KEBIJAKAN
PUBLIK DALAM KONSEP ADMINISTRASI NEGARA
Oleh:Turiman
Fachturahman Nur
1.Pengertian Kebijakan
Publik.
Jika kita
menelusuri dalam
literatur kepustakaan yang sudah diketahui oleh umum, kata kebijakan
diterjemahkan dari bahasa Inggris yaitu policy. Istilah kebijakan atau policy
digunakan untuk menunjukkan perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat,
suatu kelompok maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu
bidang kegiatan tertentu.
Dalam arti yang luas policy mempunyai dua aspek
pokok. Pertama, policy merupakan praktika sosial, ia bukan event
yang tunggal atau terisolir. dengan demikian sesuatu yang dihasilkan pemerintah
berasal dari segala kejadian dalam masyarakat. Kedua, policy merupakan dorongan
atau incentive bagi pihak-pihak yang sudah bersepakat menentukan tujuan
bersama tersebut untuk bersama-sama bekerja secara rasional. Maka dari
dua aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa policy disatu pihak dapat
berbentuk suatu usaha yang kompleks dari masyarakat untuk kepentingan
masyarakat, di lain pihak policy merupakan suatu teknik atau cara untuk
mengatasi konflik dan menimbulkan insentif.
Istilah kebijakan atau sebagian orang mengistilahkan
kebijaksanaan seringkali disamakan pengertiannya dengan policy. Hal
tersebut barangkali dikarenakan sampai saat ini belum diketahui terjemahan yang
tepat istilah policy ke dalam Bahasa Indonesia. Menurut Hoogerwerf dalam
Sjahrir pada hakekatnya pengertian kebijakan adalah “Semacam jawaban terhadap
suatu masalah, merupakan upaya untuk memecahkan, mengurangi, mencegah suatu
masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah” (Hoogerwerf
dalam Sjahrir 1988, 66).
James E. Anderson (1978, 33), memberikan rumusan
kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi
pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Dari
beberapa pengertian tentang kebijakan yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan
tersebut, kiranya dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya studi
tentang policy (kebijakan) mencakup pertanyaan : what, why, who,
where, dan how
Ada
banyak definisi mengenai apa itu kebijakan publik. Definisi mengenai apa itu
kebijakan publik mempunyai makna yang berbeda-beda, sehingga
pengertian-pengertian tersebut dapat diklasifikasikan menurut sudut pandang
masing-masing penulisnya.
Berikut ini beberapa definisi tentang
kebijakan publik :
Chandler
dan Plano ( 1988 )[1]
Kebijkan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya
sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah.
Kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus
menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam
masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan
secara luas. Pengertian kebijakan publik menurut Chandler dan Plano dapat
diklasifikasikan kebijakan sebagai intervensi pemerintah. Dalam hal ini
pemerintah mendayagunakan berbagai instrumen yang dimiliki untuk mengatasi
persoalan publik.
Thomas R. Dye ( 1981 )[2]
Kebijakan publik dikatakan sebagai apa yang tidak dilakukan maupun apa yang
dilakukan oleh pemerintah. Pokok kajian dari hal ini adalah negara. Pengertian
ini selanjutnya dikembangkan dan diperbaharui oleh para ilmuwan yang
berkecimpung dalam ilmu kebijakan publik. Definisi kebijakan publik menurut
Thomas R. Dye ini dapat diklasifikasikan sebagai keputusan ( decision making ),
dimana pemerintah mempunyai wewenang untuk menggunakan keputusan otoritatif,
termasuk keputusan untuk membiarkan sesuatu terjadi, demi teratasinya
Easton ( 1969 )[3]
Kebijakan publik diartikan sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk
seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam hal ini hanya pemerintah
yang dapat melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut
merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan
bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. Definisi kebijakan
publik menurut Easton ini dapat diklasifikasikan sebagai suatu proses
management, yang merupakan fase dari serangkaian kerja pejabat publik. Dalam
hal ini hanya pemerintah yang mempunyai andil untuk melakukan tindakan kepada
masyarakat untuk menyelesaikan masalah publik, sehingga definisi ini juga dapat
diklasifikasikan dalam bentuk intervensi pemerintah.
Anderson ( 1975 )[4] Kebijakan publik adalah sebagai
kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badanbadan dan pejabat-pejabat
pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan tersebut adalah :
Kebijakan
publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang
berorientasi pada tujuan.
Kebijakan
publik berisi tindakan-tindakan pemerintah.
Kebijakan
publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah jadi bukan
merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan.
Kebijakan
publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan
pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam
arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.
Kebijakan
pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan
perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
Definisi
kebijakan publik menurut Anderson dapat diklasifikasikan sebagai proses
management, dimana didalamnya terdapat fase serangkaian kerja pejabat publik
ketika pemerintah benar-benar berindak untuk menyelesaikan persoalan di
masyarakat. Definisi ini juga dapat diklasifikasikan sebagai decision making
ketika kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif ( tindakan
pemerintah mengenai segal sesuatu masalah ) atau negatif ( keputusan pemerintah
untuk tidak melakukan sesuatu ).
Woll
(1966)[5]
Kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah
di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat. Adapun pengaruh dari tindakan pemerintah
tersebut adalah :
Adanya
pilihan kebijakan yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah atau yang
lainnya yang bertujuan menggunakan kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan
masyarakat.
Adanya
output kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan pada level ini Menuntut
pemerintah untuk melakukan pengaturan, penganggaran, pembentukan personil dan
membuat regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan
masyarakat.
Adanya
dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan yang mempengaruhi
kehidupan masyarakat.
Definisi
kebijakan publik menurut Woll ini dapat diklasifikasikan sebagai intervensi
pemerintah ( intervensi sosio kultural ) yaitu dengan mendayagunakan berbagai
instrumen untuk mengatasi persoalan publik. Definisi ini juga dapat
diklasifikasikan sebagai serangkaian kerja para pejabat publik untuk menyelesaikan
persoalan di masyarakat.
Jones
( 1977 )[6] Jones
menekankan studi kebijakan publik pada dua proses, yaitu :
Proses-proses
dalam ilmu politik, seperti bagaimana masalah-masalah itu sampai pada
pemerintah, bagaimana pemerintah mendefinisikan masalah itu, dan bagaimana
tindakan pemerintah.
Refleksi
tentang bagaimana seseorang bereaksi tehadap masalah-masalah, terhadap
kebijakan negara, dan memecahkannya.
Menurut
Charles O. Jones ( 1977 ) kebijakan
terdiri dari komponen-komponen :
Goal
atau tujuan yang diinginkan.
Plans
atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan.
Program,
yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan.
Decision
atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan, membuat
rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program.
Efek,
yaitu akibat-akibat dari program ( baik disengaja atau tidak, primer atau
sekunder ).
Jones memandang kebijakan publik sebagai suatu
kelanjutan kegiatan pemerintah di masa lalu dengan hanya mengubahnya sedikit
demi sedikit. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making,
yaitu ketika pemerintah membuat suatu keputusan untuk suatu tindakan tertentu.
Klasifikasi ini juga dapat didefinisikan
sebagai
intervensi negara dengan rakyatnya ketika terdapat efek dari akibat suatu program
yang dibuat oleh pemerintah yang diterapkan dalam masyarakat.
Heclo
(
1972 )[7] Heclo menggunakan istilah kebijakan secara
luas, yakni sebagai rangkaian pemerintah atau tidak bertindaknya pemerintah
atas sesuatu masalah. Jadi lebih luas dari tindakan atau keputusan yang
bersifat khusus. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making
yaitu apa yang dipilih oleh pemerintah untuk mengatasi suatu masalah publik,
baik dengan cara melakukan suatu tindakan maupun untuk tidak melakukan suatu
tindakan.
Henz
Eulau dan Kenneth
Previt ( 1973 )[8]
Merumuskan kebijakan sebagai keputusan yang tetap, ditandai oleh kelakuan yang
berkesinambungan dan berulang-ulang pada mereka yang membuat kebijakan dan yang
melaksanakannya. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making
yaitu ketika pemerintah memilih untuk membuat suatu keputusan ( to do ) dan harus dilaksanakan oleh
semua masyarakat.
Robert
Eyestone[9]
Secra luas kebijakan publik dapat didefinsikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah
dengan lingkungannya. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai governance,
dimana didalamnya terdapat interaksi negara dengan rakyatnya dalam rangka mengatasi persoalan
publik.
Richard
Rose[10] Kebijakan hendaknya dipahami sebagai
serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta
konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu
keputusan tersendiri. Kebijakan ini dipahami sebagai arah atau pola kegiatan
dan bukan sekedar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu. Definisi ini dapat
diklasifikasikan sebagai intervensi negara dengan rakyatnya dalam rangka
mengatasi persoalan publik, karena melalui hal tersebut akan terjadi perdebatan
antara yang setuju dan tidak setuju terhadap suatu hasil kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah.
Carl
Friedrich[11]
Ia memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkup tertentu, yang memberikan
hambatan-hambatan dan kesempatan kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan
untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau
merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Definisi ini dapat
diklasifikasikan sebagai intervensi pemerintah ( intervensi sosio kultural ) dengan
mendayagunakan berbagai instrumen ( baik kelompok, individu maupun pemerintah )
untuk mengatasi persoalan publik.
James Anderson[12]
Kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh
seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan.
Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai intervensi pemerintah ( intervensi
sosio kultural ) yaitu dengan mendayagunakan berbagai instrumen untuk mengatasi
persoalan publik.
Amir Santoso[13] Pada
dasarnya pandangan mengenai kebijakan publik dapat dibagi kedalam dua kategori,
yaitu :
Pendapat ahli yang menyamakan kebijakan
publik sebagai tindakantindakan pemerintah.Semua tindakan pemerintah dapat
disebut sebagai kebijakan publik. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai
decision making dimana tindakan-tindakan pemerintah diartikan sebagai suatu kebijakan.
Pendapat
ahli yang memberikn perhatian khusus pada pelaksanaan kebijakan. Kategori ini
terbagi dalam dua kubu, yakni :
Mereka yang memandang kebijakan publik
sebagai keputusankeputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksudmaksud tertentu
dan mereka yang menganggap kebijakan publik sebagai memiliki akibat-akibat yang
bisa diramalkan atau dengan kata lain kebijakan publik adalah serangkaian
instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang
menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Definisi
ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making oleh pemerintah dan dapat
juga diklasifikasikan sebagai interaksi negara dengan rakyatnya dalam mengatasi
persoalan publik.
Kebijakan publik terdiri dari rangkaian
keputusan dan tindakan. Kebijakan publik sebagai suatu hipotesis yang
mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bisa diramalkan (
Presman dan Wildvsky ). Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai decision
making dimana terdapat wewenang pemerintah didalamnya untuk mengatasi suatu
persoalan publik. Definisi ini juga dapat diklasifikasikan sebagai intervensi
antara negara pada suatu masyarakat.
Menjadi menarik ketika pengertian
Kebijakan Publik dikaitkan dengan Perkembangan Konsep Administrasi Negara dan
paradigma administrasi negara ke administrasi Publik. Berikut ini sebuah
paparan menarik apa yang dipaparkan oleh Dr Arifin Tahir dalam tulisannya Kebijakan
Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Universitas
Gorontalo, 2011, dalam buku yang diterbitkan PT Pustaka Indonesia Press.
Paparan ini bisa dijadikan referensi ketika membahas hukum administrasi
negara ketika membahas kebijakan Pemerintah ketika merumuskan kebijakan-kebijakan
yang bersifat publik.
2.Konsep
Administrasi Negara[14]
Konsep administrasi negara,
akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan dari para ahli terutama dalam
penggunaan istilah administrasi negara atau administrasi publik. Hal ini
disebabkan adanya pergeseran titik tekan dari Administration of Public ke
Adminsitrtion by Public dimana dalam Administration of Public negara
sebagai agen tunggal dalam menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan atau
kepemerintahan. Konsep ini menekankan fungsi negara/pemerintahan lebih berfokus
public service (pelayanan publik) atau disebut Adminsitration for Public).
Sementara Administration by Public menurut
Utomo (2008:7) berorientasi bahwa publik demand are differetianted, dalam
arti fungsi negara/pemerintah hanyalah sebagai fasilitator, katalisator yang
bertitik tekan pada putting the customers in the driver set. Dimana
menurut Utomo bahwa determinasi Negara/Pemerintahan tidak lagi merupakan faktor
utama atau sebagi driving forces.
Penjelasan Utomo di atas
memberikan pencerahan terhadap makna istilah Administrasi Negara dimana telah
terjadi perubahan makna public sebagai negara menjadi public sebagai
masyarakat. Artinya bahwa pendekatan yang dilakukan dalam disiplin ilmu ini
bukan lagi kepada negara tetapi kepada masyarakat. Itulah sebabnya mengapa
akhir-akhir ini istilah Administrasi Negara telah menjadi Administrasi Publik.
Untuk itu penulis mengemukakan
beberapa pengertian dari berbagai ahli tentang istilah administrasi publik.
Istilah ini sangat beragam tergantung dari perspektif mana para ahli melihatnya
apakah menggunakan istilah Administrasi Negara atau Administrasi Publik:
- Administrasi negara ialah keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh seluruh aparatur pemerintahan dari suatu negara dalam usaha mencapai tujuan negara. (Siagian, 1996;8)
- Doglas dalam Stillman (1992:2) mengemukakan ‖Public administration is the produced of good and service designed to serve the need of citizen”
- Menurut Chandler dan Plano dalam Keban (2008:3), mengemukakan bahwa administrasi publik adalah proses dimana sumberdaya dan personel publik diorganisir dan dikoordinasikan untuk memformulasikan, mengimplementasikan dan mengelola (manage) keputusan-keputusan dalam kebijakan publik.
- Dubnick and Romzek (1991), Thea practice of public policy administration involves the dynamic reconciliation of various forces in government‟s efforts to manage public and program.
- Menurut John M. Pffifner dan Robert V. Presthus (1960:4,5,6) mengemukakan sebagai berikut
- Public Administration involve the implementation of public policy which has been determine by representative political bodies. Artinya bahwa administrasi negara meliputi implementasi kebijaksanaan pemerintah yang telah ditetapkan oleh badan-badan perwakilan politik
- Public Administration may be defined as the coodination of individual and group effort to carry out public policy. It mainly occupied with the dayti work of government. Artinya bahwa administrasi negara dapat didefenisikan sebagai koordinasi usaha-usaha perorangan dan kelompok untuk melaksanakan kebijakan pemerintah. Hal ini terutama meliputi pekerjaan sehari-hari pemerintah.
- In sum, public administration is process concerned with carryng out public policies, encompassing, innumerable skills and techniques large number of people. Artinya. Secara ringkas administrasi negara adalah suatu proses yang bersangkutan dengan pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah, pengarahan kecakapan dan tehnik yang tidak terhingga jumlahnya, memberikan arah dan maksud terhadap usaha sejumlah orang. Felix A. Nigro dan Lloyd G. Nigro mengemukakan sebagai berikut;
- Public Administration is coorperative group effort in public setting. Artinya bahwa administrasi negara adalah suatu kerja sama kelompok dalam lingkungan pemerintah.
- Public Administration covers all three branches,: execitive, legislative and yudicative, and their interelationships. Artinya bahwa administrasi negara meliputi ketiga cabang pemerintahan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta hubungan di antara mereka.
- Sementara Keban (2008:4), menekankan pada makna yang bervariasi tentang istilah Aministrasi Publik. Menurutnya Administrasi Publik sebagai administrasi of public menunjukkan pemerintah berperan sebagai agen tunggal yang berkuasa atau sebagai regulator, sedangkan administrasi for public menunjukkan konteks yang lebih maju dari sebelumnya dimana pemerintaha lebih berperan dalam mengemban misi pemberian pelayana publik (service provider), dan administrasi by public merupaka suatu konsep yang sangat berorientasi kepada pemberdayan masyarakat.
Dari beberapa rumusan di atas
penulis menyimpulkan bahwa masih terdapat pula kerancuan penggunaanh istilah
makna public sebagai negara atau sebagai publik (masyarakat). Namun
demikian penulis dapat menyimpulkan istilah Administrasi Publik adalah berbagai
aktifitas manajemen yang dilakukan oleh pemerintah (eksekutif) dimulai dari
perumusan, pengimplementasian serta pengawasan program pembangunan dengan
melibatkan legislatif, dan yudikatif serta partisipasi masyarakat guna
melahirkan kebijakan publik
3.Perkembangan
Paradigma Administrasi Negara
Pada prinsipnya ilmu pengetahuan
itu bersifat nisbi, ia dapat berubah atau berkembang kapan dan dimana saja.
Perubahan atau perkembangan inilah yang disebut dengan paradigma. Menurut
Thomas Kuhn (dalam Keban, 2008:31) mengatakan bahwa paradigma merupakan suatu
cara pandang, nilai, metode-metode, prinsip dasar, atau cara memecahkan suatu
masyarakat ilmiah pada suatu masa tertentu. Administrasi Negara sebagai suatu
disiplin ilmu tidak terlepas dari perubahan dan perkembangan paradigma itu
sendiri. Dilihat dari sejarah perkembangannya paradigma Administrasi Negara
telah mengalami kemajuan yang pesat. Perubahan dan kemajuan paradigma
Administrasi Negara bukan hanya
melanda Indonesia tetapi seluruh dunia termasuk negara-negara maju sekalipun.
Perkembangan atau pergeseran paradigma
secara garis besar dikemukakan Keban (2008:31), bahwa telah terjadi lima
paradigma dalam administrasi negara, diuraikan sebagai berkut:
3.1.Paradigma
Administrasi Negara I
Paradigma I (1990-1926) dikenal sebagai
paradigma Dikotomi Politik dan Adminsitrasi. Pemisahan antara politik dan
administrasi dimanifestasikan oleh pemisahan antara legislatif yang bertugas
mengekspersikan kehendak rakyat, dengan badan eksekutif yang bertugas
mengimplementasikan kehendak rakyat. Badan yudikatif dalam hal ini berfungsi
membantu badan legislatif dalam menentukan tujuan dan merumuskan kebijakan.
Senada dengan itu Ibrahim (2009:5), fokus administrasi negara terbatas pada
masalah-masalah organisasi-pemerintahan, sedangkan masalah pemerintahan,
politik, dan kebijakan merupakan substansi ilmu politik.
Sebagai tonggak sejarah yang dapat
dipergunakan sebagai momentum fase paradigma ini ialah tulisan dari Frank J.
Goodnow dan Lenald D. White (dalam Thoha:2010:18), bahwa didalam bukunya Politicus
and Administration, Frank Goodnaw berpendapat bahwa ada dua fungsi pokok
pemerintah yang amat berbeda satu sama lain. Dua fungsi pokok tersebut ialah
politik dan administrasi sebagaimana yang tertulis dalam judul bukunya. Politik
menurut Goodnow harus membuat kebijaksanaa-kebijaksanaan atau melahirkan keinginan-keinginan negara. Sementara
administrasi diartikan sebagai hal yang harus berhubungan dengan pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan
tersebut. Dengan demikian pemisahan kekuasaan memberikan dasar perbedaan antara
politik dan administrasi. Badan Legislatif dengan ditambah kemampuan penafsiran
dari badan yudikatif mengemukakan keinginan-keinginan negara dan kebijaksanaan
formal. Sedangkan badan eksekutif mengadministrasikan
kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut secara adil dan tidak memihak kepada salah
satu kekuatan politik.
Ini berarti penekanan paradigma I ini
adalah pada locus-nya, yakni mempermasalahkan di mana seharusnya
admnistrasi negara ini berada. Jelas disini Gordon dan pengikut-pengikutnya
berpendapat (dalam Thoha. 2010:19) bahwa administrasi negara seharusnya
berpusat pada birokrasi pemerintahan. Sementara itu, walaupun badan legislatif
dan yudikatif mempunyai juga kegiatan administrasi dalam jumlah tertentu, namun
fungsi pokok dan tanggung jawabnya tetap menyampaikan keinginan-keinginan
negara. Inisial legitimasi yang konseptual tentang locus ini memberikan
pusat pengertian atau defenisi dari bidang administrasi. Selanjutnya kaitannya
dengan focus paradigma pertama ini ialah timbulnya suatu persoalan di
antara kalangan akademisi dan praktisi mengenai dikotomi politik-administrasi.
Sayangnya menurut Keban ( 2008:32), dalam paradigma ini hanya ditekankan pada
aspel locus saja yaitu government bureuaucracy, tetapi focus atau
metode apa yang harus dikembangkan dalam
administrasi publik kurang dibahas secara jelas dan terperinci.
3.2.Paradigma
Aministrasi Negara II
Paradigma 2 (1927-1937) disebut
sebagai paradigma prinsip-prinsip administrasi. Dalam paradigma ini fokus
administrasi negara ialah penekanan pada prinsip-prinsip administrasi negara
yang dianggap berlaku secara universal pada setiap bentuk organisasi dan setiap
lingkungan sosial budaya.
Tahun 1927,W.F WILLoughby
menerbitkan bukunya yang berjudul Principles of Public Administration. Buku
ini merupakan buku teks kedua yang membahas secara penuh dibidang administrasi
negara. Buku pertama ditulis oleh Leonal D.white yang termasuk paradikma
pertama. Prinsip-prinsip administrasi negara dikemukakan oleh Willoughby ini
memberikan indiksi terhadap trend baru dari perkembangan bidang ini. Sekaligus
membuktikan bahwa prinsip-prinsip itu ada dan dapat di pelajari. Dengan
demikian, adminsitrator-administrator bisa menjadi ahli dan cakap dalam
pekerjaannya kalau mereka mau mempelajari bagaimana menerapkan prinsip-prinsip
tersebut. (Thoha:2010:21).
Selanjutnya dikemukakan oleh Thoha,
bahwa pada fase paradigma ke dua ini, administrasi negara benar-benar mencapai
puncak reputasinya. Sekitar tahun 1930-an, administrasi banyak mendapat
sumbangan yang berharga dari bidang-bidang lainnya seperti industri dan
pemerintah. Sehingga dengan demikian, pengembangan pengetahuan manajemen
memberikan pengaruh yang besar terhadap timbulnya prinsip-prinsip administrasi
tersebut. Itulah sebabnya locus dari paradigma ini mudah diketahui yakni berada
pada esensi prinsip-prinsip tersebut. Sesungguhnya walaupun administrasi itu
sebenarnya bisa berada dimana saja akan tetapi karena prinsip adalah prinsip
dan administrasi adalah administrasi, maka menurut paradigma ini administrasi
negara mempunyai suatu prinsip tertentu.
Prinsip-prinsip administrasi negara yang
dimaksudkan tersebut ialah adanya suatu kenyataan, bahwa administrasi negara
bisa terjadi pada semua tatanan administrasi tanpa memedulikan kebudayaan,
fungsi, lingkungan, misi, atau kerangka institusi. Ia bisa diterapkan dan
diikuti dibidang apapun tanpa terkecuali. Kenyataan ini memberikan penegasan
bahwa prinsip-prinsip administrasi tersebut bisa diterapkan dan dipakai oleh
negara-negara yang berbeda kebudayaan, lingkungan, fungsi, misi, dan atau
kerangka institusi. Dengan demikian bisa terjadi administrasi negara di barat
atau di timur, asalkan prinsip-prinsip tersebut bisa digunakan. (Thoha:2010:21).
Selanjutnya, oleh karena administrasi
negara telah memberikan konstribusinya yang banyak terhadap formulasi
prinsip-prinsip administrasi melalui suatu usaha penelitian ilmiah, maka
adinistrasi negara seharusnya mengasilkan suatu paket akademis didalam
menerapkan suatu prinsip dalam dunia kenyataan organisasi perusahaan, atau
apapun namanya.
Pada fase paradigma kedua ini
terdapat beberapa karya yang menonjol antara lain sebagaimana dikemukakan oleh
Thoha (2010:22) disebutkan: Mary Parker Foller, menulis CreativeExperience (1930),
Henry Fayol, Industrial and General Management (1930), James D. Mooney
dan Alan C. Reiley, Principles of Organization (1939), dan berbagai
tulisan-tulisan lainnya yang megemukakan prinsip-prinsip administrasi negara
tersebut.
Para ahli organisasi menurut Thoha
(2010:23), sering menyebutkan aliran ini sebagai aliran manajemen administrasi (administrative
management), karena aliran ini memusatkan titik perhatiannya pada eselon
hierarki atas dari sesuatu organisasi. Suatu literatur yang relevan yang
dihasilkan oleh aliran manajemen administrasi ini kira-kira bersamaan waktunya
dengan suatu usaha pengembangan di bidang bisnis (business school) yang
memusatkan perhatiannya pada hierarki terbawa atau pelaksana organisasi (asseble-line).
Para ahli research pada aliran ini seringkali menamakannya sebagai
manajemen ilmiah (scientific management) yang mengembangkan prinsip
efesiensi tenaga gerakan dari pelaksana. Literatur yang sangat terkenal di masa
ini ialah tulisan Fredriek W. Taylor, Princile of Scientific Management (1911)
dan beberapa hasil karya Frank dan Lilian Gilbreth. Dalam hubungannya dengan
konsep paradigma ini manajemen inilah sedikit sekali pengaruhnya terhadap
konsep administrasi negara pada fase ini. Karena manajemen hanya memberikan
titik perhatiannya pada tingkat pelaksana sesuatu organisasi.
Tahun 1937 merupakan puncak akhir dari
fase paradigma kedua ini. Pada tahun itu Luther H. Gulick dan Lyndall Urwick
mengemukakan tulisannya Paper on the Science of Administrattion. Tulisan
ini sebenarnya adalah laporan yang dibuatnya pada komisi presiden untuk
administrasi. Pada waktu Gulick dan Urwick merupakan orang kepercayaan dari
presiden Franklin D. Roosevelt.
Menurut Gulick dan Urwick, (dalam Thoha,
2010) prinsip adalah amat penting bagi administrasi sebagai suatu ilmu. Adapun
letak di mana prinsip itu akan dipakai tidak begitu penting. Focus memegang
peranan penting dibandingkan atas locus. Prinsip administrasi yang terkenal
dari Gulick dan Urwick ialah singkatan POSDCORB (Planning, Organizing,
Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, Budgeting). Walaupun sebagian
besar orang menamakan masa-masa ini adalah masa ‖Ortodok Kesiangan‖ bagi
admnistrasi negara. Akan tetapi, inilah ciri yang bisa diteliti dari paradigma
kedua.
Tahun-tahun berikutnya merupakan tahun
tantangan bagi admnistrasi negara. Banyak konsep-konsep baru yang mencoba
mengkritik konsep administrasi negara yang dilaksanakan ortodoks tersebut.
Dalam tahun 1938, setahun setelah Gulick dan Urwick mengemukakan
prinsip-prinsip administrasi tadi, Chester I, Barnard menerbitkan bukunya The
Functions of Execiitive. Pengaruhnya terhadap administrasi negara belum
dirasakan dapat mengatasi persoalan pada waktu itu. Akan tetapi, pada kemudian
hari buah pikiran Barnad tersebut memberikan pengaruh terhadap Herbert A.
Simon, ketika Simon menulis kritikannya yang tajam pada bidang ini. Kritikan
Simon tersebut dapat dibaca dalam bukunya Administrative Behavior. Walaupun
secara jelas, Administrative Behavior banyak terpengaruh oleh Barnad,
akan tetapi karena pada waktu itu Barnad menjabat Presiden Direktur New Jersey
Bell Telephon dan tidak menjadi anggota dari masyarakat admnistrasi negara,
maka pengaruh tersebut tidak dibesar-besarkan (has been delayed).(Thoha,2010).
Perselisihan maintream konsepsi
administrasi negara kemudian dipercepat di tahun-tahun 1940-an, dengan adanya
dua arah kekuatan yang datang bersama-sama. Pertama, keberatan atas pendapat
bahwa politik dan administrasi tidak bisa dipisahkan dalam banyak kesempatan.
Dan yang kedua, bahwa prinsip-prinsip administrasi adalah secaraq logis tidak
konsisten. Sekaligus tahun-tahun ini, adalah tahun kritikan terhadap dua
paradigma yang sudah diterangkan dimuka.
Selengkapnya Thoha (2010), mengemukanan
pada tahun 1946, suatu buku bunga ranpai yang diedit oleh Fritz Morstein Marx Elements
of Public Administration menjawab pada keberatan pertama, bahwa
administrasi dan politik bisa dikotomikan. Empat belas artikel yang ditulis
dalam buku tersebut semuanya ditulis oleh para praktisi administrasi dan
menunjukkan bahwa kesadaran baru mengenai administrasi yang ”value-free” itu
sebenarnya adalah value yang berat condongnya ke politik. Beberapa
pertanyaan yang timbul antara lain:
·
Apakah suatu keputusan teknis tentang
anggaran dan pengembangan kepegawaian benar-benar merupakan keputusan yang
impersonal dan tidak berbau politik (apolitical decision)? Atau apakah
hal tersebut benar-benar sangat personal, sangat berpolitik, dan sangat
prefensial?
·
Apakah memang tidak pernah ada
kemungkinan untuk membedakan perbedaan tersebut?
·
Apakah tidak ada usaha yang bermakna
untuk membedakan antara politik dan administrasi, kalau memang menurut
kenyataan tidak bisa dibedakan?
·
Apakah timbulnya dikotomi
politik-administrasi di bidang ini sangat mengutungkan, sangat baik atau
sebaliknya menjadi naif?
Jawaban yang frontal terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut diberikan
oleh John M. Gaus pada tahun 1950 dengan tulisan di majalah Publik Administration
Review di bawah judul ”A theory of public administration means in our time a
theory of politics also” Lonceng telah dibunyikan.
Suatu analisis yang menarik tentang trauma politik dan administrasi
diberikan oleh Allen Schick dalam tulisannya yang terdapat dalam buku yang di
edit oleh Frederick C. Mosher (dalam Thoha, 2010). Dia mengamati bahwa
persoalan yang melanda kaum intelektual mengenai dikotomi politik administrasi
tahun 1940-an diperbesar di tahun-tahun belakang ini. Bagi mereka yang
mempersoalkan memisahnya politik dari admnistrasi belum pernah menunjukkan
argumentasi yang mapan mengenai sesuatu yang disebut administrasi dan sesuatu
yang disebut politik itu benar-benar tidak bisa dipisahkan secara mutlak.
Dikatakan selanjutnya oleh Schick bahwa administrasi negara adalah mengabdi
untuk kekuasaan dan mempunya kekuasaan yang penuh melayani kekuasaan itu untuk pro
bono publico, untuk membantu pemegang kekuasaan dalam pemerintah secara
lebih efesien.
Persoalan dikotomi pada hakikatnya memberikan
garis keturunan bagi administrasi atas politik, efesiensi atas representasi ,
rasionalitas atas keinginan pribadi, dan lain sebagainya. Dan akhirnya,
penolakan dikotomi itu pada hakikatnya bukannya karena ia memisahkan politik
dari administrasi akan tetapi jalan yang melanggar norma pluralis dari ilmu
politik setelah perang.
Analisa Thoha dalam bukunya Ilmu
Administrasi Publik Kontemporer (2008:24) lebih lengkap mengemukakan bahwa
bersamaam dengan timbulnya tantangan terhadap dikotomi tradisional antara
politik dan administrasi, maka timbul pula suatu perselihan yang lebih mendasar
yakni tentang prinsi-prinsip admnistrasi. Tahun 1946, Herbert Simon mendahului
bukunya Administrative Behavior menulis suatu artikel dalam Publik
Administartion Revieu, berjudul ” The proverbs of Administration” pada
tahun berikutnya, Rober A. Dahl dalam jurnal yang sama menulis ‖ The Science
of Public Administrasi: Tri Problems”
Disini ia berpendapat bahwa pengembangan
suatu prinsip administrasi yang universal terhadang oleh adanya perbedaan dari
masing-masing tujuan (Value) yang sesuai bagi sesuatu organisasi
perbedaan kepribadian dari masing-masing individu dan kerangka sosial yang
beraneka dari suatu kultur ke kultur lainnya.
Dwight Waldo dalam bukunya The
Administrative State. A Study of the Political Theory of American Public
Administration, yang diterbitkan tahun 1948, ikut pula menyerang suatu
paham yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip administrasi tidak bisa diubah.
Dalam buku itu Waldo selanjutnya, juga mengkritik bahwa metoodologi yang
dipergunakan untuk menentukan prinsip-prinsip tersebut juga tidak konsisten,
demikian pula nilai ekonomi dan efesiensi yang mendominasi pemikiran di bidang
ini terlalu sempit.
Suatu analisis yang luar biasa terhadap
prinsip ini muncul setahun sebelum buku Waldo di atas. Tahun 1947, Herbert A.
Simon menerbitkan bukunya Administrative Behavior; A Study of Decision
Making process in Admnistration Organization. Simon (dalamThoha, 2010)
menunjukkan bahwa di setiap prinsip administrasi didalamnya terdapat prinsip
tandingannya. (Counter principle). Oleh karena itu seluruh ide tentang
prinsip-prinsip tersebut dapat dipecahkan. Sebagai contoh, dalam literatur
administrasi yang tradisional menyatakan bahwa birokrasi itu hendaknya diatur
dengan rentang kendali (span of control) yang sempit, agar bisa
berkomunikasi dan melakukan pekerjaan-pekerjaan secara efektif.
Rentang kendali ini dimaksudkan agar
seorang pemimpin dapat melakukan control yang baik, jika mempunyai staf bawahan
yang jumlahnya terbatas. Setelah prinsip dilakukan, ternyata komunikasi untuk
memberikan pengarahan bukannya menjadi efektif melainkan semakin berputar balik
dan kontrol tidak menjadi efektif lagi. Hal ini terjadi karena prinsip rentang
kendali yang sempit ini membawa konsekuensi adanya bagan organisasi yang memanjang.(a
tall organization chart). Itulah sebanya, kemudian diusulkan prinsip lain
yang merupakan tandingan, atau prinsip yang memperbaiki a spaan of control tersebut.
Prinsip tandingan ini menyarankan agar memakai bagan organisasi yang tambun (a
flat hierarchical structure). Prinsip organisasi yang tambun ini akan
membantu tercapainya komunikasi yang efektif dan dihindari distorsi.
Dalam uraian di atas apa yang
dimaksudkan oleh Simon tentang kelemahan sesuatu prinsip. Dalam sesuatu prinsip
akan didapatkan prinsip lain yang berlawanan. Hal ini akan merupakan suatu
dilema, dan dilema ini tanpaknya menghinggapi pada seluruh literatur
tradisional dari administrasi negara. Gejala ini berlangsung sampai dengan
diterbitkannya buku Simon tersebut.
Selanjutnya dikemukakan oleh Thoha,
(2010:25-26), bahwa selain mengkritik pondasi tradisional administrasi negara,
Simon menawarkan suatu alternatif dari paradigma di atas. Bagi Simon, jika
menginginkan ilmu ini bisa bekerja dalam keharmonisan stimulasi intelektual
yang timbal balik, maka hendaknya terdapat dua jenis Administrasi Negara. Dua
jenis itu ialah pengembangan suatu ilmu administrasi murni yang berdasarkan
atas pengaruh psikologis sosial dan ilmu admnistrasi yang banyak menjelaskan
mengenai public policy. Kedua jenis administrasi ini bersama-sama akan
merupakan dua komponen penguat dari paradigma baru terebut.
Sebagaimana dikatakan oleh Simon:
(Thoha:2010:27) ”There does not
appear to be any reason why these two developments in the field of public
administration should not go on side by side, for they in no way confkict or
contadict.”
Menurut Simon, tampaknya tidak ada
alasan yang kuat bahwa pengembangan kedua bidang administrasi negara ini tidak
bisa berjalan berdampingan, bagi keduanya tidak ada jalan untuk konflik dan
berlawanan. Pada sekitar pertengaha abad, kini dua persoalan yang dikemukakan
diatas, mengenai perumusan dikotomi politik adminstrasi negara, dan
prinsip-prinsip administrasi negara mulai banyak ditinggalkan oleh kaum
cendekiawan di bidang ini. Ditinggalkannya dua persoalan di atas menunjukan
bahwa administrasi negara akan menemukan identitasnya. Dan identitas itu harus
dicari.
3.3.Paradigma
Administrasi Negara III
Paradigma 3 (1950-1970) adalah paradigma
administrasi negara sebagai Ilmu Politik. Menurut paradigma ini tidak
sepantasnya ada dikotomi antara politik dan administrasi negara karena memang
tidak realistis. Dalam konsteks ini, administrasi negara bukannya value free
atau dapat berlaku dimana saja tetapi justru dipengaruhi nilai-nilai tertentu.
Paradigma ini menganggap studi administrasi negara adalah bagian dari ilmu
politik, hanya saja berbeda titik beratnya. Ilmu politik berfokus pada proses
penyusunan kebijakan kekuatan sosial politik di luar birokrasi, administrasi
negara berfokus pada penyusunan kebijakan dalam tubuh birokrasi, tetapi tidak
terlepas dari sitem politik yang berlaku. (Ibrahim,2009:6)
Terkait dengan itu Thoha, (2010) secara
singkat dikatakan bahwa fase paradigma ketiga ini merupakan suatu usaha untuk
menetapkan kembali hubungan konseptual antara administrasi negara dengan ilmu
politik. Akan tetapi, konsekuensi dari usaha ini ialah keharusan untuk
merumuskan bidang ini paling sedikit dalam hubungannya dengan fokus keahliannya
yang esensial. Itulah sebabnya tulisan-tulisan administrasi negara dalam tahun
1950-an penekanan pembicaraannya pada wilayah kepentingan (area of interes) atau
sebagai sinonim dari ilmu politik.
Administrasi negara sebagai suatu bidang
studi yang dapat diidentifikasikan memulai perjalanan yang panjang menurun
bukit yang berputar-putar. Dikatakannya
bahwa walaupun usaha untuk kembali kepada ilmu politik sebagai suatu
identifikasi dari administrasi negara pada paradigma ini akan, akan tetapi
sebaliknya ilmu politik mulai melupakannya. Tahun 1962 administrasi bukan lagi
dianggap sebagai bagian dari ilmu politik. Hal ini terbukti dari laporan komisi
ilmu politik sebagai suatu disiplin dari APSA (American Political Science
Assosiation). Tahun 1964, suatu survey yang dilakukan oleh sarjana-sarjana
ilmu politik memberikan petunjuk tentang merosotnya minat terhadap administrasi
negara dalam fakultas-fakultas ilmu politik. Tahun 1967 administrasi negara
benar-benar dicoret dari program pertemuan tahunan APSA.
Melihat perlakuan ilmu politik
terhadap administrasi seperti yang diceritakan di atas, maka tahun 1968 Dwight
Waldo memprotes keadaan seperti itu. Dia menulis bahwa sarjana-sarjana ilmu
politik tidak lagi mengidentifikasi dirinya dengan administrasi negara adalah
bersikap tidak memedulikan dan memusuhi. Mereka menginginkan secepatnya keluar
dari administrasi negara. Sarjana-sarjana administrasi negara tidak senang dan
dianggap sebagai warga negara kelas dua.
Antara tahun 1960 sampai tahun
1970, hanya dijumpai empat persen dari semua artikel yang diterbitkan dalam
lima jurnal utama ilmu politik yang membicarakan administrasi negara. Dasawarsa
60-an merupakan suatu saat memisahkannya administrasi negara sebagai bidang
kajian dalam ilmu politik. Fakultas-fakultas ilmu politik menyebutkannya dengan
‖Tipe P.A‖. Ada dua perkembangan baru yang perlu dicatat pada masa ini, yakni
pertama, pertumbuhan penggunaan studi kasus sebagai suatu sarana yang bersifat epistimologis.
Kedua, timbulnya studi perbandingan dan pembangunan administrasi sebagai salah
satu bagian dari administrasi negara. (Thoha:2010:28)
Paradigma 4 (1956-1970) adalah paradigma
administrasi negara sebagai ilmu administrasi. Paradigma ini menganggap bahwa
ilmu administrasi negara sebagai bagian ilmu politik, perlu dikembangkan lebih
lanjut dua aspek yang harmonis yaitu pengembangan ilmu administrasi secara
murni berdasarkan psikologi sosial, aspek lain mengenai seluk-beluk kebijakan
publik. (Ibrahim,2009:6)
Berbeda dengan Thoha (2010) istilah ilmu
administrasi (adminsitrave science) dipergunakan dalam paradigma 4 ini
untuk menujukkan isi dan fokus pembicaraan. Dalam ilmu ini terdapat pula
pembahasan mengenai teori ilmu organisasi dan ilmu manajemen. Teori organisasi
pada intinya mendapat sumbangan pokok dari hasil kerja sarjana-sarjana
psikologi sosial, administrasi perusahaan, dan sosiologi. Sehingga dengan
demikian, sarjana-sarjana administrasi negara mendapatkan informasi yang tepat
untuk memahami perilaku organisasi. Adapun ilmu manajemen sangat tergantung
pada riset yang dilakukan ahli statistik, analisis sistem, komputer dan
ekonomi. Sehingga karenanya sarjana-sarjana administrasi negara mendapatkan
informasi untuk mengukur pelaksanaan kerja secara tepat dan menaikkan efisiensi
manajerial.
Sebagai suatu paradigma, pada fase ini
ilmu administrasi hanya memberikan focus, tetapi tidak pada locus-nya.
Ia menawarkan teknik teknik, dan bahkan sering kali teknik-teknik yang canggih
dan memerlukan keahlian dan spesialisasi, tetapi untuk institusi apa,
teknik–teknik keahlian tersebut seharusnya diterapkan bukanlah menjadi rumusan
perhatian dari ilmu ini. Sebagaimana yang dibahas dalam paradigma 2 di muka,
administrasi adalah administrasi di mana pun ia dapat dijumpai, fokus lebih
utama dari pada locus-nya.
Menurut Thoha (2010) sejumlah usaha
usaha pengembangannya, terutama di peroleh dari pengaruh fakultas administrasi
perusahan, (school of business administrative) mempercepat pencarian
alternatif paradigma ilmu administrasi ini. Tahun 1956 terbitlah jurnal administrative
science quartetly, sebagai sarana yang amat penting untuk menyuarakan
pendapat dan konsepsi-konsepsi dari paradigma ini. Sarjana administrasi negara
Keith M. Henderson berpendapat di pertengahan tahun 1960 bahwa teori organisasi
adalah atau seharusnya menjadi fokus utama dari administrasi negara. Demikian
pula, tidak di lupakan begitu saja usaha usaha yang di rintis oleh para
cendekiawan terdahulu, seperti James G. March dan Herbert A. Simon dalam buku
yang dikarang berdua, berjudul Organizations (1958).
Selanjutnya dikatakan pada awal tahun
60-an, Organizational Development (OD) atau Pengembangan Organisasi (PO)
mulai berkembang secara pesat sebagai suatu spesialisasi dari ilmu
administrasi. OD sebagai suatu bidang kajian berlandas pada psikologi sosial
dan pada nilai nilai demikratis birokrasi baik pemerintah maupun swasta
demikian pula aktualisasi diri dari masing masing anggota organisasi karena
hal-hal inilah, maka OD dipandang oleh para cendekiawan muda administrasi
negara, sebagai suatu objek yang bisa menawarkan bidang riset yang dapat
bersaing dalam kerangka ilmu administrasi.
Dalam pandangan Thoha (2010) paradigma
keempat ini dalam perjalanan materi meniti langkanya bukan tidak mempunyai
persoalan. Banyak persoalan-persoalan yang perlu di jawab seperti misalnya jika
focus tunggal telah dipilih oleh administrasi negara, yakni ilmu
administrasi, apakah ia masi berhak berbicara Public (negara) dalam
administrasi tersebut, ilmu administrasi tidak lagi mempunyai prinsip prinsip
umum karena prinsip prisip tersebut telah diganti menjadi prinsip organisasi
dan manajemen yang spesifik. Jika suatu ketika akan bertukar fokusnya misalnya
mau menekankan pada ilmu politik lagi akan tetaplah administrasi negara sebagai
bagian dari ilmu administrasi.
Suatu fenomena dalam kehidupan sehari
hari bahwa perbedaan antara pemerintah dan swata (public end private)
sulit dirumuskan secara empiris. Adanya industri militer yang komplek, adanya
peraturan-peraturan dari departemen-departemen pemerintah yang mengatur
hubungan pemerintah dengan industri-industri swasta, adanya kemajuan keahlian
masing masing departemen di dalam membatu memajukan teknik manajerial
perusahaan–perusahaan swasta pada setiap aspek kehidupan masyarakat.
Kacaunya penggunaan istilah public dalam
bidang administrasi ini kelihatan tidak bisa di mengerti. Seorang sarjana
berpendapat kita harus mulai berbicara tentang administrasi negara, karena
organisasi manajerial mempunyai hubungan yang erat dengan public, negara,
pemerintah dan hal hal yang bersifat politis. Hal ini disebabkan karena
tumbuhnya saling ketergantungan dalam masyarakat teknologi.
Thoha (2010) memberikan kesimpulan
tentang paradigma empat bahwa negara dalam administrasi negara janganlah di
tafsirkan dalam hubungannya dengan istilah istilah institusi, melaikan
hendaknya ia ditafsirkan secara filosofis, normatif, dan etis. Negara dalam hal
tersebut akan menjadi suatu yang mempunyai pengaruh terhadap kepentingan
masyarakat. Dengan demikian locus dari istilah administrasi negara dapat pula
mencakup pengertian swasta.
Paradigma 5 (1970-sekarang) merupakan
paradigma terakhir yang disebut sebagai admnistrasi negara sebagai
administrasi. Keban mengemukakan (2008:33) bahwa paradigma ini merupakan
pembaruan terhadap paradigma-paradigma sebelumnya. Paradigma ini telah memiliki
fokus yang jelas. Fokus administrasi negara mencakup teori-teori organisasi,
analisis kebijakan publik, tehnik-tehnik administrasi dan manajemen modern,
berbagai persoalan dalam birokrasi pemerintahan dan persoalan-persoalan
kebutuhan serta aspirasi masyarakat. Sedangkan locusnya adalah masalah-masalah
dan kepentingan-kepentingan publik.
Dari uraian di atas, penulis berpendapat
bahwa dengan adanya pergeseran paradigma administrasi negara, maka fokus dan
lokus bidang kajian dari administrasi negara telah semakin jelas yakni bidang
kajian kebijakan publik. Bahkan lebih dari itu menurut Thoha (2010:33)
administrasi negara semakin bertambah perhatiannya terhadap wilayah ilmu
kebijaksanaan (policy science), politik ekonomi proses pembuatan
kebijaksanaan pemerintah dan analisisnya (publik policy making process) dan
cara cara pengukurannya dari hasil hasil kebijaksanaan yang telah dibuat.
Lebih dari itu, Thoha mengemukakan bahwa
aspek- aspek perhatian ini dapat dianggap dalam banyak hal sebagai suatu mata
rantai yang menghubungkan antara focus administrasi negara dengan locus-nya.
Sebagaiman yang terlihat dalam tern yang diikuti oleh paradigma ini, maka fokus
administrasi negara adalah teori organisasi praktik dalam analisis public
policy dan teknik teknik administrasi dan manajemen yang sudah maju. Adapun locus
normatif dari administrasi negara digambarkan oleh paradigma ini pada
birokrasi pemerintah dan pada persoalan persoalan masyarakat. Walaupun public
affairs masih dalam proses mencari bentuknya. Akan tetapi melihat
perkembangan bidang ini menduduki tempat utama dalam menarik perhatian
administrasi negara.
Itulah sebabnya lanjut Thoha, bahwa
dalam waktu yang singkat, administrasi negara sebagai sebagai suatu bidang
kajian telah menujukan warnanya sendiri. Beberapa departemen fakultas dan
akademi baru administrasi dan public affairs bermunculan. Hal ini membukatikan
adanya suatu sikap yang jelas dari paradigma ini. Antara tahun 1973 – 1978
telah dibentuk kurang lebih 21 persen fakultas profesional administrasi negara
dan public affairs dan sekitar 53 persen depatemen administrasi negara dan
publik affairs.
Walaupun terdapat beberapa universitas
menempatkan program administrasi negara kedalam departemen ilmu politik hal
tersebut hanya dijumpai pada universitas kecil. Mereka lebih senang hanya untuk
melayani pendaftaran yang semakin menyusut dibandingkang dengan suatu usaha
terencana untuk mengembangkan kurikulum administrasi negara sebagai bagian dari
ilmu politik.
Salah satu kecenderungan dari pertumbuhan
administrasi negera ini terbentuknya asosiasi nasional dari fakultas-falkultas
tersebut. (the national association of school of public affairs and
administrative) asosiasi ini dibentuk tahun 1980 mempunyai anggota lebih
dari 200 intitusi dan lebih dari 25.000 mahasiswa baik yang penuh atapun yang
partime terdaftar dalam program MPA pada akhir tahun 1970-an. Demikialah
perkembangan adminstrasi negara baik di ikuti lewat sejarahnya maupu lewat
perkembangan paradigma. Kesemuanya berlatar belakang empiris dari negara Eropa
dan Amerika Serikat. Karena dari sanalah ilmu ini mulai di kembangkan. Belajar
dari pengalaman mereka kita petik yang dianggap baik dan bisa di terapkan dalam
pertumbuhan administrasi negara kita. (Thoha, 2010,32)
4.Dari
Administrasi Negara ke Adminsitrasi Publik
Perkembangan ilmu Administrasi Negara
akhir-akhir ini telah mengalami pergeseran titik tekan dari Administration
of Public ke Adminsitrtion by Public dimana dalam Administration
of Public negara sebagai agen tunggal implementasi fungsi
negara/pemerintahan. Konsep ini menekankan fungsi negara/pemerintahan bertugas
sebagai public service (Adminsitration for Public). Sementara Administration
by Public`berorientasi bahwa publik demand are differetianted, dalam
arti fungsi negara/pemerintah hanyalah sebagai fasilitator, katalisator yang
bertitik tekan pada putting the customers in the driver set. Dimana
determinasi negara/pemerintah tidak lagi merupakan faktor atau aktor utama
sebagai driving forces. (Utomo, 2008:7)
Dampak pergeseran tersebut menurut
Utomo, telah mengakibatkan perubahan makna public sebagai negara,
menjadi public sebagai masyarakat. Dengan demikian pendekatan ilmu
administrasi negara tidak lagi berorientasi kepada negara tetapi kepada
masyarakat atau Custommer‟s Oriented atau Custommer”s Approach. Dan
hal ini menjadi tuntutan perubahan dari government yang lebih
menititikberatkan kepada otoritas menjadi governance yang
menintikberatkan kepada kompatibilitas diatara para aktornya ialah :
Pemerintah, Sektor Swasta dan Masyarakat. Dikalangan masyarakat istilah Public
Administration selalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
Administrasi Negara.
Terjemahan bebas inilah yang sering
menimbulkan pertanyaan di kalangan akademisi seiring dengan perubahan
masyarakat yang semakin dinamis. Terjemahan bebas ini tentunya dilandasi dengan
kondisi faktual yang dilihat dari pengelolaan negara yang berorientasi pada
kekuasaan. Orientasi kekuasaan yang dilakukan oleh negara inilah yang telah
menimbulkan persepsi tentang pengertian Public Administration dikonotasikan
dengan Administrasi Negara. Namun dalam perkembangan kemudian, istilah ini
telah bergeser sesuai dengan pergeseran corak berfikir serta realita perubahan
pengelolaan negara itu sendiri.
Dengan demikian sesungguhnya telah
terjadi perubahan makna public sebagai negara, menjadi public sebagai
masyarakat. Dalam arti bahwa administrasi negara bukan lagi terlalu
berorientasi kepada aktivitas oleh negara, tetapi menjadi oleh, untuk dan
kepada masyarakat. Pendekatan administrasi negara tidak lagi kepada negara
tetapi titik tekannya kepada masyarakat.
Utomo,
(2008:8) mengatakan bahwa proses, sistem, prosedur, hierarchi atau lawfull
state tidak lagi merupakan acuan yang utama meskipun tetap perlu diketahui
dan merupakan skill. Tetapi results, teamwork, fleksibilitas
haruslah lebih dikedepankan disebabkan oleh tekanan, pengaruh, adanya differentiated
public demand.
Sedangkan sebagai seorang administrator
atau mereka yang mendalami administrasi publik ditutuntut untuk memiliki
pengetahuan, skill, kemampuan, profesionaisme, kapabilitas untuk
mengembangkan konsep organisasi dan manajemen serta mengorganisisr dan memanage
aktivitas dan infrastruktur dalam memahami tuntutan dan memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Itulah sebabnya mengapa mereka ini tidak dituntut untuk
tidak saja memiliki responsibility dan accountability tetapi juga
harus memiliki responsivenes, transparants, integrity dan impartiality.
Dari penjelasan di atas tidak berarti
bahwa administrasi publik (negara) melepaskan atau terlepas sama sekali dari
kehidupan atau permasalahan negara. Meskipun administrasi negara (publik) tidak
lagi berdasarkan pada paradigma I (Paradigma Dikotomi Politik dan
Adminsitrasi), tetapi tidak berarti tidak terkait atau dikaitkan dengan negara
atau pemerintah.
Selanjutnya Utomo, (2008:9) mengemukakan
bahwa saat ini kita mengalami situasi upheaval dan turbulance yang
menghendaki adanya interrlations dan interdependece antar
komponen yang kesemuanya disebabkan adanya kompetisi yang semakin kompleks.
Baik organisasi maupun negara dan pemerintahan harus dapat, mengantisipasi hal
ini agar dapat melangsungkan kehidupan dan kegiatannya dan juga dapat tetap survive
dalam menghadapi perubahan yang pesat ini, bahkan dapat mempercepat
perkembangan atau pembangunannya.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Utomo
bahwa era globalisasi, informasi dan perdagangan bebas dengan terbentuknya
kesepakatan dan persekutuan didalam GATT, CER, AFTA, NAFTA, dan APEC
mengindikasikan percepatan proses meliberalisasikan aktivitas di dalam bidang
perekonomian dan perdagangan yang pada hakekatnya dengan sendirinya akan
mempengaruhi aktifitas di bidang lainnya. Untuk itu, profesionalisme menjadi
fokus tuntutan yang diutamakan, dalam hal ini termasuk didalamnya komponen-komponen
birokrasi, khususnya sistem administrasi (administrasi publik), agar dapat
menanggapi adanya perubahan tersebut dimuka dengan melakukan
penyesuaian-penyesuaian. Birokrasi atau sistem administrasi yang lebih
menitikberatkan kepada COP (Control Order and Prediktion) harus dengan
cepat mengubah dirinya dan menjadi birokrasi atau sistem administrasi sebagai
komponen atau institusi (modal intelektual) yang berorientasi atau yang
bertitik tekan kepada ACE (Aligment Creativity and Empowerment).
Berdasarkan hal tersebut, maka yang
menjadi pertanyaan mendasarkan serta perlu dicarikan alternatif jawabannya
adalah: Bagaimanakah kedudukan dan peran profesi administrasi atau birokrasi
saat ini dalam pandangan masyarakat maupun pemerintahan sendiri?. Penyesuaian-penyesuaian
bagaimanakah yang perlu dilakukan untuk lebih dapat meningkatkan peran dan kedudukan
profesi administrasi bagi pembangunan dan perubahan. (Utomo, 2008:10-11). 38
5.Kebijakan
Publik
5.1.
Konsep Kebijakan Publik
Istilah kebijakan (policy)
seringkali penggunaannya dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti
tujuan (goals), program, keputusan, undang-undang ketentuan-ketentuan,
usulan-usulan dan rancangan besar. Bagi para pembuat kebijakan (policy
makers) istilah-istilah tersebut tidaklah akan menimbulkan masalah apapun
karena mereka menggunakan referensi yang sama. Namun bagi orang-orang yang
berada di luar struktur pengambilan kebijakan istilah-istilah tersebut mungkin
akan membingungkan.
Syafiie (2006:104), mengemukakan bahwa
kebijakan (policy) hendaknya dibedakan dengan kebijaksanaan (wisdom) karena
kebijaksanaan merupakan pengejawantahan aturan yang sudah ditetapkan sesuai
situasi dan kondisi setempat oleh person pejabat yang berwenang. Untuk itu
Syafiie mendefenisikan kebijakan publik adalah semacam jawaban terhadap suatu
masalah karena akan merupakan upaya memecahkan, mengurangi, dan mencegah suatu
keburukan serta sebaliknya menjadi penganjur, inovasi, dan pemuka terjadinya
kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan terarah.
Keban (2008:55) memberikan pengertian
dari sisi kebijakan publik, yang dikutipnya dari pendapat Graycar, dimana
menurutnya bahwa :‖Public Policy dapat dilihat dari konsep filosifis,
sebagai suatu produk, sebagai suatu proses, dan sebagai suatu kerangka kerja.
Sebagai suatu konsep filosofis, kebijakan merupakan serangkaian prinsip, atau
kondisi yang diinginkan, sebagai suatu produk, kebijakan dipandang sebagai
serangkaian kesimpulan atau rekomendasi, dan sebagai suatu proses, kebijakan
dipandang sebagai suatu cara dimana melalui cara tersebut suatu organisasi
dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya, yaitu program dan mekanisme dalam
mencapai produknya, dan sebagai suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu
proses tawar menawar dan negosiasi untuk merumus isu-isu dan metode
implementasinya‖.
Kamus Besar bahasa Indonesia kebijakan
dijelaskan sebagai rangkaian konsep dan azas yang menjadi garis dasar rencana
dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, serta cara bertindak (tentang
perintah, organisasi dan sebagainya).
Mustopadidjaja (1992:30) menjelaskan,
bahwa istilah kebijakan lazim digunakan dalam kaitannya atau kegiatan
pemerintah, serta perilaku negara pada umumnya dan kebijakan tersebut
dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan. Hal ini senada dengan David Easton
dalam Toha (2010:107), merumuskan sebagai berikut : ”the authoritative
allocation of value the whole society but it turns out that only government can
aouthoritatively act on the whole society, and everything the government
choosed to do or not to do results in the allocationof values” dalam artian
bahwa kebijakan pemerintah sebagai alokasi otoritatif bagi seluruh masyarakat
sehingga semua yang dipilih pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan
adalah hasil alokasi nilai-nilai tersebut.
Sementara itu, Koontz dan O‘Donnel
(1972:113), mendefenisikan kebijakan sebagai pernyataan umum dari pengertian
yang memandu pikiran dalam pembuatan keputusan.
Sedangkan menurut Anderson (1984:113),
kebijakan adalah suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang dilakukan seseorang
pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu masalah. Selanjutnya
Anderson (1984:113), mengklasifikasi kebijakan, policy, menjadi dua:
substantif dan prosedural. Kebijakan substantif yaitu apa yang harus dikerjakan
oleh pemerintah sedangkan kebijakan prosedural yaitu siapa dan bagaimana
kebijakan tersebut diselenggarakan. Ini berarti, kebijakan publik adalah
kebikan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat
pemerintah.
Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat
lima hal yang berhubungan dengan kebijakan publik. Pertama, tujuan atau
kegiatan yang berorientasi tujuan haruslah menjadi perhatian utama perilaku
acak atau peristiwa yang tiba-tiba terjadi. Kedua, kebijakan merupakan pola
model tindakan pejabat pemerintah mengenai keputusan-keputusan diskresinya
secara terpisah. Ketiga, kebijakan harus mencakup apa yang nyata pemerintah
perbuat, atau apa yang mereka katakan akan dikerjakan. Keempat, bentuk
kebijakan publik dalam bentuknya yang positif didasarkan pada ketentuan hukum
dan kewenangan. Tujuan kebijakan publik adalah dapat dicapainya kesejahteraan
masyarakat melalui produk kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Setiap produk kebijakan haruslah
memperhatikan substansi dari keadaan sasaran, melahirkan sebuah rekomendasi
yang memperhatikan berbagai program yang dapat dijabarkan dan diimplementasikan
sebagaimana tujuan dari kebijakan tersebut. Untuk melahirkan sebuah produk
kebijakan, dapat pula memahami konsepsi kebijakan menurut Abdul Wahab yang
dipertegas oleh Budiman Rusli (2000:51-52) dimana lebih jauh menjelaskan
sebagai berikut :
1. Kebijakan
harus dibedakan dari keputusan. Paling tidak ada tiga perbedaan mendasar antara
kebijakan dengan keputusan yakni :
1.). Ruang lingkup
kebijakan jauh lebih besar dari pada keputusan Pemahaman terhadap kebijakan
yang lebih besar memerlukan penelaahan yang mendalam terhadap keputusan.
2.) Kebijakan biasanya
mencakup upaya penelusuran interaksi yang berlangsung diantara begitu banyak
individu, kelompok dan organisasi.
3.) Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat
dibedakan dari Administrasi. Perbedaan antara kebijakan dengan administrasi
mencerminkan pandangan klasik. Pandangan klasik tersebut kini banyak dikritik,
karena model pembuatan kebijakan dari atas misalnya, semakin lama semakin tidak
lazim dalam praktik pemerintahan sehari-hari. Pada kenyataannya, model
pembuatan kebijakan yang memadukan antara top-down dengan bottom-up menjadi
pilihan yang banyak mendapat perhatian dan pertimbangan yang realistis.
4.) Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat
dibedakan dari Administrasi. Langkah pertama dalam menganalisis perkembangan
kebijakan negara ialah perumusan apa yang sebenarnya diharapkan oleh para
pembuat kebijakan. Pada kenyataannya cukup sulit mencocokkan antara perilaku
yang senyatanya dengan harapan para pembuat keputusan.
5.). Kebijakan mencakup
ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan. Perilaku kebijakan mencakup pula
kegagalan melakukan tindakan yang tidak disengaja, serta keputusan untuk tidak
berbuat yang disengaja (deliberate decisions not to act). Ketiadaan
keputusan tersebut meliputi juga keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang
yang secara sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja menciptakan atau
memperkokoh kendala agar konflik kebijakan tidak pernah tersingkap di mata
publik.
6.). Kebijakan biasanya
mempunyai hasil akhir yang akan dicapai, yang mungkin sudah dapat
diantisipasikan sebelumnya atau mungkin belum dapat diantisipasikan. Untuk
memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai pengertian kebijakan perlu pula
kiranya meneliti dengan cermat baik hasil yang diharapkan ataupun hasil yang
senyatanya dicapai. Hal ini dikarenakan, upaya analisis kebijakan yang sama
sekali mengabaikan hasil yang tidak diharapkan (unintended results)
jelas tidak akan dapat menggambarkan praktik kebijakan yang sebenarnya.
7.). Kebijakan
kebanyakan didefenisikan dengan memasukkan perlunya setiap kebijakan melalui
tujuan atau sasaran tertentu baik secara eksplisit atau implisit. Umumnya,
dalam suatu kebijakan sudah termaktub tujuan atau sasaran tertentu yang telah
ditetapkan jauh hari sebelumnya, walaupun tujuan dari suatu kebijakan itu dalam
praktiknya mungkin saja berubah atau dilupakan paling tidak secara sebagian.
8.).Kebijakan muncul
dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu. Kebijakan itu sifatnya
dinamis, bukan statis. Artinya setelah kebijakan tertentu dirumuskan, diadopsi,
lalu diimplementasikan, akan memunculkan umpan balik dan seterusnya.
9). Kebijakan meliputi
baik hubungan yang bersifat antar organisasi ataupun yang bersifat intra
organisasi. Pernyataan ini memperjelas perbedaan antara keputusan dan
kebijakan, dalam arti bahwa keputusan mungkin hanya ditetapkan oleh dan dan
melibatkan suatu organisasi, tetapi kebijakan biasanya melibatkan berbagai
macam aktor dan organisasi yang setiap harus bekerja sama dalam suatu hubungan
yang kompleks.
10.) Kebijakan negara
menyangkut peran kunci dari lembaga pemerintah, walaupun tidak secara ekslusif.
Terhadap kekaburan antara sektor publik dengan sektor swasta, disini perlu
ditegaskan bahwa sepanjang kebijakan itu
pada saat perumusannya diproses, atau setidaknya disahkan atau diratifikasikan
oleh lembaga-lembaga pemerintah, maka kebijakan tersebut disebut kebijakan
negara.
11.) Kebijakan
dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif. Hal ini berarti pengertian yang
termaktub dalam istilah kebijakan seperti proses kebijakan, aktor kebijakan,
tujuan kebijakan serta hasil akhir suatu kebijakan dipahami secara berbeda oleh
orang yang menilainya, sehingga mungkin saja bagi sementara pihak ada perbedaan
penafsiran mengenai misalnya tujuan yang ingin dicapai dalam suatu kebijakan
dan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut.
Sementara itu Parsons (2006:15),
memberikan gagasan tentang kebijakan adalah seperangkat aksi atau rencana yang
mengandung tujuan politik. Menurutnya kata policy mengandung makna
kebijakan sebagai rationale, sebuah manifestasi dari penilaian
pertimbangan. Artinya sebuah kebijakan adalah usaha untuk mendefenisikan dan
menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.
Selanjutnya Nurcholis (2007:263),
memberikan defenisi tentang kebijakan sebagai keputusan suatu organisasi yang
dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu, berisikan ketentuan-ketentuan yang
dapat dijadikan pedoman perilaku dalam hal :
1. Pengambilan
keputusan lebih lanjut, yang harus dilakukan baik kelompok sasaran ataupun
(unit organisasi pelaksanaan kebijakan,
2. Penerapan
atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan baik dalam hubungan
dengan (unit) organisasi pelaksana maupun dengan kelompok sasaran yang
dimaksudkan. Makna kebijakan seperti
yang dikutip oleh Jones (1996:47) dalam pandangan Prof Heinz Eulau dan Kenneth
Prewitt, yang menyatakan bahwa kebijakan itu ialah : ―a standing decision
characterized by behavior consistency and repetiveness on the part of both
thoose who make it and those who abide by it”.
Menurut Jones, bahwa kebijakan adalah
keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan (repetiveness)
tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yag mematuhi
keputusan tersebut.
Sekalipun defenisi menimbulkan beberapa
pertanyaan atau masalah untuk menilai berapa lama sebuah keputusan dapat
bertahan atau hal apakah yang membentuk konsistensi dan pengulangan tingkah
laku yang dimaksud serta siapa yang sebenarnya melakukan jumlah pembuat
kebijakan dan pematuh kebijakan tersebut, namun demikina defenisi ini telah
memperkenalkan beberapa komponen kebijakan publik.
Selanjutnya tentang kebijakan publik Dye
(2008:1), mengemukakan : ―Public policy is what ever governments choose to
do or not to do”, konsep ini menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah
apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.
Menurutnya bahwa apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus
ada tujuan dan kebijakan negara tersebut harus meliputi semua tindakan
pemerintah, bukan semata-mata pernyataan keinginan pemerintah atau pejabatnya.
Disamping itu sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk
kebijakan negara. Hal ini disebabkan ‖sesuatu yang tidak dilakukan‖ oleh
pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besarnya dengan ‖sesuatu yang
dilakukan oleh pemerintah‖.
Dengan
demikian kebijakan menurt Dye, adalah merupakan upaya untuk memahami:
1.
Apa yang dilakukan dan atau tidak dilakukan oleh pemerintah,
2.
Apa penyebab atau yang mempengaruhinya, dan
3.
Apa dampak dari kebijakan tersebut jika dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Kalau konsep ini diikuti, maka dengan
demikian perhatian kita dalam mempelajari kebijakan seyogianya diarahkan pada
apa yang nyata dilakukan oleh pemerintah dan bukan sekedar apa yang ingin
dilakukan. Dalam kaitan inilah maka mudah dipahami jika kebijakan acap kali
diberikan makna sebagai tindakan politik. Sehubungan dengan hal tersebut Dunn,
(2003:22), mengemukakan bahwa proses analisis kebijakan adalah serangkaian
aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada
dasarnya bersifat politis.
Aktivitas politis tersebut dijelaskan
sebagai proses pembuatan kebijakan dan diaktualisasikan sebagai serangkaian
tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu penyusunan
agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan
penilaian kebijakan.
Itulah sebabnya Utomo (2006:76),
mengemukakan setiap peraturan daerah, undang-undang maupun kebijakan akan
selalu terkait atau dikaitkan atau bahkan dipengaruhi oleh sistem politik,
sistem pemerintahan atau suasana politik atau bahkan keinginan power elit
pada suatu waktu. Senada dengan hal tersebut (Nugroho, 2003: 7), mengemukakan
bahwa kebijakan adalah suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus
ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi
sanksi sesuai dengan bobot pelanggaran yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan di
depan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi.
‘Dari berbagai pengertian yang
dikemukakan oleh para pakar di atas, penulis berpendapat bahwa kebijakan publik
identik dengan regulasi atau aturan atau dapat diartikan sebagai suatu produk
hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah yang harus dipahami secara utuh dan
benar. Kebijakan publik diawali dengan adanya isue yang menyangkut kepentingan
bersama dimana dipandang perlu untuk diatur melalui formulasi kebijakan dan
disepakati oleh legislatif dan eksekutif untuk ditetapkan menjadi suatu kebijakan
publik, apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah, atau
Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah, maka kebijakan publik tersebut
berubah menjadi hukum yang harus ditaati.
5.2.
Tingkatan Kebijakan Publik
Kebijakan publik memiliki tingkatan,
Nugroho (2006:31), menegaskan bahwa secara sederhana rentetan atau tingkatan
kebijakan publik di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni :
1. Kebijakan
publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yaitu (a) UUD1945,
(b) UU/Perpu, (c) Peraturan Pemerintah, (d) Peraturan Presiden, dan (e)
Peraturan Daerah.
2. Kebijakan
Publik yang bersifat (meso) atau menengah, atau penjelas pelaksanaan.
Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri,
Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, dan Peraturan Walikota. Kebijakannya
dapat pula berbentuk Surat Keputusan Bersama atau SKB antar Menteri, Gubernur
dan Bupati dan Walikota.
3. Kebijakan
Publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan
atau implementasi dari kebijakan di atasnya. Bentuk kebijakannya adalah
peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur,
Bupati dan Walikota.
Dari gambaran tentang hirarki kebijakan
di atas, nampak jelas bahwa kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau
Peraturan Daerah merupakan kebijakan publik yang bersifat strategis tapi belum
implementatif, karena masih memerlukan derivasi kebijakan berikutnya atau
kebijakan publik penjelas atau yang sering disebut sebagai peraturan
pelaksanaan atau petunjuk pelaksanaan.
Terkait dengan hirarki kebijakan secara
umum (Abidin (2004:31-34) membedakan kebijakan dalam tiga tingkatan sebagai
berikut :
1. Kebijakan
umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang
bersifat positif ataupun negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau
instansi yang bersangkutan.
2. Kebijakan
pelaksanaan, yaitu kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat
pusat, Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang.
3. Kebijakan
teknis, yaitu kebijakan operasional yang berada dibawah kebijakan pelaksanaan.
Younis (1990:3), membagi kebijakan
publik atas tiga tahap yakni : formasi dan desain kebijakan, implementasi
kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Sedangkan Gortner (1984:30-40), menjelaskan
ada lima tahapan dalam proses terjadinya kebijakan, yakni pertama identifikasi
masalah, kedua formulasi, ketiga legitimasi, keempat aplikasi dan kelima
evaluasi.
Starling (1973:13) menjelaskan adanya
lima tahap proses terjadinya kebijakan publik, yakni:
1.
Identification of neds, yaitu
mengidentifikasikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam pembangunan dengan
mengikuti beberapa kriteria antara lain: menganalisa data, sampel, data
statistik, model-model simulasi, analisa sebab akibat dan tehnik-tehnik
peramalan.
2.
Formulasi usulan kebijakan yang mencakup
faktor-faktor strategik, alternatif-alternatif yang bersifat umum, kemantapan
teknologi dan analisis dampak lingkungan,
3. Adopsi yang mencakup analisa kelayakan
politik, gabungan beberapa teori politik dan penggunaan tehnik-tehnik
pengangguran.
4. Pelaksanaan program yang mencakup
bentuk-bentuk organisasinya, model penjadwalan, penjabaran keputusan-keputusan,
keputusan-keputusan penetapan harga, dan skenario pelaksanaannya, dan
5. Evaluasi yang mencakup penggunaan
metode-metode eksperimental, sistem informasi, auditing, dan evaluasi mendadak.
Charles O. Jones menegaskan bahwa kebijakan
publik terdiri dari komponen-komponen :
1. Goal
atau
tujuan yang diinginkan,
2. Plans
atau
proposal, yaitu pengertian yang spesific untuk mencapai tujuan,
3. Programs,
yaitu
upaya-upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan,
4. Decisions
atau
keputusan, aitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana,
melaksanakan dan mengevaluasi program.
5. Efec,
yaitu
akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer atau sekunder.
Kaji (2008:10), mengemukakan bahwa
terdapat beberapa unsur yang terkandung dalam kebijakan publik sebagai berikut
:
1. Kebijakan
selalu mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu.
2. Kebijakan
berisi tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah.
3. Kebijakan
adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, dan bukan apa yang
dimkasud akan dilakukan.
4. Kebijakan
publik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah mengenai sesuatu dalam
memecahkan masalah publik tertentu) dan bersifat negatif (keputusan pejabat
pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu).
5. Kebijakan
publik (positif) selalu berdasarkan pada peraturan perundangan tertentu yang
bersifat memaksa (otoritatif).
Dengan memahami pendapat para pakar
tentang kebijakan tersebut, setidaknya terdapat butir-butir yang merupakan ciri
penting dari pengertian kebijakan. Butir-butir tersebut adalah :
1. Kebijakan
adalah suatu tindakan pemerintah yang mempunyai tujuan menciptakan
kesejahteraan masyarakat.
2. Kebijakan
dibuat melalui tahap-tahap yang sistematis sehingga semua variabel pokok dari
semua permasalahan yang akan dipecahkan tercakup.
3. Kebijakan
harus dapat dilaksanakan oleh (unit) organisasi pelaksana.
4. Kebijakan
perlu dievaluasi sehingga diketahui berhasil atau tidaknya dalam menyelesaikan
masalah.
5. Kebijakan
adalah produk hukum yang harus ditatati dan berlaku mengikat terhadap warganya.
6.Model-Model
Kebijakan Publik
Penggunaan model
dalam kebijakan publik sangat penting, menurut Thoha, (2010:125) manfaat sebuah
model akan tergantung pada kemampuannya untuk menyusun dan menyederhanakan kehidupan
politik. Selanjutnya diuraikan oleh Thoha tentang model-model kebijakan publik
sebagai berikut:
6.1. Model Elite (Policy sebagai Preferensi
Elite)
Istilah elite menurut kamus adalah bagian yang
terpilih atau tersaring. Jika diterapkan dalam kehidupan kelompok, maka elite
adalah bagia yang superior secara sosial dari suatu masyarakat. Dan jika
diterapkan dalam kehidupan politik, elite adalah bagian atau kelompok tertentu
dari suatu masyarakat yang sedang berkuasa. Kalau dalam suatu masyarakat semua
bagian atau kelompok secara bersama-sama berkuasa, seperti dalam demokrasi
langsung dan dalam prinsip-prinsip kebersamaan dan kebulatan suara (unanimity
principle), maka di sini tidak ada elite yang berkuasa atau dengan kata
lain tidak ada political elite.
Public policy dalam
model elite ini dapat dikemukakan sebagai preferensi dari nilai-nilai elite
yang berkuasa. Walaupun sering dikemukakan oleh tokoh-tokoh elite itu sendiri,
bahwa public policy yang dianutnya adalah merefleksi dari
tuntutan-tuntutan rakyat banyak. Hal tersebut tampaknya lebih memencarkan
sebagai mitos dibandingkan dari kenyataan yang sesungguhnya.
Teori model elite sebagaimana dikemukakan oleh Thoha
(2010:125) menyarankan bahwa rakyat dalam hubungannya dengan public policy hendaknya
dibuat apatis atau miskin akan informasi. Elite secara pasti lebih banyak dan
sering membentuk opini masyarakat dalam persoalan-persoalan policy,
dibandingkan dangan massa membentuk opini elite. Pejabat-pejabat pemerintah,
administrator-administrator dan birokrat hanya melaksanakan policy yang telah
dibuat elite tersebut. Policy mengalir dari elite ke massa melalui
administrator-administrator tersebut. Bukan sebaliknya berasal dari tuntutan-tuntutan
masyarakat.
Teori model elite ini secara singkat Thoha
(2010:128) merumuskan sebagai berikut:
1. Masyarakat
dalam suatu negara tertentu dibagi atas dua bagian, yakni bagian yang mempunyai
kekuasaan, dan bagian yang tidak mempunyai kekuasaan. Bagian masyarakat yang
mempunyai kekuasaan ini jumlahnya sedikit, sedangkan masyarakat yang tidak
mempunyai kekuasaan ini jumlahnya banyak. Hanya sejumlah kecil dari bagian
masyarakat tersebut yang mengalokasikan nilai-nilai untuk masyarakat banyak.
Adapun massa tidak ikut berperan serta memutuskan public policy.
2. Sekelompok
kecil atau beberapa orang yang memerintah adalah bukan mewakili secara tipikal
dari massa yang diperintah. Policy mengalir dari kehendak elite melalui
para pejabat dan administrator yang melaksanakan policy tersebut dengan
sasarannya rakyat banyak. Rakyat banyak menjadi objek dari keinginan-keinginan
elite.
3. Untuk
mencapai stabilitas dan menghindari adanya revolusi, maka gerakan-gerakan non
elite yang membahayakan posisi elite harus dikendalikan secara kontinu. Hanya
non elite yang sudah mau menerima konsensus dasar dari elite yang diperkenankan
masuk lingkaran pemerintahan elite.
4. Elite
membagi konsensus atas nama nilai-nilai dasar dari suatu sistem sosial yang ada
dan perlindungan dari sistem tersebut. Di Amerika dasar dari konsensus elite
adalah dihargainya milik pribadi, adanya batas-batas pemerintahan, dan
kemerdekaan pribadi. Di Indonesia dasar konsensus elite adalah falsafah dan
dasar negara Pancasila, yang akhir-akhir ini dikenal denga asas tunggal
Pancasila.
5. Public
policy bukanlah merefleksi dari tuntutan-tuntutan
masyarakat pada umumnya, melainkan agak menonjolkan nilai-nilai kepentingan
sekelompok orang yang berkuasa (elite). Perubahan-perubahan dalam public policy
lebih bersifat tambal sulam (incremental) daripada bersifat
revolusioner.
6. Elite
yang aktif adalah relatif kecil menjadi sasaran dari pengaruh langsung massa
yang apatis. Elite lebih banyak mempengaruhi massa dari pada massa mempengaruhi
elite.
Rumusan-rumusan teori model elite di
atas kiranya dapat dipergunakan sebagai dasar pemahaman model ini dalam public
policy. Namun meskipun demikan Thoha membuat suatu pertanyaan apakah
implikasi teori model elite tersebut terhadap analisis kebijakan dalam public
policy? Pertanyaan di atas dijawab sendiri oleh Thoha sebagai berikut :
1. Dalam
elitisme, public policy lebih banyak mencerminkan kepentingan dan
nilai-nilai elite dibandingkan dangan memperhatikan tuntutan-tuntutan rakyat
banyak. Oleh karena itu, perubahan dan inovasi di dalam public policy hanyalah
dimungkinkan sebagai suatu hasil dari merumuskan kembali nilai-nilai elite
tersebut yang dilakukan oleh elite sendiri. Itulah sebabnya elite lalu menjadi
konservatif, yakni mereka lebih menyukai bertahan pada suatu sistem yang ada.
Maka jika terjadi suatu perubahan dalam public policy, perubahan
tersebut dilakukan lebih bersifat tambal sulam dibandingkan daripada bersifat
revolusioner. Dalam bentuknya yang realistis public policy sering kali
hanya disempurnakan dan jarang dilakukan penggantian.
2. Pada
hakikatnya, terjadinya perubahan dalam sistem politik dan public policy,
jika timbul peristiwa-peristiwa yang mengancam suatu sistem yang berjalan.
Dalam hal ini elite bertindak dalam basis pemahaman atas kepentingan pribadi.
Perubahan-perubahan institusi hanyalah dilakukan untuk melindungi suatu sistem
yang ada dan posisi-posisi elite dalam sistem tersebut. Selain itu elite dapat
pula bersikap lain yakni memerhatikan kepentingan rakyat. Nilai-nilai dari
elite lalu menjadi nilai yang sangat memerhatikan persoalan-persoalan
masyarakat (public regarding). Suatu perasaan yang mempunyai kewajiban
terhormat dapat mewarnai nilai-nilai elite. Dan kesejahteraan masyarakat
merupakan unsur yang amat penting dalam keputusan-keputusan elite. Kalau timbul
keadaan seperti ini, maka elitisme itu sebenarnya bukanlah berarti bahwa public
policy akan bertentangan dengan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, tanggung
jawab untuk mensejahterahkan rakyat terletak pada bahu para elite tersebut
bukannya pada masyarakat.
3. Pandangan
kaum elite bahwa massa sebagian besar adalah pasif, apatis, dan miskin
informasi. Sentimen-sentimen rakyat acap kali dimanipulasikan oleh elite,
bukannya sebaliknya nilai-nilai elite dipengaruhi oleh sentimen rakyat. Dan
hampir pada semua bagian, kominikasi antara elite dan rakyat arusnya mengalir
secara deras kebawah. Ini berarti rakyat banyak menjadi sasaran dari kehendak elite.
Oleh karena itu, adanya suatu lembaga pemilihan umum yang terkenal itu dan
adanya kompetisi partai politik tidaklah memungkinkan massa unutk ikut
memerintah. Masalah-masalah policy dalam public policy jarang
diputuskan oleh rakyat lewat lembaga-lembaga pemilihan dan perwakilan atau
melalui hadirnya alternatif-alternatif policy yang diajukan oleh
partai-partai politik. Hampir seluruh lembaga-lembaga demokrasi (misalnya,
pemilihan umum dan partai politik) dirasakan penting hanya untuk simbol
nilai-nilai elite.
4. Elite
menolong
mengikat massa pada suatu sistem politik dengan memberikan pada suatu peranan
bermain pada hari pemilihan umum, dan adanya partai politik yang dikenal dan
diizinkan oleh elite. Pada saat yang terbaik (ini kalau bernasib mujur) massa
menurut elitisme hanyalah mempunyai pengaruh yang tidak langsung terhadap
perilaku elite dalam membuat policy.
5. Elitisme
juga melaksanakan pemerataan dalam konsensus mengenai norma-norma yang fundamental
yang berada dalam sistem sosial. Dan elite juga setuju akan dasar ‖aturan
main‖, sebagaimana setujunya elite terhadap kelangsungan sistem sosial itu
sendiri. Stabilitas dari sistem itu dan juga kehidupannya tergantung pada
konsensus elite dalam melaksanakan sistem nilai yang fundamental. Dan hanya
alternatif-alternatif policy yang berada dalam batasan ‖meratakan
konsensus‖ yang akan diberikan pertimbangan serius.
6. Sudah
barang tentu, elitisme bukanlah berarti bahwa diantara sesama anggota elite.
Tidak pernah terjadi ‖tidak sependapat‖ atau tidak pernah ‖bersaing‖ satu sama
lain untuk merebutkan superioritas. Justru kalau terjadi persaingan di antara
mereka, maka warna persaingannya akan lebih tajam akan tetapi diusahakan tidak
akan tampil ke permukaan. Diusahakan kompetisi diantara mereka terpusat pada
sekitar batas-batas yang amat sempit, sehingga diantara elite lebih banyak
setujunya dibandingkan dari pada tidak setujunya.
Hal-hal yang dapat dipergunakan sebagai
dasar konsensus elite antara lain: ‖pemerintahan yang konstitusional‖,
‖prosedur yang demokratis‖, ‖peranan mayoritas‖, ‖kebebasan bersuara dan press‖,
‖kebebasan untuk membentuk partai atau kekuatan oposisi‖,‖ kebebasan untuk
memasuki sebagai pegawai dalam kantor-kantor pemerintah tanpa dilihat sal
ideologi politiknya‖,‖kesempatan yang sama dalam setiap bagian dari kehidupan
ini‖, ‖dihormati milik pribadi‖, dan lain-lainnya. (Thoha, 2010:132).
6.2.
Model Kelompok (Policy sebagai
Keseimbangan Kelompok)
Model kedua yang dikemukanan oleh Thoha
( 2010 :132) adalah Model Kelompok (Policy sebagai Keseimbangan
Kelompok). Teori kelompok mulai dengan suatu ungkapan bahwa interaksi di antara
kelompok adalah fakta sentral dari politik dan public policy. Menurutnya
bahwa individu dengan kepentingan-kepentingan mengikat bersama-sama baik formal
maupun tidak formal menekankan tuntutan-tuntutannya pada pemerintah. Menurut
ahli ilmu politik David Truman suatu kelompok berkepentingan adalah suatu
kelompok yang ikut membagi sikap dengan mengajukan tuntutan-tuntutan tertentu
atas kelompok lainnya dalam suatu masyarakat untuk kemantapan, pemeliharaan dan
kesenangan dari suatu bentuk perilaku yang terdapat dalam sikap-sikap yang
dibagikan tersebut.
Kelompok tertentu ini akan menjadi
kelompok politik, jika dan manakala kelompok tersebut membuat suatu tuntutan
melalui atau tergantung akan institusi pemerintah. Individu-individu amat
penting dalam politik hanya ketika mereka bertindak sebagai suatu bagian atau
atas nama dari kelompok yang berkepentingan tersebut. Sehingga dengan demikian
kelompok merupakan jembatan yang esensial yang menghubungkan antara individu
dengan pemerintahnya. Dari hal ini dapat diketahui bahwa politik benar-benar
merupakan perjuangan di antara kelompok-kelompok untuk memengaruhi public
policy. Adapun tugas kewajiban dari suatu sistem politik adalah untuk
mengarahkan konflik kelompok dengan cara:
1.
Menetapkan aturan permainan dalam kelompok-kelompok yang sedang berjuang;
2.
Mengatur kompromi dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan;
3.
Mewujudkan kompromi-kompromi tersebut dalam rupa public policy;
4.
Melaksanakan pelaksanaan usaha-usaha dalam kompromi tersebut.
Menurut model teori kelompok ini, public
policy pada saat-saat tertentu dan kapanpun, senantiasa merupakan usaha
yang menjaga keseimbangan yang dicapai di dalam kelompok yang sedang berjuang
Diuraikan oleh Thoha (2010) keseimbangan
ini ditentukan oleh pengaruh relatif dari kelompok-kelompok yang berkepentingan
(group interest). Perubahan-perubahan di dalam pengaruh relatif dari
setiap kelompok bisa diharapkan untuk menghasilkan perubahan dalam public
policy. Policy akan bergerak ke arah yang dikehendaki oleh kelompok yang
mendapatkan pengaruh, dan akan menjauh dari keinginan-keinginan dari kelompok
yang kehilangan pegaruh.
Pengaruh dari kelompok-kelompok
berkepentingan tersebut sebenarnya ditentukan oleh:
· jumlah
keanggotaannya;
· kesejahteraannya;
· kekuatan
organisasinya;
· kepemimpinannya;
· ekses-ekses
terhadap pembuatan keputusan;
· kohesif
ke dalam organisasinya.
Model kelompok berusaha menerangkan
semua aktivitas-aktivitas politik yang bermanfaat di dalam hubungannya dengan
‖perjuangan kelompok‖. Pembuat keputusan dipandang secara ajek menanggapi
tekanan-tekanan dari kelompok dengan cara bargaining, negosiasi,
dan kompromi dari tuntutan-tuntutan yang saling bersaing di antara
kelompok-kelompok yang berpengaruh.
Suatu contoh yang menarik dari model
kelompok ini dikenal dengan sistem koalisi, dikemukakan oleh Thomas R. Dye
dengan referensi kehidupan politik di Amerika Serikat. Menurut Dye para
politisi berusaha membentuk kelompok koalisi mayoritas. Dalam hal yang sedemikian
ini mereka mempunyai beberapa keluasan di dalam menetapkan kelompok manakah
yang perlu dimasukkan ke dalam koalisi mayoritas tadi.
Semakin besar lambaga konstitusi dari
para politisi, dan semakin besar jumlah kepentingan yang berbeda, maka semakin
bebas pula di dalam usaha menyeleksi kelompok-kelompok yang akan membentuk
koalisi mayoritas. Di Amerika Serikat anggota kongres mempunyai sedikit
fleksibilitas dibandingkan dengan para senator yang mempunyai fleksibilitas
yang longgar. Dan presiden lebih mempunyai fleksibilitas yang longgar kalau
dibandingkan dengan anggota kongres dan senat.
Partai politik di sana dipandang sebagai
kelompok koalisi. Partai Demokrat misalnya, sejak zamannya Roosevelt sampai
sekarang dikenal sebagai koalisi dari: buruh, penduduk yang bertempat tinggal
di pusat kota, kelompok etnik, pemeluk agama Katholik, orang-orang miskin, kaum
intelektual liberal, orang-orang hitam (Negro), dan orang-orang selatan (Texas,
Lousiana, Virginia, dan lain-lainnya). Dengan demikian, persoalan-persoalan
yang sering timbul yang dihadapi partai demokrat sekarang ini dapat ditelusuri
dari kelemahan-kelemahan koalisi ini. Seperti misalnya, persoalan-persoalan
ketidakpuasan dari orang-orang selatan, dan konflik-konflik yang senantiasa
timbul antara kaum buruh kulit putih dengan orang-orang hitam dan kelompok
etnik lainnya. Demikian pula partai republik merupakan koalisi dari penduduk
pedesaan dan kota-kota kecil, kelas tengahan, orang-orang kulit putih, pemeluk
agama protestan, pekerja-pekerja kulit putih, dan juga warga pinggiran kota. Semua sistem kelompok berkepentingan itu
yakni sistem partai politik itu sendiri, diikat bersama di dalam keseimbangan (equilibirium)
oleh beberapa faktor berikut ini sebagaimana dikemukkan oleh Thoha
(2010:135),
1. Ada
sekelompok besar bahkan dapat dikatakan mendekati universal bahwa di masyarakat
Amerika Serikat terdapat kelompok laten yang mendukung sistem konstitusi dan yang
mengutamakan untuk menenangkan ‖aturan bermain‖. Kelompok ini tidak selalu
tampak, tetapi dapat diaktifkan untuk mengelola perlawanan dari kelompok yang
akan menyerang sistem yang ada dan berkeinginan menghancurkan keseimbangan.
2. Adanya
keanggotaan kelompok yang tumpangsuh (overlapping group membership).
Anggota semacam ini dapat menolong untuk memelihara keseimbangan dengan cara
mencegah setiap kelompok untuk bergerak terlampau jauh dari nilai-nilai yang
dipertahankan. Individu yang menjadi anggota satu kelompok dan juga menjadi
anggota kelompok lain, merupakan kenyataan yang dapat melembutkan
tuntutan-tuntutan dari kelompok yang satu atas kelompok lain.
3. Check
dan
balance yang dihasilkan dari persaingan kelompok dapat juga membantu
untuk memelihara keseimbangan dari suatu sistem. Tidak ada kelompok tunggal
yang merupakan suatu mayoritas di masyarakat amerika serikat. Kekuasaan dari
tiap kelompok dicek oleh kekuasaan dari kelompok-kelompok yang sedang bersaing.
Pusat-pusat perimbangan fungsi kekuasaan dipergunakan untuk mengecek pengaruh
dari tiap kelompok tunggal, dan untuk melindungi individu dari tindakan
sewenang-wenang.
6.3.
Model Kelembagaan (Institution Model)
Akhir-akhir ini struktur pemerintahan
dan lembaga-lembaga yang ada telah lama menjadi pusat perhatian dari ilmu
politik. Secara tradisional, ilmu politik dirumuskan sebagai suatu studi
tentang lembaga-lembaga pemerintahan. Kegiatan-kegiatan politik pada umumnya
berpusat disekitar lembaga-lembaga pemerintahan tersebut, seperti misalnya
parlemen, kepresidenan, badan kehakiman, pemerintahan daerah, partai politik,
dan lain sebagainya. Public policy adalah ditentukan, dilaksanakan, dan
dipaksakan secara otoritatif oleh lembaga-lembaga pemerintah.
Lembaga pemerintah memberikan public
policy tiga karakteristik antara lain: (Thoha:2010:136)
1. Pemerintah
meminjamkan legitimasi kepada kebijaksanaan (policy).
Kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah pada umumnya dipandang sebagai kewajiban
yang legal yang harus dipatuhi oleh semua warga negara. Rakyat boleh saja
memandang kebijaksanaan-kebijaksanaan dari kelompok-kelompok lain misalnya:
perusahaan, organisasi-organisasi profesi, majelis ulama, yayasan-yayasan
sosial, dan lain sebagainya, sebagai hal yang amat penting dan bahkan bisa
mengikatnya. Akan tetapi, hanya policy-policy dari pemerintahlah yang mampu
melibatkan semua warga negara untuk mematuhinya sebagai kewajiban yang legal.
2. Policy-policy
pemerintah
melibatkan universalitas. Hanya policy-policy pemerintah yang mampu
memasuki dan menjangkau semua rakyat dalam suatu masyarakat. Tidak ada satu
orangpun yang mampu menghindari dari suatu keputusan kebijaksanaan telah
diambil oleh pemerintah. Policy yang dibuat oleh organisasi-organisasi
lain yang disebutkan di atas, hanya mampu meraih sebagian saja dari masyarakat.
3. Pemerintah
memonopoli paksaan dalam masyarakat. Hanya pemerintah yang bisa mengabsahkan
tindakan untuk memenjarakan seseorang yang melawan policy-nya. Sangsi yang
barangkali akan diberikan oleh organisasi-organisasi lain dalam masyarakat
sangat terbatas. Adalah tepat sekali, bahwa pemerintah mempunyai
kemampuan-kemampuan memonopoli paksaan untuk memaksakan loyalitas dari semua
rakyatnnya, dan mengeluarkan policy-policy yang mengatur seluruh
masyarakat. Demikian pula pemerintah berhak memonopoli penggunaan legimitasi
untuk memaksakan dan mendorong individu-individu dan kelompok bekerja sesuai
dengan preferensi yang ditegaskan dalam policy.
Menurut kelaziman yang
tradisional,pendekatan kelembagaan dalam ilmu politik tidaklah memberikan
banyak perhatiannya pada hubungan antara struktur lembaga pemerintah dengan isi
public policy. Penelaahan kelembagaan biasanya hanya menjelaskan
lembaga-lembaga pemerintah secara spesifik, misalnya menjelaskan tentang
strukturnya, organisasi, tugas kewajibannya, dan fungsi-fungsi yang dijalankan.
Penjelasan-penjelasan tersebut tanpa diikuti secara sistematis meneliti
pengaruh karakteristik lembaga-lembaga tersebut dengan hasil-hasil dari suatu policy.
Selain perhatian analisis model
kelembagaan di dalam ilmu politik terlalu sempit ia pun tidak produktif.
Lembaga-lembaga pemerintah sebenarnya merupakan pola perilaku dari
individu-individu dan kelompok yang bentuk kerangkanya sudah jelas dan dapat
dilihat sebelumnya.
Dengan pola kerangka ini dimaksudkan
bahwa pola-pola perilaku ini cenderung untuk tetap berlaku begitu saja
selamanya. Pola-pola perilaku individu dan kelompok yang stabil dapat
memengaruhi isi public policy. Lembaga-lembaga yang sudah demikian
mempolanya barangkali bisa dipergunakan untuk memudahkan menghasilkan policy
dan menolak hasil-hasil policy lain.
Lembaga-lembaga semacam ini dapat pula
memberikan keuntungan kepada kelompok berkepentingan tertentu dalam masyarakat
dan dapat pula menunda keuntungan-keuntungan tersebut pada pihak-pihak lainnya.
Individu-individu dan kelompok-kelompok tertentu dapat pula lebih menikmati
dari ekses-ekses kekuasaan pemerintah di dalam tatanan sifat-sifat struktural
dibandingkan dengan tatanan-tatanan lainnya.
Dengan singkat, struktur lembaga-lembaga
pemerintah dapat mempunyai akibat yang penting terhadap public policy.
Pendekatan kelembagaan tidaklah perlu berpandangan sempit dan deskriptif. Kita
dapat mempertanyakan apakah ada hubungan-hubungan antara perangkat
institusional dengan bobot isi dari public polcy. Dan kita juga dapat
meneliti hubungan-hubungan ini dalam suatu bentuk perbandingan yang sistematis.
Suatu contoh dalam suatu bidang masalah-masalah pedesaan dapat dipertanyakan
sebagai berikut sebagaimana dikemukakan oleh Thoha, 2010:138)
·
Apakah policy pemerintah pusat
(misalnya departemen dalam negeri, menteri perumahan, dan barangkali pula
departemen pekerjaan umum), lebih banyak memerhatikan dan menanggapi
masalah-masalah pembangunan pedesaan ataukah hanya memikirkan pemerintahan
daerah saja secara umum?
·
Bagaimanakah pembagian tanggung jawab
yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah tentang pembangunan pedesaan
tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini dapat
dipergunakan sebagai alat analisis yang sistematis dalam mencari hubungan
antara pengaturan lembaga-lembaga pemerintahan dengan bobot dari isi public
policy. =
Adalah penting diingat bahwa pengaruh
pengaturan kelembagaan dalam public policy merupakan persoalan empiris
yang membutuhkan penelitian lebih lanjut. Sering kali dijumpai bahwa
orang-orang melupakan penelitian ini. Pembaru-pembaru yang bersemangat untuk
melakukan pembaruan acap kali terperangkap pada salah duga yang apriori.
Mereka beranggapan bahwa perubahan dalam
kelembagaan akan mengakibatkan juga perubahan-perubahan dalam kelembagaan akan
mengakibatkan juga perubahan dalam kebijaksanaan. Padahal kenyataan tidak mesti
demikian. Itulah sebabnya menurut Thoha (2010) kehati-hatian amat dibutuhkan
untuk dapat mengamati dengan teliti hubungan antara struktur kelembagaan dengan
isi public policy.
Dengan penelitian akan diperoleh
pengetahuan bahwa baik struktur lembaga ataupun isi public policy dapat
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang ada dalam lingkungan. Demikian pula
akan diketagui bahwa pengaturan-pengaturan lembaga tersebut akam memberikan pengaruh
yang kecil terhadap public policy jika kekuatan-kekuatan lingkungan
seperti misalnya: kekuatan sosial, ekonomi dan politik tetap ajek.
6.4.
Model Proses (Policy Sebagai Suatu Aktivitas politik)
Thoha (2010) menguraikan panjang lebar
tentang proses politik dan perilaku telah lama menjadi pusat perhatian ilmu
politik pada beberapa dasawarsa belakangan ini. Perilaku politik yang tergolong
modern sejak perang dunia II telah mempelajari aktivitas-aktivitas yang
dilakukan oleh para pemilih, kelompok-kelompok berkepentingan, pembuat
undang-undang, presiden, birokrat, badan-badan peradilan, dan pelaku-pelaku
politik lainnya.
Salah satu tujuan utama yang diinginkan
adalah untuk menemukan suatu pola aktivitas atau proses yang mudah
diidentifikasikan. Akhir-akhir ini beberapa ahli ilmu politik telah mencoba
untuk mengelompokkan berbagai aktivitas menurut hubungannya dengan public
policy.
‘Hasilnya ialah adanya serangkaian
proses policy yang biasanya mengikuti pola umum sebagai berikut:
1. Identifikasi
persoalan-persoalan.
2. Tuntutan-tuntutan
untuk kegiatan pemerintah.
3. Perumusan
Usul-usul Policy
4. Prakarsa
dan pengembangan usulan-usulan program pemerintah.
5. Pengesahan
Policy.
6. Memilih
suatu usulan, pembentukan dukungan politik untuk usulan tersebut, dan mengesahkan
itu sebagai undang-undang hukum.
7. Pelaksanaan
Policy.Penataan birokrasi, penyediaan gaji dan pelayanan-pelayanan, dan
penetapan-penetapan pajak.
8. Evaluasi
Policy.
Penganalisisan tentang program-program,
evaluasi hasil-hasil dan pengaruhnya, dan menyarankan perubahan-perubahan dan
penyesuaian-penyesuaian. Dengan
demikian, public policy dilihat dari model proses ini sebagai suatu
rangkaian kegiatan-kegiatan politik mulai dari identifikasi masalah, perumusan,
pengesahan, pelaksanaan dan evaluasi policy.
Proses pembuatan kebijaksanaan sebagai
suatu kerangka analisis dikemukakan oleh Charles O. Jones dalam tabel sebagai
berikut: Model proses hanya menekankan
bagaimana tahapan aktivitas yang dilakukan di dalam menghasilkan public
policy. Model ini kurang memerhatikan isi subtansi dari policy yang
bakal di buat. Dengan demikian, sebagian ahli mengatakan bahwa
pandangan-pandangan dari model proses ini terlalu sempit dibandingkan dengan
model yang lain. Walaupun dikatakan sempit, model ini bagaimanapun mempunyai
kegunaan yang besar untuk mengetahui dan memahami aneka macam kegiatan yang
terlibat dalam proses pembuatan policy.
Tabel
1:
Proses
Policy suatu Kerangka Analisis (Thoha,2010:140)
Aktivitas-Aktivitas Fungsional
|
Pengelompokkan
dalam Pemerintahan
|
Suatu
Sistem
|
Hasil
|
Persepsi
Definisi Agrogasi Organisasi Reprenstatif
Formulasi
Legitimasi Apresiasi
Organisasi,
Interpretasi Aplikasi
Spesifikasi
pengukuran analisis
Resolusi
terminasi
|
Persoalan-persolan
Untuk Pemerintah
Tindakan-tindakan
dalam pemerintahan
Dari
pemerintahan untuk masalah
Program
untuk pemerintah
Masalah
resolusi perubahan
|
Identifikasi
Persoalan
Pengembangan
Program
Pelaksanaan
Program
Evaluasi
program
Terminasi
program
|
Persoalan
Untuk tuntutan
Usul-usul
untuk program anggaran
Bermacam-macam
(antara lain:pelayanan, gaji, fasilitas, kontrol, dsb
Bermacam-macam
(antara lain: justifikasi, rekomendasi,dll
Pemecahan
atau perubahan
|
DAFTAR
PUSTAKA.
Abdul
Wahab, Solichin, 1997, Analisis Kebijaksanaan, Dari Formulasi Keimplementasi
Kebijaksanaan Negara. Jakarta, Penerbit PT Bumi Aksara
Abidin,
Said Zainal, 2004, Kebijakan Publik, Jakarta Pancar Siwah.
Adimihardja,
Kusnaka & Hikmat, Harry. 2003. Participatory Research Appraisal.
Pengabdian dan Peberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora
Anderson,
James, A. 1997. Public Policy Making Third Edition, USA, Penerbit
Houghton Miffin Company
A.R.
Mustapadijaja. 1992. Studi Kebijaksanaan, Perkembangan dan Perepannya dalam
Rangka Administrasi dan Manajemen Pembangunan. Jakarta, LP-FEUI.
Arief,
Syaiful, 2006, Demokrasi: sejarah, praktik, dan dinamika pemikiran Averroes
Press, Jakarta.
Chandra,
Eka, dkk. 2003. Membangun Forum Warga. Implementasi Partisipasi dan
Penguatan Masyarakat Sipil. Bandung: Akatiga.
Dye
R Thomas. 2008. Understanding Public Policy. Pearson Education' Upper
Saddle River' NewJersey
Dun,
Willian N, 1981. Public Policy Analysis : An Intruduction, Prentce_Ha,
Inc, Englewood Cliffs, N.J.07632. USA
………………..,
2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. (Diterjemahkan
oleh: Samodra Wibawa.dkk.) Yogyakarta: Gaja Mada University Pres.
Edwar
III, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington,
DC,Congressional Quarterly Press
Gaventa,
John dan Valderama, Camilo. 2001. Mewujudkan Partisipasi: Teknik Partisipasi
Masyarakat untuk Abad 21. The British Council dan New. Economics
Foundation. 210
Gaventa,
John. 2002. Kewargaan, Partisipasi dan Akuntabilitas (Sebuah Pengantar).
Online(http//www.
Gortner, Harold F. 1984. Adinistration in
The Public Sector. New York, Jhon Willy
Hamengkubuwono
ke X, Sultan. 2007. Merajut Kembali ke Indonesia Kita. Gramedia Jakarta:
Pustaka Umum.
Hatifah
Sj. Sumarto. 2004. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, 20 Prakarsa
Inovatif dan Partisipatisi di Indonesia. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Hidayat,
Misbah.L. 2007. Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Islamy,
Irfan, M. 1994. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta:
Bumi Aksara.
Islam,
Roumeen. 2006. Does More Transparency Go Along With Better Governance, Jurnal
Compilation, Black Whell Publishing Ltd. 9600 Garsingtoon Road, Oxford, USA
John
Pffifner dan Robert V. Presthus, 1960, Public Administration, The Ronald
Press Company New York
Jones,
Charles O.1996. Pengantar Keijakan Publik (Publik Policy) Terjemahan
Rick Ismanto, Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada.
Kadji,
Yulianto.2008. Impelemntasi Kebijakan Publik melalui MSN Aprproach,
Jurnal Teknologi dan Manajemen Indonesia, Volume 6 Edisi Khusus Juli 2008,
Univesrsitas Merdeka Malang .2008. Implementasi
Kebijakan: Dalam Perspektif Realitas, Tulung Agung: Cahaya Abadi
Keban,
Yeremias, T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori
dan Isu, Penerbit Gaya Media Yogyakarta. 211
Koontz,
Harold and Cryill O‖Donnel. 1972, Principle of Management an Analysis of
Management Function, 5th Edition, New York. Mc Graw-Hill Book Company
Krina
P, Lalolo, Loina. 2003. Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas,
Transparansi dan Pertisipasi. 9Online (http//www.goodgovernance-bappenas.go.id/konsep
files/good%20governance.pdf,) Diakses, 06 November 2006.
Lewis,
Phillip, Organizational Communication, Columbus, Ohio: Grid Publishing,
Inc, 1980
http.www.
transparansi.or.id. Masyarakat Transparansi. 2007. Diakses, 10 April
2009.
]Manan.
Bagir.1995, Sistem dan Tehnik Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan Tingkat
Daerah, Pusat Penerbitan Universitas LPPM- Universitas Islam Bandung,
Bandung
Mardiasmo,
2002, Otonomi Dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, Andi
Majchrzak,Ann.
1984. Methods For Policy Research, (Applied Social Research Methods Series
3), SAGE Publication 275 South Beverly Drive Beverly Hills, California
Miles,
B. Matthew dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. (Terjemahan
oleh Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI-Press
Muhyadi.
1989. Organisasi: Teori, Struktur dan Proses. Jakarta: Proyek
Pengembangan LPTK.
Mustopadidjaja
, AR. 2003.Manajemen Proses Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan
Evaluasi Kinerja. Jakarta: Penerbit LAN.
Na‘a
Suprin, 2004, Perda dalam Perspektif Ilmu Perundang-Undangan, Palu,
Tadulako University Press.
Naihasya,
Syahrir. 2006. Kebijakan Publik Menggapai Masyarakat Madani. Jogyakarta:
Mida Pustaka.
Nakamura,
Robert. T and Frank Smallwood, 1980, The Politics of Policy Implementation,
New York, St. Martin‘s Press. 212
Nugroho,
D, Riant. 2003. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo .2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara
Berkembang. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Nurcholis,
Hanif. 2007. Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta:
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Oliver,
Richard W. 2004. What is Transparency, Published by McGraw-Hill
Professional Patton, Michael, Quinn. 2001. Qualitative Research &
Evaluation Methods, Edition 3,Sage Publication Inc. 2455, Teller Road,
Thousand Oaks, California
Parsons,
Wayne. 2006. Public Policy: Pentgantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan.
Dialihbahasakan oleh Tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta: Kencana.
Repley
Randall B. 1985. Policy Analysis In Pilical Science. Cicago : Nelson
Hall Inc
Rosyada,
Dede, dkk, 2003, Demokrasi Hak Azasi Manusiadan Masyarakat, Jakarta
Rusli,
Budiman, 2000. Pola Kebijakan Publik tentang Kerjasama antar Pemerintah
Kotamadya dan Kabupaten Daerah Tingkat II Cirebon dalam Pembangunan Prasarana
Kota Terpadu Cirebon Raya, Bandung;Pascasarjana UNPAD
Salusu,
Jonathan. 2003. Pengambilan Keputusan Strategik untuk Organisasi Publik dan
Organisasi Nonprofit. Jakarta: Grasindo.
Sastroputro,
R.A. Santoso. 1988. Partisipasi, Komunikasi, Persuasif idan Disiplin dalam
Pembangunan Nasional. Bandung: Alumni.
Saud,
Udin Syaefudin, Pengembangan Profesi Guru, Jakarta, CV Alfabeta, 213
Sedarmayanti,
Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) dalam Rangka Otonomi Daerah,
Bandung, CV. Mandar maju.
Siagian,
Sondang, P, 1996, Filsafat Administrasi, Gunung Agung, Jakarta
Syafiie,
Inu Kencana. 2006. Ilmu Administrasi Publik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Shafritz,
j.M. and E.W.Russel. 1997. Introducing Public Administration. New York:
Addison-Wesley Educational Publishers.
Smith,
Rex Deighton. 2004. Regulatory Transparency in OECD Countries : Overview,
Trends a,d Challenges. Australian: Journal of Public Administration
Subarsono.
2005. Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi. Jogyakarta
: Pustaka Pelajar
Sugandha,
Dann. 1989. Administrasi, Strategi, Taktik dan Penciptaan Efisiensi.
Jakarta: Intermedia.
Suhirman.
2003. Partisipasi Dalam Pembuatan Kebijakan: Analisis Atas Kerangka Hukum
dan Praktek Pembuatan Kebijakan Ketenagakerjaan. Online
(http//www.pegasus.or.id/Reports/129)%20Paper-Suhirman.pdf). Diakses, 15
Februari 2007.
Sinambela,
Poltak, Lijan. Dkk. 2006. Reformasi Pelayanan Publik. Teori, Kebijakan, dan
Implementasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Sudjarwo.
2001. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Mandar Maju.
Stillman
II, Richard J, 1992, Public Admnistraion ( Concepts and Cases), Houghton
Miffin Company, Boston, USA
Straus,
Ansel L dan Yulief Corbin. 1990. Basic of Qualitative Research. .
London: Sage Publication.
Tangkilisan,
S Nogi, Hessel. 2002. Evaluasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Balirung
& Co.. 2003. Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta:Yayasan
Pembaruan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI). 214
[1]Hessel Nogi S.
Tangkilisan, MSi, “Teori dan Konsep Kebijakan Publik” dalam Kebijakan Publik
yang Membumi, konsep, strategi dan kasus, Yogyakarta : Lukman Offset dan
YPAPI, 2003, hal 1.
[2] Ibid, hal 2
[3] Ibid, hal 2
[4] Ibid,
hal 2
[5] Ibid,
hal 2
[6] Ibid,
hal 3
[7]
Ibid, hal, 3
[8] Ibid, hal 3
[9] Budi Winarno, “Apakah Kebijakan
Publik ?” dalam Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta : Media
Pressindo, 2002, hal 15.
[10] Ibid, hal 10-15
[11] Ibid hal 16.
[12] Ibid, hal 16.
[13] Ibid, hal 16
[14]Arifin Tahir Kebijakan Publik dan Transparansi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Universitas Gorontalo, Dalam buku yang
diterbitkan PT Pustaka Indonesia Press. 2011.
2 komentar:
Nama : Indah Rizqianti
Nim : A1011131157
Kelas : E
Reguler : A
Semester : 3
Mata kuliah : HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Nama dosen : - Turiman, SH.M.Hum
- Dr. H.M.Syafe’I SH.MH
Saya akan mengomentari artikel pada blog milik bapak Turiman SH.M.hum yang berjudul Kebijakan Publik Dalam Konsep Administrasi Negara. Menurut saya artikel ini sangat menarik untuk dijadikan sebagai pemahaman terhadap masalah kebijakan publik didalam konsep administrasi Negara. Penjelasan nya sangat detail juga disertai dengan literature-literatur yang digunakan dalam penulisan artikel di blog bapak ini.
Menurut saya, kebijakan yaitu suatu kata yang menggambarkan keharusan sesuatu yang dilaksanakan dengan bijak, tegas dan tepat. Didalam bacaan ini terdapat pengertian kebijakan menurut Hoogerwerf dalam Sjahrir pada hakekatnya pengertian kebijakan adalah “Semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan upaya untuk memecahkan, mengurangi, mencegah suatu masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah.
Sedangkan kebijakan publik adalah suatu kegiatan tegas yang dilakukan oleh pemerintah sebagai acuan untuk masyarakat luas. Saya lihat pengertian kebijakan publik menurut Chandler dan Plano (1988) Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Pengertian kebijakan publik menurut Chandler dan Plano dapat diklasifikasikan kebijakan sebagai intervensi pemerintah. Dalam hal ini pemerintah mendayagunakan berbagai instrumen yang dimiliki untuk mengatasi persoalan publik.
Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah, yang setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
Dan yang terakhir yaitu konsep administrasi Negara itu sendiri, menurut saya dari kelseluruhan yang telah saya baca dan pahami bahwa kebijakan publik dalam konsep administrasi Negara yaitu kebijakan kebijakan inilah yang mengatur jalannya suatu konsep pemerintahan atau suatu konsep administrasi Negara yang fungsinya akan dipublikan kepada masyarakat atau publik kembali.
Sekian komentar saya, terhadap blog bapak ini. Terimakasih
NAMA :Teresa Dwi Octavia
NIM : A1011131012
ANGKATAN : 2013
MATA KULIAH : Hukum Administrasi Negara
KELAS : E (Reguler A)
Pembahasan : KEBIJAKAN PUBLIK DALAM KONSEP ADMINISTRASI NEGARA
(Studi Perkembangan Teoretik Tentang Kebijakan Publik Dan Administrasi Negara Sebagai Dasar Memasuki Hukum Administrasi Negara)
Pertama-tama saya ucapkan terima kasih atas apa yang telah tertuan di dalam blog bapak ini. Pembahasannya sangat bagus dan berguna bagi saya untuk dikedepannya. Apabila kita melihat literatur kepustakaan yang sudah diketahui oleh umum, kata kebijakan diterjemahkan dari bahasa Inggris yaitu policy. Istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjukkan perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Dalam arti yang luas policy mempunyai dua aspek pokok. Pertama, policy merupakan praktek sosial, ia bukan event yang tunggal atau terisolir. Dengan demikian sesuatu yang dihasilkan pemerintah berasal dari segala kejadian dalam masyarakat. Kedua, policy merupakan dorongan atau incentive bagi pihak-pihak yang sudah bersepakat menentukan tujuan bersama tersebut untuk bersama-sama bekerja secara rasional. Kebijakan ini sangat dipeerlukan di dalam sebuah negara, agar negara yang tercipta itu memiliki suatu potensi yang baik dan dapat mengembangkan wilayah dalam negara itu. Tanpa ada kebijakan bisa saja negara dapat menjadi puing-puing rongsokan yang diinjak-injak orang. Sekian komentar dari saya, lebih kurangnya saya ucapkan terima kasih.
Posting Komentar