Kamis, 15 Mei 2014

KEBIJAKAN PUBLIK DALAM KONSEP ADMINISTRASI NEGARA


KEBIJAKAN PUBLIK DALAM KONSEP ADMINISTRASI NEGARA

Oleh:Turiman Fachturahman Nur

1.Pengertian Kebijakan Publik.
       Jika kita menelusuri dalam literatur kepustakaan yang sudah diketahui oleh umum, kata kebijakan diterjemahkan dari bahasa Inggris yaitu policy. Istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjukkan perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.
Dalam arti yang luas policy mempunyai dua aspek pokok. Pertama, policy merupakan praktika sosial, ia bukan event yang tunggal atau terisolir. dengan demikian sesuatu yang dihasilkan pemerintah berasal dari segala kejadian dalam masyarakat. Kedua, policy merupakan dorongan atau incentive bagi pihak-pihak yang sudah bersepakat menentukan tujuan bersama tersebut untuk bersama-sama bekerja secara rasional.  Maka dari dua aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa policy disatu pihak dapat berbentuk suatu usaha yang kompleks dari masyarakat untuk kepentingan masyarakat, di lain pihak policy merupakan suatu teknik atau cara untuk mengatasi konflik dan menimbulkan insentif.
Istilah kebijakan atau sebagian orang mengistilahkan kebijaksanaan seringkali disamakan pengertiannya dengan policy. Hal tersebut barangkali dikarenakan sampai saat ini belum diketahui terjemahan yang tepat istilah policy ke dalam Bahasa Indonesia. Menurut Hoogerwerf dalam Sjahrir pada hakekatnya pengertian kebijakan adalah “Semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan upaya untuk memecahkan, mengurangi, mencegah suatu masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah” (Hoogerwerf dalam Sjahrir 1988, 66).
James E. Anderson (1978, 33), memberikan rumusan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Dari beberapa pengertian tentang kebijakan yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut, kiranya dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya studi tentang policy (kebijakan) mencakup pertanyaan : what, why, who, where, dan how
 Ada banyak definisi mengenai apa itu kebijakan publik. Definisi mengenai apa itu kebijakan publik mempunyai makna yang berbeda-beda, sehingga pengertian-pengertian tersebut dapat diklasifikasikan menurut sudut pandang masing-masing penulisnya.
             Berikut ini beberapa definisi tentang kebijakan publik :
             Chandler dan Plano ( 1988 )[1] Kebijkan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Pengertian kebijakan publik menurut Chandler dan Plano dapat diklasifikasikan kebijakan sebagai intervensi pemerintah. Dalam hal ini pemerintah mendayagunakan berbagai instrumen yang dimiliki untuk mengatasi persoalan publik.
            Thomas R. Dye ( 1981 )[2] Kebijakan publik dikatakan sebagai apa yang tidak dilakukan maupun apa yang dilakukan oleh pemerintah. Pokok kajian dari hal ini adalah negara. Pengertian ini selanjutnya dikembangkan dan diperbaharui oleh para ilmuwan yang berkecimpung dalam ilmu kebijakan publik. Definisi kebijakan publik menurut Thomas R. Dye ini dapat diklasifikasikan sebagai keputusan ( decision making ), dimana pemerintah mempunyai wewenang untuk menggunakan keputusan otoritatif, termasuk keputusan untuk membiarkan sesuatu terjadi, demi teratasinya
            Easton ( 1969 )[3] Kebijakan publik diartikan sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam hal ini hanya pemerintah yang dapat melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. Definisi kebijakan publik menurut Easton ini dapat diklasifikasikan sebagai suatu proses management, yang merupakan fase dari serangkaian kerja pejabat publik. Dalam hal ini hanya pemerintah yang mempunyai andil untuk melakukan tindakan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah publik, sehingga definisi ini juga dapat diklasifikasikan dalam bentuk intervensi pemerintah.
 Anderson ( 1975 )[4]  Kebijakan publik adalah sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badanbadan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan tersebut adalah :
Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan.
Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah.
Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan.
Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.
Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
            Definisi kebijakan publik menurut Anderson dapat diklasifikasikan sebagai proses management, dimana didalamnya terdapat fase serangkaian kerja pejabat publik ketika pemerintah benar-benar berindak untuk menyelesaikan persoalan di masyarakat. Definisi ini juga dapat diklasifikasikan sebagai decision making ketika kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif ( tindakan pemerintah mengenai segal sesuatu masalah ) atau negatif ( keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu ).
Woll (1966)[5] Kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Adapun pengaruh dari tindakan pemerintah tersebut adalah :
Adanya pilihan kebijakan yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah atau yang lainnya yang bertujuan menggunakan kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Adanya output kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan pada level ini Menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan, penganggaran, pembentukan personil dan membuat regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Adanya dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
            Definisi kebijakan publik menurut Woll ini dapat diklasifikasikan sebagai intervensi pemerintah ( intervensi sosio kultural ) yaitu dengan mendayagunakan berbagai instrumen untuk mengatasi persoalan publik. Definisi ini juga dapat diklasifikasikan sebagai serangkaian kerja para pejabat publik untuk menyelesaikan persoalan di masyarakat.
Jones ( 1977 )[6]   Jones menekankan studi kebijakan publik pada dua proses, yaitu :
Proses-proses dalam ilmu politik, seperti bagaimana masalah-masalah itu sampai pada pemerintah, bagaimana pemerintah mendefinisikan masalah itu, dan bagaimana tindakan pemerintah.
Refleksi tentang bagaimana seseorang bereaksi tehadap masalah-masalah, terhadap kebijakan negara, dan memecahkannya.
            Menurut Charles O. Jones ( 1977 ) kebijakan terdiri dari komponen-komponen :
Goal atau tujuan yang diinginkan.
Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan.
Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan.
Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program.
Efek, yaitu akibat-akibat dari program ( baik disengaja atau tidak, primer atau sekunder ).
             Jones memandang kebijakan publik sebagai suatu kelanjutan kegiatan pemerintah di masa lalu dengan hanya mengubahnya sedikit demi sedikit. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making, yaitu ketika pemerintah membuat suatu keputusan untuk suatu tindakan tertentu. Klasifikasi ini juga dapat didefinisikan
sebagai intervensi negara dengan rakyatnya ketika terdapat efek dari akibat suatu program yang dibuat oleh pemerintah yang diterapkan dalam masyarakat.
Heclo ( 1972 )[7]  Heclo menggunakan istilah kebijakan secara luas, yakni sebagai rangkaian pemerintah atau tidak bertindaknya pemerintah atas sesuatu masalah. Jadi lebih luas dari tindakan atau keputusan yang bersifat khusus. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making yaitu apa yang dipilih oleh pemerintah untuk mengatasi suatu masalah publik, baik dengan cara melakukan suatu tindakan maupun untuk tidak melakukan suatu tindakan.
Henz Eulau dan Kenneth Previt ( 1973 )[8] Merumuskan kebijakan sebagai keputusan yang tetap, ditandai oleh kelakuan yang berkesinambungan dan berulang-ulang pada mereka yang membuat kebijakan dan yang melaksanakannya. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making yaitu ketika pemerintah memilih untuk membuat suatu keputusan      ( to do ) dan harus dilaksanakan oleh semua masyarakat.
Robert Eyestone[9] Secra luas kebijakan publik dapat didefinsikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai governance, dimana didalamnya terdapat interaksi negara dengan  rakyatnya dalam rangka mengatasi persoalan publik.
Richard Rose[10]  Kebijakan hendaknya dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri. Kebijakan ini dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekedar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai intervensi negara dengan rakyatnya dalam rangka mengatasi persoalan publik, karena melalui hal tersebut akan terjadi perdebatan antara yang setuju dan tidak setuju terhadap suatu hasil kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Carl Friedrich[11] Ia memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkup tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai intervensi pemerintah ( intervensi sosio kultural ) dengan mendayagunakan berbagai instrumen ( baik kelompok, individu maupun pemerintah ) untuk mengatasi persoalan publik.
           James Anderson[12] Kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai intervensi pemerintah ( intervensi sosio kultural ) yaitu dengan mendayagunakan berbagai instrumen untuk mengatasi persoalan publik.
 Amir Santoso[13] Pada dasarnya pandangan mengenai kebijakan publik dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu :
Pendapat ahli yang menyamakan kebijakan publik sebagai tindakantindakan pemerintah.Semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan publik. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making dimana tindakan-tindakan pemerintah diartikan sebagai suatu kebijakan.
Pendapat ahli yang memberikn perhatian khusus pada pelaksanaan kebijakan. Kategori ini terbagi dalam dua kubu, yakni :
Mereka yang memandang kebijakan publik sebagai keputusankeputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksudmaksud tertentu dan mereka yang menganggap kebijakan publik sebagai memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan atau dengan kata lain kebijakan publik adalah serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making oleh pemerintah dan dapat juga diklasifikasikan sebagai interaksi negara dengan rakyatnya dalam mengatasi persoalan publik.
Kebijakan publik terdiri dari rangkaian keputusan dan tindakan. Kebijakan publik sebagai suatu hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bisa diramalkan ( Presman dan Wildvsky ). Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making dimana terdapat wewenang pemerintah didalamnya untuk mengatasi suatu persoalan publik. Definisi ini juga dapat diklasifikasikan sebagai intervensi antara negara pada suatu masyarakat.
           Menjadi menarik ketika pengertian Kebijakan Publik dikaitkan dengan Perkembangan Konsep Administrasi Negara dan paradigma administrasi negara ke administrasi Publik. Berikut ini sebuah paparan menarik apa yang dipaparkan oleh Dr Arifin Tahir dalam tulisannya Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Universitas Gorontalo, 2011, dalam buku yang diterbitkan PT Pustaka Indonesia Press.
          Paparan ini bisa dijadikan referensi ketika membahas hukum administrasi negara ketika membahas kebijakan Pemerintah ketika merumuskan kebijakan-kebijakan yang bersifat publik.
2.Konsep Administrasi Negara[14]
               Konsep administrasi negara, akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan dari para ahli terutama dalam penggunaan istilah administrasi negara atau administrasi publik. Hal ini disebabkan adanya pergeseran titik tekan dari Administration of Public ke Adminsitrtion by Public dimana dalam Administration of Public negara sebagai agen tunggal dalam menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan atau kepemerintahan. Konsep ini menekankan fungsi negara/pemerintahan lebih berfokus public service (pelayanan publik) atau disebut Adminsitration for Public).
Sementara Administration by Public menurut Utomo (2008:7) berorientasi bahwa publik demand are differetianted, dalam arti fungsi negara/pemerintah hanyalah sebagai fasilitator, katalisator yang bertitik tekan pada putting the customers in the driver set. Dimana menurut Utomo bahwa determinasi Negara/Pemerintahan tidak lagi merupakan faktor utama atau sebagi driving forces.
              Penjelasan Utomo di atas memberikan pencerahan terhadap makna istilah Administrasi Negara dimana telah terjadi perubahan makna public sebagai negara menjadi public sebagai masyarakat. Artinya bahwa pendekatan yang dilakukan dalam disiplin ilmu ini bukan lagi kepada negara tetapi kepada masyarakat. Itulah sebabnya mengapa akhir-akhir ini istilah Administrasi Negara telah menjadi Administrasi Publik.
            Untuk itu penulis mengemukakan beberapa pengertian dari berbagai ahli tentang istilah administrasi publik. Istilah ini sangat beragam tergantung dari perspektif mana para ahli melihatnya apakah menggunakan istilah Administrasi Negara atau Administrasi Publik: 
  1. Administrasi negara ialah keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh seluruh aparatur pemerintahan dari suatu negara dalam usaha mencapai tujuan negara. (Siagian, 1996;8)
  2. Doglas dalam Stillman (1992:2) mengemukakan ‖Public administration is the produced of good and service designed to serve the need of citizen”
  3. Menurut Chandler dan Plano dalam Keban (2008:3), mengemukakan bahwa administrasi publik adalah proses dimana sumberdaya dan personel publik diorganisir dan dikoordinasikan untuk memformulasikan, mengimplementasikan dan mengelola (manage) keputusan-keputusan dalam kebijakan publik.
  4. Dubnick and Romzek (1991), Thea practice of public policy administration involves the dynamic reconciliation of various forces in government‟s efforts to manage public and program. 
  5. Menurut John M. Pffifner dan Robert V. Presthus (1960:4,5,6) mengemukakan sebagai berikut
  • Public Administration involve the implementation of public policy which has been determine by representative political bodies. Artinya bahwa administrasi negara meliputi implementasi kebijaksanaan pemerintah yang telah ditetapkan oleh badan-badan perwakilan politik
  •  Public Administration may be defined as the coodination of individual and group effort to carry out public policy. It mainly occupied with the dayti work of government. Artinya bahwa administrasi negara dapat didefenisikan sebagai koordinasi usaha-usaha perorangan dan kelompok untuk melaksanakan kebijakan pemerintah. Hal ini terutama meliputi pekerjaan sehari-hari pemerintah.
  • In sum, public administration is process concerned with carryng out public policies, encompassing, innumerable skills and techniques large number of people. Artinya. Secara ringkas administrasi negara adalah suatu proses yang bersangkutan dengan pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah, pengarahan kecakapan dan tehnik yang tidak terhingga jumlahnya, memberikan arah dan maksud terhadap usaha sejumlah orang.    Felix A. Nigro dan Lloyd G. Nigro mengemukakan sebagai berikut;
  1. Public Administration is coorperative group effort in public setting. Artinya bahwa administrasi negara adalah suatu kerja sama kelompok dalam lingkungan pemerintah.
  2. Public Administration covers all three branches,: execitive, legislative and yudicative, and their interelationships. Artinya bahwa administrasi negara meliputi ketiga cabang pemerintahan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta hubungan di antara mereka.
  3. Sementara Keban (2008:4), menekankan pada makna yang bervariasi tentang istilah Aministrasi Publik. Menurutnya Administrasi Publik sebagai administrasi of public menunjukkan pemerintah berperan sebagai agen tunggal yang berkuasa atau sebagai regulator, sedangkan administrasi for public menunjukkan konteks yang lebih maju dari sebelumnya dimana pemerintaha lebih berperan dalam mengemban misi pemberian pelayana publik (service provider), dan administrasi by public merupaka suatu konsep yang sangat berorientasi kepada pemberdayan masyarakat.
             Dari beberapa rumusan di atas penulis menyimpulkan bahwa masih terdapat pula kerancuan penggunaanh istilah makna public sebagai negara atau sebagai publik (masyarakat). Namun demikian penulis dapat menyimpulkan istilah Administrasi Publik adalah berbagai aktifitas manajemen yang dilakukan oleh pemerintah (eksekutif) dimulai dari perumusan, pengimplementasian serta pengawasan program pembangunan dengan melibatkan legislatif, dan yudikatif serta partisipasi masyarakat guna melahirkan kebijakan publik


3.Perkembangan Paradigma Administrasi Negara
            Pada prinsipnya ilmu pengetahuan itu bersifat nisbi, ia dapat berubah atau berkembang kapan dan dimana saja. Perubahan atau perkembangan inilah yang disebut dengan paradigma. Menurut Thomas Kuhn (dalam Keban, 2008:31) mengatakan bahwa paradigma merupakan suatu cara pandang, nilai, metode-metode, prinsip dasar, atau cara memecahkan suatu masyarakat ilmiah pada suatu masa tertentu. Administrasi Negara sebagai suatu disiplin ilmu tidak terlepas dari perubahan dan perkembangan paradigma itu sendiri. Dilihat dari sejarah perkembangannya paradigma Administrasi Negara telah mengalami kemajuan yang pesat. Perubahan dan kemajuan paradigma
           Administrasi Negara bukan hanya melanda Indonesia tetapi seluruh dunia termasuk negara-negara maju sekalipun.
Perkembangan atau pergeseran paradigma secara garis besar dikemukakan Keban (2008:31), bahwa telah terjadi lima paradigma dalam administrasi negara, diuraikan sebagai berkut:

3.1.Paradigma Administrasi Negara I
       Paradigma I (1990-1926) dikenal sebagai paradigma Dikotomi Politik dan Adminsitrasi. Pemisahan antara politik dan administrasi dimanifestasikan oleh pemisahan antara legislatif yang bertugas mengekspersikan kehendak rakyat, dengan badan eksekutif yang bertugas mengimplementasikan kehendak rakyat. Badan yudikatif dalam hal ini berfungsi membantu badan legislatif dalam menentukan tujuan dan merumuskan kebijakan. Senada dengan itu Ibrahim (2009:5), fokus administrasi negara terbatas pada masalah-masalah organisasi-pemerintahan, sedangkan masalah pemerintahan, politik, dan kebijakan merupakan substansi ilmu politik.
Sebagai tonggak sejarah yang dapat dipergunakan sebagai momentum fase paradigma ini ialah tulisan dari Frank J. Goodnow dan Lenald D. White (dalam Thoha:2010:18), bahwa didalam bukunya Politicus and Administration, Frank Goodnaw berpendapat bahwa ada dua fungsi pokok pemerintah yang amat berbeda satu sama lain. Dua fungsi pokok tersebut ialah politik dan administrasi sebagaimana yang tertulis dalam judul bukunya. Politik menurut Goodnow harus membuat kebijaksanaa-kebijaksanaan atau melahirkan  keinginan-keinginan negara. Sementara administrasi diartikan sebagai hal yang harus berhubungan dengan pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut. Dengan demikian pemisahan kekuasaan memberikan dasar perbedaan antara politik dan administrasi. Badan Legislatif dengan ditambah kemampuan penafsiran dari badan yudikatif mengemukakan keinginan-keinginan negara dan kebijaksanaan formal. Sedangkan badan eksekutif mengadministrasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut secara adil dan tidak memihak kepada salah satu kekuatan politik.
Ini berarti penekanan paradigma I ini adalah pada locus-nya, yakni mempermasalahkan di mana seharusnya admnistrasi negara ini berada. Jelas disini Gordon dan pengikut-pengikutnya berpendapat (dalam Thoha. 2010:19) bahwa administrasi negara seharusnya berpusat pada birokrasi pemerintahan. Sementara itu, walaupun badan legislatif dan yudikatif mempunyai juga kegiatan administrasi dalam jumlah tertentu, namun fungsi pokok dan tanggung jawabnya tetap menyampaikan keinginan-keinginan negara. Inisial legitimasi yang konseptual tentang locus ini memberikan pusat pengertian atau defenisi dari bidang administrasi. Selanjutnya kaitannya dengan focus paradigma pertama ini ialah timbulnya suatu persoalan di antara kalangan akademisi dan praktisi mengenai dikotomi politik-administrasi. Sayangnya menurut Keban ( 2008:32), dalam paradigma ini hanya ditekankan pada aspel locus saja yaitu government bureuaucracy, tetapi focus atau metode apa yang harus  dikembangkan dalam administrasi publik kurang dibahas secara jelas dan terperinci.

3.2.Paradigma Aministrasi Negara II
             Paradigma 2 (1927-1937) disebut sebagai paradigma prinsip-prinsip administrasi. Dalam paradigma ini fokus administrasi negara ialah penekanan pada prinsip-prinsip administrasi negara yang dianggap berlaku secara universal pada setiap bentuk organisasi dan setiap lingkungan sosial budaya.
            Tahun 1927,W.F WILLoughby menerbitkan bukunya yang berjudul Principles of Public Administration. Buku ini merupakan buku teks kedua yang membahas secara penuh dibidang administrasi negara. Buku pertama ditulis oleh Leonal D.white yang termasuk paradikma pertama. Prinsip-prinsip administrasi negara dikemukakan oleh Willoughby ini memberikan indiksi terhadap trend baru dari perkembangan bidang ini. Sekaligus membuktikan bahwa prinsip-prinsip itu ada dan dapat di pelajari. Dengan demikian, adminsitrator-administrator bisa menjadi ahli dan cakap dalam pekerjaannya kalau mereka mau mempelajari bagaimana menerapkan prinsip-prinsip tersebut. (Thoha:2010:21).
Selanjutnya dikemukakan oleh Thoha, bahwa pada fase paradigma ke dua ini, administrasi negara benar-benar mencapai puncak reputasinya. Sekitar tahun 1930-an, administrasi banyak mendapat sumbangan yang berharga dari bidang-bidang lainnya seperti industri dan pemerintah. Sehingga dengan demikian, pengembangan pengetahuan manajemen memberikan pengaruh yang besar terhadap timbulnya prinsip-prinsip administrasi tersebut. Itulah sebabnya locus dari paradigma ini mudah diketahui yakni berada pada esensi prinsip-prinsip tersebut. Sesungguhnya walaupun administrasi itu sebenarnya bisa berada dimana saja akan tetapi karena prinsip adalah prinsip dan administrasi adalah administrasi, maka menurut paradigma ini administrasi negara mempunyai suatu prinsip tertentu.
Prinsip-prinsip administrasi negara yang dimaksudkan tersebut ialah adanya suatu kenyataan, bahwa administrasi negara bisa terjadi pada semua tatanan administrasi tanpa memedulikan kebudayaan, fungsi, lingkungan, misi, atau kerangka institusi. Ia bisa diterapkan dan diikuti dibidang apapun tanpa terkecuali. Kenyataan ini memberikan penegasan bahwa prinsip-prinsip administrasi tersebut bisa diterapkan dan dipakai oleh negara-negara yang berbeda kebudayaan, lingkungan, fungsi, misi, dan atau kerangka institusi. Dengan demikian bisa terjadi administrasi negara di barat atau di timur, asalkan prinsip-prinsip tersebut bisa digunakan. (Thoha:2010:21).
Selanjutnya, oleh karena administrasi negara telah memberikan konstribusinya yang banyak terhadap formulasi prinsip-prinsip administrasi melalui suatu usaha penelitian ilmiah, maka adinistrasi negara seharusnya mengasilkan suatu paket akademis didalam menerapkan suatu prinsip dalam dunia kenyataan organisasi perusahaan, atau apapun namanya.
            Pada fase paradigma kedua ini terdapat beberapa karya yang menonjol antara lain sebagaimana dikemukakan oleh Thoha (2010:22) disebutkan: Mary Parker Foller, menulis CreativeExperience (1930), Henry Fayol, Industrial and General Management (1930), James D. Mooney dan Alan C. Reiley, Principles of Organization (1939), dan berbagai tulisan-tulisan lainnya yang megemukakan prinsip-prinsip administrasi negara tersebut.
Para ahli organisasi menurut Thoha (2010:23), sering menyebutkan aliran ini sebagai aliran manajemen administrasi (administrative management), karena aliran ini memusatkan titik perhatiannya pada eselon hierarki atas dari sesuatu organisasi. Suatu literatur yang relevan yang dihasilkan oleh aliran manajemen administrasi ini kira-kira bersamaan waktunya dengan suatu usaha pengembangan di bidang bisnis (business school) yang memusatkan perhatiannya pada hierarki terbawa atau pelaksana organisasi (asseble-line). Para ahli research pada aliran ini seringkali menamakannya sebagai manajemen ilmiah (scientific management) yang mengembangkan prinsip efesiensi tenaga gerakan dari pelaksana. Literatur yang sangat terkenal di masa ini ialah tulisan Fredriek W. Taylor, Princile of Scientific Management (1911) dan beberapa hasil karya Frank dan Lilian Gilbreth. Dalam hubungannya dengan konsep paradigma ini manajemen inilah sedikit sekali pengaruhnya terhadap konsep administrasi negara pada fase ini. Karena manajemen hanya memberikan titik perhatiannya pada tingkat pelaksana sesuatu organisasi.
Tahun 1937 merupakan puncak akhir dari fase paradigma kedua ini. Pada tahun itu Luther H. Gulick dan Lyndall Urwick mengemukakan tulisannya Paper on the Science of Administrattion. Tulisan ini sebenarnya adalah laporan yang dibuatnya pada komisi presiden untuk administrasi. Pada waktu Gulick dan Urwick merupakan orang kepercayaan dari presiden Franklin D. Roosevelt.
Menurut Gulick dan Urwick, (dalam Thoha, 2010) prinsip adalah amat penting bagi administrasi sebagai suatu ilmu. Adapun letak di mana prinsip itu akan dipakai tidak begitu penting. Focus memegang peranan penting dibandingkan atas locus. Prinsip administrasi yang terkenal dari Gulick dan Urwick ialah singkatan POSDCORB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, Budgeting). Walaupun sebagian besar orang menamakan masa-masa ini adalah masa ‖Ortodok Kesiangan‖ bagi admnistrasi negara. Akan tetapi, inilah ciri yang bisa diteliti dari paradigma kedua.
Tahun-tahun berikutnya merupakan tahun tantangan bagi admnistrasi negara. Banyak konsep-konsep baru yang mencoba mengkritik konsep administrasi negara yang dilaksanakan ortodoks tersebut. Dalam tahun 1938, setahun setelah Gulick dan Urwick mengemukakan prinsip-prinsip administrasi tadi, Chester I, Barnard menerbitkan bukunya The Functions of Execiitive. Pengaruhnya terhadap administrasi negara belum dirasakan dapat mengatasi persoalan pada waktu itu. Akan tetapi, pada kemudian hari buah pikiran Barnad tersebut memberikan pengaruh terhadap Herbert A. Simon, ketika Simon menulis kritikannya yang tajam pada bidang ini. Kritikan Simon tersebut dapat dibaca dalam bukunya Administrative Behavior. Walaupun secara jelas, Administrative Behavior banyak terpengaruh oleh Barnad, akan tetapi karena pada waktu itu Barnad menjabat Presiden Direktur New Jersey Bell Telephon dan tidak menjadi anggota dari masyarakat admnistrasi negara, maka pengaruh tersebut tidak dibesar-besarkan (has been delayed).(Thoha,2010).
Perselisihan maintream konsepsi administrasi negara kemudian dipercepat di tahun-tahun 1940-an, dengan adanya dua arah kekuatan yang datang bersama-sama. Pertama, keberatan atas pendapat bahwa politik dan administrasi tidak bisa dipisahkan dalam banyak kesempatan. Dan yang kedua, bahwa prinsip-prinsip administrasi adalah secaraq logis tidak konsisten. Sekaligus tahun-tahun ini, adalah tahun kritikan terhadap dua paradigma yang sudah diterangkan dimuka.
Selengkapnya Thoha (2010), mengemukanan pada tahun 1946, suatu buku bunga ranpai yang diedit oleh Fritz Morstein Marx Elements of Public Administration menjawab pada keberatan pertama, bahwa administrasi dan politik bisa dikotomikan. Empat belas artikel yang ditulis dalam buku tersebut semuanya ditulis oleh para praktisi administrasi dan menunjukkan bahwa kesadaran baru mengenai administrasi yang ”value-free” itu sebenarnya adalah value yang berat condongnya ke politik. Beberapa pertanyaan yang timbul antara lain:
·         Apakah suatu keputusan teknis tentang anggaran dan pengembangan kepegawaian benar-benar merupakan keputusan yang impersonal dan tidak berbau politik (apolitical decision)? Atau apakah hal tersebut benar-benar sangat personal, sangat berpolitik, dan sangat prefensial?
·         Apakah memang tidak pernah ada kemungkinan untuk membedakan perbedaan tersebut?
·         Apakah tidak ada usaha yang bermakna untuk membedakan antara politik dan administrasi, kalau memang menurut kenyataan tidak bisa dibedakan?
·         Apakah timbulnya dikotomi politik-administrasi di bidang ini sangat mengutungkan, sangat baik atau sebaliknya menjadi naif?
   Jawaban yang frontal terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut diberikan oleh John M. Gaus pada tahun 1950 dengan tulisan di majalah Publik Administration Review di bawah judul ”A theory of public administration means in our time a theory of politics also” Lonceng telah dibunyikan.
   Suatu analisis yang menarik tentang trauma politik dan administrasi diberikan oleh Allen Schick dalam tulisannya yang terdapat dalam buku yang di edit oleh Frederick C. Mosher (dalam Thoha, 2010). Dia mengamati bahwa persoalan yang melanda kaum intelektual mengenai dikotomi politik administrasi tahun 1940-an diperbesar di tahun-tahun belakang ini. Bagi mereka yang mempersoalkan memisahnya politik dari admnistrasi belum pernah menunjukkan argumentasi yang mapan mengenai sesuatu yang disebut administrasi dan sesuatu yang disebut politik itu benar-benar tidak bisa dipisahkan secara mutlak. Dikatakan selanjutnya oleh Schick bahwa administrasi negara adalah mengabdi untuk kekuasaan dan mempunya kekuasaan yang penuh melayani kekuasaan itu untuk pro bono publico, untuk membantu pemegang kekuasaan dalam pemerintah secara lebih efesien.
       Persoalan dikotomi pada hakikatnya memberikan garis keturunan bagi administrasi atas politik, efesiensi atas representasi , rasionalitas atas keinginan pribadi, dan lain sebagainya. Dan akhirnya, penolakan dikotomi itu pada hakikatnya bukannya karena ia memisahkan politik dari administrasi akan tetapi jalan yang melanggar norma pluralis dari ilmu politik setelah perang.
Analisa Thoha dalam bukunya Ilmu Administrasi Publik Kontemporer (2008:24) lebih lengkap mengemukakan bahwa bersamaam dengan timbulnya tantangan terhadap dikotomi tradisional antara politik dan administrasi, maka timbul pula suatu perselihan yang lebih mendasar yakni tentang prinsi-prinsip admnistrasi. Tahun 1946, Herbert Simon mendahului bukunya Administrative Behavior menulis suatu artikel dalam Publik Administartion Revieu, berjudul ” The proverbs of Administration” pada tahun berikutnya, Rober A. Dahl dalam jurnal yang sama menulis ‖ The Science of Public Administrasi: Tri Problems”
Disini ia berpendapat bahwa pengembangan suatu prinsip administrasi yang universal terhadang oleh adanya perbedaan dari masing-masing tujuan (Value) yang sesuai bagi sesuatu organisasi perbedaan kepribadian dari masing-masing individu dan kerangka sosial yang beraneka dari suatu kultur ke kultur lainnya.
Dwight Waldo dalam bukunya The Administrative State. A Study of the Political Theory of American Public Administration, yang diterbitkan tahun 1948, ikut pula menyerang suatu paham yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip administrasi tidak bisa diubah. Dalam buku itu Waldo selanjutnya, juga mengkritik bahwa metoodologi yang dipergunakan untuk menentukan prinsip-prinsip tersebut juga tidak konsisten, demikian pula nilai ekonomi dan efesiensi yang mendominasi pemikiran di bidang ini terlalu sempit.
Suatu analisis yang luar biasa terhadap prinsip ini muncul setahun sebelum buku Waldo di atas. Tahun 1947, Herbert A. Simon menerbitkan bukunya Administrative Behavior; A Study of Decision Making process in Admnistration Organization. Simon (dalamThoha, 2010) menunjukkan bahwa di setiap prinsip administrasi didalamnya terdapat prinsip tandingannya. (Counter principle). Oleh karena itu seluruh ide tentang prinsip-prinsip tersebut dapat dipecahkan. Sebagai contoh, dalam literatur administrasi yang tradisional menyatakan bahwa birokrasi itu hendaknya diatur dengan rentang kendali (span of control) yang sempit, agar bisa berkomunikasi dan melakukan pekerjaan-pekerjaan secara efektif.
Rentang kendali ini dimaksudkan agar seorang pemimpin dapat melakukan control yang baik, jika mempunyai staf bawahan yang jumlahnya terbatas. Setelah prinsip dilakukan, ternyata komunikasi untuk memberikan pengarahan bukannya menjadi efektif melainkan semakin berputar balik dan kontrol tidak menjadi efektif lagi. Hal ini terjadi karena prinsip rentang kendali yang sempit ini membawa konsekuensi adanya bagan organisasi yang memanjang.(a tall organization chart). Itulah sebanya, kemudian diusulkan prinsip lain yang merupakan tandingan, atau prinsip yang memperbaiki a spaan of control tersebut. Prinsip tandingan ini menyarankan agar memakai bagan organisasi yang tambun (a flat hierarchical structure). Prinsip organisasi yang tambun ini akan membantu tercapainya komunikasi yang efektif dan dihindari distorsi.
Dalam uraian di atas apa yang dimaksudkan oleh Simon tentang kelemahan sesuatu prinsip. Dalam sesuatu prinsip akan didapatkan prinsip lain yang berlawanan. Hal ini akan merupakan suatu dilema, dan dilema ini tanpaknya menghinggapi pada seluruh literatur tradisional dari administrasi negara. Gejala ini berlangsung sampai dengan diterbitkannya buku Simon tersebut.
Selanjutnya dikemukakan oleh Thoha, (2010:25-26), bahwa selain mengkritik pondasi tradisional administrasi negara, Simon menawarkan suatu alternatif dari paradigma di atas. Bagi Simon, jika menginginkan ilmu ini bisa bekerja dalam keharmonisan stimulasi intelektual yang timbal balik, maka hendaknya terdapat dua jenis Administrasi Negara. Dua jenis itu ialah pengembangan suatu ilmu administrasi murni yang berdasarkan atas pengaruh psikologis sosial dan ilmu admnistrasi yang banyak menjelaskan mengenai public policy. Kedua jenis administrasi ini bersama-sama akan merupakan dua komponen penguat dari paradigma baru terebut.
Sebagaimana dikatakan oleh Simon: (Thoha:2010:27)  ”There does not appear to be any reason why these two developments in the field of public administration should not go on side by side, for they in no way confkict or contadict.”
Menurut Simon, tampaknya tidak ada alasan yang kuat bahwa pengembangan kedua bidang administrasi negara ini tidak bisa berjalan berdampingan, bagi keduanya tidak ada jalan untuk konflik dan berlawanan. Pada sekitar pertengaha abad, kini dua persoalan yang dikemukakan diatas, mengenai perumusan dikotomi politik adminstrasi negara, dan prinsip-prinsip administrasi negara mulai banyak ditinggalkan oleh kaum cendekiawan di bidang ini. Ditinggalkannya dua persoalan di atas menunjukan bahwa administrasi negara akan menemukan identitasnya. Dan identitas itu harus dicari.

3.3.Paradigma Administrasi Negara III
Paradigma 3 (1950-1970) adalah paradigma administrasi negara sebagai Ilmu Politik. Menurut paradigma ini tidak sepantasnya ada dikotomi antara politik dan administrasi negara karena memang tidak realistis. Dalam konsteks ini, administrasi negara bukannya value free atau dapat berlaku dimana saja tetapi justru dipengaruhi nilai-nilai tertentu. Paradigma ini menganggap studi administrasi negara adalah bagian dari ilmu politik, hanya saja berbeda titik beratnya. Ilmu politik berfokus pada proses penyusunan kebijakan kekuatan sosial politik di luar birokrasi, administrasi negara berfokus pada penyusunan kebijakan dalam tubuh birokrasi, tetapi tidak terlepas dari sitem politik yang berlaku. (Ibrahim,2009:6)
Terkait dengan itu Thoha, (2010) secara singkat dikatakan bahwa fase paradigma ketiga ini merupakan suatu usaha untuk menetapkan kembali hubungan konseptual antara administrasi negara dengan ilmu politik. Akan tetapi, konsekuensi dari usaha ini ialah keharusan untuk merumuskan bidang ini paling sedikit dalam hubungannya dengan fokus keahliannya yang esensial. Itulah sebabnya tulisan-tulisan administrasi negara dalam tahun 1950-an penekanan pembicaraannya pada wilayah kepentingan (area of interes) atau sebagai sinonim dari ilmu politik.
Administrasi negara sebagai suatu bidang studi yang dapat diidentifikasikan memulai perjalanan yang panjang menurun bukit yang berputar-putar.  Dikatakannya bahwa walaupun usaha untuk kembali kepada ilmu politik sebagai suatu identifikasi dari administrasi negara pada paradigma ini akan, akan tetapi sebaliknya ilmu politik mulai melupakannya. Tahun 1962 administrasi bukan lagi dianggap sebagai bagian dari ilmu politik. Hal ini terbukti dari laporan komisi ilmu politik sebagai suatu disiplin dari APSA (American Political Science Assosiation). Tahun 1964, suatu survey yang dilakukan oleh sarjana-sarjana ilmu politik memberikan petunjuk tentang merosotnya minat terhadap administrasi negara dalam fakultas-fakultas ilmu politik. Tahun 1967 administrasi negara benar-benar dicoret dari program pertemuan tahunan APSA.
             Melihat perlakuan ilmu politik terhadap administrasi seperti yang diceritakan di atas, maka tahun 1968 Dwight Waldo memprotes keadaan seperti itu. Dia menulis bahwa sarjana-sarjana ilmu politik tidak lagi mengidentifikasi dirinya dengan administrasi negara adalah bersikap tidak memedulikan dan memusuhi. Mereka menginginkan secepatnya keluar dari administrasi negara. Sarjana-sarjana administrasi negara tidak senang dan dianggap sebagai warga negara kelas dua.
             Antara tahun 1960 sampai tahun 1970, hanya dijumpai empat persen dari semua artikel yang diterbitkan dalam lima jurnal utama ilmu politik yang membicarakan administrasi negara. Dasawarsa 60-an merupakan suatu saat memisahkannya administrasi negara sebagai bidang kajian dalam ilmu politik. Fakultas-fakultas ilmu politik menyebutkannya dengan ‖Tipe P.A‖. Ada dua perkembangan baru yang perlu dicatat pada masa ini, yakni pertama, pertumbuhan penggunaan studi kasus sebagai suatu sarana yang bersifat epistimologis. Kedua, timbulnya studi perbandingan dan pembangunan administrasi sebagai salah satu bagian dari administrasi negara. (Thoha:2010:28)
Paradigma 4 (1956-1970) adalah paradigma administrasi negara sebagai ilmu administrasi. Paradigma ini menganggap bahwa ilmu administrasi negara sebagai bagian ilmu politik, perlu dikembangkan lebih lanjut dua aspek yang harmonis yaitu pengembangan ilmu administrasi secara murni berdasarkan psikologi sosial, aspek lain mengenai seluk-beluk kebijakan publik. (Ibrahim,2009:6)
Berbeda dengan Thoha (2010) istilah ilmu administrasi (adminsitrave science) dipergunakan dalam paradigma 4 ini untuk menujukkan isi dan fokus pembicaraan. Dalam ilmu ini terdapat pula pembahasan mengenai teori ilmu organisasi dan ilmu manajemen. Teori organisasi pada intinya mendapat sumbangan pokok dari hasil kerja sarjana-sarjana psikologi sosial, administrasi perusahaan, dan sosiologi. Sehingga dengan demikian, sarjana-sarjana administrasi negara mendapatkan informasi yang tepat untuk memahami perilaku organisasi. Adapun ilmu manajemen sangat tergantung pada riset yang dilakukan ahli statistik, analisis sistem, komputer dan ekonomi. Sehingga karenanya sarjana-sarjana administrasi negara mendapatkan informasi untuk mengukur pelaksanaan kerja secara tepat dan menaikkan efisiensi manajerial.
Sebagai suatu paradigma, pada fase ini ilmu administrasi hanya memberikan focus, tetapi tidak pada locus-nya. Ia menawarkan teknik teknik, dan bahkan sering kali teknik-teknik yang canggih dan memerlukan keahlian dan spesialisasi, tetapi untuk institusi apa, teknik–teknik keahlian tersebut seharusnya diterapkan bukanlah menjadi rumusan perhatian dari ilmu ini. Sebagaimana yang dibahas dalam paradigma 2 di muka, administrasi adalah administrasi di mana pun ia dapat dijumpai, fokus lebih utama dari pada locus-nya.
Menurut Thoha (2010) sejumlah usaha usaha pengembangannya, terutama di peroleh dari pengaruh fakultas administrasi perusahan, (school of business administrative) mempercepat pencarian alternatif paradigma ilmu administrasi ini. Tahun 1956 terbitlah jurnal administrative science quartetly, sebagai sarana yang amat penting untuk menyuarakan pendapat dan konsepsi-konsepsi dari paradigma ini. Sarjana administrasi negara Keith M. Henderson berpendapat di pertengahan tahun 1960 bahwa teori organisasi adalah atau seharusnya menjadi fokus utama dari administrasi negara. Demikian pula, tidak di lupakan begitu saja usaha usaha yang di rintis oleh para cendekiawan terdahulu, seperti James G. March dan Herbert A. Simon dalam buku yang dikarang berdua, berjudul Organizations (1958).
Selanjutnya dikatakan pada awal tahun 60-an, Organizational Development (OD) atau Pengembangan Organisasi (PO) mulai berkembang secara pesat sebagai suatu spesialisasi dari ilmu administrasi. OD sebagai suatu bidang kajian berlandas pada psikologi sosial dan pada nilai nilai demikratis birokrasi baik pemerintah maupun swasta demikian pula aktualisasi diri dari masing masing anggota organisasi karena hal-hal inilah, maka OD dipandang oleh para cendekiawan muda administrasi negara, sebagai suatu objek yang bisa menawarkan bidang riset yang dapat bersaing dalam kerangka ilmu administrasi.
Dalam pandangan Thoha (2010) paradigma keempat ini dalam perjalanan materi meniti langkanya bukan tidak mempunyai persoalan. Banyak persoalan-persoalan yang perlu di jawab seperti misalnya jika focus tunggal telah dipilih oleh administrasi negara, yakni ilmu administrasi, apakah ia masi berhak berbicara Public (negara) dalam administrasi tersebut, ilmu administrasi tidak lagi mempunyai prinsip prinsip umum karena prinsip prisip tersebut telah diganti menjadi prinsip organisasi dan manajemen yang spesifik. Jika suatu ketika akan bertukar fokusnya misalnya mau menekankan pada ilmu politik lagi akan tetaplah administrasi negara sebagai bagian dari ilmu administrasi.
Suatu fenomena dalam kehidupan sehari hari bahwa perbedaan antara pemerintah dan swata (public end private) sulit dirumuskan secara empiris. Adanya industri militer yang komplek, adanya peraturan-peraturan dari departemen-departemen pemerintah yang mengatur hubungan pemerintah dengan industri-industri swasta, adanya kemajuan keahlian masing masing departemen di dalam membatu memajukan teknik manajerial perusahaan–perusahaan swasta pada setiap aspek kehidupan masyarakat.
Kacaunya penggunaan istilah public dalam bidang administrasi ini kelihatan tidak bisa di mengerti. Seorang sarjana berpendapat kita harus mulai berbicara tentang administrasi negara, karena organisasi manajerial mempunyai hubungan yang erat dengan public, negara, pemerintah dan hal hal yang bersifat politis. Hal ini disebabkan karena tumbuhnya saling ketergantungan dalam masyarakat teknologi.
Thoha (2010) memberikan kesimpulan tentang paradigma empat bahwa negara dalam administrasi negara janganlah di tafsirkan dalam hubungannya dengan istilah istilah institusi, melaikan hendaknya ia ditafsirkan secara filosofis, normatif, dan etis. Negara dalam hal tersebut akan menjadi suatu yang mempunyai pengaruh terhadap kepentingan masyarakat. Dengan demikian locus dari istilah administrasi negara dapat pula mencakup pengertian swasta.
Paradigma 5 (1970-sekarang) merupakan paradigma terakhir yang disebut sebagai admnistrasi negara sebagai administrasi. Keban mengemukakan (2008:33) bahwa paradigma ini merupakan pembaruan terhadap paradigma-paradigma sebelumnya. Paradigma ini telah memiliki fokus yang jelas. Fokus administrasi negara mencakup teori-teori organisasi, analisis kebijakan publik, tehnik-tehnik administrasi dan manajemen modern, berbagai persoalan dalam birokrasi pemerintahan dan persoalan-persoalan kebutuhan serta aspirasi masyarakat. Sedangkan locusnya adalah masalah-masalah dan kepentingan-kepentingan publik.
Dari uraian di atas, penulis berpendapat bahwa dengan adanya pergeseran paradigma administrasi negara, maka fokus dan lokus bidang kajian dari administrasi negara telah semakin jelas yakni bidang kajian kebijakan publik. Bahkan lebih dari itu menurut Thoha (2010:33) administrasi negara semakin bertambah perhatiannya terhadap wilayah ilmu kebijaksanaan (policy science), politik ekonomi proses pembuatan kebijaksanaan pemerintah dan analisisnya (publik policy making process) dan cara cara pengukurannya dari hasil hasil kebijaksanaan yang telah dibuat.
Lebih dari itu, Thoha mengemukakan bahwa aspek- aspek perhatian ini dapat dianggap dalam banyak hal sebagai suatu mata rantai yang menghubungkan antara focus administrasi negara dengan locus-nya. Sebagaiman yang terlihat dalam tern yang diikuti oleh paradigma ini, maka fokus administrasi negara adalah teori organisasi praktik dalam analisis public policy dan teknik teknik administrasi dan manajemen yang sudah maju. Adapun locus normatif dari administrasi negara digambarkan oleh paradigma ini pada birokrasi pemerintah dan pada persoalan persoalan masyarakat. Walaupun public affairs masih dalam proses mencari bentuknya. Akan tetapi melihat perkembangan bidang ini menduduki tempat utama dalam menarik perhatian administrasi negara.
Itulah sebabnya lanjut Thoha, bahwa dalam waktu yang singkat, administrasi negara sebagai sebagai suatu bidang kajian telah menujukan warnanya sendiri. Beberapa departemen fakultas dan akademi baru administrasi dan public affairs bermunculan. Hal ini membukatikan adanya suatu sikap yang jelas dari paradigma ini. Antara tahun 1973 – 1978 telah dibentuk kurang lebih 21 persen fakultas profesional administrasi negara dan public affairs dan sekitar 53 persen depatemen administrasi negara dan publik affairs.
Walaupun terdapat beberapa universitas menempatkan program administrasi negara kedalam departemen ilmu politik hal tersebut hanya dijumpai pada universitas kecil. Mereka lebih senang hanya untuk melayani pendaftaran yang semakin menyusut dibandingkang dengan suatu usaha terencana untuk mengembangkan kurikulum administrasi negara sebagai bagian dari ilmu politik.
Salah satu kecenderungan dari pertumbuhan administrasi negera ini terbentuknya asosiasi nasional dari fakultas-falkultas tersebut. (the national association of school of public affairs and administrative) asosiasi ini dibentuk tahun 1980 mempunyai anggota lebih dari 200 intitusi dan lebih dari 25.000 mahasiswa baik yang penuh atapun yang partime terdaftar dalam program MPA pada akhir tahun 1970-an. Demikialah perkembangan adminstrasi negara baik di ikuti lewat sejarahnya maupu lewat perkembangan paradigma. Kesemuanya berlatar belakang empiris dari negara Eropa dan Amerika Serikat. Karena dari sanalah ilmu ini mulai di kembangkan. Belajar dari pengalaman mereka kita petik yang dianggap baik dan bisa di terapkan dalam pertumbuhan administrasi negara kita. (Thoha, 2010,32)

4.Dari Administrasi Negara ke Adminsitrasi Publik
Perkembangan ilmu Administrasi Negara akhir-akhir ini telah mengalami pergeseran titik tekan dari Administration of Public ke Adminsitrtion by Public dimana dalam Administration of Public negara sebagai agen tunggal implementasi fungsi negara/pemerintahan. Konsep ini menekankan fungsi negara/pemerintahan bertugas sebagai public service (Adminsitration for Public). Sementara Administration by Public`berorientasi bahwa publik demand are differetianted, dalam arti fungsi negara/pemerintah hanyalah sebagai fasilitator, katalisator yang bertitik tekan pada putting the customers in the driver set. Dimana determinasi negara/pemerintah tidak lagi merupakan faktor atau aktor utama sebagai driving forces. (Utomo, 2008:7)
Dampak pergeseran tersebut menurut Utomo, telah mengakibatkan perubahan makna public sebagai negara, menjadi public sebagai masyarakat. Dengan demikian pendekatan ilmu administrasi negara tidak lagi berorientasi kepada negara tetapi kepada masyarakat atau Custommer‟s Oriented atau Custommer”s Approach. Dan hal ini menjadi tuntutan perubahan dari government yang lebih menititikberatkan kepada otoritas menjadi governance yang menintikberatkan kepada kompatibilitas diatara para aktornya ialah : Pemerintah, Sektor Swasta dan Masyarakat. Dikalangan masyarakat istilah Public Administration selalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan Administrasi Negara.
Terjemahan bebas inilah yang sering menimbulkan pertanyaan di kalangan akademisi seiring dengan perubahan masyarakat yang semakin dinamis. Terjemahan bebas ini tentunya dilandasi dengan kondisi faktual yang dilihat dari pengelolaan negara yang berorientasi pada kekuasaan. Orientasi kekuasaan yang dilakukan oleh negara inilah yang telah menimbulkan persepsi tentang pengertian Public Administration dikonotasikan dengan Administrasi Negara. Namun dalam perkembangan kemudian, istilah ini telah bergeser sesuai dengan pergeseran corak berfikir serta realita perubahan pengelolaan negara itu sendiri.
Dengan demikian sesungguhnya telah terjadi perubahan makna public sebagai negara, menjadi public sebagai masyarakat. Dalam arti bahwa administrasi negara bukan lagi terlalu berorientasi kepada aktivitas oleh negara, tetapi menjadi oleh, untuk dan kepada masyarakat. Pendekatan administrasi negara tidak lagi kepada negara tetapi titik tekannya kepada masyarakat.
Utomo, (2008:8) mengatakan bahwa proses, sistem, prosedur, hierarchi atau lawfull state tidak lagi merupakan acuan yang utama meskipun tetap perlu diketahui dan merupakan skill. Tetapi results, teamwork, fleksibilitas haruslah lebih dikedepankan disebabkan oleh tekanan, pengaruh, adanya differentiated public demand.
Sedangkan sebagai seorang administrator atau mereka yang mendalami administrasi publik ditutuntut untuk memiliki pengetahuan, skill, kemampuan, profesionaisme, kapabilitas untuk mengembangkan konsep organisasi dan manajemen serta mengorganisisr dan memanage aktivitas dan infrastruktur dalam memahami tuntutan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Itulah sebabnya mengapa mereka ini tidak dituntut untuk tidak saja memiliki responsibility dan accountability tetapi juga harus memiliki responsivenes, transparants, integrity dan impartiality.
Dari penjelasan di atas tidak berarti bahwa administrasi publik (negara) melepaskan atau terlepas sama sekali dari kehidupan atau permasalahan negara. Meskipun administrasi negara (publik) tidak lagi berdasarkan pada paradigma I (Paradigma Dikotomi Politik dan Adminsitrasi), tetapi tidak berarti tidak terkait atau dikaitkan dengan negara atau pemerintah.
Selanjutnya Utomo, (2008:9) mengemukakan bahwa saat ini kita mengalami situasi upheaval dan turbulance yang menghendaki adanya interrlations dan interdependece antar komponen yang kesemuanya disebabkan adanya kompetisi yang semakin kompleks. Baik organisasi maupun negara dan pemerintahan harus dapat, mengantisipasi hal ini agar dapat melangsungkan kehidupan dan kegiatannya dan juga dapat tetap survive dalam menghadapi perubahan yang pesat ini, bahkan dapat mempercepat perkembangan atau pembangunannya.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Utomo bahwa era globalisasi, informasi dan perdagangan bebas dengan terbentuknya kesepakatan dan persekutuan didalam GATT, CER, AFTA, NAFTA, dan APEC mengindikasikan percepatan proses meliberalisasikan aktivitas di dalam bidang perekonomian dan perdagangan yang pada hakekatnya dengan sendirinya akan mempengaruhi aktifitas di bidang lainnya. Untuk itu, profesionalisme menjadi fokus tuntutan yang diutamakan, dalam hal ini termasuk didalamnya komponen-komponen birokrasi, khususnya sistem administrasi (administrasi publik), agar dapat menanggapi adanya perubahan tersebut dimuka dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian. Birokrasi atau sistem administrasi yang lebih menitikberatkan kepada COP (Control Order and Prediktion) harus dengan cepat mengubah dirinya dan menjadi birokrasi atau sistem administrasi sebagai komponen atau institusi (modal intelektual) yang berorientasi atau yang bertitik tekan kepada ACE (Aligment Creativity and Empowerment).
Berdasarkan hal tersebut, maka yang menjadi pertanyaan mendasarkan serta perlu dicarikan alternatif jawabannya adalah: Bagaimanakah kedudukan dan peran profesi administrasi atau birokrasi saat ini dalam pandangan masyarakat maupun pemerintahan sendiri?. Penyesuaian-penyesuaian bagaimanakah yang perlu dilakukan untuk lebih dapat meningkatkan peran dan kedudukan profesi administrasi bagi pembangunan dan perubahan. (Utomo, 2008:10-11). 38

5.Kebijakan Publik
5.1. Konsep Kebijakan Publik
          Istilah kebijakan (policy) seringkali penggunaannya dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals), program, keputusan, undang-undang ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan rancangan besar. Bagi para pembuat kebijakan (policy makers) istilah-istilah tersebut tidaklah akan menimbulkan masalah apapun karena mereka menggunakan referensi yang sama. Namun bagi orang-orang yang berada di luar struktur pengambilan kebijakan istilah-istilah tersebut mungkin akan membingungkan.
Syafiie (2006:104), mengemukakan bahwa kebijakan (policy) hendaknya dibedakan dengan kebijaksanaan (wisdom) karena kebijaksanaan merupakan pengejawantahan aturan yang sudah ditetapkan sesuai situasi dan kondisi setempat oleh person pejabat yang berwenang. Untuk itu Syafiie mendefenisikan kebijakan publik adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah karena akan merupakan upaya memecahkan, mengurangi, dan mencegah suatu keburukan serta sebaliknya menjadi penganjur, inovasi, dan pemuka terjadinya kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan terarah.
Keban (2008:55) memberikan pengertian dari sisi kebijakan publik, yang dikutipnya dari pendapat Graycar, dimana menurutnya bahwa :‖Public Policy dapat dilihat dari konsep filosifis, sebagai suatu produk, sebagai suatu proses, dan sebagai suatu kerangka kerja. Sebagai suatu konsep filosofis, kebijakan merupakan serangkaian prinsip, atau kondisi yang diinginkan, sebagai suatu produk, kebijakan dipandang sebagai serangkaian kesimpulan atau rekomendasi, dan sebagai suatu proses, kebijakan dipandang sebagai suatu cara dimana melalui cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya, yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya, dan sebagai suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu proses tawar menawar dan negosiasi untuk merumus isu-isu dan metode implementasinya‖.
Kamus Besar bahasa Indonesia kebijakan dijelaskan sebagai rangkaian konsep dan azas yang menjadi garis dasar rencana dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, serta cara bertindak (tentang perintah, organisasi dan sebagainya).
Mustopadidjaja (1992:30) menjelaskan, bahwa istilah kebijakan lazim digunakan dalam kaitannya atau kegiatan pemerintah, serta perilaku negara pada umumnya dan kebijakan tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan. Hal ini senada dengan David Easton dalam Toha (2010:107), merumuskan sebagai berikut : ”the authoritative allocation of value the whole society but it turns out that only government can aouthoritatively act on the whole society, and everything the government choosed to do or not to do results in the allocationof values” dalam artian bahwa kebijakan pemerintah sebagai alokasi otoritatif bagi seluruh masyarakat sehingga semua yang dipilih pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan adalah hasil alokasi nilai-nilai tersebut.
Sementara itu, Koontz dan O‘Donnel (1972:113), mendefenisikan kebijakan sebagai pernyataan umum dari pengertian yang memandu pikiran dalam pembuatan keputusan.
Sedangkan menurut Anderson (1984:113), kebijakan adalah suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang dilakukan seseorang pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu masalah. Selanjutnya Anderson (1984:113), mengklasifikasi kebijakan, policy, menjadi dua: substantif dan prosedural. Kebijakan substantif yaitu apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah sedangkan kebijakan prosedural yaitu siapa dan bagaimana kebijakan tersebut diselenggarakan. Ini berarti, kebijakan publik adalah kebikan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.
Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat lima hal yang berhubungan dengan kebijakan publik. Pertama, tujuan atau kegiatan yang berorientasi tujuan haruslah menjadi perhatian utama perilaku acak atau peristiwa yang tiba-tiba terjadi. Kedua, kebijakan merupakan pola model tindakan pejabat pemerintah mengenai keputusan-keputusan diskresinya secara terpisah. Ketiga, kebijakan harus mencakup apa yang nyata pemerintah perbuat, atau apa yang mereka katakan akan dikerjakan. Keempat, bentuk kebijakan publik dalam bentuknya yang positif didasarkan pada ketentuan hukum dan kewenangan. Tujuan kebijakan publik adalah dapat dicapainya kesejahteraan masyarakat melalui produk kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Setiap produk kebijakan haruslah memperhatikan substansi dari keadaan sasaran, melahirkan sebuah rekomendasi yang memperhatikan berbagai program yang dapat dijabarkan dan diimplementasikan sebagaimana tujuan dari kebijakan tersebut. Untuk melahirkan sebuah produk kebijakan, dapat pula memahami konsepsi kebijakan menurut Abdul Wahab yang dipertegas oleh Budiman Rusli (2000:51-52) dimana lebih jauh menjelaskan sebagai berikut :
1.      Kebijakan harus dibedakan dari keputusan. Paling tidak ada tiga perbedaan mendasar antara kebijakan dengan keputusan yakni :
1.). Ruang lingkup kebijakan jauh lebih besar dari pada keputusan Pemahaman terhadap kebijakan yang lebih besar memerlukan penelaahan yang mendalam terhadap keputusan.
2.) Kebijakan biasanya mencakup upaya penelusuran interaksi yang berlangsung diantara begitu banyak individu, kelompok dan organisasi.
3.)  Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari Administrasi. Perbedaan antara kebijakan dengan administrasi mencerminkan pandangan klasik. Pandangan klasik tersebut kini banyak dikritik, karena model pembuatan kebijakan dari atas misalnya, semakin lama semakin tidak lazim dalam praktik pemerintahan sehari-hari. Pada kenyataannya, model pembuatan kebijakan yang memadukan antara top-down dengan bottom-up menjadi pilihan yang banyak mendapat perhatian dan pertimbangan yang realistis.
4.)  Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari Administrasi. Langkah pertama dalam menganalisis perkembangan kebijakan negara ialah perumusan apa yang sebenarnya diharapkan oleh para pembuat kebijakan. Pada kenyataannya cukup sulit mencocokkan antara perilaku yang senyatanya dengan harapan para pembuat keputusan.
5.). Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan. Perilaku kebijakan mencakup pula kegagalan melakukan tindakan yang tidak disengaja, serta keputusan untuk tidak berbuat yang disengaja (deliberate decisions not to act). Ketiadaan keputusan tersebut meliputi juga keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang yang secara sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja menciptakan atau memperkokoh kendala agar konflik kebijakan tidak pernah tersingkap di mata publik.
6.). Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai, yang mungkin sudah dapat diantisipasikan sebelumnya atau mungkin belum dapat diantisipasikan. Untuk memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai pengertian kebijakan perlu pula kiranya meneliti dengan cermat baik hasil yang diharapkan ataupun hasil yang senyatanya dicapai. Hal ini dikarenakan, upaya analisis kebijakan yang sama sekali mengabaikan hasil yang tidak diharapkan (unintended results) jelas tidak akan dapat menggambarkan praktik kebijakan yang sebenarnya.
7.). Kebijakan kebanyakan didefenisikan dengan memasukkan perlunya setiap kebijakan melalui tujuan atau sasaran tertentu baik secara eksplisit atau implisit. Umumnya, dalam suatu kebijakan sudah termaktub tujuan atau sasaran tertentu yang telah ditetapkan jauh hari sebelumnya, walaupun tujuan dari suatu kebijakan itu dalam praktiknya mungkin saja berubah atau dilupakan paling tidak secara sebagian.
8.).Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu. Kebijakan itu sifatnya dinamis, bukan statis. Artinya setelah kebijakan tertentu dirumuskan, diadopsi, lalu diimplementasikan, akan memunculkan umpan balik dan seterusnya.
9). Kebijakan meliputi baik hubungan yang bersifat antar organisasi ataupun yang bersifat intra organisasi. Pernyataan ini memperjelas perbedaan antara keputusan dan kebijakan, dalam arti bahwa keputusan mungkin hanya ditetapkan oleh dan dan melibatkan suatu organisasi, tetapi kebijakan biasanya melibatkan berbagai macam aktor dan organisasi yang setiap harus bekerja sama dalam suatu hubungan yang kompleks.
10.) Kebijakan negara menyangkut peran kunci dari lembaga pemerintah, walaupun tidak secara ekslusif. Terhadap kekaburan antara sektor publik dengan sektor swasta, disini perlu ditegaskan bahwa sepanjang kebijakan  itu pada saat perumusannya diproses, atau setidaknya disahkan atau diratifikasikan oleh lembaga-lembaga pemerintah, maka kebijakan tersebut disebut kebijakan negara.
11.) Kebijakan dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif. Hal ini berarti pengertian yang termaktub dalam istilah kebijakan seperti proses kebijakan, aktor kebijakan, tujuan kebijakan serta hasil akhir suatu kebijakan dipahami secara berbeda oleh orang yang menilainya, sehingga mungkin saja bagi sementara pihak ada perbedaan penafsiran mengenai misalnya tujuan yang ingin dicapai dalam suatu kebijakan dan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut.
Sementara itu Parsons (2006:15), memberikan gagasan tentang kebijakan adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik. Menurutnya kata policy mengandung makna kebijakan sebagai rationale, sebuah manifestasi dari penilaian pertimbangan. Artinya sebuah kebijakan adalah usaha untuk mendefenisikan dan menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.
Selanjutnya Nurcholis (2007:263), memberikan defenisi tentang kebijakan sebagai keputusan suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu, berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan pedoman perilaku dalam hal :
1.    Pengambilan keputusan lebih lanjut, yang harus dilakukan baik kelompok sasaran ataupun (unit organisasi pelaksanaan kebijakan,
2.  Penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan baik dalam hubungan dengan (unit) organisasi pelaksana maupun dengan kelompok sasaran yang dimaksudkan.  Makna kebijakan seperti yang dikutip oleh Jones (1996:47) dalam pandangan Prof Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt, yang menyatakan bahwa kebijakan itu ialah : ―a standing decision characterized by behavior consistency and repetiveness on the part of both thoose who make it and those who abide by it”.
Menurut Jones, bahwa kebijakan adalah keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan (repetiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yag mematuhi keputusan tersebut.
Sekalipun defenisi menimbulkan beberapa pertanyaan atau masalah untuk menilai berapa lama sebuah keputusan dapat bertahan atau hal apakah yang membentuk konsistensi dan pengulangan tingkah laku yang dimaksud serta siapa yang sebenarnya melakukan jumlah pembuat kebijakan dan pematuh kebijakan tersebut, namun demikina defenisi ini telah memperkenalkan beberapa komponen kebijakan publik.
Selanjutnya tentang kebijakan publik Dye (2008:1), mengemukakan : ―Public policy is what ever governments choose to do or not to do”, konsep ini menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Menurutnya bahwa apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuan dan kebijakan negara tersebut harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan semata-mata pernyataan keinginan pemerintah atau pejabatnya. Disamping itu sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan negara. Hal ini disebabkan ‖sesuatu yang tidak dilakukan‖ oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besarnya dengan ‖sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah‖.
Dengan demikian kebijakan menurt Dye, adalah merupakan upaya untuk memahami:
1. Apa yang dilakukan dan atau tidak dilakukan oleh pemerintah,
2. Apa penyebab atau yang mempengaruhinya, dan
3. Apa dampak dari kebijakan tersebut jika dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Kalau konsep ini diikuti, maka dengan demikian perhatian kita dalam mempelajari kebijakan seyogianya diarahkan pada apa yang nyata dilakukan oleh pemerintah dan bukan sekedar apa yang ingin dilakukan. Dalam kaitan inilah maka mudah dipahami jika kebijakan acap kali diberikan makna sebagai tindakan politik. Sehubungan dengan hal tersebut Dunn, (2003:22), mengemukakan bahwa proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis.
Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan diaktualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.
Itulah sebabnya Utomo (2006:76), mengemukakan setiap peraturan daerah, undang-undang maupun kebijakan akan selalu terkait atau dikaitkan atau bahkan dipengaruhi oleh sistem politik, sistem pemerintahan atau suasana politik atau bahkan keinginan power elit pada suatu waktu. Senada dengan hal tersebut (Nugroho, 2003: 7), mengemukakan bahwa kebijakan adalah suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggaran yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan di depan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi.
‘Dari berbagai pengertian yang dikemukakan oleh para pakar di atas, penulis berpendapat bahwa kebijakan publik identik dengan regulasi atau aturan atau dapat diartikan sebagai suatu produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah yang harus dipahami secara utuh dan benar. Kebijakan publik diawali dengan adanya isue yang menyangkut kepentingan bersama dimana dipandang perlu untuk diatur melalui formulasi kebijakan dan disepakati oleh legislatif dan eksekutif untuk ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik, apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah, maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.

5.2. Tingkatan Kebijakan Publik
Kebijakan publik memiliki tingkatan, Nugroho (2006:31), menegaskan bahwa secara sederhana rentetan atau tingkatan kebijakan publik di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni :
1.      Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yaitu (a) UUD1945, (b) UU/Perpu, (c) Peraturan Pemerintah, (d) Peraturan Presiden, dan (e) Peraturan Daerah.
2. Kebijakan Publik yang bersifat (meso) atau menengah, atau penjelas pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, dan Peraturan Walikota. Kebijakannya dapat pula berbentuk Surat Keputusan Bersama atau SKB antar Menteri, Gubernur dan Bupati dan Walikota.
3.   Kebijakan Publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan di atasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota.
Dari gambaran tentang hirarki kebijakan di atas, nampak jelas bahwa kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan Daerah merupakan kebijakan publik yang bersifat strategis tapi belum implementatif, karena masih memerlukan derivasi kebijakan berikutnya atau kebijakan publik penjelas atau yang sering disebut sebagai peraturan pelaksanaan atau petunjuk pelaksanaan.
Terkait dengan hirarki kebijakan secara umum (Abidin (2004:31-34) membedakan kebijakan dalam tiga tingkatan sebagai berikut :
1.   Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.
2.  Kebijakan pelaksanaan, yaitu kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang.
3.   Kebijakan teknis, yaitu kebijakan operasional yang berada dibawah kebijakan pelaksanaan.
Younis (1990:3), membagi kebijakan publik atas tiga tahap yakni : formasi dan desain kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Sedangkan Gortner (1984:30-40), menjelaskan ada lima tahapan dalam proses terjadinya kebijakan, yakni pertama identifikasi masalah, kedua formulasi, ketiga legitimasi, keempat aplikasi dan kelima evaluasi.
Starling (1973:13) menjelaskan adanya lima tahap proses terjadinya kebijakan publik, yakni:
1.     Identification of neds, yaitu mengidentifikasikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam pembangunan dengan mengikuti beberapa kriteria antara lain: menganalisa data, sampel, data statistik, model-model simulasi, analisa sebab akibat dan tehnik-tehnik peramalan.
2.             Formulasi usulan kebijakan yang mencakup faktor-faktor strategik, alternatif-alternatif yang bersifat umum, kemantapan teknologi dan analisis dampak lingkungan,
3.    Adopsi yang mencakup analisa kelayakan politik, gabungan beberapa teori politik dan penggunaan tehnik-tehnik pengangguran.
4.    Pelaksanaan program yang mencakup bentuk-bentuk organisasinya, model penjadwalan, penjabaran keputusan-keputusan, keputusan-keputusan penetapan harga, dan skenario pelaksanaannya, dan
5.   Evaluasi yang mencakup penggunaan metode-metode eksperimental, sistem informasi, auditing, dan evaluasi mendadak.
Charles O. Jones menegaskan bahwa kebijakan publik terdiri dari komponen-komponen :
1.    Goal atau tujuan yang diinginkan,
2.    Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesific untuk mencapai tujuan,
3.    Programs, yaitu upaya-upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan,
4.    Decisions atau keputusan, aitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program.
5.    Efec, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer atau sekunder.
Kaji (2008:10), mengemukakan bahwa terdapat beberapa unsur yang terkandung dalam kebijakan publik sebagai berikut :
1.    Kebijakan selalu mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu.
2.    Kebijakan berisi tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah.
3.    Kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, dan bukan apa yang dimkasud akan dilakukan.
4.    Kebijakan publik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah mengenai sesuatu dalam memecahkan masalah publik tertentu) dan bersifat negatif (keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu).
5.    Kebijakan publik (positif) selalu berdasarkan pada peraturan perundangan tertentu yang bersifat memaksa (otoritatif).
Dengan memahami pendapat para pakar tentang kebijakan tersebut, setidaknya terdapat butir-butir yang merupakan ciri penting dari pengertian kebijakan. Butir-butir tersebut adalah :
1.    Kebijakan adalah suatu tindakan pemerintah yang mempunyai tujuan menciptakan kesejahteraan masyarakat.
2.    Kebijakan dibuat melalui tahap-tahap yang sistematis sehingga semua variabel pokok dari semua permasalahan yang akan dipecahkan tercakup.
3.    Kebijakan harus dapat dilaksanakan oleh (unit) organisasi pelaksana.
4.    Kebijakan perlu dievaluasi sehingga diketahui berhasil atau tidaknya dalam menyelesaikan masalah.
5.    Kebijakan adalah produk hukum yang harus ditatati dan berlaku mengikat terhadap warganya.

6.Model-Model Kebijakan Publik
             Penggunaan model dalam kebijakan publik sangat penting, menurut Thoha, (2010:125) manfaat sebuah model akan tergantung pada kemampuannya untuk menyusun dan menyederhanakan kehidupan politik. Selanjutnya diuraikan oleh Thoha tentang model-model kebijakan publik sebagai berikut:

6.1.   Model Elite (Policy sebagai Preferensi Elite)
Istilah elite menurut kamus adalah bagian yang terpilih atau tersaring. Jika diterapkan dalam kehidupan kelompok, maka elite adalah bagia yang superior secara sosial dari suatu masyarakat. Dan jika diterapkan dalam kehidupan politik, elite adalah bagian atau kelompok tertentu dari suatu masyarakat yang sedang berkuasa. Kalau dalam suatu masyarakat semua bagian atau kelompok secara bersama-sama berkuasa, seperti dalam demokrasi langsung dan dalam prinsip-prinsip kebersamaan dan kebulatan suara (unanimity principle), maka di sini tidak ada elite yang berkuasa atau dengan kata lain tidak ada political elite.
Public policy dalam model elite ini dapat dikemukakan sebagai preferensi dari nilai-nilai elite yang berkuasa. Walaupun sering dikemukakan oleh tokoh-tokoh elite itu sendiri, bahwa public policy yang dianutnya adalah merefleksi dari tuntutan-tuntutan rakyat banyak. Hal tersebut tampaknya lebih memencarkan sebagai mitos dibandingkan dari kenyataan yang sesungguhnya.
Teori model elite sebagaimana dikemukakan oleh Thoha (2010:125) menyarankan bahwa rakyat dalam hubungannya dengan public policy hendaknya dibuat apatis atau miskin akan informasi. Elite secara pasti lebih banyak dan sering membentuk opini masyarakat dalam persoalan-persoalan policy, dibandingkan dangan massa membentuk opini elite. Pejabat-pejabat pemerintah, administrator-administrator dan birokrat hanya melaksanakan policy yang telah dibuat elite tersebut. Policy mengalir dari elite ke massa melalui administrator-administrator tersebut. Bukan sebaliknya berasal dari tuntutan-tuntutan masyarakat.
Teori model elite ini secara singkat Thoha (2010:128) merumuskan sebagai berikut:
1.      Masyarakat dalam suatu negara tertentu dibagi atas dua bagian, yakni bagian yang mempunyai kekuasaan, dan bagian yang tidak mempunyai kekuasaan. Bagian masyarakat yang mempunyai kekuasaan ini jumlahnya sedikit, sedangkan masyarakat yang tidak mempunyai kekuasaan ini jumlahnya banyak. Hanya sejumlah kecil dari bagian masyarakat tersebut yang mengalokasikan nilai-nilai untuk masyarakat banyak. Adapun massa tidak ikut berperan serta memutuskan public policy.
2.      Sekelompok kecil atau beberapa orang yang memerintah adalah bukan mewakili secara tipikal dari massa yang diperintah. Policy mengalir dari kehendak elite melalui para pejabat dan administrator yang melaksanakan policy tersebut dengan sasarannya rakyat banyak. Rakyat banyak menjadi objek dari keinginan-keinginan elite.
3.      Untuk mencapai stabilitas dan menghindari adanya revolusi, maka gerakan-gerakan non elite yang membahayakan posisi elite harus dikendalikan secara kontinu. Hanya non elite yang sudah mau menerima konsensus dasar dari elite yang diperkenankan masuk lingkaran pemerintahan elite.
4.      Elite membagi konsensus atas nama nilai-nilai dasar dari suatu sistem sosial yang ada dan perlindungan dari sistem tersebut. Di Amerika dasar dari konsensus elite adalah dihargainya milik pribadi, adanya batas-batas pemerintahan, dan kemerdekaan pribadi. Di Indonesia dasar konsensus elite adalah falsafah dan dasar negara Pancasila, yang akhir-akhir ini dikenal denga asas tunggal Pancasila.
5.      Public policy bukanlah merefleksi dari tuntutan-tuntutan masyarakat pada umumnya, melainkan agak menonjolkan nilai-nilai kepentingan sekelompok orang yang berkuasa (elite). Perubahan-perubahan dalam public policy lebih bersifat tambal sulam (incremental) daripada bersifat revolusioner.
6.      Elite yang aktif adalah relatif kecil menjadi sasaran dari pengaruh langsung massa yang apatis. Elite lebih banyak mempengaruhi massa dari pada massa mempengaruhi elite.
Rumusan-rumusan teori model elite di atas kiranya dapat dipergunakan sebagai dasar pemahaman model ini dalam public policy. Namun meskipun demikan Thoha membuat suatu pertanyaan apakah implikasi teori model elite tersebut terhadap analisis kebijakan dalam public policy? Pertanyaan di atas dijawab sendiri oleh Thoha sebagai berikut :
1.    Dalam elitisme, public policy lebih banyak mencerminkan kepentingan dan nilai-nilai elite dibandingkan dangan memperhatikan tuntutan-tuntutan rakyat banyak. Oleh karena itu, perubahan dan inovasi di dalam public policy hanyalah dimungkinkan sebagai suatu hasil dari merumuskan kembali nilai-nilai elite tersebut yang dilakukan oleh elite sendiri. Itulah sebabnya elite lalu menjadi konservatif, yakni mereka lebih menyukai bertahan pada suatu sistem yang ada. Maka jika terjadi suatu perubahan dalam public policy, perubahan tersebut dilakukan lebih bersifat tambal sulam dibandingkan daripada bersifat revolusioner. Dalam bentuknya yang realistis public policy sering kali hanya disempurnakan dan jarang dilakukan penggantian.
2.  Pada hakikatnya, terjadinya perubahan dalam sistem politik dan public policy, jika timbul peristiwa-peristiwa yang mengancam suatu sistem yang berjalan. Dalam hal ini elite bertindak dalam basis pemahaman atas kepentingan pribadi. Perubahan-perubahan institusi hanyalah dilakukan untuk melindungi suatu sistem yang ada dan posisi-posisi elite dalam sistem tersebut. Selain itu elite dapat pula bersikap lain yakni memerhatikan kepentingan rakyat. Nilai-nilai dari elite lalu menjadi nilai yang sangat memerhatikan persoalan-persoalan masyarakat (public regarding). Suatu perasaan yang mempunyai kewajiban terhormat dapat mewarnai nilai-nilai elite. Dan kesejahteraan masyarakat merupakan unsur yang amat penting dalam keputusan-keputusan elite. Kalau timbul keadaan seperti ini, maka elitisme itu sebenarnya bukanlah berarti bahwa public policy akan bertentangan dengan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, tanggung jawab untuk mensejahterahkan rakyat terletak pada bahu para elite tersebut bukannya pada masyarakat.
3.      Pandangan kaum elite bahwa massa sebagian besar adalah pasif, apatis, dan miskin informasi. Sentimen-sentimen rakyat acap kali dimanipulasikan oleh elite, bukannya sebaliknya nilai-nilai elite dipengaruhi oleh sentimen rakyat. Dan hampir pada semua bagian, kominikasi antara elite dan rakyat arusnya mengalir secara deras kebawah. Ini berarti rakyat banyak menjadi sasaran dari kehendak elite. Oleh karena itu, adanya suatu lembaga pemilihan umum yang terkenal itu dan adanya kompetisi partai politik tidaklah memungkinkan massa unutk ikut memerintah. Masalah-masalah policy dalam public policy jarang diputuskan oleh rakyat lewat lembaga-lembaga pemilihan dan perwakilan atau melalui hadirnya alternatif-alternatif policy yang diajukan oleh partai-partai politik. Hampir seluruh lembaga-lembaga demokrasi (misalnya, pemilihan umum dan partai politik) dirasakan penting hanya untuk simbol nilai-nilai elite.
4.    Elite menolong mengikat massa pada suatu sistem politik dengan memberikan pada suatu peranan bermain pada hari pemilihan umum, dan adanya partai politik yang dikenal dan diizinkan oleh elite. Pada saat yang terbaik (ini kalau bernasib mujur) massa menurut elitisme hanyalah mempunyai pengaruh yang tidak langsung terhadap perilaku elite dalam membuat policy.
5. Elitisme juga melaksanakan pemerataan dalam konsensus mengenai norma-norma yang fundamental yang berada dalam sistem sosial. Dan elite juga setuju akan dasar ‖aturan main‖, sebagaimana setujunya elite terhadap kelangsungan sistem sosial itu sendiri. Stabilitas dari sistem itu dan juga kehidupannya tergantung pada konsensus elite dalam melaksanakan sistem nilai yang fundamental. Dan hanya alternatif-alternatif policy yang berada dalam batasan ‖meratakan konsensus‖ yang akan diberikan pertimbangan serius.
6.   Sudah barang tentu, elitisme bukanlah berarti bahwa diantara sesama anggota elite. Tidak pernah terjadi ‖tidak sependapat‖ atau tidak pernah ‖bersaing‖ satu sama lain untuk merebutkan superioritas. Justru kalau terjadi persaingan di antara mereka, maka warna persaingannya akan lebih tajam akan tetapi diusahakan tidak akan tampil ke permukaan. Diusahakan kompetisi diantara mereka terpusat pada sekitar batas-batas yang amat sempit, sehingga diantara elite lebih banyak setujunya dibandingkan dari pada tidak setujunya.
Hal-hal yang dapat dipergunakan sebagai dasar konsensus elite antara lain: ‖pemerintahan yang konstitusional‖, ‖prosedur yang demokratis‖, ‖peranan mayoritas‖, ‖kebebasan bersuara dan press‖, ‖kebebasan untuk membentuk partai atau kekuatan oposisi‖,‖ kebebasan untuk memasuki sebagai pegawai dalam kantor-kantor pemerintah tanpa dilihat sal ideologi politiknya‖,‖kesempatan yang sama dalam setiap bagian dari kehidupan ini‖, ‖dihormati milik pribadi‖, dan lain-lainnya. (Thoha, 2010:132).

6.2.    Model Kelompok (Policy sebagai Keseimbangan Kelompok)
Model kedua yang dikemukanan oleh Thoha ( 2010 :132) adalah Model Kelompok (Policy sebagai Keseimbangan Kelompok). Teori kelompok mulai dengan suatu ungkapan bahwa interaksi di antara kelompok adalah fakta sentral dari politik dan public policy. Menurutnya bahwa individu dengan kepentingan-kepentingan mengikat bersama-sama baik formal maupun tidak formal menekankan tuntutan-tuntutannya pada pemerintah. Menurut ahli ilmu politik David Truman suatu kelompok berkepentingan adalah suatu kelompok yang ikut membagi sikap dengan mengajukan tuntutan-tuntutan tertentu atas kelompok lainnya dalam suatu masyarakat untuk kemantapan, pemeliharaan dan kesenangan dari suatu bentuk perilaku yang terdapat dalam sikap-sikap yang dibagikan tersebut.
Kelompok tertentu ini akan menjadi kelompok politik, jika dan manakala kelompok tersebut membuat suatu tuntutan melalui atau tergantung akan institusi pemerintah. Individu-individu amat penting dalam politik hanya ketika mereka bertindak sebagai suatu bagian atau atas nama dari kelompok yang berkepentingan tersebut. Sehingga dengan demikian kelompok merupakan jembatan yang esensial yang menghubungkan antara individu dengan pemerintahnya. Dari hal ini dapat diketahui bahwa politik benar-benar merupakan perjuangan di antara kelompok-kelompok untuk memengaruhi public policy. Adapun tugas kewajiban dari suatu sistem politik adalah untuk mengarahkan konflik kelompok dengan cara:
1. Menetapkan aturan permainan dalam kelompok-kelompok yang sedang berjuang;
2. Mengatur kompromi dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan;
3. Mewujudkan kompromi-kompromi tersebut dalam rupa public policy;
4. Melaksanakan pelaksanaan usaha-usaha dalam kompromi tersebut.
Menurut model teori kelompok ini, public policy pada saat-saat tertentu dan kapanpun, senantiasa merupakan usaha yang menjaga keseimbangan yang dicapai di dalam kelompok yang sedang berjuang
Diuraikan oleh Thoha (2010) keseimbangan ini ditentukan oleh pengaruh relatif dari kelompok-kelompok yang berkepentingan (group interest). Perubahan-perubahan di dalam pengaruh relatif dari setiap kelompok bisa diharapkan untuk menghasilkan perubahan dalam public policy. Policy akan bergerak ke arah yang dikehendaki oleh kelompok yang mendapatkan pengaruh, dan akan menjauh dari keinginan-keinginan dari kelompok yang kehilangan pegaruh.
Pengaruh dari kelompok-kelompok berkepentingan tersebut sebenarnya ditentukan oleh:
·      jumlah keanggotaannya;
·      kesejahteraannya;
·      kekuatan organisasinya;
·      kepemimpinannya;
·      ekses-ekses terhadap pembuatan keputusan;
·      kohesif ke dalam organisasinya.
Model kelompok berusaha menerangkan semua aktivitas-aktivitas politik yang bermanfaat di dalam hubungannya dengan ‖perjuangan kelompok‖. Pembuat keputusan dipandang secara ajek menanggapi tekanan-tekanan dari kelompok dengan cara bargaining, negosiasi, dan kompromi dari tuntutan-tuntutan yang saling bersaing di antara kelompok-kelompok yang berpengaruh.
Suatu contoh yang menarik dari model kelompok ini dikenal dengan sistem koalisi, dikemukakan oleh Thomas R. Dye dengan referensi kehidupan politik di Amerika Serikat. Menurut Dye para politisi berusaha membentuk kelompok koalisi mayoritas. Dalam hal yang sedemikian ini mereka mempunyai beberapa keluasan di dalam menetapkan kelompok manakah yang perlu dimasukkan ke dalam koalisi mayoritas tadi.
Semakin besar lambaga konstitusi dari para politisi, dan semakin besar jumlah kepentingan yang berbeda, maka semakin bebas pula di dalam usaha menyeleksi kelompok-kelompok yang akan membentuk koalisi mayoritas. Di Amerika Serikat anggota kongres mempunyai sedikit fleksibilitas dibandingkan dengan para senator yang mempunyai fleksibilitas yang longgar. Dan presiden lebih mempunyai fleksibilitas yang longgar kalau dibandingkan dengan anggota kongres dan senat.
Partai politik di sana dipandang sebagai kelompok koalisi. Partai Demokrat misalnya, sejak zamannya Roosevelt sampai sekarang dikenal sebagai koalisi dari: buruh, penduduk yang bertempat tinggal di pusat kota, kelompok etnik, pemeluk agama Katholik, orang-orang miskin, kaum intelektual liberal, orang-orang hitam (Negro), dan orang-orang selatan (Texas, Lousiana, Virginia, dan lain-lainnya). Dengan demikian, persoalan-persoalan yang sering timbul yang dihadapi partai demokrat sekarang ini dapat ditelusuri dari kelemahan-kelemahan koalisi ini. Seperti misalnya, persoalan-persoalan ketidakpuasan dari orang-orang selatan, dan konflik-konflik yang senantiasa timbul antara kaum buruh kulit putih dengan orang-orang hitam dan kelompok etnik lainnya. Demikian pula partai republik merupakan koalisi dari penduduk pedesaan dan kota-kota kecil, kelas tengahan, orang-orang kulit putih, pemeluk agama protestan, pekerja-pekerja kulit putih, dan juga warga pinggiran kota.        Semua sistem kelompok berkepentingan itu yakni sistem partai politik itu sendiri, diikat bersama di dalam keseimbangan (equilibirium) oleh beberapa faktor berikut ini sebagaimana dikemukkan oleh Thoha (2010:135),
1.      Ada sekelompok besar bahkan dapat dikatakan mendekati universal bahwa di masyarakat Amerika Serikat terdapat kelompok laten yang mendukung sistem konstitusi dan yang mengutamakan untuk menenangkan ‖aturan bermain‖. Kelompok ini tidak selalu tampak, tetapi dapat diaktifkan untuk mengelola perlawanan dari kelompok yang akan menyerang sistem yang ada dan berkeinginan menghancurkan keseimbangan.
2.  Adanya keanggotaan kelompok yang tumpangsuh (overlapping group membership). Anggota semacam ini dapat menolong untuk memelihara keseimbangan dengan cara mencegah setiap kelompok untuk bergerak terlampau jauh dari nilai-nilai yang dipertahankan. Individu yang menjadi anggota satu kelompok dan juga menjadi anggota kelompok lain, merupakan kenyataan yang dapat melembutkan tuntutan-tuntutan dari kelompok yang satu atas kelompok lain.
3.     Check dan balance yang dihasilkan dari persaingan kelompok dapat juga membantu untuk memelihara keseimbangan dari suatu sistem. Tidak ada kelompok tunggal yang merupakan suatu mayoritas di masyarakat amerika serikat. Kekuasaan dari tiap kelompok dicek oleh kekuasaan dari kelompok-kelompok yang sedang bersaing. Pusat-pusat perimbangan fungsi kekuasaan dipergunakan untuk mengecek pengaruh dari tiap kelompok tunggal, dan untuk melindungi individu dari tindakan sewenang-wenang.

6.3.             Model Kelembagaan (Institution Model)
Akhir-akhir ini struktur pemerintahan dan lembaga-lembaga yang ada telah lama menjadi pusat perhatian dari ilmu politik. Secara tradisional, ilmu politik dirumuskan sebagai suatu studi tentang lembaga-lembaga pemerintahan. Kegiatan-kegiatan politik pada umumnya berpusat disekitar lembaga-lembaga pemerintahan tersebut, seperti misalnya parlemen, kepresidenan, badan kehakiman, pemerintahan daerah, partai politik, dan lain sebagainya. Public policy adalah ditentukan, dilaksanakan, dan dipaksakan secara otoritatif oleh lembaga-lembaga pemerintah.
Lembaga pemerintah memberikan public policy tiga karakteristik antara lain: (Thoha:2010:136)
1. Pemerintah meminjamkan legitimasi kepada kebijaksanaan (policy). Kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah pada umumnya dipandang sebagai kewajiban yang legal yang harus dipatuhi oleh semua warga negara. Rakyat boleh saja memandang kebijaksanaan-kebijaksanaan dari kelompok-kelompok lain misalnya: perusahaan, organisasi-organisasi profesi, majelis ulama, yayasan-yayasan sosial, dan lain sebagainya, sebagai hal yang amat penting dan bahkan bisa mengikatnya. Akan tetapi, hanya policy-policy dari pemerintahlah yang mampu melibatkan semua warga negara untuk mematuhinya sebagai kewajiban yang legal.
2. Policy-policy pemerintah melibatkan universalitas. Hanya policy-policy pemerintah yang mampu memasuki dan menjangkau semua rakyat dalam suatu masyarakat. Tidak ada satu orangpun yang mampu menghindari dari suatu keputusan kebijaksanaan telah diambil oleh pemerintah. Policy yang dibuat oleh organisasi-organisasi lain yang disebutkan di atas, hanya mampu meraih sebagian saja dari masyarakat.
3. Pemerintah memonopoli paksaan dalam masyarakat. Hanya pemerintah yang bisa mengabsahkan tindakan untuk memenjarakan seseorang yang melawan policy-nya. Sangsi yang barangkali akan diberikan oleh organisasi-organisasi lain dalam masyarakat sangat terbatas. Adalah tepat sekali, bahwa pemerintah mempunyai kemampuan-kemampuan memonopoli paksaan untuk memaksakan loyalitas dari semua rakyatnnya, dan mengeluarkan policy-policy yang mengatur seluruh masyarakat. Demikian pula pemerintah berhak memonopoli penggunaan legimitasi untuk memaksakan dan mendorong individu-individu dan kelompok bekerja sesuai dengan preferensi yang ditegaskan dalam policy.
Menurut kelaziman yang tradisional,pendekatan kelembagaan dalam ilmu politik tidaklah memberikan banyak perhatiannya pada hubungan antara struktur lembaga pemerintah dengan isi public policy. Penelaahan kelembagaan biasanya hanya menjelaskan lembaga-lembaga pemerintah secara spesifik, misalnya menjelaskan tentang strukturnya, organisasi, tugas kewajibannya, dan fungsi-fungsi yang dijalankan. Penjelasan-penjelasan tersebut tanpa diikuti secara sistematis meneliti pengaruh karakteristik lembaga-lembaga tersebut dengan hasil-hasil dari suatu policy.
Selain perhatian analisis model kelembagaan di dalam ilmu politik terlalu sempit ia pun tidak produktif. Lembaga-lembaga pemerintah sebenarnya merupakan pola perilaku dari individu-individu dan kelompok yang bentuk kerangkanya sudah jelas dan dapat dilihat sebelumnya.
Dengan pola kerangka ini dimaksudkan bahwa pola-pola perilaku ini cenderung untuk tetap berlaku begitu saja selamanya. Pola-pola perilaku individu dan kelompok yang stabil dapat memengaruhi isi public policy. Lembaga-lembaga yang sudah demikian mempolanya barangkali bisa dipergunakan untuk memudahkan menghasilkan policy dan menolak hasil-hasil policy lain.
Lembaga-lembaga semacam ini dapat pula memberikan keuntungan kepada kelompok berkepentingan tertentu dalam masyarakat dan dapat pula menunda keuntungan-keuntungan tersebut pada pihak-pihak lainnya. Individu-individu dan kelompok-kelompok tertentu dapat pula lebih menikmati dari ekses-ekses kekuasaan pemerintah di dalam tatanan sifat-sifat struktural dibandingkan dengan tatanan-tatanan lainnya.
Dengan singkat, struktur lembaga-lembaga pemerintah dapat mempunyai akibat yang penting terhadap public policy. Pendekatan kelembagaan tidaklah perlu berpandangan sempit dan deskriptif. Kita dapat mempertanyakan apakah ada hubungan-hubungan antara perangkat institusional dengan bobot isi dari public polcy. Dan kita juga dapat meneliti hubungan-hubungan ini dalam suatu bentuk perbandingan yang sistematis. Suatu contoh dalam suatu bidang masalah-masalah pedesaan dapat dipertanyakan sebagai berikut sebagaimana dikemukakan oleh Thoha, 2010:138)
·         Apakah policy pemerintah pusat (misalnya departemen dalam negeri, menteri perumahan, dan barangkali pula departemen pekerjaan umum), lebih banyak memerhatikan dan menanggapi masalah-masalah pembangunan pedesaan ataukah hanya memikirkan pemerintahan daerah saja secara umum?
·         Bagaimanakah pembagian tanggung jawab yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah tentang pembangunan pedesaan tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini dapat dipergunakan sebagai alat analisis yang sistematis dalam mencari hubungan antara pengaturan lembaga-lembaga pemerintahan dengan bobot dari isi public policy. =
Adalah penting diingat bahwa pengaruh pengaturan kelembagaan dalam public policy merupakan persoalan empiris yang membutuhkan penelitian lebih lanjut. Sering kali dijumpai bahwa orang-orang melupakan penelitian ini. Pembaru-pembaru yang bersemangat untuk melakukan pembaruan acap kali terperangkap pada salah duga yang apriori.
Mereka beranggapan bahwa perubahan dalam kelembagaan akan mengakibatkan juga perubahan-perubahan dalam kelembagaan akan mengakibatkan juga perubahan dalam kebijaksanaan. Padahal kenyataan tidak mesti demikian. Itulah sebabnya menurut Thoha (2010) kehati-hatian amat dibutuhkan untuk dapat mengamati dengan teliti hubungan antara struktur kelembagaan dengan isi public policy.
Dengan penelitian akan diperoleh pengetahuan bahwa baik struktur lembaga ataupun isi public policy dapat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang ada dalam lingkungan. Demikian pula akan diketagui bahwa pengaturan-pengaturan lembaga tersebut akam memberikan pengaruh yang kecil terhadap public policy jika kekuatan-kekuatan lingkungan seperti misalnya: kekuatan sosial, ekonomi dan politik tetap ajek.

6.4. Model Proses (Policy Sebagai Suatu Aktivitas politik)
Thoha (2010) menguraikan panjang lebar tentang proses politik dan perilaku telah lama menjadi pusat perhatian ilmu politik pada beberapa dasawarsa belakangan ini. Perilaku politik yang tergolong modern sejak perang dunia II telah mempelajari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh para pemilih, kelompok-kelompok berkepentingan, pembuat undang-undang, presiden, birokrat, badan-badan peradilan, dan pelaku-pelaku politik lainnya.
Salah satu tujuan utama yang diinginkan adalah untuk menemukan suatu pola aktivitas atau proses yang mudah diidentifikasikan. Akhir-akhir ini beberapa ahli ilmu politik telah mencoba untuk mengelompokkan berbagai aktivitas menurut hubungannya dengan public policy.
‘Hasilnya ialah adanya serangkaian proses policy yang biasanya mengikuti pola umum sebagai berikut:
1.      Identifikasi persoalan-persoalan.
2.      Tuntutan-tuntutan untuk kegiatan pemerintah.
3.      Perumusan Usul-usul Policy
4.      Prakarsa dan pengembangan usulan-usulan program pemerintah.
5.      Pengesahan Policy.
6.      Memilih suatu usulan, pembentukan dukungan politik untuk usulan tersebut, dan mengesahkan itu sebagai undang-undang hukum.
7.      Pelaksanaan Policy.Penataan birokrasi, penyediaan gaji dan pelayanan-pelayanan, dan penetapan-penetapan pajak.
8.      Evaluasi Policy.
Penganalisisan tentang program-program, evaluasi hasil-hasil dan pengaruhnya, dan menyarankan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian.  Dengan demikian, public policy dilihat dari model proses ini sebagai suatu rangkaian kegiatan-kegiatan politik mulai dari identifikasi masalah, perumusan, pengesahan, pelaksanaan dan evaluasi policy.
Proses pembuatan kebijaksanaan sebagai suatu kerangka analisis dikemukakan oleh Charles O. Jones dalam tabel sebagai berikut:  Model proses hanya menekankan bagaimana tahapan aktivitas yang dilakukan di dalam menghasilkan public policy. Model ini kurang memerhatikan isi subtansi dari policy yang bakal di buat. Dengan demikian, sebagian ahli mengatakan bahwa pandangan-pandangan dari model proses ini terlalu sempit dibandingkan dengan model yang lain. Walaupun dikatakan sempit, model ini bagaimanapun mempunyai kegunaan yang besar untuk mengetahui dan memahami aneka macam kegiatan yang terlibat dalam proses pembuatan policy.

Tabel 1:
Proses Policy suatu Kerangka Analisis (Thoha,2010:140) Aktivitas-Aktivitas Fungsional

Pengelompokkan dalam Pemerintahan

Suatu Sistem

Hasil
Persepsi Definisi Agrogasi Organisasi Reprenstatif
Formulasi Legitimasi Apresiasi
Organisasi, Interpretasi Aplikasi
Spesifikasi pengukuran analisis
Resolusi terminasi
Persoalan-persolan Untuk Pemerintah
Tindakan-tindakan dalam pemerintahan
Dari pemerintahan untuk masalah
Program untuk pemerintah
Masalah resolusi perubahan
Identifikasi Persoalan
Pengembangan Program
Pelaksanaan Program
Evaluasi program
Terminasi program
Persoalan Untuk tuntutan
Usul-usul untuk program anggaran
Bermacam-macam (antara lain:pelayanan, gaji, fasilitas, kontrol, dsb
Bermacam-macam (antara lain: justifikasi, rekomendasi,dll
Pemecahan atau perubahan


DAFTAR PUSTAKA.
Abdul Wahab, Solichin, 1997, Analisis Kebijaksanaan, Dari Formulasi Keimplementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta, Penerbit PT Bumi Aksara
Abidin, Said Zainal, 2004, Kebijakan Publik, Jakarta Pancar Siwah.
Adimihardja, Kusnaka & Hikmat, Harry. 2003. Participatory Research Appraisal. Pengabdian dan Peberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora
Anderson, James, A. 1997. Public Policy Making Third Edition, USA, Penerbit Houghton Miffin Company
A.R. Mustapadijaja. 1992. Studi Kebijaksanaan, Perkembangan dan Perepannya dalam Rangka Administrasi dan Manajemen Pembangunan. Jakarta, LP-FEUI.
Arief, Syaiful, 2006, Demokrasi: sejarah, praktik, dan dinamika pemikiran Averroes Press, Jakarta.
Chandra, Eka, dkk. 2003. Membangun Forum Warga. Implementasi Partisipasi dan Penguatan Masyarakat Sipil. Bandung: Akatiga.
Dye R Thomas. 2008. Understanding Public Policy. Pearson Education' Upper Saddle River' NewJersey
Dun, Willian N, 1981. Public Policy Analysis : An Intruduction, Prentce_Ha, Inc, Englewood Cliffs, N.J.07632. USA
……………….., 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. (Diterjemahkan oleh: Samodra Wibawa.dkk.) Yogyakarta: Gaja Mada University Pres.
Edwar III, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington, DC,Congressional Quarterly Press
Gaventa, John dan Valderama, Camilo. 2001. Mewujudkan Partisipasi: Teknik Partisipasi Masyarakat untuk Abad 21. The British Council dan New. Economics Foundation. 210
Gaventa, John. 2002. Kewargaan, Partisipasi dan Akuntabilitas (Sebuah Pengantar). Online(http//www.
 Gortner, Harold F. 1984. Adinistration in The Public Sector. New York, Jhon Willy
Hamengkubuwono ke X, Sultan. 2007. Merajut Kembali ke Indonesia Kita. Gramedia Jakarta: Pustaka Umum.
Hatifah Sj. Sumarto. 2004. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatisi di Indonesia. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Hidayat, Misbah.L. 2007. Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Islamy, Irfan, M. 1994. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Islam, Roumeen. 2006. Does More Transparency Go Along With Better Governance, Jurnal Compilation, Black Whell Publishing Ltd. 9600 Garsingtoon Road, Oxford, USA
John Pffifner dan Robert V. Presthus, 1960, Public Administration, The Ronald Press Company New York
Jones, Charles O.1996. Pengantar Keijakan Publik (Publik Policy) Terjemahan Rick Ismanto, Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada.
Kadji, Yulianto.2008. Impelemntasi Kebijakan Publik melalui MSN Aprproach, Jurnal Teknologi dan Manajemen Indonesia, Volume 6 Edisi Khusus Juli 2008, Univesrsitas Merdeka Malang  .2008. Implementasi Kebijakan: Dalam Perspektif Realitas, Tulung Agung: Cahaya Abadi
Keban, Yeremias, T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori dan Isu, Penerbit Gaya Media Yogyakarta. 211
Koontz, Harold and Cryill O‖Donnel. 1972, Principle of Management an Analysis of Management Function, 5th Edition, New York. Mc Graw-Hill Book Company
Krina P, Lalolo, Loina. 2003. Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan Pertisipasi. 9Online (http//www.goodgovernance-bappenas.go.id/konsep files/good%20governance.pdf,) Diakses, 06 November 2006.
Lewis, Phillip, Organizational Communication, Columbus, Ohio: Grid Publishing, Inc, 1980
http.www. transparansi.or.id. Masyarakat Transparansi. 2007. Diakses, 10 April 2009.
]Manan. Bagir.1995, Sistem dan Tehnik Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan Tingkat Daerah, Pusat Penerbitan Universitas LPPM- Universitas Islam Bandung, Bandung
Mardiasmo, 2002, Otonomi Dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, Andi
Majchrzak,Ann. 1984. Methods For Policy Research, (Applied Social Research Methods Series 3), SAGE Publication 275 South Beverly Drive Beverly Hills, California
Miles, B. Matthew dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. (Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI-Press
Muhyadi. 1989. Organisasi: Teori, Struktur dan Proses. Jakarta: Proyek Pengembangan LPTK.
Mustopadidjaja , AR. 2003.Manajemen Proses Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi Kinerja. Jakarta: Penerbit LAN.
Na‘a Suprin, 2004, Perda dalam Perspektif Ilmu Perundang-Undangan, Palu, Tadulako University Press.
Naihasya, Syahrir. 2006. Kebijakan Publik Menggapai Masyarakat Madani. Jogyakarta: Mida Pustaka.
Nakamura, Robert. T and Frank Smallwood, 1980, The Politics of Policy Implementation, New York, St. Martin‘s Press. 212
Nugroho, D, Riant. 2003. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo .2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Nurcholis, Hanif. 2007. Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Oliver, Richard W. 2004. What is Transparency, Published by McGraw-Hill Professional Patton, Michael, Quinn. 2001. Qualitative Research & Evaluation Methods, Edition 3,Sage Publication Inc. 2455, Teller Road, Thousand Oaks, California
Parsons, Wayne. 2006. Public Policy: Pentgantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Dialihbahasakan oleh Tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta: Kencana.
Repley Randall B. 1985. Policy Analysis In Pilical Science. Cicago : Nelson Hall Inc
Rosyada, Dede, dkk, 2003, Demokrasi Hak Azasi Manusiadan Masyarakat, Jakarta
Rusli, Budiman, 2000. Pola Kebijakan Publik tentang Kerjasama antar Pemerintah Kotamadya dan Kabupaten Daerah Tingkat II Cirebon dalam Pembangunan Prasarana Kota Terpadu Cirebon Raya, Bandung;Pascasarjana UNPAD
Salusu, Jonathan. 2003. Pengambilan Keputusan Strategik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. Jakarta: Grasindo.
Sastroputro, R.A. Santoso. 1988. Partisipasi, Komunikasi, Persuasif idan Disiplin dalam Pembangunan Nasional. Bandung: Alumni.
Saud, Udin Syaefudin, Pengembangan Profesi Guru, Jakarta, CV Alfabeta, 213
Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) dalam Rangka Otonomi Daerah, Bandung, CV. Mandar maju.
Siagian, Sondang, P, 1996, Filsafat Administrasi, Gunung Agung, Jakarta
Syafiie, Inu Kencana. 2006. Ilmu Administrasi Publik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Shafritz, j.M. and E.W.Russel. 1997. Introducing Public Administration. New York: Addison-Wesley Educational Publishers.
Smith, Rex Deighton. 2004. Regulatory Transparency in OECD Countries : Overview, Trends a,d Challenges. Australian: Journal of Public Administration
Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi. Jogyakarta : Pustaka Pelajar
Sugandha, Dann. 1989. Administrasi, Strategi, Taktik dan Penciptaan Efisiensi. Jakarta: Intermedia.
Suhirman. 2003. Partisipasi Dalam Pembuatan Kebijakan: Analisis Atas Kerangka Hukum dan Praktek Pembuatan Kebijakan Ketenagakerjaan. Online (http//www.pegasus.or.id/Reports/129)%20Paper-Suhirman.pdf). Diakses, 15 Februari 2007.
Sinambela, Poltak, Lijan. Dkk. 2006. Reformasi Pelayanan Publik. Teori, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Sudjarwo. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Mandar Maju.
Stillman II, Richard J, 1992, Public Admnistraion ( Concepts and Cases), Houghton Miffin Company, Boston, USA
Straus, Ansel L dan Yulief Corbin. 1990. Basic of Qualitative Research. . London: Sage Publication.
Tangkilisan, S Nogi, Hessel. 2002. Evaluasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Balirung & Co.. 2003. Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta:Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI). 214
 

[1]Hessel Nogi S. Tangkilisan, MSi, “Teori dan Konsep Kebijakan Publik” dalam Kebijakan Publik yang Membumi, konsep, strategi dan kasus, Yogyakarta : Lukman Offset dan YPAPI, 2003, hal 1.
[2] Ibid, hal 2
[3] Ibid, hal 2
[4] Ibid, hal 2
[5] Ibid, hal 2
[6] Ibid, hal 3
[7] Ibid, hal, 3
[8] Ibid, hal 3
[9] Budi Winarno, “Apakah Kebijakan Publik ?” dalam Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta : Media Pressindo, 2002, hal 15.
[10] Ibid, hal 10-15
[11] Ibid hal 16.
[12] Ibid, hal 16.
[13] Ibid, hal 16
[14]Arifin Tahir Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Universitas Gorontalo, Dalam buku yang diterbitkan PT Pustaka Indonesia Press. 2011.


2 komentar:

Unknown mengatakan...

Nama : Indah Rizqianti
Nim : A1011131157
Kelas : E
Reguler : A
Semester : 3
Mata kuliah : HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Nama dosen : - Turiman, SH.M.Hum
- Dr. H.M.Syafe’I SH.MH
Saya akan mengomentari artikel pada blog milik bapak Turiman SH.M.hum yang berjudul Kebijakan Publik Dalam Konsep Administrasi Negara. Menurut saya artikel ini sangat menarik untuk dijadikan sebagai pemahaman terhadap masalah kebijakan publik didalam konsep administrasi Negara. Penjelasan nya sangat detail juga disertai dengan literature-literatur yang digunakan dalam penulisan artikel di blog bapak ini.
Menurut saya, kebijakan yaitu suatu kata yang menggambarkan keharusan sesuatu yang dilaksanakan dengan bijak, tegas dan tepat. Didalam bacaan ini terdapat pengertian kebijakan menurut Hoogerwerf dalam Sjahrir pada hakekatnya pengertian kebijakan adalah “Semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan upaya untuk memecahkan, mengurangi, mencegah suatu masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah.
Sedangkan kebijakan publik adalah suatu kegiatan tegas yang dilakukan oleh pemerintah sebagai acuan untuk masyarakat luas. Saya lihat pengertian kebijakan publik menurut Chandler dan Plano (1988) Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Pengertian kebijakan publik menurut Chandler dan Plano dapat diklasifikasikan kebijakan sebagai intervensi pemerintah. Dalam hal ini pemerintah mendayagunakan berbagai instrumen yang dimiliki untuk mengatasi persoalan publik.
Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah, yang setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
Dan yang terakhir yaitu konsep administrasi Negara itu sendiri, menurut saya dari kelseluruhan yang telah saya baca dan pahami bahwa kebijakan publik dalam konsep administrasi Negara yaitu kebijakan kebijakan inilah yang mengatur jalannya suatu konsep pemerintahan atau suatu konsep administrasi Negara yang fungsinya akan dipublikan kepada masyarakat atau publik kembali.
Sekian komentar saya, terhadap blog bapak ini. Terimakasih

Teresa Dwi Octavia mengatakan...

NAMA :Teresa Dwi Octavia
NIM : A1011131012
ANGKATAN : 2013
MATA KULIAH : Hukum Administrasi Negara
KELAS : E (Reguler A)
Pembahasan : KEBIJAKAN PUBLIK DALAM KONSEP ADMINISTRASI NEGARA
(Studi Perkembangan Teoretik Tentang Kebijakan Publik Dan Administrasi Negara Sebagai Dasar Memasuki Hukum Administrasi Negara)

Pertama-tama saya ucapkan terima kasih atas apa yang telah tertuan di dalam blog bapak ini. Pembahasannya sangat bagus dan berguna bagi saya untuk dikedepannya. Apabila kita melihat literatur kepustakaan yang sudah diketahui oleh umum, kata kebijakan diterjemahkan dari bahasa Inggris yaitu policy. Istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjukkan perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Dalam arti yang luas policy mempunyai dua aspek pokok. Pertama, policy merupakan praktek sosial, ia bukan event yang tunggal atau terisolir. Dengan demikian sesuatu yang dihasilkan pemerintah berasal dari segala kejadian dalam masyarakat. Kedua, policy merupakan dorongan atau incentive bagi pihak-pihak yang sudah bersepakat menentukan tujuan bersama tersebut untuk bersama-sama bekerja secara rasional. Kebijakan ini sangat dipeerlukan di dalam sebuah negara, agar negara yang tercipta itu memiliki suatu potensi yang baik dan dapat mengembangkan wilayah dalam negara itu. Tanpa ada kebijakan bisa saja negara dapat menjadi puing-puing rongsokan yang diinjak-injak orang. Sekian komentar dari saya, lebih kurangnya saya ucapkan terima kasih.

Posting Komentar