2007 tentang Penetapan SMP Standar Nasional Tahun Anggaran 2007
Surat Menteri Pendidikan Nasional Nomor 14/NPN/HK/2008 tanggal 24 Januari 2008 tentang Prioritas Pemberian Izin Pendirian Sekolah Menengah;
Surat Dirjen Mandikdasmen No. 905/C1.C3/KU/2006 tanggal 13 Februari 2006 tentang Rekening Sekolah;
Petunjuk Pelaksanaan Pembuatan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS). 2007. Departemen Pendidikan Nasional. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.
Buku Panduan:
Panduan Pembinaan Sekolah Standar Nasional. 2008. Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. Jakarta : Depdiknas.
Panduan Manajemen Berbasis Sekolah.2006. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta
Road Map Direktorat Pembinaan SMK 2006 – 2010.
1 komentar:
Nama : NURFADLI
Nim : A11108048
Saya sangat menyukai dan sangat setuju kekali dengan tulisan bapak mengenai MEMAHAMI KOMITE SEKOLAH DARI ASPEK HUKUM karena sesuai dengan apa yang bapak tulis bahwa :
Keputusan Mendiknas No.044/2002 tentang pembentukan dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan belum berjalan sesuai dengan petunjuk teknis pelaksanaan.
Saran saya kepada Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah :
* Aktif dalam melakukan control terhadap Anggaran Pendidikan
* Transparansi terhadap Anggaran Pendidikan point–point apa saja yang di anggarkan
Posting Komentar