Hakikat dan Pengertian Mitos
Bisakah Sebuah
Lambang Negara diangkat dari Mitos ?
(Suatu Analisis
Lambang Negara RI Rancangan Sultan Hamid II)
Oleh: Turiman
Fachturahman Nur
HP 08125695414
Email:qitriaincenter@yahoo.co.id
A.Pengertian
Mitos.
Mitos
berasal dari bahasa Yunani mythos yang berarti kata yang diucapkan. Pada awalnya, mitos
selalu dilawankan dengan kata logos. Mitos adalah cerita seorang penyair
sedangkan logos adalah laporan yang dapat dipercaya sesuai dengan kenyataan.
Mitos juga diartikan sebagai cerita mengenai dewa-dewa, pahlawan-pahlawan dari
zaman lampau. Melalui tradisi lisan yang panjang mitos akhirnya mengendap dalam
berbagai macam jenis sastra. Dalam hal ini mitos dibedakan menjadi tiga yaitu (a)
mitos simbolis, (b) mitos aetologis, dan (c) diidentikan dengan sage[1]
Pada
perkembangan selanjutnya mitos mempunyai makna lebih luas. Mitos tidak selalu
berkaitan dengan cerita tentang usul-usul, cerita tentang dewa-dewa atau
simbol-simbol masa lalu. Pada kehidupan masyarakat modern pun mitos selalu ada.
Barthes menyatakan bahwa orang modern
pun selalu dikerumuni oleh mitos-mitos, orang modern juga produsen sekaligus
konsumen mitos[2].
Mitos
adalah suatu sistem komunikasi yang
memberikan pesan berkenaan dengan aturan masa lalu, ide, ingatan, dan kenangan
atau keputusan-keputusan yang diyakini. Dengan demikian mitos bukanlah suatu
benda, konsep atau gagasan melainkan sebuah
lambang dalam bentuk wacana (discourse)[3].
Lambang mitos tidak selalu tertulis, tetapi dapat berupa film, benda atau
peralatan-peralatan tertentu, gambar dan lain sebagainya. Perlu ditegaskan
bahwa mitos bukanlah suatu benda tetapi dapat dilambangkan dengan benda.[4]
Dalam kehidupan sehari-hari mitos bukanlah
perkara benar atau salah. Kebenaran dan ketidakbenaran tersebut berkaitan
dengan proses terjadinya suatu mitos. Mitos pada hakikatnya merupakan suatu generalisasi
dari suatu peristiwa yang dianggap pernah terjadi dan dianggap selalu terjadi[5].
Sebagaimana
disebutkan di atas bahwa mitos tidak selalu berkaitan dengan salah benar.
Demikian juga halnya dalam kegiatan generalisasi. Generalisasi pada prinsipnya
tidak dapat dikenakan pada semua orang atau semua masalah. Oleh karena itu,
prosedur generalisasi cenderung mengandung unsur kesalahan. Akan tetapi, dalam
mitos kesalahan tersebut sering terabaikan. Sebagai contoh dapat dikemukakan
mitos tentang ibu tiri. Menurut hukum mitos, ibu tiri identik dengan perilaku
jahat. Dalam realitas mungkin saja ditemui seorang ibu tiri yang tidak jahat,
bahkan lebih baik daripada ibu kandung.
Kebenaran
dari suatu hasil generalisasi yang diabaikan
menyebabkan mitos selalu berada pada posisi yang berlawanan atau
berhadapan dengan realitas. Mitos yang bermuatan generalisasi akan berhadapan
dengan realitas yang berisi fakta konkret. Selanjutnya mitos yang dihadapkan
kepada suatu realitas akan memunculkan dua kemungkinan reaksi. Reaksi yang
dimaksud yaitu mitos semakin diperkuat sehingga makin kukuh, dan mitos
dinyatakan tidak berlaku.
Di atas
dikemukakan bahwa kehidupan manusia dan dengan sendirinya hubungan antar
manusia, dikuasai oleh mitos-mitos. Sikap manusia terhadap sesuatu ditentukan
oleh mitos yang ada dalam dirinya. Mitos menyebabkan seseorang menyukai atau
tidak menyukai apa yang ada di hadapannya, apa yang sedang dialaminya, dan apa
yang ada dalam pikirannya.
Pemahaman
atas mitos akan menyebabkan manusia mempunyai suatu prasangka tertentu terhadap
hal yang dinyatakan dalam mitos. Hanya melalui persentuhan dengan hal tertentu
tersebut kita selanjutnya dapat mengetahui ketepatan dan kekeliruan pemahaman
terhadap mitos tersebut. Persentuhan dengan mitos yang terus menerus itulah
yang menjadi penyebab munculnya dua kemungkinan. Kemungkinan yang dimaksud
yaitu (a) persentuhan yang memperkuat mitos atau mitos pengukuhan (myth of
concern) dan (b) persentuhan yang meniadakan mitos atau mitos pembebasan (myth
of freedom). Yang pertama, berusaha mempertahankan apa yang telah terwujud,
sedangkan yang kedua menginginkan sesuatu yang baru dengan melepaskan diri dari
apa yang telah ada.[6]
Dalam
sistem semiotik mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur, yaitu: signifier,
signified, dan sign. Untuk membedakan istilah-istilah yang sudah
dipakai dalam sistem semiotik tingkat pertama (linguistik) Barthes menggunakan
istilah yang berbeda untuk ketiga unsur tersebut yaitu, form, concepts, dan signification.
Signifier sejajar dengan form, signified sejajar dengan concept
dan sign sejajar dengan signification. Pembedaan istilah tersebut
sebagai salah satu upaya menjelaskan perbedaan proses signification
dalam sistem semiotik tingkat pertama dan tingkat kedua. Sistem semiotik
tingkat pertama adalah linguistik, sistem semiotik tingkat kedua adalah sistem
mitis yang mempunyai keunikan.[7]
Sebagai
sistem semiotik tingkat kedua, mitos mengambil sistem semiotik tingkat pertama
sebagai landasannya. Dengan demikian, mitos merupakan sejenis sistem ganda
dalam semiotik yang terdiri atas sistem linguistik dan sistem semiotik. Untuk
menghasilkan sistem mitis, sistem semiotik tingkat dua mengambil seluruh sistem
tanda tingkat pertama dan dijadikan sebagai signifier (form). Sign
diambil alih oleh sistem kedua menjadi form. Adapun concept
diciptakan oleh pembuat atau pengguna mitos. Sign yang diambil untuk
dijadikan form diberi nama lain, yaitu meaning. Meaning
memberi penegasan bahwa kita mengetahui tanda hanya dari maknanya. Dalam
pemahaman mitos, meaning berdiri di atas dua kaki, yakni di atas tingkat
kebahasaan (sebagai sign), dan di
atas tingkat sistem mitis (sebagai form)[8]
2.Membongkar Mitos Lambang Garuda Pancasila
Berdasarkan hasil diskusi terfokus dalam bentuk saresahan,
Rabu, 8 Desember 2012, Pusat Studi Pancasila, UGM, maka
mitologi Garuda Pancasil;a kembali menggelar acara sarasehan bertajuk
Membongkar Mitos Lambang Garuda Pancasila. Menurut Hastangka, Ketua Panitia
Sarasehan menjelaskan bahwa acara ini diselenggarakan dalam rangka menyongsong
peringatan hari desain lambang negara Garuda Pancasila pada tanggal 11 Februari
1950. Dalam sarasehan tersebut Pusat Studi Pancasila berkerjasama dengan
Komunitas Rumah Garuda mengundang guru dari Sekolah Dasar hingga Sekolah
Menengah Atas di Yogyakarta,serta perwakilan OSIS di SLTP dan SLTA Selain
mengundang para pendidik juga mengundang mahasiswa, aktivis pergerakan, dan
masyarakat umum. Tujuan utama dari sarasehan ini adalah agar masyarakat dan
negara tidak mengalami amnesia sejarah lahirnya Lambang negara.
Hastangka, berpendapat persoalan
tentang mitos dan sejarah lambang garuda sebagai lambang negara republik
Indonesia sampai sejauh ini masih menuai perdebatan di kalangan akademisi dan
masyarakat. Dalam konteks historis, lambang garuda Pancasila merupakan lambang yang
dipersiapkan untuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dimana lambang
garuda Pancasila tersebut di desain masih mencantumkan kata RIS.
Selain itu, dalam berbagai
kajian yang telah dilakukan perdebatan tentang burung garuda banyak menyiratkan
keterkaitan dengan mitologi Hindu dan Budha. Misalnya, Kajian Nanang R.Hidayat,
pendiri Rumah GARUDA dan mitra Pusat Studi Pancasila, Universitas Gadjah Mada
juga menunjukkan bahwa garuda memiliki berbagai macam interpretasi simbolik, historis,
dan filosofis. Apakah burung garuda sesungguhnya benar ada atau hanya imajinasi
para pendiri bangsa untuk melegitimasi bahwa garuda adalah prototipe elang Jawa
yang dianggap gagah, berwibawa, kekar, dan tangguh sebagai representasi
kekuatan untuk menunjukkan eksistensi negeri ini dari penjajah. Siapa
sebenarnya yang berperan besar dalam mendesign lambang Garuda hingga berbentuk
seperti sekarang ini?,bagaimana dinamika dan polemik yang muncul dalam proses
penciptaan lambang negara? Apakah ada relevansi antara lambang negara dengan
proses pembentukan jati diri bangsa? Mencari kebenaran tentang apa makna garuda
dalam konteks lambang negara republik Indonesia dan mengapa garuda dipilih
sebagai lambang negara menjadi topik utama dalam sarasehan kali ini sebagai
upaya penguatan jati diri bangsa.
Nanang R. Hidayat, peneliti Tesis Mencari Telur Garuda, 2010 menegaskan bahwa persoalan pemahaman tentang
lambang garuda yang sangat minim dan kecenderungan banyak masyarakat,pejabat
negara dan lembaga negara tidak memahami unsur-unsur lambang negara, garuda
Pancasila. Hal tersebut terbukti ada bentuk lambang garuda yang kakinya masih
empat,tulisan Bhinneka Tunggal Ika yang kurang n-nya seperti yang terdapat
dalam paspor republik Indonesia.
Sumbo
Tunarbuko, pakar semiotik dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta memaparkan
bahwa dalam perspektif semiotika menjelaskan bagaimana garuda Pancasila menjadi
tidak punya arti dalam konteks kebangsaan, karena lambang garuda tidak memiliki
brand atau ambassador lambang garuda yang selalu bertugas untuk
mensosialisasikan dan mengkomunikasikan kepada masyarakat apa dan bagaimana
lambang garuda itu. Kita sudah lupa dengan lambang garuda yang luar biasa yang
kemudian menjadi lambang komersial seperti kacang garuda. Harusnya makna garuda
perlu digambarkan dan dijelaskan sebagai jati diri bangsa atau identitas
bangsa, tegasnya.
Kajian dan diskusi tentang lambang
negara Garuda Pancasila sampai sejauh ini masih kurang terlalu mendapatkan
perhatian serius di kalangan masyarakat dan akademisi karena burung Garuda
dianggap sebagai hal yang given dan
sudah ada sebagaimana adanya. Namun dalam tataran historis, semiotik, dan
filosofis, lambang negara Garuda Pancasila menjadi menarik untuk dikaji karena
didalam lambang ini banyak menyimpan misteri yang selama ini belum banyak
diketahui oleh masyarakat Indonesia.
Meskipun, MPR RI dengan antusiasnya
mensosialisasikan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, namun lambang Garuda Pancasila justru luput dari perhatian lembaga negara
tersebut. Diasma Sandi Swandaru, peneliti Pusat Studi Pancasila,UGM menjelaskan
juga bahwa lambang negara adalah simbol perekat atas perbedaan bangsa Indonesia
karena itu penggunaan lambang negara tidak harus pemerintah yang berhak
menggunakan lambang negara tersebut seperti yang tercantum dalam UU Nomor 24
tahun 2009 tentang lambang, negara. Tetapi rakyat juga harus diberi ruang untuk
mengekpresikan kecintaannya terhadap lambang negara dengan catatan tidak dalam posisi
menistakan lambang negara dalam arti negatif.
Persoalan lambang
garuda kembali mencuat beberapa tahun terakhir ini ketika ada sekelompok
masyarakat yang melakukan penggugatan terhadap kelompok masyarakat lain melalui
UU Nomor 24 Tahun 2009 terkait pencemaran dan penyalahgunaan lambang negara.
Kasus ini menyebabkan korban yang tidak bersalah menjadi bersalah karena
dianggap melecehkan lambang negara di depan umum. Akibat dari UU tersebut
mendorong sejumlah masyarakat untuk melakukan uji material atas UU ini di
Makamah Konstitusi pada tanggal 12 Januari 2012 yang diiniasi oleh Forum Kajian
Hukum dan Konstitusi.
Harapan dari
sarasehan ini adalah sosialisasi dan edukasi tentang lambang garuda untuk
penguatan jati diri bangsa dan pembangunan generasi bangsa yang tangguh dan
berkarakter nation supaya dapat disalurkan ke sekolah-sekolah, Perguruan
Tinggi, dan masyarakat yang lebih luas dan agar tidak terjadi kesalahpahaman
dalam memaknai lambang Garuda Pancasila.
Hanya yang menarik adalah bahwa Sultan
Hamid II setelah rancangan lambang negara yang diserahkan tanggal 8
Februari 1950 dikoreksi oleh salah satu anggota
Panitia Lambang Negara M Natsir, karena keberatan terhadap gambar burung Garuda yang memegang perisai
Pancasila ternyata secara fakta sejarah terjadi
pergeseran ikon (gambar) bukan lagi menggunakan figur burung Garuda dalam
mitologi tetapi bergeser kepada burung Elang Rajawali.
Pertanyaannya apa yang menjadi latar belakang Sultan
Hamid II merubah gambar (ikon) dari figur burung Garuda ke burung Elang Rajawali
?
Jika
kita mengacu pada keterangan Max Yusuf Al Kadrie, mantan sekretaris
pribadi Sultan Hamid II menyatakan :[9]
"...tetapi menurut Max Yusuf , Sultan Hamid II sama sekali tidak mengacu
pada elang jawa ketika merancang, Ia menggunakan elang Rajawali yang berukuran
jauh lebih besar seperti kebanyakan lambang yang dibuat negara lain dengan
tujuan agar bangsa Indonesia bisa tumbuh sama besar dan sama kuat dengan
negara-negara lain di dunia."
Keberatan
M Natsir sebagai salah satu anggota Panitia Lambang Negara, 1950 yang berlatar belakang Masyumi terhadap unsur mitologis dengan penggambaran
"manusia burung" sebagai lambang negara sangat berdampak pada bentuk
rancangan selanjutnya. Rancangan Sultan Hamid II yang sejak semula mereferensi
Lambang negara Eropa, khususnya Polandia serta beberapa lambang negara Timur
Tengah dimana semua mengacu pada burung elang atau Elang
Rajawali, seakan menjadi solusi yang tepat.[10] Sebagaimana dinyatakan dalam transkrip Sultan
Hamid II pada perubahan kedua perancangan lambang negara menggunakan bahan
perbandingan dengan negara-negara di dunia yang mengggunakan figur burung Elang Rajawali.
3.Bisakah sebuah
Lambang Negara diangkat dari Mitos ?
Pertanyaannya akademis ilmiahnya adalah apakah
sebuah Lambang Negara bisa dirancang dari sebuah mitos yang berkembang dalam
suatu peradaban bangsa itu sendiri.
Menurut Tommy F. Awuy,"akal
budi kritis mitos memang bertentangan dengan tujuannya membangun cara berfikir
akademis"[11]
Mitos memiliki arti penting dia
bukanlah sekedar legenda mengenai asal-usul terjadinya segala sesuatu dan
ceritera tentang kesaktian para dewa-dewi atau para leluhur. Mitos membentuk cara
berada manusia. Para filsuf Yunani kuno sangat yakin bahwa dengan filsafat, manusia
baru menemukan peradaban agung secara revolusioner sebagaimana Socrates
dan plato membuang mitos.
Namun demikian mitos tidak serta merta berhenti sampai di sana ia terus memikat
dan bertambah kaya pengertiannya mitos bisa diartikan sebagai upaya rasio untuk
keluar dari keterbatasan pengetahuannya atas dunia benda-benda dengan membangun
narasi secara spekulatif metafisika. Dalam hal ini tidak berbeda dengan mitos-mitos
juga sering dipandang sebagai ceritera yang digunakan untuk kebudayaan guna
menjelaskan atau memahami beberapa aspek dan realitas atau alam mitos primitif
berkenan dengan hidup dan mati, manusia dan dewa, nilai baik dan buruk.
Barthes menjelaskan sesuatu yang berbeda tentang mitos,
menurutnya mitos adalah tipe wicara[12],namun dia bukan sembarang tipe, tetapi lebih
kepada yang dikenal dengan sistem komunikasi,yakni sebuah pesan. Dalam
pandangan Barthes mitos bukanlah
segala sesuatu yang berkaitan dengan apa yang disebut diatas, tetapi mitos
adalah segala sesuatu, sebagaimana dikatakan Barthes' Lantas benarkah segala sesuatu bisa menjadi mitos? menurutnya 'Ya', saya percaya sebab alam semesta
ini ditumbuhi begitu subur oleh berbagai
nasehat. Segala objek di dunia ini dapat lolos dari suatu eksistensi yang diam
dan tertutup menjadi eksistensi oral, yang terbuka untuk ditafsirkan oleh
masyarakat. Bagi Barthes mitos merupakan
cara pikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk
mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Barthes memikirkan mitos sebagai matarantai dari konsep-konsep
terkait, juga melihatnya sebagai satu bagian dengan apa yang diperkenalkan oleh
Saussure,yaitu Semiology.
Menurut Barthes, cara kerja
mitos adalah untuk menaturalisasikan sejarah, dan ini memperhatikan bahwa mitos
sebenarnya merupakan produk kelas sosial yang telah mencapai dominasi melalui
sejarah tertentu, maknanya sebagai alami, dan bukan bersifat historis atau
sosial. Para ahli mitologi mengungkapkan sejarah tersembunyi sehingga cara
kerja sosial politik mitos adalah dengan melakukan 'demistifikasi'mitos.
Dengan demikian menurut penulis, bahwa
percepatan perubahan sosial
saat ini "Hukum merupakan Mitos". Dibangun dari ideologi, idealisme
akan tujuan yang hendak dicapai, dibarengi pergerakan yang sangat dideteksi.
Jargon ilmiah masih merupakan kata kunci, penegakkan hukum, keadilan,
ketertiban, peranan hukum dalam masyarakat dan pembanguan, fungsinya sebagai
"alat" pembaharuan sampai kepada tujuan memperjuangkan hak-hak rakyat
kecil, menunjukan betapa penting posisi mitos dan hukum merupakan dunia mitos.
Mitos telah memperkokoh eksentesi hukum dalam masyarakat, bergerak dengan harapan akan masa depan hukum yang lebih baik, karena bagi
masyarakat mitos merupakan inti kehidupan. Tidak ada mitos yang
universal dalam hukum, namun yang ada adalah mitos yang
dominan,meski di situ sekaligus ada kontra mitos(countermyths).
Mitos berasal dari bahasa Yunani mythos yang berarti kata yang
diucapkan. Pada awalnya, mitos selalu dilawankan dengan kata logos.
Mitos adalah cerita seorang penyair sedangkan logos adalah laporan yang dapat
dipercaya sesuai dengan kenyataan. Mitos juga diartikan sebagai cerita mengenai
dewa-dewa, pahlawan-pahlawan dari zaman lampau. Melalui tradisi lisan yang
panjang mitos akhirnya mengendap dalam berbagai macam jenis sastra. Dalam hal
ini mitos dibedakan menjadi tiga yaitu (a) mitos simbolis, (b) mitos aetologis,
dan (c) diidentikan dengan sage[13]
Pada perkembangan selanjutnya
mitos mempunyai makna lebih luas. Mitos tidak selalu berkaitan dengan cerita
tentang usul-usul, cerita tentang dewa-dewa atau simbol-simbol masa lalu. Pada
kehidupan masyarakat modern pun mitos selalu ada. Barthes menyatakan bahwa
orang modern pun selalu dikerumuni oleh mitos-mitos, orang modern juga
produsen sekaligus konsumen mitos[14].
Mitos adalah suatu sistem komunikasi yang memberikan
pesan berkenaan dengan aturan masa lalu, ide, ingatan, dan kenangan atau
keputusan-keputusan yang diyakini. Dengan demikian mitos bukanlah suatu benda,
konsep atau gagasan melainkan sebuah lambang
dalam bentuk wacana (discourse)[15].
Lambang mitos tidak selalu tertulis, tetapi dapat berupa film, benda atau
peralatan-peralatan tertentu, gambar dan lain sebagainya. Perlu ditegaskan
bahwa mitos bukanlah suatu benda tetapi dapat dilambangkan dengan benda.[16]
Dalam kehidupan sehari-hari
mitos bukanlah perkara benar atau salah. Kebenaran dan ketidakbenaran tersebut
berkaitan dengan proses terjadinya suatu mitos. Mitos pada hakikatnya merupakan
suatu generalisasi dari suatu peristiwa yang dianggap pernah
terjadi dan dianggap selalu terjadi[17].
Sebagaimana disebutkan di atas
bahwa mitos tidak selalu berkaitan dengan salah benar. Demikian juga halnya
dalam kegiatan generalisasi. Generalisasi pada prinsipnya tidak dapat dikenakan
pada semua orang atau semua masalah. Oleh karena itu, prosedur generalisasi
cenderung mengandung unsur kesalahan. Akan tetapi, dalam mitos kesalahan
tersebut sering terabaikan. Sebagai contoh dapat dikemukakan mitos tentang ibu
tiri. Menurut hukum mitos, ibu tiri identik dengan perilaku jahat. Dalam
realitas mungkin saja ditemui seorang ibu tiri yang tidak jahat, bahkan lebih
baik daripada ibu kandung.
Kebenaran dari suatu hasil generalisasi yang diabaikan menyebabkan mitos selalu berada pada posisi
yang berlawanan atau berhadapan dengan realitas. Mitos yang bermuatan
generalisasi akan berhadapan dengan realitas yang berisi fakta konkret. Selanjutnya
mitos yang dihadapkan kepada suatu realitas akan memunculkan dua kemungkinan
reaksi. Reaksi yang dimaksud yaitu mitos semakin diperkuat sehingga makin
kukuh, dan mitos dinyatakan tidak berlaku.
Di atas dikemukakan bahwa kehidupan manusia dan
dengan sendirinya hubungan antar manusia, dikuasai oleh mitos-mitos. Sikap
manusia terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam dirinya. Mitos
menyebabkan seseorang menyukai atau tidak menyukai apa yang ada di hadapannya,
apa yang sedang dialaminya, dan apa yang ada dalam pikirannya.
Pemahaman atas mitos akan menyebabkan manusia
mempunyai suatu prasangka tertentu terhadap hal yang dinyatakan dalam mitos.
Hanya melalui persentuhan dengan hal tertentu tersebut kita selanjutnya dapat
mengetahui ketepatan dan kekeliruan pemahaman terhadap mitos tersebut.
Persentuhan dengan mitos yang terus menerus itulah yang menjadi penyebab
munculnya dua kemungkinan. Kemungkinan yang dimaksud yaitu (a) persentuhan yang
memperkuat mitos atau mitos pengukuhan (myth of concern) dan (b)
persentuhan yang meniadakan mitos atau mitos pembebasan (myth of freedom).
Yang pertama, berusaha mempertahankan apa yang telah terwujud, sedangkan yang
kedua menginginkan sesuatu yang baru dengan melepaskan diri dari apa yang telah
ada.[18]
Dalam sistem semiotik mitos
dapat diuraikan ke dalam tiga unsur, yaitu: signifier, signified, dan sign.
Untuk membedakan istilah-istilah yang sudah dipakai dalam sistem semiotik
tingkat pertama (linguistik). Barthes menggunakan
istilah yang berbeda untuk ketiga unsur tersebut yaitu, form, concepts, dan signification.
Signifier sejajar dengan form, signified sejajar dengan concept
dan sign sejajar dengan signification. Pembedaan istilah tersebut
sebagai salah satu upaya menjelaskan perbedaan proses signification
dalam sistem semiotik tingkat pertama dan tingkat kedua.
Sistem semiotik tingkat pertama
adalah linguistik, sistem semiotik tingkat kedua adalah sistem mitis yang
mempunyai keunikan.[19]
Sebagai sistem semiotik
tingkat kedua, mitos mengambil sistem semiotik tingkat pertama sebagai landasannya.
Dengan demikian, mitos
merupakan sejenis sistem ganda dalam semiotik yang terdiri atas sistem
linguistik dan sistem semiotik. Untuk menghasilkan sistem mitos menjadi sistem semiotik
tingkat dua mengambil seluruh sistem tanda tingkat pertama dan dijadikan
sebagai signifier (form). Sign diambil alih oleh sistem
kedua menjadi form. Adapun concept diciptakan oleh pembuat atau
pengguna mitos. Sign yang diambil untuk dijadikan form diberi
nama lain, yaitu meaning. Meaning memberi penegasan bahwa kita
mengetahui tanda hanya dari maknanya. Dalam pemahaman mitos, meaning
berdiri di atas dua kaki, yakni di atas tingkat kebahasaan (sebagai sign),
dan di atas tingkat sistem mitos (sebagai form)[20]
4.Mitologi Elang
Rajawali Negara di Dunia
Jika
kita menelusuri sejarah mitologi burung elang Rajawali dalam sejarah perjalanan
lambang-lambang militer Polandia sebagai analisis pembanding dalam penelitian
ini, karena diungkap oleh Sultan Hamid II. Membandingkan gambar (ikon)-nya dan
kemudian dipersandingkan dengan coretan rancangan gambar yang dibuat oleh
Sultan Hamid II, maka secara semiotika lambang cukup terpengaruh, tetapi dari
sisi semiotika dan pertanyaannya adalah seberapa miripkah sketsa awal rancangan
Lambang Negara Sultan Hamid II dengan figur burung Elang Rajawali Putih negara
Polandia?
Untuk membuktikan analisis, bahwa sketsa
awal rancangan Sultan Hamid II terpengaruh dengan lambang-lambang negara di
dunia, berikut ini dipaparkan riwayat sejarah lambang negara Polandia, dengan
satu pertanyaan, apakah lambang negara Polandia ada kemiripan dengan sktesa
awal Sultan Hamid II secara semiotika lambang. Referensi yang berkaitan dengan
itu adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Kryztof,
Stefan Kuczynski. "Orzel Bialy-Herb Polski Iznak Polakow" Translation
In English By Andezey. "The White Eagle-70 Years of the coat of Arms of the Polish State. Kedutaan Besar Negara Polandia, 1992,
menyatakan : [21].
Burung Rajawali Putih Bermahkota telah merupakan
Lambang dari Negara Polandia selama tujuh abad sehingga sekarang ini. Ini
merupakan Lambang Negara yang tertua didunia. Hanya terdapat sedikit negara
yang dapat mempertahankan lambang negara mereka untuk waktu yang lama.
Beberapa tradisi dan legenda historis telah merujuk
asal usul dari Burung Rajawali Putih, dengan melangkah mundur pada saat-saat
ketika Negara Polandia sedang didirikan, dan bahkan lebih awal. Burung Rajawali
itu dikaitkan dengan ibukota Polandia yang pertama, Gniezno, dimana Lech, nenek
moyang legendaris dari dinasti Piast harus menemukan sarang seekor burung
rajawali (didalam bahasa Polandia : "gniazdo"), dan jadinya mengambil
burung rajawali sebagai lambangnya. Sebaliknya, Jan Dlugosz, penulis sejarah kebangsaan
Polandia yang paling termasyur hidup diabad kelima belas, menulis bahwa Duke
Boleslaw Chrobry dianugerahi Burung Rajawali sebagai lambangnya oleh Kaisar
Otto III selama pertemuannya dengan kedua Raja Gniezno pada tahun 1000.
Betapapun juga asal usul dari Burung Rajawali itu tidaklah sebagus ataupun
sejauh dalam waktu. Pada umumnya lambang itu tidak ada sebelum abad keduabelas.
Di negara Polandia, burung
Rajawali tampil sebagai lambang untuk pertama kali pada segel-segel beberapa
bangsawan dari dinasti Piast (mereka dilukiskan berdiri dan menunggung kuda)
pada tahun-tahun 1222-1236. Ini merupakan lambang pribadi dan keluarga mereka dan
sekaligus lambang dari kebangsaan mereka. Burung Rajawali dipilih sebagai
lambang mereka karena nilai-nilai simbolisnya. Sebagai raja dari segala burung
adalah merupakan simbol mula-mula dari kekuasaan, kemenangan, kekuatan dan
kemartabatan raja. Untuk alasan yang sama, maka banyak raja-raja dari
negara-negara lain menggunakan burung Rajawali sebagai lambang mereka. Burung
Rajawali dari anak-anak raja Piast mempunyai warna-warna yang berbeda dengan
yang lainnya. Dari awal bermulaan burung Rajawali Putih pada perisai merah
(diatas "gules" menurut terminologi ilmu lambang).
Pada
permulaannya burung Rajawali dari Piants itu tidak memiliki mahkota. Akhirnya
kemudian ketika ada kecenderungan untuk mempersatukan negeri-negeri
polandia dan untuk mengembalikan Kerajaan Polandia (terganggu semenjak pada
awal pertengahan kedua abad kesebelas) muncul ketika kepala burung Rajawali itu
diberi mahkota. Hal ini terjadi ketika Bangsawan Polandia Agung dan Krakow,
Przemysl II mengemukakan suatu rencana untuk menyatukan Polandia, bersama-sama
dengan tuntunannya sendiri kepada mahkota raja. Ketika Przemysl II dinobatkan
sebagai Raja Polandia pada tahun 1925, ia memperkenalkan burung Rajawali Putih
dalam mahkota disebelah belakang dari segel kerajaan, sebagai lambang dari
seluruh kerajaan Polandia. Semua raja-raja Polandia yang menyusul menerimanya
dalam karakter tersebut.
Mulai dari
zaman Wladyslaw Jagiello, yakni dari akhir abad keempat belas, Burung Rajawali
Putih Polandia disertai oleh "Pogon" (seorang kesatria menunggang
kuda dengan pedang yang terhunus ditangannya), lambang dari kebangsawanan Agung
Lithuania. Ini merupakan tanda persatuan dari dua negara dibawah pemerintahan
Raja yang sama.
Bentuk dari
burung Rajawali Putih merobah gaya artistik yang berurutan pada zaman yang
berlainan. Burung Rajawali dari Piasts dan Jagellons diikuti pada abad
ke-enambelas oleh Renaissance, kemudian oleh baroque dekoratip, dan akhirnya
oleh ahli klasik pada abad kedelapanbelas. Pada permulaan abad kesembilan belas
pola dari burung Rajawali pada tentara Polandia yang dikenakan pada peci
tentara menjadi berkembang.
Seperti
lambang Kerajaan Polandia, maka burung Rajawali Putih sekaligus merupakan
Lambang pribadi dari setiap Raja. Mulai dari abad ke-16, hubungan antara Burung
Rajawali dengan Raja dicetuskan oleh lukisan huruf pada dada Burung Rajawali
tersebut, kemudian oleh lambang keluarganya.
Meskipun ada
perubahan pada bentuk artistik dari Burung Rajawali Putih, pesan ideologisnya
adalah selalu sama. Ini merupakan simbol
dari kedaulatan dan kemerdekaan Negara Polandia dan dari Raja yang melambangkan
segenap warganegaranya. Sebagai sebuah simbol dari Negara dan Raja, maka
terdapatlah pada segel-segel kerajaan dan dokumen-dokumen, pada mata uang
logam, panji-panji angkatan bersenjata, pada makam-makan kerajaan dan
rumah-rumah, pada gedung-gedung kantor pemerintahan dan yang lebih penting pada
gereja-gereja; digunakan selama upacara-upacara kenegaraan dan Istana. Pada
tahun 1705 Raja August II membuat dekorasi Polandia yang tertinggi, Orde dari
Burung Rajawali Putih yang hingga sekarang ada.
Pada tahun
1795 sebagai akibat dari penyekatan Polandia oleh Rusia, Prusia dan Austria,
dan sebagai akibat dari kerusakan Negara, maka Burung Rajawali Putih itu
kehilangan arti pentingnya sebagai lambang dan digantikan dengan
lambang-lambang dari kerajaan-kerajaan asing. Tetapi muncul kembali pada setiap
pergolakan nasional dan dalam usaha-usaha lain untuk memulihkan kemerdekaan
(pada tahun 1831, 1846, 1848 dan 1863/64). Menjadi pada waktu itu suatu simbol
utama yang visuil dari perjuangan untuk kemerdekaan nasional. Gerakan
pembebasan yang berorientasi kiri mengambilnya untuk lambang
"demokrasi" Burung Rajawali Putih tanpa mahkota.
Pada tahun
1918 ketika Polandia memperoleh kembali kemerdekaan maka Burung Rajawali Putih
yang bermahkota itu sekali lagi menjadi Lambang Republik Polandia. Sebelum
perang dunia ke-2, ada dua buah bentuk yang diterima resmi yang satu daru tahun
1919 dan yang lain dari tahun 1927 (yang terakhir direncanakan oleh Profesor
Zygmunt Kaminski). Disamping pola-pola resmi ada beberapa bentuk gaya bahasa
dari Burung Rajawali Putih sedang dipakai pada waktu itu.
Setelah
kekalahan pada tahun 1939 dan selama pendudukan Jerman dan Soviet dinegara itu,
maka Burung Rajawali Putih, sebagai lambang Polandia, dilarang keras. Sekali
lagi menjadi lambang perjuangan untuk Polandia merdeka. Sekali lagi menjadi lambang
perjuangan untuk Polandia. Ini digunakan oleh angkatan bersenjata dibawah tanah
dalam negeri dan oleh angkatan bersenjata reguler diluar negeri. Tetapi baik
angkatan bersenjata yang berorientasi kiri maupun angkatan bersenjata Polandia
yang diciptakan di Uni Soviet memakai Burung Rajawali Putih itu tanpa mahkota.
Dan dengan demikian maka menjadilah Lambang resmi dari Polandia setelah tahun
1945. dengan menghilangkan mahkota dari kepala burung Rajawali tersebut diatas,
maka berarti suatu perobahan dari sistem politik kenegaraan mulai sekarang
berdasarkan atas prinsip demokrasi "rakyat". Bentuk dari Burung
Rajawali Putih semacam itu, meskipun dipakai secara resmi sampai tahun 1989,
tidaklah secara umum diterima oleh bangsa Polandia yang begitu banyak terikat
pada lambang nasional mereka sebelumnya dan berabad-abad lamanya.
Demikianlah,
ketika sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa pada tahun 1980, maka sistem
politik Polandia dirobah, ada kemungkinan lagi untuk memulihkan Burung Rajawali
Putih yang bermahkota itu. Pada tanggal 29 Desember 1989, Sejm (Parlemen)
Polandia memutuskan untuk mengembalikan lagi mahkota dari burung Rajawali Putih
itu. Pada tahun 1990 suatu pola resmi ditetapkan, yang berkaitan erat dengan
yang ada ditahun 1927. pada tahun 1993 lambang-lambang tradisional dari
Angkatan Bersenjata Polandia dipulihkan kembali, antara lain Burung Rajawali
Putih yang bermahkota. Pada tahun 1995, hari ulangtahun yang ke 700 dari
penobatan Burung Rajawali Putih sebagai lambang Negara Polandia dirayakan.
Berdasarkan historisitas lambang-lambang kemiliteran Negara Polandia dan kemudian menjadi lambang
negara tersebut, maka secara analisis semiotika terpaparkan secara jelas ada kemiripan dengan sketsa awal yang
dirancang oleh Sultan Hamid II. Hal ini memperjelas,
bahwa perbandingan yang digunakan oleh Sultan
Hamid II bukan hanya mengambil dari mitologi Garuda yang ada pada peradaban
bangsa Indonesia, tetapi juga mitologi yang berkembang di dunia dalam hal ini mitologi Elang
Rajawali. Terlepas dari latar
belakang Sultan Hamid II dari akademi militer, hal ini secara akademis semakin
membuktikan bahwa sebuah mitologi bisa menjadi inspirasi yang rasional. Jadi
benarlah sebuah fakta perlu dilakukan ferifikasi dan falsifikasi dalam
penelitian dengan pendekatan deduktif rasional kritis.
Berdasarkan pada mitologi sejarah lambang
negara Polandia di atas, memberikan sebuah pemahaman, bahwa sebuah
lambang negara ternyata berkaitan erat dengan idealisme bangsa, atau identitas
nasional suatu negara, oleh karena pergeseran gambar dari figur burung garuda
dalam mitologi kepada figur burung elang Rajawali yang dirancang Sultan Hamid II tentunya memiliki arti
sendiri bagi bangsa Indonesia. Jika kita mengajukan pertanyaan mengapa Sultan Hamid II memilih Burung
Elang Rajawali sebagai ikon (gambar) Lambang Negara Indonesia, mengapa tidak
figur burung Garuda ? Sesungguhnya dibalik simbol lambang negara, ada
konsep pesan tersurat dan tersirat, mengapa demikian.? Pidato Presiden Soekarno
memberikan paparan yang berkaitan dengan
lambang negara di Istana Negara, tanggal 22 Juli 1958 yang intinya antara
lain kegagahan Burung Rajawali Garuda Pancasila, dan kaitannya lambang negara dengan dasar negara Pancasila.
“Saudara-saudara,
lihatlah Lambang Negara kita di belakang ini, alangkah megahnya, alangkah hebat
dan cantiknya. Burung Elang
Rajawali, garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 buah, dengan
ekor yang berelar 8 buah, tanggal 17 bulan
8, dan yang berkalungkan perisai yang di atas perisai itu tergambar
Pancasila. Yang di bawahnya tertulis seloka buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika", Bhina Ika Tunggal Ika,
Berjenis-jenis tetapi tunggal. Pancasila yang tergambar di pusat bintang cermelang
atas dasar hitam, sinar cermerlang abadi dari
pada Ketuhanan Yang Maha Esa, pohon beringin lambang kebangsaan. Rantai
yang terdiri dari pada gelang-gelangan dan
persegi dan bundar yang bersambung satu sama lain dalam sambungan yang
tiada putusnya, peri kemanusiaan.Banteng
Indonesia lambang kedaulatan rakyat. Kapas dan padi lambang kecukupan
sandang-pangan, keadilan sosial. Lihatlah sekali lagi, aku berkata
indahnya Lambang Negara ini, yang menurut pendapat saya Lambang Negara Republik Indonesia ini adalah yang terindah dan terhebat dari pada
seluruh lambang-lambang Negara di muka bumi ini. Saya telah melihat dan mempelajari
lambang-lambang negara yang lain-lain. Tapi tidak ada satu yang sehebat, seharmonis seperti Lambang
Negara Republik Indonesia. Lambang yang telah
dicintai oleh rakyat kita sehingga jikalau kita masuk ke desa-desa
sampai kepelosok-pelosok yang paling jauh dari dunian ramai, lambang ini sering
dicoretkan orang di gardu-gardu, di tembok-tembok, di gerbang-gerbang, yang
orang dirikan dikalau hendak menyatakan suatu ucapan selamat datang kepada seorang
tamu.Lambang yang demikian telah terpaku di dalamnya kalbu Rakyat Indonesia,
sehingga lambang ini telah menjadi darah daging rakyat Indonesia dalam
kecintaannya kepada Republik, sehingga bencana batin akan amat besarlah jikalau
dasar negara kita itu dirobah, jikalau Dasar Negara itu tidak ditetapkan dan
dilangengkan: Pancasila. Sebab lambang negara sekarang yang telah dicintai oleh
Rakyat Indonesia sampai ke pelosok-pelosok desa itu adalah lambang yang
bersendikan kepada Pancasila. Sesuatu perobahan dari Dasar Negara membawa
perobahan dari pada lambang negara. Saya
mengetahui bahwa jikalau lambang negara ini dirobah, sebagian terbesar dari pada Rakyat Indonesia akan
menolaknya. Cinta rakyat Indonesia kepada lambang
ini telah terpaku sedalam-dalamnya di dalam
jiwanya, berarti cinta sebagian terbesar dari pada Rakyat Indonesia
kepada Pancasila. Lihatlah sekali lagi kepada Lambang Negara kita Pancasila,
yang dilukiskan diatas burung garuda.”
Berdasarkan
terminologi (istilah) yang digunakan Presiden Soekarno, yang menyatakan" Burung Elang Rajawali, garuda
yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 buah, dengan ekor yang berelar 8
buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang
berkalungkan perisai yang di atas perisai itu tergambar Pancasila. Sungguh
jelas, bahwa gambar (ikon) Lambang Negara Republik Indonesia saat ini, bukan
figur burung Garuda tetapi burung Elang Rajawali.
Pandangan
Soekarno itupun diperjelas dengan pernyataan yang sama juga dinyatakan oleh Muhammad
Yamin dalam bukunya Pembahasan Undang-Undang Dasar 1945, hal 144 yang
menyatakan: [23]
"Jadi Burung sakti
Elang Rajawali sebagai lambang pembangunan dan pemelihara diseluruh bangsa Indonesia...."Seperti diperhatikan maka latar lambang itu terbagi atas tiga bagian, yaitu lukisan Elang
Rajawali, perisai Pancasila dan
seloka Empu Tantular.
Burung sakti Elang Rajawali dilukiskan dengan 17 sayap terbang,
8 helai sayap kemudi dan 45 helai buku sayap sisik pads tubuh. Perlambangan
ketiga angka itu ialah lukisan cendra sengkala: 17 Agustus 1945, yaitu hari
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Proposisi Soekarno dan M. Yamin di
atas selaras dengan proses perancangan Lambang Negara yang gambar dibuat oleh
Sultan Hamid II, mulai dari sketsa awal terlihat, bahwa Sultan Hamid II
berupaya memadukan pandangan para anggota Panitia Lambang Negara dengan
mengambil figur burung Garuda dalam mitologi bangsa Indonesia yang kemudian
bergeser mengambil figur burung elang Rajawali adalah sebuah perpaduan ide yang
harmonis.
Lambang Negara Indonesia saat ini dinamakan Garuda Pancasila berdasarkan
Pasal 36 A UUD Negara RI 1945 kemudian pada pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor
24 Tahun 2009 yang menyatakan, bahwa Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang selanjutnya disebut Lambang Negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika secara semiotika hukum masih menemukan jejaknya bahwa
lambang negara Republik Indonesia sebenarnya bentuk gambarnya adalah burung Elang
Rajawali masih dapat diketemukan dalam teks hukum tata negara, yaitu dalam
penjelasan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang menyatakan
“Burung garuda dari mitologi menurut perasaan Indonesia berdekatan dengan burung Elang Rajawali”, bahkan dalam
penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 pada penjelasan Pasal 46 Yang
dimaksud dengan “Garuda Pancasila” adalah lambang berupa burung garuda yang
sudah dikenal melalui mitologi kuno yaitu burung yang menyerupai burung elang rajawali. Teks hukum
negara ini jelas berbeda dengan pernyataan Soekarno.
Pidato Presiden Soekarno 22 Juli
1958 menyatakan secara tegas:[24]
“Saudara-saudara, lihatlah Lambang
Negara kita di belakang ini, alangkah megahnya, alangkah hebat dan cantiknya. Burung
Elang Rajawali, garuda
yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 buah, dengan ekor yang berelar 8
buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang
berkalungkan perisai yang di atas perisai itu tergambar Pancasila. Yang
di bawahnya tertulis seloka buatan Empu Tantular
"Bhinneka Tunggal Ika", Bhina Ika Tunggal Ika, Berjenis-jenis
tetapi tunggal.”
Penelusuran dari literatur akademik Soediman Kartohadiprojo, juga
menyatakan:[25]
“Lambang Ngara kita
terdiri dari tiga bagian: (1) Canda Sengkala, (2) Perisai Pancasila, (3)
Seloka Bhinneka Tunggal Ika. Candra
Sengkala ini terdapat dalam “burung
sakti Elang Rajawali (cetak tebal
dari penulis) yang bulu sayapnya
17 helai jumlahnya, bulu sayap kemudinya 8
helai, sedangkan bulu sayap sisiknya pada batang tubuhnya berjumlah 45
ini melukiskan hari diproklamasikan Republik Indonesia.”
5.Sebuah Perpaduan Ide Yang
Harmonis di Dalam Panitia Lambang Negara
Berdasarkan hasil
penelitian penulis sejak tahun 2000 dalam bentukj tesis di UI dan persiapanm disertasi
dengan menggunakan pendekatan sejarah
hukum dan analisis semiotika hukum dapat disimpulkan, bahwa proses perancangan lambang negara
secara semiotika hukum, terjadi perpaduan ide yang harmonis dan kemudian diramu
oleh Sultan Hamid II dengan melibatkan berbagai aspirasi dari anggota panitia
lambang negara serta memperhatikan saran-saran presiden RIS Soekarno.Namun sang
perancang gambarnya tetap Sultan Hamid II sebagaimana dokumen Sultan Hamid II
yang tersimpan di Yayasan Idayu Jakarta, yang telah diserahkan oleh Sultan Hamid II 8 Juli 1974 kepada H Mas
Agung.
Adapun perpaduan ide yang
dimaksud dapat dipaparkan, bahwa perancangan lambang negara pada awalnya hanya
berupa perisai yang dirancang oleh Sultan
Hamid II yang terbagi lima ruang yang dimaksudkan ide Pancasila sesuai
pesan Presiden Soekarno. Pada perisai Pancasila tersebut berisi simbol-simbol
padi, beringin dan kepala banteng dengan ikon yang menonjol adalah garis tebal
membelah perisai sebagai garis khatulistiwa. Pada tahap selanjutnya Sultan
Hamid II meminta bahan dasar masukan kepada salah satu anggota Panitia Lambang
Negara, yaitu Ki Hajar Dewantara yang berada di Yogyakarta 26 Januari 1950.
Bahan dasar dimaksud adalah sketsa-sketsa burung garuda yang terdapat
diberbagai candi di pulau Jawa (Candi Sukuh,Dieng ,Mendut).
Berdasarkan sketsa figur garuda
dalam mitologi Hindu tersebut Sultan
Hamid II merancang gambar lambang negara dengan figur garuda yang ide
semula duduk di atas bungai teratai dan pada tataran ini masuk mitologi Budha.
Kemudian pada hasil akhir pada tahap pertama rancangan lambang negara adalah
figur burung garuda memegang perisai Pancasila yang diajukan pada tanggal 8
Februari 1950, pada rapat Panitia Lambang Negara lambang negara ini dikritik
dan ditolak oleh Mohammad Natsir, karena keberatan terhadap tangan manusia yang
memegang perisai Pancasila dan masukan terhadap jumlah ekor yang berjumlah
tujuh ekor sebagai simbol ketatanegaraan Saptapraja oleh M.A Pelaupessy yang
kemudian disarankan menjadi delapan ekor, sebagai simbol bulan kemerdekaan Regara
Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Pada tahap selanjutnya proses
perancangan lambang negara memasuki tahap kedua. Pada tahap ini Sultan Hamid II
melakukan perbandingan dengan negara-negara didunia dan sebagian besar lambang
negara menggunakan figur Elang Rajawali, maka pada proses perancangan tahap
kedua terjadi pergeseran semiotika hukum, bahwa dari figur burung garuda dalam
mitologi ke burung elang Rajawali.
Selanjutnya yang menjadi misteri adalah siapa
yang memberikan ide simbol-simbol Pancasila dan apa pesan filosofisnya ?
berdasarkan hasil penelitian terungkap, bahwa simbol-simbol dari visualisasi
Pancasila adalah perpaduan yang harmonis antara anggota Panitia Lambang Negara
yang kemudian dirancang gambar oleh Sultan Hamid II baik pada tahap proses
perancangan tahap pertama dan perancangan tahap kedua.
Untuk membuktikan paparan historis empirik
bagian ini, maka peneliti paparkan isi surat Sultan Hamid II kepada Solichin Salam, Wartawan Harian Pagi
Berita Buana, Jakarta, 15 April 1967, tentang: Sejarah Lambang Negara Indonesia secara lengkap. Di dalam surat yang masih menggunakan ejaan lama,
dan disalin sesuai aslinya oleh Max Yusuf Alqadrie, Ketua Yayasan Sultan Hamid
II, atau skretaris Pribadi Sultan Hamid II
(1972-1978) yang banyak diulas
berbagai langkah yang mengilhami Sultan Hamid II selama merancang Lambang
Negara Indonesia Garuda Pancasila. Berikut
petikan utuh surat Sultan Hamid II kepada Solichin Salam, Wartawan Harian Pagi
Berita Buana, Jakarta, 15 April
1967, sebagaimana termuat di halaman 6 sampai halaman 20 buku: Sejarah Lambang Negara Indonesia,
terbitan Kementerian Luar Negeri dan Museum Konferensi Asia Afrika, Jakarta,
2012, sebagai berikut:
Bung Solichin dan djuga kerabat
saja!
Djangan pasang lambang negara di
rumahmu sebelum diakui lambang itu oleh negara rantjangan saja!
Bersama ini perlu didjelaskan di
sini berkenaan pertanjaan tentang file lambang negara yang saja buat
sebagaimana saudara adjukan kepada saja, tanggal 13 April 1967.
Sedjak awal saja selaku Menteri Negara
RIS jang ditugaskan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno untuk membuat gambar
lambang negara sesuai perintah Konstitusi RIS 1949, pasal 3, Pemerintah
menetapkan lambang negara, saja telah berupaja untuk mengangkat kembali
lambang-lambang/simbol-simbol dalam peradaban bangsa Indonesia. Untuk itulah kemudian saja dipertjajakan Paduka
Jang Mulia merentjanakan – mempersiapkan lambang negara dan menjiapkan rentjana
gedung parlemen/lihat pledoi saja pada Sidang Mahkamah Agung 1953[26],
setelah memperhatikan berbagai hasil sajembara dari para pelukis jang memenuhi
prinsip-prinsip hukum pembuatan lambang menurut semiologi untuk dijadikan
sebagai lambang Negara RIS demikian pendjelasan Menteri Prijono, oleh karena
itu saja selaku pribadi mempersiapkan gambar lambang negara dengan
berkonsultasi seorang ahli lambang/semiologi berkebangsaan Perantjis yang
kebetulan sahabat saja Saudara D. Ruhl Jr, dan beliau juga saja perkenalkan
dengan Mr. M. Jamin selaku Ketua Panitia Lambang Negara ketika RIS drkiyst
pertengahan Djanuari 1950, untuk memberikan masukan djuga.
Padjuka Jang Mulia Presiden
Soekarno memerintahkan kepada saja agar melambangkan ide Pantja-Sila ke dalam
gambar pada lambang negara dan berkali-kali utjapan beliau kepada saja, tetapi
pesan beliau djuga gambar itu haruslah mengangkat simbol-simbol yang ada pada
peradaban bangsa Indonesia agar setara dan gambarnya seharmonis mungkin,
seperti lambang-lambang negara besar lain di dunia, karena Paduka Jang Mulia
Presiden Soekarno jakinkan kepada saja, menurutnja karena saja pernah bersama
Paduka Jang Mulia ketika itu saja mengambil Jurusan Teknik Sipil satu tahun di
T.H.S[27]
Bandung, walaupun akhirnya saja tidak menyelesaikan kuliah itu, berhubung saja
diterima di K.M.A Breda[28]
Negeri Belanda.
Terus-menerus beliau mejakinkan
saja, bahwa pasti saja paham dalam hal ini menggambar struktur lambang. Untuk itu
kemudian saja mengadjukan kepada Paduka Jang Mulia pada agenda sidang kedua
Kabinet RIS tanggal 10 Januari 1950 untuk membentuk kepanitiaan teknis lambang
negara RIS yang diketuai oleh Mr. M. Jamin, dan jang lain Ki Hadjar Dewantara
(anggota), M.A. Pellaupesi (anggota), Moh Natsir (anggota) dan R.M. Ng.
Purbatjaraka (anggota). Kepanitiaan ini di bawah koordinator saja yang bertugas
menjeleksi/memilih usulan-usulan rantjangan lambang negara untuk dipilih dan
diadjukan kepada Pemerintah untuk ditetapkan oleh Parlemen RIS setjepatnya,
karena memang selama 5 tahun sedjak Negara R.I merdeka, 17 Agustus 1945, sampai
dengan terbentuknya RIS tahun 1949, belum ada memiliki lambang negara.
Untuk memberikan pemikiran teknis saja selaku Menteri
Negara Zonder portofolio
RIS 1949 – 1950 dan Koordinator Panitia Lambang Negara meminta Ki Hadjar
Dewantara untuk memberikan sumbangan pemikiran tentang hasil-hasil penelitian
lambang-lambang negara.
Untuk memberikan pemikiran teknis
saja selalu Menteri Negara Zonder portofolio
RIS 1949 – 1950 dan Koordinator Panitia Lambang Negara, meminta Ki Hadjar Dewantara untuk
memberikan sumbangan pemikiran tentang hasil-hasil penelitian lambang-lambang
di peradaban bangsa Indonesia, karena menurut Mr. M. Jamin selaku Ketua Panitia
Lambang Negara, beliau lebih mengetahui dan pernah mendjadi Ketua Panitia Lagu
Indonesia Raja tahun 1945 bersama Mr. Jamin jang berkedudukan sekretaris umum,
untuk itulah saja mengirim telegram kawat kepada Ki Hadjar Dewantara di
Djogjakarta dan telah dibalas kepada saja 26 Djanuari 1950 yang intinja saja
agar berkonsultasi kembali dengan Mr. M. Jamin mengenai hasil penjelidikan
lambang-lambang dimaksud, kemudian berdasarkan hasil kesepakatan rapat Panitia
Lambang Negara RIS, ada dua rentjana gambar rantjangan lambang negara jang
dipersiapkan Panitia Lambang Negara ketika itu jang pertama dari saja sendiri
dan kedua dari Mr. M. Jamin.
Saja membuat sketsa berdasarkan
masukan Ki Hadjar Dewantara dengan figur Garuda dalam mitologi jang dikumpulkan
oleh beliau dari beberapa tjandi di Pulau Djawa dikirim beliau dari
Djogjakarta, dan tidak lupa saja djuga membandingkan salah satu simbol Garuda
jang dipakai sebagai Lambang Kerajaan Sintang, Kalimantan Barat, tetapi hanja
merupakan salah satu bahan perbandingan antara bentuk Burung Garuda jang berada
di candi-candi di Djawa dengan luar Djawa.
Karena secara historis Kerajaan
Sintang masih ada hubungan dengan Kerajaan Madjapahit, seperti di dalam Legenda
Daradjuanti dengan Patih Lohgender, demikian keterangan Panglima Burung[29]
menjelaskan kepada saja di Hotel Des Indes awal Februari 1950. Di samping itu,
saja djuga mempergunakan bahan-bahan lambang negara lain jang djuga figurnya
burung elang/jang mendekati burung Garuda dan saja tertarik dengan
gambar-gambang lambang negara dan militer negara Polandia, karena latar
belakang pendidikan saja ketika di K.M.A Breda djuga memperlajari makna
lambang-lambang militer berbagai ngara dan lambang-lambang negara di Eropa dan
negara-negara Arab, serta Amerika djuga di kawasan Asia jang memakai figur
burung.
Di samping itu, Mr. M. Jamin
djuga mempersiapkan tersendiri lambang negara, walaupun demikian djuga beberapa
hal beliau memberikan masukan kepada saja tentang makna bunga teratai, jang
kemudian saja buat gambar untuk dasar dudukan burung garuda pada sketsa awal
saja, karena menurut beliau itu djuga mitologi Bangsa Indonesia dari peradaban
Agama Budha.
Perlu saja jelaskan, bahwa jang
paling sulit ketika mencarikan simbol-simbol jang tetap untuk melambangkan ide
Pantja-Sila, saja awali dengan mentjoba untuk membuat rentjana tameng/perisai
dengan mentjoba untuk membuat rentjana tameng/perisai yang menempel pada figur
burung garuda, karena lambang-lambang pada negara lain jang mempergunakan figur
burung selalu ada tameng/perisai di tengahnja. Pertama saja membuat sketsa awal
perisai jang saja bagi mendjadi lima ruang dan sebagai tanda perisai jang
membedakan dari Perisai yang dibuat Mr. M. Jamin, kemudian saja buat dua buah
perisai di dalam dan di luar dengan garis agak tebal jang membelah perisai
untuk melambangkan garis equator (khatulistiwa) di perisai itu.
Walaupun demikian, saja djuga
meminta anggota dalam Panitia Lambang Negara untuk menjumbangkan pemikiran jang
berhubungan dengan simbol-simbol ide Pantja-Sila, seperti pesan Paduka Jang
Mulia Presiden Soekarno, ada jang menjarankan simbol keris, banteng, padi
kapas, kemudian saja menambahkan Nur Tjahaja berbentuk bintang persegi lima
atas masukan M. Natsir sebagai simbol ke-satu Pantja-Sila, djuga masukan dari
R.M. Ng. Purbatjaraka, jakni Pohon Astana jang menurut keterangannya pohon
besar sejenis pohon beringin jang hidup di depan Istana sebgai lambang
pengajoman dan perlindungan untuk melambangkankan sila ke-tiga, karena menurut
beliau Pohon Astana memaknai simbol menjatunja rakyat dengan istana itulah
djuga hakekat Negara RIS jang sebagian besar ketika itu didirikan di luar di
luar Negara Proklamasi RI, 17 Agustus 1945 oleh keradjaan-keradjaan dan simbol
selanjutnya tali rantai bermata bulatan melambangkan perempuan dan bermata
persegi melambangkan laki-laki jang sambung menjambung berjumlah 17 sebagai
simbol regenerasi jang terus menerus. Mengenai simbol ini inspirasinya saja
ambil dari tanah Kalimantan, jakni kalung dari Suku Dayak, demikian djuga untuk
perisainja, setelah bertukar pikiran dengan para Panglima Suku Dayak di Hotel
Des Indes, awal Februari 1950 jang saja ajak ke Djakarta ketika itu.
Salah satunya Panglima Burung,
Masuka Djanting[30],
J.C. Oevaang Oeray[31],
sahabat saja di DIKB, lambang lain kepala banteng, sebagai sila keempat ini,
sumbangan Mr Muhammad Yamin sebagai lambang dasar kerakjatan/tenaga rakjat,
padi-kapas lambang sila-kelima sumbangan dari Ki Hadjar Dewantara sebagai
perlambang ketersediaan sandang dan papan/simbol tudjuan kemakmuran, semua itu
saja bitjarakan di Hotel Des Indes yang merupakan tempat saja membuat gambar
lambang negara sekaligus saja tinggal sementara di Djakarta sebagai Menteri
Negara RIS sampai dengan 5 April 1950, saja ditangkap atas Perintah Jaksa Agung
jang akhirnja saja ‘terseok’ dalam perdjalanan sedjarah sebagai anak bangsa.
Itu mungkin tjiptaan saja terpendam mudah-mudahan pendjelasan kepada Saudara
Salam, mendjadi terang adanja.
Saja putuskan tjiptaan pertama
berbentuk figur burung Garuda jang memegang Pantja-Sila, seperti masukan Ki
Hajar Dewantara jang diambil dari mitologi garuda pada peradaban Bangsa
Indonesia, tetapi ketika gambar lambang negara ini saja bawa ke dalam Rapat
Panitia Lambang Negara, 8 Februari 1950, ternjata ditolak oleh anggota Panitia
Lambang Negara RIS lain, karena ada beberatan dari dari M. Natsir ada tangan
manusia jang memegang perisai berkesan terlalu mitologi dan feodal, djuga
keberatan anggota lain R. M. Ng. Purbatjaraka terhadap djumlah bulu ekor tudjuh
helai, terus terang jang mengusulkan tudjuh helai ini adalah Mr. M. Jamin.
Untuk itu saja mintakan dalam
rapat, Mr. M. Jamin ketika itu mendjelaskan makna tudjuh helai bulu ekor selaku
Ketua Panitia Lambang Negara, dan ada kesepakatan untuk diubah mendjadi 8 helai
bulu ekor, sebagai tjandra sengkala/identitas negara proklamasi 17 Agustus 1945
atas usulan M. A. Pellaupessy jang menurut beliau tak boleh dilupakan.
Akhirnya setelah penolakan itu
saja mengambil inisiatif pribadi untuk memperbandingkan dengan lambang-lambang
negara luar, khususnja negara-negara Arab, seperti Yaman, Irak, Iran, Mesir, ternjata
menggunakan figur burung Elang Radjawali, djuga seperti Negara Polandia jang
sudah sejak
ratusan tahun djuga menggunakan burung Elang Radjawali seperti jang saja
jelaskan di atas dalam kemeliterannya.
Karena sosoknja lebih besar/gagah
dari burung elang jang ada di Djawa dan ini simbolisasi lambang tenaga
pembangunan/creatif vermogen negara dengan harapan Negara Republik Indonesia Serikat
(RIS) mendjadi negara jang besar dan setara dengan negara-negara di dunia,
sudah mendjadi kewadjarawan dan demikian seharusnya.
Selandjutnya gambar lambang
negara saja bisa diterima oleh anggota Panitia Lambang Negara, demikian djuga
lambang negara rantjangan Mr Mohammad Jamin jang kemudian kami serahkan bersama
kepada Perdana Menteri Mohammad Hatta, untuk dibawa ke Pemerintah dan sidang
Parlemen RIS untuk dipilih. Alhamdulillah gambar rantjangan saja jang diterima,
10 Februari 1950 dan esoknja untuk pertama kali diperkenalkan kepada chalajak
ramai di Hotel Des Indes, jang kemudian pada rapat Parlemen RIS bersama
Pemerintah ditetapkan Parlemen RIS sebagai Lambang Negara RIS, pada tanggal 11
Februari 1950.
Walaupun demikian, ada masukan
beberapa waktu kemudian dari Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno ketika beliau
sedang berpidato kenegaraan, 20 Februari 1950 melihat lambang negara tersebut
jang tergantung di belakang podium Parleman Istana Merdeka Pedjambon, karena
kepala burung Radjawali tidak ‘berdjambul’ dan terlihat ‘gundul’. Paduka Jang
Mulia meminta saja untuk memperbaiki bentuk kepala, kemudian saja mengubah
bagian kepala mendjadi berdjambul, kemudian oleh Kementerian Penerangan RIS
atas perintah Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada pelukis Dullah[32],
untuk melukis kembali lambang negara tersebut.
Kemudian lukisan itu saja potret
dalam bentuk hitam putih untuk dikoreksi kembali oleh Paduka Jang Mulia
Presiden Soekarno dan ternjata masih ada keberatan dari beliau, jakni bentuk
tjakar kaki masih ada jang mentjengkram seloka Bhinneka Tunggal Ika dari arah
belakang sepertinya terbalik, saja mentjoba mendjelaskan kepada Paduka Jang
Mulia, memang begitu burung terbang membawa sesuatu seperti keadaan alamiahnja.
Tetapi menurut Paduka Jang Mulia,
seloka ini adalah hal jang sangat prinsip, karena memang sedjak semula
merupakan usulan beliau sebagai ganti rentjana pita merah putih jang menurut
beliau sudah terwakili pada warna perisai. Selandjutnya meminta saja untuk
mengubah bagian tjakar kaki mendjadi mentjengkram pita mendjadi ke arah depan
pita agar tidak ‘terbalik’ dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip
‘djatidiri’ bangsa Indonesia, karena merupakan perpaduan antara pandangan
‘federalis’ dan pandangan “kesatuan’ dalam Negara RIS.
Mengertilah saja pesan filosofis
Paduka Jang Mulia itu, djadi djika ‘bhinneka’ jang ditondjolkan itu maknanja
perbedaan jang menondjol dan djika ‘keikaan’ jang ditondjolkan itulah kesatuan
republik jang menondjol, djadi keduanja harus disatukan, karena ini lambang
Negara RIS jang di dalamnja merupakan perpaduan antara pandangan ‘federalis’
dan pandangan ‘kesatuan’ haruslah dipegang teguh sebagai ‘djatidiri’ dan
prinsip berbeda-beda pandangan tanpai satu djua’ e-pluribus unum’.
Walaupun saja harus sudah pajah
membuat sketsa kembali untuk pembetulan bagian tjakar kaki itu, tetap saja
mengerti ini hal bagian jang sangat penting dalam lambang Negara RIS. Karena mengandung tiga konsep lambang
sekaligus, jakni pertama, burung Radjawali-Garuda Pantja-Sila jang menurut perasaan
Bangsa Indonesia berdekatan dengan Burung Garuda dalam mitologi, kedua perisai
ide Pantja-Sila ber-thawaf’’/gilir balik, dan ketiga, seloka Bhinneka Tunggal
Ika jang tertulis dalam pita warna merah putih.
Untuk itu saja meminta bantuan R.
Ruhl untuk membuat sketsa dari lambang negara jang saja buat dengan membawa
potret lukisan lambang negara jang dilukis oleh Dullah, karena lukisan Dullah
jang gambar rantjangannnya semula tjengkeraman kakinja menghadap ke belakang
telah diserahkan kepada Kementerian Penerangan RIS jang ketika itu masih berada
di Jogjakarta.
Kemudian dimintakan kepada saja
oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno untuk tidak disebarkan dahulu ke
pelosok Negara RIS. Setelah itu sketsa transkrip/outwerp jang dilukis D. Ruhi
Jr saja adjukan kembali ke Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno, ternyata beliau
langsung mendisposisi sebagai Wapen Negara. Waktu itu tanggal 20 Maret 1950,
kemudian beliau memerintahkan untuk memanggil Dullah, sang pelukis
Istana/pelukis kesajangan Bung Karno untuk melukis kembali berdasarkan sketsa
perbaikan R. Ruhl tersebut, walaupun ketika itu kita harus merugi beberapa ribu
rupiah lagu untuk membajar pelukis Dullah.
Hasil lukisan Dullah jang
kemudian oleh Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno diperintahkan kepada Kementerian
Penerangan RIS jang ketika itu saja lihat banyak warga bangsa memasang di
rumah-rumah, sedangkan saja selaku pembuat gambar rantjangan lambang negara
jang saja namakan Radjawali Garuda Pantja-Sila diperintahkan Paduka Yang Mulia
untuk memperbaiki seperlunja, jakni membuat skala ukuran, bentuk dan tata
warna, serta keterangan gambar jang ada pada simbol-simbol itu, karena mendjadi
tanggungdjawab saja selaku Koordinator Panitia Lambang Negara dan Menteri
Negara dalam perentjanaan Lambang Negara RIS.
Patut saja sedikit djelaskan,
mengapa burung itu menoleh ke arah kanan, hal ini sebenarnja perlambang
pandangan negara ke arah kebaikan ke depan, karena kanan dalam tradisi
masjarakat selalu diartikan dengan arah kebaikan. Demikian salam menoleh ke
kanan ketika sholat orang Islam hukumannja wajib/fardhua’in. Untuk itu dengan
terbentuknja RIS diharapkan bangsa ini bisa madju ke arah kemadjuan sebagai
bangsa jang lebih baik, sedangkan mengapa diberi nama Burung Elang Radjawali
Garuda Pantja-Sila, karena saja menghargai latar belakang gambar jang saja
tjiptakan pertama mengambil figur burung Garuda memegang perisai Pantja-Sila,
berubah mendjadi figur Burung Elang Radjawali jang dikalungkan perisai
Pantja-Sila agar proses bangsa ini djangan melupakan peradaban bangsanja dari
mana dia berasal/djangan sampai melupakkan sedjarah puntjak-puntjak
peradabannja, seperti pesan Paduka Jang Mulia.
Jang unik dan penting untuk saja
djelaskan, karena banyak jang menanjakan kepada saja, mengapa harus ada dua
perisai pada perisai Pantja-Sila, sebenarnya saja hanja mendjabarkan ide
Pantja-Sila dari Bung Karno, 1 Djuni 1945 dalam rapat Panitia Sembilan, karena
saja teringat pada pesan utjapan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada
saja berkali-kali, jakni Lambang Negara haruslah bisa melambangkan ide
Pantja-Sila. Mengenai ide Pantja-Sila itu terus terang saja banjak masukan dari
pendjelasan Mr. Mohammad Hatta selaku Perdana Menteri RIS ketika saja
konsultasi terus-menerus pada waktu itu.
Adanja dua lambang perisai besar
di luar dan perisai jang ketjil di tengah, karena menurut pendjelasan Mr.
Mohammad Hatta jang terlibat dalam Panitia Sembilan Perumusan Pantja-Sila 1945
ketika pertukaran pikiran dalam Panitia Sembilan pada pertengahan Juni 1945,
dari lima sila Pantja-Sila jang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini
menurut beliau adalah sila pertama Ketoehanan Jang Maha Esa, barulah bangsa ini
bisa bertahan madju ke depan untuk membangun generasi-generasi
penerus/kader-kader pedjuang bangsa jang bermartabat/berperikemanusiaan jang
disimbolkan dengan sila kedua: kemanusiaan jang adil dan beradab.
Setelah itu, membangun persatuan
Indonesia sila ketiga, karena hanja dengan bersatulah dan perpaduan antar
negara dalam RIS inilah bangsa Indonesia mendjadi kuat, pada langkah berikutnja,
baru membangun parlemen Negara RIS jang demokratis dalam permusjawaratan/ perwakilan,
karena dengan djalan itulah bisa bersama-sama mewudjudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, jakni dari rakjat, untuk rakjat oleh rakjat, karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Jang
Masa Esa.
Atas pendjelasan Perdana Mengeri
RIS itu, kemudian perisai ketjil di tengah saja masukkan simbol sila ke satu
berbentuk Nur Tjahja bintang bersudut segilima, patut diketahui arah
simbolisasi ide Pantja-Sila itu saja mengikuti gerak arah ketika orang
‘berthawaf’/berlawanan arah djarum djam/’gilirbalik’ kata Bahasa Kalimantan
dari simbol sila ke satu ke simbol sila kedua dan seterusnja.
Karena seharusnja seperti itulah
sebagai bangsa menelusuri/menampak tilas kembali akar sedjarahnja dan mau ke
mana arah Bangsa Indonesia ini dibawa ke depan, agar tidak kehilangan makna
semangat dan ‘djatidiri’-nja ketika mendjabarkan nilai-nilai Pantja-Sila jang
berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanja, seperti berbagai pesan pidato
Paduka Jang Mulia di setiap kesempatan. Itulah kemudian saja membuat gambar
simbolisasi Pantja-Sila dengan konsep berputar-gerak simbolisasi Pantja-Sila
dengan konsep berputar-gerak ‘thawaf’/gilirbalik kata Bahasa Kalimantan sebagai
simbolisasi arah prediksi konsep membangun ke depan perdjalanan Bangsa
Indonesia jang kita tjintai ini.
Perisai ide Pantja-Sila itu
dibawa terbang tinggi oleh Sang Radjawali Garuda Pantja-Sila jang dikalungkan
dengan rantai di lehernja dengan tetap mentjengkeram kuat prinsip jang dipegang
teguh para pemimpin dalam Negara RIS, namanja “Bhinneka Tunggal Ika”
sebagaimana dikehendaki bersama itulah simbol kedaulatan RIS seperti telah
diperdjuangkan bersama di KMB[33]
1949 dan telah dituangkan dalam Piagam Penjerahan Kedaulatan oleh Ratu Juliana
pada 27 Desember 1949 dan diperintahkan dalam Konstitusi RIS itu, jakni
Pemerintah untuk menetapkan Lambang Negara RIS.
Pertanjaan lain yang sering
ditanjakan kepada saja, bahkan oleh Sekretaris Pribadi saja sendiri, Max Yusuf
Alqadrie, setelah keluarnja saja dari pendjara, djuga pertanjaan jang sama oleh
Saudara Salam, jakni mengapa ada garis tebal di tengah perisai Pantja-Sila?
Apakah sebagai tanda jang membuatnja dari anak bangsa jang berasal Ibukota
Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), Pontianak?
Saja djawab hal ini sebenarnja
ingin memlambangkan/menjimbolkan letak Negara RIS dilewati garis
equator/khatulistiwa jang kebetulan tugunja ada di kota kelahiran saja sendiri,
Pontianak, jang didirikan tahun 1928 djauh sebelum negara proklamasi Republik
Indonesia merdeka dan Negara RIS terbentuk sampai dengan tahun 1938
disempurnakan oleh opsiter Silaban, sahabat saja, seperti bentuk tugunja
sekarang ini, garis itu melewati Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) jang
merupakan bagian kesatuan kenegaraan, seperti dinjatakan dalam konstitusi
sebelum RIS, 17 Agustus 1945 sampai dengan 26 Desember 1945, agar kelak
generasi mengetahui, gambar Lembang Negara RIS ini adalah tjiptaan saja untuk
membedakan dengan apa jang dibuat oleh Mr. Mohammad Jamin jang djuga berbentuk
perisai hanja gambarannya ada sinar-sinar matahari.
Falsafah ‘thawaf’ mengandung
pesan, bahwa ide Pantja-Sila itu bisa didjabarkan bersama dalam membangun
negara, karena ber’thawaf’ atau gilir balik menurut Bahasa Kalimantan, artinya
membuat kembali membangun/vermogen jang ada tudjuannja pada sasaran jang
djelas, jakni masjarakat adil dan makmur jang berdampingan dengan rukun dan
damai.
Begitulah menurut
Paduka Jang mulia Presiden Soekarno, arah falsafahnja dimaksud pada udjungnja,
jakni membangun negara jang bermoral tetapi tetap mendjundjung tinggi
nilai-nilai religius masing-masing agama jang ada pada sanubari rakjat bangsa
di belahan wilayah negara RIS, serta tetap memiliki karakter asli bangsanja
sesuai dengan ‘djatidiri’ bangsa/adanja pembangunan nation charakter building
demikian pendjelasan Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno kepada saja.
Saja sedjudjurnya hanya berupaja
mengangkat kembali lambang-lambang/simbol-simbol jang ada di peradaban klasik
bangsa Indonesia bersama anggota Panitia Lambang Negara itu sebenarnya semangat
gorong-royong lewat perentjanaan gambang Lambang Negara RIS sebagaimana
ditugaskan kepada saja selaku Menteri Zonderportofolio. Karena memang tidak ada
tugas lain untuk saja sebagai Menteri Selain merentjanakan lambang negara dan
menjiapkan gedung parlemen RIS, saja berharap agar kelak bangsa ini ditjintai
oleh kita semua bertekad untuk memadjukan-membangun bersama.
Itulah jang dapat saja sumbangkan
kepada bangsa ini jang ditjintai oleh kita, hanya sadja saja ‘ketjewa’ dengan
kabar di luar jang menerka-nerka Mr. Mohammad Jamin jang membuat lambang Negara
RIS, sedangkan file-file serta transkrip lambang negara Mr. Mohammad Jamin jang
pernah ditolak oleh Pemerintah dan Parlemen RIS ada di tangan Panitia lambang Negara
jang kemudian file-file lambang negara itu saja simpan dengan baik, sampai
kemudian sekitar akhir tahun 1966 saja selamatkan ke Istana Kadriah, Pontianak.
Kemudian saja bawa kembali ke
Djakarta sekitar awal tahun 1967, saja titipkan kepada Nona K. Irawati, anak
Sjamsuddin Sutan Makmur/pernah Menteri Penerangan periode 30 Djuni – 12 Maret
1956 jang ketika itu satu ruangan pendjara bersama saja mendjadi tahanan
politik, di rumah beliaulah di Djalan Radio Dalam, Djakarta Selatan, tempat
sementara saja tinggal setelah keluar dari pendjara, jang akhirnja semua file
saja bersama file Mr. Mohammad Jamin diserahkan kepada Sekretaris Pribadi jang
kebetulan tjutju saja, Max Jusuf Alqadrie, hingga saat ini agar terselamatkan
bagi bangsa ini.
Sajapun saat ini apakah ide
Pantja-Sila itu hasil rumusan dari Mr Mohammad Jamin dalam Panitia Sembilan
seperti jang berkembang di masjarakat seperti jang Saudara tanjakan kepada
saja, karena terus-terang saja tidak mengikuti perkembangan di luar. Itu saja
meminta Saudara sebagai wartawan djuga menanjakan langsung kepada Mr Mohammad
Hatta sebagai saksi sedjarah dalam ke Panitiaan Sembilan 1945, sebelum sedjarah
ide Pantja-Sila itu dibelokkan atau ‘dipalsukan’ orang yang tidak
bertanggjungdjawab.
Dan saja berharap transkrip hasil
wawantjara itu bisa dikirim kepada saja, sungguh berterimakasih kepada Saudara
djika Saudara mau menanjakan hal ini kepada Mr. Mohammad Hatta.
Pendjelasan lain atas file
transkrip pembuatan gambar lambang negara jang saja buat ini sudah pernah saja
djlelaskan kepada Sekretaris Pribadi saja, Max Jusuf Alqadrie. Dan pendjelasan
ini hanya untuk melengkapi apa jang sudah didjelaskan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 jang tidak memuat setjacara djelas dan rintji
pokok-pokok pikiran tentang lambang negara Radjawali Garuda Pantja-Sila dalam
transkrip saja.
Demikianlah djawaban saja atas
pertanjaan Saudara Solichin Salam dan semoga mendjadi pendjelasan jang objektif
mendjawab surat Saudara. Jikalau kurang djelas, harap Saudara berkundjung ke
kediaman saja kembali setiap saat, terimakasih atas hal yang sudah
dipertanjakan kepada saja mendjadikan sesuatu jang bermanfaat bagi bangsa jang
ditjintai oleh kita.
Djakarta, 15 April 1967
Ttd Hamid
Disalin kembali sesuai aslinya oleh Sekretaris
Pribadi Sultan Hamid II, tanggal 1 Djuni 1970 Max Jusuf Alqadrie (Cucu
dan Sekretaris Pribadi
Sultan Hamid II).
6.Kristalisasi Hasil Penelitian dan Pembahasan
Sejarah Hukum dan Semiotika Hukum
Berdasarkan pernyataan dalam
transkrip Sultan Hamid II dan
hasil rekonstruksi kronologis sejarah hukum lambang negara, maka dapat ditarik kristalisasi hasil penelitian bagian pertama berdasarkan pendekatan sejarah hukum dan hasil
penelitian bagian kedua analisis semiotika hukum terhadap lambang negara :
1. Lambang Negara yang
dipakai sekarang ini atau yang menjadi lambang Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) saat ini, adalah rancangan
Sultan Hamid II, sebagaimana gambar resminya terlampir dalam Peraturan
Pemerintah No 66 Tahun 1951 atau sebagaimana pernyataan Muhammad Hatta, 1978.
dan pada awalnya dimaksudkan sebagai lambang negara Republik Indonesia
Serikat.(RIS). Kemudian figur burung yang dipilih secara semiotika hukum adalah
berbentuk gambar burung elang Rajawali dan sekarang menjadi lambang Negara Kesatuan
Republik Indonesia, setelah amandemen kedua UUD Neg RI, 1945, Pasal 36 A,
karena sebelumnya hanya mengacu pada lampiran gambar lambang Negara dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang mendasarkan pada Pasal 3 ayat (3)
UUD Sementara (UUDS) 1950.
2.
Ada dua tahap Perancangan lambang negara Republik
Indonesia yang dibuat oleh Sultan Hamid II, yaitu rancangan tahap pertama, 8 Februari 1950 mengambil figur burung
Garuda dalam mitologi berdasarkan bahan dasar yang dikirim Ki Hajar Dewantoro
tanggal 26 Januari 1950 dari sketsa
garuda berbagai candi –candi di Jawa, Gambar lambang negara dimaksud sudah
dikritisi oleh Panitia Lambang Negara dan rancangan tahap kedua 11 Februari
1950 mengambil figur burung Elang Rajawali setelah
Sultan Hamid II melakukan perbandingan dengan negara lain yang menggunakan
figur Elang Rajawali. Hal ini membuktikan, bhawa secara analisis semiotika
hukum terjadi pergeseran terhadap gambar
lambang Negara, yaitu pada tahap pertama rancangan yang dibuat oleh Sultan Hamid II adalah menggunakan
figur burung garuda hal ini dibuktikan dari sketas awal sampai dengan akhir (8
Februari 1950) dan pada perancangan
tahap kedua
kemudian disempurnakan secara terus menerus oleh Sultan Hamid II atas
masukan Presiden Soekarno. Pada
tanggal 11 Februari 1950 lambang negara mengambil
figur Burung Elang Rajawali, sebagaimana dinyatakan Presiden Soekarno dalam
pidato tentang Lambang Negara 22 Juli 1958 atau selaras dengan Penjelasan Pasal
4 jo pasal 6 PP No 66 Tahun 1951 atau
penjelasan Pasal 48 UU No 24 Tahun 2009, dan selaras pula dengan transkrip Sultan
Hamid II, 15 April 1967.
3.
Lambang Negara Republik
Indonesia baru menjadi bagian dari UUD Negara RI 1945 adalah setelah amandemen kedua,
tahun 2000 berdasarkan rekomendasi Seminar Nasional Lambang Nagara di Pontianak
2-3 Juni 2000 yang kemudian menjadi materi muatan konstitusi – UUD Negara RI 1945
pasal 36 A dan berdasarkan pasal 36 C dijabarkan lebih lanjut dalam UU Nomor 24 tahun 2009.
4. Secara analisis semiotika, struktur
lambang Negara terdiri dari tiga konsep Figur Lambang identitas Negara yaitu
Elang Rajawali-dan Dasar Negara Pancasila dalam perisai Pancasila, dan jatidiri
bangsa Indonesia,
pada seloka Bhinneka Tunggal Ika. Khususnya
pada perisai Pancasila merupakan perpaduan ide dari usulan anggota Panitia
Lambang Negara RIS, simbol sila kesatu sumbangan ide dari Moh Natsir, simbol
sila kedua ide dari Sultan Hamid II dan sketsa
gambar perisai dan garis khatulistiwa adalah usulan Sultan Hamid II,
simbol sila ketiga sumbangan ide dari Purbatjaraka, simbol sila keempat
sumbangan ide dari Mohammad Yamin, simbol sila kelima sumbangan ide dari Ki
Hajar Dewantoro. Walaupun demikian sketsa awal hingga perancangan gambar
lambang negara sampai ditetapkan pemerintah RIS 11 Februari 1950 adalah dibuat
oleh Sultan Hamid II seperti dinyatakan secara tegas oleh Mohammad Hatta, sedangkan sang pelukis gambarnya adalah Dullah
berdasarkan penyempurnaan yang terus menerus oleh Presiden Soekarno dan
Mohammad Hatta kepada Sultan Hamid II.
5. Pembacaan Pancasila
berdasarkan analisis semiotika
hukum pada perisai Pancasila dalam lambang Negara menggunakan konsep
“berthawaf” atau Gilir balik berlawanan dengan arah jarum jam dan dibalik
konsep itu tersirat dan tersurat pesan filosofis bagi bangsa Indonesia.
Pembacaan Pancasila berdasarkan Perisai Pancasila seharusnya menjadi model
dalam memahami kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat dalam Negara
hukum yang bersendikan demokrasi dan berdasarkan teokrasi.
6. Makna Bhinneka Tunggal
Ika sebenarnya merupakan representasi dari perpaduan dua paham kenegaraan
(federal dan Unitaris), oleh karena itu pembacaan Bhinneka Tunggal Ika
seharusnya dipahami dan dibaca sebagai keragaman dalam persatuan dan persatuan
dalam keragaman atau yang berbhineka satu itu dan yang satu itu berbhineka,
itulah bangsa Indonesia, tetapi saat ini dibaca “berbeda-beda tapi satu jua”
sehingga keragaman daerah sebagai suatu manesfestasi otonomi daerah belum
terwujudkan dan selaras dengan prinsip bhinneka Tunggal Ika.
7. Ada manipulasi sejarah
hukum lambang Negara dalam masa Orde Baru, bahwa yang merancang
dinyatakan adalah Mr Mohammad Yamin, sedangkan Mohammad Hatta, 1978 menyatakan
secara tegas, bahwa yang membuat lambang Negara adalah Sultan Hamid II anak
bangsa dari Pontianak Kalimantan Barat
dalam kedudukan sebagai Menteri Negara Zonder Forto Folio,1950. Kemudian
gambarnya ditetapkan parlemen RIS, tanggal 11 Februari 1950. Dalam Kedudukan menteri negara tersebut tidak
ada tugas lain yang diperintahkan Presiden Soekarno kepada Sultan Hamid II,
yaitu membuat rencana atau merancang Lambang Negara dan menyiapkan Gedung
Parlemen. Dan dimasa Reformasi adalah ada manipulasi atau
rekayasa Gambar Lambang Negara yang
menjadi lampiran resmi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang berbeda dengan Lampiran Resmi Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 sebagaimana gambar rancangan
terakhir yang diperbaiki seperlunya oleh Sultan Hamid II, sebagaimana dokumen
aslinya terdapat di Yayasan Mas Agung yang telah diserahkan oleh Sultan Hamid
II 18 Juli 1974 untuk
diselamatkan. Selian itu dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan ada diskriminasi hukum, karena tidak menyebutkan nama perancang
lambang negara (Pasal 46), sebagaimana pasal yang mengatur lagu
kebangsaan.(Pasal 58).
8.
Istilah burung
Elang Rajawali diketemukan dalam teks hukum negara dalam penjelasan Pasal 4
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 dengan istilah mendekati burung Elang Rajawali, dalam penjelasan pasal 48
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 menggunakan istilah menyerupai Elang Rajawali, adalah belum selaras dengan isi Pidato
Kenegaraan Soekarno, 22 Juli 1958 burung Elang
Rajawali-Garuda, Muhammad Yamin, tegas menyebutnya Burung Sakti Elang Rajawali, dan Soediman Kartohadiprojo menyebutnya Burung Sakti Elang Rajawali. Sultan Hamid II menyebutnya dengan
nama elang Rajawali–Garuda Pancasila.
9.
Untuk pembuktian dua
tahap perancangan lambang Negara oleh Sultan Hamid II berikut ini distruktur
berdasarkan analisis Semiotika Hukum dengan mengacu pada dokumen sejaman, yaitu
tahap pertama menggunakan Figur Burung Garuda yang ada pada peradaban bangsa
Indonesia dan perancangan tahap kedua adalah
merupakan perpaduan dengan Peradapan dunia
yaitu menggunakan figur Elang Rajawali.
Sehingga Sultan Hamid II
dalam transkrip menamakan lambang Negara tersebut ialah RAJAWALI GARUDA
PANCASILA atau Soekarno menyebut Elang Rajawali –garuda atau secara historis
yuridis Teks Hukum (Historis Yuridis) berdasarkan teks hukum negara dalam Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951 Tentang Lambang Negara menyatakan:
“Lukisan Garuda diambil dari benda Peradaban Indonesia seperti hidup
dalam Mityologi, symbologi dan Kesusasteraan Indonesia dan seperti pula
tergambar pada beberapa candi sejak abad ke 6 sampai abad ke 16. (Penjelasan
Pasal 1)
“Burung Garuda dari mytologi menurut
perasaan Indonesia berdekatan dengan burung Elang Rajawali.
Teks hukum (yuridis Formal)
Penjelasan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan dalam Penjelasan
Pasal 46 menyatakan:
Yang
dimaksud dengan “Garuda Pancasila” adalah Lambang berupa burung garuda yang
sudah dikenal melalui mitologi kuno, yaitu burung yang menyerupai Burung Elang Rajawali
Pidato Presiden Soekarno pada pidato kenegaraan 22
Juli 1958 menyatakan secara
tegas:
“Saudara-saudara,
Lihatlah Lambang Negara kita dibelakang ini alangkah megahnya, alangkah hebat
dan cantiknya. Burung Elang Rajawali, garuda yang sayap kanan dan sayao kirinya
berelar 17 buah, ekor yang berelar 8 buah, tanggal 17, bulan 8 dan berkalungkan perisai
yang diatas perisai itu tergambar Pancasila...
Kemudian dalam literatur juga ditemukan istilah
Burung Elang Rajawali sebagaimana dinyatakan secara tegas Muhammad Yamin dalam bukunya Pembahasan
Undang-Undang Dasar 1945, hal 144 yang menyatakan: [34]
"Jadi Burung sakti Elang Rajawali
sebagai lambang pembangunan
dan pemelihara diseluruh bangsa Indonesia...."Seperti diperhatikan maka latar lambang itu terbagi atas tiga bagian, yaitu lukisan Elang
Rajawali, perisai Pancasila dan
seloka Empu Tantular.
Burung sakti Elang Rajawali dilukiskan
dengan 17 sayap terbang, 8 helai sayap kemudi dan 45 helai buku sayap sisik pads tubuh.
Perlambangan ketiga angka itu ialah lukisan cendra sengkala: 17 Agustus 1945,
yaitu hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Penelusuran dari literatur akademik
yang lain Soediman Kartohadiprojo, juga menyatakan:[35]
“Lambang Ngara kita terdiri dari tiga
bagian: (1) Candra Sengkala, (2) Perisai Pancasila, (3) Seloka Bhinneka Tunggal Ika. Candra Sengkala ini
terdapat dalam “burung sakti Elang
Rajawali (cetak tebal dari penulis) yang bulu sayapnya 17 helai
jumlahnya, bulu sayap kemudinya 8 helai,
sedangkan bulu sayap sisiknya pada batang tubuhnya berjumlah 45 ini melukiskan
hari diproklamasikan Republik Indonesia.”
[1] Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia
Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal.88.
[4] Hasanuddin. 1998. ‘Pengaruh
Mitos dalam Karya Sastra Indonesia Warna Lokal Minagkabau”. Dalam Majalah
Humanus. Lemlit IKIP Padang, hal 2.
[10] Nanang hidayat , ibid halaman 37.
[11]Tomy Christomy, Pengantar Semiotik Pragmatik Peirce; Nonverbal dan
Verbal, dalam Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Jakarta : Lembaga
Penelitian Universitas Indonesia, Bahan Penelitian Semiotika, 2001, halaman 71
[13] Hartoko, Dick dan B. Rahmanto, Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:
Kanisius, 1986, halaman 88.
[16] Hasanuddin. 1998. ‘Pengaruh
Mitos dalam Karya Sastra Indonesia Warna Lokal Minangkabau”. Dalam Majalah Humanus. Lemlit IKIP Padang,
halalamn 2.
[21] Transkrip Penjelasan Lambang Negara Polandia, Kedutaan Besar Negara Polandia, 1992,
halaman 1-3
[25] Soediman Kartohadiprojo,
Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Indonesia, Jakarta : Gatra Pustaka, 2010, halaman 229.
[26] Dimaksudkan adalah materi pledoi dibacakan Sultan Hamid II atas
tuduhan makar di hadapan sidang Mahkamah Agung di Jakarta, 25 Maret 1953.
Salinan utuh pledoi Sultan Hamid II, buku:Peristiwa Sultan Hamid II, Djakarta : Persadja, 1953. Halaman 162-189
[27] T.H.S singkatan dari Technische Hoogeschool yang
sekarang dikenal dengan Institut Teknologi Bandung (ITB).
[28]K.M.A singkatan dari: Koninklijke Militaire Academie
yang berada di Kota Breda, Belanda. K.M.A Breda, adalah Akademi Militer milik
Kerajaan Belanda.
[29]Panglima Burung, adalah tokoh Adat Suku Dayak asal Kecamatan Meliau,
Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Panglima Burung terlibat di dalam
Perang Majang Desa Melawan Jepang.
Peran Panglima Burung dalam berperang melawan Jepang, bisa dibaca di buku: Sejarah Perang Majang Desa Melawan Jepang,
ditulis S. Jacobus E Frans L. BA, Pontianak : Kantor Wilayah
Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Tingkat I Kalimantan Barat tahun 1981.
[30] Masuka Djanting, anggota Dewan Pemerintahan Peralihan Kalimantan
Barat berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri, Nomor 17 Tahun 1956, tanggal
28 Agustus 1956.
[31] Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray, anggota Badan Pemerintahan
Harian Daerah Istimewa Kalimantan Barat (BPH DIKB), 1946 – 1949, anggota Badan
Konstituante, 1956 – 1959 dan Gubernur Kalimantan Barat, 1960 – 1966.
[32] Dullah, adalah pelukis di Istana Kepresidenan selama Soekarno menjadi
Presiden.
[33]K.M.B singkatan Konferensi
Meja Bundar. Delegasi Republik Indonesia, Badan Permusyawaratan Federal atau
Bijeenkomst van Federaal Overleg (BFO) dan Kerajaan Belanda menggelar KMB di
Denhaag Belanda, 23 Agustus – 2 Nopember 1949. KMB menghasilkan Pengakuan
Kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) dari Kerajaan Belanda pada tanggal
27 Desember 1949.
[35] Soediman Kartohadiprojo,
Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Indonesia, Jakarta : Gatra Pustaka, 2010, halaman 229.
1 komentar:
Nama : Charlie Immanuel Manasye Simamora
NIM : A1011141074
Kelas : C
Mata Kuliah : Ilmu Negara
Dosen : Turiman Fachturrahman Nur, S.H., M.H.
Lambang negara merupakan identitas yang sangat identik dalam suatu negara dan ciri dari suau negara. Lambang negara, diambil dari tradisi negara-negara Eropa, merupakan suatu desain yang digunakan oleh orang / sekelompok orang tertentu dan digunakan untuk bermacam-macam tujuan. Tidak seperti cap meterai atau emblem, lambang negara memiliki deskripsi tersendiri yang diwujudkan dalam motif (blason) tertentu.
Lambang negara NKRI ( Negara Kesatuan Republik Indonesia ) merupakan hasil rancangan Sultan Hamid II , Menteri Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Turiman Fachturrahman Nur, dkk. dalam bukunya yang berjudul “Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara “ Elang Rajawali – Garuda Pancasila “ ( halaman 132-133) menyatakan bahwa ada empat pihak yang paling berperan dalam memperkuat bukti sejarah bahwa Sultan Hamid II sebagai Perancang Lambang Negara Garuda Pancasila.
1. Ketua Sultan Hamid Foundation ( Max Yusuf Al-Qadrie), yang menyimpan data dan dokumen pendukung almarhum Sultan Hamid II
2. Solichin Salam ( Wartawan Harian Pagi Berita Buana, Jakarta ), yang mendapatkan surat dari Sultan Hamid II pertanggal 15 April 1967. Didalam suratnya SultanHamid II menyevutkan bahwa contoh gambar burung dari Kerajaan Sintang – Kalimantan Barat sebagai salah saru referensi selama perancangan, ini dilakukan dengan mengundang pemuka masyarakat Suku Dayak ke Hotel Des Indes, lalu Masuka Djanting dan J. C. Oevang Oeray.Khusus kepala Burung Elang Rajawali Garuda Pancasila sekarang, menurut Sultan Hamid II merupakan masukan dari pemuka Suku Dayak ( Panglima Burung), Masuka Djanting, dan J. C. Oevang Oeray.
3. Transkrip percakapan Sultan Hamid II dengan Tjo Wie Tja alias Mas Agung tahun 1974, agar hasil karyanya bisa diterbitkan dalam bentuk buk, jika situasiya memungkinkan.
4. Turiman Fachturrahman Nur, S,H.,M.H., secara ilmiah membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah orang yang merancang Lambang Garuda Pancasila, denga memberikan data otentik yang diperolehnya dari berbagai sumber. Tesis Turiman Fachturrahman tersebut merupakan kajian pertama tentang penciptaan Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila oleh Sultan Hamid II, Menteri Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Lambang negara Indonesia ini pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Soekarno di Hotel Des Indes, Jakarta , 15 Februari 1950, yang diresmikan pemakaiannya dalam sidang Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950. Garuda Pancasila sendiri adalah Burung Garuda yang sudah dikenal melalui mitologi kuno hindu dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu kendaraan Dewa Wishnu yang menyerupai burung Elang Rajawali , digunakan untuk menggambarkan bahwa Indonesia adalah negara yang Besar dan kuat. Jumlah Bulu Garuda Pancasila melambangkan Proklamasi 17 Agustus 1945, warna keemasan yang melambangkan Keagungan dan Kejayaan, dan Garuda memiliki paruh, sayap ,ekor, dan cakar yang melambangkan Kekuatan dan Tenaga Pembangunan. Yang didasari oleh UU tentang penggunaan lambang negara yang diatur dalam UUD 1945 pasal 36 A dan UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. (LN 2009Nomor 109, TLN 5035).
Biarpun Burung Garuda merupakan mitologi kuno Indonesia, tetapi memiliki makna yang khas pada jiwa dan bangsa Indonesia yang melawan penjajahan selama kurang lebih 353 tahun lamanya. Dari Mitos inilah Sultan Hamid II dapat membuat Lambang Negara Indonesia Garuda Pancasila. Kita sebagai penerus Bangsalah yang harus menjaganya supaya tetap lestari dan dapat dikenang sepanjang masa dimanapun dan kapanpun.
Posting Komentar